Anda di halaman 1dari 18

TAFSIR TAHLILY SURAH AL-MA’UN

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah
Tafsir Tahlily (2)

Oleh:
MUHAMMAD ILHAM HIDAYAT E93219107
NURUL LAILY HIDAYATULLAH E93219114
VIA SINTA MUKHAROMAH W E93219126

Dosen Pengampu:
Dr. Moh. Yardho, M.Th.I

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam selalu mengajarkan segala sesuatu tentang kebaikan kepada semua
umatnya, baik untuk kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Sebagai pedoman hidup
untuk seluruh umat di semesta ini, tentu segala sesuatu yang diatur oleh Islam telah
tertuang juga di dalam Alquran. Oleh karena itu, sebagai umat Islam sangat jelas
larangan untuk tidak bolehnya mengingkari segala hal yang telah dijelaskan dalam
Alquran dan hadis. Secara universal, Alquran memuat ajaran-ajaran akidah, syariah
dan akhlak.

Berbicara pada aspek akhlak, Islam tak hanya membicarakan tentang


hubungan manusia terhadap Allah swt. namun juga mengajarkan bagaimana
seorang umat untuk berperilaku antar sesama hamba-Nya. Meski hubungan
manusia dengan manusia bukan prioritas utama dalam agama Islam, namun hal ini
juga sama pentingnya. Apalagi didukung dengan fakta bahwa manusia itu adalah
makhluk sosial, artinya setiap manusia akan selalu butuh bantuan orang lain dan
selalu berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Dalam aspek ini, Islam telah
mengatur perilaku penganutnya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan,
peduli satu sama lain, saling menghargai, saling berbagi dan saling menghormati.
Dengan demikian, terlihat bahwa Islam selalu mengajarkan umatnya untuk
memiliki akhlak yang mulia, karena kemuliaan akhlak merupakan pilar paling
kokoh untuk membangun keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah swt.
Tentunya kemulian akhlak yang dimaksud oleh Islam bukan hanya sebatas kepada
Allah semata, akan tetapi juga terhadap hamba-hamba Allah, baik manusia ataupun
hewan dan tumbuhan.

Salah satu surah di dalam Alquran yang mengajarkan tentang berkahlak


mulia pada sesama manusia adalah surah Al-Ma’un. Di dalam QS: al-Ma’un
menjelaskan bahwa sudah sepatutnya untuk membantu orang-orang lemah seperti
anak yatim dan fakir miskin dan juga membantu orang lain yang sangat
membutuhkan pertolongan. Bahkan, karena begitu tegasnya anjuran itu, Allah swt
menyebutkan bahwa orang-orang yang menghardik anak yatim dan membenci fakir
miskin termasuk sebagai pendusta agama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Surah Al-Ma’un dan Terjemah

‫) وَلَا يَحُضُّ عَلَى‬2( َ‫) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيم‬1( ِ‫أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّين‬
َ‫) الَّذِين‬5( َ‫) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُون‬4( َ‫) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّني‬3(ِ‫طَعَامِ الْمِسْكِني‬
)7( َ‫) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون‬6( َ‫هُمْ يُرَاءُون‬
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya,
7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. 1

B. Tafsir Mufrodat

َ‫ أَ َرأَْيت‬: Apakah engkau mengetahui?2

ُ‫ ُيكَذِّب‬: Mendustakan atau mengingkari3

ُّ‫ يَدُع‬: Menolak, mencegah, atau mendorong dengan keras.4

ُّ‫ وَلَا َيحُض‬: Tidak menganjurkan dan tidak berkehendak.5

ٌ‫ فَوَيْل‬: Kebinasaan, Siksaan, dan Kerusakan.6

1
Al Qur’an dan Terjemahan, QS. Al Ma'un: 1-7
2
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 15, ter. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema
Insani, 2018), 821.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002) Vol. 15, 546
4
Ibid, 547.
5
Zuhaili, Tafsir Al-Munir…, 822
6
Ibid, 822.
َ‫ سَاهُون‬: Lupa atau lalai dari shalat.7

َ‫ ُيرَاءُون‬: Terambil dari kata ra'a yang berarti melihat, dan dari kata riya'
yang berarti melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah SWT semata8

َ‫ الْمَاعُون‬: Bantuan atau segala sesuatu yang dapat membantu, atau sesuatu
yang bernilai remeh atau sedikit9

C. Asbabun Nuzul
Dalam beberapa riwayat yang berkenaan dengan turunnya surat ini
ada beberapa pendapat, al Suyuthi mengutip Ibnu Mardawiyah dari Ibnu
Abbas mengatakan, surat ini diturunkan di Makkah. Riwayat serupa juga
dikeluarkan oleh ibnu Mardawiyah dari Abdullah bin Zubair. Sementara
ibnu Abbas dan Qatadah berpendapat ayat ini adalah madaniyyah.10 Al
Suyuthi sendiri memberi penjelasan lain, beliau mengatakan, surat al Ma’un
tergolong surat Makkiyyah. Sebagian diturunkan di Makkah dan sebagian
diturunkan di Madinah. Hal ini seperti yang dikatakan al Qurthubi bahwa 3
ayat yang pertama adalah makiyyah dan ayat setelahnya adalah
madaniyyah.11 Sedangkan al zuhaili mengatakan separuh ayat diturunkan di
Makkah untuk Ash bin Wa’il dan separuhnya di Madinah untuk Abdullah
bin Ubai al Munafiq. 12
Mengenai latar belakang turunnya ayat ini, dikemukakan bahwa ada
seseorang yang diperselisihkan siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu
Jahal, al Ash bin Walid atau selain mereka, konon setiap minggu

7
Shihab, Tafsir al Misbah… 550

8
Zuhaili, Tafsir Al-Munir…, 822.
9
Shihab, Tafsir al Misbah… 551
10
Zuhaili, Tafsir Al-Munir…, 818.
11
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 20, ter. Muhyiddin Mas Rida, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), 143.
12
Zuhaili, Tafsir Al-Munir…, 818.
menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang
meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberinya
bahkan dihardik dan diusir.13
Al Wahidy menuliskan dua pendapat mengenai siapakah orang yang
dimaksud dalam ayat ini (1-3), Muqatil dan al Kalaby berpendapat bahwa
yang dimaksud adalah al Ash bin Wail al Sahmy. Menurut Ibnu Juraiz yang
dimaksud adalah Abu Sufyan, karena ia selalu menyembelih kambing atau
unta setiap pekannya, tetapi ketika anak-anak yatim itu meminta kepadanya
ia mengetuk kepala mereka dengan tongkatnya.
Riwayat lainnya dari Ibnu Abbas ra., yang disampaikan oleh al
Dhahhak bahwa yang dimaksud adalah salah seorang dari kaum munafik.
Al Suddi mengatakan bahwa maksudnya adalah al Walid bin al Mughirah,
ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Abu Jahal.14
Al Zuhaili dalam tafsirnya, menuliskan beberapa pendapat sebagai
berikut;
1. Pada ayat pertama menurut Ibnu Abbas, ayat ini turun untuk al
Ash bin Wa’il al Sahmi, menurut al Sa’di ayat ini turun untuk al
Walid bil al Mughirah, dan menurut pendapat lainnya, ayat ini
turun untuk Abu Jahal. Ketiga orang ini adalah seorang
penanggung jawab anak yatim. Namun ketika anak yatim
tersebut datang untuk meminta uangnya, ketiganya menolak
untuk memberi uang tersebut. Dan menurut Ibnu Jarir surat ini
turun untuk Abu Sufyan, karena ia selalu menyembelih unta
setiap minggunya. Namun ketika ada seorang anak yatim
meminta sedikit dari daging unta yang disembelih tersebut, Abu
Sufyan menolaknya, bahkan memukulnya dengan tongkat.15
2. Pada ayat ke empat, diriwayatkan oleh Ibnu al Mundzir dari
Ibnu Abbas ra., bahwa ayat ini turun terkait dengan orang

13
Shihab, Tafsir al Misbah… 555
14
Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam…, 134
15
Zuhaili, Tafsir Al-Munir…, 822.
munafiq yang mengerjakan sholat jika orang mukmin
melihatnya, namun mereka meninggalkannya ketika sendirian,
serta menahan meminjamkan sesuatu secara sukarela

D. Munasabah Surat
Ditinjau dari sisi kesinambungan dan relasi kandungan makna
(munasabah), surat al-Ma’un memiliki munasabah baik dengan surat
sebelumnya (surat Quraisy) maupun sesudahnya (surat al Kautsar).
Segi persesuaian dengan surat Quraisy ialah16:
ْ َ ‫الَّذِي أ‬
ٍ ‫ط َع َم ُه ْم ِم ْن ُج‬
1. Allah menyatakan dalam surat Quraisy, ‫وع‬

ٍ‫“ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْف‬Dia telah memberi makanan kepada mereka


untuk menghilangkan lapar”. Maka dalam surat ini Allah
mencela orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin.

2. Allah menyatakan dalam surat Quraisy, ِ‫الْبَْيت‬ ‫فَ ْليَعْبُدُوا رَبَّ هََٰذَا‬
“Hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini”.
Maka dalam surat ini Allah mencela orang yang melalaikan
shalatnya.
Dalam surat Quraisy, diterangkan berbagai nikmat yang diberikan
kepada orang Quraish dan pada waktu itu mereka mengingkari kebangkitan
dan pembalasan, maka disini Allah mengancam dan menakuti mereka
dengan siksaan. Keterkaitan surat ini dengan surat sebelumnya (surat
Quraisy) menurut al Suyuthi adalah jika pada surat Quraisy Allah
mengingatkan kaum Quraisy bahwa Ia lah yang memberi mereka makan
untuk menghilangkan rasa lapar, maka pada surat ini Allah mengingatkan
dengan mencela dan mengancam mereka yang tidak menganjurkan

16
Ahmad Musthafa al Maraghi, Tarjamah Tafsir al Maraghi, Penterjemah M. Thalib, (Yogyakarta:
Sumber Ilmu, 1986), cet. 1, Juz 30, 303
memberi makan orang miskin. Kemudian perintah menyembah Rabb
ka’bah mengingatkan tentang mereka yang lalai dengan sholatnya.
Hal ini senada dengan pernyataan M. Quraish Shihab yang
mengatakan bahwa pada surat Quraisy, Allah memberi anugerah pangan
kepada manusia, dalam arti mempersiapkan lahan dan sumber daya alam,
sehingga dengan anugerah itu mereka tidak kelaparan. Sedangkan dalam al
Ma’un ini, Allah mengancam mereka yang berkemampuan, tetapi enggan,
jangankan memberi, menganjurkan-pun tidak.17
Munasabah juga terjadi dengan surat setelahnya, yakni surat al
Kautsar. Seperti surat Quraisy yang mengaitkan ibadah dengan kecukupan
pangan dan rasa aman, surat al Kautsar juga menggandengkan nikmat yang
banyak pemberian Tuhan dengan kewajiban mendirikan shalat. Perintah

mendirikan shalat disusul langsung dengan perintah berkurban; َ‫فَصَلِّ ِلرَبِّك‬

ْ‫حر‬
َ ‫ وَاْن‬maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Ayat
inilah inti dari surat al Kautsar yang sama dengan inti surat al Ma’un.
Mendirikan shalat yang merupakan simbol ketaatan beribadah haruslah
melahirkan kesalehan di wilayah mu’amalah sosial. Dalam hal ini perintah
berkurban merupakan lambang bagi kesalehan sosial itu.18

E. Penafsiran Surat Al-Ma’un


Ayat 1

Firman Allah swt., ِ‫َارَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّْين‬ “Tahukah kamu (orang) yang

mendustakan agama?” Yang dimaksud dari kata ِ‫ ِبالدِّيْن‬pada ayat ini adalah hari

perhitungan dan hari pembalasan di akhirat nanti.

Para ulama berbeda pendapat terkait siapakah orang yang dimaksud ketika
ayat ini diturunkan. As-Suddi mengatakan bahwa maksudnya adalah Al-Walid bin

17
Shihab, Tafsir al Misbah… 545
18
Musthafa al Maraghi, Tarjamah Tafsir al Maraghi… 309
Al-Mughirah. Sedangkan, ad-Dhahhak menyebutkan, dari Riwayat Ibnu Abbas,
bahwa yang dimaksud adalah salah seorang dari kaum munafik. Selain itu, Ibnu
Juraij berpendapat, bahwa orang yang dimaksud adalah Abu Sufyan, karena dia lah
yang selalu menyembelih kambing atau unta pada setiap minggunya, namun ketika
anak-anak yatim meminta dagin sembelihan tersebut, ia mengetuk kepala anak-
anak yatim itu dengan tongkatnya. 19

Surah ini dimulai dengan ayat yang berupa pertanyaan, hal ini berarti Allah
menyuruh RasulNya agar topik ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Karena
kalua hal ini todak dijelaskan berupa pertanyaan, makan akan disangka bahwa
mendustakan agama ialah semata-mata karena menyatakan tidak mau percaya
kepada agama Islam, dan kalau orang sudah melaksnakan shalat, sudah puasa, maka
dia tidak lagi mendustakan agama. Maka dalam ayat ini dijelaskanlah bahwa
mendustakan agama yang benar-benar hebat ialah orang yang menolak anak yatim,
yang tertera dalam ayat kedua surah ini.20

Ayat 2

Firman Allah swt., َ‫ي يَدُعُّ الْيَتِيْم‬


ْ ِ‫الَّذ‬ َ‫“ فَذَٰلِك‬Itulah orang yang menghardik anak
yatim” Maksudnya adalah, orang yang mendustakan agama adalah orang yang
mencegah anak yatim dari haknya dan menzhaliminya21 Adh-Dhahhak
meriwayatkan, dari Ibnu Abbas bahwa makna ayat ini adalah menahan hak anak-
anak yatim dan tidak memberikannya kepada mereka. Dan Qatadah berpendapat
bahwa maknanya adalah menghardik dan menzalimi mereka.
Di dalam ayat ini tertulis yadu-‘u (dengan tasydid), artinya yang asal adalah
menolak, yaitu menolak dengan tangan jika mendekat. Pemakaian kata yadu-‘u
yang diartikan dengan menolak adalah membayangkan rasa benci yang sangat

19
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 20 ter. Fathurrahman dan Ahmad Hotib, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 789
20
Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2015), 8124
21
Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari jilid 26 ter. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 983
besar. Rasa yang tidak senang, rasa jijik, dan tidak boleh mendekat. 22 Nampaklah
maksud ayat bahwa orang yang membenci anak yatim adalah orang yang
mendustakan agama walaupun ia beribadah namun rasa benci, rasa sombong, dan
bakhil tidak boleh ada di dalam jiwa seorang yang mengaku beragama.

Ayat 3

Firman Allah swt., ِ‫وَلَا َيحُضُّ َعلَٰى َطعَامِ الْ ِمسْكِْين‬ “dan tidak menganjurkan

memberi makan orang miskin” Yakni, tidak mau berbagi dan membenci orang lain
yang berbagi karena kebakhilannya dan pendustaannya terhadap balasan dan
ganjaran di akhirat nanti.

Yang dimaksud dalam ayat ini adlaah orang yang tidak mau mendorong
orang lain supaya memberi makan orang miskin, memakan hartanya sendiri tanpa
memedulikan orang miskin, atau tidak mendidik anaknya dan orang disekitarnya
supaya menyediakan makanan bagi orang miskin. Orang seperti ini juga termasuk
sebagai pendusta agama. Hal ini karena dia mengaku menyembah Tuhan namun
dia enggan memberi pertolongan dan tidak memperdulikan hamba Tuhan.

Az-Zamakhsyari menyatakan dalam tafsirnya, tentang sebab orang yang


menolak anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan bagi orang fakir
xxxxmiskin dikatakan mendustakan agama 23. Berikut pernyataannya:
Orang ini nyata mendustakan agama karena dalam sikap dan laku perangainya, dia
mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu orang yang
menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah.
Sebab itu dia tidak mau berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.

Pada intinya, mereka yang dicela oleh ayat ini adalah orang-orang yang
memang memiliki sifat kikir dan enggan untuk berbagi, bukan orang-orang yang
tidak dapat berbagi karean mereka memang tidak mampu untuk berbagi. Mereka
yang bakhil biasanya akan selalu mencari alasan untuk tidak mengeluarkan

22
Hamka, Tafsir Al-Azhar…, 8125
23
Hamka, Tafsir Al-Azhar…, 8125
hartanya.24 Maka diturunkanlah ayat pada surah al-Ma’un ini untuk mencela orang-
orang seperti itu.

Ayat 4 dan 5

Firman Allah swt., َ‫صلَاتِهِمْ سَاهُوْن‬


َ ْ‫ الَّذِْينَ هُمْ عَن‬٤ َۙ‫“ فَوَْيلٌ ِّللْمُصَلِّْين‬Maka cekalah
bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya ”

Makna dari kata ٌ‫ فَوَْيل‬adalah azab. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang melakukan shalat namun
tidak mengharapkan pahal dari shalatnya, dan apabila mereka meninggalkannya,
mereka tidak takut akan hukuman yan akan mereka terima.
Riwayat lain dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa mereka yan dimaksud
adalah orang-orang yan mengakhirkan shalat mereka dari waktu yang semestinya.
Makna yang sama juga disampaikan oleh Ibrahim melalui riwayat dari Al-

Mughirah yang menyatakan bahwa makna dari kata َ‫ سَاهُوْن‬adalah menyia-nyiakan

waktu. At-thabari dalam kitab tafsirnya, memaknai kata َ‫سَاهُوْن‬ sebagai “lalai”

maksudnya ialah lengah dan melalaikannya. Dengan melalaikannya dan sibuk


dengan hal lainnya, maka terkadang meninggalkannya dan menyianyiakan
waktunya.25 Sedangkan Hamka berpendapat dalam mengartikan maksud dari

َ‫ سَاهُوْن‬, yaitu asal arti katanya adalah lupa. Artinya dilupakanlah maksud shalat itu

sehingga meskipun ia telah melaksanakan shalat namun shalat itu tidaklah dari
kesadarn akan maksud dan hikmahnya.26
Sa’ad bin Abi Waqqas meriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW
menafsirkan dua ayat ini, beliau mengatakan, “(Maknanya adalah) orang-orang
yang mengakhirkan shalat dari waktu yang semestinya, karena menganggapnya

24
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi…, 791
25
At-Thabari, Tafsir at-Thabari…, 990
26
Hamka, Tafsir Al-Azhar…, 8125
remeh” Riwayat lain dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa mereka yang dimaksud
oleh ayat ini adalah orang-orang munafik yaitu mereka yang hanya melakukan
shalat ketika ada orang yang melihatnya namun jika sedang sendiri mereka tidak
melakukannya. Makna ini juga diperjelas oleh ayat selanjutnya. 27
Ayat 6

Firman Allah swt., َ‫الَّذِْينَ هُمْ يُرَاۤءُوْن‬ “Orang-orang yang berbuat riya”

maksudnya adalah orang-orang yang berbuat riya terhadap manusia melalui shalat
mereka. Oleh karena itu, mereka mengerjakan shalat bukan karena menginginkan
pahala ataupun takut akan siksa, namun agar dilihat oleh orang-orang beriman
sehingga dikira bagian dari kalangan mereka, sehingga darah mereka tidak
ditumpahkan, anak-anak dan istri-istri mereka tidak ditawan. Mereka itulah orang-
orang munafik pada masa Rasulullah saw. yang menyembunyikan kekufuran dan
menampakkan keislaman.28
Ayat 7

Firman Allah swt., َ‫“ وَيَمَْنعُوْنَ الْمَاعُوْن‬Dan enggan (menolong dengan) barang

berguna” maksudnya ialah menghalangi manusia dari manfaat-manfaat yang ada


atau yang mereka miliki. Hamka dalam kitab tafsirnya, 29 menyatakan bahwa ayat
ini artinya adalah jalan untuk menolong orang susah adalah amat banyak. Sejak dari
yang hal-hal kecil sampai pada hal yang besar, yang penting ada perasaan yang
halus, kasih saying kepada sesama manusia, di dalam pertumbuhan Iman kepada
Allah. Tetapi orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan dari sikap
menolong.
Asal makna al-maa’uun adalah segala sesuatu yang bermanfaat. Namun,
banyak ulama memberi pendapat lain terkait menafsirkan kata al-maa’uun.
Contohnya seperti Ibnu Syihab dan Sa’id bin Musayib yang mengartikan kata al-
maa’uun sebagai harta, Ibnu Mas’ud yang berpendapt bahwa al-maa’uun adalah
isim jamak dari pelaratan rumah tangga, Muhammad bin Ka’ab yang mengartikan

27
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi…,
28
At-Thabari, Tafsir at-Thabari…, 992
29
Hamka, Tafsir Al-Azhar…, 8126
al-maa’uun sebagai segala kebajikan yang dilakukan sesama manusia. Tak hanya
itu, Quthrub berpendapat bahwa makna awal dari kata al-maa’uun adalah sedikit,
karena berasal dari kata al-mu’n yang artinya sesuatu yang sedikit. Lalu di dalam
Al-Qur’an kata ini digunakan untuk makna zakat, sedekah, dan kebajikan lain yang
serupa karean kebajikan tersebut hanya mengambil sedikit dari harta yang
melimpah.30
Menanggapi berbagai pendapat tentang arti kata al-maa’uun, At-Thabari
berpendapat31 bahwa yang lebih tepat adalah arti umumnya yaitu segala sesuatu
yang bermanfaat karena Allah mengabarkan hal ini secara umum, tanpa
mengkhususkan sesuatu pun dari itu, maka dapat dilihat arti dari ayat ini bahwa
Allah menyatakan tentang mereka yang enggan memberikan segala sesuatu yang
bisa saling dipinjamkan ke mereka (orang yang membutuhkan) dan enggan
memberikan kepada orang yang butuh dan orang miskin atas hal-hal yang telah
diwajibkan Allah atas mereka pada harta mereka, yaitu hak-haknya karena semua
itu merupakan manfaat-manfaat yan bisa diambil manfaatnya dengan sesame
manusia.

F. Kontekstualisasi Surat Al-Ma’un

Surat Al-Ma’un menunjukkan ajaran agama Islam secara komprehensif


sebagai agama yang peduli terhadap hubungan sosial, kemanusiaan, keadilan, dan
anjuran untuk saling peduli terhadap sesama, sehingga anggapan yang selama ini
menilai bahwa agama cenderung hanya berorientasi pada persoalan akhirat dapat
terbantahkan. Praktik ibadah bukan hanya semata-semata sebagai bentuk
pengabdian kepada Allah, atau sebagai simbol spiritual belaka, melainkan praktik
tersebut sangat menentukan sikap dan prilaku sosial seseorang, oleh karena itu surat
ini ingin mengajak umat manusia untuk menilik kembali ajaran agama yang mereka
praktikan dalam kehidupan sehari-hari, sebab di antara mereka ada yang hanya
mementingkan ibadah sebagai bentuk perintah ketundukan kepada Allah semata,
sehingga menganggap ibadah spiritual lebih utama dibandingkan hubungan sosial

30
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi…, 800
31
At-Thabari, Tafsir At-Thabari…, 1012
bahkan cenderung melalaikannya, sehingga kerap dijumpai seseorang yang ekstrim
dan radikal dalam pengamalan spiritualnya namun berbanding terbalik dengan
prilaku sosialnya yang amat mudah menyakiti perasaan orang lain, dengan mencaci
maki, melakukan tindakan kekerasan fisik atas nama kebenaran spiritual.

Iman terhadap hari pembalasan (akhirat) merupakan satu dari dua inti ajaran
agama, khususnya Islam, karena pada dasarnya para Rasul diutus oleh Allah
tujuannya untuk memperkenalkan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pemilik
alam raya serta untuk mengingatkan adanya hari pembalasan sebagai konsekuensi
amalan yang dikerjakan ketika di dunia, maka jika seorang yang mengaku
beragama, namun tidak meyakini salah satunya, bisa jadi dianggap sebagai orang
yang mendustakan agama atau hari pembalasan itu sendiri. Demikian pula halnya
dengan ibadah shalat, yang merupakan salah satu ibadah utama yang manjadi salah
satu bagian dari rukun Islam, sehingga amalan tersebut dianggap penting dan
menjadi amalan yang pertama kali dihisab kelak pada hari pembalasan.
Sebagaimana hadits Rasulullah yang menyatakan: “Sesungguhnya amal yang
pertama kali dihisab pada seorang hamba di hari pembalasan adalah shalatnya.
Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika
shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi”.

Surat Al-Ma’un sangat sarat dengan konteks sosio-histori kehidupan sosial


yang tejadi saat wahyu diturunkan, hal tersebut dapat dilihat dengan
mengungkapkan pentingnya memperhatikan kondisi anak yatim, dan orang-orang
miskin dengan kesadaran untuk berbagi kepedulian kepada mereka, penyebutan
secara langsung tentang anak yatim dan orang-orang miskin tidak dapat dilepaskan
dari kondisi sosial saat itu, bila ditarik ke zaman sekarang, maka sesungguhnya
pesan utamanya ialah kepedulian terhadap orang-orang yang merasa tertindas atau
memiliki keterbatasan sosial, bukan hanya kepedulian kepada anak yatim dan
orang-orang miskin semata, melainkan siapa saja diantara manusia yang tertindas
dan lemah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya, maka wajib
untuk mendapatkan santunan dan bantuan, tentunya dapat ditinjau sesuai kondisi di
setiap zaman, misalkan bila saat ini orang-orang yang menderita cacat fisik
(difabel) sehingga mereka merasakan keterbatasan untuk mengakses layanan
publik, seperti pendidikan, akses jalan, dan lain sebagainya, maka orang-orang yang
merasa dirinya beragama dan yakin kepada hari pembalasan, bila mereka
membiarkan hal tersebut terjadi, tanpa menunjukkan kepedulian, maka termasuk
orang-orang yang mendustakan agama.

Tolak ukur keberagamaan seseorang bukan hanya dinilai dari segi ajaran
ritual semata, melainkan juga melibatkan ajaran kepedulian sosial yang saling
menopang antara satu dengan yang lainnya, bila fenomena saat ini menunjukkan
bahwa agama lebih identik pada simbol-simbol religius, namun bersikap
intoleransi, baik dalam bentuk tutur kata, sikap, dan mimik yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam dan kultur sosial, maka hal ini juga termasuk dalam ruang
lingkup orang-orang yang mendustakan hari pembalasan dan menyalahi ajaran
agama yang termanifestasi dalam ibadah shalat dan zakat.

Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai ketulusan dalam melakukan


kebajikan, sehingga sebuah amalan kebaikan sebesar apapun itu, baik berupa shalat,
maupun zakat, bila didasari hanya untuk pencitraan, menuai pujian, dan mengais
keuntungan materil duniawi, maka hal itu dianggap sia-sia, dan tidak akan
mendapatkan perhitungan dan nilai disisi Allah.

Lalai terhadap shalat bukan hanya terkait kelalaian secara teknis, namun juga
termasuk implementasi dari nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari, para
ulama menganggap bahwa nilai utama dari khusyuk dalam shalat adalah
implementasi dalam hubungan sosial, hal ini dikuatkan pada QS. Al-Ankabut: 45

ْ َ ‫ّللا ُ يَ ْع َل ُم َما ت‬
َ‫صنَعُ ْون‬ ٰ ‫َو‬ ٰ ‫صلوةَ ت َ ْنهى ع َِن ا ْلفَحْ شَا ِء َوا ْل ُم ْنك َِر ۗ َولَ ِذك ُْر‬
ۗ ‫ّللاِ ا َ ْكبَ ُر‬ َّ ‫اِنَّ ال‬

“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar Dan (ketahuilah)
mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Sehingga nilai shalat yang
sesungguhnya bukan hanya dalam bentuk teknis secara ritual, melainkan juga
tercermin dalam kehidupan sosialnya. Oleh karena itu untuk menilai bahwa
seseorang yakin terhadap hari pembalasan dan menganggap dirinya termasuk
orang-orang yang beragama, bukan hanya dinilai dari ketaatan ritualnya, melainkan
juga ketatan kepada perintah dan larangan Tuhan terhadap hubungan sosial,
begitupun sebaliknya, tidaklah seseorang itu dianggap beragama bila hanya
mementingkan hubungan sosial tapi melalaikan ibadah ritual sebagai praktik
pengabdian batin seorang hamba kepada Sang Pencipta (Allah).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Surat Al-Ma’un ini mejelaskan tentang orang-orang yang mengingkari hari


pembalasan ( Ad-din ), yaitu orang yang tidak melaksanakan ibadah, baik itu ibadah
shalat maupun ibadah sosial, suka menghardik anak yatim, tidak menyantuni fakir
miskin dan tidak mau membantu orang lain yang membutuhkan, begitu juga
meninggalkan dan merusak ibadah ritual seperti melaksanakan ibadah-ibadah
dengan harapan pujian dan sanjungan orang lain (riya). Allah juga melaknat orang
kaya yang bersikap kikir, tidak mau membantu orang miskin dan tidak mau
mengeluarkan zakat.

Islam adalah agama yang sempurna, menyatukan aspek pribadi dan sosial
maupun antara amal-amal hati, pikiran, lisan dan perbuatan. Tidak cukup seseorang
itu rajin beribadah secara pribadi namun buruk hubungannya dengan sesamanya.
Sebagaimana tidak cukup secara lahiriyah seorang itu terlihat tunduk dan patuh
kepada Allah sedangkan hatinya tidak berharap kepada Allah, begitu pula
sebaliknya. Hakikat ibadah berupa perintah dan larangan bertujuan untuk kebaikan
bagi manusia, karena ibadah adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan hati.
Proses manusia menempuh ujian dalam mentaati perintah dan menjauhi larangan
Allah akan menjadikannya berbahagia, karena ibadahlah hakikat kehidupan yang
sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al Maraghi, Ahmad Musthafa. Tarjamah Tafsir al Maraghi, cet. 1, Juz 30


Penterjemah M. Thalib. Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986.

Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 20 ter. Fathurrahman dan Ahmad Hotib.


Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 20, ter. Muhyiddin Mas Rida, dkk. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.

Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari jilid 26 ter. Ahsan Askan. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.

Hamka, Buya. Tafsir Al-Azhar Jilid 10. Jakarta: Gema Insani, 2015.

Shihab, M Quraish. Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an,


Vol. 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir, Jilid 15, ter. Abdul Hayyie al-Kattani dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2018.

Anda mungkin juga menyukai