Anda di halaman 1dari 22

HADITS DAN IJTIHAD

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


IJTIHAD SEBAGAI SUMBER PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen pengajar :
Dra.Hj.Rafiah Ghazali, M.Ag

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:


1. Dessy Violanita (A1C114073)
2. Devi Yuliati Rahman (A1C114011)
3. Farit Surya (A1C114019)
4. Iis Susanti (A1C114081)
5. Rasmita (A1C114049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
SEPTEMBER 2014

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat , nikmat
dan hidayah-Nya lah makalah ini dapat diselesaikan. Dalam hidup ini , selain Al-Quran ,
hadits juga dijadikan sebagai pedoman hidup sebagaimana yang di sabdakan pemimpin kita ,
Baginda Besar Rasulullah SAW.
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengalaman serta wawasan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi kami serta dapat berguna bagi pembacanya. Kami telah
berusaha dengan baik untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu dengan rendah hati
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun baik dari teman-teman, kaka tingkat
maupun dosen pembimbing kami agar nanti kami bisa membuat makalah yang lebih baik
lagi.
Kami sangat menyadari makalah ini amatlah jauh dari kesempurnaan , maka kami
mengharapkan kritik dan saran-saran yang membangun agar dapat memperbaiki makalah ini.

Banjarmasin, September 2014

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4

BAB II

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Metode Penulisan

ISI
2.1 Pengertian Hadits
2.2 Macam - Macam Hadits
2.3 Fungsi Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam Selain Al-Quran
2.4 Pengertian Ijtihad
2.5 Fungsi Ijtihad Sebagai Pengembang Hukum Islam

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

Bab 1
1.1 Latar Belakang
Bismillahirrahmanirrahim. Hadits bukan merupakan hal yang asing bagi kita lagi karena
dalam dikehidupan kita terdapat sangat banyak hadits. Salah satu hadits yang terkenal
adalah hadits tentang menuntu ilmu.

Artinya : Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim
perempuan. (HR. Ibnu Abdil Barr).
Mencari ilmu juga merupakan salah satu cara agar tidak membiarkan kita menganiaya
diri sendiri dengan kebodohan dan ketidaktahuan. Seperti yang kita ketahui, bahwa AlQuran merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam
realitasnya,

ada

beberapa

hal

atau

perkara

yang

sedikit

sekali

Al-Quran

membicarakanya, atau Al-Quran membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak
dibicarakan sama sekali dalam Al-Quran. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan
merinci keuniversalan Al-Quran tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di
sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Quran atau
bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Quran.
1.2 Perumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.

Apa arti dari hadits itu?


Apa macam-macam hadits?
Apa kedudukan hadits dalam hukum islam?
Apa itu ijtihad?
Apa kedudukan ijtihad dalam pengembangan hukum islam?

1.3 Tujuan Penulisan


1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui pengertian hadits


Untuk mengetahui apa-apa saja macam hadits
Untuk mengetahui apa fungsi hadits dalam hukum islam
Untuk mengetahui pengertian ijtihad

5. Untuk mengetahui bagaimana fungsi ijtihad dalam pengembangan hukum islam

1.4 Metode Penulisan


Metode yang digunakan yaitu metode studi pustaka atau menggunakan literature
seperti, buku dan pengambilan data dari internet atau media elektronik, serta
penulisannya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bab II
2.1 Pengertian Hadits
Hadits adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW yang dijadikan landasan syariat islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain AlQuran yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.
Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:

Al-Quran

Hadits

Ijtihad:
o Ijma (kesepakatan para ulama),
o Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa
Nabi Muhammad hidup).

Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi
Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari
Nabi Muhammad SAW. Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrr),
sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan
terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah. Kata hadits
yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini
bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Kata hadits itu sendiri adalah
bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
2.2 Macam Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan
matan (redaksi).
Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari
Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman
seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya
sendiri" (H.R Bukhari)
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai
dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai
Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh
sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syubah --> Qatadah --> Anas --> Nabi
Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam
lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad
dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini
dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :

Keutuhan sanadnya

Jumlahnya

Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi
mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan
ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:

Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau
bukan,

Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat
sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan
ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan,
dan dhoif.
1.

Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir dan oleh
orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a.

Sanadnya bersambung;

b.

Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
kehormatan dirinya (muruah);

c.

Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan

d.

Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau


dengan ayat al-Qur`an.

Hadits shohih dibagi dua:


a.

Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat
dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw.,
``Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang
menerima). `` (HR. Bukhori dan Muslim)

b.

Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan


keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya
tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku
perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)

Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan
riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.

Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;


.
( )
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan
kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin mathami dari ayahnya
ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat atthur(HR.Bukhari,KitabAdzan).

2.

Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
a.

Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits
ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi;
dan

b.

Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan


keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut
ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan
Darimi)

Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak
bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair,
dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah
nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang
kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:

3.

Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan.
Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib
baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin
Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya
sebagai pemalsu hadits.

Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:

a. Hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia
menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah
sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b. Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan
namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di
akhir;
c. Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah
sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d. Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang
yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang
bersangkutan;
e. Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki
cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.
Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
1.

Hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman


periwayatnya kurang;

2.

Hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad,
nama periwayat, maupun matannya;

3.

Hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga
diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.``
(HR. Anas dengan sanad yang lemah)

4.

Hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun
menyalahi riwayat orang banyak yang
shiqoh juga;

5. Hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan
riwayatnya berbeda dengan riwayat yang
shiqoh;
6. Hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka
berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.

2.3 Fungsi Hadits sebagai Hukum Islam selain Al-Quran

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua
setelah Al-Quran. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Quran sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat AlQuran sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini
sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali
kepada Al-Quran dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap Mumin harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah:
92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali Imran:
31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah:
5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Quran, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di
dalam Al Quran sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai
sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam
berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Quran dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara
global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat
yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan
sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila
penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika)
sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada
As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafii berkata;



apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa
yang telah aku katakan.
Perkataan imam SyafiI ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw.
Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita
tinggalkan apabila dalam akan Asy-SyafiI ini juga dikatakan oleh para ulama yang
lainnya.
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat
dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli;
1. Dalil Al-Quran
Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman
hidup. Diantaranya adalah;

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi;

Artinya:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mumin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang
ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan
bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:


;Artinya
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.(QS:An-Nisa:136).
Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qurann, dan kitab yang

diturunkan sebelumya. Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang
mengingkari seruannya.
Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah
Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan
yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan
patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Al-Quran yang mnyerukan seruan ini.
Perhatikan firman Allahh Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:


Artinya:
Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS:Ali Imran : 32).
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.(QS:An-Nisa : 59).
Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:





Artinya:
Katakanlah: Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika
kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul
itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.(An-Nur:54).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari
beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan
perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah
dan juga kepada Rasul-Nya. Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada
Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak
diperselisihkan umat islam.

2. Dalil Al-Hadits

Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan
kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Quran sebagai
pedoman utamanya, adalah sabdanya:

()
Artinya;

Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya (HR Hakim)
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah
Al-Quran dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan
kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
3.Kesepakatan Ulama (Ijma)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah
Al-Quran. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak
jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa
selanjutnya dan tidak ada yang mengingkari.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber
hukum islam antara lain peristiwa dibawah ini :
1.

Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, saya tidak

meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya


takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.
2.

Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, saya tahu bahwa engkau

adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu.
3.

Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam

Al-Quran. Ibnu Umar menjawab, Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat
sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan,


dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang
dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

2.4

Pengertian Ijtihad

Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya,
bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara
istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara
yang dalam al Quran dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi,
pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Quran dan Sunnah terdapat
kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya
jahada, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih,
ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki
dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Quran dan Hadis dengan
syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Quran dan Hadis.
Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim
diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja).
dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah,
apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu
melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.

2.5 Fungsi Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam


Dasar-dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadist
Nabi SAW, yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta
mengambil itibar (pelajaran). Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan :
1. Ijtihad Muthlaq Mustaqil
Merupakan tingkat paling tinggi yang mana si mujtahid secara sendiri/berdiri sendiri
tanpa terikat kepada orang lain, baik dalam ushul maupun furu.
Dalam tingkat ini si mujtahid langsung ber-istimbat dari al-quran dan sunnah dengan
menggariskan manhaj (sistem) istimbat sendiri.
2. Ijtihad Muthlaq Muntasib
Merupakan tingkat lebih dibawah dari ijtihad Mutlak. Disini si mujtahid terikat
kepada imam dalam ushul. Artinya ia berijtihad dengan menggunakan ushul imam, walaupun
dalam furu yang diijtihadinya itu ia tidak terikat kepada hasil ijtihadd imam. Ia hanya
berijtihad dalam furu saja.
3. Ijtihad dalam mahzab
Ijtihad ini menduduki urutan ketiga dalam mana si mujtahid mengikuti imam(tidak
berijtihad) baik dalam ushul aupun furu yang sudah diijtihadi imam. Dalam dua hal ini ia
terikat kepada imam. Ia hanya berijtihad dalam masalah-masalah yang belum digarap oleh
imam-imam terdahulu dan dalam menggarap masalah-masalah tersebut ia menggunakan
ushul imam yang diikutinya.

4. Ijtihad Tarjih
Merupakan tingkat ijtihad paling rendah yang mana mujtahid tidak berijtihad baik
dalam ushul, furu, maupun dalam masalah-masalah yang belum diijtihadkan dan
diriwayatkan hukumnya oleh imam. Mujtahid

hanya memilih saja diantara pendapat-

pendapat sudah ada melalui tarjih , dengan cara-cara yang sudah ditentukan oleh para
pendahulu-pendahulunya.
Dengan demikian ada dua macam tarjih dalam ushul figh, ialah tarjih terhadap dalil yang
pada lahirnya bertentangan, dan ini bisa saja menjadi pekerjaan mujtahid mutlak; dan tarjih
terhadap pendapat yang sudah ada. Ini hanya merupakan pekerjaan mujtahid dari tingkat
yang paling rendah.
Berkaitan dengan ruang lingkup ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya ijtihad
ini hanya terjadi pada ayat-ayat yang bersifat zhanniyah, karena sebagian dari materi-materi
hukum dalam Al-Quran dan Sunah, sudah terbentuk diktum yang odentik, yakni tidak
mengandung pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik oleh sunah itu sendiri. Di
samping itu, juga ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta
diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak atau berdasarkan ijma.
Peraturan hukum islam seperti kewajiba shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada
orang tua, mengasihi orang miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan berzina,
mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain adalah termasuk kategori hukum islam yang
sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan
interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik dalam teori maupun
praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujmaalaih wa malum min al-din bi al
dharrah dan bersifat qathiyyah. Hal ini diketahui secara terus menerus sejak dari masa
Rasulullah SAW hingga saat ini. Pengetahuan yang demikian memang sudah meyakinkan
dan tidak perlu lagi interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi diijtihadkan, sebagaimana
disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash.
Salah satu contoh suatu nash yang sudah tegas syarih lagi qathi wurud dan qathi dalalahnya
ialah seperti firman Allah S.W.T:
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing keduanya seratus kali
(Q.2 S.24. An-Nur).
Ruang lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang Zhanny, baik dari segi wurudnya, maupun dari segi
pengertiannya(dalalahnya) yaitu hadist ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan
penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari itu.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qathi, tetapi dalalahnya zhanny, maka objek ijtihadnya hanya
dari segi dalalahnya saja.

3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qathi, maka obyek ijtihadnya adalah para
sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma, maka disini ijtihadnya hanya dilakukan segenap metode dan cara.

Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua
hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu
ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga
setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di
suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan
itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada
maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam
Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak
jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat
Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang
mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan

Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan
shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan
perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits
untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal
adalah kitab tahzibul kamal fi asmaail rijal yang menerangkan tentang keadaan perawinya,
apakah dia itu pendusta, bidah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah
sepakat tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
sehingga kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi
yang mesti ingat hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah
kembali akan keshahihannya.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali
dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum
karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum
Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.

3.2 Saran-saran
Dari runtutan pembahasan mengenai dasar-dasar ilmu hadits dan ijitihad ini kami
merekomendaikan beberapa saran yaitu:
1. Kepada seluruh kaum muslimin untuk terus mendalami sumber hukum umat islam yaitu
As-Sunnah dan ijtihad
2. Mempelajari ilmu hadits dan ijitihad dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi
yang terkait ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (ulama atau Ustadz).

Daftar Pustaka

http://www.facebook.com/permalink.php?story-fbicd=558822584159570&id=488724174502745
http://hapidzcs.wordpress.com/2012/10/02/kedudukan-hadits-sebagai-sumber-hukum
http://id.wikipedia.org/wiki/hadits
http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/umul-hadits/909/macam-macam-hadits.html

Anda mungkin juga menyukai