Anda di halaman 1dari 12

TARIKH TASYRI ZAMAN RASULULLAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah: Tarikh Tasyri

Dosen pengampu : Mahsun

Disusun oleh:

Youla Afifah Azkarrula (1802046002)


Miftahul Falah (1802046031)
Leli Nurlitasari (1802046091)
Hesti Suci Cahyani (1802046093)

JURUSAN ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap tempat dimana pun pastilah memiliki suatu aturan yang mana
disebut sebagai hukum. Hukum digunakan untuk mengatur masyarakat agar
menjadi suatu tatanan yang sesuai dengan yang diharapkan, membuat masyarakat
menjadi tentram dengan memenuhi segala hak dan kewajibannya.

Selain itu, setiap kepercayaan pun memiliki hukum yang berbeda. Salah
satunya adalah agama islam. Agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW pertama kali diturunkan di Makkah.Dalam mempelajari sejarah tentang
pembuatan hukum dalam islam, perlu kita ketahui siapa pemegang wewenang
hukum pada awalnya. Karena pada setiap masa atau era pastilah ada yang
memegang wewenang hukum ini. Selain itu, kita juga harus tahu bagaimana
hukum yang dibuat itu berlaku di setiap era.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja dasar-dasar dari tasyri' ?


2. Siapa yang memegang wewenang tasyri' pada masa Rasulullah?
3. Bagaimana Ijtihad pada masa ini?
4.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Dasar-Dasar Tasyri’

Dasar tasyri’ periode pertama ada tiga, yaitu Alqur’an, sunnah, dan ijtihad.
Segala permasalahan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW. selalu merujuk
kepada al-Qur’an. Begitu pula dalam memutuskan hukum, juga ditetapkan
melalui al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau.

Jika ada persoalan atau pertanyaandari seorang sahabat, beliau pun


menjawabnya dengan al-Qur’an. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an
yang dimulai dengan kata yas’alunaka (mereka bertanya kepada engkau, hai
Muhammad). Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi sering menunggu
turunnya ayat al-Qur’an untuk menjawab persoalan. Jika tidak ada ayat yang
turun, beliau berijtihad berdasarkan apa yang dipahami berdasarkan wahyu.
Misalnya ketika seorang wanita dari Juhainah bertanya kepada Rasulullah,
“Sesungguhnya ibuku nazar berhaji, tetapi belum melaksanakannya kemudian
meninggal dunia. Apakah saya hajikan ia?” Rasulullah bersabda:

‫ق بِ ْال َوفَا ِء‬ َ ُ‫ضيَةً ا ْقضُوا هللاَ فَاهللا‬


ُّ ‫اح‬ ِ ‫ِّي َع ْنهَا ا َراَ ْيتِ ْي لَوْ َكانَ َعلَى اُ ِّم‬
ِ ‫ك َدي ٌْن اَ ُك ْن‬
ِ ‫ت قَا‬ ْ ‫نَ َع ْم ُحج‬

Ya, hajikan ia. Bagaimana pendapatmu jika ibumu punya utang? Apakah kamu
bayarkan utangnya?laksanakan hak Allah, Allah lebih berhakuntuk dilunasi (HR.
Al-Bukhari)

Pada hadist diatas, Nabi meng-qiyaskan haji dengan utang yang


pelaksanaannya boleh diwakili oleh anaknya, karena si ibu sudah meninggal
dunia.Ijtihad Rasulullah dalam penetapan hukum terbimbing dengan wahyu baik
sebelum dihadapkan persoalan maupun setelah dihadapkan persoalan. Berikut
adalah hal-hal yang dilakukan Nabi berkenaan dengan ijtihad dilakukan:

1. Jika dihadapkan suatu masalah, Nabi menunggu wahyu.


2. Jika wahyu tidak datang, Nabi berijtihad dengan berpedoman ruh syariat,
kemaslahatan, atau permusyawaratan.

3
3. Nabi adalah satu-satunya yang menjadi sumber hukum, karena segala
persoalan dikembalikan kepada beliau.
4. Secara langsung, Nabi adalah pembuat hukum. Akan tetapi secara tidak
langsung, Allah adalah pembuat hukum.
5. Nabi bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum.

Hasil ijtihad beliau itu disebut dengan sunnah. Namun, sunnah tidak hanya
sebatas itu. Segala tindakan dan perilaku beliau juga disebut sunnah yang
merupakan penjelasan makna kandungan al-Qur’an.

Rasulullah bersabda:

‫َاب هَّللا ِ َو ُسنَّةَ نَبِيِّ ِه‬


َ ‫ضلُّوْ ا َما تَ َم َس ْكتُ ْم بِه َما ِكت‬ ُ ‫تَ َر ْك‬
ِ َ‫ت فِ ْي ُك ْم اَ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت‬

Aku tinggalkan untukmu dua perkara. Niscaya kamu tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah Nabi-
Nya. (HR. Malik)

Al-Qur’an dan sunnah dijadikan pedoman sekaligus sumber hukum. Jika tidak
ayat yang turun kepada Nabi untuk menjawabmasalah yang timbul, maka beliau
berijtihad.

2. Pemegang Wewenang Tasyri’

Pada zaman ini, hanya Rasulullah seorang yang memegang wewenang


tasyri’. Segala permasalahan yang timbul akan segera ditanyakan dan
dikonsultasikan kepada Rasulullah. Setelah itu, beliau menjawab, memutuskan
perkara maupun berfatwa saat itu juga ataupun nantinya. Jawaban beliau
adakalanya menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau hasil ijtihad yang mendapat
ilham dari Allah. Semua itu dijadikan tasyri’ bagi kaum muslimin dan merupakan
perUndang-Undangan yang wajijb dipatuhi.

Walaupun ada sebagian sahabat yang memutuskan suatu perkara dengan


berijtihad atau istinbath hukum suatu perkara dengan ijtihadnya, pemegang
wewenang tasyri’ tetaplah Rasulullah. Selain itu, Rasulullah juga terkadang tidak
langsung menjawab suatu perkara yang diajukan oleh para sahabatnya dengan
mengatakan ya atau tidak, boleh atau tidak boleh, tertapi Rasulullah terkadang

4
memberikan suatu gambaran kepada sahabatnya agar sahabatnya dapat berpikir
mengenai penyelesaian hal tersebut dan hal ini disebut sebagai qiyas.

Terdapat beberapa kasus yang mana diselesaikan dengan berijtihad dan


ijtihad ini harus mendapatkan persetujuan dari Rasulullah :1

1. Ali bin Abi Thalib pernah diutus Rasulullah ke Yaman sebagai hakim.
Beliau bersabda, “Semoga Allah memberi hidayah di hatimu dan
menegaskan lisanmu. Jika duduk dua orang yang bertengkar di
hadapanmu, janganlah engkau putuskan sebelum mendapat keterangan
dari yang lain, sebagaimana engkau mendengar dari keterangan yang
pertama. Sesungguhnya yang demikian itu lebih berhati-hati dengan
keputusan.” (HR. Al-Baihaqi)
2. Muadz bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah ke Yaman, beliau
bertanya, “Dengan apa engkau putuskan, jika engkau dihadapkan suatu
maslaah yang tidak engkau dapatkan dalam kitab Allah dan Sunnah
Rasul?” Muadz menjawab, “Aku berijtihad dengan pendapatku.”
Beliau memujinya, “Segala puji bagi Allah yang memberi taufik
kepada utusan Rasulullah yang telah mendapat ridho dari Allah dan
Rasul-Nya.” (HARI. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi)
3. Pada suatu hari, terdapat dua orang sahabat yang sedang melakukan
safar dan menjadi musafir. Ketika itu waktu sholat telah tiba namun
tidak ada air. Mereka pun bertayamum dan mendirikan sholat. Setelah
itu ternyata mereka mendapatkan air dan masih dalam waktu sholat.
Salah satu dari mereka berijtihad untuk mengambil wudhu dan
mengulangi sholatnya. Sementara yang satunya tidak mengambil
wudhu dan tidak mengulangi sholatnya. (HR. Abu Dawud, Hakim dan
Al-Baihaqi)2
Dari contoh-contoh di atas tetap menunjukkan bahwa Rasulullah
lah yang memegang wewenang tasyri’. Walau hal di atas terjadi, ini
dikarenakan oleh beberapa alasan khusus seperti khawatir kehilangan

1
Abdul Majid Khon. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri'. Jakarta: AMAZAH. Hal 25-26.
2
Abdul Wahab Khallaf. 1974. Khulashah Tarikh Al Tasyri' Al Islam. Solo: Ramadhan. Hal 11-13.

5
kesempatan, sedang dalam perjalanan dan keputusan yang mereka
putuskan bukanlah tasyri’ melainkan sebatas pelaksanaan.

3. Sumber Hukum Masa Rasulullah

a. Al-Qur’an

Al-qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai


dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan
hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban
terhadap permintaan fatwa. Mulai dari malam 17 Ramadhan tahun ke-41 dari
kelairan Rasul.

Contoh kasus seperti larangan menikahi wanita musyrik. Diriwayatkan oleh


ibn al-Munzir,ibn Abi Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil. Ia mengatakan bahwa
ayat tentang larangan tersebut turun berkenaan dengan kasus ibn Abi Marsad al-
Ganawi yang meminta izin kepada nabi untuk menikahi wanita musyrikah yang
kaya lagi cantik,3maka turun ayat :

‫ت~ َح~ تَّ~ ٰ~ى~ يُ~ ْ~ؤ~ ِم~ َّن~ ۚ~ َو~ أَل َ~ َم~ ةٌ~ ُم~ ْ~ؤ~ ِم~ نَ~ ةٌ~ َخ~ ْي~ ٌر~ ِم~ ْ~ن~ ُم~ ْش~ ِر~ َك~ ٍة~ َ~و~ لَ~ ْ~و~ أَ~ ْع~ َج~ بَ~ ْت~ ُك~ ْم~ ۗ~ َو~ اَل‬ِ ~‫َ~و~ اَل تَ~ ْن~ ِك~ ُح~ و~ا~ ا~ ْل~ ُم~ ْش~ ِر~ َك~ ا‬
َ ~ِ‫ك~ َو~ لَ~ ْ~و~ أَ~ ْع~ َج~ بَ~ ُك~ ْم~ ۗ~ أُ~ و~ٰ~لَ~ ئ‬
~‫ك‬ ٍ ~‫تُ~ ْن~ ِك~ ُح~ و~ا~ ا~ ْل~ ُم~ ْش~ ِر~ ِك~ ي~ َ~ن~ َح~ تَّ~ ٰ~ى~ يُ~ ْ~ؤ~ ِم~ نُ~ و~ا~ ۚ~ َو~ لَ~ َع~ ْب~ ٌد~ ُم~ ْ~ؤ~ ِم~ ٌ~ن~ َخ~ ْي~ ٌر~ ِم~ ْ~ن~ ُم~ ْش~ ِر‬
ِ ~‫يَ~ ْد~ ُع~ و~ َ~ن~ إِ~ لَ~ ى~ ا~ل~نَّ~ ا~ ِر~ ۖ~ َو~ هَّللا ُ~ يَ~ ْد~ ُع~ و~ إِ~ لَ~ ى~ ا~ ْل~ َج~ نَّ~ ِة~ َو~ ا~ ْل~ َم~ ْغ~ فِ~ َر~ ِة~ بِ~ إِ~ ْذ~ نِ~ ِه~ ۖ~ َ~و~ يُ~ بَ~ ي~ِّ~ ُ~ن~ آ~يَ~ ا~تِ~ ِه~ لِ~ ل~نَّ~ ا‬
~‫س~ لَ~ َع~ لَّ~ هُ~ ْم‬
~‫يَ~ تَ~ َذ~ َّك~ ُر~ و~ن‬

Artinya :Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

3
As-Sawi mengatakan,ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah atau Huzaifah ibn
al-Yaman. Lihat Ajmad ibn Muhammad As-Sawi, Hasyiah as-Sawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, Juz.1
(Beriut:Sidqi Muhammad Jamil,1993),hlm.142. Dikutip dari buku Sejarah Hukum Islam karya
Bapak Mahsun.

6
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.Al-Baqarah : 221)

Pada dasarnya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli (umum),


demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang
bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. dan kadang-kadang
bersifat zanni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang
hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah
tentang bidangal-Ahwal Asyakhsiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan
warisan.

b. As-Sunnah

As-sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan


dalam Al-Qur’an. Seperti salat dijelaskan cara-caranya dalam As-Sunnah.
Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an. Ada pula hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan
prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.4

Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam


perbuatan dan/atau perkataan Rasulullah sendiri (hadis fi’li dan hadis qauli), atau
dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya (hadis taqriri) ketika
menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang
diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak
langsung menunjukan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut.

Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang


membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak
turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan
dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasik ijtihadnya

4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Kutub al-ilmiah,2008), hlm.29. Dikutip
dari buku karya Bapak Mahsun

7
salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti
ditunjukkan yang sebenarnya dengan diturunkannya wahyu.

Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (al-anfal :67) dan kasus
pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (at-taubah : 42-43).
Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi
ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa
dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.5

c. Ijitihad Pada Masa Rasulullah

Pada zaman Rasulullah pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah
dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong
para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering
bermusyawarah dengan para sahabatnya. Hanya saja ijtihad pada zaman
Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak
masalah-masalah yang dinyatakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab
dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu ijtihad para sahabat pun
apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam
kasus ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadas besar) yang kemudia
berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadas besarnya. Cara ini salah,
kemudia Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan
air cukup dengan tayamum.6

Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk


berijtihad memberikan hikmah yang besar karena memberikan contoh bagaimana
cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberikan latihan kepada para sahabat
bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum
Islam (para fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa

5
Abdurrahman Zaidi, al-Ijtihad bi tahqiq al-manat wa sultabihfi al-fiqh al-islami (Kairo:Dar al-
hadist,2005),hlm.92. Dikutip dari buku karya Bapak Mahsun.
6
Contoh diatas diambil sebagai kasus yang sudah banyak diketahui di kalangan pengkaji hukum
Islam. Tentang mungkin tidaknya ijtihad dilakukan pada masa Rasulullah setidaknya ada tiga
pendapat yaitu pertama,kelompok yang menolak secara mutlak. Kedua, menerima secara
mutlak. Ketiga, memilah-milah (tafsir). Lihat Abdurrahman Zaidi,al-ijtihad,hlm.85. Dikutip dari
buku karya Bapak Mahsun.

8
memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-
prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dapat disimpulkan bahwa pada zaman Rasulullah sumber hukum itu


adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijtihad Rasul. Keduanya diwariskan kepada
generasi sesudahnya dalam hadist dinyatakan, “Aku tinggalkan padamu dua hal,
kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduanya, yaitu kitabullah
dan sunnah nabi-Nya”.

Ulama berbeda pendapat tentang ijtihad yang dilakukan oleh nabi Ibn
Hazm,Ibn Taimiyah ,Ibn Khaldun dan al-Kamal ibn al-Hamam mengatakan
bahwa nabi melakukan ijtihad tentang urusan dunia (bukan ibadah mahdah).

4. Ijtihad Pada Masa Nabi

Pada masa nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih


(hukum islam) dikembalikan kepada rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa
sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari
beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan
hukum.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa ushul fiqh secara teori telah
digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu ushul fiqih belum
menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori usul fiqih adalah, jika terdapat
permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah
mencari jawaban keputusannya didalam al-Qur’an kemudian hadits. Jika dari
kedua sumber tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.

1. Masa Mekkah dan Madinah

Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad saw. Menjadi nabi dan
rasul sampai wafatnya, periode ini singkat, hanya sekitar 22 tahun dan beberapa
bulan. Tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan ilmu fiqh. Masa
Rasalullah saw inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari al-

9
Qur’an dan hadits. Mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat
dalam dalil-dalil kulii maupun yang tersirat dari semangat al-Qur’an dan hadits.

Periode Rasulullah saw ini dibagi 2 masa yaitu masa Mekkah dan
Madinah. Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki akidah, karena
akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi hidup. Oleh karena itu, dapat kita
pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai dakwahnya dengan mengubah
keyakinan masyarakat yang mampu musyrik menuju masyarakat yang berakidah
tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah.
Masa mekkah ini dimulai diangkatnya nabi Muhammad saw, menjadi rasul
sampai beliau hijrah ke Madinah yaitu dalam waktu kurang lebi 13 tahun.7

Di Madinah, tanah air baru bgi kaum muslimin, kaum muslimin bertambah
banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan-
persoalan baru yang membutuhkan cara pengaturan-pengaturan, baik dalam
hubungan antar individu muslim maupun dalam hubungannyadengan kelompok
lain dilingkungan masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani.
Oleh krena itu, di Madinah disyaratkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang
ilmu fiqh.8

7
Muhammad Al Khudhari Bik. 1980. Tarikh Al Tasyri' Al Islami. Semarang: Darul Ihya Indonesia.
Hal 16
8
Mahsun,sejarah hukum islam, hlm.47-49.

10
BAB III

KESIMPULAN

Dasar-dasar dari tasyri adalah sumber dari tasyri itu sendiri yang mana
pada zaman ini terdapat tiga dasar yakni Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijtihad Nabi.
Jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama
adalah mencari jawaban keputusannya didalam al-Qur’an kemudian hadits. Jika
dari kedua sumber tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.Dan dalam hal
ini, yang memegang wewenang penetapan hukum adalah Rasulullah sendiri
walaupun beliau juga melakukan ijtihad bersama para sahabatnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Majid Khon, Abdul. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri'. Jakarta: AMAZAH.

Wahab Khallaf, Abdul. 1974. Khulashah Tarikh Al Tasyri' Al Islam. Solo: Ramadhan.

Wahhab Khallaf, Abdul. 2008. Ilm Usul al-Fiqh .Beirut : Dar al-Kutub al-ilmiah.

Zaidi, Abdurrahman. 2005. al-Ijtihad bi tahqiq al-manat wa sultabihfi al-fiqh al-islami.


Kairo: Dar al-hadist.

Ibn Muhammad As-Sawi, Ajmad. 1993. Hasyiah as-Sawi ‘ala Tafsir al-Jalalain. Beriut:
Sidqi Muhammad Jamil. Juz 1.

Bik, Muhammad Al Khudhari. 1980. Tarikh Al Tasyri' Al Islami. Semarang: Darul Ihya
Indonesia.

Mahsun. 2015. Sejarah Hukum Islam. Semarang: CV Karya Abadi Jaya.

12

Anda mungkin juga menyukai