Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQIH


Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah: Usul Fiqih
Dosen Pengampu:
Moh. Usman, S.Ag, Ms.I

Disusun Oleh :
MUHAMMAD FAIZ SANANIL HUDA
DIKY MAJID HIDAYATULLAH
RIMA PUTRI WIJAYANTI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM


SEMARANG
2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-Nya sehingga
makalah tentang “SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQIH” ini dapat tersusun
sampai selesai. Tidak lupa saya berterima kasih kepada Bapak Moh. Usman, S.Ag, Ms.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Usul Fiqih, tim penyusun, para penulis buku dan
pencetak yang saya buat referensi untuk pembuatan makalah ini.
Sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa menjadikan pembaca
mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi saya sebagai tim penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman saya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Sekian dari saya selaku penyusun makalah,
Akhirullkalam Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaliwungu, Maret 2023

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH................................................................iii

A. PENDAHULUAN.......................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................4
C. PEMBAHASAN..........................................................................................................9

D. PENUTUP....................................................................................................................14

KESIMPULAN................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

3
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih

A. . Pendahuluan
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqih tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqih tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dandi masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Diantara mereka ada
yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas disamping berpegang pula pada fatwa
sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai
hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu. (Abu Zahro :12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa
Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga
semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari
pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman RasulullahSAW,
sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukandalam tulisan yang sistematis.
Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangandan periodisasi Ushul Fiqih zaman Nabi, Sahabat, dan
tabi’in?
2. Bagaimana munculnya Ushul Fiqih?

4
C. Pembahasan
Sejarah Perkembangan Periodisasi Ushul FiqIh
Dinamika penjalanan panjang proses hukum Islam yang terjadi, merupakan embrio dari
proses muncul dan berkembangnya ilmu ushul figh. dalam perjalanannya, ushul figh sendiri
sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase atau periode, yaitu periode
Rasulullah, periode sahabat, periode tabi'in, dan periode Imam Mujtahid.
1. Periode Rasulullah
Rasulullah Saw memberi fatwa kepada Mereka, menetapkan syariat untuk mereka, serta
memberi penjelasan kepada mereka dengan satu ayat atau beberapa ayat atau surat yang turun
kepadanya ,atau dengan sunnah baik itu melalui perkataan yang beliau sampaikan kepada
mereka, atau perbuatan yang beliau kerjakan di hadapan mereka, atau pengakuan beliau atas
apa yang mereka lakukan bila itu benar. Metode penjelasannya, semua itu tidak keluar dari
konteks Wahyu dari Allah SWT, Wahyu adakalanya berupa Alquran yaitu Wahyu yang
dibaca adakalanya berupa sunnah qauliyah (tradisi verbal )maupun sunnah Amaliah (tradisi
non verbal) yaitu Wahyu yang tidak dibaca.
Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman" Dan tiadalah yang diucapkan itu Alquran
menurut kemauan hawa nafsunya ucapannya itu tiada lain hanyalah Wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)."(An-Najm:3-4) juga firman Allah "Dan juga karena Allah telah menurunkan
kitab dan hikmah kepadamu ,dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui
dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu." (An-Nisa:113).
Imam Syafi'i berkata dalam kitab Ar risalah," Allah menyebutkan Alkitab, yaitu
Alquran dan menyebutkan Al-Hikmah.aku pernah Mendengar dari seorang yang ahli bidang
ilmu Alquran mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al hikmah adalah sunnah
Rasulullah SAW. Dan ini serupa dengan apa yang difirmankan Allah SAW karena Alquran
disebutkan kemudian disusul dengan penyebutan kata Al hikmah. Allah menyebutkan
anugerah atas makhlukNya dengan mengajarkan Alkitab dan al-hikmah.1
Hal ini terdapat dalam firman Allah SAW "sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan al-hikmah .Dan sesungguhnya
sebelum kedatangan nabi itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Ali
Imran:164)

1
Mushthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fiqh, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2014).hal 8

5
Zaman Rasulullah Saw,sumber syariat hanya dua yaitu Alquran dan As Sunnah. Ada
suatu kasus terjadi, pada saat Nabi Saw menunggu Wahyu untuk menjelaskan hukum kasus
tersebut. Jika Wahyu tidak turun,maka Rasulullah Saw menetapkan hukum perkara tersebut
melalui perkataannya yang disebut Hadits atau As Sunnah. Hal ini dapat dilihat dalam sabda
Rasulullah Saw, sebagai berikut:
"Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal- hal
yang tidak diturunkan Wahyu kepadaku"(HR.Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits
tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang
luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan
hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah?
Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah
Rasulullah.

Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan
berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya
mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasul-Nya pada sesuatu
yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Hadits ini tidak menyiratkan bahwa Nabi berusaha
mengembangkan ilmu Ushul Fiqh, tetapi jelas bahwa Nabi memberikan keluasan dalam
mengembangkan nalar untuk menetapkan hukum-hukum yang tidak tercatat dalam Al-
Qur'an dan Hadist.

Dorongan untuk melakukan ijtihad juga tersirat dalam hadits Nabi yang menjelaskan
bahwa pahala yang diperoleh orang yang melakukan ijtihad adalah usaha yang ikhlas, baik
hasil usahanya itu benar atau salah. Selain nasehat dan izin Nabi di atas untuk ijtihad, Nabi
sendiri pada dasarnya mengisyaratkan kebolehan ijtihad setidaknya dalam bentuk qiyas,
yang dapat kita temukan dalam haditsnya sebagai berikut:
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah
ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena
sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya
bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar?
Perempuan itu menjawab,Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”

Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika
seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian
kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama
manusia.
Penting untuk dicatat bahwa kehadiran Nabi sebagai otoritas tunggal dalam masalah
hukum membuat Nabi sangat berhati-hati di satu sisi dan terbuka di sisi lain. Sikap kehati-
hatian yang ditempuh Nabi dalam menerapkan syariat Islam dalam bidang ibadah. Penjelasan
Nabi dalam hal ini cukup detail.

6
Wahyu memegang peranan yang sangat penting, keterbukaan yang ditempuh Nabi
dalam usahanya mengembangkan hukum Islam di bidang Mu'amara. Dalam muamalah, tafsir
Nabi lebih bersifat umum daripada dalam ibadah, sedangkan detail dan tafsir pelaksanaannya
diserahkan kepada manusia. Manusia yang diberkahi dengan rasionalitas diberi lebih banyak
peran. Konon, ini juga salah satu faktor yang mendukung pengembangan ilmu ushul fiqih
selanjutnya.2
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas saat menjawab pertanyaan
para sahabat. Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila kamu berkumur-laumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?" Umar
menjawab "Tidak apa-apa" (tidak batal) Rasulullah kemudian bersabda : "maka teruskan
puasamu. "(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah
menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
butalnya puasa karena berkumur-kumur.

2. Periode Sahabat
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya
ijma sahabat dan maslahat. Para sahabat (khulafa ar-rasyidin) biasa melakukan musyawarah
untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum yang diikuti oleh para sahabat
yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti dan
dipatuhi oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat (ijma
sahabat) Para sahabat yang melakukan ijtihad, secara praktis telah menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqih, meskipun ushul fiqih belum dirumuskan dalam sebuah disiplin ilmu.
Kemampuan bahasa Arab yang masih tinggi dan jernih, serta pernah mendapatkan bimbingan
langsung berupa praktik tasyri' (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW, mereka mampu
dan tahu betul bagaimana cara memahami ayat Al-Qur'an dan pembentukan hukumnya
melalui istinbat maupun qiyas.3
Kemudian, pada masa sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk
daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan
susunan masyarakat yang tidak sederhana, dibandingkan dengan masyarakat Arabi ketika itu.
Dengan demikian, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul di daerah-daerah baru itu
lebih kompleks penyelesaiannya dari persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat
Semenanjung Arabia. (Harun Nasution, 1986:10-11).

2
Kamali, Muhammad Hasim, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam,(Yogyakarta, PustakaPelajar
Offset, 1996)
3
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam (Kuningan, Hidayatul Quran, 2019).hal 8
7
Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu
Mas'ud), dan Zaid bin Sabit. Di Madinah adalah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) dan
Makkah adalah Ibnu Abbas. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda,
sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.Para sahabat ini kemudian berhasil membina
kader masing- masing yang dikenal dengan para tabi 'in. Para tabi 'in yang terkenal itu adalah
Sa'id bin Musayyab di Madinah, Atha bin Abi Rabah di Makkah, Ibrahim an-Nakha'i di
Kufah, al-Hasan al-Basri di Basrah, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman.4

3. Periode Tabi’in
Tabi'in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar
kepada sahabat. Pada masa tabi'in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas
disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang
muncul. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan jalan ber-ijtihad. Tolok ukur dalam
menetapkan hukum tersebut bisa saja berbeda, misalnya para ulama di Irak menggunakan
tolok ukur penyelesaian masalahnya berdasarkan ra 'yu (akal pikiran), mereka berusaha
mencari berbagai illat (sifat), sehingga dapat menemukan hukum yang sama dengan hukum
yang ada nash-nya.
Berbeda dengan para ulama di Madinah yang mengutamakan penggunaan hadits-
hadits Rasulullah SAW yang lebih mudah ditemui dan dilacak di Madinah. Selain itu ada
juga ulama yang melihat sesuatu berdasarkan mashlahat (kebaikan) dan juga menetapkan
sebuah hukum berdasarkan pada qiyas (analogi).Dari sinilah awal perbedaan dalam
mengistibatkan hukum Islam di kalangan ulama fiqh yang kemudian melahirkan tiga
kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Iraq (ra 'yu), Madrasah Al-Kuffah (ra'yu) dan Madrasah
Al-Madinah (Al-Hadits).
Pada periode ini, pengertian fiqih sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqih
sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian
mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Pada periode ini, ushul fiqih telah matang menjadi salah satu cabang ilmu
keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan
oleh ulama fiqih. Dalam perkembangannya, fiqih tidak saja membahas persoalan aktual,
tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqih iftiradi
(fiqih berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra 'yu (pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-
Qur'an dan As-Sunnah secara langsung) dalam fiqih semakin berkembang karena ulama
Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra 'yu dalam fiqih mereka. Di samping itu, di Irak
muncul pula fiqih Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqih ahlusunnah wal Jama'ah
(imam yang empat).5 Periode Imam Mujtahid
4
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam (Kuningan, Hidayatul Quran, 2019).hal 9
5
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam (Kuningan, Hidayatul Quran, 2019).hal 9-10

8
Bila pada masa Nabi sumber fiqih adalah Al-Qur'an, maka pada masa sahabat
dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan
fiqih. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqih dengan menggunakan sunah dan ijtihad ini
sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat
kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis Nabi
dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber.
Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut "Ahl al-Hadis". Kelompok ini lebih
banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya Madinah. Kedua, dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra'yu atau ijtihad ketimbang hadis, meskipun hadis juga banyak
digunakan. Kelompok ini disebut "Ahl al-Ra'yi". Kelompok ini lebih banyak mengambil
tempat di wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah..
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, terutama karena adanya dua latar
belakang historis dan sosial budaya yang berbeda. Ahl al-Hadîs muncul di wilayah Hijaz
adalah karena Hijaz khususnya Madinah dan Mekah adalah wilayah tempat Nabi bermukim
dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih
banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya banyak mendengar dan
mengetahui hadis dari Nabi.
Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi,
maka pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di
Hijaz. Di samping itu, kehidupan sosial dan muamalat begitu luas serta kompleks karena
lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu semua mereka lebih banyak dan
lebih sering menggunakan ijtihad dalam penetapan fiqh. Ijtihad itu pun tidak lagi terbatas
pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini
sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh
dan menghasilkan para ahli fiqih.6

Munculnya Ushul Fiqih Dan Tahapan Perkembangnya


Secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
 Tahap Awal (abad 3H)

Pada abad ke-3 H, di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaan Islam meluas
ke timur, para khalifah yang memerintah pada abad ini: (Al-Ma'mun w 218H), (Al-Mu'tashim
227H), (Al Wasiw 232H) dan (Al-Muta mewakili w 2-7H) pada masanya terjadi kebangkitan
ilmiah di kalangan umat Islam yang dimulai dengan Kekhalifahan Arrasyid. Salah satu hasil
kebangkitan pemikiran Islam dan semangat keilmuan pada saat itu adalah berkembangnya

6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid I. (Jakarta, Kencana,2008). Hal 33

9
bidang fiqih yang pada gilirannya mendorong lahirnya metode pemikiran fiqih yang dikenal
dengan Usul Fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqih yang pertama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i kitab ini dinilai oleh para
ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul
fiqih setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu
Ahmad dalam ilmu Ar - rud".
Para ulama sebelum As-Syafi berbicara tentang masalah ushul-fiqih dan menggunakannya
sebagai pedoman, tetapi mereka masih belum memperoleh prinsip-prinsip umum yang
menjadi acuan untuk mengetahui dalil-dalil syari'ah dan untuk memegang dan
mengevaluasinya: kemudian datang ke. -Syafi'I menyusun ilmu ushul-fiqih, yaitu prinsip-
prinsip umum yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar dalil-dalil syar'i. meskipun ada
orang yang menyusun kitab ushul-fiqh menurut As-Syafi'i, mereka tetap bergantung pada As-
Syafi'i karena As-Syafi'i membuka jalan terlebih dahulu.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab usul fiqih lainya.
Isa Ibnu Iban (w.2211/835 M) menulis kitah Itsbat Al-Qiyas Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-
ra'yu. Ibrahim Ibnu Syar Al-Nazham (w:221H/835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya
kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah yang mencakup permasalahan-
permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushaliyah yang telah ada, kebanyakan termaktub dalam kitab-
kitab fiqih, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa
Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqih tersebut. Golongan Malikiyah
misalnya mengklaim imam madzhabaya sebagai perintis pertama Ushul Fiqih dikarenakan
Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al
Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shahih yang berlawanan
yang datang dari Rasullulah pada saat yang sama. Malik menolaknya dengan tegas, karena ini
berprinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja. 7

7
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: cv pustaka setia , 2007) hal 25

10
 Tahap Perkembangan (abad 4 H)

Pada masa ini abad 4 H merupakan abad permulaan kelemahan Dinasti abassiyah dalam
bidang politik. Dinasti Abassiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan
semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Secara khusus, bidang fiqih Islam saat ini memiliki kekhasan tersendiri dalam sejarah tasyr
Islam. Pemikiran liberal Islam yang berdasarkan ijtihad mutlak berhenti pada abad ini,
mereka menganggap para ulama terdahulu bebas dari kesalahan, sehingga para ahli hukum
tidak lagi ingin menghadirkan gagasan-gagasan konkrit kecuali dalam hal-hal kecil,
akibatnya kecenderungan fiqih semakin berubah. eksistensi stabil yang masih mengikuti
fanatisme para pengikutnya. Ditandai dengan kewajiban mengikuti madzhab tertentu dan
larangan mengubah madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya dengan melakukan usaha antara
lain:
1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam
2. Mereka disebut ulama takhrij Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam
madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun
kitab al-khilaf.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya
dalam perkembangan Fiqh Islam adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung
hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya,
2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat
3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang Ushul Fiqih. Terhentinya ijtihad dalam Fiqih
dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan
mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqih.

11
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4 H ini ditandai dengan
munculnya kitab-kitab ushul fiqih yang merupakan hasil karaya ulama- ulama fiqih diantara
kitab yang terkenal adalah:
1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal
Dalaham Al-Kharkhi (w.340H.)
2. Kitab Al-Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim
yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad- Din Mahmud Ibnu
Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan Ushul Fiqih pada abad
4 H yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas Ushul Fiqh secara utuh dan
tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang
membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu Ushul Fiqih
pada awal abad 4 H. juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih8

 Tahap Penyempurnaan (5-6 H)

Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi
berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah
kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan
sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya. antara lain Al-Baqilani,
Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al
Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al- Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain.
Mereka adalah pelopor keilmuan. Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di
8
. Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: cv pustaka setia , 2007) hal 27

12
kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman, itulah sebabnya
pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya pada
produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan Ushul Fiqh terpesat yang diantaranya terdapat kitab- kitab yang mnjadi
kitab standar dalam pengkajian ilmu Ushul Fiqh selanjutnya. Kitab-kitab Ushul Fiqh yang
ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab Ushul Fiqh bagi masing-
masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran Ushul Fiqh, yakni aliran hanafiah yang
dikenal dengan aliran fuqoha, dan aliran Mutakalimin.9

9
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: cv pustaka setia , 2007) hal 30
13
D. Penutup
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW,
Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan.
Namun demikian, corak atau
metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain,
belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusun lah kitab Ushul
Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu upaya dalam
menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang berubah-ubah
itu, kegiatan tersebut
dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menuju kesempurnaanya
hingga abad kelima dan awal abad 6 H abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan
ilmu Ushul Fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul
Fiqh dan juga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk Ushul Fiqh
selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Khin Sa’id Mushthafa, Sejarah Ushul Fiqh,  Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2014


 Hermawan Iwan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam,Hidayatul Quran, Kuningan 2019
 Syarifudin Amir, Ushul Fiqih Jilid I.  Kencana, Jakarta, 2008
 Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam,
PustakaPelajar ,Yogyakarta 1996
 Rahmat Syafi’i,  Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007

15

Anda mungkin juga menyukai