Anda di halaman 1dari 5

SHALAT IED

Dua hari raya bagi umat Islam adalah ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri. Keduanya dirayakan
mengiringi peristiwa besar yang dilakukan kaum muslimin. ‘Idul Fitri dirayakan bertepatan dengan
usainya kaum muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Sementara ‘Idul Adha dirayakan
bertepatan dengan penutupan sepuluh pertama Dzulhijah, yang di dalamnya terdapat peristiwa besar
bagi jamaah haji, wukuf di Arafah.
Disebut ‘Īdan (‫ ) عيدا‬yang merupakan ism mashdar dari fi’il ‘āda-ya’ūdu (‫ ) عاد – يعود‬yang
artinya kembali. Karena keduanya selalu kembali dan berulang pada waktu yang sama.

Tata Cara Shalat Idul Fitri


Semua umat Islam dianjurkan bergembira pada momen ini dan diekspresikan dengan keluar
rumah di pagi hari di lokasi pelaksanaan shalat id. Ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha tiba,
seluruh umat Islam yang tidak ada uzur dianjurkan untuk keluar rumah, tak terkecuali perempuan
haid. Perempuan yang sedang menstruasi memang dilarang untuk shalat tapi ia dianjurkan turut
mengambil keberkahan momen tersebut dan merayakan kebaikan bersama kaum muslimin lainnya.
Setiap orang pada saat itu dianjurkan menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan. Hukum shalat
id adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Sejak disyariatkan pada tahun kedua hijriah,
Rasulullah tidak meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa dilanjutkan para
sahabat beliau. Secara global syarat dan rukun shalat id tidak berbeda dari shalat fardhu lima waktu,
termasuk soal hal-hal yang membatalkan. Tapi, ada beberapa aktivitas teknis yang agak berbeda
dari shalat pada umumnya. Aktivitas teknis tersebut berstatus sunnah. Waktu shalat Idul Fitri
dimulai sejak matahari terbit hingga masuk waktu dhuhur. Berbeda dari shalat Idul Adha yang
dianjurkan mengawalkan waktu demi memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat yang
hendak berkurban selepas rangkaian shalat id, shalat Idul Fitri disunnahkan memperlambatnya. Hal
demikian untuk memberi kesempatan mereka yang belum berzakat fitrah.
Shalat id dilaksanakan dua rakaat secara berjamaah dan terdapat khutbah setelahnya.
Namun, bila terlambat datang atau mengalami halangan lain, boleh dilakukan secara sendiri-sendiri
(munfarid) di rumah ketimbang tidak sama sekali.
Berikut tata cara shalat id secara tertib. Penjelasan ini bisa dijumpai antara lain di kitab
Fashalatan karya Syekh KHR Asnawi, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama asal Kudus; atau al-Fiqh
al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î (juz I) karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha,
dan 'Ali asy-Asyarbaji.
 Pertama, shalat id didahului niat yang jika dilafalkan akan berbunyi “ushallî sunnatan li ‘îdil
fithri rak'ataini”. Ditambah “imâman” kalau menjadi imam, dan “ma'mûman” kalau menjadi
makmum. ‫ّلِل تَعَــالَى‬ ِّ ‫إِّ َما ًما( ِّ ه‬/‫ط ِّر َر ْكعَتَي ِّْن ) َمأ ْ ُم ْو ًما‬ ْ ‫سنَّةً ل ِّع ْي ِّد اْل ِّف‬ُ ‫ص ِّلي‬ َ ُ ‫ أ‬Artinya: “Aku berniat shalat sunnah
Idul Fitri dua rakaat (menjadi makmum/imam) karena Allah ta’ala.” Hukum pelafalan niat
ini sunnah. Yang wajib adalah ada maksud secara sadar dan sengaja dalam batin bahwa
seseorang akan menunaikan shalat sunnah Idul Fitri. Sebelumnya shalat dimulai tanpa adzan
dan iqamah (karena tidak disunnahkan), melainkan cukup dengan menyeru "ash-shalâtu
jâmi‘ah".
 Kedua, takbiratul ihram sebagaimana shalat biasa. Setelah membaca doa iftitah,
disunnahkan takbir lagi hingga tujuh kali untuk rakaat pertama. Di sela-sela tiap takbir itu
dianjurkan membaca: ‫يل‬ ً ‫ص‬ ِّ َ ‫س ْب َحانَ هللاِّ ب ُ ْك َرة ً َوأ‬
ُ ‫ َو‬،‫يرا‬ ِّ ‫ َو ْال َح ْمد ُ ِّ ه‬،‫يرا‬
ً ِّ‫ّلِل َكث‬ ً ِّ‫ هللاُ أ َ ْكبَ ُر َكب‬Artinya: “Allah Maha
Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha
Suci Allah, baik waktu pagi dan petang.” Atau boleh juga membaca: ADVERTISEMENT
‫ّلِل َوالَ ِّإ ٰلهَ ِّإالَّ هللاُ َوهللاُ أ َ ْكبَ ُر‬ ِّ ‫س ْب َحانَ هللاِّ َو ْال َح ْمد ُ ِّ ه‬ ُ Artinya: “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada
tuhan selain Allah, Allah maha besar.”
 Ketiga, membaca Surat al-Fatihah. Setelah melaksanakan rukun ini, dianjurkan membaca
Surat al-A'lâ. Berlanjut ke ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, dan seterusnya hingga
berdiri lagi seperti shalat biasa.
 Keempat, dalam posisi berdiri kembali pada rakaat kedua, takbir lagi sebanyak lima kali
seraya mengangkat tangan dan melafalkan “allâhu akbar” seperti sebelumnya. Di antara
takbir-takbir itu, lafalkan kembali bacaan sebagaimana dijelaskan pada poin kedua.
Kemudian baca Surat al-Fatihah, lalu Surat al-Ghâsyiyah. Berlanjut ke ruku’, sujud, dan
seterusnya hingga salam. Sekali lagi, hukum takbir tambahan (lima kali pada pada rakaat
kedua atau tujuh kali pada rakaat pertama) ini sunnah sehingga apabila terjadi kelupaan
mengerjakannya, tidak sampai menggugurkan keabsahan shalat id.
 Kelima, setelah salam, jamaah tak disarankan buru-buru pulang, melainkan mendengarkan
khutbah Idul Fitri terlebih dahulu hingga rampung. Kecuali bila shalat id ditunaikan tidak
secara berjamaah. Hadits Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah mengungkapkan: ‫السنة أن يخطب‬
‫“ اإلمام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس‬Sunnah seorang Imam berkhutbah dua kali pada shalat
hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk.” (HR
Asy-Syafi’i) Pada khutbah pertama khatib disunnahkan memulainya dengan takbir hingga
sembilan kali, sedangkan pada khutbah kedua membukanya dengan takbir tujuh kali.
Wallâhu a’lam. (Mahbib Khoiron)

Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/tata-cara-shalat-idul-fitri-f9GRA

Dasar hukum Shalat Ied


Mengenai dasar hukum shalat ied (Idul Fitri maupun Idul Adha), sudah jelas disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Al Hadist.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-A’la ayat 14-15:

)14( ‫قَ ْد أ َ ْفلَ َح َم ْن ت َ َزكَّى‬

َ َ‫س َم َربِِّ ِه ف‬
)15( ‫صلَّى‬ ْ ‫َوذَك ََر ا‬

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat
nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. al-A’la ayat 14-15)

Dalil yang dipergunakan dalam Hadits Nabi:

“Dari Abas r.a. berkata: “Saya menyaksikan hari Iedul Fitri bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar
Umar dan Usman r.a. Mereka menjalankan shalat sebelum khutbah, kemudian baru berkhutbah
sesudahnya ”. (HR. Bukhari).

Sedangkan menurut pendapat ulama fiqh, sebagaimana pendapat Wahbah al Zuhaily yang dikutip
oleh Masdar Helmy “ Ada tiga pendapat mengenai hukum sholat ‘Ied ada tiga” yaitu:

1) Fardhu kifayah

2) Wajib

3) Sunnah.

 Pertama, menurut pendapat ulama Hanbali, sholat ied memiliki hukum fardhu kifayah
dikarenakan sholat ‘ied cukup dilaksanakan oleh beberapa orang saja. Sesuai dengan Qs. Al-
Kausar ayat 2:

‫ص ِّل ِّل َر ِّب َك َوا ْن َح ْر‬


َ َ‫ف‬

2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].


[1605] Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat
Allah.

 Kedua, menurut pendapat ulama Hanafiyah, sholat ‘ied memiliki hukum wajib
diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat
Jum’at.
 Ketiga, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, sholat ‘ied memiliki hukum sunnah
muakad sebab senantiasa dilakukan oleh Rasulullah setiap tahunnya.

Sedangkan dalam masalah hukum wanita menghadiri shalat ied, para ulama Hanafiyah dan
Malikiyah bersepakat bahwa para remaja atau gadis tidak dibolehkah untuk menghadiri sholat ‘ied
maupun sholat jum’at.

Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Ahzab ayat 33:

َ ‫َّللاُ ِليُ ْذ ِه َب‬


‫ع ْن ُك ُم‬ َّ ‫سولَهُ ِإنَّ َما يُ ِري ُد‬ َ َّ َ‫الزكَاةَ َوأ َ ِط ْعن‬
ُ ‫َّللا َو َر‬ َّ ‫َوقَ ْرنَ فِي بُيُوتِكُنَّ َوال تَبَ َّر ْجنَ تَبَ ُّر َج ا ْل َجا ِه ِليَّ ِة األولَى َوأ َ ِق ْمنَ ال‬
َّ َ‫صالةَ وآ ِتين‬
‫يرا‬ ْ َ
ً ‫ت َويُط ِ ِّه َر ُك ْم تَط ِه‬ ْ َ
ِ ‫س أ ْه َل البَ ْي‬ َ ‫الر ْج‬
ِّ ِ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Ahzab ayat 33)

Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa para remaja/ gadis dilarang untuk keluar dari rumah serta
berhias sebab ditakutkan jika mereka keluar dari rumah dapat menimbulkan fitnah yang dilarang
oleh agama. Namun untuk para nenek-nenek diperbolehkan sebab tidak dikhawatirkan
menimbulkan fitnah yang dilarang oleh agama.

Dalam hal wanita hendak menghadiri sholat ‘ied, Wahbah Zuhaili mengatakan, “jika wanita ingin
menghadiri shalat ied maka mereka harus suci, tidak memakai wangi-wangian, tidak berpakaian
mencolok seperti pakaian yang transparan, mereka juga harus menyendiri dari jama’ah laki-laki dan
bagi mereka yang haidh harus menyendiri dari jama’ah shalat”.

Sebagaimana dari hadist Rasulullah,

‫ال تمنعوا أماء هللا مساجدهللا‬

“Jangan kalian cegah para wanita yang pergi ke masjid Allâh”

(RB)

Perbedaan dalam penentuan tanggal pelaksanaan Shalat Ied


 Pertama:

Perbedaan umat Islam tentang penentuan awal bulan Ramadhan, dan hari raya idul fitri disebabkan
oleh perbedaan pendapat para ahli fikih dalam permasalahan yang masyhur, yaitu: apakah rukyatul
hilal satu negara berlaku untuk semua negara, atau setiap negara berhak menentukan rukyat hilalnya
sendiri?, dan apakah juga berlaku untuk hari raya idul adha?

Masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah, setiap pendukung salah satu pendapat tersebut dari para
ulama memiliki dalil, dan bahkan setiap kelompok mungkin dalil yang sama.
Pendapat bahwa satu hasil rukyatul hilal berlaku untuk semua negara adalah madzhab jumhur
ulama. Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’
Fatawa: 15/77

Adapun Ikhtilafu Mathali’ (setiap negara memiliki penentuan rukyat hilal sendiri) adalah pendapat
Syafi’iyyah, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dan beberapa ulama kontemporer, termasuk Syeikh Ibnu
Utsaimin yang sudah disebutkan fatwa beliau.

 Kedua:

Perbedaan pendapat di atas menyebabkan perbedaan umat Islam dalam menentukan kedua hari raya
idul fitri dan idul adha tanpa terkecuali. Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata, setelah
menyebutkan perbedaan ulama secara aplikasi tentang ikhtilaf mathali’ dalam menentukan awal dan
akhir bulan:

“Menurut hemat kami, bahwa perbedaan tersebut tidak memberikan dampak yang berarti. Karena
yang menjadi kewajiban adalah melakukan rukyatul hilal untuk menentukan awal puasa, berbuka
(hari raya) dan berkurban ketika rukyat telah ditetapkan dengan ketetapan syar’i di negara manapun.
Kemudian beliau berkata:

“Apabila kami berpendapat dengan ikhtilaf mathali’ dalam menentukan hukum atau sebaliknya,
nampaknya secara hukum tidak ada bedanya antara penentuan Ramadhan dan idul adha dalam
syari’ah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 15/79)

Dan dalam fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- beliau menyebutkan bahwa ikhtilaf mathali’
untuk menentukan idul adha sebagaimana juga untuk menentukan awal dan akhir dari bulan
Ramadhan.

Atas dasar inilah, maka tidak masalah ketika di sebuah negara hari raya idul adha terjadi pada hari
Jum’at misalnya, dan di negara yang lain pada hari Sabtu, disebabkan banyaknya rukyat yang
didasari oleh ikhtilaf mathali’.

Yang demikian juga berlaku pada puasa Ramadhan, puasa Arafah, dan puasa Asyura’ karena
semuanya berkaitan dengan rukyatul hilal dan penentuan awal dan akhir bulan.

Wallahu a’lam.
FIQIH
“SHALAT IED”

Nama : NEVIA VILANTI UZ.


Prody : PIAUD
Fakultas : TARBIYAH

Anda mungkin juga menyukai