Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Ta’arud Al-Adillah dan Cara Penyelesainnya

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah “Ushul Fiqih”

Dosen Pengampu : Ali Romadhoni, MA.

Di Susun Oleh :

1. Lukman Andreanto (21106011150)


2. Fathiatun Ni’mah (21106011175)
3. Sholihatin (21106011191)

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia yang di limpahkan-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kami
curahkan atas junjungan umat muslim Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan para penerus risalah-Nya.

Adapun yang menjadi judul makalah kami adalah “Ta’arud Al-


Adillah dan Cara Penyelesainnya” yang di dalamnya membahas pengertian,
unsur-unsur, jenis-jenis, cara dan contoh penyelesaian ta’arud al-adillah.
Tujuan utama penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari dosen
pengampu kami, Bapak Ali Romadhoni, MA dalam mata kuliah Ushul Fiqh.

Jika dalam penulisan makalah terdapat kesalahan dan kekurangan


maka kepada para pembaca, kami memohon maaf sebesar-besarnya atas
koreksi-koreksi yang telah di lakukan. Hal tersebut semata-mata agar
menjadi suatu evaluasi dalam pembuatan makalah ini. Mudah-mudahan
dengan adanya pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat berupa
ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah .................................................................. 6


B. Unsur-unsur Ta’arud Al-Adillah ............................................................... 7
C. Jenis-jenis Ta’arud Al-Adillah .................................................................. 9
D. Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah ..................................................... 11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan makhluk
dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan keadaan tertentu, maka
mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam
menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa
dasar dalam menentukan suatu hukum, namun ada aturan-aturan yang
mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar
utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah
Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang
baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul
produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan kehidupan dengan
syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak
terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan
ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan orang terbatas
dalam memahami sesuatu namun disana ditetapkan suatu aturan baru untuk
menentukan suatu hukum yang mashlahah.

4
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?
b. Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?
c. Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?
d. Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah.
b. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah.
c. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah.
d. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah


Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan
secara terminologis, ta’arudh yaitu:
‫تقابل الديحبث يخالف أحد هما اآلخر‬.
Yang artinya,“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda atau
bertentangan dengan dalil lainnya.”
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara
beberapa dalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu
menyatakan bahwa perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil
lainnya menetapkan sunnah.
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang
saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut
pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah,
maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i maupun zanni.1
Dalil-dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil
yang derajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang
shahih, sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan
bagian dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan
pandangan karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah
wajar. Yang paling utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah dan
masuk akal.
1
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hal. 391

6
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Pertentangan antara Al-Qur’an dan Al-Qur’an. Ada yang


memandang diantara ayat-ayat Al-Qur’an, ada yang saling
bertentangan, hal ini terjadi karena keterbatasan akal manusia.
Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan, yang ada
adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.
b. Pertentangan antara Al-Qur’an dan As-sunnah. Ini adalah
pandangan bahwa kedudukan Al-Qur’an harus sama dengan As-
sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-sunnah
menjelaskan Al-qur’an, dan Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi
dari As-sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari
keduanya, kecuali As-sunnah yang kulaitasnya lemah, baik dari segi
sanad maupun matannya.
c. Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.
d. Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.2

B. Unsur-unsur Ta’arud Al-Adillah


Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a. Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang
sama, dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya
sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-
sama hadits ahad.

2
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
2008. Hal. 209-210

7
b. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan,
misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk
halal.
c. Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.
d. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu
munculnya. Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika
terdapat perbedaan waktu datangnya dalil.
e. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi
materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan
makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau
sama-sama pada tingkat zahir.3

3
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hal. 392

8
C. Jenis-jenis Ta’arud Al-Adillah
a. Ta’arud antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Firman Allah SWT :

َ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْال ِبغَ ا َل َو ْالحَ ِم ْيرَ ِل َترْ َكب ُْوهَا َو ِز ْي َن ًة َوي َْخل ُ ُق مَا اَل َتعْ لَم ُْون‬

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang
kamu tidak ketahui.” (QS. An-Nahl (16): 8).
Dalam ayat di atas dapat di ambil sebuah pengertian
bahwa kuda, begal, dan keledai hanya diperuntukkan untuk
kendaraan saja, sedang ayat berikut bermakna berbeda :
َ‫هللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم اَأل ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا ِم ْنهَا تَْأ ُكلُوْ ن‬
“Allah-lah yang menjadikan hewan ternak untukmu, sebagian untuk
kamu kendarai dan sebagian lain kamu makan.” (QS. Ghafir (40):
79).

b. Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

‫َاع ُث َّم‬
ٍ ‫عَ نْ عَ اىِي َش َة وأ ِّم سَ اَل َم َة رَ ضِ ىَ هلل ُ عَ ْنهَا اَنَّ ال َّن ِبيِّ صَ لَّى هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم َكانَ يُصْ ِب ُح ُج ُنبًا مِنْ ِجم‬
‫ي َْغ َتسِ ُل‬

( ‫َو َيص ُْو ُم (متفق عليه‬

Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika


masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima
kemudian mandi dan menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lain yang berbunyi :
ُ‫ْح َواَ َح َد ُك ْم ُجنُبًا فَاَل يَصُوْ ُم يَوْ َمه‬
ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
َ ‫صاَل ِة‬ َ ‫اِ َذا نُوْ ِد‬
َّ ‫ى ِلل‬

9
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu
diantaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu.
(HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)

c. Ta’arudh antara sunah dangan qiyas


Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilihat dalam
contoh tentang ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu
kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, berdasarkan
hadits :
ِ ‫َان َوع َِن ْال َج‬
ٌ‫اريَ ِة شَاة‬ ِ ‫ق ع َِن ْالغُاَل ِم شَات‬
ِ ‫َان ُمكَا فَىَت‬ ٌّ ‫اَ ْل َعقِ ْيقَةُ َح‬
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua
kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma
binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini
boleh hewan yang lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih
dari kambing, ini hampir pendapat sebagian besar fuqaha. Sedang
yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah Imam Malik,
bahwa aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.

d. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas


Peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad
SAW. terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari
Muslim :
ِّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِل َس‬
‫ت ِس ِنيْنَ َوبَ ِن َى‬ َ ‫هللا‬
ِ ‫َّج ِن ْى َرسُوْ ُل‬ ْ َ‫َوع َْن عَا ِى َسةَ قَال‬
َ ‫ تَزَ و‬: ‫ت‬
)‫ْع ِسنِيْنَ (رواه مسلم وعن عاىسة‬ ِ ‫ت تِس‬ ˜ُ ‫بِى َواَنَابِ ْن‬

10
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya
ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya
sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun. (HR. Muslim dari
Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum
kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum
dewasa tanpa izin yang bersangkutan yang masih di bawah umur,
demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah
menganggap, kegadisannya.4

D. Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah


Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah
dalam menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika
terjadi ta’arudh al-adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu
dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang
lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka
dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara dua dalil
yang bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih).
c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua
(tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan
mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.

4
Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
2009. Hal. 313-314

11
d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan
keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu (tasaqut).
Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah
urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa
menggunakan sunnah. Jika yang bertentangan itu adalah hadits
maka mujtahid bisa menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.

Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah


zuhaili, cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah
adalah sebagai berikut:

a. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika


memungkinkan. Alasannya karena mengamalkan kedua dalil itu
lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya. Contohnya
adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4
surat At-Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang
masing-masing berbicara tentang masa iddah wanita yang dicerai
oleh suaminya.
b. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara
selanjutnya yang ditempuh adalah dengan tarjih.
c. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan
maka caranya meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil
tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh
dalil yang datang kemudian.
d. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka
jalan keluarnya adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan
mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.

12
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah
dan syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perbedaan keduanya terletak pada urutannya.

a. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.


b. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.5

5
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hal. 234-
236

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara
kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan
dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan
hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika
terdapat unsur-unsur. Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan
terdapat dua pendapat, yakni, menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-
jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut. Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u
wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Shidiq, Saipudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta. Rajawali Pers.

Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.

Koto, Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

15

Anda mungkin juga menyukai