Anda di halaman 1dari 27

BAB II

MAS{LAH{AH MURSALAH DAN NIKAH SIRRI

A. Konsep Mas{lah{ah Mursalah

1. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah

Menurut istilah ahli us{u>l, mas{lah{ah mursalah diartikan

kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syarik dalam wujud hukum,

dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang

membenarkan atau menyalahkan, Oleh karena itu, mas{lah{ah mursalah

disebut mutlak.30

Secara etimologi kata mas{lah{ah mursalah berasal dari kata ‫صلح‬.

Kata ‫ صلح‬digunakan untuk menunjukkan jika seseorang atau sesuatu

menjadi baik, tidak korupsi, baik, benar, adil, salah, jujur atau secara

alternatif untuk menunjukkan keadaan yang mengandung kebajikan

tersebut Dalam pengertian rasionalnya mas{lah{ah berarti sebab, cara

suatu tujuan yang baik.31

Kata mas{lah{ah juga berarti yang mendatangkan kebaikan,

sesuatu yang mendatangkan kebaikan (berhasil baik) menurut guna dan

kepentingannya, menurut keadaan tempatnya.32

30
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (lmu Ushul Fiqih), (Bandung
Rajawali Pres, 1993), hlm. 142.
31
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1885), hlm. 153.
32
Haroen Al-Habsy, Kamus al-Kautsar,Yayasan Pesantren Islam, (Bangil: Pesantren
Press, 1992, hlm. 217.

22
23

Teori mas{lah{ah mursalah ini juga terikat pada konsep bahwa

syariat ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat dan berfungsi untuk

memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan.33

Adapaun pengertian mas{lah{ah mursalah menurut Yusuf

Qardhawi adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil

khusus dari nas-nas syarak agar diperhitungkan atau tidak diperhitungkan,

tetapi ada dalil umum yang menunjukkan bahwa syarak memelihara

kemaslahatan makhluknya yang penetapan hukum itu dimaksudkan untuk

penghapusan terhadap kemudaratan dan kerusakan.34

Menurut Muhammad Abu Zahrah, mas{lah{ah mursalah adalah

segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syariat dan

kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakui atau

tidaknya.35

Mas{lah{ah mursalah secara terminologi dapat dirumuskan bahwa

dalam kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum (dalil) syarak

adalah merupakan metode penetapan hukum Islam yang semata-mata

bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dimana syarak tidak

memberikan ketentuannya secara khusus (masih dalam tataran global)

serta berfungsi untuk menghindari kerusakan atau menolak kemudaratan.

Mas{lah{ah mursalah ini identik dengan "istis{la>h" yaitu kemaslahatan

umat (kemaslahatan umum).

33
Muhammad Muslihuddin, Hukum Darurat dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
1985), hlm. 134.
34
Yusuf Qardlawi, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam, (Semarang Diana Utama, Cet I,
1985), hlm. 10.
35
Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 279.
24

2. Macam-Macam Mas{lah{ah Mursalah dan Konsep Operasionalnya

Para ahli us{u>l fiqh mengemukakan beberapa pembagian

mas{lah{ah, jika dilihat dari beberapa segi.

Dilihat dari segi kandungan mas{lah{ah, para ulama us{u>l fiqh

membaginya kepada:

a. Mas{lah{ah al-‘A<mmah (‫العامة‬ ‫ )املصلحة‬yaitu kemaslahatan umum

yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu

tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk

kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para

ulama membolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak

akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

b. Mas{lah{ah al-Kha>s{s{ah (‫اخلاصة‬ ‫)املصلحة‬, yaitu kemaslahatan pribadi

dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan

dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan

hilang mafqu>d.36

Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan

prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum

bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua

kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada

kemaslahatan pribadi.

Dilihat dan segi berubah atau tidaknya mas{lah{ah, ada 2 bentuk,

yaitu:

36
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 116.
25

a. Mas{lah{ah al-S|a>bitah (‫الثابته‬ ‫)املصلحة‬, yatu kemastahatan yang

bersifat tetap, tidak berubah sampar akhir zaman. Misalnya, berbagai

kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

b. Mas{lah{ah al-Mutagayyirah (‫املتغرية‬ ‫)املصلحة‬, yaitu kemaslahatan yang

berubab-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek

hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permaslahan

muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makan yang

berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.37

Dilihat dari segi keberadaan mas{lah{ah menurut syarak dibagi

menjadi 3, yaitu:

a. Mas{lah{ah al-Mu'tabarah (‫املعتربة‬ ‫)املصلحة‬, yaitu kemaslahatan yang

didukung oleh syarak. Maksudnya adanya dalil khusus yang menjadi

dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas

orang yang meminum-minuman keras dalam hadis Rasulullah SAW

dipahami secara berlainan oleh para ulama fikih, disebabkan

perbedaan alat pemukul yang dipergunakan Rasulullah SAW ketika

melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum-minuman keras.

Ada hadis yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasulullah

adalah sandal atau alas kaki sebanyak 40 kali (H.R Ahmad Ibn

Hambal dan al-Baihaqi) dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma

juga sebanya 40 kali (HR al-Bukha>ri dan Muslim).

37
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 117.
26

Setelah ‘Umar Ibn al-Khat{t{a>b bermusyawarah dengan para

sahabat lain, hukuman dera bagi orang yang meminum-minuman

keras tersebut menjadi sebanyak 80 kali dera. ‘Umar Ibn al-

Khat{t{a>b mengqiyaskan orang yang meminum-minuman keras

kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Logikanya

adalah, seseorang yang meminum-minuman keras apabila mabuk,

bicaranya tidak bisa dikontrol dan diduga keras akan menuduh orang

lain berbuat zina. Hukuman untuk seseorang yang menuduh orang lain

berbuat zina adalah 80 kali dera (Q S an-Nur, 24:4). Oleh karena

adanya dugaan keras, menuduh orang lain berbuat zina akan muncul

dari orang yang mabuk, maka ‘Umar Ibn al-Khat{t{a>b dan 'Ali Ibn

Abi T{a>lib mengatakan bahwa hukuman orang yang meminum-

minuman keras sama hukumannya dengan orang yang menuduh orang

lain berbuat zina.

Cara melakukan qiyas (analogi) ini, menurut para ulama usu>l fiqh

termasuk kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya bentuk dan

jenis hukuman dera 80 kali bagi seseorang yang meminum-minuman keras

dianalogikan kepada hukuman seseorang yang menuduh orang lain

berbuat zina

b. Mas{lah{ah al-Mulgah (‫امللغة‬ ‫)املصلحة‬, yaitu kemaslahatan yang ditolak

oleh syarak, karena bertentangan dengan ketentuan syarak. Misalnya

syara menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual

disiang hari bulan ramadhan dikenakan hukum dengan memerdekakan


27

budak, atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60

orang fakir miskin (H.R al-Bukha>ri dan Muslim), Al-Lais| Ibn Sa’ad

(94-175 H) atau ahli fikih Maliky di Spanyol), menetapkan hukuman

puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol)

yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari

Ramadhan. Para ulama memandang hukuman ini bertentangan dengan

hadis Rasulullah diatas, karena bentuk hukuman itu harus diterapkan

secara berturut-turut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak,

baru dikenakan hukuman puasa dua bulan berturut- turut. Oleh sebab

itu, para ulama usu>l fiqh memandang mendahulukan hukuman puasa

dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan

kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak

hukumannya batal. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan

para ulama, disebut dengan mas{lah{ah al-mulgah dan tidak bisa

dijadikan landasan hukum.

c. Mas{lah{ah al-Mursalah (‫املرسلة‬ ‫)املصلحة‬, yaitu kemaslahatan yang

keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula dibatalkan atau

ditolak syarak melalui dalil yang dirinci. Kemaslahatan dalam bentuk

ini terbagi 2, yaitu: (1) Mas{lah{ah al-Gari>bah, yaitu kemaslahatan

yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan

dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama

us{u>l fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. (2)

Mas{lah{ah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung


28

dalil syarak atau nas yang rinci tetapi didukung oleh sekumpulan

makna nas (ayat atau hadis).

3. Kehujjahan Mas{lah{ah Mursalah

Menurut Yusuf Qardhawi di dalam bukunya, beliau mengatakan

bahwa mas{lah{ah mursalah merupakan metode penetapan hukum syariat

tersubur untuk masalah yang tidak ada hukumnya.38

Jumhur ulama mengajukan pendapat bahwa mas{lah{ah mursalah

merupakan hujjah syar’iyyah yang dijadikan metode pembentukan hukum

mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada nas, ijmak,

qiya>s atau istih{sa>n, maka diysariatkan dengan menggunakan

mas{lah{ah mursalah. Pembentukan hukum berdasarkan mas{lah{ah

mursalah ini tidak berlangsung terus lantaran diakui oleh syarak.39 Adapun

dasar dalil yang digunakan mas{lah{ah mursalah sebagai hujjah

syar'iyyah menurut Abdul Wahab Khalaf adalah:

a. Kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu

aktual. Karena itu, jika tidak ada syariat hukum yang berdasarkan

mas{lah{ah mursalah berkenaan dengan masalah baru sesuai

dengan tuntutarn perkembangan, maka pembentukan hukum hanya

akan terkunci berdasar mas{lah{ah yang mendapatkan pengakuan

sya>ri’. Dengan demikian kemaslahatan yang dibutuhkan umat

manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti

38
Yusuf Qardlawi, Keluasan dan Keluesan Hukum Islam, (Semarang: Diana Utama, Cet
I), hlm. 9.
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (lmu Ushul Fiqih), (Bandung
39

Rajawali Pres, 1993), hlm. 144.


29

pembentukan hukum tidak mengikuti atau melihat perkembangan

kemaslahatan umat manusia. Hal itu tidaklah cocok dan tidak

sesuai dengan maksud syariat yang selalu ingin mewujudkan

kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.40

b. Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang

dilakukan oleh para sahabat, tabiin dan para mujtahid, akan tampak

bahwa mereka mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya

pengakuan sebagai saksi. Misalnya, Abu> Bakar melakukan

pengumpulan lembaran-lembaran tulisan Al-Qur'an yang

berserakan, memerangi para pembangkang pembayar zakat, dan

mengusulkan pengangkatan ‘Umar Ibn al-Khat{t{a>b sebagai

khalifah pengganti Abu> Bakar. ‘Umar juga demikian, ia

menetapkan talak tiga walau dengan ucapan kalimat satu kali.

‘Umar juga menghentikan pembagian zakat kepada kaum mualaf,

menetapkan pembayaran pajak, mengadakan tertib administrasi,

pembangunan rumah- rumah tahanan dan penghapusan hukuman

penggal tangan bagi pencuri ketika musim panceklik.41

4. Syarat-Syarat Berhujjah dengan Mas{lah{ah Mursalah

Dalam menggunakan mas{lah{ah mursalah sebagai hujjah, ulama

bersikap sangat hati-hati sehingga tidak mengakibatkan pembentukan

syariat, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal

40
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (lmu Ushul Fiqih), (Bandung
Rajawali Pres, 1993), hlm. 144.
41
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (lmu Ushul Fiqih), (Bandung
Rajawali Pres, 1993), hlm. 144.
30

itu, maka ulama menyusun syarat-syarat mas{lah{ah mursalah yang

dipakai sebagai dasar pembentukan hukum.42 Syarat itu ada tiga macam,

yaitu:

a. Harus benar-benar membuahkan maslahat atau tidak berdasarkan

dengan mengada-ada. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan

pembentukan hukum tentang mas{lah{ah atau peristiwa yang

melahirkan kemanfaatan atau menolak kemudaratan. Jika masalah itu

berdasarkan dugaan, atau pembentukan hukum itu mendatangkan

kemanfaatan tanpa pertimbangan apakah mąslahah itu bisa lahir

lantaran pembentukan dugaan semata. Misalnya, mas{lah{ah dalam

hal merampas hak suami dalam menceraikan isterinya, kemudian hak

talak itu dijadikan sebagai hak qa>d{y dalam menetapkan sebuah

hukum.

b. Mas{lah{ah itu bersifat umum, bukan bersifat perseorangan.

Maksudnya ialah, bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan

hukum atas suatu kejadian atau masalah dapat melahirkan

kemanfaatan bagi banyak umat manusia yang benar-benar dapat

terwujud atau tidak hanya mendatangkan kemanfaatan bagi seseorang

atau beberapa orang saja. Karena itu hukum tidak bisa disyariatkan

lantaran hanya membuahkan kemaslahatan secara khusus kepada

pimpinan atau orang-orang tertentu dengan tidak menaruh perhatian

kepada kemaslahatan umat. Dengan kata lain, kemaslahatan itu harus

memeberikan manfaat bagi seluruh umat.


42
Ibid, hlm 145.
31

c. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak

berlawanan dengan tata hukum atas dasar ketetapan nas dan ijmak.

Karena itu tuntutan kemaslahatan untuk mempersamakan anak laki-

laki dan wanita dalam hal pembagian waris, merupakan mashlahat

yang tidak bisa dibenarkan Sebab maslahat yang demikian itu adalah

batal.43

Syarat-syarat berhujjah dengan mas{lah{ah mursalah menurut

Umar Shihab adalah:

a. Penggunaan mas{lah{ah mursalah itu harus bertujuan untuk

menyempurnakan maksud-maksud syarak.

b. Penggunaannya harus dapat diterima oleh akal.

c. Penggunaannya bertujuan untuk menghilangkan kesulitan.

d. Penggunaannya untuk kepentingan umum.44

Muhammad Muslihuddin menyetujui gagasan umum sebagai

sumber hukum dengan mengemukakan teori mas{lah{ah mursalah, beliau

mensyaratkan sebagi berikut:

a. Bahwa kasus yang dihadapi haruslah termasuk bidang muamalah

sehingga kepentingan yang terlibat didalamnya dapat dinilai

berdasarkan penalaran.

43
Abdal Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), (Bandung:
Rajawali Press, 1993), hlm. 146.
44
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, (Semarang: Dina Utama,
1996), hlm. 29.
32

b. Bahwa kepentingan tersebut semestinya sesuai dengan jiwa syariat

dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber hukum

didalamnya.

c. Bahwa kepentingan tersebut haruslah berupa hal-hal yang pokok dan

darurat bukan bersifat penyempurnaan (kemewahan).45 Hasby

mensyaratkan supaya mas{lah{ah itu merupakan mas{lah{ah

haqi>qiyyah yang diakui oleh ahlu al-ha>li wa al-‘aqdi (ahli al-z|ikr)

bahwa hukum itu benar bertujuan untuk mendatangkan kemanfatan

bagi manusia atau benar-benar bertujuan untuk menolak kemudaratan

manusia.46

Secara global adanya persyaratan kehujjahan mas{lah{ah mursalah

diatas digunakan semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia

dan lebih diarahkan pada upaya untuk menghilangkan kesulitan dan

menolak kemudaratan.

5. Kaidah-Kaidah Fikih Mas{lah{ah Mursalah

Dalam menerapkan akidah fikih, setidaknya ada tiga hal yang perlu

diperhatikan penggunanya

a. Kehati-hatian dalam penggunaannya.

b. Ketelitian dalam masalah-masalah yang ada diluar kaidah yang

digunakan.

45
Muhammad Muslihuddin, Hukum Darurat dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia),
hlm. 40.
46
Hasby ash-Shiddiqy, Teori Maslahah Mursalah, (Jakarta: Pustaka Setia, 2007), hlm.
354.
33

c. Memperhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan berhubungan

dengan kaidah-kaidah yang lain yang mempunyai ruang lingkup yang

lebih luas.

Sehubungan dengan ketiga hal diatas maka, dibawah ini

merupakan kaidah-kaidah tentang mas{lah{ah mursalah:

a. Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.

b. Meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

c. Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan.

d. Kemudaratan dapat dihilangkan.

B. Konsep Nikah Sirri

1. Terminologi Nikah Sirri

Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga

perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa

artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri;

melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.47

Secara literal nikah sirri berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari

dua kosa kata yaitu “nikah” dan “sirri”. Nikah yang menurut bahasa

artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti

bersetubuh (wa>t{i’)48. Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti

47
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 518.
48
Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subul Al Salam, (Bandung: Dahlan, tt, Jilid 3), hlm.
109.
34

persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.49 Sedangkan kata sirri

berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia.50

Allah SWT berfirman:

    


Artinya: “… dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia … “ (Al-Baqarah: 235)

Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat

diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan

sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam

ini sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan, dan

biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak

dimeriahkan dalam bentuk resepsi (wali>mah al-‘ursy) secara terbuka

untuk umum.

Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah sirri

sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau

model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:

Pertama: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita

yang sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh

Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas

keluarga dekat, tidak diumumkan dalam suatu resepsi (wali>mah

al-‘ursy).51

49
Abd.Rahman Gazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana, 2006), hlm. 7.
50
Abddullah bin Nuh dan Umar Bakri, Kamus Arab Indonesia Inggris, (Jakarta: Penerbit
Mutiara, tt), hlm.132.
51
Kiswati, Tsuroya dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, (Surabaya: Pusat Studi Gender
IAIN Sunan Ampel, 2004).  
35

Kedua, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang

masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih

bersekolah. Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak

calon suami istri yang sepakat menjodohkan anak-anak mereka dengan

tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan

yang lebih akrab. Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul

serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur

perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN

yang menurut istilah jawa disebut “munggah”. Pernikahan semacam ini

pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke

bawah.52

Ketiga, model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita

yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka

sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di

KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan

alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut agama

sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu

dilakukan oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan tetapi karena

alasan tidak mau repot dengan segala macam urusan administrasi dan

birokrasi sehingga atau karena alasan lain, maka ia lebih memilih nikah

sirri saja.53

52
Ibid.
53
Kiswati, Tsuroya dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, (Surabaya: Pusat Studi Gender
IAIN Sunan Ampel, 2004).  
36

Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri

model terakhir adalah yang paling relevan dengan topik bahasan dalam

tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan nikah sirri dalam

tulisan ini ialah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan

Agama atau dengan kata lain disebut dengan nikah di bawah tangan.

2. Nikah Sirri dalam Prespektif Hukum Islam

Hukum nikah sirri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang

menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama

Islam adalah sebagai berikut:

a. Adanya calon mempelai pria dan wanita.

b. Adanya wali dari calon mempelai wanita.

c. Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak.

d. Adanya ijab; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali

kepada mempelai pria untuk dinikahi.

e. Kabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria

(jawaban dari ijab).54

Jika dalam pelaksanaan nikah sirri rukun nikah yang tertera di atas

terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama

Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah

sirri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan

tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadis disebutkan:

‫اح اِالَّ بِ َولِ ٍّي َو َشا ِه َدايْ َع ْد ٍل‬


َ ‫اَل نِ َك‬
54
Hartono Marjono, “Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perkawinan”, Jurnal
Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
37

Artinya:“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua


saksi yang adil” 55

3. Nikah Sirri dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia

Secara umum, dalam perspektif hukum Islam, nikah sirri

cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun pernikahan.

Sebaliknya dalam hukum positif nasional, nikah sirri telah ditegaskan

sebagai pernikahan yang ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan

nasional tentang pernikahan, baik dalam UU perkawinan maupun dalam

KHI, tidak ada satu katapun yang menyebut nikah sirri. Yang dibahas

adalah pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa nikah sirri

tidak dianggap dalam hukum pernikahan nasional.56

a. Undang-undang Perkawinan

Menurut UU Perkawinan, pernikahan yang sah adalah pernikahan

yang dicatatkan. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “Tiap-tiap pernikahan

dicatat menurut peraturan-peraturan yang berlaku.” UU Perkawinan

pasal 2 ayat 1 menegaskan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Pasal 2

ayat 2 UU Perkawinan menunjukkan bahwa pernikahan yang tidak

dicatatkan adalah tidak sah.57

55
Wah{bah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fikr, vol. VII),
hlm. 688.
56
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979)
cet. Kedelapan, hlm. 176.
57
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan Dan Pelaksaanya Ditinjau Dari Segi
Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 22.
38

Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU

Perkawinan, pasal 3 disebutkan:

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya

dilangsungkan.

2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya

10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3) Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu

alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala

Daerah.58

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Bab tentang perkawinan diatur dalam buku satu tentang orang bab

empat, mulai pasal 26 hingga 102. Secara umum, peraturan tentang

perkawinan dalam kuhper memiliki kesamaan pandangan dengan UU

Perkawinan.

Setiap orang yang akan menikah diwajibkan untuk

memberitahukan kehendaknya kepada pencatat sipil, sebagaimana diatur

dalam pasal 50. “Semua orang yang hendak kawin harus memberitahukan

kehendak itu kepada pegawai pencatat sipil tempat tinggal salah satu dari

kedua pihak.”59 Kegiatan pencatatan pernikahan adalah sebagai bukti

58
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 347.
59
Abdus Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 309.
39

bahwa pernikahan tersebut sah secara hukum nasional dan akan

mendapatkan akta nikah.

c. Kompilasi Hukum Islam

Status Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tata hukum

positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan

hukum peradilan agama. KHI dapat dipergunakan sebagai

pegangan / pedoman dalam membahas pernikahan dalam sudut

pandang hukum positif nasional.

KHI menyebut bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk

menjamin ketertiban pernikahan yaitu dalam pasal 5 ayat 1: “Agar

terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap

perkawinan harus dicatat.”60 Pada prinsipnya KHI mengharamkan

pernikahan sirri. Meskipun istilah nikah sirri tidak disebut sama

sekali dalam KHI berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur

didalamnya, maka jelas sekali menunjukkan ketidakbolehan nikah

sirri.

4. Hukum Nikah Sirri

Pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah

tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang ilegal. Ini

terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya

kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan

perkawinan mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai

60
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm.145.
40

kekuatan hukum. Pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak

mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah negara hukum bernama

Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari

praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.61

a. Hukum Nikah Sirri Menurut Ulama

1) Ulama klasik

Pernikahan yang dirahasiakan, menurut Ima>m Ma>lik

hukumnya batal. Sebab pernikahan wajib diumumkan kepada

masyarakat luas. Sedang Ima>m Sya>fi’i dan Abu> Hani>fah

menilai, nikah sirri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan.

2) Ulama Kontemporer

Sementara terkait nikah sirri, memang benar bahwa

nikah tersebut pada dasarnya secara agama sah. Namun,

pelarangan di sini juga tidak serta merta salah jika didasarkan

pada kemaslahatan dan mudarat (bahaya) yang ada. Ini juga

didukung oleh sejumlah dalil. DR. Yusuf al-Qardhawi

menyebutkan, "Jika pada sesuatu yang diperbolehkan

terkandung hal-hal yang membahayakan manusia atau sebagian

besar mereka, maka wajib dilarang (bersifat kondisional).

Sebab Nabi saw bersabda, "Tidak boleh menimbulkan bahaya

baik bagi diri sendiri maupun orang lain.”

b. Hukum Nikah Sirri Menurut Masa>il al-fiqhiyyah


61
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: PT.Hidakarya Agung, 1981). hlm. 54.
41

Dalam kaidah us{u>l fiqh disebutkan:

ٌ‫ب ِإاَّل بِ ِه فَهُ َو َوا ِجب‬ ِ ‫َمااَل يَتِ ُّم ْال َو‬
ِ ‫اج‬
Artinya : “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu,
maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.”

Berkaitan dengan penggunaan kaidah ini pada kasus nikah sirri

yang tidak melalui proses pencatatan perkawinan, penulis berangkat

dari anggapan bahwa pencatatan perkawinan adalah satu peraturan yang

sengaja dibuat dalam rangka menyempurnakan kualitas sebuah

perkawinan. Penyempurnaan kualitas perkawinan ini berkaitan erat

dengan status perkawinan yang merupakan bagian dari perintah Allah

SWT dalam rangka beribadah kepada-Nya. Karena tujuannya yang

luhur itu, maka segala peraturan yang telah ada sebelumnya dalam

kitab-kitab fikih klasik dan peraturan yang muncul terkemudian wajib

untuk diadakan. Dengan demikian, berlakulah ketentuan ma>la>

yatimmu al-wa>jib illa> bihi> fahua wa>jib “Tidak sempurna suatu

kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu menjadi

wajib hukumnya”. Artinya, tidak sempurna sebuah perkawinan kecuali

dengan adanya pencatatan, maka adanya pencatatan menjadi wajib

hukumnya.

c. Hukum Nikah Sirri Menurut Organisasi

1) Majelis Ulama Indonesia

MUI tidak mengenal istilah nikah  sirri atau nikah kontrak.

Selama ini. MUI mengunakan nikah istilah pernikahan dibawah

tangan untuk setiap pernikahan yang tidak di catat di KUA.". pada


42

tahun 2005, para ulama MUI sudah memutuskan pendapat

mengenai pernikahan di bawa tangan. Menurut para ulama,

pernikahan tersebut sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun

menikah, seperti yang diatur dalam agama Islam daan penikahan

model ini bisa menjadi haram jika menimbulkan korban.62

2) Muhammadiyah

Nikah sirri yang terjadi dalam masyarakat menurut hukum

Islam telah terpenuhi syarat yaitu, bukan muhrim, bukan dari

saudara dekat dan harus seiman, terpenuhi rukunnya yang mana

rukun pernikahan tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah

namun rukun ini merupakan pendapat para ulama yaitu, adanya

mempelai laki-laki, mempelai perempuan wali (HR. Baihaqi), saksi

(HR. Tirmiz|i), dan ijab qabul pernikahan seperti ini sah menurut

agama. Artinya nikah sirri yang ada dalam masyarakat ini tidak

dilakaukan secara sirri yang berarti sembunyi, sedangakan menurut

pandangan Muhammadiyah nikah sirri yang saat ini terjadi dalam

masyarakat adalah nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat

nikah namun tidak dicatatkan oleh petugas pencatatan nikah

setempat. Nikah seperti ini yang umum dilakukan di Indonesia

disebut sebagai nikah sirri, menurut pandangan para tokoh

Muhammadiyah pernikahan seperti ini tidak sah karena nikah sirri

ini hanya bertumpu pada syariat semata tanpa mempedulikan

62
Damsyi Hanan, “Pengertian Yuridis Sahnya Suatu Perkawinan (Catatan Terhadap
Dua Putusan Kasasi Yang Bertentangan)”, Jurnal Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995.
43

ketentuan yang lain yaitu aturan yang dibuat oleh pemerintah yang

mana pemerintah disini sebagai ”u>li al-amri” (An-Nisa [4]: 59),

yang mana menurut aturan nikah sah sesuai dengan Undang-

Undang No. l Tahun 1974. Dalam hal ini pencatatan nikah

diperlukan sebagaimana terdapat dalam ayat yang berisiakan

pencatatan utang piutang (QS. Al-Baqarah: 282), dalam tujuan

pernikahan juga dibutuhkan sebagaimana dalam (QS. Ar-Rum

[30]:21). Namun dalam pernikahan sirri lebih banyak mudharatnya

dan tidak terpenuhi dari tujuan pernikahan tersebut, sehingga para

tokoh Muhammadiyah menolak nikah sirri dan menganggap nikah

tersebut tidak sah bersarkan ketentuan tersebut.

5. Faktor Penyebab Nikah Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat

Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh

kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah

keatas. Sebut saja kasus nikah sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut dan

kasus nikah sirri Syekh Puji beberapa tahun silam. Kondisi demikian

terjadi karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja,

untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor

apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih

memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah

sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum Masyarakat


44

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum

menyadari dan memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan

perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu

dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar

ikut-ikutan belaka. Atau mungkin mereka menganggapnya sebagai

tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat. Barangkali

pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal

administrasi, belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan

segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut. Padahal

pencatatan perkawinan yang merupakan perintah undang-undang itu

sesungguhnya mempunyai tujuan penting, yakni proses dokumentasi

atas perbuatan hukum perkawinan itu sendiri sehingga kemudian

akan memberikan perlindungan hukum bagi suami isteri yang

bersangkutan beserta anak turunnya di kemudian hari, sehingga

dimulai dari terbentuknya keluarga sebagai unit masyarakat terkecil

yang tertib hukum akan tercipta kehidupan masyarakat bangsa yang

madani.63

Sebagai contoh rendahnya kesadaran hukum masyarakat

akan pentingnya mencatatkan perkawinan, dapat dilihat di beberapa

Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi

Sumatera Utara dan di beberapa Kecamatan dalam wilayah

Kabupaten Lampung Utara Propinsi Bandar Lampung. Ternyata

63
Abdus Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 77.
45

ditemukan fakta yang cukup mencengangkan, yaitu ternyata masih

terdapat begitu banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat

oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya

masyarakat yang mengajukan permohonan pengesahan perkawinan

(isbat nikah) ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan

pengesahan perkawinan mereka secara hukum negara dalam sebuah

program sidang keliling. Salah satu fakta yang menarik, bahwa

mereka tidak mencatatkan perkawinannya antara lain adalah karena

alasan mahalnya biaya pencatatan perkawinan. Fenomena mahalnya

biaya pencatatan perkawinan ini harus jadi catatan penting bagi para

pengambil keputusan untuk menekan biaya pencatatan perkawinan

seminimal mungkin agar kelompok masyarakat bawah tidak

terhalang kepentingannya untuk memperoleh akta nikah. Terlebih

lagi pernikahan dalam Islam adalah ibadah, sehingga sangat patut

untuk dipermudah dan dibebaskan dari semua biaya pencatatan tanpa

mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.64

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap

ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus

pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama

Ulfah dan kasus pernikahan sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut,

sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap

64
Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo ala Yusuf Al-Qardawi (Tinjauan Hukum Islam)
(Surabaya: Khalista,2010), hlm. 45-46.
46

apatis terhadap keberlakuan hukum negara. Dari pemberitaan media

massa tersebut, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan

oleh Syekh Puji maupun Aceng Fikri yaitu, pertama, pernikahan

tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan,

dan kedua, dalam kasus pernikahan sirri Syekh Puji, beliau tidak

mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun calon istri

tersebut masih di bawah umur menurut Undang-Undang perkawinan.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh

public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi

terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh

seorang tokoh masyarakat, biasanya akan dicontoh oleh mereka yang

mengidolakannya.

c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974

merupakan asas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1)

dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat

kumulatif, bukan syarat alternatif sahnya suatu perkawinan. Dari

norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi

umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka.

Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal

tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang

melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan

dalam Undang-Undang tersebut bersifat tidak tegas dan ambigu.


47

Ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam Undang-Undang yang

berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi

pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang

melakukannya. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor penyebab

terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut asas monogami, akan tetapi masih

memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan

untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan

persyaratan yang sangat ketat.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan

lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena

pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih

sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

6. Dampak Nikah Sirri

1. Dampak Positif:

a) Menghindari zina.

b) Apabila suami dan istri bekerja pada instansi yang melarang

orang bersuami-istri maka nikah sirri adalah solusi alternatif.65

2. Dampak Negatif

a. Tidak ada Perlindungan hukum bagi wanita.66


65
Tsuroya Kiswati dkk, Perkawinan di Bawah Tangan (Sirri) dan Dampaknya Bagi
Kesejahteraan Istri dan Anak di Daeah Tapal Kuda Jawa Timur, (Surabaya: Pusat Studi Gender
IAIN Sunan Ampel, 2004), hlm. 150.
66
Ibid, hlm. 151.
48

b. Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam harta

waris.67

c. Terjadi kesewenangan dari pihak suami dalam memberikan

nafkah.

d. Terciptanya budaya nikah sirri dalam masyarakat menciptakan

semakin banyak suami yang kurang bertanggung jawab.

e. Meningkatnya budaya mempermainkan wanita/istri.

67
Ibid, hlm. 154.

Anda mungkin juga menyukai