Anda di halaman 1dari 15

Narrative Therapy

A.      NAMA PENDEKATAN
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Narrative Therapy.

B.       SEJARAH PERKEMBANGAN
Terapi Naratif mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling
tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus
pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu kehidupan klien.
Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi
mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima
sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk membantu klien dalam pemetaan  pengaruh
masalah yang dimiliki dalam kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri
dari cerita-cerita yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati atau pikiran yang sering
kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan
alternatif (Freddman&Combs, 1996).
1.    Peran Stories
Kita hidup dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita dan orang lain katakan tentang kita.
Cerita ini sebenarnya membentuk realitas yang dalam, bahwa mereka membangun dan
membentuk apa yang kita lihat, rasakan dan lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari
percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi klien tidak mempunyai  peran patologis,
korban yang hidup tanpa harapan dan meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang
yang berani menceritakan kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang mengatakan
cerita, tetapi juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian dari proses ini (Monk,
1997).
2.    Mendengarkan dengan  pikiran terbuka
Semua teori kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa
menghakimi atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994)
menekankan bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian
absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam situasi.
Terapis Naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai mereka dan
interpretasi. Mereka ingin menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang
berbagi cerita bukan dari prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting
dipaksakan.Walaupun terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang  sikap tertentu
seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui,
mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa terjebak. Sebagai terapis
Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada untuk rincian yang memberikan
bukti  dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang menindas.

C.       HAKIKAT MANUSIA
Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif ini
didasarkan atas asumsi sebagai barikut:
1.    Perspektif Naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif.
Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien
daripada yang mereka lakukan.
2.    Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.
3.    Praktisi Naratif melihat orang  sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari
dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak
diarahkan oleh terapis.

D.      PERKEMBANGAN PERILAKU
1.    Struktur Kepribadian
Terapi Narasi didasarkan pada empat keyakinan dasar yaitu antara lain sebagai berikut:
a.    Klien tidak ditentukan oleh masalah mereka yang hadir. Klien sering mengidentifikasi diri
dengan masalah mereka. Sebaliknya, dengan memiliki label disfungsi, klien mulai menerima
masalah mereka sebagai bagian yang terintegrasi dari siapa mereka, bukan karakteristik yang
melekat. Sebagai contoh, klien yang menderita depresi mengalami keadaan temporal bukanlah
karakteristik kepribadian mereka. Membuat perbedaan antara diri dan masalahnya adalah penting
jika klien harus diberdayakan untuk reauthor narasi kehidupan mereka.
b.    Klien adalah pakar pada kehidupan mereka, sehingga konselor atau terapis harus bijaksana
mencari keahlian mereka. Aspek humanistik konseling dan psikoterapi adalah keyakinan bahwa
klien memiliki jawaban mereka. Klien telah menghabiskan waktu yang paling dengan diri
mereka sendiri, telah mengalami totalitas kehidupan mereka, dan merupakan sumber terbaik
tentang bagaimana mereka harus datang ke tempat ini mereka dalam kehidupan. Setiap
intervensi yang efektif dengan klien harus memperhitungkan keakraban besar yang mereka
miliki dengan diri dan dilema mereka.
c.    Klien memiliki banyak keterampilan, kompetensi, dan sumber daya internal yang menarik.
Semua klien, bahkan anak muda, memiliki keterampilan hidup tertentu yang mereka menarik
dari dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kompetensi-kompetensi yang klien telah digunakan
untuk tiba pada titik ini dalam perjalanan hidup mereka harus digunakan sebagai sumber bagi
mereka dalam pekerjaan terapi mereka dan seterusnya. Praktisi harus memperhatikan dan
mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi kehidupan klien.
d.   Terapi perubahan terjadi ketika klien menerima peran mereka sebagai penulis hidup mereka dan
mulai untuk menciptakan sebuah narasi kehidupan yang kongruen dengan harapan mereka,
impian, dan aspirasi. Klien memiliki banyak pilihan dalam cara mereka pengalaman dan melihat
perjalanan hidup mereka. Memberdayakan klien untuk menerima tanggung jawab atas penulisan
hidup mereka adalah peran konselor atau terapis. Setelah klien melihat pola tematik dan karakter
dalam cerita kehidupan mereka, mereka bisa membuat struktur cerita mereka terhadap tujuan
yang lebih positif dan sehat.
2.    Pribadi Sehat dan Bermasalah
a.    Pribadi sehat
1)   Individu yang memahami kehidupan mereka yang tampaknya teratur didalam dan luar.
2)   Individuyangmampu mempromosikan interaksi keluargayang sehat dan memberikan pemahama
n untuk pembangunan sosial makna dalam kehidupan pribadi.
3)   Individuyangmampu memahami pikiran dan sistem kepercayaan yang berasal dari kenangan awa
l dan interaksi dalam kehidupan.
b.    Pribadi bermasalah
1)   Individu yang merasa sebagai akibat tinggal sebuah
narasi pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak berharga.
2)   Individu yang tidak dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri,
3)   Individu yang selalu dibayang-bayangi
oleh keinginan/harapan, aspirasi ketakutan penyesalan dan luka emosional.

E.       HAKIKAT KONSELING
Perspektif narratif berfokus pada kapasitas manusia untuk mengkreasikan dan imajinasi pikiran.
Praktisi narrative tidak menganggap bahwa mereka mengetahui  hal yang lebih mengenai
kehidupan konseli dari yang mereka lakukan (Konseli adalah penafsir utama dari pengalaman
mereka sendiri. Orang-orang dipandang sebagai agen aktif yang mampu berarti berasal dari
dunia pengalaman mereka. Dengan demikian proses perubahan dapat difasilitasi, tapi
tidak diarahkan oleh terapis (Corey, 200:389).
Dari hal ini disimpulkan bahwa hakikat konseling dari pendekatan naratif ini adalah keaktifan
konselor sebagai fasilitator dan keaktifan konseli dalam menyampaikan cerita kehidupannya
yang menjadi inti dari pendekatan naratif.

F.        KONDISI PENGUBAHAN
1.    Tujuan
Tujuan umum konseling narasi adalah membawa konseli agar dapat
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar.
Dalam hal ini dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Bahasa baru ini
memungkinkan klien untuk mengembangkan makna baru bagi pikiran yang bermasalah,
perasaan, dan perilaku (Freedman & Combs, 1996). Terapi narasi hampir selalu mencakup
kesadaran akan dampak dari berbagai aspek budaya dominan pada kehidupan manusia.
Praktisi berusaha untuk memperbesar sudut pandang dan fokus serta memfasilitasi
penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik untuk orang-orang yang mereka lihat.

2.    Konselor
Peran terapis Narasi adalah fasilitator aktif. Konsep kepedulian, minat, respek dengan
menghormati, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya tarik dipandang sebagai kebutuhan
relasional. Ketidaktahuan posisi, yang memungkinkan terapis untuk mengikuti, menegaskan dan
dipandu oleh cerita-cerita dari klien mereka, menciptakan pengamatan terhadap konseli dan dan
berperan sebagai fasilitator dan mengintegrasikan terapi dengan pandangan postmodern manusia.
Tugas utama terapis adalah membantu klien membangun cerita yang lebih disukai klien. Terapis
narasi mengadopsi sikap yang ditandai oleh respek dengan hormat dan bekerja dengan klien
untuk mengeksplorasi dampak masalah pada
mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade & Monk,
2007). Salah satu fungsi utama terapis adalah dengan mengajukan pertanyaan pada klien dan,
berdasarkan jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Putih dan Epston (1990)
mulai dengan eksplorasi klien sehubungan untuk masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi
klien untuk menyajikan cerita awal di mana mereka dan masalah menyatu, seolah-olah sama.
Terapis Narasi cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mencakup diagnosis,
penilaian, pengobatan, dan intervensi. Fungsi seperti diagnosis dan penilaian sering memberikan
prioritas kepada "kebenaran" praktisi atas pengetahuan klien tentang hidup mereka sendiri.
Pendekatan naratif memberikan penekanan kepada klien pemahaman pada pengalaman hidup
dan menekankan upaya untuk memprediksi, menafsirkan, dan pathologize. Praktisi Narasi
berhati-hati untuk tidak menganggap peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang
lain atau merebut kekuatan dari klien dalam membawa perubahan (Winslade et al., 1997). Dalam
konseling narasi, tidak ada penetapan formula atau resep untuk mengikuti (Freedman & Combs,
1996; Monk, Winslade, Crocket, & Epston, 1997; Winslade & Monk, 2007). Monk (1997)
menekankan bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien karena setiap orang adalah
unik. Untuk Monk, percakapan narasi didasarkan pada cara hidup, dan jika konseling
narasi "Dipandang sebagai rumus atau digunakan sebagai resep, klien akan memiliki
pengalaman setelah sesuatu dilakukan kepada mereka dan merasa ditinggalkan dari percakapan
"(hal. 24).

3.    Konseli
Terapis narasi mengasumsikan klien adalah ahli ketika datang ke apa yang dia inginkan dalam
hidup. Dalam hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling karena konseli yang
mengetahui dirinya dan kehidupannya.
4.    Situasi Hubungan
Konseling Narasi sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada usaha terapi.
Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa ingin tahu dan ketekunan,
menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan jenis khusus dari hubungan ditandai
dengan dialog pembagian kekuasaan nyata (Winslade & Monk, 2007). Kolaborasi, kasih
sayang, refleksi, dan penemuan mencirikan hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah untuk
benar-benar kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan memanifestasikan dirinya
dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti bahwa terapis tidak memiliki otoritas sebagai
seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar
dalam kehidupan mereka sendiri. Winslade, Crocket, dan Monk (1997) menggambarkan
kolaborasi ini sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan. Klien berfungsi sebagai penulis
ketika mereka memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama mereka sendiri. Dalam
pendekatan naratif, terapis-sebagai-ahli digantikan oleh klien-sebagai ahli -. Gagasan ini
menantang sikap terapis sebagai seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu. Winslade dan
Monk (2007) menyatakan: "Integritas dari hubungan konseling demikian dipertahankan
sementara klien dihormati sebagai penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi
alternatif "(hal. 57-58).
Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola hidup-kejenuhan  tidak bekerja. Terapis
memasuki dialog ini dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam
upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.

G.      MEKANISME PENGUBAHAN
1.    Tahap-tahap Konseling
Ini gambaransingkatmengenai langkahlangkahdalam proses terapi narasi menggambarkanstruktu
r pendekatan narasi (O'Hanlon, 1994, hlm 25-26):
a.    Berkolaborasi dengan klien untuk datang dengan nama yang dapat diterima bersama untuk
masalah tersebut.
b.    Melambangkan masalah dan menghubungkan pada keinginan yang menekan dan
strategi untuk masalah tersebut.
c.    Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu, mendominasi,
atau mengecilkan hati/mengecewakan klien.
d.   Mintalah klien untuk melihat ceritanya dari perspektif yang berbeda dengan
menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang dialaminya .
e.    Temukan saat-saat ketika klien tidak didominasi atau berkecil hati oleh
masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
f.     Menemukan bukti historis untuk mendukung pandangan baru dari klien sebagai orang yang
cukup kompeten untuk
menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah. (Pada tahap
ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai mendapatkan ditulis ulang.)
g.    Meminta klien untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa diharapkan dari
kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga klien menjadi terbebas dari cerita-cerita masalah
yang menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa
depan yang kurang bermasalah.
h.    Menemukan atau menciptakan audiens untuk memahami dan mendukung cerita baru. Tidaklah
cukup untuk membaca cerita baru. Klien perlu untuk hidup baru cerita luar terapi. Karena orang
itu masalah awalnya dikembangkan
dalam konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial
dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan
dengan terapis.
Winslade dan Monk (2007) menekankan bahwa percakapan narasi tidak
mengikuti perkembangan linier dijelaskan di sini, karena lebih baik memikirkan langkah-langkah
dalam hal perkembangan siklus yang mengandung unsur-unsur berikut:
a.    Pindah cerita masalah ke arah deskripsi externalized masalah
b.    Peta efek dari masalah pada individu
c.    Dengarkan tanda-tanda kekuatan dan kompetensi di problemsaturated individu cerita
d.   Membangun cerita baru kompetensi dan mendokumentasikan prestasi ini
2.    Teknik-teknik Konseling  
a.    Pertanyaan dan pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang ditanyakan oleh terapis naratif
mungkin nampaknya melekat dalam sebuah percakapan yang unik, bagian dari dialog tentang
dialog sebelumnya, penemuan kejadian-kejadian unik atau eksplorasi proses kultur yang
dominan dan memberikan perintah. Apapun tujuannya, pertanyaan seringkali sirkuler atau
berhubungan,  dan ditujukan untuk memberikan dorongan kepada klien dalam cara yang
baru. Seperti prase terkenal yang digunakan oleh Gregory Bateson (1972), pertanyaan-
pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk mencari perbedaan yang akan membuat perbedaan.
Terapis naratif menggunakan pertanyaan sebagai upaya untuk menhasilkan pengalaman
daripada mengumpulkan informasi. Tujuan bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau
membentuk pengalaman klien sehingga terapis memahami arah mana yang harus di tempuh.
Pertanyaan selalu dimulai dengan merespek secara positif, keingintahuan dan keterbukaan.
Terapis bertanya dari posisi yang tidak tahu dimana berarti bahwa mereka tidak memberikan
pertanyaan yang kiranya mereka sudah mengetahui jawabannya. Monk (1997) menjelaskan
posisi ini sebagai berikut:
Berkebalikan dengan normative yang ada, cara naratif mengharuskan konselor untuk mengambil
posisi mencari tahu, memeriksa dan menggali informasi. Dia menunjukkan kepada klien bahwa
konselor tidak memiliki akses khusus kedalam kebenaran. Konselor hanya memiliki peran untuk
memahami pengalaman klien.
Terapis yang menggunakan pendekatan naratif berusaha memilah-milah atau membentuk
kembali  wacana yang melatarbelakangi masalah klien. Melalui proses bertanya, terapis
memberikan kesempatan kepada klien untuk mencari tahu berbagai macam dimensi dalam
kehidupan mereka. Dengan cara ini mereka membantu membawa ke permukaan asumsi kultur
yang tidak terucapkan yang berhubungan dengan pembentukan masalah pada awalnya. Terapis
berperan dalam menemukan bagaimana masalah ini pertama kali menjadi jelas dan bagaimana
masalah ini mempengaruhi pandangan klien terhadap diri mereka (Monk, 1997). Terapis naratif
berusaha melibatkan orang dalam pembentukan kembali kisah-kisah tentang masalah mereka,
mengidentifikasi arah yang diinginkan dan menciptakan kisah-kisah lainnya yang mencukung
arah yang dipilih tersebut (Freedman dan Combs, 1996).
b.    Eksternalisasi dan dekonstruksi. Terapis naratif berbeda dari terapis tradisional lainnya dimana
terapis naratif percaya bahwa bukan orangnya yang menjadi masalah tetapi masalahnya memang
sebuah masalah. Menjalani hidup berarti memang menghadapi masalah, tidak menjadi satu
dengan masalah. Masalah dan kisah-kisah tentang masalah memiliki pengaruh pada orang dan
dapat merubah hidup dalam cara-cara yang negatif. Asumsi tentang sebuah masalah yang tidak
dipahami dengan benar akan membatasi kesempatan baik untuk klien dan terapis untuk menggali
perubahan (McKenzie & Monk, 1997). Terapis naratif membantu klien untuk membentuk
kembali kisah-kisah berisi masalah-masalah yang mereka hadapi dengan memisah-misahkan
asumsi-asumsi yang diyakini begitu saja yang terbentuk dari sebuah kejadian yang mana
kemudian membuka kemungkinan alternatif untuk menjalani hidup (Bertolino & O’Hanlon;
WInslade & Monk, 1999).
Eksternalisasi adalah proses untuk membentuk kembali kekuatan naratif dan memisahkan orang
dari pengidentifikasian masalah dan kadang pemberian nama kepada masalah tersebut. White
(1992) menyatakan orang datang mencari terapi karena mereka menganggap mereka memiliki
masalah dan bukanlah untuk suatu alasan menyeluruh seperti masalah kejiwaan. Ketika klien
memandang diri mereka adalah masalah, mereka membatasi diri mereka kepada cara-cara untuk
mengatasi masalah tersebut. Pengaruh dari perubahan bahasa yang halus ini adalah klien dapat
merasakan masalah yang ada diluar diri mereka. Bukannya memiliki masalah, seseorang justru
memiliki hubungan dengan masalah. Contohnya, ada perbedaan antara menyebut seseorang
sebagai pecandu alkohol dan mengetahui ada indikasi bahwa alkohol telah mempengaruhi
kehidupannya. Memisahkan masalah dari diri seseorang akan memberikan harapan dan
memungkinkan klien untuk menghadapi masalah seperti menyalahkan dirinya sendiri. Dengan
memahami kecenderungan untuk menyalahkan dirinya sendiri, klien dapat membentuk kembali
garis ceritanya dan membentuk cerita yang lebih positif.
Sebagian besar klien barangkali tidak mengidentifikasi efek penuh cerita masalah, barangkali
karena ketakutan mereka dibanjiri oleh kesulitan-kesulitan. Metode yang digunakan untuk
memisahkan seseorang dengan masalah disebut sebagai eksternalisasi percakapan. Metode ini
secara khusus bermanfaat ketika orang-orang mendiagnosis dan memberi label yang tidak
memvalidasi atau memberdayakan proses perubahan (Bertolino dan O'Hanlon 2002).
Eksternalisasi percakapan menetralkan tekanan, cerita yang jenuh dengan masalah, dan
memberdayakan untuk merasa kompeten dalam menangani masalah yang dihadapi. Dua cara
untuk membentuk eksternalisasi percakapan adalah (1) memetakan pengaruh dari masalah dalam
kehidupan seseorang, atau (2) memetakan pengaruh kehidupan seseorang terhadap
pengembangan masalah (McKenzie dan Monk, 1997).
Pemetaan pengaruh masalah terhadap seseorang menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat
dan seringkali membuat orang-orang tidak terlalu salah dan malu. Orang-orang merasa didengar
dan dipahami ketika masalah yang mempengaruhi mereka diselidiki secara sistematis. Ketika
pemetaan ini dilakukan secara hati-hati, ini memberikan landasan untuk mengarang garis cerita
baru bagi klien. Sebuah pertanyaan yang umum adalah “Kapan masalah ini muncul pertama kali
dalam kehidupan anda?” Pekerjaan dari terapis adalah membantu klien dalam menelusuri
masalah dari mana asalnya sampai sekarang. Terapis menempatkan masalah mendatang dengan
bertanya, “Jika masalah berlanjut selama satu bulan (atau periode tertentu), apakah artinya bagi
anda?” Pertanyaan ini dapat memotivasi klien untuk bergabung dengan terapis dalam memerangi
dampak dari efek masalah tersebut.
Pemetaan efek dari kehidupan seseorang terhadap pengembangan masalah seringkali membuat
klien menjadi sadar bahwa masalah tersebut tidak sepenuhnya didominasi diri atau
kehidupannya. Terdapat beberapa contoh di mana klien menangani secara baik masalah tersebut.
bentuk pemetaan ini membantu klien tidak tenggelam dalam masalah dan melihat harapan dari
bentuk kehidupan berbeda. Terapis melihat ‘momen kemilau’ ini ketika mereka melakukan
eksternalisasi percakapan dengan klien (White dan Epston, 1990).
Kasus Brandon mengilustrasikan eksternalisasi percakapan. Brandon mengatakan bahwa dia
terlalu marah, khususnya ketika dia merasa bahwa istrinya mekritiknya secara tidak adil: “Saya
hanya cerewet, daya rendah, saya kacau, kembali bertengkar. Kemudian saya ingin saya tidak
seperti itu, tetapi sudah terlalu lambat. Saya terjerumus lagi” Walaupun pertanyaan tentang
bagaimana kemarahan terjadi, lengkap dengan contoh dan kejadian-kejadian khusus, akan
membangun menunjukkan pengaruh dari masalah, pertanyaan sesungguhnya adalah
eksternalisasi masalah: “Apakah misi dari marah, dan bagaimanakah anda melakukan misi
tersebut?”, “Bagaimanakah kemarahan anda terjadi, dan bagaimana ini membuat anda menjadi
sangat kuat?” “Apakah kemarahan yang dilakukan anda, dan apa yang terjadi ketika anda
memenuhi kebutuhan tersebut ?
c.    Penemuan hasil yang unik. Dalam pendekatan naratif, eksternalisasi pertanyaan-pertanyaan
diikuti dengan pertanyaan untuk mencari hasil unik. Terapis berbicara kepada klien tentang
momen pilihan atau keberhasilan berkaitan dengan masalah. Ini dilakukan dengan memilih
perhatian dan beberapa pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas pada bagaimana
tidak signifikan ini bagi klien. Terapis dapat bertanya: “Apakah ada waktu di mana kemarahan
akan menguasai anda, dan anda melawannya? Seperti apakah diri anda? Bagaimanakah anda
melakukan itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyoroti momen ketika
masalah tidak terjadi atau ketika masalah diatasi dengan baik.  Hasil unik seringkali dapat
ditemukan dalam masa lalu atau sekarang, tetapi mereka juga dapat dihipotesa untuk masa
depan: “Apakah bentuk yang akan terjadi terhadap kemarahan yang terjadi?” Menyelidiki
pertanyaan-pertanyaan seperti ini memungkinkan klien melihat perubahan mungkin dilakukan.
adalah di dalam perhitungan bahwa hasil unik bahwa terdapat gerbang untuk memberikan
teritorial alternatif bagi kehidupan klien (White, 1992).
Dengan mengikuti deskripsi kejadian unik, White (1992) menyampaikan  pertanyaan-pertanyaan
berikut, baik langsung ataupun tidak langsung, yang membawa pada naratif yang disampaikan
secara lebih jelas:
1)   Apakah yang anda pikir ini akan menunjukkan pada saya tentang apa yang anda inginkan dari
kehidupan dan tentang apa usaha yang telah dilakukan dalam kehidupan anda?
2)   Bagaimanakah anda berpikir mengetahui ini akan mempengaruhi pandangan saya tentang anda
sebagai orang ?
3)   Dari semua orang yang tahu anda, siapa yang paling tidak terkejut bahwa anda telah mampu
mengambil langkah-langkah ini dalam menantang masalah mempengaruhi kehidupan anda?
4)   Bagaimanakah aksi yang dapat anda lakukan sendiri jika anda lebih penuh dalam menggunakan
pengetahuan diri tentang siapa anda? (halaman 133).
Pengembangan cerita hasil unik ke dalam cerita solusi difasilitasi oleh apa yang disebut oleh
Epston dan White (1992) sebagai ‘pertanyaan-pertanyaan sirkulasi’:
1)   Sekarang bahwa anda telah mencapai poin ini dalam kehidupan, siapa lagi yang seharusnya tahu
tentang ini?
2)   Saya  menduga terdapat sejumlah orang yang mempunyai pandangan usang tentang anda sebagai
orang. Apakah ide anda untuk memperbaharui pandangan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ditanyakan secara beruntun. Pertanyaan tersebut adalah bagian
integral dari konteks percakapan naratif, dan masing-masing pertanyaan secara sensitif
digunakan untuk menanggapi respon yang disampaikan oleh pertanyaan sebelumnya (White
1992)
McKenzie dan Monk (1997) menyampaikan bahwa terapis meminta ijin dari klien sebelum
menanyakan serangkaian pertanyaan. Dengan membiarkan klien tahu bahwa mereka tidak
mempunyai jawaban terhadap pertanyaan unik yang disampaikan, terapis menempatkan klien
dalam mengontrol proses terapi. Meminta ijin klien untuk menggunakan pertanyaan keras
cenderung meminimkan resiko tekanan yang tidak diinginkan terhadap klien.
d.   Alternatif cerita and Reautoring.  Membentuk cerita terjadi berulang-ulang dalam dekonstruksi,
dan terapis naratif mendengarkan pembukaan terhadap cerita baru. orang-orang dapat secara
kontinyu dan aktif mengarang kembali hidupnya, dan terapis naratif mengundang klien untuk
mengarang cerita alternatif melalui ‘hasil unik’ atau sesuatu yang tidak diprediksi oleh cerita
yang jenuh masalah (Freedman dan Combs 1996). Terapis naratif menanyakan pada saat
pembukaan: “Sudahkah anda pernah mampu keluar dari pengaruh masalah?” Terapis
mendengarkan isyarat terhadap kompetensi di antara cerita problematis dan membangun cerita
tentang kompetensi.
Sebuah titik balik dalam wawancara naratif terjadi ketika klien melakukan pilihan apakah
melanjutkan hidupnya yang jenuh dengan cerita masalah atau menciptakan cerita lain (Winslade
dan Monk, 1999). Melalui penggunaan kemungkinan pertanyaan uni, terapis menggerakkan
fokus ke masa depan. Contoh, “Didasarkan pada apa yang anda pelajari tentang diri sendiri,
apakah langkah selanjutnya yang akan anda ambil? Ketika anda bereaksi dari identitas yang
disukai, apakah aksi yang akan membuat anda bertindak lebih ?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut
mendorong orang-orang memantulkan apa yang telah mereka capai sekarang dan apa langkah
selanjutnya.
Terapis bekerja dengan klien secara kolaboratif dengan membantu mereka membuat cerita
komprehensif yang lebih koheren (Naimeyer 1993). Apakah terlibat dalam percakapan bebas
atau melakukan serangkaian peraturan dalam proses relatif konsisten, terapis naratif berusaha
menunjukkan kemungkinan baru dan mengkaitkan ini dengan proses dan naratif kehidupan dari
orang-orang yang mereka layani. White dan Epston (1990) menyelidiki kejadian-kejadian unik
yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan pengecualian pada terapis berfokus-solusi. Keduanya
berusaha membangun kompetensi yang sudah ada pada seseorang. Pengembangan cerita
alternatif, atau naratif, dalam menyampaikan harapan akhir: Sekarang adalah hari pertama dari
sisa kehidupan selanjutnya.
e.    Mendokumentasikan bukti naratif. Praktisi naratif percaya bahwa cerita terjadi hanya ketika
terdapat pemirsa yang menghargai dan mendukung mereka. dengan demikian, penghargaan
audien terhadap perkembangan baru secara sadar diajukan. Memperoleh audien untuk agar
perubahan baru terjadi menimbulkan kebutuhan untuk terjadi jika cerita alternatif tetap hidup
(Andrew dan Clark, 1996).
Satu teknik untuk mengkonsolidasi keuntungan yang dibuat klien adalah dengan menulis surat.
Surat naratif yang ditulis oleh terapis mencatat sesi dan mungkin memasukkan eksternalisasi
deskripsi tentang masalah dan pengaruhnya terhadap klien sebagaimana halnya laporan kekuatan
dan kemampuan klien yang diidentifikasi dalam sesi tersebut. Surat tersebut menyoroti
perjuangan klien yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah dan menarik perbedaan antara
cerita yang penuh masalah dengan mengembangkan cerita baru dan disukai (McKenzie dan
Monk, 1997). Surat ini seringkali dikirim kepada klien antar sesi (Andrew, Clark, dan baird,
1997).
Epston telah mengembangkan fasilitas khusus untuk melakukan dialog terapi antara sesi melalui
penggunaan surat (Shite dan Epston, 1990) Suratnya mungkin panjang, kronologis proses
wawancara dan perjanjian yang dicapai, atau singkat, menyoroti makna atau pemahaman yang
terjadi terhadap dirinya di akhir kunjungan terapi sebelumnya. Surat ini digunakan untuk
mendorong klien, mencatat kekuatan dan prestasi mereka sehubungan dengan menangani
masalah atau mencatat makna dari prestasi mereka bagi orang lain dalam komunitas. Winslade
dan Monk (1999) mencatat bahwa surat yang mendokumentasikan perubahan yang dicapai klien
cenderung memperkuat signifikansi perubahan, baik bagi klien atau orang lain dalam kehidupan
klien.
David Nylund, seorang pekerja sosial klinis, menggunakan surat naratif sebagai bagian dasar dari
prakteknya. Nylund menjelaskan kerangka kerja konseptual yang dia temukan bermanfaat dalam
membuat surat bagi klien (Nylund dan Thomas, 1994):
1)        Paragraf pendahuluan menghubungkan kembali klien dengan sesi terapi sebelumnya
2)        Pernyataan meringkas masalah yang ada pada klien
3)        Pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan terapis setelah sesi tersebut mungkin disampaikan
kepada klien. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin berhubungan dengan pengembangan
cerita alternatif
4)        Surat mendokumentasikan hasil unik atau pengecualian terhadap cerita problematis, yang
muncul selama sesi. Pada saat ini, kutipan langsung terhadap klien digunakan
Nylund dan Thomas (1994) menyatakan bahwa surat naratif memperkuat pentingnya melakukan
apa yang telah dipelajari dalam kantor terapi ke dalam kehidupan sehari-hari. Pesan yang
disampaikan adalah bahwa berpartisipasi secara penuh di dunia lebih penting daripada di kantor
terapi. Dalam survey informal persepsi nilai surat naratif oleh klien terdahulu, rata-rata mereka
menghargai surat tersebut sama seperti tiga kali sesi individual. Temuan ini konsisten dengan
pernyataan McKenzie dan Monks (19970 : “Beberapa konselor naratif telah menyampaikan
bahwa surat yang dibuat dengan baik setelah sesi terapi atau sebelum lainnya sama dengan lima
sesi reguler” (halaman 113). Surat naratif sepertinya mempunyai dampak maksimum dalam
sejumlah sesi terakhir.
                    
H.      HASIL PENELITIAN
Terapi naratif mengandung pengertian bahwa seseorang membangun pengetahuan melalui
interaksi. Kata-kata seperti mencari jalan dan mengatasi biasa digunakan dalam pendekatan ini
dimana setiap orang tampak sebagai pahlawan yang telah menyelesaikan masalah yang
mencekam dirinya. Pada akhir terapi, kejelasan memberi makna bagi konseli sebagai
kemenangan dalam menyelesaikan masalah yang telah menindas mereka sebelumnya. Gagasan
naratif memberi metode alternatif bagi konselor untuk berbicara dengan konseli tentang masalah
dan cara pemecahan. Penggunaan bahasa yang unik ini kondusif untuk melaksanakan bimbingan
dan konseling kolaboratif.

PENDEKATAN POSTMODERN DARI PERSPEKTIF MULTICULTURAL


Kontribusi Multicultural Counseling
Konstruksionis sosial pendekatan terapi klien dengan menyediakan kerangka kerja untuk berpikir
tentang pemikiran mereka dan untuk menentukan dampak stories terhadap apa yang mereka
lakukan. Klien didorong untuk menjelajahi bagaimana realitas mereka sedang dibangun dan
konsekuensi yang mengikuti dari konstruksi. Dalam kerangka nilai-nilai budaya mereka dan
pandangan dunia, klien dapat mengeksplorasi kepercayaan mereka dan memberikan
reinterpretations mereka sendiri tentang peristiwa kehidupan yang signifikan.
Para praktisi dengan perspektif konstruktivis sosial dapat memandu klien dengan menghormati
nilai-nilai yang mendasarinya. Dimensi ini penting terutama dalam kasus-kasus di mana konselor
dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien mereka.
Terapi naratif didasarkan konteks sosial budaya, yang membuat pendekatan ini sangat relevan
untuk konseling dengan klien beragam budaya. Banyak pendekatan modern yang telah dibahas
dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah-masalah ada di dalam individu. Beberapa
model tradisional ini mendefinisikan kesehatan mental dalam kaitannya dengan nilai-nilai
budaya yang dominan. Sebaliknya, narasi terapis beroperasi pada premis bahwa masalah-
masalah yang diidentifikasi dalam sosial, budaya, politik, dan konteks relasional daripada
individua. Mereka sangat peduli dengan mempertimbangkan isu-isu gender, etnis, ras, orientasi
seksual, dan kelas sosial dalam proses terapeutik.
Masalah terapis narasi berkonsentrasi pada cerita-cerita yang mendominasi dan menundukkan
pribadi, sosial, dan budaya tingkat. Dari orientasi ini, para praktisi membongkar asumsi-asumsi
budaya yang merupakan bagian dari problem klien.
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa
mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka
belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih
memahami multikultural klien:
1.    Apa yang dapat Anda berbagi dengan saya tentang latar belakang yang memungkinkan saya
untuk lebih memahami Anda?
2.    Apa yang telah Anda siapkan menghadapi tantangan perkembangan budaya Anda?
3.    Jika ada, tentang latar belakang yang sulit bagi Anda?
4.    Bagaimana Anda dapat menarik kekuatan dan sumber daya dari budaya Anda?
Sumber daya apa yang dapat Anda ambil pada saat dibutuhkan?
Pertanyaan seperti ini dapat menjelaskan pengaruh multikultural tertentu sebagai sumber
dukungan atau yang berkontribusi pada masalah klien.
Keterbatasan Multicultural Counseling terhadap Pendekatan PostModern
Keterbatasan berkenaan pendekatan postmodern, pada “sikap ketidaktahuan” terapis,
mengasumsikan bersama “klien sebagai ahli”. Jika terapis mengatakan pada klien “Saya benar-
benar tidak seorang ahli; Anda adalah ahli, aku percaya pada sumber daya Anda untuk mencari
solusi untuk masalah Anda,” kemungkinan akan menimbulkan kurangnya kepercayaan pada
Therapist.
Untuk menghindari situasi ini, terapis menggunakan solusi-fokus atau orientasi narrative
kepada klien bahwa ia memiliki keahlian dalam proses terapi, tetapi klien tidak langsung terlibat
dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan dasar mereka.
Sarah Walther
Sarah Walther adalah salah satu dari 'generasi kedua' terapis narasi yang membangun dan
memperluas pemikiran Michael White dan metode. Sarah adalah seorang guru yang
berpengalaman dan menarik dari Institut Terapi Narasi dan menawarkan pelatihan dan konsultasi
sebagai anggota fakultas pengajaran Institut, baik di Inggris dan internasional. Dia telah menulis
sejumlah makalah yang berhubungan dengan terapi naratif dan prakteknya berbasis di Timur
Lancashire CAMHS, di mana dia adalah Therapist Narasi pertama ditunjuk oleh layanan
kesehatan nasional publik. Dia berbicara dengan anak, orang muda dan mereka yang terlibat
dalam kehidupan mereka di mana ada berbagai kekhawatiran, termasuk: efek trauma; kesulitan
makan; pikiran dan tindakan yang terkait dengan merugikan diri dan bunuh diri; kronis masalah
kesehatan fisik, dll
Ada jumlah yang signifikan dan terus meningkat bukti untuk efektifitas untuk praktek
terapi naratif. Berikut ini kami sajikan ringkasan literatur penelitian tentang terapi narasi,
termasuk beberapa penelitian berbasis bukti.
Keluarga terapi dan mengotori: Audit pendekatan eksternalisasi dan lainnya
Evril Silver, Alison Williams, Fiona Worthington, dan Nicola Phillips (1998)
Jurnal Terapi Keluarga, 20, 413-422.
Ini adalah audit yang retrospektif dari hasil terapi dari 108 anak dengan mengotori dan
keluarga mereka. Lima puluh empat anak dirawat oleh eksternalisasi dan anak-anak
perbandingan 54 dan keluarga diobati dengan metode biasa di klinik yang sama. Hasil dari
kelompok eksternalisasi lebih baik dan baik dibandingkan dengan standar yang berasal dari studi
sebelumnya dari kekotoran. Eksternalisasi dinilai sebanyak lebih membantu orang tua di follow-
up.  Ada jumlah yang signifikan dan terus meningkat bukti untuk efektivitas untuk praktek terapi
naratif. Berikut ini kami sajikan ringkasan literatur penelitian tentang terapi narasi, termasuk
beberapa penelitian berbasis bukti.
Proses dan hasil terapi narasi untuk penyakit depresi pada orang dewasa: refleksivitas
Narasi, aliansi kerja dan peningkatan gejala dan antar-pribadi hasil
Lynette Vromans (2008) [tesis PhD, Queensland University of Technology]
Tujuan penelitian, untuk mengetahui proses dan hasil terapi naratif, terdiri tujuan teoritis
dan empiris. Tujuan pertama adalah untuk mengartikulasikan sebuah sintesis teoritis dari teori
naratif, penelitian, dan praktek. Proses refleksivitas narasi diidentifikasi sebagai konstruk teoritis
yang menghubungkan teori dengan penelitian narasi narasi dan praktek. Tujuan kedua adalah
untuk mendukung sintesis ini secara empiris dengan memeriksa proses terapi narasi, khususnya
refleksivitas naratif dan aliansi terapi, dan hubungannya dengan hasil terapi. Tujuan ketiga
adalah untuk mendukung sintesis yang diusulkan teori, penelitian, dan praktek dan memberikan
bukti kuantitatif untuk kegunaan terapi naratif, dengan mengevaluasi gejala depresi dan antar
pribadi hasil keterkaitan melalui analisis signifikansi statistik, signifikansi klinis.
Untuk mendukung sintesis teoritis, uji coba proses-hasil dievaluasi delapan sesi terapi
narasi untuk 47 orang dewasa dengan gangguan depresi besar. Variabel proses dependen adalah
narasi refleksivitas (dinilai pada Sesi 1 dan 8) dan aliansi terapeutik (dinilai pada Sesi 1, 3 dan
8). Primer variabel hasil dependen adalah gejala depresi dan antar-pribadi keterkaitan. Analisis
Primer dinilai hasil terapi pada pra-terapi, pasca-terapi, dan tiga bulan follow-up dan digunakan
strategi benchmarking terhadap terapi pra-mengevaluasi pasca-terapi dan pasca terapi untuk
menindaklanjuti keuntungan, efek ukuran dan pra -terapi untuk pasca terapi signifikansi klinis ...
Uji klinis memberikan dukungan empiris untuk kegunaan terapi narasi dalam meningkatkan
gejala depresi dan antar-pribadi keterkaitan dari pra-terapi untuk pasca terapi: besarnya
perubahan yang menunjukkan efek ukuran besar (d = 1,10-1,36) untuk gejala depresi dan efek
ukuran sedang (d = 0,52-0,62) untuk antar-pribadi keterkaitan. Terapi efektif dalam mengurangi
gejala depresi pada klien dengan sedang dan berat pra-terapi keparahan gejala depresi. Perbaikan
gejala depresi, tetapi tidak antar-pribadi keterkaitan, dipertahankan tiga bulan setelah terapi.
Penurunan gejala depresi dan proporsi klien yang mencapai perbaikan klinis yang signifikan
(53%) pada gejala depresi pada pasca terapi sebanding dengan perbaikan dari psychotherapies
standar, dilaporkan dalam penelitian patokan. Penelitian ini memiliki implikasi untuk membantu
pemahaman kita tentang pendekatan naratif, menyempurnakan strategi yang akan memudahkan
dokter pemulihan dari gangguan psikologis dan menyediakan dengan dasar bukti yang lebih luas
untuk praktek narasi.
Narasi terapi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi utama: Peningkatan gejala
dan hasil interpersonal yang
Lynette P. Vromans & Robert D. Schweitzer (2010)
Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010,
Penelitian ini meneliti gejala depresi dan hasil keterkaitan antar pribadi dari delapan sesi terapi
narasi manualized untuk 47 orang dewasa dengan gangguan depresi besar. Pasca terapi, depresi
gejala perbaikan (d = 1,36) dan proporsi klien mencapai perbaikan yang dapat diandalkan (74%),
gerakan untuk penduduk fungsional (61%), dan perbaikan klinis yang signifikan (53%)
sebanding dengan hasil penelitian patokan. Pasca terapi peningkatan keterkaitan interpersonal (d
= .62) kurang substansial dibandingkan gejala. Tiga bulan follow-up ditemukan pemeliharaan
gejala, tapi keuntungan tidak interpersonal. Pembandingan dan analisis signifikansi klinis
dikurangi keterbatasan ukuran desain diulang, memberikan bukti empiris untuk mendukung
terapi narasi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi besar.
Mengevaluasi narasi terapi keluarga menggunakan satu sistem desain penelitian
David Besa, California Graduate School of Family Psychology (1994)
Penelitian pada Praktek Pekerjaan Sosial, 4 (3), 309-325
Penelitian ini menilai efektivitas Terapi Narasi dalam mengurangi orang tua / anak konflik.
Orang tua diukur kemajuan anak mereka dengan menghitung frekuensi perilaku tertentu selama
fase awal dan intervensi. Praktisi-peneliti menggunakan single-kasus metodologi dengan strategi
paket pengobatan, dan hasilnya dievaluasi dengan menggunakan tiga desain dasar ganda. Enam
keluarga dirawat menggunakan teknik Terapi Narasi beberapa termasuk eksternalisasi,
pertanyaan pengaruh relatif, mengidentifikasi hasil yang unik dan rekening unik, menelorkan
unik ulang deskripsi, memfasilitasi sirkulasi unik, dan menugaskan antara sesi-tugas.
Dibandingkan dengan tarif awal, lima dari enam keluarga menunjukkan perbaikan dalam orang
tua / anak konflik, mulai dari 88% dengan penurunan 98% dalam konflik. Perbaikan terjadi
hanya ketika Terapi Narasi diaplikasikan dan tidak diamati dalam ketiadaan.

I.         Kelemahan dan Kelebihan


1.         Kelemahan:
a.    Cerita bisa dibuat-buat
b.    Membutuhakan waktu yang panjang
2.         Kelebihan:
a.    Memiliki nilai
b.    Mendapatkan solusi yang lebih cepat
c.    Lebih fleksibel dan dapat dikombinasikan dengan pendekatan pengobatan lain yang kompatibel
d.   Bisa diterapkan di segala jenjang umur dan status sosial
e.    Cerita dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain, berbentuk sepanjang jalan, dan diberikan
kepada orang sebagai warisan dari keluarga mereka
f.     Bisa berbagi perasaan dengan orang lain
g.    Mengembangkan hubungan yang dekat
h.    memungkinkan orang untuk mengenali kemampuan
i.      berpartisipasi aktif
j.      berpikir kreatif dan imajinatif

SUMBER PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  Belmont, CA: Brooks/Cole.
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper
Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall
McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai