Anda di halaman 1dari 5

SHALAT ORANG YANG SAKIT

Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak
ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah
Azza wa Jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”[al-Baqarah/2:286]

HUKUM-HUKUM BERHUBUNGAN DENGAN SHALAT ORANG SAKIT

1. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya , seperti pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
Imran Bin Husain Radhiyallahu ‘anhu :
“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah
dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka
berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117]

2. Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjamâ’
(menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya` baik dengan jamâ’ taqdîm
atau ta’khîr, dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak
boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Di antara dasar
kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan
Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: Aku
bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau
Radhiyallahu ‘anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya.” [HR Muslim no. 705]

3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama
akalnya masih baik.

4. Orang sakit yang berat shalat jama`ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau
memperlambat kesembuhannya jika shalat dimasjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah .
Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama
bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:

“Perintahkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu agar mengimami shalat” [Muttafaqun ‘Alaihi]
TATA CARA SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT

a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak
khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun
shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman :

” …………..Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu” [al-Baqarah/


2:238]

Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat,
bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu ‘anha
yang berbunyi:

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah,
beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran” [HR Abu Dawud dan
dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang
rukuk.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam
segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat,
tembok, tiang ataupun manusia”.

b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud , ia tetap wajib
berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan
badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup
dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud
dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.

c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk,
berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah
rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah berijmâ’ bahwa orang yang tidak mampu
shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.

d. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk. Syeikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan (Masyaqqah)
membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa
susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu” [al-Baqarah/ 2:185]

Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu
puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila
berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”.[12]

Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan bersila” [13]

Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang)
daripada duduk iftirâsy.

Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.

Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan


untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung
kedua telapak kaki” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya
ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan
tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.

e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri,
dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n
dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu ‘anhu :

“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu
juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana
seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang
termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama
baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun
bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar
keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan


dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya” [HR Muslim
no 396]

Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya ,
sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para
ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

1. Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila rukû’ maka ia memejamkan matanya


sedikit kemudian mengucapkan kata (ُ‫ ) َس ِم َع هللاُ لِ َم ْن َح ِم َده‬lalu membuka matanya. Apabila
sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.

2. Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.

3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan
menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja,
karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur,
karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman :

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu” [at-
Taghâbun/ 64:16]

f. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang
dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri.
Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di
arah barat.

g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau
membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya” [al-Baqarah/ 2:286]

h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai
keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu” [at-
Taghâbun/ 64:16]

i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (Ia
tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya),
hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal
seorang masih sehat.

j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak
mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya
dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu
mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.[18]

k. Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia
cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini
didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya


sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau q pun mengambil dan
melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak
maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari
ruku’mu”

Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tatacara shalat bagi orang yang sakit, mudah-
mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah ini
mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.

https://almanhaj.or.id/2587-shalat-orang-yang-sakit.html

Anda mungkin juga menyukai