Anda di halaman 1dari 70

ETIKA BERDO’A DALAM PERSPEKTIF WAHBAH AL-ZUHAYLI

TERHADAP TAFSIR AL-WASITH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

MUHAMMAD AL-FARIZI

NIM: 0403193159

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2023

1
ABSTRAK

Penelitian yang berjudul “ETIKA BERDO’A DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF


WAHBAH AL-ZUHAYLI TERHADAP TAFSIR AL-WASITH” yang oleh Muhammad Al-
Farizi dengan NIM 0403193159. Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU).

Latar belakang penelitian ini ialah manusia merupakan makhluk yang lemah dan butuh
akan pertolongan Allah yang tidak bisa dipungkiri, maka dari itu Allah memerintahkan kepada
manusia untuk selalu memohon, meminta, dan bersungguh-sungguh dalam berdoa, dan ini
sebagai tanda penghambaan dan pengabdian kepada Allah. Dari itu Wahbah Az-Zuhaili dapat
kitabnya Al-Wasith merangkum beberapa firman Allah terkait tertang etika dalam berdoa agar
munajat yang ditujukan kepada Allah sampai sesaui ketentuan Allah itu sendiri. Tujuan dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui ayat-ayat tentang etika doa dalam pandangan Wahbah
Zuhaili, kontribusi Wahbah Zuhaili dalam penafsiran Al-Qur’an, pandangan mufassir tentang
penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Wasith terkait etika berdoa.

Metode penelitian yang digunakan adalah analitis deskriptif, yaitu sebuah metode
pembahasan dengan menganalisis data yang telah diuraikan secara tersusun dari yang umum
menuju pada sebuah kesimpulan yang khusus.

Dalam penelitian ini hasil yang disimpulkan ialah Wahbah Az-Zuhaili berpendapat doa
merupakan interaksi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya yang dalam bentuknya
doa tersebut adalah suatu ibadah. Ketika berdoa dianjurkan untuk ikhlas, hal tersebutlah yang
dikatakan adab atau etika saat berdoa.

Kata Kunci : Etika, Berdoa, Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Wasith

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt. Yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta atas izin-Nya juga, sehingga penulisan skripsi

dengan judul “ETIKA BERDO’A DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF WAHBAH AL-

ZUHAYLI TERHADAP TAFSIR AL-WASITH, sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam

Negeri Sumatera Utara.

Salawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw, sebagai suri teladan

sepanjang zaman, sosok pempinan yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kepemimpinan,

sosok yang mampu mengangkat derajat manusia dari lembah kemaksiatan menuju alam yang

mulia, yang dengannya manusia mampu berhijrah dari satu masa yang tidak mengenal peradaban

menuju kepada satu masa yang berperadaban.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa

adanya dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak selama penyusunan

skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Maraimbang, MA., selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri Sumatera

Utara.

2. Bapak Dr. Zulkarnaen, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi I atas segala bimbingan,

arahan serta saran yang diberikan kepada penulis sehinga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik.

3. Bapak Ryandi, M. Ud., selaku dosen pembimbing skripsi II atas segala bimbingan, arahan

serta saran yang diberikan kepada penulis sehinga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3
4. Seluruh staff pengajar Fakultas Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai selama penulis menempuh pendidikan di

Fakultas Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasehat, serta atas

kesabarannya yang luar biasa dalam setiap langkah hidup penus, yang merupakan anugerah

terbesar dalam hidup. Penulis berharap dapat menjadi anak yang dapat dibanggakan.

Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam menyusun dan menulis skripsi ini,

untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis

mengharapkan semoga penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi pengembangan dunia politik.

Medan, 31 Juli 2023

Muhammad Al-Farizi
Nim. 0403193159

4
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 5

E. Batasan Istilah 5

F. Kajian Terdahulu 6

G. Metode Penelitian 7

H. Sistematika Pembahasan 9

BAB II. WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN TAFSIR AL-WASITH

A. Biografi Wahbah Az-Zuhaili (1351-1434 H) 10

B. Perjalanan Intelektual Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) 11

C. Karya-karya Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) 15

D. Pemikiran Wahbah az-Zuhaili 19

BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA BERDOA DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Doa Menurut Bahasa dan Istilah 21

B. Terminologi Doa dalam Al-Qur’an 24

C. Adab Berdoa 24

D. Etika Doa 27

BAB IV. ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN


5
A. Etika Berdoa 29

B. Tata Cara Berdo’a Menurut Wahbah Az-Zuhaily Beserta Dalilnya……..34

C. Kontribusi Wahbah Az-Zuhaili dalam Menafsirkan Al-Qur’an 37

D. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dalam Pandangan Mufasir 38

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan 60

B. Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 63

6
7

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran merupakan sumber utama ajaran islam yang isinya terdapat

ajaran ajaran dan petunjuk-petunjuk tentang akidah, hukum dan ibadah yang

intinya Al-Qur’an mengandung petunjuk jalan hidup manusia menuju jalan

kebahagiaan dan kesejahteraan.1

Untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan maka diperlukan

usaha maksimal dan tetap menggantungkan hati kepada Allah dari setiap

yang diusahakan. Manusia pasti membutuhkan apa yang ada di sisi-Nya,

sedang Allah Maha Kaya tidak memerlukan mereka. Oleh karena itu, Allah

menitahkan kepada hambaNya untuk selalu berdoa. Allah SWT berfirman:

َ ‫ستَ ْكبِ ُر‬


‫ون عَنْ ِعبَا َدتِي‬ ْ َ‫ين ي‬ ْ ‫َوقَا َل َر ُّب ُك ُم ا ْدعُونِي َأ‬
َ ‫ست َِج ْب لَ ُك ْم ۚ ِإنَّ الَّ ِذ‬

‫ين‬ َ ُ‫سيَد ُْخل‬


َ ‫ون َج َهنَّ َم َدا ِخ ِر‬ َ
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan

Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan

diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina

dina" (QS. Al-Mu'min [40]: 60).

Dan Nabi saw bersabda: "Telah menceritakan kepada kami Abü Bakar

bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad keduanya berkata; telah

menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepacla kami Abu Al-

Malih AlMadani
1
Azyumardi Azra, Sejarah dan ulum al-Quran, cet. Ke-5, (Jakarta: Pustaka Pirdaus,
2013), h. 56.
8

dia berkata; saya mendengar Abu Shålih dari Abu Hurairah dia berkata;

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang tidak

berdo 'a kepada Allah subhaanahu, maka Allah akan murka kepadanya. "

(HR. Ibnu Majah).2

Ayat dan hadis Nabi saw di atas mengindikasikan bahwa, Allah sangat

senang bila hamba-Nya selalu meminta kepada-Nya dan Allah akan mencintai

mereka yang terus meminta kepada-Nya. serta mendekatkan diri kepada-

Nya.3

Manusia hidup sarat dengan persoalan, tidak sedikit orang bekerja

siang malam untuk mendapatkan penghasilan yang layak demi pemenuhan

strata status sosial yang terpandang.4 Akan tetapi, lebih mengherankan lagi

menurut Zakiyah Darajat, harapan dan doa dari dahulu bisa jadi hingga

sekarang masih dipandang sebagai suatu yang kurang penting, bahkan ada

yang memandangnya sebagai suatu kekolotan dan keterbelakangan.5

Al-Qur'an menawarkan obat terampuh yang merupakan musuh dari

bencana, menangkal dan mengatasi bencana, menghalangi turunnya dan

mengangkat bencana, juga dapat meringankan bencana saat bencana turun,

obat terampuh itu adalah doa. Pada dimensinya, Islam mengatur sedemikian

indah supaya doanya bisa terkabul, diantara aturan itu adalah dengan

memohon kepada Allah sambil merendahkan diri, khusyuk, dan berdoa maka

2
Muhammad bin Yazid bin Abu Abdullah al-Khuzwaini, Sunan Ibnu Mäjah, Juz. II,
(Beirut: Daarul Fiqr t. t), h. 424.
3
Tp., Tafsir Al-‘Usyr Al-Akhir: Hukum-Hukum Penting bagi Seorang Muslim, Cet. Ke- 4,
(ttp.: t.p., t.t.), h. 179.
4
Fitria Zulfa, "Resensi Buku 7 Mukjizat Finansial" Majalah Bisnis Indonesia Weekend, 6
Mei 2012, edisi Minggu, h. 32.
5
Zaqiah Daradjal, Doa: Menunjang Semangat Hidup, (Jakarta: CV Ruhama, 1996), h. 17.
9

Allah mengabulkan doa mereka.6 Mencermati kondisi yang sebegitu kerap

terjadi bencana dan musibah di Indonesia, tentunya ini menjadi suatu yang

naif untuk tidak peduli dan bertindak acuh tak acuh terhadap musibah dan

bencana tersebut. Oleh sebab itu, cara yang tepat selain menghindar dari

musibah itu adalah dengan mernohon perlindungan kepada Allah dengan cara

berdoa, yang dalam hal ini Rasulallah saw bersabda:

“Doa merupakan senjata orang mukmin, tiangnya agama serta cahaya

Ictngit dan bumi”7

Dari hadis itü penulis cermati bahwa doa yang dipanjatkan merupakan

upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai konsekuensi

keyakinan kepada-Nya, dan merupakan puncak pengukapan tentang

kesadaran akan kelemahan, pengharapan, serta kecintaan dari seorang hamba

di hadapan Allah. Konsekuensi keyakinan itu, tercermin dalam tiga

kedudukan. Pertama, doa lebih kuat daripada ujian sehingga doa mampu

menangkal ujian. Kedua, doa leih lemah daripada ujian sehingga ujian itü

mengalahkan doa dan menimpa seorang hamba. Akan tetapi doa ini juga bisa

meringankan ujian meskipun lemah. Kctiga, doa dan ujian saling bertarung

dan saling mengalahkan.

Oleh karena manusia adalah rrıakhluk yang lemah dan butuh akan

pertolongan Allah yang tidak bisa dipungkiri, maka dari itü Allah

memerintahkan kepada manusia untuk selalu memohon, meminta, dan

bersungguh-sungguh dalam berdoa, dan ini sebagai tanda penghambaan dan

6
Syaikh 'Abdul Halim Mahmud, Hidup Bahagia Bersama Al-Qur 'an, Cet. Ke-I,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 159, 166, dan 167.
7
HR. Al-Hakim meriwayatkan dari 'Ali ibn Abu Thalib r.a bahwa Rasul saw bersabda.
Lihat Ibn Qayyim dan Ibn Athailah, Rahasia Doa mustaja, trj. Cet. Ke-l, (Jakarta: PT Seram.bi
Ilmu Semesta, 2008), h. 21-22.
10

pengabdian kepada Allah.8

Atas dasar identifıkasi masalah itulah, penulis merasa perlu mengkaji

ayat-ayat tentang doa perspektif Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya Al-

Wasith, hal ini penting karena ada ancaman yang diperlihatkan Al-Qur'an

bagi orang yang tidak mau berdoa kepada Allah selama ia hidup di dunia

maka ia akan sangat menyesal di akhirat kelak, yaitu tercantum dalam QS.

Al-Mu'min [40]: 50 dan 74

۟ ‫وا فَٱ ْدع‬


‫ُوا ۗ َو َما‬ ۟ ُ‫وا بَلَ ٰى ۚ قَال‬ ِ َ‫سلُ ُكم بِٱ ْلبَيِّ ٰن‬
۟ ُ‫ت ۖ قَال‬ ُ ‫قَالُ ٓو ۟ا َأ َولَ ْم تَ ُك تَْأتِي ُك ْم ُر‬

‫ض ٰلَ ٍل‬ ۟ ‫ُد ٰ َٓع‬


َ ‫ُؤا ٱ ْل ٰ َكفِ ِر‬
َ ‫ين ِإاَّل فِى‬
“Penjaga Jahannam berkata: "Dan apakah belum datang kepada kamu

rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?" Mereka menjawab:

"Benar, sudah datang". Penjaga-penjaga Jahannam berkata: "Berdoalah

kamu". Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka”. (QS. Al-

Mu'min [40] : 50).

‫ش ْيـًٔا ۚ َك ٰ َذلِ َك‬ ۟ ‫وا َعنَّا بَل لَّ ْم نَ ُكن نَّ ْدع‬
َ ‫ُوا ِمن قَ ْب ُل‬ ۟ ُّ‫ضل‬ ۟ ُ‫ُون ٱهَّلل ِ ۖ قَال‬
َ ‫وا‬ ِ ‫ِمن د‬

َ ‫ض ُّل ٱهَّلل ُ ٱ ْل ٰ َكفِ ِر‬


‫ين‬ ِ ُ‫ي‬
“(Yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab: "Mereka

telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tiada pernah menyembah

sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara eksplisit

pertanyaan-pertany'aan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan


8
Abdullah Gyrnnastiar, Kedahsyatan Doa, cet-5, (Bandung: Khas MQ, 2005), h. 28.
11

jalan pemecahannya. Perumusan masalah juga merupakan penjabaran dari

identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Oleh sebab itu Berdasarkan

identifikasi masalah dan batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan

masalah dengan pertanyaan :

1. Bagaimana etika berdoa menurut pandangan Wahbah Zuhaili dalam

kitabnya Al-Wasith ?

2. Bagaimana kontribusi Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan Al-Qur’an ?

3. Bagaimana pandangan mufassir tentang penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

dalam kitabnya Al-Wasith terkait etika berdoa?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui etika doa dalam pandangan Wahbah Zuhaili yang ditulis di

kitabnya Al-Wasith

2. Mengetahui kontribusi Wahbah Zuhaili dalam penafsiran Al-Qur’an

3. Mengetahui pandangan mufassir tentang penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

dalam kitabnya Al-Wasith terkait etika berdoa

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan

dibidang tafsir khususnya mengetahui pemaknaan ayat-ayat doa yang

ditafsirkan oleh Wahbah Zuhaili dan pandangan ułama mengenai penafsiran

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Wasith terhadap ayat ayat doa;

Penelitian ini diaharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat

bahwa doa merupakan usaha yang bernilai ibadah.

E. Batasan Istilah

Agar mempermudah pemikiran untuk memaparkan judul skripsi ini,


12

penulis menyajikan batasan istilah yang dianggap penting untuk dijelaskan

sebagai berikut:

1. Doa: Bermakna merayu, mengundang, mengutarakan, memelas, dan

meminta.9

2. Etika: ilmu tentang baik dan buruk serta tentang kewajiban dan hak,

kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.10

3. Pemikiran: Sesuatu yang diterima seseorang dan digunakan untuk

pedoman sebagaimana diterima dari orang.11

F. Kajian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis dapatkan melalui

penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa karya ilmiah yang telah ditulis

dan memiliki kesamaan dengan kajian yang sedang penulis teliti. Di antara

penelitian yang penulis dapatkan serta memiliki kaitan dengan judul

penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Muhammad Antoni, Etika Berdoa Dalam Al-Qur’an Analisis Terhadap

Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir al-Misbah, Skripsi Jurusan

Ilmu Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Sunan

Ampel Surabaya, 2010. Skripsi menjelaskan perihal berdoa yang

meliputi hikmah-hikmah berdoa, keutamaan-keutamaan berdoa, situasi

dan kondisi yang ideal untuk berdoa, dan etika atau tata cara berdoa.

2. Ahmad Fauzi, berjudul, Konsep doa para nabi dalam al-Qur’an tahun

2015. Skripsi ini membicarakan tentang begitu pentingnya doa dalam

9
Ferudun Ozdemir, Allah Dihatiku Allah dekalbim, (Jakarta: Zahira 2015), h.45.
10
Mulyo Wiharto, Etika, (Jurnal: Forum Ilmiah Indonesia, vol. 4 No. 3 September 2007),
h. 197.
11
Muhadjir Efendi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. V, (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2016).
13

kehidupan, hal ini menandakan urgensinya doa dalam kehidupan di

samping sebagai permohonan, melainkan juga sarana berinteraksi dengan

Allah SWT sebagai bentuk ibadah. Menurut skripsinya, konsep

komunikasi ada dua yaitu vertical dan horizontal. Vertical yang

dimaksud yaitu hubungan terhadap Tuhan.

3. Abdul Jalal Romdoni, berjudul “Doa Nabi Ibrahim As dalam al-Qur’an”

(Studi Komparatif tafsir Ibnu Katsir dengan Tafsir al-Mishbah) tahun

2013. Dalam skripsi ini menjelaskan cara bagaimana agar permasalahan

bisa diselesaikan. Baik permasalahan diri sendiri, orang lain ataupun

permasalahan dengan Tuhan. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa

manusia mempunyai sifat bawaan ketika mempunyai permasalahan, dan

hanya dengan bantuan Allahlah masalah dapat diselesaikan.

4. Tiga pengkajian tersebut jelas berbeda dengan apa yang penulis sedang

teliti dalam skripsi ini, meskipun ada kesamaan teks yakni doa. Maka

dari itu yang menjadi pokok perbedaanya dalam pengkajian ini ialah

pada penelitian ini terpokus kajian etika berdoa beserta pemahaman

Wahbah al-Zuhayli.

G. Metode Penelitian

Metode penelitan adalah serangkaian cara dalam proses penelitian

yang didasari oleh asumsi dasar atau teori maupun pandangan filosofis yang

secara sistematis digunakan dalam penelitian. Dalam hal ini, metode

penelitian yang penulis gunakan adalah analitis deskriptif, yaitu sebuah

metode pembahasan dengan menganalisis data yang telah diuraikan secara

tersusun dari yang umum menuju pada sebuah kesimpulan yang khusus, yaitu
14

dimulai dengan menguraikan penjelasan mengenai biografi Wahbah Az-

Zuhali dan tafsirnya, mengidentifikasi pengertian doa serta diksi lain dari doa,

setelah itu menguraikan penjelasan ayat-ayat doa yang ditafsirkan oleh

Wahbah Az-Zuhaili, pembahasan terakhir adalah sebagai perbandingan

penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dengan penafsir lainnya, baru setelah itu

membuat kesimpulan. Sehingga pada pengambilan metode, penulis

mengharapkan mampu menjelaskan hakikat doa secara utuh sesuai dengan

data yang diperoleh.

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian libriary research (studi

kepustakaan), dengan cara mengumpulkan, mengklasifikasi, merumuskan

masalah dengan mempergunakan sumber-sumber primer dan sekunder.

Adapun data primernya adalah tafsir Tafsir Syar’iyah karya Syaikh

Muhammad Mutawalli Syra'rawi, Tafsir Shafwatu al-Ta/àsir karya Syaikh

Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir alMaraghi karya Ahmad Mushthafa al-

Maraghi, Tafsir Fi Zhilalil-Qur 'an karya Sayyid Quthb, Tafsir Lubab al-

Tafsir min Ibni Katsir karya Ibn Katsir. Adapun objek utama kajian dalam

penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan doa. Sumber

sekundernya adalah berbagai leteratur dari buku, artikel jurnal, Website dan

karya-karya tulis ilmiyah lainnya yang sesuai dengan tema penelitian.

Langkah-langkah yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah:

1. Mencari dan mempersiapkan referensi sebanyak mungkin dari sumber-

sumber bacaan yang berkaitan dengan tema skripsi, sebagai sumber data.
15

2. Mengemukakan ayat-ayat doa yang ditafsirkan oleh Wahbah Az-Zuhaili

3. Memandang penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dengan penafsiran ulama-

ulama tafsir lainya

4. Menyimpulkan hasil dari pembahasan tentang ayat-ayat doa menurut

Wahbah Zuhaili.

Penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan

desertasi yang disusun oleh Prof.Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA dkk.,

yang di terbitkan oleh Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) Jakarta (Edisi Revisi),

pada Mei 2011 cetakan ke-2.

H. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar kejian ini memuat tiga bagian utama, yaitu memuat

pendahuluan, isi dan penutup. Bagian pertama yaitu pendahuluan yang

meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika

pembahasan.
16

BAB II

SYEKH WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN KARYANYA

A. Biografi Wahbah Az-Zuhaili (1351-1434 H)

Syekh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) adalah cerdik

cendekia (alim allamah) yang menguasai berbagai disiplin ilmu (mutafannin).

Seorang ulama fiqih kontemporer peringkat dunia, pemikiran fiqihnya

menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab- kitab fikihnya.12

Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) adalah seorang tokoh agama

kenamaan asal Syiria. Beliau dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun,

Damaskus, Syiria pada 6 Maret 1932 M/1351 H dengan nama lengkap

Wahbah Ibnu al-Syekh Musthafa az-Zuhaili. Ayahnya bernama Musthafa al-

Zuhaili yang merupakan seorang petani sekaligus penghafal al-Qur’an dan

ahli ibadah.13

Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) dibesarkan di lingkungan ulama-

ulama madzhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam madzhab

fiqih. Walaupun bermadzhab Hanafi, namun beliau tidak fanatik terhadap

fahamnya dan senantiasa menghargai pendapat- pendapat madzhab lain. Hal

ini, dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang

berkaitan dengan fiqih.14 Dalam perkembangannya, ia tampil sebagai salah

satu pakar perbandingan madzhab (Muqrânat al-Madzâhib). Salah satu

masterpiecenya yaitu al- Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, merupakan salah satu

12
Nur Chanifah, Abu Samsudin, Pendidikan Karakter Islami: Karakter Ulul Albab di
dalam al-Qur’an, (Banyumas: Pena Persada, 2019), h. 100.
13
Andy Hariyono, Analisis Metode Tafsir Wahbah Zuhaili dalam Kitab al-Munir, (Jurnal
Al-Dirayah, Vol. 1 No. 1 Mei 2018), h. 20.
14
Nur Chanifah, Abu Samsudin, Pendidikan Karakter Islami: Karakter Ulul Albab di
Dalam al-Qur’an, h. 100.

16
17

karya fikih komparatif yang popular di masa kini.

Beliau menghembuskan nafas terakhir pada malam Sabtu, 8 Agustus

2015. Dunia Islam berdukacita karena kehilangan seorang ulama

kontemporer panutan dunia. Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) berpulang ke

rahmatullah pada usia 83 tahun.15

B. Perjalanan Intelektual Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H)

Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) mulai belajar al-Qur’an dan

sekolah Ibtidaiyah di desanya. Setelah menamatkan Ibtidaiah di Damaskus

pada tahun 1946 M, beliau melanjutkan pendidikannya di Kuliah Syar’iyah

dan tamat pada 1952 M. Ketika pindah ke Kairo beliau mengikuti kuliah di

beberapa fakultas secara bersamaan, yaitu Fakultas Syariah, Fakultas Bahasa

Arab di Universitas al-Azhar dan Fakultas Hukum Universitas ‘Ain Syams.

Beliau memperoleh ijazah sarjana syariah di al-Azhar dan juga memperoleh

ijazah takhassus pengajaran Bahasa Arab di al-Azhar pada tahun 1956 M.

Kemudian memperoleh ijazah Licence (Lc) bidang hukum di Universtas ‘Ain

Syams pada tahun 1957 M, Magister Syariah di Fakultas Hukum Universitas

Kairo pada tahun 1959 M dan Doktor pada tahun 1963 M. Gelar doktor di

bidang hukum (Syariat Islam) beliau peroleh dengan predikat summa cum

laude (Martabatus Syaraf al-Ula) dengan disertasi berjudul “Atsarûl Harbi

Fî Fiqhil Islâmi, Dirasah Muqaranah Bainal Madzâhib ats-Tsamaniyah Wal

Qanun ad-Dauli al-‘Am” (Beberapa Pengaruh Perang dalam Fikih Islam,

Kajian Perbandingan antara Delapan Madzhab dan Undang-Undang

Internasonal).
15
Baihaki, Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah az-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama, (Jurnal Analitis, Vol. XVI, No. 1 Juni 2016),
h. 130.

17
18

Setelah memperoleh ijazah Doktor, pekerjaan pertama Syaikh Wahbah

az-Zuhaili (1351-1434 H) adalah staf pengajar di Fakultas Syariah,

Universitas Damaskus pada tahun 1963 M. Kemudian menjadi asisten dosen

pada tahun 1969 M dan menjadi professor pada tahun 1975 M. Sebagai guru

besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah universitas di negara-negara

Arab, seperti Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana

Universitas Benghazi, Libya, dan negara Sudan, seperti Universitas Khurtum,

Universitas Ummu Darman dan Universitas Afrika. Beliau juga pernah

mengajar di Universitas Emirat Arab.

Tak hanya itu, beliau juga menghadiri berbagai seminar internasional

dan mempresentasikan makalah dalam berbagai forum ilmiah di negara-

negara Arab termasuk di Malaysia dan Indonesia. Beliau juga menjadi

anggota tim redaksi berbagai jurnal dan majalah, dan staf ahli di berbagai

lembaga riset fiqih dan peradaban Islam di Syiria, Yordania, Arab Saudi,

Sudan, India dan Amerika.16

Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) adalah seorang pelajar yang

prestatif. Kejeniusannya di dunia akademsi tak diragukan lagi. Sehingga tidak

mengherankan apabila beliau selalu menduduki peringkat teratas pada semua

jenjang pendidikannya. Baginya, rahasia kesuksesan dalam belajar terletak

pada kesungguhannya menekuni pelajaran dan menjauhkan diri dari segala

hal yang mengganggu belajar. Moto hidupnya adalah “Inna Sirrâ an-Najâh

Fî al-Hayâh Ihsân ash-Shilah Billah ‘Azza Wa Jallâ” (Sesungguhnya rahasia

kesuksesan dalam hidup adalah membaikkan hubungan dengan Allah Azza


16
Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir
dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), Cet. Ke-II, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an,
2019), h. 270-271.

18
19

wa Jallâ).

Selain mengetahui sosok Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) yang

begitu cerdas, tentunya ada beberapa guru-guru yang turut mempengaruhi

pemikiran Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H) sehingga menjadi seorang

ulama dan pakar fiqih. Diantara guru-guru beliau antara lain:

a. Syekh Muhammad Hasyim al-Katib Asy-Syafi’i (w. 1958 M).

Beliau merupakan seorang ulama fiqih, khatib tetap Masjid al-

Umawi dan salah seorang pendiri Jam’iyah at-Tahdzîb Wa at-

Ta’lîm di kota Damaskus.

b. Syekh Abdur Razaq al-Himshy (w. 1969 M). Beliau merupakan

seorang ulama fiqih dan mufti Syiria tahun 1963.

c. Syekh Muhammad Yas in (w. 1948 M), merupakan seorang tokoh

kajian sastra dan gerakan persatuan ulama di Syiria.

d. Syekh Hasan asy-Syathi (w. 1962 M), merupakan seorang pakar

fiqih Hambali dan rector pertama Universitas Damaskus.

e. Syekh Muhammad Abu Zuhrah (w. 1395 M). Beliau merupakan

pengarang kitab at-Tafsîr az-Zuhrah. Kabarnya, Wahbah banyak

dipengaruhi oleh gaya pemikiran Abu Zahrah ini.

f. Syekh Mahmud Syaltut (w. 196 M), merupakan seorang pembaru

Islam dan pemimpin tertinggi Universitas al-Azhar, Mesir. Beliau

banyak terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh.

g. Syekh Dr. Abdurrahman Taj

h. Syekh Isa Mannun (1376 H)

i. Syekh Ali Muhammad al-Khafif (w. 1978 M)

19
20

j. Syekh Jadurrab Ramadan

k. Syekh Mahmud Abd. Ad-Daim

l. Syekh Abdul Ghani Abdul Khaliq

m. Syekh Abdul Maraziqi

n. Syekh Zhahawir asy-Syafi’i

o. Syekh Musthafa Mujahid

p. Syekh Hasan Wahdan

q. Syekh Muhammad Salam Madkur

r. Syekh Muhammad Hafiz Ghanim17

s. Syekh Judat al-Mardini (w. 1957 M), beliau yang mengajarkan ilmu

fara’id dan wakaf

t. Syekh Hasan Habnakat al-Midani (w. 1978 M), beliau yang

mengajarkan ilmu tafsir

u. Syekh Muhammad Saleh Farfur (w. 1986 M), beliau yang

mengajarkan ilmu Bahasa Arab

v. Syekh Muhammad Luti al-Fayumi (w. 199 M), beliau yang

mengajarkan ilmu ushûl al-fiqh dan mustalat al-hadîth

w. Syekh Mahmud al-Rankusi, dari beliaulah Wahbah az-Zuhaili

belajar tentang akidah dan kalam.18

Adapun di antara murid-muridnya adalah Muhammad Faruq Hamdan,

Muhammad Na’im Yasin, ‘Abdul al-Satar Abu Ghadah, ‘Abd al-Latif Farfur,

Muhammad Abu Lail, dan termasuk putranya sendiri, Muhammad al-Zuhaili,

17
Andy Hariyono, Analisis Metode Tafsir Wahbah Zuhaili dalam Kitab al-Munir, (Jurnal
Al-Dirayah, Vol. 1 No. 1 Mei 2018), h. 20.
18
Ainol, Metode Penafsiran al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, (Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis, Vol. 1 No. 1 Desember 2011), h. 144.

20
21

serta masih banyak lagi murid-muridnya ketika ia mengajar sebagai dosen di

Fakultas Syari’ah dan perguruan tinggi lainnya.19

C. Karya-karya Wahbah az-Zuhaili (1351-1434 H)

Salah satu kepiawaian ulama dalam mentransfer ilmu adalah lahirnya

karya ilmiah berbentuk tulisan dari buah tangannya. Dr. Badi’ as-Sayyid al-

Lahham menulis buku mengenai biografi Wahbah az- Zuhaili yang berjudul

“Wahbah az-Zuhaili al-‘Alîm, al-Faqîh, al- Mufassir” menyebutkan 199

karya tulis Wahbah di luar karyanya yang berbentuk jurnal. Diantara

karyanya yang fenomenal sebagaimana dikumpulkan oleh Muhammad

Ahmad Fari’ antara lain:

1) Atsar Al-Harb Al-Fiqh Al-Islâmi: Dirâsah Muqaranah, Dar al-Fikr,

Damaskus, 1963

2) Al-Wasît Fî Ushûl al-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966

3) Al-Fiqh Al-Islâmi Fî Uslûb Al-Jadîd, Maktabah al-Hadits,

Damaskus, 1967

4) Nazâriyat Adh-Dharurah Asy-Syari’ah, Maktabah al-Farabi,

Damaskus, 1969

5) Nazâriyat al-Daman, Dar al-Fikr, Damaskus, 1970

6) Al-Ushûl Al-‘Ammah Lî Wahdat Al-Dîn Al-Haq, Maktabah al-

Abassiyah, Damaskus, 1972

7) Al-‘Aqalat Ad-Dawliyah Fî Al-Islâm, Muassasah al-Risalah, Beirut,

1981

8) Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damaskus,


19
Baihaki, Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah az-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama, (Jurnal Analitis, Vol. XVI, No. 1 Juni 2016), h.
131.

21
22

1981

9) Ushûl Al-Fiqh Al-Islâmi, (2 jilid), Dar al-Fikr, Damaskus, 1986

10) Juhûd Taqnin Al-Fiqh Al-Islâmî, Muassasah al-Risalah, Beirut,

1987

11) Fiqh al-Mawâris fî al-Syari’at al-Islâmiyah, Dar al-Fikr, Damaskus,

1987

12) Al-Wasaya wa al-Waqf fî al-Fiqh al-Islâmî, Dar al-Fikr, Damaskus,

1987

13) Al-Islâm ad-Dîn al-Jihâd a al-‘Udwân, Persatuan Dakwah Islam

Antar Bangsa, Tripoli, Libya, 1990

14) Al-Qissah al-Qur’aniyyah: Hidâyah wa Bayân, Dar Khair,

Damaskus, 1992

15) Al-Qur’an al-Karîm al-Bunyât al-Tashri’iyah Aw Khasâ’isuh al-

Hasariyah, Dar al-Fikr, Damaskus, 1993

16) Al-Rukhsah al-Syari’ah al-Ahkamuhu wa Dawâbituhu, Dar al-

Khair, Damaskus, 1992

17) Khasâ’is al-Kubrâ Lî Huqûq al-Insân, Dar al-Maktabi, Damaskus,

1995

18) Al-‘Ulûm al-Syari’ah Bayn al-Wahdah Wa al-Istiqlâl, Dar al-

Maktabi, Damaskus, 1996

19) Al-Asas Wa al-Masadîr al-Ijtihad al Musytarikah Bayn al-Sunnah

wa al-Syi’ah, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1996

20) Al-Islûm Wa Tahadiyat al-‘Asr, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1996

21) Al-Taqlîd Fî al-Madhâhib al-Islâmiyah ‘Indâ al-Sunnah wa al-

22
23

Syi’ah, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1996

22) Al-Ijtihad al-Fiqh al-Hadîth, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1997

23) Al-‘Urf Wa al-Adah, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1997

24) Bay al-‘Asam, Dar al-Maktabi, Damaskus, 199720

25) Az-Zharai’ah Fi As-Siyasah Asy-Syari’ah

26) Al-Fiqh Al-Hanafî Al-Muyassar

27) Al-Fiqh Al-Malikî Al-Muyassar

28) Al-Fiqh As-Syafi’î Al-Muyassar

29) Al-Fiqh Al-Hanbalî Al-Muyassar21

30) Takhrîj wa Tahqîq Ahadîth wa Tahqîq al-Fuqahâ’

31) Al-Asas Wa al-Masâdir al-Ijtihad al Mushatarikah Bayn al-Sunnah

Wa al-Syi’ah

32) Muwajahat al-Ghaz al-Thaqafî

33) Al-Sunnah al-Nabawiyah

34) Idarât al-Waqaf al-Khayr

35) Al-Mujadîd Jamal al-Dîn al-Afghanî

36) Taghyîr al-Ijtihad

37) Tatbîq al-Syari’ah al-Islâmiyah

38) Al-Zirâ’i Fi al-Siyasah al-Syari’ah

39) Tajdîd Fiqh al-Islâmî

40) Al-Thaqafah Wa al-Fikr

41) Manhâj al-Da’wah Fî Sirât al-Nabawiyah

20
Nur Chanifah, Abu Samsudin, Pendidikan Karakter Islami: Karakter Ulul Albab di
Dalam al-Qur’an, (Malang: CV. Pena Persada), h. 102-103.
21
Andy Hariyono, Analisis Metode Tafsir Wahbah Zuhaili dalam Kitab al-Munir, (Jurnal
Al-Dirayah, Vol. 1 No. 1 Mei 2018), h. 21.

23
24

42) Al-Qayyîm al-Insâniyah fî al-Qu’an

43) Haq al-Hurriyah Fî al-‘Alam

44) Al-Insân Fî al-Qur’an

45) Al-Insân Wa Ushûl al-Hadarah al-Insâniyah

46) Ushûl al-Fiqh al-Hanafî

47) Fiqh al-Mawâris Fî al-Syari’ah al-Islâmiyah22

48) Al-Tafsîr Al-Munîr Fî Al-‘Aqidah wa Al-Syari’ah wa Al-Manhaj

49) Al-Tafsîr Al-Wajîz, merupakan ringkasan dari al-Tafsîr al-Munîr

50) Al-Tafsîr al-Wasît, yang terdiri dari 3 jilid tebal.

Ketiga karya tafsir tersebut, yakni Tafsir al-Munîr, Tafsir al-Wajîz dan

Tafsir al-Wasît, masing-masing memiki ciri dan karakteristik tersendiri.

Ketiganya menggunakan metode penafsiran yang berbeda dan latar

belakang yang berbeda pula. Tafsir al-Munîr mencakup aspek Akidah dan

Syariah (16 jilid), diperuntukkan bagi para ahli atau kalangan atas.

Sedangkan Tafsir al-Wajîz, diperuntukkan bagi kebanyakan orang dan

khalayak umum. Adapun Tafsir al-Wasît, diperuntukkan bagi orang yang

tingkat pengetahuan menengah. Sedangkan persamaannya adalah bahwa

ketiganya sama-sama berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan

makna-makna al- Qur’an agar mudah dipahami dan kemudian dapat

direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat dengan lapisan

yang berbeda.23

D. Pemikiran Wahbah az-Zuhaili


22
Ainol, Metode Penafsiran al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, (Jurnal Mutawatir: Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 1 No. 1 Desember 2011), h. 145.
23
Baihaki, Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah az-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama, (Jurnal Analitis, Vol. XVI, No. 1 Juni 2016), h.
132.

24
25

Pemikiran Wahbah Az-Zuhaili mengenai madzhab, adalah suatu

kebutuhan umat muslim, seperti fikih berarti harus mengikuti semua hukum

yang telah ditentukan para sahabat, imam mujtahid yang tentunya

bersumber dari al-Qur’an dan hadist. Budaya Taklid juga semisal, ini

meluas di kalangan umat islam dan tidak dapat di hindari pada era

selanjutnya. Mereka memilih salah satu pendapat Imam Madzhab yang

berkompeten untuk dijadikan sandaran dalam memahami urusan agamanya.

Menurut Az-Zuhaili bermadzhab merupakan satu keniscayaan bagi

kalangan umat muslim yang tidak mampu berijtihad. Sebaliknya, Az-

Zuhaili memotivasi umat muslim untuk melakukan ijtihad bagi orang-orang

yang memiliki kemampuan dalam memahami al-Qur’an dan Hadist dengan

pendekatan kaidah- kaidah istinbat hukum.

Perbedaan pendapat Imam Madzhab harus dipandang sebagai suatu

berkah dan rahmat, karena inilah sebuah khazanah keilmuan Islam yang

harus dijadikan referensi dalam memahami perkembangan dinamika

perubahan sosial di era kontemporer. Terkait upaya peluang dan tantangan

terhadapa gerakan Islam dalam mewujudkan persatuan yang saling

bergandeng tangan antar perbedaan madzhab demi mewujudkan kerukunan

umat Islam.

Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa Harakah Islamiyah perlu tiga

hal sebagai berikut: satu, berpegang kuat pada ajaran Islam, dua,

pemahaman ilmu keislaman dan dinamisasi dalam dunia modern, tiga,

membangun persatuan umat Islam. Berangkat dari ketigal hal tersebut,

kebangkitan Islam akan kembali bergairah. Karena bila dakwah Islam hanya

25
26

didukung dengan pendekatan nurani dan kasih sayang tanpa dibarengi

dengan pemahaman Islam yang mendalam, dan tidak memahami dinamisasi

dalam Islam, atau para pendakwah yang justru banyak yang terus

mempersalahkan urusan perbedaan pendapat dalam Islam, maka yang akan

terjadi justru sebaliknya.

Selanjutnya tentang masalah pemikiran liberal, menurut az-Zuhaili

mereka tidak punya nilai sama sekali. Kebenaran lebih layak untuk diikuti.

Ketika Nabi Muhammad SAW datang, umatnya pun menyembah berhala.

Lalu beliau membebaskan Mekkah Al- Mukarramah. Itu adalah

kemenangan yang agung dengan mengumumkan Tauhidullah dan

membatalkan penyembahan terhadap berhala. Kaum liberal sebenarnya

memiliki sifat sebagai agen pemikiran dan politik amerika, dan memusuhi

Islam. Mereka adalah para agen suruhan. Mereka sangat terhina, pikirannya

lemah dan kegiatannya tidak mendatangkan kebaikan. Az-Zuhaili sendiri

berharap pemikiran liberal tidak punya pengaruh bagi pemikiran di

Indonesia.24

24
Mohammad Mufid, Belajar dari Tiga Ulama Syam, (Makassar: PT. Elex Media
Komputindo), h. 108-111.

26
27

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA BERDOA DALAM ALQUR’AN

A. Pengertian Doa Menurut Bahasa dan Istilah

Dalam perspektif bahasa kata du‟a berasal dari bahasa Arab da’a-

yada’u-da’ada’watun, yang mengandung arti memanggil, mengundang, minta

tolong, meminta dan memohon. Dalam penggunaan sehari-hari, kata du’a

mempunyai beberapa makna, diantaranya adalah:

a. Raghib al-Ishafahani dalam kitabnya al-Mu’jam li mufradat Alfadzh

Alqur’an al-karim (kamus kosa kata al-Qur‟an) antara lain mengatakan

bahwa kata doa sama artinya dengan kata nida’ yakni panggilan.

Bedanya kata nida’ terkadang menggunakan kata ya’ tanpa

menyembutkan nama orang yang dipanggilnya. Kata du’a dan nida’

terkadang digunakan untuk menujukan salah satu dari kedua arti tersebut.

b. Kata du’a digunakan pula untuk arti memberi nama atau julukan.

c. Kata doa juga berarti menyembah.

d. Kata doa juga berarti permintaan atau permohonan

Menurut Ahsin W. Al-Hafidz dalam kamus bahasa ilmu Al-Qur'an,

disebutkan bahwa doa menurut bahasa diartikan dengan kata memohon,

mengharap, meminta, memanggil, menyeru, memuji, mengabdi, menyembah,

atau beribadah.25

Menurut Harun Nasution dalam Ensiklopedi İslam Indonesia, kata doa

mengandung arti : memohon, meminta mengundang, memanggil atau

menghimbau. Adapun dalam relasi manusia dengan Tuhan mengandung arti

seruan, terdapat pada Q.S Gâfir [40] : 60.4 Permohonan, terdapat pada Q.S.
25
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus ilmu Al-Qur'an, cet. 11, (Jakarta: Amzah 2006), h. 66.

27
28

alA'râf [7] 55.5 Serta berarti Panggilan, berupa ajakan-Nya kepada manusia,

supaya mereka mengikuti jalan hidup yang akan membawa mereka kepada

kepada keselamatan, surga, atau kebahagiaan terdapat pada Q.S. al-Isrâ [17] :

52.26

Sedangkan menurut istilah, doa adalah permohonan atau permintaan

dari seseorang hamba kepada Tuhan dengan menggunakan lafal yang

dikehendaki dan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan, atau meminta

sesuatu sesuai dengan hajatnya atau memohon perlindungan kepada Allah

Swt. Doa yang dimaksud di sini suatu aktivitas ruhaniah yang mengandung

permohonan kepada Allah Swt.27 Melalui lisan atau hati, dengan

menggunakan kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan khusus

sebagaimana yang tertulis pada al-Qur‟an, as-Sunnah ataupun keteladanan

para sahabat Rasulullah Saw, dan orang-orang yang saleh. Dengan penuh

harapan agar doa-doa yang dimohonkan akan segera dikabulkan.

Doa dalam istilah al-Qur’an memiliki ragam makna yang cukup

kompleks, seperti doa dalam al-Qur‟an ialah menunjukkan kehinaan dan

kerendahan diri serta menyatakan keperluan dan ketundukkan kepada Allah.

Pengertian ini tidak bertentangan dengan pengertian terdahulu tentang doa,

tetapi saling melengkapi, yakni bahwa memohon kebaikan di dunia dan

keselamatan akhirat itu menunjukkan kerendahan diri, keperluan, dan

ketundukkan kepada Allah.28 Sedangkan dalam hadits doa ada sejumlah hadits

26
Harun Nasution, Ensiklopedi Ifukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT Saptodadi, 2006), h.
391.
27
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Prophetic Intelegence Kecerdasan Kenabian”
Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, (Yogyakarta:
Islamika, 2004), h. 450-451.
28
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin Handbook bagi Pendamba Kesehatan Holistik,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 124-125.

28
29

yang menyatakan perlunya berdoa kepada Allah:

a. Doa itu ibadah (H.R, Abu Daud dan Tirmidzi)

b. Setiap muslim di muka bumi yang memohonkan sesuatu kepada Allah

atau dijauhkan Allah darinya suatu kejahatan selama ia mendoakan yang

tidak membawa kepada dosa atau memutuskan kasih sayang” (H.R

Tirmidzi)

Demikianlah ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis yang menyatakan perlunya

berdoa kepada Allah sebagai ketundukan diri kepada-Nya.29

Menilik sumber yang berbeda, pengertian doa secara istilah menurut

Abu Bakr al-‘Arabiy yaitu “Doa adalah meminta kepada Allah dari perkara

yang dapat mendatangkan manfaat dan menjauhkan yang tidak berguna dari

kemadaratan dan cobaan, karena doa adalah salah satu sebab untuk

mendatangkan ramat Allah yang paling utama, seperti keamanan diri dari

kedinginan, kepanasan, kehujuanan dan bencana alam”.30

Menurut penulis, pengertian doa secara bahasa maupun istilah ini,

dianggap mewakili. Adapun pengertian doa secara istilah, penulis mengutip

pengertian dari Wahbah Az-Zuhaili dalam terjemahan Tafsir al-Wasith bahwa

“...Doa merupakan interaksi langsung antara seorang hamba dengan

Tuhannya, yang dalam bentuknya doa ini merupakan suatu ibadah, berupa

ketundukan dan kepatuhan seseorang yang berdoa bahwa dirinya sangat

betul-betul membutuhkan Allah, serta memohon pertolongan dengan

kemuliaan dan kekuatan-Nya. Meminta bantuan serta dukungan ketika

manusia mendapat berbagai ujian dan cobaan. Serta bersyukur dengan


29
Ibid., h. 128.
30
Penulis menukil dari: Mu'min Mulyana. Hirarki Kebutuhan Manusia dalam Ayat-Ayat
Doa (Skripsi SI Tafkir Hadis Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 28.

29
30

tambahan kebaikan. baik dikala senang dan berkecukupan ataupun dalam

sedih dan tidak berkecukupan”.31

B. Terminologi Doa Dalam Al-Qur’an

Penulis melihat beberapa kosa kata dalam Al-Qur'an, yang penulis

temuakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikatakan bahwa dalam Al-

Qur'an, kata doa disebutkan sebanyak dua puluh kali.32 Menurut Ahsin W. Al-

Hafidz kata doa dalam Al-Qur'an terdapat dalam makna yang bemacam-

macam sebanyak 203 ayat.33

ketiga dan jika menghimpun tiga hal ini maka itulah yang paling

sempurna.34

C. Etika Berdoa

Doa mempunyai tujuan-tujuan yang bukan saja bersifat ukhrawi,

melainkan juga bersifat duniawi. karena doa bukanlah untuk kepentingan

Allah melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hasbi Ash-Shiddieqy

mengatakan bahwa doa adalah perisai senjata penangkis dari bencana, ibarat

air yang dapat memberi manfaat dan menyejukkan kehidupan, serta doa itu

berfaidah dalam memperoleh rahmat Allah Swt. menunaikan kewajiban, taat,

menjauhkan diri dari maksiat, menimbulkan keridhaan Allah Swt.

memperoleh hasil yang pasti, menolak tipu daya musuh menghilangkan

kegundahan, menghasilkan hajat, dan memudahkan kesukaran.35

31
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., cet. Ke-l,jilid l,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 80.
32
Doa"Abdul Aziz Dahlan, (ed)., dalam Ensiklopedi Hukum Islam, h. 277.
33
Ahsin W. Al-Hafldz, Kamus Ilmu Al-Qur 'an, (Jakarta: Amzah 2005), h. 66.
34
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tafsir Ibnu Qayyim, cet. l, (Jakarta : Darul Falah, 2004), h.
243.
35
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Dzikir dan Doa, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra. t.t), h.98. Dikutip kembali oleh "Doa"Abdul Aziz Dahlan, (ed)., dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-5, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 278.

30
31

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, doa bermanfaat untuk apa yang telah

terjadi dan belum terjadi, serta bermanfaat dalam mengubah qadha dan qadar,

meringankan musibah menghilangkan bencana, dan mendatangkan rezeki.

Nabi Saw bersabda :

“Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Razzaq telah mengabarkan

kepada kami Suban dari Abdullah bin 'Isa dari 'Abdullah bin Abu Al Ja'd Al

Asyja'i dari Tsauban pelayan Rasillullah Shallallahu'alaihiwasallatn dan ia

memarfu'kan hadits ini pada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, beliau

bersabda; "Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa, tidak ada yang

menambahi usia kecuali kebaikan dan seorang hamba benar-benar terhalan.g

dari rizki karena dosa yang dilakukannya”. (HR. Ahmad bin Hambal).

Dalam buku Doa Ajaran Ilahi, Anis Masykur dan Jejen Musfah dengan

mengangkat pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali bahwa, meskipun

doa tidak menolak qadha dan qadar Tuhan, akan tetapi ia akan melahirkan

sifat rendah diri, dan hajat kepada Allah Swt. dalam suatu riwayat disebutkan

bahwa menolak qadha bisa dengan doa.36

36
Anis Msykur dan Jejen Musfah, Doa Ajaran Ilahi, cet, Ke-l, (Jakarta: Penerbit
Hikmah PT Mizan Publika, 2007), h 9.

31
32

BAB IV

ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN

A. Etika Berdoa

1. Doa Memohon Kebaikan Kehidupan Dunia Akhirat Pada Q.S Al-

Baqarah:201

ِ ‫سنَةً َوفِى ٱ ْل َء‬


‫اخ َر ِة‬ َ ‫َو ِم ْن ُهم َّمن يَقُو ُل َربَّنَٓا َءاتِنَا فِى ٱل ُّد ْنيَا َح‬

َ ‫سنَةً َوقِنَا َع َذ‬


‫اب ٱلنَّا ِر‬ َ ‫َح‬
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami,

berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah

kami dari siksa neraka”. (Q.S. al-Baqarah [2] : 201).

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menceritakan

bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah yang dalam

anjurannya diharuskan memperbanyak memberi talbiyah, tahlil, doa, dan

berdzikir, memohon ampun dan berdoa untuk kebaikan diri sendiri, tanah

air dan umat di Masjidil Haram di Muzdalifah.37

Oleh sebab itu, pada ayat selanjutnya yaitu ayat 201 dijelaskan

secara rinci bahwa berdoa kepada Allah untuk dunia saja tidak akan

cukup, karena yang lebih utama adalah berdoa menwhon taufiq, rezeki,

dan kesehatan didunia, kemudian pahala dan surga di akhirat serta

dijauhkan dari amal perbuatan yang mengantar pada perbuatan buruk.

Adapun yang dimaksud kebaikan dalam ayat ini adalah kebaikan berupa

taufiq, rezeki dan kesehatan. Bahwa Allah Swt menciptakan kebaikan dan

37
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., cet. Ke-l, jilid I,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 89.

32
33

keburukan, kemudian menetapkan kedatangannya kepada hamba pada

waktu-waktu yang diketahui. Manusialah yang memilih apa yang dia

kerjakan atau tinggalkan dari kebaikan atau keburukan tersebut. Dan

orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-

kitab-Nya, rasulrasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir yang

baik maupun yang buruk.38

2. Doa Memohon Ampun Atas Semua Kesalahan Baik Karena Lupa Atas

Kekeliruan Pada Q.S Al-Baqarah : 286

َ َ‫سبَتْ َو َعلَ ْي َها َما ٱ ْكت‬


ۗ ْ‫سبَت‬ َ ‫س َع َها ۚ لَ َها َما َك‬ ً ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْف‬
ْ ‫سا ِإاَّل ُو‬

ْ ‫سينَٓا َأ ْو َأ ْخطَْأنَا ۚ َربَّنَا َواَل ت َْح ِم ْل َعلَ ْينَٓا ِإ‬


‫ص ًرا‬ ِ َّ‫اخ ْذنَٓا ِإن ن‬
ِ ‫َربَّنَا اَل تَُؤ‬

‫ين ِمن قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا‬
َ ‫َك َما َح َم ْلتَ ۥهُ َعلَى ٱلَّ ِذ‬

ُ ‫ٱر َح ْمنَٓا ۚ َأنتَ َم ْولَ ٰىنَا فَٱن‬


‫ص ْرنَا َعلَى‬ ْ ‫بِ ِۦه ۖ َوٱعْفُ َعنَّا َوٱ ْغفِ ْر لَنَا َو‬

َ ‫ٱ ْلقَ ْو ِم ٱ ْل ٰ َكفِ ِر‬


‫ين‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang

diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang

dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau

hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau

bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

38
Ibid., h. 89-90.

33
34

Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah

Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (Q.S.

alBaqarah [2] : 286).

Dalam tafsir Tafsir Al-Muyassar yang diterbitkan Kementerian

Agama Saudi Arabia menjelaskan, ajaran agama Allah itu mudah, tidak

ada unsur kesulitan di dalamnya. Allah tidak menuntut dari hamba-

hambanya sesuatu yang tidak mereka sanggupi. Barangsiapa yang

mengerjakan kebajikan, maka akan memperoleh ganjaran baik, dan

barangsiapa yang berbuat keburukan, maka akan memperoleh balasan

yang buruk. Wahai tuhan kami, jangan Engkau menyiksa kami jika kami

lupa terhadap sesuatu yang Engkau wajibkan atas kami atau kami berbuat

salah dengan melakukan sesuatu yang Engkau larang untuk dikerjakan.

Wahai tuhan kami janganlah Engkau bebani kami dengan amalan-amalan

yang berat yang telah Engkau bebankan kepada umat-umat yang berbuat

maksiat sebelum kami sebagai hukuman bagi mereka. Wahai tuhan kami,

janganlah Engkau membebankan kepada kami perkara yang kami tidak

mampu memikulnya, baik dalam bentuk bentuk perintah-perintah syariat

dan musibah musibah. Dan hapuskanlah dosa-dosa kami dan tutuplah

kekurangan-kekurangan kami dan sudilah berbuat baik kepada kami.

Engkau adalah penguasa urusan kami dan pengaturnya. maka tolonglah

kami menghadapi orang orang yang mengingkari agama-MU dan

mengingkari keesan-MU serta mendustakan nabi-MU, Muhammad

sholallohu alaihi wasallam, dan jadikanlah kesudahan yang baik bagi

kami di hadapan mereka di dunia dan akhirat.

34
35

ْ ‫س َر َواَل يُ ِري ُد بِ ُك ُم ٱ ْل ُع‬


...‫س َر‬ ْ ُ‫يُ ِري ُد ٱهَّلل ُ بِ ُك ُم ٱ ْلي‬...
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu”. (Q.S. al-Baqarah [2] : 185).

Dan diantara tambahan karunia Allah adalah Dia menganjurkan

supaya berdoa untuk memohon kemudahan dan pemudahan dalam

melaksanakan kewajiban dan beban-beban berupa hukum syariat.

Lafal doa tersebut sebagaimana disebutkan di akhir surat al-

Baqarah. As-Saddi berkata "tatkala ayat ini turun dan para sahabat

mengucapkannya yakni berdoa dengannya, jibril berkata kepada Nabi

Saw. Allah telah melakukan hal tersebut kepada mereka wahai

Muhammad Saw. ini mewujudkan bahwa tujuh buah permohonan

tersebut dikabulkan oleh Allah Swt.39

Doa pertama dan kedua : wahai Tuhan kami janganlah menghukum

kami atas sifat lupa yang menguasai kami dan kegagalan yang tidak

disengaja, yang karenanya kami meninggalkan apa yang semestinya

dilakukan atau mengerjakan apa yang seharusnya ditinggalkan. Nabi Saw

menegaskan diangkatnya bahwa untuk kondisi lupa, salah, atau paksa,

beliau bersabda seperti diriwayatkan Ibnu Majah dan perawi lain.

Diceritakan dari Ibrähim bin Muhammad bin Yüsuf al-Fioä.piyu,

diceritakan dari Ayüb bin Suwaidi diceritakan dari Abü Bakr al-

Hudaliyyu dari Syahri bin Hausabin dari Abi Dar al-Ghifäri berkata

Rasulullah Saw. bersabda : Sesungguhnya Allah memagfkan dari Umat-

Ku (apa yang mereka lakukan karena) salah, lupa atau dipaksa. (H.R. Ibnu
39
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., cet. Ke-l, jilid I,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 152.

35
36

Majah).40

Doa ketiga wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada

kami dengan beban berat yang sangat berat kami memikulnya kami

menghadapi kesulitan dan kepayahan hebat dalam melaksanakannya,

adalah umat-umat terdahulu disebabkan pembangkangan dan

kesembarangan mereka. Mereka mendapatkan kewajiban yang berat

untuk tobat dari dosa-dosanya, mereka harus membunuh diri sendiri untuk

menghilangkan najis harus memotong bagian pakaian yang karena najis

serta mencakup perkara-perkara berat dan perbuatan-perbuatan sulit.41

Doa keempat wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada

kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya berupa hukuman dan

fitnah, janganlah Engkau bersikap keras sebagaimana Engkau bersikap

keras kepada orang-orang sebelum kami. Janganlah Engkau bebankan

amal perbuatan yang tidak sanggup kami mengembannya.

Doa kelima keenam dan ketujuh : Wahai Tuhan kami maafkanlah

kami atas kesalahan yang kami perbuat maatkanlah kelalaian kami

tutupilah kesalahan kami yang Engkau ketahui ampunilah kami atas

kesalahan antara kami dan hamba-hamba-Mu janganlah Engkau

perlihatkan kepada mereka aib-aib kami dan amal perbuatan buruk kami.

Karuniakanlah kepada kami rahmat yang sempurna dan menyeluruh dari-

Mu untuk kami, yakni bimbinglah kami sehingga kami tidak terjatuh

kedalam closa yang lain. Wahai Tuhan kami Engkaulah yang mengurusi

40
Muhammad bin Yazid Abü Abdillah al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah Pentahqiq
Muharnaad Fuad Abdul Båqi, Juz. ke-6, Bab. Ath-Thalaq al-Maqruh an-Nasiya, (Beirut: Dar Fikr,
t.t), h. 301.
41
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., cet. Ke-l, jilid I,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 152.

36
37

segala urusan kami. Engkaulah penolong kami, kepada Engkaulah kami

bertawakal kepada Engkaulah kami berserah diri tidak ada daya dan tidak

ada upaya kecuali dengan pertolongan-Mu dan tolonglah kami

menghadapi orang-orang kafir wahai Tuhan kami semesta Alam.

3. Doa Memohon Kemantapan Iman Pada Q.S Ali-Imran : 8

َ‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوبَنَا بَ ْع َد ِإ ْذ َه َد ْيتَنَا َو َه ْب لَنَا ِمن لَّدُن َك َر ْح َمةً ۚ ِإنَّك‬

ُ ‫َأنتَ ٱ ْل َوه‬
‫َّاب‬
“(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati

kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada

kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena

sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. (Q.S. Ali-Imran : 8).

Sebelum ayat 8, Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan mengenai ayat-

ayat muhkamat yang menurut penjelasannya adalah seluruh ayat yang

berkaitan dengan dengan beban kewajiban syariat yang secara khusus

ditunjukkan bagi hamba. Ayat-ayat tersebut tidak mengandung kesamaran

dan kerancuan.42 Adapun ayat-ayat mutasyabihat, menurut Wahbah Az-

Zuhaili memiliki pengertian yaitu ayat-ayat yang tidak terkait dengan

beban kewajiban syariat.43

Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa yang menjadi alasan

sebabnya Al-Qur'an mengandung ayat-ayat mutasyabihat adalah untuk

membedakan orang-orang yang benar dalam keilnanannya dan orang

yang lemah iman, memberikan kesempatan kepada akal seorang mukmin

42
Ibid., h. 156.
43
Ibid., h. 158.

37
38

untuk meneliti, memikirkan, serta merenungkan hingga mencapai batas

keilmuan yang matang. Sehingga, umat manusia terbagi kedalam

beberapa tingkatan, masing-masing memahami sesuai kemampuan akal

dan besaran pengetahuannya. Akan tetapi tidak seorangpun yang boleh

mencomot dari Al-Qur'an atau dari ayat-ayat mutasyabihat yang sesuai

dengan hawa nafsu, penyimpangan, kesesatan dan penyelewengannya.

Oleh sebab itu, dianjurkan untuk mengamalkan doa orang-orang yang

beriman, yaitu supaya Allah tidak menyelewengkan dari kebenaran dan

petunjuk.44 Seperti termaktub dalam doa berikut:

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong

kepada kesesatan sesudah E'ngkau beri petunjuk kepada kami, dan

karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena

Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia.)”. (Q.S. Ali 'Imran [3]

: 8).

4. Doa Memohon Diberi Pasangan dan Anak-Anak yang Sholeh Pada Q.S

Al-Furqan : 74

‫ون َربَّنَا َه ْب لَنَا ِمنْ َأ ْز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن‬ َ ‫َوٱلَّ ِذ‬
‫ين يَقُولُ َـ‬

َ ِ‫ٱج َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّق‬


‫ين ِإ َما ًما‬ ْ ‫َو‬
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah

kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati

(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

(Q.S. Al-Furqân [25] : 74) .

Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan ayat 63-73 dengan menguraikan


44
Ibid., h. 158.

38
39

sifat-sifat yang dimiliki oleh 'ibâd al-Rahman, kesemuanya terangkum

dalam sembilan sifat yang dimiliki oleh 'ibâd al-Rahman, yaitu Pertama,

ayat 63-67 'ibäd al-Rahman memiliki sifat rendah hati dan keluhuran jiwa,

memperlakukan sesama dengan cara yan baik dan lemah lunbut, tidak

keras dan kasar namun tetap menjaga kemuliaan jiwa. Kedua, sabar atau

tidak berpaling dari orang-orang bodoh. Ketiga, shalat tahajjud di malam

hari, yaitu saat orang lain tidur lelap, sementara 'ibäd al-Rahman

bemunajat dengan Tuhan, berdzikir. Keempat, takut. pada siksa Allah Swt

di neraka jahannam. Kelima, sederhana dalam berinfak, tidak berlebihan

hingga menyianyiakan harta, tidak pelit hingga mengabaikan hak orang

lain, atau menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungan dan

keluarga. Adil dalam bertindak terhadap siapapun.45

Selanjutnya Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan sifat 'ibåd al-Rahman

pada ayat 68-77, yaitu : Keenam, sifat 'ibåd alRahman adalah menjauhi

kesyirikan, pembunuhan dan perzinahan. Ket.ujuh, menghindari saksi

palsu, atau berdusta atas orang lain dengan sengaja karena dosa, dalam

arti 'ibäd alRahman ini tidak menghidari kepalsuan, semua dusta dan

dosa, dan yang paling besar adalah kesyirikan. Kedelapan, menerima

nasihat. Ketika diingatkan ayat-ayat Rabb, 'ibäd al-Rahman berusaha

keras untuk mendengarkan, menghadap dengan telinga yang siap

mendengar, hati yang sadar dan pandangan terbuka untuk menerimanya.

Kesembilan, berdoa kepada Allah Swt sepenuh hati agar dianugerahkan

istri-istri salehah, anakanak yang bertakwa. menjadi teladan baik,

pernimpin yang menjad panutan dalam kebaikan dan mengikuti ajaran


45
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, cet-I. jilid l, h. 768-769.

39
40

agama.46

Sifat kesembilan inilah yang tennaktub dalam Q.S. AlFurqân [25]:

74. Sebagai permohonan 'ibâcl al-Rahman yang menjaga diri dan istri dan

anak-anaknya dengan berdoa seperti ini.47

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkan/ah

kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati

(kami), dan Jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

(Q.S. Al-Furqân [25] : 74).

B. Tata Cara Berdo’a Menurut Wahbah Az-Zuhaily Beserta Dalilnya

Allah Swt. Maha Dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih dekat

dengan mereka daripada urat leher mereka sendiri. Allah Swt. mengetahui

perbuatan manusia mengawasi kondisi manusia dan Allah Swt. memenuhi

doa orang yang ketika berdoa dengan ikhlas kepada-Nya. 22

Menurut Wahbah Az-Zuhaili inilah yang dinamakan adab atau

tatacara berdoa menurut Al-Qur'an, sebagaimana dalam keterangannya

Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan beberapa tatacara berdoa menurut Al-

Qur'an di antaranya yaitu:

a. Ikhlas dalam berdoa, seperti diterangkan dalam QS. Al-A'råf [7]: 29

۟ ‫س ِط ۖ َوَأقِي ُم‬
ْ ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم ِعن َد ُك ِّل َم‬
ُ‫س ِج ٍد َوٱ ْدعُوه‬ ْ ِ‫قُ ْل َأ َم َر َربِّى بِٱ ْلق‬

َ ‫ِّين ۚ َك َما بَ َدَأ ُك ْم تَ ُعود‬


‫ُون‬ َ ‫ين لَهُ ٱلد‬
َ ‫ص‬ِ ِ‫ُم ْخل‬
“Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan

(katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan

46
Ibid., h. 771.
47
Ibid., h. 769.

40
41

sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.

Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian

pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)”.

b. Berdoa dengan suara pelan dan khusyuk, seperti diterangkan dalam QS.

Al-A'râf [7]: 55

َ ‫َض ُّر ًعا َو ُخ ْفيَةً ۚ ِإنَّ ۥهُ اَل يُ ِح ُّب ٱ ْل ُم ْعتَ ِد‬
‫ين‬ ۟ ‫ٱ ْدع‬
َ ‫ُوا َربَّ ُك ْم ت‬
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang

lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampaui batas”.

Maksudnya berdoa kepada Allah dengan penuh ketundukan dan

ketenganan, rasa takut dan nista, merendahkan hati dihadapan-Nya, serta

dengan suara lirih dan lembut, karena melirihkan doa dan

mengucapkannya dengan lembut jauh dari riya.48

c. Bersikap sopan dalam berdoa, kemantapan hati dalam meminta, sikap

istiqamah, memenuhi panggilan Allah untuk beriman kepada dengan

mewujudkan ketaan kepada dan amal shaleh.49 Dan menjauhkan dari

perbuatan mausak agama dengan kekafiran dan mengada-ada dalam

agama, merusak jiwa dengan pembunuhan dan pemotongan anggota

badan, merusak harta dengan pengambilan secara zalim, pencurian, dan

penipuan, merusak akal dengan mimum-minuman yang memabukkan

dan semacarnnya, dan perbuatan yang keji dan membinasakan yang

lain.50

48
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., Cet. Ke-l. jilid l,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 586.
49
Ibid., h. 81-82.
50
Ibid., h. 586-587.

41
42

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, doa bermanfaat untuk apa yang

telah terjadi dan belum terjadi, serta bermanfaat dalam mengubah qadha

dan qadar, meringankan musibah menghilangkan bencana, dan

mendatangkan rezeki. Nabi Saw bersabda :

“Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Razzaq telah mengabarkan

kepada kami Suban dari Abdullah bin 'Isa dari 'Abdullah bin Abu Al Ja'd

Al Asyja'i dari Tsauban pelayan Rasillullah Shallallahu'alaihiwasallatn

dan ia memarfu'kan hadits ini pada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam,

beliau bersabda; "Tidak ada yang menolak takdir kecuali doa, tidak ada

yang menambahi usia kecuali kebaikan dan seorang hamba benar-benar

terhalan.g dari rizki karena dosa yang dilakukannya”. (HR. Ahmad bin

Hambal).

Dalam buku Doa Ajaran Ilahi, Anis Masykur dan Jejen Musfah

dengan mengangkat pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali bahwa,

meskipun doa tidak menolak qadha dan qadar Tuhan, akan tetapi ia akan

melahirkan sifat rendah diri, dan hajat kepada Allah Swt. dalam suatu

riwayat disebutkan bahwa menolak qadha bisa dengan doa.51

C. Kontribusi Wahbah Az-Zuhaili Dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Wahbah Al-Zuhaili sangat produktif menulis. Mulai dari diktat

perkuliahan, artikel untuk majalah dan koran, makalah ilmiah, sampai kitab-

kitab besar yang terdiri atas enam belas jilid, seperti kitab Tafsir Al-Wasit}.

Ini menyebabkan Al-Zuhaili juga layak disebut sebagai ahli tafsir. Bahkan,

ia juga menulis dalam masalah aqidah, sejarah, pembaharuan pemikiran

51
Anis Msykur dan Jejen Musfah, Doa Ajaran Ilahi, cet, Ke-l, (Jakarta: Penerbit
Hikmah PT Mizan Publika, 2007), h 9.

42
43

Islam, ekonomi, lingkungan hidup, dan bidang lainnya, yang menunjukkan

kemultitalentaannya dan multidisiplinernya.

Wahbah Al-Zuhaili banyak menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam

pelbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 200 buah buku dan jika

digabungkan dengan tulisan-tulisan kecil melebihi dari 500 judul. Satu usaha

yang jarang dapat dilakukan oleh ulama saat ini. Wahbah Al-Zuhaili

diibaratkan sebagai al-Suyuti kedua (al-Sayuti al- Sani) pada zaman ini

jika dipadankan dengan Imam al-Sayuti. Selain itu Al-Zuhaili juga turut

berperan serta dalam penulisan berbagai penelitian seperti Ensiklopedia Fiqih

di Kuwait, Mawsu’ah al-‘Arabiyah al-Kubra (Ensiklopedia Besar Arab) di

Damaskus, Ensiklopedia Peradaban Islam di Yordania, dan Ensiklopedia

Islam di Halb.52

Karya intelektual Al-Zuhaili yang lain adalah berupa jurnal ilmiah

dan majalah-majalah yang diterbitkan di berbagai negara. Dari kesekian

banyak karya Al-Zuhaili ini. Nampak karya Al-Zuhaili dalam bidang

fiqih lebih dominan dibanding dengan karya-karyanya yang lain.

Selain itu Al-Zuhaili juga menulis artikel-artikel keislaman di Kuwait,

Damaskus, Riyad, Tunisia, Mesir, dan Mekah al-Mukarramah. Pernah

mengikuti lebih dari 100 seminar Islam internasional di Damaskus,

Rabat, Riyad, Kairo, Turki, Karachi, Bahrain, Jeddah, Kuwait, al-Jazair,

dan lainnya. Ia juga pernah menjadi narasumber pada siaran-siaran

radio dan televisi di Damaskus, Dubai, Kuwait, Kairo, Abu Dhabi dan

lain-lain. Sekarang menjabat sebagai ketua jurusan fiqih dan mazhab


52
Latif, Biografi Syehk Wahbah az-Zauhaili, 1 Agustus 2022,
(https://www.laduni.id/post/read/81001/biografi-syekh-wahbah-az-zuhaili, diakses tanggal, 5-07-
2023; 21:30 WIB).

43
44

Islam Fakultas Syariah Universitas Damaskus.53

D. Paenafsiran Wahbah Az-Zuhaili Dalam Pandangan Mufasir

1. Doa memohon kebaikan kehidupan dunia akhirat pada Q.S. al-Baqarah

[2]: 201 dalam penafsiran Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Ahmad

Musthafa Al-Maraghiy, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Sayyid Quthb, dan

Ibn Katsir.

ِ ‫سنَةً َوفِى ٱ ْل َء‬


‫اخ َر ِة‬ َ ‫َو ِم ْن ُهم َّمن يَقُو ُل َربَّنَٓا َءاتِنَا فِى ٱل ُّد ْنيَا َح‬

َ ‫سنَةً َوقِنَا َع َذ‬


‫اب ٱلنَّا ِر‬ َ ‫َح‬
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami,

berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah

kami dari siksa neraka”. (Q.S. al-Baqarah [2] : 201).

Pada awal menafsirkan ayat ini, Sya'rawi menanyakan sesuatu

kepada pembaca yaitu "kenapa kita tidak boleh melupakan dunia? Karena

dunia ladang akhirat." Selain itu, Sya'rawi mengutarakan pendapat ulama

yang mengatakan makna dari / berilah kami kebaikan di

dunia yaitu : sebagian ulama ada yang mempersempitnya dengan

pengertian wanita shalehah. atau kebaikan di akhirat yaitu surga. Ada

yang berpendapat, dunia yaitu: ilmu, karena ilmu adalah dasar beramal,

dan akhirat yaitu ampunan karena merupakan induk permintaan.54

Sya'rawi berpendapat bahwa sekalipun ulama berbeda pendapat,

namun rnereka sepakat bahwa kebahagiaan akhirat ialah sesuatu yang

53
Muhammad ‘Ali Ayazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, cet. I, (Teheran:
Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, 1993), h.4.
54
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi Penerjemah Tim terjernah
Safri al-Azhar, Ke-l, Jilid. l, (Jakarta : Penerbit Duta Azhar, 2004), h. 640-641.

44
45

mengantarkan ke surga, keampunan dan rahmat, tetapi mereka berbeda

tentang kebaikan di dunia. Lanjut Sya'rawi, menurutnya yang lebih hemat

itu adalah kebaikan dunia lebih universal dan ini lebih pantas.55

Dalam ayat ini pula, Al-Maraghiy menjelaskannya dengan

membaginya menjadi dua permohonan, yaitu : pertama pada kalimat ;

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di

akhirat”.

Al-Maraghiy menjelaskan li%lksud dari doa ini mengarah pada

cara bagaimana kebahagiaan itu didapat, dalam terjemahan tafsirnya ini,

penulis mengutipnya secara langsung.

“Menghendaki kehidupan baik, caranya adalah dengan cara meniti

sebab musabab yang telah dibuktikan oleh pengalaman akan

kemanfaatannya dalam hal berusaha dan mengatur tatanan kehidupan,

pergaulan dengan masyarakat, menghias diri dengan akhlak yang luhur

dan memegang teguh syari'at agama serta berpegangan kepada sifat-sifat

keutamaan yang diakui dalam hidup bermasyarakat. Sedang menghendaki

kehidupan akhirat yang baik adalah melalui iman yang ikhlas, beramal

saleh serta menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan budi luhur”.56

Dalam doa ini pula Al-Maraghiy menganjurkan supaya tidak

berlebih-lebihan dalam masalah agama keras/kaku. Hal ini diterangkan

oleh Al-Maraghiy dengan menjelaskan sebuah hadis yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari yang diterima dari Anas Ibnu Malik ra. Dari

Rasulullah Saw.
55
Ibid., h. 641.
56
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy. T'afsir Al-Maraghiy Penerjemah Bahrun Abubakar,
Cet. Ke-l, (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 196.

45
46

“Diceritakan dari Zuhair diceritakan dari Yazid bin Härün,

dikabarkan dari Hamid al-Thuwail : dari Anas bin Mälilc dari Rasulullah

Saw apakah kamu berdoa sesuatu kepada Allah "? Si lelaki menjawab

'Ya, saya sedang berdoa : Ya Allah, saya tidak ingin menyiksa diriku di

akhirat, maka dari itu percepatlah siksaan ku di dunia saja'. Lalu

Rasulullah saw. bersabda kepadanya 'Subhanallah! Jika demikian maka

anda tidak akan kuat menahannya dan tidak akan bisa. Mengapa Anda

tidak mengatakan : Ya Allah, anugerahilah kami dalam dunia ini

kebaikan dan di akhirat kebaikan serta peliharalah kami dari siksa neraka .

Kemudian Rasulullah berdoa untuknya, sehingga sembuhlah ia berkat doa

Nabi dan pertolongan dari Allah. (H.R. al-Bukhari).57

Berbeda halnya dengan Sya'rawi dan al-Maraghiy. Dalam

terjemahan tafsirnya, Ash-Shabuni lebih ternerinci menjelaskan sebab

bermulanya doa pada ayat ini, yang dimulai dari menjelaskan kesesuaian

antara ayat 196-203 dengan ayat sebelumnya yang menerangkan berbagai

hukum puasa, hukum mengenai haji yang dilaksanakan setelah bulan

puasa.58

Pada ayat 196-203, Ash-Shabuni menjelaskan tinjauan bahasa atau

kosa kata ayat, sebab turunya ayat yang menceritakan mengenai ibadah

haji perjalanan haji dan tempattempat ibadah lainnya.59

Ash-Shabuni menjelaskan ayat 196 adalah merupakan perintah

Allah mengenai ibadah haji jika terjadi halangan atau ancaman, dan jika

57
Abu Abdi Al-Rahman Ahmad bin Syu'aib bin 'Aliy alKhurasaniy An-Nasai, Musnad
Abi Yu'la, Juz. Ke-6, (Maktabah Syamilah), h. 448.
58
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafassir, penerjemah KH. Yasin, Cet. Ke-l,
jilid. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 256.
59
Ibid., h. 256.

46
47

sudah merasa aman maka kewajiban-kewajiban dalam ibadah haji harus

dilaksanakan ayat 197 adalah merupakan larangan Allah dalam ibadah

haji, ayat 198-199 adalah peraturan dalam ibadah haji, ayat-200 adalah

perintah Allah supaya banyak berdzikir kepada Allah, dan gambaran

mengenai orang yang berdoa untuk kebaikan dunia saja.60

Ayat 201, Ash-Shabuni menjelaskan bahwa pada doa pada ayat ini

adalah merupakan himpunan seluruh kebaikan dan menolak segenap

keburukan. Kebaikan mencakup kesehatan, kesejahtraan keluarga, istri

yang baik, rezeki yang lapang dan Iainnya. Sedangkan kebaikan di akhirat

mencakup rasa aman dari ketakutan yang besar pada hari Kiamat,

kemudahan dalam hisab, masuk surga dan melihat Allah di surga, serta

memohon diselamatkan dari siksa neraka.61

Selanjutnya Ash-Shabuni menjelaskan bahwa orangorang yang

memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah mereka yang

mendapat keberuntungan melimpah, atas segala yang nıcreka kerjakan

berupa kebaikan dan amal-amal shalih, dan Allah akan cepat

memperhitungkannya. Allah menghisab hamba-hamba-Nya secepat

kedipan mata.62

Penjelasan Ibnu Katsir hampir sama dengan penjelasan mufasir

lainnya ketika menguraikan latar belakang turunnya doa pada ayat ini.

Akan tetapi Ibnu Katsir Inenguraikan lebih jelas dengan menghadirkan

hadis-hadis Rasulullah Saw. mengenai kebiasaan-kebiasaan orang badui

saat wuquf di padang Arafah, yaitu penjelasan menenai ayat 200-201.


60
Ibid., h. 259-261.
61
Ibid., h. 262
62
Ibid., h. 262

47
48

Bahwa diriwayatkan oleh Said bin Jubair, dari Abas: "ada suatu kaum dari

masyarakat Badui yang datang ke tempat wuquf lalu mereka berdoa "Ya

Allah, jadikanlah tahun ini sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun

kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik. Maka Allah menurunkan

firman ayat 200.63

Pada ayat 201 atau doa pada ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan

bahwa kebahagiaan di dunia yang dimaksud adalah setiap kebaikan yang

mencakup segala permintaan yang bersifat duniawi, berupa kesehatan,

rumah yang luas, isteri yang cantik, rizki melimpah, ilmu yang

bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang nyaman, pujian, dan lain

sebagainnya yang tercakup dalam ungkapan para mufassir. Sedangkan

mengenai kebaikan di akhirat yaitu maşuk Surga dan segala cakupannya

berupa rasa aman dari ketakutan yang dahsyat, kemudahan hisab, dan

berbagai urusan akhirat lainnya. Sedangkan keselamatan dari apai Neraka,

berarti juga kemudahan dari berbagai faktor penyebabnya di dunia, yaitu

berupa perlindungan dari berbagai larangan dan dosa, terhindar dari yang

syubhat dan hal-hal yang haram.64

Sayyid Quthub menjelaskan ayat ini dari ayat 200-202 dengan tema

"Dua Golongan Manusia" yang isinya adalah kebiasaan orang-orang

İslam yang sehabis melaksanakan ibadah haji, mereka membangga-

banggakan dan mengagungkan nenek moyang mereka sehingga mereka

lupa dengan Dzikrullah. Seharusnya setelah mereka memeluk İslam,

63
Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir Pentahqiq 'Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah M. Abdul Ghaffar, Cet. Ke-7, (Jakarta : Pustaka
Imam Asy-Syafi'i, 2009), h. 396.
64
Ibid., h. 397.

48
49

mereka memiliki tugas besar akan Islam, khususnya pada kasus tadi. Oleh

sebab itu, Islam telah mengarahkan mereka kepada halhal baik. Melalui

al-Qur'an, setelah mereka melaksanakan ibadah haji mereka diarahkan

untuk berdzikir kepada Allah yaitu pada ayat 200.65

Dua golongan manusia itu menurut Sayyid Quthb yaitu pertama,

golongan yang mementingkan kehidupan dunia, sangat ambisi

terhadapnya, dan sibuk dengannya hingga ketika menghadapkan diri

kepada Allah sekalipun. Karena urusan itulah yang menyibukannnya,

yang mengisi kekosongan jiwanya, Yang meliputi dunianya serta

menutupi hatinya. Kedua, golongan yang lebih luas cakrawala

pandangannya dan lebih besar jiwanya, karena selalu berhubungan

dengan Allah, yaitu golongan orang yang menginginkan kebaikan di

dunia dengan tidak melupakan bagiannya di akhirat.66

Sayyid Quthb melengkapi penjelasan Mufasir lainnya yaitu tujuan

dari ayat ini menurutnya adalah salah satu bentuk pengajaran Allah

kepada manusia, supaya hidup manusia itu lebih seimbang dan istiqamah

di atas tashawur 'pandangan' yang tenang dan seimbang yang

ditumbuhkan oleh Islam.67

2. Doa memohon ampunan atas semua kesalahan baik karena lupa atas

kekeliruan pada Q.S. al-Baqarah [2] : 286 dalam penafsiran Syekh

Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Ahmad Musthafa Al-Maraghiy,

Muhammad.

65
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an di Bawah Naungan alQur'an Penerjemah As'ad
Yasin dkk., Cet. Ke-l, jilid l, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 55.
66
Ibid., h. 56.
67
Ibid., h. 57.

49
50

َ َ‫سبَتْ َو َعلَ ْي َها َما ٱ ْكت‬


ۗ ْ‫سبَت‬ َ ‫س َع َها ۚ لَ َها َما َك‬ ً ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْف‬
ْ ‫سا ِإاَّل ُو‬

ْ ‫سينَٓا َأ ْو َأ ْخطَْأنَا ۚ َربَّنَا َواَل ت َْح ِم ْل َعلَ ْينَٓا ِإ‬


‫ص ًرا‬ ِ َّ‫اخ ْذنَٓا ِإن ن‬
ِ ‫َربَّنَا اَل تَُؤ‬

‫ين ِمن قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا‬
َ ‫َك َما َح َم ْلتَ ۥهُ َعلَى ٱلَّ ِذ‬

ُ ‫ٱر َح ْمنَٓا ۚ َأنتَ َم ْولَ ٰىنَا فَٱن‬


‫ص ْرنَا َعلَى‬ ْ ‫بِ ِۦه ۖ َوٱعْفُ َعنَّا َوٱ ْغفِ ْر لَنَا َو‬

َ ‫ٱ ْلقَ ْو ِم ٱ ْل ٰ َكفِ ِر‬


‫ين‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang

diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang

dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau

hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau

bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah

Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (Q.S.

alBaqarah [2] : 286).

Sya'rawi menjelaskan makna dari doa “Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” dengan sabda

Rasulullah : “telah diturunkan ampunan berkat hikmahku. Di antara

hikmah yang ada padaku adalah diampuninnya segala kesalahan,

kelalaian dan keterpaksaan umatku”.68


68
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi, Penerjemah Tim terjemah
Safri al-Azhar. Cet. Ke- l, Jilid. 2, (Medan: Duta Azhar), h. 168.

50
51

Kemudian pada kalimat ‫س ـينَٓا َأ ْو َأ ْخطَْأنَا‬


ِ َّ‫اخ ْذنَٓا ِإن ن‬
ِ ‫َربَّنَا اَل تَُؤ‬
Sya’rawi menjelaskan dengan maksud dari doa itu adalah : Ya Allah kami

menghormati-Mu dan mengagumi-Mu dan kalni tidak bermaksud berbuat

maksiat kepadamu dengan sengaja, dan jika kami berbuat maksiat maka

itu akibat kelupaan dan kesalahan kami.69

Selanjutnya Sya’ rawi membedakan kata "salah” dalam bahasa

Arab, yang pada maknanya memiliki dua arti yang berbeda : pertama,

akhta'a / tersalah yang dikategorikan oleh Sya’rawi sebagai dosa, karena

seseorang mengetahui bahwa perbuatan itu dosa lalu dilanggar dengan

sengaja. Kedua, khulia atau salah yang dikategorikan oleh Sya’rawi bukan

sebagai dosa, karena ketidak-tahuan bahwa perbuatan itü adalah dosa.

Ringkasnya Sya'rawi menjelaskan bahwa salah pada doa tersebut yang

diamaksud adalah akhta'a/tersalah atau salah yang tidak disengaja, dan

bukan khuthia atau salah yang disengaja.70

Pada kalimat ini pula, İbnu Katsir menjelaskan doa ini dengan "Ya

Tuhan kami, janganlah enkau menghııkum kami jika kami meninggalkan

sesuatu kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram karena lupa, atau

kami melakukan sesuatu kesalahan karena tidak mengetahui hal yang

benar menurut kalimat.71

Doa selanjutnya pada ayat ini adalah :

‫ين ِمن قَ ْبلِنَا‬


َ ‫ص ًرا َك َما َح َم ْلتَ ۥهُ َعلَى ٱلَّ ِذ‬
ْ ‫َربَّنَا َواَل ت َْح ِم ْل َعلَ ْينَٓا ِإ‬
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
69
Ibid., h. 169.
70
Ibid., h. 169-170.
71
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir: Lubab al-Tqfsir min Ibni Katsir,
Penerjemah M. Abdul Ghaffar, Cet. VII, (Jakarta: Yayasan Mitra Netra, 2019), h. 397.

51
52

yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebclum

kami”.

Sya'rawi menjelaskan bahwa kata ishru ', mempunyai maksud yaitu

beban yang amat berat bagi manusia, misalnya beban yang diturunkan

Allah terhadap bangsa Yahudi. Allah berfirman: jika kamu ingin

bertaubat maka bunuhlah dirimu dengan mengeluarkan zakat dari harta-

hartamu ". Akan tetapi Allah tidak memperlakukan umat Muhammad

sebagaimana Allah memperlakukan orang-orang sebelum umatnya.

Karena Allah telah mengabulkan doa Muhammad Saw.72

Lain halnya dengan Sya'rawi dan Ibnu Katsir, AlMaraghiy

menafsirkan kata-kata yang dianggap sulit dalam doa pada ayat ini, yang

dimulai dari kata at-Taklif yang memiliki arti kewajiban yang mempunyai

bobot beban. Al- Wus'u memiliki arti batas kekuatan manusia, tanpa

menyusahkan atau merepotkan dirinya. AI-Iktisab memiliki arti

kesungguhan dalam beramal. AI-Mu 'akhadzah memiliki arti diambil

disiksa, karena orang yang akan disiksa itu diambi] dengan kekerasan. Ma

la thaqata Iana bihi memiliki arti sesuatu yang tidak mampu kami

lakukan, dan terasa sangat berat bagi kami dalam melaksanakannya. AI-

Ishr memiliki arti beban berat yang merepotkan pelakunya, sehingga

membuat tidak bisa berbuat sesuatu lantaran beratnya beban atau beban-

beban berat. Maulana memiliki arti yang menguasai ihwal manusia.73

Tidak jauh berbeda dengan Sya'rawi, Al-Maraghiy menjelaskan

72
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi, Penerjemah Tim terjemah
Safri al-Azhar, Cet. l, Jilid. 2, (Medan: Duta Azhar), h. 170.
73
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Penerjemah Bahrun, Cet. Ke-l,
(Semarang: Toha Putra, 1993), h. 147.

52
53

ayat ini dengan membedakan kata iktasab (upaya) yang disandarkan

kepada kebaikan adalah merupakan fitrah manusia, sedangkan jika

disandarkan pada keburukan, maka hal ini dikatakan sebagai sesuatu yang

bukan fitrah dan watak manusia. Sehingga kesimpulan yang beliau

berikan pada kalimat lahä ma kasabat wa 'alaihä mäktasabat adalah

seseorang itu akan menerima kebaikan dari perbuatannya, baik perkataan

atau perbuatan. la pun akan mendapatkan bahaya dari perbuatannya

sendiri.74

Selanjutnya Al-Maraghiy menggambarkan kesalahan dan kelalaian

manusia dengan hukum yang digunakan manusia yang jika tersalah tetap

akan dikenakan sangsi baik menurut hukum syari'at atau menurut undang-

undang manusia. Begitu pula bisa saja Allah Swt rnenghukum manusia

kelak di akhirat karena kemungkaran-kemungkaran yang dilakukannya,

meski alasannya karena lupa, dan ia berlaku keliru terhadap perbuatan

yang diharamkan.75

Sehingga pada pada penjelasannya Al-Maraghiy memberikan

kesimpulan dan ini menarik untuk dikutip dari terjemahan tafsirnya:

“Kesalahan dan lupa merupakan dua hal yang bisa diharapkan

mendapat ampunan, apabila seseorang yang melakukannya telah berjuang

sekuat tenaga dengan seluruh kemampuan untuk pikir dan konsentrasi, di

samping telah memegang prinsip agamanya dengan sekuat mungkin.

Setelah itu, ia pun berdoa. yang dengan doa ini akan memperkuat jiwanya

dengan berharap kemurahan Allah lantaran takut padaNya. Dengan

74
Ibid., h. 152-153
75
Ibid., h. 154.

53
54

demikian, mengadukan masalah kepada Allah merupakan Sinar terang

yang bisa mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh kelalaiannya.76

Selanjutnya Al-Maraghiy menjelaskan hadis yang diriwayatkan

oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abas:

“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin

Yusuf Al Firyabi berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub bin

Suwaid berkata, tclah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al Hudzali

dari Syahr bin Hausyab dari Abu Dzar Al Ghifari ia berkata, "Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan

dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang

clipaksakan kepadanya”. (H.R. Ibnu Majah)77

Pengertian hadis ini ialah janji Allah, karena Allah swt kelak akan

mengampuni pelaku ketiga hal tersebut sebagai rahmat dan karunia-Nya.

Doa selanjutnya pada ayat ini adalah Al-Maraghiy menjelaskan

dengan pengertian sebagai berikut:

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau mebebani kami dengan hal-hal

yang berat kami lakukan, sebagaimana telah Engkau bebankan terhadap

umat sebelum kami yang telah Engkau kirimkan untuk mereka beberapa

utusan seper!i umat Bani Israil, bahwa mereka Engkau Wajibkan agar

nıemotong tempat yang terkena najis dari pakaian mereka, dan mereka

diwajibkan memba.yar seperempat harta untuk zakat dan lainnya ycıng

memberatkan”.

Al-Maraghiy menjelaskan pula kandungan dari doa ini, yang


76
Ibid., h. 154
77
Lidwa Pusaka, Ibnu Majah kitab talaq bab talak orang yang dipaksa atau lupa No.
Hadist: 2033.

54
55

menurutnya doa ini mengandung berita gembira, bahwa Allah tidaklah

membebani manusia dengan hal-hal yang berat. Sekaligus pemberitahuan

jika seandainya Allah membebankan beban yang berat, maka doa ini

adalah salah satu bentuk syukur kepadaNya.78

Pada doa dalam ayat ini, Ash-Shabuni menjelaskannya dari ayat

283-286, bahwa dalam ayat-ayat ini Allah menyebut bahwa Dia adalah

Sang Penguasa langit, bumi, dan apa yang ada di keduanya. Dia memberi

beban kewajiban kepada orang yang dikehendaki-Nya dan dengan hukum

yang dikehendakiNya pula. Balasan atas amal-amal baik ini adalah

kehidupan akhirat.79

Sayyid Quthb melengkapi penjelasan mufasir lainnya dengan

menjelaskan bahwa doa pada ayat ini adalah gambaran eksistensi orang-

orang mukmin bersama Tuhannya yang memiliki kesadaran akan

kelemahan dan kckurangan mereka, yang membutuhkan ampunan dan

rahmat-Nya, bantuan dan pertolongan-Nya, melekatkan punggung mereka

di pilar-Nya, berlindung di bawah naungan-Nya, penisbatan diri mereka

kepada-Nya, pemurnian mereka dari semua orang selain-Nya, kesiapan

mereka untuk berjihad di jalan-Nya, dan permohonan mereka akan

pertolongan-Nya. Semua itu disampaikan dengan nada haru, merendah

diri, dan rasa takut, yang menandakan adanya kesan yang dalam di lubuk

hati dan ruh.80

Sayyid Quthb menjelaskan awal ayat yailu pada doa “janganlah


78
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Penerjemah Bahrun, Cet. Ke-l,
(Medan: Duta Azhar), h. 155.
79
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafassir penerjemah KH. Yasin, Cet. Ke-l,
jilid. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 382.
80
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur 'an di Bawah Naungan al- Qur'an, Penerjemah
Abdul Aziz. Salim Basyarahil dkk., Cet. Ke-l, jilid l, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 315.

55
56

Engkau bebankan kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan

kepada orang-orang yang sebelum kami" bahwa kebebasan yang dipinta

pada doa dalam ayat ini adalah salah satu bentuk titik tolak kebebasan dan

kemerdekaan manusia dari ruh, akal dan seluruh kehidupan manusia yang

menghambakan diri mereka kepada sesama hamba”.81

Sayyid Quthb melengkapi pcnafsiran mufasir lainnya, ketika

menjelaskan ayat ini yaitu pada doa "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau

pikulkan keptlda kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. "

bahwa doa ini adalah sebuah gainbaran doa yang dihiasai dengan

kepasrahan, yang dalam hal ini orang-orang yang beriman tidak berniat

menolak tugas yang dibebankan Allah kepadanya, akan tetapi mereka

sadar, bahwa mereka mempunyai kelemahan dan mengharapkan Allah

tidak membebani beban berat, dan mengharapkan bahwa mereka tidak

lemah dan tidak kurang dalam melaksanakannya. Sehingga pengakuan

kelemahan ini ditutup dengan doa "beri maaflah kami, anpunilah kami

dan rahmatilah kami, Engkaulah penolong kami dan tolonglah kami

menghadapi kaum kafir.82

3. Doa memohon kemantapan iman pada Q.S. Ali 'Imran [.3] : 8 dalam

penafsiran Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Ahmad Musthafa Al-

Maraghiy, Muhammad Ali Ash-Shabuni, Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir.

َ‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوبَنَا بَ ْع َد ِإ ْذ َه َد ْيتَنَا َو َه ْب لَنَا ِمن لَّدُن َك َر ْح َمةً ۚ ِإنَّك‬

ُ ‫َأنتَ ٱ ْل َوه‬
‫َّاب‬

81
Ibid., h. 316.
82
Ibid., h. 317

56
57

“(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati

kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada

kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena

sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. (Q.S. Ali-Imran : 8).

Sya'rawi menjelaskan perkataan para cendikiawan yang

mengungkapkan bahwa setiap yang muhkam dan mutasyabih berasal dari

Allah, ayat muhkam untuk dikerjakan sedangkan ayat mutasyabih untuk

diimani. Inilah petunjuk yang dimohonkan agar selalu berada di

dalamnya. Sehingga makna ayat di atas menurut Sya'rawi yaitu "Ya

Tuhan tetapkanlah hati kami dalam beribadah, jangan Engkau rubah hati

kami kepada kejahatan atau kesesatan.83

Selanjutnya para pada kalimat ً‫“ َو َه ْب لَنَا ِمن لَّدُنكَ َر ْح َمة‬Dan


karııniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu”. Sya'rawi menjelaskan

bahwa para cendikiawan ini meınohon rahmat hibah/pemberian bukan

rahmat hak, karena tidak ada seorang makhlukpun di dunia ini yang

memiliki hak pada Allah kecuali apa yang diberikan Allah kepadanya.84

Al-Maraghiy menjelaskan bahwa ayat ini adalah doa yang

diungkapkan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan beriman

terhadap ayat-ayat mutasyabih, yang senantiasa memohon kepada Allah

agar Dia memelihara mereka dari kekafiran sesudah mendapatkan

hidayah, dan berharap semoga Allah menganugerahi ketetapan untuk bisa

memahami hakikat dan teguh dalam perjalanan, lantaran mereka

mengakui kelemahannya sebagai manusia. Yang pada hal ini, manusia


83
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi Penerjemah, Tim terjemah
Safri al-Azhar, Cet. Ke- I Jilid. 2, (Medan: Duta Azhar), h. 200.
84
Ibid., h. 200

57
58

selalu diancam gundah-gulana, lupa, dan kaget, sehingga mereka merasa

takut terjerumus ke dalam kesalahan, karena kesalahannya adalah sama

dengan bahaya.85

Selanjutnya Al-Maraghiy menjelaskan hadis yang diriwayatkan

oleh Ahmad dari Ibunda Siti A'isyah ra:

"Telah menceritakan kepada kami Yunus, dia berkata; telah

menceritakan kepada kami Hammad, yaitu Ibnu Zaid, dari Al-Mu'alla bin

Ziyacl, dan Hisyam, dan Yunus, dari Al-Hasan bahwasanya Aisyah

berkata; "Di antara doa yang seringkali diapajatkan Rasulullah

Shallallahu'alaihiwasallam adalah: YA MUQOLLIBAL QULUUBI

TSABBIT QOLBII 'ALAA DIINIKA (wahai Dzat Yang maha

membolak-balikka.n hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu), saya. "

(Aisyah) Berkata; "Wahai Rasulullah! Kenapa engkau banyak berdoa

dengan doa ini'?" lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya hati anak adam

berada di antara dua jari dari jari-jari Allah Azza WaJalla, jika Dia

berkehendak maka Allah akan mencondongkannya dan .jika berkehendak

maka Allah akan meluruskannya" (H.R. Ahmad).86

Penjelasan Al-Maraghiy ini hampir sama dengan penjelasan Ibnu

Katsir yang menguraikan hadis di atas tersebut. Akan tetapi pada

penjelasan Ulul al-bâb/orang-orang yang berakal sehat dimaksudkan

untuk orang yang benar-benar memahami ayat-ayat Mutasyabihat dengan

sebenar-benarnya akal sehat. Dalam doa pada ayat ini Ibnu Katsir supaya

85
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Cet. Ke-l, Penerjemah Bahrun, h.
183
86
Lidwa Pusaka. Musnad Ahmad kitab sisa Musnad sahabat anshor bab hadis Sayyidah
Aisyah ra. No. Hadist: 23463. Lihat Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy
Penerjemah Bahrun, cet. I, h. 183

58
59

dijauhkan dari perbuatan sesat dan Inenyesatkan, seperti orangorang

orang berakal yang memahami ayat-ayat Mutasyabihat dengan

sembarangan dan sekehendak nafsu mereka.87

Ash-Shabuni menjelaskan dari ayat 1-9, dengan sebab turunnya

ayat-ayat ini adalah ketika delegasi Nasrani Najran menemui Rasulullah,

yang mana utusan-utusan ini berbicara mengenai Isa as. yang dianggap

oleh mereka adalah Tuhan semesta alam, yang bisa menghidupkan orang

mati, Isa anak Allah, Isa itu adalah satu dalam tiga person (trinitas).

Rasulullah pun menegaskan kepada mereka dengan perkataan berikut.

Rasulullah bertanya Bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan

kita itu hidup dan tidak mati, sedangkan sesungguhnya Isa itu mati?!

Mereka menjawab, "ya benar" Rasulullah bertanya "bukankah kalian

mengetahui bahwa Allah tidak mempunyai anak, sehingga Dia tidak

menjadi bapak bagi Isa! " mereka menjawab, "Ya" Rasulullah bertanya

lagi "bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan kita yang menjalankan

segala sesuatu, menjaga makhluknya dan memberinya rezeki, apakah Isa

mampu berbuat seperti itu? Mereka menjawab, "Tidak". Rasulullah

bertanya : "bukankah kalian mengetahui bahwa sesungguhnya bagi Allah

tidak ada satupun yang tersembunyu di bumi dan tidak (pula) di langit,

apakah Isa mengetahui sedik pun dari semua itu, jika Allah tidak

mengajarinya?" mereka menjawab, "Ya" Rasulullah bertanya "bagaimana

bisa IS'a menjadi Tuhan seperti yang kalian nyatakan? " lalu mereka

terdiam dan ingkar, kemudian Allah menurunkan dari ayat pertama

87
Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir Pentahqiq 'Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah M. Abdul Ghaffar, Jilid 2. Cet. Ke-VII, h. 11.

59
60

hingga 80.88

Ayat 6 dan 7 Ash-Shabuni membedakan antara orang yang beriman

terhadap ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya orang-orang yang dalam

hatinya melenceng dari petunjuk menuju kesesatan, adalah orang yang

menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat sekehendak hawa nafsunya, untuk

menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya. Sedangkan orang yang

beriman terhadap ayat Mutasyabihat adalah orang yang mendalam

ilmunya yang meyakini bahwa ayat-ayat Mutasyabihat maupun Muhkam

itu berasal dari Allah.89 Sehingga pada akhirnya Ash-Shabuni

menafsirkan ayat ke-8 dengan :

“Ya Tuhan kami, Janganlah Engkau jadikan hati kami melenceng

dari kebcnaran dan janganlah Engkau sesatkan kami, setelah Engkau beri

petunjuk kepada kami menuju agama-Mu vang lurus dan. syariat-Mu

yang kokoh. Dan anugerahkanlah kepada kami karunia-Mu dan

kemuliaan-Mu sebagai rahmat yang telah Engkau tetapkan kepada kami

menuju agama-Mu yang benar, ya Allah Engkaulah pemberi kemuliaan

kepacla hamba-Mu berupa pemberian dan kebaikan”.90

Doa pada ayat ini, penjelasan Sayyid Quthb hampir sama dengan

mufasir lainnya ketika menerangkan doa pada ayat ini, akan tetapi Sayyid

Quthb lebih menekankan bahwa doa ini diungkap oleh orang yang berakal

yang mendalam ilmunya dalam hubungan dengan Tuhannya. Yaitu

eksistensi yang cocok dengan iman, yang bersumber dari kemantapannya,

88
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu al-Tafassir penerjemah KH. Yasin, Cet. Ke-
Jilid. l, h. 394.
89
Ibid., h. 394-395.
90
Ibid., h. 395.

60
61

kepada firman Allah dan janji-Nya, pengetahuan akan rahmat dan

karunia-Nya, selalu mengharapkan qadha '-Nya yang muhkam pasti

berlaku' dan qadar-Nya yang gaib, bertakwa, sensitif, dan sadar

sebagaimana yang diwajibkan oleh iman terhadap pemiliknya.91

4. Doa memohon diberikan pasangan dan anak-anak yang soleh pada Q.S.

Al-Furqân [25] : 74 dalam penafsiran Syekh Muhammad Mutawalli

Sya'rawi, Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Muhammad Ali AshShabuni,

Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir.

‫ون َربَّنَا َه ْب لَنَا ِمنْ َأ ْز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن‬ َ ‫َوٱلَّ ِذ‬
‫ين يَقُولُ َـ‬

َ ِ‫ٱج َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّق‬


‫ين ِإ َما ًما‬ ْ ‫َو‬
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah

kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati

(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

(Q.S. Al-Furqân [25] : 74).

Dalam ayat di atas Sya'rawi menjelaskan bagian dari sifat 'ibâd al-

Rahman, yang pada konten doa ini Sya'rawi membagi dua bagian :

Pertama, pada kalimat ‫ربَّنَا َه ْب لَنَا ِمنْ َأ ْز ٰ َو ِجنَا َو ُذ ِّر ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن‬.
َ
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan

keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), ". Menurut Sya 'rawi kata

qurratu/penyenang hati memiliki dua makna dasar, walaupun berbeda

makna, tapi pada akhir bertemu dalam satu makna yaitu : pertama, kata

qurratun yang berarti ketetapan. Sehingga makna ‫قُ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن‬ adalah istri
91
Sayyid Quthb, TafSir Fi Zhilalil-Qur'an di Bawah Naungan al- Qur 'an, Penerjemah
Abdul Aziz Salim Basyarahil dkk., Cet. Ke-l, jilid l, h. 316.

61
62

yang memiliki akhlak, adab dan keindahan yang suaminya meridhainya.

Sehingga implikasinya, mata suami akan menetap kepada istrinya

anakanak yang shaleh. 1 10


Kemudian juga diartikan dengan kesenangan.

Kedua, altinya sejuk dan dingin. Mata yang sejuk karena 1a senang. Mata

yang panas sebagai bukti pemiliknya lagi sedih. Sehingga maksud dari

‫ قُـ َّرةَ َأ ْعيُ ٍن‬adalah jadikanlah dari istri-istri kami dan keturunan kami

sebagai sosok-sosok yang menyenangkan.92

Adapun Ibnu Katsir memahami kalimat doa tersebut bahwa doa itu

terucap dari orang-orang yang meminta kepada Allah untuk dikeluarkan

dari tulang sulbi mereka, keturunan mereka yang taat dan hanya beribadah

kepada-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Selanjutnya, Ibnu Katsir

mengangkat pendapat Ibnu 'Abbas yang mengatakan bahwa maksud dari

pengertian doa pada kalimat tersebut yaitu orang-orang yang beramal

ketaatan kepada Allah hingga menjadi penyejuk mata mereka di dunia

dan di akhirat.93

Pemintaan ibad al-Rahman yang kedua pada ayat ini adalah :

َ ِ‫ٱج َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّق‬


‫ين ِإ َما ًما‬ ْ ‫َو‬
"...Dan jadikanlah kami imam hagi orang-orang yang bertakwa”.

Sya'rawi menjelaskan bahwa imam disini tidak dimaksudkan

dalam bentuk jamak, ini disebabkan karena Allah memperingatkan bahwa

tannggung jawab imam adalah mengarahkan manusia pada manhaj Allah

92
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi, Penerjemah Tim terjemah
Safri al-Azhar. Cet. Ke-l, Jilid. 9, h. 812-813.
93
Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir Pentahqiq 'Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah M. Abdul GhaTar, Jilid 6. Cet. Ke-7, h. 134.

62
63

Swt. sehingga jika ditemukan banyaknya bilangan imam, tentu mereka

harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Mereka tidak boleh memimpin

berdasarkan nafsur hingga terjadi perpecahan. Mereka harus bersatu padu

di atas bendera takwa.94

Doa pada kalimat tersebut dimaknai Ibnu Katsir dengan

mengangkat pendapat para ulama, yaitu Ibnu 'Abbas, al-Hasan, As-Suddi.

Qatadah dan ar-Rabi' bin Anas, yang mengatakan bahwa maksud dari wa

ij'alnä lilmutlaqina imåmä adalah supaya dijadikan para imam yang

ditauladani dalam kebaikan dan suapaya Allah menjadikan mereka

menjadi para petunjuk yang mendapatkan petunjuk bagi para penyeru

kebaikan.95

Doa dalam ayat ini dijelaskan oleh Al-Maraghiy yaitu, bagi orang-

orang yang beriman yang sebenar-benarnya iman, apabila melihat

keuarganya sama dengannya, taat kepada Allah maka dia akan merasa

senang dan gembira, dia mengharapkan mereka dapat berguna baginya di

dunia selama hidup dan matinya serta bertemu dengannya di akhirat.

Mereka juga memohon agar Allah menjadikan mereka para imam yang

diteladani dalam menegakkan panji-panji agama dengan

menganugerahkan ilmu yang luas kepada mereka, dan memberi taufik

kepada mereka untuk mengerjakan amal shaleh.96

Dengan kata lain doa ini dimaksudkan oleh AlMaraghiy sebagai

doa orang-orang yang memohon kepada Allah agar melahirkan dari


94
Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir Sya 'rawi, Penerjemah Tim terjemah
Safri al-Azhar. Cet. Ke-l, Jilid. 9, h. 814.
95
Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir Pentahqiq 'Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah M. Abdul GhaTar, Jilid 6. Cet. Ke-7, h. 136.
96
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tqfsir Al-Maraghi, Penerjemah Bahrun, cet. II-I, h.
183.

63
64

mereka keturunan yang taat dan beribadah kepada-Nya semata dan tidak

menyekutukan-Nya. Diakhir ayat ini Al-Maraghiy menyantumkan hadis

Muslim yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Rasul Saw :

"Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah

yaitu Ibnu Sa'id dan Ibnu Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada

kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far- dari Al 'Ala' dari Ayahnya dari Abu

Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah

segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang

bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya. " (H.R.

Muslim).97

Hampir sama dengan mufassir yang lain, Ash-Shabuni

menjelaskan mengenai sifat-sifat Ibad al-rahman dari ayat 63-77. Akan

tetapi, Ash-Shabuni lebih spesifik dalam menguraikan sifat-sifatnya pada

masing-masing ayat.

Ash-Shabuni menjelaskan aspek balaghah pada ayat ini, yaitu

Qurrata A'yunin adalah salah satu kinayah dari kegembiraan dan

kebahagiaan. Sehingga arti dari doa ini adalah "Ya Tuhan kami,

anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak yang

membahagiakan (kami) dengan selalu taat kepada-Mu dan berbuat untuk

meraih ridha-Mu dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang

bertakwa.98

97
Lidwa Pusaka, Shahih Muslim kitab Wasiat bab amalan yang sampai kepada mayat
setelah Ineninggal, No. Hadist: 3084. Lihat Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghi,
Penerjemah Bahrun, Cet. Ke-l, h. 70.
98
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shabuni al-Tafassir penerjemah KII. Yasin, Cet. Ke-l,
jilid. l, h. 695.

64
65

Pada ayat 74 ini, ash-Shabuni menerangkan bahwa kebahagiaan

orang mukmin adalah dengan adanya anak-anak shaleh, yang senantiasa

berbakti kepadanya dan meninggikan derajatnya, serta menjadi syafaat

baginya di hari kiamat. Ini merupakan nikmat tertinggi baginya.

Selanjutnya Ash-Shabuni menampilkan kata-kata sang penyair "nikmat

Allah yang diberikan manusia sangatlah banyak yang paling besar adalah

anak-anak yang baik.99

99
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Cahaya al-Qur 'an Tafsir Tematik Surat an-Nûr-Fathir,
Penerjemah Munirul Abidin, (Pustaka al-Kautsar, 2002), h. 130.

65
66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Metode penelitian yang digunakan adalah analitis deskriptif yang dapat

dikategorikan ke dalam jenis penelitian studi pustaka, penulis

menguraikan biografi Wahbah Az-Zuhaili dan tafsirnya dengan cara

mengunpulkan, mengklasifikasi, merumuskan masalah dari sumber-

sumber data primer dan sekunder. Dan terakhir menyimpulkan hasil dari

pembahasan tentang ayat-ayat doa menurut Wahbah Az-Zuhaili.

2. Menurut Wahbah Az-Zuhaili etika berdoa sesuai dengan menurut Al-

Qur’an yaitu dengan ikhlas dalam berdoa, berdoa dengan suara pelan dan

khusyuk, bersikap sopan dalam berdoa, kemantapan hati dalam meminta,

sikap istiqomah, memenuhi panggilan Allah untuk beriman.

3. Kontribusi Wahbah Az-Zuhaili telah banyak menafsirkan isi Al-Qur’an,

dengan memiliki lebih 200 buku dengan tulisan-tulisan kecil melebihi

500 judul. Beliau juga aktif dalam penelitian Ensiklopedia Fiqih di

Kuwait dan sebagainya.

4. Menurut penulis penafsiran Wahbah Az-Zuhaili saling melengkapi

dengan pandangan mufasir lainnya seperti Syekh Muhammad Mutawalli

Sya’rawi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Muhammad Ali Ash-Shabuni,

Sayyid Qathb, dan Ibnu Katsir, diantaranya yaitu:

a) Doa memohon kebaikan kehidupan dunia akhirat (Q.S. Al-Baqarah:

201), dimana ayat ini menceritakan bahwa orang yang melaksanakan

66
67

ibadah haji dan umarah dianjurkan memperbanyak memberi talbiyah,

tahlil, doa, dan berdzikir. Berdoa kepada allah untuk dunia daja tidak

akan cukup, karena yang lebih utama adalah berdoa memohon taufiq,

rezeki, dan kesehatan dunia kemudian pahala dan surga di akhirat.

b) Doa memohon ampun atas semua kesalahan baik karena lupa atas

kekeliruan (Q.S. Al-Baqarah: 286), yang dibagi dalam tujuh doa

menurut Wabah Az-Zuhaili, inti dari doa ini mengindifikasikan bahwa

orang beriman membutuhkan keamanan yakni dimaafkan oleh Allah

SWT.

c) Doa memohon kemantapan iman (Q.S. Ali Imran: 8), menurut Wahbah

Az-Zuhaili ayat yang Mukamat yaitu seluruh ayat yang berkaitan

dengan kewajiban syariat secara khusus ditunjukan bagi orang yang

tidak ada kerancuan, sedankan ayat Mutasyabihat yakni ayat tentang

kewajiban syariat.

d) Doa memohon diberikan pasangan dan anak yang saleh (Q.S. Al-

Furqan: 74), dimana dalam ayat ini Wahbah Az-Zuhaili menguraikan

sembilan sifat ibad al-Rahman, seperti terdapat dalam doa pada ayat

ini, doa ini dimaksudkan agar dianugerahi istri dan anak yang

menyenangkan dan menajdi tauladan bagi orang beriman.

B. Saran

Sejauh penulis teliti dałam kajian ayat-ayat doa menurut Wahbah Az-

Zuhaili dan ułama lainnya adalah jauh dari kesempurnaan, karena ayat-ayat

doa yang penulis analisis adalah sebatas doa-doa yang dipanjatkan hanya

empat ayat dari doa orang-orang yang beriman, tidak hanya iłu dałam

67
68

menganalisis empat ayat dałam doa iłu, penulis hanya menganalisis dengan

liłna penafsir. Oleh sebab iłu, penulis menyarankan pembaca kiranya untuk

lebih menganalisis lebih banyak ayat-ayat doa yang telah penulis kemukakan

dałam pembatasan masalah, dengan memperbanyak menampilkan analisis

para mufasir.

68
69

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad. (2019). Tafsir Ibnu Katsir: Lubab al-Tafsir min Ibni

Katsir, Penerjemah M. Abdul Ghaffar, Cet. VII. Jakarta: Yayasan Mitra

Netra.

Abü Abdillah al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid. (t.t). Sunan Ibnu Majah

Pentahqiq Muharnaad Fuad Abdul Båqi, Juz. ke-6, Bab. Ath-Thalaq al-

Maqruh an-Nasiya. Beirut: Dar Fikr.

Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. (1993). Tafsir Al-Maraghiy, Penerjemah Bahrun,

Cet. Ke-l. Semarang: Toha Putra.

An-Nasai, Abu Abdi Al-Rahman Ahmad. Musnad Abi Yu'la, Juz. Ke-6. Maktabah

Syamilah.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. (2001). Shafwatu al-Tafassir penerjemah KH.

Yasin, Cet. Ke-l, jilid. 1. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. (2002). Cahaya al-Qur 'an Tafsir Tematik Surat

an-Nûr-Fathir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shabuni al-Tafassir penerjemah KII. Yasin, Cet.

Ke-l, jilid. L.

Az-Zuhaili, Wahbah. (2012). Tafsir al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, dkk., cet.

Ke-l, jilid I. Jakarta: Gema Insani.

Katsir, Ibnu. (2009). Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir Pentahqiq 'Abdullah bin

Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Penerjemah M. Abdul

Ghaffar, Cet. Ke-7. Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi'i.

Latif. (2022). Biografi Syehk Wahbah az-Zauhaili.

69
70

(https://www.laduni.id/post/read/81001/biografi-syekh-wahbah-az-zuhaili,

diakses tanggal, 5-07-2023; 21:30 WIB).

Lidwa Pusaka, Ibnu Majah kitab talaq bab talak orang yang dipaksa atau lupa.

No. Hadist: 2033.

Lidwa Pusaka, Shahih Muslim kitab Wasiat bab amalan yang sampai kepada

mayat setelah Ineninggal, No. Hadist: 3084. Lihat Ahmad Musthafa Al-

Maraghiy, Tafsir Al-Maraghi, Penerjemah Bahrun, Cet. Ke-l.

Lidwa Pusaka. Musnad Ahmad kitab sisa Musnad sahabat anshor bab hadis

Sayyidah Aisyah ra. No. Hadist: 23463. Lihat Ahmad Musthafa Al-Maraghiy,

Tafsir Al-Maraghiy Penerjemah Bahrun, cet. I.

Quthb, Sayyid. (2000). Tafsir Fi Zhilalil-Qur 'an di Bawah Naungan al- Qur'an,

Penerjemah Abdul Aziz. Salim Basyarahil dkk., Cet. Ke-l, jilid l. Jakarta:

Gema Insani Press.

Sya'rawi, Syekh Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya 'rawi, Penerjemah Tim

terjemah Safri al-Azhar. Cet. Ke- l, Jilid. 2. Medan: Duta Azhar.

70

Anda mungkin juga menyukai