Anda di halaman 1dari 24

BAB II

SEJARAH PENERBITAN Al-QUR’AN DI INDONESIA

A. Penyalinan al-Qur’an Tulis Tangan

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad Saw, melalui perantara malaikat Jibril. 1 Tentu dalam hal ini

untuk menjaga keontetikan al-Qur’an diperlu adanya penjagaan, baik dengan

cara menghafal ataupun menyalin ulang berupa tulisan.2 Proses pengumpulan

al-Qur’an sendiri sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw hingga beliau

wafat pun proses pengumpulan dan penyalinan al-Qur’an masih terus

berlangsung, hal itu terbukti dengan adanya beberapa naskah-naskah kuno

yang sempat ditulis baik oleh para profesional, santri maupun para ulama.

Hingga kini proses penyalinan al-Qur’an pun terus berlangsung baik melalui

tahapan tulis tangan hingga tahapan cetak batu atau moderen.3 Sejak berabad

lampau, ketika mushaf Al-Qur’an masih disalin satu per satu secara manual,

para penyalin mushaf Nusantara telah berkarya dengan baik. Banyak mushaf

telah ditemukan, tersebar dari Aceh hingga Ternate, atau bahkan Raja Ampat

di Papua. Namun para penyalin mushaf-mushaf tersebut kebanyakan tidak

1
Amirulloh Syarbini dan Sumantri Jamhari, Kedahsyatan Membaca Al-Qur’an,
(Bandung: Ruangkata Imprint Kawan Pustaka, 2012), hlm. 3.
2
Zaennal Muttaqin, Sejarah Dan Rasm Mushaf Al-Qur’an Pojok Menara Kudus (UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010), hlm. 3.
3
Abdul Hakim, “Al-Qur’an Cetak di Indonesia Tinjauan Kronologis Pertengahan Abad
ke-19 Hingga Awal Abad Ke-20”, Suhuf, Vol. 5, No. 2, 2012, hlm. 232.

1
mencantumkan namanya di dalam mushaf hasil karyanya barangkali agar

tidak mengurangi rasa takzimnya kepada Al-Qur’an, atau alasan lainnya.

Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di

dunia setidaknya setiap tahun ribuan al-Qur’an dicetak di bumi pertiwi ini.

Ada perusahaan lawas yang secara evolutif tergerus mengalami gulung tikar,

namun terdapat pula perusahaan-perusahaan baru yang berhasil bertengger

diantara perusahaan yang telah mapan

Penulisan al-Qur’an secara tradisional di Nusantara diperkirakan telah

ada sejak penghujung abad ke 13, ketika kerajaan pesisir pertama di

Nusantara yang memeluk Islam melalui pengislaman sang raja yaitu Sultan

Malik as-Saleh.4 Meski patut disayangkan, jejak mushaf pada masa itu tak

terlacak, Hal ini karena pada masa itu belum ada teknologi untuk

menggandakan naskah dalam jumlah yang banyak dan al-Qur’an tertua dari

kawasan Nusantara yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad

ke-16, tepatnya ber-titimangsa jumadil awal 993 H (1585), dari koleksi

William Marseden. 5 Di Ternate, Maluku Utara seorang ulama al-Faqih

as-Shalih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni menulis mushaf

bertanggal 7 Zulqa’dah 1005 H (1597). mushaf lainnya ditemukan di Belanda

yang diperoleh di Johor pada tahun 1606, dengan kolofon berbahasa jawa dan

tanpa tanggal.

4
Fadhal AR. Bafadhal (ed.), dkk. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia, hlm. vii.
5
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 144.

2
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kementrian Agama RI juga

mengoleksi mushaf yang ditulis oleh penulis wanita yaitu Nur Cahya pada

tahun 1590 di Gunung Wawane, dekat Ambon. Al-Qur’an ini ditulis pada

kertas Eropa dengan halaman yang ditulis berukuran 18x11 cm, dan tebal 9

cm. Ciri lainnya adalah tidak adanya penomeran halaman dan beberapa surat

yang terakhir terlepas. Al-Qur’an ini masih dapat dibaca dan disimpan oleh

Abdul Rahim Hatuwe, di Desa Kaititu, Ambon.6

Penyalinan al-Qur’an oleh masyarakat Islam Nusantara terus berlangsung

sampai akhir abad ke 19. Umumnya penyalinan mushaf di dorong oleh

semangat mengajarkan al-Qur’an dan atas perintah sang raja. Abdullah bin

Abdul Kadir al-Munsyi termasuk orang yang awal menyalin al-Qur’an di

akhir abad 19, minat menulis mushaf al-Qur’an semakin berkurang,

diperkirakan pembuatan mushaf al-Qur’an mulai berhenti di awal abad 20

karena faktor penjajahan. Warisan penting tersebut saat ini tersimpan di

berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris dan kolektor dalam

jumlah yang cukup banyak.7 Tercatat ada sekitar 450 mushaf yang tersimpan

di Indonesia, sedangkan yang tersimpan di luar negri tercatat sekitar 200

mushaf, dengan jumlah 650 yang hal itu jelas masih terbilang sementara,

dikarenakan belum termasuk mushaf milik pribadi yang biasanya dimiliki

secara turun menurun sebagai inventaris waris, banyak keunikan-keunikan

6
M Ibnan Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah, (Semarang: AINI, 2003), hlm. 61.
7
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 145.

3
yang di tonjolkan dari masing-masing mushaf pada masa tulis manual,

diantara mushaf-mushaf yang sempat ditulis secara manual yaitu,

1. Mushaf Banten

Mushaf-mushaf dari kesultanan banten menonjol dalam kaligrafinya.

Gaya khat yang digunakan adalah gaya naskhi yang kadang-kadang dekat

gaya muhaqqaq, dengan ciri huruf yang menjulur-julur. Gaya kaligrafi

seperti itu dapat ditemukan baik di Banten sendiri, maupun mushaf

Banten koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Setiap lembar berlatarkan emas dalam motif bunga, yang tampaknya

dilukis dengan teknik cap atau sablon. Latar emas ini benar-benar

berpengaruh kuat, sehingga menjadikan mushaf ini tampak mewah dan

mengesankan. Semua kata “Allah” ditulis merah. Di halaman depan

terdapat kolopon yang menjelaskan bahwa mushaf ini milik sultan

Banten Muhammad Ali ad-Din ibn Sultan Muhammad Arif. Namun tidak

ada petunjuk angka tahun penulisannya.8

2. Mushaf Kanjeng Kyai Al-Qur’an

Di kraton Yogyakarta, setiap benda yang diakui sebagai pusaka

kraton diberi sebutan “Kanjeng Kyai” maka dari itu Kanjeng Kyai

Al-Qur’an adalah salah satu benda warisan berupa mushaf al-Qur’an

kuno yang selesai ditulis pada tahun 1799 (abad ke 18) di Surakarta,

8
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara, hlm. 178.

4
Hadiningrat.9 Qira’at yang digunakan adalah qira’ah Imam Ashim yang

diriwayatkan oleh Imam Hafs.10

3. Mushaf Al-Banjari

Mushaf Syaikh al-Banjari merupakan karya yang indah, dengan

hiasan dan lukisan yang sangat jarang ditemukan dalam tradisi penulisan

mushaf dunia Islam pada umumnya. Di bagian pinggir halaman

dilengkapi bacaan qira’at sab’ah. Mushaf ini merupakan salah satu

kebanggaan masyarakat kalimantan selatan.11

Beriring waktu, berhentinya penyalinan al-Qur’an secara manual tidak

berarti tidak ada lagi proses produksi. Justru saat itulah mulai muncul teknik

penyalinan yang lebih moderen dan masif.12

B. Penyalinan Al-Qur’an Cetak Litografi

Sempat terjadi perdebatan di kalangan para ulama terkait pencetakan

al-Qur’an, sebagian ada yang mengatakan makruh, sebab menggunakan

9
Moh. Damami Zein. Kanjeng Kyai Al-Quran, Deskripsi Naskah dan Relevansinya
dengan Kehidupan Dewasa Ini, dalam “Kanjeng Kyai” AlQuran, Pusaka Keraton
Yogyakarta, (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga. 2004), hlm. 53.
10
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara, hlm. 179.
11
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara, hlm.180.

Abdul Hakim Syukrie, Mushaf Al-Qur’an Indonesia, (Jakarta: Puslitbang & Diklat
12

DEPAG RI), hlm 21.

5
tekanan berat dalam mencetak nama-nama Allah.13 Litografi adalah teknik

yang ditemukan pada tahun 1798 oleh Alois Senefelder dan berdasarkan

tolakan kimia minyak dan air. Pemilihan percetakan dengan teknik litografi

dalam dunia Islam sebab mushaf yang dicetak dengan teknik tifografi (sistem

susun satuan huruf dari logam) tidak banyak memuaskan kaum muslimin.

Maka tidak mengherankan, meskipun di Eropa mushaf al-Qur’an telah mulai

dicetak sejak abad ke 16, namun tidak berkembang di dunia Islam.14

Cetakan awal al-Quran di Asia Tenggara pada paruh akhir abad ke 19

hingga kini tidaklah banyak, diantara mushaf yang paling tua dicetak di

Palembang tahun 1848 dan 1854 hasil cetakan batu oleh Haji Muhammad

Azhari bin Kemas Haji Abdullah pada 21 Ramadhan 1264 (21 Agustus

1848).15 Mushaf cetakan Azhari lainnya 14 Dzulqa’dah 1270 H (7 Agustus

1854). Pada tahun 1855 Muhammad Azhari mendemonstrasikan proses

pencetakan selembar syair dihadapan seorang pejabat kolonial Belanda di

Palembang, yakni Von de Wall seorang kolektor naskah abad 19 yang

membuat catatan mengenai mushaf ini permintaan dari Residen Belanda di

Palembang yang dimuat dalam TGB 1857. Berdasarkan catatan itu mushaf

13
Abdul Hakim, “Al-Qur’an Cetak di Indonesia Tinjauan Kronologis Pertengahan
Abad ke-19 hingga awal abad ke-20”, hlm. 233.
14
Abdul Hakim Syukrie, Mushaf Al-Qur’an Indonesia, hlm. 22.
15
Mushaf ini telah dikaji oleh Jeroen Peeters, “Palembang Revisited: Further Notes on
the Printing Establishment of Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848” dalam IIAS Yearbook
1995, hlm. 181-190. Dikutip dari Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan
Islam dan Budaya Lokal”, At-Tibyan, Vol. 1, No.1, Th. 2016, hlm. 182.

6
cetakan 1854 kini dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI16 cerita tentang

percetakan ini bergema dalam forum Bataviaasch Genootschap van Kusten en

Wetenscappen (BGKW) tahun 1855. BGKW punya reputasi internasional

sebagai perhimpunan ilmiah pada era tersebut.

Teknik percetakan litografik ini diperkenalkan oleh missionaris Inggris

bernama Medhurst. Pada tahun 1828, dia mulai mencetak manuskrip

manuskrip Melayu-Arab, Jawa dan Cina. Medhurst bekerjasama dengan

seorang guru dan penulis Melayu bernama Abdullah bin Abdul Kadir

Munsyri, yang juga belajar tentang percetakan kepadanya. Pada tahun 1860

beberapa pencetak muslim mendirikan toko percetakan litograf di Singapura.

Pada abad ke 19, Singapura memang terhitung sebagai pusat utama

percetakan umat Islam di Asia Tenggara. Namun seiring dengan majunya

percetakan dibawah kendali umat Islam, Singapura gagal mempertahankan

predikat tersebut. Akhirnya memasuki abad ke 20, kebanyakan kopian-kopian

buku Arab-Melayu dicetak di Bombay ketimbang di Singapura.17

Menurut penelitian Fawzi A. Abdulrazak dan Ian Proud foot pada tahun

1848, Muhammad Azhari, orang asli Palembang membuat sebuah litografi

al-Qur’an yang kemudian dia cetak. Dia membeli peralatan percetakan di

Singapura ketika mau kembali dari Makkah ke Sumatra. Namun ada yang

16
Mushaf cetakan yang sama belum lama ini saya temukan di Masjid Dog Jumeneng,
kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Bagian depan mushaf sudah tidak lengkap,
namun bagian belakang masih lengkap, termasuk catatan kolofon. Lenni Lestari, “Mushaf
Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal”, hlm.183.
17
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 147.

7
mengatakan bahwa yang mencetak adalah Ibrahim bin Husain di toko

percetakan milik Muhammad Azhari di Palembang, kemudian, tidak hanya di

Palembang, percetakan tersebut juga ada di Riau, tepatnya di pulau penyengat

pada tahun 1850 yang dipelopori oleh seorang penulis dan ulama, yakni Raja

Ali Haji.18 Kurang lebih satu abad berikutnya, tepatnya pada Rabi’ul Awal

1352 H ( Juli atau Agustus 1933 M), Al-Matba’ah al-Islamiyah sebuah

penerbit kepunyaan H.M.S Soeleman yang terletak di Bukit Tinggi

Minangkabau Sumatra, telah mencetak mushaf al-Qur’an dengan jumlah yang

cukup besar.19

C. Penyalinan Al-Qur’an Cetak Mesin

1. Generasi 1930-1970

Generasi pertama pencetak mushaf al-Qur’an di Indonesia adalah

Abdullah bin Afif Cirebon yang telah memualai usahanya sejak tahun

1930 bersamaan dengan Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan

penang serta Salim bin Sa’ad Nabhan yang berdiri tahun 1904 di

Surabaya.20 Terkait dengan aktivis pencetakan al-Qur’an di Indonesia

tidak dapat dilepaskan dari pemerintah jepang, keterlibatan jepang terjadi

pada tahun 1944. Menjelang berakhir masa penjajahannya di Indonesia,


18
Ibid, hlm. 148.
19
Ahmad Saifudin, The Industrialization Of The Qur’an In Indonesia, Wahana
Islamika: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4, No. 1, Th, 2018, hlm. 94.
20
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal”,
hlm. 184.

8
Jepang berjanji akan mencetak al-Qur’an di Indonesia, untuk

memuluskan rencananya itu, pihak masyumi mengadakan perundingan

dengan pemimpin penerbit dan percetakan al-Misriyyah Cirebon. Dari

perundingan tersebut, bersepakat bahwa akan mencetak 100 mushaf

al-Qur’an yang akan dimuali pada 11 Juni 1945 di pimpin oleh Abdullah

Afif seorang ulama dan juga pemilik percetakan al-Misriyyah. Prosesi

dimulainnya pencetakan dihadiri oleh pemuka-pemuka shumubu dan

Masyumi,21

Keterlibatan Jepang dalam percetakan al-Qur’an kembali terjadi lima

belas tahun kemudian. Sesuai diadakannya perundingan papasan perang

tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San

Fransisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara

sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon koku tono Heiwa Jayaku ini

menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya

di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil

konferensi pada 20 Januari 1958 M, perjanjian papasan ditandatangani

oleh Mentri Luar Negri Fujiama dan Subandrio. Perjanjian itu

menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama 12

tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal

21
Ahmad Saifuddin, “The Industrialization Of The Qur’an In Indonesia”, hlm. 97.

9
dan jasa, menghaus utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan

memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.22

Masashi Nishihara (Profesor Akademi Pertahanan Nasional jepang)

menyebutkan bahwa perjanjian papasan perang tersebut memuat enam

kategori, yakni transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga,

pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan,

pertambangan, dan jasa atau pelayanan.23 Program ini meliputi hampir

semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 katrgori sepesifik

lainnya untuk dipertimbangkan agar mendapat dana pampasan meliputi

suplai medis, percetakan al-Qur’an dan perlengkapan. astronomis 24

sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan

untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama yang

menuntut supaya mendapat bagian harta pampasan perang Jepang untuk

membiyayai proyek percetakan al-Qur’an. Meskipun tuntutan ini

dikabulkan, namun ternyata masih menyisahkan muncul sikap pro dan

kontra di kalangan masyarakat Indonesia, lantaran Wahib Wahab (Mentri

Agama ke 7: 1959-1960 dan 1960-1962) menunjuk Jepang sebagai

tempat pelaksanaan proyek itu, bukan di Indonesia. perusahaan Jepang

22
Hendri, F. Isnaeni, “Alquran Cetakan Jepang Saudara Tua berperan dalam percetakan
Alquran”, diakses dari http://historia.id/agama/articles/alquran-cetakan-jepangP4KVv.
Tanggal 10 Juli 2019.
23
Ahmad Saifuddin, “The Industrialization Of The Qur’an In Indonesia,” hlm. 98.
24
Hendri, F. Isnaeni, “Alquran Cetakan Jepang Saudara Tua berperan dalam percetakan
Alquran”,

10
yang menggarap proyek ini adalah Toppan Priniting Limited Paretnership,

didirikan oleh sekelompok insinyur dan biro percetakan kementrian

keuangan Jepang pada tahun1900, lalu diorganisasi menjadi Toppan

Priniting Co., Ltd., pada tahun 1908.25

Usaha bidang ini kemudian disusul oleh penerbit al-Ma’arif Bandung

yang didirikan oleh Muhammad bin Umar Bahartha pada tahun 1948.26

Pada tahun 1950 penerbit mushaf diantaranya adalah Sinar Kebudayaan

Islam menerbitkan mushaf pada tahun 1952. Bir & Company mencetak

sebuah mushaf dengan tanda tashih dari Jam’ iyyah al-Qurra

wal-Huffadz (perkumpulan para pembaca dan penghafal al-Qur’an)

tertanggal 18 April 1956. Kemudian pada tahun 1957, menara Kudus

yang merupakan percetakan tertua di Jawa Tengah mencetak al-Qur’an

pojok atau bahriyya yang di khususkan untuk huffadz (para penghafal

al-Qur’an)27, al-Qur’an ini muncul sebagai perubahan tanda akhir baca

al-Qur’an. Dulunya, masyarakat Indonesia menjadikan Tsulus, Rubu’

Tsumun, Hizb sebagai tanda akhir bacaan. Jadi kuantitas bacaan

al-Qur’an seseorang ditentukan oleh tanda-tanda tersebut.28 Pada tahun

1960 muncul Penerbit Toha Putra. serta Tinta Mas.29

25
Ahmad Saifuddin, “The Industrialization Of The Qur’an In Indonesia,” hlm. 98.
26
M Ibnan Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah, hlm. 61.
27
Ibid hlm. 62.
28
Menurut informasi, Penerbit Menara Kudus memperoleh “Qur’an Pojok” yang
dicetaknya itu dari Kiai Arwani Amin, pengasuh Pesantren Yanbu’ul Qur’an, pesantren
khusus menghafal Qur’an yang terkenal di Kudus. Di bagian belakang mushaf terdapat
kolofon bahwa mushaf ini ditulis oleh Mustafa Nazif, dan telah ditashih oleh Hai’ah Tadqiq

11
Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta,

mulai usaha mencetak al-Qur’an Braille dimulai pada tahun 1964 M,

dengan hanya mencetak beberapa ekslempar Juz Amma. Pada tahun 1968

M, Yaketunis menjalin kerjasama dengan The National Federation for

the Walfare of the Blind di Pakistan, Al-Markaz alNamuzaji lirri’ayah wa

taujih al-Makfufin di Zaitun dan Al-Madrasah Ulaiyah bil Birrah

al-Tabi’ah li Wizaratisyunil Ijtima’iyyah di Yordania. Setelah itu

yaketunis mendapat seponsor dari Departemen Agama Republik

Indonesia untuk mencetak al-Qur’an Braille pada tahun 1968.30

Sementara itu, di Bandung muncul mushaf al-Qur’an Braille, adalah

Abdullah Yatim, sosok yang bertugas menjadi penulis mushaf itu. Di

bawah naungan lembaga Yayasan Penyantun Wiyata Guna (YPWG)

Bandung, ia mulai mengerjakan proyek tersebut pada tahun 1976 M dan

selesai pada 1979 M.31

2. Generasi 1970-1980

Pada dekade 1970-1980 muncul sejumlah penerbit mushaf baru,

diantaranya Firma Sumatra, CV Diponegoro, CV Sinar Baru, CV Lubuk

Agung, CV Angkasa, CV Al-Hikmah (Bandung), CV Wicaksana, CV

Al-Alwah (Semarang), CV Bina Ilmu (Surabaya), CV Intermasa (Jakarta),

al-Masahif asy-Syarifah pemerintah Turki di Percetakan Usman Bik, Jumada al-Ula 1370 H
(FebruariMaret 1951). Lajnah.kemenag.go.id. Diakses tanggal 23 Juni 2019.
29
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 153.
30
Ahmad Saifudin, The Industrialization Of The Qur’an In Indonesia, hlm. 101.
31
Ibid

12
serta beberapa penerbit kecil lainnya. Hingga dasawarsa tersebut, jenis

mushaf yang dicetak adalah mushaf asal Bombay yang berciri huruf tebal,

dengan tambahan “muatan lokal” berupa tajwid, keutamaan membaca

al-Qur’an, daftar surah, dan lain-lain, dalam tulisan Jawi (huruf arab

Melayu).32

3. Generasi 1990

Pada dasawarsa 1990 muncul sejumlah penerbit mushaf yang baru,

yaitu PT Al-Amin, PT Inamen Jaya, PT Mutiara, PT Sugih Jaya Lestari,

PT Tahazer, CV Do’a Ibu, CV Pustaka Amani, PT Zikrul Hakim

(Jakarta), CV Jumanatul Ali, CV Sugih Jaya Mukti, CV Sriwijaya,

Yayasan Pustaka Fitri (Bandung), CV As-Sifa, CV Aneka Ilmu, CV Hilal,

PT Tanjung Mas Inti, CV Istana Karya Mulya, CV Kumudasmoro, PT

Salam Setia Budi (Semarang), CV Karya Abadi Tama, VC Duta Ilmu,

CV Al-Hidayah, CV Delta Adiguna, CV Aisiyah, UD Mekar, CV Terbit

Terang, dan PT Rama Putra (Surabaya).33

4. Generasi 2000

Pada dasawarsa 2000-an beberapa penerbit mushaf baru diantaranya,

penerbit Serambi, PT Pena Pundi Aksara, CV Maghfirah, PT Lautan

Lestari, PT Cicero, PT Gema Insani Press, CV Cahaya Qur’an, CV Darus

Sunnah, CV Pustaka Al-Kautsar (Jakarta), PT Syamil, (sekarang Sygma

32
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 153.
33
Ibid.

13
EksamediaArkanleema), Penerbit Mizan, CV Fajar Utama Madani, CV

Mi’raj Hasanah Ilmu, CV Jabal Raudhatul Jannah, CV Salamadani

(Bandung), CV Karya Putra, PT Mascom Graphy (Semarang), PT Tiga

Serangkai, KOmari Publishing, CV Era Adicitra (Surakarta), CV Sahara,

CV Barokah Putra, CV Kartika Indah, CV Assalam.34 Bahkan sejak

dasawarsa 2000-an sebagian dari penerbit-penerbit diatas semula

merupakan penerbit buku umum yang telah sukses..35

5. Generasi 2010

Mengawali dasawarsa 2010 penerbit baru yang muncul, yaitu

Penerbit Kalim, PT Lentera Abadi, CV Bayan Qur’an, Pustaka Jaya Ilmu,

Cahaya Intan, PT Juara Persada, Wahyu Media, CV Cahaya Rabbani

Press, PT Let’s Go (Jakarta), CV Fokus Merdia, CV Nawa Utama

(Bandung), Penerbit Djaja Diva, Pinus Book Publishr (Yogyakarta), CV

Karya Semesta (Salatiga), Penerbit Duta Surya dan CV Imam

(Surabaya).36

D. Mushaf Era Baru

34
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 154
35
Ibid.
36
Ibid

14
Era baru dalam produksi mushaf mulai muncul sejak awal dasawarsa

2000-an ketika teknologi computer semakin maju37 dan dimanfaatkan dengan

baik oleh para penerbit. Perubahan itu sangat mencolok dalam hal kaligrafi

teks mushaf.38 Para penerbit memodifikasi kaligrafi mushaf Madinah yang

ditulis oleh khaththath Usman Toha. Mushaf Madinah dicetak oleh

Mujamma’ al-Malik Fahd li-Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif yang bermarkas

di Madinah. Tulisan karya kaligrafer asal Syria itu memenang terkenal cantik,

dengan keindahan anatomi huruf yang hampir tanpa cela.39

Penerbit mushaf pertama yang memodifikasi kaligrafi Utsman Taha

adalah penerbit Diponegoro, Bandung.40 setelah itu, selama bertahun-tahun

hingga sekarang, banyak sekali penerbit yang memodifikasi kaligrafi tersebut.

Bahkan, hampir semua penerbit pendatang baru menggunakan kaligrafi

model itu. Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dari kreasi dengan

memberi warna khusus pada teks al-Qur’an yang berkaitan dengan tajwid.

Hal ini bertujuan untuk menuntun para pembaca al-Qur’an yang masih awam

dalam ilmu tajwid.

Para penerbit mushaf era baru tampaknya tidak mau terikat dengan

“konvensi” desain kulit mushaf yang selama ini seakan-akan hanya berbentuk

37
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal,”
hlm. 188.
38
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 156.
39
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 156.
40
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal,”
hlm. 189.

15
persegi. Para penerbit mengeksplorasi bentuk-bentuk baru, ragam hias, dan

komposisi baru, sehingga terkadang mengesankan suatu mushaf dengan

desain yang asing. Sebagian mushaf juga menggunakan warna tertentu.

Bahan cover mushaf yang digunakan para penerbit juga sangat

diperhitungkan. Ragam hias yang digunakan pun beragam, sebagian penerbit

menggali ragam hias khas Nusantara. Para penerbit tampak tidak ragu-ragu

untuk menawarkan kelebihan produknya dibanding produk sejenis dari

penerbit lainnya, baik dalam hal kover, isi, maupun kelengkapan teks

tambahannya. Para penerbit terus berinovasi dan bersaing dalam menawarkan

produknya. Demikian banyak ragamnya, sehingga ada penerbit yang merasa

perlu mencantumkan surat pendaftaran ciptaan dari pemerintah sebagai

langkah perlindungan hukum atas ciptaannya.41

Berbicara mengenai penerbitan akan sangat terkait dengan hak cipta,

bukan untuk al-Qur’annya melainkan pada penulis khat al-Qur’an tersebut,

iluminasi, desigen cover, dan suplement (komponen tambahan) yang

menyertai mushaf al-Qur’an. Selama ini jarang ada penerbit mushaf al-Qur’an

di Indonesia yang memberi credit hak cipta pada penulis khat, layouter,cover

design dan lainnya, sehingga memungkinkan untuk terjadi penjiplakan ide

dan design, yang selaykanya di hindari oleh penerbit yang memroduksi

komoditas yang dianggap suci.42

41
Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Qur’an, hlm. 162.
42
Eva Nugraha, “Saat Mushaf Al-Qur’an Menjadi Komoditas,” Revleksi: Jurnal Ilmu
Usuluddin, Vol. 13, No. 6, 2014, hlm. 743.

16
Hak cipta merupakan suatu hak yang diciptakan untuk pempublikasian,

memperbanyak dan mengumumkan sebuah hasil karya, berdasarkan

Undang-Undang No. 19 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 mengenai hak cipta, yaitu.

“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk

itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.43

Saat ini memang belum ada lembaga yang melihat bagaimana agar tidak

terjadi proses duplikasi ide satu model al-Qur’an dengan model lainnya.

Karena tidak menutup kemungkinan perusahaan penerbitan yang berposisi

sebagai leader bisa hancur karena model yang ada telah dibajak idenya oleh

perusahaan lain. Memang teks al-Qur’an sendiri merupakan sesuatu milik

publik, dimana setiap orang bisa memroduksinya sendiri, sebagai contoh,

dengan menggunakan komputer dan printer pribadi. Namun, khat al-Qur’an

berbeda dari aura dan oralitas qur’an. Ia dimiliki oleh penulis, tata letak teks,

tentunya dimiliki oleh tim lay outeryang telah berupaya agar teks tersebut

nyaman dan mudah untuk dibaca maupun dihafal.44

Sebenarnya di Indonesia pihak swastalah yang pertama kali melakukan

penerbitan mushaf al-Qur’an, selain tentunya ada misi dakwah agar kaum

muslimin Indonesia bisa mengakses al-Qur’an, juga ada misi lain yang tidak

43
Hassan Pambudi, Pedoman Dasar Penerbitan Buku, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996) hlm. 94.
44
Eva Nugraha, “Saat Mushaf Al-Qur’an Menjadi Komoditas,” hlm. 751.

17
kalah pentingnya dalam penerbitan mushaf al-Qur’an, yaitu ekonomi.

Keuntungan bagi penerbit atas produksi mushaf al-Qur’an, sepertinya

tidaklah sedikit. Hal ini dibuktikan dengan maraknya para penerbit buku yang

membuka imprinit penerbitan al-Qur’an. Oleh karena itu keikutsertaan swasta

untuk memroduksi dan menyediakan mushaf al-Qur’an menjadi suatu

keniscayaan.45

Terkait dengan unsur krativitas lokal, baik dalam hiasan maupun kaligrafi,

berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, iluminasi yang terdapat di

dalam mushaf al-Qur’an merupakan salah satu karya seni yang tidak bisa

dianggap sepele, salah satu ciri khas mushaf Indonesia adalah corak bunga,

tumbuh-tumbuhan dan khas ke-daerahan yang muncul pada setiap mushaf.46

E. Lahirnya Mushaf Standar Indonesia

Sebelum membahas mushaf standar Indonesia, perlu kiranya tahu

terlebih dahulu apa itu mushaf. Istilah mushaf telah ada sejak zaman Abu

Bakar al-Shidiq ketika Zaid di perintahkan untuk mengumpulkan catatan

yang tersebar dikalangan sahabat, sehingga semuanya terkumpul dalam satu

bundelan yang dinamakan mushaf.47 Mushaf berasal dari bahasa Arab selatan,

45
Ibid. hlm. 742.
46
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal,”
hlm. 193.
47
Aṭaillah, Sejarah al-Quran Verifikasi tentang Otentisitas Al-Quran, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 226.

18
yaitu Safaha (menulis).48 Bentuk lainnya adalah mushaf jamak masahif yang

berarti kitab atau buku.49 Jika suhuf diartikan lembaran-lembaran.50 Maka

mushaf diartikan lembaran-lembaran yang sudah terjilid rapih menjadi satu.51

Didalam al-Qur’an kata suhuf (jama dari sahaif) disebutkan sebanyak delapan

kali, salah satunya dalam Q.S al-Bayyinah ayat 2, yang artinya seorang rasul

utusan Allah yang membacakan beberapa lembar suci (al-Qur’an)52

Secara bahasa, istilah Muahaf Standar Usmani dapat difahami dari kata

“standar” yang dalam Kamus Bahasa Indonesia dimaknai sebagai sebuah

patokan atau standar baku.53 Kata “Mushaf Standar” juga dapat diartikan

sebagai mushaf resmi atau standar yang beredar dan berlaku di Indonesia.54

Mengenai lahirnya musahaf setandar di Indonesia, kaitannya dengan

pedoman pentashihan bagi Lajnah Pentashihan al-Qur’an55 karena adanya

48
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Pustaka; Alvabet, 2013), h.
169.

Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal,”
49

hlm. 174..

Hirman Jayadi, Perkembangan Mushaf al-Qur’an di Indonesia (Study Mushaf


50

al-Qur’an Tema Perempuan), sekripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, hlm. 1.

Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Qur’an Pengenalan Dasar, (Jakarta: Rajawali, 1988),
51

hlm. 41.

Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur’an Nusantara Perpaduan Islam dan Budaya Lokal,”
52

hlm. 174..
53
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 1375.

Puslitbang Lektur Agama, “Hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an 1X”
54

(Jakarta: Departemen Agama, 1982-1983), hlm. 96.

Lajnah Pentashihan Al-Qur’an adalah, lembaga yang secara resmi mempunyai tugas
55

memeriksa kesahihan suatu mushaf, secara kelembagaan dibentuk pada 1 oktober 1959,
tugas-tugas Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, yaitu 1), meneliti dan menjaga kemurnian mushaf
al-Qur’an, rekaman, bacaan, terjemah, dan tafsir al-Qur’an secara preventifdan represif. 2)
mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf al-Qur’an bagi orang biasa (awas)dan bagi

19
berbagai ragam tanda baca dalam al-Qur’an terbitan luar negri di Indonesia.

Hal itu dikarenakan ada beberapa harakat atau tanda baca yang belum dikenal

bagi masyarakat muslim Indonesia 56 Mushaf standar Indonesia adalah

al-Qur’an yang dibakukan cara penulisannya dengan tanda bacanya (harakat),

termasuk tanda waqafnya 57 sesuai dengan hasil yang dicapai dalam

musyawarah kerja ulama ahli al-Qur’an pada tahun 1983 dan dijadikan

pedoman bagi mushaf al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.58

Mushaf al-Qur’an yang beredar di kalangan umat Islam Indonesia hingga

kurun waktu tahun 1970-an bila dicermati segi tanda-tanda bacanya akan

dijumpai berbagai ragam tanda baca yang berbeda satu sama lainnya, dan

tentu itu akan mempengaruhi pada bagaimana ayat-ayat al-Qur’an itu dibaca

para pembacanya, untuk itu diperlukan penataan (model) harakat, tanda baca,

dan tanda waqaf untuk dijadikan acuan penerbit al-Qur’an di Indonesia di

masa mendatang, seiring dengan makin bertambahnya penerbit al-Qur’an

yang memerlukan model al-Qur’an sebagai pedomannya.59 dari situlah terbit

surat Keputusan Mentri Agama nomer 25 tahun 1984 tentang penetapan

mushaf standar Indonesia.

tunanetra (al-Qur’an Braille), rekaman bacaan al-Qur’an dalam kaset, piringan hitam, dan
penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia. 3), menyetop pengedaran mushaf
yang belum di tashih oleh Lajnah Pentashihan Al-Qur’an.
56
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an
Standar Indonesia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2013), hlm. 12.
57
Ibid. hlm. 9.
58
Ibid, hlm. 11.
59
E Badri Yunardi, Sejarah Lahirnya Mushaf Standar Indonesia, jurnal lektur, Vol. 3,
No. 2, 2005, hlm. 282.

20
Jika dilihat dari kesepakatan ulama al-Qur’an senusantara dalam

musyawarah nasional tahun 1974-1983, sesuai keputusan Mentri Agama

Nomer 25 tahun 1984 mushaf standar Indonesia yakni ada 3 jenis.60 yaitu.

1. Mushaf Utsmani

Mushaf Utsmani atau disebut dengan Mushaf Bombay telah

dipercaya rasm Utsmaninya. 61 Ada 6 kaidah dalam sistem penulisan

Mushaf Utsmani, yaitu membuang huruf (al-Hafd), menambah huruf

(al-Ziyadah), menyambung dan memisah tulisan (al-Fasl wal-Wasl),

menulis kalimat yang memiliki versi bacaan (Qira’ah), lebih dari satu

sesuai dengan salah satu darinya (Ma fihi qira’atani wa kutiba ala

ihdahuma), Badal (Pengganti).62 Dan bukan hanya itu, dalam mushaf

Utsmani ini, penulisan harakat ditulis penuh untuk memudahkan bacaan

dikalangan para pembaca.63

2. Mushaf Bahriyah

Berbicara mengenai Mushaf Bahriyah atau matba’ah bahriyah tidak

asing dikalangan hufadz, sebab al-Quran ini digunakan oleh sebagian

besar para penghafal al-Qur’an dengan ciri ayat pojok. 64 Mengenai

karakteristik lainnya yaitu, penggunaan rasm Utsmani asasi (campuran

60
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang, hlm. 48.
61
Ibid. hlm. 91.
62
Rasihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pusaka Setia, 2008), hlm. 49.
63
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang, hlm. 93.
64
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang, hlm.18.

21
antara rasm Utsmani dan rasm Imla’I), hal ini dapat dilihat dari enam

kaidah yang digunakan di dalam rasm Utsmani. Mushaf Bahriyah ini

hanya menggunakan kaidah pengganti huruf (badal). 65 Setiap lembar

terdiri 15 baris dan setiap sudut halaman sebelah kiri diakhiri ayat66

Mushaf bahriyah ini mengacu pada Mushaf Bahriyah terbitan Turki

tahun 1974. Di jawa yang menerbitkan mushaf jenis ini yaitu menara

Kudus67

3. Mushaf Braille

Musyawarah Kerja Nasional tahun 1974-1984 bukan hanya

menetapkan mushaf bagi mereka yang awas, melainkan juga menetapkan

standarisasi al-Qur’an yang digunakan oleh para tunanetra.68 Al-Qur’an

Braille diperkirakan muncul di Indonesia pada tahun 1954, ketika

lembaga penerbitan dan perpustakaan Braille Indonesia menerima

al-Qur’an Braille dari UNESCO.69 Braille Memiliki ciri khas tersendiri,

diantaranya yaitu penggunaan simbol-simbol Braille Arab yang mengacu

65
Ibid. hlm. 98.
66
Ibid
67
Ibid. hlm. 18.
68
Zainal Arifin Madzkur, “Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia
(Studi Komparatis atas atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002)” Suhuf,vol. 4, No 1,
2011 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an), hlm. 2.
69
Ahmad Jaeni, “Sejarah Perkembangan Al-Qur’an Braille di Indonesia Dari Duplikasi
Hingga Standarisasi (1964-1984)” Suhuf,vol. 8, No. 1, 2015 (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an), hlm. 46.

22
pada keputusan Internasional UNESCO tahun 1951, dengan dilengkapi

tanda baca yang diterbitkan oleh Yordania, Mesir, Pakistan.70

Meskipun penulisannya menggunakan simbol-simbol Braille, akan

tetapi sistem yang digunakan dalam penulisannya tatap menggunakan

rasm Utsmani.71 Tulisan yang ada didalam al-Qur’an Braille terdiri dari

huruf hijaiyah Braille, yaitu terdiri dari enam kombinasi titik dari setiap

huruf Braille, enam kombinasi titik ini dirumuskan menjadi

simbol-simbol yang teratur sebagaimana mestinya.72

Mushaf Standar Indonesia disahkan dalam Muker 1X dan telah

mendapatkan restu dari Mentri Agama, sebelum diberi tanda tashih,

mushaf ini telah diteliti berulangkali sampai tidak lagi ditemukan

kesalahan sepanjang yang dapat diikhtiarkan. Pada Muker X tanggal

28-30 Maret 1984 untuk pertama kali mushaf standar diterima oleh

peserta Muker ulama ahli al-Qur’an dan disampaikan kepada Mentri

Agama sebagai naskah perdana. 73 Dengan harapan lahirnya mushaf

standar Indonesia menjadi benteng stabilitas nasional dibidang al-Qur’an

dan sebagai penangkal ampuh untuk menanggulangi semua usaha yang

mengacaukan dibidang al-Qur’an serta menjadi referensi untuk semua

70
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Perkembangan Muṣhaf, Terjemahan, dan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, Lombok, 2011,
hlm. 18.
71
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang, hlm. 105.
72
Ibid
73
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar
Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,1984-1985), hlm. 29.

23
penerbit di Indonesia dan juga peremajaan sekaligus inventarisasi semua

penerbitan al-Qur’an di Indonesia.74

74
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar
Indonesia, hlm. 35.

24

Anda mungkin juga menyukai