Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

EMPAT IMAM MAHZAB


Makalah ini ditujuka untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tauhid

Dosen Pembimbing:
Robin Sirait, M.Pd

Oleh Kelompok XI :
1. Nazwa hutasuhut (230101092)

2. Nisa haifa (230101094)

3. Tiara ramadhani (230101141)

4. Amalia salsa rabita (230101319)

5. Siti kholizah (230101234)

6. ummaimah balqis (230101244)

7. Rahman maulana (230101221)

8. Putri Marsyelliandi (230101105)

9. Taufiq Ikhsan (230101240)

Semester :
I- B PAI (Regular Pagi)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN
AL-ISHLAHIYAH BINJAI
2023 M/1445 H
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................. i

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Mahzab .............................................................. 2

B. Sebab-sebab Timbulnya Mahzab ..................................................... 3

C. Mahzab-mahzab dalam Hukum Islam ............................................. 3

D. Esensi dari Mahzab Arab Hingga Fiqih Mahzab Indonesia............. 8

E. As’ariyah dan al-Maturidiyyah ........................................................ 9

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 11

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagaimana diketahui bahwa dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh
dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan
dijadikan rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam
konteks kehidupan umat Islam. Salah satunya dalam masalah fiqh. Dahulu dimasa Rasulullah
masih hidup, ketika ada terjadi suatu maslah hukum maka kaum muslimin bisa langsung
bertanya kepada beliau untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan hukum yang terjadi.
Setelah rasulullah wafat, maka hal semacam ini tidak dijumpai lagi, sehingga dengan berjalan
nya waktu dan berkembangnya zaman, harus ditemukan formula-formula baru dalam
menjawab permasalahan hukum yang semakin hari semakin bertambah dan semakin
kompleks. Seiring dengan perkembangan masa fiqh juga ikut berkembang, dan banyak lahir
para ahli-ahli fiqh (Fuqoha’) tersohor diberbagai penjuru dunia. Maka, salah satu
pembahasan yang menarik dan harus kita ketahui adalah bagaimana perkembangan mazha-
mazhab dalam hukum Islam.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak
pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang
dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i,
Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan
kaidah- kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hokum. Metodologi,
teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada
awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau
upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami
nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya
dalam nash. Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan
pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Mazhab


Pada masa Rasulullah saw tidak terjadi perkembangan ijtihad dikalangan ummat
islam dikarenkan ketika sahabat menemui suatu masalah langsung ditanyakan kepada Nabi
saw. Hanya saja pernah terjadi perbedaan dalam memahami perintah Nabi saw yaitu ketika
Nabi saw berkata : “Janganlah ada satupun yang sholat Ashar kecuali di perkampungan bani
Quraizhah” lalu ada diantara mereka mendapati waktu Ashar ditengah jalan, maka berkatalah
sebagian mereka: “kita tidak sholat sampai tiba disana” yang lain mengatakan : “bahkan kita
sholat saat ini juga, bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudia hal itu disampaikan
kepada Rasulullah Saw namun beliau tidak mencela salah satunya.
Pada masa bani abbas mulailah muncul aliran mazhab yang kita kenal saat ini yang
disebut sebagai imam yang empat yaitu imam malik bin annas yang membawa mazhab
maliki, imam abu hanifa yang membawa mazhab hanafi, imam syafi’i bin idris yang
membawa mazhab syafi’i dan imam ahmad bin hanbal yang membawa mazhab hanbali
(Ahmad Azhar, 2021: 19).

B. Sebab-Sebab Timbulnya Mazhab


Beberapa sebab dari timbulnya mazhab yaitu sebagai berikut :
1. Fiqh yang bersumber dari akal bersifat dzanni artinya perkiraan sehingga
menimbulkan ijtihad-ijtihad lain.
2. Telah dibukukan dan disempurnakannya pembukuan al-Qur’an
3. Dalil-dalil syara tentang hukum tidak semunya jelas artinya perlu dikaji kembali
melalui akal untuk menemukan jawaban yang khusus untuk suatu kasus hukum,
sehingga timbul pemahaman yang berbeda.
4. Pada masa ini telah ditentukan aturan-aturan dalam berijtihad
5. Pada masa ini pula banyak orang-orang yang telah memenuhi syarat berijtihad.

2
6. Dan pada masa ini timbul perasaan dikalangan kaum muslimin untuk melakukan
apapun harus sesuai dengan syari’at islam.

C. Mazhab-Mazhab dalam Hukum Islam (Masyhur)


Pada pembahasan ini saya hanya akan menyajikan pembahasan mazhab yang empat
yaitu sebagai berikut :
1. Mazhab Hanafi ( 80 H-150 H/699 M-767 M)
Mazhab hanafi dibawa oleh imam abu hanifah r.a. ialah An Nu’man ibn Tsabit At
Taimi, dilahirkan di kufah. Beliau belajar fiqh kepada Hammad ibn Abi Sulaiman dan beliau
banyak mendengar hadits dari ulama-ulama hadits seperti : Atha’ ibn Rabi’ah dan Nafi’
Maula Ibnu Umar (Amin Suma, 2009: 40).
Dasar-dasar mazhab beliau dapat kita pahami dari tuturan beliau sendiri yang berkata
: “saya berpegang kepada kitabullah apabila saya mendapatinya. Sesuatu yang saya tidak
dapati di dalamnya saya memegangi Sunnah Rasul saw dan atsar-atsar yang shahih yang
telah masyhur diantara orang-orang kepercayaan. Apabila tidak ditemukan dalam kitabullah
dan sunnah rasul, saya berpegang kepada perkataan para sahabat. Saya ambil mana yang saya
khendaki, saya tinggalkan mana yang saya tidak khendaki. Saya tidak keluar dari perkataan
para sahabat kepada perkataan orang lain. Apabila keadaan telah sampai kepada Ibrahim An
Nakha’i, Asy Syabi’i, Al Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id ibn Musaiyab, maka sayapun berijtihad
sebagaimana mereka telah berijtihad”. Ringkasnya dasar fatwa Imam Abu Hanifah ialah :
a. Kitabullah (Al-Quran)
b. Sunnah Rasul saw dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara para
ulama.
c. Fatwa-fatwa para sahabat
d. Qiyas (Menyamakan dengan hukum yang ada)
e. Istihsan (Menggangap sesuatu itu baik)
f. Adat dan ‘uruf masyarakat
Gaya pengajaran Imam Abu Hanifah adalah dengan cara dialog dan tidak hanya
bersifat penyampaian, namun terkadang beliau memberikan beberapa pertanyaan seputar

3
fiqh kepada murid-muridnya, kemudian beliau memberikan beberapa dasar untuk menjawab
masalah tersebut, lalu mereka berdialog. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya
terkadang mereka setuju, terkadang tidak dan sesekali mereka bersuara keras. Apabila
mereka sudah mencapai kata sepakat dalam satu masalah, bau sang imam akan
mendiktekannya kepada para murid atau ada murid yang menuliskan untuk sang imam.
Tekadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan kata
sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada dan dengan cara ini lah berdiri mazhab
imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sini kemudian
lahirlah murid-murid sang imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan
ijtihad, padahal mereka masih dalam tahap belajar dan menuntut ilmu (Chamim Tohari, 2015:
144).

2. Mazhab Maliki (93 H-179 H/712 M-798 M)


Mazhab Maliki dibawa oleh Al Imam Malik ibn Anas, ialah : Malik ibn Anas ibn
Malik ibn Abi Amir berasal dari yaman. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu
menetap di sana. beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama madinah. Guru beliau yang
pertama ialah, Abdur Rahman ibn Hurmuz dan beliau menerima Hadits dari Nafi Maulana
ibn Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Guru dalam bidang ilmu fiqh ialah, Rabi’ah Abdir
Rahman.
Dasar-dasar fatwa Imam Malik ialah :
a. Kitabullah
b. Sunnah Rasul yang beliau pandang Shahih
c. Amal Ulama Madinah (ijma’ ahli madinah). Dan terkadang beliau menolak hadits
apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh ulama-ulama madinah. Dalam hal
ini banyak ulama yang menentangnya diantaranya : Asy Syafi’y dalam Al Umm
dan Abu Yusuf
d. Qiyas
e. Mashlahat mursalah atau Istihsan

4
Imam Malik akan memberi jawaban pada masalah yang sudah terjadi dan tidak
melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada kemungkinan akan terjadi. Beliau
pernah ditanya oleh seseorang tentang masalah yang belum terjadi, kemudian imam Malik
menjawab “Tanyakan yang sudah terjadi, dan jangan bertanya yang belum terjadi”.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, tidak mau menjawab
pertanyaan yang ia tidak tahu. Jika ia tidak tidak dapat memastikan hukum suatu masalah, ia
akan mengatakan “saya tidak tahu” agar ia terlepas dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa
menjawab jika ditanya, dan berkata kepada si penanya, “pergilah nanti saya lihat dulu”.
Imam Malik tidak pernah menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan
kepadanya, tetaapi semua dianggap berat apalagi terkait halal dan haram. Beliau pernah
ditanaya seseorang sambil mengatakan ini masalah ringan, imam Malik menjawab sambil
marah, “ Tidak ada ilmu yang ringan,apakah kamu tidak mendengar firman Allah swt :
“Sesungguhnya kami akan memberikan kepadamu ucapan yang berat”. Ilmu itu semua nya
berat, terutama yang nanti ditanya pada hari kiamat. Imam Malik adalah seorang yang sangat
berani dalam menyampaikan pendapat nya, tidak peduli walaupun para penguasa marah
dengan ucapannya .
Mazhab imam Malik tersebar di negeri Hijaz karena karena disitulah ia lahir dan
berkembang, juga tersebar di Mesir sezaman dengan sang imam yang masih hidup, di
Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, Torablus dan Sudan, dan dominan di Bashrah dan
Baghdad dari waktu ke waktu. Kitab Al-Muwattha’ merupakan salah satu faktor utama bagi
tersebarnya mazhab Maliki di negara-negara Islam. Hasil karya sang imam ini telah membuat
mazhabnya terkenal sejauh negeri Islm membentang, apalagi ia ditulis pada zaman yang tidak
mudah untuk melakukan itu karena sulitnya sarana pendukung (Azhar Basyir, 2018: 201).

3. Mazhab Syafi’I (150 H-204 H/767 M-820 M)


Mazhab Syafi’I dibawa oleh Al Imam Syafi’i ialah : Abu Abdillah Muhammad ibn
Idris Abbas ibn Ustman ibn Syafi’y Al Muththalibi dilahirkan di Ghuzzah (suatu kampung
dalam jajahan Palestina masuk wilayah ‘Asqalan).

5
Ghuzzah bukan tempat kediaman orang tuanya. Ayah beliau Idris pergi ke Ghuzzah
meninggal disana. Dan sesudah beliau meninggal lahirlah Muhammad, anaknya. Dan tahun
kemudian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah.
Sesudah beliau menghafal al-Qur’an beliau pergi ke desa Huzail, yaitu golongan fasih
dalam kesusasteraan aArab, beliau kembali ke kota lalu belajar pada Muslim ibn Khalid Az
Zanji mahaguru di Al Haraj. Beliau terus belajar kepadanya sehingga memperoleh keizinan
untuk berfatwa. Dengan sebuah surat yang diberi oleh muslim, beliau pergi ke Madinah untuk
belajar kepada Malik. Sesudah beliau hafad Al Muwaththa’ dan diperdengarkan hafadnya
kepada Malik beliau kembali.
Asy Syafi’y mempelajari fiqh pada Muslim ibn Khalid dan mempelajari hadits pada
sufyan Ibnu Uyainah, guru hadits di Mekkah dan pada Malik ibn Anas ahli hadits di Madinah.
Dasar-dasar fatwa Imam Syafi’y ialah :
a. Dhahir-dhahir Al Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang
di maksud bukan dhahirnya.
b. Sunnatur Rasul. Syafi’y mempertahankan hadits ahad selama perawinya
kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau
tidak mensyaratkan selain dari pada itu. Lantaran itulah beliau dipandang
Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al Qur’an.
c. Ijma’ menurut pahamnya ialah, “Tidak diketahui ada perselisihan pada hukum
yang dimaksud”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian
paham segala ulama tidak mungkin.
d. Qiyas. Beliau menolah dasar istihsan dan dasar istihlah.
e. Istid-lal.
Asy Syafi’y dapat memahamkan dengan baik fiqh ulama Hijaz dan fiqh ulama
Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar
dipatahkan hujjahnya.
Diantara murid beliau di Mesir adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buthi, murid
yang paling senior di Mesir. Ia biasa menggantikan imam As-Syafi’i dalam mengajar dan
memberi fatwa ketika beliau berhalangan hadir. Selain beliau ada juga Isma’il bin Yahya Al-

6
Muzani. Ia termasuk murid yang paling cerdas dan dianggap oleh pengikut mazhab sebagai
seorang mujtahid mutlak. Hal itu disebabkan karena beliau dapat melahirkan pendapat-
pendapat brilian yang berbeda dengan sang guru serta mempunyai beberapa kitab antara lain
: AlMuktashar Ash-Shaghir dan Al-Jami’ Al-Kabir.

4. Mazhab Hanbali (164 H-241 H/780 M-855 M)


Mazhab Hanbali dibawa oleh Al Imam Abu hanifah ialah : Ahmad ibn Hanbal ibn
Hilal Asy Syaihani. Beliau menerima hadits dari pemuka-pemuka ahli hadits dari lapisan
Husyaim, Sufyan ibn Unainah. Diantara yang meriwayatkan hadits daripadanya, Al Bukhari
dan Muslim dan orang-orang semasanya.
Ketika Asy Syafi’y meninggalkan Baghdad, berkata : “Saya tidak tinggalkan di
Baghdad orang yang lebih utama, yang lebih alim, yang lebih faqh dari Ahmad ibn Hanbal.
Beliau berguru kepada Asy Syafi’y kemudian berijtihad sendiri. Beliau terhitung
seorang ahli hadits yang berijtihad.
Dasar-dasar fatwa Imam Syafi’y ialah :
a. Nash Al Qur’an dan hadits marfu’. Ahmad tidak meninggalkan hadits lantaran
ketetapan hadits itu berlawanan dengan faham orang banyak.
b. Fatwa-fatwa sahabat
c. Fatwa sahabat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, jika fatwa-
fatwa itu berlawanan.
d. Hadits mursal dan hadits dlaif. Bilamana beliau tidak mendapat sesuatu yang
sudah tersebut, beliau memegang hadits mursal dan hadits dla’if, jika tak ada
yang menolaknya. Dan beliau maksudkan dengan hadits dla’if ialah, hadits
yang tidak sampai derajatnya kepada shahih; bukan yang lemah benar.
e. Qiyas. Beliau menggunakan qiyas dikala darurat saja. Apabila beliau tidak
mendapat hadits, atau pendapat sahabat, tak ada pula hadits mursal dan dla’if
menurut pengertian diatas, beliau mempergunakan qiyas. Dan beliau tidak mau
memberi fatwa dalam sesuatu masalah yang belum diperoleh keterangannya
dari salaf.

7
D. Esensi Dari Madzhab Arab hingga Fikih Madzhab Indonesia
Keberadaan fiqh madzhab Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat
panjang. Akar geneologisnya, dapat ditarik jauh kebelakang, yaitu saat pertama kali Islam
masuk ke Nusantara. Jadi, hukum Islam masuk ke wilayah Indonesia (Nusantara) bersama-
sama dengan masuknya agama Islam di Indonesia (Atho Mudzhar, 2016: 165). Sejak
kedatangannya, ia merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pembaruan hukum
sebagian mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1940, tidak terkecuali sistem hukumnya telah
hadir dan hidup diwilayah nusantara ini, jauh sebelum pembentukan NKRI yang baru
diproklamasikan atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Amin Suma,
2009: 76).
Gagasan utamanya adalah pentingnya formulasi fiqh Indonesia. Fiqh Indonesia
adalah fiqh yang sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Artinya fiqh yang
berkepribadian Indonesia. Jika fiqh diharapkan bisa dipakai dan memasyaraka di Indonesia,
maka ia bukan saja harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam
masyarakat dengan adil dan maslahah, tapi fiqh juga harus mudah di pahami dan tidak asing.
Fiqh yang berkepribadian Indonesia dapat diwujudkan, jika ‘urf di Arab bisa menjadi
sumberr fiqh yang berlaku di Arab, maka ‘urf di Indonesia tentunya juga bisa menjadi sumber
hukum yang bisa ditetapkan di Indonesia (Hasbi Ash Shiddieqy, 2007: 45).
Madzhab fiqh Indonesia, dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis
dalam kitab perundang-undangan, namun menjadi hukum yang hidup, berkembang, dan
berlaku. Serta dipahami oleh masyarakat Islam sebagai sebuah realitas sejarah untuk
memenuhi kebutuhan serta hajat hidup seseorang (Hazairin, 2018: 155).
Fiqh yang dijadikan rujukan masyarakat Indonesia dalah fqh yang telah tertuang
dalam pemikiran madzhab. Majelis Ulama Indonesia dan organisasi- organisasi besar semaca
NU dan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum juga tidak dapat melepaskan diri dari
madzhab. Padahal, sebagaimana telah dikritik, keadaan dan lingkungan para mujtahid zaman
dahulu berbeda dengan keadaan dan lingkungan Indonesia. Terhadap suatu masalah bisa jadi
seorang ulama memberi fatwa yanng berbeda karena perbedaan lingkungan (Mahsun Fuad,
2005: 209).

8
E. As’ariyah dan al-Maturidiyyah
‘Asy’ariyah merupakan aliran teologi Islam yang lahir sebagai reaksi terhadap firqah-
firqah sesat qadariyah, jabariyah, khawarij, dan muktazilah, penamaan ‘Asy’ariyah
dinisbatkan kepada seorang imam Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu Abul Hasan al-Asy’ari.
Abul Hasan Asy’ari berawal bermadzhab muktazilah (Imam Dzahabi, 2018: 166).
Al-Maturidiyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada imam Abu Manshur al-
Maturidi, Abu manshur al-Maturidi hidup sezaman abul Hasan Asy’ari keduanya memiliki
tujan yang sama, hidup berperang pemikiran melawan aliran muktazilah yang pada saat itu
berpusat di Bashrah. Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan aliran yang lahir ketika tersebar
luasnya aliran Muktazilah, juga kedua aliran tersebutlah yang menjadi lawan beragumentasi
para mutakallimin dari kalangan Muktazilah. Asy’ariayah yang lahir di Bashrah dengan
pelopornya yaitu Abul Hasan Asy’ari menjadikan para mubtadi’ tuduk tak berkutik,
kemudian lahir pula aliran dengan misi yang sama di Samarkan, yaitu Maturidiyah pengikut
Abu Manshur al-Maturidiyah. Kedua aliran tersebut mempunyai tujuan yang serupa namun
berbeda tipis dalam doktrin-doktrinya yang menjadikan tugas ulama setelahnya untuk
membahas perbedaan dan persamaan antara doktrin kedua aliran tersebut, sebagian ulama
ada yang mengatakan perbedaan tersebut hanyalah bersifat lafdzi (redaksional) dan ada yang
mengatakan juga perbedaannya lafzdi (redaksional) dan maknawi (substansional) kendati
demikian tidak menjadikan kedua aliran tersebut mentabdi’, apalagi sampai mengkafirkan
satu dengan yang lainnya (Harun Nasution, 2010: 165).
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan konsep kasbnya telah menjadikan keduanya
tampil berbeda antara kaum fatalism dengan qadariyah dan muktazilah, begitu pula dengan
konsep istbath terhadap sifat-sifat Allah menjadikan keduanya tampil lebih moderat. Yang
terpenting dari itu aliran tersebut telah berkontribusi untuk khazanah pemikiran Islam dan
menjadikan kita berpikir lebih dinamis dan moderat dalam menanggapi aliran aqidah Islam.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mazhab Fiqh muncul sebagai manifestasi dari perkembangan problematika dalam
permasalahan fiqh. Ini tidak terlepas dari pergantian dan perkembangan masa setelah
wafatnya Rasulullah saw. Mazhab fiqh pada mulanya ada banyak, tapi yang masyhur sampai
saat ini ada empat, yaitu: 1) Mazhab Hanafi; 2) Mazhab Maliki; 3) Mazhab Syafi’I; dan 4)
Mazhab Hanbali. Diantara alasan kenapa empat mazhab ini masih eksis sampai hari ini
adalah karena murid-murid imam mazhab ini rajin menulis. Sehingga ijtihad imam mereka
tersimpan di dalam hati dan kitab-kitab mereka. Kemudian imam-imam berikutnya
mensyarah dan mengembangkan lagi kitabkitab fiqh mazhab mereka.
Fikih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam
sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.
Dasardasar hokum Islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah
mursalah,‘urf, dan prinsip “perubahan hukum karena perubahan masa dan tempat”, justru
akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada
paradigma, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu
ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan. Puncak dari pemikiran tentang
Fikih Indonesia ini terjadi pada tahun 1961, sehingga dikenal fiqh Indonesia atau fiqh
nusantara hingga saat ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman. Yogyakarta. IAIN


Sunan Kalijaga. 1961.
Basyir, Ahmad Azhar. Corak Lokal Dalam Hukum Positif Islam di Indonesia. Mimbar
Hukum Vol IV, No. 13. 1994.
Falah, Syamsul. Fiqh Indonesia: Antara Pembaharuan dan Liberalisme Hukum Islam. Al
Hikmah Jurnal Studi Keislaman. Vol 7, No. 2. 2017.
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris.
Yogyakarta. LkiS. 2005.
Hazairin, Hukum Kewarganegaraan Nasional, Edisi ke-3. Jakarta. Tintama. 1982.
Mudzhar, M. Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta. INIS. 1993.
Siddiqi, Nouruzzaman. “Muhammad T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah
Pemikiran Islam Di Indonesia”. Al-Jami’ah, No. 35. 1987.
Siddiqi, Nouruzzaman. Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. 1997.
Suma, Muhmmad Amin. Fenomena Perkembangan Islam dan Hukum Islam di Indonesia.
Jurnal Hukum
Prioris. Vol 2. No. 2. 2009.
Tohari, Chamim. Fiqh Keindonesiaan: Transformasi Hukum Islam Dalam Sistem Tata
Hukum Di Indonesia. Jurnal Studi Keislaman, Vol 15, No. 2. 2015.

11

Anda mungkin juga menyukai