Anda di halaman 1dari 12

Tata Cara Shalat Orang Yang Sakit

Yulian Purnama, S.Kom. oleh Yulian Purnama, S.Kom. 12 November 2022Waktu Baca: 8 menit

shalat orang sakit

2.4k

SHARES

Daftar Isi sembunyikan

1. Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

2. Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

3. Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan
kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

‫َفاَّتُقوا َهَّللا َم ا اْسَتَطْع ُتْم‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan
keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan
shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat

Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang
terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf,
yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:

‫ وعن المجنوِن حتى يعِقَل‬، ‫ وعن الصبِّي حتى يحتلَم‬، ‫ عن النائِم حتى يستيقَظ‬: ‫ُرفَع القلُم عن ثالثٍة‬
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga
ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no.
143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda ‘Aisyah
radhiallahu’anha pernah ditanya,

‫َأَتْج ِزى ِإْح َداَنا َص َالَتَها ِإَذ ا َطُهَر ْت َفَقاَلْت َأَح ُروِرَّيٌة َأْنِت ُكَّنا َنِح يُض َم َع الَّنِبِّى – صلى هللا عليه وسلم – َفَال َيْأُم ُرَنا ِبِه‬

“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau
seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu‘alaihi
wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

‫كانت النفساء تجلس على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أربعين يوما‬

“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tidak shalat)
selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan
shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.

Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit

1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah
di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin,
udara sangat dingin atau semacamnya.
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

‫ْأ‬
‫ ” َأاَل َص ُّلوا ِفي الِّر َح اِل ” ِفي الَّلْيَلِة اْلَباِرَد ِة َأْو اْلَم ِط يَرِة ِفي الَّس َفِر‬: ‫ ُثَّم َيُقوُل َع َلى ِإْثِرِه‬، ‫َك اَن َي ُم ُر ُم َؤ ِّذ ًنا ُيَؤ ِّذ ُن‬

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii
rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR.
Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ فقال” لُيصِّل من شاء منكم في َر ْح ِله‬. ‫ فُمِط ْر نا‬. ‫“خرجنا مع رسوِل ِهللا صَّلى ُهللا عليِه وسَّلَم في سفٍر‬

“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda:
‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

‫صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في األسواق‬

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-
orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa
mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai
imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:
) ‫ ( ُم روا أبا بكٍر يصِّلي بالناِس‬: ‫أن رسوَل ِهللا صَّلى ُهللا عليه وسَّلم قال في مَرِض ه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat
(mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

‫لقد َر أيُتنا وما يتخَّلُف عن الَّصالِة إال منافٌق قد ُع ِلَم نفاُقُه أو مريٌض‬

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang
munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah bin Abbas
radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

‫ والمغرِب والعشاِء بالمدينِة من غيِر خوٍف وال مطٍر‬، ‫جمع رسوُل ِهللا صَّلى ُهللا عليه وسَّلَم بين الظهِر والعصِر‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat
Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no.
705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
‫ وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر‬.‫ ال يجوز في غير السفر‬، ‫والقصر سببه السفر خاصة‬

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain
safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” (Majmu’ Al Fatawa,
22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing,
dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena
berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun
shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang
belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanya:

‫ارِج ْع َفَص ِّل فإنك لم ُتصِّل‬

“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat.
Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan
bersabda:

‫ ثم اْستقبل الِقْبلَة فكِّبر‬، ‫…إذا ُقمَت إلى الَّصالِة فأْس ِبغ الُو ُضوَء‬
“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR.
Bukhari 757, Muslim 397).

Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan
jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan:

‫ فإن لم تسَتِط ْع فعلى َج نٍب‬، ‫ فإن لم تسَتِط ع فقاعًدا‬، ‫ َص ِّل قائًم ا‬: ‫ فقال‬، ‫ فسَألُت النبَّي صَّلى ُهللا عليه وسَّلم عِن الصالِة‬، ‫كانْت بي َبواسيُر‬

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka
shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al
Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

‫فإن لم تستطع فمستلقيًا‬

“Jika tidak mampu maka berbaring telentang”

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-
Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring
menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring
tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat
dengan sekedar gerakan kepala.
Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

‫ صِّل على‬: ‫ وقال‬، ‫ فأخذه فرمى به‬، ‫ فأخذ عوًدا ليصلي عليه‬، ‫ فأخذها فرمى بها‬، ‫عاد صلى ُهللا عليِه وسَّلَم مريًضا فرآه يصلي على وسادٍة‬
‫ واجعل سجوَدك أخفَض من ركوِع ك‬، ‫ وإال فأوم إيماًء‬، ‫األرِض إن استطعت‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata
Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan
menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut.
Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas
tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan
kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306,
dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

‫ اإلشارة باَألْع ضاء كالرْأس واليد والعين والحاجب‬: ‫اإليماُء‬

“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

‫ ويغمض تغميضًا للسجود‬،‫ فيغمض قليًال للركوع‬،‫فإن كان ال يستطيع اإليماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه‬

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat
dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika
sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu
Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat
sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke
kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap
kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

‫ فإذا لم يستطع استقبال‬،‫والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة‬
‫ يخشى من خروج وقت الصالة فإنه يصلي على حسب حاله‬،‫القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة‬

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik
menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap
kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat
akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit

Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak
memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang
sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit
berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka
mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

‫َفاَّتُقوا َهَّللا َم ا اْسَتَطْع ُتْم‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

‫سِّددوا وقاِربوا‬

“Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).
Kaidah fikih yang disepakati ulama:

‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬

“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-
Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:

Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan
cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.

Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.

Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di
angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.

Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam
hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.

Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka,
dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.

Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat
sambil berbaring ada dua macam:
a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke
kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk
menghadap kiblat maka tidak mengapa.

Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di
angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.

Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam
hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.

Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke
arah lutut.

Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah
kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:

Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan
ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan
untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.

Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan
diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.

Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam
hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.

Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke
arah lutut.
Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah
kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya
dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika
takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca
bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam
hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya
dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai
dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka
bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian,
dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu
waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Baca juga: Macam-macam Doa Iftitah

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html

Anda mungkin juga menyukai