Anda di halaman 1dari 17

AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN IBNU

SINA

Nuraeni Tri Wulandari (21030386)

Abstrak

Ibnu Sina merupakan filosof Muslim penting yang membangun teori Kenabian dengan
risalahnya Itsbatal-Nubuwat. Dia menandai puncak falsafah Islam dengan pemikirannya
tentang falsafah paripatetik, yang dikenal sebagai Masya’i, yaitu filsafat sinkretis (sintetis
dari ajaran-ajaran Wahyu, Islam, Aristotelianisme dan Neoplatonisme).

Sebagaimana filosofis lainnya, Ibnu Sina merupakan filosof Muslim yang oleh sebagian
orang dikritisi hanya sebagai duplikasi dari Hellenisme (filsafat Yunani), yang tidak
mencerminkan pemikiran Islam. Padahal mereka yang melahirkan filsafat Islam dan
berupaya serta berhasil memadukan wahyu dengan akal, akidah dengan hikmah, agama
dengan filsafat.Yang menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan
dengan akal.

Ibnu Sina membuat pemikiran final tentang Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan
Neoplatonisme menjadi sebuah dimensi intelektual yang permanen dalam dunia Islam dan
bertahan sebagai ajaran filsafat yang hidup sampai hari ini. Ibnu Sina adalah penggali
filsafat yang sempurna dan penerjemah abadi filsafat paripatetik yang menunjukkan sampai
ke pintu gerbang filsafat teosofi iluminasi yang menandakan penyatuan filsafat dan spiritual.

Kata
Kunci
Ibnu Sina, Pemikiran, Filsafat Islam
Abstract

Ibn Sina is an important Muslim philosopher who built the theory of Prophethood with his treatise
Itsbatal-Nubuwat. He marked the pinnacle of Islamic philosophy with his thoughts on paripatetic
philosophy, known as Masya'i, namely syncretic philosophy (synthetic from the teachings of
Revelation, Islam, Aristotelianism and Neoplatonism).

Like other philosophers, Ibn Sina is a Muslim philosopher who is criticized by some as only a
duplication of Hellenism (Greek philosophy), which does not reflect Islamic thought. Even though
they gave birth to Islamic philosophy and tried and succeeded in combining revelation with reason,
faith and wisdom, religion and philosophy. Which explains to people that revelation does not
conflict with reason.

Ibn Sina made the final thoughts on Islam with the philosophy of Aristotelianism and Neoplatonism
a permanent intellectual dimension in the Islamic world and survives as a living philosophical
teaching to this day. Avicenna is a consummate digger of philosophy and eternal translator of
paripatetic philosophy which points to the gates of the philosophy of theosophy of illumination
which signifies the union of philosophy and spirituality.

Pendahuluan
Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang lahir di
jaman keemasan Peradaban Islam. Pada jaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak
menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Dan dinamika pemikiran
dalam dunia Islam tetap berkembang sampai sekarang. Kenyataan ini dimungkinkan terjadi
berkat doktrin yang menghargai akal setinggi mungkin sebagai salah satu sumber pengetahuan
dan kebenaran. Menurut Ibnu Sina, jiwa merupakan satu kesatuan dan memiliki wujud sendiri.
Jiwa nihil sebagai fungsi-fungsi fisikan dan tugasnya ialah untuk berfikir dalam rangka ini,
jiwa memerlukan tubuh. Pada mulanya tubuh menolong jiwa manusia untuk berfikir. Namun,
jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan maka sebaliknya, tubuh hanya akan menjadi
penghalang bagi jiwa untuk berkembang. Karena jiwa merupakan satu unit sendiri yang
terlepas dari badan. Inilah sebagian pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dasar ajaran
filsafatnya.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik. Ia adalah satu - satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu
sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Dialah yang mencatat
dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya. Dunia
Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina, namun di kalangan orang-orang Barat, ia dikenal
dengan panggilan Avicenna.

A. Sejarah Hidup dan Karyanya


Abu Ali Husein Ibnu Abdillah Ibnu Sina atau Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980
M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ibnu Sina disebut juga
dengan nama Syaikh al-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin Abdullah Ibnu Sina, dan Negara-negara
barat namanya lebih dikenal dengan sebutan Avicena. Ayahnya yang berasal dari Balkh
Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005
M).
Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun,
ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-
ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak hanya belajar
mengenai teori kedokteran yang kemudian dikenal dengan nama al-Qanun fi-al-Thib, tetapi
melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan
metode-metode baru dari perawatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan
Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan
karya-karyanya di bidang kedokteran. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia
berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997),salah seorang penguasa Dinasti
Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan
penyakit sang raja. Ia adalah orang yang pertama kali merumuskan, bahwa kesehatan fisik dan
kesehatan jiwa berada kaitan dan saling mendukung. Lebih khusus lagi, ia mengenalkan dunia
kedokteran pada ilmu yang sekarang diberi nama pathology dan farmasi, yang menjadi bagian
penting dari ilmu kedokteran.
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di
antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Ibnu Sina melihat filsafat dari dua arah,
pertama dari segi teoritisnya dan kedua dari segi praktisnya. Yang teoritis terbagi atas ilmu-
ilmu fisika, matematika dan metafisika, sedangkan yang praktis disebutkan dengan politik dan
etika. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan.Tak
hanya itu, ia juga mendalami masalah-masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ia
banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.
Diriwayatkan bahwa ia pernah membaca empat puluh kalibuku metafisika karangan
Aristoteles, tetapi tidak dipahaminya. Kebetulan ada pedagang buku yang menawarkan buku
bekas kepadanya dengan harga sangat murah, lalu ia beli setelah tau buku itu adalah karya
al-Farabi. sehingga dengan mudah ia memahami buku Aristoteles tersebut dan semuanya ia
hafal.
Karya Ibn Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh melampaui risalah
manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang filsafat pertamaseperti al-Kindi dan
al-Razi. G. C. Anawati sorang sarjana Dominican, telah menyusun daftar kitab-kitab Ibn Sina
dari 276 tulisan dalam bentuk buku maupun manuskrif. Diantara buku-bukunya yang terkenal
adalah:
1. Kitab Asy-Syifa. Kitab ini adalah tulisan yang terpenting tentang filsafat dan terdiri atas
empat bagian, yaitu: mantik, matematika, fisika dan metafisika (ilahiyah). Kitab ini sangat
tebal, terdiri dari delapan belas jilid, adalah suatu ensiklopedia besar dalam ilmu filsafat
yang ditulis oleh Ibn Sina. Dengan kitab ini ia telah memperoleh kedudukan yang sangat
tinggi baik di dunia timur maupun barat. Karya ini merupakan ensiklopedia studi Islamic-
Yunani pada abad ke sebelas, yang ia susun dari logika sampai matematika dan metafisika.
Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M).
Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :

1) Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles
tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani
kemudiannya.

2) Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi
kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
3) Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen -
elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang
aritmetika dan ilmu musik.

4) Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat


Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan
untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan. Dalam zaman
pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.

2. Kitab al-Najat, atau Kitab Penyelamat adalah ringkasan kitab al-Syifa, karyaini jauh lebih
banyak dibaca daripada al-Syifa, dan ditulis bagi orang-orang terpelajar yang ingin
mengetahui dan memahami dengan lengkap dasar-dasar ilmu hikmah. Pada tahun 1331 M.
untuk pertama kalinya buku ini dicetak di Mesir, dan di Roma pada tahun 1593 M
bersamaan dengan kitab al-Qanun.
3. Kitab al-Qanun fi al-Thibb (Qanon of Medice), buku ini sangat tebal terdiridari lima bagian
(kitab). Telahditerjemahkan ke dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya dan
menjadi literatur pokok di Universitas- universitas di Eropa sampai akhir abad ke-17 dan
sampai kini menjadi manuskrif bidang kedokteran yang tersimpan rapi di perpustakaan
Birmingham, Inggris bersama dengan Kitab-kitab lainnya terutama al-Syifa.
4. Kitab al-Isyarat wa al-tanbihat, adalah kitab terakhir yang ditulis Ibn Sina, hasil dari satu
fase yang lebih independent dalam perkembanganintelektualnya. Dan buku yang palingindah
dalam ilmu hikmah. Isinyamengandung berbagai mutiara dari berbagai ahli pikir dan rahasia
yang sangat berharga yang sulit ditemui dari buku-buku lainnya. Antara lain uraiannya
mengenai logika dan hikmah serta kehidupan dan pengalaman ruhani,dicetak di Leiden pada
tahun 1892
5. Kitab Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya
maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian
logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut
Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
6. Kitab Al-Magest, buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya, bantahan
terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan
bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada
dalam satu globe.
7. Kitab De Conglutineation Lagibum, kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang membahas
tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal nama gunung. Menurutnya,
kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi
lantaran goncangan hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk
mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan
penggelembungan pada permukaan bumi, dan masih banyak kitab lainya.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya
yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar,
Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah Al-
Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah.
Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa
Persia.

B. Pemikiran dan Filsafat Ibnu Sina

Objek kajian filsafat menurut Ibnu Sina terbagi menjadi dua bagian: Pertama, filsafat
nadzariyah (ilmu teoritis) adalah bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui ma’rifat. Yang
termasuk ilmu ini adalah membahas masalah-masalah metafisika (ketuhanan), riyadhiyah
(Matematika), dan thabi’iyah (Fisika). Kedua filsafat ‘Amaliyah (Ilmu- Ilmu Praktis). Yang
termasuk bagian dari ilmu-ilmu praktis adalah: Etika (Khuluqiyah), mengatur pergaulan
keluarga dalam rumah tangga, ekonomi (Tadbir al- Manzil), mengatur pergaulan umat dalam
Negara (Tadbir al-Madinah) dan kenabian.
Di antara teori filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:
1. Teori Ontologi Wujud Ibnu Sina
Filsafat Ibn Sina yang menandai puncak filsafat paripatetik Islam,
didasarkan pada ontology, sehingga Ibn Sina disebut juga sebagai ‘filosof wujud”.
Ada tiga hukum menurut ibn Sina untuk membedakan “wujud murni” dengan
“eksistensi dunia”. Ibn Sina membuatpembedaan fundamental diantara ketiganya:
Pertama, al-Wajib al-Wujud (wujud yang wajib) adalah realitas yang harus ada,
dan tidak bisa tidak ada. Hanya ada satu realitas dan itu al-Wajib al- Wujud, yakni
Tuhan. Eksistensi Tuhan adalah Esa (wahdah), simple/simpisitas (sederhana),
harus basit (tidak tersusun baik dari unsur-unsur dan organ-organ).
Tuhan simple, artinya tidak muraqab (tersusun) dari zat dan sifat. Lalu Ibn
Sina membagi “Wajib Wujud” kepada duabagian, yaitu al-Wajib al-Wujud bi
dzatihi, dan al-Wujud al-Wujud bi ghairihi. Yang pertama adalah Tuhan ada
(maujud) karena dzatnya, maka dari Tuhan-lah berasal segala yang ada,sehingga
mustahil jika diandaikan tidak ada; yang kedua, adalah wujudnya, karena ada
sesuatu yang lain diluar dzat-Nya. Wajib adanya, karena ada yang menciptakan.
Alam misalnya, termasuk munkin bidzatihi dan wajib bi ghairihi, mungkin ada,
mungkin juga tidak ada, dilihat dari sisi dzatnya. Kedua, al-Munkin al-Wujud
menurut Ibn Sina adalah kontingensi yakni rantai wujud dan tatanan eksistensi
cosmis dan dunia yang bersifat pluralistis adalah kontingen (tergantung) kepada
al-Wajib al-Wujud. Menurutnya Wajib al-Wujuditu adalah azali, jadi Munkinal-
Wujud juga harus azali. Alam adalah kontingen jadi alam itu azali, dan yang azali
itu adalah Hayulani-nya (materi awal), ia tidak diciptakan tapi terbit dengan
sendirinya. Ketiga, al-Mumtani’ al-wujud (mustahil) adalah wujud yang tidak
mungkin.
Wujud adalah aktualitas dari essensi (mahiyyah). Hanya ada satu Zat saja
yang essensinya adalah eksistensi-Nya dan itulah Allah, wujud yang wajib adanya.
Dalam halsemua benda lainnya yang eksistensinya masih mungkin (kontingensi)
atau tidak pasti (al-munkin al-Wujud), essensinya tidak selalu menunjukan ada
dalam eksistensinya, karena dapat diperkirakanadanya essensi suatu ciptaan tanpa
mengetahui apaka ia ada atau tidak. Maka Ibn Sina berpendapat yang kemudian
diikuti oleh Fazlurrahman, bahwa Tuhan adalah wujud yang eksistensinya tak
beressensi.
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari
Ibnu Farabi. Menurut Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat
wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul
Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan
Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran:
Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak.
Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah
Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi
cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Pemikiran terpenting
yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi,
ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari
akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya
sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala
apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah
malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
2. Teori Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini.
Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian
tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir,
yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles
menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai
bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian
merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan
tentang hubungan jiwa raga.
Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi
sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang
terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bahagian :
A. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa
daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)

B. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;


1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian
- Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
- Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera
yang meliputi :
A. Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh
pancaindera,
B. Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera
bersama,
C. Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
D. Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari
materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala,
E. Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
C.Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya
-Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan. Teoritis
(theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.

Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari


ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang
berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi
jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada
kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa
penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk
dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam Al-qur’an di jelaskan
beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai
potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam
hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah
urusan filosof.
Ibnu Sina juga membuktikan bahwa jiwa adalah kekal, ia
memaklumi bahwa jiwa itu adalah makhluk yang temporal tidak ada
kecuali ada badan. Jiwa tidak mendahului badan, walaupun ia kekal
setelah badan sirna, sehingga dengan demikian jiwa diklasifikasikan
sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik
pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun
pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya,
seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas,
Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran
Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia fikir Arab sejak abad 10 M sampai akhir
abad 19 M, maupun pada filsafat scolastik Yahudi dan Masehi. Bukti-
bukti wujud jiwa juga diungkapkan Ibnu Sina dengan mengedepankan 4
dalil, yaitu:
1) Dalil psiko-fisik
2) Dalil aku dan kesatuan fenomena kejiwaan
3) Dalil kelangsungan (kontinuitas)
4) Dalil manusia terbang atau dalil manusia melayang-layang di udara
Keseimbangan jiwa
Jika berada di luar keseimbangan, maka di satu sisi ia menjadi sumber
kekerasan, serta kelemahan. Kelabilan dan kebimbangan disisi lain. Jiwa tumbuhan
berfungsi untuk membantu kita di dalam menjaga kesehatandan kekuatan tubuh kita.
Jika tidak seimbang, ia akan menjadi sumber kemalasan atau sifat hiperaktif. Jiwa
hewani ditujukan untuk memberikan kita hasrat dan dorongan untuk memberikan
pelayanan (ber-hidmat) yang bermanfaat di dalam dunia ini. Ketika dalam kondisi
tidak seimbang, jiwa hewani akan mendorong kita bersikap buruk, dengan amarah,
ketamakan dan nafsu .
Jiwa pribadi ditakdirkan untuk membimbing kita, menyediakan kecerdasan
yang diperlukan untuk memahami diri kita sendiri dan dunia di sekeliling kita. Jiwa
pribadi juga tempat ego. Kita memiliki ego positif dan ego negatif. Ego positif
mengatur kecerdasan kita dan memberikan kepekaan terhadap diri kita sendiri . Disisi
lain ego negatif memberikan tekanan untuk bersikap egois, angkuh, dan merasa
terpisah dari manusia lainnya dan Tuhan. Ia musuh yang akan merusak pandangan kita
dan mencemari relasi kita dengan dunia dan Tuhan.
Jiwa insani terletak di dalam qalb, yakni hati spiritual. Jiwa Rahasia adalah
kesadaranbatiniah, kebebasan penuh dan kearifan. Terletak di hati batiniah. Jiwa inilah
yang mengetahui dari mana ia datang dan kemana ia pergi. Jiwa Maharahasia adalah
jiwa yang tidak mengenal istilah ketidakseimbangan. Karena ia adalah percikan Ilahi.
Jiwa ini melampaui pemahaman manusia dan melapaui batasan jiwa lainnya.

3. Teori Filsafat Tentang Ke-Nabian


Pendapat Ibnu Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Daya yang ada
pada pada akal materiil seperti ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan,
dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang seperti ini mempunyai daya
suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya
pada nabi-nabi.
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi
adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki
akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof
mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat
macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian,
diantaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan
akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
- Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
- Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk
berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah
sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan
upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang
sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu
fa’aala).

Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang
identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah
dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian,
pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang
pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.

C. Agama dan Filsafat, Ketuhanan dan Emanasi


Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan wajib al-
wujud dan mumkin al-Wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Akan tetapi, dalam filsafat
wujudnya, bahwa segala yang ada di bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi
tersendiri sebagai berikut.
Wajib al-wujud
esensi yang tidak bisa dipisahkan dari wujud keduanya adalah sama dan satu.
Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti
berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib
al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah wujudnya
dengan sabab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua ialah
wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal
ini Allah termasuk pada yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar)
Mumkin al-Wujud
esensi yang boleh mempunayi wujud dan boleh pula tidak berwujud, dengan istilah
lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni
boleh ada dan boleh tidak ada. Mumkin al-Wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak
mesti ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujud bi
lidzatihi. Ia pun dapat pula dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-
wujud bi lidzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang
ada, selain Allah.
Mumtani’ al-Wujud
esensi yang tidak dapat mempnyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos
lin di samping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari dalil dengan salah
satu mahluknya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni Wajib al-wujud
yang memerlukan sesuatu sebab yang mengeluarkannya menjadi wujud kerena wujudnya
tidak dari zatnya sendiri.
Dengan demikian dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) tidak memerlukan
pada perenungan terhadap wujud itu sendiri tanpa memerlukan wujud-Nya dengan salah
satu mahluk-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap, dan
sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Quran dalam al-
Fuhshilat 53. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-
Quran itu adalah benar.”
Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya
saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran
Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal
ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah langit
dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga
semua planetnya.
Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena
berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena
al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan
kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-
mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan
kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal yang
lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena
merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal
pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan
atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan.
Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya
dari yang mengingini.
Emanasi Menurut Platinus
Istilah pemancaran atau emanasi sejalan dengan para pendahulunya. Ibnu Sina juga
terpengaruh oleh para filsuf Yunani, terutama Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari
yang satu muncul keberagaman dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama
memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya hingga mencapai akal
sepuluh dan bumi. Dari akal sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang berada di
bawah bulan. Akal pertama adalah adalah malaikat tertinggi dan akal sepuluh adalah jibril.
Jika Konsep akal Farabian memiliki dua obyek pemikiran, yaitu berfikir mengenai
Tuhan sebagai wujud pertama dan berfikir tentang dirinya sendiri, lain halnya dengan
konsep Ibnu Sina yang memiliki tiga obyek perenungan. Akal pertama yang mempunyai
dua sifat, yaitu wajib al-Wujud lighairihi sebagai pancaran dari
Tuhan, dan mumkin al-wujud lizatihi apabila ditinjau dari hakikat dirinya. Akal
pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Tuhan, dirinya sendiri sebagaimana
wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mumkin wujudnya, ketika akal memikirkan Tuhan
akan timbul akal-akal yang lainnya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berfikir tentang
dirinya sebagai mumkin wujudnya sebagai langit-langit. Jadi, akal pertama melimpahkan
tiga wujud : akal kedua, jiwa pertama, dan langit tempat fixed stars. Kemudian, filsafat
Plotinus yang berprinsip bahwa Dari yang satu hanya satu yang melimpah”. hal ini
diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi.
Hal ini memungkinkan karena dalam Al-Quran tidak ditemukan informasi yang rinci
tentang penciptaan alam materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namn hasil dan
tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, Yang Esa menurut Plotinus sebagai
penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta (Shani, agent) yang aktif. Dia
menciptakan alam materi yang sudah ada secara pancaran.

D. Keteladanan Ibnu sina


Pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa..
Ibn Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera
membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya dan menjadi seorang anak yang
luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun
dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika,
dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata
pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda. Meskipun bermasalah besar
pada masalah – masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk
satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak
rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku –
bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah
menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan
belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan
meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat
puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata – katanya
tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak mudah dipahami, sampai suatu hari mereka
menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu toko buku
bekas seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada
penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat
untuk berterima kasih kepada Allah SWT.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran,
tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan
metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang
fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit
ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh
kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien,
menggunakan obat – obat yang sesuai.” Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan
cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-
Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat
mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa
mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka
orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut
Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan
adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul
wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Agama dan filsafat adalah objeknya sedangkan filosof yang membicarakan tentang
Ketuhanan adalah subyeknya yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula
sesuai dengan keadaan pada masa itu. wajar saja jika agama dan filsafat mampu di rekonsiliasi
sementara Filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak belakang. Hal ini
disebabkan makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak dapat dipungkiri ada
pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani.
DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999


Dahlan, Abdul Azis, Filsafat” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2
Jilid. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi,
1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002
Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004

Anda mungkin juga menyukai