[Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-’Ibâdah ladâ
Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hal. 974-990)]
“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga
sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal
sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut.
Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana? Amat beragam jawaban mereka.
Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar
dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali.
Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam
orang-orang ‘linuwih’ tersebut.
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur.
Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-
adab yang digariskan. Namun, yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di
kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat!
ُ ْ
ً َو َﻻ ﺗَﺗ ﱠ ِﺧ ُذو َھﺎ ﻗُ ُﺑ،ﺻ َﻼ ِﺗ ُﻛ ْم
ورا َ اﺟ َﻌﻠوا ِﻓﻲ ُﺑﯾُو ِﺗ ُﻛ ْم ِﻣ ْن
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian
menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu
‘anhuma)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah
yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang
memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawy rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas,
menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk
shalat.”[5]
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H)[6] dan
Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H).[7]
Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata
beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”[8]
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah[13] dan al-
Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [14].
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab
shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat
sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling
kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan
kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya,
sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat murka atas
orang yang melakukan hal itu.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan, bahwa hadits di atas mengandung
“larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya
sujud kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga bisa diartikan
larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna
dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan
yang terlarang.”[17]
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid
di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil
dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau
menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”[18]
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)[21], al-
Mawardy (w. 450 H)[22], Ibn Qudamah[23], Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[24], as-Suyuthy
(w. 911 H)[25] dan yang lainnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri
di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk
peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh;
masjid! …
Inilah mafsadah yang sumbernya dicegah oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Hingga beliau melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan
untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu yang menghantarkan
kepada kerusakan pemicu disembahnya berhala.”[26]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan
tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nash. Imam Ibn al-
Qayyim (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara
argumen yang beliau paparkan:
Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara
kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
Tempat masjid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum
musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau memerintahkan agar kuburan
tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya
tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran
mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas
bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan
tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah
tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh melarang bumi
untuk memakan jasad mereka.[27]
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan
ibadah kepada selain Allâh Ta’ala.
ِ أَ َﺣدًاb ُ ِ َﻓ َﻼ ﺗَ ْدgﺎﺟ َد ِ ﱠ ْ َ
ﻋوا َﻣ َﻊ ﱠ ِ َوأ ﱠن اﻟ َﻣ َﺳ
Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian
menyembah apa pun selain Allâh.” Q.S. Al-Jinn: 18.
Ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh dan Rasul-
Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya
maupun tidak, karena itu termasuk mengada-ada dalam praktik beribadah.
As-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau
berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan
mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini
merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa
sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam
agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun
para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[28]
Ibn Hajar al-Haitamy (w. 974 H)[29] , al-Munawy[30] dan ar-Rumy (w. 1043 H)[31] juga
menyampaikan keterangan senada.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[32] Namun, yang lebih kuat
adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan.
Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn
al-Mundzir (w. 319 H).[33]
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berikut menunjukkan bolehnya hal itu,
Sebagaimana telah maklum bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang amat
agung dalam agama Islam. Allâh telah memotivasi umat manusia untuk memohon
pada-Nya dan berjanji untuk mengabulkan permohonan mereka. Namun di lain sisi,
Dia telah mensyariatkan berbagai adab dalam berdoa. Di antaranya: menentukan
tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.
Pertama: Doa merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah maklum
bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allâh kecuali jika memenuhi dua syarat;
ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam .
Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya
mereka ada di garda terdepan dalam mempraktikkannya.
Kedua: Usaha para sahabat untuk melarang praktik doa di kuburan dan segala
sesuatu yang bisa mengantarkan ke sana. Berikut fakta nyatanya:
a. Para sahabat “ketika menaklukkan negeri Syam, Irak dan yang lainnya, jika
menemukan kuburan yang dituju orang-orang untuk berdoa di situ, mereka akan
menutupnya.”[34] b. Para sahabat ketika menaklukkan Baitul Maqdis, mereka tidak
bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim ‘alaihiwssalam atau nabi lainnya, guna
berdoa atau shalat di situ. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka berbuat.
Imam Ibn Waddhah (w. 286 H) menerangkan, Sufyan ats-Tsaury (w. 161 H) jika masuk
masjid Baitul Maqdis, beliau shalat di dalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs
itu ataupun shalat di sana. Begitu pula praktik para imam panutan selain beliau.
Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi Masjid Baitul Maqdis, dan yang
dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian
mengikuti para imam yang telah makruf. Orang terdahulu bertutur, “Betapa banyak
praktik yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai mungkar. Disukai,
padahal dulu dibenci. Dianggap taqarrub, padahal justru sejatinya menjauhkan
(pelakunya dari Allâh). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasinya.”[35] c. Para
sahabat ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial
‘alaihissalam, mereka menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu
memakamkan Danial di salah satunya di malam hari. Setelah itu seluruh kuburan
tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.[36]
Ketiga: Para ulama salaf membenci tindak menyengaja berdoa di kuburan dan
menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:
a. Diriwayatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin (w. 93 H) melihat seseorang masuk
ke salah satu pojok di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berdoa di situ.
Zainal Abidin pun memanggilnya seraya berkata, “Maukah kuberitahukan padamu
suatu hadits yang aku dengar dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam? Beliau bersabda, “Janganlah kalian jadikan kuburanku ‘ied (tempat
yang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian kuburan. Bershalawatlah
untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku di manapun
kalian berada”.[37]
Dua atsar di atas menunjukkan bahwa menyengaja memilih makam Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam sebagai tempat berdoa, termasuk tindak menjadikannya sebagai
‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in paling afdhal dari kalangan
Ahlul Bait; Zainal Abidin, melarang orang yang menyengaja berdoa di makam Rasul
shallallahu ’alaihi wa sallam, dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari
bapaknya dari kakeknya. Beliau tentu lebih paham akan makna hadits tersebut,
dibanding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan; salah satu
pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.
Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota Madinah. Nasab
dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka
lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.[39]
c. Di antara fakta yang menunjukkan bahwa ulama salaf menilai tindak menyengaja
berdoa di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang
telah mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di makamnya
lalu ingin untuk berdoa untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap
kiblat serta tidak menghadap makam beliau. Dan ini merupakan pendapat empat
imam mazhab dan ulama Islam lainnya.[40]
Padahal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mulia.
Bagaimana halnya dengan makam selain beliau yang kemuliaannya jauh di bawah
beliau??!
Orang yang berdoa di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar
dan begitu berharap untuk dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah
kuburan, dibanding orang yang shalat di situ dalam keadaan sehat wal afiat. Karena
itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.[42]
Kelima: Di antara kaidah syariat yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu
adz-dzarâ’i’ (mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang
menghantarkan kepadanya). Dan berdoa di kuburan sebagaimana telah maklum
bisa mengantarkan kepada tindak memohon kepada sahibul kubur, dan ini
merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan ke sana harus ditutup rapat-
rapat.[43]
Pertama: Doa untuk meminta hajat kepada sahibul kubur, entah itu nabi, wali atau
yang lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allâh Ta’ala memerintahkan,
ْ َ ِﻣن ﻓb
ﺿ ِﻠ ِﮫ ْ َُ
َ ّ َوا ْﺳﺄﻟوا
Artinya: “Mohonlah pada Allâh sebagian dari karunia-Nya.” Q.S. An-Nisa’: 32.
Imam Ibn Abdil Hadi (w. 744 H) menerangkan bahwa berdoa memohon kepada selain
Allâh hukumnya adalah haram dan dikategorikan syirik, berdasarkan ijma’ para
ulama.[44]
Kedua: Menyengaja datang ke kuburan hanya untuk berdoa di situ, atau untuk
ziarah kubur plus berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di situ lebih mustajab,
karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdoa di situ lebih afdal
dibanding berdoa di masjid atau rumah.
Potret ini mengandung unsur kesengajaan memilih kuburan sebagai tempat untuk
berdoa. Dan ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan
keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran
dalam menjadikan doa lebih mustajab. Karena itulah jenis kedua ini menjadi terlarang
dan dikategorikan bid’ah.
Tatkala berbicara tentang hukum shalat di kuburan, Imam as-Suyuthy menjelaskan,
“Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri
dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya
serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan
terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama
dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allâh,
Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia
mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[45]
Ketiga: Berdoa di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti orang yang
berdoa kepada Allâh di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang
yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada sahibul kubur, meminta
keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan
dalam hadits.
Jenis doa seperti ini diperbolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan
salam kepada penghuni kubur menunjukkan bolehnya hal itu.
Doa yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaimana disebutkan
dalam dua hadits di atas.
Jika ada yang ingin mempraktikkan doa jenis ketiga ini, sebaiknya ia mencukupkan
diri dengan doa dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-
nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.
Imam Malik (w. 179 H) berkata, “Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdoa di
kuburan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun cukup mengucapkan salam lalu
berlalu.”[46]
Wallahu ta’ala a’lam.
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat: Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[15] H.R. Malik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar rahimahullah.
Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar
menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr
dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albany
menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîr as-Sâjid (hal. 25 no. 11) dan Ahkâm al-
Janâ’iz (hal. 217).
[18] Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm (IV/502).
[20] Lihat: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Radd al-Muhtâr karya Ibn
‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
[27] Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di
Mujânabah Ahl ats-Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya
Abdul Aziz ar-Rajihy (hal. 28-30).
[28] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[31] Lihat: Majâlis al-Abrâr (hal. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd
‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’id al-Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany
(III/1593-1594).
[32] Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi: Al-
Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380),
Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-
Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki: Al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn
Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-
Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-
Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn
Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’
karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[33] Cermati: Al-Ausath (V/185).
[34] Minhâj as-Sunnah karya Ibn Taimiyyah (II/438). Lihat: Ibid (I/480-481).
[36] Kisah tersebut disebutkan oleh Ishaq dalam Sirahnya riwayat Yunus bin Bukair
(hal. 49). Juga disebutkan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah dan beliau
menyatakan bahwa sanadnya hingga Abu al-‘Aliyah sahih. Lalu beliau menyebutkan
jalur-jalur periwayatan lain yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut benar
adanya. Periksa: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/376-379), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-
Mustaqîm (II/199-200) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/377).
[37] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (V/177-178 no. 7624) dan
ini adalah redaksi beliau. Juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-
Shalat (hal. 35 no. 20) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (I/361 no. 469). Ibn Abdil Hadi
dalam ash-Shârim al-Munky (hal. 468) berkata, “Kisah tersebut diriwayatkan Abu
Ya’la dan al-Hafizh Abu Abdillah al-Maqdisy dalam al-Ahadîts al-Mukhtârah. Ini
merupakan hadits yang mahfûzh dari Ali bin al-Husain Zainal Abidin dan memilik
banyak syawâhid (riwayat penguat)”. Syaikh al-Albany menilainya sahih. Lihat: Fadhl
ash-Shalat (hal. 36).
[38] Diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 40 no. 30) dan
ini adalah redaksi beliau. Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya
(III/577 no. 6726) dan Ibn Abi Syaibah al-Mushannaf (V/178 no. 7625). Dua atsar di
atas memiliki syâhid dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Dawud (II/366
no. 2042) dan Ahmad (XIV/403 no. 8804). Dalam al-Adzkâr (hal. 173) Imam Nawawy
menilai sanad hadits Abu Hurairah sahih dan diamini as-Sakhawy dalam al-Qaul al-
Badî’ (hal. 312). Ibn Taimiyyah dalam ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy (hal. 92) dan Ibn Hajar
sebagaimana dalam al-Futûhât ar-Rabbâniyyah (III/313) menyatakannya hasan.
Adapun Ibn Abdil Hadi dan al-Albany menilainya sahih. Lihat: Ash-Shârim al-Munky
(hal. 490) dan Shahîh al-Jâmi’ (II/706 no. 3785).
[43] Baca: Minhâj as-Sunnah (II/439-440), Ighâtsah al-Lahfân (I/396, 398) dan ad-
Du’â’ wa Manzilatuh (II/483-484).
[44] Cermati: Ash-Shârim al-Munky (hal. 543) dan Shiyânah al-Insân karya as-
Sahsawany (hal. 234).
[45] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).