Anda di halaman 1dari 6

Nama: Garuda Indonesia Susetio

Kelas: Jumat Jam 13.00


NIM: 1801617226

1. Konseling Sebagai Terapis

Karena konseling merupakan bentuk pembelajaran yang intim, maka konseling


membutuhkan praktisi yang mampu menjadi orang yang otentik di hubungan terapi. Hal
ini termasuk hubungan person-to-person. Ketulusan kita dapat memberikan pengaruh
signifikan terhadap hubungan dengan klien. Jika kita mau untuk melihat ke hidup kita dan
membuat perubahan yang kita mau, kita dapat meniru proses itu untuk cara kita
mengungkapkan diri kita dan respon dari klien kita. Jika kita mencontoh keotentikan
dengan cara mendekati klien dengan pengungkapan diri yang tepat, klien kita akan
cenderung terbuka juga.

Penelitian menunjukan bahwa sentralitas dari terapis adalah faktor utama dalam terapi
yang sukses. Klien menempatkan penilaian kepada kepribadian dari terapis daripada dari
teknik khusus yang dilakukan (Lambert dalam Corey, 2012). Teknik sendiri tidak terlalu
penting dalam proses. Wampold (dalam Corey, 2012) mengungkapkan bahwa komponen
personal dan interpersonal penting untuk psikoterapi yang efektif dimana teknik hanya
memiliki efek relatif kecil dalam keefektifan terapi.

a. Karakteristik Personal dalam Konselor yang Efektif

Kualitas personal tertentu dan karakteristik dari konselor sangat penting untuk
menciptakan pertemanan terapi dengan klien. Berikut daftar karakteristik personal yang
harus dimiliki terapis yang efektif:

a. Memiliki identitas: mereka tahu siapa diri mereka, tahu mereka mampu untuk
menjadi apa, apa yang mereka mau di hidup mereka dan apa yang penting.
b. Menghormati dan menghargai diri sendiri: mereka dapat memberi dan
menerima bantuan dan cinta diluar dari perasaan harga diri dan kekuatan.
Mereka merasa memadai dengan orang lain dan memperbolehkan orang lain
untuk merasa kuat dengan mereka.
c. Terbuka untuk perubahan: mereka memiliki kemauan dan keberanian untuk
menonggalkan keamanan dari yang mereka tahu jika mereka tidak puas dengan
cara mereka. Mereka membuat keputusan mengenai bagaimana mereka akan
beruah, dan mereka bekerja untuk menjadi orang yang mereka mau.
d. Membuat keputusan yang berorientasi pada kehidupan: mereka menyadari dari
keputusan dini yang mereka buat pada diri sendiri, orang lain dan dunia. Mereka
bukan korban dari keputusan dini ini, dan mereka mau untuk mengubahnya jika
diperlukan.
e. Mereka otentik, jujur dan tulus: mereka tidak bersembunyi dibalik kekakuan
dari peran atau topeng. Siapa mereka di diri mereka dan di pekerjaan profesional
mereka sesuai.
f. Memiliki selera humor: mereka mampu untuk menempatkan kejadian dalam
hidup di perspektif. Mereka tidak melupakan bagaimana cara tertawa, terutama
pada kelemahan dan kontradiksi mereka sendiri.
g. Membuat kesalahan dan mau untuk mengakuinya: mereka tidak mau menolak
kesalahan mereka dengan mudahnya, tapi mereka juga tidak mau
merenungkannya, juga.
h. Secara umum hidup di masa sekarang: mereka tidak mundur ke masa lalu, tapi
juga tidak terpaku pada masa depan. Mereka mampu untuk mengalami dan
bersama orang lain pada masa sekarang.
i. Menghargai pengaruh budaya: mereka menyadari tentang bagaimana budaya
mempengaruhi mereka dan menghargai perbedaan nilai dalam budaya lain.
Mereka sensitif terhadap perbedaan unik yang timbul dari kelas sosial, ras,
orientasi seksual dan gender.
j. Memiliki niatan tulus pada kesejahteraan orang lain: perhatian ini didasari pada
rasa hormat, peduli, percaya, dan menilai dengan benar pada orang lain.
k. Memiliki kemampuan interpersonal yang efektif: mereka mampu untuk
memasuki dunia orang lain tanpa kehilangan dunia mereka sendiri. Mereka
berusaha untuk menciptakan hubungan yang kolaboratif dengan orang lain.
l. Terlibat sangat dalam dalam pekerjaan mereka dan mendapatkan makna
darinya: mereka dapat menerima penghargaan mengalir dari pekerjaan mereka
tapi mereka juga bukan budak dari pekerjaan mereka.
m. Bergairah: mereka memiliki keberanian untuk mengejar mimpi dan semangat
mereka, mereka memancarkan aura energi.
n. Mampu untuk menjaga batas sehat: meskipun mereka mencoba untuk
sepenuhnya bersama dengan klien, mereka tidak membawa masalah klien
selama waktu luang mereka. Mereka tahu cara berkata tidak, yang mampu untuk
menjaga keseimbangan di diri mereka.
2. Terapi Personal Untuk Konselor
Terapi personal dirasa sangat menguntungkan konselor sebagai upaya untuk mendapat
pengalaman menjadi klien pada waktu tertentu. Pandangan ini didukung oleh
penelitian. Beberapa tipe eksplorasi-diri dapat meningkatkan level mawas diri.
Pengalaman ini dapat diperoleh sebelum pelatihan, saat pelatihan, atau saat keduanya.
Menurut Orlinsky, Norcross, Ronnestad dan Wiseman (dalam Corey, 2012)
mengungkapkan bahwa psikoterapi diri sendiri dari psikoterapis mendapatkan hasil
bahwa lebih dari 90% dari orang-orang profesional dari kesehatan mental merasa puas
dan mendapat keluaran positif dari pengalaman mengonseling diri sendiri. Kontribusi
dari terapi diri pada pekerjaan terapis profesional adalah : (1) sebagai bagian dari
pelatihan terapis, terapi personal memberikan model dari praktik terapi dimana peserta
pelatihan merasakan pekerjaan dari terapis yang lebih ahli dan belajar secara keahlian
mana yang membantu dan yang tidak; (2) sebuah pengalaman menguntungkan dalam
terapi personal dapat meningkatkan kemampuan interpersonal terapis yang sangat
penting untuk melakukan terapi dengan terampil; (3) terapi personal yang sukses dapat
berkontribusi pada kemampuan terapis untuk menghadap stress yang dikaitkan dengan
pekerjaan klinik.
3. Nilai Konselor dan Proses Terapi
a. Peran dari Nilai di Konseling
Nilai kita adalah kepercayaan inti yang mempengaruhi bagaimana kita bertindak,
baik di kehidupan profesional maupun personal. Nilai personal mempengaruhi
bagaimana kita melihat konseling dan sikap kita dimana kita berinteraksi dengan
klien, termasuk cara kita mengadakan asesmen pada klien, pandangan kita terhadap
tujuan konseling, intervensi yang kita pilih, topik yang kita pilih untuk didiskusikan
pada sesi konseling, bagaimana kita mengevaluasi proses dan bagaimana kita
menginterpretasikan situasi kehidupan klien.
Sebagai konselor kita harus menjaga diri dari kecenderungan untuk menggunakan
kekuatan kita pada klien untuk menerima nilai yang kita anut karena itu bukan
fungsi kita untuk mengajak klien untuk mengadopsi dan menerima sistem nilai kita.
b. Peran Nilai di Mengembangkan Tujuan Terapi.
Konselor memiliki tujuan umum, dimana tujuan itu akan terefleksi di perilaku
mereka selama sesi terapi, dalam pengamatan mereka pada perilaku klien, dan
dalam intervensi yang mereka lakukan. Tujuan umum dari konselor harus sesuai
dengan tujuan personal dari klien. Menetapkan tujuan itu sangat berkaitan dengan
nilai. Klien dan konselor harus mengeksplorasi apa yang mereka harap untuk
dicapai dari hubungan konseling, apakah itu mereka dapat bekerja satu sama lain
atau tujuan mereka yang sesuai. Bahkan yang lebih penting adalah sangat penting
bagi konselor untuk mengerti, menghormati dan bekerja dengan lingkungan kerja
dari dunia klien daripada memaksakan klien untuk sesuai di skema nilai terapis.

4. Menjadi Konselor Multikultural yang Efektif


Sebuah obligasi etikal bagi konselor untuk mengembangkan sensitifitas pada perbedaan
budaya jika mereka berharap untuk melakukan intervensi yang sesuai dengan nilai dari
klien. Terdapat bingkai kerja konseptual untuk kompetensi dan standar dalam
multikultural konseling. Diantaranya adalah:
1. Kepercayaan dan sikap: konselor harus mempercayai bahwa mawas diri kultural
mereka dan sensifitas terhadap kultur dan warisan mereka sangat penting untuk
membantu dalam berbagai bentuk. Konselor sadar pada reaksi positif dan negatif
terhadap orang yang berbeda ras dan suku yang dapat terbukti merugikan untuk
membangun hubungan membantu yang kolaboratif.
2. Pengetahuan: konselor memiliki pengetahuan tertentu. Mereka tahu dengan pasti
mengenai ras dan warisan budaya mereka sendiri dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi mereka secara personal maupun profesional. Karena mereka
mengerti tentang dinamika opresi, rasisme, diskriminasi, stereotipe, mereka berada
di posisi untuk mendeteksi perilaku, kepercayaan dan perasaan rasial.
3. Kemampuan dan strategi intervensi: konselor yang efektif memiliki beberapa
kemampuan dalam bekerja dengan populasi yang beragam budayanya. Konselor
memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi mengenai proses terapi,
termasuk menetapkan tujuan, menetapkan ekspektasi, hak legal dan orientasi
konselor.

4. Masalah yang Dihadapi oleh Terapis Pemula


a. Menghadapi kecemasan: cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mendiskusikan keraguan diri kita kepada yang lebih tinggi dan sesama.
Kemungkinannya besar untuk perubahan yang bermakna dan mendapat
dukungan dari sesama yang kemungkinan memiliki kecemasan yang sama.
b. Menjadi diri sendiri dan pengungkapan diri: jika kita mampu menjadi diri kita
sendiri dalam pekerjaan kita dan secara benar mengungkapkan reaksi di sesi
konseling, kita meningkatkan kemungkinan untuk menjadi otentik.
c. Menghindari Perfeksionisme: membuat kesalahan itu wajar dan memang akan
terjadi, tapi yang harus kita lakukan adalah terbuka dengan diri sendiri,
mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan itu.
d. Jujur terhadap batasan diri: butuh kejujuran mengenai diri sendiri bahwa tidak
semua hasil terapi akan berhasil, dan tidak semua klien dapat bekerja sama
dengan kita. Kita harus mempelajari kapan dan bagaimana untuk membuat
referral bagi klien yang dalam batasan kita tidak mampu untuk kita bantu.
e. Memahami diam: diam dalam sesi memiliki banyak makna, dan psikoterapis
harus mengerti arti dan makna dari diam ini. Diam ini dapat menenangkan
maupun dapat melegakan.
f. Menghadapi permintaan klien: menghadapi permintaan klien yang tidak
realistis seperti ingin selalu bertemu, berbincang lebih lama dari yang
seharusnya, melihat kehidupan sosial kita, dan memberikan jalan keluar dari
masalah mereka. Hal yang harus kita lakukan adalah menjelaskan tentang
ekspektasi dan batasan yang jelas selama masa dimulainya sesi konseling atau
di pengungkapan diri.
g. Menghadapi klien yang kurang komitmen: klien yang seperti ini biasanya
diharuskan terapi karena satu dan lain hal. Hal yang dapat kita lakukan adalah
membuat batasan yang jelas mengenai kepercayaan diri dan hal lainnya yang
dapat mempengaruhi terapi. Kemudian sangat penting adalah untuk
mempersiapkan mereka dalam proses.
h. Mentolerir ambiguitas: terapis harus memahami bahwa mungkin dan terkadang
klien terlihat seperti menjadi lebih buruk sebelum mereka menunjukkan
keuntungan terapi.
i. Sadar terhadap countertransference: psikoterapis harus menyadari mengenai
ancaman countertransference. Kita harus menetapkan batas dan tidak boleh
merasa kewalahan dengan pengalaman emosional klien. Konselor harus
mempelajari bagaimana cara ‘melepas klien’ sampai kita bertemu mereka lagi.
j. Membangun selera humor: selera humor dapat membuat seseorang menjadi
lebih lepas dan terbuka dengan kita dan membuat kita menjadi dekat dengan
klien kita.
k. Berbagi tanggung jawab dengan klien: sangat penting untuk memperingatkan
usaha klien untuk meminta kita memberikan saran tanggung jawab untuk
mengarahkan kehidupan mereka. Klien kebanyakan mencari jawaban sebagai
cara untuk melarikan diri dari kecemasan mereka untuk membuat keputusan.
Bukan tugas kita untuk memberikan saran kepada klien mengenai hidup
mereka.
l. Menolak memberikan saran: tugas kita adalah membantu klien untuk membuat
pilihan sendiri dan menerima konsekuensi dari pilihan mereka.
m. Menjelaskan peran sebagai konselor: fungsi sentral dari konselng adalah untuk
membantu klien menyadari kekuatan mereka, menemukan apa yang
menghambat mereka dari menggunakan sumberdaya mereka dan
mengklarifikasi hidup seperti apa yang mereka mau jalani
n. Belajar untuk menggunakan teknik dengan benar: mengandalkan teknik dapat
mengarahkan pada konseling mekanik. Yang menjadi penting dan yang efektif
adalah yang mampu untuk melibatkan hubungan terapi dan materi yang
disuguhkan.
o. Mengembangkan gaya konseling sendiri: buatlah gaya konseling yang unik dan
hindari meniru gaya dari atasan, terapis atau model lainnya.
p. Jaga vitalitas sebagai seseorang dan sebagai profesional: sebagai profesional
kita dituntut untuk selalu siap dalam menghadapi klien yang berbagai macam
jenisnya. Namun, kita sebagai manusia juga harus menjaga diri kita sendiri. Kita
tidak boleh terlalu terkekang dengan pekerjaan kita tapi kita juga tidak boleh
melalaikan pekerjaan kita. Menjaga mentalitas kita pun juga sangat penting.

Sumber:

Corey, G. (2012). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont:


Brooks/Cole

Anda mungkin juga menyukai