Anda di halaman 1dari 8

Kodifikasi Ushul Fiqih

1. a. PERIODE RASULULLAH
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah.
Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya
memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan
wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).

Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada
Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman.
Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:

‫أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأ‬


‫أأأأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأ أأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأ أأأ أأأأأأ أأأأ أأأأأأ أأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأ‬
‫أأأ أأأأأأ أأأأ أأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأأ أأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأ أأأأأأ‬
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi
bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia
menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau
tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan
Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).

1. Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada
tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh
para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada
masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak
pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.

Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti
yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in adalah sesuatu yang
dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk
mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu
dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka
belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih,
namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa).
Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali
menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan
belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

‫أأأأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأأأ أأ‬


‫أأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأ أأأأأأأأأأأأأ أأأأ أأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأأأأأأأأأأ أأأأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأ أأأأأأأأ أأأأأأأأأأأ أأأأأأأ‬
‫أأأأأأأأأأأأأأ أأأأأ أأأأأأ أأأأأأأأأأأأأأ‬
Artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah : 236).

1. c. PERIODE TABI’IN DAN IMAM MAZHAB


Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III H wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-
daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang
tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada
masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.

Dalam pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para
ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga
antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk
yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-
orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu
membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam
tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-
kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash
tersebut.

1. Periode Imam Mujtahid sebelum Imam Syafii


Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah
banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-
Nu’man (80-150H). pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbatnya yaitu : Kitabullah,
sunah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in,
qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179H). pendiri mazhab Maliki.
Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah, beliau juga banyak mengistinbatkan
hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah. Pada masa ini, Abu hanifah dan Imam Malik
tidak meningalkan buku ushul fiqh.

2.2 Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih


secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:

1. a. Tahap awal (abad 3H)


Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H), Al-
Mu’tashim(w.227H), Al-Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka
inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Ar-
rasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.

Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan Imam As-Syafi’i. Kitab ini dinilai
oleh para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i
dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-
Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.
Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya
pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan
dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka
datanglah Al-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang
dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’I, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung
pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.

Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa
Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu.
Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya
kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-
permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam
Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya
mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik
telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al-Muwatha. Ketika
ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari
Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip
bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.
1. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan
semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah
itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.

Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq
berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas,
terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya,
apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya
kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab
sewaktu-waktu.

Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara
lain:

 Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka
disebut ulama takhrij
 Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat
dan dirayah.
 Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu
kitab al-khilaf.
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya
dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:

 Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka
cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan
meringkasnya.
 Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang
sungkat
 Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh
dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan
menta’rijhkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.

Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan
terekenal adalah:

1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
1. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-
Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu
Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-
sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas
hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan
tertentu dalam masalah itu.

Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan
ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang
bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
1. c. Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi
berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah
kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.

Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi,
abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam
Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah
pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari
mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak
ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman
itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk
ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.

Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode
penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar
dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada
zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing
madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal
dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.

2.3 Aliran-aliran dalam ushul fiqih

Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda. Masing-masing
aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang
terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah Aliran Syafi’iyah (Aliran
Mutakallimin) dan Aliran Hanafiyah dan Aliran Muta’akhirin.

1. Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin)


Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini
disebut syafi’iyah karena imam syafi’I adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih
dengan menggunakan system ini. Dan aliran ini disebut aliran mutakallimin karena dalam
metode pembahasannya didasarkan pada nazari,falsafah dan mantiq serta tidak terikat pada
mazhab tertentu dan mereka yang banyak memakai metode ini berasal dari ulama’
mutakallimin (ahli kalam).

Dalam menyusun ushul fiqih, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung oleh
alasan yang kuat, baik berasal dari dari dalil naqli(al-qur’an dan sunnah) maupun dalil akli
(akal pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada penyesuaian
dengan furu’. Adakalanya kaidah-kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka menguatkan
furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’ mazhab
mereka.

Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-
masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, baik dalil aqli maupun naqli. Sebaghai akibat dari perhatian yang terlalu
difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan
praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominant, seperti penentuan
tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak).
Dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan
tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang
berkaitan pula dengan masalah aqidah.selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap
masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah SAW.

1. Aliran Hanafiyah (Fuqaha)


Aliran ini banyak dianut oleh ulama’ mazhab hanafi. Dalam menyusun ushul fiqih, aliran ini
banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
Tegasnya, mereka menyusun ushul fiqih sengaja untuk memperkuat mazhab yang mereka
anut. Oleh sebab itu, sebelum menyusun setiap teori dalam ushul fiqih, mereka terlebih
dahaulu melakukan analisis mendalam terhadap hukum furu’ yang ada dalam mazhab
mereka. System yang digunakan aliran ini dapat dipahami karena ushul fiqih baru
dirumuskan oleh pengikut mazhab hanafi, setelah Abu Hanifah pendiri mazhab ini
meninggal.

Diantara ciri khas aliran hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka
semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan ushul fiqih mereka telah terlebih
dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Ini tentu
berbeda dengan aliran syafi’iyah atau mutakallimin yang tidak berpedoman kepada hukum
furu’ dalam menyusun ushul fiqih mereka. Konsekwensinya, tidak jarang terjadi pertentangan
antara kaidah ushul fiqih Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadang kala kaidah yang
disusun aliran ini sulit diterapkan.

1. Aliran Muta’akhirin
Aliran yang menggabungkan kedua system yng dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh
aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Ulama’-ulama’ muta’akhirin
melakukan tahqiq terahadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut.
Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan
pada furu’ fiqhiyyah.
Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan
Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut
sebagai aliran muta’akhirin Dan perkembangan terakhir penyesuaian kitab ushul fiqih,
tampak lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran muta’akhirin..

2. Karya-Karya Ushul Fiqih


3. Kitab ushul fiqih yang disusun mengikuti aliran Syafi’iayah diantaranya ialah :
4. kitab al-Mu’tamadoleh Abi Husain Muhammad bin ali al-Basri al-Mu’tazili (w.463 H).
5. kitab al-Burhan fi Ushu al-Fiqholeh Abi al-Ma’aly Abd. Malik bin Abdillah al-Juwaini
al-Naisaiburi al-Syafi’I (w. 487 H).
6. kitab al-Mustashfa min ilmi Ushuloleh imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali al-Syafi’I (w.505 H).
7. Kitab ushul fiqih yang disusun mengikuti aliran Hanafiyyah diantaranya ialah :
8. kitab Ushul oleh Abi al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H)
9. kitab Ushul al-Jashshash oleh Abi Bakar Ahmad Ali al-Jashshash (w. 370 H)
10. kitab Ta’sis al-Nazar oleh Abi Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
11. kitab Tahmid al-Fushul fi al- Wushul oleh Syamsu al-Aimah Muhammad bin Ahmad
al-Sarakhsi (w. 483 H)
12. Kitab ushul fiqih yang disusun mengikuti aliran Muta’akhirin diantaranya ialah :
13. kitab al-jam’u al jawami’ oleh Taju al-Din abd Wahab bin Ali al-Subki al-Syafi’I (w.
771 H).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Sejarah dan perkembangan Ushul Fiqih sangat beragam, diatas pemakalah menyajikan secara
umum, mulai dari Masa Rasululloh saw, sahabat, tabi’in, imam mujtahid. Cikal bakal Ushul
fiqih sudah ada sejak rosululloh saw tetapi belum dibukukan, dan rosululloh tidak melarang
untuk mempelajari ilmu yang akan menjadi nama ushul fiqih. Pada suatu saat Muadz bin
Jabbal akan menjadi Gubuernusr di Yaman oleh raslulloh ditanya tentang bagaimana cara
pengambilan hukum, beliau menjawab dengan AL-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad akal. Pada
masa sahabat ushul fiqih masih tersirat. Pada Masa imam Mujtahid Ushul Fiqih mulai
populer dengan terbukukannya ilmu Ushul Fiqih Oleh Imam Syafi’i dengan bukunya “Ar-
Risalah”.

Perkembangan Ushul fiqih dibedakan dengan tiga masa, pertama bad ke -3H dimana saat itu
permulaan Ushul fiqih mulai dibukukan. Pada masa ke dua abad ke-4 mulai perkembangan
ilmu fiqih ke lebih baik terbukti dengan banyaknya pembukuan ilmu ushul fiqih diantaranya
Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal
Dalaham Al-Kharkhi. Pada abad ke 5&6 H penyempurnaan ilmu ushul fiqih karya imam Al
Ghazali kitab al-Mustashfa min ilmi Ushul oleh imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali al-Syafi’i.
Aliran aliran dalam ushul fiqih dibedakan menjadi tiga, diantaranya aliran syafi’iyah
(Mutakallimin), Aliran Hanafiyah (Fuqaha), Aliran Muta’akhirin.

3.2 Kritik dan Saran


Penyusun menyadari bahwa makalah masih jauh dari kata sempurna maka dengan itu kami
penyusun makalah mohon kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini dan untuk
kemanfaatan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra Muhammad.2017, Ushul Fiqih. Jakarta: PT.Pustaka Firdaus.
Amalia, Fatma dkk. 2005. Fiqh & Ushul Fiqh.Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.
Syafi’I,Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: cv pustaka setia bandung

Anda mungkin juga menyukai