Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL FIQIH IBADAH

Memahami Fiqih Puasa dalam Prespektif Imam Mazhab

Oleh : Abier Nailin Ni’am (19210119)

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari umat islam diwajibakan untuk beribadah kepada Allah, baik
ibadah sunnah maupun ibadah wajib. Ibadah sendiri termasuk salah satu cara agar kita selalu
dekat dengan sang pencipta. Dalam buku “Fiqih Puasa” karya Dr. Yusuf Qardhawi salah satu
pembagian ibadah adalah ibadah yang bentuknya pengendalian dan penahanan diri contohnya
Puasa.1

Puasa juga merupakan ibadah yang membantu kita untuk mengendalikan hawa nafsu.
Melalui puasa kita dituntut untuk menahan diri dari segala macam hal yang dapat membatalkan
puasa, salah satunya hawa nafsu.

Dalam artikel ini akan saya membahas mengenai puasa menurut pespektif lima mazhab,
yang sebenarnya ada beberapa bagian dalam puasa yang menjadi perbedaan diantara lima imam
mazhab.

Pembahasan

A. Pengertian Puasa
Puasa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berarti
meninggalkan dan menahan diri. Dengan kata lain, menahan dan mencegah diri dari
memenuhi hal-hal yang boleh dilakukan ketika berpuasa, meliputi keinginan perut dan
keinginan kelamin dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt.2
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya mengatakan bahwa puasa secara umum
adalah menahan, menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa tersebut
dimulai dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari disertai niat3. Definisi
tersebut telah disepakati oleh Mazhab Maliki dan Syafi’i, sedangkan menurut Mazhab
Hanafi dan Mazhab Hanbali niat tersebut tidak termasuk menjadi bagian dari definisi

1
Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, Wahid Ahmadi, Jasiman dan Fiqh Ash-Shiam (Cet-7:Solo,
Era Intermedia, 2007) h.18
2
Ibid.
3
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-faifi, Ringkasan Fiqh Sunnah, terj. Achmad Zaeni Dahlan dan Kitab Fiqih
Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Cet-1, (Depok:Senja Media Utama, 2017) h.235
puasa. Tetapi niat tetap menjadi syarat wajib dalam berpuasa yang tidak boleh
ditinggalkan.4
B. Syarat Puasa
Menurut buku “Dialoh Lintas Mazhab: Fiqh Ibadah dan Muamalah” karya Asmaji
Muctar syarat-syarat puasa dibagi menjadi tiga, yaitu; syarat wajib, syarat sah dan syarat
ada’. Sesuai dengan perincian dalam empat mazhab sebagai berikut:
Dalam Mazhab Syafi’i, syarat puasa dibagi menjadi dua yaitu; syarat wajib dan
syarat sah. Adapaun syarat wajib terbagi menjadi empat:
a. Baligh.
Menurut mazhab ini, anak kecil tidak diwajibkan puasa, tetapi ia
diperintah untuk berpuasa ketika telah berusia 7 (jika ia kuat). Jika ia berusia
10 tahun dan meninggalkan puasa, maka orang tuanya boleh memukulnya.
b. Islam
Puasa tidak diwajibkan bagi orang kafir. Dalam hal ini, ia tidak dituntut
untuk berpuasa di dunia, meskipun disiksa di akhirat karena
meninggalkannya. Sedangkan bagi orang yang murtad wajib berpuasa ketika
ia kembali masuk Islam.
c. Berakal
Tidak diwajibkan berpuasa bagi orang gila, kecuali akalnya hilang karena
kesalahannya, maka ia diwajibkan melakukan qadha puasa ketika ia sembuh.
d. Mampu (Kuat)
Yang dimaksudkan mampu disini ialah kuat secara hissi (nyata) dan
secara syar’i. Tidak diwajibkan berpuasa bagi orang yang mampu berpuasa
karena tua atau sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh. Orang yang
demikian dianggap sebagai orang yang tidak mampu secara hissi. Maka orang
yang tidak kuat secara syar’i seperti; wanita yang sedang haid atau nifas,
mereka tidak diwajibkan berpuasa karena tidak kuat secara syar’i
Selanjutnya syarat sah menurut Mazhab Syafi’i, dalam hal ini terbagi menjadi
empat seperti berikut :
a. Islam
b. Mumayiz
c. Tidak dalam keadaan haid, nifas dan melahirkan saat berpuasa
d. Sesuai waktu yang ditentukan

4
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab (Fiqh Ibadah & Muamalah)¸Cet-1 (Jakarta: Amzah, 2016) h.244
Dalam Mazhab Hanafi, syarat dalam puasa dibagi menjadi tiga yaitu; syarat
wajib, syarat wajib melakukan, dan syarat sah melakukan.
1. Syarat wajib ada tiga yaitu :
a. Islam
b. Berakal
c. Baligh
2. Syarat wajib melakukan ada dua yaitu:
a. Sehat
b. Bermukim
3. Syarat sah melakukan terbagi menjadi dua yaitu :
a. Suci dari haid dan nifas
b. Niat
Menurut Mazhab Maliki, puasa memiliki syarat wajib, syarat sah serta syarat
wajib dan syarat sah. syarat wajib terbagi menjadi dua, yaitu; baligh dan mampu
berpuasa. Untuk syarat sah terbagi menjadi tiga, yaitu; Islam, waktu yang sah untuk
berpuasa dan niat. Sedangkan untuk syarat wajib dan syarat sah terbagi menjadi tiga,
yaitu; berakal, suci dari haid dan nifas, serta masuknya bulan Ramadhan.
Adapun menurut Mazhab Hanbali dikatakan bahwa mereka sepakat dengan
Mazhab Maliki yang membagi syarat puasa menjadi tiga bagian, yaitu; syarat wajib,
syarat sah serta syarat wajib dan syarat sah berpuasa. Syarat wajib menurut Mazhab ini
adalah Islam, baligh dan mampu berpuasa. Untuk syarat sahnya yaitu; niat, dan berhenti
dari darah haid dan nifas. Sedangakan pada syarat wajib dan sah dibagi menjadi tiga,
yaitu; Islam, berakal dan mumayiz.5
C. Rukun Puasa
Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali puasa hanya memiliki satu
rukun yaitu, menahan diri dari semua perkara yang membatalkan puasa. Sedangkan
menurut Mazhab Maliki, sebagian dari mereka berpendapat puasa memiliki dua rukun
yaitu, menahan diri dan Niat. Sebagian yang lain dari mazhab ini berpendapat bahwa niat
adalah syarat bukan termasuk rukun sehingga rukun puasa hanyalah menahan diri.
Berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain, Mazhab Syafi’i membagi rukun puasa
menjadi tiga bagian yaitu menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, niat dan
orang yang berpuasa. Menurut mazhab ini, tanpa adanya ketiga rukun tersebut maka
tidak akan ada puasa.6
D. Macam-macam Puasa
5
Asmaji Muchtar, Dialog, h.249-250
6
Ibid, h.248
1. Puasa Ramadhan
a. Hukum Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasrkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Umat Islam juga telah sepakat bahwa Puasa Ramadhan adalah
hukumnya wajib dan bahwasanya ia termasuk dalam rukun Islam yang diketahui
melalui Al-Qur’an dan Sunnah, bagi siapa yang mengingkari atas status
kewajibannya maka ia kafir dan keluar dari Islam.7
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman

‫يأيها الذينءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”8
Selain itu dalam sebuah hadits dikatakan,

‫عن أبى عبدالرحمن عبدهللا بن عمر بن الخطاب رضى هللا عنهما قال سمعت‬
‫شهادة أن ال اله إال‬:‫رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول بني اإلسالم على خمس‬
‫هللا وأن محمد ارسول هللا وإقام الصالة وإيتاءالزكاة وحج البيت وصوم رمضان‬
‫روه البخارى ومسلم‬

“dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab ra. berkata: Aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Islam dibangun atas lima perkara; yaitu
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-
Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji ke
Baitullah, dan berpuasa dibulan Ramadhan.” (Diriwayatkan Imam Bukhari dan
Muslim)9
b. Keutamaan Puasa Ramadhan
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda ketika tiba bulan
Ramadhan:

7
Al-faifi, Ringkasan, h.236
8
QS. Al-Baqarah (2): 183
9
Syaikh Imam Nawawi, Terjemah Hadits Arba’in Nawaiyah, terj. Tim Pustaka Nun, cet.15, (Semarang: Pustaka
Nun, 2016)h.5-6
,‫ تفتح فيه أبواب الجنة‬,‫ افترض هللا عليكم صيامه‬,‫ شهر مبارك‬,‫قد جاءكم رمضان‬
‫ من حرم‬,‫ فيه ليلة خير من الف شهر‬,‫ وتغل فيه الشياطين‬,‫وتغلق فيه أبواب الجحيم‬
‫ قد حرم‬,‫خيرها‬

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan,
Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada kalian berpuasa didalamnya,
dibulan itu pintu-pintu langit akan dibuka dan pintu-pintu neraka akan ditutup, di
bulan itu setan-setan jahat akan diikat. Demi Allah, di bulan itu ada malam yang
lebih baik daripada seribu bulan, barang siapa terhalang mendapatkan
kebaikannya maka sunggu ia telah terhalang darinya” Hadits ini diriwayatkan
oleh imam Ahmad dan yang lain.10
c. Penentuan bulan Ramadhan
Menurut buku Fiqh Empat Mazhab karya Syaikh al’Allamah Muhammad
bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyiqi bahwa empat Imam Mazhab sepakat
diwajibkannya puasa Ramadhan adalah dengan melihat hilal atau bulan Sya’ban
sempurna 30 hari.
Ada perbedaan pendapat ketika bulan tidak dapat dilihat karena terhalang
mendung atau kabut tebal pada malam 30 Sya’ban. Menurut Mazhab Syafi’i,
Maliki dan Hanafi jika hal tersebut terjadi maka tidak diwajibkan berpuasa tetapi
menyempurnakan 30 hari pada bulan Sya’ban. Dari Mazhab Hanbali sendiri
diperoleh dua riwayat, yang pertama adalah pendapat yang didukung oleh para
ulama’ dan pengikutnya yaitu, jika hal tersebut terjadi maka diwajibkan untuk
berpuasa. Sedangkan pada riwayat kedua dikatakan bahwa wajib dan mulai
berniat puasa Ramadhan.
Ada pula perbedaan pendapat mengenai hilal yang terlihat pada siang hari.
Menurut Imam Mazhab kecuali Imam Hanbali, apabila hilal terlihat pada siang
hari, maka bulan tersebut untuk malam berikutnya, baik terlihat sebelum maupun
sesudah matahari condong ke arah barat. Sedangkan, menurut Mazhab Hanbali,
jika hilal terlihat sebelum matahari condong ke barat, maka bulan tersebut untuk
malam sebelumnya.11
2. Puasa Kafarah

Al-Faifi, Ringkasan, h.236


10

Syaikh al’Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. ‘Abdullah Zaki Al-
11

Kaff, cet.17, (Bandung: Hasyimi, 2016)h.148-149


Kafarah memiliki beberapa bentuk, diantaranya kafarah karena salah membunuh,
kafarah karena sumpah dan kafarah karena berbuka pada waktu puasa Ramadhan
secara disengaja. Bentuk-bentuk ini mempunyai hukum-hukum tertentu. Tapi
pembahasan kali ini hanya akan mencakup hukum orang yang berpuasa kafarah
karena berbuka pada waktu puasa Ramadhan.12
Dalam pendapat Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi dikatakan bahwa, orang
yang berpuasa karena kafarah yang disebabkan berbuka pada waktu puasa Ramadhan
ia tidak boleh berbuka walau hanya satu hari ditengah-tengah dua bulan tersebut.
Karena, kalau seseorang tersebut berbuka berarti ia telah memutuskan kelangsungan
yang berturut-turut itu. Baik berbuka yang dikarenakan udzur maupun tidak, maka ia
wajib memulai kembali puasanya selama dua bulan berturut-turut tersebut.13
Lain halnya dengan pendapat Mazhab Ja’fari dan Mazhab Hanbali. Mazhab
Ja’fari mengatakan yang berturut-turut itu cukup satu bulan penuh pada bulan
pertama dan satu hari pada bulan kedua. Bila ia telah mampu melaksanakannya, maka
ia boleh berbuka, kemudian ia harus berpuasa lagi untuk meneruskan yang
sebelumnya. Tetapi, jika dia berbuka pada bulan pertama tanpa adanya udzur maka,
ia wajib untuk mengulang dari awal. Namun, bila ia berbuka dikarenakan adanya
udzur syara’ baik karena sakit ataupun haid, maka hitungan berturut-turut tidak putus
dan ia boleh meneruskan setelah udzurnya hilang serta menyempurnakan kembali
puasanya. Sedangkan, Mazhab Hanbali mengatakan bahwa berbuka karena adanya
udzur syara’ tidak dapat memutuskan kelangsungan berturut-turutnya puasa
tersebut.14
E. Puasa yang Disunnahkan
1. Puasa Senin dan Kamis
Sebagian dari hari-hari yang umat Islam dianjurkan untuk mengerjakan puasa
setiap pekannya adalah Senin dan Kamis. Nabi saw. dahulu sangat perhaian untuk
berpuasa dihari-hari ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah dan Usamah bin Zaid
r.a. Usamah pernah bertanya kepada beliau saw. tentang rahasia dibalik puasa Senin
dan Kamis ini, beliau bersabda; “Dua hari ini adalah hari-hari ketika amal-amal
dibeberkan dihadapan Tuhan semesta alam dan aku ingin ketika amalku dibeberkan,
aku dalam keadaan berpuasa”. Penjabaran amal dihadapan Allah di dua hari tersebut
dalam hadits Shahih Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a Rasul saw. “Pintu-
pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampunilah setiap hamba

12
Al-Faifi, Ringkasan, h.194-195
13
Ibid
14
Ibid.
yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, selain seseorang yang antara
dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan, untuk mereka dikatakan ‘Lihatlah dua
orang ini hingga mereka berkebaikan’.”15
Adapun khusus hari Senin hadits riwayat Abu Qatadah meyebutkan bahwa:
“Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, ‘Itu adalah
hari ketika aku dilahirkan dan awal akku dibangkitkan (yakni pertama kali
mendapatkan wahyu)’.”16
2. Puasa enam hari dibulan Syawal
Diriwayatkan oleh al-Jama’ah selain Imam Bukhari dan An-Nasa’i, Abu Ayub
Al-Anshari meriwayatkan daro Nabi saw. beliau bersabda :

‫من صام رمضان وأتبعه ستا من ش ّوال فكأنما صام الدهر‬

“Barang siapa yang berpuasa ramadhan kemudian melanjutkannya dengan


berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa setahun”.17
Hadits inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Imam Mazhab kecuali Mazhab
Maliki, mereka mengatakan bahwa disunnahkan untuk berpuasa enam hari di bulan
Syawal bagi orang-orang yang berpuasa Ramadhan. Mazhab Maliki berpendapat
bahwa puasa enam hari di bulan Syawal tidak disunnahkan. Ia juga berpendapat
dalam al-Muthawatha’: Kami tidak melihat diantara para guru kami ada yang
mengerjakannya. Kami khawatir yang demikian disangka puasa fardhu.18
3. Puasa hari putih
Para Imam Mazhab sepakat bahwa puasa pada hari-hari putih adalah disukai,
yaitu hari-hari tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan Qamariyah19 Abu Dzar
meriwayatkan dari Nabi saw. beliau bersabda,

‫من صام من كال شهر ثالثة أيام فذاك صيام الدهر‬

“Barang siapa berpuasa tiga hari setiap bulan, itulah puasa setahun”
4. Puasa Daud
Abdullah bin Umar meriwayatan, Rasulullah saw. bersabda “Puasa yang paling
disukai oleh Allah adalah puasnaya Nabi Daud. Dan shalat sunnah yang paling

15
Yusuf, Fiqih Puasa, h.198
16
Ibid, h.199
17
Al-Faifi, Ringkasan, h.241
18
Syaikh al’Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, terj. ‘Abdullah Zaki Al-
Kaff, cet.17, (Bandung: Hasyimi, 2016)h.155
19
Ibid.
disukai Allah adalah shalat sunnahnya Nabi Daud. Ia tidur di setengah malam
(pertama), shalat di sepertiha malam dan tidue (lagi) diseperenamnya malanya. Ia
puasa sehari dan tidak puasa sehari.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Majah.20
F. Puasa yang Diharamkan
1. Puasa pada dua hari raya
Para Imam Mazhab kecuali Mazhab Hanafi sepakat, bahwa puasa yang dilakukan
pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya haram. Sedangkan Mazhab
Hanafi berpendapat berpuasa pada kedua hari raya tersebut hukumnya makruh yang
diharamkan, artinya hampir mendekati haram.21
2. Puasa pada hari tasyriq
Dalam tiga hari setelah Hari Raya Idul Adha, seorang muslim tidak
diperbolehkanberpuasa. Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah ra.
saat Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Hudzafah thawaf di Mina, beliau
bersabda, “Janganlah kalian berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyriq), karena ia
adalah hari-hari untuk makan, minum, dan dzikir kepada Allah ."‫ عزوجلز‬Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam ahmad dengan sanad jayyid.22
Selanjutnya hukum berpuasa pada hari-hari tasyriq, hari tasriq sendiri adalah hari
(tanggal) 11, 12, dan 13 pada bulan Dzulhijjah. Menurut Mazhab Ja’fari, tidak
boleh berpuasa pada hari-hari tasyriq khususnya bagi orang-orang yang berada di
Mina. Mazhab Syafi’i juga memiliki pendapat sendiri yaitu, tidak dihalalkan
berpuasa pada hari tasyriq, baik pada waktu melaksanakan haji atau tidak. Dalam
Mazhab Hanbali hanya diharamkan berpuasa pada hari tasyriq selain waktu
melaksanakan haji, tetapi tidak diharamkan jika pada waktu melaksanakan haji.
Mazhab Hanafi mengatakan, hukum dari berpuasa pada hari tasyriq sama dengan
hukum berpuasa pada dua hari eaya yaitu, makruh yang mendekati haram. Terakhir
pendapat dari Mazhab Maliki, hanya diharamkan pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah
pada waktu selain haji, tetapi tidak diharamkan jika melaksanakannya ketika ibadah
haji.23
3. Puasa pada hari jum’at saja
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa larangan ini menunjukkan makruh, bukan
haram. Kecuali, jika seseorang juga berpuasa pada hari kamis atau hari sabtu,
20
Al-Faifi, Ringkasan, h.242
21
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff,
Cet.27, (Jakarta: Lentera, 2011)h.196
22
Al-Faifi, Ringkasan, h.239
23
Muhammad, Fiqih, h.196
bertepatan dengan kebiasaannya berpuasa, atau bertepatan dengan hari arafah atau
hari ‘asyura, maka saat itu ia tidak makruh berpuasa. Di dalam Ash-Shaihaini
disebutkan, dari Jabir ra. Nabi bersabda, “Janganlah kalian berpuasa pada hari
jum’at, kecuali sehari sebelumnya atau sehari setelahnya kalian juga berpuasa.”24
4. Istri yang berpuasa tanpa seizin suaminya
Rasulullah saw. melarang bagi seorang istri yang berpuasa bila suaminya
dirumah, kecuali jika ia meminta izin pada suaminya. Seperti pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.

‫ال يحل للمرأة أن تصوم وزوجها‬: ‫ أنّ رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬,‫وعن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
)‫ واللفظ للبخاري‬,‫(متفق عليه‬,‫شاهد إال بإذنه‬

"‫"غيررمضان‬:‫زادأبوداود‬

Artinya :
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Tidak diperbolehkan bagi
seorang perempuan puasa disaat suaminya dirumah, kecuali dengan seizinnya”.
(Muttafaqun alaihi dan lafalnya menurut riwayat Muslim) Abu Dawud
menambahkan : “Kecuali pada bulan Ramadhan”25
Dalam ini juga para Imam Mazhab berbeda pendapat dalam menanggapinya,
menurut Mazhab Syafi’i dan Maliki diharamkan puasa sunnah yang dilakukan oleh
seorang istri tanpa seizin suaminya, atau tanpa meyakini bahwa suaminya ridha jika
ia berpuasa, walapun tidak memberi izin dengan jelas. Puasa tersebut diharamkan,
kecuali ketika suami tidak membutuhkannya, misalnya; ia sedang pergi, sedang ihram
atau sedang melakukan i’tikaf.26
Menurut Mazhab Hanafi, puasa seorang wanita tanpa seizin suaminya adalah
makruh. Sedangkan, menurut Mazhab Hanbali, jika suami ada istri tidak boleh
berpuasa tanpa seizin suaminya, walaupun suami sedang tidak mungkin melakukan
persetubuhan karena ihram, i’tikaf ataupun sakit.27
G. Macam-macam Udzur Berpuasa beserta Hukumnya
1. Haid dan Nifas
Para Ulama’ sepakat bahwa, perempuan yang sedang haid dan nifas diharamkan
untuk berpuasa.28
24
Al-Faifi, Ringkasan, h.
25
Muhammad bin Ismail as-Shun’ani, Terjemah Subulus Salam: jilid 2, terj. A. Syifa’ul Qulub, cet.1, (Surabaya:
Amelia, 2015)h.596
26
Asmaji, Dialog, h.251
27
Ibid.
28
Ad-Dimasyiqi, Fiqih, h.147
2. Hamil dan Menyusui
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, perempuan yang sedang hamil dan
perempuan yang sedang menyusui boleh tidak berpuasa jika mereka khawatir
terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya. Dan mereka wajib
mengqadha’nya serta membayar kafarah yaitu, setiap harinya satu mud. Tetapi
apabila mereka tetap berpuasa, maka puasanya tetap sah.29
Dalam Mazhab Maliki ada dua riwayat yang tentang perempuan yang hamil dan
menyusui ketika mereka tidak berpuasa. Riwayat pertama mengatakan diwajibkan
membayar kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya dan tidak
diwajibkan bagi perempuan yang sedang hamil. Sedangkan pada riwayat kedua, tidak
ada kafarah atas keduanya, cukup dengan mengqadha’ (mengganti).30 Dan menurut
Mazhab Hanafi, tidak diwajibkan secara mutlak bagi keduanya.31
Menurut Mazhab Ja’fari, kalau perempuan yang saat kelahirannya sudah dekat
dan membahayakan dirinya apabila dia berpuasa atau membahayakan anak yang
sdang disusuinya, maka ia harus berbuka dan tidak boleh berpuasa, karena yang
membahayakan itu diharamkan. Mereka sepakat bahwa bagi wanita yang khawatir
membahayakan anaknya harus mengqadha’ (menggantinya) dan membayar fidyah
satu mud.
3. Musafir
a. Jarak Safar yang diperbolehkan untuk berbuka
Imam Mazhab berpendapat bahwa, berbuka diperbolehkan apabila
perjalanan sesorang yg sedang bepergian tersebut sesuai denagn syarat-syarat
diperbolehkannya melakukan shalat qashar. Kemudian, perjalanan tersebut
harus berangkat sebelum terbeitnya fajar, sampai menempuh jarak
diperbolehkannya melakukan shalat qashar. Namun jika perjalanan tersebut
berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau
orang tersebut berbuka maka ia harus mengqadha’ puasanya tetapi tidak perlu
membayar kafarah.32
Mazhab Syafi’i menambahkan satu syarat lagi, yaitu; bukan seorang
musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan. Kalau seseorang tersebut
memang mempunyai pekerjaan yang mengharuskan dia melakukan pekerjaan
jauh, maka ia tidak memiliki hak untuk berbuka. Karena menurut Imam

29
Ibid.
30
Ibid.
31
Muhammad, Fiqih, h.183
32
Ibid.
Mazhab berbuka dalam perjalanan adala sebuah rukshah (keringanan) bukan
suatu keharusan. Maka bagi seorang musafir juga diharuskan memenuhi
syarat-syarat tersebut. Kalau dia suka (mampu) dia diperbolehkan untuk
berpuasa tetapi kalau ia tidak suka atau tidak mampu maka ia diperbolehkan
untuk berbuka.33
b. Hukum berpuasa bagi musafir
Islam memberi perhatian dan meletakkan hukum-hukum khusus untuknya
dalam rangka mempermudah dan memperingan para pelakunya dalam
bersuci, shalat, puasa dan zakat. Diantara sekian banyak dispensasi yang
disyariatkan Islam untuk musafir adalah dispensasi untuk berbuka puasa.34
Hukum berpuasa bagi musafir menurut Imam Mazhab berbeda-beda,
empat Imam Mazhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir)
boleh tidak berpuasa dan jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah
tetapi, jika berpuasa membahayakan diri mereka maka hukumnya adalah
makruh.35
Sedangkan, menurut Mazhab Ja’fari apabila seorang musafir yang sudah
memenuhi syarat-syarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa maka
puasanya tidak diterima. Dan seseorang tersebut diharuskan mengqadha’
puasanya tetapi tidak perlu membayar kafarah. Ketetapan ini berlaku kalau
perjalanan itu dilakukan sebelum matahari tergelincir, tetapi kalau dilakukan
pada waktu zawal (tergelincirnya matahari) atau sesudahnya, maka ia harus
tetap berpuasa dan kalau ia berbuka (membatalkan puasa) dia harus
membayar kafarah hukumnya sama seperti seseorang yang sengaja berbuka.
Bila seorang musafir telah sampai ke daerahnya atau tempat yang akan
ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal dan tidak melakukan sesuatu
yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya dan bila
berbuka maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu
membayar kafarah.36
4. Orang yang Sakit dan Orang Tua
Menurut pendapat Mazhab Syafi’i yang paling shahih dan Mazhab Hanafi orang
yang sakit yang tidak dapat disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa,
tetapi diwajibkan untuk membayar fidyah. Ketentuan fidyah menurut Mazhab Syafi’i

33
Ibid.
34
Yusuf, Fiqih, h.66
35
Ad-Dimasyiqi, Fiqih, h.147
36
Muhammad, Fiqih, h.184
dan Mazhab Hanafi ini berbeda. Mazhab Hanafi menetapkan fidyah tersebut adalah
setengah sha’ gandum setiap hari. Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i fidyah tersebut
adalah satu mud setiap hari.37
Menurut Mazhab Maliki sendiri tidak diwajibkan berpuasa bagi orang yang sakit
dan orang tua renta dan tidak diwajibkan juga untuk membayar fidyah. Sedangkan,
menurut Mazhab Hanbali orang yang sakit dan orang tua renta haris memberi makan
satu sha’ kurma atau satu mud gandum.38
5. Orang yang Pingsan dan Mabuk
Menurut Mazhab Ja’fari orang yang pingsan tidak diwajibkan berpuasa, sekalipun
ia memperoleh (mengetahui) sebagian dari siang. Kecuali kalau ia telah berniat puasa
sebelum pingsan, kemudian sadar, maka harus tetap menahan (makan dan minum
serta hal-hal yang membatalkan puasa)39 dan pada Mazhab ini yang diwajibkan untuk
mengqadha’ puasanya adalah orang yang mabuk, baik mabuk karena perbuatannya
sendiri ataupun bukan.40
Menurut Mazhab Syafi’i jika perasaan orang yang mabuk dan pingsan tersebut
hilang akal sepanjang waktu berpuasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi, jika hilang di
sebagian waktu saja maka puasanya tetap sah. Ketentuan dalam mengqadha’ menurut
Mazhab ini bagi orang yang pingsan maka diwajibkan secara mutlak untuk
mengqadha’. Tetapi bagi orang yang mabuk, tidak wajib mengqadha’ kecuali jika
mabuknya disebabkan oleh dirinya sendiri.41
Mazhab Maliki mengatakan bahwa orang yang pingsan dan mabuknya sejak
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari (tidak sadar di sebagian banyak waktu
berpuasa) maka puasanya tidak sah dan harus mengqadha’ puasa. Tetapi jika orang
yang pingsan dan mabuk dalam keadaan sudah berniat sebelum mereka pingsan atau
mabuk dan terjadi hanya setengah hari maka tidak diwajibkan untuk mengqadha’.42
Dalam Mazhab Hanafi orang yang pingsan sama seperti orang yang gila, dan
orang gila hukumnya: Jika gilanya itu selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan,
maka ia tidak diwajibkan mengqadha’, tetapi jika gilanya itu hanya setengah bulan
atau tidak sampai akhir bulan dan kemudian sadar, maka ia tetap diwajibkan berpuasa
dan mengqadha’ hari-hari yang ditinggalkan. Sedangkan dalam Mazhab Hanbali,

37
Ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, h. 148
38
Ibid.
39
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.185
40
Ibid. h.187
41
Ibid, h.186
42
Ibid, h.186
orang yang pingsan ataupun mabuk wajib mengqadha’ puasanya, baik karena
kemauannya sendiri ataupun karena dipaksa.43
H. Ketentuan dalam mengqadha’ puasa
1. Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan puasanya pada bulan
ramadhan wajib mengqadha’ (mengganti) pada tahun dimana ia meninggalkan puasa
sampai bertemu ramadhan selanjutnya, boleh dihari-hari yang ia sukai, asalkan tidak
pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa
2. Menurut Imam Mazhab selain Mazhab Hanafi, orang yang mampu melaksanakan
qadha’ pada celah-celah tahun itu, kemudian dia menyia-nyiakan sampai masuk
ramadhan selanjutnya, maka dia tetap harus berpuasa pada bulan ramadhan tahun itu
dan tetap berkewajiban mengganti yang ditinggalkannya, tetapi ia harus membayar
kafarah satu mud setiap hari. Sedangkan, menurut Mazhab Hanafi, dia hanya
diharuskan untuk mengqadha’nya tanpa harus membayar kafarah.
3. Kemudian, apabila ada orang yang sakit terus menerus dari Ramadhan pertama sampai
Ramadhan kedua dan dia tidak mampu untuk mengganti puasa tersebut maka, menurut
Imam Mazhab selain Mazhab Ja’fari orang tersebut tidak diharuskan untuk
mengqadha’ puasanya dan tidak pula membayar kafarah. Sedangkan, menurut
Mazhab Ja’fari pelaksanaan qadha’ itu gugur, namun dia tetap diharuskan untuk
membayar kafarah satu mud setiap hari. Maksudnya disini, memberikan makanan
pada satu orang miskin setiap hari.
4. Imam Mazhab sepakat bahwa apabila ada seseorang yang mengakhirkan mengganti
puasanya agar ketika mengganti dapat bersambung dengan Ramadhan kedua tetapi
kemudian ada udzur syara’ yang melarangnya sampai masuk Ramadhan lagi, maka ia
tidak diharuskan membayar kafarah melainkan hanya mengganti puasanya saja.
5. Menurut Mazhab Ja’fari, apabila ada seseorang yang berbuka puasa karena adanya
udzur dan ia mampu untuk menggantinya, tetapi tidak menggantinya sampai ia mati,
maka anak tertuanya wajib mengganti puasa tersebut. Berbeda dengan Mazhab Ja’fari,
Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa anak yang tertua itu harus
menyedekahkan hartanya satu mud setiap hariuntuk puasa yang ditinggalkan orang
tuanya. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa sang wali harus
menyedekahkannya apabila orang yang meninggal tersebut berwasiat, tetapi jika tidak
berwasiat, maka ia tidak perlu berwasiat.44
I. Kesunnahan dalam Puasa
1. Mendahulukan Berbuka
43
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.186
44
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.192-194
Orang yang berpuasa disunnahkan untuk mendahulukan berbuka, Rasulullah saw.
telah menganjurkan hal ini dengan sabda maupun perbuatannya. Dalam kitab Sahih
Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda45

‫اليزال الناس بخير ما عجلوا الفطر‬

“Seseorang akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mendahulukan buka


puasa”
Mendahulukan berbuka dianjurkan, karena ia memudahkan dan meringankan
manusia, sedangkan mengakhirkannya menyerupai sikap berlebihan dalam agama
dan menyerupai penganut agama lain yang berlebihan dalam agamanya. Makna
‘medahulukan’ disini adalah ketika hilangnya bulatan matahari dari cakrawala sudah
cukup untuk membatalkan.46 Sebaiknya, seseorang berbuka dengan memakan kurma
dalam bilangan ganjil atau minum air putih.47
2. Mengakhirkan Sahur
Umat Islam sepakat bahwa sahur hukumnya adalah sunnah dan orang yang tidak
sahur tidak berdosa. Anas ra. meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda “Makanlah
sahur, sebab dalam sahur itu ada keberkahan (kebaikan)” Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Berkah tersebut adalah makan sahur yang
dapat membantu seseorang kuat dalam puasanya dan tetap giat dalam menjalankan
aktifitasnya.48 Diantara berkah santap sahur adalah selain memberikan santapannya
kepada kaum muslimin yang bersifat materi, sahur juga memberikan santapan ruhani
dengan amalan dzikir, istigfar dan do’a diwaktu yang penuh berkah ini. Waktu sahur
adalah saat rahmat Allah diturunkan.49
Waktu sahur dimulai sejak tengah malam hingga terbitnya fajar. Sunnahnya
adalah mengakhirkannya. Zaid bin Tsabit ra. berkata “Kami pernah makan sahur
bersama Rasulullah saw. setelah itu kami melaksankan shalat subuh.’ seseorang
bertanya, ‘Berapa lama rentang waktu antara keduanya’ ia menjawab ‘(kira-kira)
lima puluh ayat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.50
3. Berdo’a saat Berbuka di Tengah-tengah Ramadhan
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr Al-Ash bahwa Nabi saw.
bersabda, “Saat berbuka, orang yang berpuasa memiliki satu do’a yang tidak akan
45
Yusuf, Fiqih Puasa, h.151
46
Ibid, h.152
47
Al-Faifi, Ringkasan, h.244
48
Ibid, h.244
49
Yusuf, Fiqih Puasa, h.154
50
Al-Faifi, Ringkasan, h.244
ditolak.” Ia Abdullah bin ‘Amr ketika berbuka selalu mengucapkan “Ya Allah,
sesungguhnya dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu. Aku mohon,
ampunilah aku”.
At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Ada tiga golongan yang tidak akan ditolak do’anya; orang yang puasa hingga ia
berbuka, imam yang adil dan orang yang di zhalimi.”
4. Bersungguh-sungguh di Sepuluh Hari Terakhir bulan Ramadhan
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra. mengatakan
bahwa Nabi selalu menghidupkan malam-malamnya, membangunkan istrinya,
mengencangkan kain sarung ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir. 51
Mengencangkan kain adalah kiasan untuk menunjukkan keseriusan dan kesungguhan
dalam beribadah, sebagaimana ungkapan yang digunakan untuk sikap menjauhi Istri.
Sedangkan orang yang serius dalam bekerja disebut dalam kiasan menyingsingkan
lengan baju.52
Adapun yang dimaksud dengan ‘menghidupkan malam-malamnya’ adalah
menghidupkan keseluruhan malamnya dengan qiyamulail, ibadah, dan ketaatan.
Sebelum itu beliau bangun di sebagiannya dan tidur disebagiannya. Dengan begitu,
beliau mengajarkan agar setiap muslim membiasakan istri dan keluarganya dengan
menginatkan saat-saat yang baik dan memerintahkannya untuk melaksankan ibadah.53
Diantara tanda-tanda keseriusan beliau pada sepuluh hari terakhir ini adalah
beliau i’tikaf di masjid dan konsentrasi untuk beribadan kepada Allah swt. Aisyah
menyebutkan bahwa Nabi saw. i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga
Allah memanggil beliau, kemudian istri-istri beliau pun i’tikaf sepeninggalnya.54
5. I’tikaf
I’tikaf adalah mengasingkan diri untuk sementara dari kesibukan-kesibukan hidup
dan secara total menghadap kepada Allah swt. untuk beribadah kepada Allah.55 Para
Imam Mazhab juga sepakat bahwa i’tikaf disyaratkan dan merupakan suatu ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.56
I’tikaf dihukumi sunnah muakkad oleh Mazhab Hanbali dan Mazhab Syafi’i
ketika dilakukan pada bulan Ramadhan, terutama 10 hari terakhir. Sedangkan
menurut Mazhab Hanafi i’tikaf adalah sunnah kifayah muakkad pada 10 hari terakhir

51
Ibid, h.245
52
Yusuf, Fiqih Puasa, h.170
53
Ibid, h.171
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ad-Damsyiqi, Fiqih, h.157
bulan Ramadhan, dan mustahab pada selain waktu tersebut. Menurut mazhab Maliki
yang paling populer, i’tikaf hukumnya mustahab pada bulan Ramadhan dan pada
bulan-bulan yang lain57
J. Hal-hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum secara sengaja
Kedua hal ini termasuk dalam hal yang membatalkan puasa. Imam Mazhab
menetapkan bahwa orang yang makan dan minum secara sengaja wajib
mengqadha’nya. Tetapi ada perbedaan dalam menetapkan wajibnya membayar
kafarah.58
Menurut Mazhab Ja’fari dan Hanafi mereka mewajibkan orang yang makan dan
minum secara sengaja ketika berpuasa untuk membayar kafarah. Sedangkan, Mazhab
Syafi’i dan Hanbali tidak mewajibkan membayar kafarah. Tetapi bagi orang yang
makan dan minum karena lupa maka tidak harus mengqadha’nya dan tidak pula
membayar kafarah. Hanya Madzhab Maliki yang tetap mewajibkan mengqadha’
tanpa membayar kafarah.59
2. Muntah
Muntah secara sengaja dapat membatalkan puasa. Menurut Mazhab Ja’fari,
Syafi’i dan Maliki wajib mengqadha bagi orang yang batal puasanya karena muntah
dengan sengaja. Tetapi, menurut Mazhab Hanafi orang yang muntah tidak
membatalkan puasa, kecuali muntah tersebut memenuhi mulut. Dalam Mazhab
Hanbali terdapat dua riwayat, mereka sepakat bahwa muntah dengan terpaksa tidak
membatalkan puasa.60
3. Bersetubuh
Bersetubuh secara disengaja termasuk hal yang membatalkan puasa. Dan para
Imam Mazhab sepakat bagi yang melakukan persetubuhan wajib mengqadha’nya
serta membayar kafarah. Tetapi jika melakukan persetubuhan dengan lupa, menurut
Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Ja’fari maka puasanya tidak batal. Sedangkan menurut
Mazhab Hanbali dan Maliki, hal tersebut tetap membatalkan puasa.61
4. Istimna’
Imam Mazhab sepakat bahwa istimna’ (mengeluarkan mani) dapat merusak puasa
apabila dilakukan secara sengaja, Mazhab Hanbali menambahkan bahwa keluar

57
Asmaji Muchtar, Dialog, h.256-257
58
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.188
59
Ibid.
60
Ibid, h.189
61
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.188-189
madzi juga dapat merusak puasa. Maksudnya adalah madzi yang disebabkan melihat
sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat atau sejenisnya.
Empat Imam Mazhab mengatakan kalau hanya keluar mani wajib mengqadha’nya
tanpa membayar kafarah. Sedangkan Mazhab Ja’fari mewajibkan untuk mengqadha’
dan membayar kafarah sekaligus.62
K. Hikmah Berpuasa
1. Pembersihan Jiwa (Tazkiyah an-Nafs)
Dengan berpuasa kita dapat membersikan jiwa dan raga dengan menahan diri dari
hal-hal yang menyenangkan dan membebaskan diri dari hal-hal yang telah lekat
sebagai kebiasaan. Seseorang bisa saja makan, minum, ataupun bersetubuh dengan
istrinya ketika berpuasa tanpa seorangpun yang mengetauhi. Tetapi ia meninggalkan
semua hal tersebut semata-mata karena Allah swt.63 Rasulullah saw. bersabda,

‫ يتركط عامه‬,‫ لخلوف فم الصائم أطيب عند هللا من ريح المسك‬,‫والذي نفسي بيده‬
.‫ كل عمل ابن آدم له إال الصوم فإنه لي وأنا أجزي به‬.‫وشرابه وشهوته من أجلي‬

“Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum disisi Allah dari pada bau minyak kasturi. Dia tidak makan,
tidak minum, dan tidak berhubungan dengan istri karena-Ku. Tiap-tiap amal bani
adam baginya, kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya pahala.”
(HR. Bukhari dan Muslin dari Abu Hurairah)64
2. Pengendali Diri
Puasa berpengaruh mematahkan gelora syahwat ini dan mengangkat tinggi-tinggi
nalurinya, khususnya jika ia terus menerus melakukan puasa dengan mengharap ridah
Allah65 Rasulullah juga memerintahkan berpuasa bagi oemuda yang berlum mampu
menikah. Seperti dalam sabdanya

,‫يامعشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج‬
.‫و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‬

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka menikahlah.
Sesungguhnya ia lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.

62
Ibid, h.189
63
Yusuf, Fiqih Puasa, h.22
64
Ibid.
65
Ibid. H.24-25
Sedangkan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, karena sesungguhnya
puasa itu ‘pengebirian’ baginya.”66
3. Mensyukuri Nikmat Allah
Diantara sekian banyak hikmah puasa salah satunya adalah dengan kita berpuasa
kita dapat lebih bersyukur atas nikmat-nikmat yang Allah berikan. Nikmat bisa
membuat orang kehilangan perasaan terhadap nilainya. Seseorang tidak akan
mengetahui nilai dari sebuah kenikmatan, kecuali ketika kenikmatan itu sudah
diambil oleh Allah.
L. Permasalahan Kontemporer dalam Fiqh Puasa
1. Bagaimana hukumnya bagi orang yang tidak mampu berpuasa dua bulan,
memerdekakan budak, dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin
untuk membayar kafarah karena berbuka pada bulan Ramadhan ?
Menurut Mazhab Ja’fari, orang yang tidak dapat melaksanakan ketentuan-
ketentuan bentuk kafarah maka ia diperbolehkan untuk memilih antara berpuasa
selama delapan hari atau bersedekah semampunya. Kalaupun hal tersebut masih
membebani orang tersebut maka ia boleh berpuasa atau bersedekah semampunya.
Dan bila hal ini masih tidak sanggup untuk dilaksanakan oleh orang tersebut maka, ia
harus meminta ampun kepada Allah swt.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, orang yang tidak dapat
melakukan ketentuan-ketentuan bentuk kafarah maka ia mempunyai tanggung hawab
untuk menunaikannya, sampai ia mampu melaksanakannya.
Berbeda dengan Mazhab Hanbali, menurut mazhab ini jika seseorang tidak
mampu melaksanakan semua ketentuan dalam membayar kafarah tersebut maka
gugur kafarah tersebu, sekalipun setelah itu ia merasa lapang, tetapi ia tetap tidak
wajib melaksanakannya.67
2. Bagaimana hukum bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa?
Menurut pendapat Imam Hanafi dan Maliki bersiwak bagi orang yang sedang
puasa hukumnya tidak makruh. Menurut Imam Syafi’i hal tersebut makruh.
Sedangkan, menurut Imam Hanbali, diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan
bahwa hal tersebut hukumnya tidak makruh68
3. Bagaimana hukum orang yang sedang puasa tapi berenang?
Dalam Ash Shahihaini disebutkan Aisyah r.a meriwayatkan bahwa Nabi saw.
pernah junub di pagi hari dalam keadaan sedang berpuasa. Beliau kemudian mandi

66
Yusuf, Fiqih Puasa, h.25
67
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.194-196
68
Ad-Dimasyiqi, Fiqih Empat Mazhab, h.13
besar. Kalaupun ada air yang masuk kedalam perut orang yang sedang berpuasa tanpa
disengaja maka puasanya tetap sah.69
Menurut mayoritas pendapat Mazhab Ja’fari mengatakan bahwa orang yang
menenggelamkan seluruh kepalanya bersama badannya atau tidak dengan badannya
dapat membatalkan puasanya dan dia diwajibkan untuk mengqadha’ puasanya serta
membayar kafarah.70
4. Apakah boleh orang yang sedang berpuasa di infus?
Ulama Mazhab sepakat bahwa disuntik dengan cairan dapat membatalkan
(merusak) puasa. Dan bagi yang disuntik wajib mengqadha’ . Namun sekelompok
dari Mazhab Ja’fari menambahkan dengan kewajiban membayar kafarah, kalau
seseorang yang disuntik tidak dalam keadaan benar-benar kritis.71

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
69
Al-Faifi, Ringkasan, h.246
70
Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, h.190
71
Ibid, h.189-190
Ad-Dimasyiqi, al’Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman. Fiqih Empat Mazhab. terj. ‘Abdullah
Zaki Al-Kaff. cet.17. (Bandung: Hasyimi). 2016.

Al-Faifi, Sulaiman bin Ahmad bin Yahya. Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. terj. Achmad
Zaeni Dahlan. cet.1. (Depok: Senja Media Utama). 2017.

As-Shun’ani,Muhammad bin Ismail. Terjemah Subulus Salam: jilid 2. terj. A. Syifa’ul Qulub,
cet.1. (Surabaya: Amelia). 2015.

Muchtar,Asmaji. Dialog Lintas Mazhab: Fiqh Ibadah dan Muamalah. cet.1. (Jakarta: Amzah).
2016.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. terj. Masykur A.B, Afif Muhammad, dan
Idrus Al-Kaff. Cet.27.(Jakarta: Lentera). 2011.

Nawawi, Imam. Terjemah Hadits Arba’in Nawaiyah. terj. Tim Pustaka Nun. cet.15. (Semarang:
Pustaka Nun). 2016.

Qardhawi,Yusuf. Fiqih Puasa, terj. Ma’ruf Abdul Jalil, Wahid Ahmadi, dan Jasiman. Cet-7.
(Solo: Era Intermedia). 2007.

Anda mungkin juga menyukai