Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH IBADAH AKHLAK

PUASA

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Arsita Nurani 1805025048
2. Nabila Tri Wahyuni 1805025051
3. Fahmy Nurul Azizan 1805025055
4. Tsalisa Salsa Rachmadina 1805025069

Mata Kuliah : Ibadah Akhlak (3B)


Dosen Pengampu : Rifki Abror Ananda

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PRODI GIZI

2019
PUASA

1. Definisi
a. Secara Etimologi
Puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kalf) dari sesuatu, dengan kata lain
yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun termasuk didalamnya
tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang beretalian dengan
agama). Arti puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum secara bahasa
berarti ’menahan diri’(berpantang) dari suatu perbuatan
b. Secara Terminology
Puasa artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah yaitu
berupa makan dan berhubungan dengan suami istri, dalam rangka Taqarub ilallahi
(mendekatkan diri pada Allah swt,).
Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang, atau mengendalikan
diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan diri dari terbit
fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).

2. Sejarah Puasa
Awal munculnya puasa berawal dari sejarah turunnya ayat :
Artinya : “ Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu
melihat seorang manusia, maka katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan
seseorang manusiapun pada hari ini.” (Q.S. Maryam ; 26).
Sejarah munculnya puasa memang sejak dulu pra agama Islam, puasa
merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat umat manusia
sebelum Islam. Hal ini dapat diketahui dari ayat 183 : Q.S. Al-Baqarah kama kutiba
‘alalladzina minqoblikum = sebagaimana telah ditetapkan atas orang-orang yang
sebelum kamu”.
Istilah puasa pada era sekarang bukanlah hal yang asing, ataupun baru, orang-
orang mesir kuno telah mengenal puasa 5000 tahun sebelum agama samawi
diturunkan, orang Yunani dan Romawi juga telah mengenal sebelum lahirnya agama
Nasrani. Walaupaun berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan
pendeta-pendetanya. Fakta sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa
yang terdahulu menunjukkan bahwa mereka melakukan puasa sebagai sebuah naluri
fitrah tanpa standar dan ukuran yang jelas serta tegas.
Proses pelaksanaan puasa itu nampak ketika ada larangan yang diberikan
kepada Nabi Adam dan Dewi Hawa ketika berada di surga tidak boleh makan buah
pohon khuldi. Hal ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah
melarang Nabi Adam dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada
yang menamainya dengan nama buah khuldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut
dalam dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang
diberikan setan. Inilah barang kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal yang
dilarang
Praktek puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai bukti diantaranya; Nabi Musa
as. dan Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan oleh Allah melakukan Puasa
Ramadhan pada masa itu.

3. Syarat, Rukun dan Tujuan Puasa


a. Syarat puasa
Syarat wajib puasa yang meliputi
1) Islam.
Puasa dalah ibadah Islamiyah, tidak sah dilakukan oleh orang yang bukan
Islam, apabila seseorang kafir, baik asli, beribu bapa kafir, besar dalam
kekafiran 39 atau kafir murtad berniat berpuasa, maka tidaklah sah
puasanya.
2) Baligh (sampai umur).
Dalam pelaksanaan ibadah puasa, bagi orang (remaja) muslim haruslah
berumur baligh, batasan antara laki-laki dan wanita beda, uintuk batasan
laki-laki ditandai dengan keluarnya air sperma (mimpi basah) kira-kira
berumur 10-13 tahun.
Namun untuk wanita diketahui dengan keluar darah haid, sekitar umur
9- 11 tahun, akan tetapi untuk batasan itu tidaklah mutlak, yang penting
berapa umur anak itu yang esensi mereka keluar air sperma untuk laki-laki,
keluar darah haid bagi wanita
3) Berakal (‘aqli) Orang yang gila tidak diwajibkan puasa.
Ibadah puasa haruslah dilaksanakan oleh orang yang muslim yang
berakal, serta tamyiz (bisa membedakan perkara yang baik dan perkara
yang buruk). Orang gila tidak boleh melakukan ibadah puasa karena orang
gila tidak termasuk mukallaf (orang yang kena tuntutan ibadah), maka
dengan demikian puasa tidak wajib bagi orang gila ketika sedang gila dan
kalau dia berpuasa, maka puasanya tidak sah, anak kecil tidak diwajibkan
berpuasa, tetapi puasanya tetap sah kalau anak tersebut sudah mumayyiz.
4) Suci dari haid dan nifas bagi wanita
Khusus bagi wanita yang haid nifas jika mereka melaksanakan puasa maka
puasanya tidak syah (batal), serta mereka harus mengqhada’ puasanya,
5) Kuat berpuasa (qadir) Orang yang tidak kuat untuk berpuasa baik karena
tua atau sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, tidak diwajibkan
atasnya puasa, tapi wajib bayar fidyah.

b. Rukun Puasa
Ada dua rukun puasa. yaitu:
- Niat
Niat itu adalah amalan hati, dan niat puasa dilakukan pada
malam hari, dengan niat itu orang mulai mengarahkan hatinya untuk
berpuasa esok hari, karena Allah SWT. dan mengharap larangan-
larangan-Nya. Karena Allah SWT. dan mengharap ridhaNya.
Diingatkannya dan bertekad mengerjakan suruhan Agama dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya. Karena itulah yang mesti
mengucapkan niat itu hati. Karena hati itulah memancar kemauan
keharusan niat berpuasa, sebagaimana dalam Hadits Rasul:
‫ من لم يبيت‬:‫ م قال‬.‫وعن حفصة ام المؤمنين أن النبى ص‬
‫ (رواه الخمسه‬.‫الصيام قبل الفجر فال صيام له‬
Artinya: “Dari Hafsah Ummul Mu’minin ra bahwasanya Nabi
SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak menetapkan berpuasa
sebelum fajar, maka tidak sah berpuasanya. Hadits di atas menyatakan
bahwa puasa tidak sah kecuali dengan menetapkan niat pada waktu
malam sebelum terbit fajar dan waktu penetapan niat itu semenjak
terbenam matahari.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Subulus Salam:
Dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk
kesehatan, berpuasa tanpa adanya niat puasa untuk melaksanakan
ibadah, tapi semata-mata untuk kesehatannya. Orang yang demikian
akan mendapatkan manfaat jasmaniah saja, tapi tidak mendapatkan
rohaniah. Dengan demikian niat puasa harus ada pada orang yang
berpuasa, karena tanpa niat berarti tidak ada puasa.

- Menahan diri dari segala yang membukakan (membatalkan puasa)


Dengan niat berpuasa sungguh-sungguh maka orang yang
berpuasa tidak saja menahan untuk tidak makan, tidak minum dan
tidak pula bersetubuh dengan suami dan istri dari terbit fajar sampai
terbenam matahari. Tetapi juga menjauhkan segala perbuatan kotor
dan jahat.
c. Tujuan Puasa
Secara jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau realisasi ketakwaan yakni
menjalankan perintah Allah SWT. dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
dilarang-Nya 52 dan la’allakum tattatquun. Ini berarti bahwa menahan diri dari
lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Puasa merupakan satu ibadah
yang unik. Segi keunikannya misalnya, bahwa puasa merupakam rahasia antara
Allah dan pelakunya.
Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi,
banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari Puasanya,
kecuali rasa lapar dan dahaga 58 . Banyak orang berpuasa tidak ada nilai baginya
kecuali lapar dan dahaga.
Berpuasa bagi orang Islam bukan saja berbakti kepada Allah, tetapi disiplin
jiwa dan moril, suatu kesadaran hidup yang tinggi bukankah tidak ada daya nafsu
yang lebih besar dari pada melepaskan lapar, sedang makan dan minuman
dibawah dipelupuk mata, meskipun demikian, daya nafsu ini dikalahkan oleh
orang yang berpuasa.
Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia, namun mereka bukan berarti
telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad sekarang inilah masih
melakukannya. Puasa dalam arti “ mengendalikan dan menahan diri untuk tidak
makan dan minum dalam waktu–waktu tertentu” dilakukan antara lain dengan
tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk
mogok makan sebagai pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan
sebagai tanda solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara,
seperti yang terdapat disentara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini
masih berlaku. Puasa dengan makna ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun
oleh satu esensi, yaitu “pengendalian diri”. Puasa yang dilakukan umat Islam
digaris bawahi oleh Al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk memperoleh takwa”.

4. Hal-hal yang Membatalkan Puasa


- Makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan, puasanya batal, dan
wajib menggantinya di luar bulan Ramadhan.
- Senggama suami-isteri di siang hari pada bulan Ramadhan; puasanya batal, dan
wajib mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan, dan wajib membayar
kifarah berupa: memerdekakan seorang budak; kalau tidak mampu harus
berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut; kalau tidak mampu harus memberi makan
60 orang miskin, setiap orang 1 mud makanan pokok.

5. Hal-hal yang Harus Dijauhi Selama Berpuasa


a. Berkata atau melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti:
berbohong, memfitnah, menipu, berkata kotor, mencaci maki, membuat
gaduh, mengganggu orang lain, berkelahi, dan segala perbuatan yang tercela
menurut ajaran Islam.
b. Berkumur atau istinsyaq secara berlebihan.

6. Keringanan Berpuasa.
a. Orang yang diberi keringanan (dispensasi) untuk tidak berpuasa, dan wajib
mengganti (mengqadla) puasanya di luar bulan Ramadhan:
- Orang yang sakit biasa di bulan Ramadhan.
- Orang yang sedang bepergian (musafir).
Dasarnya adalah :
Firman Allah SWT:

Artinya: “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ...” [QS. Al-Baqarah (2): 184].
b. Orang yang boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah 1
mud (0,5 kg) atau lebih makanan pokok, untuk setiap hari.
- Orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena tua dan sebagainya.
- Orang yang sakit menahun.
- Perempuan hamil.
- Perempuan yang menyusui.

7. Amalan Sunnah Bulan Ramadhan


- Mengerjakan Qiyamul-Lail di malam bulan Ramadhan (Qiyamu Ramadhan/
Shalat Tarawih).
- Mengakhirkan makan di waktu sahur.
- Menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib (ta‘jil).
- Berdoa ketika berbuka puasa, dengan doa yang dituntunkan yang
menunjukkan kepada rasa syukur kepada Allah SWT. Misalnya do’a
Dzahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.
- Memperbanyak shadaqah dan mempelajari/membaca Al-Qur’an.
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara i‘tikaf di masjid, terutama pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh
Rasulullah saw.

8. Penetapan Awal Puasa


Dalam penentuan awal puasa Ramadan, umumnya menggunakan dua metode
yaitu melalui pemantauan hilal (rukyatul hilal) dan hisab.
a. Rukyatul Hilal
Hilal merupakan penampakan bulan baru atau sabit yang merupakan penanda
dimulainya bulan baru dalam kalender Hijriah. Sedangkan rukyat merupakan
aktivitas mengamati dan melihat hilal yang tampak di ufuk barat. Cara ini
biasanya dilakukan menjelang matahari terbenam di beberapa titik yang sudah
ditentukan. Dalam penentuan awal puasa Ramadan tahun ini, rukyatul hilal
dilakukan pada 95 titik pemantauan yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia.
Dalam kalender Hijriah, perhitungan hari dimulai saat matahari terbenam atau
waktu magrib. Dalam penentuan awal puasa Ramadan 2019, maka cukup menanti
matahari terbenam di hari ke-29. Setelah itu, tinggal menunggu kemunculan bulan
sabit. Jika minimal dua orang yang melihat hilal, sudah bisa dipastikan bahwa
malam itu sudah masuk tanggal 1. Metode ini dianut oleh Nahdlatul Ulama.

b. Hisab
Metode lain dalam penentuan awal puasa Ramadan yaitu dengan cara Hisab.
Metode ini menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan untuk menentukan
awal bulan seperti Ramadan. Jika penentuan awal Ramadan dengan rukyatul hilal
harus melihat bulan baru atau sabit, maka pada metode hisab tak harus melihat
hilal dengan mata kepala telanjang tetapi bisa menggunakan ilmu. Dengan hisab,
posisi hilal akan bisa diprediksi ada "di sana” sekalipun wujudnya tidak terlihat.
Hisab menggunakan perhitungan ilmu falak atau astronomi untuk menentukan
bulan baru atau sabit. Sehingga dengan metode ini, posisi hilal dapat diperkirakan
secara presisi tanpa melihat bulan baru sebagai penanda awal bulan. Metode ini
dianut oleh Muhammadiyah.

9. Jenis-jenis Puasa
a. Puasa wajib (fardlu)
Puasa wajib disini bisa juga disebut dengan puasa fardlu, yang terdiri dari
Puasa Ramadhan, puasa qadla’(mengganti puasa Ramadhan yang batal pada hari-
hari yang lain), puasa kifarat (puasa yang diwajibkan karena melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan agama).
Dan puasa untuk melaksanakan nazar (puasa yang dijanjikan oleh seseorang
atas dirinya), semuanya hukumnya wajib. Namun biasanya yang dikategorikan
puasa fardlu di sini adalah Puasa Ramadhan.
b. Puasa kafarat
Ialah Puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dengan sengaja dalam
bulan Ramadhan (dalam hal ini khilaf), bukan karena sesuatu ‘udzur yang
dibenarkan syara’, karena bersetubuh dengan sengaja dalam bulan ranadhan pada
siang hari, karena membunuh dengan tidak sengaja, karena mengerjakan sesuatu
yang diharamkan dalam Haji, serta tidak sanggup menyembelih binatang Hadyu,
karena merusak sumpah dan berdziar terhadap istri.
c. Puasa yang diharamkan.
Ialah puasa yang dilakukan diwaktu hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha,
pada hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 zulhijjah ), istri melakukan puasa sunnah
tidak mendapatkan izin dari suami.
d. Puasa makruh
Ada beberapa pendapat tentang puasa ini, para ulama’ sepakat tentang hari-
hari makruh dalam melakukan puasa, yakni: Hanya hari jum’at saja, puasa hari
sabtu saja, sehari atau dua hari sebelum puasa Ramadhan serta puasa separuh
terakhir pada bulan Sya’ban yang tidak ada hubungannya dengan hari-hari
sebelumnya dan tidak ada sebab yang mengharuskan atau mewajibkan untuk
berpuasa.
e. Puasa yang disunnahkan.
Puasa yang dilaksanakan diluar bulan Ramadhan sebagai tambahan yang
dianjurkan. Serta dapat melengkapi yang fardlu apabila tidak ada kekurangan atau
cacat padanya. Puasa sunnah dapat diistilahkan dengan puasa tathawu’ antara lain;
puasa enam hari di bulan syawal, puasa tanggal 9 Dzulhijjah, puasa ‘Assyura dan
Tasyu’a yaitu hari yang kesepuluh dan kesembilan di bulan Muharram, puasa tiga
hari di tiap-tiap bulan (tanggal 13, 14, 15, bulan qamariah), puasa senin kamis,
puasa di bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) ,
puasa di bulan Sya’ban dan puasa Daud, yaitu puasa yang sehari puasa sehari
tidak puasa, puasa setiap hari senin dan hari kamis , serta puasa lain yang tidak
menentang pada syara’.
f. Puasa Sya’ (ragu-ragu)
Puasa hari sya’ itu biasanya dikerjakan ketika apakah sudah masuk bulan
Ramadhan atau belum, kemudian ada titik terang bahwa hari tersebut masuk bulan
ramadhan, oleh para ulama’ ada khilafiyah untuk masalah mengqhadha’ atau
apakah mendapat pahala, menurut Imam Hanafi ia mendapatkan pahala dan tidak
wajib mengqhada’. Tapi untuk Imam Syafi’i , Imam Hambali, Imam Maliki,
berpendapat puasanya tidak mendapatkan pahala dan ia harus mengqhada’nya.

10.Etika Sosial dalam Puasa


Puasa dapat menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan umat Islam. Baik yang
ada di timur ataupun di barat. Mereka berpuasa dan berbuka pada satu waktu. Puasa
dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, ukhuwah dan perasaan keterikatan dalam
tolong menolong yang dapat menjamin rasa persaudaraan sesama umat Islam
Perasaan lapar mukmin misalnya bisa mendorong seorang untuk bersilaturrahmi
dengan orang lain serta ikut berpuasa dalam menghilangkan bahaya kemiskinan,
kelaparan dan penyakit. Hal ini akan semakin menguatkan ikatan solusi antara sesama
manusia dan akan membangkitkan. Mereka untuk saling membantu dan memberantas
penyakit-penyakit masyarakat sosial (deviasi sosial).
Puasa terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan orang-orang
miskin yaitu dengan ikut menanggung aku merasakan penderitaan mereka. Tindakan
seperti ini akan menyangkut kedudukannya disisi Allah SWT. Dengan lapar dan haus
yang dirasakan ketika puasa, sadarkan mukmin betapa penderitaan orang tak mampu
itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu yang bersifat teori tapi merasakannya
sendiri yang bersifat praktek.
Setelah sebulan mukmin merasakan penderitaan orang-orang miskin pada
akhir bulan itu diujikan dia, apakah rasa sosial itu telah tumbuh. Disuruh memberikan
sebagian makannya kepada orang miskin dengan zakat fitrah. Kalau itu dilakukan
dengan ikhlas terwujudlah nilai sosial dari puasa.

Anda mungkin juga menyukai