Dosen Pembimbing:
Robin Sirait, M.Pd
Oleh Kelompok XI :
1. Nazwa hutasuhut (230101092)
Semester :
I- B PAI (Regular Pagi)
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 10
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
6. Dan pada masa ini timbul perasaan dikalangan kaum muslimin untuk melakukan
apapun harus sesuai dengan syari’at islam.
3
fiqh kepada murid-muridnya, kemudian beliau memberikan beberapa dasar untuk menjawab
masalah tersebut, lalu mereka berdialog. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya
terkadang mereka setuju, terkadang tidak dan sesekali mereka bersuara keras. Apabila
mereka sudah mencapai kata sepakat dalam satu masalah, bau sang imam akan
mendiktekannya kepada para murid atau ada murid yang menuliskan untuk sang imam.
Tekadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan kata
sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada dan dengan cara ini lah berdiri mazhab
imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sini kemudian
lahirlah murid-murid sang imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan
ijtihad, padahal mereka masih dalam tahap belajar dan menuntut ilmu (Chamim Tohari, 2015:
144).
4
Imam Malik akan memberi jawaban pada masalah yang sudah terjadi dan tidak
melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada kemungkinan akan terjadi. Beliau
pernah ditanya oleh seseorang tentang masalah yang belum terjadi, kemudian imam Malik
menjawab “Tanyakan yang sudah terjadi, dan jangan bertanya yang belum terjadi”.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, tidak mau menjawab
pertanyaan yang ia tidak tahu. Jika ia tidak tidak dapat memastikan hukum suatu masalah, ia
akan mengatakan “saya tidak tahu” agar ia terlepas dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa
menjawab jika ditanya, dan berkata kepada si penanya, “pergilah nanti saya lihat dulu”.
Imam Malik tidak pernah menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan
kepadanya, tetaapi semua dianggap berat apalagi terkait halal dan haram. Beliau pernah
ditanaya seseorang sambil mengatakan ini masalah ringan, imam Malik menjawab sambil
marah, “ Tidak ada ilmu yang ringan,apakah kamu tidak mendengar firman Allah swt :
“Sesungguhnya kami akan memberikan kepadamu ucapan yang berat”. Ilmu itu semua nya
berat, terutama yang nanti ditanya pada hari kiamat. Imam Malik adalah seorang yang sangat
berani dalam menyampaikan pendapat nya, tidak peduli walaupun para penguasa marah
dengan ucapannya .
Mazhab imam Malik tersebar di negeri Hijaz karena karena disitulah ia lahir dan
berkembang, juga tersebar di Mesir sezaman dengan sang imam yang masih hidup, di
Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, Torablus dan Sudan, dan dominan di Bashrah dan
Baghdad dari waktu ke waktu. Kitab Al-Muwattha’ merupakan salah satu faktor utama bagi
tersebarnya mazhab Maliki di negara-negara Islam. Hasil karya sang imam ini telah membuat
mazhabnya terkenal sejauh negeri Islm membentang, apalagi ia ditulis pada zaman yang tidak
mudah untuk melakukan itu karena sulitnya sarana pendukung (Azhar Basyir, 2018: 201).
5
Ghuzzah bukan tempat kediaman orang tuanya. Ayah beliau Idris pergi ke Ghuzzah
meninggal disana. Dan sesudah beliau meninggal lahirlah Muhammad, anaknya. Dan tahun
kemudian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Mekkah.
Sesudah beliau menghafal al-Qur’an beliau pergi ke desa Huzail, yaitu golongan fasih
dalam kesusasteraan aArab, beliau kembali ke kota lalu belajar pada Muslim ibn Khalid Az
Zanji mahaguru di Al Haraj. Beliau terus belajar kepadanya sehingga memperoleh keizinan
untuk berfatwa. Dengan sebuah surat yang diberi oleh muslim, beliau pergi ke Madinah untuk
belajar kepada Malik. Sesudah beliau hafad Al Muwaththa’ dan diperdengarkan hafadnya
kepada Malik beliau kembali.
Asy Syafi’y mempelajari fiqh pada Muslim ibn Khalid dan mempelajari hadits pada
sufyan Ibnu Uyainah, guru hadits di Mekkah dan pada Malik ibn Anas ahli hadits di Madinah.
Dasar-dasar fatwa Imam Syafi’y ialah :
a. Dhahir-dhahir Al Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang
di maksud bukan dhahirnya.
b. Sunnatur Rasul. Syafi’y mempertahankan hadits ahad selama perawinya
kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau
tidak mensyaratkan selain dari pada itu. Lantaran itulah beliau dipandang
Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al Qur’an.
c. Ijma’ menurut pahamnya ialah, “Tidak diketahui ada perselisihan pada hukum
yang dimaksud”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian
paham segala ulama tidak mungkin.
d. Qiyas. Beliau menolah dasar istihsan dan dasar istihlah.
e. Istid-lal.
Asy Syafi’y dapat memahamkan dengan baik fiqh ulama Hijaz dan fiqh ulama
Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar
dipatahkan hujjahnya.
Diantara murid beliau di Mesir adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buthi, murid
yang paling senior di Mesir. Ia biasa menggantikan imam As-Syafi’i dalam mengajar dan
memberi fatwa ketika beliau berhalangan hadir. Selain beliau ada juga Isma’il bin Yahya Al-
6
Muzani. Ia termasuk murid yang paling cerdas dan dianggap oleh pengikut mazhab sebagai
seorang mujtahid mutlak. Hal itu disebabkan karena beliau dapat melahirkan pendapat-
pendapat brilian yang berbeda dengan sang guru serta mempunyai beberapa kitab antara lain
: AlMuktashar Ash-Shaghir dan Al-Jami’ Al-Kabir.
7
D. Esensi Dari Madzhab Arab hingga Fikih Madzhab Indonesia
Keberadaan fiqh madzhab Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat
panjang. Akar geneologisnya, dapat ditarik jauh kebelakang, yaitu saat pertama kali Islam
masuk ke Nusantara. Jadi, hukum Islam masuk ke wilayah Indonesia (Nusantara) bersama-
sama dengan masuknya agama Islam di Indonesia (Atho Mudzhar, 2016: 165). Sejak
kedatangannya, ia merupakan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pembaruan hukum
sebagian mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1940, tidak terkecuali sistem hukumnya telah
hadir dan hidup diwilayah nusantara ini, jauh sebelum pembentukan NKRI yang baru
diproklamasikan atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Amin Suma,
2009: 76).
Gagasan utamanya adalah pentingnya formulasi fiqh Indonesia. Fiqh Indonesia
adalah fiqh yang sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Artinya fiqh yang
berkepribadian Indonesia. Jika fiqh diharapkan bisa dipakai dan memasyaraka di Indonesia,
maka ia bukan saja harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam
masyarakat dengan adil dan maslahah, tapi fiqh juga harus mudah di pahami dan tidak asing.
Fiqh yang berkepribadian Indonesia dapat diwujudkan, jika ‘urf di Arab bisa menjadi
sumberr fiqh yang berlaku di Arab, maka ‘urf di Indonesia tentunya juga bisa menjadi sumber
hukum yang bisa ditetapkan di Indonesia (Hasbi Ash Shiddieqy, 2007: 45).
Madzhab fiqh Indonesia, dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis
dalam kitab perundang-undangan, namun menjadi hukum yang hidup, berkembang, dan
berlaku. Serta dipahami oleh masyarakat Islam sebagai sebuah realitas sejarah untuk
memenuhi kebutuhan serta hajat hidup seseorang (Hazairin, 2018: 155).
Fiqh yang dijadikan rujukan masyarakat Indonesia dalah fqh yang telah tertuang
dalam pemikiran madzhab. Majelis Ulama Indonesia dan organisasi- organisasi besar semaca
NU dan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum juga tidak dapat melepaskan diri dari
madzhab. Padahal, sebagaimana telah dikritik, keadaan dan lingkungan para mujtahid zaman
dahulu berbeda dengan keadaan dan lingkungan Indonesia. Terhadap suatu masalah bisa jadi
seorang ulama memberi fatwa yanng berbeda karena perbedaan lingkungan (Mahsun Fuad,
2005: 209).
8
E. As’ariyah dan al-Maturidiyyah
‘Asy’ariyah merupakan aliran teologi Islam yang lahir sebagai reaksi terhadap firqah-
firqah sesat qadariyah, jabariyah, khawarij, dan muktazilah, penamaan ‘Asy’ariyah
dinisbatkan kepada seorang imam Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu Abul Hasan al-Asy’ari.
Abul Hasan Asy’ari berawal bermadzhab muktazilah (Imam Dzahabi, 2018: 166).
Al-Maturidiyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada imam Abu Manshur al-
Maturidi, Abu manshur al-Maturidi hidup sezaman abul Hasan Asy’ari keduanya memiliki
tujan yang sama, hidup berperang pemikiran melawan aliran muktazilah yang pada saat itu
berpusat di Bashrah. Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan aliran yang lahir ketika tersebar
luasnya aliran Muktazilah, juga kedua aliran tersebutlah yang menjadi lawan beragumentasi
para mutakallimin dari kalangan Muktazilah. Asy’ariayah yang lahir di Bashrah dengan
pelopornya yaitu Abul Hasan Asy’ari menjadikan para mubtadi’ tuduk tak berkutik,
kemudian lahir pula aliran dengan misi yang sama di Samarkan, yaitu Maturidiyah pengikut
Abu Manshur al-Maturidiyah. Kedua aliran tersebut mempunyai tujuan yang serupa namun
berbeda tipis dalam doktrin-doktrinya yang menjadikan tugas ulama setelahnya untuk
membahas perbedaan dan persamaan antara doktrin kedua aliran tersebut, sebagian ulama
ada yang mengatakan perbedaan tersebut hanyalah bersifat lafdzi (redaksional) dan ada yang
mengatakan juga perbedaannya lafzdi (redaksional) dan maknawi (substansional) kendati
demikian tidak menjadikan kedua aliran tersebut mentabdi’, apalagi sampai mengkafirkan
satu dengan yang lainnya (Harun Nasution, 2010: 165).
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan konsep kasbnya telah menjadikan keduanya
tampil berbeda antara kaum fatalism dengan qadariyah dan muktazilah, begitu pula dengan
konsep istbath terhadap sifat-sifat Allah menjadikan keduanya tampil lebih moderat. Yang
terpenting dari itu aliran tersebut telah berkontribusi untuk khazanah pemikiran Islam dan
menjadikan kita berpikir lebih dinamis dan moderat dalam menanggapi aliran aqidah Islam.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mazhab Fiqh muncul sebagai manifestasi dari perkembangan problematika dalam
permasalahan fiqh. Ini tidak terlepas dari pergantian dan perkembangan masa setelah
wafatnya Rasulullah saw. Mazhab fiqh pada mulanya ada banyak, tapi yang masyhur sampai
saat ini ada empat, yaitu: 1) Mazhab Hanafi; 2) Mazhab Maliki; 3) Mazhab Syafi’I; dan 4)
Mazhab Hanbali. Diantara alasan kenapa empat mazhab ini masih eksis sampai hari ini
adalah karena murid-murid imam mazhab ini rajin menulis. Sehingga ijtihad imam mereka
tersimpan di dalam hati dan kitab-kitab mereka. Kemudian imam-imam berikutnya
mensyarah dan mengembangkan lagi kitabkitab fiqh mazhab mereka.
Fikih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam
sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.
Dasardasar hokum Islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah
mursalah,‘urf, dan prinsip “perubahan hukum karena perubahan masa dan tempat”, justru
akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada
paradigma, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu
ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan. Puncak dari pemikiran tentang
Fikih Indonesia ini terjadi pada tahun 1961, sehingga dikenal fiqh Indonesia atau fiqh
nusantara hingga saat ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
11