Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH JINAYAH

TENTANG TURUT BERBUAT JARIMAH

DI SUSUN OLEH:

YULIANA AFLI

RUDINI

OZI SAPTA KURNIAWAN

NURATIKA FITRI

Guru pembimbing: Askana fikriana,S.H.,MH

PRODI HUKUM TATA NEGARA

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) BENGKALIS TAHUN 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunianya kami masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula kami ucapkan kepada
dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari ataupun yang tidak kami sadari.
Oleh karna itu kami harapkan kritik dan saran dari makalah ini, agar masa yang akan datang
kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi. Namun begitu, meskipun makalah ini jauh
dari kata sempurna kami berharap agar makalah ini dapat sedikit banyak nya dapat
bermanfaat bagi yang membaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam pembuatan makalah ini. Demikian sedikit kata pengantar dari kami atas
perhatian para pembaca kami mengucapkan terimakasih.

Bengkalis, 14 september 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Suatu Jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Apabila satu orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka
perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Iasytirak.

Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi
besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya.seseorang yang
melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan
jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa
mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.

Pada dasarnya menurut syariat Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya
dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta
tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah
hanya dijatuhi hukuman ta’zir.

B.      Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang, maka dapat dimunculkan permasalahan
pokok sebagai berikut:

1.       Bagaimanakah turut serta melakukan jarimah itu?

2.       Bagaimana pertalian perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung?


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Turut Serta Berbuat Jarimah

Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka
perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.

Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:

B.      Turut Serta Secara Langsung

Turut serta secara langsung (al-Isytirakul Mubasyir). Orang yang turut serta disebut
peserta langsung (assyirkul mubasyir). Turut serta secara lansung terjadi apabila orang-orang
yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah
dengan nyata di sini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing
mengambil bagian secara langsung, walaupun sampai tidak selesai. Jadi, cukup dianggap
sebagai turut serta secara langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang
dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu. Misalnya dua orang (A dan B) akan
membunuh seseorang (C). A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi,
sedangkan B yang meneruskan sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut
menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan
permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Di sini A dianggap orang yang turut serta
secara langsung.

Di samping itu, termasuk turut serta secara langsung adalah bentuk perbuatan yang
sebenarnya turut serta tidak langsung, yaitu apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki
tangan atau alat semata-mata bagi pelaku tidak langsung. Misalnya apabila seseorang
memerintahkan anak di bawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu
dilaksanakanya maka orang yang memerintahkan itu juga dianggap pelaku langsung. Akan
tetapi menurut Imam Abu Hanifah; orang yang memerintahkan tersebut tidak dianggap
sebagai pelaku langsung kecuali perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang yang
melaksanakanya. Dengan demikian, apabila perintah tersebut tidak sampai kepada tingkatan
paksaan maka perbuatanya itu tetap dianggap sebagai turut serta tidak langsung.

Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan saja dan
adakalanya direncanakan lebih dahulu. Kalau kerja sama itu secara kebetulan saja maka
disebut tawafuq dan kerja sama yang direncanakan terlebih dahulu
disebut tamalu. Contoh tawafuq adalah A sedang berkelahi dengan B. C yang mempunyai
dendam kepada B kebetulan lewat dan ia turut mengayunkan pisaunya ke perut B, sehingga
akhirnya B meninggal dunia. Dalam contoh ini A dan C bersama-sama membunuh B, tetapi
antara mereka tidak ada permufkatan sebelumnya. Sedangkan contoh tamalu adalah A dan B
bersepakat untuk membunuh C. Kemudian A mengikat korban (C) dan B yang memukulnya
sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A dan B dianggap sebagai pelaku atau orang turut
serta secara langsung atas dasar permufakatan.

Mengenai pertanggungjawaban peserta langsung dalam tawafuq dan tamalu’ terdapat


perbedaan pendapat di kalangan para fuqha.

Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggungjawaban peserta


anatara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggung jawab
atas akibat perbuatanya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.
Sedang pada tamalu para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka
secara keseluruhan. Kalau korban misalnya sampai mati maka masing-masing peserta
dianggap sebagai pembunuh.

Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Syafi’iah, tidak ada
perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta dalam tawafuq dan tamalu, yaitu bahwa
masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatanya sendiri-sendiri dan tidak
bertanggung jawab atas akibat perbuatan secara keseluruhan.

C.      Hukuman Untuk Para Peserta Langsung

Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi
besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang
melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan
jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa
mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.

Meskipun demikian masing-masing peserta dalam jarimah itu bisa terpengaruh oleh
keadaan dirinya sendiri, tetapi tetap tidak bisa berpengaruh kepada orang lain. Seorang kawan
berbuat yang masih di bawah umur atau dalam keadaan gila, bisa dibebaskan dari hukuman
karena keadaanya tidak memenuhi Syarat untuk dilaksanakanya hukuman atas dirinya.

Apabila jarimah yang mereka lakukan itu jarimah pembunuhan maka hukuman
terhadap mereka diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Iama Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam
Abu Tsaur, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh
semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar ra. Diriwayatkan dari Syaidina Umar ra.
Bahwa beliau pernah mengatakan:

Artinya: Andaikata penduduk San’a bersepakat membunuhnya maka saya membunuh mereka


semuanya

Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu
orang maka yang dihukum (qishas) hanyalah salah seorang saja. Pendapat ini merupakan
pendapat Ibnu Zubair, Imam Zuhri, dan Jabir.
D.      Turut Berbuat Tidak Langsung

Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut)
orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesegajaan.

Dari keterangan tersebut di atas kita mengetahui bahwa unsur-unsur turut berbuat tidak
langsung itu ada tiga macam, yaitu:

1 Adanya perbuatan yang dapat dihukum.

2. Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat
terjadi.

3. Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh,


atau member bantuan.

a. Adanya Perbuatan Yang Dapat Dihukum

Untuk terwujudnya turut serta tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat
dihukum. Dalam hal ini perbuatan perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai, melainkan
cukup walaupun baru pecobaab saja. Juga tidak disyaratkan pelaku langsung harus dihukum
pula.

b. Adanya Niat dar Orang Yang Turut Berbuat

Untuk mewujudkanya turut serta tidak langsung, juga disyaratkan adanya niat dari orang
yang turut berbuat, agar dengan persepakatan, suruhan atau bantuanya itu perbuatan itu dapat
terjadi. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan maka orang tersebut dianggap
turut berbuat dalam semua jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau
jarimahnya ditentukan, tetapi yang terjadi jarimah lain yang tidak dimaksudkanya maka tidak
terdapat turut berbuat, meskipun karena persepakatan, suruhan atau bantuan tersebut ia bisa
dijatuhi hukuman.

c. Cara Mewujudkan Perbuatan

Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara sebagai berikut.

1.) Persepakatan

Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak
untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak
terdapat turut berbuat. Meskipun ada persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang
disepakati maka juga tidak ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya turut berbuat
dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu.

Dalam hal ini Imam Malik mempunyai pendapat sendiri, yaitu apabila terjadi
persepakatan antara seseorang dengan lain hanya turt hadir dan menyaksikan pelaksanaan
jarimah tersebut maka orang yang menyaksikan itu dianggap sebagai kawan berbuat
langsung. Pendapat ini berlaku dalam semua cara turut serta tidak langsung, baik dengan
jalan persepakatan, suruhan ataupun bantuan.

2.) Suruhan atau Hasutan

Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk meklakukan suatu
jarimah dan bujukan itu menjadi pedorong untuk dilakukanya jarimah itu. Bujukan atau
hasutan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu jarimah merupakan suatu maksiat yang
sudah bisa dijatuhi hukuman.

Dalam tingkatan yang paling rendah dorongan bisa berupa member semangat kepada
orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan meruapakan tingkatan yang lebih tinggi lagi.
Paksaan ini terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai
kekuasaan atas orang yang diperintahnya , seperti orang tua terhadap anaknya atau atasan
terhadap bawahanya.

3.) Memberi Bantuan

Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu
jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan
sebelumnya. Seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain.

Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung (mubasyir) dengan member bantuan


(al-mu’in). Pelaku langsung (mubasyir) adalah orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang. Sedangkan pemberi bantuan (al-mu’in) adalah orang yang tidak berbuat atau
mencoba berbuat, melainkan hanya menolong pembuat langsung dengan perbuatan-perbuatan
yang pada lahirnya tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dan
juga tidak dianggap sebagai permualaan pelaksanaan dari perbuatan yang dilarang tersebut.

E. Hukuman Pelaku Tidak Langsung

Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan


jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan
atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam
jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.

Alasan pengkhususan ketentuan tersebut untuk jarimah hudud dan qishash ini karena
pada umumnya hukuman-hukuman yang telah ditentukan itu berat dan tidak berbuat
langsungnya pelaku tidak langsung merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman
had. Di samping itu juga kawan berbuat (peserta tidak langsung) tidak sama bahayanya
dibandingkan dengan pelaku langsung. Meskipun demikian kalau perbuatan pelaku tidak
langsung bisa dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung hanya sebagai
alat semata-semata yang digerakan oleh pelaku tidak langsung maka pelaku tidak langsung
tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
bahwa menurut Imam Malik peserta tidak langsung dapat dipandang sebagai pelaku
langsung, apabila orang tersebut menyaksikan terjadinya jarimah tersebut.
Aturan perbedaan hukuman antara pelaku langsung dan tidak langsung tersebut,
hanya berlaku dalam jarimah hudud dan qishash dan tidak berlaku untuk jarimah ta’zir.
Dengan demikian, dalam jarimah ta’zir tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku langsung
dan pelaku tidak langsung, sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk
jarimah ta’zir dan hukumanya juga hukuman ta’zir, sedangkan syara’ tidak memisahkan
antara jarimah ta’zir yang satu dan jarimah ta’zir lainya. Selama hakim mempunyai
kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, maka tidak ada perlunya
membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan hukuman perbuatan tidak
langsung dalam jarimah ta’zir. Oleh karena itu, hukuman pelaku tidak langsung bisa lebih
berat, sama berat atau lebih ringan daripada hukuman pelaku langsung, berdasarkan
pertimbangan masing-masing pelaku, baik keadaanya maupun perbutanya.

F.Pertalian Perbuatan Langsung Dengan Perbuatan Tidak Langsung

Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih
dari kemungkinan.

1. Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa
terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum
(pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan
hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah
perbuatan tidak langsung.
2. Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi
apabila perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan
perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang
terjadi. Seperti orang yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang
orang ketiga untuk membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3. Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya,
seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa
itulah yang menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau
sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau
sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan
menimbulkan pembunuhan tersebut.

Akan tetapi dalam penerapan (pembedaan-pembedaan) tersebut terdapat perbedaan di


kalangan fuqaha, seperti apabila ada orang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa
dibunuh oleh orang ketiga.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’I orang pertama (yang menahan) adalah peserta
yang member bantuan, bukan pembuat asli (langsung). Alasanya ialah bahwa orang yang
menahan mekipun menjadi sebab bagi kematian orang kedua, namun orang kedualah yang
melakukan pembunuhan langsung, sedang perbuatan langsung lebih kuat daripada perbutan
tidak lngsung, apabila perbuatan tidak langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.

Menurut fuqaha lainya, yaitu Imam-imam Malik dan beberapa ulama mazhab Hambali,
baik orang yang menahan maupun yang membunuh langsung, kedua-duanya dianggap
sebagai pembunuh langsung. Alasanya ialah bahwa perbutan-perbuatan langsung dan tidak
langsung pada contoh pada pembahasan sebelumnya sama-sama menimbulkan akibat
perbutan jarimah yaitu kematian si korban.

Kalau sekiranya tidak ada salah satu dari kedua perbuatan itu tentunya tidak akan terjadi
kematian tersebut.

Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan siapa pembuat asli (langsung),
melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada contoh tersebut sama dengan perbuatan
langsung atau tidak.

Apabila kawan berbuat mengurungkan persepakatanya atau hasutanya atau bantuanya,


akan tetapi meskipun demikian sesuatu jarimah terjadi juga dari pembuat langsung, maka
kawan berbuat tidak dihukum, karena apa yang telah diperbuatnya tidak menjadi sebab bagi
terjadinya jarimah.

Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat baru dimaafkan betul-betul kalau
penghasut dapat menunjukan bahwa dia telah menghapuskan pengaruh perbuatan atas
terjadinya jarimah.
BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

      

Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka
perbuatanya itu disebut turut berbuat jarimah atau al-Isytirak.

Pada dasarnya menurut syari’at Islam banyaknya pelaku jarimah tidak mempengaruhi
besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masing pelakunya. Seseorang yang
melakukan suatu jarimah bersama-sama dengan orang lain, hukumanya tidak berbeda dengan
jarimah yang dilakukanya seorang diri. Masing-masing pelaku dalam jarimah itu tidak bisa
mempengaruhi hukuman bagi kawan berbuatnya.

Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:

1. Adanya perbuatan yang dapat dihukum.


2. Adanya niat dari yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut
dapat terjadi.
3. Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan,
menyuruh, atau member bantuan.

Pada dasarnya menurut syari’at Islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan


jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan
atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang turut berbuat tidak langsung dalam
jarimah dijatuhi hukuman ta’zir.

Pertalian anatara kedua macam perbuatan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak
lebih dari kemungkinan.

Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan lansung, dan hal ini bisa terjadi
apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum (pelanggaran
hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan
hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.

Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung. Hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung, dapat memutus daya kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak
langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi. Seperti orang
yang menjatuhkan orang lain dalam jurang, kemudian datang orang ketiga untuk membunuh
orang yang ada dalam jurang itu.
Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti
memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang
menggerakan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada
pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang
kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Cet. I,
sJakarta: Sinar Grafika, 2004

Anda mungkin juga menyukai