Anda di halaman 1dari 6

ABNORMALITAS

Penentuan suatu nilai normal atau abnormal sering bersandar pada-distribusi

kekerapan/distribusis frekuensi (frequency distribution).- Distribusi kekerapan

untuk variabel klinik mempunyai berbagai bentuk yang dapat diringkas dengan

cara; menggambarkan kecenderungan sentralnya (central tendency) dan sebaran

dispersinya. Nilai-nilai laboratorium sering tumpang tindih antara normal dan abnormal.

Titik pilihan untuk menyatakan batas akhir normal dan awal abnormal biasanya

ditentukan sendiri (arbitrary) dan sering-dihubungkan dengan salah satu definisi

dari abnormalitasnya antara lain :

1. Abnormal secara statistik

2. Abnormal yang terkait dengan penyakit

3. Sesuatu yang membaik dengan pengobatan.

Perlu dipehatikan bahwa pengulangan pemeriksaan yang mempunyai nilai

ekstrem akan memberikan hasil nilai ulang yang cenderung mendekati nilai

sentral (statistik normal) yang merupakan bagian dari distribusi kekerapan, suatu

fenomena yang disebut sebagai regresi kearah rerata (regression to the mean).

Kriteria dari Abnormalitas

Penggunaan distribusi pada tatanan klinik untuk membedakan normal dari

Abnormal biasanya tidak dapat digunakan sepenuhnya. Terdapat beberapa

alasan mengenai hal ini : (1) penyakit terjadi secara bertahap, sehingga dengan

demikian terdapat peralihan yang landai dari nilai yang rendah sampai yang

tinggi dengan derajat disfungsinya yang meningkat. Demikian pula uji-uji

laboratoris yang mencerminkan kegagalan organ seperti BUN pada gagal ginjal
mempunyai sifat yang sama. Pada keadaan lain, memang orang sakit

merupakan populasi terpisah (contoh : distribusi kerapan dari kalsium serum

pada orang dengan dan tanpa hipetiroid akan tampak terpisah). Namun pada

populasi yang tanpa seleksi. pasien yang sakit sering tidak tampak karena

jumlahnya yang relatif sedikit bila dibandingkan dengan populasi normal dan

karena nilat-nilai laboratorik dari orang sakit tumpang tindih dengan orang yang

normal. Kurva untuk orang yang sakit dengan demikian akan ditelan oleh kurva

yang lebih besar dari orang yang normal. Namun sebaliknya bila populasi normal

dari sakit bercampur dalam perbandingan yang Iebih sebanding, maka distribusi

yang dihasilkan dapat benar-benar bimodal. Itupun belumlah pula mungkin untuk

memilih suatu nilai uji yang secara jelas dapat memisahkan orang yang sakit dan

tidak sakit. Apabila tidak didapatkan garis pemisah yang tajam antara yang

normal dan abnormal, dan para klinisi dapat memilih letak garis pemisahnya,

aturan dasar apa yang dapat dipakai untuk menetapkannya.

Terdapat 3 kriteria yang dikemukakan : sesuatu yang tak biasa (unsuual), sakit

(sick) dan dapat diobati (Fletcher RH. 1988).

1.Tidak biasa sebagai hal yang abnormal (unusual)

Dalam kedokteran klinik, perkataan normal biasanya ditujukan kepada

kondisi yang paling kerap terjadi atau kondisi yang biasa terjadi.

Bagaimanapun, yang kerap terjadi adalah yang dianggap normal sedang yang

jarang terjadi adalah abnormal. Ini merupakan suatu batasan statistik yang

bcrdasarkan pada kekerapan/frekuensi dari karakteristik yang ditentukan,

biasanya populasi yang tidak sakit.


Dalam upayanya untuk memberi batasan yang lebih spesifk mengenai

abnormalitas dipakai istilah matematik dengan memberikan titik batas antara

normal dan abnormal sesukanya (arbitrarily), yaitu :bahwa 2 simpang baku

(SD dari rerata (mean) adalah abnormal.

Dengan asumsi bahwa distribusi yang dimaksud mendekati distribusi normal

(Gaussian), 2,5% dari observasi akan berada dalam masing ekor distribusi

dan dianggap abnormal.

Namun diketahui, kebanyakan dari pengukuran biologik tidak merupakan

distribusi normal. Dengan demikian akan lebih baik kalau menyatakan nilai-nilai

ketidakbiasaan sebagai persentil dari distribusi yang mendasarinya. Dengan

cara ini akan dimungkinkan untuk membuat pernyataan secara langsung

mengenai seberapa jarang sesuatu nilai itu, tanpa membuat asumsi

mengenai bentuk dari distribusinva.

Batasan statistik dari normalitas dapat memberikan pengertian yang mendua

atau menyesatkan, misalnya (Fletcher RH. 1988) :

Apabila semua nilai yang terletak dalam batas statistik yang ditentukan maka

prevalensi dan semua penyakit akan sama, yaitu 5%. Hal ini tentunya tidak

konsisten dengan jalan fikiran kita mengenai kekerapan penyakit. Tidak

terdapat hubungan secara umum antara derajat dan ketidakbiasaan secara

statistik dengan penyakit secara klinis.

Banyak nilai uji laboratoris yang berhubungan dengan risiko dari penyakit

berhubungan dengan seluruh bentangan/rentangan dari nilai yang

diperolehnya, mulai dan yang rendah sampai yang paling tinggi. Beberapa
nilai-nilai ekstrim adalah jelas abnormal (tidak biasa), tetapi nilai-nilai ini justru

yang lebih diinginkan dari pada nilai yang normal (yang biasa), contoh tekanan

darah 100 mmHg. Yang jelas tidak biasa. Walaupun nilai ini rendah yang

tidak biasa, tetapi hal ini merupakan keadaan yang lebih baik dalam

kaitannya dengan risiko kesehatan.

Kadang pasien-pasien jelas berada dalam keadaan sakit. walaupun nilai uji

diagnostiknva masih berada dalam rentang orang yang normal (contoh

dehidrasi isonatremik).

2. Abnormal sebagai asosiasi dengan penyakit

Pendekatan yang lebih masuk akal dalam membedakan normal dari abnormal adalah

menyatakan abnormal apabila pengamatan secara ajeg berhubungan dengan

penyakit, kecacatan atau kematian. Kecacatan atau kematian yaitu setiap

penyimpangan klinik dari keadaan sehat. Penyakit dapat diekspresikan secara

langsung sebagai gejala atau diprediksikan oleh karakteristik-karakteristik yang

berhubungan dengan hal yang tidak sehat misalnya faktor-faktor resiko atau

tanda-tanda klinis fisik yang penting.

3. Abnormal sebagai hal yang dapat diobati

Pada keadaan tertentu dalam hal yang tidak merupakan masalah bagi seseorang

(yaitu yang asimptomatik), akan Iebih baik bila hanya memandang suatu

pengukuran abnormal bila pengobatanyang diberikan memang memberikan hasil

yang bermanfaat . Hal ini disebabkan karena tidak hanya semuanya menandai

adanya resiko dapat dengan berhasil diobati. Menghilangkan faktor-faktor resiko


mungkin tidak menghilangkan resiko apakah itu karena faktomya sendiri bukan

penyebab penyakit dan hanya terkait kausa, atau telah terjadi kerusakan yang

tidak dapat pulih kembali. Selain itu memvonis seseorang abnormal dapat

menyebabkan efek psikologik yang tidak dapat dibenarkan psikulogik yang

apabila pengobtan tidak memberikan harapan perbaikan.

The use of statistical concept such as the standard deviation to set the limits of normal for

the clinical laboratory test represents the cross-sterilization of disciplines. fear it repr-

esents taking a misunderstood concept from sampling statistical theory and misapplying it

in an individual clinical situation ".

4. Regresi Kearah Rerata (Regression To The Mean)

Apabila para klinisi mcnghadapi hasil uji abnormal yang tidak terduga. mereka

cenderung untuk mengulanginya. Kenapa hal ini terjadi dan apakah tindakan ini

memberikan kepastian kebenarannya ?

Apabila pasien-pasien dengan nilai ekstrim diseleksi dan uji diulangi hasil

nilai kedua yang didapatkan cenderung mendekati bagian sentral dari distribusi

kekerapan (normal secara statistik)

Nilai-nilai uji berikutnya condong lebih cermat dalam memperkirakan nilai

sebenarnya dan hal ini dapat dihasilkan bila dilakukan pengukuran berulang

berkali pada pasien tersebut. Hal ini bukanlah hal yang tanpa dasar, karena hal

ini mempunyai dasar teoritis maupun empiris (Fletcher RH. 1988). Hal ini dapat

disebabkan karena adanya fluktuasi acak dari variabilitas intrapersonal dan nilai-

nilai ini dapat diharapkan kembali kearah harga normal pada pengukuran

berikutnya tanpa adanya perubahan yang terjadi pada individu bersangkutan. Hal
ini perlu diperhatikan pada analisa data untuk dapat memisahkan efek perlakuan

dari yang disebabkan efek regresi kearah rerata. Seringkali regresi statistik

kearah rerata ini ditafsirkan sebagai keuntungan terapeutik (Feinstein AR. 1985,

Gehlback SH. 1993).

Anda mungkin juga menyukai