SINA
Abstrak
Ibnu Sina merupakan filosof Muslim penting yang membangun teori Kenabian dengan
risalahnya Itsbatal-Nubuwat. Dia menandai puncak falsafah Islam dengan pemikirannya
tentang falsafah paripatetik, yang dikenal sebagai Masya’i, yaitu filsafat sinkretis (sintetis
dari ajaran-ajaran Wahyu, Islam, Aristotelianisme dan Neoplatonisme).
Sebagaimana filosofis lainnya, Ibnu Sina merupakan filosof Muslim yang oleh sebagian
orang dikritisi hanya sebagai duplikasi dari Hellenisme (filsafat Yunani), yang tidak
mencerminkan pemikiran Islam. Padahal mereka yang melahirkan filsafat Islam dan
berupaya serta berhasil memadukan wahyu dengan akal, akidah dengan hikmah, agama
dengan filsafat.Yang menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan
dengan akal.
Ibnu Sina membuat pemikiran final tentang Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan
Neoplatonisme menjadi sebuah dimensi intelektual yang permanen dalam dunia Islam dan
bertahan sebagai ajaran filsafat yang hidup sampai hari ini. Ibnu Sina adalah penggali
filsafat yang sempurna dan penerjemah abadi filsafat paripatetik yang menunjukkan sampai
ke pintu gerbang filsafat teosofi iluminasi yang menandakan penyatuan filsafat dan spiritual.
Kata
Kunci
Ibnu Sina, Pemikiran, Filsafat Islam
Abstract
Ibn Sina is an important Muslim philosopher who built the theory of Prophethood with his treatise
Itsbatal-Nubuwat. He marked the pinnacle of Islamic philosophy with his thoughts on paripatetic
philosophy, known as Masya'i, namely syncretic philosophy (synthetic from the teachings of
Revelation, Islam, Aristotelianism and Neoplatonism).
Like other philosophers, Ibn Sina is a Muslim philosopher who is criticized by some as only a
duplication of Hellenism (Greek philosophy), which does not reflect Islamic thought. Even though
they gave birth to Islamic philosophy and tried and succeeded in combining revelation with reason,
faith and wisdom, religion and philosophy. Which explains to people that revelation does not
conflict with reason.
Ibn Sina made the final thoughts on Islam with the philosophy of Aristotelianism and Neoplatonism
a permanent intellectual dimension in the Islamic world and survives as a living philosophical
teaching to this day. Avicenna is a consummate digger of philosophy and eternal translator of
paripatetic philosophy which points to the gates of the philosophy of theosophy of illumination
which signifies the union of philosophy and spirituality.
Pendahuluan
Ibnu Sina merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang lahir di
jaman keemasan Peradaban Islam. Pada jaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim banyak
menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Dan dinamika pemikiran
dalam dunia Islam tetap berkembang sampai sekarang. Kenyataan ini dimungkinkan terjadi
berkat doktrin yang menghargai akal setinggi mungkin sebagai salah satu sumber pengetahuan
dan kebenaran. Menurut Ibnu Sina, jiwa merupakan satu kesatuan dan memiliki wujud sendiri.
Jiwa nihil sebagai fungsi-fungsi fisikan dan tugasnya ialah untuk berfikir dalam rangka ini,
jiwa memerlukan tubuh. Pada mulanya tubuh menolong jiwa manusia untuk berfikir. Namun,
jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan maka sebaliknya, tubuh hanya akan menjadi
penghalang bagi jiwa untuk berkembang. Karena jiwa merupakan satu unit sendiri yang
terlepas dari badan. Inilah sebagian pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dasar ajaran
filsafatnya.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik. Ia adalah satu - satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu
sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Dialah yang mencatat
dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya. Dunia
Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina, namun di kalangan orang-orang Barat, ia dikenal
dengan panggilan Avicenna.
1) Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles
tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani
kemudiannya.
2) Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi
kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
3) Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen -
elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang
aritmetika dan ilmu musik.
2. Kitab al-Najat, atau Kitab Penyelamat adalah ringkasan kitab al-Syifa, karyaini jauh lebih
banyak dibaca daripada al-Syifa, dan ditulis bagi orang-orang terpelajar yang ingin
mengetahui dan memahami dengan lengkap dasar-dasar ilmu hikmah. Pada tahun 1331 M.
untuk pertama kalinya buku ini dicetak di Mesir, dan di Roma pada tahun 1593 M
bersamaan dengan kitab al-Qanun.
3. Kitab al-Qanun fi al-Thibb (Qanon of Medice), buku ini sangat tebal terdiridari lima bagian
(kitab). Telahditerjemahkan ke dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya dan
menjadi literatur pokok di Universitas- universitas di Eropa sampai akhir abad ke-17 dan
sampai kini menjadi manuskrif bidang kedokteran yang tersimpan rapi di perpustakaan
Birmingham, Inggris bersama dengan Kitab-kitab lainnya terutama al-Syifa.
4. Kitab al-Isyarat wa al-tanbihat, adalah kitab terakhir yang ditulis Ibn Sina, hasil dari satu
fase yang lebih independent dalam perkembanganintelektualnya. Dan buku yang palingindah
dalam ilmu hikmah. Isinyamengandung berbagai mutiara dari berbagai ahli pikir dan rahasia
yang sangat berharga yang sulit ditemui dari buku-buku lainnya. Antara lain uraiannya
mengenai logika dan hikmah serta kehidupan dan pengalaman ruhani,dicetak di Leiden pada
tahun 1892
5. Kitab Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya
maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian
logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut
Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
6. Kitab Al-Magest, buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya, bantahan
terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan
bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada
dalam satu globe.
7. Kitab De Conglutineation Lagibum, kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang membahas
tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal nama gunung. Menurutnya,
kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi
lantaran goncangan hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk
mengalir. Proses itu mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan
penggelembungan pada permukaan bumi, dan masih banyak kitab lainya.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya
yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar,
Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah Al-
Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah.
Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa
Persia.
Objek kajian filsafat menurut Ibnu Sina terbagi menjadi dua bagian: Pertama, filsafat
nadzariyah (ilmu teoritis) adalah bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui ma’rifat. Yang
termasuk ilmu ini adalah membahas masalah-masalah metafisika (ketuhanan), riyadhiyah
(Matematika), dan thabi’iyah (Fisika). Kedua filsafat ‘Amaliyah (Ilmu- Ilmu Praktis). Yang
termasuk bagian dari ilmu-ilmu praktis adalah: Etika (Khuluqiyah), mengatur pergaulan
keluarga dalam rumah tangga, ekonomi (Tadbir al- Manzil), mengatur pergaulan umat dalam
Negara (Tadbir al-Madinah) dan kenabian.
Di antara teori filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:
1. Teori Ontologi Wujud Ibnu Sina
Filsafat Ibn Sina yang menandai puncak filsafat paripatetik Islam,
didasarkan pada ontology, sehingga Ibn Sina disebut juga sebagai ‘filosof wujud”.
Ada tiga hukum menurut ibn Sina untuk membedakan “wujud murni” dengan
“eksistensi dunia”. Ibn Sina membuatpembedaan fundamental diantara ketiganya:
Pertama, al-Wajib al-Wujud (wujud yang wajib) adalah realitas yang harus ada,
dan tidak bisa tidak ada. Hanya ada satu realitas dan itu al-Wajib al- Wujud, yakni
Tuhan. Eksistensi Tuhan adalah Esa (wahdah), simple/simpisitas (sederhana),
harus basit (tidak tersusun baik dari unsur-unsur dan organ-organ).
Tuhan simple, artinya tidak muraqab (tersusun) dari zat dan sifat. Lalu Ibn
Sina membagi “Wajib Wujud” kepada duabagian, yaitu al-Wajib al-Wujud bi
dzatihi, dan al-Wujud al-Wujud bi ghairihi. Yang pertama adalah Tuhan ada
(maujud) karena dzatnya, maka dari Tuhan-lah berasal segala yang ada,sehingga
mustahil jika diandaikan tidak ada; yang kedua, adalah wujudnya, karena ada
sesuatu yang lain diluar dzat-Nya. Wajib adanya, karena ada yang menciptakan.
Alam misalnya, termasuk munkin bidzatihi dan wajib bi ghairihi, mungkin ada,
mungkin juga tidak ada, dilihat dari sisi dzatnya. Kedua, al-Munkin al-Wujud
menurut Ibn Sina adalah kontingensi yakni rantai wujud dan tatanan eksistensi
cosmis dan dunia yang bersifat pluralistis adalah kontingen (tergantung) kepada
al-Wajib al-Wujud. Menurutnya Wajib al-Wujuditu adalah azali, jadi Munkinal-
Wujud juga harus azali. Alam adalah kontingen jadi alam itu azali, dan yang azali
itu adalah Hayulani-nya (materi awal), ia tidak diciptakan tapi terbit dengan
sendirinya. Ketiga, al-Mumtani’ al-wujud (mustahil) adalah wujud yang tidak
mungkin.
Wujud adalah aktualitas dari essensi (mahiyyah). Hanya ada satu Zat saja
yang essensinya adalah eksistensi-Nya dan itulah Allah, wujud yang wajib adanya.
Dalam halsemua benda lainnya yang eksistensinya masih mungkin (kontingensi)
atau tidak pasti (al-munkin al-Wujud), essensinya tidak selalu menunjukan ada
dalam eksistensinya, karena dapat diperkirakanadanya essensi suatu ciptaan tanpa
mengetahui apaka ia ada atau tidak. Maka Ibn Sina berpendapat yang kemudian
diikuti oleh Fazlurrahman, bahwa Tuhan adalah wujud yang eksistensinya tak
beressensi.
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari
Ibnu Farabi. Menurut Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat
wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul
Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan
Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran:
Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak.
Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah
Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi
cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Pemikiran terpenting
yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi,
ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari
akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya
sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala
apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah
malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
2. Teori Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini.
Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian
tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir,
yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles
menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai
bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian
merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan
tentang hubungan jiwa raga.
Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi
sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang
terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bahagian :
A. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa
daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang
identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah
dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian,
pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang
pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-
Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat
mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa
mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang
berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka
orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut
Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan
adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul
wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Agama dan filsafat adalah objeknya sedangkan filosof yang membicarakan tentang
Ketuhanan adalah subyeknya yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula
sesuai dengan keadaan pada masa itu. wajar saja jika agama dan filsafat mampu di rekonsiliasi
sementara Filosof yang membicarakan tentang Ketuhanan bertolak belakang. Hal ini
disebabkan makin maju dan berkembangnya zaman. walau tidak dapat dipungkiri ada
pengaruh pemikiran filosof pada masa Yunani.
DAFTAR PUSTAKA