Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Kelompok 3

Dimas Fadlyan 22.2.051

Dian Klarista 22.2.050

Inna Radiena 22.2.057

Melania F Alves R Manikin 22.2.062

Mesi nosidearti 22.2.063

Rizsha Hafidzah Fradika Candrikirana 22.2.072

Romi Rizkiansyah 22.2.073

Taqiyah Kamila Az zahra.SR 22.2.081

STUDI SARJANA TERAPAN ANESTESIOLOGI


POLITEKNIK INSAN HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
kelompok untuk Mata kuliah AGAMA , dengan topik “Pandangan Agama Dalam
Menghadapi Orang sakit khususnya Tata Cara Ibadah Orang Yang Sakit”
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa banyak bantuan dari pihak yang
dengan tulus memberikan doa, saran dan kritikan, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengetahuan yang kami miliki. oleh karena itu, kami mengharap segala bentuk saran dan
masukan membangun dari berbagai pihak. kami garap sedikit pengetahuan dari makalah kami
dapat diterima dan dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Surakarta, 09 November 2022


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spiritual realization is theoretically the easiest thing and in practice the most difficult
thing there is. It is the easiest because it is enough to think of God. It is the most difficult
because human nature is forgetfulness of God.
[Frithjof Schuon]
Sembahyang merupakan komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Seseorang dapat mengomunikasikan kesedihannya, kebahagiaannya, ketakutannya,
kekhawatirannya kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Sembahyang adalah
pertemuan antara manusia dengan Tuhan, yang melaluinya manusia menyadari
keberadaannya hanya bergantung pada kasih Tuhan. Sembahyang adalah ritual
pemujaan terhadap Sang Pemberi Kehidupan. Tradisi sembahyang berkembang dalam
berbagai agama dalam forma yang berbeda-beda.
Secara etimologis, sembahyang berasal dari kata sembah dan Hyang.
Dalam KBBI kata sembah1 memiliki dua arti: (1) pernyataan hormat dan khidmat
(dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh,
lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dng menyentuhkan ibu jari ke hidung);
dan (2) kata atau perkataan yg ditujukan kepada orang yg dimuliakan. Dalam KBBI ini,
kata sembah berlaku umum tidak hanya bermakna pemujaan terhadap Tuhan
melainkan juga tindakan menghormati orang lain. Namun demikian, kata sembahan
berarti pujaan; yang disembah, sehingga bisa merujuk pada tuhan atau dewa yang di
tinggikan

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja agama yang ada di Indonesia?

2. Bagaimanakah tata cara beribadah tiap agama di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui agama yang di diIndonesia

2. Mengetahui tata cara beribadah tiap agama di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Agama-Agama yang ada di Indonesia

Indonesia sebagai negara majemuk memiliki beraneka ragam suku, budaya, agama,
dan kepercayaan. Enam agama resmi yang diakui di Indonesia tentu memiliki hari besar, cara
beribadah dan tempat beribadah yang berbeda-beda.

Indonesia memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama dan menjalankan
ibadah sesuai ajarannya masing-masing. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 28E ayat 1 UUD
1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara bebas memeluk agama dan beribadah sesuai
agamanya”.

Perbedaan agama di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Bangsa India awalnya
memperkenalkan agama Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Kemudian disusul oleh
kedatangan bangsa Gujarat yang membawa agama Islam.

Selanjutnya, agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik diperkenalkan oleh bangsa Eropa
yang datang ke Indonesia. Terakhir, bangsa China datang dan mulai membawa ajaran agama
Konghucu.

Dalam urusan kepercayaan, Indonesia merupakan negara yang sangat menghormati


perbedaan agama. Enam agama yang diakui di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri.

Indonesia mengakui agama atau kepercayaan sebagai elemen penting kepada Sang Pencipta.
Hal tersebut menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan nilai sosial.

Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi bukti bahwa
Indonesia menghargai berbagai agama atau kepercayaan sebagai elemen penting dalam
kehidupan. Berbicara mengenai agama tentu berkaitan erat dengan rumah ibadah.

Setiap agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia memerlukan tempat beribadah untuk
memenuhi kebutuhan rohani. Masing-masing tempat ibadah tentu memiliki bentuk dan
pengaturan yang menjadi ciri khas.

Masyarakat kerap mengartikan rumah ibadah sebagai sarana keagamaan yang penting bagi
setiap pemeluk agama di suatu tempat. Kemudian rumah ibadah sendiri identik dengan
simbol “keberadaan” pemeluk agama.Selain sebagai simbol, rumah ibadah juga berguna
sebagai tempat melakukan ibadah dan penyiaran agama. Sebagai tempat peribadahan, rumah
ibadah diharapkan mampu memberikan dorongan yang kuat dan terarah kepada jemaahnya.

Hal tersebut bertujuan agar kehidupan spiritual pemeluk agama tersebut menjadi lebih baik.
Sebagai sarana yang penting, tempat ibadah menjadi prioritas utama agar kenyamanan umat
dalam melakukan ibadah terjamin.Maka secara hukum negara Indonesia mengakui ada 6
agama yaitu:ISLAM,KRISTEN KATOLIK,KRISTEN
PROTESTAN,HINDU,BUDHA,KONGHUCU
2.2 Tata Cara Orang Sakit Beribadah

Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan
dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:

‫م‬Cُْ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعت‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak
kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai
kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit.

Orang Yang Sakit Tetap Wajib Shalat


Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang
yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang
bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫المجنون حتى يعقِ َل‬


ِ ‫ وعن‬، ‫الصبي حتى يحتل َم‬
ِّ ‫ وعن‬، َ‫النائم حتى يستيقظ‬
ِ ‫ عن‬: ‫رُف َع القل ُم عن ثالث ٍة‬

“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun,
anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307,
Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.
3513).

Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas.
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,

ِ ‫ُوريَّةٌ َأ ْن‬
َ‫ت ُكنَّا نَ ِحيضُ َم َع النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فَال‬ ِ ‫ت َأ َحر‬
ْ َ‫ت فَقَال‬ َ ‫َأتَجْ ِزى ِإحْ دَانَا‬
ْ ‫صالَتَهَا ِإ َذا طَه َُر‬
‫يَْأ ُم ُرنَا بِ ِه‬

“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah
engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi
shallallahu‘alaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya”
(HR. Al Bukhari no. 321).

Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakan:

‫كانت النفساء تجلس على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أربعين يوما‬

“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk
(tidak shalat) selama 40 hari” (HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Ibnu Majah).

Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk
meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak nifas.
Keringanan-Keringanan Bagi Orang Yang Sakit
1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid

Shalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri
shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti
sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

َ ‫ار َد ِة َأوْ ْال َم ِط‬


‫ير ِة فِي‬ ِ َ‫ال ” فِي اللَّ ْيلَ ِة ْالب‬ َ ‫ ” َأاَل‬: ‫ ثُ َّم يَقُو ُل َعلَى ِإ ْث ِر ِه‬، ُ‫َكانَ يَْأ ُم ُر ُمَؤ ِّذنًا يَُؤ ِّذن‬
ِ ‫صلُّوا فِي الرِّ َح‬
‫ال َّسفَ ِر‬

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz


/shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau
hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ فقال” ليُصلِّ من شاء منكم في َرحْ لِه‬. C‫ ف ُم ِطرْ نا‬. ‫سفر‬


ٍ ‫“خرجنا مع رسو ِل هللاِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم في‬

“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan.
Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no.
698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

C‫صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في األسواق‬

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang


dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid,
padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk
menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

) ‫بالناس‬
ِ ‫بكر يصلِّي‬
ٍ ‫ ( ُمروا أبا‬: ‫ضه‬ َ ‫ل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّم قال في‬Cَ ‫أن رسو‬
ِ ‫مر‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu
Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

ٌ ‫لقد َرأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّال ِة إال مناف‬


ٌ‫ق قد ُعلِ َم نفاقُهُ أو مريض‬

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah
sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).
Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat
jama’ah.

2. Dibolehkan menjamak shalat

Menjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah (kesulitan). Dari Abdullah
bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

‫خوف وال‬
ٍ ‫غير‬
ِ ‫ب والعشا ِء بالمدين ِة من‬
ِ ‫ والمغر‬، ‫والعصر‬
ِ ‫الظهر‬
ِ ‫م بين‬Cَ َّ‫جمع رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسل‬
‫مطر‬
ٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan
menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan
tidak hujan” (HR. Muslim no. 705).

Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada
masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

C‫ وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر‬.‫ ال يجوز في غير السفر‬، ‫والقصر سببه السفر خاصة‬

“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan
pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur”
(Majmu’ Al Fatawa, 22/293).

Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya
masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.

3. Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri

4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu duduk

Jika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk
berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil
bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’
shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia
shalat Nabi bersabda kepadanya:

ِّ‫ص ِّل فإنك لم تُصل‬


َ َ‫ار ِج ْع ف‬
“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”

Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan
shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar
kepadanya dengan bersabda:

C‫ ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر‬،‫…إذا قُمتَ إلى الصَّال ِة فأ ْسبِغ ال ُوضُو َء‬

“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan
bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).
Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil
duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain
radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

َ : ‫ فقال‬، ‫ ع ِن الصال ِة‬C‫ي صلَّى هللاُ عليه وسلَّم‬


‫ فإن لم تستَ ِطع‬، ‫ص ِّل قائ ًما‬ ُ ‫ فسَأ‬، ‫كانت بي بَواسي ُر‬
َّ ‫لت النب‬ ْ
ٍ ‫ فإن لم تستَ ِط ْع فعلى َجن‬، ‫فقاعدًا‬
‫ب‬

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika
tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan
berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

Dalam riwayat lain disebutkan tambahan:

Cً‫فإن لم تستطع فمستلقيا‬

“Jika tidak mampu maka berbaring telentang”

Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam
Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit
tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring terlentang.

5. Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatas

Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa
berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan
kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala.

Dari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkata:

، ‫ فأخذ عودًا ليصلي عليه‬، ‫ بها‬C‫ فأخذها فرمى‬، ‫عاد صلى هللاُ علي ِه وسلَّ َم مريضًا فرآه يصلي على وساد ٍة‬
‫أخفض من‬
َ ‫ واجعل سجودَك‬، ‫ وإال فأوم إيما ًء‬، ‫األرض إن استطعت‬
ِ ‫ صلِّ على‬: ‫ وقال‬، ‫ به‬C‫فأخذه فرمى‬
‫ركوعك‬
ِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit.
Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil
bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan
shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya.
Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka
shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah
dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu
Shalatin Nabi, 78).

Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkan:

‫ اإلشارة باَأل ْعضاء كالرْأس واليد والعين والحاجب‬:‫اإليما ُء‬

“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin mengatakan:

،‫ فيغمض قليالً للركوع‬،‫فإن كان ال يستطيع اإليماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه‬
‫ويغمض تغميضا ً للسجود‬

“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia
berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan
lebih banyak ketika sujud.” [2]

6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang
membantu

Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap
menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya
untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada
kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan:

‫ أو بأن يوجهه أحد‬C‫والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع‬
‫ يخشى من خروج‬،‫ استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة‬C‫ فإذا لم يستطع‬،‫إلى القبلة‬
‫وقت الصالة فإنه يصلي على حسب حاله‬

“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat.
Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak
mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat,
dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai
keadaannya”[3]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Sakit


Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak
memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi
pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah
hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan
sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirman:

‫م‬Cُْ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعت‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

‫وقاربوا‬
ِ ‫سدِّدوا‬

“Berbuat luruslah, (atau jika tidak mampu maka) mendekati lurus” (HR. Bukhari no. 6467).

Kaidah fikih yang disepakati ulama:

‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬


“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”

Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin
Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]:

1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri

Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai
berikut:

 Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak
memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
 Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka
tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
 Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
 Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika
rukuk.
 Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti
biasa.

2. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk

Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring.
Shalat sambil berbaring ada dua macam:

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)

Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:

 Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak
bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika
tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.

b. mustalqiyan (telentang)

Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
 Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat
sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri.
Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan
diletakkan di atas tangan kiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua
tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.

3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh
total)

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka
shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan
matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan
gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan,
maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka
shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat
yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika
lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.

Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan ‘afiyah dan salamah kepada
pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah
dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

Sembahyang personal atau doa dalam tradisi Kristen baik itu Katolik
maupun Kristen Protestan dianjurkan dilakukan setiap melakukan kegiatan apa pun,
misalnya ketika akan makan, akan melakukan perjalanan, dan akan tidur, seseorang
dianjurkan untuk menyampaikan syukurnya kepada Tuhan. Sebenarnya ungkapan apa
saja yang akan disampaikan dan bagaimana cara kita menyampaikannya, tidak diatur
dengan baku. Melainkan menggunakan pedoman dari kitab Mazmur: bahwa ketika
kita memanjatkan doa sebaiknya kita mengungkapkan ungkapan syukur, pujian
kehadirat Tuhan, penyesalan atas kesalahan kita, upaya perbaikan diri baru diikuti dengan
permohonan kita. Akan tetapi karena sembahyang personal ini sifatnya
subjektif, tidak ada hukum dalam menyampaikan kegelisahan kita terhadap Tuhan,
hanya saja, setidaknya lakukan dengan cara yang baik.Tata cara agama kristen jika
mengalami kesakitan secara umum tidak ada namum pada agama kristen katolik apabila
seseorang sedang dalam menghadapi sakratul maut maka akan di berikan minyak
suci/pengurapan orang sakit yang sering di sebut Oleum Infirmorum digunakan untuk
mengurapi orang sakit atau orang yang berada dalam bahaya mati, yang hanya boleh
diberikan oleh Uskup atau Imam
Dalam agama Hindu ritualnya yaitu
1. Kebersihan jasmani

2. Mempersiapkan sarana-sarana seperti:

Alas duduk (tikar, karpet, dsb)

Sebuah nampam yag berisikan: Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di
pelingih, pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha wangsuhpada.

Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi wewangian (bija)

Dupa secukupnya
Bunga / canang sari / kwangen secukupnya
3. Mempersiapkan secara Rohani, serperti:
Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita), Padasana
(berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.
Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja
Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba kepadaMu.
Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja
Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam menyucikan dan
menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya Tuhan,
sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan,
anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.
4. Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:
Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan
sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara dan
sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur
segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.
5. Karasoddhana
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan
India. Agama ini mulai muncul pada abad ke-6 SM. Sebagai agama yang muncul pada masa
itu, secara historis agama tersebut masih mempunyai kaitan erat dengan agama
pendahulunya, yaitu agama Hindu. Pembawa ajaran agama ini adalah Sindharta Buddha
Gautama, yang sebelum memperoleh pencerahan merupakan seorang pangeran kerajaan
Maghada dan pemeluk agama Hindu.
Pedoman dan hukum-hukum yang diajarkan oleh Sindharta mempunyai tujuan akhir untuk
melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirvana.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan hubungan-Nya dengan
alam semesta dan seluruh isinya. Agama Buddha justru bertitik tolak kepada keadaan yang
dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila manusia
agar terbebas dari lingkaran sukkha yang selalu mengiringi hidupnya.
Di dalam budha sembahyang nya setiap hari minggu untuk anak- anak yang masih sekolah.
Sedangkan untuk ibu- ibu dan bapa- bapa sembahyang nya setiap malam senin dan malam
kamis. Alasan kenapa ibadahnya dilakukan di malam hari karena pada malam hari bapa- bapa
dan ibu- ibu sudah menyelesaikan aktifitasnya. Sehingga mereka mencari waktu ibadah yang
mereka bisa. Umat budha menyembah sang hyang adi budha yang merupakan sebutan untuk
tuhan yang maha esa dalam agama mereka. Adapun umat budha yang menyembah altar atau
patung budha. cara ibadahnya dengan datang ke vihara namaskara dan dilanjutkan dengan
membaca kitab tripitaka. Sebelum mereka membaca kitab, mereka akan menyalakan lilin dan
dupa sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur. Lilin sendiri
melambangkan penerangan sedangkan dupa melambangkan harumnya kebajikan. Bunga
melambangkan ketidak kekalan. Air melambangkan kerendahan hati. Rupang buddha
melambangkan ketenmgan batin. Dan yang terakhir makanan melambangkan perbuatan atau
keberhasilan yang telah dilaksanakan. Ada juga yang beribadah dengan cara sikap Anjali
dengan timpuk.
Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba
Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuha, sucikanlah seluruh badan rohani hamba
Setelah semua dilakukan selanjutnya melakukan Puja Tri Sandya kemudian dilanjutkan
dengan Kramaning Sembah.
Larangan-larang yang tidak boleh dilakukan oleh umat buddha terdapat dalam kitab
Tripitaka, yaitu Panatipata veramani sikkhapadang samadiyami yang artinya tidak boleh
membunuh makhluk hidup. Jadi orang-orang yang memeluk agama budhha mereka tidak
boleh memakan hewan yang mereka bunuh sendiri seperti ayam, ikan dan lain- lain.
Umat Konghucu di Indonesia mempunyai standar tertentu dalam kata dan kalimat doa yang
bersumber dari Sishu Wujing. Salah satu kalimat standar ialah “Dijauhkanlah hati kami dari
keluh gerutu ke hadapan Tian, sesal penyalahan terhadap sesama manusia”. Salah satu
kalimat ini adalah kalimat harapan dan prasetya dalam kalimat “negatif” yang bertujuan baik.
Dalam hampir setiap doa yang dipanjatkan, kalimat ini menjadi kalimat “sakti”
Dalam agama Konghucu, sembahyang dan doa adalah dua kegiatan yang berbeda.
Sembahyang biasanya dilakukan mendahului doa. Dalam sembahyang disiapkan
perlengkapan dan sajian. Setelah persembahyangan dilakukan dengan segala tata caranya
berdasarkan tata susila dan kesungguhan hati yang meraga dalam gerak berirama, doa
dipanjatkan untuk menyatakan harapan, keluhan, dan prasetya. Teks doa dituliskan dalam
Biao Wen (surat doa), setelah dibacakan, Biao Wen disempurnakan dengan cara dibakar.

Tak heran persembahyangan dan doa didahului dengan membersihkan diri dan
membersihkan hati. Kalau mempunyai tekad ingin mencapai sesuatu, persembahyangan
didahului dengan Zhai atau berpantang. Zhai dilakukan dengan kesungguhan hati, tidak
sembarangan. Bahkan untuk menjaga agar tekad menjadi penuh, dalam melakukan Zhai tidak
mendengarkan musik yang dapat menggoyahkan tekad karena perasaan terpengaruh, dan
nafsu terusik. Tak heran juga persembahyangan dilaksanakan dengan berpakaian lengkap,
rapi dan bersih. Dengan demikian yang ada dalam batin seirama dengan apa yang tampak.
Suci dan bersih dalam batin, suci dan bersih di luar.

Begitulah, persembahyangan dan doa akan bermakna dan lebih diterima oleh Tian dan Shen
saat pancaran kebijakan keluar dari batin tempat Tian Ming bersemanyam. Maka
persembahyangan dan doa dilakukan dengan dipenuhi cheng (iman, tulus), xin (percaya),
zhong (satya), dan jing (hormat, sujud), bukan dilakukan dengan sembarangan.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa pendapat
schuon terkait dengan pembagian tiga kategori sembahyang yaitu sembahyang
personal (doa), sembahyang kanonis, dan sembahyang kalbu, terbukti valid. Faktanya
dalam tradisi Katolik dan Kristen Ortodoks terdapat tiga bentuk sembahyang ini
dengan perbedaan tata caranya, demikian halnya dalam agama Hindu dan Islam serta
Budha,Konghucu
Meskipun tata cara dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya berbeda satu sama
lain.
Doa sebagai sembahyang personal memiliki peranan yang sangat penting,
dalam masing-masing agama. Seseorang boleh memanggil Tuhan ketika ia
membutuhkan-Nya kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun. Yang perlu
dibangun adalah kesadaran bahwa manusia membutuhkan Tuhan, hanya kesadaran
bahwa dengan berkomunikasi secara aktif dengan Tuhan lah manusia menjalani
kehidupannya
Sembahyang kanonis juga menempati peranan yang penting. Dalam Islam,
sembahyang kanonis yaitu salat merupakan kewajiban bagi siapa pun yang beriman.
Dan meskipun dalam tradisi Hindu, Katolik dan Kristen Ortodoks tidak diwajibkan
bagi semua orang sebagaimana dalam Islam, tetapi posisinya pun sangat penting.
Bahwa ada waktu-waktu tertentu dalam satu hari, ketika seseorang diwajibkan untuk
menghadapkan dirinya kepada Tuhan dan menghentikan diri sejenak dari aktivitas
apa pun yang dilakukan. Dengan demikian menunjukkan bahwa manusia tunduk pada
Tuhan.
Sementara sembahyang kalbu, yakni memusatkan pikiran pada Tuhan dan
menyebutkan Nama-Nya berulang-ulang, menjadi sembahyang yang paling penting
dalam agama apa pun. Meskipun dalam Agama Islam, misalnya, tidak diwajibkan,
tetapi merupakan inti dari berbagai ajaran Islam. Sebagaimana yang dikatakan
Schuon, bahwa Nama-Nya adalah tempat berlindung yang paling utama.
Faktanya memang demikian. Bahwa dalam masing-masing memang ada
doa, sembahyang kanonis dan sembahyang kalbu. Meskipun tata cara pelaksanaannya,
berapa kali dilakukan sehar, dan waktu melakukannya berbeda-beda. Dan meskipun
penulis tidak meneliti agama-agama yang lain, selain dari ketiga agama tersebut di
atas, penulis yakin bahwa dalam agama lain terdapat ketiga kategori sembahyang
tersebut. Baik dalam agama Yahudi, Buddha, maupun agama-agama lainnya.
Selain itu, dengan mempelajari pemikiran Schuon ini kita dapat
membedakan mana sembahyang yang primer mana sembahyang yang sekunder.
Bukan berarti bahwa sembahyang itu sekunder maka ia bisa ditinggalkan, melainkan
mana sembahyang yang lebih esensial dalam kehidupan kita sehari-hari. Antara
sembahyang personal dan sembahyang kanonis, maka sembahyang kanonis akan
lebih esensial dibandingkan dengan sembahyang personal. Akan tetapi, terkadang
dalam kehidupan kita, ada kalanya kondisi jiwa kita tidak stabil sehingga kita perlu
mengeluarkan uneg-uneg-nya agar ketika melakukan kegiatan lain menjadi lebih
jernih. Ketika inilah kita butuh mengungkapkan isi hati kita kepada Tuhan,
melaksanakan sembahyang personal kita, tujuannya tidak lain agar ketika kita salat
atau melakukan sembahyang kanonis, jiwa kita lebih stabil dan kita lebih fokus dalam
sembahyang
Di antara sembahyang kanonis dan sembahyang kalbu, yang diwajibkan
oleh Tuhan dalam Islam adalah sembahyang kanonis, sementara dari sudut pandang
tarekat yang lebih esensial adalah zikrullah. Tujuan setiap sembahyang adalah
mengingat Allah, berkomunikasi dengan Allah, karenanya baik salat maupun doa,
merupakan bagian dari zikrullah. Tidak cukup hanya bibir kita yang bergetar karena
nama Allah, melainkan kalbu kita juga harus bergetar
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir. 2014. Jakarta: Mizan.
Arifin, Zaenul. “Menuju Dialog Islam dan Kristen” dimuat pada Jurnal
Walisongo, Volume 20, Nomor 2, Mei 2012.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) hingga Masa Reformasi. 2015. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bahtiar, Amsal. “Tarekat Qadiriyah” dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia ed. Sri Mulyati. 2004. Jakarta: Prenada Media.
Bharati, Svami Veda. Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga. 2002. Surabaya:
Paramita.
Chittick, William & Seyyed Hossein Nasr (ed). The essential Seyyed Hossein
Nasr. 2007. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Cutsinger, James S. Advice to The Serious Seeker: Meditations on the Teaching of
Frithjof Schuon. 1997. Albany: State University of New York Press.
Fitzgerald, Michael Oren, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial
Philosophy. 2010. Bloomington (Indiana): World Wisdom.

Ghali, Dr. Mohammad Mahmoud. Sembahjang al-Salat diterjemahkan oleh Dr.


Fuad Mohd. Fachruddin. TT. Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan
Agama Islam.
Guenon, Rene. Introduction to the Study of Hindu Doctrines. 1945. London:
Luzac & Co.
Husain, Syarif Hidayatullah. Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran,

Hadis, Fatwa dan Ilmiah. 2007. Jakarta: Penerbit Lentera.

Anda mungkin juga menyukai