Puasa Ramadhan 1. Landasan Hukum • Al- Qur’an a. Al Baqarah ayat 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” b. Al Baqarah ayat 185 “…barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempst tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,..” • As-Sunnah Artinya : “ Salah seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Hai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku apa yang difardhukan Allah atasku perihal puasa?’ Rasulullah menjawab ‘Ramadhan’. Apakah ada kewajibanku selainnya? Dijawab: ‘Tidak, kecuali kamu mengerjakan sunnah’ ” 2. Hukum Puasa Ramadhan Fardhu. Apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan mendapat dosa. 3. Keutamaan Bulan Ramadhan • Pembuka pintu surga Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila datang bulan Ramadhan, pintu surga dibuka” (H.R. al- Bukhari) • Penutupan pintu neraka dan pembelengguan syaitan-syaitan Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila datang bulan Ramadhan di buka pintu-pintu langit, ditutup pintu- pintu neraka, dan syaitan-syaitan dibelenggu.” (H.R. al-Bukhari) • Pengampunan dosa-dosanya yang telah lalu Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan ihtisaban baginya diampuni dosa-dosanya yang lalu” (H.R. al-Bukhari) 4. Ancaman berbuka di Bulan Ramadhan Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa adanya rukhsah dan bukan karena rukhsah sakit yang merupakan rukhsah yang diberikan Allah SWT, baginya tidak dapat membayarnya dengan puasa satu tahun” (H.R. at- Tirmizii) Az-Zahabi mengacu kepada pendapat jumhur ulama, mengatakan bahwa meninggalkan puasa ramadhan tanpa sakit, sesungguhnya lebih jahat daripada orang yang berbuat zina dan pecandu minuman keras, bahkan diragukan keislamannya. 5. Yang diwajibkan berpuasa Ramadhan Berdasarkan dalil-dalil diatas, seluruh ulama sepakat bahwa hukum puasa Ramadhan adalah fardhu atas setiap orang Islam, dewasa, berakal, sehat, bermukim, dan bagi wanita harus suci dari haid dan nifas. Bagi seseorang yang berkewajiban berpuasa tetapi tidak dapat melaksanakannya karena alasan syar’iy maka diharuskan mengqada atau mengganti puasa yang ditinggalkannya, pada hari di luar bulan ramadhan, kecuali orang tertentu yang tidak mampu berpuasa, seperti orang lanjut usia. 6. Puasa orang kafir dan orang gila Tidak diwajibkan puasa atas orang yang bukan muslim, termasuk orang kafir, sedangkan orang gila tidak diwajibkan berpuasa karena mukallaf (tidak dibebani kewajiban agama). “Dari Ali RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Diangkat pena (taklif) terhadap tiga hal, yaitu orang gila sampai dia sadar, orang tidur sampai dia bangun, dan anak-anak sampai dia bermimpi.” 7. Puasa Anak-Anak Belum diwajibkan puasa bagi anak-anak, tetapi orangtua harus melatihnya sehingga sudah menjadi terbiasa. Orang tua memantau perkembangan kemampuan anak sejak dini hingga menjelang akil baligh. 8. Boleh berbuka dan Wajib Fidyah a. Berusia lanjut Orang lanjut usia yang sudah tida memiliki kemampuan berpuasa, dibolehkan berbuka dan diharuskan membayar fidyah dan tidak mengqada karena memang tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa.
“…Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya…” (Q.S. Al-baqarah ayat 184) Pembayaran Fidyah menurut Ahnaf, setiap hari memberi makan satu orang miskin ½ sa’ gandum/sejenisnya, atau 1 sa’ kurma/sejenisnya (Burhanuddin al- Marginani,t.th) Menurut Syafi’i setiap hari satu orang miskin 1 mud berupa makanan (Taqyuddin,t.th.) 1 sa’= 4 mud. Satu mud menurut syafii adalah 1,3ratl, menurut Abu Hanifah adalah 2ratl (Ibnu Manzur, 1968). Satu mud kira-kira satu kati atau 0,6kg (Himpunan Putusan Tarjih,t.th.) Ukuran pemberian makanan ini adalah cukup mengenyangkan bagi orang biasa. Berdasarkan firman Allah surat Al-baqarah 184, pemberian makanan kepada orang miskin hendaknya yang terbaik. Menurut Abu Hanifah, pemberian makanan itu dilakukan dalam bentuk siap santap, sehingga penerima tidak perlu menyediakan lauk pauk. b. Pengidap penyakit menahun dan pekerja berat Seseorang yang menderita sakit menahun yang diduga kuat tidak bisa sembuh sedangkan kalau berpuasa merasa berat, maka hukumnya sama dengan orang lanjut usia yaitu membayar fidyah. Demikian pula bagi pekerja berat yang menanggung nafkah dirinya dan keluarganya. Jika ia berpuasa ia harus meninggalkan pekerjaannya, padahal pekerjaan itu satu-satunya yang dapat ia lakukan (Syeikh Muhammad Abduh, t.th) c. Wanita mengandung dan atau menyusui Wanita mengandung dan menyusui diberi rukhsah/keringanan untuk berbuka di bulan ramadhan apabila khawatir atau takut akan kesehatan dirinya atau kesehatan putranya yang dinyatakan oleh eksperimen atau anjuran dokter yang terpercaya. “Dari Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah SAW telah memberikan rukhsah bagi wanita mengandung yang khawatir akan dirinya untuk berbuka dan bagi wanita menyusui yang khawatir terhadap putranya.” (H.R. Ibnu Majah) Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa wanita menyusui dan wanita mengandung jika khawatir akan dirinya dan anaknya, maka berbuka dan wajib membayar fidyah, tidak diwajibkan mengqada. “Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin, berkata: Rukhsah bagi orang lanjut usia laki- laki dan perempuan yang saat menjalankan puasa merasa berat adalah berbuka dan memberikan makanan setiap hari satu orang miskin. Demikian pula, bagi waktu mengandung dan menyusui apabila mereka berdua khawatir.” (H.R. Abu Daud) Memperhatikan pendapat-pendapat diatas, wanita mengandung dan atau menyusui perlu dipertanyakan apakah berpuasa dapat mengganggu kesehatan dirinya dan putranya atau tidak. Pertanyaan ini perlu dikemukakan karena kondisi fisik seseorang saat mengandung dan menyusui tidak sama. Demikian pula kondisi janin yang dikandung ataupun bayi yang disusui. Jawaban pertanyaan tsb menimbulkan 2 konsekuensi : 1. Apabila tidak terganggu sama sekali, baik dirinya atau putranya maka mereka berpuasa 2. Apabila terganggu kesehatan dirinya atau putranya, maka berbuka (tidak berpuasa Sedangkan kewajiban mengqada atau membayar fidyah ditentukan oleh seberapa lama atau seberapa besar gangguan itu. Apabila bersifat sementara/kurang dari setahun maka mereka mengqada. Sedangkan bila berlangsung dalam waktu lama/lebih dari setahun maka mereka membayar fidyah. 9. Boleh berbuka dan Wajib Mengqada Orang sakit dan orang yang bepergian dibolehkan berbuka dan diharuskan mengqada sebanyak hari yang ditinggalkan. Terdapat pada QS. Al-baqarah ayat 184 a. Orang Sakit Rukhsah diberikan pada orang sakit yaitu bagi orang dengan penyakit yang apabila penderitanya berpuasa akan bertambah parah, atau akan memperpanjang masa penyembuhan, atau memperlambat proses penyembuhan. Berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 29
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” Q.S. Al-Hajj ayat 78 Artinya : “..Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” b. Orang Bepergian “Hamzah al-Aslami bertanya: Hai Rasulullah, saya dapati diriku memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam bepergian, apakah saya berdosa? Rasulullah SAW menjawab: “Dia adalah rukhsah dari Allah SWT, barangsiapa memanfaatkannya bagus, dan barangsiapa lebih suka berpuasa maka tidak berdosa.” (H.R. Muslim) Hal-hal yang berkaitan dengan bepergian : 1. Keutamaan berbuka • Hanafi, Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi orang yang kuat, dan berbuka lebih utama bagi orang yang lemah, berdasarkan surat al-baqarah ayat 184 • Imam Ahmad dan Ishak berpendapat bahwa orang bepergian lebih utama berbuka puasa, berdasarkan hadist nabi : “Dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah SAW bersabda: Bukanlah kebaikan bahwa kamu berpuasa dalam bepergian” (H.R. Muslim) • Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa keutamaan terletaj oada kemudahan/keringanan. Barangsiapa yang merasa berbuka saat itu lebih mudah/ringan, tetapi mengqadanya jauh lebih berat, maka berpuasa lebih utama 2. Batas Jarak Tempuh Batas Jarak tempuh yang dibolehkan berbuka tidak dijelaskan secara tegas pada al-Qur’an maupun as-sunnah, sehingga tidak ada kesepakatan pada kalangan ulama. Sebagian mereka menetapkan 48 mil atau 89 km, sebagian lainnya menetapkan 83,5 km (Hasan Muhammad Ayyub 1974). Mereka menetapkan angka tersebut atas dasar analogi dengan dibolehkannya mengqasar sholat. 3. Masa berlaku rukhsah Orang bepergian/musafir dibolehkan berbuka puasa / rukhsah sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. - Ahnaf dan beberapa ulama lain berpednapat bahwa apabila seseorang musafir berniat tinggal/menetap di daerah perantauan selama lima belas hari atau lebih, maka ia diharuskan berpuasa - Syafii, Ahmad dan Malik berpendapat bahwa musafir bila berniat tinggal selama kurang dari empat hari masih terhitung sebagai musafir, maka dibolehkan berbuka puasa. Sedangkan apabila berniat tinggal empat hari diluar dari hari keberangkatan dan kepulangan, dia terhitung mukim(orang yang berdomisili) maka harus berpuasa. Adapun musafir yang tidak berniat untuk tinggal/menetap di suatu tempat tujuan, maka selama itu pula terhitung sebagai musafir walaupun keberadaannya di tempat tersebut bertahun-tahun. 4. Ketentuan Niat Apabila pada malam harinya berniat puasa, kemudian pagi harinya melakukan perjalanan dengan puasa maka dia boleh berbuka sewaktu-waktu bila menghendaki. Bila seseorang tidak berencana bepergian kemudian siang harinya dia bepergian, Jumhur Ulama berpendapat bahwa ia tidak dibolehkan berbuka, sedangkan Imam Ahmad dan Ishak membolehkannya (Sayid Sabiq,1992) 10. Wajib Ber buka dan Wajib Mengqada Wanita haid dan nfas berbuka dan mengqada puasa yang ditinggalkannya. Jika memaksakan diri berpuasa, maka puasanya batal. “Dari Aisyah RA berkata: kami haid di sisi Nabi SAW, kemudian kami diperintahkan oleh beliau untuk mengqada puasa.” (H.R. Ibnu Majah) 11. Batalnya Puasa a. Batalnya Puasa dan Wajib mengqada - Makan dan Minum dengan sengaja. Seseorang yang dengan sengaja makan dan minum ketika berpuasa, puasanya batal dan harus mengqada, tetapi jika tidak sengaja misalnya karena lupa, maka makan/minumnya segera dihentikan, kemudian diteruskan puasanya. “Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: ‘Apabila lupa dalam keadaan puasa kemudian makan atau minum, maka sempurnakanlah puasanya. Maka sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan memberinya minum’.” (H.R. Al-Bukhari) - Terpaksa dan tersalah Seorang pembantu rumah tangga yang diancam oleh majikan untuk berbuka, apabila dituruti demi keamanan, maka dia harus mengqada. Begitu pula bagi seseorang yang makan dan minum dengan angappan sudah memasuki waktu maghrib padahal belum, atau makan sahur dengan anggapan belum terbit fajar padahal sudah subuh. Mereka diwajibkan mengqada karena puasanya dianggap batal. - Muntah disengaja “Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang tiba-tiba muntah (tanpa sengaja) maka tidak mengqadanya, dan barangsiapa yang menyengaja muntah maka wajib mengqada.” (H.R. Lima Perawi) - Sengaja mengeluarkan mani (onani) Mengeluarkan mani secara sengaja, baik disebabkan mencium istri atau lainnya, maka batal puasanya dan harus mengganti. Apabila keluar mani tanpa sengaja yang disebabkan mimpi di siang hari atau melihat wanita, maka tidak membatalkan puasa. “Dari sahabat Nabi berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang mimpi dan orang yang berbekam.” (H.R. Abu Daud) - Menyantap makanan dengan anggapan diperbolehkan Hal ini terjadi ketika orang berpuasa kemudian karena lupa, ia menyantap makanan, kemudian dia beranggapan bahwa meneruskan santapan itu diperbolehkan setelah lupa, dalam kasus ini puasanya batal dan wajib mengqada. - Haid dan Nifas Wanita yang sedang berpuasa kemudian melahirkan/mengeluarkan darah nifas atau datang haid maka puasanya batal, meskipun kedatangan haid dan nifas pada sore hari menjelang maghrib. “Dari Aisyah RA berkata: kami haid di sisi Nabi SAW, kemudian kami diperintahkan oleh beliau untuk mengqada puasa.” (H.R. Ibnu Majah) - Murtad Syarat wajib puasa adalah Islam. Seseorang berpuasa kemudian dia murtad/keluar dari agama islam, maka puasanya batal. Kewajiban mengqada gugur karena sudah tidak ada taklif atasnya. - Niat berbuka Seseorang yang sedang berpuasa kemudian berniat untuk berbuka, maka puasanya batal walaupun belum melakukan berbuka. Niat adalah rukun puasa. Sejak ada niat berbuka, puasa menjadi kehilangan salah satu rukunnya. b. Batal puasa, wajib mengqada dan wajib kafarat Pada Hadist riwayat Jamaah, memiliki isi kandungan : 1. Seorang lelaki yang melaukan hubungan seksual dengan istrinya secara sadar di siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal dan wajib membayar kafarat. Apabila hubungan itu dilakukan karena lupa, tanpa adanya kesadaran, menurut Ahnaf dan Syafiiyah tidak membatalkan puasa. 2. Kafarat diwajibkan atas suami dan istri jika dilakukan secara sadar, sengaja dan suka rela, menurut jumhur ulama. Kecuali kalau isrtri melakukannya terpaksa, atau sedang tidak berpuasa dengan alasan yang dibenarkan agama, maka istri terbebas dari kewajiban kafarat dan tetap harus mengqada. Menurut syafi’i istri sama sekali tidak diwajibkan membayar kafarat, baik dia melakukannya secara sadar, sengaja dan suka rela maupun dengan cara terpaksa. Imam Ahmad ketika ditanya tentang seorang lelaku yang mengumpuli istrinya di bulan ramadhan, apakah istri diwajibkan kafarat? Menjawab : “Saya tidak mendengar bahwa istri diwajibkan membayar kafarat” 3. Pembayaran kafarat dilakukan sesuai dengan urutan hadist riwayat jamaah tersebut, yaitu pertama memerdekan budak. Kedya jika hal itu tidak mampu, maka dibolehkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketiga jika berpuasa tidak mampu, maka memberikan makanan kepada 60 (enam puluh) orang miskin. Pemilihan kafarat bukan dilakukan sesuka hati, melainkan berdasar kemampuan yang sebenarnya. 4. Puasa kafarat tidak termasuk puasa qada Ramadhan.