Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SEJARAH TULISAN ARAB


(Penulisan dari tanpa titik sampai ada titik dan tanda baca)
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ IMLA’”
Dosen Pengampu : Akhmad Nurasikin,S.E.I.,M.H

Disusun Oleh:
Kelompok 10

1. Nadiya Syifa Savela (2110601260)


2. Dirga Ayu Nur Afifah (2110601180)
3. Fauzi Al amin (2110601241)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, shalawat serta salam kami curahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW. Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada Bpk.
Akhmad Nurasikin,S.E.I.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah IMLA‟ dan
kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini sehingga
penulis dapat menyelasaikan makalah ini. Makalah ini berjudul “SEJARAH
TULISAN ARAB ” untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
IMLA‟. Besar harapan kami semoga makalah ini dapat membantu proses
perkuliahan, menambah wawasan para pembacanya, dan mendapatkan nilai
yang baik. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran dari para cerdik cendikia sangat
kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah yang akan datang.Demikian
makalah ini kami susun dengan sebaik-baiknya. Harapan penulis, semoga
makalah ini dapat menjadi bermanfaat bagi para pembaca dan penulis.

Semarang, 25 Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Sejarah Tulisan Arab (dari tanpa titik sampai ada titik dan tanda baca) 3
B. Sejarah Pemberian Tanda Titik .............................................................. 8
C. Sejarah Pemberian Tanda Baca (Harakat) .............................................. 16

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 21

A. KESIMPULAN ...................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa pada mulanya al-Qur'an ditulis pada
masa Khalifah Utsman R.A dengan tanpa tanda baca apapun, tanpa titik dan
harakat. Hal ini dilakukan oleh Khalifah Utsman bukan tanpa alasan. Alasan
beliau melakukan hal itu adalah untuk mengakomodir bacaan-bacaan qira'at
yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat.
Mushaf tersebut dikirimkan di berbagai wilayah pada saat itu dan diterima
dengan sangat baik oleh para sahabat. Meskipun tidak ada tanda baca, para
umat Islam pada waktu itu bisa membacanya dengan baik seperti apa yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW. Pada waktu itu para sahabat juga
menduplikasi mushaf-mushaf tersebut untuk pribadi mereka. masing-masing,
tanpa ada pengurangan maupun penambahan dan perubahan pada tulisan
mushaf tersebut. Hal ini berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya.
Dalam kurun waktu selama itu, Islam mengalami perluasan wilayah dan
makin banyak masyarakat non-Arab yang masuk Islam. Sehingga, interaksi
orang Arab dan non- Arab pun mulai terjalin bahkan antar non-muslm juga.
Dalam keadaan seperti itu, tentunya orang non-Arab yang masuk Islam pada
mulanya tidak mengetahui bahasa kesulitan dalam membaca al-Qur'an. Karena
tidak ada tanda baca dan harakat apapun di dalamnya, sehingga terjadi banyak
kekeliuran dalam membaca al-Qur'an.
Hal ini terjadi juga dikarenakan dalam penyusunan mushaf zaman dahulu,
tidak ada petunjuk harakat dan titik apapun untuk membacanya. Karena tidak
ada bedanya antara huruh Ba", Ta", Tsa", dan Ya" dan juga Jim, Ha", Kha".
Begitu pula dalam kalimatnya tidak ada harakat sama sekali.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang sejarah penulisan arab ,maka di
perlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan ,sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah penulisan (dari tanpa titik sampai ada titik dan

1
tanda baca)?
2. Bagaimana sejarah pemberian tanda titik?
3. Bagaimana sejarah pemberian tanda baca(harakat)?

C. Tujuan Masalah
1 Mengetahui Bagaimana sejarah penulisan arab(dari tanpa titik sampai
ada titik dan tanda baca)
2 Mengetahui Bagaimana sejarah pemberian tanda titik
3 Bmengetahui agaimana sejarah pemberian tanda baca(harakat)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.Sejarah Tulisan Arab


1.Huruf Arab dan Asal-usulnya
Alfabet Arab terdiri dari 28 huruf, dimulai dengan huruf alif dan diakhiri
dengan huruf ya'. Apabila dibandingkan dengan jumlah huruf dengan berbagai
bahasa di dunia yang berkisar antara 24 sampai 26 huruf maka jumlah huruf
Arab ini berada di pertengahan antara keduanya. Bangsa-bangsa Yunani,
Rumawi, Persia, Sisilia dan Turki memiliki huruf antara 24 sampai 26 huruf,
sedangkan bangsa-bangsa Ibrani, Yunani, Kop- ti kuna, Hindustan dan lain-lain
rata-rata memiliki jumlah huruf antara 32 hingga 36 huruf (Sirajuddin, 1985:
22).
Alfabet Arab yang lebih dikenal dengan sebutan al huruful hijaiyyah
(huruf hajaiyyah) telah diindonesiakan menjadi huruf ejaan. Seorang ahli
gramatika Arab bernama Sibawaihi dan Al Khalil menyebutkan dengan al
huruful 'arabiyyah atau huruful lughatil 'arabiyyah yang berarti 'huruf bahasa
Arab', yang dengannya tersusun bahasa Arab. Dari catatan sejarah dapat
diketahui bahwa alfabet Arab yang berjumlah 28 huruf tersebut konon berasal
dari huruf Nabthiyyah (Nabatea) yang sudah mulai digunakan oleh bangsa
Arab di masa jahiliyah (masa pra Islam) di samping huruf/abjad Ibrani yang
mereka "pinjam" dari orang-orang Yahudi yang di masa sebelum Islam mereka
mudah mendiami daerah-daerah disekitar Madinah (Yatsrib) atau Mekah.
Huruf Nabthiyyah ialah huruf yang digunakan oleh bangsa Nabthy
yang mendiami bagian utara jazirah Arabia di masa mereka ini sejak tahun 150
SM telah memiliki sebuah pemerintahan (kerajaan) yang kokoh. Wilayah
kekuasaan kerajaan ini meliputi daerah-daerah Damaskus, Madyan, Selat
Aqaba, Hejaz, Palestina dan Hirah (Hauron). Tetapi, kemudian kerajaan ini
dapat dihancurkan oleh Imperium Rumawi pada tahun 105 M. Dengan
jatuhnya kerajaan tersebut ke tangan bangsa Rumawi maka sebagian besar
bangsa Nabthy yang tidak tahan dengan tekanan dan intimidasi yang
dilancarkan oleh penguasa baru lebih suka melarikan diri ke daerah pedalaman

3
jazirah Arabia (terutama Hejaz) sam- bil membawa budaya mereka yang
kemudian mereka kembangkan di daerah yang baru tersebut. Di daerah inilah
tulisan yang mereka bawa dari tanah leluhur itu mengalami perkembangan
yang akhirnya tumbuh menjadi aksara Arab. Tetapi, yang perlu diketahui ialah
bahwa huruf Arab seperti yang bisa kita saksikan sekarang ini telah cukup
banyak mengalami perubahan dari bentuk aslinya (Zaidan, 1968 juz 1: 252).
Bukti lain yang menguatkan pendapat bahwa aksara Arab berasal dari aksara
Nabthy ialah dengan diketemukannya tulisan pada batu yang lebih dikenal
dengan nama Naqsh an Nammārah yang berangka tahun 328 M. atau hampir
tiga abad sebelum kehadiran Islam di jazirah Arab. Menurut penelitian para
ahli Naqsh an Nammarah ini dianggap suatu jenis tulisan yang pernah berkem-
bang di kawasan sebelah utara jazirah Arabia pada masa dahulu dan sangat
berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudian. Menurut
Muhammad Al Husein Abdul Aziz dinyatakan, bahwa naqsh an Nam- mārah
itu merupakan suatu contoh yang ada dari tulisan Nabthy yang dipandang
sebagai asal-usul tulisan Arab Hejazi yang bersahaja, apalagi mengingat bahwa
tulisan tersebut dipahatkan pada sebuah batu dan telah tua pula usianya.
Demikian penjelasan Muhammad Al Husen Abdul Aziz dalam bukunya yang
berjudul Dirāsatu fil 'Imarati wa Fununil Islāmiyyah (Israr, 1985: 37).
Daerah Hejaz yang terletak di pedalaman jazirah Arabia dikala itu
masih merupakan suatu daerah yang penduduknya belum mengenal tulis baca.
Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat di daerah tersebut masih merupakan
masyarakat yang menganut sistem kehidupan badawah (nomaden), berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan demikian mereka tidak
sempat memikirkan tulisan, sebab tulisan bagi mereka masih tetap dianggap
sebagai produk budaya manusia yang telah maju (Zaidan, 1968, j.3: 58).
Sebagaimana orang-orang di Hejaz, sebenarnya orang-orang Nabthy sendiri
pun juga merupakan kelompok masyarakat yang suka berpindah-pindah dari
satu daerah ke daerah lain, dan tradisi semacam ini mungkin sudah menjadi
kebiasaan turun-temurun pada masyarakat kuno yang berlokasi di daerah
tandus dan bergurun pasir seperti di jazirah Arabia. Namun demikian, bangsa
Nabthy di masa itu sudah merupakan suatu bangsa yang telah memiliki suatu

4
bentuk pemerin- tahan yang mapan dan stabil, di mana Petra, Hijr dan Basrah
merupakan kota-kota penting dan pernah menjadi pusat pemerintahan,
walaupun akhirnya pada tahun 105 M pemerintahan ini terpaksa hancur karena
serangan imperius Rumawi (Sirajuddin, 1985: 32).
Bahasa dan kaligrafi bangsa Nabthy diperkirakan pernah hidup lama
sepanjang kerajaan itu berdiri, dan terutama kaligrafi tersebut mempunyai
dampak yang dalam terhadap kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
kaligrafi Arab. Didukung pula dengan watak masyarakatnya yang suka
berpindah-pindah itu maka kaligrafi yang mereka bawa dapat tersebar lebih
cepat lagi. Lebih dari itu, dan ini yang lebih menguntungkan lagi -bahwa fann
(seni) Nabthy telah berhasil mewariskan sistem angka-angka (al arqam al
hisabiyyah) yang menyebar di wilayahnya (Sirajuddin, 1985: 33).
Pada masa-masa selanjutnya sistem angka yang berasal dari bangsa
Nabthy yang kemudian berkembang di daerah Hejaz ini lama kelamaan
berhasil menggeser kedudukan angka Rumawi yang pada masa-masa
sebelumnya pernah menduduki kedudukan yang sangat penting dan mapan.
Hal ini disebabkan oleh munculnya Islam di daerah Hejaz pada abad ke 6 M. di
mana salah satu ajarannya adalah anjuran kepada pemeluknya untuk belajar
membaca dan menulis. Dengan demikian maka bangsa Arab Quraisy yang
semula adalah suatu suku bangsa yang buta huruf kemudian berubah menjadi
suku bangsa yang melek huruf.
Angka-angka Rumawi, yang pada saat itu sudah lazim dipakai
dikalangan masyarakat luas, akan tetapi kemudian dinilai kaku dan tidak
efisien kemudian diganti dengan angka Arab yang ternyata lebih luwes dan
efisien. Dalam memberikan komentar terhadap perubahan yang terjadi pada
masyarakat Quraisy yang semula merupakan masyarakat yang buta huruf tapi
kini menjadi masyarakat yang melek huruf, seorang guru besar sastra pada
Universitas Qohiroh di Mesir Dr. Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam
berkata, bahwa bangsa Arab yang pada masa pra Islam hanya memiliki 17
orang yang dapat menulis dan membaca (sementara Jurji Zaidan menyebutkan
12 orang) setelah hadirnya Islam berubah menjadi bangsa yang pandai menulis
dan membaca (Poeradisastra, 1981: 8). Per- nyataan tersebut memberikan bukti

5
bahwa Arab pra Islam merupakan bangsa yang tidak pandai menulis dan
membaca.

2. Huruf Arab di Indonesia


Jika kita berbicara masalah huruf Arab di Indonesia maka hal itu tidak
bisa dipisahkan dengan masalah masuknya Islam di Indonesia, sebab an- tara
Islam dan huruf Arab memiliki hubungan yang sangat erat. Islam yang lahir
dan berkembang di jazirah Arabia dan dilengkapi dengan kitab suci Al Qur'an
dan Al Hadits sebagai pedoman di mana keduanya berbahasa Arab dan ditulis
dengan tulisan Arab, menyebabkan antara Islam dan Arab sangat sulit untuk
dipisahkan. Demikianlah, pada masa-masa selanjutnya pengembangan dan
penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia selalu diikuti dengan pengenalan
huruf Arab terhadap masyarakat di masa Islam berkembang. Hal demikian juga
berlaku bagi pengembangan Islam di In- donesia. Sejak Islam mulai masuk dan
di dakwahkan kepada para pen- duduk di Indonesia, maka sejak itu pula
mereka diperkenalkan kepada tulisan Arab/huruf Arab.
Persoalan yang sampai kini masih tetap menjadi bahan diskusi di antara
para ahli ialah persoalan sekitar kapan masuknya Islam di In- donesia.
Sebagian besar para ahli sepakat untuk berpendapat bahwa Islam baru
memasuki Indonesia setelah abad 13, akan tetapi ahli yang lain mengatakan,
bahwa jauh sebelum abad 13 Islam sudah memasuki kawasan Indonesia yaitu
pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh miladiyah. Hamka mengatakan
dalam bukunya yang berjudul Sejarah Ummat Islam jil. 4, cet. ketiga: 49
mengatakan bahwa pada tahun 684 M. Islam sudah mulai dianut oleh
masyarakat di daerah Sumatra Barat. Hal ini sesuai sekali dengan apa yang
telah disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam di In- donesia yang diadakan
di Medan pada tanggal 17 s/d 20 Maret 1963 yang menyatakan seperti apa
yang tersebut di atas. Tetapi, kiranya masalah perbedaan pendapat ini bukanlah
merupakan sesuatu yang teramat penting untuk dibicarakan dalam tulisan
singkat ini. Yang penting ialah, bahwa sebelum Islam memasuki kawasan.
Indonesia sebagian besar masyarakat Indonesia masih merupakan masyarakat
yang belum mengenal aksara, dan baru mulai belajar menulis dan membaca,

6
tetapi apa yang boleh disebut se- jarah belum pernah ditulis di jaman yang
telah lampau. Dari berbagai pe- ninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh para
nenek moyang menunjukkan bahwa sebelum masuknya Islam bangsa
Indonesia tidak banyak menaruh perhatian terhadap pencatatan kejadian-
kejadian sejarah (Simanjuntak, 1963 jil. 2: 57). Setelah Islam mulai dipeluk
oleh masyarakat Indonesia maka sejak itu pula mulai terjadi perubahan yang
cukup penting dalam diri mereka, di mana Islam yang mereka peluk telah
memaksa mereka untuk belajar menulis dan membaca tulisan Arab sebagai
usaha untuk membantu mereka dalam memahami ajaran-ajaran Islam serta
pengamalan syariat agama tersebut, terutama sekali dalam membaca kitab suci
Al Qur'an atau pun Al Hadits (Asy'ari, 1973: 30). Sejak itu huruf Arab mulai
dipelajari oleh banyak orang (Muslim).
Untuk masa-masa selanjutnya, di kala Islam telah banyak dianut oleh
orang-orang Indonesia, maka huruf Arab yang telah banyak mereka kenal itu
ternyata memiliki fungsi ganda. Di samping untuk menuliskan bahasa Arab
yang masih banyak kaitannya dengan masalah agama (Islam), maka huruf Arab
juga digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu. Hal ini dapat dibuktikan
dengan banyak diketemukannya naskah-naskah ber- bahasa Melayu yang
ditulis dengan huruf Arab. Sebagai contoh ialah sebuah prasasti yang terdapat
di Kuala Berang Tengganu di Malaysia yang bertarikh 1303 M., buku Sejarah
Raja-raja karya Syekh Bukhari Al Jauhari (1603 M), Sejarah Melayu karya
Syekh Nuruddin Ar Raniri (1638 M.), yang semuanya adalah buku-buku
berbahasa Melayu akan tetapi ditulis dengan menggunakan huruf Arab (Zafri
Zamzam dalam Majalah Al Jami'ah no. 5, 1969).
Dari contoh-contoh seperti yang tersebut di atas, maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa huruf Arab pada saat itu telah menduduki posisi yang
sangat penting di kalangan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang telah
memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan, bahwa dengan ber- fungsinya
huruf Arab sebagai sarana untuk menuliskan kata-kata dalam bahasa Melayu
maka untuk tahap selanjutnya muncul istilah 'Arab Jawi', 'Arab Pegon', 'Arab
Melayu', atau 'Arab Indonesia'. Kemudian muncul pula persoalan baru, yaitu

7
bagaimana pula cara menuliskan bunyi-bunyi ng, ny, c, g, dan p, di mana
bunyi-bunyi tersebut ada dalam bahasa Melayu, akan tetapi tidak ada dalam
bahasa Arab (abjad Arab). Untuk mengatasi persoalan ini maka diciptakan
lambang-lambang bunyi baru yang pada dasarnya masih tetap berpegang pada
abdjab Arab. Maka dicip- takanlah huruf ba' dengan tiga titik di bawahnya
untuk melambangkan bunyi ny, huruf 'ain dengan tiga titik di atasnya untuk
melambangkan bunyi ng, huruf jim dengan tiga titik di bawahnya untuk
melambangkan bunyi c, huruf kaf dengan satu titik di atasnya untuk
melambangkan bunyi g.dan huruf fa' dengan tiga titik di atasnya untuk
melambangkan bunyi p (Asy'ari, 1973: 38). Dengan terciptanya lambang-
lambang bunyi seperti yang disebutkan di atas maka persoalan tersebut dapat
diatasi. 1

B.Sejarah Pemberian Tanda Titik


1.Pada Masa Muawiyah ibn Abi sufyan (W 60 H/679 M). Pemberian Tanda
Baca Oleh Abu Al-Aswad Addu‟ali Dengan Titik Pada masa Islam zaman
dahulu cara membaca al Qur‟an hanya bergantung pada pendengaran dan
nukilan. Sehingga memungkinkan bagi umat yang kurang bisa memahami
isi kandungan al Qur‟an bisa terjadi kesalahan baca.
Contohnya pada kalimat:‫ تجلوا‬bisa terjadi dibaca ‫ًجلوا‬,‫ًتلوا‬,‫ تتلوا‬dan ‫ ٌتلوا‬.contoh
lain pada kalimat ‫ كتت زثكن علً ًفسَ السحوة‬bisa terjadi salah baca kataba menjadi
kutiba, bisa juga kitaab. Pada suasana seperti itulah terjadi kecemasan yang
dialami para petinggi muslim saat itu. Mereka khawatir akan kemurnian al-
Qur‟an akan tidak terjaga seperti apa yang diajarkan Rasul. Bahkan
kekhawatiran itu sudah terjadi mulai ada kecideraan. Hal ini terjadi karena
orang non Arab tidak dapat membedakan antara huruf satu dengan yang
lain, karena tidak ada tanda baca di dalamnya.

1
Humam Abubakar. SEKILAS TENTANG ASAL-USUL HURUF ARAB DAN SENI KALIGRAFI DI
INDONESIA

8
Berikut conto contoh dari akibat bacaan mushaf yang tidak bertitik.
No Surah Ayat Keterangan
1 Al baqarah 259 “Nunsyizuha”,bisa jadi “nunsyiruha”
2 Yunus 30 “Tablu “bisa jadi “Tatlu”dan lain sebagainya
3 Al-an „am 54 “Kataba”bisa jadi”kutiba”,bisa juga “kitaab”
4 Yunus 92 “Nunajjika”bisa jadi”Nunahyika”
5 Al-ankabut 58 Lanubawwiannahum” bisa menjadi
“Lanubawwiyannahum” bisa juga dibaca
“Lanusawwiyannahum”
6 Saba 17 “Nujazi” bisa menjadi “Yujazi”
7 Al-hujurat 6 “Fatabayyanu” bisa menjadi “fatatsabbatu”

Seorang Gubernur Bashrah yang diangkat oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan
(661-680) yang bernama Ziyad Ibn Samiyah (W. 673), adalah orang
pertama kali yang menjalankan proses pemberian tanda baca pada al-Qur‟an.
Hal ini berawal dari Muawiyah yang mengutus putra Ziyad yang bernama
Ubaidillah ibn Ziyad, untuk menghadap Muawiyah. Pada waktu menghadap
tersebut, dia diminta untuk membaca al-Qur‟an ternyata bacaan pemuda itu
mengalami banyak al-Lahn (kesalahan baca) dalam pembicaraannya. Tanpa fikir
panjang Muawiyah langsung mengirim surat kepada Ziyad dan menegurnya
dengan tulisan surah sebagai berikut:

‫ فلو وضع ت شٍئب ٌصلح ثَ الٌبس‬, ‫ٌت أثت األسود إلى ُرٍ الحوزاء قد كثست وأفسدت ًُ ألسي العسة‬
‫كالم ُن و ٌعسثوى كتبة هللا‬
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab menjadi semakin banyak dan telah
merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu
yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu, dan membuat mereka membaca
al-Qur‟an dengan benar.”
Setelah Ziyad mendapatkan teguran dari Muawiyah maka dengan
segera beliau (Ziyad) mencari orang yang tepat dan ahli dalam ilmu Bahasa Arab
dan Nahwu. Maka dipilihlah Abu Aswad Addu‟ali4, salah seorang dari

9
pemuka tabiin untuk melaksanakan tugas ini.
Pada mulanya Abu Al-Aswad Addu‟ali enggan dan tidak mau untuk
melaksanakan tugas ini. Lalu Ziyad mencari ide bagaimana cara agar Abu Al-
Aswad ini mau melaksanakanya, karena ini adalah tugas mulia dan juga untuk
kemaslahatan umat.
Pada suatu hari Ziyad menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan
yang selalu dilewati oleh Abu Al-Aswad Addu‟ali. Dia menyuruh apabila Abu
Al-Aswad nanti lewat agar dia (suruhan Ziyad) berpura-pura membaca al-Qur‟an
dengan cara di Lahn kan. Cara itupun berhasil dilakukan. Ketika Abu Al-
Aswad melewati jalan itu, orang suruhan Ziyad tadi membaca al-Qur‟an
dengan di Lahn kan. Ada versi cerita lagi bahwa Abu Al-Aswad mendengar
sendiri seseorang membaca kalimat “Rasuluhu” dalam ayat:

ُ ‫ َو َز‬, َ‫أَى َّللاَ َث ِسي ٌء ِ ّهيَ ْال ُو ْش ِسكٍِي‬


َُُ‫سول‬
“Sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang-orang musyrik”
dengan kasrah (Rasulihi). (QS. At-Taubah: 3).
Dengan meletakkan harakat kasrah pada huruf lam dalam kalimat
warasulihi. Setelah Abul al-Aswad mendengar bacaan ayat tersebut dengan
membaca kalimat warasuluhu dalam ayat tersebut dibaca dengan warasulihi
mendengar bacaan tersebut Abu al-Aswad sangat terkejut dan berkata “maha suci
Allah yang memutuskan tanggung jawab terhadap Rasulnya”. Setelah itu bertemu
dengan Ziyad dan menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi permintaannya.
Beliau dibantu oleh seorang laki-laki dari qabilah Abd al-Qays dan menyuruh
mengambil sebuah mushaf dan cat yang berlainan warna dengan tulisannya.
Kemudian beliau membacakan ayat dan meletakkan satu titik di atas huruf, ketika
ia membulatkan, maka letakkan satu titik di depannya, bila di pisahkan keduanya
letakkan satu titik di bawahnya dan bila disertakan dengan tanwin meletakkan dua
titik. Abu al-Aswad bersama laki-laki yang membantunya melakukan usaha itu
dari awal sampai akhir mushaf.2
Namun, usaha Abu Al-Aswad ini masih belum dapat mencegah dari
kesalahan dalam membacanya. Karena itu, untuk membedakan satu huruf dengan
huruf yang lain, diberilah titik dan dibariskan kalimat secukupnya agar memberi

2
al-Qattan, Mabahis Fi „Ulum al-Qur‟an, : T.t. 142

10
keterangan bagi yang masih belum bisa membacanya juga. Seiring dengan
berjalanya waktu lalu para murid- murid Abu Al-Aswad mengembangkan cara
penulisan harakat tersebut. Ada yang memberi tanda titik dengan tanda kubus,
ada yang dengan lingkaran penuh dan ada pula lingkaran yang tengahnya
dikosongkan.

Contoh pertama kali


pemberian tanda Warna hitam: tanda
bacaoleh Abu Al- huruf.Warna merah:
Aswad Addu‟ali tanda baca

Contoh manuskrip
tulisan al-Qur‟an (Q.S. As-Shof: 14 – Al-
yangtanpa harakat Jumu‟ah: 1-2)

Contoh manuskrip
(Q.S. Ali „Imron: 200 -
tulisan al-Qur‟an
Q.S.
yang sudah diberi
An-nisa‟:1)
tanda titik

Contoh manuskrip
tulisan al-Qur‟an
yang dinisbatkan
pada masakhalifah

11
Ali bin Abi Thalib
R.A.

Oleh itu, kemudian penyempurnaan penulisan dilanjutkan oleh Nasr bin


„Asim al-Laythi dengan menambahkan titik dan harakat yang secukupnya
terhadap huruf al-Qur‟an atas perintah al-Hajjaj. Seterusnya disempurnakan lagi
oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) dengan menambahkan harakat
berupa fathah, dhammah, kasrah, sukun, mad dan tasydid. Setelah itu ulama-
ulama berikutnya dengan memberikan tanda ayat, tanda waqaf, namanama surat,
Makiyah dan Madaniyah serta jumlah ayat pada setiap suratnya dan lain-lainnya,
sehingga terwujud naskah al-Qur‟an seperti sekarang.3

2.Pada Masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (W. 86 H/705 M).
Pemberian Titik Oleh Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim.
Setelah Abu Al-Aswad selesai dalam pemberian titik pada mushaf dan
seiring dengan berjalannya waktu, para murid-murid Abu Aswad kemudian
mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut.
Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba‟ah), ada yang
menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh (Mudawwar), dan ada pula yang
menulisnya dalam bentuk lingkaran sebagian setengahnya (Mustathil). Dan pada
perkembangan selanjutnya kemudian menambahkan tanda sukun (yang
menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur)
yang diletakkan di bagian atas huruf. Pemberian titik dan macam- macamnya:
1. Nuqotul I‟rob: adalah pemberian titik untuk membedakan antara tanda baca
harakat dan huruf yang sudah dilakukan pada masa Abu Aswad Addu‟ali.
2. Nuqotul I‟jam: adalah pemberian titik untuk membedakan antara huruf dan
huruf.
‫ب–ت–ث‬
‫ج–خ‬
Contoh ‫د–ذ‬
‫ر–ز‬
‫ف–ق‬

3
Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir Kurikulum 1984 Untuk Madrasah Aliyah. 49.

12
3. Ihmal: adalah membiarkan huruf tanpa titik seperti: ‫ح – ع – ر – د‬
Pemberian titik pada huruf atau yang bisa kita sebut dengan Nuqath al-I‟jam

dilakukan belakangan setelah pemberian harakat. Hal ini dilakukan


untuk membedakan bacaan yang mempunyai bentuk huruf yang sama, tetapi
cara membacanya berbeda. Seperti pada huruf ‫( ب‬ba’), ‫( ت‬ta’), ‫( ث‬tsa’) dan
seterusnya. Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis
tanpa menggunakan titik pembeda.
Ada beberapa pendapat tentang siapa yang menggagas pertama
penggunaan titik ini. Akan tetapi pendapat yang paling kuat nampaknya
mengarah pada Nashr bin
„Ashim7 dan Yahya bin Ya‟mur.8 Hal ini berawal pada saat Khalifah Abdul
Malik bin Marwan memerintahkan pada Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi,
Gubernur Irak waktu itu (75-95), untuk memberi solusi atas terjadinya wabah
al-‘ujmah di kalangan masyarakat saat itu. Pada akhirnya Al-Hajjaj pun
memilih Nahsr bin „Ashim dan Yahya bin Ya‟mur untuk misi ini, sebab
keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira‟at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan
untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i‟jam (pemberian titik untuk
membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah
metode al-ihmal dan al- i‟jam. ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan
al-i‟jam adalah memberikan titik pada huruf.
No Huruf Perbed
aan
Huruf ‫( د‬dal) diabaikan tanpa titik
1 ‫( د‬dal) dan ‫( ذ‬dzal)
Huruf ‫( ذ‬dzal) diberikan satu titik di atasnya
Huruf ‫( ر‬ra‟) diabaikan tanpa titik
2 ‫( ر‬ra‟) dan ‫( ز‬zay)
Huruf ‫( ز‬zay) diberikan satu titik di atasnya
Huruf ‫( ص‬shad) diabaikan tanpa titik
3 ‫( ص‬shad) dan ‫ض‬
(dhad) Huruf ‫( ض‬dhad) diberikan satu titik di
atasnya

13
Huruf ‫( ط‬tha‟) diabaikan tanpa titik
4 ‫( ط‬tha‟) dan ‫( ظ‬zha‟)
Huruf ‫( ظ‬zha‟) diberikan satu titik di atasnya
Huruf ‫„( ع‬ain) diabaikan tanpa titik
5 ‫„( ع‬ain) dan ‫( غ‬ghain)
Huruf ‫( غ‬ghain) diberikan satu titik di
atasnya
Huruf ‫( ش‬sin) diabaikan tanpa titik satupun
6 ‫( ش‬sin) dan ‫ ( ش‬syin)
Huruf ‫ ( ش‬syin) diberikan tiga titik
‫( ج‬jim), ‫( ح‬ha‟), dan ‫خ‬
7 Huruf ‫( ج‬jim) dan ‫( خ‬kha‟) diberi titik
(kha‟)

Nuqath al-I‟jam atau tanda titik ini pada awalnya berbentuk lingkaran, lalu
berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlubang bagian
tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar
tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i‟rab) yang
umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir
kekuasaan Khalifah Muawiyah dan berdirinya Khalifah „Abbasiyah pada tahun
132 H.
Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk
tanda- tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam
untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, dan tinta merah untuk harakat. Di Andalusia,
mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat,
kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian
mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i‟rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam
untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Contoh manuskrip bertitik warna-warni

14
3.Pemberian Harakat Pada Masa Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (W.
170H)
Setelah banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda baca
pada mushaf, naskah-naskah mushaf pun menjadi warna-warni. Perubahan dan
penyempurnaan tulisan dan tanda baca baru terwujud secara tuntas melalui
upaya dan kerja keras seorang pakar ahli tata bahasa Arab termasyhur, orang
itu adalah Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (W. 170 H). tanda-tanda tersebut
adalah sebagai berikut:
No Tanda Baca Keteran
gan
Beliau menggantinya dengan huruf alif kecil
1 Fathah miring dari kanan ke kiri (ō), bentuknya
panjangdan diletakkan di atas huruf.
Untuk tanda ini beliau meletakkan huruf ya‟
2 Kasrah kecil dibawah huruf, bentuknya panjang dan
sekarang berubah menjadi garis miring (ō).
3 Dhammah Beliau meletakkan huruf wawu kecil (ō) dan
diletakkan di atas huruf.

4 Sukun Tanda ini merupakan bacaan fathah atau


kasrah atau dhammah.

No Pemberian Keterang
Harakat an
1 ‫فتحه‬ Diambil dari huruf alif diletakkan diatas huruf.

2 ‫ضمه‬ Diambil dari “‫ ”و‬diletakkan diatas huruf.

3 ‫تشديد‬ Diambil dari kepala “‫ ”ش‬tanpa titik.

4 ‫سكون‬ Diambil dari kepala “‫”ح‬

5 ‫همسه‬ Diambil dari kepala “‫”ع‬

6 ‫الف وصل‬ Diambil dari “‫ ”ص‬kecil

15
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada permulaan harakat alQur‟an
hanya berupa titik-titik yang diletakkan pada setiap huruf yang berharakat.
Harakat mempunyai maksud suatu tanda yang melahirkan bunyi huruf. Pada masa
kerajaan Abbasiyah model atau bentuk harakatnya telah diganti dengan model
yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami. Harakat tersebut yang dimaksudkan
ialah fathah, kasrah, dammah, tanwin,sukun danTasydid.4

Adapun alasan-alasan bentuk harakat yang dibuat oleh Khalil karena fathah
merupakan bagian dari alif, kasrah merupakan bagian dari ya‟ dan dhammah
bagian dari huruf wawu. Selain dari ketiga tanda tersebut, beliau juga
merumuskan beberapa tanda baca lainnya:
a. Untuk tanda sukun yang berat (tasydid/syiddah) beliau mengambil kepala
huruf syin (‫ )ش‬tanpa tiga titiknya (‫) س‬, sedangkan pemilihan huruf syin
sebagai tanda diambil dari kata syadid (‫) شديد‬.
b. Sedangkan untuk sukun yang ringan beliau mengambil kepala huruf kha‟ (‫)خ‬
tanpa titik juga (‫) ح‬. Beliau mengambil dari kata khafif (‫) خفيف‬.
c. Untuk hamzah beliau menggunakan kepala huruf „ain (‫ )ع‬karena makhrijul
huruf kedua huruf tersebut berdekatan.
d. Untuk alif washl beliau menggunakan kepala huruf shad (‫ ) ص‬di atas alif
selamanya, apapun huruf sesudah alif al-washl tersebut.
e. Untuk mad wajib beliau membuat tanda mim kecil disambung dengan dal
(‫)هد‬.5

C.Sejarah Pemberian Tanda Baca


1.Pemberian Harakat (Nuqath al-I‟rab)
Orang pertama mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf
al-Qur‟an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh
Mu‟awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah
munculnya ide itu diawali ketika Mu‟awiyah menulis surat kepadanya agar
mengutus putranya, „Ubaidullah, untuk menghadap Mu‟awiyah. Saat „Ubaidullah
datang menghadapnya, Mu‟awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah
melakukan banyak kesalahan dalam pembicaraannya. Mu‟awiyah pun

4
Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir Kurikulum 1984 Untuk Madrasah Aliyah. 49.
5
June 2023Hikami Jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir 4(1):73-82

16
mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu,
Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du‟aly:
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah
merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang
dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-
Qur‟an dengan benar.”
Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan
tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam „perangkap‟ kecil untuk
mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk
menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-
Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur‟an tapi lakukanlah lahn
terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah
yang berbunyi:

ُ ‫ َو َز‬, َ‫أَى َّللاَ ثَ ِسي ٌء ِ ّهيَ ْال ُو ْش ِسكٍِي‬


َُُ‫سول‬
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”
Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu
didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia
Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang
kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun
menunjuk seorang pria dari suku „Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu.
Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-
i‟rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur‟an
dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat
pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta
kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas
huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan
titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-
Aswad pun membaca al-Qur‟an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap
kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum
melanjutkan ke halaman berikutnya.

2) Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I‟jam)

17
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding
pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara
huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya
berbeda. Seperti pada huruf ba,ta,tsa. Pada penulisan mushaf „Utsmani pertama,
huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya
adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira‟at yang ada.
Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan
bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-„ujmah)
pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali
menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur‟an. Namun pendapat
yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin „Ashim dan Yahya bin
Ya‟mar. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan
kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk
memberikan solusi terhadap „wabah‟ al-„ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj
pun memilih Nahsr bin „Ashim dan Yahya bin Ya‟mar untuk misi ini, sebab
keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira‟at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan
untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i‟jam (pemberian titik untuk
membedakan pengucapan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah
metode al-ihmal dan al-i‟jam. Al- ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan
al-i‟jam adalah memberikan titik pada huruf yang sama ,munculah metode al
ihmal dan al I‟jam pencapaiannya sebagai berikut:
a) Untuk membedakan antara ‫ د‬dal dan ‫ ذ‬dzal, ‫ ز‬ra‟ dan ‫ ش‬zay, ‫ ص‬shad dan
‫ ض‬dhad, ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap ‫ غ‬ain dan„ ‫ ع‬zha‟,
serta ‫ ظ‬tha‟ dan ‫ط‬pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan
huruf- huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i‟jam).
b) Untuk pasangan ‫س‬sin dan ‫ ش‬syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik
satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan
karena huruf ini memiliki tiga „gigi‟, dan pemberian satu titik saja
diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan
yang sama juga , ‫ ى‬tsa , ‫ ث‬ta ’, ‫ ت‬ba ‫ ة‬menyebabkan pemberian titik

18
berbeda pada huruf-huruf nun, dan ‫ ي‬ya‟.
c) Untuk rangkaian huruf ‫ ج‬jim, ‫ح‬ha‟, dan ‫خ‬kha‟, huruf pertama dan
ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d) Sedangkan pasangan ‫ ف‬fa‟ dan ‫ ق‬qaf, seharusnya jika mengikuti aturan
sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu
titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih
cenderung memberi satu titik atas untuk fa‟ dan dua titik atas untuk qaf.
Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam
(Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa‟, dan satu titik
atas untuk qaf.
Nuqath al-I‟jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu
berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian
tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar
tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i‟rab) yang
umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir
kekuasaan Khilafah Muawiyah dan berdirinya Khilafah „Abbasiyah pada tahun
132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk
tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam
untuk huruf dan nuqath al- i‟jam, dan tinta merah untuk harakat. Di Andalusia,
mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat,
kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian
mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i‟rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam
untuk huruf dan nuqath al-i‟jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini
muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i‟rab
maupun nuqath al-i‟jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu
melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam
membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat
peran Khalil bin Ahmad al- Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk
fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah
dengan bentuk huruf ya‟ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf

19
waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan
penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.
Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik. Yaitu bahwa
tanda titik (nuqath al-i‟jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi Bahasa Arab
kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf „Utsmani
ditulis. Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain

a. Batu nisan Raqusy (di Mada‟in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum
Islam yang tertua. Diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini
mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra‟ dan syin.
b. Dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H
(sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini
menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H.
Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin,
zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta. Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang
dilakukan oleh Nashr bin „Ashim dan Yahya bin Ya‟mar adalah sebuah upaya
menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan
dengan kebutuhan. 6

6
Julaiha, J., Suryani, E., Muammar, M., & Handinata, I. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 9(4), 246- 258

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

orang yang pertama kali mempunyai ide memberi tanda bac al-Qur‟an
adalah Abu Aswad Adu‟ali dengan Nuqotul I‟rob (pemberian titik untuk tanda
harakat) pada masa khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan (W. 60 H/679 M).
Pertama kali orang yang menggunakan tanda baca Nuqotul I‟jam (pemberian
tanda titik untuk membedakan antara huruf dengan huruf) adalah Yahya bin
Ya‟mur dan Nashr bin „Ashim pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (W.
86 H/705 M). Pemberian Syakal (harakat) Pada Masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan (W. 86 H/705 M). Adalah Khalil bin Ahmad al-Farahidi (W. 170 H).
Beliau adalah gurunya Imam Syibaweh ahli Nahwu Shorof.

21
DAFTAR PUSTAKA

Humam Abubakar. SEKILAS TENTANG ASAL-USUL HURUF ARAB DAN SENI


KALIGRAFI DI INDONESIA.

Qattan, Manna‟ Khalil al-. Mabahis Fi „Ulum al-Qur‟an, : T.t. t.tp.: Darul Ilmi
wal Iman, t.t.

Aziz, Abdul. Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir Kurikulum 1984 Untuk Madrasah
Aliyah. Vol. 1. Kelas II A1. Program A. Semarang: Wicaksana, 1993.

Aziz, Pelajaran Tafsir Ilmu Tafsir Kurikulum 1984 Untuk Madrasah Aliyah. 49.

June 2023Hikami Jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir 4(1):73-82

Julaiha, J., Suryani, E., Muammar, M., & Handinata, I. / Jurnal Ilmiah Wahana
Pendidikan 9(4), 246- 258

22

Anda mungkin juga menyukai