Anda di halaman 1dari 3

Hukum Kafarat Puasa untuk Orang

yang telah Meninggal


Posted by: Straw Hat Posted date: 3:43 AM / comment : 0

Ketika masih hidup, ibu saya tidak mengqadha puasa Ramadhan yang dia
tinggalkan karena dia selalu haid selama hidupnya. Hal ini diketahui oleh semua
anaknya. Ibu kami juga meninggalkan harta, maka apakah kami membayar kafarat
puasanya dengan harta tersebut?
Apakah bacaan satu kali surat al-Ftihah atau surat-surat lainnya hanya bisa
dihadiahkan untuk satu orang yang telah meninggal, ataukah boleh untuk
beberapa orang sekaligus?
Jawaban : Prof. Dr. Ali Jumah Muhammad
Jika seseorang mempunyai uzur sehingga ia tidak dapat berpuasa sampai ia
meninggal, maka para ulama telah sepakat bahwa tidak perlu menggantikan
puasanya atau membayar fidyah untuknya, karena tidak ada unsur kesengajaan di
dalamnya. Orang itu pun tidak berdosa, karena puasa itu dianggap sebagai
kewajiban yang tidak dapat dia lakukan sampai meninggal dunia, sehingga hukum
kewajibannya pun menjadi gugur, seperti ibadah haji.
Adapun jika uzur itu hilang sebelum dia meninggal dan ia mampu untuk
mengqadha puasanya, tapi ia tidak sempat melakukannya hingga meninggal, maka
terdapat dua pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, Syafii dalam al-qawl al-jadd (pendapat yang baru) dan pendapat yang
dipegangi dalam mazhab Hambali, berpandangan bahwa tidak perlu mengganti
puasanya setelah ia meninggal, tapi cukup memberi makanan sejumlah satu mud
(+ 510 gram) untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Karena, puasa tidak dapat
diwakilkan ketika seseorang masih hidup, maka begitu juga setelah meninggal,
seperti salat.

Sedangkan para ulama hadis dan beberapa ulama salaf, seperti Thawus, Hasan alBashri, Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur, Imam Syafii dalam al-qawl al-qadm
(pendapat yang lama), berpendapat bahwa wali orang yang meninggal boleh
berpuasa untuknya. Inilah pendapat yang dipegangi dalam mazhab Syafii serta
dipilih oleh Imam Nawawi dan pendapat Abu Khattab dari kalangan Hambali.
Menurut para ulama Syafiiyah, puasa ini dapat menggantikan kewajiban
memberi makan dan menggugurkan kewajiban orang yang meninggal itu. Wali
orang yang meninggal tersebut tidak wajib untuk mengganti puasa itu, tapi
melakukannya lebih baik daripada memberi makan. Hal ini sesuai dengan hadis
Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw.
bersabda,


Barang siapa yang meninggal dan mempunyai kewajiban berpuasa, maka
hendaknya walinya berpuasa untuk dirinya.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata, Seorang laki-laki mendatangi
Rasulullah saw. dan berkata, Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ia
mempunyai kewajiban puasa Ramadan, apakah saya wajib mengganti puasanya?
Beliau lalu balik bertanya, Jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu akan
membayarnya? Orang itu menjawab, Ya. Maka beliau pun bersabda,

Maka hutang Allah lebih utama untuk dipenuhi. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ahmad, Laits, Ishaq dan Abu Ubaid berpendapat tidak perlu mengganti
puasa orang yang telah meninggal kecuali puasa nazar. Keumuman hadis Aisyah
diartikan dengan makna khusus yang disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas yang
dalam beberapa riwayat lainnya dinyatakan bahwa puasa yang dimaksud dalam
hadis itu adalah puasa nazar.
Dan yang dimaksud dengan wali orang yang telah meninggal adalah anggota
keluarganya. Orang lain yang bukan anggota keluarganya juga boleh berpuasa
untuk orang yang meninggal dengan izin terlebih dahulu dari wali orang yang
meninggal tersebut.
Dalam Syarh Muslim, Imam Nawawi berkata, Pendapat ini pendapat yang
menyatakan boleh mengganti puasa wajib untuk mayit adalah pendapat yang
benar, yang kami pilih dan kami yakini. Dan itulah yang dikuatkan oleh para
ulama muhaqqiqn mazhab kami yang menguasai hadis dan fikih berdasarkan
hadis-hadis yang shahih yang secara jelas memaparkan masalah ini. Adapun hadis
yang mengatakan, Barang siapa yang meninggal dan mempunyai kewajiban
berpuasa, maka [dibayarkan fidyah untuknya dengan] memberi makan atas
namanya, maka hadis ini tidak kuat. Jika hadis ini dianggap kuat maka dapat
disinkronkan dengan hadis-hadis yang shahih itu dengan mengartikan bolehnya
melakuan kedua hal tersebut. Para ulama yang memperbolehkan berpuasa untuk
mayit, juga memperbolehkan memberi makanan sebagai penggantinya. Sehingga,
pendapat yang tepat adalah membolehkan puasa dan memberi makanan. Wali

mayit dipersilahkan untuk memilih di antara keduanya. Yang dimaksud dengan


wali di sini adalah para kerabat, baik dari para ahli waris, ashabah ataupun yang
lain. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud wali ini adalah ahli waris saja.
Yang lain mengatakan para ashabah saja. Yang benar adalah pendapat pertama.
Jika ada orang asing yang berpuasa untuknya maka puasanya sah jika ia telah
diizinkan oleh wali tersebut, jika tidak maka puasanya tidak sah. Seorang wali
tidak wajib berpuasa untuk mayit tersebut, namun hanya dianjurkan.
Berdasarkan penjelasan dan pertanyaan di atas, maka kalian boleh memilih antara
berpuasa untuk ibu kalian atau memberi makan kepada satu orang miskin untuk
setiap hari Ramadhan yang ibu kalian tinggalkan dan tidak dia qadha. Adapun
kadar kafarat tersebut, menurut para ulama dalam Mazhab Syafii adalah satu mud
untuk setiap harinya, atau sekitar setengah kilo gram gandum, kurma atau bahan
makanan pokok daerah setempat. Dengan demikian kalian bisa menghitung
jumlah hari Ramadhan yang di dalamnya ibu kalian tidak berpuasa dan
membaginya kepada masing-masing kalian, baik akan diganti dengan puasa atau
dengan memberi bahan makan pokok. Tidak apa-apa membayar fidyah tersebut
dalam bentuk nilai dari bahan makanan pokok tersebut.
Adapun membaca al-Ftihah dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang
telah meninggal dunia, maka tidak apa-apa membaca satu kali Ftihah untuk satu
orang yang meninggal dunia atau untuk beberapa orang. Semua itu insyaallah
dibolehkan.
Wallahu subhnahu wa tal alam.

Anda mungkin juga menyukai