untuk variabel klinik mempunyai berbagai bentuk yang dapat diringkas dengan
dispersinya. Nilai-nilai laboratorium sering tumpang tindih antara normal dan abnormal.
Titik pilihan untuk menyatakan batas akhir normal dan awal abnormal biasanya
ekstrem akan memberikan hasil nilai ulang yang cenderung mendekati nilai
sentral (statistik normal) yang merupakan bagian dari distribusi kekerapan, suatu
fenomena yang disebut sebagai regresi kearah rerata (regression to the mean).
alasan mengenai hal ini : (1) penyakit terjadi secara bertahap, sehingga dengan
demikian terdapat peralihan yang landai dari nilai yang rendah sampai yang
laboratoris yang mencerminkan kegagalan organ seperti BUN pada gagal ginjal
mempunyai sifat yang sama. Pada keadaan lain, memang orang sakit
pada orang dengan dan tanpa hipetiroid akan tampak terpisah). Namun pada
populasi yang tanpa seleksi. pasien yang sakit sering tidak tampak karena
jumlahnya yang relatif sedikit bila dibandingkan dengan populasi normal dan
karena nilat-nilai laboratorik dari orang sakit tumpang tindih dengan orang yang
normal. Kurva untuk orang yang sakit dengan demikian akan ditelan oleh kurva
yang lebih besar dari orang yang normal. Namun sebaliknya bila populasi normal
dari sakit bercampur dalam perbandingan yang Iebih sebanding, maka distribusi
yang dihasilkan dapat benar-benar bimodal. Itupun belumlah pula mungkin untuk
memilih suatu nilai uji yang secara jelas dapat memisahkan orang yang sakit dan
tidak sakit. Apabila tidak didapatkan garis pemisah yang tajam antara yang
normal dan abnormal, dan para klinisi dapat memilih letak garis pemisahnya,
Terdapat 3 kriteria yang dikemukakan : sesuatu yang tak biasa (unsuual), sakit
kondisi yang paling kerap terjadi atau kondisi yang biasa terjadi.
Bagaimanapun, yang kerap terjadi adalah yang dianggap normal sedang yang
jarang terjadi adalah abnormal. Ini merupakan suatu batasan statistik yang
(Gaussian), 2,5% dari observasi akan berada dalam masing ekor distribusi
distribusi normal. Dengan demikian akan lebih baik kalau menyatakan nilai-nilai
Apabila semua nilai yang terletak dalam batas statistik yang ditentukan maka
prevalensi dan semua penyakit akan sama, yaitu 5%. Hal ini tentunya tidak
Banyak nilai uji laboratoris yang berhubungan dengan risiko dari penyakit
diperolehnya, mulai dan yang rendah sampai yang paling tinggi. Beberapa
nilai-nilai ekstrim adalah jelas abnormal (tidak biasa), tetapi nilai-nilai ini justru
yang lebih diinginkan dari pada nilai yang normal (yang biasa), contoh tekanan
darah 100 mmHg. Yang jelas tidak biasa. Walaupun nilai ini rendah yang
tidak biasa, tetapi hal ini merupakan keadaan yang lebih baik dalam
Kadang pasien-pasien jelas berada dalam keadaan sakit. walaupun nilai uji
dehidrasi isonatremik).
Pendekatan yang lebih masuk akal dalam membedakan normal dari abnormal adalah
berhubungan dengan hal yang tidak sehat misalnya faktor-faktor resiko atau
Pada keadaan tertentu dalam hal yang tidak merupakan masalah bagi seseorang
(yaitu yang asimptomatik), akan Iebih baik bila hanya memandang suatu
yang bermanfaat . Hal ini disebabkan karena tidak hanya semuanya menandai
penyebab penyakit dan hanya terkait kausa, atau telah terjadi kerusakan yang
tidak dapat pulih kembali. Selain itu memvonis seseorang abnormal dapat
The use of statistical concept such as the standard deviation to set the limits of normal for
the clinical laboratory test represents the cross-sterilization of disciplines. fear it repr-
esents taking a misunderstood concept from sampling statistical theory and misapplying it
Apabila para klinisi mcnghadapi hasil uji abnormal yang tidak terduga. mereka
cenderung untuk mengulanginya. Kenapa hal ini terjadi dan apakah tindakan ini
Apabila pasien-pasien dengan nilai ekstrim diseleksi dan uji diulangi hasil
nilai kedua yang didapatkan cenderung mendekati bagian sentral dari distribusi
sebenarnya dan hal ini dapat dihasilkan bila dilakukan pengukuran berulang
berkali pada pasien tersebut. Hal ini bukanlah hal yang tanpa dasar, karena hal
ini mempunyai dasar teoritis maupun empiris (Fletcher RH. 1988). Hal ini dapat
disebabkan karena adanya fluktuasi acak dari variabilitas intrapersonal dan nilai-
nilai ini dapat diharapkan kembali kearah harga normal pada pengukuran
berikutnya tanpa adanya perubahan yang terjadi pada individu bersangkutan. Hal
ini perlu diperhatikan pada analisa data untuk dapat memisahkan efek perlakuan
dari yang disebabkan efek regresi kearah rerata. Seringkali regresi statistik
kearah rerata ini ditafsirkan sebagai keuntungan terapeutik (Feinstein AR. 1985,