Anda di halaman 1dari 4

KURSI TUNGGU

Aku pertama kali bertemu dengan keluarga kecil itu dibulan Mei, tepatnya
di salah satu stasiun kota ini. Saat pertama kali bertemu aku dapat melihat
kesedihan di mata mereka. Sang ibu yang berusaha menahan air mata di
pelupuk matanya agar tak membuat tangisan sang anak semakin keras dan
sang ayah yang hanya menampakkan wajah muram.
Bagiku ini hanyalah pemandangan biasa di stasiun ini. Keluarga yang
menangis saat mengiringi kepergian anggota keluarganya ke luar kota Namun
tetap saja berapa kali pun aku melihatnya masih saja aku belum terbiasa. Lalu
aku mendengar sang ibu berkata kepada anaknya, “Nak, ibu pergi dulu ya, Ibu
akan kembali dalam 7 hari, jangan nakal ya… turuti kemauan bapakmu.” begitu
katanya. Sang anak hanya mengangguk sembari berusaha menahan
tangisnya. Tak lama kemudian, kereta sang ibu datang lalu ibu dan anak itu
berpelukan sebagai tanda perpisahan, “Ibu cepat kembali ya jangan lama-
lama.” pesan sang anak sebelum ibunya pergi. Sang ayah hanya diam saja,
walaupun hanya sekilas aku bisa membayangkan bahwa hubungan antara
kedua orang tua anak itu tidak terlalu baik. Mereka hanya saling menatap
sebentar sebelum sang ayah membuang muka dari tatapan sedih sang ibu
kepadanya.
“Ibu pergi dulu ya, jaga diri baik-baik.” pamit sang ibu. Kemudian, ia pun
memasuki kereta yang akan membawanya pergi jauh dari keluarganya itu.
Sang ayah menghampiri anaknya dan memeluk anaknya sembari mengelus
rambut anak itu. “ibu pasti akan kembali kan pak?” tanya sang anak di pelukan
ayahnya. Sang ayah hanya diam tak menanggapi pertanyaan itu seolah
pertanyaan itu hanyalah angin lalu. Setelah itu, ayah dan anak itu pergi
meninggalkan stasiun.
Hari mulai berganti hingga tiba saat di hari ke 7 semenjak sang ibu
pergi. Bohong apabila aku berkata bahwa aku tak ikut menanti kedatangan
anak itu di stasiun ini. Aku ingin melihat wajah bahagianya saat keluarga kecil
itu kembali berkumpul. Jam kini menunjuk pukul 10 pagi saat anak dan ayah
itu tiba di stasiun untuk menjemput sang ibu. Wajah bahagia nampak di wajah
anak itu. Seolah penantiannya sekian lama akhirnya terbayar. Kerinduan pada
ibunya akhirnya memiliki ujung.
“Pak, ibu sampai jam berapa?” tanya sang anak tidak sabar. “Tunggulah
sebentar lagi,” jawab sang ayah. Sang anak mengangguk dan kembali melihat
ke arah kereta datang. Tak sadar hari berjalan hingga matahari kini mulai
tenggelam. Namun diantara sekian kereta yang datang tak ada yang membawa
ibu anak itu kembali padanya. Raut kecewa mulai nampak saat kereta terakhir
hari itu tak membawa kembali perempuan yang dinanti kedua lelaki itu. “Jadi
ini pilihan ibumu nak, mari kembali ke rumah. Besok dirimu kan harus
sekolah,” ucap sang ayah. Anak itu mengangguk, mengikuti langkah ayahnya
meninggalkan stasiun itu sembari menghapus air di pelupuk matanya. Aku
merasa iba pada anak kecil itu. Pasti ia merasa kebingungan atas
ketidakpulangan ibunya. Ia pasti bertanya-tanya, namun pertanyaan itu ia
kubur dalam dalam saat melihat ekspresi ayahnya yang nampak lebih terpukul
dari dia.
Waktu terus berjalan sejak hari itu, tahun pun sudah berganti dan waktu
membawa kami dibulan itu lagi, Mei. Aku kembali teringat akan anak itu dan
tepat saat hari ke 7 dibulan Mei tiba, anak itu kembali datang. Sendiri tanpa
ayahnya. Aku bertanya – tanya berapa umur anak itu sekarang dan tujuan apa
ia kembali ke stasiun ini. Apakah ibunya sudah kembali atau belum. Anak itu
duduk di kursi tunggu tepat di sebelahku dengan seragam sekolahnya,
mungkin ia bolos sekolah. Kemudian aku mendengar anak itu berkata,
“Mungkin kali ini ibu akan pulang. Sudah satu tahun sejak ibu pergi. Sekarang
umurku sudah 11 tahun,” katanya lirih. Ternyata ibunya belum kembali, aku
merasa sedih. Apa gerangan yang membuat sang ibu tak kembali. Mungkinkah
terjadi hal buruk padanya.
Hari kembali berlalu seperti bulan Mei tahun lalu, kereta terakhir hari itu
tetap tidak membawa ibunya. Hal ini terasa menyedihkan, keinginan anak itu
menunggu setelah satu tahun berlalu bagiku tak masuk akal. Namun aku bisa
mengerti kesedihan anak itu. Aku bisa mengerti harapan yang anak itu
sematkan pada setiap kereta yang datang hari ini. Keinginan untuk bertemu
ibunya kembali.
Saat kereta terakhir tiba anak itu pun berjalan meninggalkan stasiun ini.
Pemikiran buruk pun bermunculan dipikiranku. Mungkinkah sang ibu sengaja
meninggalkan keluarganya. Inikah maksud perkataan sang ayah dibulan Mei
tahun lalu bahwa ini adalah pilihan yang sang ibu ambil. Pilihan untuk
meninggalkan keluarganya. Mungkinkah ekspresi sang ayah hari itu karena
mengetahui sang ibu tak akan pernah kembali. Aku bertanya tanya kepada
pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah ada jawabnya.
Tahun ketiga bulan Mei di hari ketujuh, anak itu kembali datang ke
stasiun ini dan aku sudah bisa menebak umurnya. Sekarang ia berumur 12
tahun. Ekspresi wajah anak itu masih sama. Penuh harap pada kereta yang
datang hari itu. Ia kembali duduk di kursi tunggu yang sama tepat di
sebelahku. Lagi-lagi kereta terakhir datang tanpa membawa ibunya. “Apakah
ibu tau bahwa aku berusaha tidak mempercayai perkataan bapak. Aku percaya
ibu akan kembali. Aku pamit dulu buk, tahun depan aku datang lagi dan aku
harap tahun depan ibu pulang,” ucapnya lirih. Aku hanya bisa memandang
anak itu sedih. Sebesar itu rasa sayang sang anak kepada sang ibu. Hingga
berapa lama tahun sang ibu pergi. Ia tetap bersabar dan percaya bahwa ibunya
akan kembali untuknya.
Seperti ucapannya anak itu terus kembali ke stasiun ini setiap bulan Mei
di hari ke 7. Lalu aku menjadi saksi tentang pengharapan miliknya yang tak
pernah berakhir. Tentang kerinduan yang tak berujung. Aku terkadang berpikir
bagaimana caraku mengurangi kesedihan anak ini. Sering kali aku melihat ia
berdoa dan sesekali bernegoisasi dengan Tuhan, seperti begini katanya,
“Tuhan kalau ibu kembali aku akan menjadi anak yang baik. Aku tak akan
pernah membantah bapak. Jadi Tuhan tolong bawa ibu kembali padaku,”
suaranya serak menahan tangis. Terkadang aku tidak mengerti kenapa anak ini
masih menunggu hal yang tidak pasti. Tidak bisakah dia menganggap ibunya
hilang atau memang sengaja meninggalkannya. Bagaimana bisa ia menyiksa
diri dengan menaruh harapan pada kereta yang jelas tidak akan pernah
membawa ibunya. Lalu, bagaimana aku bisa tau kalau ibunya tidak akan
kembali. Karena hari itu aku mendengar, pada saat tahun kedua dibulan Mei
itu, sang ayah berada di stasiun tepat saat sang anak pulang. Ia duduk di
bangku tempat anaknya tadi dan berkata,”Ibumu tak akan pernah kembali nak,
ia lebih memilih pria lain yang lebih dari bapakmu ini. Ibumu lebih memilih
keluarga barunya ketimbang kita,” dan untuk pertama kalinya aku melihat
sang ayah menangis.
Saat melihat kesedihan lagi di mata anak itu aku ingin mengatakan
segalanya. Bahwa ibunya tak akan kembali. Harapan yang ia miliki itu kosong.
Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa
aku selalu diam dan tidak pernah berkomentar secara langsung, tidak pernah
menghibur anak itu. Karena aku hanyalah sebuah kursi di stasiun ini. Kursi
yang sudah berdiri sejak stasiun ini mulai beroperasi untuk pertama kalinya.
Sudah jutaan kali aku melihat perpisahan yang memilukan maupun pertemuan
yang mengharukan. Namun aku hanyalah sebuah kursi yang tak bisa berbuat
apa-apa. Hal yang bisa aku lakukan hanyalah menjadi saksi mati tentang
kerinduan anak itu kepada ibunya.
Namun kenyataan hidup itu memang pahit. Waktu tidak akan berhenti hanya
karena satu orang yang sedang berduka. Hari terus berlalu dengan membawa
kesedihan di hati anak itu. Kemudian, ditahun ketujuh bulan mei anak itu tidak
pernah kembali lagi ke stasiun ini.

TAMAT

Nama: Putri Shafa Salsabillah


Kelas : XI MIPA 6 / 24

Anda mungkin juga menyukai