Anda di halaman 1dari 18

FILSAFAT DAN AGAMA

IAIN PALOPO

Oleh,
Kelompok IIl PIAUD 1B
AYYADA USRAH
(2102070021)
SANDRA A
(2102070018)
UMMI AFIFAH AMINULLAH
(21108700042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar
kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang seperti saat ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampuh mata kuliah pengantar
filsafat serta teman-teman yang telah mendukung kami dalam pembuatan makalah ini, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul "filsafat dan agama" kami menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga kami senantiasa terbuka untuk
menerima saran dan kritik pembaca demi penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palopo, 18 Oktober 2021


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................2
A. Pengertian Filsafat...........................................................................................................................2
B. Pengertian Agama...........................................................................................................................5
C. Agama Sebagai Objek Filsafat..........................................................................................................7
D. Perbadingan Agama dan Filsafat.....................................................................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................10
A. Kesimpulan....................................................................................................................................10
B. Saran..............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut catatan sejarah, filsafat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan
akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM.
Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam
memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang
menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan
agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan
agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi
oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap
agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat
mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada
peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Filsafat dan agama secara umum merupakan pengetahuan. Jika agama merupakan
pengetahuan yang berasal dari wakyu, filsafat sendiri adalah hasil dari pemikiran manusia
Dasar-dasar agama merupakan pokok-pokok kepercayaan ataupun konsep tentang
ketuhanan, alam, manusia, baik buruk, hidup dan mati, dunia dan akhirat. Dan lain-lain.
Sedangkan filsafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil berfikir secara
radikal, sistematis dan universal.

Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir


perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat.
Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan
pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-
keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut
agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara
rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian,
filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan,
bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan
makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya
menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.

Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan


agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan
berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya
semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya
melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran
agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.

Filsafat dan agama mempunyai hubungan yang sangat reflektif dengan manusia,
dikarenakan mempunyai keduanya mempunyai keterkaitan, keduanya tidak bisa berkembang
apabila tidak ada alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga
utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan.

Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut
dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta
agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah
agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama
lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya,
bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-
konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna.

Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan
dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari
rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya,
bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya
merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan
agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang
tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk
memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama
dan filsafat saling bertolak belakang.
Dalam sebuah ungkapan ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya beriman
supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak
beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa dapat diyakini bahwa
keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang
melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal
agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan
pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang
adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama,
semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan
semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama maupun filsafat pada
dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama
yang dimaksud di sini adalah agama Samawi.

Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk


dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi
manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi
manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan
pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan
kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan
ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi
substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.

Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap
eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan
menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan
perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan
ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak
seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat
eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.

Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas
eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan,
lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat
doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan
pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang
diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan
makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan
dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh
ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan
dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi
bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang
ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi
soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan
perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang,
dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal

A. Rumusan Masalah

A. Apa pengertian umum filsafat dan agama ?

B. Apa hubungan filsafat dan agama ?

C. Apa sajakah perbedaan filsafat dan agama ?

D. Mengapa ada perbedaan antara filsafat dan agama ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep
tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan
itu dipilih dan dipilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan
sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverivikasi itulah orang merumuskan definisi
tentang sesuatu itu. Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan
diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara
mendalam. Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan
definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat. Jadi ada
benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak
dibicarakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri
apa filsafat itu. Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang
yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang
lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan
siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang
belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap
para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau
orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut
Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad
Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia.
Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia dan
diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan. Orang
Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya
dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu ‫ فلسفة‬dengan pola‫ فعلل‬Dengan demikian kata benda dari
falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada
umumnya orang memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya
maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai
kebijaksanaan. Sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah. Kebijaksanaan
biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan terten-tu
yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah
sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau
berat.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena
maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat
diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan
pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan
pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Ada beberapa pengertian filsafat menurut para ahli, diantaranya :
1. Plato, menurut ia filsafat tidaklah lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2. Aristoteles, menurutnya filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu metefisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3.Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan
memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu dsb.
Dari sekian yang mendefinisikan filsafat ada beberapa point-point yang penting, empat
sudut pandang yang saling melengkapi yaitu :
A.) Filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta.
Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang
melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang
meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba
melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap
kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
B.) Suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan.
Ini bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang
akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
C). Filsafat adalah kumpulan masalah.
Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat mendasar yang masih
tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan
jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan
antara benar dan salah.
D). Filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran.
Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-
sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-
nama filosof ; seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi
pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme,
pragmatisme dan sebagainya.

B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskreta “a” yang berarti tidak dan “gam” yang
berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ter-nyata
agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu
menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang
meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan
dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele dan gere yang berarti
mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada
Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi
berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat
mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi
mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat
norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan
bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.
Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan
alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu.
Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang
dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum
tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya
disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisma dalam
bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam
religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan Yang
Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang
dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu
manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu. Jadi religi adalah hubungan antara
manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai
kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata din
dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-
Quran menyebut kata din ada me-unjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat,
sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat
atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh
yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan
yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata
din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan.
Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanji-
kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa.
Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan
ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama
sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf
rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.
Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya
dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam
Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama. Dalam
bahasa Sempit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Dan semua itu memang terdapat dalam
agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti.
Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian agama secara etimologi. Namun
banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian
agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan
kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada
orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini.
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang
Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritual, kultus dan
permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam
definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu
masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan
kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa
berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk,
yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan
kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan
menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang
sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang
disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan
yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama, yaitu :
A. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
B. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
C. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbu-atan-perbuatan
manusia.
D. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
E. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
F. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu
kekuatan gaib.
G. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
H. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok
persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan
Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu
disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan
yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, dan
sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah
yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan
bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mempunyai ciri
sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu yang
menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas
berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas tersebut. Jika seorang peneliti melakukan
penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A maka semua pola hidup dan tingkah
laku masyarakat nelayan tersebut adalah menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap
nelayan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian
tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Karena filsafat mempunyai
pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar
kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat itu akan berbeda pula. Objek yang
dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan,
maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.
Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat adalah fisika, metafisika, etika,
politik, biologi, bahasa.[30] Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika,
matematika dan ilmu ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang
maujud.Selain yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa
kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.
Semua sasaran pembahasan di atas merupakan materi pembahasan filsafat. Agama
adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian,
agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek materia
yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya.
Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metafisik. Aspek
metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan
hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi,
maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun
demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek
pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi,
psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari
filsafat.
Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat
diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sains. Perbedaan itu
sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini
adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang
terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama
itu sendiri.

Selain objek materia itu terdapat pula objek formal filsafat yaitu cara pandang yang
menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan
demikian, agama sebagai objek forma filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang
agama dan berbagai persoalan yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek formal
filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi
ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pembahasan
terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya
melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen yang
membantah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas
dalam filsafat agama.
Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan
yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang berubah keyakinan. Ada orang
yang membahas persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap
Tuhan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia
tidak mendapatkan kepua-an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari
keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah
membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang
keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini.[32] Sebaliknya,
seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami kekosongan dan
kegersangan jiwa setelah berfikir tentang pengalaman orang yang beragama bisa pula
menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak
menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti
bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi
perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-
ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan
dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan
semata, tetapi juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis
pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada
waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya
persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan filsafat agama karena eskatologislah yang
mendorong orang bersemangat orang untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada
tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik.
Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada kepada
agama.

D. Perbadingan Agama dan Filsafat

Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan.
Perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara
menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah
mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak
hubungan dengan pemikiran. Menurut Prof. Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa filsafat
yang sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Malahan filsafat yang sejati itu terkandung
dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-
mata berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka filsafat tidak akan memuat kebenaran
obyektif , karena yang memberikan pandangan dan keputusan hanyalah akal pikiran.
Sedangkan kesanggupan akal pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasarkan
kepada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberikan kepuasan bagi manusia,
terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib. Williem Temple, seperti yang
dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami,
sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama
bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan
Tuhan.
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah
dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak
membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran
sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus
menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan
keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Filasafat adalah sistem kebenaran
tentang agama sebagai hasil dari berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-
dasar agama yang dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan disiplin) dan bebas.
Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan filsafat agama dengan
pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersendiri
dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama,
pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian
terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya. Dengan demikian,
seorang ahli agama bisa menyelidiki ajaran agamanya sendiri, demikian juga agama lain,
tetapi dia harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari
banyaknya unsur subjektif yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Filsafat adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan
alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta
sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik
dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi
lain.
2. Agama adalah kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, agama juga diartikan dengan
mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia pemeluknya.
3. Filsafat dan agama ternyata mempunyai beberapa hubungan yang tidak dapat dipisahkan,
dikarnakan objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat
jelas lebih luas dari objek materi sain. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat
penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang
mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi
penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
4. Filsafat dan agama juga mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya di dalam filsafat
untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan
mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan
dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki manusia tidak hanya mencarinya
sendiri, melainkan harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata lain percaya
atau iman.

B. Saran
Dari pembahasan yang penulis susun, mungkin di dalam makalah ini ada terdapat kesalahan,
karena tidak ada suatu hal pun yang sempurna, selain Allah. Maka oleh sebab itu penyusun
meminta maaf dan memohon kririk dan sarannya yang bersifat membangun, karena sanagt
berguna bagi penyusun untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006.
2. Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
3. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka
Setia, 1999.
4. Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media,
2003.
5. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung :
Rosdakarya, 1994.
6. H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.
7. Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan : IAIN Press,
2001.
8. Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
9. Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
10. Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
11. Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar
Harapan, 1995.
12. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992.
13. Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1979.
14. Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta : Gramedia, 1990.
15. www.wisdoms4all.com/Indonesia
16. http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama

Anda mungkin juga menyukai