Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

Counseling terbukti sangat bermanfaat dan memiliki efek jangka panjang dalam fungsi
kehidupan. Bukti menunjukkan bahwa hubungan terapeutik yang kuat adalah prediktor utama
hasil positif bagi klien. Meskipun demikian, seringkali kita tergoda untuk mencari teknik atau
solusi luar yang mengagumkan, padahal hubungan terapeutik yang kuat dengan klien adalah
inti dari kesuksesan dalam konseling.

Buku "The Heart of Counseling" membahas bagaimana teknik konseling, pembelajaran


keterampilan dalam sesi, modalitas konseling, dan teori-teori terintegrasi dalam hubungan
terapeutik. Namun, yang paling penting adalah memahami bahwa hubungan terapeutik itu
sendiri memiliki kekuatan untuk menghasilkan perubahan positif bagi individu yang
membutuhkan bantuan. Beberapa konsep yang mendasari hubungan terapeutik adalah
pemahaman yang mengikat semua pekerjaan konselor, dan panduan ini membantu kita
melewati momen sulit dalam praktik konseling.

Dalam teks tersebut, terdapat dua konsep kunci utama, yaitu "Becoming" dan
"Self-Actualization".

1. Becoming adalah gagasan bahwa kita selalu berubah atau berkembang. Ini mencakup
pertumbuhan dan perubahan internal, baik secara fisik maupun psikologis. Teori
neuroplastisitas mendukung konsep ini, menunjukkan bahwa otak kita terus berubah seiring
dengan pertumbuhan dan pembelajaran baru. Penelitian juga menunjukkan bahwa ekspresi
gen dapat dipengaruhi oleh pengalaman interaktif, menunjukkan bahwa lingkungan dapat
memengaruhi perkembangan kita.

2. Self-Actualization adalah kecenderungan pembentukan atau aktualisasi diri yang unik bagi
setiap individu. Setiap orang memiliki jalur unik menuju eksistensi optimal, dan esensi unik ini
merupakan akar dari kemampuan seseorang untuk tumbuh dan berkembang dalam arah positif.
Dalam konteks ini, self-actualization dijelaskan sebagai proses positif, matang, dan unik yang
ada pada setiap individu. Analogi dengan pepohonan yang tumbuh kokoh dan menjadi simbol
aktualisasi diri memberikan pemahaman bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mencapai
keunggulannya sendiri.

3. When Blocks Come into One’s Path toward Self-Actualization and Ideal Maturity : Penulis
menggunakan analogi pohon ek yang terkena petir untuk menggambarkan bagaimana
pengalaman traumatis atau kurangnya kondisi yang diperlukan dapat menghalangi
perkembangan individu menuju potensi maksimalnya.

4. The Capacity for Awareness, to Reason, Question and Choose : Penulis menekankan
perbedaan antara manusia dan pohon ek dalam hal kemampuan kita untuk menyadari
keberadaan kita, memilih, dan bertanya. Kesadaran dan kemampuan ini memungkinkan kita
untuk memulihkan dan memulai kembali jalur menuju kematangan ideal.
5. Interpretation of Experience and Development of Self-Concept : Penulis menjelaskan bahwa
manusia sering kali menginterpretasikan pengalaman mereka dan mengembangkan konsep diri
berdasarkan interpretasi ini. Interpretasi ini dapat memengaruhi cara kita merespons dunia di
sekitar kita dan membentuk pola perilaku kita.

6. Awareness of Existence, Choice and Questions of Self-Worth merupakan bagian penting dari
pengembangan identitas manusia. Seiring dengan perkembangan, kita terus mencoba
menjawab pertanyaan inti seperti "Siapakah saya?", "Siapa yang ingin saya jadi?", dan
"Bagaimana saya berhubungan dengan dunia ini?"

7. Self-Responsibility is Anxiety-Provoking : Dari kesadaran akan pilihan, muncul kesadaran


akan tanggung jawab. Tanggung jawab seringkali dianggap sebagai kekuatan yang luar biasa
namun juga dapat menjadi beban yang berat dan menimbulkan kecemasan yang besar. Banyak
dari kita cenderung menyerahkan tanggung jawab atas pilihan kita kepada orang lain untuk
menghindari kecemasan yang sering muncul bersama tanggung jawab akan diri sendiri dan
tindakan kita.

8. Awareness of Aloneness : Penulis menyoroti pentingnya menghadapi kecemasan yang


terkait dengan tanggung jawab dan pilihan. Dengan memahami kecemasan ini, individu dapat
membuat keputusan yang bertanggung jawab dan memenuhi. Penulis menekankan bahwa
terapi dapat membantu individu menghadapi kecemasan ini dan membuat keputusan yang
memuaskan.

9. Emotions are Useful and Necessary for Growth : Dengan kesadaran akan diri sendiri, muncul
kesadaran akan pilihan. Dari kesadaran akan pilihan, muncul kesadaran akan tanggung jawab.
Tanggung jawab seringkali dianggap sebagai kekuatan yang luar biasa namun juga dapat
menjadi beban yang berat dan menimbulkan kecemasan yang besar. Banyak dari kita
cenderung menyerahkan tanggung jawab atas pilihan kita kepada orang lain untuk menghindari
kecemasan yang sering muncul bersama tanggung jawab akan diri sendiri dan tindakan kita.

10. Every Action is a Choice of Destiny : Setiap tindakan adalah pilihan takdir. Sebuah contoh
dari momen pilihan yang menarik perhatian terjadi dalam terapi bermain berpusatkan anak.
Dalam satu sesi terapi bermain, seorang anak laki-laki dengan riang menembakkan pistol
mainan ke seluruh ruangan. Ketika dia mengarahkan pistol mainan tersebut ke konselor, tanpa
menunjukkan rasa terkejut atau ketidaksetujuan, konselor dengan cepat dan tenang mengakui
keinginan si anak untuk menembakkan peluru mainan ke arahnya, namun menetapkan batasan
(dengan empati) terhadap perilaku tersebut. Setelah sedikit ragu, si anak tampak merenung,
namun dengan senyum kecil di wajahnya, dia mengarahkan pistol mainan ke arah konselor lagi.
Setelah merefleksikan pilihannya, konselor dengan tenang namun tegas menginformasikannya
bahwa jika dia menembakkan peluru ke arahnya lagi, sesi bermainnya akan berakhir untuk hari
itu. Si anak kemudian berpikir dengan sangat lama, saat mempertimbangkan apakah akan
mengarahkan pistol mainan ke arah konselor atau lampu langit-langit. Dalam momen tersebut,
pilihan sepenuhnya miliknya, dan dia bimbang antara menyakiti konselor atau tidak. Pilihan
kecilnya pada saat itu juga menentukan takdirnya, sebuah pilihan yang mendefinisikan siapa
dirinya dan siapa yang akan dia jadi.

11. The Internal World : terjebak pada fokus pada keadaan tragis atau tidak menguntungkan
dalam kehidupan klien, yang di luar kendali klien, dibandingkan dengan pilihan, perasaan, dan
pikiran sebagai respons terhadap keadaan tersebut, yang jauh lebih dapat dikendalikan oleh
klien. Meskipun klien di contoh sebelumnya mungkin mengalami kehidupan rumah yang kacau
atau penuh kekerasan, konselornya mungkin telah berupaya membawa perubahan dalam
kehidupan rumahnya melalui konsultasi dengan orang dewasa yang signifikan dalam hidupnya.
Namun, agar mencapai kemajuan yang optimal, fokusnya seharusnya pada siapa dia, apa yang
dia rasakan dan pikirkan, serta pilihan-pilihan yang dia buat dalam setiap momen. Lebih lanjut,
jika konselornya terus memikirkan masalah dan kekurangan dalam hidupnya, bahkan setelah
sesi berakhir, kemungkinan besar dia akan menjadi merasa putus asa. Sebaliknya, dengan
memberikan hubungan terapeutik yang kuat, dia dapat mengetahui daya tahannya dan
membantu dia kembali ke lingkungan rumahnya dengan menjadi lebih kuat dan mantap dalam
pilihan-pilihannya mengenai siapa dirinya dan siapa yang dia ingin jadi, terlepas dari bagaimana
perubahan lingkungannya. Dengan lebih memfokuskan perhatiannya pada usahanya untuk
memperkuat ketahanan dan pilihan-pilihan kliennya, sambil juga memengaruhi lingkungannya
bila memungkinkan, konselornya dapat merasa lebih termotivasi dan menjadi lebih efektif.

12. Locus of Control and Evaluation, and Being : Penulis menyoroti pentingnya menggeser
pusat kendali dan penilaian kita dari orang lain ke diri sendiri. Mereka menekankan nilai-nilai
kita berdasarkan keberadaan kita, bukan seberapa kita dibandingkan dengan orang lain.

BAB 2

Dalam tulisan Schuster (1979), tantangan mendengarkan secara efektif ditekankan, khususnya
dalam konteks konseling. Perlu dicatat bahwa meskipun orang mungkin percaya bahwa mereka
adalah pendengar yang baik dalam kehidupan pribadi mereka, mendengarkan terapeutik yang
sebenarnya adalah keterampilan yang langka. Anekdot digunakan untuk menyoroti bagaimana
individu cenderung menyela dengan solusi, anekdot pribadi, atau pertanyaan daripada
mendengarkan dengan tulus dalam waktu lama. Kurangnya perhatian mendengarkan
ditemukan lazim di kalangan siswa dan orang lain, dengan waktu mendengarkan yang khas
berkisar dari nol hingga beberapa menit.

Bab ini menekankan bahwa mendengarkan adalah aspek mendasar dari konseling, berbeda
dari interaksi sosial biasa. Mendengarkan secara terapeutik digambarkan sebagai keterampilan
utama konselor, karena melibatkan pemahaman dan refleksi komunikasi, situasi, dan
kepribadian klien. Proses ini berfungsi untuk menyampaikan minat yang tulus pada klien,
keinginan untuk memahaminya, dan upaya untuk memahami kedalaman dan seluk-beluknya.
Bab-bab selanjutnya akan mempelajari lebih dalam tentang ekspresi empati, yang
mengkomunikasikan pemahaman mendalam, berbagi emosi, dan ikatan pribadi dengan setiap
klien. Mendengarkan secara terapeutik dianggap sebagai langkah awal menuju pembentukan
hubungan yang empatik dan mendalam.
Kutipan tersebut menggambarkan seluk-beluk dan berbagai tingkat keterampilan refleksi dalam
konteks konseling, menekankan pentingnya memahami komunikasi, situasi, dan keadaan
emosi klien. Berbagai bentuk refleksi yang dibahas meliputi parafrase, identifikasi tema,
menghadapi kontradiksi, dan merangkum. Berikut adalah poin-poin penting dari teks tersebut:

1. Parafrase dan Ringkasan: Teks ini menyoroti bahwa parafrase dan ringkasan singkat
merupakan alat penting untuk mengomunikasikan upaya konselor dalam memahami klien.
Disarankan bahwa fokus pada pemahaman orangnya daripada kata-kata yang sempurna
sangatlah penting.

2. Tema: Refleksi pola atau tema dalam komunikasi klien dipandang sebagai tingkat refleksi
yang lebih tinggi. Dengan mengakui unsur-unsur yang berulang dalam narasi klien, konselor
dapat menunjukkan pemahaman mendalam tentang kekhawatiran klien tanpa menghakimi atau
memaksakan.

3. Menghadapi dan Menantang: Teks ini menyarankan bahwa refleksi dapat melibatkan
penanganan kompleksitas dan kontradiksi dalam komunikasi klien. Namun, hal ini
memperingatkan agar tidak memaksakan pandangan pribadi atau mengganggu proses
aktualisasi diri klien, menekankan pentingnya tetap fokus pada pemahaman daripada
menyampaikan poin.

4. Kesenjangan dan Kontradiksi: Merefleksikan kontradiksi dalam perkataan, tindakan, atau


bahasa tubuh klien dipandang sebagai bagian alami dari proses reflektif. Penting untuk
mempertahankan pendekatan non-konfrontatif untuk memastikan bahwa klien merasa
didengarkan dan dihormati.

5. Meringkas: Teks mendorong peringkasan alami berdasarkan pemahaman mendalam tentang


kepribadian dan konteks klien. Meringkas harus fokus pada klien sebagai pribadi daripada
sekadar menyatakan kembali informasi yang diberikan.

6. Pemahaman dan Koneksi Mendalam: Tujuan akhir dari refleksi adalah untuk membantu klien
memperoleh wawasan tentang diri mereka sendiri. Dengan merefleksikan persepsi diri klien
secara sensitif, konselor dapat membina hubungan terapeutik yang kuat yang dibangun atas
dasar empati dan pengertian.

1. Sifat komunikasi klien yang komprehensif mencakup ekspresi verbal dan nonverbal seperti
kata-kata, nada suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, bahkan jeda dalam berbicara, serta apa
yang masih belum terucapkan.
2. Refleksi terapeutik harus dilakukan dengan hati-hati dan sensitif, memastikan bahwa
konselor menjaga nada netral dan menghindari mendorong klien untuk mendiskusikan topik
sensitif.
3. Mendengarkan secara terapeutik yang efektif mencakup mengakui emosi atau ketakutan
yang tidak terucapkan, seperti yang diilustrasikan oleh refleksi tentatif konselor mengenai
ketakutan seorang remaja terhadap potensi kematian ibunya. Contoh ini menekankan
pentingnya mengenali kedalaman emosional di balik perkataan klien.
4. Respons konselor harus mencerminkan makna mendasar dari pertanyaan klien,
memperlakukannya sebagai pernyataan yang mengungkapkan perasaan batinnya. Dengan
merespons dengan cara ini, konselor mengakui emosi klien dan mendorong eksplorasi lebih
lanjut.
5. Isyarat non-verbal, seperti ekspresi wajah klien yang tidak selaras, dapat direfleksikan untuk
mendorong klien menggali lebih dalam perasaan dan pikirannya. Dalam kasus klien tersenyum
ketika mendiskusikan konflik kekerasan keluarga, refleksi konselor mendorong klien untuk
mengakui mekanisme kopingnya dalam menutupi emosi sebenarnya dengan senyuman.
6. Melalui refleksi yang terampil, konselor dapat dengan lembut menantang klien untuk
menghadapi kesenjangan antara keinginan mereka untuk berubah dan keraguan mereka untuk
mengambil tindakan. Dengan mengatasi kesenjangan ini, konselor mendorong klien untuk
mengeksplorasi akar permasalahannya
hambatan yang menghalangi mereka mencapai tujuan yang diinginkan.

Anjuran dan Larangan dalam Mendengarkan Secara Terapeutis Anda Berkomunikasi dengan
Tindakan Anda Dengan perilaku dalam daftar “yang harus dilakukan”, Anda berkomunikasi,
“Saya memahami apa yang Anda katakan kepada saya.” Yang lebih mendasar lagi, Anda
sedang berkomunikasi, “Saya mendengarkan”, “Saya berusaha untuk memahami.”
Melakukan:
• gunakan bahasa tubuh mendengarkan versi pribadi Anda;
• mencerminkan persepsi Anda tentang apa yang dikomunikasikan klien Anda;
• buatlah pernyataan deklaratif dalam refleksi Anda, jika Anda yakin bahwa Anda
memahaminya;
• membuat refleksi Anda sebagai pernyataan tentatif, ketika Anda tidak yakin apakah Anda
memahaminya;
• pertahankan refleksi Anda secara singkat, jika memungkinkan;
• fokuskan refleksi Anda pada poin utama klien Anda, atau hal-hal yang dikomunikasikan yang
tampaknya paling penting, paling sarat secara emosional bagi klien Anda; KETERAMPILAN
TERAPEUTIK YANG KAYA DAN HALUS
• bersiap dan menerima koreksi;
• menyela klien Anda dengan hati-hati untuk melakukan refleksi (pertimbangannya di sini
adalah: (1) Apakah interupsi untuk refleksi akan membantu klien Anda memperjelas
komunikasi, pikiran, perasaan? dan (2) Seberapa banyak komunikasi yang dapat Anda
refleksikan secara masuk akal dalam parafrase singkat, sebelumnya menjadi kewalahan?);
• keseimbangan yang cukup untuk mendorong komunikasi yang berkelanjutan, untuk terlibat
dan agar klien Anda merasakan keterlibatan Anda, tanpa menghambat komunikasinya dengan
interupsi yang terlalu sering;
• biarkan klien Anda memiliki sebagian besar keheningan.

Jangan:
• mengizinkan interupsi untuk refleksi guna membentuk hierarki di mana komunikasi Anda akan
tampak lebih penting daripada komunikasi klien Anda;
• mengajukan pertanyaan, kecuali dalam keadaan yang jarang terjadi, atau menyatakan refleksi
dengan nada bertanya.

1. Mendengarkan Bahasa Tubuh: Mendengarkan secara terapeutik melibatkan bahasa tubuh


yang unik dan individual, yang mencerminkan keasyikan konselor dalam komunikasi klien.
Sangat penting untuk menyadari bahasa tubuh Anda, baik saat fokus penuh pada pembicara
maupun saat perhatiannya teralihkan, untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan
yang efektif.

2. Merefleksikan Persepsi: Konselor harus memahami bahwa refleksi mewakili persepsi mereka
terhadap komunikasi klien, yang dibentuk oleh filter mental, pengaruh budaya, dan nuansa
bahasa klien sendiri. Frasa seperti "Saya mendengar Anda berkata" atau "Kedengarannya
seperti" membantu mengakui subjektivitas ini dan meningkatkan pemahaman yang lebih baik
antara konselor dan klien.

3. Refleksi Deklaratif: Jika maksud klien sudah jelas, refleksi harus bersifat langsung dan
deklaratif. Namun, bila maknanya tidak sepenuhnya jelas, refleksi tentatif dapat digunakan
untuk menyampaikan pemahaman, seperti "Sepertinya Anda paling terganggu oleh..." atau
"Saya mendapat gagasan bahwa...".

4. Menghindari Pertanyaan atau Nada Bertanya: Pertanyaan atau nada bertanya dalam refleksi
dapat menghambat aliran alami komunikasi klien dan dapat menunjukkan kurangnya
kepercayaan terhadap penilaian klien. Dengan menggunakan pendengaran terapeutik dan
menahan diri dari pertanyaan, konselor dapat mendorong klien untuk mengekspresikan diri
mereka secara bebas, meningkatkan hubungan terapeutik yang lebih kuat dan menumbuhkan
kepercayaan diri dan pemberdayaan. Ketika potensi bahaya sudah dekat, konselor dapat
menilai situasi sambil mempertahankan sikap hormat dan empati, seperti yang dibahas dalam
Bab 10.

5. Less is More: Mendengarkan secara terapeutik mendapat manfaat dari refleksi ringkas yang
menangkap kebenaran tanpa mempercepat prosesnya.

6. Refleksi Verbatim: Meskipun tampak bergema, refleksi verbatim, terutama dengan empati,
dapat efektif dalam memunculkan emosi dan memperjelas pengalaman klien.

7. Fokus pada Poin Utama: Pilih dan refleksikan bagian komunikasi klien Anda yang paling
emosional atau bermakna untuk mendorong dialog lebih lanjut.

8. Terima Koreksi: Terbuka terhadap koreksi dari klien, karena perspektif dan pemahaman
mereka harus memandu proses terapeutik.

9. Interupsi dan Keseimbangan: Meskipun ada potensi ketidaknyamanan, interupsi untuk


refleksi diperlukan untuk mendengarkan terapeutik yang efektif. Seimbangkan kebutuhan untuk
berefleksi dengan memungkinkan klien berkomunikasi secara bebas.
10. Keheningan itu Penting: Izinkan klien untuk memiliki sebagian besar keheningan, karena
mereka dapat menggunakan momen ini untuk memproses emosi atau pikiran. Hindari perasaan
terdorong untuk mengisi setiap keheningan.

11. Belajar dari Kesalahan: Kesalahpahaman mungkin terjadi, namun hal ini menawarkan
kesempatan untuk belajar dan meningkatkan pendekatan terapeutik Anda.

Mendengarkan secara terapeutik berbeda secara signifikan dari percakapan sehari-hari dengan
teman dan keluarga, karena ini melibatkan pendekatan unik yang mendorong klien untuk fokus
pada pengalaman dan emosi mereka sendiri, daripada mencari nasihat atau kepastian. Dalam
mendengarkan secara terapeutik, peran konselor adalah menyediakan lingkungan yang
mendukung dan tidak menghakimi, memungkinkan klien mengeksplorasi perasaan dan
pikirannya tanpa interupsi atau pengalihan.

Bentuk mendengarkan ini berhasil karena mendorong klien untuk menghadapi kecemasan dan
pergumulan emosional mereka, menumbuhkan kesadaran diri dan pertumbuhan pribadi.
Dengan tetap hadir dan penuh perhatian, konselor memfasilitasi proses penemuan diri dan
pemberdayaan, dimana klien dapat mengungkap emosi yang tersembunyi, mendapatkan
wawasan tentang perilaku mereka, dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tujuan mendengarkan terapeutik bukan sekadar
memberikan wawasan atau analisis tetapi untuk menciptakan ruang bagi klien untuk
mengeksplorasi pengalaman dan emosinya secara bebas.

Mendengarkan sebagai seorang konselor pemula dapat menimbulkan beberapa tantangan,


termasuk pemikiran-pemikiran umum yang mengganggu, keinginan untuk segera
menyelesaikan masalah, dan kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
informasional yang berkaitan dengan kepentingan pribadi. Berikut adalah poin-poin penting
yang perlu dipertimbangkan:

1. Mendengarkan Kepada Pembicara: Menenangkan pikiran selama sesi sangatlah penting,


karena pikiran-pikiran yang sering mengganggu dapat mengalihkan perhatian konselor pemula
dari mendengarkan klien mereka secara aktif.

2. Pentingnya Refleksi: Mencerminkan poin utama klien atau komunikasi yang bermuatan
emosional sangatlah penting. Percayai naluri emosional Anda dan ingatlah bahwa memahami
pengalaman klien adalah hal yang terpenting.

3. Memastikan Kesejahteraan Klien: Fokus pada mendengarkan dan memahami pengalaman


klien Anda untuk mengukur kesejahteraan mereka daripada berspekulasi tentang perasaan
mereka terhadap Anda.
4. Tantangan Mendengarkan Terapeutik: Mendengarkan secara terapeutik mungkin awalnya
terasa canggung, namun dengan latihan dan niat yang tulus, hal itu menjadi lebih alami dan
nyaman.

5. Menolak Desakan untuk Memberikan Perbaikan Cepat: Hindari godaan untuk memberikan
solusi segera, karena tujuan mendengarkan terapeutik adalah untuk memberdayakan klien
untuk menemukan solusi mereka sendiri.

6. Menangani Ekspektasi Klien: Akui keinginan klien untuk perbaikan cepat sambil membimbing
mereka dengan lembut menuju proses terapeutik dan manfaat eksplorasi lebih dalam.

7. Menghindari Kepentingan Pribadi: Jangan mengajukan pertanyaan berdasarkan kepentingan


pribadi dan fokuslah untuk memungkinkan klien berbagi pengalaman sesuai keinginan mereka.

8. Kisah yang Memberdayakan Klien: Memahami bahwa setiap cerita yang diceritakan klien,
meskipun tampaknya tentang orang lain, pada akhirnya mencerminkan pengalaman dan emosi
mereka sendiri.

9. Kembali ke Komunikasi Penting: Daripada mengarahkan klien kembali ke topik tertentu,


gunakan pernyataan reflektif untuk mendorong mereka mengeksplorasi apa yang tampaknya
penting secara emosional bagi mereka.

Dalam konteks mendengarkan secara terapeutik, penting untuk memahami bahwa setiap tugas
lain dalam konseling harus melengkapi dan meningkatkan praktik mendengarkan secara aktif,
bukan menggantikannya. Berikut adalah poin-poin penting yang perlu dipertimbangkan:

1. Tugas Pelengkap: Keterampilan konseling lainnya seperti mengalami dan mengekspresikan


empati, mempertahankan penghargaan positif tanpa syarat, dan mengelola krisis harus
dipraktikkan sebagai tambahan dari mendengarkan terapeutik, bukan sebagai alternatif.

2. Mendorong Latihan Lebih Lanjut: Terlibat dalam aktivitas untuk meningkatkan keterampilan
mendengarkan terapeutik Anda, seperti mengulangi aktivitas fokus, berlatih mendengarkan
terapeutik secara real-time dengan teman, dan menerima umpan balik untuk perbaikan.

3. Refleksi Diri: Buatlah jurnal atau tulis esai yang mengeksplorasi kemungkinan kesulitan dan
kekuatan dalam pengembangan pendengaran terapeutik Anda. Berikan contoh spesifik dan
pertimbangkan faktor pribadi yang mungkin memengaruhi kinerja Anda.

4. Tinjauan Tujuan: Terus tinjau dan praktikkan tujuan keterampilan utama sampai Anda merasa
yakin dengan penguasaan Anda, memahami bahwa kesempurnaan mungkin tidak dapat
dicapai tetapi peningkatan berkelanjutan sangat penting.

BAB 3
Dalam pengantar bab "Berjuang untuk Empati", penulis menekankan kompleksitas empati,
menyoroti tantangan yang ada dalam mengembangkan dan mengekspresikannya. Mereka
membedakan empati dari simpati dan menjelaskan bahwa ini bukanlah proses berpikir
melainkan kejadian alami yang dapat dihambat oleh rasionalisasi yang berlebihan. Mereka
mendorong pembaca untuk menghilangkan hambatan empati daripada mencoba
mengembangkannya dari awal. Selain itu, mereka menggarisbawahi pentingnya mengalami
empati tanpa kehilangan kesadaran diri.

Seluk-beluk empati dibahas lebih lanjut, menekankan pentingnya merasakan secara mendalam
apa yang dialami orang lain dalam konteks kehidupan unik mereka. Bab ini menyoroti
pentingnya memasuki dunia pribadi orang lain dan sepenuhnya mengalami emosi, pikiran,
keyakinan, persepsi, dan tindakan mereka. Konsep "empati yang mendalam" diperkenalkan,
yang melibatkan pemahaman emosi, keinginan, dan konflik yang tidak terucapkan yang
mendasari komunikasi seseorang. Para penulis menekankan bahwa empati adalah hal yang
memberikan kekuatan mendengarkan terapeutik, membedakannya dari sekadar parafrase dan
menekankan peran sentralnya dalam proses konseling.
Sampel literatur yang diberikan menyoroti peran penting empati dalam bidang konseling dan
seterusnya. Hal ini dimulai dengan mengakui karya perintis Carl Rogers dalam
memperkenalkan empati sebagai kondisi inti konseling. Sejumlah penelitian dan ulasan,
termasuk yang dilakukan oleh Orlinsky dan Howard, Bergin dan Lambert, dan lainnya,
menegaskan hubungan penting antara persepsi empati klien dan hasil positif dalam konseling.
Meta-analisis lebih lanjut menekankan dominasi empati dalam menjelaskan keberhasilan
konseling, terlepas dari orientasi teoritis atau format pengobatan.

Literatur juga menggambarkan beragam penerapan empati di berbagai lingkungan, seperti


pendidikan, layanan kesehatan, resolusi konflik, dan terapi keluarga. Contohnya termasuk
pentingnya empati dalam hubungan guru-siswa, dinamika mentor-anak didik, perawatan medis,
dan interaksi orang tua-anak. Diskusi ini mencakup pentingnya hal ini dalam meningkatkan
ketahanan di kalangan anak-anak, menumbuhkan harga diri remaja, dan meningkatkan
hubungan perkawinan melalui pendekatan seperti terapi anak dan peningkatan hubungan.

Secara keseluruhan, literatur menggarisbawahi peran sentral empati dalam membangun


hubungan terapeutik yang kuat dan implikasinya yang lebih luas untuk meningkatkan
kesejahteraan dan pemahaman dalam berbagai konteks interpersonal.

Mengapa empati itu kuat


1. Menghubungkan pada Inti dan Mengubah Persepsi Diri: Empati memungkinkan klien
mengeksplorasi ketakutan terdalam mereka dan mengungkap jati diri mereka, menantang
persepsi diri negatif dan memupuk penerimaan diri.

2. Bergabung dalam Perjalanan yang Menakutkan: Empati memberi klien dukungan dan
kepastian yang mereka perlukan untuk menggali ketakutan dan emosi batin mereka, memupuk
rasa persahabatan dan kepercayaan.
3. Kesadaran Diri: Melalui interaksi empati, klien menjadi lebih selaras dengan pengalaman
internal mereka dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang proses emosional dan
pola pikir mereka.

4. Pengalaman Diri: Empati memungkinkan klien untuk sepenuhnya mengalami dan


memproses emosi mereka, sehingga mengarah pada kesadaran yang lebih besar akan
perasaan dan motivasi mereka sendiri serta memfasilitasi pertumbuhan dan perubahan pribadi
yang bermakna.

5. Hubungan yang Sangat Berbeda—Persepsi Diri yang Menantang: Kelangkaan dan


kedalaman empati dapat menantang prasangka klien tentang diri mereka sendiri dan hubungan
mereka, mendorong mereka untuk menilai kembali persepsi diri yang negatif dan menerima
perspektif baru yang memberdayakan.

6. Kegembiraan dalam Berhubungan: Empati dapat membangkitkan perasaan gembira dan


pengakuan pada klien, menumbuhkan rasa benar-benar dipahami dan diterima, serta
memberdayakan mereka untuk mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya tanpa takut
dihakimi.

7. Komunikasi dan Koneksi Lebih Lanjut: Empati mendorong klien untuk lebih terbuka dan
berbagi pengalaman, pemikiran, dan perasaan mereka, membina hubungan dan kepercayaan
yang lebih kuat antara konselor dan klien serta memungkinkan eksplorasi dan pertumbuhan
yang lebih dalam.

Hambatan terhadap Empati:

1. Kebiasaan: Ketergantungan masyarakat modern pada gangguan dan penggunaan penalaran


yang berlebihan dapat menghambat perkembangan empati, sehingga mencegah individu untuk
sepenuhnya mengalami dan memahami emosi mereka sendiri dan orang lain.

2. Takut terhadap Perasaan: Pemrograman sosial dan pengalaman pribadi dapat menyebabkan
ketakutan mengalami emosi yang kuat, menyebabkan individu menghindari kerentanan dan
ekspresi emosional, sehingga menghambat perkembangan hubungan empati.

3. Tanggung Jawab yang Disalahartikan: Konselor mungkin secara keliru percaya bahwa
mereka bertanggung jawab untuk meringankan rasa sakit klien mereka, sehingga
menyebabkan keengganan untuk terlibat dalam hubungan empati yang mendalam dan
berpotensi menghambat eksplorasi dan pertumbuhan emosional.

4. Melepaskan Kendali: Takut kehilangan lanjutan mengendalikan emosi sendiri dan kebutuhan
untuk mempertahankan rasa kendali dapat menghambat perkembangan empati, menghalangi
individu untuk terhubung sepenuhnya dengan orang lain dan mengalami emosi mereka pada
tingkat yang lebih dalam.
BAB 4
Ways to Express Empathy:

1. **Matching the Client's Tone:** Reflecting the client's tone of expression through the
counselor's voice, pace of speech, and emotional resonance, establishing a sense of emotional
connection and understanding.

2. **Facial Expression and Body Language:** Allowing natural facial expressions and body
language to mirror the client's emotions, creating a nonverbal empathetic connection and
demonstrating a deep understanding of the client's experiences.

3. **The Most Overt Means—Words:** Using verbal language to name and acknowledge the
client's feelings, providing a clear and direct expression of empathy that reassures the client of
the counselor's understanding and acceptance. However, it's important to avoid overthinking
and focusing too much on verbal expression, as it might hinder the natural flow of empathy and
connection.

Dos and Don'ts of Expressing Empathy:

Do:
- Focus primarily on the client's emotions, thoughts, and actions.
- Strive to feel what the client feels rather than trying to think of what they feel.
- Express empathy naturally through words, tone, facial expressions, and body language.
- Use declarative statements to state empathy when reasonably sure.
- Utilize reflections to restate client feelings and underlying thoughts clearly and concisely.
- Reflect themes of personal meaning implied in client communication.
- Be prepared for and accept corrections of your empathy.

Don't:
- Let your words for what you feel with the client sound like assessments.
- Respond with a hidden agenda of what you believe the client should realize.
- Dominate the conversation by doing most of the talking.
- Make "me too" or "must feel" statements.
- Shy away from reflecting implied or emerging communication.
- Be afraid to confront contradictions in the client's experience, feelings, thoughts, words, and
actions.

To express empathy effectively in counseling, keep in mind the following key points:

Focus primarily on the client's emotions: Emotions should be your main area of focus when
expressing empathy. Understand and connect with the client's emotional experiences as they
are central to building a meaningful connection.
Strive to feel with your client: Make empathizing with the client your primary goal. Avoid getting
caught up in analytic thoughts, concerns about your responses, or client satisfaction. Genuine
emotional connection is at the core of your work.

Express empathy through various channels: Empathy can be conveyed through words, tone,
facial expressions, and body language. Natural and spontaneous expressions of empathy can
be as powerful as verbal statements.

Use words to reflect emotions: Employ feeling words to convey empathy, such as "You feel so
mad about this" or "Now you are really hurting." Tone and metaphors can also effectively convey
shared feelings.

State your empathy clearly but tentatively: Express empathy through declarative statements
when you are confident about the client's emotions. Use more tentative language when you are
less certain. Avoid using questioning tones.

Use reflections to clarify emotions and thoughts: Clients may have difficulty articulating their
feelings, while you can perceive their emotions more clearly. Use this ability to help them
recognize and understand their emotions more precisely.

Reflect unspoken communication cues: Acknowledge non-verbal cues like tone, facial
expressions, and body language that imply your client's feelings. This holistic approach to
empathy allows for a deeper understanding.

Reflect recurring themes: Identify and reflect themes in your client's communication, providing
insights into their values and self-perceptions. Recognize the potential downsides of these
themes while promoting self-acceptance and personal growth.

Don't be afraid to confront: If you notice inconsistencies or challenging aspects of your client's
experiences, gently confront them with empathy. This can lead to deeper self-understanding and
personal growth.

Be prepared for and accept corrections: Mistakes in empathetic understanding can occur, and
it's essential to accept corrections from clients without justifying initial interpretations. This
process fosters an open dialogue and encourages clients to share their thoughts and emotions
more openly.

Avoid sounding like assessments: Use feeling words as a shorthand to express what you are
feeling with your client, rather than trying to find the "correct" word for what your client feels.
Assessments hinder useful client expression and can be disempowering.

Don't respond from a hidden agenda: Ensure that your empathy is not clouded by your own
agendas or preconceived solutions. Avoid simplifying your client's dilemmas or believing that
one emotional realization will swiftly relieve their suffering. Stay focused on understanding your
client.

Limit your talking: In empathetic responses, be precise and concise. Emotions do not require
extensive explanations or justifications. Listening for emotions requires fewer words compared
to listening for content. Let your client do most of the talking.

Avoid "me too" or "must feel" statements: Refrain from telling your clients what you have felt in
similar situations or making assumptions about what they must feel. Statements like, "That must
really hurt" can be misleading and suggestive. Focus on understanding your client's unique
emotions and reactions.

Use tentative phrasing if necessary: If you are very unsure about your client's feelings, you can
use very tentative language like, "I imagine that you feel hurt." This keeps the focus on your
effort to understand your client's unique experience.

In order to enhance your ability to express empathy effectively, consider the following nuances:

1. Remain animated, natural, and spontaneous: Avoid overthinking and trying too hard to
respond perfectly, as it may hinder your ability to genuinely empathize. Trust your intuition and
make judgments that are unique to each client and situation.

2. Adjust the tone of your response: Match the emotional intensity in your tone to that of your
client's, but be aware of any exceptions. If your client denies their emotions, consider toning
down your response, and if your client tends to understate their feelings, use a slightly stronger
tone to encourage emotional expression.

3. Understand the range of response options: You can respond to implied emotions with either
content reflection or direct empathy. Both approaches can be effective in helping your client
recognize and explore their emotional experiences.

4. Prepare to respond to unpleasant emotions: Be ready to address unpleasant emotions, even


if they challenge your own beliefs or comfort level. Cultivate self-awareness to handle strong
emotional currents without losing yourself, and temporarily set aside personal convictions to
empathize fully with your clients.

5. Discern when to respond to emotions and when to focus on content: Your responses should
be guided by your client's reactions. Watch for signs of intensified emotions to gauge whether to
emphasize emotional understanding or allow your client to express their story more fully.

6. Address a range of issue areas: Allow your empathic approach to naturally address various
aspects of your client's life, including behavioral, cognitive, affective, and interpersonal issues.
Avoid overthinking during sessions and maintain a focus on understanding the client's
experiences.
7. Minimize probing: Instead of probing for hidden concerns, trust the empathic listening process
to guide clients toward communicating their needs. Avoid disempowering the client and the
empathic listening process by refraining from unnecessary probing.

Expressing empathy in counseling can be challenging due to various difficulties. It's important to
be aware of these obstacles and develop strategies to overcome them. Here are some common
difficulties in expressing empathy and ways to address them:

1. Thinking of the word rather than feeling with the client: Focusing too much on labeling
emotions can hinder the empathetic connection. Allow the expression of empathy to flow
naturally without fixating on specific feeling words.

2. Trying too hard to get it right: Worrying about being wrong can impede the empathetic
process. Understand that errors are a part of the learning journey and that striving for perfect
understanding is not always achievable.

3. Limited vocabulary for feelings: Having a restricted emotional vocabulary may limit your ability
to express empathy. Cultivate openness to feelings and gain more experience in expressing
empathy to expand your emotional expression.

4. The problem with claiming understanding: Avoid stating "I understand" or "I feel what you
feel" without expressing the specific understanding or experience. Acknowledge the limitations
of your perspective and focus on genuine emotional connection.

5. Personal confidence and trust in the counseling process: Doubting the power of empathy in
counseling may stem from self-doubt. Build confidence by seeking ongoing support from
like-minded counselors and engaging in self-discovery and acceptance.

6. Lack of unconditional positive regard: Overwhelming critical reactions or possessive positive


regard can hinder the empathetic process. Strive to cultivate unconditional positive regard,
allowing for genuine empathy and understanding.

BAB 5
Dalam bab ini, penulis mengeksplorasi tantangan dalam menjaga sikap positif orang lain secara
konsisten dan wajar. Mereka mengakui bahwa sulit untuk mempertahankan penghargaan positif
yang konsisten, baik dalam konseling maupun dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mereka
menekankan pentingnya memandang klien sebagai upaya untuk mengaktualisasikan diri, yang
dapat membantu konselor memandang mereka secara positif.

Para penulis juga membahas hubungan antara empati dan penghargaan positif tanpa syarat,
dengan menganggapnya sebagai satu kesatuan. Mereka berpendapat bahwa kedua kualitas ini
bekerja sama secara lebih kuat dibandingkan secara terpisah. Mereka menyoroti bagaimana
Carl Rogers memperkenalkan pentingnya kualitas-kualitas ini dalam profesi penolong dan
bagaimana kualitas-kualitas ini sekarang diterima secara luas sebagai hal yang penting untuk
keberhasilan hasil konseling.

Konsep penghargaan positif tanpa syarat dapat menjadi tantangan untuk dipahami dan
diterapkan, karena konsep ini berbeda-beda untuk setiap orang. Penulis bertujuan untuk
membuat konsep-konsep ini lebih nyata, membantu konselor mengembangkan kapasitas
mereka untuk menerima penghargaan positif tanpa syarat dan menemukan cara unik mereka
untuk mengkomunikasikannya.

Penghargaan Positif Tanpa Syarat (UPR), sebagaimana didefinisikan oleh Carl Rogers,
melibatkan kehangatan, penerimaan, dan penghargaan terhadap klien. UPR merupakan
kepedulian yang tulus dan mendalam terhadap klien, tidak bergantung pada perilakunya atau
memenuhi harapan tertentu. Ini menghargai kemanusiaan klien dan menerima emosi mereka,
baik positif maupun negatif. Penerimaan ini sangat penting untuk mendorong perubahan dan
penemuan diri klien. Ini bukan tentang setuju dengan klien tetapi mengakui perasaan dan
pengalaman mereka.

UPR tidak bersyarat; itu tidak mengharuskan klien untuk memenuhi harapan tertentu. Hal ini
bukanlah penolakan atau pelepasan diri, dan tidak dilakukan dengan maksud menyukai atau
berpura-pura bersama klien. UPR merupakan penerimaan yang tulus dan tidak posesif
terhadap klien, emosi dan ekspresi mereka, serta merupakan sikap hangat dan peduli yang
menghargai keunikan setiap individu.

Penghargaan Positif Tanpa Syarat (UPR) dianggap sebagai aspek yang kuat dan mendasar
dari konseling dan terapi yang efektif. Penelitian dan literatur mendukung pentingnya UPR baik
sebagai faktor individu maupun sebagai bagian dari kondisi inti konseling. UPR telah dikaitkan
dengan keberhasilan terapi dan hasil positif bagi klien.

UPR dipandang sebagai faktor kuratif dan dikaitkan dengan hasil terapi yang baik dan
menegaskan nilai pribadi klien. Hal ini dianggap sebagai kualitas utama yang dibutuhkan dalam
berbagai hubungan bantuan di luar konseling tradisional, termasuk interaksi kustodian,
kepemimpinan spiritual, pelayanan pastoral, pendidikan kesehatan, dan banyak lagi.

Kekuatan UPR terletak pada bagaimana individu merespons rasa hormat positif yang hangat
dan tulus dari orang lain. Hal ini dapat membuat klien melihat dirinya secara lebih positif,
menerima diri sendiri, merasa berdaya, mengurangi pertahanan diri, dan terdorong untuk
mengeksplorasi diri lebih dalam. Bahkan ketika klien bereaksi terhadap UPR dengan perasaan
seperti rasa bersalah, hal ini dapat menjadi kesempatan berharga untuk refleksi diri dan
pertumbuhan, terutama bila dihadapkan dengan empati.

Intinya, UPR menciptakan lingkungan yang mendukung bagi klien untuk membuka diri, terlibat
dalam penemuan diri, dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka.
Teks ini menyoroti beberapa poin penting mengenai hubungan antara penerimaan diri,
penghargaan positif tanpa syarat (UPR), dan proses konseling:

1. Penerimaan dan Perubahan: Paradoks Rogers tentang penerimaan diri dan perubahan
menunjukkan bahwa perubahan sejati hanya dapat terjadi ketika seseorang menerima dirinya
sepenuhnya. Penerimaan diri adalah prasyarat untuk pertumbuhan dan transformasi pribadi.

2. UPR dan Ekspresi Emosional: UPR memungkinkan individu untuk mengekspresikan emosi
mereka secara bebas, termasuk emosi yang mungkin mereka sembunyikan karena takut
dihakimi atau ditolak. Kebebasan berekspresi ini menumbuhkan kesadaran diri dan penemuan
diri.

3. Efek Pemodelan: Praktik UPR yang konsisten dari konselor dapat menginspirasi klien untuk
menerima diri mereka sendiri secara lebih utuh. Lingkungan yang tidak menghakimi dan
mendukung yang diciptakan melalui UPR memfasilitasi eksplorasi diri sejati dan mendorong
penerimaan diri.

4. Lingkungan Aman: Empati dan UPR berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman
untuk eksplorasi diri dan pengungkapan diri. Klien lebih cenderung terbuka dan berbagi
pengalaman ketika mereka merasa diterima dan dihargai oleh konselornya.

5. Pentingnya UPR: UPR ditekankan sebagai unsur penting dalam mendorong penemuan diri
dan pertumbuhan pribadi. Hal ini mendorong klien untuk merefleksikan pengalaman, emosi, dan
keinginan mereka, yang mengarah pada pengambilan keputusan yang matang dan perubahan
positif dalam hidup mereka.

6. Koneksi dan Penghargaan: UPR membantu individu membangun koneksi dan menjalin
hubungan yang bermakna. Baik konselor maupun klien merasakan kegembiraan dan kepuasan
melalui proses ini, yang mengarah pada pertumbuhan pribadi dan profesional bagi kedua belah
pihak.

Teks tersebut membahas nuansa mengkomunikasikan hal positif tanpa syarat (UPR) dalam
konseling, menekankan how UPR dapat dikomunikasikan dan disalahpahami:

1. Tantangan dalam Berekspresi Langsung: Menyatakan UPR secara langsung dapat menjadi
tantangan dan mungkin tidak selalu efektif, karena mungkin disalahartikan atau terkesan tidak
tulus. Selain itu, menyatakan UPR secara eksplisit mungkin memerlukan penjelasan, sehingga
berpotensi melemahkan dampak dan keasliannya.

2. Persepsi terhadap UPR: Klien pada umumnya dapat mempersepsikan UPR melalui tindakan
konselor, empati yang tulus, dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada kesalahan
persepsi mengenai pandangan konselor, dialog terapeutik dan refleksi dapat membantu
memperjelas dan mengatasi kekhawatiran ini.
3. Ekspresi UPR: Mengekspresikan UPR melibatkan penerimaan semua ekspresi klien secara
setara, tanpa bias atau penilaian. Menerima koreksi dari klien dan menunjukkan kesediaan
untuk memahami perspektif mereka lebih lanjut menandakan penghargaan positif tanpa syarat
dari konselor.

4. Indikator UPR: Isyarat fisiologis dan perilaku klien, terutama anak-anak, dapat mengungkap
dampak UPR. Indikator-indikator ini meliputi pernafasan yang rileks, ketegangan bahu yang
berkurang, dan rasa aman, memungkinkan klien untuk mengekspresikan diri mereka secara
lebih terbuka dan otentik.

Teks ini menyoroti hambatan-hambatan umum yang dapat menghambat ekspresi penghargaan
positif tanpa syarat (UPR) dalam konseling:

1. Memiliki Agenda untuk Klien: Ketika konselor mempunyai agenda yang kuat agar kliennya
berubah atau berkembang, hal ini akan memberikan kondisi yang positif bagi mereka. Mencoba
mempercepat proses konseling demi efisiensi juga dapat dilihat sebagai sebuah agenda, dan
hal ini mungkin secara tidak sengaja memperlambat kemajuan klien. Teks tersebut
menyarankan bahwa mengupayakan UPR, empati, dan mendengarkan secara terapeutik tanpa
agenda adalah pendekatan yang paling terhormat dan efektif.

2. Konselor Percaya Mereka Tahu Lebih Baik: Beberapa konselor mungkin mendekati klien
dengan keyakinan bahwa mereka sepenuhnya memahami kompleksitas mereka dan dapat
menentukan perilaku tertentu untuk sukses dan bahagia. Pendekatan ini dapat mengarah pada
penerimaan bersyarat, yang menyiratkan bahwa penerimaan bergantung pada klien yang
melakukan perubahan sebagaimana ditentukan. Teks ini memperingatkan terhadap keyakinan
ini dan menyarankan bahwa manusia dan masalahnya tidak sesederhana yang terlihat.
Konselor harus menahan keinginan untuk “memperbaiki keadaan” dan sebaliknya menerima
kompleksitas perjalanan klien.

1. **Definisi Burnout:** Burnout ditandai dengan perasaan putus asa, frustrasi, dan terputusnya
hubungan dengan klien, sering kali timbul dari rasa tidak efektif atau ketidakmampuan
mencapai kemajuan klien yang diinginkan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kelelahan
termasuk pelatihan yang buruk, pendekatan konseling yang tidak efektif, dan melayani populasi
klien yang menantang.

2. **Dampak Kelelahan:** Kelelahan dapat mengarah pada keadaan "pengabaian positif tanpa
syarat", yang membuat konselor menjadi tidak terlibat dan tidak mampu memberikan
penghargaan positif tanpa syarat yang tulus. Keadaan ini dapat menghambat proses terapeutik
dan menghambat keterlibatan klien secara efektif.

3. **Cara Mencegah Kelelahan:**


- Hilangkan agenda dan asumsi pribadi tentang klien, berusahalah untuk bertemu setiap
klien dengan penghargaan positif tanpa syarat, empati yang mendalam, dan mendengarkan
secara terapeutik.
- Meneliti dan mengukur efektivitas pekerjaan konseling untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang kemajuan dan dampak yang dicapai, bahkan dalam situasi klien yang
menantang.
- Mengutamakan perawatan diri berdasarkan penerimaan diri, bukan semata-mata prestasi,
dan mencari dukungan sosial dari teman sebaya dan kolega untuk menjaga sikap positif
terhadap profesi konseling.
- Gabungkan periode istirahat dan rekreasi, dengan fokus pada aktivitas yang
mendatangkan kegembiraan dan kesenangan, untuk mengimbangi tuntutan pekerjaan
konseling.
- Pertimbangkan perspektif yang lebih luas mengenai peran seseorang dalam proses
aktualisasi diri kolektif dalam hidup, dengan merangkul rasa keterhubungan dengan
keseluruhan yang lebih besar untuk peremajaan spiritual dan kepuasan pribadi.

Teks ini membahas berbagai faktor yang dapat menghambat praktik penghargaan positif tanpa
syarat dalam konseling, antara lain:

1. **Kurangnya Penerimaan Diri:** Kesulitan dalam menerima orang lain sering kali dikaitkan
dengan kurangnya penerimaan diri. Para penulis menekankan pentingnya upaya untuk
menerima diri sendiri tanpa syarat, yang selanjutnya dapat meningkatkan kapasitas seseorang
untuk menerima orang lain dengan cara yang sama.

2. **Konselor Berusaha Memenuhi Kebutuhannya Sendiri Melalui Klien:** Konselor harus


menghindari pencarian penghargaan, kebutuhan untuk dibutuhkan, atau keinginan untuk terlihat
berguna dan efektif melalui kliennya, karena kecenderungan ini dapat mengarah pada hal
positif bersyarat menghormati dan menghambat kemajuan klien yang sebenarnya.

3. **Pikiran Analitik:** Konselor dengan pikiran analitis yang tinggi mungkin kesulitan menerima
ekspresi klien yang tidak secara eksplisit bersifat simbolis atau bermakna mendalam.
Kecenderungan ini dapat menimbulkan penerimaan bersyarat, menghambat ekspresi diri klien
dan menghambat proses terapeutik.

4. **Tantangan dengan Klien yang Sulit:** Bertemu dengan klien yang sulit atau kasar dapat
menimbulkan peluang Tunities untuk pertumbuhan pribadi dan profesional. Para penulis
menekankan pentingnya mempertahankan penghargaan positif tanpa syarat, empati yang
mendalam, dan mendengarkan secara terapeutik untuk mendorong penemuan diri dan
pengembangan pribadi klien.

5. **Konflik Antara Perilaku Klien dan Nilai-Nilai Konselor:** Konflik antara perilaku klien dan
konstruksi moral konselor dapat menimbulkan tantangan, sehingga memerlukan pemeliharaan
penerimaan hangat terhadap klien, bahkan dalam situasi yang bertentangan dengan nilai-nilai
pribadi. Para penulis menyoroti pentingnya menghadapi tantangan ini dengan empati dan
pengertian.

6. **Pemikiran Penilaian Awal:** Teks ini menggarisbawahi pentingnya membiarkan diri sendiri
memahami orang lain tanpa menghakimi terlebih dahulu. Mengatasi rasa takut akan
pemahaman dan perubahan sangat penting untuk menumbuhkan rasa hormat dan empati
positif tanpa syarat dalam proses konseling.

Para penulis mencatat bahwa mereka telah mengamati perbedaan dalam penerapan hal positif
tanpa syarat (UPR) yang konsisten di luar sesi konseling dibandingkan di dalam sesi konseling.
Terlepas dari pengamatan ini, mereka menyatakan kepuasannya atas bagaimana
mempraktikkan UPR selama konseling telah mempengaruhi secara positif kemampuan mereka
untuk mempertahankannya di luar sesi-sesi ini. Mereka mengakui bahwa terkadang, pemikiran
strategis mungkin menunjukkan bahwa UPR tidak selalu bermanfaat di luar konseling. Namun,
mereka menemukan bahwa semakin mereka mempertahankan UPR dalam kehidupan mereka,
semakin banyak manfaat strategis yang mereka rasakan, seperti peningkatan pengaruh dalam
situasi, dukungan yang lebih besar dari orang lain, dan berkurangnya pertentangan dari mereka
yang memiliki pandangan berbeda. Yang penting, mereka menekankan bahwa UPR tidak boleh
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan, namun harus dipandang sebagai tujuan yang
berharga.

Dalam situasi yang dijelaskan, beberapa faktor memengaruhi tingginya impulsivitas ibu dalam
memuaskan hasrat seksualnya. Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk memahami
bagaimana faktor-faktor psikologis berperan dalam permasalahan tersebut. Berikut ini adalah
penjelasan tentang pengaruh dan peran setiap variabel penjelas terhadap masalah yang
dihadapi:

1. Faktor Neurobiologis:
2. Ketidaktelitian:
3. Aktivasi Motorik:
4. Kurang Perencanaan: 5. Ketidakmampuan Menunda Kepuasan:
6. Gairah Seksual:

7. Kurang Memperhatikan Konsekuensi:


8. Respon Terburu-buru:
9. Kendala Respons yang Buruk: Dengan memahami peran masing-masing variabel dalam
masalah impulsivitas, upaya untuk mengurangi perilaku impulsif dalam pemenuhan kebutuhan
seksual dapat dilakukan melalui terapi yang fokus pada peningkatan kontrol diri, manajemen
emosi, dan kesadaran terhadap konsekuensi dari tindakan impulsif. Terapi farmakologis juga
bisa dipertimbangkan tergantung pada tingkat keparahan masalah.

Anda mungkin juga menyukai