Dua hari raya bagi umat Islam adalah ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri. Keduanya dirayakan
mengiringi peristiwa besar yang dilakukan kaum muslimin. ‘Idul Fitri dirayakan bertepatan dengan
usainya kaum muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Sementara ‘Idul Adha dirayakan
bertepatan dengan penutupan sepuluh pertama Dzulhijah, yang di dalamnya terdapat peristiwa besar
bagi jamaah haji, wukuf di Arafah.
Disebut ‘Īdan ( ) عيداyang merupakan ism mashdar dari fi’il ‘āda-ya’ūdu ( ) عاد – يعودyang
artinya kembali. Karena keduanya selalu kembali dan berulang pada waktu yang sama.
Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/tata-cara-shalat-idul-fitri-f9GRA
َ َس َم َربِِّ ِه ف
)15( صلَّى ْ َوذَك ََر ا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat
nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. al-A’la ayat 14-15)
“Dari Abas r.a. berkata: “Saya menyaksikan hari Iedul Fitri bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar
Umar dan Usman r.a. Mereka menjalankan shalat sebelum khutbah, kemudian baru berkhutbah
sesudahnya ”. (HR. Bukhari).
Sedangkan menurut pendapat ulama fiqh, sebagaimana pendapat Wahbah al Zuhaily yang dikutip
oleh Masdar Helmy “ Ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga” yaitu:
1) Fardhu kifayah
2) Wajib
3) Sunnah.
Pertama, menurut pendapat ulama Hanbali, sholat ied memiliki hukum fardhu kifayah
dikarenakan sholat ‘ied cukup dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Sesuai dengan Qs. Al-
Kausar ayat 2:
Kedua, menurut pendapat ulama Hanafiyah, sholat ‘ied memiliki hukum wajib
diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat
Jum’at.
Ketiga, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, sholat ‘ied memiliki hukum sunnah
muakad sebab senantiasa dilakukan oleh Rasulullah setiap tahunnya.
Sedangkan dalam masalah hukum wanita menghadiri shalat ied, para ulama Hanafiyah dan
Malikiyah bersepakat bahwa para remaja atau gadis tidak dibolehkah untuk menghadiri sholat ‘ied
maupun sholat jum’at.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Ahzab ayat 33)
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa para remaja/ gadis dilarang untuk keluar dari rumah serta
berhias sebab ditakutkan jika mereka keluar dari rumah dapat menimbulkan fitnah yang dilarang
oleh agama. Namun untuk para nenek-nenek diperbolehkan sebab tidak dikhawatirkan
menimbulkan fitnah yang dilarang oleh agama.
Dalam hal wanita hendak menghadiri sholat ‘ied, Wahbah Zuhaili mengatakan, “jika wanita ingin
menghadiri shalat ied maka mereka harus suci, tidak memakai wangi-wangian, tidak berpakaian
mencolok seperti pakaian yang transparan, mereka juga harus menyendiri dari jama’ah laki-laki dan
bagi mereka yang haidh harus menyendiri dari jama’ah shalat”.
(RB)
Perbedaan umat Islam tentang penentuan awal bulan Ramadhan, dan hari raya idul fitri disebabkan
oleh perbedaan pendapat para ahli fikih dalam permasalahan yang masyhur, yaitu: apakah rukyatul
hilal satu negara berlaku untuk semua negara, atau setiap negara berhak menentukan rukyat hilalnya
sendiri?, dan apakah juga berlaku untuk hari raya idul adha?
Masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah, setiap pendukung salah satu pendapat tersebut dari para
ulama memiliki dalil, dan bahkan setiap kelompok mungkin dalil yang sama.
Pendapat bahwa satu hasil rukyatul hilal berlaku untuk semua negara adalah madzhab jumhur
ulama. Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’
Fatawa: 15/77
Adapun Ikhtilafu Mathali’ (setiap negara memiliki penentuan rukyat hilal sendiri) adalah pendapat
Syafi’iyyah, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama kontemporer, termasuk Syeikh Ibnu
Utsaimin yang sudah disebutkan fatwa beliau.
Kedua:
Perbedaan pendapat di atas menyebabkan perbedaan umat Islam dalam menentukan kedua hari raya
idul fitri dan idul adha tanpa terkecuali. Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata, setelah
menyebutkan perbedaan ulama secara aplikasi tentang ikhtilaf mathali’ dalam menentukan awal dan
akhir bulan:
“Menurut hemat kami, bahwa perbedaan tersebut tidak memberikan dampak yang berarti. Karena
yang menjadi kewajiban adalah melakukan rukyatul hilal untuk menentukan awal puasa, berbuka
(hari raya) dan berkurban ketika rukyat telah ditetapkan dengan ketetapan syar’i di negara manapun.
Kemudian beliau berkata:
“Apabila kami berpendapat dengan ikhtilaf mathali’ dalam menentukan hukum atau sebaliknya,
nampaknya secara hukum tidak ada bedanya antara penentuan Ramadhan dan idul adha dalam
syari’ah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 15/79)
Dan dalam fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- beliau menyebutkan bahwa ikhtilaf mathali’
untuk menentukan idul adha sebagaimana juga untuk menentukan awal dan akhir dari bulan
Ramadhan.
Atas dasar inilah, maka tidak masalah ketika di sebuah negara hari raya idul adha terjadi pada hari
Jum’at misalnya, dan di negara yang lain pada hari Sabtu, disebabkan banyaknya rukyat yang
didasari oleh ikhtilaf mathali’.
Yang demikian juga berlaku pada puasa Ramadhan, puasa Arafah, dan puasa Asyura’ karena
semuanya berkaitan dengan rukyatul hilal dan penentuan awal dan akhir bulan.
Wallahu a’lam.
FIQIH
“SHALAT IED”