Anda di halaman 1dari 20

Al-JAM’U WA AL-TAUFIQ DAN TARJIH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh yang di ampuh oleh dosen :
Abdul Jalil, M. HI

Oleh Kelompok 9

Inayah wulandari ( 20382012079 )


Hizbiyah ( 20382012075 )
Faiqoh salsabila ( 20382012123 )
Novita tri kartikasari ( 20382012131 )

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FSKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Tuhan Maha Esa yang selalu
memberikan rahmat, hidayah serta Inayah-Nya. Sehingga kita dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas matakuliah AL-QAWAID AL-USHULIYAH

Tidak lupa Sholawat serta salam kita limpahkan kepada junjungan Nabi besar kita
Nabi MUHAMMAD SAW yang telah memberikan cahaya pada diri kita yakni adanya
islam dan iman. Kami membuat makalah ini dengan maksud dan tujuan agar pembaca
dapat menambah wawasan dalam ilmu pengetahuan sehingga menjadi mulim yang
unggul dalam ilmu.

Kami menyadari seutuhnya bahwa makalah yang berjudul Al-JAM’U WA AL-


TAUFIQ DAN TARJIH ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami terbuka untuk menerima segala
masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami bisa
melakukan perbaikan makalah ini sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata kami meminta semoga makalah ini memberi manfaat atau inspirasi pada
pembaca.

Pamekasan, 20 september 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar dalam memahami


dan mengeluarkan hukum-hukum syara’ baik dalam Al-Qur’an maupun
Assunnah, sedangkan qowaid fiqhiyah adalah kaidah-kaidah (yang bersifat)
umum (Kulli) yang mengelompokkan masalah-masalah fiqh terperinci menjadi
beberapa kelompok, adalah merupaka pedoman yang memudahkan
menyimpulkan hukum bagi sesuatu masalah. Mengingat pentingnya agar
terhindar dari kesalahan dalam menetapkan hukum syara’ baik yang digali
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah maupun  dalam menetapkan hukum-hukum
terhadap masala-masalah batru yang tidak terdapat ketetapan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan Assunnah. Makalah ini dapat dengan mudah dipahami. Dengan
harapan semoga bermanfaat bagi kita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian al-jam’u wa al taufiq contoh dan aplikasinya
2. Apa pengertian tarjih dan cara pentarjihan: tarjih bi al-nushush dan tarjih bi al-
aqyisah.?
3. Apa pengertian nasakh, syarat-syaratnya, hikmahnya, dan macam-macamnya
kaidah.?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian al-jam’u wa al taufiq, contoh dan aplikasinya
2. Untukmengetahui pengertian tarjih dan cara pentarjihan: tarjih bi al-nushush dan
tarjih bi al-aqyisa
3. Untuk mengetahui pengertian nasakh, syarat-syaratnya, hikmahnya, dan macam-
macamnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PengertianJam’u wat taufiq, contoh dan aplikasinya


Jam’u wat taufiq adalah mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan,
kemudian mengkompromikannya. Karena kaidah ushul mengatakan, “
mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan
dalil yang lain”.
 Contoh sunnah dengan sunnah adalah sabda nabi : “bukankah
saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian yaitu
kesaksian yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi
saksi” (HR. Muslim). Kemudian sabda Nabi berikutnya : “sebaik-
baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya,
kemudian generasi sesudahnya pula, lalu itu orang-orang akan
memberikan kesaksiannya (didepan hakim), tanpa diminta,
sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka
berkhianat, serta tidak dapat dipercaya.”(HR. Bukhori dan
Muslim.) dari  kedua hadits ini terlihat bahwa hadits pertama
berbicara tentang kasus yang terkain  dengan hak Allah.
Sedangkan hadits kedua terkait dengan kasus yang menyangkut
hak manusia.
 Contoh ayat dengan ayat adalah surat Al-Maidah ayat 3 :
“diharamkan bagimu bangkai dan darah”. Disini tidak dijelaskan
darah yang bagaimana, sementara dalam ayat 145 surat Al-
An’am, Allah mengatakan : “....kecuali (yang diharamkan itu)
bangkai darah yang mengalir......” dengan demikian darah yang
diharamkan secara mutlak dalam surat Al-Maidah ayat 3, dibatasi
dengan darah yang mengalir dalam surat Al-An’am ayat 145.1

Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( ‫ )والتوفيق الجمع‬yaitu pengumpulan dalil-dalil


yang bertentangan kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil
1 Drs.H.A.Safi’i karim.fiqih ushul fiqih.Bandung: Pustakasetia,224
kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan
“mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain.” 
Metode ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih tidak berhasil. Metode
ini didasarkan atas kaidah fikih:

‫ِإ ْع َما ُل ال َّدلِ ْيلَ ْي ِن اَوْ لَى ِم ْن ِإ ْه َما ِل اَ َح ِد ِه َما بِاْل ُكلِّيَّ ِة‬
“Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain”.
Contohnya kasus kesaksian yang termaktub dalam hadis nabi:

‫ ِه‬d‫ر ع َْن َأبِ ْي‬d


ٍ d‫ ِد هللاِ ْب ِن َأبِ ْي بَ ْك‬d‫ك ع َْن َع ْب‬ٍ dِ‫ت َعلَى َمال‬ ُ ‫ َرْأ‬dَ‫ال ق‬
َ َ‫َو َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن يَحْ يَى ق‬
‫ ٍد‬dِ‫ ٍد ْب ِن خَال‬d‫اريْ ع َْن َز ْي‬ ِ d‫ص‬ َ ‫ع َْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن َع ْم ٍرو ب ِْن ُع ْث َمانَ َع ِن اب ِْن َأبِ ْي ُع ْم َرةَ اَْأل ْن‬
‫ْأتِ ْي‬dَ‫هَدَا ِء الَّ ِذيْ ي‬d ‫الش‬ُّ ‫ر‬d ‫ُأ‬
ِ d‫ ُر ُك ْم بِ َخ ْي‬dِ‫ا َل َأاَل ْخب‬ddَ‫لَّ َم ق‬d‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َّ ِ‫لج ْهنِ ْي َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ‫ْا‬
‫بِ َشهَا َدتِ ِه قَب َْل َأ ْن يُ ْسَألَهَا‬
“Bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian?
Yaitukesaksian yang dberikan seseorang sebelum diminta menjadi saksi” (HR
Muslim)

Maksud hadis di atas, adalah bahwa kesaksian yang paling baik itu adalah
kesaksian seseorang yang diberikan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam hak-
hakl Allah maupun dalam kasus menyangkut hak manusia.

Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda:

، ‫ا َأبِي‬dd‫ ثن‬: ‫ا َل‬ddَ‫ ق‬، ‫ بِال َّرقَّ ِة‬، ‫ا ِهلِ ُّي‬ddَ‫الل ْالب‬ ٍ ‫ ثنا ِهال ُل ب ُْن ْال َعال ِء ب ِْن ِه‬، ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن ُم َح َّم ٍد‬
‫ُأ‬
َ‫ ة‬d‫ ع َْن خَ ْيثَ َم‬، َ‫ َّرة‬d‫رو ْب ِن ُم‬d ِ d‫ ع َْن َع ْم‬، َ‫ ع َْن زَ ْي ِد ْب ِن َأبِي نَ ْي َسة‬، ‫ ثنا ُعبَ ْي ُد هَّللا ِ ب ُْن َع ْم ٍرو‬: ‫ال‬ َ َ‫ق‬
” : ‫لَّ َم‬dd‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬َ َ‫ ق‬، ‫ير‬ ٍ ‫ ع َِن النُّ ْع َما ِن ْب ِن بَ ِش‬، ‫ب ِْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن‬
‫وْ ٌم‬ddَ‫ْأتِي ق‬dَ‫ ثُ َّم ي‬, ‫ونَهُ ْم‬ddُ‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَل‬، ‫ونَهُ ْم‬ddُ‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَل‬، ‫ونَهُ ْم‬ddُ‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَل‬, ‫رْ نِي‬ddَ‫اس ق‬
ِ َّ‫ ُر الن‬d‫خَ ْي‬
‫ق َأ ْي َمانُهُ ْم َشهَا َدتَهُ ْم َو َشهَا َدتُهُ ْم َأ ْي َمانَهُ ْم‬
ُ ِ‫تَ ْسب‬
“Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku, kemudian generasi
sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu setelah itu orang-orang
yang akan memberikan kesaksian tanpa diminta, sedangkan mereka tidak
menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya”
(HR. Bukhari Muslim)

   Hadis ini mengandung pengertian bahwa pada suatu generasi nanti


akan muncul orang yang berusaha menjadi saksi sementara mereka sendiri tidak
menyaksikan peristiwa yang disidangkan itu.

Dalam pertantangan ini, maka hadis pertama dapat diartikan dengan


kasus-kasus yang terkait dengan hak Allah. Sedangkan kesaksian dalam hadis
kedua menyangkut hak-hak manusia.

Contoh lainnya adalah keharaman “darah” seperti tertulis dalam firman


Allah dalam QS Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagi kamu (memakan)
bangkai, darah…”. Dalam ayat ini tidak ada pembedaan darah yang mengalir
dalam tubuh dan darah yang sudah beku seperti hati.

Dalam ayat 145 surat al-An’am Allah berfirman: “… kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir…”. Dalam ayat ini mengandung pengertian
bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, termasuk darah yang
dibekukan di luar tubuh.

Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak (QS. al-Maidah:


3) dibatasi dengan darah yang mengalir (QS al-An’am: 145).

Dengan mengkompromikan dan menggabungkan hadis-hadis yang


bertentangan, bukan berarti cara seperti ini mudah dilakukan dan dianggap
mampu menyelesaikan masalah. Sebab, jika penggabungan tersebut dilakukan
secara longgar, maka justru akan menambah permasalahan baru. Untuk itu para
ulama hadis menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya
adalah:

1. Hadis-hadis yang bertentangan tersebut termasuk kategori hadis yang maqbul.


2. Penggabungan tersebut tidak berakibat pada batalnya pengamalan dalil syar’i
maupun salah satu hadis yang bertentangan tersebut. Karena tujuan utama al-
Jam’u adalah mengamalkan kedua hadis tersebut, bukan salah satunya.
3. Penggabungan tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab dari berbagai
aspeknya dan tidak menyalahi tujuan ditetapkannya hukum syara’.
4. Pertentangan hadis-hadis tersebut tidak bermakna saling bertolak belakang atau
saling menafikan.
5. Yang patut meneliti dan mendalami kegiatan ini adalah para mujtahid yang ahli
dalam bidangnya dan memiliki kapasitas yang memadai.
6. Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka penggabungan
tersebut dianggap batal dan tidak berguna.

B. Pengertian tarjih dan cara pentarjihan: tarjih bi al-nushush dan tarjih bi


al-aqyisah.
Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika
terjadinya pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya
yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq.
Dalil yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut
dengan marjuh.
Tarjih adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan
tersebut berdasarkan beberapa  indikasi yang dapat mendukungnya. Secara
terminologi, ada dua defenisi tarjih yang dikemukakan para ushul fiqih, yaitu:
yang pertama Menurut Hanafiyah: Menampakan kelebihan bagi salah satu dari
dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesutau yang tidak berdiri
sendiri. Yang kedua menurut Jumhur Ulama: Menguatkan salah satu indikator
dalil yang zhanni  atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang
sama, seperti peretentangan ayat dengan ayat. Kemudian dalil tambahan
pendukung salah satu dalil yang bertentangan itutentangan, kar tidak berdiri
sendiri. Artinya, dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling
bertentangan, karena apabila ada dalil yang berdiri sendiri berarti dalil itu dapat
dipakai untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang saling bertentangan
tersebut.
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah :
a. Adanya dua dalil
b. Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.2
 Syarat-syarat Tarjih
a. Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji
tersebut di atas, maka semua riwayatnta urusan haji.
b. Dalil-dalill yang berlawanan harus sam akekuatannya, seperti Qur’an,Qur’an
dengan hadits mutawatir, dan hadits mutawatir dengan hadits mutawatir pula.
Jika yang bertentangan itu antara hadits mutawatir dan hadits ahad, maka tidak
perlu ada tarjih,sebab yang didahulukan ialah hadits mutawatir, dan itulsh yang
dipakai.
c. Harus ada persesuaian hukum antara  keduanya, baik waktunya, tempatnya dan
keadaanya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada adzan Jum’at, diwaktu yang
lain jual-beli dibolehkan. Disini tidak ada pertentangan karena berbeda
waktunya.3
 Metode Tarjih
Para ulama’ ushul fiqh menegemukakan cukup banyak cara pentarjihan
yang bisa dilakukan, apabila anatara dua dalil, secra zhahir, terdapat
pertentangan dan tidak mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.

Cara pentarjihan tersebut yaitu ada dua pengelompokan besar, yaitu:

a. Tarjih bain al-Nushush ‫النصوص‬ ‫الترجح بين‬


Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan.
Ada beberapa cara yang dikemuikakan para ulama’ ushul fiqh:
1. Dari segi Sanad
Menurut Imam al-Syaukani, pentarjih dapat dilakukan dengan 42 cara,
yang diantaranya di kelompokan kepada:

2 Totok jumantoro dan samsul munir, kamus islam ushul fiqh. (jakarta:Amzah,2005) hal 32
3 Muh rifa’i, ushul fiqh (bandung: al-ma’arif, 1995) hal 132
 Menguatkan salah satu nash dari segi sanad-nya.
Untuk itu, bisa dilakukan dari segi kuantitas para perawi, yaitu
menguatkan hadits yang sanadnya sedikit, karena kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak
perawinya snagt kecil. Pendapat inidikemukakan oleh Jumhur Ulama’.
 Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu hadits mutawatir dikuatkan dari hadis masyhur (hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak, tetapi tidak sampai ke tingkat
mutawatir) dan hadits masyhur lebih didahulukan dari hadis ahad. Yaitu
bisa juga dilakukan dengan cara melihat oersambungan sanadnya
brrsambung ke Rasulullah saw dari hadis yang sanadnya terputus.
 Pentarjihan melalui cara menerima hadis itu dari Rasulullah
Yaitu menguatkan hadis yang langsung didengar oleh Rasulullah dari
pada hadis yang didengar melalui perantara orang lainatau tulisan.
Dikuatkannya juga riwayat yang lafal langsung dari Rasulullah ynag
menunjukan kata kerja, seperti lafal naha, amara, dan adzina.
2. Dari segi Matan (Teks)
Matan yang dimaksudkan di sini adalah teks ayat,hadis atau ijma’. Al
Amidi menegemukakannya menjadi 51 cara, diantaranya:
 Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan dari teks yang
mengandung oerintah, karena menolak segala kemundaratan lebih
didahulukan dari mengambil manfaat.
 Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukan
kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukumnya
bolehnya telah terbawasekaligus.
 Makna hakikat dari suatru lafal lebih didahulukan dari makna majaznua,
karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi yang lain
untuk menguatkannya.
  Dalil khusus lebih didahulukan dari dalikl yang umum
 Teks yang yang sharih (jelas) didahulukan dari teks yang bersifat
sindiran (kinayah).
3. Segi Hukum atau Kandungan Teks
Dari segi hukum atau kandungan teks, al-Amidi mengemukakan sebelas
cra pentarjihan, sedangkan as-Syaukani menyederhanaknnya menjadi sembilan;
diantaranya:
 Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks
lain menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung
bahaya itulah yang harus di dahulukan.
 Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan,
sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang
bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat
menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan
lebih di dahulukan
 Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum
menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain
mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap
terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan
itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini
hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah
SAW:

‫إدرؤوا الحدود بالشبهاة‬


“Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan”. (HR al-
Baihaqi)

4. Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) lain di luar Nash


Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjiahn dengan
menggunakan faktor di luar nash dan Imam Syaukani meringkasnya menjadi
sepuluh cara, diantaranya:
 Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil
lain, baik itu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, maupun logika.
 Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk
Madinah atau yang diamalkan al-Khulafa al-Rasyidun hal ini
dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak mengetahui persoalan
Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’annya.
 Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak
menyebutkan illatnya.
 Menguatkan dalil yang kandungannya menurut sikap
waspada (Ihkstiyat) daripada dalil lainnya yang tidak demikian.
 Mendahulukan nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan
dari perawinya dari nash yang tidak demikian halnya.
b. Tarjih bain al-Aqyisah ‫الترجح بين األقيسة‬
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam
persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily
meringkasnya menjadi dua belas, diantarnya:
1) Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum
asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena
yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya
menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan
dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di
nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan
dibatasi.
2) Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’
yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu
dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya
diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3) Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang
disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak
disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat,
dan lain-lain.
4) Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan
menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang
hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus
dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.4

C. Apa pengertian nasakh, syarat-syaratnya, hikmahnya, dan macam-


macamnya

Kata Naskh menurut lughot bisa diartikan:  ُ‫(الن َّ ْقل‬memindah atau

ِ ‫ا‬ ْ (menghilangkan). Sedangkan menurut


menyalin), bisa juga diartikan: ُ‫الزَالَة‬
istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang menunjukan terhapusnya hukum yang
ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak ada khitob
kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana semula, dan
diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada khitob pertama”.5

Kata An-Nasikh berasal dari kata kerja َ َ‫)ن‬ artinya,


“nasakh” (َ‫خ‬HHH‫س‬
menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya adalah sebagai isim
fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang mencatat atau

ُ ‫)اَ ْل َم ْن‬ dalam ilmu Nahwu kedudukanya


berubah. Sedangkan Al-Mansukh (Hُ‫ ْوخ‬H ‫س‬
adalah sebagai isim maf’ul (penderita atau tujuan), artinya adalah yang dihapus,
yang dihilangkan, yang dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan
yang menghapus ketentuan yang terdahulu itu disebut “mansukh” (

ُ‫)اَ ْل َم ْنسُوْ خ‬ artinya yang dihapus. Sedang yang datang kemudian, disebut “Al-

ُ dd‫)اَ ْلنا َ ِس‬ artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut


Nasikh” (‫خ‬
ُ ‫)اَ ْلنَ ْس‬ menurut istilah ushul fiqih adalah :
Nasakh atau  “Al-Naskhu” (‫خ‬

‫َر ْف ُع ُح ْك ِم شَرْ ِع ٍّي بِ َدلِي ٍْل شَرْ ِع ٍّي ُمتَا َ ِخ ٍر‬

4 Nasrun haroen, loc. It., hal 197-205


5 M. Ridlwari qoyyum sai’id, terjemah tashil ath-thuruqot ushul fiqh, (kediri: mitra gayati) hal 73
“Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang
kemudian”

Maksudnya adalah, dengan datangnya hukum syara’ yang demikian itu,


maka terangkatlah atau batalah atau tidak berlaku hukum syara’ yang terdahulu.
Jadi berdasarkan ta’rif tersebut di atas, maka baik yang menghapus ataupun yang
dihapus adalah hukum syara’. Dengan demikian berarti tidak termasuk hukum
akal, hukum perasaan dan yang lainnya.6

Dari definisi tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan


bahwa naskh itu baru dianggap benar apabila :

a) Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung


hokum dari syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini
disebut nasikh.
b) Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’, yang disebut mansukh.
c) Hukum yang membatalakan hukum tedahulu, dan datangnya setelah
hukum yang pertama.7
 Adanya Naskh
Adanya naskh dapat dibagi pada dua jenis, pertama,
adanya naskh menurut akal, dan kedua adanya naskh menurut naqal atau
riwayat.
Adanya Nasakh menurut akal telah disepakati oleh Ulama. Dengan
alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu sama terus-menerus,
mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa, sedang pada masa
sesudahnya membawa bahaya.
Adanya Nasakh menurut riwayat adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul Makdis dalam
shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan) yang demikian

6 A. Basiq djalil, ilmu ushul fiqh satu dan dua ( jakarta: prenada media group,2010), hal 123-124
7 Nasrun Haroen, ushul fiqh 1 cet. II (jakarta: PT.LOGOS Wacana Ilmu,1997), hal 182
dengan satu perintah untuk menghadap ke Ka’bah”. (HR. Bukhari dan
Muslim).8
 Rukun Naskh

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa rukun naskh ada empat, yaitu :

1) Adah al-naskh (‫)اداة النسخ‬


2) Nasikh (‫)الناسخ‬
3) Mansukh (‫)المنسوخ‬ 
4) Mansukh ‘anhu (‫)المنسوخ عنه‬

 Syarat-syarat Nasakh
Mengenai hukum yang boleh dimansukh atau dihapus, para Ulama
memberikan beberapa syarat sebagai berikut : Hendaklah yang dimansukh itu
adalah hukum syara.
Maksudnya yang dimansukh itu tidak boleh keluar dari hukum syara’,
atau dengan kata lain tidak boleh mengenai hukum yang lainnya seperti :
 “Sesuatu yang diwajibkan karena zatnya” seperti iman atau yang dilarang
karena zatnya seperti kufur.
 Hukum akal, seperti alam itu baru.
 Hukum perasaan, seperti api itu panas.
 Cerita-cerita zaman dahulu seperti cerita-cerita Nabi dalam Al-Qur’an.Tentang
kejadian-kejadian yang akan datang, seperti berita tentang adanya hari kiamat.
` Hendaklah yang mennasakh adalah hukum syara’. Hendaklah yang
dinasakh tidak terbatas atau dibatasi dengan waktu yang tertentu Hendaklah
yang menasakh terpisah dari yang dinasakh,(yang menasakh) lebih belakangan
yang dinasakh. Hendaklah yang menasakh lebih kuat  dari yang dinasakh.
 Macam-macam Naskh
1) Al-Kitab dinasakh oleh Al-Kitab
2) Al-Kitab dinasakh dengan As-Sunnah
3) As-Sunnah dinasakh oleh As-Sunnah

8 Ibid hal 124


4) As-Sunnah dinasakh oleh Al-Kitab.9

 Pendapat para ulama tentang Naskh


Jumhur ulama berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan
secara syara’ telah terjadi. alasan mereka adalah firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 106 :

‫ت بِخ َۡي ٍر ِّم ۡنهَٓا اَ ۡو ِم ۡثلِهَا ‌ؕ اَلَمۡ ت َۡعلَمۡ اَ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُكلِّ َش ۡى ٍء قَ ِد ۡي ٌر‬
ِ ‫َما ن َۡن َس ۡخ ِم ۡن ٰايَ ٍة اَ ۡو نُ ۡن ِسهَا ن َۡا‬
“ayat mana saja yang Kami naskhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya, tidaklah kamu mengetahui sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.

Selanjutnya dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syariat


sebelum Islam telah dinaskhkan oleh syariat Islam, sebagaimana naskh itu sendiri telah
terjadi dalam beberapa hukum islam. Misalnya pemalingan kiblat shalat dari arah baitul
makdis ke Masjidil Haram, pergantian hukum khamr dengan bertahap dan lain
sebagainya.

Muhammad Abduh (mufasir dan tokoh pembaharu dari Mesir), setelah


menganalisis ayat-ayat yang mengandung naskh yang dikemukakan jumhur ulama
diatas, berpendapat bahwa naskh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan
(pemindahan) ayat hukum yang ditempat ayat hukum lainnya. Dengan demikian, M.
Quraish Shihab, mufasir Indonesia, pengertian ini akan membawa kesimpulan bahwa
semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi
pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang
berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tersebut tetap
berlaku bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika
hukum ayat yang diganti itu berlaku.

9 Ibid, hal 128-130


 Hikmah Naskh

Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyariatkan berbagai hukum
kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat, selain tuntunan dari allah agar hambanya mematuhi segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Dalam kaitan ini, syar’i(allah SWT.) senantiasa memperhatikan dan


mempertimbangkan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga kemaslahatan yang
diinginkan syar’i itu bisa tercipta dan terjamin. Kemungkinan saja, syar’i mensyariatkan
satu hukum pada suatu ayat, namun setelah ada perubahan situasi, kondisi dan
lingkungan, hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syar’i.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, sesuai dengan kehendak syar’i dan tujuan yang ingin


dicapai, maka syar’i mengubah hukum tersebut atau menggantinya denagn hukum lain.
Akan tetapi, lanjutnya, perubahan situasi yang ada di umat tersebut bukan berarti tidak
diketahui syar’i, bahkan Dia sendirilah yang membuat perubahan itu. Hal ini
menunjukan bahwa syari’at Islam itu diturunkan kepada umat Islam secara berangsur-
angsur dan mengikuti kondisi umat itu sendiri. Oleh karenanya, persoalan naskh hanya
berlaku metika Rasulullah SAW., masih hidup. Setelah Beliau wafat tidak ada
lagi naskh.

Dengan demikian, menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, adanya


konsep naskh berkaitan erat dengan pemeliharaan kemasahatan umat dan fleksibilitas
hukum Islam yang disyariatkan kepada umat Islam secara bertahap.10

BAB 3

PENUTUP

10 Ibid, hal 183-184


A. Kesimpulan

Al-Jam’u wa Al-Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan


kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang
diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan mengamalkan kedua dalil lebih
baik dari pada mengabaikan dalil yang lain.

Tarjih adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan tersebut
berdasarkan beberapa  indikasi yang dapat mendukungnya.

Cara pentarjihan ada 2 yaitu:

 Tarjih bain al-Nushush


 Tarjih bain al-Aqyisah

Nash merupakan menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya adalah sebagai isim


fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang mencatat atau berubah.

B Saran

Dalam penulisan makalah ini menyadari banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Kami sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya penulis akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa dipertanggungjawabkan nantinya.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai
pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai