Anda di halaman 1dari 15

Tauhid Jalan Kebahagiaan dan Keberkahan di

Dunia dan Akhirat | Almanhaj


35-45 minutes

TAUHID, JALAN KEBAHAGIAAN DAN KEBERKAHAN DI DUNIA DAN AKHIRAT


Oleh
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Sesungguhnya negeri ini adalah negeri yang pantas dibanggakan, karena Indonesia adalah
negeri terbesar jika ditinjau dari jumlah penduduknya yang beragama Islam. Hal lain yang
pantas untuk dibanggakan juga adalah mayoritas kaum Muslimin ini masuk Islam melalui
kelembutan dan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, perangai mereka merupakan cerminan
yang sangat dirasakan oleh setiap pengunjung negeri ini.
Dengan taufiq Allâh Azza wa Jalla , kajian pada hari ini di tempat yang mulia ini (di masjid
Istiqlal) bertepatan dengan momen penting kenegaraan yaitu peringatan hari kemerdekaan
bangsa Indonesia. Meskipun kita tidak sengaja menjadikan waktu pengajian ini bertepatan
dengan momen kenegaraan ini, akan tetapi semua ini terjadi karena kehendak Allâh Azza wa
Jalla dan Allâh Azza wa Jalla tidak menakdirkan sesuatu kecuali baik bagi para hamba-Nya.
Hari kemerdekaan ini bagi masyarakat Indonesia merupakan hari yang selayaknya dijadikan
hari bergembira, karena pada hari itu, kaum Muslimin terbebas dari penindasan dan
perbudakan kaum penjajah. Semua itu wajib disyukuri dengan rasa syukur yang kita haturkan
kepada Allâh Azza wa Jalla . Tentunya rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla ini harus kita
perbaharui terus-menerus, karena Dia Azza wa Jalla telah menganugerahkan nikmat yang
sangat agung kepada penduduk negeri ini. Yaitu, nikmat merdeka dalam urusan agama,
bernegara dan mengatur segala sumber alam dan kehidupan rakyatnya.
Cara Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Indonesia
Mensyukuri nikmatkemerdekaan dengan cara bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla Dzat
yang memberikan dan menganugerahkan nikmat tersebut kepada kita. Caranya dengan
menunaikan ibadah yang benar kepada-Nya, merendahkan diri di hadapan keagungan-Nya
dengan mentauhidkan Allâh, istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, dan juga dengan
mengikuti sunnah Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Inilah kemerdekaan yang sejati. Di dalamnya, kita merdeka (bebas) dari semua kebiasaan
kita yang tidak sejalan dengan ajaran agama dandari tradisi-tradisi yang kita warisi dari
nenek moyang yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan diridari perbudakan hawa nafsu dan semua yang
menyelisihi ridha Allâh Azza wa Jalla . Bukan hanya sebatas merayakan hari atau momen
penting yang berlalu begitu saja tanpa mendatangkan faidah. Tentunya perkara seperti ini
tidak diinginkan oleh seorang Muslim terjadi pada dirinya dan pada orang lain juga. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kita dalam sebuah hadits shahih.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ‫ِﮫ‬
‫ﻔﺴ‬#‫ِﻨ‬‫ﮫ ﻟ‬Q
‫ﺤِﺒ‬9‫ِ ﻣﺎ ﯾ‬
‫ﮫ‬#‫* ِﻷﺧِﯿ‬ ‫*ﻰ ﯾ‬
‫ﺤِﺐ‬9 ‫ﻢ‬9
‫ ﺣﺘ‬# 9‫ أﺣ‬9
‫ﺪﻛ‬ ‫ِﻦ‬‫ﻣ‬#
‫ﺆ‬9‫ِﻼ ﯾ‬
‫ﺪھ‬ِ‫ِﯿ‬ ‫ﺴ‬#
‫ ﺑ‬#‫ِﻲ‬ ‫ ﻧﻔ‬#‫ِي‬ * ‫و‬
‫اﻟﺬ‬
Demi Allâh yang jiwaku ada di tangan-Nya! Sungguh tidaklah sempurna keimanan salah
seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai
untuk dirinya sendiri.
Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya dengan mengetahui keesaan Allâh Azza wa Jalla
(tauhid), beriman kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Inilah yang pasti mendatangkan kebaikan untuk diri kita dan mendatangkan ketentraman
bagi masyarakat sekitar kita serta memajukan umat manusia.
Sesungguhnya mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam rubûbiyah-Nya, ulûhiyah-Nya dan
dalam Nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, adalah
pondasi kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebenaran pernyataan ini ditunjukkan oleh
banyak dalil, baik dalam al-Qur`ân maupun dalam Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Diantaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
‫ن‬#
‫ﺪو‬9‫ﺘ‬# Q#
‫ﻣﮭ‬ ‫ھﻢ‬9‫ و‬9
‫ﻦ‬# # 9
‫اﻻﻣ‬ ‫ﮭﻢ‬
9‫`ﻚ ﻟ‬ ۤU 9
‫وﻟى‬ ‫ٍا‬ #9
‫ﻠﻢ‬‫ِﻈ‬‫ﺑ‬#‫ﮭﻢ‬9‫ﻤﺎﻧ‬#‫ِﯾ‬
‫ٓا ا‬ #‫ ﯾ‬#
‫ﻮ‬9‫ﻠﺒِﺴ‬
# ‫ﻮ‬9
‫ا وﻟﻢ‬# ‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬#ِ‫ا*ﻟ‬
‫ﺬﯾ‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Keamanan yang di maksud adalah rasa aman di dunia dan akhirat. Keamanan di dunia
dengan jiwa yang ridha dan diridhai (oleh Allâh Azza wa Jalla ), jiwa yang bersih lagi
bertakwa. Sedangkan rasa aman yang didapat di surga Allâh Azza wa Jalla , bersama para
Nabi, para shiddîqîn, para syuhada dan para shalihin. Sungguh, mereka adalah sebaik-baik
teman. Adakah kebahagiaan yang lebih berharga dibandingkan ini semua?!. Apakah ada
anugerah yang lebih tinggi dan utama dari anugerah tersebut?!. Itulah anugerah dari Allâh
Maha Mulia, Yang Maha Dermawan, Yang Maha Memberikan segala sesuatu.
Siapakah sejatinya orang yang beriman (dalam ayat di atas)? Mereka adalah orang-orang
yang beriman, beramal shaleh, yang betul-betul mengetahui apa yang telah Allâh Azza wa
Jalla wajibkan atas diri mereka lalu mereka memeganginya, melaksanakannya dan
mendakwahkannya.
Keimanan bukanlah satu perkara yang terbetik di dalam hati atau pikiran tanpa wujud nyata,
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli filsafat dan pengikut hawa nafsu. Akan tetapi, iman
yang benar mencakup ilmu, perbuatan dan keyakinan. Itulah iman yang dipahami oleh Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Iman itu adalah mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan
anggota badan dan meyakini dengan hati. Keimanan ini bisa bertambah dengan sebab
menjalankan ketaatan kepada ar-Rahmân (Allâh Azza wa Jalla) dan bisa berkurang dengan
sebab menaati syaitan. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah dalam masalah iman. Inilah keyakinan
para pendahulu umat Islam dalam memahami iman.
Keimanan itu sesuatu yang benar-benar ada dalam hati dan memberi pengaruh pada
anggota badan, hati, ucapan dan perbuatan. Inilah keimanan yang dijadikan panggilan Allâh
kepada pemiliknya dalam firman-Nya:
‫ٓا‬‫ﻮ‬9
# ‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬#
‫ﺬﯾ‬ * ‫ﯾﮭﺎ‬
ِ‫اﻟ‬ Q‫ﯾﺎ‬ٓ
U

Wahai orang-orang yang beriman…


Orang-orang yang seperti inilah yang akan diberi balasan oleh Allâh Azza wa Jalla (dengan
keimanan mereka) :
‫ﱣ‬ * *
‫ﻻ‬l9
‫ﻧﺰ‬9 ‫س‬#
ِ ‫دو‬# ‫ِﺮ‬ # 9
‫اﻟﻔ‬ ‫ ﺟﻨﺖ‬#
‫ﮭﻢ‬9‫ ﻟ‬#
‫ﺖِ ﻛﺎﻧﺖ‬U ‫ﱣﻠ‬
‫ِﺤ‬ ‫ِﻠﻮا اﻟﺼ‬9‫ا وﻋﻤ‬#‫ﻮ‬9‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬# ِ‫اﻟ‬
‫ﺬﯾ‬ ‫ِن‬
‫ا‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga
Firdaus menjadi tempat tinggal [Al-Kahfi/18:107]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dalam ayat-ayat al-Qur`antentang balasan bagi orang-
orang yang beriman dan berbagai kebaikan serta keberkahan yang dipersiapkan buat
mereka di dunia dan akhirat.
Kandungan kalimat tauhid Lâ ilâha illa Allâh yang terdiri dari nafi (penafian) dan itsbât
(penetapan) telah diisyaratkan oleh ayat di atas (QS. Al-An’âm/7:82).Sehingga pengertian
Lâ ilâha illa Allâh adalah menafikan semua sesembahan yang tidak berhak disembah (yang
batil), agar seluruh ibadah yang murni hanya diperuntukkan bagi Allâh Azza wa Jalla saja.
Oleh karena itu, pengertian yang benar dari kalimat tauhid Lâ ilâha illa Allâh adalah tidak
ada yang berhak diibadahi dengan haqkecuali Allâh. Setiap ibadah kepada selain Allâh Azza
wa Jalla adalah batil dan setiap yang diibadahi selain Allâh adalah batil, bila orang tersebut
ridha untuk disembah.
Hakikat ini telah disebutkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla :
‫ﻮ‬9
‫ا‬# ‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬#ِ‫ا*ﻟ‬
‫ﺬﯾ‬
Orang-orang yang beriman , ini memuat itsbât (penetapan).
Sedangkan, firman-Nya:
‫ﻠﻢ‬#9‫ِﻈ‬
‫ﺑ‬#‫ﮭﻢ‬ ‫ِﯾ‬
9‫ﻤﺎﻧ‬#‫ٓا ا‬ #‫ ﯾ‬#
‫ﻮ‬9‫ﻠﺒِﺴ‬
# ‫وﻟﻢ‬
ٍ
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik).
Ini adalah nafi (penafian) yang memuat larangan berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla
.
Kemudian kezhaliman yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah perbuatan zhalim seperti yang
dilakukan oleh saya, Anda atau orang ini dan orang itu. (Bukan!). Para Shahabat telah
mendengar ayat yang mulia ini, kemudian mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, siapakah
diantara kita yang tidak pernah menzhalimi dirinya sendiri?” Lalu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian dengar perkataan hamba yang shalih, Luqmân
kepada putranya:
‫ﻢ‬#
t ‫ِﯿ‬
‫ ﻋﻈ‬t
‫ﻠﻢ‬#9‫ك ﻟﻈ‬#
‫ﺮ‬o‫* اﻟﺸ‬
ِ ‫ِن‬
‫ا‬
Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang
besar.[Luqmaan/31:13].
Maka, yang dimaksud perbuatan zhalim dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik
(menyekutukan) Allâh Azza wa Jalla. Perbuatan syirik ini merupakan sebesar-besarnya
kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
‫ﻢ‬#
t ‫ِﯿ‬
‫ ﻋﻈ‬t
‫ﻠﻢ‬#9‫ك ﻟﻈ‬#
‫ﺮ‬o
ِ‫* اﻟﺸ‬
‫ِن‬‫ا‬
Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
(Luqmân/31:13). Juga berfirman:
‫ﱣ‬
‫ن‬#
‫ﻤﻮ‬9ِ
‫ اﻟﻈﻠ‬9
‫ھﻢ‬9 ‫ن‬#
‫و‬9 ‫ﻔ‬U‫اﻟﻜ‬
‫ِﺮ‬ # ‫و‬

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim [Al-Baqarah/2:254].


Tidak ada perbuatan zhalim yang lebih besar daripada kezhaliman dengan beribadah kepada
selain Allâh Azza wa Jalla, atau mengarahkan sebagian bentuk ibadah kepada selain-Nya!
Padahal dalam al-Qur`ân, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
U ۚ ۙ
‫ِﻚ‬‫ِﺬﻟ‬‫ﮫ ◌وﺑ‬
ٗ‫ﻚ ﻟ‬#‫ِﯾ‬
‫ ﻻ ﺷﺮ‬١٦٢ ‫ﻦ‬#‫ِﯿ‬ ‫ﻠﻤ‬U # ِo
‫اﻟﻌ‬ ‫ِﻲ ِﱣ‬
‫|ِ رب‬ # ‫ﯿﺎي وﻣﻤﺎﺗ‬#‫ وﻣﺤ‬#‫ِﻲ‬ 9‫ِﻲ و‬
‫ﻜ‬9‫ﻧﺴ‬ # ‫* ﺻﻼﺗ‬
‫ِن‬ ‫ﻗﻞ‬9
‫ا‬#
‫ِﯿ‬
‫ﻦ‬# ‫ِﻤ‬
‫ﻠ‬#‫ﺴ‬9 # 9
‫اﻟﻤ‬ ‫۠ او‬
‫*ل‬ ‫ واﻧﺎ‬9
‫ت‬# ‫ﻣ‬9
‫ِﺮ‬ ‫ا‬
Katakanlah, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh,
Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-
An’am/6:162-163]
Maksudnya, aku adalah orang yang pertama berserah-diri untuk melaksanakan perintah-
perintah Rabbul ‘alamin. Aku tidak mendurhakainya, aku tidak akan beribadah kepada
selain-Nya, dan aku tidak menaati selain Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya ibadah yang benar hanyalah dilakukan bagi Allâh. Mengapa ibadah-ibadah
seperti doa, istighatsah, nadzar atau mengharapkan pertolongan dan bantuan, rasa
raghbah dan rahbah ini atau sebagiannya diarahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla ?!.
Anda sebagai orang Muslim yang mengucapkan dalam shalatmu, atau mendengarkan imam
yang tengah membaca:
ۗ
9
‫ﻦ‬#‫ِﯿ‬ *ِ
‫ﺘﻌ‬#‫ﯾﺎك ﻧﺴ‬ 99
‫ﺪ وا‬‫ﺒ‬# *ِ
‫ﯾﺎك ﻧﻌ‬‫ا‬
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan [Al-Fâtihah/1:5]
Maksudnya, kita beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon pertolongan
hanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Sementara itu, amat disayangkan, kita masih
menyaksikan sebagian kaum Muslimin yang senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan
memalingkan ibadah dari Allâh Azza wa Jalla . Kalau begitu berarti mereka telah melanggar
apa yang telah mereka ikrarkan dalam ucapan mereka tersebut. Ucapan yang merupakan
firman Allâh, kalâmullâh dan terdapat dalam surat paling agung dalam al-Qur`ân, yaitu
surah Al-Fâtihah yang senantiasa kita ikrarkan dan kita baca berulang-ulang dengan penuh
ketundukan kepada keagungan Allâh, keimanan kepada-Nya dan berserah diri terhadap
perintah-perintah-Nya, serta mengikrarkan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allâh Tabâraka wa Ta’âla.
Sungguh benar, itu adalah kebahagiaan yang sangat besar yang Allâh Azza wa
Jalla karuniakan kepada ahli tauhid, dengan memenuhi kalbu mereka dengan keimanan,
menyelimuti kepala mereka dengan kedamaian, dan memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan rasa
ketenangan, sehingga mereka betul-betul dapat melakukan tugas besar dan kewajiban
beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengajak orang lain untuk menunaikan ibadah
tersebut.
Allâh berfirman:
۠
‫ٓ اﻧﺎ‬ ‫ﻦ ﱣ‬U
‫ا|ِ وﻣﺎ‬ ‫ﺤ‬#
‫ﺒ‬9‫ۗوﺳ‬
◌ #‫ِﻲ‬ * ‫۠ وﻣﻦ‬
‫اﺗﺒﻌﻨ‬ ِ ‫ٍ اﻧﺎ‬ ‫ِﯿ‬
‫ﺮة‬# U‫ۗﻋ‬
‫ﻠﻰ ﺑﺼ‬ ‫ِﻟﻰ ﱣ‬
◌ ِ|‫ا‬ ‫ٓا ا‬
#
‫ﻮ‬9 #‫ِﻲ ا‬
‫دﻋ‬ # ‫ﻠ‬#‫ٖ ﺳﺒِﯿ‬
‫ﺬه‬ U#
ِ‫ھ‬ ‫ﻗﻞ‬9
ٓ # #
‫ﻦ‬#‫ِﯿ‬‫ِﻛ‬
‫ﺸﺮ‬9‫ِﻦ اﻟﻤ‬‫ﻣ‬
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak(kamu) kepada Allâh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allâh, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108]
Ayat yang mulia Ini adalah nash Qur`âni, yang seharusnya menjadi penghias lisan setiap
Mukmin yang telah merasakan kebahagiaan dan manisnya kehidupan. Hal ini sebagaimana
telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
t
ِ‫ﻤﺎن‬#
# ‫ِﮭﻦ ﺣﻼوة‬
‫ِﯾ‬
‫اﻹ‬ ِ‫ِ وﺟﺪ ﺑ‬
‫ﮫ‬# ‫*ﻓ‬
‫ِﯿ‬ ‫ﻦ‬9
‫ﻛ‬#‫ﺛﻼث ﻣﻦ‬
Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka ia akan merasakan manisnya
iman [Muttafaqun ‘alaih].
Manisnya keimanan merupakan bentuk kebahagiaan yang sangat besar, yang dinikmati
seorang Mukmin dalam kehidupan ini, walaupun hidup sebagai rakyat jelata, dalam keadaan
fakir, ataupun tengah sakit, namun kebahagiaan memenuhi jiwa dan hatinya.
Mari lihat kembali Firman Allâh yang terdapat dalam Surah Al-Fâtihah juga:
‫ِﻢ‬
# ‫ﮭ‬#
‫ﺖ ﻋﻠﯿ‬# #‫ﻦ ا‬#
‫ﻧﻌﻤ‬ ‫ﺬﯾ‬ * ‫ِﺮاط‬
ِ‫اﻟ‬ ‫ﺻ‬٦ ۙ
◌ ‫ﻢ‬#‫ِﯿ‬
‫ﺘﻘ‬#‫ﺴ‬9 # ‫ِﺮاط‬
‫اﻟﻤ‬ ‫ِﻧﺎ اﻟﺼ‬
o ‫ھﺪ‬#ِ
‫ا‬
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka [Al-Fâtihah/1:6-7]
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat kepada mereka berupa nikmat keimanan dan
tauhid yang menjadi landasan kebahagiaan besar mereka di dunia dan keselamatan mereka
yang besar di sisi Allâh Azza wa Jalla pada Hari Kiamat.
Kita lihat bagaimana keadaan para nabi. Ada seorang nabi berdakwah sementara tidak ada
yang mengikuti dakwah mereka kecuali satu atau dua orang. Ada di antara mereka yang
tidak memiliki pengikut yang beriman kepadanya sama sekali. Bahkan ada diantara para nabi
yang dibunuh oleh musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Ada di antara mereka, Nabi Nuh
Alaihissallam, yang telah berdakwah selama 950 tahun, akan tetapi tidak ada yang
menyambut dakwah beliau kecuali sedikit saja.
Demikianlah keadaan para nabi, kendati demikian, kebahagiaan tidak pernah meninggalkan
hati, akal dan jiwa mereka. Sebab, mereka berdiri tengak di atas kekayaan yang amat besar
dan kebaikan yang melimpah, yaitu keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengamalkan
apa yang diperintahkan oleh tauhid.
Kezhaliman yang di dalam ayat mulia ini merupakan tindakan kesyirikan kepada Allâh, yang
Allâh menafikannya dari seorang Mukmin, dan melarang mereka untuk menyentuh atau
melakukannya, namun, umat Islam tidak bisa begitu saja selamat darinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan :
9#
‫ﻞ‬#
ِ ‫*ﻤ‬
‫ﺐِ اﻟﻨ‬#
‫ِﯿ‬‫ دﺑ‬#
‫ِﻦ‬‫ﻔﻰ ﻣ‬#
‫ِ أﺧ‬
‫ﻣﺔ‬*‫اﻷ‬ ِ
‫ﺬه‬ ‫ﻓ‬9
ِ‫ِﻲ ھ‬ ‫ﺮ‬o
‫ك‬#ِ‫اﻟﺸ‬
Sesungguhnya kesyirikan di tengah umat ini lebih lembut dari jalannya seekor semut.
Demikian pulaNabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
9
ِ
‫اﻟﺨﻠﺼﺔ‬ # #‫ِي‬‫ل ذ‬# ‫سٍ ﺣﻮ‬# ِ‫ِﺴﺎ‬
‫ء دو‬ ‫ﻧ‬9‫ِب أﻟﯿﺎت‬ ‫*ﻰ ﺗﻀ‬
‫ﻄﺮ‬# ‫ اﻟﺴ*ﺎﻋﺔ ﺣﺘ‬9
‫م‬# 9‫ﻻ ﺗ‬
‫ﻘﻮ‬
Hari Kiamat itu tidak akan terjadi hingga pantat-pantat wanita suku Daus berjoget di sekitar
Dzilkhalashah. Dzil khalashah adalah satu berhala yang dahulu disembah oleh mereka pada
masa Jahiliyah. [HR. al-Bukhari no.7116]
Disini, Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa kejadian itu (syirik)
akan kembali terjadi dan suatu jenis kesyirikan akan kembali ke tengah umat. Hal ini menuntut
kita untuk waspada dan hati-hati, dan memurnikan tauhid serta menanamkan aqidah yang
benar lagi bersih dengan kuat dalam hati kita, ucapan-ucapan kita, perbuatan-perbuatan
kita. Hendaknya kita ekstra hati-hati dan mengingatkan diri kita dan masyarakat sekitar kita,
keluarga besar kita, anak-istri dan siapa saja yang menjadi tanggung-jawab kita, serta para
pemangku urusan kita. Kita bersama mereka mesti saling menasehati dalam kebaikan dan
kesabaran, dan saling berpesan dengan mereka dengan nasehat yang tulus, yang tujuannya
hanyalah mengharap mereka memperoleh hidayah dan mendapatkan kebaikan di dunia dan
akhirat.
Dalam dua hadits ini terdapat isyarat yang sangat jelas dan pernyataan yang amat kuat,
bahwasanya syirik dengan dua jenisnya akan menimpa individu-individu dari umat Islam,
baik berjumlah banyak maupun sedikit. Semoga Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita
semua dan kaum Muslimin darinya, baik dari jenis syirik besar maupun kecil.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
U 9 ‫* ﱣ‬
ِ ‫ﺑ ﱣ‬#
‫ِﺎ|ِ ﻓﻘﺪ‬ ‫ِك‬‫ﺮ‬#‫ﯾﺸ‬
Q#‫ۚ وﻣﻦ‬◌‫ء‬9ۤ *#
‫ﯾﺸﺎ‬ ‫ِﻤﻦ‬
‫ِﻚ ﻟ‬
‫ن ذﻟ‬# ‫ِﺮ‬
‫ ﻣﺎ دو‬9 ‫ﻔ‬#
‫ٖ وﯾﻐ‬
‫ِﮫ‬‫ﺮك ﺑ‬#‫ﯾﺸ‬
Q#‫ ان‬9‫ﻔ‬#
‫ِﺮ‬ ‫ا| ﻻ ﯾﻐ‬ ‫ِن‬‫ا‬
‫ﺎ‬l ‫ِﯿ‬
‫ﻤ‬# ‫ﺎ ﻋﻈ‬l #
‫ِﺛﻤ‬ ٓ
‫ى ا‬U #
‫اﻓﺘﺮ‬
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampunidosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
selain dari (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [An-Nisâ/4:48].
Dosa syirik ini tidak akandiampuni oleh Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan taubat, kembali
kepada Islam, menanamkan hakikat-hakikat keimanan, melepaskan diri secara total dari
syaitan. Demikianlah bentuk taubat nashuha yang tulus. Sehingga seseorang yang telah
tersesat kembali ke jalan yang lurus, jalan Rabb kita Yang Maha Agung. Jalan yang dimaksud
ini amatlah jelas lagi terang, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
t
‫ﻟﻚ‬ِ‫ِ*ﻻ ھﺎ‬ ‫ﮭﺎ إ‬#
‫ ﻋﻨ‬9
‫ﻎ‬#‫ِﯾ‬
‫ِھﺎﻻ ﯾﺰ‬ ‫ﻠﮭﺎ ﻛﻨﮭﺎر‬ 9#‫*ﺔ ﻟﯿ‬
‫ِﯿ‬‫*ﻘ‬
‫ءاﻟﻨ‬ # ‫ﻞ‬#‫ِﺜ‬
ِ‫ﻀﺎ‬#‫اﻟﺒﯿ‬ 9 9#
ِ ‫ ﻋﻠﻰ ﻣ‬#‫ﺗﺮﻛﺘﻜﻢ‬
Aku tinggalkan kalian dalam jalan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang,
tidaklah orang menyimpang darinya kecuali orang yang tersesat.
9
‫ﻎ‬#‫*ﯾ‬
‫( اﻟﺰ‬dalam hadits, tersesat) maknanya mengalami sedikit penyimpangan. Bagaimana
dengan orang yang benar-benar menyimpang, berbuat sejadi-jadinya dan bahkan
menjauhkan diri mereka dari jalan yang terang yang haq ini, dari tauhid, dan dari aqidah ini
menuju kepada kesyirikan dan perlawanan terhadap hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla ,
tauhîdullâh dan ‘ubûdiyyah kepada-Nya.
Para imam dan ulama Islam telah menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam, yang
pertama adalah syirikakbar(syirik besar) dan syirik ashghar (syirik kecil). Syirik akbar itu akan
mengeluarkan seorang Mukmin dari Islam. Sedangkan syirikashghartermasuk perbuatan
dosa besar dan kadang-kadang dapat menyebabkan pelakunya terjatuh dalam syirik akbar,
meski tidak langsung terjadi.
Kendati demikian, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t , adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan sekaligus yang
paling sayang kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, Ulama Islam tidak memperlakukan
mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang kafir, meskipun melakukan syirik akbar.
Akan tetapi, ada dalam jiwa para ulama rasa kasih, prihatin dan bersikap lembut kepada
mereka serta menasehati mereka. Juga mengajak dan melarang mereka, agar dalil-dalil
menjadi jelas di hadapan mereka dan mematahkan segala syubhat yang ada di dalam kepala
mereka. Kemudianjika ada orang dari mereka yang tetap memegangi kesyirikan itu, enggan
menerima penjelasan, setelah kita bersabar, menjelaskan dan berdiskusi, dan bersikap
lembut dengan mereka, maka saat itu ia telah memilih putusan untuk dirinya sendiri. Ia lebih
memilih untuk menjadi murtad, keluar dari agama dan menyusul kaum musyrikin.
Na’ûdzubillâh min dzâlik.
Tentang orang yang jahil, atau orang yang belum tahu, tidak menyadari apa yang ia ucapkan
atau yang ia perbuat, sementara ia menyangka telah berbuat kebaikan, namun perbuatan
yang ia lakukan adalah perbuatan orang-orang kafir dan bertentangan dengan keimanan,
maka ia mesti mendapatkan penjelasan dan keterangan. Orang ini kemudian mau kembali
kepada al-haq dan kembali kepada jalan kebenaran. Sungguh keadaan yang seperti itu bisa
merupakan tanda kebahagiaan yang hakiki dan ridha Allâh Azza wa Jalla kepadanya, karena
Allâh Azza wa Jalla memberinya hidayah setelah sebelumnya ia berada dalam kesesatan.
Masih ada dua persoalan dalam pembahasan ini. Yang pertama, bahwa diantara bentuk
kesyirikan yang sangat buruk lagi parah yang masih terjadi pada umat Islam yaitumeminta
kepada selain Allâh Azza wa Jalla , istighâtsah dan isti’ânah dan meminta
pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , padahal semua perkara ini dahulu telah
diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak kecil dari kalangan
Sahabat saat mereka belum menginjak usia baligh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ِﷲ‬‫ﺄل‬#‫ﻟﺖ ﻓﺎﺳ‬#‫ِذا ﺳﺄ‬ ‫ﺗﺠﺎھﻚ إ‬ 9‫ه‬ #ِ‫ِ ﷲ ﺗﺠ‬
9‫ﺪ‬ ‫ﻚ اﺣ‬#‫ﻔﻈ‬#
‫ﻔﻆ‬# ‫ِ ﷲ ﯾﺤ‬
‫ﻔﻆ‬#
‫ٍﺎﺣ‬ ‫ِﻤﺎﺗ‬
‫ﻚ ﻛﻠ‬9 o‫ﻋ‬9
‫ِﻤ‬
‫ﻠ‬ o‫ إ‬9
‫ِﻲ أ‬
‫ﻧ‬ 9
# # ِ ‫ﯾﺎ ﻏﻼم‬
ِV‫ِﺎ‬
‫ِﻦ ﺑ‬‫ﺘﻌ‬#‫ﺘﻌﻨﺖ ﻓﺎﺳ‬#‫ِذا اﺳ‬‫وإ‬
Wahai anak kecil, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.Jagalah Allâh, niscaya
Allâh akan menjagamu. Dan jagalah Allâh, niscaya engkau mendapati-Nya di depanmu. Jika
engkau meminta, mintalah kepada Allâh, dan bila engkau memohon pertolongan, mohonlah
pertolongan kepada Allâh.
Mengapa sebagian kaum Muslimin yang mengatakan lâ ilâha illâ Allâh dan mengagungkan
Allâh dan mencintai-Nya, namun mereka masih meminta kepada selain Allâh Azza wa Jalla ,
memohon pertolongan dengan selain-Nya ?!. Bahkan sebagian dari mereka ada yang
mengagungkan makhluk melebihi pengagungannya kepada Allâh!!.Begitu takut kepada
Syaikh, guru atau pemimpinnya, melebihi takutnya kepada Rabbnya. Mereka berani
bersumpah atas nama Allâh dengan dusta. Akan tetapi, bila nama syaikh disebut di depan
murid, kaki-kaki mereka gemetaran dan hati mereka ketakutan.Mereka hanya mau
bersumpah dengan nama guru atau nama wali mereka. lebih hebat lagi, mereka bersumpah
atas nama wali mereka itu dengan tidak berdusta, akan tetapi ketika bersumpah atas nama
Allâh, mereka berani bersumpah dengan dusta.
Kita sama sekali tidak mengingkari adanya wali, karena derajat kewalian itu ditetapkan oleh
Allâh Azza wa Jalla didalam al-Qur`ân. Kewalian yang kita ingkari adalah yang dijadikan
jalan untuk berbuat seenaknya dan mencari kenikmatan duniawi. Ini bukan wali, dan
kewaliannya tidak benar.
Sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ۗ 9* ۚ 9
‫ن‬#
‫ا ﯾﺘﻘﻮ‬# 9 ‫ا وﻛ‬#
‫ﺎﻧﻮ‬ ‫ﻣﻨ‬U
‫ﻮ‬9 ‫ﻦ ا‬#
‫ﺬﯾ‬ِ‫ ا*ﻟ‬٦٢ ‫ن‬#
‫ﺰﻧﻮ‬# ‫ھﻢ‬
‫ ﯾﺤ‬# 9 ‫ وﻻ‬#
‫ِﻢ‬ ‫ ﻋﻠﯿ‬t
‫ﮭ‬# ‫ف‬# ‫ِﯿﺎء ﱣ‬
‫ا|ِ ﻻ ﺧﻮ‬ ‫* او‬
ۤ ‫ﻟ‬# ‫ِن‬‫اﻻٓ ا‬
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. (Yûnus/10:62-63). Inilah sifat dan karakter para wali.
Sedangkan persoalan kedua, siapakah yang berhak menghukumi bahwasanya seseorang itu
kafirdan sudah keluar dari Islam setelah ditegakkan hujjah kepada mereka dan dipatahkan
syubhat-syubhat mereka, serta bersabar dalam menasehati dan menjelaskan kepadanya?.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِ
‫ِﮫ‬‫ﺴ‬# ‫ﮫ ﻟ‬Q
‫ِﻨﻔ‬ ‫ﺤِﺒ‬9 ‫ﮫ‬#‫* ِﻷﺧِﯿ‬
‫ِ ﻣﺎ ﯾ‬ ‫*ﻰ ﯾ‬
‫ﺤِﺐ‬9 ‫ﻢ‬9
‫ ﺣﺘ‬# 9‫ أﺣ‬9
‫ﺪﻛ‬ ‫ﻣ‬#
‫ِﻦ‬ 9‫ﻻ‬
‫ﯾﺆ‬
Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk
saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.
Bahkan dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ﺎ‬l
‫ِﻨ‬‫ﻣ‬# ‫ﻣ‬#
‫ﺆ‬9 ‫ﻦ‬9‫ِﻜﺘﻜ‬‫ﺴ‬#
‫ِﻨﻔ‬‫ﻟ‬Q 9 ‫*ﺎس ﻣﺎ‬
‫ﺗﺤِﺐ‬ ‫* اﻟﻨ‬
‫أﺣِﺐ‬
Cintailah manusiaapa yang kamu sukai bagi dirimu, maka kamu menjadi orang Mukmin
Demikian pula,Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ا‬#
‫ﻤﻮ‬9‫ﺣ‬#
‫ﺗﺮ‬9 ‫ا‬#
‫ﻤﻮ‬9‫ﺣ‬#
‫ار‬
Kasihilah, niscaya kalian akan dikasihi
Jawaban dari pertanyaan yang tadi saya ajukan adalah seseorang tidak boleh menyangka
dirinya mampu menegakkan hujjah kecuali para Ulama rabbani dan para Qadhi yang
keputusannya diakui. Selain mereka, walaupun dari kalangan Ulama, namun dari kalangan
orang alim yang biasa saja atau penuntut ilmu yang menonjol, apalagi orang yang awam,
maka tidak sepantasnya, ia maju dalam panggung ini dan mengobral label kafir dan murtad
kepada orang-orang awam, dengan dalih orang-orang itu telah melakukan perbuatan-
perbuatan kufur.
Oleh sebab itulah, para Ulama Islam, semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati mereka semua
mengatakan, “Tidak setiap orang yang terjatuh dalam kekufuran itu (otomatis) akan menjadi
orang kafir, kecuali setelah ditegakkan hujjah atas dirinya dengan baik dan dipatahkan
segala syubhatnya”.
Vonis itu hanya boleh keluar dari Ulama Rabbani atau Qadhi yang keputusannya
diperhitungkan. Mereka saja yang berhak.
Pada kesempatan mulia seperti saat ini pula, tidak selayaknya kita melupakan satu pihak
yang punya usaha besar yang biasa berkhianat lagi penuh makar (makar Syiah), dari orang-
orang yang mengaku sebagai kaum Muslimin. Mereka pun memiliki slogan-slogan yang Islami
secara zhahir. Akan tetapi, mereka mengklaim bahwa sesungguhnya al-Qur`ânul Karim
sudah mengalami perubahan oleh tangan-tangan manusia, mereka mengkafirkan para
Sahabat Nabi, kecuali beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari-jari dua tangan.
Mereka pun melecehkan kemuliaan dan kesucian Ummul Mukminin ‘Aisyah, putri Abu Bakar
ash-Shiddîq, Mereka mengagungkan orang-orang yang kita agungkan (keluarga Nabi, Ahlul
Bait) dengan pengagungan yang berlebihan, layaknya mereka mengagungkan Allâh Azza wa
Jalla .
Sampai ada tokoh besar dari mereka (Syiah) yang mengingkari khilafah Abu Bakar yang
sudah disepakati oleh para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia mengatakan,
“Adapun tuhan yang khalifah pengganti Nabinya adalah Abu Bakar, ia bukanlah khalifah
kita, dan nabi itu bukanlah nabi kita, tuhannya bukanlah tuhan kita (!?)”.
Maka, demi Allâh, seandainya kaum Muslimin di satu negeri manapun memperbolehkan
eksistensi dan pemikiran golongan tersebut di negeri mereka , walaupun dengan janji
pemberian bantuan keuangan, ekonomi dan sumber daya alam, maka pada gilirannya para
penduduk negeri itu sebenarnya telah mendatangkan kerusakan bagi diri mereka sendiri
dalam agama, dunia, negara dan martabat. Lihatlah oleh kalian beberapa negeri Arab yang
dimasuki oleh mereka. Lihat negeri Yaman, Suriah, Irak dan Libanon. Lihatlah mereka (orang-
orang Syiah Rafidhah) telah berbuat berbagai kerusakan demi kerusakan di sana dan
masih melakukan kerusakan hingga sekarang ini.
Dengan dasar hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ِ‫ِﮫ‬
‫ﻔﺴ‬#‫ِﻨ‬‫ﮫ ﻟ‬Q
‫ﺤِﺒ‬9 ‫ﮫ‬#‫* ِﻷﺧِﯿ‬
‫ِ ﻣﺎ ﯾ‬ ‫*ﻰ ﯾ‬
‫ﺤِﺐ‬9 ‫ﻢ‬9
‫ ﺣﺘ‬# 9‫ أﺣ‬9
‫ﺪﻛ‬ ‫ﻣ‬#
‫ِﻦ‬ ‫ﺆ‬9
‫ﻻﯾ‬
Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk
saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.
Juga karena sesungguhnya kami mencintai negeri ini dan mencintai penduduk negeri ini,
maka kami ingin katakan satu pernyataan yang tulus lagi jelas, “Waspadailah mereka itu,
musuh-musuh kalian. Mereka bak serigala yang berbulu domba.”.
Sesungguhnya tauhid merupakan pintu kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan merupakan
gerbang menuju keamanan dan kedamaian serta ketenangan.
‫ن‬#
‫ﺪو‬9‫ﺘ‬#
‫ﻣﮭ‬Q# 9‫ و‬9
‫ھﻢ‬ ‫ﻦ‬# # 9
‫اﻻﻣ‬ ‫ﮭﻢ‬
9‫`ﻚ ﻟ‬ U 9
ۤ
‫وﻟى‬ ‫ا‬
Mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Apakah mungkin terwujud kebahagiaan tanpa rasa aman, dan apakah mungkin tergapai
ketentraman tanpa ada kedamaian?. Seandainya saja engkau memiliki harta sepenuh bumi
ini, dengan kesehatan yang paling prima, akan tetapi engkau tidak merasa aman, masih
mengkhawatirkan keselamatan dirimu, hartamu, anak-anakmu, keluargamu dan negerimu.
Apakah dalam keadaan demikian, engkau akan merasakan kebahagiaan, dan mengetahui
cara menuju kebahagiaan.
Demi Allâh, tidak ada jalan menuju kebahagiaan kecuali dengan adanya rasa aman. Dan
tidak ada jalan menuju keamanan kecuali dengan iman. Yaitu, sejalan dengan firman Allâh
Azza wa Jalla :
‫نﭑ‬#
‫ﺪو‬9‫ﺘ‬#
‫ﻣﮭ‬Q#
‫ھﻢ‬9‫ و‬9
‫ﻦ‬# # 9
‫اﻻﻣ‬ ‫ﮭﻢ‬9‫`ﻚ ﻟ‬ U 9
ۤ
‫وﻟى‬ ‫ٍا‬ #9‫ِﻈ‬
‫ﻠﻢ‬ ‫ ﺑ‬#‫ﻢ‬9 ‫ِﯾ‬
‫ﻤﺎﻧﮭ‬#‫ٓا ا‬ #‫ ﯾ‬#‫ا وﻟﻢ‬#
‫ﻮ‬9‫ﻠﺒِﺴ‬
# ‫ﻮ‬9‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬#ِ‫ا*ﻟ‬
‫ﺬﯾ‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman
(syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan hati, keceriaan dan suka-citanya. Simaklah
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, seorang ulama yang dimusuhi oleh
banyak orang, kemudian mereka penjarakan dan siksa, serta mereka lontarkan tuduhan
bermacam-macam terhadapnya. Lima kali beliau dipenjara selama 5 tahun. Namun ketika
berada di penjara, Allâh Azza wa Jalla mudahkan beliau untuk menulis ilmu tafsir al-Qur`ân,
sampai-sampai mengatakan, “Sungguh, aku amat menyesali saat-saat yang aku habiskan
untuk selain Kitâbullâh”.
Itulah hakikat kebahagiaan. Itulah hakikat pengamalan ilmu, keamanan, kedamaian, iman
dan ketentraman yang sejati.
Beliau rahimahullah pernah mengatakan, “Apa yang dapat dilakukan musuh-musuhku
terhadap diriku. Surgaku ada dalam hatiku, kemanapun aku pergi senantiasa ia
bersamaku. Ketika mereka memenjarakan aku, maka itu berarti aku tengah
berkhalwatdengan Allâh. Ketika mereka mengasingkanku, maka pengusiran terhadap diriku
di jalan Allâh, itu merupakan jalan-jalan bagiku. Bahkan ketika mereka membunuhku, maka
sesungguhnya aku terbunuh syahid di jalan Allâh”.
Betapa luar biasa hatinya. Betapa besar kebahagiaan yang beliau lihat, dapatkan dan beliau
rasakan dalam keadaan yang sangat genting dan sulit. Karena beliau telah mendapatkan
rasa aman dan damai dan karena di dalamnya ada keimanan yang merupakan kunci segala
kebaikan dan pintu segala kebahagiaan di dunia dan di sisi Allâhpada Hari Kiamat.
Ini di antara contoh kebahagiaan yang diraih oleh ahlul iman, yang diraih oleh seorang ulama
di dunia ini meskipun tekanan-tekanan para pembenci kian keras kepadanya dan kepungan-
kepungan para pengkhianat kian kuat, lalu bagaimana kebahagiaan ahlul akhirat, bagi kaum
Mukminin di akhirat kelak. Sesungguhnya kebahagiaan paling besar mereka adalah ketika
mereka masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka, serta ketika melihat wajah Allâh
Azza wa Jalla .
Saat itu, para penjaga surga berkata kepada para penghuni surga ketika pintu-pintu surga
dibuka bagi mereka, “Kesejahteraan bagi kalian, sungguh kalian dalam keadaan yang sangat
baik, maka masuklah kalian dalam keadaan aman”.
Inilah balasan yang sempurna. Itulah kebahagiaan paling agung, saat engkau selamat dari
siksa Allâh Azza wa Jalla , bahagia meraih ridha Allâh dan berada di surga Allâh Azza wa
Jalla, bersama para nabi, shiddîqîn, syuhada dan orang-orang shalih. Merekalah sebaik-baik
teman.
Demi Allâh, sungguh tauhid merupakan asas kebahagiaan abadi, di dunia dengan
mendapatkan keridhaan, mudah taat, hidup bahagia dan memperoleh kenikmatan.
Sedangkan di akhirat, akan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Tauhid merupakan faktor dalam menumbuhkan tauhid. Maksudnya,mengesakan Allâh
merupakan salah satu faktor terpenting untuk menyatukan umat Islam dan merupakan
pedoman yang dapat mengikat hati.
Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ۗ 9‫ﻗ‬9 ‫ﻦ‬#
‫ﮭﻢ‬
# 9‫ﻨ‬#‫ا| ا*ﻟﻒ ﺑﯿ‬
‫* ﱣ‬ ‫ﻟﻜ‬U‫ و‬#‫ِﻢ‬
‫ِﻦ‬ ‫ِﮭ‬‫ﺑ‬#
‫ﻠﻮ‬ #‫ٓ ا*ﻟ‬
‫ﻔﺖ ﺑﯿ‬ ‫ﻣﺎ‬* ‫ﺎ‬l
‫ﻌ‬#‫ِﯿ‬
‫ض ﺟﻤ‬ # ‫ِﻰ‬
‫اﻻر‬
ِ# ‫ﺖ ﻣﺎ ﻓ‬# #‫ا‬#
‫ﻧﻔﻘ‬ ‫ﻟﻮ‬
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allâh telah mempersatukan hati mereka [Al-
Anfâl/8:63].
Jadi, dakwah tauhid itu merupakan faktor terbentuknya persatuan dan kesatuan antara hati
dan badan sekaligus. Seandainya engkau mengeluarkan uang tanpa penanaman keimanan
kepada Allâh, pengajaran risalah Allâh dan aqidahfillah, engkau tidak akan mampu
menyatukan mereka. Karena hati mereka masih saling bertikai. Hawa nafsu mereka tidak
sejalan dengan keinginan atas orang lain. Akhirnya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan kemauan dan hawu nafsu masing-masing. Demikianlah dahulu keadaan sosial
masyarakat Arab di masa Jahiliyah sebelum Islam datang. Maka, sasaran utamanya adalah
menyatukan semua jiwa dan hati tersebut untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , dan
mengagungkan-Nya, walaupun badan mereka saling berjauhan.
Apakah buah dari hal tersebut yang terwujud setelah penanaman tauhid dan aqidah yang
benar serta iman yang haq?. Buahnya adalah Allâh Azza wa Jalla menyatukan hati dan
badan mereka sekaligus.
Ketika para Sahabat Muhajirin berhijrah, kaum Anshar menyambut mereka dengan hangat.
Kaum Anshar dengan rela berbagi dengan kaum Muhajirin dalam makanan, harta dan tempat
tinggal yang mereka miliki. Mereka pun hidup dalam satu kehidupan dan satu masyarakat.
Hati-hati dan badan-badan mereka telah bersatu-padu.
Sebaliknya, lihatlah persatuan umat yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla yang Allâh Azza wa
Jalla berfirman tentang mereka dengan :
‫ﱣ‬ 9‫ﻗ‬9*
‫ ﺷﺘﻰ‬#
ۗ ‫ﮭﻢ‬
9‫ﺑ‬9#
‫ﻠﻮ‬ ‫ﻌ‬#
‫ﺎ و‬l ‫ِﯿ‬ ‫ﮭ‬9
‫ ﺟﻤ‬#‫ﻢ‬9‫ﺴﺒ‬#‫ﺗﺤ‬
Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah [Al-Hasyr/59:14]
Kalian menyangka mereka bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai. Karena
mereka orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran, mereka tidak memahami
kebenaran, tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak bertakwa kepada-Nya. Kita
tidak menginginkan persatuan yang seperti itu. Kita menginginkan persatuan yang sejati
yang bertumpu pada tauhid yang akan menyatukan hati, akal dan badan untuk membentuk
hakekat persatuan yang Allâh firmankan dalam ayat berikut:
‫ص‬#
t ‫ﻮ‬9
‫ﺻ‬# *t
‫ﻣﺮ‬ ‫ﯿﺎن‬#‫ﻨ‬9
‫ﺑ‬#‫ﮭﻢ‬
9‫ﻧ‬*‫\ﺎ ﻛﺎ‬ ‫ِﮫ‬
‫ٖ ﺻﻔ‬ ‫ﻠ‬#
‫ ﺳﺒِﯿ‬#‫ِﻲ‬
‫ن ﻓ‬# 9‫ﻘﺎﺗ‬9
‫ِﻠﻮ‬ ‫ﻦ ﯾ‬#
‫ﺬﯾ‬ * Q
ِ‫اﻟ‬ ‫ﺤِﺐ‬9 ‫* ﱣ‬
‫ا| ﯾ‬ ‫ِن‬‫ا‬
Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [Ash-
Shaff/61:4]
Kami menyebutkan ayat ini untuk menyebutkan pentingnya bangunan yang tersusun kokoh
yang kita di dalamnya bagaikan jasad yang satu, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ﺘﻜﻰ‬#‫ِ إذا اﺷ‬ # ِ
‫اﻟﻮاﺣِﺪ‬ # ‫ ﻛﻤﺜﻞ‬#‫ِﮭﻢ‬
‫اﻟﺠﺴﺪ‬ 9 ‫ِﻤ‬ o
ِ‫ِﻲ ﺗﻮا‬ ‫ِﯿ‬ ‫ﻣ‬#
‫ِﻨ‬ # 9
ِ ِ ‫ﺎﻃﻔ‬#‫ وﺗﻌ‬#
‫ِﻢ‬‫ِﮭ‬
‫ﻤ‬9‫ﻮﺗﺮاﺣ‬#
o
‫دھ‬
#
‫ﻦ ﻓ‬# ‫ﺆ‬9
‫اﻟﻤ‬ ‫ﻣﺜﻞ‬
‫ﻤﻰ‬*9
‫ِ واﻟﺤ‬‫ِﺎﻟﺴ*ﮭﺮ‬‫ِﺑ‬‫ِﮫ‬9
‫ِ ﻛﻠ‬
‫ِﺮ اﻟﺠﺴﺪ‬ #
‫ﺘﺪﻋﻰ ﺳﺎﺋ‬#‫ اﺳ‬t‫ﻮ‬#‫ﻀ‬9
‫ﻋ‬
Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih, sayang dan cinta mereka seperti seperti
jasad yang satu. Ketika salah satu anggota mengeluh sakit, makaakan mengundang anggota
tubuh lainnya dengan susah tidur dan demam. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Adapun jihad yang benar yang semua jiwa kita merindukannya, yang merupakan puncak
Islam, bukanlah perkara yang tanpa aturan, kacau atau karena emosi, atau sekedar
semangat saja, akan tetapi berdasarkan pedoman yang jelas melalui fatwa Ulama Rabbani
dibawah pimpinan para Ulama dan idzin penguasa yang sejalan dengan petunjuk al-Qur`ân.
Mereka ini masuk dalam bingkai firman Allâh Azza wa Jalla :
ۚ9 # * ‫ﯾﮭﺎ‬
‫ِﻨﻜﻢ‬
# ‫ِﻣ‬‫ﺮ‬# # ‫ِﻰ‬
‫اﻻﻣ‬ ‫وﻟ‬9‫ل وا‬#‫ﻮ‬9‫*ﺳ‬
‫ﻮا اﻟﺮ‬9 ‫ِﯿ‬
‫ﻌ‬# ‫ﻮا ﱣ‬9
‫ا| واﻃ‬ ‫ِﯿ‬
‫ﻌ‬# ‫ﻮ‬9
‫ٓا اﻃ‬
# ‫ﻣﻨ‬U
‫ﻦ ا‬#ِ‫اﻟ‬
‫ﺬﯾ‬ ٓ
Q‫ﯾﺎ‬
U
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara
kalian [An-Nisâ/4:59].
Sebagian Ulama dari kalangan ahli tafsir mengatakan, “Ulama dan para Umara. Sebagian
menyempurnakan sebagian yang lain, agar umat Islam keluar menuju jalan keselamatan
mereka dengan aman, damai, tenang dan tentram. Jauh dari kesembronoan anak-anak
muda dan kekacauan jalan pikiran mereka serta semangat besar mereka yang lebih banyak
menimbulkan kerusakan daripada kebaikan yang mereka buat dalam banyak keadaan
mereka, bahkan dalam seluruh urusan mereka.
Dan ketika Allâh memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada Allâh dalam beberapa
ayat dalam al-Qur`ân, Allâh mengingatkan mereka dengan beberapa kenikmatan, yaitu
nikmat aman, damai dan ketenangan yang apabila semuanya terwujud akan mendatangkan
kebahagiaan yang setiap orang berusaha untuk menggapainya, baik yang mukmin maupun
yang kafir.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
‫ ﺧﻮ‬#
ٍ‫ف‬# ِ
‫ﻦ‬o‫ﻣ‬#
‫ﮭﻢ‬9‫ﻣﻨ‬U
‫*ا‬
‫عٍۙە و‬#
‫ﻮ‬9‫ﺟ‬#ِ
‫ﻦ‬o ‫ﻌﻤﮭ‬#‫ٓ اﻃ‬
‫ ﻣ‬#‫ﻢ‬9 #‫ِي‬ * ٣ِ
‫اﻟﺬ‬ ۙ # ‫ﺬا‬U
‫ﺖ‬#‫اﻟﺒﯿ‬ ‫*ھ‬‫ا رب‬#
‫ﺪو‬99
‫ﺒ‬# #‫ﻓ‬
‫ﻠﯿﻌ‬
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilih rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan [Quraisy/106:3-4].
Perhatikanlah, betapa tinggi kedudukan iman itu. Dan betapa pentingnya kehidupan ekonomi
yang aman. Dua hal ini secara bersama-sama menciptakan kebahagiaan yang akan sulit
tercapai hakikatnya dengan baik kecuali dengan merealisasikan ibadah kepada Allâh Azza
wa Jalla .
Demikian pula yang diisyaratkan Nabi dalam haditsnya untuk mengingatkan manusia
tentang kebahagiaan yang dicari-cari oleh siapa saja dan faktor pendukung dan terwujudnya
kebahagiaan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
9‫ ﻟ‬#
‫ﮫ‬ *
‫ﺰت‬#‫ﻛﺄﻧﻤﺎ ﺣِﯿ‬ ِ
‫ِﮫ‬ ‫ ﯾﻮ‬9
‫ﻣ‬# ‫ت‬#‫ﻗﻮ‬9 ‫ه‬
9‫ﺪ‬#
‫ِﻨ‬‫ِﻌ‬
‫ِﮭ‬ ‫ﻰ ﻓ‬l
‫ ﺑﺪﻧ‬#‫ِﻲ‬ ‫ِﻣ‬
‫ﻌﺎﻓ‬9 ‫ِﮫ‬
‫ﺑ‬#‫ِﺮ‬ ‫ﺎ ﻓ‬l
‫ ﺳ‬#‫ِﻲ‬ ‫ِﻨ‬‫ آﻣ‬# ‫ﻜ‬#
‫ﻢ‬9 ‫ِﻨ‬
‫ﺒﺤﻤ‬#‫ أﺻ‬#‫ﻣﻦ‬
‫ِھﺎ‬‫ﺮ‬#‫ِﯿ‬
‫ِﺤﺬاﻓ‬ # Q
‫اﻟﺪﻧﯿﺎ ﺑ‬
Barangsiapa diantara kalian pada pagi hari dalam keadaan aman dalam rumahnya,
badannya sehat, dia memiliki makanan untuk hidup seharinya, maka seolah-olah dunia
semuanya dikumpulkan baginya.
Hadits ini pada awalnya tertuju kepada para Sahabat Nabi, generasi istimewa yang telah
merealisasikan keimanan dan tauhid, dan mengetahui bagaimana cara yang benar dalam
mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan secara realita terlihat dengan menjadikan
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber hukum dalam seluruh urusan
hidup mereka.Allâh Azza wa Jalla berfirman :
#‫ِﻲ ا‬ 9# ‫ﱣ‬
‫ﺎ‬l
‫ ﺣﺮﺟ‬#‫ِﻢ‬
‫ِﮭ‬ 9‫ﻧ‬
‫ﻔﺴ‬ # ‫ا ﻓ‬#
‫ﺪو‬9ِ‫* ﻻ ﯾﺠ‬
‫ﺛﻢ‬ ‫ﮭﻢ‬ ‫ِﯿ‬
9‫ﻨ‬#‫ﻤﺎ ﺷﺠﺮ ﺑﯿ‬# ‫ك ﻓ‬#
‫ﻤﻮ‬9o
ِ
‫ﺤﻜ‬9 ‫ن ﺣﺘﻰ ﯾ‬#‫ﻮ‬9 ‫ﻣ‬#
‫ِﻨ‬ ‫ﺆ‬9 o‫ﻓﻼ ور‬
‫ِﻚ ﻻ ﯾ‬
‫ﺑ‬
ٓ o
‫ﺎ‬l‫ﻤ‬#‫ِﯿ‬
‫ﻠ‬#‫ا ﺗﺴ‬#
‫ﻤﻮ‬9ِ
‫ﺴﻠ‬9‫ﺖ وﯾ‬# *ِ
‫ﻤﺎ ﻗﻀﯿ‬‫ﻣ‬o
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya [An-Nisâ/4:65].
Para Sahabat Nabi adalah teladan dalam memahami hak ini dan pelaksanaannya. Maka,
mereka pun menjadi sebaik-baik generasi dan sebaik-baik umat yang pernah dikeluarkan
untuk manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
* ۢ
‫ﻟﮫ‬
ٖ ِo‫ﻧﻮ‬
9 ‫ﻦ‬#
‫ِﯿ‬ ‫ﻣ‬#
‫ِﻨ‬ ‫ﺆ‬9 # ‫ﻞ‬#
‫اﻟﻤ‬ ِ ‫ﯿ‬ِ‫ﺒ‬‫ﺳ‬ ‫ﺮ‬#
‫ﯿ‬ ‫ﻏ‬ ‫ﻊ‬
#ِ‫ﺒ‬‫ﺘ‬ ‫ﯾ‬‫و‬ ‫ى‬ U
‫ﺪ‬9
‫ﮭ‬ # 9
‫اﻟ‬ ‫ﮫ‬‫ﻟ‬ ‫ﻦ‬*
‫ﯿ‬ ‫ﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣ‬ ِ
‫ﺪ‬‫ﻌ‬
# ‫ﺑ‬ #
‫ِﻦ‬ ‫ﻮ‬9‫*ﺳ‬
‫ل ﻣ‬# ‫ِ اﻟﺮ‬ ‫ِﻖ‬‫ﯾﺸﺎﻗ‬Q#‫وﻣﻦ‬
ۗ * 9 ‫ﱣ‬
‫ا‬l ‫ِﯿ‬
‫ﺮ‬# ‫ ﻣﺼ‬#
‫ﺎءت‬ۤ ‫ﺳ‬‫و‬ ‫ﻢ‬‫ﻨ‬ ‫ﮭ‬‫ﺟ‬ ‫ﮫ‬
ٖ ِ
‫ﻠ‬#‫ﺼ‬ ‫ﻧ‬‫و‬ ‫ﻰ‬‫ﻟ‬ ‫ﻮ‬‫ﺗ‬ ‫ﻣﺎ‬
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali [An-Nisâ/4:115].
Siapakah orang-orang Mukmin dalam ayat tersebut? Mereka adalah para Sahabat Nabi.
Orang-orang yang menjadi teladan kita, dan kita menjadikan ucapan-ucapan dan perbuatan
mereka sebagai petunjuk dalam mengamalkan Islam.Mereka adalah generasi sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ﮭﻢ‬
# 9‫ﻧ‬# 9‫ﻦ ﯾ‬#
‫ﻠﻮ‬ ‫ِﯾ‬ * *
‫اﻟﺬ‬ ‫ﻢ‬9‫ﺜ‬#
‫ﮭﻤ‬
9‫ﻧ‬#
‫ﻠﻮ‬9‫ﻦ ﯾ‬#
‫ﺬﯾ‬ * *
ِ‫اﻟ‬ ‫ﺛﻢ‬9 ‫ِﻲ‬
‫ﻧ‬#‫*ﺎسِ ﻗﺮ‬ ‫ﺮ‬#
‫ اﻟﻨ‬9 ‫ﺧﯿ‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka
Seluruh kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di sisi Allâh di akhirat kelaktidak akan
pernah tercapai kecuali dengan tauhid dan hanya terwujud bagi ahli tauhid. Itulah puncak
keinginan mereka dan puncak kebahagiaan mereka. Dan itulah kunci kebahagiaan mereka di
dunia dan keselamatan mereka di akhirat.
Semoga Allâh Pemilik ‘Arsy yang agung berkenan memberikan nikmat keamanan di negeri
kita, menyatukan kita dan menganugerahkan kebahagiaan dalam hati kita dan menjadikan
kita semua sebagai penghuni surga, dan memberikan kepada kita nikmat untuk melihat wajah
Allâh Azza wa Jalla , merahmati kita, dan meneguhkan hati kita serta menutup hidup kita
dengan husnul khatimah. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079]

Anda mungkin juga menyukai