Anda di halaman 1dari 23

`Lelaki Herbivora

September 2, 2018lakonhidup

Cerpen A. Warits Rovi (Jawa Pos, 02 September 2018)

SETELAH akad nikah, aku rindu harum rumput atau daun srikaya di
pekarangan rumah. Aneka makanan istimewa hidangan pesta pernikahan
sama sekali tak membuat lidahku tergoda. Kuabaikan kue-kue pernikahan
beralas daun pisang yang menumpuk di sebuah piring. Sesekali dikunjungi
semut. Aku tidak menginginkannya. Aku ingin rumput atau daun.
Sejak masih berpacaran, Sofi tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Ia juga tidak tahu aku
keturunan siapa. Dan ini kelemahan hubungan cinta anak sekarang. Yang diperhitungkan
hanya orang yang ia cintai, jarang yang melihat silsilah nasab hingga ke kakek-nenek.
Moyangku asli Madura, orang yang punya rasa malu apabila dirinya berbuat cela di mata
orang lain. Begitu cara nenek moyang menjunjung martabatnya. Dahulu kala, ketika zaman
penjajahan, masyarakat Madura—termasuk nenek moyangku—hidup dalam cengkeram
kemiskinan. Harta benda mereka dirampas tentara Jepang. Saat itu moyangku memilih makan
daun daripada harus mencuri, merampok, mengemis, dan atau berbuat curang lainnya. Prinsip
itu mereka wariskan secara turun-temurun hingga akhirnya sampai kepadaku.
Aku mendapat wasiat prinsip itu dari kakek. “Jangan sekali-kali mencuri atau korupsi.
Daripada perutmu makan hasil uang haram, lebih baik makan daun saja. Percayalah bahwa
sapi-sapi itu lebih terhormat daripada pencuri dan koruptor,” nasihat kakek kepadaku pada
suatu hari ketika aku berkunjung ke rumahnya.
Tahun 1930-an keadaan masih tidak stabil. Tentara Jepang berkeliaran di dusun-dusun
dengan senjata lengkap yang selalu ditenteng di tangan. Ayah sebagaimana warga lainnya
tidak bisa bekerja. Keluargaku diterpa kemiskinan. Nasi hanyalah jadi mimpi indah bagi lidah
dan perut.
Ketika lapar, kami cukup keluar ke pekarangan lewat pintu dapur. Di pekarangan itu, rumput
tumbuh subur dan empat batang pohon srikaya berdaun lebat. Di sanalah ayah mengajariku
mengunyah daun. Lembar-lembar daun srikaya bergemeretak karena geraham ayah
mengunyah kuat urat-urat daunnya sampai halus. Lalu, ayah menelannya sambil
memejamkan mata.
Kemudian, tangan ayah kembali memetik daun srikaya itu hingga seukuran genggaman
tangan. Ia mengunyahnya lagi. Aku ngeri melihatnya. Ayah seperti sapi.
Advertisements
“Ini cara paling suci saat perut lapar ketika kita tidak punya uang untuk membeli
jagung dan beras,” kata ayah kepadaku waktu itu, hampir sama dengan wasiat
kakek beberapa bulan sebelumnya. “Perut kita ini lebih bangga dimasuki daun
daripada makanan lezat yang dibeli dengan uang haram,” tambah ayah sambil terus
mengunyah. Bibirnya mulai agak menghijau dengan sobekan daun kecil yang tersisa
di garis-garis bibirnya.
“Ayo. Makanlah daun ini!” pinta ayah sambil menyerahkan dua helai daun srikaya.
Saat itu aku muntah dan tidak bisa makan daun. Ayah tertawa. Baru pada hari
kedua aku bisa melahap setengah lembar daun. Hari ketiga berhasil menghabiskan
selembar daun. Dan hari-hari berikutnya selera herbivoraku terus berkembang
hingga akhirnya selera makanku total jadi herbivora. Tak ada makanan lezat selain
daun.
Akhirnya cinta kami purna malam ini: Malam Kamis, 04 Oktober 1956. Kami duduk di
bawah cahaya temaram. Rambut Sofi harum berombak, beberapa helai menjuntai
ke bahuku. Wajahnya semakin manis dengan pipi kenyal berparam warna kuning
kecokelatan dibias cahaya kandil yang bergantung di cagak kayu. Kesenyapan dan
tingkah angin yang menyusup di celah ventilasi merestui adegan percintaan kami
yang sakral.
Sofi masih bersandar ke dada, matanya sunyi dan dingin, kutatap serasa sebutir
permata yang kutemukan di sebuah jazirah. Dan masih kurasakan sisa hangat
cucup bibirnya bermukim pada datar bibirku sebagai bekas sebuah rindu. Aku sudah
tidak perjaka dan Sofi sudah tidak perawan. Semula yang kami rasa adalah jarum
dingin malam, lalu berganti ceceran peluh, hangat dan gerah. Sofi tersenyum di
antara kepungan butir keringat yang berbintik di sekitar hidung dan keningnya.
“Ayo, Mas. Makan dulu kue-kue ini,” pinta Sofi kepadaku sambil tangannya
menggerayang ke aneka makanan di atas meja. Lalu, meletakkannya tepat di
hadapanku.
“Maaf, Sayang. Aku tidak terbiasa makan makanan itu.”
“Lalu makanan apa yang Mas Hamid inginkan? Mohon maaf, Mas, bila keluarga
saya hanya punya kekuatan sederhana untuk membeli makanan ini. Tidak
istimewa,” kepala Sofi diangkat dari datar dadaku yang sedari tadi ia sandari. Sofi
sedikit tersinggung.
“Sayang. Justru makanan ini terlalu istimewa bagiku. Aku tidak bisa makan selain
rumput dan daun, Sayang,” aku berusaha menjelaskan dengan jujur seraya kubelai
rambutnya.
“Jangan bercanda, Mas. Saya ingin malam pertama ini indah dengan makan
bersama.”
“Baiklah kalau begitu, Sayang. Ayo kita makan bersama.”
Seketika Sofi tersenyum. Tangannya mulai mengambil satu jenis kue dari piring
beralas daun pisang, sedangkan tanganku mengambil daun pisang itu, lalu
kukunyah sampai halus dan kutelan hingga daun pisang yang agak lebar itu habis
tak tersisa. Ternyata sedari tadi Sofi urung memakan kue yang telah ia genggam. Ia
keheranan melihatku lahap makan daun pisang. Sepasang matanya masih
terbelalak.
“Maaf, Sayang. Aku telah meneteskan benih herbivora ke dalam rahimmu. Tapi, itu
lebih mulia ketimbang benih koruptor. Tak apa kelak anak kita makan daun, itu lebih
bermartabat daripada makan uang rakyat.”
Sofi masih keheranan. Sepasang matanya tetap terbelalak memandang tajam ke
wajahku. Entah apakah ia bahagia punya suami herbivora atau mungkin
sebaliknya. (*)
“Mas, ingin makanan apa malam ini?” tiba-tiba Sofi bertanya kepadaku sembari
tersenyum. Sepasang tangannya bertopang di bahuku. Aku terkejut dan agak gagap
karena sedari tadi pikiranku melayang ke masa lalu.
“Yang sederhana saja,” jawabku jujur
“Nasi dan ikan kering?”
“Itu belum sederhana.”
“Nasi jagung?”
“Yang lebih sederhana dari itu.”
Sofi terdiam dan hanya mengernyitkan dahi pertanda ia bingung.
“Lalu apa makanan yang Mas Hamid sukai itu?”
“Rumput,” aku jujur kepadanya.
Sofi tertawa, terbahak dan nyaring. Ia mengira aku sedang guyon. Padahal serius.
Sepasang mata Sofi menatap tajam ke mataku dan ia tidak sadar sedang
memandang saudara sapi—aku ini. Si pemamah rumput dan pengunyah daun dan
mungkin Sofi patut kecewa jika ia tahu bahwa tubuh tegapku ini tercipta dari daun-
daun.
Entahlah. Kenapa pada bentang malam yang tenang ini, pada lembut wajah Sofi
yang wangi, pikiranku terseret ke masa kanakku. Barangkali karena aku punya
keinginan yang menggebu untuk bercerita tentang kebiasaan unikku kepada Sofi,
hanya selama ini kurasa belum saatnya untuk bercerita tentang semua itu.
Malam semakin legam. Dari celah ventilasi, bulan tampak ringkih menyeberangi
pucuk-pucuk siwalan. Sofi semakin tidak peduli aku ini siapa. Yang ada di
pikirannya, aku ini telah sah menjadi suaminya. Kembali ia mendaratkan satu
kecupan di bibirku. Hangat dan membuatku melayang.
Ya. Aku melayang. Terpejam. Sofi juga melayang dan terpejam.
Advertisements
CERPEN, JAWA POS, YETTI A. KA
Ia Tidak Ingin Mengatakannya

Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 10 Juni 2018)

NICELLI memandangi jari manis tangan kanannya. Jari cokelat muda dan
ramping. Sebentuk cincin melingkar di sana. Hon memasangkannya lima
tahun lalu. Nicelli tak pernah melepasnya, meski empat tahun kemudian
mereka resmi berpisah. Itu sama sekali tidak masalah—tentang
perselingkuhan Hon yang membuat pernikahan mereka berantakan itu. Nicelli
tidak membenci Hon. Ia lebih sering membenci dirinya ketimbang Hon.
“Hon,” desisnya gelisah. Nicelli berputar-putar di ruangan. Ia meremas-remas jemarinya
sambil terus berkata, ya, Tuhan dan satu dua kali menyebut nama Hon. Ia makin gelisah.
Seperti biasa, ia lagi-lagi sangat menginginkan pisau dan melakukan sesuatu pada dirinya.
Namun, sebelum ia bergerak ke dapur dan menemukan pisau dalam lemari penyimpanan, ia
lekas meninju kepalanya dengan keras—seperti yang Hon sering lakukan dalam
menghadapinya. Ia meninju lagi dengan lebih keras. Meninju lagi. Sampai ia terhuyung-
huyung, lantas kepalanya membentur dinding dan pikirannya terpecah; antara pisau dan
gambar-gambar bunga matahari.
Ia mengambil kesempatan itu untuk lari ke bengkel kerjanya yang dipenuhi bau cat. Bau di
ruangan ini mungkin saja punya jenis, tapi ia tak bisa membedakannya. Apakah cat merah
berbeda baunya dengan cat hijau? Apakah biru sama dengan hitam? Sebelum ia menemukan
jawabannya—sebab ia memang tidak akan pernah menemukannya—ia mendengar suara
yang jernih di belakangnya, “Nicelli, ayo kita bermain.”
Ia tak bisa melihatnya. Ia hanya mendengar suara dan mencium baunya. Bau yang akrab di
hidungnya dan tidak mungkin ia lupakan. Bau yang membuatnya menyiapkan alat
menggambarnya dengan cepat: cat air, kertas, kuas. Posisinya setengah tengkurap saat ia
mulai membuat sebuah kelopak dengan cat kuning terang. Ia membuat kelopak lagi
dan lagi… dan juga biji-biji yang berwarna gelap. Ia memandangi lama-lama gambarnya.
Dan bunga matahari itu pun tertawa kepadanya. Si bunga matahari berkata, “Nicelli, ayo kita
bermain.”
Nicelli menggambar lagi. Ia hanya menggambar bunga matahari—ratusan kelopak, ratusan
biji-biji berwarna hitam suram. Menit dan jam berlalu. Nicelli tak bergerak dari tempatnya.
Gambar bunga matahari bertebaran di lantai.
Begitu ia keluar, dilihatnya hari sudah sangat malam. Ia bergegas mendekat ke jendela yang
masih terbuka. Biasanya Hon senang mengajaknya agak sedikit lama berdiri di sana. Hon
suka memandangi lampu-lampu yang menyala di seluruh kota. Hon berkata, tadi aku sungguh
terpaksa memukul kepalamu lagi.
Ia melihat mimik penyesalan di wajah Hon. Tidak, Hon, jangan merasa bersalah, katanya.
Aku tahu kau melakukannya untuk menghentikanku. Hon melingkarkan tangan ke leher
jenjangnya. Hon mengecup pipinya. Apa sakit? tanya Hon. Nicelli menggosok sisi kanan
kepalanya, di sini, Hon, cukup sakit. Hon mengusap bagian kanan kepala Nicelli, kau tidak
akan berhenti kalau aku tidak memukulmu, kata Hon. Aku tahu, Hon, sahut Nicelli, tidak
apa-apa kok.
Hon, bisik Nicelli hampir menumpahkan air mata karena teringat bagian terbaik dari lelaki
itu. Hon sudah lama berhenti meneleponnya. Biasanya Hon memastikan semua baik-baik saja
setiap harinya. Lelaki itu selalu bertanya, apa kau yakin bisa mengatasinya sendirian?
Hon sering memaksa Nicelli untuk pergi ke dokter jiwa. Untuk apa lagi, Hon? Nicelli
menolak. Ia sudah pernah menjalani semuanya. Bertahun-tahun ia keluar masuk rumah sakit.
Bertahun-tahun ia mengonsumsi obat depresi dan melakukan terapi. Sekarang dicoba lagi,
kata Hon. Sudah cukup, Hon, katanya.
Hon tidak mengerti bagaimana ia sangat menderita tiap minum berbutir-butir pil. Itu
melelahkan. Lalu apa yang akan kau lakukan? Aku hanya ingin menggambar, Hon. Kau bisa
menggambar seperti biasa sambil tetap melakukan terapi dan minum obat. Hon, tolonglah,
aku cuma ingin menggambar saja sekarang ini. Mungkin karena itu Hon berhenti
meneleponnya. Mungkin juga Hon bertengkar dengan Lais, pacarnya. Lais pasti tidak suka
kalau sebelum tidur Hon sempat- sempatnya menelepon mantan istri. Kalau ia menjadi Lais,
barangkali ia akan mengeluarkan semua barang Hon dan mengusirnya.
Dan, Hon memang tidak perlu khawatir lagi tentangnya. Ia sudah menyimpan semua benda
tajam ke tempat yang tidak mudah dijangkau. Hon yang mengajarinya tentang itu. Dulu, tidak
setiap malam Hon ada di rumah. Bila akan pergi, Hon menyimpan parang, pisau dapur,
gunting, cutter ke tempat yang sulit ia temukan. Hon begitu telaten. Hon dengan sabar bilang,
kalau tanganmu berulah, kau harus bertahan untuk terus memahaminya, jangan sampai kau
benar-benar memotong bagian dari tubuhmu.
Ia kadang tertawa mendengar kata-kata Hon itu. Kenapa aku bisa sebegitu gila ya, Hon?
Jangan dipikirkan, kata Hon, aku bersamamu. Namun, jika pada akhirnya Hon merasa jenuh,
ia tidak akan pernah menyalahkannya. Hon berhak untuk merasa seperti itu. Satu-satunya
yang membuatnya tidak terlalu berkenan dengan sikap Hon: kebohongannya. Hon sudah
bersama Lais selama dua bulan saat ia mengaku kepadanya. Kenapa Hon melakukan itu?
***
“Nicelli, ayo, kita bermain.”
Nicelli tidak dibesarkan oleh seorang ibu, melainkan lelaki tua yang kerap berkata dan
berkata, “Nicelli, ayo, kita bermain.” Dari lelaki tua itu pula Nicelli mendengar bahwa tidak
seorang pun tahu siapa ibunya. Namun, kata lelaki tua itu, jangan takut, kau punya bunga
matahari raksasa yang akan selalu membuatmu tertawa.
Lelaki tua itu menggoyang-goyangkan badannya. Dan Nicelli akan tertawa lebar. Di luar
sana, mungkin sudah ribuan anak yang tertawa lebar karena melihat aksi manusia bunga
matahari itu. Nicelli pernah ikut ketika lelaki tua itu pergi bekerja. Ia berdiri tidak jauh dari
tempat lelaki tua beraksi. Anak-anak menarik-narik tangannya. Si bunga matahari pura-pura
akan terjatuh dan anak-anak tertawa riang. Nicelli ikut tertawa seolah ia ikut bermain
bersama mereka.
Akan tetapi, bila malam tiba, lelaki tua itu melepas baju bunga mataharinya dan Nicelli akan
merasa takut melihat sepasang matanya yang mirip mata burung hantu. Lelaki tua itu
meludah ke lantai. Mengumpat. Ia terlihat kurus sekali dan dadanya bergetar-getar. Nicelli
meringkuk di sudut. Ketakutan. Ia benci sekali kepada malam yang mengubah lelaki tua itu
menjadi sosok yang lain. Mulut lelaki itu terus-menerus menyeringai. Barisan gigi
binatangnya tampak kuning buram bila ia menyengir.
“Teruskan, Nicelli,” kata Hon setiap kali Nicelli mengulang ceritanya.
“Ia membentakku,” kata Nicelli. “Ia tiba-tiba membentakku.”
“Katakan semuanya,” pinta Hon.
“Ia memaksaku telentang di lantai.”
Suara Nicelli bergetar.
“Katakan, Nicelli….”
Kedua kaki kurus Nicelli gemeretak di atas lantai tanpa alas. Terlebih di saat hujan
menggenangi gubuk mereka dan menyebarkan bau busuk dari segala macam sampah. Lelaki
itu meludah lagi dan mengulanginya terus karena begitu banyak air bacin dalam mulutnya
yang kotor.
“Ia menjadi gila tiba-tiba,” kata Nicelli.
“Bukankah ia memang lelaki gila?”
“Tidak, Hon, ia tidak gila saat menjadi badut bunga matahari dan menghibur anak-anak. Ia
menemukanku tergeletak di depan pintu gubuknya saat ia pulang bekerja dan
membesarkanku. Mana ada orang gila bisa melakukan itu. Ada tidak, Hon?”
“Baiklah ia tidak gila. Tapi, ia tak lebih dari seorang penjahat yang menyaru sebagai badut.”
“Tidak, Hon, dia tidak seperti itu. Dia baik sekali kepadaku. Dia hanya benci kepada
kehidupannya. Dia marah kepada dirinya.”
Lelaki tua itu memukuli kaki Nicelli dengan sepotong kayu. Setan kecil! hardik lelaki tua itu.
Lalu ia memukuli perut Nicelli. Tangan Nicelli. Pipi. Ia memukul terus. Nicelli memekik
keras-keras. Setiap hari, anak-anak memang biasa dipukuli di permukiman kumuh itu. Setiap
hari, jerit tangis anak-anak sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Setan kecil! sekali lagi lelaki tua itu memukul Nicelli secara beruntun. Kemudian lelaki tua
itu melaung dan menyesali dirinya dan meringkuk di sudut gubuk, menangis terisak-isak
sambil memukuli dirinya sendiri.
Nicelli tidak bergerak. Ia tetap tidak bergerak sampai sekian lama. Ia memejamkan mata.
Dunia tidak lagi gelap, melainkan banyak cahaya. Cahaya-cahaya itu seperti melayang, mirip
bunga api, memenuhi dunia. Nicelli merasa aman dan damai. Tak ada rasa sakit. Tak ada
penderitaan. Bibirnya menyunggingkan senyum panjang hingga ia terlelap dan mimpi
membawanya berkelana ke tempat-tempat yang indah.
Begitu terbangun, Nicelli melihat bunga matahari raksasa sudah berdiri di dekatnya dan
berkata, “Nicelli, ayo, kita bermain.” Bunga matahari itu menggoyang-goyangkan badannya
dan Nicelli pun kembali tertawa—benar-benar tertawa.
***
“Sejak kapan kau mulai menggambar bunga matahari?” tanya Hon pada pertemuan mereka di
bangku taman kota sambil menyaksikan tingkah badut Marsha dan Doraemon. Hon sedang
memotret sekelompok anak-anak pada hari Minggu itu. Itu memang hobi Hon di luar
pekerjaannya sebagai karyawan salah satu perusahaan manufaktur. Nicelli seperti biasa
menghabiskan setiap akhir pekannya dengan duduk di tempat para badut biasa beraksi.
Mereka kebetulan saja bertemu pada hari itu. Hon tertarik saat melihat kertas penuh gambar
bunga matahari di pangkuan Nicelli.
“Setelah dia mati,” kata Nicelli.
Lelaki tua itu mulai terserang batuk berkepanjangan. Sebelumnya ia memang sudah batuk,
tapi tidak separah menjelang kepergiannya. Nicelli berumur lima belas tahun waktu itu dan
belajar di sekolah komunitas yang dikelola para relawan. Pada malam hari kematiannya,
lelaki itu pulang lebih cepat. Ia batuk dan batuk dan Nicelli melihat ia meludahkan segumpal
darah di lantai. Namun, si lelaki tua bukan mati karena serangan batuk itu.
“Pembunuhan ya?” tanya Hon semakin tertarik ingin tahu.
Nicelli menggeleng tanpa menatap kepada Hon. “Ia sangat menderita sepanjang hidupnya. Itu
yang terus ia katakan tiap kali memukulku.’’
Tengah malam itu, setelah membentak dan memukul dengan sepotong kayu dan Nicelli,
seperti biasa, diam tak bergerak sekian lama, tubuh lelaki tua diserang sebuah bayangan
hitam. Mereka berkelahi selama beberapa waktu.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Nicelli lirih tanpa bisa menggerakkan tubuhnya sebab ia
dalam keadaaan antara tidur dan terjaga. “Apa yang kalian lakukan?” ulang Nicelli lirih
sebelum dunianya dipenuhi cahaya dan merebut segala duka yang bersarang di dadanya dan
ia terlelap begitu saja.
Pagi harinya, saat terbangun, Nicelli melihat sebatang bunga matahari tumbuh dari setumpuk
tubuh yang sudah menjadi barang asing di sudut ruangan. “Nicelli, ayo, kita bermain,” kata
bunga matahari itu.
***
Nicelli menepuk-nepuk bahu kirinya seolah-olah ia berusaha menenangkan diri. Apa yang
sedang Hon lakukan sekarang? Dulu, Hon selalu menemani malam-malam insomnianya dan
mendengar cerita Nicelli seusai ia menggambar. Tidak, desah Nicelli. Ia tidak peduli apa
yang Hon lakukan setelah mereka tak lagi bersama.
Tidak, tidak, desah Nicelli. Ia memejamkan mata kuat-kuat. Aku peduli kepada Hon kok,
gumamnya. Nicelli ingin mengunjungi dokter bersama Hon. Ia mau memegang tangan Hon
dan minta lelaki itu membisikkan sesuatu agar ia bisa sedikit tenang di ruang antre. Ia benci
kenapa banyak sekali orang sakit jiwa di kota ini dan membuat kursi-kursi dipenuhi para
pasien yang gelisah. Ia sangat takut berada di ruangan itu tanpa Hon. Apa Hon tahu itu?
Akan tetapi, Hon telah jatuh cinta kepada perempuan lain. Hon sama sekali tidak salah. Bahu
kiri Nicelli bergetar lagi. Hon tidak salah. Hon pasti tidak suka harus memukulinya terus tiap
ia kumat. Telapak tangan Hon itu sangat bersih dan ia tidak mau menodainya dengan
kekerasan semacam itu.
Pukul aku, Hon! kata Nicelli dan di awal-awal Hon terlihat sangat bingung. Nicelli terus
memaksa, pukul aku Hon! Setelah Hon melakukannya dan membuat kepalanya pening dan ia
hampir-hampir tidak sadarkan diri, barulah—saat kembali terjaga—Nicelli menjadi tenang,
ia melukis bunga matahari, terus melukis bunga yang sama.
Nicelli menarik lalu melepaskan napas. Hari sudah menjelang pagi. Ia julurkan kepalanya
keluar. Angin lembap menerpa wajahnya. Kemudian, perlahan, bayangan gelap keluar dari
dadanya dan melayang-menjauh untuk beberapa waktu. Lampu-lampu jalan mulai padam.
“Hon, kau tahu…,” ujar Nicelli dalam hati—selalu hanya dalam hati, “bunga matahari itu
memegang tanganku dan mengajak menari. Setelah aku banyak tertawa, aku dibawa masuk
ke dalam tubuhnya. Rasanya sesak dan sangat sakit, Hon, tapi aku tidak ingin mengatakannya
kepada siapa pun.” ***
CERPEN, JAWA POS, KIKI SULISTYO
Mawar Ungu Aulia Sulhani

Cerpen Kiki Sulistyo (Jawa Pos, 20 Mei 2018)

PADA hari kedelapan bulan ketiga, di langit sebelah utara, sekuntum mawar
ungu mekar perlahan-lahan. Kelopaknya susun-menyusun memendarkan
cahaya, tidak cemerlang, tetapi cukup terang untuk membuat ruang di
sekitarnya ikut berpendar ungu, pendar yang mengingatkan pada semu-sipu di
pipi gadis remaja.
Lembah itu berada pada satu titik, yang apabila seseorang berdiri tepat di tengah-tengahnya,
ia akan bisa menyaksikan benda-benda langit yang tidak bisa dilihat dari sembarang tempat.
Sebuah rumah berdiri persis di sana, kecil dan sejuk. Di sekitar rumah itu tumbuh semak-
semak semangka, hanya semangka, tidak ada tanaman lain. Buah-buah semangka yang
bundar dengan kulit bercorak hijau gelap tergeletak di tanah bagai bola-bola dari luar
angkasa.
Penduduk lembah hidup tanpa lampu, sebab malam tak pernah sungguh-sungguh gelap di
sana. Pendaran cahaya dari benda-benda langit lebih dari cukup untuk menerangi kawasan
lembah; termasuk rumah itu, rumah yang cuma dihuni oleh dua orang remaja. Orang-orang
tua di lembah telah bersaksi bahwa salah satu dari remaja itu hidup abadi, sedang yang
satunya lagi sesungguhnya bukan manusia, tapi peri pirang yang terperangkap dan tak pernah
bisa kembali ke dunianya.
Lantaran berada tepat di tengah-tengah, rumah kecil itu menjadi benda paling bersinar di
lembah. Bahkan, orang-orang yang tinggal jauh dari lembah dapat melihat rumah itu,
bagaikan satu perahu kecil di tengah lautan.
***
“Aku punya saudara angkat,” kata Aulia Sulhani padaku sembari menyodorkan sepotong
semangka. Aku ingat ketika baru tiba di gedung pertunjukan, ia menatapku, mengangguk
hormat dan memasang bulan sabit di bibirnya. Itu bukan pertemuan pertama kami. Rasanya
aku pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak ingat kapan, bahkan aku tidak ingat momen-
momen pada pertemuan sebelumnya itu. Aku tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya
dari cara dia mengangguk dan bulan sabit di bibirnya itu.
“Dari mana kau tahu aku suka semangka?” kataku sembari memperhatikan jari-jari
tangannya yang basah oleh sari semangka.
“Aku tidak tahu, jadi kau suka semangka?” Keberaniannya memakai kata “kau”
menimbulkan semacam gerhana di diriku.
“Ya, apakah semangka ini merepresentasikan dirimu? Merah, segar, dan orang bisa bikin
kwaci dari biji-bijinya?”
Wajah Aulia Sulhani tampak kurang senang, “Bukan. Mungkin tidak ada alasan pasti kenapa
aku suka semangka. Aku lebih suka bertanya-tanya, apakah aku bisa jadi susu dalam
kemasan,” ujarnya, parasnya yang kurang senang itu seperti melepaskan bayangan musim
dingin.
“Jadi tidak ada alasan pasti? Tidak ada alasan juga adalah alasan. Suatu alasan yang tidak
beralasan,” ucapku.
Tiba-tiba aku ingat naskah yang baru saja mereka mainkan, protagonis cerita dalam naskah
itu, seorang laki-laki tanpa nama, juga melakukan tindakan yang tanpa alasan.
“Yup, aku setuju. Kukira itu kalimat yang tepat.” Wajah Aulia Sulhani sudah kembali seperti
biasa. Sesungguhnya aku tidak ingin berbincang dengannya. Ada semacam perasaan malas
berbincang dengan para remaja.
Para remaja itu memang sedang berada dalam orbit yang sama denganku, dalam satu proyek
pertunjukan, tapi kami berdiri dalam jarak yang berbeda. Bila pertunjukan itu adalah
matahari, maka kami adalah planet-planet yang mengitarinya. Pikiran itu mengingatkanku
pada Hukum Kepler Ketiga; dalam perhitungan itu bisa dibilang, aku Bumi dan Aulia Sulhani
adalah Saturnus. Bila aku membutuhkan waktu 1 tahun untuk menyelesaikan satu periode,
maka dia membutuhkan 29 tahun. Dia terlalu jauh dari matahari.
“Saudara angkat?” kataku kemudian untuk mengembalikan topik.
“Ya, ceritanya panjang. Kalau mau tahu, suatu kali nanti aku akan menceritakannya.”
“Terlalu panjang untuk diceritakan sekarang?’’
“Selamat malam,” jawabnya sembari meraih tas kecil di atas meja depan cermin rias. Ia
bergerak keluar ruang, langkahnya ringan seperti astronot. Aku tidak sendirian di ruang rias
ini, masih ada beberapa anak remaja yang bertukar cerita dengan sesamanya. Tapi setelah
Aulia Sulhani pergi, aku merasa sendirian.
Anak-anak remaja itu saling menceritakan perasaan mereka ketika berada di panggung
beberapa saat lalu. Naskah yang diadaptasi dari cerita pendek Italo Calvino; tentang seorang
laki-laki yang iseng memanggil nama seorang perempuan sambil mendongak ke arah sebuah
rumah sehingga banyak yang mengira ia sedang dalam kesulitan untuk masuk ke dalam
rumahnya sendiri; rupanya telah memberi pengalaman baru dan menyenangkan buat mereka,
pengalaman yang tidak mereka temukan ketika berada di sekolah; di hadapan tugas-tugas
hafalan dan keharusan untukselalu patuh.
Tentu aku sudah melihat ketika mereka latihan, ketika Aulia Sulhani mengangguk padaku
dan menerbitkan bulan sabit di bibirnya itu. Permainan Aulia Sulhani sebenarnya biasa-biasa
saja, lagipula ia tidak mendapat peran utama. Tapi yang membedakannya dengan pemain lain
adalah aku seperti melihat keremajaan yang abadi pada dirinya. Aku bisa membayangkan
seperti apa para remaja yang lain ketika mereka menua, tapi aku tidak bisa membayangkan
hal yang sama pada Aulia Sulhani.
Kugeleng-gelengkan kepala, seakan-akan kepalaku adalah senter yang rusak, untuk mencapai
persepsi tentang rupa tua Aulia Sulhani. Tapi tidak bisa, dalam persepsiku Aulia Sulhani akan
selamanya remaja.
***
Penduduk lembah tahu nama peri pirang itu adalah Larissa. Ia satu-satunya yang tersisa dari
Meteora, kompleks biara batu di Thessaly. Setelah Thessaly takluk oleh pasukan Persia,
Larissa terusir ke berbagai tempat, sampai ia tiba di sebuah benua di mana binatang-binatang
berkantung hidup sejahtera. Dari sana ia melakukan perjalanan kembali, melintasi ruang dan
waktu serta melakukan dua hal sebelum akhirnya terperangkap di lembah mawar ungu.
Hal pertama yang dilakukannya adalah menggenapi satu hukum tentang pergerakan planet di
angkasa. Pada suatu saat, tepat pada hari kedelapan bulan ketiga, ia memasuki mimpi malam
seorang Jerman bernama Johannes Kepler. Dengan satu tarikan yang ringan, Larissa
membawa Kepler ke angkasa, ke dalam ruang hampa udara, menyaksikan bagaimana planet-
planet di tata surya menyelesaikan periode-periodenya, membentuk garis elips dengan
matahari sebagai pusatnya.
Dua belas tahun kemudian, Kepler meninggal dunia. Ruhnya tertabur dan menyatu bersama
kabut nebula. Tapi tidak seluruhnya; 259 tahun kemudian suatu hujan meteor membawa
sebagian dari ruh itu; ruh yang telah bercampur dengan sisa-sisa sayap Lucifer pada waktu
malaikat itu dibuang; sebutir debunya yang tak kasat mata melayang, lalu terhirup napas berat
seorang ibu yang hendak melahirkan. Kelak, anak yang dilahirkan ibu itu akan jadi monster
perang paling mengerikan dalam dunia modern, yang jika disebut namanya seluruh benua
akan bergetar dan kota suci Yerusalem menutup pintu-pintunya.
Larissa masuk ke dalam mimpi laki-laki itu, di akhir masa perang yang mengerikan, dan
membisikkan padanya gagasan bunuh diri. Laki-laki itu menembak kepalanya sendiri, ruhnya
meluncur bagaikan roket dan memecah di udara seperti kembang api. Tapi banyak orang
yang percaya bahwa laki-laki itu masih hidup, bersembunyi di kepulauan Nusantara. Bahkan
penduduk lembah mawar ungu percaya bahwa laki-laki itu kemudian meninggal di sana dan
dimakamkan persis di bawah rumah mungil di tengah-tengah lembah. Mereka yakin
keberadaan Larissa di rumah itu untuk menjaga agar ruh laki-laki itu tidak bangkit lagi.
Tak ada penduduk lembah yang tahu nama remaja abadi yang tinggal bersama Larissa itu.
Mereka menganggapnya suci, remaja yang tak tersentuh waktu. Ia diturunkan ke lembah itu
bersamaan dengan turunnya Siti Hawa, dan semenjak-entah-kapan penduduk telah
menganggapnya sebagai pemimpin, sebagai seorang Aulia.
***
“Jadi ceritanya begini. Waktu ada program pertukaran pelajar dengan satu sekolah di Aussie,
kebetulan aku ditunjuk jadi salah satu host sister. Aku boleh memilih dengan siapa mau
tinggal, jadi aku pilih seorang, namanya Larissa. Dia anak tunggal. Rupanya dia nyaman
denganku, sampai mengangkat aku jadi saudaranya. Waktu Paskah tempo hari dia mengirimi
aku hadiah, sekuntum mawar ungu,” ucap Aulia Sulhani, ia menunda kepulangannya dan
berbalik hanya untuk menceritakan hal itu; aku merasa, di hadapannya, aku bukan lagi Bumi,
melainkan Pluto, planet yang sudah mati dan hilang dari orbit.
“Hai, tanggal 8 Maret aku ulang tahun. Jadi aku minta kado. Kadonya puisi, yayayayaya?”
Bunyi vokalnya menggema di tulang tengkorakku. Kawan-kawannya datang menghambur,
menarik-narik tangannya, mengajaknya ke suatu tempat. Aku memperhatikan sosoknya
menjauh, terus menjauh, tapi sepertinya akulah yang menjauh, seperti planet yang perlahan-
lahan redup.
Aku pejamkan mata, seolah-olah baru pertama kali meresapi dunia. Kurasakan diriku
mengembang, terus mengembang, menjadi seluas angkasa. Aku lihat lelaki dalam cerita Italo
Calvino, memanggil-manggil nama seorang perempuan yang tak pernah ada. Aku lihat
Johannes Kepler dan Adolf Hitler makan malam bersama di sebuah rumah mungil tepat di
tengah-tengah lembah. Mereka menatap langit, menatapku, dan menyaksikan sekuntum
mawar ungu pelan-pelan memekarkan kelopak cahayanya dalam dadaku. ***
ACHMAD SUPARDI, CERPEN, JAWA POS
Pelean Klebun

Cerpen Achmad Supardi (Jawa Pos, 06 Mei 2018)

Pelean Klebun ilustrasi Budiono/Jawa Pos


TANPA pertimbangan, kakiku memasuki warung ini. Inilah satu-satunya warung yang buka
di antara deretan yang kini melompong dikalahkan zaman. Hingga 14 tahun lalu, seluruh
lorong di Terminal Kamal, Bangkalan, ini dipenuhi warung-warung ramai yang nyaris
seragam. Takkan kita temui ornamen atau dress code waiter yang unik. Tidak ada buku
menu. Tidak ada AC bahkan di musim paling kemarau sekali pun. Orang-orang makan
dengan lahap dalam cucuran keringat. Asap sate Madura mengepung seluruh lorong,
menambah nikmat menu apa pun yang kita santap.
Aku memesan nasi campur, menu yang paling sering aku beli saat bepergian bersama ayah di
masa kecil dulu. “Lok atek cengi,” pesanku pada ibu pemilik warung. Aku tak ingin ada
sambal di piringku. Aku tak bisa makan makanan pedas.
Ibu itu memandangku sebentar sebelum tersenyum dan menyiapkan pesananku. Hampir
selalu aku mendapatkan tatapan dan senyum seperti itu. Bisa kutebak bahwa mereka heran.
Bagaimana mungkin pria Madura tidak suka pedas? Bukankah kehidupan itu sendiri hampir
selalu pedas bagi kebanyakan pria Madura? Bukankah kehidupan melemparkan mereka ke
bedeng-bedeng penampungan rongsokan, bahkan sampah aneka rupa di Jakarta? Bukankah
kehidupan membuang mereka hingga hutan-hutan belantara di pinggiran Sampit hingga
Palangkaraya? Bukankah kehidupan memaksa mereka bergelimang karat di pusat-pusat besi
tua di Surabaya? Bukankah kehidupan menancapkan mereka ke ruang-ruang sempit untuk
merapikan rambut orang-orang yang tak mereka kenal di Poso, Kupang, dan Sumbawa?
Pria Madura dikenal dekat dengan kehidupan yang keras. Menemukan salah satunya yang
menyantap makanan pedas saja tidak mau, tentu salah satu keajaiban dunia.
Para pemilik warung dan pelayan yang mendengar permintaanku mungkin menganggap
diriku pria yang enggan tantangan. Lelaki yang pasti mudah menyerah saat berhadapan
dengan kerasnya hidup. Mungkin mereka malah menganggapku bukan pria. Tentu mereka
orang-orang yang tak pernah tahu apa yang kulakukan 14 tahun lalu.
***
Ini adalah malam kesekian rumahku seperti pasar malam. Mungkin separo warga desa
berkumpul di rumahku. Ibuku, dengan bibir gemetar dan rona ketakutan, masih terus saja
menyajikan kopi kepada siapa saja yang datang. Inilah keramahan yang kadang berbiaya
sangat mahal.
Ini adalah malam kesekian mereka, para warga desa itu, datang membujukku. Dengan halus
mereka memintaku membatalkan niat mencalonkan diri sebagai kepala desa. Mereka sayang
padaku, katanya. Mereka tak ingin aku kenapa-kenapa.
“Jalanmu masih panjang, Rul,” kata Teh Misdi. “Kamu bisa segera menyelesaikan kuliahmu
dan mendapatkan pekerjaan yang bagus di Surabaya atau Jakarta.Gutteh yakin itu,” lanjutnya.
Diembuskannya asap rokok klobot yang pekat.
Hening menyelimuti musala keluarga kami. Semua yang hadir seperti terkunci mulutnya.
Ini bukan yang pertama. Berkali-kali sudah Teh Misdi memintaku membatalkan niat
mencalonkan diri sebagai kepala desa. Kini ia memintaku menggunakan ijazah sarjanaku—
yang belum kuraih itu—untuk mendapatkan pekerjaan. Apa saja, asal bukan sebagai kepala
desa di desa kami.
“Kamu tahu? Keluarga sana sudah menjadi kepala desa sejak Paman belum ada. Belum lahir.
Masyarakat sini sudah menganggap mereka pakunya desa ini. Tidak baik membongkar apa
yang sudah menjadi tatanan,” kata Paman Ridho. Tampak sekali dia tidak ridho aku menjadi
calon kepala desa.
Sepi lagi. Suara jengkerik terdengar begitu nyaring dalam balutan keheningan yang begitu
sempurna. Orang-orang, laki-laki dan perempuan, dewasa dan lansia, seperti menunggu
dalam risau. Mereka tak berkata-kata. Mereka bahkan seperti tak beringsut dari tempatnya.
Tapi aku tahu pasti. Mereka, yang duduk di musala, di beranda, bahkan di halaman, punya
tuntutan yang sama: batalkan rencana ikut pemilihan kepala desa.
Setelah beberapa lama, suasana dipecahkan oleh sebuah suara pelan dari dekat dapur. Di
hampir semua wilayah Madura, rumah biasanya terdiri atas lima blok. Satu bangunan utama
yang berfungsi sebagai rumah tinggal, sebuah musala berbentuk rumah panggung, dapur,
kamar mandi, dan kandang ternak yang biasanya berisi sapi, kadang sapi dan kambing.
Semua blok itu merupakan bangunan terpisah. Tingkat kesejahteraan keluarga biasanya
terlihat dari musala dan kamar mandi.
Keluarga berada memiliki musala dari kayu jati atau kayu nangka, sedangkan warga biasa
membangun musalanya dengan bahan utama bambu. Keluarga berpunya biasanya memiliki
kamar mandi berdinding batu bata dilapis semen. Rakyat miskin biasanya mandi hanya di
salah satu pojok rumahnya yang sedikit tersembunyi oleh rimbunan pohon. Kadang mereka
menambah privasi dengan dinding dari karung goni atau sarung bekas.
“Cong,” suara Bok Na begitu jelas di malam yang sangat senyap, “Kami semua sayang
kamu. Kami semua ingin kau menikah, berkeluarga, hidup tenang. Kami tak ingin kau
kenapakenapa,” katanya. Ujung suaranya sudah berupa sesenggukan. Ia seperti melihatku
menjemput ajal sebentar lagi.
Ah, kalimat-kalimat ini selalu kudengar selama bermalam-malam sejak keinginanku menjadi
kepala desa kuutarakan.
“Memangnya kenapa kalau aku mendaftar ikut pemilihan kepala desa? Toh aku belum tentu
menang juga,” kataku. Aku mulai sumpek dengan ketakutan ini.
“Justru itu! Menang belum tentu, mati sudah pasti!” Kudengar Kak Ramli berseru.
“Aku hanya ingin turut membangun desa ini dengan kemampuanku. Aku sudah punya
program dan aku akan memastikan bantuan untuk warga desa benar-benar sampai kepada
yang berhak, bukan seperti selama ini,” kataku.
“Sudahlah! Kau pintar, jadi jangan pura-pura bodoh! Kamu pasti tahu betul keluarga sana
takkan mau ada penantang. Itu artinya kamu akan mati kalau masih terus melanjutkan
rencanamu. Kalau kamu mati, kami semua akan mati karena kami takkan terima kamu
dibunuh. Jelas?!” teriak Kak Tofa.
Ya, aku sudah tahu itu. Mendaftar menjadi kepala desa berarti menantang keluarga itu. Dan,
itu artinya menjatuhkan hukuman mati untuk diri sendiri.
Keluarga sana, begitu keluargaku dan hampir semua warga desa memanggil keluarga klebun.
Kami bahkan seringkali lupa nama asli si kepala desa maupun ayahnya dan kakeknya yang
semuanya adalah kepala desa turun-temurun. Kami hanya mengenal mereka dengan
jabatannya: klebun alias kepala desa.
Satu-satunya hal lain yang kami tahu adalah mereka semakin kaya. Beras miskin berhenti di
rumah kepala desa dan saudara-saudaranya, bukan ke gubuk-gubuk merana di desa kami.
Sapi-sapi bantuan pemerintah berhenti di rumah keluarga besar kepala desa meski nama-
nama kami yang dipakai untuk mengusulkannya. Dana desa juga berhenti di
rumah klebun meski jalan desa kami tak kunjung beraspal dan jumlah sumur irigasi tak
pernah bertambah.
Aku tidak tahan. Apakah aku menikmati saja sanjungan sebagai satu-satunya calon sarjana
dari desa ini tanpa berbuat apa-apa demi warga desanya?
Aku tak ingin seperti itu. Bagi warga desa, aku gila. Bagi keluargaku, aku sudah mati.
***
Pagi itu aku mendaftar ke kantor kecamatan. Sendiri, meski aku tahu Kak Tofa dan para
sepupuku lainnya pasti berjaga di luar sana. Tuhan, seperti perang saja. Namun, ketika panitia
pemilihan kepala desa di kecamatan mencatat pendaftaranku dengan begitu ringkas, tanpa
canda dan sapa, yakinlah bahwa aku memang sedang memasuki gerbang perang yang
sebenarnya.
Hanya sekitar 100 meter aku meninggalkan kantor kecamatan, aku terkejut setengah mati.
Tiba-tiba pipiku panas. Kulihat tangan klebun tuah gemetar persis di depan wajahku.
Mukanya merah gelap, mulutnya berdesis, “Lancang!”
“Buleh salah napah Mak Bun? (Saya salah apa Pak Kepala Desa?)” tanyaku. Kutahu itu
pertanyaan konyol.
“Jek gik atanyah pole mun lok terro pegek le’errah (Jangan bertanya lagi kalau tak ingin
lehermu putus),” kudengar suara dari arah punggungku. Si klebun ngudeh, orang yang masa
jabatan keduanya akan mendapatkan saingan dariku. Oh, jadi aku dikepung nih.
Tak pernah rela diperlakukan lebih rendah dari orang lain, aku masih ngotot bertahan. “Aku
hanya…”
“Patek! Masih bicara juga kamu…”
Peristiwa berikutnya tak kuingat detailnya. Aku hanya ingat klebun tuah dan klebun
ngudeh sama-sama menyerangku. Beberapa orang juga tampak menyerangku. Aku bertahan
dengan refleks yang diajarkan almarhum ayah dan Teh Misdi. Klebun ngudeh mati dengan
celurit yang dipegangnya sendiri. Polisi begitu cepat meringkusku. Beberapa orang kulihat
tergeletak. Kak Tofa berlumuran darah, juga dua sepupuku yang lain. Ramalan mereka
menjadi nyata.
***
Aku keluar dari warung. Dengan santai aku berjalan kembali ke arah loket tiket feri. Kali ini
kujenguk Madura sampai di Terminal Kamal ini saja. Toh ibu dan keluargaku yang lain tak
lagi ada di sini. Peristiwa hari itu mengantar mereka ke seantero Nusantara. ***
CERPEN, JAWA POS, WAWAN SETIAWAN
Wilayati

Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 29 April 2018)

Wilayati ilustrasi Budiono/Jawa Pos


“LIBUR itu berkah. Konflik itu musibah. Heran, aku bisa kerja tabah.”
Wilayati berpuisi di sawah kampung halamannya. Ketika itu, ia baru menerima surat pensiun.
Ia tak pernah berpikir tentang arti libur. Namun sekarang ia sudah menikmatinya. Dengan
lahap, sisa mata, telinga, hidung, dan kulit menyerap panorama kampung halaman.
Di desa bersawah itu ia menginap di rumah sepupu, yang juga teman masa kecil. Rumah
tepat di pinggir sawah. Depan rumah jalan sirtu, sebelah depannya lagi rel kereta api. Dulu,
waktu kecil, kereta yang lewat lokonya hitam, bahan bakarnya balok-balok kayu. Orang
kampung menyebutnya sepur grung. Karena klaksonnya berbunyi grung. Sekarang keretanya
mesin diesel. Bunyi klaksonnya mirip bunyi terompet tahun baru. Sepur grung sudah lama
pensiun, jadi penghibur di museum.
Ia ingat betul pesan almarhum suami. “Bagaimanapun situasinya jangan sekali-kali pensiun
dini. Meski mengabdi itu bisa di mana saja dan kapan saja, jangan sekali-kali pensiun dini.”
Kelebat-kelebat konflik di kantornya masih terasa. Di kantor orang sering konflik namun
sering juga panen uang.
“Hidup hanya sekali. Ingin dibahagiakan itu lucu. Kebahagiaan seperti kematian, peristiwa
khas. Subjektif. Mengherankan jika ada orang iri kepada orang bahagia,” bisiknya menegas.
Setahun sebelum pensiun dari Dinas Pertanian, suami Wilayati wafat, komplikasi ginjal. Dua
putrinya sudah nikah. Bersama suami, mereka kerja di kota lain. Wilayati sendiri lagi seperti
semula. Kata orang, kesendirianlah teman sejati. Sedang sepupunya tanpa anak, pensiunan
kepala SD. Suami sepupu yang petaniutun itu juga lebih dulu wafat. Hipertensi-stroke
memeluk mesra.
“Matahari, di tempat suamiku yang baru, apakah kau seterang ini juga?” tanya Wilayati di
pagi hening pinggir sawah.
“Ya, terang. Malah lebih terang,” jawab Matahari pendek.
“Mengapa?”
“Kan di sana lebih dekat dengan Tuhan.”
“Oh iya. Betul juga. He he… Terangnya bagaimana di sana?”
“Bergantung mata yang memandang.”
Wilayati terkejut. Bagaimana mungkin terang Matahari ditentukan oleh yang melihat?
Mestinya ditentukan Matahari sebagai penguasa. Baru mata mengikuti terangnya. Tapi benar
juga, mata sakit dan mata sehat hasil lihatnya lain.
“Ya Matahari. Aku mengerti.” Cahaya bundar itu semakin cerah. Cahayanya merayap-rayap
di atas bulir-bulir padi. Rayapannya meluas.
Wilayati lebih tenang ketika Matahari berkata di alam baru suami juga ada kehadirannya.
Kalau di sana Matahari lebih terang, karena lebih dekat dengan Tuhan, buat apa takut
kesuraman setelah kematian? Sebab cerita kegelapan itu berabad mencengkeram mata yang
rindu cahaya.
Kaki Wilayati yang mulai keriput melangkah kecil sepanjang pematang. Almarhum suami
dulu memuji kakinya karena mungil seperti kaki kijang. Tapi sekarang itu sudah dan harus
lewat. Kakinya sudah sering memijak tanah makam saat takziah. Tanah sawah memang beda
dengan tanah makam. Melangkah di tanah makam rasanya lebih berat. Sebaliknya kalau
melangkah di pematang sawah. Pematang sawah seakan berterima kasih merasakan tapak-
tapak kakinya.
Kemeriahan kecil akan terjadi. Sawah siap panen sebentar lagi. Tapi entah kenapa ada debar
di hati saat peristiwa tiga bulanan itu menepi. Mengapa hatinya tiba-tiba berdebar? Bukankah
sawah ini milik sepupu? Dengan sepupu tak ada hubungan milik. Apalagi rebutan warisan.
“Aku ke sini untuk berlibur. Tidak untuk yang lain-lain. Lihat itu pohon kelapa yang padat
buahnya. Kacang panjang berjajar di pematang siap petik buah dan daunnya. Dan di sini aku
masih bisa menikmati regukan sunyi di akhir hari,” Wilayati seperti mengigau.
“Sebenarnya tanpa konflik pun aku bisa hidup dengan baik. Sampai sekarang pun, boleh
dikata, aku bisa bernapas dengan normal, berpikir dengan moral.” Hatinya membenarkan
pikirannya.
Tapi mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang tak nyaman akan datang. Oh ya, di timur sana
ada bukit kecil. Orang desa menyebutnya gumuk. Itu dulu punya kakeknya. Bukit itu ada
sumber airnya. Karena perlu uang, bukit itu dijual ke pejabat lokal. Harga di bawah standar.
Pejabat lokal itu sekarang sudah di alam sana bersama kakek. Cucu pejabat lokal sering
meneleponnya agar membeli lagi sang bukit. Ia butuh uang, seperti kakek dulu.
Tentu saja uang pesangon Wilayati tidak cukup untuk membeli lagi bukit itu. Biarlah bukit
itu memperbarui dirinya tanpa pengawasan pemilik lama. Pemilik baru pasti sudah tahu
merawatnya apalagi jika dihubungkan dengan ujaran ramah lingkungan.
Sepulang dari sawah akhirnya ditemukan penyebab gelisahnya.
“Kenapa kamu tidak bilang-bilang kalau perlu uang?”
“Kamu habis kesripahan. Aku malu mengatakan. Dan sakitku tak mungkin harus terus
kutahan,” bela sepupu.
“Kamu sakit tidak bilang-bilang juga. Takut kewibawaan runtuh?”
“Sudah niatku tak ingin merepotkan.”
“Aku dulu kamu bantu saat sakit. Sekarang kamu menghindar dari bantuanku. Sombong.”
“Bukan sombong. Memang aku belajar untuk mengurangi beban keluarga besar kita.”
“Kamu sudah sering meringankan bebanku. Bukan sebaliknya.”
Percakapan akhirnya berhenti dengan sendirinya. Pesona mimpi menghias tidur pulas. Bulan
bundar di sawah berkisah sampai pagi.
***
Dinginnya pagi segar, kicau kutilang ramah, tak membuatnya gairah. Untuk apa bermanja di
sawah siap panen, saat luka membuka lagi.
Sepupunya telah menyewakan sawah satu hektare itu untuk tiga kali panen. Katanya, sepupu
perlu uang untuk sakit kandungannya. Sayangnya dia tidak memberi tahu sebelumnya.
Biasanya sepupunya itu serba terbuka pada soal-soal penting hidupnya. Tentu sepupu merasa
bahwa itu miliknya, dan menyewakan adalah haknya. Karena itu, tak perlu rundingan
panjang untuk memutuskan sebuah peristiwa kecil!
Ketika Wilayati berkuliah ia sering dikontak oleh Arjuna (desa) itu untuk kelaknya
membangun rumah tangga yang hidup. Dengan senang Wilayati mengiyakan. Komunikasi
berjalan lancar, disambung sejumlah pertemuan. Namun sang Arjuna kemudian berbelok
arah. Alasannya, Arjuna tak sanggup melawan orang tua yang menjodohkannya dengan putri
otoritas desa.
Nasib sudah diketuk. Orang tua Wilayati menghiburnya dengan memberikan arahan ini dan
itu sehingga Wilayati tetap di kota. Kampung halaman kemudian sungguh-sungguh menjadi
kenangan sampai rumah tangganya akhirnya ajur. Apalagi hidup sekadar mimpi. Dan
kecewanya lebih terasa setelah tahu menantu otoritas desalah yang merayakan panen tiga
bulanan itu.
***
Wilayati tercenung di rumahnya memandangi pohon kelor yang daunnya untuk sayur bening.
Ada pisang kayu yang kalau direbus rasa buahnya keset. Dua tumbuhan itu hadiah almarhum
ayahnya yang petani utun. Juga ada beberapa mangga, sirsat, blimbing, srikaya, yang sudah
banyak kali berbuah. Pohon-pohon itu hadiah dari teman kantor suaminya. Tuhan, lewat
tanah di rumahnya yang seribu meter persegi ini, telah mengabulkan doanya. Hijaunya
mewakili hijau kampung halamannya.
“Mau apa aku sekarang? Ya, mau apa? Di rumahku ada rumahku, pohon, dan juga aku. Ya,
mau apa aku sekarang? Apa aku harus menjadi petani buah di pinggiran kota ini? Atau aku
harus pulang kampung merenungi masa jaya keluarga? Oh, sekarang tak ada lagi masa itu!”
Wilayati menatapi pohon kelor yang buahnya panjang-panjang. Nama
buahnyaklentang. Kalau disayur asem rasanya kecut-kecut segar. Tapi tak ada lagi kini yang
perlu disentuh. Ia ingat ujaran guru sastra SMA-nya dulu.
“Tangan manusia cenderung panas. Hati-hatilah saat menyentuh sekitarmu.”
Cukuplah dua kalimat itu yang tak pernah sirna dari kalbu. Betapapun kuatnya sebuah
rindu.***
CAROLINE WONG, CERPEN, JAWA POS
Upik Labu

Cerpen Caroline Wong (Jawa Pos, 22 April 2018)

Upik Labu ilustrasi Budiono/Jawa Pos


AKU membenci perempuan itu, yang selalu berdaster kuning labu dengan corak bunga
mawar merah yang norak. Rambutnya selalu dipotong pendek. Di wajahnya hampir tidak ada
yang menarik. Berhidung dan berdagu pendek.
Dia selalu bangun subuh, dan langsung membasuh muka di baskom kecil di samping sumur.
Di tempat yang sama, berbaris manis pula berbaskom-baskom baju kotor dari suami dan
anak-anaknya yang masih balita. Baju-baju yang berbau kencing bercampur muntahan susu
sampai samar-samar aroma tinja. Dia harus segera mencuci dan menjemur baju-baju itu
sebelum matahari bersinar.
Sesudah itu ibu mertua dan ipar-ipar perempuannya yang masih gadis akan bergantian
bangun. Berebut odol dan menyikat gigi lalu tersenyum-senyum sendiri di depan cermin.
Mereka semua merasa diri secantik bidadari kekasih Jaka Tarub, yang kehilangan selendang
dari kahyangan.
Di meja makan sudah tersaji sepanci bubur panas dan beberapa butir telur asin yang sudah
dibelah dua. Upik Labu, yah begitu aku menjulukinya, dengan gesit berputar dan berpindah
dari sumur ke dapur lalu ke mesin jahit tuanya. Masih ada sedikit waktu untuk menyelesaikan
baju pesanan ibu guru Yemima. Sesekali jika ibu mertua memanggil, dia akan berhenti
menginjak dinamo mesin jahit dan segera menghampiri sang ibu mertua.
“Mayang… Mayang… Mayang!” Ibu mertua tidak akan berhenti memanggil nama itu
sampai Upik Labu muncul di hadapannya. Ibu mertua belumlah tua benar, masih sehat masih
lincah, rambutnya dikeriting sebahu, semua bajunya dijahit oleh sang menantu, dihiasi
pinggiran berenda.
Ternyata Upik Labu lupa menyeduh teh melati dalam cangkir-cangkir kaleng penyok untuk
setiap penghuni rumah. Tanpa menyia-nyiakan satu atau dua kata untuk menjawab, Upik
Labu terbang kembali ke dapur, dan seperti pesulap perempuan yang sangat sakti, semua
sudah tersaji di atas meja. Lalu dia pun kembali menekuni jahitannya dengan tabah. Kembali
terdengar suara dinamo yang tersendat-sendat, sesuai dengan jeda berapa lama bibir ibu
mertua akan kembali terbuka.
Sisa jahitan di bagian pinggiran baju saja yang belum dirapikan. Suami dan anak-anaknya
akan segera bangun dan sudah pasti mereka akan ribut seperti orang kelaparan. Bergegas dia
ke halaman belakang dan menjala dua ekor ikan emas besar dari kolam kecil berlumut di
bawah pohon. Satu untuk digoreng dan satu untuk dibakar dalam bungkusan daun pisang.
Jika ikan-ikan itu selesai menemui takdirnya, maka dia bisa kembali ke mesin jahit.
Walaupun kenyataannya, kalau semua sudah cukup kenyang atau kekenyangan, maka ibu
mertua akan menjadi semakin malas bergerak dan suara penuh perintah akan terus-menerus
tersiar di udara dengan nyaring. Mengalahkan deru sekarat dinamo mesin jahit. Itu berarti
upah jahitan akan terlambat diterima, nilainya luar biasa besar, sama dengan susu sekaleng.
Ipar-iparnya yang sedang bersiap-siap akan ke sekolah juga tidak kalah hebohnya. Bingung
sisir bingung bedak tabur bingung baju seragam yang kurang licin. Belum lagi mereka mulai
naik darah mencari kaus kaki molor yang pasangannya entah di mana.
Mereka bertiga memang berwajah lumayan cantik, lengkap dengan bonus sifat malas yang
luar biasa. Mata mereka bisa mengeluarkan silau yang kejam seperti terik matahari memantul
di atas pecahan kaca. Tidak hanya itu saja, bibir-bibir mereka yang cerewet merepet dan suka
berkata-kata tajam bahkan bisa memuntahkan gelombang cahaya.
Inggrid yang nomor satu, penjelajah kampung ke kampung, berpindah dari satu pelukan
pemuda desa di atas bukit ke pemuda desa lain di pinggir sungai. Karena waktunya tidak
banyak di rumah, bisa dikata dia yang paling baik memperlakukan Upik Labu. Tapi sesekali
dia juga harus menunjukkan solidaritas dengan sekadar ikut tertawa ketika misalnya Upik
Labu sedang berjongkok menyikat lantai. Mereka saling berbisik dengan secuil senyum
melecehkan, “Lihatlah dia, masih lebih cantik buah labu.”
Linda si nomor dua, merasa yang paling cantik dan paling berkuasa. Dia tukang asah kata-
kata. Sambil berdansa mengikuti irama radio yang sumbang karena batu baterei soak, Linda
akan menyanyi nyaring, “Jelek-jelek aku sudah ada yang punya…”
Lanny si bungsu, lain lagi kasusnya. Dia memang membenci apa saja. Matahari dan bulan
yang bersinar, kerikil kecil di jalan, sendok makan bengkok murahan, kaki-kaki kepiting
rebus yang kurus tak berdaging, durian yang berduri, pita rambut yang benangnya mulai
terlepas, penjual buah yang perhitungan, dan yang terutama Upik Labu yang selalu riang
gembira. Lanny kemudian akan bergabung dalam duet paduan suara dengan Linda, “Jelek-
jelek aku sudah ada yang punya…”
Upik Labu sadar, syair indah itu untuk dirinya. Tapi dia tidak ambil pusing. Baginya uang
lebih penting. Lembaranlembaran kain di depannya sudah menyita semua pikirannya. Kain-
kain ini harus segera dipola dan digunting. Kemudian dengan teliti dijahit rapi untuk
pelanggan-pelanggan yang berbahagia.
***
Semua perempuan dalam rumah ini—kecuali Upik Labu—meyakini bahwa surga berada di
atas kasur. Setiap saat di luar jam makan dan jam sekolah, tiga dara itu sibuk bergulung-
gulung di atas kasur. Toh ada Upik Labu yang dengan bahagianya gentayangan di dalam
rumah. Apalagi jika hujan turun, lengkaplah sudah. Menarik selimut dan bermimpi bertemu
anak orang kaya, saling jatuh cinta dan segera dilamar. Maka mereka benar-benar akan pulas
dengan wajah berbinar-binar.
Anak-anak orang kaya itu tentu saja tidak pernah datang. Yang datang adalah pendekar-
pendekar cinta yang membawa cokelat dengan citarasa tahi kucing.
Rumah ini sendiri bagi Upik Labu adalah rumah gawat darurat yang pintu dan jendela bahkan
lubang kakusnya menyerupai bibir perempuan. Bibir suaminya sendiri sudah lama menjelma
menjadi bibir yang juga berjenis kelamin perempuan. Semua begitu bernafsu untuk
mengeluarkan titah dan sabda agung.
Mereka ingin mematahkan semangat dan harga dirinya, tapi Upik Labu adalah pemain
bertahan yang tak terkalahkan. Dia tetap bekerja dalam diam, jari-jari tertusuk jarum pentul
itu biasa. Tulang belakang nyeri, napas sesak kelelahan, sakit kepala yang datang dan pergi
sesuka hati, tapi tetap saja dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penderitaan. Demi
anak-anak yang dikasihinya, lagi-lagi kalimat klise ini yang menjadi alasan.
Hari itu langit sedang berbaik hati menurunkan hujan, mendinginkan bumi, ketika
keberuntungan akhirnya berhenti berdetak untuknya. Secara ajaib, semua bibir-bibir serong
itu tiba-tiba pecah dan berhamburan di udara. Berdarah-darah dan bernanah, serpihannya
menerjang dan mengiris tajam ke bola matanya. Upik Labu tumbang dari kursi kayu
kerjanya—yang dialas bantalan kapuk tipis agar dia bisa betah duduk belasan jam menjahit.
Tubuhnya menggelundung tanpa daya. Semangatnya boleh digdaya, tapi tubuhnya telah
menggagalkannya.
Upik Labu tidak pernah menyerah tapi juga tidak pernah melawan. Untuk itulah aku sangat
membencinya. Bagiku itu bukan perjuangan. Andaikan dia mengasihi hatinya sendiri dan
mengerti sedikit tentang jam tubuhnya, maka aku, putrinya, sekarang masih akan bersama
dia… ***
CERPEN, JAWA POS, YUSRI FAJAR
Pertemuan di Gunung Tera Osaka

Cerpen Yusri Fajar (Jawa Pos, 01 April 2018)

SURAT-SURAT dari Indonesia yang diterima Eksila terasa tajam seperti samurai yang siap
menyayat dan mencincang tubuhnya. Isi surat-surat itu pada intinya sama, memintanya
segera pulang. Jika ia menolak, ia akan diberi sanksi berat. Tapi semangatnya untuk kembali
ke Indonesia telah berjatuhan seperti bunga sakura yang terpental ke tanah tanpa rerumputan
kemudian lenyap diseret angin berdebu yang kencang.
Seharusnya Eksila pulang karena tugas belajarnya di Osaka telah selesai. Sebagai dosen di
sebuah universitas di Jawa Timur, Eksila wajib kembali untuk mengajarkan ilmu yang telah
ia dapatkan di Jepang, negeri yang pernah mengirim berbagai mimpi buruk ke tanah
kelahirannya di zaman penjajahan. Jika Eksila bersikeras melepaskan tanggung jawab, ia
terancam dipecat dengan tidak hormat. Namanya akan dikenang dosen yang menghilang di
negeri orang.
Baik mereka yang mencibir dan menyayangi Eksila tak henti mengguncingkannya. Salah
satunya Sujagad, lelaki muda berambut lurus dan bermata bening seperti telaga, yang juga
mengabdikan diri sebagai dosen di universitas tempat Eksila mengajar. Setelah kepergian
Eksila ke Osaka untuk meraih gelar doktor bidang teknologi pendidikan di Universitas
Kyoiku, Sujagad beberapa kali mendengar kabar tentang Eksila yang memilih bertahan di
sana. Bagi Sujagad, Eksila tetap menjadi perempuan yang dipujanya. Meskipun dulu Eksila
pernah membuat remuk hatinya.
Sebagai lelaki yang kini memiliki tanggung jawab dan wewenang sebagai wakil dekan
bidang kepegawaian di fakultas, Sujagad memanggul tugas untuk membujuk Eksila agar mau
pulang. Waktu yang diberikan padanya hanya beberapa hari. Jika ia bisa meyakinkan Eksila
untuk kembali ke kampus, ia pasti dipuji banyak orang. Sebelumnya tak seorang pun berhasil
merayu Eksila. Tapi jika Sujagad juga gagal, ia akan dianggap sebagai pimpinan yang tak
becus meluluhkan hati teman sekaligus bawahannya.
Pamor dan harga dirinya akan terlucuti. Dan jika Sujagad adalah lelaki Jepang yang teguh
memegang tradisi harakiri, bisa jadi dia akan menghabisi hidupnya sendiri. Apa guna hidup
bila dilumuri malu dan ditimpuki kegagalan.
***
Tiba di Bandara Kansai, Sujagad kemudian bergegas menuju Stasiun Shin-Imamiya dengan
kereta Nankai Line. Tanpa memedulikan keletihan ia melanjutkan perjalanan ke Stasiun
Dobutsuen Mae untuk check-in di Hotel Chuo Oasis yang terletak di Jalan Taishi-Nishinariku
Tennoji. Setelah mengguyur lelah tubuh dengan air hangat, merebahkan badan sebentar dan
berusaha menepis keraguan, Sujagad menghubungi Eksila. Ia sangat berharap bisa
mendengar suara perempuan yang menjelang keberangkatannya ke Osaka cenderung
menghindar darinya. Nada dering telepon terdengar, tapi Eksila tak mengangkatnya. Apakah
Eksila tak mau menerima telepon darinya? Sujagad menekan nomor telepon Eksila lagi tapi
tetap tak ada jawaban.
Setengah jam kemudian ia menghubungi Eksila. Terdengar suara lembut namun terdengar
jauh. Ketika Eksila tahu Sujagad berada di Osaka, ia terkejut. Ia tak pernah memberikan
nomor telepon kepadanya. Bagaimana Sujagad tahu, Eksila juga tak bisa menduga. Tak ada
keinginan dalam dirinya untuk bertemu orang-orang kampus tempatnya dulu mengajar,
termasuk Sujagad. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraan, menghindar, bersembunyi
bahkan lari sekencang mungkin. Dulu Eksila menolak pinangan Sujagad karena Eksila lebih
memilih pergi ke Jepang untuk maraih gelar doktor. Sementara Sujagad tak mau menunggu
lebih lama.
***
Siang muram. Pikiran Sujagad seperti bergoyang-goyang di atas gerbong kereta yang
membawanya menuju Stasiun Osakakyoikudaimae. Ia berharap Eksila telah menantinya
sesuai janjinya dalam telepon. Tapi ruang tunggu masih lengang. Tak ada orang lalu lalang di
stasiun di pinggiran Osaka itu. Angin seperti berhembus dari puncak Gunung Tera ke lembah
menyapu lorong-lorong ruang tunggu stasiun.
Seorang perempuan muda muncul di pintu ruang tunggu, berjalan sedikit terburu-buru. Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu. Ia cantik, tubuhnya langsing,
kulitnya bersih, dan rambutnya panjang terurai, mengenakan baju ketat bermotif bunga
sakura. Mata perempuan itu berhenti pada satu titik. Dilihatnya Sujagad yang berdiri
beberapa meter di hadapannya.
“Kau sudah lama menunggu? Maaf.”
“Belum lama, Eksila. Kau baik-baik saja?”
“Aku merasa lebih bahagia di sini. Kau terlihat kurus sekarang, Sujagad.”
“Banyak urusan kampus yang harus kuselesaikan.”
“Kau tak perlu terlalu mengorbankan dirimu untuk urusan kampus. Lama-lama kau lupa
urusanmu sendiri.”
“Mengalir saja, menjalankan tugas. Termasuk datang ke sini menemuimu.”
“Kau benar-benar nekat.”
Eksila lalu mengajak Sujagad menuju Gunung Tera. Kampus Universitas Kyoiku terhampar
di atasnya. Mereka melewati jembatan panjang yang menghubungkan Stasiun
Osakakyoikudamae dengan lereng Gunung Tera. Kemudian mereka menaiki elevator cukup
panjang di lereng bukit menuju puncak gunung. Sampai di kampus, Eksila dan Sujagad
duduk di kursi kayu di depan Daini Shokudo. Mereka menghadap kolam yang di pinggirnya
ditumbuhi bunga-bunga tsutsuji.
“Pasti pimpinan kampus yang memerintahkanmu. Percuma jika mereka mengutusmu untuk
memintaku pulang. Aku akan tetap di sini,” kata Eksila dengan suara datar tapi tegas.
“Statusmu masih pegawai negeri. Masih terikat janji. Bukankah menjadi pegawai negeri
adalah mimpimu sejak dulu?”
“Benar. Tidak hanya mimpiku, tapi juga mimpi kedua orang tuaku. Tetapi sekarang tidak
lagi. Aku telah memutuskan melepas status pegawai negeriku,” kata Eksila dengan nada
tinggi.
“Kau tak lagi mencintai Indonesia dan kampus kita?”
“Ini tak ada hubungannya dengan cinta tanah air.”
“Kau lebih mencintai Jepang, Eksila.”
“Aku merasa di sini menemukan kenyamanan.”
“Kau telah memilih lelaki Jepang?”
“Tidak. Aku tetap ingin menikah dengan lelaki Indonesia. Kau sendiri mengapa belum
menikah?”
Sujagad terdiam sejenak, kemudian tersenyum dan sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Pimpinan dan teman-teman mengharapmu kembali.”
“Jangan merayuku. Aku telah memutuskan hidup di sini.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Aku tak akan pernah bisa mengembangkan diri di sana,” jawab Eksila dengan mata
menerawang. Sebelumnya Eksila tak pernah bercerita masalahnya di kantor. Ia
menyimpannya rapat-rapat.
“Mengapa?”
“Dulu aku berharap karirku berkembang di kampus kita. Tetapi di sana ada beberapa orang
yang terus menghambat karirku. Mereka menfitnah aku sebagai dosen yang suka melawan
atasan dan tak taat pada aturan. Berkas kenaikan pangkatku lenyap, tak ada kabar lagi setelah
diajukan pada Pak Rakerso, pimpinan kita. Setiap ada peluang aku selalu disingkirkan.
Selain Pak Rakerso, kau tahu bukan masih ada orang lain yang terus berusaha
menyingkirkanku karena aku bukan bagian dari gerbong dan bendera mereka. Kampus
lembaga akademik, pusat para intelektual, bukan tempat menyingkirkan orang berdasarkan
bendera dan latar organisasi.”
“Siapa orang itu?” tanya Sujagad penasaran.
“Rihati, rekan kerja kita yang tak pernah rela aku menjadi lebih baik dan memiliki prestasi
lebih tinggi darinya.”
“Kau tak perlu menghiraukannya. Ia kini tidak lagi memiliki jabatan. Tak baik juga
menyimpan dendam.”
“Tapi selama mereka masih di sana aku tak akan pernah tenang.”
Sujagad tertegun mendengar cerita Eksila. Rupanya masalah itu telah menjadi bara yang lama
menjadi sekam dan siap terbakar.
“Kau ingat tujuh tahun silam ketika aku lolos seleksi untuk studi di Jepang. Tiba-tiba aku
gagal berangkat. Padahal aku telah mempersiapkan mental dan bahan untuk menjadi kandidat
doktor di Jepang. Tanpa alasan kuat dan mendasar tiba-tiba aku tidak diizinkan ke luar negeri
oleh Pak Rakerso. Lalu sekarang buat apa aku pulang, buat apa aku terus-menerus melayani
keculasan orang-orang seperti mereka yang menganggapku sebagai ancaman dan musuh
bebuyutan dan harus dibuang?”
“Tapi bukan berarti kau harus lari menghindar. Mesti dihadapi. Jika tidak, kita akan terus
diinjak-injak dan dianggap pecundang. Aku dan banyak teman akan mendukungmu.”
“Aku tidak lari. Aku hanya ingin membuktikan potensi dan karirku bisa berkembang di
tempat lain. Bertahun-tahun aku menahan diri. Aku ingin menikmati hidup. Hidup yang tak
bergantung pada orang-orang seperti Pak Rakerso dan Rihati. Iklim kampus kita lama-lama
rusak. Suasana nyaman hilang. Kantor kita sudah mirip partai politik. Terlalu banyak intrik
dan hiruk pikuk saling menjatuhkan.”
“Sekarang keadaannya sudah jauh berubah. Pak Rakerso terkena serangan stroke. Separo
tubuhnya lumpuh. Ketika berbicara, bibir, tangan dan suaranya bergetar. Rihati menderita
kanker dan perlahan tersingkir dengan sendirinya karena sepak terjangnya. Pulanglah, teman-
teman menunggumu.”
“Aku telanjur mencintai Osaka dan orang-orang di sini lebih menghargaiku. Setelah
menyelesaikan studi aku diterima bekerja di sini. Aku mendapat tugas mengajar mahasiswa
asing dan bertanggung jawab mengurus kerja sama Universitas Kyoiku dengan berbagai
universitas di Asia Tenggara. Pihak Universitas Kyoiku sangat membantuku dalam mengurus
izin tinggal di Jepang.”
“Tapi bagaimanapun kau harus pulang. Kampus membutuhkan orang sepertimu.”
“Maaf. Aku tak bisa memenuhi harapanmu.”
“Kau akan diberhentikan dengan tidak hormat jika tak pulang.”
“Lebih baik membuka lembaran baru daripada bekerja di tempat yang tak memberi harapan.
Mungkin bagimu keputusanku ini terlalu berani. Tapi aku sadar setiap keputusan pasti butuh
keberanian dan pengorbanan,” Eksila menegaskan.
“Kau benar-benar akan tetap tinggal di sini?” tanya Sujagad berusaha meyakinkan dirinya
sendiri.
“Ya. Aku tak ingin kembali. Lebih baik tinggal di negeri orang sebagai pendatang tetapi
dihargai dan dihormati. Daripada di negeri sendiri tetapi dibuang dan disingkirkan.”
***
Petang datang mengurung Gunung Tera. Eksila dan Sujagad meninggalkan tepian kolam,
yang airnya terlihat muram terkurung kedatangan malam, menuju apartemen Eksila di
kompleks gedung Ryuugakusei-no-ryou yang berada di atas Gunung Tera sebelah utara, tak
jauh dari kampus Universitas Kyoiku.
Sujagad bisa melihat gemerlap cahaya lampu Kota Osaka dari kejauhan. Wajahnya masih
terlihat tegang setelah mendengar keputusan Eksila. Tapi ia masih berharap hati Eksila luluh
dan bersedia pulang bersamanya. Embusan angin dingin menusuk-nusuk pikiran Sujagad.
Sesekali di telinganya terdengar suara, “Sujagad jangan menjadi pecundang. Kami menunggu
kau dan Eksila pulang.”
Sujagad gusar dan tiba-tiba teringat kisah banyak lelaki Jepang yang lebih memutuskan
mengakhiri hidupnya karena gagal membawa pulang kebahagiaan dan keberhasilan.
Berat rasanya bagi Sujagad untuk pulang ke Indonesia tanpa Eksila. Tapi berkali-kali Eksila
menunjukkan pendiriannya yang membatu. Sujagad merasa harapannya untuk membujuk
Eksila pulang telah berjatuhan seperti bunga-bunga sakura yang berserakan di samping
apartemen Eksila.
Betapa rugi sebenarnya jika kampusnya kehilangan Eksila dan betapa hampa ruang hatinya
jika Eksila benar-benar memutuskan menetap di Jepang. Sujagad memejamkan mata dan
berusaha menahan pergolakan batinnya ketika Eksila merapatkan tubuhnya, menunjukkan
pandangan hangat dan membisikkan suara lembut kepadanya, “Jika aku hari ini memutuskan
pulang bersamamu, apakah kau percaya kampus kita akan bebas dari keculasan dan konflik
kelompok yang mengorbankan cakrawala intelektual dan kebersamaan?”
Sujagad terdiam, dipandangnya mata Eksila dalam-dalam. ***

Anda mungkin juga menyukai