Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang
yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang
bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وعن المجنوِن حتى يعِقَل، وعن الصبِّي حتى يحتلَم، عن النائِم حتى يستيقَظ: ُرفَع القلُم عن ثالثٍة
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak
kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud
no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).
Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk
berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil
bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu,
yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi
bersabda kepadanya:
“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…”
(HR. Bukhari 757, Muslim 397).
Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil
duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin
Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
فإن لم تسَتِط ْع، فإن لم تسَتِط ع فقاعًدا، َص ِّل قائًم ا: فقال، فسَألُت النبَّي صَّلى ُهللا عليه وسَّلم عِن الصالِة، كانْت بي َبواسيُر
فعلى َج نٍب
“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak
mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring
menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).
Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit.
Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal
tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas
kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi
bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan
imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR.
Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).
Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:
اإلشارة باَألْع ضاء كالرْأس واليد والعين والحاجب: اإليماُء
“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:
ويغمض تغميضًا، فيغمض قليًال للركوع،فإن كان ال يستطيع اإليماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه
للسجود
“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia
berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan
lebih banyak ketika sujud.” [2]
Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantu
Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap
kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk
menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya
untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:
فإذا لم،والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة
يخشى من خروج وقت الصالة فإنه يصلي على حسب حاله،يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة
“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik
menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu
menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia
khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).
Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
سِّددوا وقاِربوا
“Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).
Kaidah fikih yang disepakati ulama:
“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”
Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin
Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:
Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan,
maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka
tidak mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika
rukuk.
Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.
2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring.
Shalat sambil berbaring ada dua macam:
Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa
menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak
memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit
dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika
tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh
total)
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka
shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan
matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan
gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka
bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka
shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia
kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak
mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.
Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada pembaca
sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi
sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html
Catatan kaki
[1] https://www.binbaz.org.sa/noor/5631
[2] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (15/229), Asy
Syamilah
[3] https://ar.islamway.net/fatwa/10406
[4] Video youtube: https://www.youtube.com/watch?v=dFcK3IQ_D_E
[5] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (15/229), Asy
Syamilah
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html
Sumber: https://muslim.or.id/37763-tata-cara-shalat-orang-yang-sakit.html