Anda di halaman 1dari 17

Makalah Hukum Islam

HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :

Dr. Khaeratun S.Ag.,S.H

Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIZKY RIANDI (D1A022479)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKUKTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
Kata Penagantar

Assallamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadiran Tuhan yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis bisa menyelesaikan makalah ini dalam
jangka waktu yang ditetapkan dengan judul makalah “HUKUM ISLAM”

Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah yang berjudul “HUKUM ISLAM” ini
tidak luput dari bantuan dari berbagai kalangan, terutama Tuhan yang maha Esa dan bantuan dari
berbagi pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini tidak henti-hentinya Penulis menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan baik materi
dan penulisan yang tersampaikan melalui makalah ini. Namun demikian, Penulis telah berupaya
dengan seluruh kemampuan dan pegetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini bisa selesai
dengan baik. Oleh karenanya, Penulis dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul
guna menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dari
berbagai macam kalangan.

Wassallamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Mataram,28 februari 2023


Daftar Isi

Kata Pengantar....................................................................................................................2
Daftar Isi..............................................................................................................................3
BAB 1..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................5
1.3 Tujuan............................................................................................................................5
BAB 11................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..................................................................................................................6
2.1 Pengertian Hukum Islam................................................................................................6
2.2 Pengertian Hukum Taklifi..............................................................................................7
2.3 Pengertian Hukum Wadhi’............................................................................................10
BAB 111..............................................................................................................................11
PENUTUP...........................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................11
Daftar Pustaka......................................................................................................................12
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebelum membahas apa itu Hukum Islam, sebelumnya kita terlebih dahulu memahami
apa yang dimaksud dengan Hukum. Hukum adalah himpunan pengaturan-pengaturan yang
dibuat oleh penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaba atau intuisi hukum
untuk mengatur tingkah laku manusia, dalam masyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi
yang harus dipenuhi oleh masyarakat.

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat
dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupakan cara
negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan mereka yang akan dipilih.

Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
terakhir yang menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.

Pengertian islam secara harfiyah : artinya damai, selama, tunduk, dan bersih. Kata islam
terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar
“selamat”(selama).
Pengertian Islam menurut Bahasa : Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata
salama. Kata Islam mashadar (infinitif) dari kata aslama ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Islam ?
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Taklifi ?
3. Apa yang dimaksud dengan Hukum Wadhi’ ?
4. Fungsi hukum islam dalam pembangunan nasional dalam aspek ekonomi
1.3 Tujuan
Untuk mengetahu apa yang dimaksud dengan Hukum Islam, Hukum Taklifi, Hukum Wadhi’.
BAB 11

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka
mencapai kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Karena itu, hukum Islam mencakup aturan-
aturan yang mengatur perilaku manusia di dunia. Hukum Islam mencakup semua aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering menimbulkan
pengertian rancu, hingga kini hukum islam dipahami dengan pengertian syariah dan terkadang
dipahami dengan pengertian fiqh.

Secara bahasa, kata syariah berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang
minum”. Orang Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian “jalan setapak
menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Dengan
pengertian bahasa tersebut, syariah berarti suatu jalan yang harus dilalui.

Adapun kata fiqh secara bahasa berarti “mengetahui, memahami sesuatu”. Dalam
pengertian ini, fiqh adalah sinonim kata“paham”. Al-Quran menggunakan kata fiqh dalam
pengertian memahami dalam arti yang umum. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pada masa
Nabi, istilah fiqh tidak hanya berlaku untuk permasalahan hukum saja, tetapi meliputi
pemahaman seluruh aspek ajaran Islam. (Ahmad Hanafi, 1970: 11)
Dalam perkembangan selanjutnya, fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul al-fiqh sebagai
hukum praktis hasil ijtihad. Kalangan fuqaha (ulama fiqh) pada umumnya mengartikan fiqh
sebagai kumpulan hukum Islam yang mencakup semua aspek hukum syar’i, baik tertuang secara
tekstual maupun hasil penalaran atas teks. Pada sisi lainnya, dikalangan ahli ushul fiqh, konsep
syariah dipahami dengan pengertian “teks syar’i” yakni sebagai al-Nash al-Muqaddas yang
tertuang dalambacaan Al-Quran dan hadis yang tetap, tidak mengalami perubahan.

2.2 Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian


bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan.
Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang
mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut
seorang mukallaf untuk melakukandan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat
dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan
suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya:
”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT
mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,Dengan demikian,
taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu :

1.Wajib

Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang
disebut dengan istilah “wajib”. Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya. Hukum
Wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada beberapa macam pembagian. Bila dilihat dari segi
orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dapat dibagi kepada 2 (dua) macam, yaitu:
a). Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh
(mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya kewajban melaksanakan salat lima kali sehari semalam.
Melaksanakan puasa di bulan Ramadan, dan naik haji bagi orang yang mampu.

b). Wajib kifa’i (wajib Kifayah), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf,
namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan
mengerjakannya. Misalnya melaksanakan salat jenazah adalah kewajiban seluruh umat Isllam,
tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana dilaksaakan oleh sebagiian anggota masyarakat.
Namun bilamana tidak seorangpun yang mengerjakannya, maka seluruh umat Islam diancam
degan dosa. Demikiian pula dengan kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar,
menjawab salam, belajar ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.

2. Mandub

Kata mandub dari segi bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut istilah,
seperti dikemukakan Abd. Kkarim Zaidan adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela
orang yang tidak melaksanakannya. Mandub juga di sebut sunnah, nafilah,, mustahab, tatawwu’,
ihsan, dan fadilah.

(1)Sunah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh
Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, salat sunat dua rekaat sebelum fajar.

(2) Sunnah Ghair al-Makkadah (sunnah biasa), yaitu suatu yang dilakukan Rasulullah,
namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan salat sunnah dua kali dua rekaat
sebelum salat dluhur, dan seperti memberikan sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam
keadaan terdesak, jika dalam keadaan terdeak, maka hukum membantunya adalah wajib.

(3) Sunnah al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia.
Misal sopan santun dalam makan, nimum, dan tidur. Mengikuti Rasululllah dalam masalah-
masalah tersebut hukumnya sunah, namun tingkatannya di bawah dua disebut pertama tadi.

3. Haram
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila
dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan
apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah
“haram”.Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang
menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni
disebut karahah tahrim.Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll. Para
ulama usul fikih, antara lain Abd. Karim Zaidan, membagi haram kepada
beberapa macam, yaitu:

a). Muharram li Zatihi, yaitu suatu yang diharamkan oleh syari’at karena esensinya
mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan tu tidak bisa terkecuali
dari zatnya. Misalnya larangan berzina (Q.S. Isra’: 32), larangan menikahi wanita-manita
muhram seperti ibu kandung dan saudara kandung (Q.S. al-Nisa’: 23), haram memakan bangkai
(Q.S. al-Maidah: 23), haram mencuri (Q.S. al-Maidah: 38), dan haram membunuh ( : 29).

b). al-Muharram Li Ghairihi, yaitu suatu yang dilarang bukan karena esensinya,kerena secara
esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam suatu kondisi sesuatu itu dilarang karena
ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada suatu yang dilarang secara esensial.
Misalnya, larangan melakukan jual beli pada waktu azan jum’at (S.Q. al-Jumu’ah: 9).

4. Makruh

Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan
yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang
dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.Contohnya: merokok,dll. Catatan untuk perkara yang
mubah :

1.Jangan berlebihan.

2.Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa

ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.

3.Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
5.Mubah

Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau


meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan.
hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut
“ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut
“mubah”.Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji,
dll.

2.3 Pengertian Hukum Wadhi’

Kataal-wadh`merupakan masdar dari wadha`a,dapat diartikan dengan penurunan,


penjatuhan, pukulan,pemalsuan, atau rekayasa, pengarangandan peletakan. Dalam definisi
hukum syara’,kataal-wadh`yang mewakili hukum wadh`I,berarti peletakan, yakni peletakan
sesuatu menjadi hukum syara’Berbagai literatur usul fikih berbahasa Indonesia
menerjemahkan al-wadh`dengan kata “ketetapan”.

Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-nam berpendapat dalam karyanya yang berjudulAl-
Jaamiu Limasili Usulil Fiqh,bahwasanya hukumwadh’isebagaimanaAllah berfirman yang
berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatuyang lainnya, syaratnya,
larangannya,kemudahannya,hukum asal yang telahditetapkan oleh syari’ (Allah). Hukum
ini dinamakan hukumwadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan.

Hukum wadh’iterbagi menjadi 3 macam yaitu:

1. Sebab
Menurut istilah syara’sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang
dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu
menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi asas
terbentuknya sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum dan
sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan.Sebagai contoh, melihat
anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah
SWT: Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan
(atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu...(al-Baqarah: 185).

Pembagian sebab oleh para ulama usul fikih membaginya kepada dua macam,
sebagai berikut:

a). Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada di luar kemampuannya.

b). Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuann.

2. Syarat

Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i
(Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan
suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang
menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud
hukum ketika kewujudannya.

Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat


penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu. Misalnya:

Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat.

Adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.

3. Mani’
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi
penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga
disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat
dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi
sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
Sebagai contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah menjadi sebab yang
membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga telah wujud disebabkan salah seorang
daripada keduanya telah meninggal dunia. Para ahli usul fikih memmbagi mani’ kepada
dua macam, yaitu:
a). Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Misalnya keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’
(penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan salat, dan oleh karena itu salat
tidak wajib dilakukannya waktu haid (H. R. Abu Daud dan An-Nasa’i).
b). Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum.

2.4. Fungsi hukum islam dalam pembangunan nasional dalam aspek ekonomi
Islam dengan pembangunan nasional, maka terlebih dahulu kita mengetahui landasan
pembangunan nasional di Indonesia. Dalanm TAP yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
antara lain dalam TAP MPR Nomor II/1988 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas
Ketetapan MPR RI No. I/MPR/1983 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, pada bab
II secara jelas dinyatakan bahwa “Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
pancasila dalam wadah negara kesatuan republik IndonesiaMeskipun Indonesia bukan
negara Islam, namun peran dan kontribusi hukum Islam dalam pembentukan hukum
nasional, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahkan lebih dari itu hukum
Islam sudah banyak terefleksi menjadi bahan atau unsur utama dalam pembentukan
hukum nasional.26 Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di
Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan
pembangunan manusia seutuhnya, baik dalam pembangunan dunia maupun
pembangunan akhirat maupun di bidang material atau pun di bidang spiritual. Dewasa
ini, warga Indonesia hidup ditengah kancah peradaban yang bersifat individualistis dan
materialistik, zaman gelobalisasi yang penuh persaingan ketat, dimana yang kuat
cendrung menekan yang lemah sampai lumat, dan juga era yang menunjukkan wajah
humanisme terkoyah-koyak oleh egoisme secara brutal. Untuk menghadapi dan
mengantisipasi situasi ini, maka sangat diperlukan sikap kedermawanan dalam
memperbaiki kahidupan ekonomi kaum dhuafa miskin) yang sedang mengalami
keprhatinan. Jiwa kedermawanan tidak akan membawa hasil yang efektif apabila hanya
dilakukan oleh segelintir orang saja tetapi harus ada suatu upaya pemerintah yang bersifat
menyeluruh termasuk mengeluarkan undang-undang pengelolaan zakat secara
nasional.Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, yang
kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat, merupakan salah satu produk hukum Islam, dimana dalam
terminologi hukum Islam zakat adalah merupakan harta yang wajib disisihkan oleh
seorang Muslim atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan
hukum Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya disebut mustahiq yaitu
ada delapan golongan; fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnsabil.
Namun, dalam aplikasinya meliputi orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomi
seperti anak yatim piatu, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu,
anak-anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban
bencana alam. Pengelolaan zakat yang ditawarkan hukum Islam di Indonesia merupakan
sumber dana yang potensial dalam uapaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat33 dan
menumbuhkan situasi masyarakat marhamah (sejahterah), dimana lembaga-lembaga
pengelola zakat sangat memiliki peranan yang sangat dominan dalam rangka membantu
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khusus kaum
Muslimin yang kurang mampu. Said Aqil al-Munawwar34tokoh panutan umat berkaliber
internasional berpendapat bahawa lembaga-lembaga pengelola zakat bagi umat Islam
merupakan tempat segala zakat dikelola, tidak hanya sebagai tempat pengumpulan zakat
seperti gudang atau bagasi tetapi merupakan tempat pengelolaan zakat dan
didayagunakan menjadikan lebih bermanfaat buat umat Islam. Selain zakat, ada lagi
konsep yang diyawarkan Hukum Islam di Indonesia yaitu infaq, sedekah, hibah, dan
kafarat, dimana UU ini memberikan kebebasan kepada lembaga-lembaga pengelola zakat
untuk dimanfaatkan kepada usaha yang produktif, dari sini banyak lembaga-lembaga
pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Badan Amil Zakat
Daerah (BAZDA) yang telah berhasil mendirikan perusahaan-perusahaan dari infaq,
sedekah, hibah, dan kifarat yang kemudian hasil dari pendayagunaan tersebut
dipergunakan untuk kesejahteraan nasional terutama kaum Muslimin Indonesia yang
terjebak dalam kemiskinan, seperti mendirikan fasilitas-fasilitas kesehatan secara gratis
khusus bagi orang-orang kurang mampu, beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi tetapi
kurang mampu dalam ekonomi, dan memberikan pelatihan kewirausahaan, keterampilan,
modal kepada orang-orang yang kurang dalam rangka membebaskan mereka dari jeratan
kemiskinan menuju kehidupan yang lebih mapan dan sejahtera.Kemudian di Aceh, juga
lahir Qanun Provinsi NAD No. 7 Thn 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, dalam upaya
pengelolaan potensi zakat secara efektif35 yang amanah, transparan, akuntabel, dan
kredibel serta memberdayakan zakat dalam bentuk usaha produktif dalam upaya
membantu pemerintah untuk menaggulangi kemiskinan yang masih menjadi
permasalahan terbesar di Indonesia tercinta ini, terutama para kaum Muslimin Indonesia
yang terjebak dalam kemiskinan, salah satu penyebabnya kekayaan hanya bertumpuk
pada segelintir orang dan mementingkan diri sendiri. Untuk itu, konsep zakat dalam
hukum Islam merupakan mekanisme yang sanggup mengalirkan kekayaan masyarakat
the have/berpunya kepada masyarakat the have not/tidak mampu untuk mengeluarkan
zakat guna mewujudkan kesejahteraan umat Islam terutama orang-orang yang kurang
mampu paling tidak terbantu minimal untuk kepentingan konsumsinya sesuai dengan
hakikat tujuan zakat yaitu memerangi kemiskinan, dimana objek dari realisasi zakat
adalah menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa/miskin,
menciptakanmasyarakat yang baldatun thoyibun warabbun ghafur (negeri yang sejahtera
dan makmur).36 Selain itu Yusuf Qaradhawi,37 juga menegaskan bahwa peran zakat
dalam meningkatkan kesejahteraan umat Islam termasuk mengentaskan kemiskinan yang
melanda sebagian umat Islam. Syauqi,38juga menegaskan bahwa zakat berkorelasi
dengan semangat pembangunan bagi umat terutama umat Islam.Faktanya, di Indonesia
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) buah hasil dari hukum Islam Indonesia telah
banyak memberikan bantuan kepada mustahik (orang-orang kurang mampu) berupa
konsumtif/keringanan temporer atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga pelatihan
kewirausahaan untuk membangun wawasan kewirausahaan mereka, keterampilan
menjahid, peternakan, pertanian, dan pemberian modal usaha secara bergulir. Selain itu,
BAZNAS juga telah banyak mendirikan layanan-layanan kesehatan khusus 36Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.
29.37Yusuf Qaradhawi, judul asli Dauru al-Zakat; Spektrum Zakat dalam Membangun
Ekonomi Kerakyatan, pnerj. Sari Narulita (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), h. 29-
30.38Syauqi Ismailiyah Syahatih, Penerima Zakat dalam dunia Modern (Jakarta: Pustaka
Dian, 1987), h. 327.orang-orang yang kurang mampu, sperti pengobatan gratis,
persalinan gratis, mobil antar jemput pasien gratis, bahkan beasiswa bagi anak-anak yang
berprestasi namun kurang mampu dibidang ekonomi dan lain-lain sebagainya.
Skema mekanisme proses pembangunan yang berdimensi keadilan dimulai dari
konsensus nasional mengenai tujuan-tujuan pembangunan sampai dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan pembangunan yang ditopang oleh perangkat kelembagaan masyarakat
yang mencerminkan ciri-ciri yang bersih, efektif, dan demokratis. Tujuan-tujuan
pembangunan dalam kerangka strategi pembangunan yang berdimensi keadilan di
antaranya mencakup pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok. Pemerataan pendidikan
dan kesehatan, pemerataan kesempatan kerja, pemerataan berusaha dengan meningkatkan
kesempatan pengusaha kecil dan golongan ekonoomi lemah, pemerataan berpartisipasi
dalam pembangunan, pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh indonesia, dan
pemerataan memperoleh keadilan. Adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan
yang diperlukan untuk merealisasikan tujuan-tujuan pembangunan tersebut di antaranya
adalah kebijaksanaan sosial, kebijakan investasi, kebijakan moneter, dan lain sebagainya.
Sedangkan komponen kelembagaan masyarakat yang akan menunjang pelaksanaan
perangkat kebijaksanaan pembangunan tersebut terdiri dari struktur kekuasaan yang
responsif dan accountable terhadap rakyat, representasi politik yang demokratis.
Administrasi Negara yang bersih dan efektif, lembaga kontrol sosial yang bebas dan
bertanggung jawab terhadap kepentingan rakyat, sistem hukum yang tegas dan non
diskriminatif.Secara lebih terperinci, peran Bank Syari’ah dalam pembangunan di
antaranya:19
a) Ekonomi syari’ah memberikan andil bagi perkembangan sektor rill.
Diharamkannya suku bunga dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh Bank
Syari’ah disalurkan ke sektor rill dan usaha yang halal. Dengan
b) penyaluran tersebut maka usaha sektor rill terbantu dan hal tersebut sudah
c) membantu dalam pembangunan ekonomi bangsa.
BAB 111

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdirinya Bank Islam di Indonesia di pertegas dalam Munas IV MUI di hotel Sahid jaya
jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990. Atas dasar amanat Munas IV MUI inilah langkah
untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia di muali. Bank syari’ah lahir sebagai salah
satu solusi alternatif terhadap pertentangan antara bunga bank dan riba. Tujuan di
dirikannya Bank Syari’ah adalah diarahkan dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini tercantum dalam pasal 3
Undang Undang No. 21 2008. Dengan melihat data-data yang dipaparkan di atas,
perbankan syari’ah tengah berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan nasional
yang berkeadilan

Anda mungkin juga menyukai