Pertama, berlebihan dalam hal wasilah. Seperti beribadah kepada Allah di kuburan, berdoa
kepada Allah di kuburan karena meyakini lebih mustajab. Bentuk berlebihan ini merupakan
wasilah menuju kesyirikan
Kedua, berlebihan dalam hal sebagai tujuan. Seperti berdoa kepada mayat orang shalih.
Bentuk berlebihan ini termasuk perbuatan kesyirikan akbar.
Pada bab sebelumnya telah dibahas bentuk berlebihan yang pertama. Lalu pada bab ini
penulis akan membahas mengenai bentuk berlebihan yang kedua. Seakan-akan penulis juga
ingin menjelaskan bahwa bentuk berlebihan yang pertama merupakan sarana menuju bentuk
berlebihan jenis kedua, yang awalnya kuburan-kuburan dan penghuninya tersebut hanya
sebagai wasilah tetapi lama kelamaan menjadi tujuan penyembahan secara langsung.
Patut diketahui bahwa tujuan ziarah kubur ada dua, pertama untuk mengingat kematian dan
akhirat kemudian kedua untuk mendoakan penghuni kubur. Jika berziarah kubur adalah
dengan tujuan ini maka tidak ada bedanya baik yang diziarahi itu orang shalih maupun bukan
orang shalih. Bahkan jika tujuannya adalah untuk mengingat akhirat, menziarahi kuburan
orang kafir pun dibolehkan, tetapi jika tujuannya untuk mendoakan maka khusus orang
muslim. Berdasarkan dua tujuan ini, tidak ada alasan yang bisa dijadikan hujjah untuk
berlebihan terhadap kuburan orang shalih.
Sangat disayangkan ternyata realita yang terjadi di masyarakat adalah justru pengagungan-
pengagungan terhadap kubur sangat marak terjadi. Bahkan di sebagian kuburan-kuburan
disediakan tempat khusus untuk beribadah disitu, yang tidak lain semua itu diambil dari
tradisi orang-orang Syiah yang gemar berlebih-lebihan terhadap kuburan-kuburan orang
shalih.
اج َد
ِ سَ ب هللاِ َعلَى قَ ْو ٍم ات َّخ ُذ ْوا قُبُ ْو َر َأ ْنبِيَاِئ ِه ْم َم
ُ ض ْ ا،ُي َوثَنًا يُ ْعبَد
َ شتَ ّد َغ ْ اللّ ُه ّم الَ ت َْج َع ْل قَ ْب ِر
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah
sangat murka kepada orang-orang yang telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai
tempat ibadah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattha’nya dari Zaid bin Aslam dari
Atha’ bin Yasar bahwa Rasulullah bersabda demikian. Atha’ bin Yasar adalah seorang
tabi’in, sehingga hadits ini hadits yang mursal dan hadits mursal adalah hadits yang dhaif.
Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar
dari Abu Sa’id Al-Khudry secara marfu’ sampai Rasulullah. Karenanya, riwayat Al-Bazzar
menguatkan riwayat Imam Malik.
Lebih dari itu, hadits ini memiliki riwayat pendukung di dalam Musnad Imam Ahmad. Beliau
meriwayatkan dari Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi secara
marfu’ dan dihukumi oleh para ulama sebagai hadits yang shahih, bahwasanya Nabi
bersabda,
ِ لَ َعنَ هللاُ قَوْ ًما اتَّخَ ُذوْ ا قُبُوْ َر أ ْنبِيَاِئ ِه ْم َم َس،اَللّهُ َّم اَل تَجْ َعلْ قَب ِْريْ َوثَنًا
اج َد
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah
melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat-tempat
ibadah.”
Di dalam hadits di atas (sebagaimana yang dibawakan oleh penulis), Nabi menyebutkan dua
perkara yaitu,
Pertama :
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Potongan pertama hadits ini menunjukkan larangan berlebihan dalam tujuan, jangan sampai
terjatuh dalam kesyirikan dengan melakukan penyembahan terhadap berhala.
Kedua :
“Allah sangat murka kepada orang-orang yang telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka
sebagai tempat ibadah.”
Potongan kedua hadits ini menunjukkan larangan berlebihan dalam wasilah, artinya
menjadikan kuburan sebagai masjid merupakan wasilah yang bisa mengantarkan kepada
menjadikan kuburan tersebut sebagai berhala yang disembah
Doa Nabi ini dikabulkan oleh Allah sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim di dalam
nuniyahnya,
ِ َوَأ َحاطَهُ بِثَالَثَ ِة ْال ِج ْد َر ُاب َربُّ ْال َعالَ ِم ْينَ ُدعُا َءه
ان َ فََأ َج
Maka jadilah kuburan Nabi dijaga oleh Allah dengan tiga dinding yang kokoh yang menutupi
kuburannya sebagaimana yang telah digambarkan pada bab sebelumnya, sehingga manusia
tidak bisa atau tidak leluasa berlebih-lebihan pada kuburan Nabi.
Mereka mengatakan bahwa marah itu bersumber dari darah yang menyala di dalam jantung
yang mana itu adalah sifat manusia. Kita bantah dengan mengatakan, definisi marah yang
demikian adalah marahnya manusia, adapun marahnya Allah tidak bersifat dengan bentuk-
bentuk demikian, marahnya Allah adalah sesuai dengan keagungan Allah.
Mereka mengatakan bahwa marah harus ditakwil menjadi ِإ َرا َدةُ ااْل ِ ْنتِقَ ِامyaitu Allah ingin
membalas. Kita bantah dengan mengatakan, keinginan membalas juga manusia bersifat
dengannya. Tujuan mereka ingin lari dari tasybiih (menyamakan Allah dengan manusia)
namun akhirnya mereka juga mentakwil dengan mentasybih juga.
Mereka mengatakan bahwa keinginan Allah berbeda dengan keinginan manusia. Kita
katakan, demikian pula sifat marah Allah juga berbeda dengan marahnya manusia. Lebih dari
itu, sifat marah dan sifat keinginan membalas adalah hal yang berbeda dan dibedakan Allah,
Allah berfirman,
َفَلَ َّما آ َسفُونَا انتَقَ ْمنَا ِم ْنهُ ْم فََأ ْغ َر ْقنَاهُ ْم َأجْ َم ِعين
“Maka tatkala mereka membuat Kami marah, Kami menghukum mereka lalu kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut).” (QS Az-Zukhruf : 55)
Para salaf dahulu berusaha untuk menutup segala celah dan sarana yang bisa mengantarkan
kepada kesyirikan. Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Wadhdhah, beliau berkata, aku
mendengar Isa bin Yunus berkata, “Umar bin Khaththab memerintahkan agar memotong
pohon dimana Nabi dibaiat di bawahnya.” Umar memotong pohon tersebut karena orang-
orang pergi ke pohon tersebut dan shalat di bawahnya, maka Umar takut mereka tertimpa
oleh fitnah.
Padahal pohon tersebut adalah sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran,
ض َي هَّللا ُ َع ِن ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِإ ْذ يُبَايِعُونَكَ تَحْ تَ ال َّش َج َر ِة فَ َعلِ َم َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فََأن َز َل ال َّس ِكينَةَ َعلَ ْي ِه ْم َوَأثَابَهُ ْم فَ ْتحًا قَ ِريبًا
ِ لَّقَ ْد َر
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS Al-Fath : 18)
Bersamaan dengan itu Umar memotongnya karena dia tidak punya keistimewaan khusus,
melainkan justru bisa menjadi fitnah di tengah manusia. Sebagaimana gua Hira yang tidak
memiliki keistimewaan khusus, hanya kebetulan saja Nabi mendapatkan wahyu di tempat
tersebut. Karenanya tidak dijumpai Nabi pernah mengunjungi gua Hira untuk kedua kalinya,
para sahabat juga tidak pernah dikabarkan bahwa mereka mengunjungi gua Hira. Demikian
juga hikmah tidak disebutkannya lokasi gua Ashabul Kahfi, seandainya itu penting niscaya
Allah akan menyebutkannya.
Kejadian yang lebih menakjubkan lagi adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq
di dalam kitab Maghazinya, terdapat tambahan dari Yunus bin Bukair dari Abu Khaldah
Khalid bin Dinar, Abul Aliyah menyampaikan kepada kami, dia berkata, “Ketika kami
menaklukkan kota Tustar, kami menemukan sesosok mayit laki-laki terbaring di atas ranjang
di baitul mal milik Al-Hurmuzan, di sisi kepala mayit tersebut terdapat mushaf, lalu kami
mengambil mushaf tersebut dan mengirimkannya kepada Umar. Umar memanggil Ka’ab
untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, dan aku adalah orang Arab pertama yang
membacanya. Aku membacanya seperti aku membaca Al-Quran. Lalu aku bertanya kepada
Abul Aliyah, ‘Apa isinya?’ Dia menjawab, ‘Tentang perjalanan hidup kalian, perkara-perkara
kalian, gaya bahasa kalian dan apa yang akan terjadi nanti.’ Aku berkata, ‘Lalu apa yang
kalian lakukan terhadap mayit tersebut?’ Dia menjawab, ‘Kami menggali tiga belas kubur
secara terpisah di siang hari. Ketika malam tiba, kami menguburkannya dan meratakan
seluruh kuburan tersebut untuk mengalabui orang-orang sehingga tidak membongkarnya.’
Aku bertanya, ‘Apa yang mereka harapkan darinya?’ Dia menjawab, ‘Jika hujan tidak turun
kepada mereka, maka mereka akan membawa mayat tersebut keluar sehingga hujan pun
turun kepada mereka.’ Aku bertanya, ‘Menurut kalian, siapa mayit tersebut?’ Dia menjawab,
‘Seorang laki-laki bernama Danial.’ Aku berkata, ‘Sejak kapan kalian mendapatinya sudah
mati?’ Dia menjawab, ‘Tiga ratus tahun lalu.’ Aku berkata, ‘Apakah ada perubahan dalam
jasadnya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada, hanya beberapa helai rambut dari bagian belakang
kepalanya. Sesungguhnya bumi tidak memakan jasad para Nabi’.”
Ibnul Qayyim berkata mengomentari kisah ini, “Di dalam kisah ini orang-orang Muhajirin
dan Anshar menghilangkan jejak kuburannya agar orang-orang tidak terfitnah karenanya,
mereka tidak mengeluarkan mayat tersebut untuk berdoa di sisinya dan berharap berkah
darinya. Seandainya orang-orang belakangan menemukannya niscaya mereka akan
mengangkat pedang (berebut) untuk mendapatkannya, untuk selanjutnya menyembahnya
selain Allah.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dengan sanadnya dari sufyan dari Mansur dari Mujahid,
berkaitan dengan ayat:
“Jelaskan kepadaku (wahai kaum musyrikin) tentang (berhala yang kamu anggap sebagai
anak perempuan Allah) Al lata dan Al Uzza.” (QS. An-Najm : 19)
Ia (Mujahid) berkata: “Al latta adalah orang yang dahulunya tukang mengaduk tepung
(dengan air atau minyak) untuk dihidangkan kepada jamaah haji. Setelah meninggal,
merekapun senantiasa mendatangi kuburannya.”
Demikian pula penafsiran Ibnu Abbas sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Jauza’: “Dia
itu pada mulanya adalah tukang mengaduk tepung untuk para jamaah haji.”
Wasilah kepada kesyirikan melalui pengagungan terhadap orang shalih fitnahnya lebih kuat
dari pada wasilah-wasilah yang lain. Orang-orang lebih mudah untuk terjerumus ke dalam
kesyirikan melalui pintu pengagungan terhadap orang shalih dibandingkan pengagungan
terhadap pohon, batu, patung, dan selainnya.
Demikianlah kesyirikan yang paling banyak terjadi di alam semesta yaitu berlebih-lebihan
terhadap orang shalih dengan menyembahnya setelah dia meninggal dunia. Seperti kaum
Nabi Nuh, mereka disembah ketika mereka telah meninggal dunia, Latta, Nabi Isa, dan
Sidharta Gautama, semuanya disembah justru setelah mereka telah atau dianggap meninggal
dunia.
س ُر َج
ّ اج َد َوال
ِ سَ ت ا ْلقُبُ ْو ِر َوا ْل ُمتّ ِخ ِذيْنَ َعلَ ْي َها ا ْل َم ُ لَ َعنَ َر
ِ س ْو ُل هللاِ زَ اِئ َرا
“Rasulullah melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan, serta orang-orang yang
membuat tempat ibadah dan memberi lampu penerang di atas kuburannya.” (HR. para penulis
kitab Sunan)
Dalam hadits ini terdapat tiga golongan yang dilaknat oleh Rasulullah,
Pendapat pertama, terlarang berziarah kubur secara mutlak berdasarkan hadits di atas
Pendapat kedua, terlarang jika frekuensi berziarahnya sering, berdasarkan hadits dalam
ٍ َزوَّا َراmemakai shighah mubalaghah yang bermakna “Para
riwayat yang lain dengan lafadz ت
wanita yang sering sekali melakukan ziarah”.
Pihak yang berpendapat dengan pendapat kedua mengatakan bahwa jika hanya sesekali maka
boleh bagi wanita, karena sebagaimana laki-laki butuh pengingat terhadap kematian dan
akhirat wanita juga butuh pengingat terhadap kematian dan akhirat.
Sedangkan yang berpendapat dengan pendapat pertama menganggap bahwa secara mutlak
wanita terlarang berziarah kubur, sebagaimana dzhahir hadits. Adapun hadits lain dengan
lafadz ت َ زَ وmaka hukumnya semakin terlarang lagi jika dilakukan sering. Di samping itu,
ٍ َّارا
antara banyak dan sedikit relatif.
Masalah ini adalah masalah yang khilafnya kuat, namun yang lebih hati-hati adalah wanita
sebaiknya tidak ikut berziarah kubur karena hati wanita tidak kuat, dikhawatirkan jika dia
berziarah kubur maka bisa jadi dia akan menangis, meronta, menyesali apa yang sudah
berlalu, bahkan protes kepada Allah dan tidak menerima takdir Allah. Berbeda dengan laki-
laki yang cenderung lebih kuat. Lebih dari itu, selain wanita tidak dianjurkan untuk berziarah
kubur, hadits tentang keutamaan yang akan didapatkan oleh orang yang mengikuti jenazah
disepakati ulama bahwasanya hal tersebut hanya berlaku pada laki-laki dan tidak berlaku
pada perempuan. Adapun jika wanita ingin mengingat akhirat maka bisa dengan wasilah
yang lain. Kesimpulannya, masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama,
yang berpendapat boleh silahkan, yang berpendapat tidak boleh silahkan. Namun yang lebih
hati-hati adalah wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur walaupun hanya sesekali.
Memasang lampu penerang di atas kuburan adalah hal yang terlarang karena dua sebab :
Bisa menjadi sarana pengagungan terhadap kubur yang bisa mengantarkan kepada
kesyirikan
Bentuk membuang-buang harta pada hal yang tidak perlu
Ini menunjukkan bahwasanya kuburan hendaknya sederhana agar bisa mengingatkan kepada
akhirat. Dengan melihatnya, segala fitnah duniawi dari kemewahan dan harta yang berlimpah
bisa sirna karena mengingat tempat kembalinya yaitu kuburan. Lebih dari itu, kuburan adalah
tempatnya orang yang sudah mati bukan yang masih hidup. Semewah apapun kuburannya
tetap tidak bermanfaat untuk sang mayit. Lebih baik harta tersebut digunakan untuk
bersedekah lalu diniatkan untuk sang mayit.
Para ulama mengingatkan bahwa kebiasaan menghiasi kuburan adalah kebiasaan kaum Ahlul
Kitab. Jika kuburan terlalu indah yang dihiasi dengan taman-taman yang indah serta air yang
memancar di sana sini, serta jalan-jalan yang indah, maka ini semua bisa menghilangkan
fungsi kuburan untuk mengingat akhirat.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda
Andirja, Lc. MA.