Anda di halaman 1dari 17

Tradisi Penulisan

dan Cetak Mushaf


Nusantara
Kelompok 6 :
• Yuwalfizh Moibat
• Al-Ikhwanul Nirwan
PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan manuskrip Alquran dan penyalinannya tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Aceh hingga
Maluku. Berdasarkan data dari Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Badan Litbang dan Diklat Kemenag,
penyalinananya berlangsung dalam sejak abad ke-17 hingga akhir abad 19 yang berjumlah ribuan manuskrip.
Pada akhir abad ke-19 merupakan periode terakhir penulisan manuskrip Alquran. Abad ke -19 merupakan masa
peralihan penyalinan naskah secara manual menggunakan teknik litografi atau cetak batu.
"Karena teknologi cetak naskah Alquran telah merambah nusantara, pada 1848, Palembang telah selesai
memproduksi mushaf cetak batu dan peninggalannya kini masih dapat ditemukan di wilayah palembang tepatnya
di Meseum Sultan Badarudin II dan di Masjid Dog Jumeneng Cirebon.”
Pada akhir abad ke -19 beredar sejumlah mushaf luar negeri diantaranya mushaf terbitan Bombay (India),
Singapura, Turki dan Mesir. Namun, mushaf yang banyak tersebar di Indonesia adalah mushaf Bombay dan
Singapura.
Sedangkan Turki dan Mesir, mushafnya tak terlalu banyak karena hanya diperoleh melalui jamah haji saja. Sehingga
tidak heran banyak mushaf Bombay yang beredar di Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia dan Filipina.
Mushaf Singapura sendiri banyak ditemukan di Palembang, Jakarta, Cirebon, Surakarta, Bali, Palu, dan Maluku.
Tradisi Penulisan Mushaf Nusantara
Mushaf Al-Quran yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah panjang dari zaman dahulu. Mulai dari Al-Quran tulis
tangan yang banyak tersebar di Indonesia dan jumlahnya ribuan, Al-Quran cetakan typografi dan litografi, hingga
mushaf cetakan modern.
Peneliti Lajnah Pentashihan Msuhaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama Abdul Hakim mengatakan, pada abad ke
19 M, seorang ulama Palembang pernah mencetak mushaf Al-Quran, tepatnya pada tahun 1848. Ini jauh sebelum Al-
Quran cetakan Singapura, India dan Turki masuk ke Indonesia.
Catatan pada mushaf tersebut menyebutkan bahwa Al-Quran tersebut dicetak pada 20 Agustus 1848. "Khottot
(penulis) Al-Quran ini adalah Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah di Kampung Tiga Ulu Palembang.
“Pada awal abad ke-20, di Indonesia mulai tumbuh penerbit al-Quran, antara lain: Maktabah al-Misriyah Abdullah Afif
Cirebon (1933), Matba’ah Islamiyah di Bukittinggi (1933), penerbit Visser & Co (1934), dan TB Ab Sitti Sjamsijah Solo.
Keempat penerbit ini yang mewarnai per-mushafan pra-kemerdekaan,“.
Al-Quran cetakan Afif Cirebon pada tahun 1951 mengalami cetak ulang. Mushaf inilah yang kemudian diacu oleh tim
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran tahun 1974 untuk merancang dan menyusun mushaf Standar Indonesia. Tanda
baca dan tanda wakaf, bahkan rasm mushaf terbitan Afif yang sudah mengakar pada masyarakat diadopsi kembali
ke dalam mushaf Standar.
Tradisi Penulisan di Berbagai Wilayah Indonesia
Sebagai kitab pedoman umat Islam dalam berdakwah, mushaf Al-Qur‟an Nusantara berbeda dengan mushaf Al-
Qur‟an di Negara Islam lainnya. Tradisi penulisan mushaf Al-Qur‟andi Nusantara selain menyalin teks Al-Qur‟an.
Lebih mengedepankan seni hias khas Nusantara dan toleransi Islam terhadap kebudayaan setempat, menunjukkan
kekayaan karakteristik penulisan mushaf dengan cita rasa tinggi. Hal Ini bisa dilihat dari seni mushaf yang terserak
di berbagai daerah, seperti mushaf Al-Qur‟an dari Aceh, Trengganu, Jambi, Yogyakarta, Madura, Bima, Bone,
Ternate, Sumbawa, Banten, dan Cirebon yang mempunyai ragam karakteristik berbeda.
Begitupun mushaf Al-Qur‟an yang ada di Cirebon menunjukan bukti adanya akulturasi budaya dalam penulisan
mushaf. Termasuk dari kalangan Raja, seperti mushaf yang terdapat dalam lingkungan Keraton Kasepuhan,
Kacirebonan, dan Desa Mertasinga. Selain itu penyalinan mushaf Al-Qur‟an di Cirebon juga diprakarsai oleh para
Santri atas perintah Ulama (Kyai setempat). Seperti mushaf Al-Qur‟an yang terdapat di Perpustakaan Pondok
Buntet Pesantren, yang ditulis oleh santri Kyai Kriyan hampir dua ratus tahun yang lalu, sebagaimana tercatat
dalam kolofon dari salah satu mushaf (bertarikh 1840 M).
Begitupun mushaf Al-Qur‟an yang ada di Cirebon menunjukan bukti adanya akulturasi budaya dalam penulisan
mushaf. Termasuk dari kalangan Raja, seperti mushaf yang terdapat dalam lingkungan Keraton Kasepuhan,
Kacirebonan, dan Desa Mertasinga. Selain itu penyalinan mushaf Al-Qur‟an di Cirebon juga diprakarsai oleh para
Santri atas perintah Ulama (Kyai setempat). Seperti mushaf Al-Qur‟an yang terdapat di Perpustakaan Pondok
Buntet Pesantren, yang ditulis oleh santri Kyai Kriyan hampir dua ratus tahun yang lalu, sebagaimana tercatat
dalam kolofon dari salah satu mushaf (bertarikh 1840 M).
Melihat kedua latar belakang penulisan mushaf Al-Qur‟an tersebut, mempunyai fungsi dan karakteristik yang
berbeda. Dari segi penulisan maupun bentuk, atau model iluminasi yang menghiasi mushaf Al-Qur‟an tersebut.
Mushaf Al-Qur‟an yang diprakarsai oleh kalangan Kerajaan, selain fungsi utamanya sebagai bahan bacaan mulia,
acap kali digunakan sebagai salah satu perhiasan, pajangan, atau menambah nilai keagungan dari seorang Raja.
Hal ini dibuktikan, dari beberapa kerajaan yang ada, hampir bisa dipastikan setiap mushaf yang disalin mempunyai
keistimewaan, dibanding mushaf yang berasal dari kalangan masyarakat di luar Istana. Sedangkan naskah yang
ditulis oleh kalangan santri memaksimalkan fungsinya sebagai bacaan mulia dan kitab pedoman dalam pengajaran
Agam Islam kepada masyarakat.
Dari beberapa tempat yang sudah ditelusuri oleh Ali Akbar, terdapat beberapa mushaf Al-Qur‟an yang sudah
diinventarisir secara singkat. Ali menemukan 18 mushaf (15 mushaf berasal dari tempat yang berbeda-beda, dan 3
mushaf dari H. Enang Sudrajat). Beberapa pihak yang memiliki naskah berhasil beliau dokumentasi, yaitu (1) Elang
Panji Jaya Prawirakusuma, selanjutnya disingkat (EPJ), yang masih keturunan dari keluarga Keraton Kasepuhan
Cirebon, ia mewarisi seluruh naskahnya secara turun-temurun sebanyak 3 mushaf, (2) Perpustakaan Buntet
Pesantren, selanjutnya disingkat (BTT), sebanyak 3 mushaf, (3) Masjid Dog Jemeneng, selanjutnya disingkat (MDJ),
sebanyak 8 mushaf, (4) Makam Mbah Muji, selanjutnya disingkat (MBM), hanya 1 mushaf, dan (5) Keraton
Kacirebonan, selanjutnya disingkat (KCR), sebanyak 3 mushaf. Semuanya berjumlah 18 mushaf.
Mushaf Al-Qur’an Masjid Dog Jumeneng Cirebon (MDJ)
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis berusaha untuk mencari
informasi yang akurat dengan mendatangi secara langsung. Pertama,
Masjid Agung Gunung Jati, yang mempunyai nama asli Masjid Dog
Jumeneng, berada di komplek Makam Sunan Gunung Jati, penulis
berhasil mendapat informasi dari pengurus Masjid. Di tempat ini terdapat
delapan naskah dengan berbagai versi dan bahan yang digunakan.
Naskah ini berada di dalam Masjid dan diletakan dilemari kaca terkunci
rapat. Juga bisa dilihat oleh Jama’ah dan pengunjung pada umumnya.
Kedua, Desa Mertasinga yang terletak tidak jauh dari Makam Sunan
Gunung Jati
Mushaf (MDJ-1)
Mushaf ini terdapat di Masjid Dog Jumeneng, di kompleks Makam
Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung. Berdasarkan informasi yang
penulis dapat dari seorang pengurus masjid menuturkan, bahwa
mushaf dan naskah keagamaan di Masjid ini dahulu cukup banyak,
yang tersimpan di atas langit-langit Masjid, diletakkan di dalam karung.
Ketika masjid direnovasi sekitar tahun 1952, banyak naskah ditemukan
dalam keadaan hancur dan rusak cukup parah, sehingga tidak sedikit
dari naskahnaskah tersebut dibuang.
Hanya beberapa naskah yang tersisa hingga kini, di antaranya mushaf
berbahan kertas Eropa, ukuran; 33 x 21 x 5,5 cm, bidang teks 22 x 13 cm.
Cap kertas (Watermark) tertera sejenis Erve Wysmuller. Menurut
Russell Jones, kertas dengan cap seperti itu berasal dari Abad
Pertengehan 19, sekitar 1850-1964. Mushaf ini tidak lengkap, bagian
depan adalah akhir dari Surah al-Baqarah dan bagian akhirnya Surah
al-Munafiqun. Mushaf ini merupakan “ayat sudut” atau ayat pojok yang
artinya, setiap halaman diakhiri dengan penghabisan ayat.
Mushaf (MDJ-2).
Mushaf ini koleksi Masjid Dog Jumeneng.Kondisi mushaf
rusak di bagian depan dan belakang, tidak lengkap dan
hanya tersisa sedikit. Ukuran naskah 31 x 19 x 2 cm, bidang
teks 20 x 12 cm.
Mushaf (MDJ-3)
Koleksi Masjid Dog Jumeneng, kertas Eropa, dengan cap
kertas Propatria dan cap tandingan H F de Charro & Zonen.
Menurut Russell Jones, kertas jenis ini memiliki rentang
waktu antara 1855 hingga 1870. Mushaf tidak lengkap, yang
masih tersisa mulai Surah al-Mā‟idah hingga Surah al-Mulk.
Mushaf (MDJ-4)
Mushaf koleksi Masjid Dog Jumeneng, kertas Eropa, cap kertas
bulatan bermahkota, dan cap tandingan LVG. Ukuran mushaf
32 x 20 x 5 cm, bidang teks 23 x 13 cm. Mushaf tidak lengkap,
yang tersisa mulai Surah an-Nisā‟ hingga Surah al-Muzammil.
Tradisi Cetak Mushaf Di Nusantara
Di Nusantara, mushaf Alquran cetakan tertua berasal dari
daerah Palembang. Mushaf tersebut berhasil ditulis dan dicetak
batu (litografi) oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji
Abdullah, selesai dicetak pada tahun 21 Ramadan 1264 (21
Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga saat ini, inilah
mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara. Peninggalan yang
diketahui sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim
Amin di Palembang.
Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebih muda,
selesai dicetak pada Senin, 14 Zulqa’dah 1270 H (7 Agustus 1854)
di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorang
kolektor naskah abad ke-19, pernah membuat catatan lengkap
mengenai mushaf ini atas permintaan Residen Belanda di
Palembang yang dimuat dalam TBG 1857.
Berdasarkan catatan itu, mushaf cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi
Perpustakaan Nasional RI Jakarta.
Sementara itu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, pada akhir abad ke-19 mushaf yang beredar
secara luas adalah cetakan Singapura dan Bombay. Bukti luasnya peredaran mushaf cetakan
Singapura ditemukan di Palembang, Jakarta, Surakarta, Bali, Palu, Maluku, dan Johor. Sedangkan
luasnya peredaran mushaf cetakan Bombay terdapat di Palembang, Demak, Madura, Lombok,
Bima, dan Filipina Selatan.
Beberapa jenis mushaf yang berhuruf tebal, selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat
Asia Tenggara, terutama hingga tahun 1970-an. Sebagian penerbit juga masih mencetak mushaf
jenis ini hingga sekarang, di samping mencetak mushaf dengan jenis huruf yang lain, karena
semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan para penerbit.
Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India itu sebagai teks pokok, sementara untuk
teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, bergantung pada pilihan penerbit.
Terkait dengan upaya memelihara kemurnian, kesucian, dan kemuliaan Alquran, lembaga yang
secara resmi mempunyai tugas memeriksa kesahihan suatu mushaf, yaitu Lajnah Pentashih Mushaf
Al-Qur’an (sejak 2007 bernama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an). Lajnah secara kelembagaan
dibentuk pada 1 Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agama No. 11 Tahun 1959.
Ada tiga jenis mushaf standar yang secara resmi menjadi
pedoman kerja bagi Lajnah – dan dengan demikian secara
resmi dapat diterbitkan dan diedarkan di Indonesia.
Pertama, Mushaf Alquran Rasm Usmani (istilah ini berarti
penulisan Alquran, disebut juga Rasmul Quran. Utsmani
merujuk pada Khalifah Utsman bin Affan, yang membentuk
tim penulisan Alquran secara “resmi”). Penetapan mushaf ini
berdasarkan mushaf cetakan Bombay, karena model tanda
baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di
Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya bahkan jika
dihitung sejak awal peredarannya di Nusantara telah
mencapai satu abad lebih.
Kedua, Mushaf Alquran “Bahriyah” yang cenderung
memiliki Rasm Ilma’i. Mushaf ini modelnya diambil dari
mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah.
Ketiga, mushaf Alqur’an Braille, yaitu mushaf bagi para
tunanetra. Mushaf ini menggunakan huruf Braille Arab
sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Internasional
Unesco Tahun 1951, yaitu al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah.
Dalam penulisannya, jenis mushaf ini menggunakan prinsip-
prinsip Rasm Usmani dalam batas-batas tertentu yang bisa
dilakukan.
Untuk kepentingan umat Islam di Indonesia, mushaf Alquran Rasm Usmani dan mushaf
Alquran “Bahriyah” kemudian ditulis oleh putra Indonesia. Mushaf dengan Rasm
Usmani ditulis oleh khattat Ustaz Muhammad Syadali Sa’ad, dan mushaf “Bahriyah”
ditulis oleh Ustaz Abdur-Razaq Muhili, tahun 19841989.
Mushaf dengan rasm Usmani telah mengalami penulisan ulang oleh Ustaz Baiquni Yasin
dan timnya, pada tahun 1999-2001. Sedangkan mushaf Bralille diterbitkan dan
diproduksi, di antaranya oleh Koperasi Karyawan Abiyoso, Bandung.
Para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an, setelah terbitnya Mushaf Standar, hingga
awal dasawarsa 2000-an, pada umumnya masih meneruskan tradisi lama dalam
produksi mushaf.
Mereka kebanyakan hanya mencetak Alquran Bombay (yang telah distandarkan),
Mushaf Standar itu sendiri, atau Alquran “Bahriyah” model sudut. Sampai sejauh itu tidak
ada inovasi yang berarti baik dalam tampilan maupun komposisi isi mushaf.
Dalam hal desain kulit, misalnya, pada umumnya hanya menampilkan pola simetris
dalam bentuk dekorasi persegi yang berisi ragam hias floral, dengan tulisan “Qur’an
Majid”, “Qur’an Karim”, atau “alQur’an al-Karim” berbentuk bulat di dalam medalion yang
terletak di posisi tengah. Warna yang digunakan pun adalah warna-warna dasar seperti
merah, hijau, biru, coklat, kuning, dan emas.
SYUKRON
kATSIRON
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Anda mungkin juga menyukai