Anda di halaman 1dari 12

Tata Cara Shalat Orang Yang

Sakit
Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang
diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan
hamba. Allah Ta’ala berfirman:
َ َ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْست‬
‫ط ْعتُ ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal
kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).
Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam
Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di
dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai
kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.
Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat
Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf,
orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah
orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ وعن المجنو ِن حتى يعقِ َل‬، ‫ وعن الصب ِّي حتى يحتل َم‬، ‫ظ‬ َ ‫النائم حتى يستيق‬ ِ ‫ عن‬: ‫رُف َع القل ُم عن ثالث ٍة‬
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun,
anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307,
Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’
no. 3513).
Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas.
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,
‫ت ُكنَّا نَ ِحيضُ َم َع النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فَالَ يَْأ ُم ُرنَا بِ ِه‬
ِ ‫ُوريَّةٌ َأ ْن‬
ِ ‫ت َأ َحر‬
ْ َ‫ت فَقَال‬
ْ ‫طهُ َر‬ َ ‫َأتَجْ ِزى ِإحْ َدانَا‬
َ ‫صالَتَهَا ِإ َذا‬
“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab,
“Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di
masa Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk
menggantinya” (HR. Al Bukhari no. 321).
Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit
1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid
Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak
menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah
(kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau
semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:


َ ‫ار َد ِة َأ ْو ْال َم ِط‬
‫ير ِة فِي ال َّسفَ ِر‬ َ ‫ ” َأاَل‬: ‫ ثُ َّم يَقُو ُل َعلَى ِإ ْث ِر ِه‬، ‫ان يَْأ ُم ُر ُمَؤ ِّذنًا يَُؤ ِّذ ُن‬
ِ َ‫صلُّوا فِي الرِّ َحا ِل ” فِي اللَّ ْيلَ ِة ْالب‬ َ ‫َك‬
“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan
lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam
sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:


‫صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في األسواق‬
“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang
dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]
Dan kondisi sakit terkadang menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid,
padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk
menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:
) ‫بالناس‬
ِ ‫بكر يصلِّي‬
ٍ ‫ ( ُمروا أبا‬: ‫ضه‬ َ ‫هللا صلَّى هللاُ عليه وسلَّم قال في‬
ِ ‫مر‬ ِ ‫أن رسو َل‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar
untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

2. Dibolehkan menjamak shalat


Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah
bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:
‫مطر‬
ٍ ‫خوف وال‬
ٍ ‫غير‬
ِ ‫ب والعشا ِء بالمدين ِة من‬
ِ ‫ والمغر‬، ‫والعصر‬
ِ ‫الظهر‬
ِ ‫جمع رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم بين‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan
menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan
tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).
3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk


Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk
berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil
bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’
shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah
ia shalat Nabi bersabda kepadanya:
ِّ‫صلِّ فإنك لم تُصل‬
َ َ‫ارج ْع ف‬
ِ
“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas


Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa
berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan
kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.
Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:
ً ‫عاد صلى هللاُ علي ِه وسلَّ َم مري‬
‫ فأخذه‬، ‫ فأخذ عودًا ليصلي عليه‬، ‫ فأخذها فرمى بها‬، ‫ضا فرآه يصلي على وساد ٍة‬
‫ركوعك‬
ِ ‫أخفض من‬
َ ‫ واجعل سجو َدك‬، ‫ وإال فأوم إيما ًء‬، ‫األرض إن استطعت‬
ِ ‫ ص ِّل على‬: ‫ وقال‬، ‫فرمى به‬

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang
sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi
mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu
mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu
tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu
mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan
kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al
Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:


‫ اإلشارة باَأل ْعضاء كالرْأس واليد والعين والحاجب‬:‫اإليما ُء‬
“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata,
dan alis.”
6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu
Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap
menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya
untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada
kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:
‫ فإذا لم‬،‫والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة‬
‫ يخشى من خروج وقت الصالة فإنه يصلي على حسب‬،‫يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة‬
‫حاله‬
“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap
kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia
tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk
menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat
sebagaimana sesuai keadaannya”[3]
Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit
Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak
memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi
pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah
hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan
sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:
َ َ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْست‬
‫ط ْعتُ ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:


‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬
“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”
Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin
Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:
1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri
Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan
sebagai berikut:
• Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak
memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
• Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat
maka tidak mengapa.
• Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
• Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
• Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
• Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti
biasa.
2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil
berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:
a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)
Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:
• Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak
bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika
tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
• Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan
kanan diletakkan di atas tangan kiri.
• Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
• Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
• Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
• Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat
sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat.
Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
• Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
• Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
• Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
• Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh
total)
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka
shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat
yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika
lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati
Saat Pasien Sakaratul Maut

    Saat pasien menghadapi keadaan kritis atau menjelang sakaratul maut


hampir tidak ada satupun perawat yang ingat pada kebutuhan spiritual klien.
Padahal mereka sendiri yakin bahwa keperawatan meliputi aspek Bio-Psiko-
Sosio-spiritual, tetapi pada kenyataannya, aspek spiritual ini jarang diperhatian
oleh perawat. Padahal klien yang dirawatnya harus meninggal dalam keadaan
Husnul Khotimah (suatu akhir penghidupan yang selamat). Di samping hal
tersebut,, kita tahu bahwa konsep keperawatan Virginia Handerson menyatakan
bahwa salah satu peran perawat adalah membantu agar klien siap meninggal
dengan tenang.

Anda mungkin juga menyukai