Anda di halaman 1dari 10

Mitigasi Bencana Kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan ........

Wahdania dkk

MITIGASI BENCANA KEKERINGAN DI KAWASAN DAERAH ALIRAN


SUNGAI MAROS KABUPATEN MAROS PROVINSI SULAWESI
SELATAN
(Drought Disaster Mitigation in Maros Watershed Area Maros Regency
South Sulawesi Province)

Nurul Wahdaniyah1, Kartini1, Ismah Pudji Rahayu1, Andi Idham


Asman2, Despry Nur Annisa3
Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, 92113, Indonesia 1
Institut Teknologi Bandung, Bandung, 40132, Indonesia2
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 55281, Indonesia 3
Jalan Sultan Alauddin No.63, Romangpolong, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92113 E-mail:
nurulwahdaniyah27@gmail.com

ABSTRAK
Bencana kekeringan merupakan bencana yang terjadi ketika ketersediaan air tanah tidak dapat
mencukupi kebutuhan air bersih penduduk. Selama beberapa bulan terakhir di tahun 2017, Bendungan
Sungai Lekopancing Kabupaten Maros mengalami kekeringan. Dampak dari keringnya Bendungan Sungai
Lekopancing ini, suplai air bersih untuk Kota Makassar di wilayah utara dan timur menjadi terhambat. Sungai
Lekopancing merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros. Terjadinya kekeringan di
Sungai Lekopancing ini mengindikasikan bahwa Daerah Aliran Sungai Maros mengalami kritis. Sehubungan
dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya mitigasi bencana kekeringan di Kawasan Daerah Aliran
Sungan Maros untuk mengatasi permasalahan kekeringan di wilayah ini. Tujuan dari penelitian ini adalah;
(1) Menganalisis tingkat bahaya bencana kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; (2)
Menganalisis tingkat kerentanan bencana kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; dan (3)
Menganalisis tingkat risiko bencana kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; dan (4)
Mendeskripsikan bentuk mitigasi bencana kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data citra dan survei lapangan. Analisis yang digunakan
adalah analisis spasial dan deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini berupa peta tingkat bahaya bencana
kekeringan, peta tingkat kerentanan bencana kekeringan, peta tingkat risiko bencana kekeringan, dan
strategi bentuk mitigasi bencana kekeringan di Daerah Aliran Sungai Maros.

Kata Kunci : mitigasi bencana, kekeringan, Daerah Aliran Sungai, ketersediaan air tanah

ABSTRACT
Drought is a disaster which is happened when availability of ground water cannot sufficient water
needs. Over the last view months in 2017, Lekopancing Dam in Maros is suffering drought. The impact of
the drought of Lekopancing Dam that is the supply of clean water for Makassar in north and east area is
hampered. Lekopancing River is a part of Maros Watershed in Maros. The occurrence of drought in the
Lekopancing River indicates that Maros Watershed is facing a critical. In addition, it is necessary to carry out
drought mitigation efforts in the Maros to manage drought problems in the area. The purposes of this
research; (1) Analyzing the dangers of drought in Maros; (2) Analyzing the level of vulnerability of drought in
the Maros Watershed area; (3) Analyzing the dangers of drought risk in the Maros Watershed Area; and
(4) Describe the form of drought mitigation disaster in Maros Watershed Area. The methods used in the
study is image data processing and field survey. The analyzes used are spatial analysis and descriptive
qualitative. The result of the research is a map of hazard level of drought, a map of drought-level
vulnerability, a map of drought risk level, and the strategy of drought mitigation forms in the Maros
Watershed.

Keywords: dsaster mitigation, drought, watershed, availability of ground water

PENDAHULUAN
Kekeringan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup,

361
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Bencana kekeringan merupakan bencana yang
terjadi ketika ketersediaan air tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan air bersih penduduk.
Bencana kekeringan merupakan salah satu bencana yang sering muncul ketika musim kemarau
tiba. Hal tersebut diketahui dari banyaknya pemberitaan media yang menyatakan bahwa banyak
tempat di Indonesia yang mengalami kesulitan air bersih, dalam hal ini adalah kekeringan. Salah
satu dari wilayah tersebut adalah Kabupaten Maros.
Selama beberapa bulan terakhir di tahun 2017, Bendungan Sungai Lekopancing Kabupaten Maros
mengalami kekeringan. Dampak dari keringnya Bendungan Sungai Lekopancing ini, suplai air
bersih untuk Kota Makassar di wilayah utara dan timur menjadi terhambat. Sungai Lekopancing
merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros. Terjadinya kekeringan di
Sungai Lekopancing ini mengindikasikan bahwa Daerah Aliran Sungai Maros mengalami kritis.
Tujuan dari penelitian ini adalah; (1) Menganalisis tingkat bahaya bencana kekeringan di
Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; (2) Menganalisis tingkat kerentanan bencana kekeringan di
Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; dan (3) Menganalisis tingkat risiko bencana kekeringan di
Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros; dan (4) Mendeskripsikan bentuk mitigasi bencana
kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros.

METODE
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah dengan cara observasi,
wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun metode analisis yang digunakan disesuaikan
berdasarkan masing-masing tujuan dari penelitian dengan uraian sebagai berikut.

1. Analisis tingkat bahaya kekeringan

Analisis tingkat bahaya kekeringan dalam penelitian ini menggunakan teknik overlay dengan
pendekatan hidrogemorfologi yang menekankan pada poteni keberadaan air tanah. Parameter
penilaian yang digunakan untuk mengetahui keberadaan potensi keberadaan air tanah adalah
kemiringan lereng, klasifikasi intensitas hujan, kelas penutup lahan, tekstur tanah, permeabilitas
tanah, infiltrasi tanah, dan batuan penyusun akuifer. Adapun rincian penilaiannya dapat dilihat
pada Tabel 1 sampai Tabel 7 berikut.

Tabel 1. Kelas dan Kriteria Kemiringan Lereng


No. Kelas Kemiringan Lereng (o) Harkat
1 Agak curam >30 1
2 Miring 15-30 2
3 Agak miring 8-15 3
4 Landau 3-8 4
5 Datar 0-3 5
Sumber: Arsyad, 1989

Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Hujan


Intensitas Hujan Harian Rata-rata
No. Kelas Harkat
(mm/hari)
1 Sangat rendah <13,6 1
2 Rendah 13,6-20,7 2
3 Sedang 20,7-27,7 3
4 Tinggi 27,7-34,8 4
5 Sangat tinggi >34,8 5
Sumber: Arsyad, 1989

362
Mitigasi Bencana Kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan ........ Wahdania dkk

Tabel 3. Klasifikasi Penutup Lahan


Kondisi Penutup Lahan Tingkat Kerapatan Harkat
Penutup vegetasi tidak efektif
Sangat Jarang 1
(5% luas daerah bervegetasi baik)
Penutup vegetasi rendah
Jarang 2
(10% luas daerah bervegetasi baik)
Penutup vegetasi sedang
Sedang 3
(15% luas daerah bervegetasi baik)
Penutup vegetasi tinggi
Lebat 4
(20% luas daerah bervegetasi baik)
Penutup vegetasi sangat tinggi
Sangat Lebat 5
(25% luas daerah bervegetasi baik)
Sumber: Arsyad, 1989

Tabel 4. Kelas dan Kriteria Tekstur Tanah


No. Kelas Kelas Tekstur Tanah Harkat

1 Jelek Lempung bergeluh, lempung berpasir 1


halus, geluh berlempung
2 Sangat Jelek Lempung, lempung berdebu 2
Debu, geluh, geluh berdebu, geluh
3 Sedang lempung berdebu, geluh lempung 3
berpasir, lempung berpasir
Geluh berpasir, geluh pasir
4 Baik 4
berlempung, geluh pasir berdebu
5 Sangat Baik Pasir berlempung, pasir berdebu, 5
pasir bergeluh, pasir
Sumber: Arsyad, 1989

Tabel 5. Kelas Permeabilitas Tanah


No. Kelas Kecepatan (cm/jam) Harkat
1 Sangat Lambat <0,5 1
2 Lambat 0,5-2,0 2
3 Lambat sampai Sedang 2,0-6,25 3
4 Sedang 6,25-12,5 4
5 Sangat sampai cepat >12,5 5
Sumber: Arsyad, 1989

Tabel 6. Kelas Infiltrasi


Tingkat
Tekstur Tanah Kelas Metode Cook Harkat
Infiltrasi
Tidak ada penutup tanah efektif,
Batuan dengan lapisan tanah tipis Tidak efektif 1
batuan padatan tipis
Lempung bergeluh, lempung
berpasir halus, geluh berlempung, Lambat Infiltrasi lambat, tanah lempung 2
lempung berdebu, lempung
Debu, geluh, geluh berdebu,
geluh lempung berdebu, geluh
Normal Tanah geluh, tanah bertekstur liat 3
lempung berpasir, lempung
berpasir
Geluh berpasir, geluh pasir
berdebu, geluh, geluh pasir Agak tinggi Pasir, tanah terintegrasi baik 4
berlempung
Pasir berlempung, pasir berdebu, Pasir dalam, tanah terintegrasi
Tinggi 5
pasir bergeluh, pasir baik
Sumber: Arsyad, 1989

363
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

Tabel 7. Klasifikasi Batuan Penyusun Akuifer


No. Kelas Batuan Sy Harkat
1 Sangat Jelek Lempung 3-7,46 1
2 Jelek Lanau, batu lanau 7,47-12,6 2
3 Sedang Batugamping 12,61-17,73 3
4 Baik Tuff, Batupasir halus 17,74-22,86 4
Kerakal kasar, kerakal, kerikil,
5 Sangat Baik pasir kasar, pasir sedang, pasir 22,87-28 5
halus, dan batupasir sedang
Sumber: Arsyad, 1989

Indeks Bahaya Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan
terjadi suatu Bahaya dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi
tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian
yang pernah terjadi pada suatu daerah. Dalam penyusunan peta bahaya bencana, komponen-
komponen utama ini dipetakan dengan menggunakan perangkat GIS. Pemetaan baru dapat
dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada setiap komponen diperoleh dari sumber data
yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas bahaya, yaitu rendah,
sedang dan tinggi. Kelas bahaya dari 5 kelas dirubah menjadi 3 kelas dengan skoring sesuai
dengan kelas yang ada (tinggi, sedang, rendah).

Tabel 8. Klasifikasi Zona Bahaya Bencana Kekeringan


Bobot
Zona Bahaya Kelas Nilai Skor
(%)
Sangat Rendah, Rendah Rendah 1 0.333333
Sedang Sedang 2 100 0.666667
Tinggi, Sangat Tinggi Tinggi 3 1.000000
Sumber: Perka No.2 tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana

2. Analisis tingkat kerentanan kekeringan

Analisis tingkat kerentanan kekeringan dalam penelitian ini menggunakan teknik overlay
dengan pendekatan tumpang susun peta kesesuaian penggunaan lahan eksisting terhadap peta
rencana penggunaan lahan yang terdapat dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Maros.

3. Analisis tingkat risiko kekeringan

Analisis tingkat kerentanan kekeringan dalam penelitian ini menggunakan teknik overlay
dengan pendekatan tumpang susun peta tingkat bahaya kekeringan dan peta tingkat kerentanan
kekeringan. Tingkat resiko bencana ditentukan dengan menggabungkan peta tingkat bahaya
kekeringan dengan tingkat kerentanan kekeringan. Penentuan tingkat resiko bencana dilakukan
dengan menggunakan matriks. Penentuan dilaksanakan dengan menghubungkan Tingkat Bahaya
dan Tingkat Kerentanan dalam matriks tersebut. Warna tempat pertemuan nilai tersebut
melambangkan Tingkat Risiko suatu bencana di kawasan tersebut.

TINGKAT INDEKS KESESUAIAN LAHAN


KERENTANAN RENDAH SEDANG TINGGI
BAHAY

RENDAH
A

SEDANG
EK
IN
D

TINGGI

Gambar 1. Matriks tingkat Kerentanan dan kesesuaian lahan

364
Mitigasi Bencana Kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan ........ Wahdania dkk

INDEKS KERENTANAN
TINGKAT RISIKO
RENDAH SEDANG TINGGI

H
A

A
B

Y
RENDAH

INDEK
SEDANG

S
TINGGI

Gambar 2. Matriks tingkat resiko dan tingkat Kerentanan

Gambar 3. Ilustrasi overlay peta resiko bencana

4. Bentuk Mitigasi Bencana Kekeringan

Analisis yang digunakan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana kekeringan yang dapat
diberlakukan di lokasi penelitian adalah deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan kondisi atau
keadaan yang terjadi dilapangan yang mengacu pada hasil analisis risiko bencana kekeringan yang
telah dilakukan. Berdasarkan hasil tingkat resiko bencana dapat dilakukan mitigasi sesuai skala
prioritas. Wilayah dengan tingkat resiko bencana tertinggi memeiliki prioritas utama dalam
menentukan bentuk mitigasi bencana baik secara stuktural maupun non-struktural.

HASIL DAN PEMBAHASAN


DAS Maros memiliki luas wilayah secara keseluruhan yaitu 87.325,29 Ha. DAS Maros ini
melintasi setidaknya 12 kecamatan yaitu Kecamatan Bantimurung, Bontoa, Cenrana, Lau, Mandai,
Maros Baru, Marusu, Moncongloe, Simbang, Tanralili, Tompobulu dan Turikale. Namun, sebagian
besar wilayah DASnya berada di Kecamatan Tompobulu yang merupakan hulu DAS Maros. Kondisi
iklim DAS Maros termasuk daerah beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26°C sampai 27,6°C.
Curah hujan tahunan rata-rata 1501-3000 mm/thn. Jenis tanahnya terdapat empat macam yaitu
alluvial muda, regosol, litosol dan mediteran. Jenis lahan eksisting yang paling dominan di
kawasan ini adalah berupa hutan dan sawah selengkapnya tentang tutupan lahan di DAS Maros
dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 9. Penggunaan lahan kawasan DAS Maros


No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Bandara 195,79
2 Hutan 24346,66
3 Komersil 13,89
4 Lain-lain 10,58
5 Mangrove 92,90
6 Pemukiman 2981,31
7 Perkebunan 3438,69
8 Permukiman 25,53

365
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)


9 Rumput/Savana 371,59
10 Sawah 20116,82
11 Semak Belukar 10051,46
12 Sungai 997,67
13 Tambak 10059,14
14 Tambang 261,34
15 Tegalan/Ladang 14361,91
Grand Total 87325,29
Sumber: Buku Putih Sanitasi Kabupaten Maros

Gambar 4. Peta penggunaan lahan

1. Analisis Tingkat Bahaya Kekeringan

Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui tingkat bahaya di DAS Maros adalah
pendekatan hidrogeomorfologi yang menekankan pada aspek ketersediaan air tanah. Hasil overlay
yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh wilayah kecamatan di DAS Maros mulai dari hulu dan
hilir memiliki tingkat bahaya kekeringan tinggi. Luas wilayah bahaya tinggi adalah 47.046,75 Ha.
Sedangkan untuk tingkat potensi bahaya rendah dan sedang yaitu 435,99 Ha dan 39.766,75 Ha.
Peta tingkat bahaya kekeringan DAS Maros disajikan pada Gambar 2 berikut.

Gambar 5. Peta Tingkat Bahaya Kekeringan DAS Maros

366
Mitigasi Bencana Kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan ........ Wahdania dkk

2. Analisis Tingkat Kerentanan Kekeringan

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis tingkat kerentanan kekeringan yang terjadi di
DAS Maros berupa pendekatan fisik yang menitikberatkan pada kesesuaian penggunaan lahan
eksisting terhadap penggunaan lahan yang telah di tetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Kabupaten Maros. Sajian peta rencana pola ruang Kabupaten Maros dapat dilihat di Gambar 3.
Berdasarkan hasil overlay yang dilakukan antara peta penggunaan lahan eksisting dan peta
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Maros, diperoleh hasil bahwa kerentan tinggi terjadi di hilir
DAS Maros. Hal ini mengindikasikan bahwa keadaan hulu DAS Maros tidak mengalami konversi
lahan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan di DAS Maros secara keseluruhan. Namun
terjadinya kekeringan disebabkan oleh kualitas air tanah yang tidak mampu menyerap air lebih
lama dan intensitas hujan yang terus berkurang. Peta tingkat kerentanan kekeringan DAS Maros
disajikan pada Gambar 4.

Gambar 6. Peta Pola Ruang Kawasan DAS Maros

Gambar 7. Peta Kerentanan Bencana Kekeringan Kawasan DAS Maros

367
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

3. Analisis Tingkat Risiko Kekeringan

Hasil analisis tingkat risiko yang dilakukan memberikan informasi bahwa tingkat risiko tinggi di
DAS Maros secara umum berada pada wilayah yang memiliki zona tingkat bahaya yang tinggi.
Demikian halnya juga tingkat risiko sedang dan rendah juga berada pada zona wilayah yang
memiliki tingkat bahaya yang sedang dan rendah. Luas wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi
adalah 46.173,93 Ha. Luas wilayah yang memiliki tingkat risiko sedang adalah 38.173, 38 Ha, dan
luas wilayah yang memiliki tingkat risiko sedang adalah 987,01 Ha. Peta tingkat risiko kekeringan
DAS Maros dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 8. Peta Tingkat Risiko Bencana Kekeringan Kawasan DAS Maros

Kekeringan merupakan keadaan tanpa hujan yang berkepanjangan atau masa kering yang di
bawah normal yang terjadi cukup lama sehingga menyebabkan terganggunya kesetimbangan
hidrologi yang serius. Kekeringan ada dua kategori, yaitu kategori terkena kekeringan seperti
kondisi ketika musim kering menyebabkan sawah, retak-retak diikuti tanaman kering dan mati dan
kategori terancam kekeringan yaitu kondisi ketika sawah masih basah karena adanya suplai air
akan tetapi jumlahnya jauh dari yang dibutuhkan (Soenarno dan Syarief, 1995). Faktor penting
yang mempengaruhi kekeringan selanjutnya adalah tanah, sebagai media tumbuh dan sumber
hara bagi tanaman. Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh hubungan hisapan dan
kelengasan, kedalamaan. tanah dan pelapisan tanah. Hounam et al., (1975) dalam Amelia (2004),
mengemukakan bahwa hisapan dan kelengasan berhubungan erat dengan struktur pada pori-pori
mikro tanah. Jumlah tersebut merupakan jumlah maksimum air yang dapat dipegang oleh tanah,
pada zona tak jenuh melawan gaya gravitasi.
Berdasarkan Gambar 5 tersebut diketahui bahwa DAS Maros mengalami kekeringan hidrologis
dan kekeringan antropogenik. Kekeringan hidrologis menurut Adi (2011) adalah kekeringan yang
berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur
berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang
waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan
elevasi muka air tanah. Kekeringan yang terjadi di kawasan DAS Maros khususnya pada daerah
hilir mengindikasikan bahwa kurangnya persediaan air tanah akibat tidak mampunya tanah
menapung air hujan dalam waktu yang lama. Pengairan sawah yang memanfaatkan irigasi pun
tidak mencukupi untuk pengairan pada musim kemarau sehingga masih sangat bergantung pada
air hujan.

368
Mitigasi Bencana Kekeringan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Maros Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan ........ Wahdania dkk

Sedangkan kekeringan antropogenik menurut Adi (2011) adalah kekeringan yang disebabkan
karena perilaku manusia yang tidak teratur pada aturan yang ada. Lebih lanjut, Adi (2011)
memaparkan bahwa kekeringan antropogenik terjadi karena dua hal, yaitu (a) Kebutuhan air lebih
besar daripada pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola
tanam/pola pengguna air; dan (b) Kerusakan kawasan tangkapan air dan sumber-sumber air
akibat perbuatan manusia.
Khusus yang terjadi pada DAS Maros adalah kekeringan antropogenik yang disebabkan oleh
kerusakan tangkapan air dan sumber-sumber air akibat perbuatan manusia. Kejadian kerusakan
tersebut berupa pendirian bangunan pada daerah resapan air dan penambangan pasir di daerah
DAS yang menyebabkan turunnya muka air tanah.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmat dan Pamungkas (2014) menyatakan
bahwa kepadatan bangunan yang meningkat cenderung mendesak keberadaan sungai dan saluran
drainase sehingga daerah resapan air menjadi semakin kecil dan daya resap air semakin rendah
sehingga akan berpengaruh pada ketersediaan air tanah. Menurut Fathurrohman (2012) dalam
Purnama (2013), pengerukan pasir yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu
yang lama menyebabkan menurunnya dasar sungai. Hal tersebut akan berpengaruh pada
menurunnya kualitas air tanah pada daerah DAS.

4. Mitigasi Bencana Kekeringan

Mitigasi bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dibagi
menjadi dua macam, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural.
Mitigasi strukural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui
pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti
pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi,
bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System. Mitigasi non-struktural
adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya tersebut diatas dalam lingkup upaya
pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan, Undang-Undang Penanggulangan
Bencana (UU PB). Contoh lainnya adalah pembuatan kebijakan tata ruang kota, capacity building
masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan
kapasitas masyarakat, juga bagian dari mitigasi ini. Kegiatan ini semua dilakukan untuk, oleh dan
di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.
Adapun bentuk mitigasi yang dapat dilakukan pada di kawasan DAS Maros adalah berupa mitigasi
struktural dan mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan pada DAS Maros adalah sebagai berikut.

Mitigasi Struktural
a.
Bentuk mitigasi struktural yang dapat dilakukan pada zona risiko kekeringan tinggi adalah
berupa pembuatan embung, pembuatan teras saluran, teras guludan, teras kredit, teras bangku,
teras bawah, pembuatan bangunan terjunan pada wilayah dataran tinggi kemudian pembuatan
rorak maupun catch pit pada dataran yang memiliki penggunaan lahan eksisting sebagai kawasan
pertanian. Selain itu pada rumah-rumah permukiman dapat disediakan bak khusus penampungan
air hujan.
b. Mitigasi Nonstruktural
Bentuk mitigasi nonstruktural yang dapat dilakukan adalah menyusun neraca air secara
cermat, menentukan urutan prioritas alokasi air, menentukan pola tanam dengan
mempertimbangkan ketersediaan air, menyiapkan pola operasi sarana pengairan,
memasyarakatkan gerakan hemat air, serta memantau dan mengevaluasi pelaksanaan upaya
penanganan kekeringan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah DAS Maros
mengalami kekeringan secara hidrologis dan antropogenik yang diketahui dari hasil analisis tingkat

369
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

bahaya risiko kekeringan. Kekeringan hidrologis terjadi akibat kurangnya ketersediaan air tanah
dan permukaan sedangkan kekeringan antropogenik yang terjadi disebabkan karena perbuatan
manusia berupa pendirian bangunan pada daerah resapan air dan penambangan pasir secara
terus-menerus. Adapun mitigasi bencana kekeringan yang dapat dilakukan pada DAS Maros adalah
berupa kegiatan fisik dan non-fisik.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Henny Pratiwi. 2011. Kondisi dan Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan di Jawa Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Mitigasi dan Ketahanan Bencana 26 Juli 2011
Amelia, Vera. 2004. Pendekatan Penanggulangan Kekeringan Untuk Usaha Tani. Institut Pertanian Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian
Resiko Bencana
Purnama, Hendra Dwi. 2013. Dampak Penambangan Pasir Mekanis Sungai Brantas di Kediri. Universitas Negeri Malang.
Rachmat, Adhe Reza dan Pamungkas, Adjie. 2014. Faktor-Faktor Kerentanan yang Berpengaruh Terhadap Bencana
Banjir di Kecamatan Manggala Kota Makassar. JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3. No. 2
Soenarno & Syarief, R.1995. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik Sumber Air di Pulau Jawa. dalam Handoko,
Las, I., Rizaldi B.,Sinulingga, N., Syamsudin, G. & Soepandi, D. 1995. Prosiding Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan
dan Penanggulangan Jangka Panjang Rumusan Sukamandi 26-27 Agustus 1994.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

370

Anda mungkin juga menyukai