Anda di halaman 1dari 16

KONSEP MAQASHID AL-SYARI`AH:

PERBANDINGAN ANTARA PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN AL-SYATHIBI

Suansar Khatib
Fakultas Syariah IAIN Bengkulu
Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
Email: suaka17@gmail.com

Abstract: This article explains the comparison of maqashid al-shari’ah thinking between al-Ghazali and al-Syathibi. The
purpose and core of all Islamic teachings (Qur’an and hadith) is benefit. The need to prioritize the benefit of religious
texts and ijma in the Muamalah region and adat if there is a contradiction between the two. Benefits prepared by humans
must be included in the benefit of the text if there is a contradiction between the two. Both of them also agreed that the
benefit was intended, the essence returned to the protection of humans themselves, but according to al-Thufi maslahah
is the most authoritative independent proposition to determine legal policy. Benefit is not an authoritative proposition to
determine legal policy. Benefit is not a legal proposition, but as the core and purpose of a law. According to him all the
Islamic Shari’ah teachings have a causal relationship (muamalah) with benefit in the customary territory and muamalah.
Intellect (intellect) of normal human beings can also know and find benefit in the area of muamalah and adat (tradition)
not in the area of worship.
Keywords: maqashid al-syari`ah, al-Thufi, al-Ghazali, al-Syathibi

Abstrak: Artikel ini menjelaskan perbandingan pemikiran maqashid al-syari`ah antara al-Ghazali dan al-Syathibi. Tujuan dan
inti seluruh ajaran Islam (Alquran dan hadis) adalah kemaslahatan. Keharusan megedepankan kemaslahatan atas teks-teks
agama dan ijma’ dalam wilayah muamalah dan adat bila terjadi kontradiksi antara keduanya. Kemaslahatan yang disiapkan
manusia harus diikutkan pada kemaslahatan yang dicanangkan teks bila terjadi kontradisksi antara keduannya. Keduanya
juga sepakat bahwa kemaslahatan dimaksud, hakikatnya kembali pada perlindungan terhadap manusia itu sendiri, namun
menurut al-Thufi maslahah adalah dalil mandiri yang paling otoritatif untuk menentukan kebijakan hukum. Kemaslahatan
bukan dalil otoritatif untuk menentukan kebijakan hukum. Kemaslahatan bukan dalil hukum, melainkan sebagai inti dan
tujuan sebuah hukum. Menurutnya seluruh ajaan-ajaran syariah Islam memiliki hubungan kausalitas (muamalah) dengan
kemaslahatan dalam wilayah adat dan muamalah. Akal (intelektualitas) manusia normal mampu mengetahui dan menemukan
kemaslahatan dalam wilayah muamalah dan adat (tradisi) tidak dalam wilayah ibadah.
Kata kunci: maqashid al-syari`ah, al-Thufi, al-Ghazali, al-Syathibi

Pendahuluan
dan menolak kemudaratan (dar’u al- mafasid wa
Bila ditelusuri perkembangan tentang jalbu al-manafi’). Sebagai contoh, dapat ditelaah
maqashid al-syari’ah, maka diketahui bahwa per­ tentang anjuran Nabi saw. kepada para pemuda
hatian terhadap maqashid al-syari’ah ini telah ada yang sudah memiliki kemampuan untuk segera
sejak masa rasulullah Saw. Meskipun ketika itu menikah.1
belum menyebut tema maqashid al-syari’ah secara
jelas, tetapi setidaknya maqashid al-syari’ah telah 1
Hadits anjuran untuk pernikahan:
mem­berikan warna dan kontribusi yang dapat ‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم (يَا‬ ُ ‫َال لَنَا َرُس‬ َ ‫َع ْن َعبْ ِد اهللِ بْ ِن َم ْس ُعوٍد رضي اهلل عنه ق‬
dijadikan ukuran bagi legislasi hukum Islam ‫ َوأَ ْح َص ُن‬,ِ‫َض لِلْبَ َصر‬ ُّ ‫ فَإِنَُّه أَغ‬,‫اب! َم ِن ْاستَ َط َاع ِمنْ ُك ُم اَلْبَ َاءَة َفـلْيََتـ َزوَّْج‬ َّ ‫َم ْع َش َر ا‬
ِ َ‫َلشب‬
sesuai dengan tujuan ditetapkannya hukum ‫ِالص ْوِم; فَإِنَُّه لَُه وَِجا ٌء) ُمَّتـ َف ٌق َعلَيْ ِه‬َّ ‫ َوَم ْن َْل يَ ْستَ ِط ْع َفـ َعلَيْ ِه ب‬, ‫لِْلف َْرِج‬
dalam Islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan “Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: Telahbersabda Rasulullah
saw. Kepada kami: “Wahai generasi muda Barang siapa diantara

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 47 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

Pada hadis tersebut terlihat adanya anjuran bahwa penjatuhan talak tiga sekaligus itu di­
melakukan pernikahan agar tujuan syariat anggap thalaq tiga.4 Keputusan Umar Ibn Al-
dapat dicapai, yaitu memberikan kemaslahatan Khatab ini adalah untuk menutup terjadinya
bagi manusia itu sendiri, karena dapat menjaga peluang tindakan semena-mena para suami yang
pandangan mata dan memelihara kehormatannya waktu itu seringkali berbuat sewenang-wenang
dari hal-hal yang dapat merusak nilai-nilai ke­ menjatuhkan thalaq kepada istri-istrinya. Selain
manusian, seperti prostitusi dan sebagainya. itu juga, untuk menjaga eksistensi fungsi talak itu
Sedangkan bagi yang belum ada sanggupan untuk sendiri dan mengembalikan kepada fungsi yang
menikah dianjurkan pula untuk berpuasa, karena sebenarnya, yakni talak sebagai hak suami tidak
dengan berpuasa dapat mengendalikan hawa nafsu diselewengkan sebagai alat menganiaya istri.
seksualnya.2 Dengan demikian, pertimbangan hukum yang
Kemudian dalam perkembangan selanjut­ dilakukan Umar Ibn Al-Khatab di atas, sesuai
nya, penelaahan terhadap maqashid al-syari`ah dengan maqashid al-syari’ah. Karena itu, ijtihad
mulai mendapat perhatian yang intensif setelah Umar Ibn Al-Khatab ini sesuai dengan adagium
Rasulullah wafat, terutama ketika para sahabat fikih yang menyatakan bahwa “perubahan suatu
dihadapkan dengan berbagai persoaalan baru fatwa tergantung kepada perubahan zaman,
dan perubahan social yang belum pernah keadaan, dan kebiasaan masyarakat itu.5
terjadi pada masa Rasulullah saw masih hidup. Sebelum memaparkan pemikiran at-Thufi,
Dengan adanya perubahan social sebagai akibat al-Ghazali dan al-Syathibi tentang maqasid al-
tuntunan zaman dan dinamika masyarakat, Syari’ah, perlu di telusuri sekilas tentang per­
sehingga menuntut kratifitas para sahabat kembangan maqashid al-syari’ah itu sendiri. Sebab
secara serius untuk melakukan penelaahan ter­ secara geneologis rancang bangun pemikiran
hadap maqashid Al-syari`ah sebagai upaya me­ maqashid al-syari’ah bukanlah capaian baru, meski­
lakukan terobosan-terobosan hukum untuk pun baru dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang
mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi. Di berdiri sendiri pada masa Imam al-Syathibi. Akan
antara para sahabat Nabi saw yang paling sering tetapi, bukan berarti bahwa dalam tradisi para
melakukan kreasi dalam bidang hukum sebagai ulama klasik tidak membahas tentang maqashid al-
implikasi dari perubahan sosial itu adalah umar syari’ah. Hanya saja pengungkapannya terangkum
Ibn al-Khatab.3 Salah satu contoh yang sering dalam pembahasan yang berbeda, namun memiliki
dikemukakan oleh para ulama ushul adalah subtansi yang sama. Ada yang menyebut dengan
tentang pengucapan talak tiga sekaligus. Pada istilah al-‘illat,al-hikmah, al-maslahah, murad al-
masa Nabi saw dan masa Abu Bakar dan di awal syar’, asrar al-syari`ah dan istilah-istilah lainnya
pemerintahan Umar Ibn Al-Khatab penjatuhan yang merupakan cikal bakal maqasid al-syari`ah
talak tiga sekaligus dihitung satu. Akan tetapi dan pembahasan-pembahasan yang berkaitan
waktu itu, Umar Ibn Al-Khatab memutuskan dengannya.
Dalam lintasan sejarah, sebenarnya al-
kamu telah mampu berkeluarga hendaklah kawin, karena ia maqashid al-Syari’ah sendiri menurut Ahmad
dapa tmenundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; dan Rasyuni6 pertama kali digunakan oleh Abu
barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, sebab ia
dapat mengendalikanmu”. Muttafaq ‘alaihi. ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang
2
Ada beberapa hadits lain yang dianggap memiliki muatan,
maqashid al-syari’ah, seperti hadits yang berisikan tentang 4
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (selanjutnya disebut
perintah Nabi untuk menyimpan daging qurban, hadis larangan Al-buthi), al-Dawabit al-mushlahat fi al syari’ah al-islamiayah,
ziarah kubur pada awal-awal Islam, dan lain-lain. (Beirut”:Muasasah Al-Risalah,1977), h..140-141
3
Sebenarnya masih banyak kreatifitas sahabat yang lain 5
Ibn Qayyim al-jauziah (selanjutnya Ibn Qayyim), I’lam Al
melakukan trobosan untuk menghadapi perubahan social yang Muwaqin’in An Rab Al-Alamin, (Beirut: Dar al Fikr,t,th.), Juz
terjadi sepeninggalan Nabi Muhammad saw., namun dalam III, h..14
kesempatan ini penulis hanya mengemukakan salah satu contoh 6
Guru Besar Usul Fikih Universitas Muhammad V, Rabat,
dari umar Ibn Al-khatab. Maroko

| 48 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

populer dengan sebutan Alhakim al-Tirmidzi syariah dengan al-mashlahah. Karena me­nurut­nya
(w. akhir abad ke 3H). Dialah yang pertama subtansi dan urat nadi kajian maqasid al-syariah
kali menyalurkan Maqashid al- Syari’ah melalui ini adalah mashlahah (wefere, benefit dan utility).
buku-bukunya: al-shalat wa maqashiduhu, al- Artinya tujuan pokok dan pelembangan hokum
waj wa asraruh, al-‘illah, ‘ilal al-syari’ah, ‘I’lal dalam islam adalah untuk merealisir kemaslahatan
al-‘ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang dan meng­hindar­kan manusia dari berbagai macam
kemudian diadopsi oleh Imam Syihab al- kesulitan dan kemudharatan. Untuk itu Allah Swt
Din Al-Qarafi (w.685 H) menjadi judul buku dalam mentransformasikan hukum Islam (dalam
karangannaya.7 konteks syariah) kepada mahluknya mengandung
Setelah al-Hakim menggulirkan ide genial­ maksud-maksud, motif-motif dan tujuan-tujuan
nya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian sebagai sasaran akhir yang ingin dicapai, yang
muncullah pula Abu Mansur al-Maturudi semuanya itu adalah untuk kepetingan dan
(w.333. H) dengan karyanya Ma’khad al-Syara kemaslahatan mahluknya baik di dunia maupun
disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365.H). akhirat. Kemudian konsep tentang maqasid ini
dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al- lebih disempurnakan lagi oleh Abu Ishaq al-Syatibi
Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul al-QAFFAL yang terkenal dengan karya al-Muwafaqat.
muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375 H.) dan
al-Baqallany (w.403 H) masing masing dengan Sekilas tentang Al-Thufi, Al-Ghazali dan
karyanya, di antaranya, mas’alah al-jawab wa al- Al-Syathibi
dalail wa al ‘illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi 1. Najmuddin At-Thufi
tartib thuruq al-ijtihad. Kemudian sepeninggalan Najmuddin Abu Rabi’ Sulaiman bin Abdul
al-Baqillany muncullah al-juany (w. 478 H), Qawi nin Abdul Karim bin Said at-Thufi al-
al-Ghazali (w.505 H), al-Razy (w.606 H), al- Baghdadi adalah seorang ilmuan yang lahir
Amidy (w.631 H), Ibnu Hajib (w.646 H), al- di Thufa, sebuah desa yang berada dua dua
Baidhawi (w.685 H), al-Isnawi (w.772 H), kilometer dari Baghdad. Menurut ibnu hajar,
ibnu Subuki (w.716 H), ibnu abd al-Salam al-Thufi lahir tahun 657, sedangkan menurut
(w. 728 H), dan ibnu al-Qayyim (w.751 H)8. Mustafa Zaid, al-Thufi lahir pada tahun 670,
Deretan pakar-pakar tersebut secara kongkrit namun mereka sepakat bahwa al-Thufi wafat
menunjukan bahwa diskursus maqashid tak lain tahun 716.9
merupakan akumulasi pemikiran para teoritisi
Al-Thufi muda mempersiapkan dunia
hokum sepanjang sejarahnya.
intelektual­nya mulai dari daerah kelahirannya
Kemudian gagasan genial yang dicetuskan sendiri, Thufa, dengan belajar kepeda beberapa
oleh Abu al-Ma’ali Abdul malik bin Abdullah al- orang ulama mazhab Hambali. Ia menguasai
Juwayni (w.478 H) ini disimpilkan dan dielaborasi serta menghafal (hafidza) beberapa kitab, antara
murisnya Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lain, kitab fiqih mazhab hambali yang bernama
(w.505 H) untuk memeta­kan maqasid al-syariah Mukhtasar al-khiraqi karya Umar al-Khiraki
menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial (w.334 H) dan al-Lumma’ tentang sasra Arab
yang ditetapkan dalam karyanya al-Mankhul, syifa’ karya Ibnu al-janni (w.392 H) salah seorang
al-Ghalil, Ihya’ Ulum al-Din, dan al-Mustasfa. tokoh ilmu nahu dan bahasa arab.
Pada priode berikutnya muncul Najmuddin at- Tidak cukup di kampungnya, al-thufi me­
Thufi (w. 716 H), yang membahasakan maqasid nurut ilmu ke Sarsar untuk berguru kepada
Taqqiyuddin al-Zarirani (mufti Iraq, w. 729 H)
7
Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Nashr al-Faruqi dalam bidang Usul Fikih,
al-syathibi, (Beirut : al-Muassasah al-Jami’iyyah Liddirasat wa
al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992), h.. 32. 9
Mustafa Zaid, al-Maslaha fi Tasri’ al-Islami wa Najmuddin
8
Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid..., h. 40-71 at-Thufi, (Dar al-Fikr al-Araby, 1964), h.235

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 49 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

Abu Bakar al-Qalinisi tentang Damsyiq dan tidak­nya setelah ia menulis kitab Syara al-Arbain
berguru kepada Taqiyuddin al-Maqdisi (Qadhi al-Nawawiyyah dapat dismpulkan bahwa ia telah
al-Qudhat Syam, w. 715 H), d sini sempat membebaskan diri dari Mazhab, khususnya
bertemu dengan Ibnu Taymiah (w. 728 H) dan mazhab Hambali. Dengan kata lain ia telah sampai
al-Mizzi al-Syafii (w.742 H) ke tingkat mujtahid mustaqil (mujtahid mandiari).
Setelah setahun di Damsyiq, at-hufi melanjut­ Adapun tentang akidah at-Thufi dapat
kan ke mesir pada tahun 705 dan berguru serta disimpulkan bahwa ia berhaluan ahlu Sunnah
berdidkusi dengan beberapa ulama besar di wal jamaah, walaupun sempat ada tuduhan
sana, diantaranya al-Dimyati (w. 705 H), al- bahwa ia menganut Syiah Rafidhah tapi semua
Hirisi (w. 711 H) dan Abu Hayyan al-Nahwi itu tidak didukaung oleh argument yang me­
(745 H). Di Mesir, ia sempat di penjara karena madai.
dituduh menganut faham Syiah Rafida. Keluar At-Thufi termasuk penulis yang cukup
dari penjara yang jusru lebih membuatnya produktif, diantara karyanya adalah adalah
banyak waktu untuk membaca dan menulis syarah arbain al-nawawiyyah (sudah ditahqiq
karya-karyanya, at-Thufi berangkat ke Hijaz oleh dr. Mustafa Zaid), Isyarat al-Ilahiyyah
dan berhaji pada tahun 715 dan menyempatkan ila al-Mabahits al-ushuliyyah (ditahqiq oleh
belajar serta menerima hadits dengan ulama- kamal Muhammad isa), Halal al-aqd fi bayan
ulama Hijaz. Sepulang dari Hijaz at-Thufi ke Ahkam al-Mu’tamad, al-Iksir fi Ulum al-tafsir,
Syam dan kemudian ke Palestina dan wafat di Mukhtasar at-Tirmizi, mi’raj al-Wushul ila ilmi
Bitul Maqdis dalam usia 59 tahun. al-Ushul, Ta’aliq ala al-Anajil, dan lain-lain yang
Para sejarawan yang menulis riwayat hidup­ jumlahnya mencapai 48 (empat puluh delapan)
nya menjelaskan bahwa sejak berada di bagdad, buah karya.
at-thufi telah diakui tidak saja sebagai seorang
ulama fiqih dan ushul fiqih mazhab hambali
2. Al-Ghazali
yang sangat dalam ilmunya, tetapi juga sangat
menguasai bidang fiqih dan ushul fiqih mazhab- Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad
mazhab lainnya. Di samping itu ia juga diakui binMuhammad bin Muhammad bin Ahmad
sebagai ulama dalam bidang ilmu sejarah, ilmu al-Ghazali at-Thusi al-Syafi’I, yang terkenal
kalam, tasawuf, mantiq, tafsir, hadits, sasra, syair dengan gelaran hujjail islam al-Imam al-Jalil
dan bahasa arab. Zain ad-Din (argumentator Islam) mengingat
jasanya yang benar di dalam menjaga islam dari
Para ulama menyimpulkan bahwa at-Thufi
pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme
bermazhab hambali, namun dalam hal ini ter­
yunani. Lahir pada tahun 450 H di desa
dapat dua catatan, yakni: pertama, ia menjadi
Ghazalah, di pinggir kota Thus (yang pada hari
ulama mazhab Hambali hanya sejak ia memulai
ini terletak di bagian Timur laut Negara iran).10
karir ilmiahnya sampai selama ia berada di
Baghdad. Ia menganut mazhab Hambali tidak Al-Ghazali memlaui pendidikannya di
menjadika dirinya terkekang dalam belenggu wilayah kelahiran, ia belajar Alquran dan dasar-
fanatic mazhab, sebagaimana yang umum terjadi dasar ilmu keagamaan yang lain kepada ayahnya,
di kalangan ulama pada masanya. At-Thufi kemudian al-Ghazali dan adiknya belajar fiqih
memiliki keyakinan bahwa kebebasan berfikir dari Ahmad ibnu Muhammad al-Razakny at-
selama dalam batas-batas kemampuan yang Thusu di Thus dan tasauf dari Yusuf an-Nassaj,
dimiliki manusia untuk menemukan kebenaran
10
Lihat Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi Nazhr Al-Ghazali,
adalah tindakan yang terpuji menurut ajaran (Kairo: Dar al-Maarif, 1971), h. 19. Bandingkan Abu Abbas
Islam. Syamsudin Syamsuddin Ahmad bin Muhammad ibn Abi Bakr
ibn Khalikan, al A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman, (Beirut: Dar
Kedua, setelah ia meninggalkan Bagdad, se­ al-Shaadir, 1971), Juz IV, Cet I, h. 216-219.

| 50 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

kemudian hingga 470 H. Al-Ghazali, belajar Imam al-Ghazali meninggal dunia menjelang
ilmu-ilmu dasar yang lain, termasuk bahasa Persia matahari terbit di kota kelairannya (thus),
dan arab pada nasr al-Ismail di Jurjin.11 Pada tepatnya pada hari senin 14 jumadil Akhir
usia 20 tahun telah menguasai bebarapa ilmu- 505H/ 1111 M), dan di makamkan di Zhahahir
ilmu dasar dan dua bahasa pokok yang lazim al-tabiran, Ibukota Thusi.16
dipergunakan oleh masyarakat ilmiah ketika itu, Karya ilmiah yang ditinggalkan dalam ber­
sehingga dua bahasa ini mengantarkan dalam bagai cabang ilmu keagamaan, mulai dari fiqh,
me­mahami buku-buku ilmiah secara otodidak.12 ushul fiqh, ushul al-din, mantik, jidal, khilaf
Pada tahun 473 H. Al-Ghazali pergi ke naisabur filsafat hingga tasauf.17 Diantara keryanya yang
untuk melanjutkan pendidikan pada madrasah an- terkenal adalah tahafut al-falasifah,Al-Muqidz
Nizamiyyah, ketika itu Abu al-Ma’ali Abdul malik min al-Dhalal, al-Musthashfa min ‘Ilm al-Ushul
bin Abdullah al-Juwayni yang dikenal dengan dan ihya Ulum al-Din.18
Imam al-Haramain (478 H) bertindak sebagai
kepala dan tenaga pengajar di sana.13 Di sinilah
3. Abu Ishaq al-Syatibi
ia memperoleh dan memahami fiqih dan unsul
fiqih, mantiq (logika) dan ilmu kalam dari aliran Nama lengkap Imam Syathibi Adalah Abu
Asy’ariyah maupun selainya yang berkembang ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad
pada waktu itu. Imam Haramain menjuliki Al- Allalhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada
Ghazali dengan sebutan Bhar Mu’riq (lautan
yang menghanyutkan) karena dalam menguasai 16
Sholeh Ahmad Syamy, Al-Imam al-Ghazali..., h. .22-23
ilmu yang di dapatnya, termasuknilmu retorika 17
Lebih lanjut lihat untuk mengetahui nama-nama kitap
karya al-Ghazali dari berbagai bidang ilmu tersebut, lihat Ibn
sehingga dia mampu memberikan sanggahan- Syubhan Taqiqyudiddin Abi Bakr nin Ahmad bin Qadhi syuhbah
sanggahan kepada para penentangnya.14 al-Asady al-Dimasqy, Taqabaqat al-Fuqaha al-Syafiiyyah, juz,
(Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-diniyah, t.th), h.. 279-280.
Al-Ghazali dikenal juga sebagai filosof, sufifaqih 18
Di antara kitab-kitab al-Ghazali: Al-Ma’rif al-Aqilyyah
dan usuli. Di bidang ilmu kalam, al-Ghazali me­ wa al-Hikmah al-Ilahiyyah;, karya al-Ghazali ini berupa naskah
yang terdapat di dua perpustakaan yaitu Paris dan Oxford,
rupakan tokoh mutakalimin Asyaeri’ah. Sementara Maqashid al-Falsafah, buku ini dikarang oleh al-Ghazali sebagai
di bidang hokum islam (fiqih dan Ushul fiqih), pendahuluan buku al-Tahafut, Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz
beliau merupakan tokoh Syafi’iyah.15 min al-Dhalal, karya tulis al-Ghazali ditulis pada tahun 501-502
H. 29 ketika ia menetap kedua kalinya di Naisabur, Al-Madnun
Berselang bebarapa tahun setelah aljaini wafat bih ‘ala Ghair, Fatiha al-Ulum, karya ini berupa naskah tulisan
tangan (naskah Khaththiiyyan.) tersimpan di perpustakaan paris.
(w.478 H). terpatnya pada tahun 484 H/1091 Haqai al-Ulum, karya bentuk naskah yang yang juga tersimpan
M, Imam Al-Ghazali diangkat menjadi guru di perpustakaan paris, Maqashid al-Qulub al-Matrahbah ila
besar dimadrasah Nidzhamiyah di Baghdad. allam Ghuyub, mi’yar al-ilm, minhaj al-Nadz, Ma-arij al-Quds
fi Madarid ma’rifah al-Nafs. Jam al-Haqiq fi Tajrad al-a’laiq,
Ini adalah suatu pencapaian yang sangat tinggi, ihya Ulumu al-Din, karya besar al-Ghazali menghidupkan
karena dalam usia baru 34 tahun, al-Imam Abu kembali ilmu-ilmu agama Islam seperti logika, ahlaq, tasauf, dan
sebagainya. Buku ini mempunyai syarah yang banyak antara lain:
Hamid al-Ghazali Telah diberikan gelar syeikh
ittahaf al-al-sadat al-Muttawin (13 julid), taj al-Qasdihin (ibn
al-islami, yakni pangkat yang tertinggi bidang al-Jauih) Ruj al-Ihya’ (Ibn Yunus), bidayah al-hudayah, kitab
akademik dan keagamaan. mizan al-Amal, karang al-Ghazali ditulis dibahdad, sebelum
memasuki dunia thasauf, buku itu merupakan pelengkap untuk
menjelaskan pengertian yang ada di dalam Ihya’ kurang jelas, Al-
Qisthas al-Mustaqim, kitab al-Sa’adah, Ayyuha al-walad, kitab
11
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi Nazhr..., h. 20. al-Mankhul fi il,I Ushul, (kitab pilihan tentang Ushul fiqh),
12
Sholeh Ahmad Syamy, Al-Imam al-Ghazali Hujjatu al- al-Musthafa min ilm al Ushul (tempat pembersihan dan ilmu
Islam wa Mujaddid al-Mi’at al-Khamisah. (A’lam al-Muslimin Ushul Fiqh), merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul
Seri 43), (Damsyiq: Dar al-Qalam,1993/1413), Cet I, h. 20 fiqh. Yang sangat popular dari buku ini ialah pengantar manthiq
13
Sholeh Ahmad Syamy, Al-Imam al-Ghazali..., h. 21 dan pembahasan ilmu kalamnya, dalam kitab ini imam Ghazali
14
Ahmad Fuad al-Ahwani, Sirah al-al-Ghazali wa al-Aqwal membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukan
al-Mutaqaddimin fih, (Damaskus: Dar al-Fikr,t.th), h. 7. pembahasan usul fiqih dengan pembahasan ilmu qalam. Lebih
15
Ibn al-Subuki, Tabaqat al-Syafiiyah al-Kubra, (Kairo: lanjut lihat Ahmad al-Ahwi, Sirah al-Ghazali wa al-Aqwal al-
Matba’ah ‘Isa al-Babi al-Halabih, t.th), jilid VI, h. 197-209. Mutaqqaddimin fih, h..66

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 51 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

pada tahun 730 H. dan meninggal pada sela Hampir semua ulama yang hidup pada masa
tanggal 8 sya’ban tahun 790 H atau 1388M.19 itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar
Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat Belakang ilmu agama yang cukup dan bahkan
kelahiran ayahnya di Sativa (Syathiban-Arab), tidak jarang mereka yang tidak tahu manahu
sebuah daerah di timur Andalusia. Pada tahun persoalan agama diangkat oleh raja sebagai
1247 M, maka keluarga al-Syathibi me­ngungsi dewan fatwa. Oleh karena itu, tidaklah heran
ke Granada setelah sativa, tempat asal­ nya, apabila fatwa-fatwa yang dihasilkan sangat jauh
jatuh ke tangan Raja Spanyol Ueaqun setelah dari kebenaran.
keduanya berperang selama kurang lebih 9 Imam Syathibi bangkit menentang dan me­
tahun sejak tahun 1239 M. lawan para ulama Granada saai itu. Ia men­
Ketika al-Syathibi hidup, Granada diperntah coba meluruskan dan mengeimbalikan bid’ah ke
oleh Bani Ahmarr.20 Bani Ahmar sendiri adalah sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan
sebutan untuk keturunan dan keluarga Sa’ad pada kebenaran. Perseteruan sengit antara imam
bin Ubadah, setelah seorang sahabat Anshar. Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak
Sedangkan laqab Ahmar ditujukan kepada dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syatibi berfatwa
salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id halal, maka sebaliknya, berfatwa haram tampa
Muhammad as-Sadis (761-763 H) karena me­ melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itu­
miliki warna kulit kemerah-merahan. Orang lah, imam Syathibi kemudian dilacehkan, dicerca,
Spanyol menyebut Abu Sa’id dengan al-Barmekho dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama
yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang sebenarnya.
yang kemerah-merahan.21 Hal lain yang disorot Imam Syatibi adalah
Ketika bani Ahmar berkuasa, kehidupan praktek tasawwuf para ulama saat itu yang
masyarakat jauh dari kehidupan yang islami telah menyimpang. Maka mereka berkumpul
bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai malam hari, lalu berdzikir bersama dengan
khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah suara sangat keras kemudian diakhiri dengan
ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al- nyanyian samopai akhir malam. Sebagian dari
Ghany Billah memegang kekuasaan.22 Bukan merekayang memukul dadanya dan kepalanya.
hanya seringnya terjadinya pertempahan darah Sendiri. Imam Stathibi bangkit mengharam­
dan pemberontakan, akan tetapi pada masa kan peraktek tersebut karena menyimpang
itu juga setiap ada yang menyeru kepada cara di­
nilai telah menyimpang dari ajaran yang
beragama yang sebenarnya malah dituding telah sesungunya. Menurut imam Syahibi, setiap cara
keluar dari agama bahkan acap kali mendapat mendekatkan diri yang ditrmpuh bukan seperti
hukuman yang sangat berat. yang dipraktekkan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya adalah bathil dan terlarang.23
19
Sebetulnya tempat kelahitan imam syathibi tidak diketahui
Fatwa al-Syathibi tentang praktek tasawwuf
secara persis apakah di Granada atau sativa. Karena dalam buku
teks buku al-ifadat sendiri hanya disebutkan bahwa imam syatibi itu yang menimpang ini juga dikuatkan oleh salah
nasya bi gharnathah, hanya tumbuh bukan dilahirkan. Demikian seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abu hasan
juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi keterangan lainnya,
maka para penulis berikutnya menjadikan Granada sebagi tempat an-Nawawi. Ia mengatakan bahwa barang siapa
kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang melihat orang yang mendekatkan diri
yang menyatakan ia lehir sebelum tahun 720 H ada juga yang kepada Allah SWT dengan jalan yang keluar
setelahnya. Lihat al-Tanbakati, Nailul Ibtihaj, h.. 46, Abu al-Ajfan,
al-Ifadat h.151 dan Hammady al-Ubaidi, al-Syathibi wa Maqashid dari ilmu syar’ah, maka jangan mendekatinya.
al-Syariah, h. 11
20
Daulah ini Berjaya selama dua abad enam puluh dua
Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub
tahun yaitu sejak tahun 635-897H. dengan runtuhnya Bani ber­
lebihan yang diperaktekkan para ulama
Ahmar ini sekali gus mengakhiri kehadiran Islam di andalusia
21
Hammady, al-Syathibi wa Maqashid..., h. 29 23
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, (Beirut: Dar al-
22
Hammady, al-Syathibi wa Maqashid..., h..31 Ma’rifah, 1982), juz I, h. 264.

| 52 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

Granada dan masyarakat andalusia saat itu ulama-ulama madzhab lainnya termaksuk
terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang madzhab hanafi yang sesat saat ituselalu menjadi
setiap orang yang bukan madzhab maliki adalah sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam
sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa berbagai kesempatan ia sering menyunjung
masyarakat andalusia memang erat madzhab Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-
maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal Muawafaqat sendiri sengaja disusun oleh imam
bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah Syatibhidalam rangka menjembatani ketegangan
dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini yang terjadi saat itu antara madzhab Maliki dan
sebagai madzhab resmi negara. Hanafi.
Menurut salahsatu riwayat, kecendrungan Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah
Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab dan khufarat yang berkembangan saat itu, imam
Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada Syathibi menyusun sebuah karya lainnya ber­
dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi judul al-I’tisham.
serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam Al Karya-karya Imam Syathibi semuanya me­
Awwal saat itu bertanya:”darimana asalanya ngacu kepada dua bidang ilmu yang menurut
abu hanifah itu” ulama Hanaifi menjawab:” istilah hammadi al-Ubaidy, ulum al-wasilah dan
dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-
ulama Maliki: “ darimana asal Imam Malik?” ilmu bahasa arab yang merupakan wasilah untuk
ulama maliki menjawab “dari Madinah”. memahami ilmu Maqasid. Berikut ini karya-
Hisyam lalu berkata:” Imam yang berasal dari karya Imam Syathibi: kitab al-Muwafaqat, kitab
tempat hijrah Rasulullah yang cukup jauh dari al-I’tisham, kitab al-majlis, syarah al-khulashah,
kami”. Maka saat iti, seolah sudah merupakan Unwan al-Ittifaq, Ushul an-nahw, Al-Ifadaat wa
amar resmi, masyarakat Andalus memegang al-Insyadaat, fatwa al-Syathibi. Di antara sekalian
kokah madzhab Maliki. Saking berlebihnya banyak karya Imam Syathibi ini, yang di cetak
ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal hanya tiga buah yaitu kitab al-Muwafaqat, kitab
bahkan cenderung tidak bersahabat dengan al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.
madzhab-madzhab lainya terutama madzhab
hanafi sehingga muhammad Fadhil bin Asyur
Maqashid Al-Syari’ah dalam pandangan al-Thufi,
melukiskan mereka:“mereka idak lagi mengenal
al-Ghazali dan al-Syatibi
selain alqur’an dan al-Muwatha’ imam malik”.
Meskipun di kalangan ulama ushul ter­dapat
Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki
perbedaan istilah antara satu dengan lain­ nya.
saat ini tidak pernah lepas dari cercaan bahkan
Muhammad Abu Zahra misalnya, menyebutnya
penyiksaan seperti yang di alami oleh al-
dengan maqasid al-ahkam. Semenjak Zaky al-Din
Alammah baqa bin Mukhlid, seorang ulama
Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf, mengistilahkan
besar bermadzhab hanafi. Imam Syathibi
dengan maqasid al-tasri’. Najmuddin al-Thufi lebih
melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang
banyak membahasakannya dengan al-maslahah,
tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah
sedangkan maqashid al-syari’ah merupakan istilah
belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin hambal
yang digunakan oleh Imam Ishaq al-Syathibi dan
dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar
Abdul Karim Zaidan, namun pada prinsipnya
Andalus. Namun, sayang meninggal karena
perbedaan istilah itu sebenarnya mengandung
hukuman dari amir saat itu.
pengertian sama. Untuk menghindari kekeliruan
Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama dan kesimpangsiuran pemakaian istilah, maka
Maliki bahkan Muhammad makhluf menjadi­ dalam tulisan ini akan digunakan istilah maqashid
kannya sebagau ulama maliki tingkatan ke 16 al-syari’ah semata.
cabang andalus, namun ia tetap menghargai
Dilihat dari segi kebahasaan, kata “maqasahid

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 53 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

al-syari’ah” terdiri dari dua penggalan kata, hukum itu. Sebab menurut al-Qardawi di mana
yaitu “Maqashid” dan “al-syari’ah” yamh ada maslahat, dilaksanakan hukum Allah.
masing-masing punya makna tersendiri. Kata Dengan demikian, lihat secara jelas bahwa
”maqashid” merupakan bentuk plural (jama’) betapa eratnya hubungan antara maqashid
dan kata “maqashid”. Sedangkan akar katanya al-syari’ah (tujuan hukum Islam) dengan ke­
berasal dari kata verbal “qashada”, yang ber­ maslahatan (maslahat). Pemeknaan terhadap
arti menuju; bertujuan; berkeinginan dan maslahat para ulama mengungkapkan­ nya
berkesengajaan. Sedangkan pengertian “syari’ah’ dengan definisi yang berbeda-beda. Menurut
secara harfiah adalah sumber mata air atau al-Khawaizmi (w.790H/1388M) menyatakan
sumber kehidupan. Kata “syari’ah” (tunggal) maslahat merupakan pemeliharaan terhadap
jamak “syara’i” berarti segala yang diisyarat­kan tuju­an hukum Islam dengan menolak bencana/
Allah kepada hambanya, di antaranya berupa kerusakan/hal-hal yang merugikan dari mahluk
aturan-aturan hukum. Perkataan “syari’ah” (manusia).
ber­arti peraturan, sesuai dengan makna yang
Sementara menurut al-Thufi, maslahat
dijumpai dalam Alquran surat al-Jatsiyah ayat
secara urf merupakan sebab yang membawa
18: (kemudian kami jadikan kamu berada di
kepada maslahat (manfaat), sedangkan dalam
atas syariat(peraturan atau undang-undang) dari
hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang
urusan (agama) itu).
membawa akibat bagitercapainya tujuan Syar’I
Dengan demikian, secara etimologis maqasahid (Allah) baik dalam bentuk ibadat maupun
al-syari’ah berarti tujuan Allah (Pembuatan ma’amalah.
hukum) menetapkan hukum terhadap hambanya,
Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat
yang inti dari penerapan Syari’at itu berorintasi
makna asalnya merupakan maslaha dalam hukum
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk
Kemudian dalam terminologo syari’at ter­ memelihara tujuan syariat yang pada intinya
dapat dikalangan para ulama yang otoritatif terangkum dalam al-mabaadi’ al-khamsyah yaitu
dalam bidang ushul tentang pengertian maqashid perlindungan terhadap agama (hifzd al-din),
al-syari’ah. Dalam kaitan ini, Abu Ishaq al- jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –‘aql), keturunan
Syatibi (w. 790H/1388 M) dalam bukunya “al- (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al-maal). Setiap
Muwafaqat” menandaskan” bahwa yang dimaksud hukum yang mengandung tujuan memelihara
dengan maqashid al-syari’ah ialah ketentuan- kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap
ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk hal yang membuat hilangnya lima unsur ini
kemaslahatan manusia. Begitu pula, menurut disebut mafsadah.
‘Allal al-Fasiy dalam karyanya menyebutkan bahwa
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan
yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah adalah
diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-rahasia
Maqashid Al-Syari’ah adalah tujuan Allah me­
yang ditetapkan (Allah) pada setiap hukum.
netapkan hukum-hukum untuk mencapai
Adapun inti dari Maqashid Al-Syari’ah itu sendiri
ke­
maslahatan hidup manusia, sekaligus juga
adalah tujuan yang dikehendaki syara’ adalah untuk
menghindari berbagai kerusakan, baik di dunia
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindari
maupun akhirat.
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak
mudharat. Atau dengan kata lain seperti yang Lebih jauh dimaksud at-Thufi tentang al-
ditegaskan al-Syatibi bahwa tujuan utama Allah maslaha disini adalah al-muslaha yang sejalan
menetapkan hukumnya adalah untuk ter­wujud­ dengan tujuan syara’. Ia berbeda dengan maslaha
nya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan mursalah yang dinisbahkan kepada mazhab
di akhirat. Oleh sebab itu, taklif (pembenaan Maliki. Maslaha dalam pengertian at-Thufi
hukum) harus mengacu kepada wujudnya tujuan lebih luas dari pada itu. Namun dalam hal ini,

| 54 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

at-Thufi tidak membagi menjadi tiga tingkatan tekanan dan pihak majikan.25
menjadi dharuriat,hajiat dan tahsiniat. Dan hal Selanjutnya al-Ghazali memandang bahwa
lain yang membedakan Thufi dengan ulama maslahat hijayat dan tahsiniyat tidak dapat di­
lainnya adalah bahwa al-maslaha itu terbatas jadikan hijjah (dalil) dalam menetapkan hukum
hanya pada hal muamalah, bukan ibadah. Islam, kecuali hajiyat yang menempati level
Menurut al-Ghazali, menjaga kelima kelima daruriat.26 Pernyataan al-ghazali tentang hal ini
pokok yang telah disebut di atas (perlindungan tidak berada jauh dengan al-Syatibi.
terhadap agama, jiwa, akal keturunan dan harta) Menurut al-Thufi, dalam muamalah dalil
merupakan peringkat al-Dharurat (sangat urgen). yang terkuat adalah maslahat, sedang dalam
Dan ini merupakan tingkat yang tertinggi dari bidang ibadah dan hal yang disamakan dalam
al-mashlahah yang perlu dijaga. Sebagai contoh, ibadah, dalil yang dipedomani adalah nash dan
syari’at menetapkan hukuman nunuh bagi orang ijma’. Yang termasuk dalam hal yang disamakan
kafir yang menyesatkan orang banyak, begitu dalam ibadah ialah ketentuan-ktentuan yang
juga pembuat bid’ah yang menyuru orang lain berbicara tentang hudud dan uqubat (ancaman-
mengikuti bid’ahnya; sebab perbuatan-perbuatan ancaman hukum atas pelaku tindak pidana),
tersebut merusak agama. Begitu pula, syariat muqaddarat (ketentuan-ketentuan hukum yang
mewajibkan hukum qishash, karena dengan memiliki ukuran dan batasan tertentu), yang
terpeliharanya diri (jiwa) manusia. Diwajibkannya semuanya didasarkan atas nash.
had (hukuman cambuk) minuman khamar,
Pendapat at-Thufi yang menyatakan bahwa
karena dengannya akan terpelihara akal pikiran.
maslahat yang merupakan dalil terkuat dalam
Diwajibkan­ nya had zina, karena dengannya
bidang muamalah mengandung arti bahwa jika
terpelihara garis keturunan. Dan diwajibkannya
terjadi pertentangan diantara maslahat dan dalil-
menghukum perampok dan pencuru, karena
dalil lainnya karena dalil lainnya mengandung
dengannya akan terpelihara harta benda yang
kemudharatan, maka kecuali terhadap
merupakan sumber penghidupan manusia dan
kemudharatan yang didaarkan atats dalil yang
memenuhi keperluan hidup mereka.24
bersifat khas, maslahat wajib didahulukan atas
Kemudian Imam al-Ghazali menerangkan dalil lain tersebut, melalui takhsis dan bayan.
peringkat yang ketiga dari maslaha, yaitu perkara
Menurut at-Thufi, hadits nabi yang berbunyi
yang tidak termasuk ke dalam al-Dharurat dan
la Dharar wa la Dhirara, adalah dalil yang ber­
tidak pula termasuk ke dalam katagori al-hajat,
sifat khusus yang menjadi mukhashish terhadap
tetapi digolongan ke dalam kelompok al-Tahsin
semua ketentuan syara’ yang mengandung ke­
(menambah baik) dan al-Tazyin (memerindah),
mudharatan, kecuali kemudharatan yang di­
gunanya adalah untuk menjaga dan memelihara
dasarkan atas nas yang bersifat khusus. Makna
cara-cara yang terbaik dalam adat (tradisi) dan
hadits ini bersifat qath’I sebab dilihat dari segi
Mu’amalat (interaksi) yang berlaaku dalam
sanad, dukung oleh adanya sejumlah dalil baik
masyarakat. Contoh yang beliau kemukakan
yang berasalsejumlah dalil baik yang berasal
adalah tidak dibenarkan hamba sahaya menjadi
dari ayat-ayat Alquran, hads, ijma, maupun
saksi, walaupun fatwa dan riwayatnya diterima,
logika, yang semuanya menunjukan bahwa allah
karena level atau posisi hamba sahaya lebih
memelihara kemaslahatan manusia.
rendah dibandingkan orang yang merdeka. Hal
ini disebabkan kedudukan mereka lemah dan Di samping itu menurutnya tak dapat di­
di bawah kuasa pemiliknya, sehingga tidak bisa sangkal fakta menunjukan bahwa Allah me­
dijadikan saksi dengan asumsi adanya tekanan- melihara kemaslahatan manusia baik secara

25
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h.. 289
24
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h.. 287-288 26
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 293-294

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 55 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

umum maupun khusus, dalam bentuk umum ialah, dengan menyatakan bahwa pada dasarnya
Allah memelihara kemaslahatan manusia sejak diantara semua dalil ada tiga dalil yang memiliki
penciptaannya sampai dengan meyediakan hal-hal kemungkunan untuk dinilai sebagai dalil yang
yang mendukung kehidupan mereka. Sedang­kan qath’I, yaitu ijma’, nas, dan maslahat. Kemudian
dalam bentuk khusus, Allah memberikan pe­ ia membuktikan bahwa diantara ketiganya hanya
tunjuk agar manusia selamat diakhirat. Menurut­ maslahat yang terkuat. Langkah pembuktiannya
nya, jika Allah memelihara kemaslahatan manusia ialah,al-Thufi lebih dahulu mengajukan sebagai
baik secara umum maupun khusus, maka dalil yang menunjukan bahwa maslahat bersifat
pemeliharaan kemaslahatan di bidang hukum qath’i. selanjutnya ia membuktikan bahwa se­
merupakan suatu keniscayan dan lebih perlu, sebab benarnya ijma’ bersifat zhanni bukan qath’I,
itu bersifat umum. Dengan adanya pemeliharaan sedang yang lainnya adalah bersifat zhanni.
tersebut dibidang hukum, harta, darah dan Akan tetapi disamping nash yang qhat’I tersebut
kehormatan mereka menjadi terjamin. Karena al- hanya sedikit jumlahnya, nash yang qath’I itu
Syari’ mengutamakan pemeliharaan kemaslahatan sendiri tidak mungkin bertentangan dengan
manusia di bidang hukum, maka kata at-Thufi maslahat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut
dalam keadaan bagaimanapun keberadaan pe­ lalu ia menyimpulkan, jika dibidang muamalah
meliharaan kemaslahatan manusia tidak boleh di­ terjadi pertentangan antara maslahat dan nash
abaikan. Atas dasar itu, maslahat sebagai suatu dalil zhanni, maka maslahat yang bersifat qath’I yang
wajib didahulukan atas dalil syara’ lainnya. wajib didahulukan antara keduannya, sebab
Selanjutnya at-Thufi mengemukakan alasan yang qath’I wajib didahulukan atas yang zhanni.
lain dengan menunjukan pembagian ke­ Lain dengan at-Thufi, hujattul islam al-
maslahatan ditinjau dari tujuan syara’ kepada Ghazali mengtakan bahwa setiap maslaha yang
bidang ibadah dan yang disamakan dengannya, bertentangan dengan Alquran, sunnah, atau
serta bidang muamalah dan yang disama­ kan ijma’ adalah batal dan harus dibuang jauh-
denganlainnya. Ibdah dan yang disamakan jauh. Setiap kemaslahatan yang sejalan dengan
dengannya dimaksudkan Allah menjadi hak­ tindakan syara’ harus diterima untuk dijadikan
nya. Menurutnya, maka manusia tidak dapat pertimbangan dalam penetapan hukum Islam.27
mengetahui cara, ukuran, waktu dan tempat Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan utama
ibadah kecuali berdasarkan ketentuan yang penetapan hukum islam untuk mewujudkan
ditetapkan Allah dalam bentuk nas dan ijma’. kemaslahatan umat manusia pada dua dimensi,
Oleh karena itu nas dan ijma’ merupakan yaitu duniawi dan ukhrawi, maka peranan
pedoman utama dalam menentukan hukum maslahat dalam hukum Islam adalah sangat
di bidang ibadah. Adapun muamalah dan dominan dan menentukan dalam meng-istinbath
yang disamakan dengannya, dimaksudkan hukum. Oleh sebab itu, Al-Ghazali membagi
untuk kepentingan manusia. Dalam bidang maslahat menjadi tiga28, yaitu:
ini kemaslahatan manusia merupakan tujuan
1. Maslahat yang dibenarkan/ditentukan oleh
utama syara’. Oleh karena itu yang menjadi
nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan
pedoman utma dalam penetapan hukum di
maslahat mu’tabarah. Maslahat semacam
bidang muamalah adlah kemaslahatan manusia.
ini dapat dibenarkan untuk menjadi per­
Tegasnya, dalil yang terkuat dalam bidang
timbnagan penerapan huku Islam dan ter­
ibadah adalah nas dan ijma’ sedangkan dalil yang
masuk ke dalam qiyas. Dalam hal ini, para
terkuat dalam bidang muamalah adalah Ri’ayah
pakar hukum Islam telah konsesius.
Al-Maslaha (prinsip memelihara kemaslahatan).
Alasan at-Thufi lainnya bahwa maslahat
me­rupakan dalil terkuat di bidang muamalah 27
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 294
28
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 284-286

| 56 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

2. Maslahat yang dibatalkan/digugurkan oleh jadikan pertimbangan dalam penetapan hukum


nas/dalil tertentu. Inilah yang dikenal dengan Islam.31Dengan pernyataan ini, al-Ghazali ingin
maslahat mulgah. Maslahat semacam ini tidak menegaskan bahwa tak satupun hukum Islam
dapat dijadikan pertimbangan dalam me­ yang kontra dengan kemaslahatan, atau dengan
netapkan hukum Islam. Dalam hal ini, para kata lain tak akan ditemukan hukum Islam yang
pakar hukum Islam juga telah konsensus. menegaskan dan membuat mudharat umat
3. Pendapat apakah maslahah mursalah itu Islam.
dapat dijadikan pertimbangan dalam pe­ At-Thufi menganggap bahwa muslahat
netapan hukum Islam ataukah tidak. hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan
Dengan pertimbangan semacam itu, akan dengan muamalat dan yang sejenis bukan pada
diketahui tentang persyaratan maslaha yang masalah-masalah yang berhubungan dengan
dapat dijadikan hujjah dan yang tidak dapat ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat
dijadikan hujjah. Dalam hal ini, al-Ghazali hanya hak syar’i. tidak mungkin seorang
menyebutkan secara gamblang syarat-syarat mengetahi hakikat yang terkandung di dalam
muslaha mursalah yang dijadikan hujjah (dalil) ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu
dalam penetapan hukum, yaitu; atau tempat, kecuali hanya menjalankan apa
saja yang telah diperintahkan oleh tuhannya.
1. Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-
Sebab, seorang pembantu tidak akan dikatakan
tindakan syar’/ penetapan hukum Islam
sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan
(yang dimaksudkan untuk memelihara
printah yang telah diucapkan oleh tuannya,
agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan/
atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi
kehormatan). Inilah persyaratan ini bagi di­
tugasnya. Demikian halnya dalam masalah
terimannya maslaha mursalah. Maslahah
ibadat, menurut at-thufi maslahat-maslahat
mulgah (yang bertentangan dengan nas
yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang
dan ijma’) harus di tolak. Demikian pula
terkandung di dalam maslahat ibadat. Namun,
maslaha gharibah (yang sama sekali tidak ada
mengenai maslahat yang bertalian dengan
dalilnya, baik yang membenarkan maupun
kehidupan sosial kaum mukllaf dan hak-hak
yang membatalkan). Bahkan al-Ghazali yang
mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka
menyatakan maslahat semacam itu hakikat­
melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain,
nya tidak ada.29
jika kami tidak melihat dalil syariat yang tidak
2. Maslahat itu harus berupa maslahat daruriat menyebutkan maslahatnya, kami berpegang
atau hajiah yang menempati kedudukan bahwa syariat telah membolehkan kami untuk
daruriah. Maslahat tahsiniat tidak dapat men­cari maslahat sendiri.
dijadikan hujjah/pertimbangan penetapan
Pandangan at-Thufi tentang maslahat
hukum Islam, kecuali ada dalil khusus yang
nampak­nya bertitik tolak dari konsep maqasid
menunjukkannya, yang berarti penetapan
at-tasri yang menegaskan bahwa hukum Islam
hukumnya itu lewat qiyas, bukan atas nama
disyaratkan untuk mewujudkan dan memelihara
maslahah mursalah.30
maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui
Lebih tegas lagi, al-Ghazali menyatakan oleh para ulama dan oleh karena itu mereka
bahwa setiap maslahah yang bertentangan mempormulasasikan suatu kaidah yang cukup
dengan Alquran, sunnah, atau ijma’ adalah batal populer, “dimana ada maslahat” di sana ada
dan harus ditolak. Adapun kemaslahatan yang hukum Allah.
sejalan dengan syara’ maka ia diterima untuk di­
Selanjutnya, al-Thufi menggunakan metode
takhsis dan bayan dalam mendahulukan maslahat
29
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 294-296
30
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 310-311 31
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I’tisham, h. 311

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 57 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

atas nas dan ijma’, terdiri dari dua langkah secara mempertahankan eksistensi suatu dan menolak
bertahap, dalam arti, langkah kedua hanya dapat kemudaratan dari padanya. Maksudnya apa yang
ditempuh jika langkah pertama tidak dapat sudah ada itu harus dipertahankan, dijaga dan
diterapkan. Langkah yang pertama ialah dengan dipelihara supaya tetap eksis dan jangan terjadi
metode penggabungan dalil, sedangkan langkah padanya kemusharatan. Dengan demikian, me­
yang kedua ialah dengan cara benar-benar men­ melihara tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al-
dahulukan maslahat atas nash dan ijma’. Akan Syari’ah) adalah menjaga supaya yang ada itu
tetapi langah kedua itu hanya mengandung tetap eksis (jangan sampai tiada) dan menolak
arti tabdil (penggantian hukum), bukan naskh kemudharatan dari padanya (jangan sampai
(pembatalan kandungan dalil). rusak) serta mewujudkan kemaslahatan (manfaat)
Mendahulukan maslahat dalam bentuk baik dalam bidang agama maupun kehidupan
tabdil mengandung arti bahwa suatu ke­ duniawi.33 Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa
tentuan hukum yang semula berlaku dapat semua jenis munasabah bertujuan menjaga
diganti dengan ketentuan hukum lain, karena maqashid syari’ah, apa saja yang tidak sesuai
alasan kemaslahatan. Namun, dengan alasan dengan maqashid syariah maka itu bukanlah
kemaslahatan juga ketentuan hukum yang munasabah, dan apa saja yang membawa kepada
pertama dapat kembali diberlakukan meng­ maqashid syari’ah maka itu adalah munasabah.34
gantikan ketentuan hukum yang kedua, karena Selanjutnya Imam al-Ghazali menerangkan
kemaslahatan menghendaki agar ketentuan maksud atau tujuan-tujuan syari’at itu adalah
yang pertama tersebut diperlakukan kembali. untuk memelihara jiwa, akal, keturunan manusia,
Dalam buku Syafa’ al-Ghalil, al-Ghazali dan harta. Karena itu, bagi yang mem­ bunuh
me­ nyinggung maqashid al-syari’ah ketka ditetapkannya hukuman qishashh, tujuannya
membahas “qiyas”. Beliau menerangkan bahwa adalah untuk memelihara diri dan jiwa manusia
salah satu cara menetapkan ‘illat hukum adalah supaya tetap eksis. Ketetapan ini adalah sangat
adanya al-munasabah. Yang beliau maksud rasional (mq’qul) dan cocok (munasib) dengan
dengan al-munasabah dalam maslah ini adalah tujuan ditetapkannya huku (maqashid al-Syari’ah),
“adanya keserasian atau kelayakan antara yakni mendatangkan kemaslahatan. Begitupun
makna yang terkandung dalam teks dengan diharamkan meminum khamar, karena ia bisa
al-maslahah. Sedangkan al-maslahah yang merusak akal. Sedangkan menjaga akal merupakan
dimaksud adalah “mendatangkan manfaat dan tujuan syari’ah karena dengan akal manusia dapat
menolak kemudaratan. “Dengan kata lain, memahami sesuatu. Demikian pula menjaga alat
munasabah dalam hukum Islam itu adalah untuk kelamin manusia, agar tidak terjadi keracunan
memelihara maksud (tujuan) syara’ mewujudkan keturunan. Begitu pula terhadap harta benda,
kemaslahatan dan menjauhkan kemudharatan.32 menjaganya merupakan tujuan syari’ah. Hal ini
dilihat pada larangannya mengambil hak orang
Kemudian beliau membagi maksud atau
lain, karena itu diwajibkan mengganti barang
tujuan syara’ itu kepada kedua macam, yaitu daniy
orang lain tersebut, dan diperintahkannya me­
(agama) dan dunyawi (keduniaan). Masing-masing
motong tangan orang yang mencuri.
dari padanya terbagi pula kepada dua jenis, yakni
tahshil (menghasilkan) dan ibqa’ (mengekalkan). Di dalam Alquran, Allah Swt. Telah meng­
Yang dimaksud dengan tahshil (menghasil­ ingatkan tujuan diisyaratkannya qishash,
kan) adalah menghasilkan atau mendatangkan sebagai­mana terdapat dalam surat Al-Baqarah
manfaat, sedangkan ibqa` (mengekalkan) adalah ayat 179:

32
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syibh
wa Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, Hamad al-Kubaisiy (ed), 33
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil..., h. 159.
(Baghdad: al-Irsyad, t.th.), h.159 34
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil..., h. 159.

| 58 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

‫ﯔﯕﯖﯗ ﯘﯙﯚﯛ‬ bahwa semua munasabah hukum Islam tersebut


rujukannya, adalah memelihara tujuan-tujuan
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
syara, namun tujuan-tujuan syara’ itu berbagi
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang
pula kepada beberapa tingkatan di antaranya:
yang berakal, supaya kamu bertakwa”
1.
Al-Dharurat (kepentingan yang paling
Begitu pula mengenai kerusakan yang timbul
urgen atau kebutuhan primer), merupa­
akibat minum Khamar, sebagaimana terdapat
kan tingkatan yang paling tinggi. Misalnya
dalam firmannya pada Al-Maidah ayat 91:
memelihara atau menjaga nyawa. Contoh
‫ﭡﭢ ﭣﭤﭥﭦﭧﭨﭩﭪ‬ yang paling sesuai dengan masalah ini adalah
pelaksanaan hukum qishas. Begitu juga
‫ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱﭲ ﭳ ﭴ ﭵ‬ juga dengan urgenya menjaga akal dengan
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak me­ diharam­kannya minuman khamar, dan
nimbulkan permusuhan dan kebencian di antara sebagainya. Belakangan konsep ini disebut
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dengan “al-Dharurat al-Khamsah”.
dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
2.
Al-hajat (hajat atau kepentingan yang
salat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
diperlakukan atau kebetulan sekunder),
pekerjaan itu)”
misal­nya diberikan hak kuasa kepada wali
Penggalan kata “permusuhan dan kebencian untuk memelihara anak gadisnya yang
diantara kamu” merupakan persoalan yang dapat masih belia untuk menjaga dan memelihara
mendatangkan bahaya (mudharat), karena ter­ adanya kafa’ah (keserasian/kecocokan) di
masuk pada perbuatan yang dilarang, sedangkan antara suami istri dan terjaganya mahar misil
kata “menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (mahar standar dalam keluarga).
shalat” merupakan persoalan yang dapat merusak
3. Al-Tahsinan dan al-Tazyinat (kepentingan
agama.
yang memperindah dan memperbagus atau
Sedangkan kemaslahatan (maslahah) yang kebutuhan tersier). Kepentingan ini tidak
dibawa oleh agama, dapat dilihat dari kewajiban termasuk ke dalam al-dharurat dan tidak
sholat misalnya. Sepertimana diterangkan dalam pula al-hajat, tetapi hanya berfungsi sebagai
firmannya surat al-Ankabut ayat 45: hiasan yang memperindah saja. Contohnya,
saksi hamba sahaya tidak diterima oleh kasus-
‫ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡﯢ ﯣ‬
kasus yang melibatkan orang mereka, karena
‫ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨﯩ ﯪ ﯫ‬ perbedaan status keduanya.35
‫ﯬﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ‬ Dari pembahasan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa antara al-Thufi, al-Ghazali
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
dan al-Syatibi terdapat benang merah yang kuat
Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
dalam rancang bangun maqashid al-syari`ah,
shalat. Sesungguhnyn shalat itu mencegah dari
hanya dalam beberapa hal terdapat perbedaan
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
sudut pandang.
Sesungguh­nya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat Al-Syathibi yang hidup terakhir dan di­
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu anggap sebagai ’bapak’ maqashid al-Syari’ah,
kerjakan” banyak terpengaruh dari pemikiran para ulama
se­belumnya, khususnya para ushuliyyun dan pe­
Pencegahan dari perbuatan keji tersebut
ngikut mazhab Malikiah. Contoh nyata istifadah
merupakan inti maslahah yang dibawa agama,
al-Syathibi pada ushuliyun dapat di­­lacak pada
yang dengannya juga tercipta kemaslahatan
dunia. Seterusnya, imam al-Ghazali menegaskan 35
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil..., h. 160

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 59 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

pembagian konsep masalih menjadi 3; dharuriyat, yang secara luas menjelaskan relung-relung
hajiyat dan tahsiniyat, dan pembagian dharuriat maqashid al-syari’ah dengan didukung oleh
menjadi 5; hifz al-din, hifz al-nafs, al-aql, al-nasl, teks atau nas. Jadi menurut al-Syathbi, semua
al-mal. Perlu dicatat bahwa al-Juwaini lah yang hukum syara yang didukung oleh nas pasti
pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam mendukung kemaslahatan manusia. Namun,
kitabnya al-Burhan. Sedangkan pengaruh dari ternyata ada bagian hukum yang tidak
al-Ghazali, dapat kita temukan pada puluhan mengandung kemaslahatan atau ke­maslahatan
kali penyebutan nama al-Ghazali, baik di al- itu berseberangan dengan nas. Konsekuensinya,
Muwafaqat ataupun di al-I’tisham. Sebagagai maka bagi al-Syatibi hukum itu harus ditolak
mengenal pembahasan makna sah dan batalnya atau keberadaan hukum itu adalah batil.
suatu amal, ia mengemukakannya sebagai berikut Namun, kenyataannya bagi al-Syatibi bukan
“bahwa suatu amalan yang yang sah adalah berarti hukum itu harus ditolak, akan tetapi
amal yang baik dimata Allah dan mendapatkan hukum itu di mauqufkan dengan me­ ngem­
pahala atas perbuatannya tersebut, dan bukan balikan bahwa semua hukum yang diturunkan
semata amal yang batal yang terpenuhi syarat tetap mengandung kemaslahatan, baik itu bisa
dan rukunnya saja, sementara amal yang batal diketahui secara langsung bahkan sama sekali
sebaliknya. Hal ini telah disinggung oleh para tidak diketahui oleh akal manusia dengan
ulama akhlak semisal al-Ghazali dalam bab niat keterbatasannya.
dan iklasnya”. Sedangkan pengaruh dari Izzudin
‘Abd al-Salam dan muridnya, al-Qarafy terlihat Penutup
pada pasal musyaqqah dan pembagiannya,
Mengakhiri tulisan ini, ada bebera hal yang
masyaqqah mulazamah li al-taklif yang kemudian
dapat disimpulkan bahwa maksud segala bentuk
dikembangkan lebih dalam oleh al-Syathibi.
hukum syariah yang disyariatkan Allah ber­
Sementara bagi seorang penganut Malikiah taat,
tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan
yang mempunyai karakter khas sebagai madzhab
menghindarkan kemudharatan, baik di dunia
maslahah, istislah, ihtihsan dan tafsir maslahah
maupun akhirat. Kemaslahatan itu, ada yang
terhadap teks, dan jalb al-manafi` wa dar’ al-
dalam bentuk al-dharuriyyat (primer), al-hajiyat
mafasid terhadap konteks turut memberikan
(sekunder), dan al-tahsiniyyat (tersier), dan
sumbangsih cukup besar pada cara pandang al-
terakomodir dalam lima prinsip pokok yaitu
Syathibi.36
melihara agama, jiwa,akal, keturunan dan harta
Adapun Najmuddin al-Thufi terksesan meng­ benda. Segala sesuatu yang me­ngandung makna
gunakan metodologi liberalistik, yakni usul fikih pemeliharaan/penjagaan terhadap kelima
yang menonjolkan karakter pemikiran liberal maqashid al-syari’ah, dinamakan mafsadah,
dan radikal. Kaitannya dengan membahas ini, me­nolak/menghilangkan mafsadah berarti
al-Thufi dalam salah satu teorinya mengatakan maslahah. Tujuan dan inti seluruh ajaran Islam
bahwa apabila terjadi ta’arud antara nash, ijma’ (Alquran dan hadis) adalah kemaslahatan. Maka
dengan maslahah, maka maslahah harus di­ harus mengedepankan kemaslahatan atas teks-
dahulukan. Karena bagi at-Thufi maslahah me­ teks agama dan ijma’ dalam wilayah muamalah
rupakan tujuan atau esensi pokok, sementara dan adat bila terjadi kontradiksi antara keduanya.
nash dan ijma’ hanyalah sarana. Artinya, ketika Kemaslahatan yang disiapkan manusia harus
esensi bertentangan dengan sarana, esensilah diikut­kan pada kemaslahatan yang dicanangkan
yang harus didahulukan. teks bila terjadi kontradiksi antara keduannya.
Sementara al-Syatibi terkesan menggunakan Kemaslahatan yang dalam istilah al-Ghazali
metedologi utilitarianistik yakni usul fikih dan al-Syathibi disebut kullinya al-Syari’ah
adalah bersifat qath’iy. Al-Thufi tidak membagi
36
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil..., h. 318

| 60 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018
Konsep Maqashid Al-Syari`ah

maslahah ke dalam dharuriah, hajiyah, dan Dunya, Sulaiman, Al-Haqiqah Fi Nazhr al-
tahsiniyah. Bagi al-Thufi, maslahah adalah Ghazali, Kairo: Dar al-Ma’arif. 1971.
maslahah, tidak perlu di bagi-bagi. Al-Syathibi Fasi, ‘Alal al-, Maqashid al-Syari’ah wa
mem­ baginya menjadi tiga macam, yaitu: Makanatuha, Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1971.
maslahah dharuriah, hajiyah dan tahsiniyah. Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa Min ‘Ilmi
Ketiga bagian ini bersifat hierarkis. Antara al-Ushul. Juz II. Beirut: Dar Ihya al-Turats
at-Thufi, al-Ghazali dan al-Syathibi sepakat al-‘Arabiy. t.th.
bahwa kemaslahatan dimaksud, hakikatnya
Ghazali, Abu Hamid, Syifa’ al-Ghalil fi Bayan
kembali pada perlindungan terhadap manusia
al-Syabah wa al Mukhil wa Masalik al-Ta’lil.
itu sendiri, namun menurut al-Thufi mashlahah
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1420
adalah dalil mandiri yang paling otoritatif
H/1999 M. Cet ke-1.
untuk menentukan kebijakan hukum. Padahal,
kemaslahatan bukan dalil otoritatif untuk Jauziyyah, Ibn Qayyim al-, I’lam al Muwaqi’in
menentukan kebijakan hukum. Kemaslahatan `an Rab al-‘Alamin, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.,
bukan dalil hukum, melainkan sebagai inti dan Juz III
tujuan sebuah hukum. Menurutnya, seluruh Juwaini, Al-Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali
ajaran-ajaran syariah Islam memiliki hubungan Abd al-Malik Ibn Abdulullah ibn Yusuf al-,
kausalitas (muamalah) dengan kemaslahatan Al-Burhani fi Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-
dalam wilayah adat dan muamalah. Akal Anshar, 1400 H. Juz I.
(intelektualitas) manusia normal maupu me­ Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh. Kairo:
nge­tahui dan menemukan kemaslahatan dalam Matba’ah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, Cet.
wilayah muamalah dan adat (tradisi), tapi VIII.
tidak dalam wilayah ibadah. Pemikiran at- Khalikan, Abu ‘Abbas Syamsuddin Ahmad bin
Thufi tentang mashlahat merupakan dalil ter­ Muhammad bin Abi Bakr ibn, Wafayat al-
kuat dalam bidang muamalah, hal ini dapat A’yan wa Anba’ Anba’ al-Zaman, Beirut: Dar
men­ jadikan hukum Islam mampu menjawab al-Shadir, 1971, Juz IV. Cet. I.
tantangan kemajuan dewasa ini. Sebab konsep
Manzur, Ibn, Lisanu al-Arabi.Mesir: Muassasah
tersebut dapat melahirkan hukum Islam yang
al-Misriyah al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Anba
lebih substantif dibanding dengan konsep dalil
wa al-Da’wah. t.th.
lainnya.
Raisuni, Ahmad, Nadhariyyat al-Maqashid
‘Inda al-Imam al-Syatibi.Beirut: al-Muassasah
Pustaka Acuan
al-Jami’iyyah Liddirasat wa al-Nasyr wa al-
Ahwani, Ahmad Fuad al-, Sirah al-Ghazali wa Tauzi’.1992.
al-Aqwal al-Mutaqaddimin Fih. Damaskus:
Subuki, Ibn al-, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra,
Dar al-Fikr. t.th.
Cairo: Matba’ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.th.,
Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Jilid VI
bin al-Mughirah al-, Shahih al-Bukhari. Juz
Syamy, Sholeh Ahmad, Al-Imam al-Ghazali Hujjatu
I. t.th.
al-Islam wa Mujaddid al-Mi’at al-Khamisah,
Buthi, Muhammad Said Ramadhan al-, Al- (A’lam al-Muslimin Seri 43). Damsyiq: Dar al-
Dhawabit al-Mashlahat fi al-Syari’ah al- Qalam, 1993/1413, Cet. ke-1.
Islamiyah, Beirut: Muasasah al-Risalah, 1977.
Syatibi, Abu Ishaq al-, Al-Muwafaqat Fi Ushul
Dimasqy, Ibn Syuhbah Taqiqyuddin Abi Bakr al-Syari’ah. Jilid II. Mesir: Dar al-Fikr al-
bin Ahmad bin Qadhi Syuhbah al-Asady Arabi. t.th.
al-, Tabaqat al-Fuqaha al-Syafi’iyyah. Cairo:
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad
Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyah. t.th.
al-, Irsyad al-Fuhul.Dar al-Fikr. t.th.

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 61 |


Volume 5, No. 1, 2018
Suansar Khatib

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, Mesir: Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz Fi Ushul al-
Dar al-Fikr al-Araby, 1958. Fiqh, Baghdad: Dar al-Arabiyah Lit Tiba’ah,
1977, Cet. VI.

| 62 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 5, No. 1, 2018

Anda mungkin juga menyukai