Anda di halaman 1dari 9

Seorang gadis tengah memperhatikan seksama foto yang di pegangnya.

Alni, nama
gadis tersebut. Ia mengusap pelan permukaan foto yang mulai pudar karena sudah
termakan waktu. Bibirnya menyunggingkan senyum sendu. 10 tahun sudah berlalu.
Dan semuanya telah berubah.

“Mbak Al, sudah jam dua siang. Mbak harus segera ke bandara karena akan check in
sebentar lagi kata nyonya.” Seorang perempuan paruh baya yang berada di pintu
kamarnya, membuat Alni mengalihkan pandang.

Alni memberikan senyum kepada pembantu rumah tangga keluarganya tersebut,


“Bilangin ke Mama bentar lagi aku turun, Mbak.” Ucap Alni yang diangguki segera
oleh si Mbak.

“Sip, Mbak. Saya permisi.” Setelahnya, si Mbak berlalu dari kamarnya.

Alni kembali mengusap foto yang masih dipegangnya. Disitu, tampak tiga anak
berusia sekitar 7 tahun saling merangkul dengan satu laki-laki di antara dua
perempuan.

“I’ll see you, guys.” Gumamnya lirih.

Sekarang ini, Alni dan keluarganya berada di Bali, tempat kelahiran Mamanya.
Kejadian tiga tahun lalu membuatnya berada disini. Bersama Mama tanpa sang Papa.
Hari ini, Alni akan kembali lagi di Bandung, tempat Papanya tinggal.

Alni menarik koper yang sudah ia siapkan, bersedia untuk turun. Alni
menghembuskan napas pelan, berusaha siap menerima kenyataan.

Dari ujung tangga, Alni melihat Mamanya berada di ruang keluarga sedang
mengemasi barang yang akan dibawa. Alni menghampiri Sang Mama dan duduk di
sofa.

“Halo, sayang. Udah siap bertemu Papa?” Ditanya seperti itu oleh sang Mama, Alni
bungkam enggan memberi tanggapan.

“Kenapa sih, hm?” Dera, Mama Alni menghampiri putrinya yang tengah merenung.

Dera mengusap pelan kepala anaknya dengan sayang. “Ini semua sudah takdir, udah
saatnya Papa kamu menemukan kebahagiaannya sendiri. Sudah saatnya juga Papamu
kembali membangun rumah tangga.”Dera memberi pengertian kepada Alni.

Tiga tahun lalu, kedua orang tua Alni resmi bercerai. Tanpa Alni tahu apa
permasalahannya. Hari itu adalah hari terberat bagi Alni. Ditambah ketika ia
mengetahui jika kedua sahabatnya, Alen dan Tsabi saling suka. Bisa ditebak, bahwa
Alni juga menyukai Alen.

Ketika mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya akan bercerai, Alni merasa ada
di titik terlemahnya. Apalagi mengetahui jika Mamanya akan kembali menetap di
kota kelahirannya. Alni merasa dipusingkan dengan pilihannya, waktu itu dia baru
saja lulus dari sekolah dasar. Alni sebenarnya ingin ikut dengan sang Papa agar tetap
bersama dengan sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara, karena dia tidak
memiliki saudara lagi, dia anak tunggal.
Tapi ketika mengetahui Alen dan Tsabi saling suka, saat itu juga Alni ingin
mengenyahkan rasa sayang yang berlebihan kepada Alen. Alni pikir, rasa itu hanya
sebatas cinta monyet yang bisa menghilang dalam hitungan hari, tapi dia salah. Rasa
itu masih ada, hingga sekarang. Sampai akhirnya dia lebih memilih ikut bersama
Mamanya karena tidak ingin semakin merusak persahabatan mereka.

“Kok malah bengong sih, ayo bantu Mama angkat barang-barang ini ke mobil.”
Ucapan Dera membuat Alni ke dunia nyata. Ternyata mengenang masa itu masih
membuat dada Alni sesak.

“Mama yakin mau pindah ke Bandung?” Tanya Alni kepada Dera yang sedang
membantu sopirnya menata barang-barang ke dalam mobil.

“Mama ada kerjaan di sana. Untuk masalah Papa, kita sudah berpisah secara baik.
Jadi kita tetap bisa berteman, Papamu kan sebenar lagi juga akan menikah.” Kata
Mamanya santai, tapi Alni yakin Mamanya merasakan sakit yang sama dengannya,
atau mungkin Mamanya lebih merasa sakit.

Beberapa minggu lalu, Papa Alni memberi tahu melalui telepon bahwa ia sebentar
lagi akan menikah, Alni ingat waktu itu sang Mama berusaha memberi senyum lebar
dan ucapan selamat secara antusias. Namun, di mata Alni itu semua terasa
menyedihkan. Ketika malam tiba, Alni melihat Mamanya menangis sendu sembari
menatap foto sang Papa. Alni mencoba tegar, walaupun dia juga gagal. Alni selalu
berharap semoga kedua orangtuanya bisa kembali bersatu, tapi harapan itu musnah.

“Udah, ayo masuk mobil. Penerbangannya dua jam lagi.” Kata Dera, kembali
membuat Alni tersadar dari lamunannya.

****

Alni dan Dera sampai di bandara internasional husein sastranegara pada pukul
delapan malam, Dera ternyata sudah mempersiapkan pindahan ini dari jauh-jauh hari.
Alni pikir, mereka akan menyewa hotel tapi ternyata Dera sudah mempersiapkan
apartemen. Mereka menaiki taksi untuk menuju ke apartemen. Alni sedikit berharap
bahwa Papanya lah yang akan menjemput. Tapi harapan hanyalah harapan, pada
nyatanya Papanya belum menanyakan kabar mereka lagi setelah berminggu-minggu
lalu.

Di dalam taksi Alni menatap keluar jendela, menatap kota yang penuh kenangan ini,
entah bersama keluarga kecilnya dulu, atau bersama kedua sahabatnya. Gemerlap
kota Bandung membuat pikiran Alni menjelajah ke masa lalu, dimana dia, Alen dan
Tsabi menuju rooftop rumah Alen yang letaknya tidak jauh dari rumah Alni dan
Tsabi. Mereka akan menghabiskan waktu sampai orangtua Alen menyuruh untuk
segera turun.

Bicara tentang sahabat, Alni selama tiga tahun ini tidak pernah menghubungi mereka
lagi. Kepindahan Mamanya yang buru-buru waktu itu pun, tidak sempat membuat
Alni pamit kepada mereka. Walaupun kerinduan sering menyapa, tapi Alni sebisa
mungkin mengenyahkan rasa rindu itu.
“Al, ayo turun.” Alni mengerjapkan mata, membuat air mata yang sempat ditahannya
tadi meluruh. Buru-buru Alni menghapus air mata tersebut sebelum Dera
menanyakan macam-macam.

Alni membantu sopir taksi dan Mamanya untuk menurunkan koper dan beberapa tas
lainnya yang berada di bagasi, “Tempatnya lantai berapa, Bu? Biar sekalian saya
bawakan ke atas.” Tawar sopir taksi.

“Nggak usah, Pak. Kita masih kuat kok. Lagian ini tidak terlalu banyak.” Tolak Dera
halus.

Setelah memastikan semua barang turun, sopir taksi tadi berpamitan untuk berlalu.
Meninggalkan Alni dan Dera yang mulai memasuki apartemen.

“Mama ih, pake nolak jasa Pak sopir padahal udah kelelahan gitu.” Gerutu Alni
ketika Mamanya berhenti sejenak untuk istirahat.

“Kasihan Pak sopirnya udah tua.” Dera kembali mengangkat kopernya menuju lift.

“Kita di lantai berapa, Ma?” tanya Alni, di dalam lift itu, hanya ada dua orang asing,
serta Alni dan Dera.

“Lantai tujuh.” Jawab Dera santai.

Alni langsung melorotkan tubuh lemas, sedikit bersyukur karena dua orang asing tadi
terlihat tidak peduli dengan sekitar, sama-sama sibuk memainkan ponsel.

“Wagelaseh, Ma. Aku masih jetlag, lemes banget rasanya.” Keluh Alni.

“Ngomong apa kamu?” Dera bertanya bingung dengan kata yang diucapkan Alni.

Alni nyengir lucu, “Rahasia, nanti Mama ikut-ikutan ngomong gitu.” Ucap Alni
membuat Dera mengacak rambut putrinya gemas.

“Ma, kontrak kerja Mama berapa tahun di Bandung?” Tanya Alni kembali berdiri.

“Lima tahun, nggak tau nanti ada mutasi lagi atau nggak.” Dera merupakan wanita
karir yang bekerja sebagai karyawan bagian divisi keuangan di salah satu bank
swasta di Indonesia. Ia dimutasi ke Bandung, karena dinilai mampu mengganti
pegawai yang melakukan tindakan curang ketika bekerja di cabang Bandung.

“Aku kuliah di sini berarti?” Alni mengerutkan kening tidak setuju, pasalnya
beberapa minggu setelah kelulusan SMA, Alni sudah mendaftarkan dirinya disalah
satu universitas di Bali. Sayang sekali jika harus mencabutnya. Tapi dia juga tidak
tega membiarkan Mamanya di Bandung sendiri.

“Ya kalau kamu pengen di Bali kan masih ada Nenek, Mama nggak papa di sini
sendiri.” Wanita berusia 37 tahun itu menatap putrinya lembut.

“Ck, aku nggak setega itu biarin Mama di sini sendiri.” Kata Alni.

Pintu lift berhenti di lantai enam, dua orang asing tadi keluar dari lift menyisakan
Dera dan Alni. “Ma, nanti Mama yakin datang ke pernikahan Papa?” Alni bertanya
pelan, ia sempat melihat raut terkejut milik Dera.
“Ya, kenapa nggak siap?” Dera menyelipkan senyum di akhir kalimatnya.

“Kenapa Mama sama Papa nggak rujuk aja?” Tanya Alni lagi, dia memandang
Mamanya penuh harap. Pertanyaan ini selalu ragu untuk ia utarakan. Tapi ini, entah
apa yang mendorongnya untuk menanyakan hal tersebut.

Dera berdehem pelan, “Bentar lagi kita sampai.” Ucap Dera mengalihkan fokus.

****

Dera mengguncang pelan tubuh Alni untuk segera bangun. Hari semakin siang, tetapi
Alni belum juga membuka matanya barang sekejap pun.

“Alni, bangun udah hampir jam sembilan ini.” Dera semakin mengguncang tubuh
Alni, membuat sang empu menunjukan rasa terganggunya. Alni memang sangat sulit
dibangunkan ketika tidur. Membuat Dera sudah terbiasa menghadapi tingkah Alni
yang seperti ini.

“Bentar lagi, Ma. Bentar lagi aku ketemu Manurios.” Gumam Alni dalam tidurnya.

“Kamu ini, udah seminggu di Bandung, katanya mau cari Universitas tapi kerjaannya
molor terus.” Omel Dera.

“Iya, Ma. Bentar.” Gumam Alni malas, malah menarik selimut untuk menutupi
keseluruhan tubuhnya. Dera yang duduk di ranjang Alni berdecak kesal, dia bangkit
menuju balkon dan menyibakkan gorden, membuat cahaya matahari masuk kedalam
kamar Alni.

“Ayo cepet bangun. Bantu Mama masak. Papa mau ke apartemen hari ini.” Ucapan
Dera membuat Alni langsung bangun seketika, rasa kantuknya sudah hilang entah
kemana.

“Bener nih?” Tanya Alni kepada Mamanya yang berdiri di ujung ranjang.

“Iya, tadi malem Papa kamu ngabarin Mama.” Jawab Dera.

“Yaudah, ayo belanja.” Ajak Alni semangat segera turun dari ranjang.

“Mandi dulu sana, bau liur gitu. Nanti Mama nggak jadi dapet mantu ganteng lagi.”
Dera pura-pura mengernyit jijik, membuat Alni berdecak kesal.

“Iya, Al mandi, biar Mama dapet mantu kayak Manurios.” Ucap Alni langsung
melenggang ke kamar mandi. Membuat Dera kebingungan di tempatnya.

“Manu..laos siapa? Mantannya Alni?” Tanya Dera entah pada siapa.

****

Dera dan Alni kini sudah berada di supermarket yang dekat dengan apartemen yang
mereka tinggali, sehingga mereka berdua hanya tinggal jalan kaki untuk menuju
supermarket. Karena hari weekend di awal bulan, supermarket tampak ramai oleh
pembeli.

“Ma, Papa kan sukanya rawon, kenapa Mama nggak beli bumbunya?” Tanya Alni
bingung.
“Mama udah beli kemarin, pas pulang kerja. Keburu lupa.” Jawab Dera.

“Cie, buat mantan mah rela.” Goda Alni.

Dera berdecak sebal, “Ck, kamu sama Mama sendiri gitu banget. Nggak boleh Al.”
Peringat Dera.

“Boleh kok, Ma. Kalo masih sayang.” Alni semakin gencar menggoda.

“Awas aja, ya. Uang bulanan dari Papa kamu, Mama potong.” Ancam Dera,
tangannya mengambil kalengan sarden, lalu memasukkan ke dalam troli.

“Nggak papa, aku ikhlas kok, Ma. Asal bulanan dari Mama nggak dipotong juga,
masih aman.” Alni memberikan senyum lebarnya kepada sang Mama.

“Udah sana, katanya tadi mau beli camilan. Mama tunggu deket kasir kalau kamu
masih lama.” Kata Dera, Alni kemudian berlalu menuju bermacam camilan,
tangannya mulai mengambil beberapa jajanan favoritnya.

“Alni?” Suara yang terdengar ragu itu, membuat Alni menolehkan kepala. Ia terkejut
ketika mendapati Tsabi di depannya.

“Ya Ampun Al! Gue kangen gila sama lo.” Jajanan ditangan Alni langsung jatuh
begitu saja ketika Tsabi memeluknya dengan sangat erat.

“Gila, lo kemana aja sih. Gue kangen sama lo dodol.” Alni yang masih terkejut pun
dengan ragu membalas pelukan Tsabi.

“Gue sama Alen nyari lo kemana-mana. Tapi kita seolah kehilangan jejak lo tau
nggak sih?” Masih dengan memeluk erat Alni, Tsabi terus berkata tanpa tahu malu
ketika mereka sudah menjadi pusat perhatian.

“Gue ada, Tsa.” Gumam Alni melirih, enta mengapa air matanya seolah mendesak
untuk keluar. Dia juga merindukan sahabatnya tersebut.

“Lo hutang banyak penjelasan sama gue.” Ucap Tsabi, lalu melepaskan pelukannya
pada Alni.

“Apa kabar?” Tanya Alni diiringi dengan senyuman.

“Ya lo lihat aja.” Tsabi berdecak kesal, dari dulu Tsabi memang tipe cewek yang
ketus dan suka menggebu-gebu jika sedang kesal.

“Makin cantik. Pasti Alen makin suka sama lo.” Ucap Alni tanpa berbohong, Tsabi
memang selalu cantik pantas saja Alen suka kepada Tsabi.

“Ck, lo juga kenapa bisa sedrastis ini berubahnya? Dulu lo padahal pendek banget.
Sekarang tingginya semampai gini.” Alni memang dulunya paling pendek diantara
mereka.

“Permisi,” Suara tersebut membuat keduanya menatap ke arah sumber suara, seorang
ibu-ibu yang sepertinya hendak mengambil camilan.

“Oh, maaf, Bu.” Ucap Alni lalu menyingkir.


“Ayo kita cari tempat buat ngobrol.” Tsabi langsung menarik tangan Alni untuk
segera keluar dari supermarket.

“Tsa, bentar. Tadi gue bareng nyokap. Gue samperin Mama dulu, nanti nyusul.” Alni
mencoba menghentikan langkah Tsabi.

“Lewat handphone kan bisa. Jangan harap gue biarin lo lolos. Gue butuh penjelasan
secepatnya.” Tsabi kembali menarik tangan Alni, membuat Alni hanya bisa pasrah.

“Tapi bokap mau dateng.” Alni mengingat sang Papa yang akan berkunjung ke
apartemen.

“Kan bisa lo bisa hubungi beliau, udah deh nggak usah nyari alesan buat kabur.”
Mereka siap untuk menyebrang jalan, untuk menuju cafe yang ada di depan
supermarket tersebut. Setelah dirasa cukup sepi, Alni dan Tsabi berlari menyeberang
jalan.

Tsabi kembali menyeret Alni untuk duduk di kursi pojok, yang kebetulan hanya itu
tempat yang kosong. “Bentar, gue hubungin si Alen. Dia harus ikut serta ngintrogasi
lo.” Alni meneguk ludah kasar, ketika melihat Tsabi mulai mencari kontak Alen.

“Halo, lo dimana Len?” Tsabi langsung to the point, kembali membuat Alni
meneguk ludah.

“....”

“Nah, kebetulan banget. Lo harus segera ke cafe Bara depan Supermarket. Cepet
nggak pake lama-lamaan, lo harus tau siapa yang ada di hadapan gue sekarang.”
Ucap Tsabi, sambil menatap Alni yang ketar-ketir di tempatnya.

“....”

“Pokoknya kesini 10 menit harus sampe.” Tsabi menutup sambungan teleponnya,


lalu menatap lekat kearah Alni.

“So?” Desak Tsabi.

“Gue ngabarin nyokap dulu, lo pesen makanan gih. Gue laper.” Kata Alni.

“Baru juga ketemu lagi, udah semena-mena aja.” Ketus Tsabi, tapi kemudian ia
memanggil waiters untuk memesan makanan. Alni tak perlu menyebutkan makanan
yang dia pengen pun, Tsabi sudah mengerti. Sembari menunggu Tsabi yang masih
memesan makanan, Alni mengirimkan pesan kepada Mamanya bahwa dia akan reuni
dadakan.

“Lo selama ini kemana aja, Al? Tsabi kembali menodong pertanyaan yang sama.

Belum sempat Alni menjawab, dia melihat seseorang yang menatapnya dalam diam.
Alni merasakan waktu berhenti seketika, matanya beradu dengan mata milik laki-laki
yang selama ini masih menjadi penguasa di hatinya. Laki-laki yang masih sama
tampannya seperti dulu, bahkan sekarang tingkat ketampanannya bertambah karena
semakin dewasa.
Alen, laki-laki tersebut mulai melangkah pelan menuju tempat Alni dan Tsabi
berada. Alen seolah ragu dengan apa yang ia lihat, dia tidak berani mengerjapkan
mata, karena jika hal tersebut ia lakukan, Alni akan menghilang dari pandangannya.

“Al?” Panggil Alen ragu, dia seolah tidak peduli dengan Tsabi yang menyuruhnya
untuk duduk. Alen seolah ingin memastikan terlebih dahulu.

Alni berusaha untuk menerbitkan senyum, “Hai, Len. Kabar baik kan?” Sapa Alni.

“Anjir, ini beneran lo?! I miss you so bad.” Alen segera meraih Alni kepelukannya,
tidak peduli dengan Tsabi yang berdecak kesal.

“Lo kemana aja?” bisik lirih Alen tepat di telinga Alni, membuat jantung Alni
semakin menggila. Alni jadi tidak enak dengan Tsabi.

“Gue ada.” Jawab Alni, tidak membalas pelukan Alen karena ragu. Padahal dia
sangat ingin.

Alen melepas pelukan eratnya, dia memandang dengan seksama wajah Alni,
membuat Alni salah tingkah dibuatnya.

“Please guys, kita lagi di tempat umum, mesranya nanti aja.” Suara Tsabi membuat
Alni meringis merasa bersalah.

Alen mendudukkan dirinya di antara Alni dan Tsabi, dia berdecak kesal karena Tsabi
telah mengganggu rencananya.

“Ganggu aja, dasar bocah.” Kata Alen kesal.

“Walaupun bocah, yang penting udah tunangan.” Ucap Tsabi dengan bangga. Alni
yang mendengar hal tersebut, menegang di tempat.

“K..Kalian udah,” Alni tidak berani melanjutkan ucapannya.

“Tunangan maksud lo? Gue sama si cecunguk ini,” Tunjuk Tsabi pada Alen yang
mendengus tidak terima. “Ya nggak lah, nggak sudi gue tunangan sama cowok yang
nggak bisa move on dari cinta pertamanya.” Sindir Tsabi, membuat Alen melotot
padanya.

Entah mengapa, Alni ingin sekali menghembuskan nafasnya lega, “Jadi?”

“Ya gue tunangan sama pacar tercinta gue lah.” Ucap Tsabi bangga sambil
menunjukkan cincinnya.

“Lo kemana aja selama ini?” Tanya Alen mengalihkan pembicaraan.

Alni menghembuskan napas, dan siap untuk bercerita. “Jangan ada yang motong
cerita gue.” Peringatnya.

Lalu, mengalirlah cerita Alni dimulai dari perceraian orangtuanya, yang memang
sudah diketahui oleh kedua sahabatnya sampai Alni yang harus ikut sang Mama
karena tidak tega meninggalkan Mamanya sendirian.

“Kenapa nggak pernah hubungin kita?” Tanya Alen langsung, setelah Alni
menyelesaikan ceritanya.
“Gue nggak mau kalian kepikiran aja, lagian waktu itu kalian lagi sibuk nyari
sekolah.” Dusta Alni.

“Seenggaknya lo kabarin kita kalau lo pindah, apa susahnya sih?” Kata Alen, yang
terus mencerca Alni dengan berbagai pertanyaan masuk akal.

“Jadi, kapan kalian mau meresmikan hubungan kalian?” Pertanyaan Tsabi yang tiba-
tiba membuat Alni dan Alen sama-sama tersedak minuman yang mereka minum.

“Please deh, nggak usah pura-pura lagi. Gue udah tau kalo kalian itu saling suka dari
dulu.”

“Ng..nggak. Bohong banget.” Elak Alni, tapi wajahnya bersemu malu.

“Kalo iya emang kenapa, Al?” Pertanyaan Alen semakin membuatnya bersemu.

“Udah deh, nggak usah bahas itu. Mending kalian cerita apa yang terjadi selama gue
nggak ada tiga tahun ini.” Alni bersuara.

Pembicaraan mereka terus mengalir tanpa tahu waktu yang sudah menunjukkan sore
hari, bahkan mereka sudah menghabiskan minuman dan bertambah hingga beberapa
gelas. Mereka mengulang cerita ketika masih kecil, sampai kejahilan-kejahilan masa
SMP. Bernostalgia itu menyenangkan bila dihabiskan dengan orang yang tepat.

“Eh, gue balik dulu ya. Bokap mau datang ke apart.” Kata Alni berpamitan.

“Mau gue anter?” Tawar Alen.

“Ngegas bener sih, Len.” Ledek Tsabi, tapi dihiraukan oleh Alen.

“Apart gue deket sih, Cuma beberapa langkah dari sini.”

“Yaudah ayo nggak papa. Tsa, lo sekalian ikut nggak?” tawar Alen.

“Lagi nggak mau jadi obat nyamuk.”

Setelahnya, Alen dan Alni lebih dulu meninggalkan cafe tersebut.

****

Alni tersenyum sepanjang jalan menuju lantai kamarnya. Mungkin ini adalah awal
dari kisah cintanya. Alen sudah terang-terangan mengatakan bahwa dia memiliki rasa
yang sama. Biarlah nanti waktu yang menjawab.

Alni terkejut ketika membuka pintu apartemen, dan menemukan Mama dan Papanya
sedang berpelukan mesra.

“Ma, Pa?” Panggil Alni.

Dera melepas pelukan, lalu menatap Alni dengan senyum lebar. Dera menunjukkan
jari tangannya dan mendapati cincin pernikahan Mama dan Papanya.

“Al, kita akan rujuk secepatnya.” Ucapan papanya membuat Alni memekik senang,
lalu berhambur memeluk Papa Mamanya, air mata kebahagiaan jatuh mengenai
pipinya, tapi Alni tidak segera mengusap seperti biasanya ketika ia menangis.
Mungkin ini memang jalan cerita kehidupannya, berharap selalu berakhir bahagia,
tetapi bukan sekedar harapan belaka. Tapi juga nyata.

Anda mungkin juga menyukai