Kitab Suci Al-Qur’an yang kita kenal saat ini, pada awalnya tidaklah berbentuk
sebuah kitab, namun di tulis di atas berbagai media alamiah seperti kulit unta,
tulang dan sebagainya, dan dihafal oleh Rosulullah dan para sahabatnya.
Pembukuan Al-Qur’an pertama kali dilakukan dimasa Khalifah Usman Bin
Affan r.a, dan masih belum disertai dengan tanda baca seperti yang kita kenal
saat ini.
Khalifah Usman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf
al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda
pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada
waktu itu. Ada yang menyebutkan bahwa khalifah Usman membuatnya dalam
empat eksemplar, lalu mengirimkan satu eksemplar ke wilayah Kufah, Bashrah
dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang
mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang
telah disebutkan tadi) ia mengirimkan juga untuk Mekkah, Yaman, dan
Bahrain. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah mushaf itu ada 5
eksemplar.
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan
‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan al-
Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit
rusa. Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama
sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan
Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan
untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke
Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak
lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’
dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut.
Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca
mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-
Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani
tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris
maupun titik. Sejak saat ini mushaf Al-Qur’an tersebar ke seluruh penjuru
dunia.
Dari edisi terbitan Kitab Suci Al-Qur’an di masa Usman Bin Affan Tersebut,
sampai saat ini hanya dua eksemplar yang masih bisa dilacak keberadaanya.
Satu eksemplar berada di Tashkent, Uzbekistan dan satu Eksemplar lagi
disimpan di Museum Topkapi, Istambul, Turki. Berikut ini kami sajikan
beberapa Al-Qur’an tertua yang masih dapat ditemukan hingga saat ini
Mushaf Al-Qur’an pertama kali di bukukan pada masa khalifah Usman Bin
Affan 651 atau 19 tahun setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Beliau
membuat lima salinan dan menyebarnya ke berbagai wilayah Islam. salah satu
dari Mushaf pertama tersebut kini disimpan di kawasan Hast-Imam, Kota
Tashkent, ibukota negara Uzbekistan. Salinan lainnya juga masih tersimpan di
Topkapi Palace di Istanbul, Turki.
Dari penelitian yang dilakukan, Al Quran itu ditulis sekitar 20 hingga 40 tahun
setelah Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya hijrah dari Mekkah ke Madinah
di tahun 622 Masehi. Menurut jurubicara universitas, kopi Al Quran tersebut
ditulis dalam aksara Kufic, salah satu aksara tertua dalam bahasa Arab. Belum
diperoleh informasi lain berkaitan dengan penelitian itu, termasuk apakah
penelitian ini melibatkan ahli Islamologi atau hanya ahli bahasa dan arkelog.[ii]
[iii]Naskah Al-Qur’an ini dapat dibaca
Manuskrip Sana'a, ditemukan di Yaman pada tahun 1972 secara tidak sengaja
oleh pekerja bangunan yang merenovasi dinding loteng Masjid Agung Sana’a.
Mereka tidak menyadari apa yang mereka temukan dan mengumpulkan
dokumen-dokumen tersebut, dan memasukkannya ke dalam 20 karung
kentang, kemudian meninggalkannya di salah satu tangga menara Masjid.
Penelitian terhadap manuskrip tersebut baru dilakukan pada tahun 1979 oleh
para ilmuwan Jerman.
Sebuah manuskrip kuno al-Quran ditemukan kota Dong Xian, Provinsi Gansu,
Cina utara. manuskrip kuno ini merupakan al-Quran yang terbit pada abad
11M. Petugas Warisan Budaya Provinsi Gansu menyatakan bahwa Quran
setebal 536 halaman ini ditulis di atas kertas Samarqand. Berdasarkan
dokumen yang ada, manuskrip al-Quran ini dibawa dari kota Samarqand,
Uzbekistan ke Cina pada Abad 14M.
Manuskrip tua ini disebut-sebut sebagai manuskrip al-Quran tertua yang
ditemukan hingga kini, karena para arkeolog menyatakan bahwa manuskrip
tua berasal dari abad 8-13 M. Bahkan berdasarkan penelitian terhadap kaligrafi
dan dekorasi manuskrip ini, ada sejumlah pakar yang menyatakan bahwa
manuskrip tersebut berasal dari abad 9M.[vi]
Alqur’an tertua ini menjadi salah satu bukti masuknya Islam ke Kabupaten
Alor, Nusa Tengga Timur. Al-Qur’an tersebut berasal dari Kesultanan Ternate
pada masa Kesultanan Babullah V sekitar tahun 1519 masehi. Dibawa oleh
Lang Gogo bersama empat saudaranya yang merantau untuk menyebarkan
Islam. Al Quran tersebut terbuat dari kulit kayu.
Saat ini Al Quran tersebut disimpan oleh Saleh Panggo Gogo yang merupakan
generasi ke-13 keturunan Iang Gogo dari kesultanan Tarnate di desa Desa
Lerabaing, Alor, NTT. Pada Festival Legu Gam di Tarnate pada tahun 2011, Al
quran tertua ini didatangkan khusus oleh Sultan Tarnate dari Alor.[viii]
Referensi :
[iv] al-quran-tertua-ditemukan-di-gua-yaman
JILID II
Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur'an kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan
Tulisan-tulisan Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang
ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah
menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib,
Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah
menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula
bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di
hadapan Nabi, di antara mereka yang disebutkan di atas.
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Qur'an telah dihafal dan tertulis
dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas, ayat-ayat dan surah-
surah dipisah-pisahkan atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada
dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.
Tetapi Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap).
Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra' dan ditulis para penulis; tetapi
pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi
masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang
pula terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun
sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur'an itu tidak menurut tertib nuzul-nya
(turun), tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan
petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu.
Andaikata pada masa Nabi SAWQur'an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua
sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila
wahyu turun lagi.
Az-zarkasyi berkata, "Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi
agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan
kemudian sesudah Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang
mengatakan, "Rasulullah SAW telah wafat sedang Qur'an belum dikumpulkan sama
sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara
tertib dalam satu mushaf.
Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Qur'an dalam satu mushaf itu
karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau
bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para
Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang
jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar
atas pertimbangan usulan Umar radhiyalahu 'anhum.
Metode yang digunakan untuk menyusun Al-Quran adalah metode wahyu dari langit.
Sebab setiap ada ayat yang turun, Rasulullah SAW selain mengajarkan bacaan dan
pemahamannya, beliau juga menjelaskan tata letak ayat tersebut di dalam Al-Quran
JILID III
Sejarah mencatat bahwa pada masa Nabi Muhammad saw. al-Qur’ân ditulis di atas
pelepah kurma, tulang belulang, kulit binatang dan alat-alat lainnya yang bisa
dijadikan sebagai tempat menulis. Itupun ditulis dengan tangan para penulis wahyu
pada saat itu. Selain terpelihara dengan tulisan, al-Qur’ân juga terpelihara melalui
hafalan para sahabat. Bagi kalangan bangsa Arab menghafal merupakan suatu hal
yang membudaya, bahkan bisa dikatakan sebagai hal yang mendarah daging pada
diri mereka. Sehingga menghafal dianggap sebagai suatu kebiasaan yang
diwariskan secara turun temurundari nenek moyang mereka. Ini bisa dilihat dari
silsilah keturunan mereka, mereka bisa menghafal silsilah keturunan sampai ke
nenek moyang terakhir. Itulah salah satu sebab terpeliharanya al-Qur’ân secara
mutawâtir yang bisa sampai kepada kita sampai sekarang.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pada masa Nabi Saw. alat yang digunakan
untuk memperbanyak al-Qur’ân sangatlah minim dan sederhana. Pada abad-abad
berikutnya muncullah beberapa penulis al-Qur’ân dengan tulisan yang indah. Tulisan
indah ini dihasilkan oleh beberapa ahli kaligrafi yang memiliki kemampuan dalam hal
itu. Salah satu penemuan baru dalam penulisan al-Qur’ân adalah dengan adanya
peralihan khat (tulisan). Menurut M. Hadi Ma’rifah, sebagaiman dikutip Prof. Dr. HA.
Athaillah bahwa penulisan mushaf al-Qur’ân dengan khat kûfî berakhir pada abad
ke-3 H. Kemudian pada awal abad ke-4 H khat kûfî diganti dengan khat naskhî yang
indah. Kaligrafer yang pertama kali menulis mushaf dengan khat naskhî adalah
Muhammad bin Ali bin Husain bin Miqlah (272-328 H). Khat naskhî mencapai
puncaknya di tangan Yâqût bin Abdillah al-Maushûlî (w. 689 H). Penulisan mushaf
dengan sistem khat Yâqût berlangsung hingga abad ke-11 H. Setelah beberapa
abad kemudian lahirlah percetekan al-Qur’ân
• Percetakan al-Qur’ân.
Percetakan al-Qur’ân dapat dibagi menjadi tiga periode, periode percetakan klasik
(1.500-1900 M), periode mesin cetak modern (1920-1980 M)dan periode digital
mushaf (1.800-Sekarang). Percetakan al-Qur’ân yang terjadi dibarat tidak terlepas
dari peran penerjemahan. Sebelum berkembangnya bahasa-bahasa Eropa modern,
bahasa yang berkembang di sana adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan
al-Qur’ân yang pertama adalah dengan bahasa latin pada tahun 1135 M. Tokoh
yang menerjemahkan ke dalam bahasa ini adalah Robert of Ketton (Robertus
Retanensis) yang selesai pada bulan Juli 1143 M. dengan penerbitnya Bibliander
Percetakan yang dilakukan Paganino dan Paganini ini bertujuan untuk dieekspor ke
kerajaan Turki Utsmani. Tetapi orang-orang Turki Utsmani tidak mau menerima al-
Qur’ân tersebut karena:
1. Orang Turki Utsmani meyakini bahwa Al-Qur’ân adalah kitab suci yang tidak boleh
dipegang oleh orang-orang kafir – non muslim – seperti Paganino dan Paganini.
Menurut Jean Bodin (1530-1596 M) dalam bukunya “Colloquium Heptaplomeres”,
bahwa orang-orang Turki Utsmani memotong tangan kanan Alessandro Paganini
dan merusak seluruh cetakannya.
2. Al-Qur’ân yang dicetak di Venisia memiliki banyak kekurangan dan kesalahan
yang bisa mengurangi – bahkan merusak – makna al-Qur’ân
Ini dilakukan karena mendapat perlindungan dari ratu Catherine II, dimulai pada
tahun 1787, 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798 M. Sedangkan percetakan al-Qur’ân
di Volga – kota Kazan – terjadi perbedaan pendapat tentang tahunnya. Menurut
Sarkîs, hal itu pertama kali terjadi pada tahun 1801 M. sedangkan menurut
Schnurrer, itu terjadi pada tahun 1803 M. Sejak tahun 1842 M. percetakan St.
Petersburgmencetak mushaf dengan model yang bervariasi. Sehingga pada tahun
1905 M. percetakan ini mengeluarkan mushaf dengan bentuk format yang besar
dengan tujuan untuk diperlihatkan kepada pemerintah pada waktu itu
Terjadi pada tahun1833 M. kemudian pada tahun 1871 dan 1875 M. Bahkan mushaf
yang ada di Perpustakaan Universitas Harvad merupakan mushaf cetakan London
edisi tahun 1845 dan 1848 M.
Menurut Sarkîs, al-Qur’ân dicetak di Kairo terjadi pada tahun 1864 M., kemudian
pada tahun 1866, 1881 dan 1886 M.
Selain di negara-negara di atas, di beberapa negara juga mulai ramai percetakan al-
Qur’ân. Seperti di Iran (1828 M), Tibris (1833 M) dan percetakan lainnya termasuk di
Indonesia yang diawasi oleh Kementerian Agama. Selain dicetak, mushaf atau
naskah al-Qur’ân yang autentik dari masa khalifah Utsmân juga bisa dijumpai. Tetapi
menurut Dadan Rusmana ia hanya tiga buah, ketiganya berada serta tersimpan di
museum Tashkent (Rusia), musium Istambul (Turki) dan satunya lagi di musium
Kairo (Mesir).[2]
JILID IV
Informasi tentang sejarah pencetakan al-Qur’an masih minim dan simpang siur. Oleh
sebab itu, diperlukan perhatian khusus untuk merekonstruksi sejarah pencetakan al-
Qur’an yang objektif dan nir-bias. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi
sejarawan muslim dan pengkaji al-Qur’an
Namun informasi lain menyatakan bahwa lain. Konon, cetakan al-Qur’an yang dibuat
oleh Paganino dan Alessandro Paganini akan dikirim ke Imperium Ottoman. Ketika
Alessandro Paganini pergi ke Istanbul untuk menjual produknya (al-Qur’an cetakan),
Kaisar Ottoman tidak menyambutnya dengan hangat karena banyak kesalahan di
dalamnya, apalagi yang mencetak adalah orang yang dianggap kafir (non-muslim).
Memang, sultan Ottoman, Bayazid II (1447 atau 8-1512 M) dan Salim I (1470-1520
M) pernah mengeluarkan larangan penggunaan buku-buku yang dicetak. Namun
kebenaran isu ini masih tetap perlu diteliti lebih lanjut
Ada juga cetakan-cetakan bagian al-Qur’an, yakni Surah Yusuf. Cetakan surah
Yusuf ini dilakukan oleh orientalis Belanda Thomas Epernius (1584-1624) pada 1617
di Leiden. Awalnya Surah Yusuf dijadikan sebagai bahan latihan untuk pelajaran
bahasa Arab. Pada tahun tersebut Epernius telah mendidirikan percetakannya
dengan tipe Arabic, yang disebut dengan ‘Erpenian type’, sebuah landmark dalam
sejarah tipografi Eropa tentang Arab
Pencetakan al-Qur’an berikutnya dilakukan di Hamburg pada 1694 oleh Abraham
Hinckelmann yang memberikan kata pengantar dengan bahasa Latin. Empat tahun
kemudian, yakni 1698, al-Qur’an cetakan edisi lain diterbitkan oleh Ludovico Maracci
dengan tujuan teologis, dimana edisi ini dilengkapi dengan teks Arab dan terjemah
bahasa Latin dan penolakan atas Islam oleh Ludovico Maracci.
Pada tahun 1787, Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherin II menyuruh agar al-
Qur’an dicetak dengan tujuan politis, seperti toleransi keagamaan. Dia ingin agar
keturunan Muslim Turki mudah mengakses kitab suci tersebut. Al-Qur’an cetakan ini
di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan keterangan dari kitab-
kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan
1798
Baru kemudian pada tahun 1787 Kekaisaran Ottoman mencetak Mushaf al-Quran
dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Edisi cetakan ini lebih dikenal dengan edisi
Malay Usmani.
Edisi ini lalu diikuti oleh percetakan lainnya. Di kota Volga, Kazan, al-Qur’an pertama
kali dicetak pada tahun 1801 (ada pula yang menyatakan pada tahun 1803). Persia
(Iran) mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1838. London pada tahun 1833. India
pada tahun 1852, dan Istanbul pada tahun 1872.
Pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh orientalis
Jerman, Gustav Flugel. Mungkin cetakan al-Qur’an yang lebih baik tinimbang edisi-
edisi yang dicetak orang-orang Eropa sebelumnya. Edisi ini dilengkapi dengan
concordance (pedoman penggunaan) al-Qur’an yang dikenal dengan Flugel edition.
Terjemahan Flugel membentuk fondasi penelitian al-Qur’an modern dan menjadi
basis sejumlah terjemahan baru ke dalam bahasa-bahasa Eropa pada tahun-tahun
berikutnya. Edisi ini kemudian dicetak lagi pada tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881
dan 1893
Namun edisi ini dinilai masih memiliki banyak kecacatan, terutama pada sistem
penomeran surah yang tidak sesuai dengan yang digunakan umat Islam umumnya.
Pada tahun 1798, percetakan dimulai di Mesir. Pada saat itu Napoleon (1769-1821)
berkampanye dengan mencetak leaflet dan pamflet-pamflet dekrit-dekrit dan
peraturan Napoleon. Namun ketika Muhammad Ali Basha menjadi penguasa Mesir
pada 1805, dia memulai laki kerja percetakan pada 1819 dan percatakan itu dinamai
“al-Matba‘ah al-Ahliyah” (The National Press).
Namun pencetakan al-Qur’an di Mesir baru dimulai tahun antara 1923-1925. Edisi ini
dicetak dengan percetakan modern. Edisi Mesir ini menjadi mushaf standar dimana
bacaan al-Qur’an sudah diseragamkan. Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan
versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab
suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan
hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak
beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi
al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang
menggunakan versi Hafs dari Asim. Edisi Mesir ini juga dikenal dengan edisi Raja
Fadh karena dialah yang memprakarsainya.
Di Asia Tenggara, al-Qur’an dicetak sendiri oleh orang daerah. Pada tahun 1848,
menurut penelitian Abdurrazak dan Proudfoot, Muhammad Azhari, orang asli
Sumatera membuat sebuah litografi al-Qur’an yang kemudian dia cetak pada tahun
1854. Kisahnya, setelah kembali dari pengembaraannya di Makkah, dia mampir di
Singapura memberi peralatan dan perlengkapan percetakan.
Selanjutnya, pada tahun 1947 untuk pertama kali Al-Qur’an dicetak dengan teknik
cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan
ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang kaligrafer Turki yang terkemuka,
Badiuzzaman Sa’id Nursi (1876-1960).
Kemudian sejak tahun 1976 Al-Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah
oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman).
Mulai abad ke-20 pencetakan al-Qur’an sudah ditangani oleh umat Islam sendiri dan
menjamur di negara-negara Islam. Pada tahun 1984 berdirilah percetakan khusus
Al-Quran “Majma’ Malik Fahd Li Thibaah Mushaf Syarif”, percetakan terbesar di
dunia, yang memang hanya mencetak Al-Quran saja. Letaknya di kota Madinah.
Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi.
Semenjak edisi Raja Fadh INI, al-Qur’an mulai dicetak dengan berbagai ukuran,
bentuk, jenis kaligrafi, hiasan (ornamen) dan penambahan keterangan-keterangan
lainnya, sebagaimana yang kita temukan sekarang ini.