Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH PERTUMBUHAN USHUL FIKIH MULAI DAI PRIODE NABI SAMPAI


PRIODE KEBANGKITAN KEMBALI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ushul Fikih

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 :

INDAH ISTIQOMAH FITRI : 2030402041

JELITA : 2030402046

DOSEN PENGAMPU:

Dr. DESI YUSDIAN, Lc., MA

Aullya Raflis, Lc., MH

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR
2023 M /1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat kehadiran allah yang telah melimpahkan Rahmat dan karunianya,
taufik, dan hidayahnya sehingga kami dapat Menyusun dan menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Sholawat berangkaikan salam semoga tetap mengalir pada perjuangan kita yang
Namanya popular dan berkibar di seluruh dunia. Nabi besar Muhamad SAW dengan
perjuangan beliau lah kita dapat berada dalam cahaya islam dan iman.
Selanjutnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga pemakalah sangat mengharapkan saran dan
kritik yang konstruksi guna memperbaiki demi kesempurnaan dalam penulisan makalah
selanjutnya, akhirnya kami sebagai penulis makalah ini berdoa semoga makalah ini akan
membawa manfaat kepada para pemakalah dan terkhususnya kepada para pembaca pada
umumnya.

Batusangkar, 16 Maret 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................i
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
Latar Belakang................................................................................................................................3
RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................3
TUJUAN...........................................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERIODESASI USHUL FIQH...............................5
1. Masa Nabi.............................................................................................................................5
2. Pada Masa Sahabat.............................................................................................................7
3. Pada Masa Tabi’in...............................................................................................................9
4. Pada Periode Keemasan/Pembukuan (Tadwin)..............................................................10
5. Periode Stagnasi/Jumud....................................................................................................12
6. Periode Kebangkitan Kembali..........................................................................................14
BAB III...............................................................................................................................................16
PENUTUP..........................................................................................................................................16
Kesimpulan....................................................................................................................................16
Saran...............................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................17

ii
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah
dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas,
nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa
Rasulullah SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk
kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui
sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara
mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping
berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai
tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari
perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. (Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau
pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath
yang digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya
menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada
amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah
SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan
dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri.
B. RUMUSAN MASALAH

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di
rumuskan masalah sebagai berikut :
4

1. Bagaimana Ushul Fiqh pada masa Nabi SAW.?


2. Bagaimana Ushul Fiqh pada periode Ushul Fiqh Masa Sahabat?
3. Bagaimana Ushul Fiqh pada Periode Ushul Fiqh pada masa Sighar sahabah/tabi’in?
4. Bagaiman Ushul Fiqh pada periode keemasan/pembukuan (tadwin).
5. Bagaimana Ushul Fiqh pada periode Stagnasi/Jumud.
6. Bagaimana Ushul Fiqh pada periode kebangkitan Kembali.

C. TUJUAN
Berdasarkan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada masa Nabi SAW.
2. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada periode Ushul Fiqh Masa Sahabat.
3. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada masa Sighar sahabah/tabi’in.
4. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada periode keemasan/pembukuan (tadwin).
5. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada periode Stagnasi/Jumud.
6. Untuk mengetahui Ushul Fiqh pada periode kebangkitan Kembali.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERIODESASI USHUL FIQH


1. Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran
dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu
yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai
berikut : “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui
pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu
Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam.
Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan
perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam
pengutusan ini Nabi bersabda :

‫كيف تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب اهلل قال فا ن مل جتد ف كتا ب‬
‫اهلل؟ قال فبسنة ر سو ل اهلل قال فان مل جتد يف سنة ر سو ل اهلل قال اجتهد راى وال لو‬
‫فضرب رسو ل اهلل على صدره وقال ا ا حلمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر‬
‫سسو ل اهلل‬
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap
permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan
mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau
kamu tidak menemukan dalam kitab Allah?JawabMu’az, saya akan mengambil
keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika
engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan
saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya
mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya
pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”

5
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan
keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum
tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-
masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat.
Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari
solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :

‫ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم‬


“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang
menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad
sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil
usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas,
Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan
melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita
temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :

‫جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا هلل ان اىب اد ر كته ف رضه احغ و‬


‫مل حيج و هو ال يتمسك على الر حا لة ملر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل اهلل عليه‬
‫ عنه قا لت نعم قال فدين ا هلل ا حق‬J‫ لو كا ن على ا بيك دين اقتضيته‬J‫و سلم ار ايت‬
‫ان يقض‬
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya
Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk
dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya?
Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu
mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab,
Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika
seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan
penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan
keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran
utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas
tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuatNabi sangat berhati-
hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh
Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang
berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap
terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam di
bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak
bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya
diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya
diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut
mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar
Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.
Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu
batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidakbatal). Rasulullah kemudian
bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas
telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan
mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium
istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
2. Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang
menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari
ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu
berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh
Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah
merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

‫وه َّن َعلَى‬ َ ‫ضوا هَلُ َّن فَ ِر‬


ُ ُ‫يضةً َو َمتِّع‬ ُ ‫وه َّن َْأو َت ْف ِر‬
ُ ‫ِّساءَ َما مَلْ مَتَ ُّس‬ َّ ‫ِإ‬
َ ‫اح َعلَْي ُك ْم ْن طَل ْقتُ ُم الن‬ َ َ‫ال ُجن‬
ِِ ِ ِ
َ ‫اعا بِالْ َم ْع ُروف َحقًّا َعلَى الْ ُم ْحسن‬
‫ني‬ ً َ‫الْ ُموس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى الْ ُم ْقرِت ِ قَ َد ُرهُ َمت‬
Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka.
Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah :
236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian
pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah
beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak
dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya; sebagaimana
yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW,
demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah
dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa
sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak
disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena
pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena
Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik
secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya
kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun
(asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al-
Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-
dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang
mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-
kaidah.

3. Pada Masa Tabi’in


Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan
III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-
daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa
Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara
para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk
daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang
dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan
yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan
perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah
dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam
satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-
dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya
penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan
antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab
dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke
dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik
dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit
menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash
syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah
(bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-
orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah
dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul
Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab
Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah
Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama
Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang
pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa
beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.

4. Pada Periode Keemasan/Pembukuan (Tadwin)


Ilmu ushul fiqh tumbuh pada abad kedua hijriah. Pada abad per- tama hijriah
ilmu ini belum tumbuh, karena belum terasa diperlu- kan. Rasulullah SAW berfatwa
dan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan kepada al-Qur'an dan hadis, dan
berdasar naluriah yang bersih tanpa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan
sebagai sumber istinbat hukum. Adapun sahabat Nabi membuat keputusan hukum
berdasarkan dalil nas yang dapat mereka pahami dari aspek kebahasaan semampu
mereka, dan untuk memahaminya secara baik diperlukan kaidah bahasa. Di samping
itu, mereka juga melakukan istinbat hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nas
berdasarkan kemampuan mereka, berdasarkan ilmu tentang hukum Islam yang telah
mereka kuasai disebabkan lamanya pergaulan mereka bersama Nabi serta
menyaksikan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al- Qur'an) dan asbabul
wurud (sebab-sebab turunnya hadis). Jadi, para sahabat ketika itu sudah benar-benar
memahami tujuan-tujuan hu- kum syariat serta dasar-dasar pembentukannya.
Setelah kekuasaan Islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab sudah
memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik dalam ben- tuk lisan maupun
tulisan. Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam bentuk mufradat dan tata
bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan kesamaran-kesamaran dan
kemungkinan lain dalam rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah, maka
perlu disusun batasan-batasan dan kaidah bahasa, yang dengan kaidah itu nas dapat
dipahami sebagaimana orang Arab memahaminya.
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum Islam sudah semakin
meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjadilah perdebatan
sengit antara ahlul hadis dan ahlu al-rayi. Di pihak lain semakin berani juga orang-
orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa), menjadikan sesuatu sebagai hujah padahal
sesuatu itu bukan hujah dan sebaliknya mereka mengingkari sesuatu yang justru hal
itu adalah hujah. Semua ini merupakan dorongan yang kuat un- tuk menyusun
batasan-batasan tentang dalil syariat, syarat-syarat serta cara menggunakan dalil.
Semua pembahasan yang berhubungan de- ngan dalil-dalil serta batasan-batasan atau
kaidah-kaidah bahasa itu- lah yang kemudian menjelma menjadi ilmu ushul fiqh.
Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijriah muncul ula- ma bernama
Muhammad bin Idris al-Syafi'i (150 H-204 H) yang meng- gagas, meramu,
mensistematiskan, dan membukukan ilmu ushul fiqh.
Sebelum Imam Syafi'i, tercatat orang yang pertama kali menghim- pun kaidah
yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah Imam Abu Yusuf seorang pengikut
Imam Abu Hanifah. Tetapi kumpulan ini tidak sampai kepada kita. Adapun orang
yang pertama kali melaku- kan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan dalam
ilmu ushul fiqh secara sistematis dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan
dalil dan uraian yang mendalam dialah Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i yang
meninggal pada tahun 204 H. Kemudian hasil pentad- winan (kodifikasi) itu diberi
nama kitab al-Risalah, yang merupakan kitab pertama dalam ilmu ushul fiqh dan
wujud kitabnya sampai di hadapan kita sekarang. Dengan demikian, populerlah di
kalangan ilmu ushul bahwa orang yang pertama kali menyusun ilmu ushul figh adalah
Imam Syafi'i.
Dijelaskan oleh Satria Effendi bahwa kitab al-Risalah yang berarti sepucuk
surat pada mulanya adalah lembaran-lembaran surat yang dikirimkan oleh Imam
Syafi'i kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis ketika
itu. Munculnya kitab al-Risalah merupakan fase awal perkembagan ushul fiqh sebagai
sebuah disiplin ilmu. Secara umum kitab ini membahas tentang landasan-landasan
pembentukan fiqh, yaitu al-Qur'an, sunah, Ijma', fatwa sahabat, dan qiyas.
Masa pembukuan ushul fiqh yang dilakukan oleh Imam Syafi'i, se- perti
dijelaskan di atas berbarengan dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman yang disebut dengan masa keemasan Islam yang dimulai dari masa Harun
al-Rasyid (145 H-193 H) khalifah ke-5 dinasti Abbasyiah dan kemudian dilanjutkan
lebih maju lagi oleh putranya ber- nama al-Ma'mun (170 H-218 H). Salah satu
indikator kemajuan ilmu ketika itu adalah berdirinya baitul hikmah yaitu
perpusatakaan terbesar di kota Baghdad sehingga Baghdad ketika itu menjadi
mercusuar ilmu yang didatangi oleh orang dari berbagai wilayah Islam."
Setelah Imam Syafi'i menyusun kitabnya yang monumental itu, kemudian
berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqh baik dalam bentuk yang
panjang lebar (ishab) ataupun ringkas ('ijaz). Tak ketinggalan ulama ilmu kalam (ahli
teologi), menyusun ilmu ini dengan caranya sendiri begitu juga ulama Hanafiah juga
menyusun ilmu ushul fiqh ini dengan menggunakan caranya sendiri.
Karya ilmiah di bidang ilmu ushul fiqh setelah Imam Syafi'i yang tercatat pada
abad ke-3 H antara lain: al-Khabar al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w.
220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambal
(w.164 H-241 H), pendiri mazhab Hambali dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-
Zahiri (200 H-270 H) pendiri mazhab Zahiri.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Khulasat Tarikh al-Tasyri al-
Islami, pada pertengahan abad ke-4 H. terjadi kemun- duran dalam kegiatan ijtihad di
bidang fiqh, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri untuk
membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang
ushul figh berkembang pesat. Ushul fiqh tetap berperan sebagai alat pengukur
kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk sebelumnya."
Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpul- kan bahwa
ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan tetapi, sedikit demi
sedikit terus berkembang menjadi besar. Ter- catat dalam sejarah, setelah mencapai
perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul fiqh tumbuh dengan subur, tersebar dan
terpencar disela- sela hukum fiqh.

5. Periode Stagnasi/Jumud (Fase Stagnasi (950 – Akhir Abad Ke-19 M)


Masa ini merupakan periode kemandegan dan kemunduran pemikiran fiqh dan
ushul fiqh. Hampir tidak ada pemikiran baru yang dihasilkan ulama pada masa ini.
Fatwa fatwa generasi sebelumnya dibukukan dan dijadikan sebagai pegangan. Hadis
juga sudah ditulis secara sistematis dan diklasifikasikan berdasar kualitasnya.
Disamping itu, yurisprudensi dan prinsip-prinsip penafsiran juga sudah dirumuskan
secara metodologis. Berbagai produk warisan tersebut tidak disikapi secara kreatif,
sehingga menimbulkan stagnasi.
Ciri khas fiqh pada masa ini adalah taklid dan faksionalisme, yang
menunjukkan hilangnya dinamika fiqh sebagai sebuah keilmuan.
Perbedaan pendapat yang sebelumnya menunjukkan semangat ijtihad, pada
masa ini justru menjadi biang kontradiksi. Fanatisme terhadap pendapat seseorang
(imam mazhab) mengkristal dalam bentuk mazhab-mazhab. Masingmasing pengikut
mazhab tidak berusaha mengelaborasi hasil pemikiran para imamnya, tetapi malah
menguatkan dan menempatkannya sebagai pilihan mutlak. Karya ilmiah yang
dihasilkan tidak independen dan berbentuk syarah atau mukhtashar, yaitu mengulas
hasil karya sebelumnya dengan perluasan penafsiran.Tidak ditemukan ide-ide atau
semangat baru dalam kitab-kitab mereka. Kalaupun mereka berijtihad, masih tetap
dalam naungan mazhab yang dianutnya sehingga dikategorikan mujtahid mazhab.
Perubahan lain adalah hilangnya watak kedaerahan yang mewarnai pemikiran
pendahulunya.Para pengikut mazhab ini menyebarkan pendapat imamnya ke daerah-
daerah tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi wilayah baru tersebut. Loyalitas
yang ketat mengakibatkan taklid yang cenderung merugikan perkembangan pemikiran
fiqh dan ushul fiqh. Tidak ada lagi inovasi baru dalam berijtihad sehingga masa ini
pintu ijtihad dianggap tertutup.Dari aspek politik, pada masa ini dunia Islam berada
dalam genggaman kolonialisme Barat. Secara internal terjadi pergolakan politik di
kalangan umat Islam sendiri. Umat Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil,
sehingga perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan kurang. Di sisi lain
terjadi perkembangan tasawuf yang membentuk gerakan-gerakan tarekat. Gerakan ini
bertujuan membawa umat Islam menjauhi masalah-masalah duniawi dan memusatkan
perhatiannya terhadap masalah ukhrawi. Mendekatkan diri kepada Allah melalui zikir
dan ritualritual tertentu adalah ciri ajaran tarekat. Pada perkembangan selanjutnya
kaum tarekat semakin acuh terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi, karena
dianggap menjadi penghalang kedekatannya kepada Allah. Dampak negatif dari
kondisi ini adalah jauhnya umat Islam dari kemajuan. Dari sinilah dapat disimpulkan
bahwa faktor yang menyebabkan kemunduran fiqh adalah: tertutupnya pintu ijtihad,
pengaruh dari taqlid, perkembangan sufi, dan kebangkitan komunitas lain (barat).
Faktor-faktor lain yang juga berkontribusi terhadap stagnasi fiqh dan ushul
fiqh pada masa ini adalah sebagai berikut:
1. mazhab fiqh telah terbentuk sempurna, dan karya fiqh sebelumya dianggap mampu
menyelesaikan segala persoalan yang terjadi. Akibatnya, tidak ada lagi ijtihad dan
tiadanya orisinalitas pemikiran.
2. hilangnya kekuasaan Abbasiyah yang memiliki concerndalam pengembangan fiqh.
Akibatnya muncul perselisihan politik yang berimplikasi pada kurangnya perhatian
terhada kemajuan ilmu pengetahuan.
3. wilayah-wilayah pecahan Abbasiyah memilih untuk mengikuti mazhab tertentu.
Mesir mengikuti mazhab Syafi’i, Andalusia (Spanyol) mengikuti mazhab Maliki,
Turki dan India mengikuti mazhab Hanafi.
Meski disebut masa stagnasi, namun pada periode ini muncul upaya
melakukan pembaruan. Para pembaharu ini melakukan upaya untuk melawan
taklid dan mengaktifkan ijtihad. Mereka menyeru umat Islam untuk kembali
kepada akar agama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Diantara ulamapembaharu adalah
Ahmad Ibn Taymiyah (1263-1328 M), Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (1703-1762),
dan Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukani (1757-1853 M). Diantara mereka yang
terkemuka adalah Ahmad Ibn Taymiyah.

6. Periode Kebangkitan Kembali


Fase Kebangkitan (Akhir Abad Ke 19 Sampai Sekarang)
Kebangkitan fiqh dan ushul fiqh berkaitan dengan kebangkitan umat Islam di
bidang politik. Di beberapa wilayah umat Islam mulai berusaha melepaskan diri dari
kolonialisme.
Hal ini disebakan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. munculnya kesadaran diri umat Islam akan kekalahannya dari Eropa
2. keinginan untuk belajar kepada Eropa sehingga menimbulkan ide-ide pembaharuan
3. upaya memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah dan khurafat, dan
4. ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dari Barat menyadarkan umat Islam
untuk menghidupkan semangat ilmu pengetahuan.
Secara umum sikap umat Islam terhadap kemajuan Barat dapat dibagi dua: pertama,
Zealotisme, yaitu menutup diri secara fanatik terhadap Barat dan ingin kembali secara
introvert kepada praktek Islam masa lalu. Sikap ini menimbulkan adanya gerakan
pemurnian Islam (puritanisme), seperti gerakan Wahabiyah, yang dipimpin oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Arabia Kedua, Herodianisme yaitu
membuka pintu secara selektif terhadap pengaruh Barat, mengambil yang baik dan
menolak yang buruk. Sikap ini berdampak pada munculnya gerakan-gerakan
pembaruan dalam Islam. Gerakan pembaruan yang muncul pada saat itu adalah:
1. Pan-Islamisme, dipimpin oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan tujuan:
(1) menggalang persatuan umat Islam sedunia;
(2) membangkitkan semangat lokal negeri-negeri Islam untuk melepaskan diri dari
penjajah.
2. Nasionalisme, dipimpin oleh At-Tahawi (1801-1873) di Mesir, dengan pemikiran:
Negara Islam akan maju jika di bawah penguasa sendiri dan bukan dijajah bangsa
asing
3. Hizbul Wathan, dipimpin oleh Mustafa Kamil di Mesir. Gerakan ini mengakibatka
terjadinya Revolusi Mesir pada 23 Juli 1952, dan mengakibatkan terbentuknya
Republik Mesir pada 18 Juni 1953 dengan presidennya Mayor Jenderal Naguib.

Beberapa tokoh yang dianggap sebagai pembaharu yang menjadi tanda awal
kebangkitan Islam adalah: Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1935 M), Hassan al-Banna (w. 1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-
1979 M), dan lain-lain. Para pembaharu ini berusaha mengembalikan watak asli fiqh
yang dinamis, meskipun tidak sepenuhnya mampu memberantas fanatisme mazhab.
Di bidang fiqh ushul fiqh mulai ada upaya untuk mempelajari karya ulama
sebelumnya. Seleksi kitab-kitab fiqh ini dilakukan untuk memilih mana yang paling
valid dan mem-bandingkannya dengan hukum positif. Kebangkitan lain adalah
adanya upaya mengkodifikasikan fiqh menjadi qanun (undang-undang). Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh Kekhalifahan Turki Usmani. Kodifikasi hukum ini
bernama Majallah al-Ahkam al-’Adilah (Kitab Undang-Undang Keadilan) yang
selesai tahun 1876 M. Kandungan materi undang-undang ini mengacu pada fiqh
mazhab Hanafi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW,
Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum
maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu upaya
dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang
berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh
terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H
abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyak
ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul Fiqh dan juga muncul
kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk Ushul Fiqh selanjutnya.

Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Harapan kami dengan adanya tulisan ini
bisa menjadikan kita lebih mengetahui tentang sejarah ushul fiqh pada masa
Rasulullah dalam makalah ini mungkin terdapat kekurangan karena keterbatasan ilmu
dan referensi yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis juga mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini, serta
diharapkan pembaca untuk membaca dari sumber-sumber yang relevan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah


Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Zuhaily, Wahbah. 1986 Ushul al-Fiqh al-Islamy, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. 1983. Al-Fikr al-Usult. Dirasah Tahliliyah Naqdiyah.
Jeddah: Dar al-Syuruq.
Muhammad Sa'id al-Khinn. 1994. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-
Fuqaha, Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994.
Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri' al-Islamy. Surabaya: dari Ihya' al- Kutub al
'Arabiyyah.
Najmuddin al-Thufi. 1998. Kitab al-Tayin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan.
Noel James Coulson. 1964. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Nourouzzaman Shiddieqy. 1997. Figh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Thaha Jabir Alwani. 1994. Source Methodology in Islamic Jurisprudence.Virginia: IIIT.
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh.
Cambridge: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai