Anda di halaman 1dari 7

Di Restoran

Cuaca panas siang hari langsung lenyap ketika aku memasuki pintu mal yang

terbuka otomatis. Di dalam mal aku sudah tahu kalau pergi ke mana: suatu restoran

yang cukup mewah untuk ukuran kota ini. Setelah sedikit mencari-cari akhirnya

kutemukan juga tempat itu. Di sana, sebagian teman-temanku sudah menunggu.

Restoran ini bergaya retro bercampur skandinavia dengan dominan warna hijau dan

monokrom. Di setiap dindingnya terdapat kaca persegi berwarna hijau tua

berukuran dua kali dua meter dengan variasi kayu-kayu yang berbentuk persegi

kecil-kecil di dalamnya.

“Ayo, langsung pesan,” kata Nuria sambil menyodorkan daftar menu, setelah

sebelumnya bertegur sapa denganku. Daftar menu itu besar dan glossy, dengan

warna-warna yang bercampur, tetapi dominan hitam. Di sana-sini menu tergambar

yang tersedia, termasuk mana yang best seller dan recommended. Gambarnya besar-

besar dengan keterangan di sampingnya, lalu di sudut kanan bagian bawah terdapat

tulisan kecil mengenai pajak dan servis. Kupilih salah satu yang sepertinya enak:

Japanese Curry with Steam Rice dengan minuman sejuta umat: Ice Lemon Tea.

“Siapa nih yang belum datang?” tanyaku pada Karin, “Friends Organizer” di antara

teman-temanku.

“Siska dan Susi. Siska masih di rumah, Susi katanya sedang di lantai dua sebentar

lagi ke sini. ”

“Gimana nih yang baru jadi mama muda?” tanya Nuria pada Elsa.
“Wah, sedang seru-serunya. Bangun berkali-kali di malam hari. Untung suamiku

orangnya mau bantu. Biasanya dia yang bangun duluan, meletakkannya di

sampingku. ”

“Siapa nama lengkapnya?” tanyanya lagi.

“Ghazzal Thabrani Hafizhan,” jawab Elsa mantap, dengan bangga bahagia.

Tiba-tiba dari belakangnya menghambur Susi dengan beberapa tas belanjaan yang

besar-besar, “Halo sayang-sayangku.”

“Duuh… belanjaannya. Banyak sekali, ”kata Nuria.

“Ah, biasa aja. Hehehe. Bosen pake yang itu-itu aja. Pengen suasana baru. ”

“Eh, ini ada kabar dari Siska. Katanya dia tidak jadi kemari. Tiba-tiba tidak dikasih

izin oleh suaminya. ”

“Wah… sayang. Kalau tidak ada Siska kurang ramai, ”Nuria menyesap Cokelat Panas

yang baru saja diantar oleh pelayan. “Dia kan yang selalu membawa gosip-gosip

panas. Ghibah ter-up to date. ”

“Eh-Eh, tahu gak sih kabar info Rina?” kata Karin tiba-tiba.

“Apa?” tanyaku. Sungguh aku penasaran, sebab dulu di SMP, aku pernah menari

bersamanya di acara sekolah, ada satu masa kami lumayan akrab.

“Kemarin aku lihat dia di IG. Masa belanja buat masak cuma lima ribu. Apa ada

gizinya kalau belanja cuma segitu? ”


Makanan yang kami pesan pun datang. Seperti biasa, yang aku pesan tidak secantik

namanya, tidak semahal harganya. Tapi aku sebenarnya tidak pernah kecewa, sebab

kupikir yang kubayar akhirnya adalah kumpul-kumpul dengan

kawan-kawan dan berbagai atribut produk dari restoran ini, yang termasuk

lokasinya yang strategis, nyaman, dan mewah. Merk restoran ini juga cukup kuat,

sebab sering kulihat iklannya di media sosial dan di jalan ibu kota. Kadang-kadang,

mereka juga mengundang artis lokal untuk Live Music pada acara tahun baru, hari

kemerdekaan, atau ulang tahun restoran ini.

Karin terus saja membicarakan Rina, “merk” Rina berubah, dari seorang penari yang

cantik di sekolah, menjadi ibu-ibu pelit (atau miskin?) Yang membeli bahan untuk

masak hanya lima ribu rupiah. Apakah Rina pernah menyakiti Karin?

Sehingga begitu bernafsunya ia membicarakan Rina? Atau, rasa cemburu yang masih

tersisa pada kecantikan dan bakat menari Rina di SMP dulu yang tidak

pernah bisa dia saingi? Entahlah. Mungkin salah satunya, mungkin berlebihan, atau

bahkan tidak ada. Mungkin Karin hanya ingin membicarakannya, sebagai pelepas

penat dari kehidupan sehari-hari rumah tangganya, agar ada perasaan mending jadi

aku walau begini jadi dia yang begitu.

“Terakhir aku lihat dia joget-joget di insta story. Yuuh, memang pantas ya ibu-ibu

kelakuannya seperti itu? Tidak malu apa ya suaminya kalau melihatnya? ” kali ini

Nuria yang berkata.

“Astagfirullah… masa sampai begitu, Nur?” tanya Elsa yang sebelumnya lebih

banyak diam.
“Iya, penyanyi dangdut minta disawer,” kata Nuria, yang langsung disambut gelak

tawa Susi dan Karin. Elsa tertawa tipis, sementara aku hanya tersenyum.

Ah, apakah senyumku agak kecut? Aku tidak merasa ada yang perlu ditertawakan

dari Rina. Tidak tentang keuangannya, tidak pula caranya berekspresi di media

sosial. Tetapi, aku juga tidak mau menjadi “polisi” bagi obrolan ini, memberi tahu

mana yang layak atau tidak layak dibicarakan.

“Tadi kulihat ada sale di toko tas langgananku, tapi justru karena kemurahan aku

tidak jadi membelinya. Jangan-jangan bahannya beda dari yang lain. Harga

menentukan kualitas, ya kan? ” kata Susi mulai mengubah topik pembicaraan,

lalu ia makan sedikit Club Sandwich with French Fries dan menyesap Milk Shake

Strawberry-nya. “Lagian, kemarin aku baru dapat oleh-oleh dari kakak iparku yang

kuliah di Prancis, Clutch Bag Louis Vuitton. Kalau udah punya tas high end begitu,

mau beli yang biasa-biasa aja kok jadi seperti pelit pada diri sendiri ya,” katanya

sambil cekikikan.

Aku mulai tenggelam ke dalam pikiranku sendiri, dan suara teman-temanku mulai

menjauh dariku. Kadang-kadang aku terbawa arus oleh keriuhan pengunjung mal

yang lain, kadang aku kembali pada mereka, kadang saya, kadang saya, Rina,

kadang-kadang, semua mantan pacarku, kadang akan mempertimbangkan teman-

temanku yang lain. Pikiranku rekreasi, menghindar

Beberapa kali Elsa merapikan kerudungnya, padahal rambutnya tidak ada yang

keluar, lalu tiba-tiba dia berkata, “Duuh, maaf ya teman-teman, sepertinya aku harus

kembali pulang. Ghazzal nangis-nangis terus, sudah tidak betah dengan termudah. ”
Sering kulihat di media sosial Elsa menyuarakan tentang neraka bagi wanita yang

tidak berhijab. Sebenarnya, ini sungguh menggangguku. Apakah teman-teman Elsa

yang lain juga tidak terganggu?

“Hei..hei..Lasya. Kok bengong. Mau pulang nih, ”katanya padaku.

“Sori sori, hehehe,” aku cipika-cipiki dengannya.

“Kapan-kapan mampir ya ke butik aku, ada model-model hijab terbaru. Hijab

nuansa Bali gitu,” katanya pada semua sambil berlalu, meninggalkan kami dan juga

makanan dan minumannya; setengah gelas Campur Juice dengan Brown Sugar dan

Nasi Goreng Pattaya yang hanya dimakan beberapa sendok.

“Syukur ya Elsa sudah punya anak sekarang. Tidak stres lagi seperti dulu. ”

“Iya, syukurlah sekarang sudah ada Gajal.”

“Eh, Kak. Kemarin aku ketemu Doni lho. Dia itu .., ”

Belum selesai Nuria berkata, Karin sudah menyela, “Sstt… udah ah, laki-laki.

Mudah-mudahan itu orang tidak dapat karma. Semoga ibunya atau adik

perempuannya, atau istrinya tidak disakiti seperti dia menyakiti aku. ”

“Maaf-maaf,” terlihat wajah Nuria agak menyesal, sebab membelokkan obrolan ke

arah yang salah.

Ketika ada seorang pelayan yang lewat, Susi minta difoto. Pelayan tujuh kali tersebut

mengambil foto kami. Kami bolak-balik mengganti ekspresi dan gaya duduk. Semua

temanku update story di handphonenya masing-masing.


“Makasih ya, Rin, sudah ditraktir,” kata kami satu persatu.

“Sama-sama, Sayang. Anggap aja syukuran pengantin baru, hehehe, ”katanya

sumringah. Tagihan Kulihat sekilas yang diantar oleh pelayan, hampir satu juta

rupiah. Ia mengambil dompetnya, lalu kartu keluar kredit, dan pergi sendiri menuju

meja kasir.

Kami semua berpisah di depan restoran. Aku menuju toilet. He aku salah pesan

makanan, rasa sausnya membuat eneg, too creamy, not like kari yang biasa aku

makan. Di dalam toilet aku bingung apakah aku akan muntah atau buang air besar.

Ternyata, aku tidak melakukan melebihi.

Akhirnya aku hanya duduk di atas kloset. Hmm… atau bahan-bahannya tidak fresh

ya? Tadi kubaca sekilas beefnya berasal dari Australia. Adakah saat-saat daging itu

berada di suhu yang tidak seharusnya, ketika dinaikkan atau diturunkan ke

kendaraan dan freezer?

Kulihat tanganku yang menguning dan berkeringat. Aku ingin kembali ke restoran

itu untuk marah-marah, tapi kuurungkan. Mungkin pelayan di sana akan

memerintahkanku menunjukkan struk, sedangkan yang memegangnya adalah Karin,

mungkin dia juga sudah mencampakkannya. Lagi pula, apa dia dan teman-temanku

juga mual sepertiku? Mungkin hanya aku sendiri yang

begini, dan mereka akan menganggapku kampungan dan lalu, obrolan baru ketika

aku sedang tidak bersama mereka.

He aku harus menelepon Doni, memintanya menjemputku sekarang, di toilet wanita.


Metro Gunung Sari-Gang, 15-18 April 2020

Bulan Nurguna

Anda mungkin juga menyukai