Anda di halaman 1dari 9

1

PROBLEMATIKA FIDYAH
Oleh : Akhmad Muhaini


A. PENDAHULUAN

Seorang muslim baru bisa disebut muslim kamil apabila telah menjalankan rukun
Islam yang 5 (lima), yakni : syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lima perkara tersebut
wajib dikerjakan oleh setiap individu yang mengaku sebagai seorang muslim, tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Arti wajib di sini adalah apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila
ditinggalkan mendapat dosa. Implikasinya adalah apabila seseorang belum melaksanakan
kewajiban-kewajiban tersebut dalam waktu yang telah ditentukan, maka dia bisa (harus)
melaksanakannya pada waktu yang lain. Sebagai contoh apabila ada seseorang yang
meninggal dunia dan sebenarnya dia mampu menjalankan ibadah haji, tetapi dia belum
mengerjakan haji maka ahli warisnya berkewajiban mengqadha haji orang tersebut, ibadah
haji seperti ini disebut haji amanah (BADAL HAJI). Hal ini bermuara pada sebuah hadits
Nabi yang artinya :
Sesungguhnya orang perempuan telah bertanya kepada Rosululloh SAW : Ya
Rosululloh, Ibu saya telah meninggal dunia sedang ia masih mempunyai tanggungan puasa
nadzar yang belum ditunaikannya? Rosululloh SAW pun menjawab : Katakanlah padaku,
seandainya ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar
utang ibumu itu? Ya; jawab si perempuan itu, Rosululloh SAW bersabda : Berpuasalah
engkau untuk ibumu
Qadha, secara etimologi berarti memutuskan, apabila digabungkan dengan kata shalat
maka berarti membayar/mengkada shalat yang tinggal, dalam istilah Jawa disebut nyarutang.
Dalam kenyataannya tidak semua orang yang mempunyai hutang shalat, mampu mengqadha-
hutang shalatnya bahkan dia meninggal dunia.
Hukum qadha juga berlaku untuk ibadah puasa. Allah telah menurunkan kewajiban
puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan
dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa
yang tidak berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah.
Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan
Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang
boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan
membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita. Untuk memperjelas
tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah
tersebut. Tulisan ini juga akan mengulas sedikit tentang fenomena fidyah yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat NU pedesaan. Topik yang akan kita bahas ini, mengarah pada
pelaksanaan qodlo shalat dan pembayaran fidyah bagi orang yang sudah meninggal.


B. TINJAUAN UMUM TENTANG FIDYAH
1. Pengertian fidyah
Fidyah berasal dari bahasa Arab fada yafdi fidan - fidyatan yang berarti
tebusan/barang penebus.
1
Fidyah ( ) atau fidaa ( ) atau fida ( ) adalah satu
makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang
tersebut akan menyelamatkannya.
2
Menempatkan sesuatu pada tempat lain sebagai
tebusan (pengganti)-nya; sesuatu dari bentuk makanan atau lainnya. Sesuatu berupa
harta dan lainnya yang dipergunakan manusia untuk menebus dirinya. Penebusan itu
dilakukan karena yang bersangkutan meninggalkan ibadah yang disebabkan oleh
masyakah (merasa berat).
3
Secara terminologis (istilah) fidyah adalah sejumlah harta
benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti
suatu ibadah yang telah ditinggalkan
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah itham, yang
artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu
yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena
dia meninggalkan puasa dan shalat.

1
Munawwir, AW, 1997. Kamus Al-Munawwir. Ed. Kedua. Surabaya: Pustaka Progessif. Hal. 1040.
2
Lihat Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi. Cet. Maktabah Lubnan, hlm. 435.
3
Dahlan, Abdul Azis, dkk.Ensiklopedi Hukum Islam.cet. I, Jakarta : Ikhtiar Baru van Hoeve, Hal. 328
2

2. Dasar hukum fidyah
Fukaha (ahli fikih) umumnya sepakat bahwa fidyah merupakan rukhsah
(keringanan, dispensasi). Sayid Sabiq, guru besar hokum Islam di Mekah mengatakan
bahwa fidyah merupakan keringann bagi orang yang sudah amat tua,wanita uzur, dan
orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.
4

Beberapa dalil yang menjadi dasar hokum fidyah adalah sebagai berikut :
a. Al-Quran surat al-Baqarah ayat 184 :
Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di
bulan Ramadhan), wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk
membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa
yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih
baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian
mengetahui.
b. Al-Quran surat al-Baqarah ayat 196 :
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah. jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau Karena sakit), Maka (sembelihlah) korban
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai
di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau
bersedekah atau berkorban.
c. Al-Quran surat al-Baqarah ayat 286 :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.."
d. Hadis Nabi :
( (
Barang siapa yang meninggal sedang ia masih memiliki tuntutan kewajiban
puasa maka dipuasai oleh walinya.
Dalam hadis yang lain dikatakan :




Ibn Umar meriwayatkan Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barang siapa
meninggal sedang ia mempunyai tanggunggan puasa (fardlu) maka bayarlah
untuknya satu hari satu orang miskin

3. Unsur-unsur fidyah
a. Wajib fidyah
1) Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang rnerasa berat apabila
berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk
memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat
AIi, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats
Tsauri dan Auza'i.
5

2) 0rang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang
menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
3) Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka.
Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan
kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka
akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.

4
Ibid hal 328
5
Lihat Al Mughni (3/141)
3
Dalam permasalahan ibu hamil dan menyusui ini, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ahlul ilmi, anatara lain sebagai berikut :
a) Pendapat pertama, wajib bagi mereka untuk menggadha dan membayar
fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan
menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha'
tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya,
maka dia wajib untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Dalil dari pendapat ini
ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit,
bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha' puasa ketika mereka mampu
pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah
perkataan Ibnu Abbas: Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap
anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan.
6

b) Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi
wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih. Dalil dari
pendapat ini ialah hadits Anas :
Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita
yang menyusui. (HR Al Khamsah).
Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan
menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan.
Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya
menyebutkan untuk memberi makan.
7

c) Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja. Dengan
dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang
bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk
mengqadha', karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun hadits : Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang
hamil dan menyusui ", maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan
kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha'.
Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri
dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan
hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan
mengqadha'
8

b. Perkara yang difidyahkan
1) Puasa
Para ulama Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah
dalam puasa dikenai pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho puasa. Hal
ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta
orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan
dalam firman Allah Taala,

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka


tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin (QS.
Al Baqarah: 184).
9

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,

(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah
sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah
mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.
10

2) Shalat
Menurut Imam Syafii dan Imam Hanafi perkara yang bisa dikeluarkan
fidyah adalah shalat 5 (lima) waktu dan puasa Ramadlan, bahkan Imam Hanafi
menambahkan bahwa shalat witir pun harus dikeluarkan fidyah sedangkan
menurut Imam Syafii shalat witir tidak perlu dikeluarkan fidyah.
Pada prinsipnya sholat tidak boleh ditinggalkan dengan sengaja, meski
dalam keadaan darurat/seberat apapun. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan

6
HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18
7
Dahlan,..Ensiklopedi Hal. 330.
8
dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya
9
Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 2/1586.
10
HR. Bukhari no. 4505.
4
Abu Daud (No. 952), Al Tirmidzi (No.372), Ibnu Majah (No. 1223), dan
Ahmad,.Rasulullah SAW bersabda, shalatlah berdiri, jika tidak mampu,
shalatlah sambil duduk! Jika masih tidak mampu shalatlah sambil terbaring!.
Maka menurut pendapat yang mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah shalat.
Namun ada hadits riwayat Al-Nasai dalam kitabnya Al-Sunan Al-Kubra
(IV/43) dan Al-Thahthawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/14!) yang
semuanya disandarkan kepada Ibnu Abbas ra. yang artinya, Seseorang tidak dapat
menggantikan shalat atau puasa orang lain, tapi dia dapat menggantinya (berupa
Fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud gandum. Hadits ini dijadikan
landasan bagi sebagian umat Islam untuk membayar Fidyah sebagai pengganti
shalat yang ditinggalkan. Memang hadits ini adalah merupakan hadits mauquf
(perkataan sahabat), namun sebagian ulama menjadikan perkataan para sahabat
sebagai salah satu sumber hukum, selama sanadnya shahih.
3) Mencukur rambut kepala waktu ihram.
Fidyah yang wajib dibayar karena penyebab ini ada tiga alternative, yaitu
berpuasa, bersedekah, atau berkurban. Ketentuan inididaarkan pada firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 196 :
Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau berkorban.
Berkenaan dengan ayat tersebut al-Maraghi mengatakan bahwa siapapun
yang menderita sakit dan harus mencuikur kepakanya (karena jika terus dibiarkan
akan menambah penderitann) atau kepalanay sakit karena terlukadapat membayar
fidyah yaitu dengan berpuas, bersedekah, atau berkurban.
11


c. Ukuran Fidyah
1) Ukuran fidyah
Ukuran atau takaran dalam fidyah adalah satu mud yaitu seperempat sha.
Dan sha yang dimaksud ialah sha nabawi, yaitu sha-nya Nabi Shallallhu 'Alaihi
Wasallam. Satu sha nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh)
mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi
480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.
12

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha nabawi adalah empat
mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha nabawi sama dengan
3000 gram.
13
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa
memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625
gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras,
jagung dan yang lainnya adalah setengah sha (dua mud). Dan kita kembali kepada
ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang
miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah
lebih baik baginya.
Ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1
mud bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Said bin
Jubair, Ats Tsauri dan Al Auzai. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho kurma, atau 1 sho syair (gandum)
atau sho hinthoh (biji gandum). Ini dikeluarkan masing-masing untuk satu hari
puasa yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk orang miskin.
14

Al Qodhi Iyadh mengatakan, Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa fidyah satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan.
15
Imam An Nawawi
juga berkata:
Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang
sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar
fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan
yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan
hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang

11
Dahlan,..Ensiklopedi Hal. 329.
12
Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti (6/176)
13
Taudhih Al Ahkam (3/178)
14
Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyah, 2/11538.
15
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21.
5
lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah
satu bulan untuk seorang faqir saja.
16


2) Cara menghitung fidyah shalat :
Tahun qamariah adalah 12 bulan qamariah yang masanya 354 hari + 1/3
hari + 3/10 hari. Dengan demikian maka fidyah shalat hendaknya dihitung dengan
dasar tahun syamsiah demi kehati-hatian dengan tidak menganggap adanya
seperempat hari. Telah diketahui bahwa fidyah setiap shalat fardhu dari gandum
sebanyak 520 dirham, demikian juga untuk shalat witir. Sehingga demikian fidyah
shalat sehari semalam dari gandum adalah 3.120 dirham.
Dengan demikian, maka fidyah selama setahun syamsiah adalah 142 takar
menurut takaran Konstantinopel dan 7 uqiyqh. Ketika demikian maka ahli waris
mengumpulkan 10 pria yang tidak ada orang kaya di antara mereka. Hal itu karena
firman Allah SWT yang artinya, Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu untuk
orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Al Ayat. Juga di antara mereka tidak
boleh ada budak, anak-anak dan orang gila karena melakukan hibah kepada
mereka tidak sah. Kemudian umur mayit dihitung lalu dikurangi 12 tahun untuk
mendapatkan umur masa balighnya jika mayitnya seorang laki-laki. Dan dikurangi
9 tahun jika mayitnya perempuan, karena masa mencapai umur baligh minimal
seorang pria adalah 12 tahun dan masa mencapai umur baligh minimal seorang
wanita adalah 9 tahun.
17

d. Hikmah fidyah
Adanya fidyah yang merupakan bagian dari rukhsoh itu mengandung
beberapa hikmah antara lain :
1) Agar dalam keadaan bagaimanapun seorang muslim tidak tergolong orang yang
melalaikan perintah agama.
2) Pada sisi lain fidyah menunjukkan bahwa ajaran agama yang dibebankan
kepada manusia selalu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan orang
yang menerjakannya. Hal ini sesuai dengan ayat al-Quran surat al-Baqarah
ayat 226 yang artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."
3) Fidyah juga mengandung fungsi social, karena mashrof atau tempat distribusi
yang berhak mendapatkan harta fidyah ialah orang faqir dan miskin


C. ANALISIS HUKUM FIDYAH
1. Pro kontra terhadap fidyah shalat
Seperti telah diterangkan di atas bahwa salah satu dasar hukum fidyah adalah
ayat sebagai berikut :


"Dan bagi orang yang berat melakukannya , wajib membayar fidyah yaitu
memberi makan seorang miskin" (Al-Baqarah: 184)
Walaupun dalam zhahir ayat ini menerangkan fidyah puasa tapi dengan illat
shalat disamakan dengan puasa, maka pada pentasharufan / pengalokasian fidyah
shalatpun untuk orang miskin juga. Adapun orang faqir tentunya lebih utama
untuk mendapatkannya karena kondisinya yang lebih memperhatinkan
dibandingkan si miskin. Dengan penyebutan spesifik ini pula (menyebutkan kata
'Miskin' dalam Al-Qur'an), pembagian fidyah tidak teruntuk 8 golongan dalam
pembagian zakat
18
. Dan perlu dicatat ini adalah ranah pendapat di kalangan
madzhab Syafi'i.

Dalam kitab Hasyiyatu Raddil Mukhtar juga diterangkan sebagai berikut :
: .

16
Al Majmu Syarh Al Muhadz-dzab (6/420)
17
Al Bahrur Raiq Syarhu Kanzid Daqaiq, bab : Shalla fardhan dzakiran faitatan, jilid 4, halaman 418.
18
I'anat at-Thalibin: 2/244
6
Demikianlah, bahwa fidyah shalat dikomentari karena hal itu. Di dalam
kitab Al Fath ia berkata, Shalat itu sama dengan puasa dengan dasar istihsan para
syaikh
19
.
Shalat adalah ibadah 'kitabam mauquta' telah ditentukan waktunya.
Pelaksanaan shalat yang tidak pada waktunya akan mengkausalisasi atau
menjadikan sebab-akibat mengapa seorang muslim harus segera mengqodlonya
pada kesempatan waktu yang masih dimilikinya saat masih hidup. Permasalah
yang paling mendasar dari munculnya pro-kontra fidyah shalat atau
pengqodloannya bermuara sebagai persoalan yang Ijtihady (bersifat ijtihad) karena
tidak ditemukannya teks dalam al-Qur'an dan Hadits yang secara orisinil
mendeskripsikan fidyah shalat atau qodlonya bagi orang mati. Berangkat dari sini,
proposi responden para fuqaha memilki perbedaan satu sama lain (khilafiyah), dari
mulai yang menolak, mengacuhkannya atau yang mendukungnya.
Ada beberapa pendapat mengenai qadla shalat dan fidyahnya yang kami
sarikan menjadi 3 pendapat secara gari besar :
a. Pertama, tidak usah qadla dan fidyah. Inilah pendapat yang ashoh (paling
shahih) dan masyhur menurut Imam Syafi'i. Dikarenakan tidak terdapat dalam
hadits dan Qur'an. Redaksi seumpama Man mata wa alaihi sholat la tuqdlo wa
la tufda. 'Barang siapa yang mati dan masih memiliki tanggungan shalat maka
tidak usah diqodlo dan difidyahi', dapat kita temui dalam kitab-kitab pesantren
madzhab Syafi'iyah.
b. Kedua, diqadla seperti apa yang terjadi dalam bab puasa. Varian yang kedua ini
qiyaskan pada puasa. Peristiwa ketika seorang perempuan bertanya mengenai
ibunya yang meninggal kepada nabi Muhammad saw dengan kondisi belum
memenuhi kewajiban berpuasa nadzar, perempuan itu bertanya tentang apakah
ia dapat berpuasa untuk menggantikan ibunya (mengqodlo puasa untuk ibunya).
Nabi Muhammad bersabda : 'Berpuasalah untuk ibumu' ((I'anat at-Thalibin:
2/244). Semakna dengan pernyataan ini, Imam Subuki juga pernah melakukan
qodlo shalat untuk ibunya yang meninggalkan 5 waktu shalat. Dan ternyata
respon dari kalangan Syafi'iyah menganggapnya baik. Pelaksanaan qodlo
shalat ini baik ada wasiat atau tidak. Qaul ini juga didukung oleh sekelompok
ulama kontemporer. Dengan bertendensikan kalau puasa saja bisa diqodloni
oleh orang lain mengapa shalat tidak, padahal shalat adalah ahammu/ paling
penting dan merupakan rukun islam yang kedua sebelum rukun puasa.
c. Ketiga, difidyahi dengan membayar satu mud makanan pokok setiap shalat. Ini
merupakan pendapat yang dipilih oleh madzhab Hanafi dan banyak ulama
madzhab Syafi'i. Kacamata istidlal yang dipakai oleh madzhab Hanafi di sini
adalah sebuah hadtis yang diriwayatkan oleh Aisyah dari Ibnu Abbas "Man
mata wa 'alaihi shiyamun, shama waliyuhu 'anhu'' Barang siapa yang meninggal
sedang ia masih memiliki tuntutan kewajiban puasa maka dipuasai oleh
walinya. Namun setelah itu ada pernyataan idlrab (mengganti) kalimat 'shama
waliyuhu 'anhu' dari Aisyah ra, dengan 'Yuth'imu' (memberi makan orang
miskin/fidyah). Sebagian muhadditsin mengomentari perkataan idlrab
'Yuth'imu' me-naskh/menghapus hadits sebelumnya 'shama waliyuhu 'anhu'
sehingga dalam madzhab Hanafi yang ditemukan hanyalah fidyah, bukan
qodlo.

2. Studi Kasus
Dalam tradisi orang NU waktu mengeluarkan fidyah biasanya bersamaan
dengan peringatan 3 hari, atau 7 hari, atau 40 hari, atau 100 hari, atau mendak
pisan, atau mendak pindo/meling, atau 1.000 hari / nyewu dari meninggalnya
seseorang, adapun berapa jumlah fidyah tergantung kemampuan ahli waris, bisa
satu kwintal, dua kwintal, tidak ada patokan yang pasti.
Beberapa waktu yang telah lewat penulis diundang Mas Budi (nama
samaran) seorang warga desa Mlaran Rt. xx Rw. xx Kecamatan Gebang
Kabupaten Purworejo Jawa Tengah untuk mengikuti proses fidyah bapaknya, yang
bernama Bapak Bejo (nama samara), beliau meninggal pada usia 75 (tujuh puluh
lima) tahun. Menurut catatan keluarga mas Budi bahwa malam harinya penulis

19
Hasyiyatu Raddil Mukhtar, bab : jilid 2, jilid 2, halaman 467.

7
diundang adalah peringatan 1.000 hari / nyewu atas meninggalnya Bapak Bejo.
Beras yang akan dikeluarkan untuk fidyah seberat 1 (satu) kwintal.
Di samping mengundang penulis, Mas Budi juga mengundang tokoh agama
setempat yang bernama Kyai Abdullah (nama samara) untuk memimpin proses
fidyah tersebut. Sebelum dimulai Kyai Abdullah bertanya lebih dahulu tentang
jumlah hutang shalat dan hutang puasa Bapak Bejo. Keluarga Mas Budi tidak ada
yang tahu secara pasti berapa jumlah hutang shalat dan puasa bapak Bejo. Dari
keterangan tersebut Kyai Abdullah menghitung berapa jumlah fidyah yang harus
dikeluarkan dengan memakai rumus sebagai berikut :
Usia hidup batas usia baligh = jumlah fidyah.
75 tahun 15 tahun = 60 tahun.
Berdasarkan rumus di atas maka perhitungan fidyah-nya adalah sebagai berikut :
1. Hutang sholat Bapak Bejo, 60 x 12 bulan = 720 bulan.
Fidyah sholat 1 (satu) bulan adalah satu kwintal beras, maka fidyah shalat yang
harus dikeluarkan adalah 720 x 1 kwintal = 720 kwintal
2. Hutang puasa 60 bulan, fidyah puasa 1 (bulan) 20 kg, maka fidyah puasa yang
harus dikeluarkan adalah 60 x 20 kg = 1.200 kg. atau 12 kwintal.
3. Kyai Abdullah memakai pendapat Imam Hanafi, maka shalat witir pun
dikeluarkan fidyah dengan rumus 1 (satu) shalat x 30 hari x 12 bulan x 60 tahun =
21.600 shalat, atau sebanding dengan seperlima jumlah shalat fardlu yaitu 144
bulan, maka fidyah shalat witir yang harus dikeluarkan adalah 144 kwintal.
Jadi total fidyah yang harus dikeluarkan adalah 720 + 12 + 144 = 876 kwintal.
Setelah perhitungan selesai Mas Budi mengucapkan ikrar kepada Kyai
Abdullah bahwa beras 1 (satu) kwintal dipasrahkan sepenuhnya kepada Beliau,
setelah itu beras dinaikkan di atas alat sederhana yang dibuat dari batang bambu
yang bisa didorong dan ditarik, kemudian Kyai Abdullah membaca tawassul dan
niat sebagai berikut :
Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata an shalati Pak Bejo lillahi taala
Artinya : Saya berniat mengeluarkan (beras) Fidyah ini sebagai tebusan shalat
Pak Bejo
Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata an shiyami Pak Bejo lillahi taala
Artinya : Saya berniat mengeluarkan (beras) Fidyah ini sebagai tebusan puasa
Pak Bejo
Beras yang sudah diletakkan di atas alat sederhana tadi terus didorong dan
ditarik oleh 2 (dua) orang. Orang yang mendorong mengucapkan kata
wahabtuka (saya serahkan beras ini kepadamu) dan orang yang menerima
mengucapkan kata qabiltuha (saya terima beras ini). Oleh penerima, beras tadi
didorong kembali ke pendorong pertama juga dengan mengucapkan kata
wahabtuka dan pendorong pertama tadi mengucapkan kata qabiltuha.
Pekerjaan saling dorong mendorong ini dilakukan sampai 876 dorongan. Setelah
selesai, terus dibacakan doa kemudian Kyai Abdullah menyerahkan kembali beras
tadi kepada Mas Budi untuk didistribusikan. Pendistribusian beras fidyah
dilakukan bersamaan dengan peringatan 1.000 hari, dan berapa jumlah fidyah
masing-masing orang tergantung berapa jumlah undangan dalam acara peringatan
tersebut.
Cara fidyah seperti di atas juga bisa dibuat daur
20
seperti bila jumlah fidyah
yang harus dibayar sebesar 4 juta rupiah akan tetapi uang yang dimiliki oleh ahli
warits atau keluarga hanya sejumlah 500 ribu rupiah, maka terlebih dahulu
dikumpulkan orang-orang yang berhak menerima, 8 orang misalnya. Lalu ahli
warits memberikan uang 500 ribu rupiah pada salah satu dari 8 orang tadi dengan
ucapan 'Saya bayarkan fidyah si Zaed untuk menggugurkan 5 shalat fardlu dan
witir darinya kepadamu' umpamanya. Lalu si penerima pertama memberikan lagi
pada orang kedua dengan ucapan yang sama, orang kedua pada orang ketiga,
orang ketiga pada orang keempat dan seterusnya sampai pada orang kedelapan
sehingga terhasil 500 ribu dikali 8 = 4 juta. Dan orang yang kedelapan
memberikan lagi pada orang ahli warits bukan dengan atas nama fidyah melainkan
atas nama hibah (dihadiahkan). Setelah di tangan ahli warits kembali dengan status

20
Untuk lebih jelas baca Ianatut thalibin juz 1 hal 33

8
harta hibah, maka sah untuk diberikan kepada siapa saja atau diberikan dengan
cara dibagi sama rata antara 8 orang yang berhak tersebut diatas.
Sebagian ulama menolak cara jenis ini (daur) jika ahli warits mempunyai
banyak tirkah. Sebagian lagi mendukungnya karena bisa meringankan beban ahli
warits dan ini dinilai baik. Ulama yang mendukung cara tersebut berdasarkan
(meng-qiyaskan) hikayat nabi Ayub as. Diriwayatkan :
Nabi Ayub bersumpah dalam sakitnya, bahwa ia akan memukul istrinya
dengan 100 kali dera jika ia sembuh, karena istrinya pergi untuk salah satu tugas
dan lambat menjalankan tugas itu. Berhubung istrinya itu baik pelayanannya
terhadap Ayyub, maka Allah menghalalkan sumpahnya dengan sesuatu yang
remeh, yaitu dengan menyuruh Ayub mengambil seikat tali jerami atau semacam
itu dan memukulkannya sekali kepada istrinya, dan ini sama dengan pukulan
seratus kali dera. Dengan sedemikian hingga, terlaksanalah sumpahnya, yang
menjadi jalan keluar bagi siapa yang bertakwa kepada Allah dan taat kepada-Nya,
terutama dalam hak istrinya yang saleh dan sabar.Allah berfirman dalam Al-
Quran surat : Shad ayat 42
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu
dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub)
seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba.





D. KESIMPULAN
Beberapa hikmah yang terkandung dalam fidyah adalah sebagai berikut :
1. Tidak melalaikan / menganggap enteng (nggampangke) perintah agama; terutama
puasa dan shalat.
2. Sisi lain fidyah menunjukkan bahwa ajaran agama tidak memberatkan seorang muslim.
3. Fidyah mengandung fungsi social, dan fungsi social ini niscaya akan lebih memenuhi
sasaran apabila fidyah dijalankan semestinya, tidak ada rekayasa (daur)

Model kaifiyat pembagian fidyah yang ditemukan dalam masyarakat :
1. Dibagikan langsung pada faqir atau miskin. Maka ini adalah jelas dan benar
2. Dibagikan ketika tahlilan peringatan kematian hari ke-7 dst. Namun di sini menemui
sedikit kendala karena mungkin saja diantara orang yang menghadiri tahlil ada orang
kaya yang tidak berhak mendapatkan fidyah, kecuali jika orang kaya itu mendapat
bingkisan bukan dari harta untuk fidyah (terpisah sendiri).
3. Dengan cara daur (diputar) entah mayit itu memiliki tirkah (harta tinggalan) atau tidak.
9
DAFTAR PUSTAKA


Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.

Al Majmu Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.

AW Munawwir. Kamus Al-Munawwir. Ed. Kedua. Surabaya: Pustaka Progessif. 1997.

Abdul Azis Dahlan, dkk.Ensiklopedi Hukum Islam.cet. I, Jakarta : Ikhtiar Baru van Hoeve

Imam Ibnu Qudamah Al Mughni. Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun
1402 H.

Sunan Abi Dawud , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website: http://www.shamela.ws/.

Majalisu Syahri Ramadhan, , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website:
http://www.shamela.ws/.

Taudhih Al Ahkam , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website: http://www.shamela.ws/.

Al Bahrur Raiq Syarhu Kanzid Daqaiq , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website:
http://www.shamela.ws/.

I'anat at-Thalibin , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website: http://www.shamela.ws/.

Hasyiyatu Raddil Mukhtar , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website:
http://www.shamela.ws/.

Al Mawsuah Al Fiqhiyah, , dalam al-Maktabah al-Syamilah, , website:
http://www.shamela.ws/.

Anda mungkin juga menyukai