Segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
mata kuliah USHUL FIQH”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi
besar kita Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam yang telah memberikan pedoman hidup
yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Khairul Rijal, S.E.,
M.Ag., M.BA. selaku dosen pembimbing mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dan kepada
segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan para pembaca.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Proses Kodifikasi Ushul Fiqh ............................................................................................... 4
B. Saran ......................................................................................................................................... 11
Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hukum syara’ dan
hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat kami ambil rumusan masalahnya sebagai berikut :
Pembahasan
‘Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh’ , diawali dengan salam dan pembukaan yang begitu
santun, ciri khas beliau yang berasal dari Priangan (Sunda).
Beliau membuka tentang sejarah awal ilmu ushul fiqh yang dikodifikasi dan mengapa ilmu
ini dikodifikasi setelah Ilmu Fiqh.
“Ilmu Ushul Fiqh telah muncul sejak adanya Fiqh. Namun, Ilmu Fiqh telah mendahului
Ushul Fiqh dalam pentadwinan. Hal ini berarti bahwa Fiqh telah disusun, dirumuskan kaidah-
kaidahnya, dan telah diatur sistematikanya sebelum disusun kaidah Ushul Fiqh. Terlambatnya
dalam pentadwinan ini bukan berarti ushul fiqh tidak muncul kecuali setelah masa kodifikasi,
atau juga tidak berarti bahwa para ahli hukum Islam (sebelum masa tadwin) tidak memiliki
kaidah tertentu dalam memutuskan hukum. Karena kenyataannya, kaidah-kaidah ilmu ini
mustaqarrah (tertanam) dalam jiwa-jiwa para mujtahid (sebelum masa tadwin).” Ia
mencontohkan bahwa ilmu ushul fiqh, walaupun belum dikodifikasi, sudah menyatu dalam
diri para sahabat. Ketika Ibnu Mas’ud, seorang ahli hukum di kalangan sahabat,
berpandangan bahwa perempuan hamil yang suaminya meninggal, masa iddahnya berakhir
setelah ia melahirkan. Istinbath tersebut berdasarkan ayat: “Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (at-Thalaq:
4). Ia berdalil bahwa surat at-Thalaq tersebut diturunkan setelah surat al-Baqarah ayat 234,
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.” Istidlal (caranya
berdalil) tersebut mengisyaratkan sebuah qaidah ushul, “sesungguhnya nash yang datangnya
kemudian menghapus nash yang datangnya terdahulu”. “”إن النص الالحق ينسخ النص السابق.
menyimpulkan bahwa Ushul Fiqh senantiasa menyertai Fiqh sejak awal pertumbuhan Fiqh.
Bahkan Ushul Fiqh muncul sebelum tumbuhnya Fiqh, karena Ushul Fiqh merupakan aturan-
aturan beristinbath dan timbangan-timbangan pemikiran. Hanya saja pada waktu itu belum
ada kebutuhan untuk mengkodifikasikan rumusan-rumusan tersebut.
Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam, beliau adalah sumber rujukan dan penjelas
hukum. Setelah beliau wafat, muncullah permasalahan-permasalahan yang mesti diijtihadi
berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hanya saja para ahli hukum di kalangan sahabat tidak
merasa perlu untuk membicarakan qaidah-qaidah ijtihad dan cara-cara beristidlal dan
beristinbath. Karena mereka mengetahui bahasa arab beserta uslubnya dengan baik, juga
mereka mengetahui aspek penunjukan lafazh terhadap maknanya. Selain itu, mereka
menguasai rahasia-rahasia tasyri’ dan sebab turunnya ayat dan hadits.
Beliau memaparkan siapa yang memprakasai pertama kali pengkodifikasian ilmu ini. Adalah
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (pada abad ke 2 h), dengan kitabnya yang dinamakan ar-
Risalah. Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang al-Qur’an dan penjelasan hukum-hukumnya,
kaitan sunnah dengan al-Qur’an, ijma’, qiyas, nasikh dan mansukh, amar dan nahyi,
berhujjah dengan hadits ahad, dan lain sebagainya yang merupakan bahasan Ushul Fiqh.
Imam asy-Syafi’I menulis kitab ar-Risalah ini secara detail dan mendalam. ia senantiasa
menyebutkan dalil atas pandangan-pandangannya, serta mendiskusikan perbedaan-perbedaan
pendapat secara ilmiah. Setelah Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab
Thā’atu ‘r-Rasūl. Kemudian setelah itu banyaklah penulisan tentang ilmu ushul fiqh.
PERIODE RASULULLAH
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah.
Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya
memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan
wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada
Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman.
Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
1. Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada
tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh
para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada
masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak
pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.
Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti
yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in adalah sesuatu yang
dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk
mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu
dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka
belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih,
namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa).
Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah : 236).
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada
masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para
ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga
antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk
yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-
orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu
membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam
tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-
kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash
tersebut.
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur, khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H), Al-
Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka
inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan
Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para
ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam
ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil
Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud”.
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya
pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan
dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjihkanya, maka
datanglah As-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang
dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung
pada Asy-Syafi’i karena As-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.(Ahmad
Amin, II : 227-229)
Selain kitab Ar-Risalah, pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya.
Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, Ijtihad Ar-
ra’yu, Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan
sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya
kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-
permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam
Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya
mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik
telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika
ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari
Rasullulah pada saat yang sama, Imam Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berprinsip
bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja. (Rahmat Syafi’I, 1998: 30-32)
2. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad (4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty Abbasiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan
semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq
berhenti pada abad ini. Mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap
eksistensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan
adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan perpindahan
madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid,
karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya dengan melakukan usaha antara
lain:
1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka
disebut ulama takhrij
2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi
riwayat dan dirayah.
3. Setiap golongan mendukung madzhabnya sendiri dan mentarjihkanya dalam berbagai
masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab al-khilaf, yang didalamnya diungkapkan
masalah-masalah yang diperselisihkan dan mentarjihkan pendapat atau pendirian
madzhab yang dianutnya.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya
dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada,
mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan
meringkasnya.
2. Menghimpun masalah-masalah furu’ yang sekian banyaknya dalam uaraian yang
singkat.
3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh
dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan
mentarjihkanya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
(Rahmat Syafi’I, 1998: 32-35)
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara
kitab yang terekenal adalah:
1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
2. Kitab Al–Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-
Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud
Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H
yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak
sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang
membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
Abu Bakar ar-Razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh
pada awal abad 4 H ini.
Dalam abad 4 H ini pula mulai juga tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi
berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah
kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-
Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al
Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain.
Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di
kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul
fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah
sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya
pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode
penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab
standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab
ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih,
yakni aliran Hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.
Pada masa awal-awal penulisan buku ushul fikih, seperti pada zaman Imam Syafii dan masa-
masa setelahnya, ilmu mantik atau yang lebih dikenal dengan logika Aristetolian tidak
nampak dalam kajian ilmu ushul fikih. Demikian juga dengan ilmu kalam, sama sekali tidak
nampak. Bahkan imam Syafii sendiri cenderung tidak sependapat dengan para ulama kalam.
Ushul fikih masih kajian yang sifatnya teoritis, namun masih belum ada unsur kalam di
dalamnya.
Dalam perjalanan waktu, perkembangan kalam luar biasa besar. Kalam ini bukan saja sebagai
cabang keilmuan Islam, namun juga masuk dalam ranah politik dan sosial budaya. Kalam
sudah menjadi ideologi bagi setiap golongan untuk mempertahankan eksistensinya di tengah
masyarakat. Pada akhirnya, ideologi kalam merasuk ke berbagai keilmuan Islam, termasuk di
dalamnya ilmu ushul fikih, khususnya ushul fikih yang beraliran Syafiiyah. Oleh karena itu,
ushul fikih Syafii ini sering juga disebut dengan ushul fikih kalam.
Dalam ushul fikih kalam, kajian kalam ini sangat kental. Ini bisa dilihat dalam kitab al-
Mu’tamad karya Husain Al-Basri yang beraliran Muktazilah dengan al-Mustasfa karya Imam
Ghazali yang beraliran Asyariyah. Kedua ushul fikih ini benar-benar menyatu dengan
bahasan kalam. Bahkan kalam menjadi kajian tak terpisahkan dari ilmu ushul fikih. Kalam
ini masuk sampai pada sisi terpenting dalam ushul fikih, yaitu terkait bahasan semantik yang
menghasilkan berbagai kaedah ushuliyah lughawiyah. Tentu bukanhanya dua buku itu. Masih
banyak buku-buku ushul fikih lainnya yang terpengaruh terhadap bahasan kalam ini.
Ilmu kalam pada walnya menggunakan kiyas ghaib ala syahid untuk mendukung berbagai
argumentasi mereka. Lalu kalam banyak bersentuhan dengan filsafat dan bahkan kalam ini
bertempur dengan filsafat. Pergulatan hebat antara kalam dengan filsafat ini, secara langsung
mempengaruhi cara berfikirnya ulama kalam. Sebelumnya tidak terpikirkan bagi ulama
kalam untuk menggunakan kiyas Aristetolian. Namun para filsuf selalu menggunakan logika
Aresto sebagai alat penguat atas argumentasi mereka. Dari sisi maka ulama kalam pun pada
akhirnya menggunakan ilmu mantik atau logika Aristetolian sebagai piranti mereka untuk
menghadapi para filsuf. Bahkan para mutakallimun menjadikan logika Aristetolian sebagai
mukadimah dalam bahasa ilmu kalam. Ini secara jelas bisa kita lihat dalam kitab Al-Ibkar Fi
Ushuluddin karya Imam Al-Amidi. Mukadimah buku tersebut didahului dengan bahasan
yang cukup mendetail terkait dengan ilmu logika Aristetolian ini.
Ternyata, logika kalam ini juga berpengaruh kedalam ilmu ushul fikih. Sebelumnya tidak
terpikirkan bagi para ulama ushul untuk menggunakan logika Aresto sebagai bagian dari ilmu
ushul fikih. Namun karena ulama kalam menggunakan logika Aresto, dan ilmu ushul fikih
juga sudah terpengaruh dengan aliran kalam, maka logika Aresto juga dijadikan sebagai
mukadimah dalam ilmu ushul fikih. Tujuannya tidak lain adalah sebagai alat bantu dalam
mendukung berbagai argumentasi kalam mereka, meski dalam koridor ilmu ushul fikih. Ini
bisa dilihat secara jelas dalam kitab al-Mustasfa fi Ilmil Ushul karya Imam Ghazali di mana
mukadimah buku tersebut memberikan keterangan mendetail mengenai ilmu logika
Aristetolian.
Logika Aresto ini, menemui puncaknya dalam ilmu ushul fikih karya Ibnu Hazm Azh-
Zhahiri. Jika Ghazali sekadar menjadikan logika Aristetolian sebagai mukadimah buku saja
dan sebagai penguat argumen dalam berdebat terkait ilmu ushul fikih kalam, maka Ibnu
Hazm menjadikan logika Aristetolian ini sebagai piranti penting untuk merumuskan berbagai
kaedah ushuliyah. Kitab al-Ihkam fi Ushulil Ahkam merupakan kitab ushul fikih yang sangat
kental dengan logika Aristetolian ini. Tidak hanya itu, Ibnu Hazm juga menulis buku lain
terkait kaedah ushuliyah yang dirumuskan dari logika Aristetolian dan penerapannya dalam
ilmu fikih. Buku itu adalah “Attaqrib lihaddil Mantiq Wal Madkhal Ilaihi Bil Alfaz Al-
Ammiyyah Wal Amtsilah Al-Fiqhiyyah”.
Inilah perjalanan panjang pengaruh logika Aristetolian dalam ilmu ushul fikih. Dari sini,
maka belajar ilmu ushul fikih dituntut juga untuk bisa menguasai logika Aresto dan juga ilmu
kalam. Memang dalam ushul fikih modern sudah ada pemisahan yang jelas antara kalam,
ushul fikih dan ilmu mantiq. Hanya saja, kitab turas Islam sudah terlanjut tertulis dengan
gaya kalam dengan dipadu oleh logika Aresto. Sementara itu, dalam mengkaji ilmu ushul
fikih, mau tidak mau kita harus membuka kitab-kitab turas. Jika demikian, maka menjadi
kebutuhan mutlak bagi seorang ushuli yang ingin mendalami ushul fikih klasik agar
menguasai ilmu kalam dan mantik Aresto. Wallahu A’lam
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam
al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas
adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori
pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula
muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa
karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul)
karya Ibnu Hajib.
Aliran ini berusaha menjadikan ushul Fikih sebagai teori yang independen,yang dapat
diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak terfokus pada masalah fiqh saja.Tokoh dari
aliran ini antara lain : Syafi’iyah,Malikiyah,Hanabilah,dan Jumhur mutakallimin.
2. ALIRAN HANAFIYAH
Aliran ini juga disebut aliran fuqaha.Aliran ini disebut dengan fuqaha karena aliran ini
dalam membangun teori ushul fikihnya hanya dipengaruhioleh masalah furu’ dalam mazhab
mereka. Metode ini dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikemukakan oleh ulama
hanifah.Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra’ (induksi),terhadap
pendapat – pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan –
batasan yang mereka gunakan.
Para ulama dalam aliran ini,dalam pembahasannya berangkat dari hukum – hukum furu’
yang diterima dari imam – imam (madhzab) mereka ,yakni dalam menetapkan ka’idah selalu
berdasarkan kepada hukum – hukum furu’ yang diterima dari imam – imam mereka.Jika
terdapat ka’idah yang bertentangan dengan hukum – hukum furu’yang diterima dari imam –
imam mereka.Maka ka’idah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan denganhukum –
hukum furu’ tersebut.Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara
ka’idah dengan hukum furu’ yang diterima dari imam – imam mereka.1[10]
Adapun Ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul adalah :
1. Persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat
kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah
dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.
2. Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang
menuntut pemecahan hukum yang lain.
3. ALIRAN MUTA’AKHIRIN
Metode ini merupakan gabungan antara Metode Mutakallimin dan metode fuqaha.Metode
yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran tersebut.Mereka memerhatikan
kaidah – kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil – dalil atas kaidah ini juga memerhatikan
penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan relevansinya dengan kaidah – kaidah
tersebut.
Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah
dan Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut
sebagai aliran muta’akhirin.
Tulisan kali ini merujuk ke muqaddimah kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh
Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Mengawali pemaparan, Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili
menjelaskan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar madzhab fiqih maupun ikhtilaf yang
terjadi antar ulama dalam satu madzhab bukanlah sesuatu yang tercela, selama perbedaan
tersebut tidak pada bagian pokok agama dan keyakinan. Selama dalam perkara furu’i dan
ijtihadi, perbedaan pendapat tersebut malah merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat
serta merupakan bagian dari kekayaan tasyri’i pada umat ini.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha ini juga tidak menunjukkan adanya
pertentangan dalam syari’at, melainkan ini terjadi karena kelemahan manusia dalam
memahami syari’at. Dan demi menghilangkan kesempitan (haraj), maka kita dibolehkan
beramal dengan salah satu pendapat fuqaha yang ada.
Menurut Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili, ada beberapa hal terpenting yang menjadi penyebab
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu:
Hal ini terjadi pada lafazh yang mujmal, musytarak, atau lafazh yang diragukan termasuk
lafazh yang ‘amm atau khashsh, haqiqah atau majaz, haqiqah atau ’urf, muthlaq atau
muqayyad. Bisa juga disebabkan perbedaan pendapat dalam i’rab, atau perbedaan dalam
memahami kata yang memiliki beragam makna, baik dalam bentuk mufrad maupun
murakkab.
Sebagai contoh adalah perbedaan memahami makna القرء, apakah ia berarti suci dari haid,
atau sebaliknya artinya adalah haid.
Misalnya suatu hadits sampai riwayatnya kepada salah seorang fuqaha, sedangkan kepada
fuqaha yang lain tidak sampai. Atau sampai kepada seorang fuqaha melalui jalan yang dha’if
dan tidak bisa dijadikan hujjah, sedangkan kepada fuqaha yang lain sampai melalui jalan
yang shahih, dan lain-lain.
Ada beberapa dalil yang diperselisihkan oleh fuqaha kebolehannya digunakan sebagai hujjah,
seperti istihsan, mashalih mursalah, qaulush shahabi, istishhab, dan lain-lain. Sangat terbuka
peluang terjadi perbedaan pendapat fiqih, misalnya, antara yang menggunakan mashalih
mursalah sebagai dalil dengan fuqaha yang tidak menggunakannya.
Seperti kaidah ‘amm yang dikhususkan tidak menjadi hujjah, mafhum tidak menjadi hujjah,
dan semisalnya.
Misalnya tentang syarat-syarat dan jalan-jalan‘illat, ini membuka peluang yang besar
terjadinya perbedaan pendapat. Menurut Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili, perbedaan dalam
menggunakan qiyas ini merupakan penyebab paling banyak terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan fuqaha.
6. Pertentangan (ta’arudh) dan pemilihan (tarjih) di antara dalil-dalil
Perbedaan pendapat di kalangan fuqaha juga banyak terjadi karena hal ini, dan bahkan
melahirkan perdebatan di antara mereka. Pertentangan bisa terjadi antar nash, atau antar
qiyas. Misalnya terjadi pertentangan dalam sunnah, apakah yang diterima qaul, fi’l, atau
taqrir. Perbedaan pendapat juga bisa terjadi dalam memahami sifat tindakan Rasul, apakah
merupakan bagian dari strategi atau fatwa. Dan banyak yang lainnya
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda. Masing-masing
aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang
terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah Aliran Syafi’iyah (Aliran
Mutakallimin) dan Aliran Hanafiyah dan Aliran Muta’akhirin.
Dalam menyusun ushul fiqih, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung oleh
alasan yang kuat, baik berasal dari dari dalil naqli(al-qur’an dan sunnah) maupun dalil akli
(akal pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada penyesuaian
dengan furu’. Adakalanya kaidah-kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka menguatkan
furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’ mazhab
mereka.
Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-
masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, baik dalil aqli maupun naqli. Sebaghai akibat dari perhatian yang terlalu
difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan
praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominant, seperti penentuan
tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak).
Dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan
tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang
berkaitan pula dengan masalah aqidah.selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap
masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah SAW.
anut. Oleh sebab itu, sebelum menyusun setiap teori dalam ushul fiqih, mereka terlebih
dahaulu melakukan analisis mendalam terhadap hukum furu’ yang ada dalam mazhab
mereka. System yang digunakan aliran ini dapat dipahami karena ushul fiqih baru
dirumuskan oleh pengikut mazhab hanafi, setelah Abu Hanifah pendiri mazhab ini
meninggal.
Diantara ciri khas aliran hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka
semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan ushul fiqih mereka telah terlebih
dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Ini tentu
berbeda dengan aliran syafi’iyah atau mutakallimin yang tidak berpedoman kepada hukum
furu’ dalam menyusun ushul fiqih mereka. Konsekwensinya, tidak jarang terjadi pertentangan
antara kaidah ushul fiqih Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadang kala kaidah yang
disusun aliran ini sulit diterapkan.
1. Aliran Muta’akhirin
Aliran yang menggabungkan kedua system yng dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh
aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Ulama’-ulama’ muta’akhirin
melakukan tahqiq terahadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut.
Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan
pada furu’ fiqhiyyah.
Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan
Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut
sebagai aliran muta’akhirin Dan perkembangan terakhir penyesuaian kitab ushul fiqih,
tampak lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran muta’akhirin..
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah dan perkembangan Ushul Fiqih sangat beragam, diatas pemakalah menyajikan secara
umum, mulai dari Masa Rasululloh saw, sahabat, tabi’in, imam mujtahid. Cikal bakal Ushul
fiqih sudah ada sejak rosululloh saw tetapi belum dibukukan, dan rosululloh tidak melarang
untuk mempelajari ilmu yang akan menjadi nama ushul fiqih. Pada suatu saat Muadz bin
Jabbal akan menjadi Gubuernusr di Yaman oleh raslulloh ditanya tentang bagaimana cara
pengambilan hukum, beliau menjawab dengan AL-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad akal. Pada
masa sahabat ushul fiqih masih tersirat. Pada Masa imam Mujtahid Ushul Fiqih mulai
populer dengan terbukukannya ilmu Ushul Fiqih Oleh Imam Syafi’i dengan bukunya “Ar-
Risalah”.
Perkembangan Ushul fiqih dibedakan dengan tiga masa, pertama bad ke -3H dimana saat itu
permulaan Ushul fiqih mulai dibukukan. Pada masa ke dua abad ke-4 mulai perkembangan
ilmu fiqih ke lebih baik terbukti dengan banyaknya pembukuan ilmu ushul fiqih diantaranya
Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal
Dalaham Al-Kharkhi. Pada abad ke 5&6 H penyempurnaan ilmu ushul fiqih karya imam Al
Ghazali kitab al-Mustashfa min ilmi Ushul oleh imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali al-Syafi’i.
Aliran aliran dalam ushul fiqih dibedakan menjadi tiga, diantaranya aliran syafi’iyah
(Mutakallimin), Aliran Hanafiyah (Fuqaha), Aliran Muta’akhirin.
Penyusun menyadari bahwa makalah masih jauh dari kata sempurna maka dengan itu kami
penyusun makalah mohon kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini dan untuk
kemanfaatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra Muhammad.2017, Ushul Fiqih. Jakarta: PT.Pustaka Firdaus.
Amalia, Fatma dkk. 2005. Fiqh & Ushul Fiqh.Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.
Syafi’I,Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: cv pustaka setia bandung