Anda di halaman 1dari 478

SERIES

#2
FAISAL ODDANG DAN SAHABAT INNA
Hanya
Rindu

Faisal Oddang
dan
Sahabat Inna

CV Salam Solutions, 2020

i|Hanya Rindu
Inspirasi Pena | ii

Hanya Rindu
Copyright © CV Salam Solutions, 2020.
Penulis :Faisal Oddang dan Sahabat
Inna
Editor :Febry Nugroho
Desain sampul :Wisnu Manggala Putra
Tata letak : Dwi Ambarsari
Penyelaras akhir : Dwi Ambarsari

Penerbit : CV Salam Solutions


Redaksi :
Jl. Plawangan-Bongas. Rt/Rw 01/01 Kecamatan Bongas
Kabupaten Indramayu. Kode Pos 45255
E-mail : muslimahkece35@gmail.com
Telepon : +62 838 24731014

Didistribusikan oleh : Inspirasi Pena ID

Jl. Riyanto No. 52 Sumampir, Purwokerto Utara

Email: sahabatliterasi@inspirasipena

Facebook: Inspirasi Pena ID

Cetakan pertama, 2020

ISBN 978-623-93978-7-6
Hak Cipta dilindungi Undang-undang. All right reserved
Menabung dan Membelanjakan Kata-Kata

Membaca lima puluh cerita dari lima puluh


penulis yang berbeda—berarti dihadapkan pada
lima puluh proses menabung yang berbeda.Untuk
istilah menabung yang saya gunakan pada kalimat
sebelumnya, akan saya jelaskan selanjutnya:
Seorang pemuda, mantan reporter The
Kansas City Star memutuskan untuk mengikuti
seleksi masuk angkatan darat Amerika Serikat.
Namun, dia ditolak karena penglihatannya yang
bermasalah. Pemuda itu tidak menyerah dan terus
mengusahakan agar ia terlibat dalam Perang Dunia
I yang berlangsung waktu itu. Keinginannya
terjawab, dia menjadi tim medis sekaligus supir
ambulan dan terlibat langsung dalam peperangan.
Kurang lebih sepuluh tahun kemudian, sebuah
novel berjudul A Farewell to Arms (1929) terbit—
dan terus dibaca hingga saat ini. Dalam bahasa
Indonesia, novel tersebut diterjemahan dengan
judul Pertempuran Penghabisan, tokohnya yang
terkenal bernama Henry Frederich .Penulis novel
tersebut kemudian menerima penghargaan nobel
di bidang kesusastraan pada 10 Desember 1954.
Lewat pidatonya yang dibacakan oleh John C.
Cabot, duta besar Amerika Serikat untuk Swedia,
penulis novel tersebut mengatakan ―seorang

iii | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | iv

penulis seharusnya menuliskan apa yang ia


pikirkan, bukan membicarakannya‖.Mantan
reporter yang saya maksud di kalimat pertama
paragraf ini, dan penerima nobel yang baru saja
Anda baca,merupakan orang yang sama. Namanya,
jika Anda ketik di mesin pencarian(seperti
Google), akan memunculkan jutaan lebih rujukan.
Jika tidak percaya, carilah sendiri dengan
mengetik kata kunci; Ernest Hemingway.
Menabung
Masyarakat, karya sastra, dan pengarang,
merupakan segitiga sama sisi yang saling
menopang. Hal tersebut sebenarnya sudah
terlampau sering dibahas di kelas-kelas sosiologi
sastra dengan merujuk pernyataan Ian Watt (yang
sungguhbanyak di internet) atau merujuk buku—
(misalnya); Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar
Ringkas karya Sapardi Djoko Damono. Kalimat
yang paling terkenal dari buku ituialah ―sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan
itu sendiri adalah kenyataan sosial‖.
Paragraf di atas jika ingin diringkas ke
dalam dua kata kunci maka kita akan mengambil
kata ―sastra‖ dan ―kehidupan/kenyataan sosial‖.
Kata kunci tersebut sangat sejalan dengan
ungkapan De Bonald bahwa literature is an
expression of society—sastra merupakan
ungkapan perasaan masyarakat. Pertanyaan
selanjutnya, ―masyarakat‖ yang dimaksud apakah
―pengarang sebagai masyarakat‖ atau ―masyarakat
dalam karangan‖? Menjawab persoalan tersebut,
kita bisa melihat klasifikasi yang dilakukan Rene
Wellekdan Austin Warren di buku Theory of
Literature (diterjemahkan dengan judul Teori
Kesusastraan oleh Gramedia Pustaka Utama sejak
tahun 1989). Klasifikasi tersebut, seperti berikut:
Pertama adalah sosiologi pengarang,
profesi pengarang dan institusi sastra.
Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang
sosial, status pengarang, dan ideology
pengarang yang terlihat dari berbagai
kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan
serta hal-hal yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan yang berkaitan
dengan masalah sosial. Yang terakhir
adalah permasalahan pembaca dan dampak
sosial karya sastra
Pada klasifikasi di atas, yang akan dibahas
lebih lanjut—tentu saja—sosiologi pengarang, jika
yang ingin dikedepankan dalam tulisan singkat ini
ialah mengenai proses kreatif kepengarangan.
Buku-buku yang dibaca, musik yang didengar, film
yang ditonton dan interaksi sosial lain yang
dilakukan seorang pengarang adalah proses
menabung. Sederhananya, jika ada seorang
pengarang yang berusia 30 tahun, dan sejak lahir

v|Hanya Rindu
Inspirasi Pena | vi

dia tinggal di sebuah kamar yang hanya berisi;


kipas angin, kasur, sejumlah pakaian, makanan,
minuman dan kamar mandi—dan selama 30 tahun,
dia hanya dikenalkan pada kata-kata yang berupa
nama-nama benda yang ada di kamarnya (taruhlah
sepuluh kata). Dari ilustrasi yang baru saja Anda
baca, jika pengarang tersebut menulis sebuah
karya sastra—maka karangannya hanya akan
menyoal kamar dan isinya—dan kata yang ia
kombinasikan untuk menyusun kalimat tidak akan
lebih dari sepuluh kata. Dengan kata lain, dia akan
kebingungan ketika harus mendeskripsikan senja
atau pepohonan, atau masjid, atau jalan raya, atau
mal—sebab tabungan pengetahuannya hanya hal-
hal mengenai kamarnya—dan tabungan kata-
katanya tidak lebih dari sepuluh kata.
Menulis tentu saja merupakan proses
terakhir sebelum lahirnya sebuah tulisan. Dan hal
itu berarti, ada proses sebelumnya.Seringkali yang
menjadi fokus utama hanyalah proses menulisnya
saja—dan menganggap proses menabung yang
terjadi sebelumnya, bukan perkara penting,
padahal di sanalah proses yang utama. Mengapa?
Tentu saja jawabannya bisa kita kutip dari
pernyataan Teeuw di bukunya, Sastra dan Ilmu
Sastra, bahwa sastra tidak pernah lahir dari
kekosongan (budaya).
Menanggapi paragraf di atas, sering muncul
pertanyaan; lalu bagaimana dengan karakter
antropomorfisme dalam karya fiksi? Hal tersebut
memang besar kemungkinannya untuk ditanyakan,
mengingat tidak adanya batasan imajinasi yang
diberlakukan. Karakter antropomorfisme, kita bisa
temukan pada Lightning McQueen, Sally Carrera,
atau Doc Hundson--tokoh-tokoh di film garapan
John Lasseter, berjudul Cars. Apakah ada mobil
yang bisa berkata-kata, memiliki mulut, dan mata?
Kenyataan sosial macam apa itu? Atau itukah yang
dimaksud ―bukan kekosongan‖ budaya?
Jawabannya tentu saja akan membuat tulisan ini
menyokong dan disokong kutipan-kutipan tentang
sastra dan masyarakat dan tentang sosiologi
sastra yang telah dijelaskan di awal. Bahwa
kenyataannya tidak ada mobil yang bisa berkata-
kata, bermulut dan bermata, memang benar.
Namun, hal itu bukan serta merta bisa dijadikan
alasan untuk mengatakan bahwa karakter
antropomorfisme bukan bagian dari kenyataan
sosial. Tokoh Lightning McQueen si mobil merah
dalam Cars, sesungguhnya ia tersusun dari
kenyataan sosial: ia mobil, dan di kenyataan
memang ada mobil, dia berwarna merah dan
nyatanya memang ada warna merah, dia bisa
berbicara karena kenyataan memiliki kata-kata,
dia melihat dan punya mata karena pada kenyataan
juga memang ada dua hal tersebut. Jadi dia adalah
kenyataan yang terbentuk dari kenyataan-
kenyataan lain.

vii | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | viii

Membelanjakan
Setelah menyadari bahwa seluruh
pengetahuan dan diri sendiri adalah tabungan,
maka kesadaran lain yang seharusnya muncul
adalah kesadaran bahwa setiap orang ternyata
memiliki potensi cerita, memiliki potensi karya di
dalam diri mereka. Kualitas dan kuantitas karya
yang lahir berbanding lurus dengan tabungan yang
dimiliki.
Jika proses mengumpulkan pengetahuan
adalah menabung maka menulis merupakan proses
membelanjakan tabungan. Ernest Hemingway
ketika menjadi supir ambulan di Perang Dunia I,
secara tidak langsung sedang menabung untuk
kemudian berbelanja di A Farewell to Arms. Atau
ketika Hemingway mampu memiliki sepasang tokoh
menarik; seorang lelaki tua bernama Santiago dan
pemuda tanggung bernama Manolin di The Old Man
and the Sea, dengan mudah bisa ditebak bahwa
hal itu berasal dari kegemaran memancingnya
sejak kecil..
Menyoal apa yang Hemingway katakan di
pidato nobelnya, memang telah diketahui bersama
bahwa jauh lebih mudah berbicara disbanding
menulis. Manusia rata-rata berbicara 7000-
20.000 kata per hari, dan lewat hasil penelitian
tersebut kita bisa berandai-andai, misalnya; andai
selama satu hari kita mengurung diri dan tidak
berbicara kepada siapa pun, lantas jatah kata-
kata yang setiap hari digunakan, dialihkan
kebentuk tulisan—tentu, satu novel tebal bisa
ditulis dengan waktu yang tidak cukup satu
minggu.Hanya saja, lagi-lagi harus menyadari
kenyataan bahwa, bagi kebanyakan orang, jauh
lebih mudah berbicara disbanding menulis.
Pada akhirnya, tulisan lahir setelah melalui
proses-proses yang sering kali tidak disadari.
Tulisan terbentuk dari hasil interaksi sosial dan
proses menabung pengetahuan. Tulisan yang kaya
tentu saja bersumber dari tabungan yang banyak.
Tabungan dalam hal ini bukan semata buku yang
dibaca—tetapi jauh lebih luas, karena itu, kisah
Hemingway menjadi pembuka di tulisan ini.

Faisal Oddang

ix | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena |x

Daftar Isi

Menabung dan Membelanjakan Kata-Kata .............. iii


Daftar Isi ....................................................................... x
Di Atas Geladak ........................................................... 13
Lelaki Sendiri ............................................................... 24
Mencari Rindu .............................................................. 42
Garis Tangan Seni Cinta Yang Ditakdrikan Tuhan
........................................................................................ 62
Kota Kenangan Dan Kota Yang Bising ...................... 77
Meniti Gelombang Rindu Di Pulau Bermuka Seribu
........................................................................................ 98

Rindu Malam Terakhir Tumbilotohe1 .................... 120


Portal ........................................................................... 137
Batas ............................................................................ 156
The Same Eyes ........................................................ 175
Dongeng Tentang Rindu ........................................... 199
Rumah .......................................................................... 218
Sepucuk Kilobyte Hangat dari MV Jingu Maru .. 240
Rumah Tetta............................................................... 258
Pemanggul Cowet ....................................................... 265
Ibu, Kenapa Rindu Ini Tak Terbalas?................... 278
Bia ................................................................................ 304
Sinchan di balik Rumah Tagog Anjing1 ................. 314
Pembunuh Bayi ........................................................... 329
Surat Rindu ................................................................ 346
Ponsel Baru ................................................................. 364
Untuk Bidan Yang Mempersalini Lake .................. 381
Wishaka ...................................................................... 400
Puzzle Piece .............................................................. 420
Perasaan Yang Sulit Berubah ................................. 437
Running Astray Heaven for some, Hell for the
rest! ............................................................................. 444
Separuh Jiwaku Terbang Bersamamu .................. 465

xi | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | xii
Di Atas Geladak

Karya : Faisal Oddang

Kabar hukuman mati yang dijatuhkan

untuknya tiba dan mengusik pelarianku. Itu adalah


kabarnya yang pertama sejak menghilang cukup lama
setelah kami berdua kedapatan bergumul oleh Abeltje.
Aku mengatakan cukup lama, karena aku benar-benar
tersiksa merindukannya. Aku tidak tahu hitungan yang
tepat untuk menggambarkan hal itu. Kini, ia berdiri
terikat di atas geladak kapal—berpijak pada bangku
kecil yang sebentar lagi membuatnya mati tercekik.
Orang-orang memenuhi pelabuhan. Barangkali, ada yang
akan mendoakannya, ada yang ingin mengucapkan
selamat tinggal. Namun, pasti jauh lebih banyak yang
ingin menyaksikan bagaimana hidup seorang pencuri
diakhiri oleh pemerintah Hindia Belanda. Tentu sambil
menyumpahi. Dan kini, aku kembali ke pelabuhan ini
demi dia.

***

Menjelang akhir 1895, kami bertemu di pelabuhan


dan aku sama sekali tidak berpikir akan jatuh cinta
padanya. Pikiran itu muncul ketika ia mengenalkan diri.
Maksudku, gara- gara ia mengenalkan diri, alih-alih

13 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 14

untuk mendekatkanku, ia justru telah membangun


tembok besar di antara kami.

"Saya mengawal kapal dagang Belanda."

Ia tampak bangga mengatakan itu dan sungguh


aku jijik mendengarnya. Aku mengangguk, tersenyum,
lalu berusaha tidak mengacuhkannya lagi.
"Ada lagi, ada lagi," ia menggantung, tangannya
merogoh sesuatu, yang entah apa, di dalam sakunya,
"ini, selalu saya bawa." Demi sopan santun aku meraih
kertas lusuh berbungkus plastik bening yang ia
sodorkan. Tentu saja, aku juga tidak ingin kehilangan
pelanggan untuk warung makanku yang sepi pengunjung.
Sekali lagi, demi sopan santun aku membuka kertas
yang ternyata surat itu. Kopnya bertuliskan Vereenigde
Oostindische Compagnie. Aku tidak melanjutkan. Aku
diam lalu menatapnya dan dia seperti menduga bahwa
tatapanku itu berarti ini maksudnya apa?
"Buyut saya pernah kerja di kapal VOC yang
berlayar dari Tanah Bugis ke Batavia dan seringkali
singgah di pelabuhan ini," terangnya dengan nada
bangga, "tapi itu hanya beberapa saat sebelum mereka
bubar menjelang tahun seribu delapan ratus. Itu satu-
satunya warisan keluarga saya. Hampir semua keluarga
saya mati disiksa karena dituduh menggelapkan barang
bawaan kapal. Kau bertanya kenapa saya bisa di sini?
Ya, karena dendam yang turun temurun. Awalnya saya
jadi perompak di laut, kemudian orang Belanda kenal
nama saya. Saya dibayar bersama anak buah saya buat
kawal kapal mereka, dan saya bisa sekalian berlayar ke
kota ini. Sebenarnya jalur pelayaran kami dari Batavia,
Semarang, lalu menuju Tamasek."
Aku mengangguki saja.

"Jasa kawalan saya dibutuhkan begitu mau masuk


Tamasek, di sana banyak perompak, dan ternyata
perompak itu sebagian besar orang Bugis, jadi saya
selalu bisa lewat dengan mudah."
Aku lega karena ia berhenti bercerita dengan
menyeruput kopi hitamnya. Itu pertemuan pertama
kami, dan apa yang ia bicarakan terbilang banyak untuk
orang yang baru bertemu.
"Kau pikir saya suka Belanda? Saya tahu kau, dan
kau salah. Ayah saya ditawan dan jadi budak dan itu
harus mereka tebus. Buyut saya pun demikian, disiksa
semua"
Aku terkejut dan hampir menjatuhkan gelas
kopinya yang sedang kuisi ulang. Aku tidak berselera
menanggapi meski sebenarnya aku penasaran. Dan
seperti keyakinanku, ia menjelaskan tanpa kuminta.
"Kalau bisa, saya ingin bunuh semua orang hidung
besar itu pakai tangan saya sendiri. Kau juga, kan?
Saya tahu, ibu kau nyai Belanda, dan ayah sialan kau itu
membuang kau karena dia pikir kau menderita penyakit
yang sama dengan ibu kau. Penyakit yang membuatnya
mati."

15 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 16

Dadaku sesak tiba-tiba. Aku mengenang Ibu dan


juga masa kecil yang tidak pernah bahagia di bawah
bayang-bayang garis keturunan seorang gundik. Aku
mengenang semuanya, mengenang ketika seminggu
setelah ibu wafat, suami sialannya itu memerkosaku.
Memerkosa gadis empat belas tahun.
"Saya tahu kau penasaran," sial, dia tahu. "Dan
hanya orang baru yang tidak tahu kau di pelabuhan ini,"
ia meraih kopinya dari tanganku, "Nona Arimbi, dara
pujaan banyak lelaki. Kau terlalu sering jadi pusat
pembicaraan, Nona. Tapi tidak ada yang berani ganggu
kau karena mereka tahu kau punya garis keturunan
dengan Willem yang sialan itu."
Semua yang dikatakannya benar. Dan sejak saat
itu, aku mulai terseret arus pembicaraannya. Aku dan
dia punya satu tujuan; balas dendam. Aku dan dia punya
satu masalah; kami sama-sama tidak tahu cara
mencapai tujuan kami.

***

Namanya Beddu. Aku memanggilnya Daeng Beddu


sebagaimana orang Bugis sering dipanggil. Nama itu
disebutkannya pada pertemuan kami yang ketiga. Di
pertemuan itu pula kutahu umurnya hampir kepala tiga-
-tidak jauh beda dariku yang lebih muda satu atau dua
tahun. Kami bertemu untuk kedua kalinya di galangan
kapal ketika aku menyambut tamu- tamu yang tiba dan
menawari mereka untuk makan atau sekadar rehat di
warungku. Ia ada di sana dan dari kedipan matanya
kutahu ia bermaksud melarangku bertingkah seakan-
akan kami sudah saling mengenal.

"Maaf, waktu itu saya pura-pura tidak kenal, saya


tidak mau rencana kita berantakan."

"Rencana kita?"
"Ah iya, maksud saya, saya sudah punya rencana,"
nada suaranya memelan, ia awas ke sekeliling kami
sebelum ia mengatakan rencananya dan aku tidak punya
alasan untuk menolak apalagi mengatakan itu rencana
yang buruk.
Aku mengatakan akan segera kembali ke Daeng
Beddu lalu meninggalkannya. Aku pergi sebentar, untuk
rencana kita, begitu kuyakinkannya ketika kutemukan
sorot matanya seperti tidak menghendaki dirinya
ditinggal.
"Bantu jaga warung, ya." Ia tertawa menimpali
sambil terangguk-angguk. Tidak jauh dari warung
makanku, aku menemui Abeltje. Dia teman kecilku.
Ayah Belanda kami bersaudara jauh dan nasibnya
sebagai anak gundik jauh lebih beruntung dariku. Ia
bertugas di mercusuar pelabuhan dan ia sangat bangga.
Tidak salah jika kukatakan itu, sebab setiap ketemu, ia
akan mengulang-ulang cerita yang sama: Arimbi, kau
tahu, vuurtoren Pelabuhan Semarang ini satu-satunya

17 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 18

yang paling bagus dan tinggi di pulau ini. Arimbi kau


tahu, sejak dibangun 1884, keluargakulah yang turun-
temurun menjaganya. Tingginya lebih dari tiga puluh
depa, warna putihnya dari pupur kapur terbaik, Arimbi.
Coba sebut namanya, Arimbi tahu, kan? Ingat, kan? Ya,
betul Arimbi, namanya Vuurtoren Willem III. Kupikir
ini buat penghormatan kepada Herman Willem Deandels
yang kami muliakan, moyang kita, Arimbi.
Aku ingin muntah.

Aku akan mengiyakan dan mengangguk malas saja


jika Abeltje menceritakan itu, dan ketika datang
padanya untuk melancarkan rencanaku, aku membawa
tawaran yang tidak mungkin ditolaknya.

"Kamu masih mencintaiku, Abeltje?"

Ia berseri-seri mendengarnya, dan aku tahu ia


sangat bahagia.

"Aku pernah mengatakan akan melakukan apa pun


buatmu, Arimbi. Dan kau tahu, kau tahu, kan? Itu hanya
mungkin dikatakan oleh orang yang mencintaimu."
Langkah pertama mulus, pikirku.
"Aku sangat suka senja, suka menikmati bintang-
bintang dan udara malam. Abeltje, aku tidak meminta
yang macam-macam, aku hanya meminta kamu
membolehkanku naik ke puncak mercusuar ini."
"Aku bisa digantung, Arimbi."
Matahari sore tiba-tiba terasa sangat terik,
keringat melelehi jidatku dan aku merasa
tenggorokanku kering. Aroma asin laut juga amis ikan
menguar oleh tiupan angin yang justru terasa panas.
Sial, langkah kedua tidak mulus.

"Jangan mengatakan akan melakukan apa pun jika


demikian."

Aku berbalik badan dan tentu itu sebuah


perjudian; aku bisa menang dan membuat lelaki separuh
Belanda itu menahanku dan bisa kalah ketika rasa takut
Abeltje lebih besar dari cintanya padaku. Tunggu,
pergelanganku digenggamnya dan aku tersenyum
menang.

"Tapi, jangan bilang siapa-siapa, sembunyi-


sembunyi, setuju?"

Aku mengecup pipinya, aku mengucap terima


kasih, aku menciumnya sekali lagi, aku kembali ke Daeng
Beddu lalu mengabarkan rencana kami yang berhasil.

***

Lampu mercusuar ini bisa menjangkau dua puluhan


mil dan sangat berguna memandu kapal-kapal yang ingin
memasuki Semarang lewat pelabuhan. Semakin ramai
yang datang dari hari ke hari karena Semarang jadi

19 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 20

salah satu kota pusat perdagangan. Itu kata Abeltje.


Awalnya tidak kupedulikan betul informasi itu. Aku
hampir menyesal dan mengutuk diri jika saja ingatanku
tidak bagus. Kapal Daeng Beddu selalu tiba malam hari.
Biasanya, di saat seperti itu aku menemani Abeltje di
mercusuar. Meski sembunyi-sembunyi, sebagai lelaki
normal, Abeltje senang bukan main. Jika ada obor yang
menyala dari geladak dan bunyi peluitnya melengking
panjang dan susul menyusul, itu artinya aku harus
memberi tanda. Sebelumnya tentu Abeltje kugoda lebih
awal dengan ayolah, Sayang, aku juga ingin tahu
pekerjaanmu, caranya, biarlah aku yang kasih tanda,
kamu sisa arahkan, ya, Sayang. Itu selalu berhasil
apalagi setelah kususulkan ciuman. Ada dua tanda yang
harus kuberikan: pertama, jika lampu kukedapkedipkan
itu artinya bahaya. Namun jika menyala saja seperti
biasanya, itu berarti Daeng Beddu bisa beraksi. Penjaga
sedang tidak banyak, atau lengah, atau pokoknya, itu
berarti dia aman menurunkan sebagian bawaan
kapalnya. Ia akan membawa barang curian itu ke
gudang yang kami buat di belakang warungku.
Mencuri dari penjajah adalah salah satu tindakan
seorang manusia sejati. Itu pernah diucapkan Daeng
Beddu. Ketika kutanyakan kenapa, ia mengatakan bahwa
sebuah kehormatan bisa merebut hak yang dirampas
orang lain. Lagi-lagi aku hanya bisa sepakat.
Dia mencuri bukan untuk menumpuk kekayaan,
melainkan untuk membiayai perlawanan. Untuk
membalaskan dendam kami.
"Kenapa tidak melakukannya sendiri, Daeng?"
"Kau keberatan membantu saya?"
"Aku ingin balas dendam sejak lama."
"Saya jatuh cinta sejak pertama mengenal kau."
"Sembilan dari sepuluh lelaki yang mendekatiku
mengatakan itu."
"Saya tidak minta kau cintai balik, dan saya jamin
sembilan lelaki itu mengemis cinta kau, bukan? Saya
katakan itu ketika kau tanya alasan saya merencanakan
ini, ya karena memang saya cintai kau dan saya yakin
bisa lebih semangat berjuang sama kau."
"Itu saja?"

"Berjuang sama kau berarti sewaktu-waktu saya


bisa makan atau ngopi tanpa bayar, bukan?"
Kami tertawa. Malam itu cuaca sangat buruk dan
karena itu lalu lintas kapal di pelabuhan nyaris tidak
ada. Aku menaruh perhatian pada lelaki yang kini
tengah kusandari pundaknya sejak kali pertama dia
mengatakan ingin membalas dendam. Hujan turun dan
tempias yang tak mampu dihalau kubah mercusuar
melembapkan tubuh kami. Dia tidak menungguku
mengatakan aku dingin untuk menyampirkan lengannya.
Awalnya hanya pelukan hingga akhirnya kami lemas
dengan tubuh berdekapan. Kami mengulang berkali-kali

21 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 22

percintaan kami hingga pada suatu malam musibah itu


terjadi.
Aku masih diam gemetar melihat tubuh Abeltje
bersimbah darah dengan badik yang menancap di
dadanya. Daeng Beddu lari entah ke mana setelah ia
gagal membujukku kabur bersamanya.
"Lacur kau!"

Aku terkesiap, Abeltje dan seorang temannya


memergoki dan bersiap menyerang sebelum akhirnya
mereka kalah sigap oleh badik Daeng Beddu. Abeltje
tersungkur dan temannya lari ketakutan. Sejak malam
itu, kekasihku hilang tanpa kabar. Aku diusir, dituduh
pelacur dan belakangan disebut pengkhianat setelah
warungku dijarah dan orang Belanda sialan itu
menemukan apa yang kami sembunyikan di gudang.

***

Di atas mercusuar ini, tidak dapat kulihat


apakah ia sedang tersenyum atau meringis di saat-saat
terakhirnya. Galangan kapal lebih sepelemparan batu
dari tempatku berdiri gemetar. Keputusanku bulat, aku
menuju kerumunan dan jika bisa ingin kupeluk dia
dengan sangat erat. Eksekutor tampak bersiap
menjatuhkan pijakan Daeng Beddu sebelum ia mati
tercekik di geladak. Dari jarak yang sangat dekat
kulihat ia tersenyum, matanya menaut ke arahku, dan
kurasakan air mataku jatuh melihat darah segar dan
luka-luka di tubuhnya.
"Maafkan saya, Arimbi. Saya mencintai kau!"

Orang-orang yang sedari tadi diam tiba-tiba riuh


dan menuding ke arahku. Suara- suara yang semula
hanya bisikan kini berubah teriakan riuh dan sumpah
serapah untukku.

"Pelacur! Pembunuh, pencuri, gantung, gantung!"

Aku bergeming. Aku masih menatap Daeng Beddu


dan kini kami bertukar senyuman seperti yang biasa
kami lakukan selepas bercinta. Aku keliru, ternyata
setelah menghilang cukup lama, orang-orang masih
mengingat kesalahan yang kami lakukan. Aku merasakan
seseorang mendesak ke arahku yang kemudian disusul
puluhan orang. Kurasakan tanganku dikekang dan
kepalaku seperti dihunjam sesuatu. Penglihatanku
gelap, telingaku berdengung, aku tidak peduli dan masih
mencoba tersenyum karena berhasil menunda kematian
Daeng Beddu. Paling tidak menundanya untuk beberapa
saat. Beberapa saat, sebelum kami dihukum mati
bersama.

23 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 24

Lelaki Sendiri
Karya : Maxdalena Wahyuningtyas

“Memang ada yang aneh. Terasa ada


yang menikam hati ini. Tidak hanya second
opinion, juga third, fourth, fifth, sixth, and much
more opinion mendiagnosa bahwa memang ada yang
aneh. Ada yang lain. Yang beda. Yang tak biasa
dari yang lain. Yang sebelumnya belum pernah
terasa. Yang sulit dipahami. Pantaslah rasa dan
karsa lelah menetralisirnya.”
Semalam hujan deras sekali, membuat Alana
mempercepat tidurnya. Alana yang biasanya
begadang menemani malam, tumben aja cepat tidur
kali ini. Alana, perempuan penjaga malam dengan
Laptop lemotnya yang masih tetap setia menemani,
untuk sekadar mengutak-atik aksara menjadi begitu
rupa. Ya syukur-syukur akan bisa dinikmati pembaca
nantinya. No … tidak, Alana bukan seorang pujangga,
dia hanya penyuka sastra yang menurut dia sastra
mampu membawanya ke dunia yang berbeda, dunia
yang lebih nyata daripada dunia yang Alana hidupi di
kenyataan ini.
Hidup di perantauan yang mengadu nasib,
perlahan membentuk Alana setidaknya bisa sedikit
mandiri dan mau tidak mau jadi belajar mengatur
keuangan. Untung saja Alana bisa tinggal di kost yang
terbilang murah harganya dibanding harga pasaran.
Berkat informasi teman sekerjanya, Alana akhirnya
menempati kost tersebut yang lokasinya tidak jauh
dari kantor tempat Alana bekerja.
―Weehh, baru sampai tapi sudah keringetan
banget, jalan kaki lagi, Na?‖ Ya itulah pertanyaan
harian dari teman-temanku yang kudapatkan saat
baru tiba di kantor. Tentu saja aku menjawab ―Ya
gitu deh, asik lha jalan kaki olahraga pagi, hehehe…‖
Begitulah memang, kost Alana tidak jauh dari
kantor tapi kalau jalan kaki lumayan menguras
keringat, kalau naik becak berat di ongkos. Alana
menyadari gaji dari pekerjaannya memang cukup,
cukup pas-pasan. Jadi ya dia mencoba sehemat
mungkin. Sebelumnya Alana tinggal bersama kedua
orangtuanya di Jakarta. Dan nasib yang
menggiringnya untuk menjadi anak perantauan.
Kau tahu tidak? Kata banyak orang Alana
pergi mengadu nasib di suatu kota yang terbuat dari
rindu dan kenangan. Alana memang merasakan bahwa
itu benar dan sungguh. Ya, kota Jogjakarta. Di
situlah (dulu) jejak kisah tanpa kasih berawal …

Aku Alana, biasa dipanggil Na. Bulan Januari


memang bulan yang baik untuk mengawali resolusi,
tahun 2009 kemarin belum semua resolusi tercapai.
Memasuki usia 25 di tahun 2010 pun bertambah
dengan resolusi yang baru, ya semoga saja. Jogjakarta

25 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 26

kota yang aman dan nyaman, meskipun banyak


pengendara motor, namun mereka tetap tertib
berlalu lintas. Penduduknya pun ramah dan murah
senyum, Aku paling suka logat bahasa mereka,
terdengar merdu dan lucu di telinga. Sesekali
sepatah dua patah kata aku berkomunikasi
menggunakan bahasa setempat. Oya, pastinya juga
jika malam hari banyak wisata kuliner yang wajib
didatangi. Angkringan adalah kuliner favoritku. Dua
nasi kucing, dua potong cakar ayam, satu tusuk sate
usus dan beberapa gorengan, plus tentu saja susu
jahe yang hangat sangat mampu membahagiakanku.
Perut kenyang hati pun senang.
Sebagai seorang perantau yang sudah dua
tahun-an, aku memang tidak mempunyai banyak
teman, apalagi sifatku yang introvert, ya otomatis
temanku bisa dihitung dengan jari.

“Satu hal yang kucamkan hingga saat ini, jaga


hati baik-baik jika mengadu nasib di perantauan,
karena banyak kejutan hidup yang akan
menamparmu atau membelaimu. Berusahalah tetap
menjaga kesadaran!”

Sehabis jam istirahat makan siang Alana


kembali ke meja kerjanya dan menoleh ke meja
sebelah sembari bilang, ― Yeaaaahh besok weekend,
asiiikk... !― ―Ah, kamu Na biasa aja lha, weekend sama
seperti hari lainnya‖ ujar temanku. ―Ya tidak
menurutku, karena aku besok mau hunting memfoto,
yuk ikut!‖ kataku. Temanku menjawab, ―Hmmm, maaf
Na aku ora iso je1 , besok keponakanku ulang tahun,
aku harus datang ke rumahnya di Wonosari‖. ―Oh,
yowis2 baiklah, salam ya buat keponakanmu, besok
aku sempatkan mampir deh ya tapi gak janji,
hehehe…‖, ujarku.
Sore pun tiba, pukul 17.00 WIB, Alana
membereskan meja kerjanya bersiap pulang ke
kostnya. Di lantai bawah parkiran, Alana ketemu
dengan Lanang. ―Oh my God!‖ Teriaknya dalam hati.
―Hei Na, besok mau kemana, katanya mau
hunting foto ya?‖
―Iya, kok tahu?‖
―Ya tahu dong, tadi aku ketemu Manda, trus
obrol sebentar sama dia, dan begitulah, aku jadi tahu
rencanamu besok, jadi fix mau kemana kah?‖
―Ya aku sih pengen yang dekat-dekat aja,
yang bisa pakai jalan kaki, hehehe..‖
―Oh.. nah.. oya, aku boleh ikut gak? Aku lagi
gak ada rencana nih, pengen juga refreshing‖
―Wah, yang bener nih? Kalo begitu ya monggo
aja, yuk deh, besok ya, nanti malam aku SMS ( Short
Message Service ) kabarin ke kamu tujuannya. Dan
pake motormu aja dong ya jadinya, aku mbonceng
kamu, gimana, boleh?‖

27 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 28

―Okeh sip.. boleehh.. yowis aku duluan ya,


sampai ketemu besok‖ ―Okeh.. ati-ati di jalan, daaa..‖
Lanang salah satu temanku sekantor, dia asli
orang Jogja. Jadi aku senang-senang saja kalau
jalan-jalan sama dia, karena dia paham seluk beluk
kota Jogjakarta. Dia memang setiap harinya ke
kantor berkendara sepeda motor, sepeda motor
produksi sekitar tahun 90an. Mungkin karena dia
rajin merawatnya jadinya sepeda motornya masih
bisa diajak menggilas aspal, tanah becek, kerikil
berbatu, dan segala macam bentuk jalan. Lanang itu
menurutku baik, otaknya encer, jago benerin motor
rusak, kutu buku juga, perihal fotografi pun dia
mumpuni, dia tertarik dengan banyak hal, kecuali
politik. Dan oya Lanang menurutku konyol romantis.
Aku berteriak girang dalam hati sendiri karena
Lanang besok jalan bareng aku, yes!‖

“Kubisikkan kau sesuatu …


Lanang itu menurutku keren namun ada
sesuatu yang beda dari Lanang. Gema dalam
rongga hati memperingati untuk berhati-hati”

Semalam aku SMS (Short Message Service )


Lanang, aku bilang tujuan hunting fotonya ke Candi
Prambanan dan sekitarnya saja. Dan Lanang pun
menyetujui, dan katanya dia akan menjemput di kost
aku. Paginya sekitar pkl. 08.30 WIB aku sudah
bersiap lengkap dengan tas ranselku yang berisi
sebuah buku bacaan, kamera foto yang kutaruh
dalam box kecil, dan remeh temeh alat tulis lainnya.
Aku berjalan senandung riang menuju ke depan kost.
―Ciyeee yang mau nge-date‖. Tiba-tiba teman
sebelah kamarku berseloroh.
―Wuih, apaan siy... gak lha, aku jalan dulu yaa,
daa‖. ―Bye, have fun!‖ temanku menimpali.
Tiba di halaman depan kost dan tak sampai
sepuluh menit aku menunggu, dari samping gang
terdengar bunyi mesin motor yang tak asing bagiku,
nah benar saja, Lanang muncul juga.
―Hai, yuk!‖ Lanang tanpa turun dari motor
langsung mengajakku dan menawarkan helm untuk
segera aku pakai.
―Sip, makasih ya jadi ngerepotin jemput aku
segala. By the way ini helm siapa sih, bau apek
banget, haahahaa…‖.
―Ah moso toh… hehhee.. maaf ya itu helm
emang udah lama nangkring di lemari gudang
rumahku, nah kamu lapisi topi aja, sini aku bantu
pasangkan helmnya, bisa gak?‖
―Hehehe… bisa lah. Iya gak apa, maaf
becanda doang, ini aku juga udah lapisin pakai topi,
ok deh, yukk kita lets go‖.
Tidak jauh setelah keluar dari gang tempat kost
ku, aku minta Lanang mampir sebentar di warung
burjo (bubur kacang hijau), aku saja yang turun dari

29 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 30

motor dan Lanang menunggu di motor. Aku pesan dua


bubur kacang hijau campur, tapi yang satu bungkus
santannya sedikit saja, itu yang buat aku, satunya
lagi buat Lanang. Dan aku juga ambil 3 bakwan dan
3 tempe mendoan. Ya lumayan untuk sarapan ganjal
perut pikirku.
―Udah mas, itu aja, jadi semua berapa nih?‖
―Rp 12.000,- Na, biasa‖
Aku keluarkan dari dompet kecilku uang
sejumlah Rp 12.000,- kubayar ke mas Wawan yang jual
burjo.
―Makasih ya mas‖.
―Iyo Na, sesuk tumbas neng kene meneh 3 yo‖
―Siap mas, yuk duluan ya‖
Bungkusan sarapan tadi aku kasi ke Lanang
supaya dicantel di motor bagian depan.
―Kok belinya banyak banget, Na?‖
―Iya kan sekalian beliin buat sarapan kamu
juga‖
―Weeh aku tadi sudah sarapan je4, ibuk ku
tadi bikin nasi goreng dan telor ceplok‖ ―Ya gak apa
lha, kamu makan lagi aja, kan burjo gak bikin gendut,
hehehe‖
―Yowis yuk kita lanjut, udah?‖ Lanang
memastikan apakah posisiku sudah naik motor.
―Iya udah, yuuk‖.
Kami pun kembali meluncur ke Candi
Prambanan. Jarak dari kost ku ke Candi Prambanan
sekitar 19Km. Dengan kecepatan motor Lanang yang
sekitar 40-60Km/jam maka kira-kira akan makan
waktu sekitar 30 menit ke tempat tujuan. Pikirku ya
pas waktunya, karena masih pagi sehingga panas
matahari tidak terlalu menyengat.

“Berboncengan motor dengan laki-laki


single plus baik hati itu bisa menjebak hatimu.
Tetap santai dan waspadalah!”

Sesampai di Candi Prambanan kami langsung


menuju loket, dan bayar tiket masuk. Kami bayar
masing-masing. Kami pun masuk ke area Candi
Prambanan. Tiket aku langsung masukan ke tas
ranselku karena memang aku terbiasa menyimpan
sesuatu yang menandakan jejak bepergianku. Tiket
wisata, tiket parkir, tiket bioskop, struk belanja
bulanan juga, ya memang apapun itu aku simpan. Aku
belum kepikiran mau aku apakan nantinya, ya
dikumpulin aja dulu pikirku.
Lanang jalan duluan di depan aku, dia nampak
berjalan cepat, mungkin dia mau cari objek foto.
Dari kejauhan entah kenapa aku terus
memperhatikan tingkah laku Lanang, dia lelaki biasa,
bulan September nanti usianya 25 tahun, kulit
sedikit gelap, berkacamata minus 7 keduanya,

31 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 32

rambut belah pinggir kiri biasa. Dengan celana jeans


yang robek-robek di bagian lutut dan kaos oblong
yang dikenakan juga biasa, tapi ternyata enak juga
dilihat.
Ugghh aku membanting nafas….
―Perasaan aneh ini terus merajuk untuk
disegerakan‖.
―Tidak, jangan seperti itu, jangan segera,
karena besar risikonya‖.
―Duh Gusti, aku perlu distraksi agar rasa ini
jangan terus mengganggu akalku‖. Batinku
bermonolog.
Lanang tiba-tiba menepuk pundakku, ―Hayoo
mikir apa, kok malah bengong?‖
Aku sedikit kaget, dan menoleh, ―Eh.. iya .. gak
papa kok, kamu udah foto apa aja, liat dong?‖ ―Nih,
ya gak banyak sih, aku emang niat untuk menikmati
alam dan refreshing hati saja‖, kata Lanang.
―Refreshing hati? Ciyeeeee…!‖ godaku ke
Lanang. ―Cerita dong ke aku, hehehee..‖
―Hehehe... gak ah, gak penting, mana coba aku
lihat hasil fotomu‖ Aku pun menunjukkan hasil fotoku
ke Lanang, Cuma 3 buah jepretan.
―Laahh kok mung telu thok 5, dari tadi ngapain
aja? Kebanyakan bengong mikir someone ya?‖
―Hehehhee.. gak kok, gak penting‖, aku balas
menjawab.
Kami berdua senyam-senyum tipis aja dan
masing-masing melemparkan pandang ke segala
jurusan, entah melihat apa. Apalagi aku, merasa tiba-
tiba jantung berdegup cepat.
Tak lama kemudian Lanang berkata, ―Oya kita
makan burjo dan gorengan yang tadi kamu beli yuk‖
―Ayuk..‖ Kami pun berjalan sedikit menepi dan
untungnya tak jauh dari situ ada pohon yang cukup
rindang untuk menaungi kami berteduh.
―Abis ini kita ke pantai yuk‖, ujar Lanang.
―Pantai, pantai mana? Aku sih senang-senang
aja, apalagi kalau menikmati sunset di pantai,
sukaaaa pake banget‖
―Nah cocok kalau begitu, siang ini kita
perjalanan ke pantai Parangtritis dan lanjut liat
sunset di Parangendog‖
―Oke, kalau Parangtritis sih aku udah pernah
kesana waktu itu naik bis umum, tapi aku belum
pernah ke Parangendog, sip deh kalau begitu, aku
mau banget!‖
Sewaktu jalan ke parkir motor, kembali
batinku bermonolog, kali ini berujung status quo.
―Pas, ayo Na manfaatkan momen dong‖.
―Tidak, jangan Na, percayalah, jangan kau
utarakan hal tersebut‖.
―Ayo lha Na, udah sekian lama terpendam,
kamu tahu kan, you never know if you never try ‖.

33 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 34

―Ya memang, tapi ini beda kasus, tidak bisa


disamaratakan‖. ―Sudahlah, utarakan saja, kejar dan
manfaatkan momen itu nanti‖. ―Jangan…‖
―Iya …‖. ―Jangan Na…‖ ―Iya lha Na…‖
―CUKUUPP…!‖ Tanpa aku sadari mulutku
melontarkan suara kata itu dengan agak keras.
―Cukup apanya Na?‖ Lanang bertanya padaku.
―Eh, oh.. o.. gak ok.. itu maksudnya… bensinnya
nanti cukup gak sampe ke Pantai Parangtritis?‖ ― Ealah
Na, kirain cukup apa, kok kamu agak keras gitu tadi
omongnya‖
―Oh ya maaf, tiba-tiba aja kepikiran dan
maklum sedikit latah jadinya‖, aku membela diri
dengan candaan.
―Ya, cukup kok bensinnya, cukup. Nah ini helm
mu, sini aku pakein aja, tapi jangan latah pukul aku
lho ya‖
Belum sempat aku setujui Lanang, helm itu
langsung terpasang di kepalaku. Aku akui bahwa aku
sedikit tersipu, dan jadi salah tingkah. Entah apakah
Lanang memperhatikan reaksi ku itu, tapi sepertinya
tidak sih.

“Sesuatu yang terpendam lama tidak


bearti mati terkubur selamanya. Sedikit saja
mantra rasa menyusup, kau perlu sekuat tenaga
mengendalikan kebangkitannya. Mampukah kau?”
Pantai memang selalu menyuguhkan romansa
tersendiri bagi setiap pengagumnya. Gulung
menggulung ombak menyentuh tapak kakimu seakan
ingin mengajakmu bermain riang. Kawanan angin
pantai yang rumpi menderu seakan mengajakmu ikut
dalam perbincangan. Hamparan pasir yang tak
terhingga jumlahnya membalut lembut tapak kakimu.
Aahhh… aku terbuai dalam keromantisan pantai. Sore
itu sangat sempurna, pantai yang romantis dan
Lanang yang manis melebur satu merasuk asmaraku.

“Hati- hati menjaga hati!”

Lanang tidak mengeluarkan kamera fotonya.


Dan ia pun tidak berjalan mendahuluiku, ia berjalan
santai di sisi kiriku. Kebetulan kamera fotoku pun
batrainya sudah habis. Maka sore itu kami berdua di
pantai hanya berjalan santai biasa saja, melihat
pengunjung pantai lainnya. Meskipun ramai para
pengunjung, tapi bagiku hanya aku dan Lanang saja
yang menghuni pantai itu.
―Na, tuh coba lihat‖
―Waaaaahhh… iya… udah mau mulai nih
sunsetnya‖.
Sepertinya kita tidak sempat lagi ke Pantai
Parangendog, kita berhenti jalan dan duduk di pasir
sini aja deh ya‖, kata Lanang.
―Ok‖, ujarku.

35 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 36

Aku mencari posisi duduk yang pas dan


dengan gerak cepat aku langsung duduk dengan
merentangkan kedua kakiku. Lanang menyusul duduk
di sebelahku, lalu dia bergeser ke kanan mendekat
hingga menyentuh bahu kiriku. Seketika alarm hatiku
nyaring berteriak-teriak kegirangan.

“Baik atau buruk keputusan adalah


kebebasan. Butuh kebesaran hati dan dada yang
lapang untuk menanggung risiko dan
mempertanggungjawabkan keputusan tersebut”
Siap kah?

Nampaknya monolog batinku tadi meminta


kejelasan sikapku. Semesta seakan mendukung.
Sekitar satu menit aku coba mengumpulkan nyali,
degup dalam hati terus mendorong aksara menembus
kerongkongan dan mencuat lewat bibir. Kubasahi
bibir dan menarik nafas perlahan. Lanang sedari tadi
bergeming saja memandang sunset. Aku menoleh ke
arah Lanang, agak lama Lanang menyadarinya, lalu
katanya, ―Weh, kenapa? Ada apa tho?‖
―Ada sesuatu yang aku mau sampaikan padamu,
Nang‖ ―Ya omong aja, gimana?‖
Aku sedikit berdeham, lalu lebih lagi
mendekat ke sisi samping kanan Lanang dan
mengarahkan wajahku dekat, dekat sekali di telinga
Lanang. Dengan suara lirih, dari bibirku keluarlah
untaian aksara kata kasih. Yang sudah lama ada dan
mengendap ternyata tidak mati terkubur. Saat ini
bangkit mewujud ungkapan sayang dalam makna yang
sesungguhnya. Untaian kata tulus dari hati, bak
seorang penyair yang memudar logikanya lalu
berubah menjadi merpati putih penuh kasih. Merpati
yang rindu hujan dan terlindung dalam dekapan sang
jantan. Terbang bebas melintasi awan gemawan
berdua dan di ujung hari kembali ke peraduan
bersama. Melanglang buana berdampingan dari sini di
sawah nan menguning lalu ke sana pegunungan nan
hijau, kemudian menyelisik alam untuk lebih jauh lagi.
Berdua bersama. Berdua memang lebih baik daripada
sendiri, kiranya semesta merestui.
Lanang tertegun sebentar, menghela nafas,
dan mengajakku pulang. Ya, sudah begitu saja.
Campur aduk perasaanku, takut sekaligus
berani dan lega sekaligus sesak. Mau bagaimana lagi,
aku telan saja dengan kerongkongan tercekik respon
dari Lanang itu. Sepanjang perjalanan pulang, aku
membisu dalam boncengan.
Setiba di kost dalam malam masygul, kepada
Lanang kuucapkan terima kasih, dan selamat malam.

“Sela”

Hoaaaeemm … aaagghhh… Alana menggeliat di


ranjang kamarnya, kain lembut dan tebal bergaris

37 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 38

hitam putih itu masih membalut, di luar bunyi gerimis


sayup terdengar dan udaranya berhembus menyusup
mengacaukan kehangatan. Kembali Alana meringkuk
mencoba merebut kembali kehangatan. Diliriknya jam
weker di meja, pkl. 04.45 WIB. ―Ahh... masih jam
segitu, santai saja karena ini hari Minggu‖, kata
Alana dalam hati. Lalu Alana kembali memeluk guling
kapuk kesayangannya. Irama gerimis dan angin sejuk
seakan merangkul dan meninabobokan Alana. Alana
merasa kelopak matanya memberat, dan perlahan ia
pejamkan mata …
Syahdan, penuh tanya aku melihat di kejauhan
pantai, lelaki sendiri menyisiri tepi, sesekali berhenti
dan memandang hamparan lautan. Berlari ia mengejar
ombak, bermain dengan alam yang setia
menemaninya. Kerang yang kecil itu dipungutnya dari
balik ombak, warnanya yang manis menggoda hati
'tuk segera dimasukkan ke dalam saku. Dalam
hatinya mungkin kerang itu akan ia bersihkan dan ia
taruh di atas monitor komputer. Ya monitor yang
sudah menua itu tak bosan-bosannya menghirup asap
dari kepulan rokok yang dihisap lelaki itu setiap
malam. Bahkan sampai larut malam.
Masih di tepi, lelaki sendiri terdiam entah
kemana ia melayangkan matanya, tapi yang jelas
terlihat ia menengadahkan kepala sambil mengangkat
kedua tangannya diiringi teriakan menggelegar yang
menyembur keluar dengan sebebasnya dari dalam
ruang hati yang selama ini terpendam. Berulang
jeritan dari dalam hati itu menyembur, muncrat,
lepas selepasnya mengisi udara dan kemudian terbang
kemana suka angin pantai membawa. Kemudian
tersungkur ia di pasir putih, memejamkan mata ...
dalam benaknya ia berlari mengejar masa lalu yang
seperti surga baginya. tak peduli dimana ia saat ini,
ia hanya terus menangkap masa lalu dan memeluk
erat di dadanya.
Dengan bermandikan siraman cahaya surya
senja, lelaki sendiri menatap bulatan nan keemasan
itu dan tak sedetikpun berkedip mengawasi
kepergian sang surya yang perlahan ditelan awan.
Tak lupa lelaki sendiri menyampaikan terima kasih
pada sang surya yang selama ini selalu memberikan
kekuatan dan setia menemani dalam sendirinya.
Hmmphff....
Gelap perlahan menjalar bersama angin dingin
menusuk persendian. Seakan hamparan pasir putih itu
ranjang yang empuk nyaman, maka lelaki sendiri
membaringkan tubuhnya, mengerling membalas
kerlipan bintang yang mulai tebar pesona di hadapan
lelaki sendiri.
Aahh... kiranya apalagi yang ada dalam benak
lelaki sendiri? Dan aku melihat ... lelaki sendiri masih
tersenyum melihat para bintang yang bersaing
mempersembahkan kerlipan terbaik teruntuk si
lelaki sendiri. Sambil menunjuk ke atas mengarah ke

39 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 40

banyaknya bintang- bintang di atas, lelaki sendiri


memilih satu bintang yang lebih kecil dari lainnya, ia
berbisik, "Hai kamu yang kecil izinkan ku memetikmu.
Aku mengagumi sinarmu yang bening murni menerangi
bumi. Kan kusimpan kau dalam ciptaku agar
senantiasa kutularkan cahayamu pada tempat
dimanapun kuberpijak. Dan kuharap pun rasa dan
karsaku turut menyerap energi cahayamu".
Sapuan angin mendaratkan butiran-butiran
pasir di pinggir bibir lelaki sendiri. Malah dijilatnya
butiran pasir itu dengan lidah lembutnya dan
dinikmati rasa asinnya. Lelaki sendiri menikmatinya
sambil menaikkan harapan agar rasa asin itu
menggarami kisah hidupnya supaya tak lagi hambar.
Semesta penuh kasih mendekap lelaki sendiri,
membisikkan sesuatu yang hanya bisa dimengerti
batin lelaki sendiri. Rahasia. Lama kemudian, lelaki
sendiri bangkit dari pembaringan dan berdiri, diam
sejenak menghela nafasnya dan kemudian
mengayunkan langkah kakinya.
Berjuta keinginan mendesak aku untuk segera
menghampiri lelaki sendiri. Aku mencoba memanggil
berseru padanya dengan mengerahkan seluruh energi
yang aku punya. Namun lelaki sendiri melangkah, dan
melangkah, dan melangkah terus berjalan ... jauh ...
lebih jauh .. terus menjauh hingga lepas dari
penglihatan. ―Lanang …‖. Lirih aku kembali memanggil,
dan seketika selembar kertas melayang dan mendarat
di dadaku. Aku menjumputnya, selembar kertas putih
yang bertuliskan ...

“Aku gak tahu mau bilang apa, tapi aku


yakin we are best as friends. Dirimu salah satu
sahabat terbaikku yang gak pernah menuntut dan
menerima segalanya. Hal itu tidak lebih rendah
dari pada hubungan yang „lebih jauh‟. Ayo Na,
semangat! Bersyukur karena kita boleh merasakan
pengalaman yang paling penting dalam kehidupan
betapapun kadang hal itu menyakitkan tak
tertahankan”.

Seketika aku terhenyak, bangun dari


pembaringan, duduk bersila di ranjang dan menghela
nafas panjang. Sesak terasa. Pedih. Mengambang
dalam lamunan, dengan menutup wajah dengan kedua
tangan, aku menjerit dalam hati, menahan sakit serta
membatin, ―Lanang, kamu apa kabar?‖
Kini, aku masih di sini menghidupi rindu …

1 Aku tidak bisa

2 Ya sudah

3
Besok beli di sini lagi

4
Ungkapan penekanan kalimat dalam bahasa setempat/Jogja

5
Hanya tiga doang

41 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 42

Mencari Rindu
Karya : F. Andrian

Mas Alif: Kamar hotelnya udah aku pesankan yaa


Me: Makasih sayaaang.

Dua minggu lalu adalah ulang tahunku yang ke


dua puluh delapan dan dua minggu lagi adalah pesta
pernikahanku dengan Alif, pria yang kukenal delapan
bulan lalu dari teman kerjaku. Tahun ini hadiah ulang
tahunku sangat banyak. Pertama dinikahi Alif dan kedua
akan dipertemukan lagi dengan sahabatku selintas
negara. Setelah menutup chat dengan Mas Alif, aku
membuka grub chat The Golden Trio.
Me: I booked a hotel room for you two
Sam: HELL NO!!
Collin: Thank you, Sam. I can have the room for
myself
Me: It's double bed and the room is good. It's
been a long time and you guys should having a good
time together
Collin: I miss you so much, Samuel kiss kiss
Aku berbohong tentang satu kamar hotel. Collin
yang menyuruhku karena dia berencana akan membawa
tunangannya dan menunjukkannya pada Sam di hari
pernikahanku. Surprise katanya. Mereka adalah salah
dua tamu kehormatan di acara pernikahanku nanti.
Collin si British berambut merah kini sedang tinggal di
Perancis dan Sam masih setia dengan New York.
Pertemuanku dengan kedua lelaki tersebut bisa dibilang
tidak sengaja. Tiga tahun lalu adalah pengalaman yang
sangat menegangkan dalam dua puluh lima tahun masa
hidupku sebagai manusia.

***

Tiga tahun lalu, tiga minggu setelah ulang


tahunku yang kedua puluh lima, aku berangkat ke New
York, Amerika Serikat, setelah mendapatkan Visa J1
untuk bekerja sebagai waitress di sebuah restoran
burger halal di sudut kota New York. Visa J1 tersebut
berhasil kudapatkan setelah satu tahun sebelumnya
mati-matian aku perjuangkan. Sudah menjadi cita-cita
tersembunyiku sejak semasa kuliah untuk dapat
merasakan hidup di Amerika dan ketika aku
mendapatkan informasi tentang program sponsor visa
J1 ke Amerika dan berkesempatan untuk bekerja di
bidang kerja kasar seperti tukang bersih-bersih atau
cuci piring, maka tak kusia-siakan mempelajari program
tersebut dan mempersiapkan diri hingga ketika
menginjak usia dua puluh lima tahun aku berhasil
mendapatkannya.
Beberapa minggu sebelum keberangkatanku,
Bapak dan Ibu shock mendengar bahwa aku akan
bekerja sebagai waitress di Amerika sedangkan di
Indonesia sendiri, di Solo tempatku tinggal aku sudah
mendapatkan pekerjaan sebagai staff akuntan di
sebuah perusahaan. Apalagi itu adalah Amerika yang

43 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 44

akan datangi dan kutinggal hampir satu tahun


kedepannya membuat Ibu was-was takut anak
perempuannya akan terjerumus dan melepas kerudungn
ya, atau ikutan mabuk-mabukan. Karena
begitulah pandangan Ibu tentang kehidupan bule.
Tapi sponsor telah menganggapku pantas untuk
mendapatkan visa, tinggal menunggu hasil wawancara
yang akan segera dilakukan via skype. Aku jelaskan pada
Bapak dan Ibu bahwa jika aku diterima, aku akan
bekerja di restoran burger halal milik seorang Amerika
keturunan Palestina. Aku juga menjelaskan bahwa aku
akan bertemu dengan orang-orang muslim Amerika dan
bergabung dengan komunitas muslim di sana. Selain itu
aku membuka youtube untuk menunjukkan pada Bapak
dan Ibu bahwa orang muslim Amerika cukup banyak dan
beberapa adalah orang terkenal seperti Hasan Minhaj.
"Pak, Bu! Visaku ada sponsornya, aku juga sudah
dipastikan ada asuransi kesehatan dan lain-lain.
Amerika itu negara besar. Siapapun yang mau masuk ke
sana sudah dipastikan keamanannya, kecuali yang ilegal.
Nisa legal masuk ke Amerika. Insya Allah tempat kerja
Nisa bakal bikin nyaman, restoran yang punya orang
muslim. Sudah dipastikan Nisa bakal disambut dengan
baik di sana. Nanti setelah pulang lagi ke Indonesia,
Nisa bakal punya banyak pengalaman dan pelajaran
hidup. Hidup di negara orang nggak akan pernah
gampang tapi nanti pasti Nisa bakal punya teman yang
baik. Lagian kan keren loh bisa ke Amerika. Jarang
orang bisa ke sana. Ya kan? Ya kan?" Jelasku sambil
menggoda Ibu biar tidak sedih lagi.
Meskipun ikhlas, tapi Ibu tetap menangis ketika
mengantarkan keberangkatanku di bandara. Aku juga
menangis karena akan berada di belahan dunia lain,
ribuan kilometer dari orangtua dan adikku "Jangan lupa
sholat! Kalau sudah sampai sana telpon ya! Kalau ada
apa-apa bilang" ucap Ibu sambil memelukku dan
membuat kerdungku basah oleh air matanya.
Sesampainya di New York aku disambut dengan
baik oleh Mrs. Knox, induk semangku. Di Hal's Burger
atau biasa disebut The Hal's pun aku disambut Farhan
sang koki sekaligus pemilik restoran dengan sangat
baik. Sarah, selaku manager juga sangat ramah. Ramy,
si waiter juga baik. Semua orang baik padaku. Namun,
beberapa hal masih membuatku merasa kesulitan.
Homesick ditambah masalah receh seperti kesulitan di
toilet umum dan selalu dilihat dengan tatapan aneh oleh
lawan bicara setiap kali melayani pelanggan restoran
atau sekadar berbicara dengan orang asing atau orang
baru membuatku tidak betah dan ingin pulang. Bahkan
satu minggu pertamaku sangat buruk, belanja keperluan
sehari-hari saja aku takut. Selalu menangis setelah
video call dengan orang rumah. Untungnya Sarah mau
membantuku. Jadi, minggu ketiga tinggal di New York
aku sudah mulai percaya diri.
Minggu ketiga aku mengenal Sam, teman masa
sekolah Farhan yang bekerja sebagai pelatih gym dan

45 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 46

nutrisionist yang saat itu berkunjung ke restoran. Sam


adalah orang yang sangat ramah, dia mengenal semua
pegawai restoran dan aku semakin merasa
diikutsertakan dalam sebuah komunitas masyarakat
besar.
Sebagai seorang New Yorker sejati dia adalah
pendukung Yankees. Selain itu setiap ada kesempatan
dia juga membicarakan tentang football dengan Farhan
dan Ramy seakan olahraga yang berisi orang-orang
saling menubruk itu adalah hal yang sangat berharga.
"I don't understand. I don't understand any
sports. How you guys love football that much?" tanyaku
pada Sam saat dia mengantarkanku pulang setelah dia
menghabiskan malam di restoran untuk mengobrol
dengan Farhan.
"It's a football and sometimes it's boy's time
no women allowed" jawabnya sambil tersenyum
membuatku paham bahwa aku tak wajib memahami apa
yang tak ku pahami.
Aku dan Sam sering berbagi cerita, Sam juga
sering mampir ke restoran untuk makan atau menyapa
orang-orang. Saking dekatnya aku dan Sam, Sarah
sampai berpikir bahwa aku ada hubungan spesial dengan
Sam.
"Six foot, dark hair, perfect body shape. He's
so hot, Nisa" Sarah masih belum berhenti menggodaku.
"And you are hot." tambahnya, merujuk pada tinggiku
yang 157 cm, berkulit sawo matang sangat khas
Indonesia serta berhidung pesek. Entah kenapa Sarah
yang keturunan Mesir ini senang sekali menyebut
hidungku yang pesek adalah seksi, ketika orang- orang
Indonesia terobsesi dengan hidung mancung seperti
miliknya.
"He's hot and he's a friend. Ku rasa Sam
memang suka mengobrol dengan orang-orang yang
terlihat berbeda dengannya. Lihat Farhan, kamu, Ramy,
kerurunan timur tengah. Belum lagi kata Farhan, Sam
adalah orang yang punya interes lebih dengan hubungan
multicultural di Ameeika. Dia suka sekali mendengar
permasalahan-permasalahan teman-temannya lalu
membuat diam-diam membandingkan, menganalisa lalu
mengambil sebagai pelajaran. He really is a good human
being" semua perempuan dengan dua mata normal akan
mengakui bahwa Sam itu sempurna secara fisik. Dan
semua orang yang pernah bertemu dengan Sam secara
langsung akan mengakui bahwa dia adalah lelaki baik
hati. Aku tidak menyangkal bahwa Sam itu boyfriend
material bahkan husband material tapi sayangnya dia
adalah teman yang baik dan aku tidak merasakan Sam
sebagai husband materialku.
Pertemananku dengan Sam semakin heboh
setelah siang itu, seorang lelaki tinggi dengan badan
ramping berkacamata masuk ke restoran. Rambut
merahnya mengkilat ketika terkena cahaya matahari.
Dari penampilannya aku yakin dia adalah seorang nerd.

47 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 48

Aku menghampiri pria tersebut. "Ada yang bisa


saya bantu?" memberikan buku menu dan senyuman
terbaikku.
"Ya! Mari kita lihat apa yang kau punya di sini"
"Oh! You're a British" tanpa sadar aku
mengucapkannya. Aku yang tadinya bersemangat dan
penuh percaya diri seketika mengekerut dan berharap
ditenggelamkan bumi yang kupijak. Si British
menatapku dengan wajah yang sedikit terkejut.
"And you are Asian!" seringainya yang disertai
senyuman mendinginkan suasana. Dia tidak merasa
terganggu dengan ucapanku.
"Yes I am!" kataku dengan kepercayaan diri
yang sudah kembali. "Bisakah kau membawakanku
burger, kentang goreng dan cola?"
"Sure!"
Beberapa hari setelahnya si Rambut Merah
datang lagi, pesananya masih sama, burger, kentang
goreng dan cola.
"I'm Collin" katanya saat aku memberikan
pesanannya. "I'm Nisa" ucapku.
"Jadi, sudah berapa lama kau tinggal di New
York, Nisa?" tanyanya. "Hampir tiga bulan. Kamu? Baru
di New York?"
Collin mengangguk, "Tiga minggu dan aku masih
bingung membaca cuaca. Sebagai orang yang memiliki
menurut orang rambut berwarna merah dan aksen yang
kata orang-orang seksi, aku benar-benar orang kulit
putih asing di negara yang penuh dengan kulit putih."
"Aksen British memang hal yang spesial,
menurutku. Rambutmu bagus. Sangat stand out" dan
siapapun akan setuju denganku bahwa aksen British
sangatlah keren dan seksi dan rambutnya yang
berkilau akan membuat wanita manapun yang
menghabiskan uangnya untuk creambath di salon pun iri.
"I tell you, Love. My hair, this is not red. This
is strawberry blonde. I keep telling people that and
they still calli me red. And I tell you know, this is
strawberry blonde" jelasnya sangat ekspresif padaku
yang membuatku tak bisa menahan tawa.
"Sorry! But I see no different. Aku baru tahu
tentang strawberry blonde dan aku akan tetap melihat
sebagai warna merah" jujur, kalau Collin tidak
menyebut straberry blonde aku tidak akan pernah tahu
bahwa ada istilah tersebut.
"It's okay! Don't worry" katanya menyerah.
Setelah itu, Collin sering datang untuk makan
siang, atau sesekali makan malam. Kami menjadi
dekat,seperti halnya Sam, Collin adalah orang yang baik
dan sangat suka bercerita. Hanya saja, Collin lebih
cerewet dan ekspresif daripada Sam. Ternyata dia
bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi dan
sedang pindah tugas untuk satu di New York.
Hingga akhirnya Sam dan Collin pun bertemu,
menjadikan kami bertiga the golden trio. Farhan yang

49 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 50

memberi julukan tersebut. Kadang Collin dan Sam


datang bersamaan, atau sesekali mereka mengajakku
jalan-jalan di Central Park sambil mengobrol tentang
apa saja.
Puncak obrolan kami adalah saat Sam dan Collin
datang ke restoran jam sembilan malam. Malam itu
tidak banyak pengunjung, aku membawa pesanan Collin
dan Sam ke meja mereka saat Collin terlihat seperti
sedang berbicara serius. Hal yang sangat jarang
terjadi.
"Kalian membicarakan apa?" tanyaku tak
langsung pergi dan memilih tetap berdiri di depan meja
mereka.
"Collin akan pindah ke Kanada tahun depan" Sam
yang menjawab. "Benarkah, Collin?"
Collin mengangguk mantap, "Dan pecundang ini
akan tetap di sini" katanya menunjuk Sam dengan
setengah mencibir.
"I love my home. I'm not going anywhere" ucap
Sam. Dia adalah penduduk New York selama dua puluh
tujuh tahun hidupnya. Rumah peninggalan neneknya di
pinggiran kota memang sangat nyaman dan aku yakin
siapapun akan betah tinggal di sana.
"Yes! And you're not having fun" debat Collin
lagi.
"I'm having fun! I have a job I love, a beautiful
house, and I'm twenty seven" Sam tak mau kalah dari
Collin.
Collin sendiri tidak menyerah. "Kamu nyaman,
Sam. It's not fun"
"Menurutku, kita harus pergi dari rumah untuk
dapat menyebutnya rumah" kataku akhirnya pada Collin
dan Sam.
"Aku setuju!" ucap Collin.
"Menurutku kalian berdua sangat nasionalis dan
aku sangat mencintai rumahku. Jadi, kita sama" Sam
menegak cola yang aku sajikan.
"Poinnya bukan itu, Sam!" Collin mulai
menjelaskan, "Kita tidak akan pernah tahu di mana
rumah kita yang sebenarnya sebelum kita pergi
mencarinya. Bisa jadi dengan pergi sebentar kita akan
tahu bahwa yang kita tinggalkan adalah rumah kita dan
membuat kita semakin menghargainya sebagai rumah.
Atau, ketika kita pergi, kita akan menemukan rumah
kita yang sesungguhnya"
Sam diam, mencoba mencerna kata-kata Collin.
"Kamu pernah merasakan homesick?" Tanya
Collin pada Sam.
"Nope! But she did. Cryin' in the fridge" Sam
menunjukku dengan kepalanya.
"Hell, Sam!" aku yang ingat bagaimana minggu-
minggu pertamaku di New York sangatlah mengenaskan.
Ingin rasanya pulang. Setiap hari video call dengan
Bapak-Ibu dan adikku kemudian menangis setelah
menutup sambungan. Puncaknya ketika restoran saatnya

51 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 52

tutup dan aku membersihkan dapur. Berniat mengambil


botol minum di kulkas, tetapi secara tak terduga justru
air mataku mengalir seperti bendungan jebol sesaat
setelah membuka pintu kulkas. Lima menit duduk dan
menangis di depan kulkas, meratapi nasib yang entah
saat itu apa yang aku pikirkan karena merasa hidupku
sangat mengenaskan.
"Nisa? Really?" Collin yang sedang menahan
tawa menatapku penuh kekaguman.
"Poinnya adalah life changing." kataku sebelum
obrolan berubah menjadi 'ngebully Nisa bersama Sam
dan Collin'. "Culture shock, language barrier, yang
awalnya hidup menyenangkan sebagai mayoritas
akhirnya harus merasakan menjadi minoritas di negara
lain, ribuan kilometer dari rumah. Hal-hal seperti itu
yang akan mengubah hidup." tambahku. "Yep! Kamu,
Sam, tak tahu bagaimana aku selalu mengecek ponsel
untuk menerjemahkan suhu kota New York. Di London
aku menggunakan celcius. Atau mengubah mil ke
kilometer. Aku merasa seperti anak SD lagi."
"Dan kalian berdua tidak merasakan bagaimana
tinggal di negara yang mana bahasa yang digunakan
adalah bahasa keduamu. Atau sebagai seorang Asia,
muslim, dan perempuan, berhijab di New York."
tambahku.
"Hei! Enam bulan lagi aku akan pindah ke
Kanada. Aku akan mulai memperbaiki bahasa Perancisku
di Quebec." Collin tak mau kalah.
"Kanada terlalu baik hati untukmu yang ingin
belajar bahasa Perancis. Sepertinya kau perlu ke
Perancis langsung untuk mempelajari bahasa dan
budayanya. Nanti ceritakan padaku berapa kali dalam
sehari kau cium pipi orang-orang" usulku pada Collin.
"Good idea! Nanti aku usahakan ke Perancis
setelah dari Kanada"
"Jadi, kalian berdua menyuruhku untuk pergi
dari Amerika?" tanya Sam akhirnya.
Aku menggeleng, "Kamu harus mencoba sesuatu
yang baru agar merasakan sensasi yang lain, tapi, ya!
Menurutku kamu perlu sedikit jalan-jalan"
"Kamu pernah rindu akan sesuatu atau
seseorang, Sam? Rindu hingga rasanya sakit?" tanya
Collin pada Sam dan hanya ditanggapi dengan kerutan di
dahi. "Itu berlaku sama ketika kau pergi dari rumah dan
mengalami homesick. Dan menurutku kamu harus
sesekali pergi dari negara ini. Bukankah terlalu nyaman,
dua puluh delapan tahun tanpa pergi ke mana-mana?
Nisa saja susah payah mencari sponsor Visa J1 agar
bisa merasakan kehidupan Amerika. Kau seorang
Amerika dan seorang kulit putih mempunyai previles
lebih untuk melakukan apa yang seperti Nisa lakukan"
jelas Collin menguliahi Sam.
"Jadi, ini adalah tantangan?" tanya Sam.
"Yes! I challenge you, Sam, to go abroad for a
year and live wherever you want but English speaking
country" Collin sangat serius dengan ucapannya.

53 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 54

"Live wherever you want as long it's Asia"


tambahku.
Sam menarik nafas banyak-banyak, "Challenge
accepted!" aku dan Collin tidak bisa menahan sorakan
kemenangan.
Malam itu aku dan Collin menantang Sam untuk
melakukan apa yang sudah kami berdua lakukan. Pergi
dari negara asal dan hidup berkelana mencari makna
hidup.
Tiga bulan setelahnya aku pulang ke Indonesia.
Perpisahan dengan teman-temanku berlangsung sangat
mengharukan. Hari terakhirku di tempat kerja Sarah
memesan kue dan menghias restoran dengan ucapan
'Nisa's Last Day in The Hal's. Tulisan tersebut
membuat beberapa pelanggan ikut memberikan ucapan
terima kasih dan selamat dan bebeapa memberiku
pelukan selamat jalan. Aku yang tak kuasa menahan
haru harus sering-sering pergi ke belakang untuk
menenangkan diri. Malamnya, setelah pesta perpisahan
di restoran, aku bersama Sam Dan Collin menghabiskan
waktu di taman untuk mengobrol tentang banyak hal
serta aku dan Collin mengingatkan Sam untuk segera
mempersiapkan diri sebelum berkeliling Asia.
Esoknya, Collin dan Sam mengantarkanku ke
bandara dan kami benar-benar berpisah. Tapi sebelum
aku berbalik untuk meninggalkan mereka berdua. Tiba-
tiba Sam memanggilku.
"Nisa!"
"Yes!"
"Aku mau membuat pengakuan" katanya.
Aku dan Collin seketika menaruh minat pada
wajah Sam dan menatapnya dengan pandangan harap-
harap cemas.
"I had a crush on you" dengan senyum malu,
bahkan wajahnya sedikit memerah. "I knew it! Yes! I
knew it!" Collin kegirangan seperti memenangkan
taruhan.
"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulutku dan
seketika ingat akan godaan-godaan Sarah padaku jika
Sam berada di restoran.
"Kamu adalah teman yang baik, Nisa. Aku tidak
pernah menyesal pernah menaruh minat padamu. Tapi
akhirnya aku paham bahwa kita dipertemukan untuk
menjadi sahabat. Dan aku sangat bahagia" ucapnya
membuatku tak bisa membendung air mata yang
tumpah begitu saja.
"Aku akan sangat merindukan kalian" kataku
dengan air mata membanjiri pipi.
"Me too, girl!" Ucap Collin sambil mengusap
pundakku. Diikuti Sam mengusap kepalaku.
Empat bulan berselang setelah aku kembali
menginjakkan kaki di Indonesia dan mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer sebuah restoran, Collin
sudah dua minggu berada di Quebec dan Sam sedang
masa percobaan, berlibur satu minggu di Filipina belum
masa berkelana keliling Asia.

55 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 56

Sam: Asia is so fucking hot


Me: Yes we are hot
Sam: Yes you are
Collin: Belajar bahasa Perancis di Quebec adalah
pilihan yang salah. Pelajaran bahasa Perancisku
seperti sia-sia. Mereka tidak terdengar seperti
sedang berbicara bahasa Perancis
Me: HAHA itulah yang kami, penutur bahasa non
Inggris rasakan ketika menginjakkan kaki di negara
kalian penutur bahasa Inggris
Sam: Mungkin Quebec adalah British-nya Perancis.
Beruntung warga Filipina paham banyak bahasa
Inggris

Tiga bulan setelah kembali ke Amerika, Sam


memutuskan untuk memulai perjalanannya menyusuri
Asia. Dia bahkan membuat blog untuk
mendokumentasikan perjalanannya dalam foto dan
jurnal.
Tujuan pertamanya adalah Yogyakarta sebelum
ke Bali dan ke Lombok. Katanya untuk menemuiku dan
mendapat guide tour gratis. Selama empat hari aku ajak
dia keliling Yogya, mengunjungi pasar tradisional hingga
ke pantai.
Collin: Hmm you guys are beautiful together
Itu adalah tanggapan Collin saya Sam
mengirimkan swafoto kami di grup chat the golden trio
Sam: Nisa and I were always cute together until
you came
Collin: So irritating
Bukan Sam dan Collin kalau percakapan di dalam
grup chat adalah bersih tanpa baku hantam.
Asia tenggara sudah dijelajahi Sam selama tiga
minggu. Foto dan tulisan di blognya juga semakin
banyak akan tips dan cerita konyol tak terduga. Di
minggu keempat dia sudah berada di India.
Sam: Tentang life changing, kau benar. Hidupku
tidak sama lagi setelah melakukan perjalanan ini.
Setiap negara memiliki cerita. Setiap orang yang
kutemui memberikan pelajaran. Ngomong-ngomong
aku suka sekali berjalan-jalan di pasar. Di sana aku
bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar
belakang dan kalau beruntung aku akan bertemu
dengan pak tua yang bijak atau menemukan orang
yang menjual makan paling enak di dunia.
Itu adalah pesan yang dikirimkan Sam secara
personal kepadaku. Aku turut bangga dengan apa yang
dilakukannya. Dalam hati sedikit iri, aku juga ingin
berkeliling ke berbagai negara di dunia.
Setelah delapan bulan di Quebeck, saat di sisi
lain Sam sedang menikmati perjalanannya di Bhutan,
entah apa yang dilakukan Collin hingga dia bisa dipindah
tugaskan ke Paris. The romantic city ,tho? Dia dengan
sengaja mengirimkan foto kegiatan sehari-hari hanya
untuk membuatku iri. Tapi, sama seperti halnya di New

57 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 58

York atau Quebeck, culture shock tak bisa


dihindarkan. Kemampuan bahasa Perancis Collin memang
sudah membaik bahkan sangat baik. Tapi dia mengeluh
bagaimana berusaha agar memiliki logat yang sama
seperti orang- orang Paris, karena orang Paris akan
melihatnya seperti orang bodoh ketika dia tidak
berbahasa Perancis dengan logat yang semestinya.
Collin: Pagi tadi saat penjaga toko roti berbicara
denganku secara pelan, aku merasa aku sangat
bodoh dan aku yakin orang-orang antri di belakangku
menganggap aku adalah orang Inggris bodoh.
Aku paham akan apa yang dirasakan Collin.
Language barrier adalah tantangan utama yang akan
mengantarkan siapapun pada rintangan-rintangan
culrure shock lainnya. Kadang, sebagus apapun
kemampuan bahasa seseorang di negera asing, orang
asing tetap akan menjadi orang asing.

***

Menjemput Sam dan Collin di bandara sehari


sebelum pernikahan adalah tugas Mas Alif. Aku yang
dilarang keluar rumah mau tak mau harus gigit jari
ketika melihat foto-fofo Mas Alif, Sam, Collin, Audrey
tunangan Collin makan-makan dan menikmati malam kota
Solo. Aku senang ternyata mereka bisa langsung akrab
bahkan mereka baru pertama bertemu. Malamnya Mas
Alif, Sam dan Collin tanpa Audrey mengelilingi kota solo
entah apa saja yang mereka lakukan.
Me: Besok kita akad nikah jam 9 loooo ini udah jam
12 Mas Alif: iyaa aku nggak lupa kok sayaaaaang
Me: CEPET PULAAAAANG!!!!
Esoknya, Mas Alif datang tiga puluh menit
sebelum akad dimulai dengan Sam serta Collin yang
menggandeng Audrey yang ternyata sangat chic khas
wanita Paris itu mengekor di belakangnya. Untung calon
suamiku itu tinggi, jadi dia tidak terlihat cebol jika
disandingkan dengan Collin meskipun keduanya masih
jauh kalah kekar dan lebih pendek lima centimeter dari
Sam.
Hadirnya Sam, Collin dan Audrey di acara akad
nikah di rumahku membuat para ibu-ibu tersenyum
gemas. Apalagi kedua lelaki bule sangat ramah dan
Audrey, bahkan ketika duduk pun aura Parisian chic
sangat terasa. Ketika acara resepsi di gedung yang
kami helat siang setelah dhuhur pun menjadi heboh.
Sam, Collin dan Audrey sangat stand out di antar para
tamu. Untungnya mereka menikmati semua prosesi yang
ada.
Lusanya, kami berlimat menghabiskan waktu
bersama di Yogyakarta, untuk menikmati suasana
Yogyakarta selama dua hari sebelum aku dan Mas Alif
pergi ke Lombok, Collin dan Audrey ke Bali dan Sam
yang akan bertolak ke Maroko. Kami benar-benar
menikmati waktu kebersamaan kami. Aku dan Audrey

59 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 60

seketika menjadi best friend dan berbelanja apapun


dan ke manapun yang kami suka menghiraukan tiga
orang laki-laki mengobrol dan bercanda tentang apapun
yang mereka bahas bersama.
"Soon kalian bertiga ke Perancis" Ucap Collin
sebelum masuk ke antrian boarding pass, sebelum kami
berpisah menuju penerbangan kami masing. Itu adalah
yang kesekian kalinya Collin memperingatkan aku, Mas
Alif dan Sam bahwa kami harus ke Perancis.
"Iya. Saat kamu menikah kami akan ke Perancis.
Kami harus menabung dulu" kata Mas Alif yang sudah
menganggap Collin seperti kawan lamanya.
Sam yang memang lebih irit bicara dan sedikit
lebih kalem dari Collin tak menanggapi ocehan Collin.
Mungkin sudah lelah mendengar ocehan si rambut
merah sepanjang perjalanan dari hotel ke Bandara.
Akhirnya para lelaki saling berpelukan dan Collin
terlalu heboh dengan perpisahan mereka. Aku dan
Audrey berpelukan karena kami juga sangat sedih
harus berpisah sedangkan kami baru saja saling kenal.
Tiga tahun lalu, saat di Amerika, rasa rinduku
akan rumah, membuat aku mengerti bahwa negeriku,
tanah airku, rumahku adalah hal terindah yang
diaugerahkan oleh Tuhan padaku. Memberikanku
pelajaran bahwa aku beruntung dilahirkan di Indonesia
dan memiliki orangtua yang baik serta adik yang asik.
Rasa rinduku pada Collin dan Sam adalah bukti bahwa
aku telah menghabiskan dengan baik waktuku yang
sebentar di Amerika. Hari ini kami berpisah lagi untuk
memulai kehidupan baru karena setiap hari adalah
kehidupan yang baru, mencari makna dari rasa rindu
sebelum akhirnya bertemu lagi untuk melepaskannya.
Berharap tabunganku dan mas Alif segera
cukup dan the golden trio bisa bertemu lagi di
Perancis.

61 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 62

Garis Tangan Seni Cinta Yang Ditakdrikan Tuhan


Karya : Nindya andwitasari

Semesta tau aku mencintai dan menjaganya,


namun mengapa semesta mengatakan tidak kepada apa
yang sudah aku jalani dan pintal tali kisahnya sepanjang
ini? Lalu untuk apa aku mengarunginya? Mengembala
tiap tiap anak domba yang memikul kenangan terhadap
induknya yang jauh? Menjadi seorang pemburu yang
kelaparan akan buruan yang mampu melajutkan kisah
hidupnya? Pemancing yang menjadikan kerinduan
sebagai kail untuk sebuah tangkapan besar bernama
pertemuan, menjadi penulis yang ingin membuat
pembacanya menjadi candu terhadap kata yang ia
rangkai sebagai buku? Untuk apa? Semesta aku tau kau
tetap, namun keyakinanku terhadap garis tanganku
lebih kuat, tuhanku tahu itu,tuhanku yang menciptakan
itu.

***

Lula. Duduk tersungkur disurut ruang bernama


kamar dengan ukuran 2x3 m2, dengan meja kecil
berwarna kuning langsat di sisi seberangnya, dengan
lampu berwarna kuning kecil disekeliling dinding
kamarnya, dan sebuah ranjang tidur kayu tua
peninggalan kakeknya dulu telah mampu menyita semua
angan dan harapannya menjadi sebuah luapan kesedihan
bernama putus cinta. Tangisannya tak riuh, namun
mampu membuat hati bak teriris sembilu meringis
menepis.
Dunia baginya saat ini adalah tempat yang tidak
pas untuk dia tempati, dimana tidak ada ruang, suara,
bahkan seseorang yang siap menerima dengan segudang
kesalahan di masa lalunya. Lula bukanlah sosok wanita
yang cepat putus asa pada dasarya, namun entah
mengapa, setelah kejadian topi abu abunya tertiup
angin senja di pinggir bibir pantai parangkritis seketika
pula dia menjadi sososk yang mudah jatuh dan tak tahu
tujuan hidupnya kembali. Terlebih setelah kejadian 2
jam lalu, ketika Lula baru terbangun dari tidur
siangnya, pesan singkat memecahkan lamunannya,
namanya pesan singkat, jelas singkat dan padat pada
intinya. Alfa laki laki usia 20 an dengan garis mata khas
orang timur dipermanis dengan kulit sawo matangnya
yang dia dapatkan karena sibuk meneliti perkebunan
milik ayahnya di daerah Bogor sana. Telah mampu
menarik Lula dari lamunan dan rasa terkejutnya. ―aku
pergi lul, maaf, makasih semuanya‖ memang bagi kalian
yang membaca cerita ini, menggangap kalimat itu hanya
sebuah kalimat pamit biasa saja, tapi tidak dengan Lula.
Tangisnya baru berhenti ketika adik kecilnya
membuka pintu kamar kecil itu dengan paksa, Layu
namanya, lengkapnya Lembayung putri renjana, dengan
tergesa gesa dia berlari dan duduk di samping Lula,

63 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 64

dengan tergesa gesa pula Lula menghapus sisa air mata


di pipi dan ujung matanya, sedari kecil dia memang
bertekad untuk tidak pernah sedih ataupun menangis di
depan anggota keluaranya, terlebih Layu. ― mbak, liat
ini, aku barusan dapet kiriman gambar dari buk de di
Ngawi, sawahnya bagus ya, kalau sore sore kita duduk
dipinggir sawah sambil bawa kue cemilan enak kali ya
mbak Lul? Iya enak, liburan ini kita ke Ngawi ya mbak..
pleasee Layu kangen maen ke sawah, maen sama adek
Raka, ya mbak Lul!‖ katanya dengan sumringah tanpa
mlihat lebih dalam sorotan mata Lula yang penuh akan
tanda tanya, tak banyak yang bisa ia katakan pada
adiknya yang manis itu. Hanya anggukan kecil dengan
kata iya yang lirih, dan senyum manis yang tipis.
Setelah itu Layu berdiri dan meninggalkan kakaknya
dengan tanpa mengulik keadaan yang sedang dialami
Lula.
Lula kembali merapatkan kedua kakinya, mendekap
dengan erat dalam pelukannya sambil terus memikirkan
kejadian ini, entah alasan apa yang mendasari Alfa
sampai pergi dan hanya meninggalkan pesan singkat itu,
Lula berpikir keras , dia mengingat ngingat apa yang
sudah ia lakukan pada Alfa, mungkinkan ia melakukan
kesalahan fatal sampai Alfa melakukan ini. Namun
hasilnya hanya nihil, hanya menerka nerka yang bisa ia
perbuat, dan kembali lagi hanya menyalahkan diri
sendiri dan diri sendiri, Lula bukan tipikal orang yang
bisa menganggap masalah adalah suatu hal yang biasa,
dia pasti memikirkan itu sampai ia mendapatkan
jawabannya, terlebih ini melibatkan seseorang yang
cukup spesial dalam hidupnya. Lula menyerah, dia hanya
bisa kembali menangis, menangis dan menangis, sampai
ia kembali tersungkur di lantai kamar dan tertidur
kembali dengan mata sembab di wajahnya, dengan
isakan tangis yang mulai meredam namun tak
menghilangkan sesak di dalam dada. Keeseokan harinya
Lula bangun dengan segudang perasaan aneh, luka
mendalam, dan ingatan tentang mimpi yang baru saja
dia alami, entah pertanda apa dia memimpikan Alfa
benar benar pergi jauh tapi entah kenapa, setelah Lula
bangun keyakinan bahwasanya Alfa akan kembali
semakin menjadi. Dan rindu itu akan dimulai.
Lula sadar dia tidak bisa terus terusan seperti ini,
hanya mengadahkan diri dan menopang dagu meratapi
nasibnya, dia harus mulai berjalan lagi, menapaki jalan
yang entah itu jalan baru atau jalan yang sama seperti
dahulu. Sore itu seperti biasa dia duduk dipelataran
depan kampusnya, dengan buku tebal karya Buya Hamka
digeggamannya. Lula bisa dikatakan sebagai anak
introvert, sebab selama ia duduk di bangku kuliah
temannya hanya satu dan lain tak bukan lagi Alfa, yang
bagi Lula bukan hanya sebagai teman ngobrol ataupun
teman berdebat, tapi lebih jauh di lubuk hatinya Alfa
adalah sosok yang buat dia sampai dititik ini. Tapi ah
sudahlah Lula tak mau lebih memikirkan Alfa yang telah
hilang pergi entah kemana, Lula melanjutkan bacaannya,

65 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 66

entah mengapa kalimat yang sedari tadi Lula baca


menggambarkan kedaannya saat ini, terlebih kalimat ini
―karena susunan rancangan pekerjaan itu memudahkan
jalan menuju kemenangan dan keberuntungan yang
dinamai sukses‖ Lula lamat lamat mendalami kalimat itu,
kalimat yang cukup sederhana jika diihat sekilas namun
dalam maknanya. Lula baru tersadar mungkin ini jalan
terbaik baginya dari tuhan, tapi rindu tetaplah rindu
tidak akan berubah menjadi jambu atau buah mengkudu
yang nyaman untuk disantap, rindu akan tetap menyiksa
jika tanpa adanya sebuah pertemuan dan hal itu Lula
belum tau kapan.
***

Alfa, sudah lima bulan ini dia menghilang, dan


hanya meninggalkan pesan singkat itu, tak ada kabar
lagi, tak ada informasi baru yang bisa Lula dapatkan
untuk mencari jalan keluar. Dan selama lima bulan ini
juga, Lula sudah berusaha untuk menahan semua hal
dalam hidupnya, hal buruk tepatnya. Lula lelah, Lula
telah kehilangan semuanya, semangat hidupnya telah
pergi bersamaan dengan datangnya pesan singkat itu.
Bahkan Lula sempat ingin pergi dari rumah dengan
alasan ingin mencari jalan barunya, dia hancur sebab
rasa rindu yang menggebu. Lula sudah berupaya sekeras
mungkin, ia sudah mendatangi rumah kos Alfa dengan
alasan setidaknya ia bisa mendaptkan informasi
walaupun sedikit, tapi nihil. Penghuni kos hanya
meggelengkan kepala saja, mereka pun kehilangan jejak
terakhir Alfa. Lula berubah, dia tumbuh menjadi
seorang wanita yang mudah putus asa, dia tumbuh
semakin hebat menjadi orang yang lebih pendiam lagi,
lagi, dan lagi. Lula telah menganggap dunia ini telah
kelabu tanpa adanya Alfa dalam hidupnya, dia lupa akan
keberadaan tuhan, dia lupa akan niscaya tuhan pada
hamabnya yang berserah diri, dia lupa bahwa masih
banyak orang disekitranya yang siap membantu dia
menemukan jalan barunya,tapi Lula tetaplah Lula, sosok
wanita yang hanya bisa nyaman dengan apa yang sudah
jadi miliknya dan terbiasa disampingnya. Lula sadar
ketika topi abu abu itu terbang lalu hilang entah
kemana, itu adalah sebuah pertanda buruk baginya, tapi
dia tetap bersih keras bahwasanya Alfa yang akan
menenangkan dia, tapi sekali lagi itu semua salah.
Alfa. Ia duduk di sudut kamar putihnya itu,
memikirkan semua hal yang sudah ia lakukan, oh jelas,
ia merasa bersalah, tapi ia bukan pergi tanpa alasan,
terlebih dengan kepergian ini, dia pegi dengan sejuta
tekad besar bahwasanya Lula harus bisa berani tanpa
kehadiran dia disisinya nanti sewaktu waktu, bukan,
bukan Alfa ingin menyiksa Lula, jujur berat rasanya
meninggalkan seseorang yang sudah ia janjikan pada
dirinya sendiri untuk menjaga wanita itu semampu ia,
namun garis tangan berkata lain, mungkin ini jalannya.
Ketika ibu angkatnya mengatakan kesehatan ayahnya
tidak memungkinkan lagi untuk hidup sebatang kara

67 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 68

dirumah tua yang luas ini, maka apa dikata, Alfa harus
memilih salah satu diantaranya, Alfa bukan pria yang
suka menyakiti hati seorang wanita dan membuat
wanita menderita, namun ia tidak ingin juga dikatakan
sebagai anak durhaka. Maka ia pergi meninggalkan Lula
untuk menemani ayahnya di Bogor sana. Butuh tiga hari
dua malam Alfa memikirkan kalimat apa yang pas untuk
menjelaskan ini semua pada Lula, bukan, bukannya Alfa
tak ingin menceritakan semuanya pada Lula terlebiih
soal konidisi ayahnya, tapi untuk apa pikirnya, biarkan
ini semua menjadi bebannya. Dan akhinya muncullah
kalimat sederhana itu, Alfa sudah lelah maka yang
hanya terlintas kalimat itu saja, doanya semoga dengan
kalimat sederhana itu Lula akan tidak tersiksa,
pikirnya, namun ekspektasi ia salah, dibagian bumi
nusantara sana Lula telah berhasil menjadi sosok yang
tak bisa dipahami oleh seseorang lagi ia sudah berubah
menjadi wanita yang hanya diam diam dan diam. perihal
rindu. Itu tak kalah menggebu dalam hati Alfa jelas
Lula lah yang mampu membuat Alfa menyadari bahwa
ada wanita di dunia ini yang masih menganggap ia
manusia pada biasanya ketika semua wanita yang ia
kenal sudah mengcap ia adalah pria tak tahu diri. ―Lul
baik baik ya, jika tuhan berkehendak untuk kita kembali
sebuah garis tangan akan kembali terikat, jika tuhan
berkehendak Lul, aku janji‖ Ingin bertemu masih ada,
namun tapi tak bisa, biarkan rindu ini hanya di dalam
dada, pikirnya.
Layu, akhirnya selama tiga bulan ini baru
menyadari perubahan yang terjadi pada kakaknya, Layu
pun tahu sikap kakaknya jika sedang ada masalah,
bisanya hanya diam saja dan memilih untuk
menyimpannya baik baik. Layu hanya memposisikan diri
sebagai teman yang menemani kakaknya kemana mana,
berharap kakaknya akan membuka mulut dan
menceritakan semuanya. Dan tibalah, senja itu di
pelataran teras depan rumah ditemani dengan kopi
pahit dua cangkir dan kue kering khas jajanan warung,
Lula membuka daun bibirnya dan menguatkan hati untuk
mengatakan keresahan hatinya selama ini.
―yu, kalau mbak pergi, kamu siap gak?‖ kalimatnya
seraya menyeruput kopi pahit hangat itu.
―Pergi kemana mbak?kalau mbak mau pergi buat
jajan Layu harus ikut, haruss!‖ celetuknya dengan
menyipitkan mata khas anak anak sedang menyelidiki ini
permen asli atau bukan.
―Bukan, kalau mbak pergi secara tiba tiba, kamu
bakalan kaget gak?bakalan nyari informasi kenapa mbak
sampe pergi? Bahkan ke ujung dunia pun, kamu bakalan
cari gak?‖lajutnya dengan harapan adik satu satunya itu
mengerti maksut kalimatnya yang tadi
―tergantung, kalau Layu mau dan ada upahnya, Layu
mau, eh tapi kan dunia gaada ujungnya mbak, gimana
dong?‖tambahnya lagi dengan lugunya

69 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 70

―Bukan gitu Yu, serius, kamu bakalan cari mbak


gak?‖tegasnya sekali lagi dengan rasa gemas yang ia
tahan akan sikap dan jawaban adiknya itu.
―yaiyalah Layu cari, kan mbak Lula mbaknya
Layu!‖senyum manis merekah berharap dengan ini
kakaknya kan tersenyum
―tapi kamu kan gatau mbak dimana, emang kamu
sanggup cari mbak?‖
―sanggup, kan mbak sendiri yang bilang ketika hati
dua insan menyatu maka tidak ada yang tidak mungkin
untuk bertemu, lalu ketika tuhan telah melukiskan garis
tangan terhadap hambanya maka takdir mana saja yang
tuhan katakan maka akan terjadi, kan kita sehati jadi
Layu yakin mbak bakalan ada disisi Layu selamanya
walaupun nanti diantara kita udah gak bersama, emang
kenapa sih mbak?‖
Lula terdiam, dia tertegun dengan kalimat adiknya
itu, mengapa dia tidak memikirkan itu selama ini?
Mengapa ia hanya memikirkan keegooisannya itu, Lula
terdiam dan kembali melamun
―mbak inget mas Alfa lagi ya?‖tanyanya
―hehe, kalau mbak beneran pergi buat nyari mas
Alfa apa dibolehin ya sama bapak ibuk? Mbak kok
ngerasanya gakuat lagi ya Yu buat hidup, mbak capek
Yu gini terus, diibilang bosen ya mbak bosen dibilang
mbak kuat ya gakuat banget, mbak capek Yu jadi orang
yang berbeda dihadapan orang lain, biar orang gatau
masalah mbak ini.‖ tanyanya lagi serta ucapan yang
timbul dari hatinya.
―inget itu biasa kok mbak, rindu itu biasa, dan
kepikiran juga udah biasa, tinggal gimana kitanya
membuat rasa rindu itu sebagai penyemangat kita
melangkah, Layu ngerti kok apa yang dirasain mbak
Layu sering gitu, kalo dihadapan sahabat sahabat Layu,
Layu sering ceritain hal yang baik soal mbak, bapak,
ibuk, adek Raka, bebek kita disawah, pokonya yang baik
baik deh, soalnya Layu gamau buat sahabat Layu sedih
kalo lagi dengerin curhatan Layu pas dimarain ibuk.
Layu sering gitu‖ panjangnya dengan menghadapkan dan
menatap mata Lula berharap ia dapat mengirimkan
enetgi positif lewat tatapan itu.
―eh emang kamu ngangenin siapa? Hayooo‖
balasanya dengan mencubit kecil lengan adik manisnya
itu.
―kangenin temen temen Layu pas kecil dulu, kaya
Ardi, ya semuanya lah, kalau emang jodoh gak kemana
kok mbak Lul, doain aja mas Alfa balik lagi ke mbak, aku
yakin mas Alfa disana juga lagi ngangenin mbak Lula
kok, secara mbak Lula kan cantik, baik dan unik,
hehe‖jawabnya dengan senyum manis
―hehe iya ya, bener kamu, insya allah mbak kuat,
makasi ya Yu, sudah nyemangatin mbak, sudah selalu
nemenin mbak selama lima bulan terakhir ini‖balasanya
dengan mata yang mulai berbinar dan berkaca kaca.

71 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 72

―mbak sadar sekarang, inspirasi mbak selama hidup


di dunia ini, bukan seseorang yang selalu mbak pikirkan
dan mbak harapan semala ini, ternyata kalian, kamu Yu,
bapak ibuk, buk de, pak de, adek Raka, semuanya deh,
hehe, eh iya Yu, kamu liburan akhir semester ini mau ke
Ngawi kan?, yaudah ayo sam mbak, kita naik kereta
kesitu berdua, mau gak? Mbak juga kangen adek Raka
sama maen di sawah depan rumah buk de‖ jelasnya
panjang lebar
―iya mbak ayoo, akhirnya alhamdulillah‖balasnya
dengan sumringah.
***

Liburan telah tiba, sesuai janjinya kepada Layu,


Lula berangkat ke Ngawi dengan kereta antar provinsi,
tak banyak yang ia bawa hanya tas ransel besar dengan
isinya baju baju dia dan Layu, serta tas ransel kecil
biru pemberian Alfa dulu, sulit memang melupakan tapi
baginya setelah percakapan singkat dengan Layu sore
itu, ia bertekad untuk mulai berdamai dengan masa lalu,
perasaan dan kenyataanya, bahwasanya masalah Alfa
pergi adalah hal yang pasti dan kerinduan adalah yang
sangat pasti terlebih Alfa adalah penyemangat Lula
dulu, maka ia putuskan ia akan tetpa mengenang Alfa
dengan caranya sendiri. Sampinya duduk manis Layu
dengan headset di daun telinganya, entah apa yang ia
dengarkan sampai ia termenung sambil menatap
hamparan sawah hijau yang luas dari balik jendela kaca
bening kereta yang melaju cepat, dan tiba tiba saja
―pegang tanganku bersama jatuh cinta, kali kedua pada
yang sama, sama indahnya‖ dengan lugunya Layu
menyanyikan bait lagu yang judulnya Kali kedua milik
Raisa. Dan entah kenapa Lula sangat tertegun dengan
bait itu, dan mulai mendoakan Alfa, dia baru teringat
akan kalimat yang Asma Nadia tuliskan dalam bukunya,
Doa adalah jalan yang bisa kita tempuh agar tetap bisa
bersilahturahmi dengan orang orang yang tak lagi bisa
kita sapa.
Tak butuh waktu lama untuk menempuh jarak
anatar jogja ngawi menggunakan kereta jaman yang
canggih ini, sesampainya di rumah buk de, Lula dan Layu
tak langsung beritirahat mereka langsung pergi
kesawah untuk menemui pak de yang sedang menyira
pupuk kimia untuk tanaman padinya sekalian bermain
dengan Raka dan mengenang masa kecil mereka berdua,
saat berlari di pematang sawah dan bermain air di
sungai kecil pinggir sawah, tawa Lula kembali lagi,
senyum sumringah kembali merekah di daun bibirnya.
Lula memutuskan untuk duduk di batu tepi anak sungai
itu sambil mengeluarkan note book kecilnya dan mulai
menulis bait bait puisi seperti biasanya. Dering telfon
menggema membuat Lula memutuskan untuk mengambil
handphonenya itu dari ransel biru, terkejut, degup
jantung itu kembali lagi, bibirnya beregtar hebat,
barisan nomor itu, nomor yang selalu Lula hafal dan Lula
bayangkan akan datang kembali selama lima bulan ini,

73 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 74

datang lagi, entah apa yang akan ia lakukan dan


pikirakan namun ia memutuskan untuk mengangkat
telfon itu, dengan suara parau ia mangatakan salam dan
kata apa,
―gimana kabarmu Lul?baik?‖
―iya baik‖
―hmm syukur deh, maafin aku ya lul‖
―iya‖
―aku gapapa kok disini, kamu gimana sama urusan
kampusnya?? Aman?‖
―iya aman, aku udah sidang, tinggal nunggu jadwal
wisuda aja‖
―hebat, Lula almira anava udah mau lulus aja ya‖
―hehe‖
―doain aku disini ya, aku doain kamu juga pasti itu,
makasi ya sudah ngangkat telfon ini, aku harap doaku
dan doamu apapun itu terkabul, ingat Lul tuhan tahu
mana doa yang sungguh sungguh dan harap yang terbaik
bagi setiap hambanya‖
―hmm iya‖
―oke sudah dulu ya, assalamualaikum Lul‖
―waalaikumsalam‖, entah mengapa hanya ucapan itu
yang mampu Lula katakan, rasa amarah mulai
menyelimuti jiwa Lula lagi, mengapa Lula tak
mngucapkan kata kata yang tidak baik agar Alfa bisa
merasakan perasaan Lula selama ini, atau mengatakan
―aku rindu kamu‖ pun Lula tak sanggup. Nyaris saja Lula
terperangkap pada jiwanya yang hancur seperti
kemarin lagi, lagi lagi Layu merasakan keanehan itu,
tanpa pikir panjang dan menunggu waktu yang tepat lagi
bagi ia menanyakan kejanggalan ini seperti tiga bulan
lalu persis di depan teras rumah, sepulang dari sawah
ketika melihat kakaknya termenung dengan tatapan
kosong ia mulai bertanya
―mbak gapapa? Kenapa mbak? Kalau dari
sepengetahuan Layu, tatapan kaya gini ni biasanya mas
Alfa alesannya, inget dia lagi ya mbak??‖ sulit bagi Lula
untuk mengungkapkan perasaan ini, tapi apa daya dia
tahu semakin ia pendam perasaan ini, maka semakin
terpuruk jiwanya dan tidak menutup kemungkinan bagi
ia akan terjerumus pada jurang kekecewaan yang
mendalam lagi mau tak mau pada akhirnya ia
memantapkan hatinya untuk menceritakan kejadian tadi
sore dipinggir sungai itu
―hehe tau aja kamu Yu, iya, jadi gini tadi sore dia
tiba tiba telfon mbak, dan maksutya ambigu banget
buat mbak, dia bilang tuhan tahu mana doa yang terbaik
bagi hambanya, gitu, mbak bingung sama maunya dia itu
apa Yu, mbak capek, capek nunggu, capek kaya gini
mbak ngerasanya kaya dimainin sama dia‖ ―oalahhhhhh,
gitu, kan bener apa kata Layu, mbak gini gara gara mas
Alfa, jujur mbak Layu gak pernah ada di posisi mbak,
tapi Layu yakin tuhan menciptakan jarak pasti karena
alasan kuatnya mbak, bisa aja karena adanya jarak ini,
Allah akan memberikan suatu keindahan nantinya
bernama pertemuan, mbak pernah liat bulan sama

75 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 76

matahari kan? Mereka indah karena berjarak, coba


banyangin kalo gaada jaraknya auto kiamat mbak, hehe,
yakin mbak khusnuzon aja ya mbak sama ketetapan
allah, rindu semakin indah jika diatasnamakan allah‖
―ihhh pinter, iya ya bener makasi ya Yu, sudah
nguatin mbak selama ini!‖
―hehe iya mbak sama sama, eh itu kalimat yang
pernah Layu denger dari podcastnya harun tsaqif,
bagus bagus mbak, dan kayanya relate banget sama
kejadian mbak ini‖
―kaya pernah denger namanya, yaudah deh mbak
nanti cari cari podcastnya di media sosial‖ ―kuat ya
mbak, Lula almira anava yang Layu kenal gak pernah
putus asa‖
―insya allah siapp komandan Lembayung putri
renjana‖. Bismillah dengan kuat hati, topi baru
berwarna abu abu, jalan baru, dan sosok penyemangat
barunya, Lula almira anava bertekad menjadikan rasa
rindunya sebagai kunci emas untuk ia menggapai semua
mimpi mimpinya lagi. Apapun takdirnya nanti, jika
menjauh dan merindukan Alfa adalah takdirnya maka
bagi Lula dengan harapnya semoga itu jalan yang baik
bagi dia kedepannya. Garis tangan tetaplah garis
tangan, garis takdir yang diciptakan tuhan dengan
indahnya akan kembali pada hambanya yang selalu
mengadahkan telapak tangan itu ke langit, mengharap
doa, mengucap hajat, menyapa tanpa suara, mengharap
hidup akan sesuai dengan keinginan dan rido-Nya.
Kota Kenangan Dan Kota Yang Bising
Karya : Adenar Dirham

― Selamat tinggal, Kota Kenangan,‖ katamu

menyeka pelipis yang sembab selepas mengemas


kenangan.
Kau menatap jam tangan. Jelang tengah malam
sehabis kita berkemas. Aku bergegas menginjak pedal
gas untuk membawamu menuju Kota yang Bising.
Barangkali kota yang membuatmu pening hingga mengisi
sel-sel dirimu yang lama terasing.
Malam begitu hening, tak ada semayup klakson
bersahut-sahutan seperti pagi saat kau berangkat atau
sore selepas pulang kerja di kota yang kau tinggalkan
itu. Kau tahu kenangan selalu sibuk mengingatkanmu.
Tetapi sudahlah, kini kau belajar bagaimana berdamai
dengan waktu.
―Berapa lama lagi kita tiba di sana?‖ tanyamu
memecah sunyi. ―Tergantung,‖ jawabku sembari
menenggak obat anti kantuk.
―Kau lupa jalan?‖
―Tidak. Aku hanya tidak ingin menerka-nerka.
Bagiku, seberapa kita cepat, maka seberapa kita
menghindarkan terlambat. Tetapi, seberapa kita
melambat, maka sesungguhnya kita mendekatkan
selamat.‖

77 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 78

Kau melenguh. Mungkin remuk redam hati


begitu membuat jantungmu berdebar begitu cepat. Kau
tahu, kegelisahan mengoyak tubuhmu, mengiris
perlahan-lahan sampai kau benar- benar tenggelam
dalam rindu.
―Apa kau bisa meminjamkanku buku antologi
puisi?‖ pinta serupa tanya darimu.
―Tidak.‖
―Kenapa?‖
―Aku tidak punya banyak waktu berdebat soal
itu. Sejujurnya aku hanya ingin melupakan segala
peristiwa demi peristiwa di kota yang membuatmu
banjir air mata.‖
Kau bergeming hingga sesekali menatapku
begitu hampa. Entah melamunkan tentang apa. Mungkin
kau tengah lelah atau berusaha mengalah. Tetapi kali
ini, kau menatapku lagi dan cukup lama hingga entah
kenapa ada debaran aneh yang menjalari jantungku.

***

Di Kota Kenangan, kita bersua dalam kabar usia.


Perpustakaan menjelma singgasana terindah yang bisa
menyuarakan hati kita pada tempatnya. Merangkai
kata-kata menjadi rimba puisi di buku yang terlahir
dari silsilah waktu.
Aku masih ingat, kau mengajarkanku menulis
kata-kata indah itu saat aku tak sengaja berjumpa
denganmu di tengah guyuran hujan saat senja
mendekap tubuhmu dalam kehangatan. Kita menunggu
hujan di lobi dengan damai sembari menyeduh kopi
hangat. Aku baru memesannya dua cangkir. Seketika,
kau menyeruputnya dengan tandas.
Semua yang kau ajarkan padaku telahkucermati
dengan saksama. Termasuk, menarikan penaku di sehelai
kertas dari dasar kalbuku. Tentu saja tidak lain dari
gejolak jiwamu untuk membersamaiku. Sebuah rayuan
yang terpahat dalam kertas yang berlapis-lapis.
―Aku tertegun padamu. Bagaimana kau bisa
melahirkan untaian kata terindah dari penamu?‖
tanyaku diliputi penasaran hingga benar-benar
membuncah dan memenuhi rongga kepala.
Kau tak langsung menjawab. Tetapi, kau tatap
diriku dengan agak lama. Tidak hanya itu, kau juga
tampak menghela napas. Apa pertanyaanku konyol?
Atau ada sesuatu yang lainkah yang membuatmu
merahasiakannya?
―Aku belajar bagaimana mencintai-Nya di malam
pada sepertiga waktu. Sesudah itu, aku pun tak lupa
menukilkan cintaku pada-Nya dengan tarian pena.‖
Aku terkesiap. Begitu takjub dengan
keluguanmu itu. Aku bahkan tak sempat untuk merintih
pada-Nya di saat itu. Apalagi menukilkan bait-bait bisai
dalam kertas putih yang begitu polos. Ah, padahal, aku
pun sama sepertimu, berangkat lebih dini dan pulang

79 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 80

lebih larut dengan kemacetan yang menjemukan


sekaligus melelahkan.
Kita memang sama-sama kuliah dengan
menyambi bekerja. Aku bangga padamu. Kau bisa
serajin itu. Bangun di tengah malam untuk merintih
pada Tuhan. Pagi kuliah, siangnya kau bekerja hingga
sore, bahkan mungkin hingga larut. Tetapi, sempat-
sempatnya kau menulis puisi juga terbangun di kala
orang-orang telah kalap dalam lelap.
―Sebenarnya, aku beruntung mengenalmu.‖
―Kenapa?‖
―Darimu aku tahu bagaimana resep menulis. Kau
memberitahu padaku segalanya, termasuk resep
meracik tulisan menjadi pencerahan batin bagi
pembaca.‖
―Sebenarnya ada yang lebih daripada itu. Tidak
sekadar yang kau bayangkan.‖ ―Oh, ya? Apa itu?‖
Kau membisikkan sesuatu ke telingaku dan aku
merasakan geli yang teramat sangat. Suaramu bagai
angin yang menggilik-gilik tubuhku.
―Banyak sekali yang tak sadar dengan aktivitas
menulis. Mungkin kau salah satunya. Maaf, jika aku
lancang. Tetapi, aku hanya ingin memberitahu padamu
bahwasanya menulis itu tidak mudah. Kita dituntut
lebih bertanggung jawab terhadap tulisan kita.‖
―Maaf, maksudmu?‖ tanyaku dengan debar
penasaran. Kau mendekat dan membisikan sesuatu lagi.
Kupikir ini hal terpenting yang wajib kudengar. Maka,
aku segera memasang telinga dengan lebih saksama.
―Ya, apakah kau bisa membayangkan mata
pisau?‖ Aku mengangguk. Tak berkata sepatah kata
pun.
―Ibarat seorang koki dengan mata pisau yang
tajam dan bisa melukai siapapun jika kita tidak bisa
bertanggung jawab terhadapnya. Sebagaimana halnya
seorang penulis, kau pun juga harus bertanggung jawab
untuk bisa mengasah tulisanmu juga agar tulisanmu
tidak sekadar menarik, tetapi juga berkesan bagi
pembaca. Itu sebenarnya pekerjaan rumah yang paling
utama dan sederhana bagi seorang penulis pemula. Dulu
aku juga melakukannya.‖
―Lalu, pekerjaan rumah selanjutnya apa?‖
―Nanti akan kuceritakan pada lain kesempatan.
Sekarang yang terpenting kau buat tulisan yang
mengguggah hati pembaca juga berkesan. Ingatlah
segalanya tidak ada yang instan. Kita perlu berlatih dari
hal-hal yang sederhanaterlebih dahulu. Kau tahu itu?‖
―Baiklah, Master. Kau ini bagaikan koki yang
membocorkan resep masakan kepada penikmatnya.‖
Kau terkekeh. Entah kekeh yang sebenarnya
menertawakan kenaifanku atau karena yang lain. ―Aku
juga belajar dari yang lain. Tidak perlu begitu, ah. Kau
memang pandai sekali merayu.‖
―Haha… Kau pun juga pandai merayu lewat kata-
kata, Sai…‖

81 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 82

Astagfirullah, hampir saja aku mengatakan kata


yang membuatmu mungkin menjadi kikuk hingga kau
bergegas menutup buku.
―Maaf, maksudku Alua Sai Zahrah.‖
―Panggil saja Zahrah. Itu sudah cukup,‖
tegasmu.
Kau sepertinya terganggu bila aku memanggil
nama lengkapmu. Ada apa? Apa mungkin namamu
menyimpan sesuatu yang tidak harus kuketahui? Atau
memang sedang risi saja sebab aku memanggil nama
tengahmu? Aku tidak tahu. Tetapi, entah kenapa aku
merasa tertantang untuk mengenalmu lebih dekat.
Begitu pula alasan tentang namamu itu. Meski
terdengar sepele, tetapi aku akan terus mencari tahu.

***

Mobil kita memasuki Kota yang Bising. Sebentar


lagi kita akan sampai di persinggahan. Aku yakin
kejutan ini akan membuatmu tertawa penuh suka.
Namun, entah kenapa sepertinya tubuhmu begitu lunglai
setelah sekian jam berada di jok ini.
Aku masih bisa merasakan sesuatu yang ada
pada dirimu, tepatnya di pangkal matamu yang begitu
rimbun ditumbuhi bunga. Aku bisa melihat dan
menghidunya saat kau sesekali menyandarkan kepala ke
pundakku. Begitu tenang dalam tidurmu yang anggun.
Tak beberapa lama, matamu tiba-tiba membuka.
Serupa putik yang mekar dari kelopaknya. Jika bulu
matamu bisa kupetik tanpa sakit, maka akan kusimpan
dalam jantungku agar lekas tumbuh abadi menjadi bunga
hidup.
―Kita sudah sampai mana?‖
―Kota yang Bising.‖
―Benarkah?‖
kau terkesiap dan mengerjap-ngerjapkan mata
seolah tak percaya. Tak beberapa lama, kau terlihat
menggeligi. Apakah kau sakit? Sesungguhnya aku
mengkhawatirkanmu. Mungkin karena AC mobil yang
begitu dingin. Aku bergegas mengatur temperatur AC
mobil agar lebih sejuk dan tidak terlalu dingin.
―Kau mau air putih hangat? Jika ya, biar nanti
aku cari kedai saja.‖
―Maaf, air putih hangat malah sering
membuatku sakit panas dalam. Mungkin aku alergi
terhadapnya.‖
―Kalau teh bagaimana?‖ tanyaku. Meski
sebetulnya aku kurang begitu menyukai teh. Namun,
demi kau agar tetap sehat, maka aku akan menemanimu
menikmatinya.
Kau sontak menggelengkan kepala. Oh, mungkin
kau alergi dengan teh. Kita memang berbeda, aku
sebetulnya sederhana saja soal minuman.Jika boleh
memilih—di antara keduanya—teh atau air putih
hangat, maka aku lebih memilih yang kedua.

83 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 84

―Bagaimana kalau kopi saja?‖ tanyamu tiba-tiba.


―Aku saat ini sedang alergi terhadap kopi.‖
―Benarkah? Sejak kapan?‖
―Sejak kau tak bisa melupakan Kota Kenangan.‖
―Astaga, kau marah padaku hingga tak sudi
memesan kopi? Hanya karena dulu kita pernah
menenggak kopi bersama di lobi perpustakaan itu kah?‖
tanyanya dengan mata terbeliak.
―Justru aku yang seharusnya bertanya balik
padamu. Kenapa Kota Kenangan selalu saja membuatmu
terus mengingatnya?‖
Kau menghela napas begitu dalam dan
mendenguskannya seketika. Lantas membuang muka ke
tepi jalan. Tak pedulikah kau padaku? Tanganku telah
letih memegang kemudi ini hanya untuk membawamu
pergi dari ingatan masa lalu, ingatan tentang kita di
Kota Kenangan yang seharusnya tidak kita bicarakan
detik ini.
―Maaf, aku tak sengaja mengingatnya sebab
kenangan begitu tersimpan rapat dalam pusar otakku
bahkan merambat begitu halus di palung kalbu. Aku
tidak bisa berkilah sedikitpun tentang itu. Aku
mencintai Kota Kenangan. Kapanpun dan di manapun,‖
tegasmu seketika.
―Baiklah kalau begitu. Tetapi ingat, jika ada
sesuatu yang terjadi padamu, maka jangan salahkan
aku,‖ sergahku.
―Terserah kau, mau bicara apa saja.‖

Maafkan aku, Alua Sai Zahrah. Bukannya aku


melarangmu minum kopi. Namun, sejujurnya aku
mengkhawatirkan keadaanmu. Kau tahu kan? Ayahku
pernah dirawat di rumah sakit karena diabetes kronis.
Itu karena kopi. Tetapi, kini, kau malah ingin
memesannya. Aku tak ingin kopi perlahan-lahan
menghisapmu dalam candu. Kemudian, kau akan berada
dalam bayang-bayang kopi tiap waktu hingga
kepulanganmu.

―Aku mau kopi saja. Titik!‖ ketusmu.


Aku segera menginjak pedal gas kuat-kuat.
Memacu mobil dengan kecepatan tinggi hingga kau
memekik dengan rintih air mata yang berlinang deras
ke sekujur pipi.
―Sudah, cukup! Aku ingin pulang saja!‖
―Kembalikan aku ke Kota Kenangan!‖ imbuhmu
dengan sangat ketus.
Semakin lama kecepatan mobilku semakin gila
hingga nyaris menabrak mobil lain. Beruntung rem mobil
begitu pakem sehingga dapat menghindarkan tabrakan.
Dahi kita nyaris membentur dashboard mobil. Kau
menangis histeris. Menyeka air matamu yang tak
pernah habis. Masih beruntung adasafety belt sehingga
kepala kita tak terbentur.
―Kau keterlaluan!‖ sergahmu.

85 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 86

―Aku cuma bercanda.‖


―Apa? Bercanda katamu? Kau benar-benar gila.
Turunkan aku di sini atau…‖ ―
Atau apa?‖
―Atau aku akan meloncat dari mobil ini!‖
gertakmu.
―Dengarkan aku! Bukan aku melarangmu minum
kopi. Tetapi, kopi dapat merenggut nyawamu. Pelan
tetapi pasti.‖
―Alasan! Kau pasti tidak ingin aku mengingat
Kota Kenangan kan?‖
―Bukan, maaf.‖
Entah kenapa aku bisa melakukan tindakan
semacam tadi. Apa aku benar-benar gila? Begitu
kasarnya perkataanku padamu. Kuharap kau segera
melupakannya.
Kau lagi-lagi menangis. Aku sebenarnya tak
tahan melihat perempuan baik sepertimu terluka
seperti ini. Apalagi gara-gara hal sepele seperti tadi.
Maka, segera kuperlambat laju mobil dan menyeka air
matamu perlahan.
―Maafkan aku. Sekarang tidurlah dan lupakan
tingkahku tadi. Aku tak akan mengulanginya.‖
―Kau janji?‖ ―Ya.
Tak beberapa lama, kau termangu. Namun,
mungkin karena kau terlalu lelah menangis,
memejamkan mata untuk beberapa waktu mungkin
menjadi cara ampuh untuk melupakan peristiwa yang
baru saja terjadi.
―Bangunlah. Kau bisa membuka matamu. Kita
sudah sampai.‖
―Benarkah? Kau tak berbohong kan?‖
―Lihatlah sekelilingmu!‖ timpalku.
Perlahan-lahan kau mengerjap-ngerjapkan mata.
Persis seperti saat kau bangun tidur. Tetapi, kali ini aku
melihat bunga begitu mekar di pangkal matamu
menjalar ke bibirmu yang penuh gincu. Di sana aku juga
melihat, ada mawar merah yang baru saja merekah.
―Itu rumahmu kan?‖ ―Ya, benar.‖
―Kali ini, kau tidak berdusta?‖
―Untuk apa aku melakukan itu. Kau bisa melihat
sendiri tatapanku. Apakah ada dusta di mataku?‖
Kau segera membanting pintu mobil.
Terperanjat seperti anak kecil yang baru saja
mendapat mainan. Begitu gerbang terbuka, mawar yang
tumbuh di bibirmu semakin merekah. Apalagi saat kau
melakukan gerakan tarian balet. Kau tak ubahnya
seperti Ballerina. Mungkin kau tak sadar melakukannya
hingga membuat kakimu terkilir.
―Bantulah aku, jangan hanya diam saja!‖ pintamu
memelas.
―Baiklah, tetapi janji dulu padaku bahwa kau
tidak akan jauh dariku ya?‖
―Ya. Tetapi, soal Kota Kenangan jangan dibawa
janji ya?‖

87 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 88

Kau menanyai balik dengan lesung pipit yang


tiba-tiba menyembul. Oh, haruskah aku berkata ribuan
kali untuk meyakinkanmu bahwa aku tak mau mendengar
kota itu lagi? Kau tampaknya menggodaku sebab
cintamu telah jatuh di sini kan?
―Kalau kau mengingat kota itu lagi. Maka,
biarlah kau jadi tukang kebunku,‖ kekehku.
―Ah, benarkah?‖
―Tetapi, bohong,‖ bisikku padamu.
Kau seketika memukul-mukul pundakku dengan
manja. Ah, kupikir kau mulai tertarik pada Kota yang
Bising ini juga rumahku. Aku yakin kau akan berpikir
dua kali untuk meninggalkanku di sini. Kota yang lama
itu tidak ada apa-apanya dengan kota yang baru ini. Kita
bisa menikmati hari-hari berdua tanpa ada siapapun
yang mengganggu.
―Petiklah setiap bunga yang kau suka dan
simpanlah di jemarimu,‖ ujarku sembari menunjuk
seluruh bunga yang telah mekar di halaman rumahku.
―Bagaimana bila bunga hatimu?‖
―Ya, termasuk itu,‖ aku tersenyum. Ternyata
kau juga bisa merayu. Bagi pemuda sepertiku, tak ada
yang lebih menarik selain digoda wanita sepertimu. Tak
terasa, surya makin meninggi. Teriknya mengundang
kupu- kupu dan lebah untuk merayu bunga agar lekas
dipersunting. ―Mari kita masuk,‖ pintaku sembari
mendekatimu.
―Tunggu aku!‖ ―Rumah ini sepi sekali. Di mana
ayahmu?‖
Aku sebenarnya tak menginginkan kau khawatir.
Tetapi, mau tidak mau aku harus menceritakannya
padamu sebagai cara menghargaimu.
―Ayahku sakit.‖
Kau tercengang. Sekejap bunga-bunga di
matamu mengatup.
―Sekarang beliau ada di mana?‖ ―Ia masih
dirawat di rumah sakit.‖
―Kalau begitu, ayo gegaslah kita menjenguknya!‖
―Tetapi…‖
―Ada apa lagi?‖ kau menyela pembicaraanku.
Mungkin kau terlalu kalut.
―Ayahku dirawat di luar negeri,‖ aku berkilah.
―Benarkah?‖
Aku tak lantas mengangguk. Namun, aku tahu
saat itu setan sudah menyelinap dalam lidahku.
―Lalu, di mana ibumu?‖ tanyanya lagi.
―Maafkan aku. Kita terlambat. Aku jadi gagal
mengenalkanmu pada ibuku.‖
―Memangnya kenapa?‖
―Ibuku sedang dalam perjalanan menjenguk
ayahku,‖ ujarku dengan membaca pesan WhatsApp
darinya.
―Kalau begitu, lebih baik kita ikut.‖
―Ja…ngan. Terlalu jauh dari sini. Lebih baik kita
beristirahat.‖

89 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 90

Wajahmu agak pasi. Mungkin karena mendengar


ayahku sakit. Aku tak mau kau terlalu mencemaskannya.
Lebih baik segera kuantar dirimu ke kamar tamu
Sepanjang langkah menuju kamar tamu. Aku
selalu berbicara mengenai sakit ayahku. Kuharap kau
mengerti sebab itu kukatakan dengan sejujurnya.
Ayahku sakit diabetes.
―Kau boleh tinggal beberapa waktu semaumu.‖
―Seminggu saja boleh?‖
―Jangankan seminggu, sebulan pun boleh.‖
―Ah, kau ini. Bisa saja,‖ sahutmu sembari
mencubit pipiku.
Kini, wajahmu merah merona. Persis seperti
warna bibirmu itu. Aku bersyukur melihatmu tersenyum
begitu manis. Mungkin saja bila bunga mawar dihisap
akan juga semanis senyummu. Ah, aku tak sadar.
Rupanya bunga juga tumbuh di alismu. Kau mengangkat
bunga itu begitu cepat. Aku bahkan tak dapat
menangkapnya.
―Benarkah ini kamarku?‖ tanyamu saat pintu
kamar itu kubuka.
―Ya, kau bahkan boleh memiliki segalanya di
kamar ini.‖
―Kalau mencicipi segalanya di rumahmu boleh?‖
Aku mengangguk. Kau tiba-tiba semakin mendekatiku
hingga harum tubuhmu tercium olehku. Aku tak tahu
kapan kau memakai minyak wangi. Barangkali bunga yang
tumbuh di matamu telah menjelma aroma bagi dirimu
sehingga merebak ke hidungku?
Begitu semringahnya kau saat jendela kamar ini
tersingkap. Mentari mengirimkan semburat begitu
benderang. Aku bisa merasakan kehangatannya.
Kuharap demikian juga denganmu.
Namun, tak berselang lama, kau tiba-tiba
terperangah. Apakah karena jendela rumahku tak
berjerjak atau karena kau alergi terhadap debu di
kamarku? Aku menduga-duga demikian sebab di matamu
bunga sekejap terkatup.
―Ada yang salah denganku atau dengan
kamarku?‖
―Tidak keduanya.‖
―Lantas kenapa kau terlihat gundah?‖
Kau seketika menembakkan telunjuk ke arah
sebuah kilang. Aku memerhatikan dengan saksama.
Berusaha menangkap sinyal yang kau sampaikan meski
dalam bahasa tubuh.
―Sebetulnya itu hal biasa. Kau tidak perlu
merisaukannya. Sekarang istirahatlah!‖
―Bagaimana mungkin aku bisa beristirahat jika
kilang begitu memekakkan telinga?‖
―Sudahlah, kau bisa mengenakan headset kan?‖
Tatapanmu tiba-tiba membuatku kelu. Aku tak
tahu harus bagaimana menjelaskan perihal itu.
Bukankah ini hal biasa bagi Kota yang Bising. Memang
sebelumnya aku tak pernah menjelaskan kepadamu saat

91 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 92

kita berjumpa di kota sialan itu. Kupikir nanti kau akan


tahu sendiri.
―Aku tak pernah tidur pulas menggunakan
headset!‖ sergahmu.
―Kenapa? Aku justru selalu tertidur nikmat
dengan headset.‖ ―Kau tahu Alua Asetkyzy Abzalbek?‖
―Pernah kudengar. Tetapi aku lupa siapa yang
mengatakannya.‖
―Oh, lupakah kau dengan pertemuan kita di lobi
perpustakaan Kota Kenangan?‖
Aku sebenarnya agak risi ketika kau berbicara
tentang kota itu. Tetapi, tak apalah. Kuingat- ingat
kejadian antara kita yang dulu meski agak samar dalam
pusar otakku. Aku berharap bisa mengingatnya agar
kau tak semakin kalut.
―Bagaimana? Sudah ingat?‖ kau mencecar
pertanyaan. Entah Kenapa batinku bergidik.
―Aku benar-benar lupa. Aku menyerah. Aku tak
tahu jawabannya.‖
―Sebegitu mudahnya laki-laki meluruhkan
ingatannya?‖
―Kau tahu lah, kejadian itu sudah cukup lama.‖
―Omong kosong. Banyak alasan!‖ tandasmu.
―Kau lupa padaku saat aku berusaha
mengajarkanmu? Kita pernah menulis antologi puisi
bersama. Bait-bait indah kita rangkai bersama. Kita
bercerita saat itu tentang apa saja. Tetapi, kini kau
sengaja melupakannya?‖
―Aku tidak sengaja soal itu. Jangan berburuk
sangka. Kau tahu kan, aku kurang begitu suka jika kau
selalu membicarakan tentang apapun di Kota Kenangan?
Lebih baik kau menghormatiku!‖
―Kau begitu naif. Tidak ubahnya seperti bocah
ingusan!‖ sergahmu.
―Sudahlah, tidak perlu mengungkit-ungkit masa
lalu. Biarlah kita menatap ke depan. Kau selalu sibuk
mengenangnya.‖
―Selalu saja kau merasa risi jika ada sesuatu
tentang Kota Kenangan yang sengaja atau tak sengaja
kulontarkan. Katakan padaku apa sebabmu demikian?‖
―Maaf, mungkin belum bisa sekarang.‖
―Baiklah, jika itu maumu, maka izinkan aku
kembali ke Kota Kenangan agar segalanya bisa
kukabarkan kepadamu.‖
Kau memulai kisah. Aku berusaha
mendengarkanmu. Meski sesuatu yang keluar dari
mulutmu tentang segala hal yang tak mungkin kembali.
Tetapi, kau terus berceloteh dan membujukku untuk
mendengarkanmu. Terpaksa, aku mengalah dan
menurutimu.

***

Di Kota Kenangan itu di lain waktu, kau


melanjutkan kisah. Saat kita berjumpa di lobi

93 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 94

perpustakaan. Aku ingat, kau mungkin risi bila kupanggil


dirimu dengan sebutan ―Sai‖ atau ―Alua Sai Zahrah‖.
―Ada apa sebenarnya dengan namamu? Kenapa
aku harus memanggilmu dengan sebutan Zahrah? Tidak
dengan sebutan Alua?‖
Seketika kau bergeming. Mungkin agak
terganggu dengan pertanyaanku. Tak lama, kau pamit ke
toilet.
Tak terasa aku tertidur saat kau
meninggalkanku. Mungkin karena lagu dari headset itu
yang seolah-olah menidurkanku.
***
―Bangunlah, bangun!‖ pekikmu khawatir padaku.
Kau membangunkanku berkali-kali saat aku tak
sadarkan diri. Panikmu membuat beberapa orang di lobi
perpustakaan segera menggoyang-goyangkan tubuhku.
Berusaha membantu menyadarkan. Berharap semoga
aku tidak apa-apa.
Teriakanmu memecah sunyi ruangan
perpustakaan. Mungkin saja suaramu itu juga memecah
hujan yang datang pada sore itu. Alangkah
bersyukurnya dirimu setelah mengetahui aku telah
siuman. Beruntung aku bisa melihat wajahmu dengan
bunga yang masih tumbuh di pangkal matamu. Bunga
yang terlihat sayu. Kuharap akan segera mekar.
Kau menenangkanku. Secara tidak sengaja
engkau bercerita tentang Alua Asetkyzy Abzalbek. Dia
adalah gadis muda Kazakstan. Ia mati menggenaskan.
Kejadiannya persis seperti diriku ini yang tertidur pulas
dengan headset terpasang di telinga. Headset yang
masih tersambung dengan ponselku. Sementara kau
tahu, ponselku ini dalam keadaan dicas.

***
Aku puas mendengarkan kisah yang kau
terangkan perihal Alua Asetkyzy Abzalbek.
Alhamdulillah, beruntungnya aku bisa selamat.
―Baiklah, biar kuterangkan padamu kenapa aku
risi dengan Kota Kenangan.‖
―Singkat saja, aku ini penderita diabetes.
Mungkin sejak bertahun-tahun yang lalu sebelum aku
mengenalmu. Tetapi, sialnya aku baru tahu sesudah
kejadian itu, headset yang terbakar di telingaku.
Sebelumnya memang aku suka kopi supaya tidak mudah
mengantuk saat bercengkerama denganmu di lobi
perpustakaan itu. Tetapi itu justru memperburuk
penyakitku karena ketidaktahuanku. Setelah kejadian
headset terbakar itulah aku sering merasa sakit yang
teramat di telingaku berhari-hari tak kunjung membaik.
Hingga aku diharuskan untuk operasi. Namun, sebelum
dioperasi, aku diperintah untuk tes gula darah. Aku
terkejut saat dokter memvonisku mengidap penyakit
diabetes.‖
Sejak aku tahu perihal penyakit itu. Aku tak
suka Kota Kenangan, termasuk kopi. Kau tahu, kopi

95 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 96

jugalah yang membuat ayahku kini kritis karena


kebiasaannya.
―Oh, ya. Maafkan aku, tadi aku berbohong.
Ayahku tidak dirawat di luar negeri. Tetapi di Kota
Kenangan. Aku tak ingin kau kembali pada kota itu.
Sejujurnya aku mengundangmu ke sini tidak lain untuk
melupakan kota itu. Aku hanya ingin mengenalkanmu
pada ibuku. Maaf, aku juga ingin mengenalmu lebih
dekat di rumahku.‖
―Tetapi, apa tidak lebih baik kita menjenguk
ayahmu?‖
―Besok saja. Sekarang kita istirahat. Sekali lagi
maafkan aku.‖
―Ya, aku memakluminya. Berjanjilah untuk tidak
membenci Kota Kenangan,‖ pintamu dengan menjulurkan
kelingking.
―Berjanjilah pula untuk menceritakan rahasiamu
menulis,‖ kataku dengan merekatkan kelingking padamu.
―Astaga, aku hampir lupa,‖ kau sontak menepuk
dahimu.
―Baiklah, ada tiga tanggung jawab seorang
penulis itu. Pertama, kau harus berlatih menjadi
penulis. Tulislah tentang apa saja. Sebisamu. Sepanjang
yang kau tulis itu bermakna seperti yang pernah
kuterangkan padamu. Hal yang pertama itu merupakan
bekal utama seorang penulis pemula.Kedua, harus
menjadi juri bagi tulisanmu, sehingga kau tahu letak
kesalahan tulisanmu baik dari ejaan, diksi, dan
sebagainya. Ketiga, jadilah pembaca agar kau mampu
menyampaikan pesan yang berkesan dari tulisanmu,‖
imbuhmu begitu gamblang.
Aku berterima kasih padamu. Kau berkenan
menceritakan sesuatu itu. Aku sangat bangga padamu.
Kau selalu mudah berbagi dengan ilmu yang kau punya.
Namun, aku kadang mudah menyembunyikan sesuatu
yang sebenarnya sepele untuk dirahasiakan.
―Lalu, tentang namamu bagaimana?‖
―Oh, ya. Aku terlupa. Mohon maaf sebelumnya,
aku tidak lekas memberitahumu tentang namaku itu.
Memang, aku lebih suka jika orang lain memanggilku
dengan sebutan ‗Zahrah‘. Bukan ‗Alua‘, ‗Sai Zahrah‘ atau
maaf, ‗Sai‘ seperti yang pernah kau katakan,‖ terangmu.
Kau bergeming dan agak menunduk. Tetapi, aku
bisa melihatmu menatapku begitu dalam.
―Kau tahu kan gadis yang tewas karena headset
terbakar di telinganya itu juga memiliki nama Alua? Dia
sepupuku. Itu sebabnya aku agak terganggu jika kau
memanggilku dengan sebutan ‗Alua‘. Begitupula dengan
panggilan ‗Sai‘ yang kau tujukan padaku. Soal itu tentu
kau sudah tahu kenapa aku juga demikian risinya,‖
ujarmu sembari merapikan rambut di dahimu yang
terbungkus jilbab, ―Aku lebih suka dipanggil Zahrah.
Bagiku itu nama terindah. Zahrah yang berarti bunga.‖
―Pantas saja, aku selalu menemukan bunga
tumbuh di wajahmu,‖ godaku.

97 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 98

Meniti Gelombang Rindu Di Pulau Bermuka Seribu


Karya : Badrut Tamam

Panas yang terik begitu terasa di siang ini,

jalan-jalan di batam centre mulai terisi dengan bising


deru mesin. Nyata geliat kehidupan yang seolah kembali
terbangkitkan dari pulas tidurnya.
Tidak terasa telah tiga purnama hijrahku disini
menjadi seorang perantau di pulau berjuluk the
scorpion island, sebuah pulau di diantara gugusan
kepulauan riau yang mempunyai nilai strategis karena
termasuk dalam kawasan segitiga emas atau the golden
triangle meliputi singapura, johor dan riau.
Kiranya karena profile batam sebagai kawasan
industri baru yang terkenal dengan si muka kuning-nya
serta kawasan dengan UMK rate tertinggi di nusantara
sehingga banyak teman satu almamater yang memilih
ikut hijrah ke pulau ini dengan status sebagai pekerja
migran.
Lagi-lagi di depan carnaval mall langkahku
terhenti di sana sudah ada bang gunawan hasibuan si
anak medan yang pujakesuma (putera jawa keturunan
sumatera) dan mas hasan yang berasal dari kampungnya
pak jokowi. Mereka secara bergantian melambaikan
tangannya kearahku agar menghampiri mereka yang
tengah duduk-duduk santai di pintu masuk mall
menunggui pelanggan atau orang yang hendak
menumpang taksi yang mereka kemudikan.
―Apa ada info loker‖? tanyaku to the point.
―Belum juga tiga bulan, kau sudah tak sabaran
gitu,― bang nawan mulai angkat bicara. Sementara mas
hasan cuman diam mendengar sembari menyalakan
sebatang rokok ditangannya.
―Dik amang, hidup ini jangan selalu kita
bayangkan yang manis-manis saja, saya sudah dua tahun
di sini, bayangan saya dulu setidaknya saya bisa jadi
seorang teknisi tapi nyatanya baru bisa jadi sopir taksi,
padahal di kampung saya sana, para tetangga
menyangka saya ini pasti sudah hidup berkecukupan
dengan bekal gelar sarjana. Kenyataannya banyak
tantangan pahit dan berat yang mesti kita taklukkan
agar bayangan manis bisa kita bangunkan sesudahnya…
―Mas, Bang…aku tidak ingin banyak mengeluh,
aku hanya ingin bekerja apa saja dan bisa berbuat lebih
dari saat ini …
‖Emangnya Duit kau tinggal berapa, mang?‖
kejar bang gunawan dengan logat khas bataknya.
langsung kurogoh dompet di saku celana dan
kukeluarkan dua lembar uang kertas dua puluhan ribu..
‖Empat puluh ribu, hanya tinggal ini‖
―Cepat kali kau habiskan uangmu, padahal abang
lihat kau tak suka jajan dan tak juga merokok, kemana-
mana pun abang lihat kau lebih sering jalan kaki‖

99 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 100

Itulah sebabnya bang, pertama masuk saja


sudah kena denda di sekupang karena tidak punya surat
resmi dan juga tanpa penjamin, belum lagi ongkos
indekost tiga bulanan yang terbilang mahal sementara
bekal uangku tidaklah seberapa.
―Harusnya dibayarkan separuh dulu sebagai
persekot atau di nego-nego dulu lah kan sementara
sifatnya atau jangan-jangan memang betah kali kau
tinggal di ruli yang pengap itu. ―cecar bang nawan yang
tidak lagi bisa kubantah.
―Mending sampeyan tinggal bareng saya saja di
parkir belakang mall atau di tempatnya bang gunawan di
batu aji, kan bisa lebih hemat‖
Kedua sahabat baruku itu selalu saling
berlomba-lomba agar bisa menawarkan bantuannya
namun aku berusaha menolak secara halus mengingat
telah begitu sering mereka memberikan pertolongan
kepadaku semenjak berada di pulau kalajengking ini.
Pikiranku tiba-tiba melayang pada gubuk liarku.
tak kupungkiri ingin rasanya aku keluar dari ruli tempat
tinggalku saat ini. Disana aku sungguh merasa kurang
nyaman dan tidak aman. adakalanya harus kucing-
kucingan bila ada razia bagi penduduk musiman, belum
lagi aku merasa terusik dengan berkeliarannya
perempuan-perempuan liar diantara rumah-rumah liar
itu. Setiap hari mereka beroperasi di sekitar tempatku
bahkan kadang mereka terang-terangan mengumbar
birahi di depan hidungku.
Di bilik sebelahku hampir tiap malam terdengar
suara perempuan yang bercanda-canda liar dari larut
malam hingga menjelang pagi. Terkadang perempuan-
perempuan liar itu duduk- duduk di depan bilikku sambil
menghisap rokok dan begitu aku datang mereka
kerapkali menggodaku, menawariku untuk
memperturutkan irama nafsu.
Saat itu jiwa mudaku adakalanya bergejolak dan
terbangkitkan untunglah masih ada suara hati kecil
yang menjagaku untuk mengenyahkan keinginan itu dan
menguburnya sedalam- dalamnya.
―Bukankah aku hijrah demi mencari kerja bukan
untuk menenggelamkan diri kedalam pusaran-pusaran
nafsu yang tiada bertepian‖
Didalam bilik ruli, sempat kutulis sebait kata
berangkai ;

PERGUMULAN SENJA DI BUMI KALAJENGKING

Duhai Pelangi ditengah senja


Tidurkanlah birahi dengan segera
Memunggungi paras wanita-wanita muda.
Yang mengetuk pintu-pintu malam dengan
bertelenjang jiwa
Memarkir wajahnya diujung jalanan sunyi
Melabuhkan raga diatas pembaringan gulita

101 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 102

Bayangan mereka …
Liar menari-nari menggoda
Berputar-putar silih berganti mengitari langit-langit
jiwa
Tak ada kata surut sebelum berhasil dijamahnya
nurani
Jika bukan hari ini, siapa tahu esok atau nanti

Pelangi jiwa di penghujung malam


Belakangilah bisikan-bisikan liar
Agar ia tenggelam bersama goresan senja
Kala kita tegak terjaga, menyalakan pelita jiwa
Di ruang malam gelap gulita.

Di Pulau seribu muka ini


Pergumulan senja tiada bertepian
Menebarkan jala-jalanya ke lorong-lorong jiwa
Bertarung batin untuk menundukkan rayuan raga
Namun, sepenggalan hasrat masihlah kuat melekat
“Aku ingin Memadu putihnya kasih.
Melabuhkan jiwa raga ..
Sepanjang hari, sepanjang usia
(by.amang.adut)

Betapa makin terasa dari hari kehari hatiku


menjadi kian tak menentu semakin sulit untuk bisa
merasakan ketenangan hingga aku lebih sering memilih
keluar mencari aktifitas yang dapat mengurai penat dan
suasana yang lebih bersahabat.
―Bang nawan tiba-tiba menepuk pundakku…
‖melamun saja kerja kau ini anak muda, kau
bacalah Koran ini, kali aja ada lowongan kerja, sapa
sangka rezeki kau sengaja diturunkan dari atas sana
lewat Koran ini‖ Canda bang nawan dengan senyum
khasnya yang mengembang seluas ‗danau toba‘ sambil
membuka pintu taksinya, penumpangnya kali ini dua
lelaki bule yang hendak menuju baloi.
Bang gunawan segera berlalu sambil berteriak
dari dalam taksinya.
―Mang, kau makanlah sekenyangnya di warung
pak madura, nanti biar abang yang bayar‖ Diapun pergi
melajukan taksinya kearah barat.
Mas hasan bergegas menarik tanganku ke
warung pak madura di depan my mart, seolah meskipun
tanpa bicara dia ingin mengatakan barang siapa yang
isinan1 tidak akan kisenan2. Makanan khas yang tersaji
saat itu seolah mengingatkanku betapa lidah kami
tetaplah lidah jawa yang seolah lebih terpuaskan
dengan makanan ala jawa meskipun dengan menu
sesederhana kuah lodeh3 atau tempe penyet4.
Di warung pak madura seperti biasanya selalu
ada cerita baru dan yang pasti kenalan baru, maklum
hidup di rantau harus banyak-banyak cari teman biar
tidak melongo sendirian dan teringat kampung halaman.

103 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 104

Dan kini aku mulai akrab dengan mas rahmat,


seorang programmer di workshop komputer yang
bertempat di lantai dasar carnaval mall. Tertarik ajakan
mas rahmat ditambah dengan saran mas hasan maka
akupun ikut ke workshop, itung-itung buat ngangsuh
kaweruh5 begitu tutur mas hasan. Mencari ilmu
sesungguhnya tidak mengenal kata tamat, episodenya
akan terus bersambung semenjak berada dalam buaian
ibu sampai menuju ke liang lahat.
Kehadiran mas hasan dan bang gunawan di
tempat baruku seolah sesaat bisa memupus
kerinduanku pada mas kandungku yang saat ini juga
tengah merantau sebagai naker di Saudi Arabia.
Keduanya adalah salah satu alasanku untuk tetap
bertahan di pulau ini.

BERTAHAN DI PERANTAUAN
Lorong dan gang-gang gelap
Menjadi untaian warna memerah di pulau scorpio dikala
senja

Tertumpah ruah disana .. Pendatang


liar yang hidupnya terlantar
Sebagai buruh-buruh liar…..
Sebagai pengompas-pengompas liar …
Menghuni rumah-rumah liar
Dikelilingi hidupnya oleh perempuan-perempuan liar
Penabuh gendering hasrat-hasrat liar
Nafas perantau kini tersengal-sengal
Berkejaran ditengah padang tanah seberang
Bergunung tinggi laluan yang setiap hari datang menghalang
menyelipkan sebuah bait gelora yang teramat kuat
menetap di jiwa
“Aku ingin pulang…!!?!!”

Selalu saja tumbuh belukar disetiap lading


peradaban
Hitam dan putihnya dunia akan senantiasa beriringan
Siapa yang bisa berdamai dengan kenyataan
Dialah yang akan selalu bisa bertahan
(by.amang.adut)
***

Selama beberapa hari ini aku jadi lebih sering tinggal di


tempatnya mas hasan dibandingkan dengan di ruli
kontrakanku, dan aku memang merasa lebih tenang
sebab meskipun suasana begitu gaduh di sekeliling mall
namun masih terdapat musholla kecil di belakang mall
yang menghadap ke parkir belakang hingga setiap saat
ketenangan jiwaku bisa terpulihkan di tempat itu, tak
bisa kupungkiri baru kali ini aku merasakan sholat tak
ubahnya sebagai penawar dahaga jiwa, menjadi
sebentuk rekreasi yang menenangkan saat beban-beban
berat seolah pupus dan terangkat, sesaat pikiran dan
jiwa mengembara mencari seberkas kedamaian yang
menyejukkan.

105 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 106

Spontan bayangan ayah hadir mengurai


kerinduan hingga terngiang jelas ujaran-ujaran yang
kerap dituturkan beliau kepadaku. Kuambil pena dan
secarik kertas lalu kutuliskan beberapa bait senandung
rindu.

#Ayah Pribadi Istimewa Peneduh Jiwa


#Ayah.
Mengingat Ayah serasa hati ini bagai dawai yang bergetar
indah.
Seolah kudapatkan ketenangan itu hanya dengan
membayangkan wajah teduhnya
#Ayah.
Kaki yang kini berat lagi tertatih itu adalah kaki-kaki
yang sama
Yang dulu begitu kuasa menggendong serta memanggul
tubuhku
Diatas pundak perkasanya
#Ayah.
Setiap butiran peluh serta detak tarikan nafasmu
Adalah juga kasih sayang yang tiada henti kau curahkan
„tuk jadikan kami anak-anakmu tertegak dalam cita
#Ayah.
Ijinkan lewat kata kualirkan rasa ini
Membingkai rindu kepadamu di lorong sunyi.

Sedikit banyak aku telah belajar dari mas


rahmat, aku yang dulu nol besar tentang komputer
menjadi tahu bahkan dalam waktu yang relatif singkat
mas rahmat telah mengajariku perangkat keras dan
perangkat lunak komputer beserta cara kerja dan
teknik perawatannya.
Aku merasa mas rahmat sangat bersemangat
membagi ilmunya, dia adalah guru yang baik dan
bijaksana namun apa dayaku selama belajar disana aku
merasa telah banyak merepotkan bang nawan, mas
rahmat dan mas hasan yang secara bergantian
menanggung biaya makanku dan bahkan terkadang
mereka masih memberiku beberapa lembar uang untuk
tambahan uang rokok padahal mereka sangatlah paham
bahwa aku sebenarnya bukanlah perokok.
Meski mereka kelewat baik kepadaku namun aku
tak ingin selamanya bergantung seperti itu, aku masih
optimis diantara berpuluh-puluh lamaran kerjaku akan
ada salah satu diantaranya yang goal, tak jadi masalah
bekerja apa saja selagi halal dan sanggup untuk
kulakukan.
Kebetulan di parkir belakang mall ada bang
sidik siregar dan bang abidin nasution yang kemudian
menawariku sebuah peluang untuk bekerja paruh waktu
sebagai juru parkir. Memang aku tidak resmi bekerja
disitu, kerjaku hanya mencatat nomor BM kendaraan
yang masuk ke wilayah parkir namun aku mulai
mendapat persen yang lumayan terlebih jika ada event
tertentu dan aku kebagian menjaga parkir hingga larut
malam.
Yang menarik di parkir itu aku banyak mengenal
karakter orang dari yang cuek, ramah, bersahabat

107 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 108

sampai yang pelit dan susah diatur. Mungkin mereka


merasa telah merogoh koceknya untuk mendapat
pelayanan parkir sehingga terkadang mereka bertindak
semaunya, meletakkan kendaraannya tidak pada posisi
yang benar dan justru tidak mau menerima tatkala
diingatkan.
Yang paling menarik justru ulah bang sidik dan
bidin yang sering saling berdebat kusir, sebagai orang
medan mereka telah terbiasa dengan silang pendapat
namun bagi telingaku seolah-olah mereka itu sedang
bertengkar saja. Memang budaya kami berbeda namun
pada akhirnya kami menjadi terbiasa untuk saling
menghargai. Bang sidik usianya sudah hampir kepala
lima tapi jika bersuara lantangnya tak kalah dengan
bidin yang kutaksir baru dua puluhan.
Uniknya lagi bang sidik ini paling suka menyanyi
di saat – saat senggang, ketika parkiran sepi dari lalu
lalang kendaraan yang keluar masuk, dia punya suara
yang bening dan khas. Lagu yang sering dinyanyikannya
adalah ―musafir‖ dengan bait-bait tertentu yang
diulang- ulangnya.
Menurutnya lagu ―Musafir‖ itu spesial
dinyanyikannya untuk perantau sepertiku.

―Musafir, hidup bebas tiada ikatan…


Musafir berkelana sepanjang waktu…
―Musafir apakah yang kau cari …
Musafir apakah arti hidupmu ―.
Hijrah menjadi musafir di tanah perantauan
mungkin selamanya akan tetap menjadi pilihan pada
saat tidak ada lagi peluang dan kesempatan yang bisa di
harapkan di kampung halaman, namun bukan berarti
selamanya kita merelakan sebagaian besar episode
hidup kita di tanah perantauan, sebab perantauan bisa
jadi hanyalah sebuah batu pijakan bagi kita untuk
menatap indahnya hari esok yang lebih cerah di
kampung halaman tercinta.

H I J R A H

Saat Hijrah memberi arah.


Sebuah katapun menjadi begitu bermakna
Terbentang panjang beribu langkah
Kala terbuka sebuah jalan.
Berkembang berjuta harapan.

Ragapun singgah sesaat ditanah rantau.


Mendulang bertitik peluang.
Yang masih dalam tersembunyi
Dibalik tebal tabir misteri.

Hijrah,
Menapak langkah hidup berpetualang
Lintasi terang-redupnya tanah seberang.
Yang takkan pernah elok bila sesaat dipandang,

109 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 110

Namun teramat berarti untuk dikenang.


Hijrahkan raga,
Hijrahkan pula nurani
Mengarungi ruang teramat panjang
Tak berbatas dimensi (by.amang.adut)
***

Semenjak menjadi juru parkir amatiran aku


semakin jarang bertemu dengan bang nawan namun
lewat mas hasan, bang nawan masih secara rutin
menitipkan Koran ―Batam post‖ atau ―sijori‖ untukku,
memang bang nawan tidak perlu membeli Koran-koran
itu sebab dia selalu bisa merayu para penumpangnya
yang kebetulan membawa Koran untuk memberikan
korannya itu jika tidak keberatan atau setidaknya
meminta lembaran yang terdapat iklan dan lowongan
pekerjaan, dia selalu bilang bahwa itu semua demi masa
depan adiknya yang sedang ikhtiar mencari kerja.
Waktu memang dengan cepatnya berlalu namun
Lamaran-lamaranku tak kunjung membuahkan jawaban
dan syukurlah profesi baruku sebagai juru parkir
lambat – laun telah menjadi urat nadi bagi kehidupanku.
Aku mulai bisa menabung dan menyisihkan
sebagian pendapatanku untuk memenuhi obsesiku
menyinggahi sebuah pulau kecil bersejarah yakni pulau
penyengat yang merupakan gerbang utama untuk
menapak kilas balik sejarah kebesaran kerajaan melayu
Islam yang pernah berdaulat di semenanjung malaka.
Di Pulau itulah raja-raja melayu riau
dimakamkan diatas pusara indah yang diatas batu
nisannya terkandung syair penuh hikmah yang terkenal
sebagai gurindam dua belas.
Meski batam disana-sini terkesan berkiblat
kepada singapura dengan ciri bangunan rafflesianya
namun di jalan – jalan utama kota masih terlihat plang
nama jalan yang ditulis secara berganda yakni akrasa
latin yang bersanding dengan aksara arab seperti pada
jalan laksamana bintan dan sebagainya, tempat-tempat
umumpun banyak yang menggunakan nama khas melayu
seperti stadion tumenggung abdul djalil di muka kuning
atau bandara hang nadim di sekupang. yang jelas citra
batam sebagai ranah melayu tidaklah mudah untuk
dicabut meski putaran zaman telah menunjukkan jarum
millennia.
***

Bang sidik datang dengan sepeda poligon


kesayangannya, kali ini tidak seperti biasa, bang sidik
yang tak suka membaca tiba-tiba berubah menjadi kutu
Koran, aku jadi bertanya-tanya ada apakah gerangan,
pasti ada berita seru yang membuatnya penasaran,
biasanya bang sidik paling suka melihat kolom sie jie
alias togel, dia memang tak menyukai spekulasi sejenis
sie jie, togel atau lainnya, yang dilakukannya hanyalah
mencari bahan untuk meledek si bidin habis-habisan.
Setiap kali bukaan sie jie bang sidik pasti mencari bidin

111 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 112

untuk menanyakan apa angka yang dipasangnya tepat


atau meleset, dan jika meleset pasti bang sidik
mentertawai si bidin sepuas-puasnya hingga
memerahlah wajahnya. Dengan nada mengolok-olok bang
sidik senantiasa mengingatkan ―jika saja kau pasang
uang itu di warung pak madura pasti kau bisa ngopi dan
merokok, tidak menelan angin seperti sekarang…??!?‖.
Tapi berita yang di baca bang sidik kali ini pasti
bukan soal taruhan sebab sebentar-sebentar bang sidik
mengucapkan ―wah…sadis kali‖, dan aku betul-betul
dibuat penasaran namun aku bersabar menunggu hingga
dia selesai membacanya.
―Mang, kau bacalah ini, nanti kau pasti
sependapat dengan abang‖ ..Kata bang sidik seraya
menyodorkan selembar Koran batam post, sementara
bang sidik kemudian terlihat sibuk menghitung jumlah
kendaraan yang tersisa sambil mencocokkan dengan
kartu parkir yang diatasnya juga tertera plat nomor
setiap kendaraan yang parkir.
Pada kolom kriminal terdapat berita
pembunuhan yang terjadi di penuin di depan 21,
―seorang wanita yang diduga bernama maya ditemukan
tewas mengenaskan dengan tubuh nyaris tanpa busana
dengan banyak luka disekujur tubuhnya, diduga korban
meninggal karena mengalami luka parah hingga
kekurangan darah dan pelaku yang menurut seorang
saksi diduga bernama alex masih dalam proses
pengejaran aparat polresta barelang‖,
Begitulah petikan berita yang tiba-tiba
membangunkan bulu kudukku, menurut berita itu alex
adalah pemilik beberapa ruli di tiban, baloi dan sei
panas… aku jadi teringat pada bang alex pemilik
kontrakanku yang dulu sedangkan maya, bukankah ia
adalah wanita simpanan bang alex yang sering tinggal di
ruli dekat tempatku…namun aku hanya memendam
keraguan itu karena bisa jadi semuanya serba
kebetulan belaka.
Keesokan harinya ramai diberitakan bahwa
kawanan alex yang selama ini menjadi target operasi
polresta barelang telah berhasil dibekuk malam itu,
kabut yang melingkupi misteri pembunuhan maya
akhirnya terkuak, meski tak diketemukan sidik jari
bang alex di T KP namun itu tak bisa menutupi fakta
bahwa bang alex memang menjadi aktor dibalik
pembunuhan sadis itu. Berdasarkan pengembangan
penyidikan di ungkap bahwa motif pembunuhan adalah
kriminal murni, bang alex yang kalah taruhan harus
memberikan kompensasi yang sesuai dan akhirnya
disepakati untuk menjadikan maya sebagai
kompensasinya. Maya yang segera menyadari betapa
harga dirinya hendak di gadaikan oleh kekasih gelapnya
maka diapun memilih melarikan diri, meski dia selama ini
telah menjadi wanita simpanan dan terlanjur
terperosok kedalam dunia hitam namun hati nurani
maya dengan gigih menolak untuk dibenamkan ke
lembah hitam yang lebih dalam lagi. Perjuangan maya

113 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 114

akhirnya berakhir ditangan anak buah bang alex yang


membunuhnya secara sadis. Kendati jejak berusaha
dihapuskan namun kebenaran akhirnya menunjukkan
kembali jatidirinya, menurut mas hasan inilah yang
dimaksud sebagai becik ketitik ala ketara6.

***

Selepas maghrib seperti kemarin aku ingin


kembali menunaikan sholat isyak di masjid raya batam
center, selalu ada daya tarik tersendiri pada masjid
megah berarsitektur khas melayu itu, atapnya
berbentuk limas terbuat dari kayu pilihan berwarna
kecoklatan, di dalam masjid terdapat kotak amal
berjalan yang merupakan miniatur masjid yang unik.
Disebelah utara masjid terhampar panorama indah
teluk batam center sementara pada sisi belakang
masjid terdapat halaman dengan sekumpulan bunga-
bunga yang tertata rapi dan berhiaskan pelita- pelita
yang bergantungan pada sebuah tugu laksana sebuah
taman yang asri, dan tidak terlalu jauh dari halaman
belakang masjid terdapat sebuah kompleks asrama haji.
Aku berjalan kaki ke arah timur sambil sesekali
menyapa kenalanku pemilik kios-kios pinggir jalan, aku
merasa seolah jalanan ini adalah jalanan kampungku, aku
tak merasa asing sama sekali. Jalanan batam centre
yang kini kulalui sudah seperti jalanan di kampungku,
pemilik kios- kios pinggir jalan sudah banyak yang
kukenal, aku terbiasa menyapa mereka yang
kebanyakan juga perantau sepertiku, adakalanya aku
menyempatkan diri sekedar duduk – duduk mendengar
cerita – cerita mereka.
Serasa ada yang secara tiba – tiba membuntuti
langkahku, seketika aku berbalik dan ternyata bang
bidin yang hendak ke carnaval mall, padahal seingatku
bang bidin tidak ada jadwal. ―Mang, tolong nanti kau
bilang ke bang sidik, aku menjaga parkir depan‖
―Memangnya abang tak libur hari ini..? tanyaku.
―Itu dia, tadi si biring ketempatku dan bilang
tidak masuk, jadi aku lagi yang mesti jaga‖, jawabnya
sambil membuang puntung rokok ke sebuah tong
sampah di pinggir jalan.
Sedang asyik membicarakan parkiran yang sepi
tiba – tiba bang bidin muncul dengan senyum
mengembang di bibirnya, roman mukanya tampak ceria
sekali.
‗Biar kutebak‖, bang sidik terlihat serius
mengamati bidin ―Pasti kali ini tebakan nomor kau tidak
meleset‖, tebak bang sidik sambil mengacungkan
jarinya ke wajah bidin. Bang bidin samasekali tak
menyahut, ia terlihat berpikir sejenak bahwa selama ini
dimata bang sidik rupanya dirinya sangat identik
dengan permainan keberuntungan itu.
―begini, tadi ada pengusaha kaya, rekanan bisnis
bos yang memarkir mobilnya dan dia memberiku persen
yang lumayan besar, lima puluh ribu rupiah‖, lumayan

115 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 116

kan ?!?!, jelas bang bidin sambil menyodorkan selembar


puluhan ribu masing- masing untukku dan untuk bang
sidik.
―Mungkin karena kau ikhlas menolong sembiring
menggantikan tugasnya…‖ puji bang sidik sambil
mengantongi uang itu.
Tiga hari telah berlalu dan bidin makin
bertambah bingung karena mobil itu masih belum
beranjak dari tempatnya. Dalam benaknya kemanakah
perginya pengusaha kaya itu, mungkinkah dia sengaja
berlama – lama menitipkan mobil itu karena tengah
sibuk mengurusi bisnisnya.
Seingat bang bidin pengusaha itu sempat
mengatakan ada urusan dengan bos, tapi anehnya pak
yani pimpinan mall samasekali tidak mengenal pria yang
bercirikan sebagaimana yang digambarkan. Mengatasi
kesimpangsiuran seperti itu bang sidik segera mengambil
inisiatif yaitu melaporkan keganjilan tersebut kepada
bang rizal daulay yang selama ini memback-up beberapa
tempat parkir di batam centre.
Setelah melacak nopol dan identitas lainnya
akhirnya didapatkanlah kontak si empunya mobil
misterius tersebut dan saat dihubungi melalui panggilan
seluler terjawab sudah teka-teki perihal bos yang
bernama asli tuan mansur itu. Bos itu meminta maaf
lantaran meninggalkan mobilnya parkir lebih lama tanpa
ada konfirmasi semua itu lantaran ada kepentingan
mengurusi project bisnisnya yang mendadak di
singapura.
Siang itu tuan mansur kebetulan menumpang
taksinya mas hasan, selama dalam perjalanan tuan
pengusaha itu berkali-kali menanyakan perihal
keberadaan dokter komputer yang berdasarkan infonya
telah lama membuka konter di carnaval mall. Mas hasan
teringat ceritaku sewaktu belajar perangkat komputer
di tempatnya mas rahmat sehingga dia berniat
mengantarkan tuan pengusaha itu kepadaku supaya bisa
diantarkan ke konternya mas rahmat. Sesampai di
parkiran belakang my mart, mobil mas hasan menepi dan
dia segera keluar dari mobil taksinya menghampiriku.
―Mang, kau bantulah tuan mansur itu, dia orang
yang kapan hari sempat bikin heboh karena
meninggalkan mobilnya di parkiran beberapa hari
secara misterius‖ terang mas hasan. Memangnya mas
hasan kenal sama bos itu ?!?! ―tanyaku datar
Iya tentu saja, wan mansur langganan taksiku,
beliau sering membooking taksi untuk mengantar jemput
keluarga, tamu-tamu dan rekanan bisnisnya. Beliau ini
lho yang kapan hari pernah saya ceritakan ke sampeyan
sebagai pelanggan yang gemar kasih tips dan tak jarang
juga memberi oleh-oleh dan mengajak makan. ―ujar mas
hasan
Pokoknya beliau orang baik, jika sampeyan
menganggap saya ini sahabat, tolonglah kali ini bantu
antarkan dia untuk menyelesaikan urusannya. Mas hasan

117 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 118

tiba-tiba membuka pintu belakang taksinya dan bos


pengusaha itupun bersiap untuk keluar.
―Silahkan wan, nanti biar adik saya itu yang
akan mengantar‖, mas hasan tampak dengan sigap
menunjuk kearahku.
***

Perkenalan dengan Wan Mansur menjadi


lembaran baru yang nantinya akan mengubah perjalanan
perantauanku di pulau muka seribu.
Wan Mansur berhasil memenangkan tender awal
pengadaan 500 unit komputer untuk sebuah university
antar bangsa di singapura, untuk merakit komputer
dengan spesifikasi yang dipersyaratkan itu beliau
memilih bermitra dengan konter jasa service
komputernya mas rahmat bukan dengan vendor
terkenal atau dengan perusahaan IT besar.
Seorang rekanan bisnis wan mansur telah
merekomendasikan konternya mas rahmat karena
merasa sangat terbantu sewaktu bermasalah serius
dengan perangkat komputernya. Dan mas rahmat juga
tak ragu mengajakku yang masih terhitung amatiran
untuk membantunya menangani proyek yang profesional.
Sungguh sebuah Game of Trust!!!
Wan Mansur tidak sekedar menjalin kemitraan
namun juga membangun komitmen untuk membantu
mengorbitkan usaha kecil agar bisa segera naik kelas.
Skill dan kompetensi minimal yang sudah dimiliki harus
terus diupgrade agar bisa bertahan dalam persaingan
yang tidak ringan di masa depan.
Pada akhirnya aku harus terus meniti
gelombang rindu, Rindu untuk bisa menjadi bahu dan
pundak yang tegak sebagaimana ujaran ayah di kala itu.
Meniti gelombang rindu di tanah perantauan
sebagai batu pijakan untuk berbekal pulang dan menjadi
secerah pewarna di kampung halaman tercinta.

119 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 120

Rindu Malam Terakhir Tumbilotohe1


Karya : Fitri Kharisma Putri

―Di negeri antah-berantah itu sedang


gempar-gemparnya virus mematikan—kata mereka.
Banyak orang sial yang juga ikut terpapar virus
ntersebut, kendati sudah taat aturan pemerintah
dan mengikuti beberapa omong kosong lainnya tetapi,
virus itu masih saja mengekori tubuh beberapa anak
manusia!‖
Farhan lari terbirit-birit mengikuti arah
purnama. Di sepanjang jalan hanya ada sekumpulan:
daun dan ranting yang gugur serta suara tarik ulur
ombak yang malu-malu tersipu angin laut. Malam itu,
Farhan begitu kecewa karena sebuah hasil tes
kesehatan milik ibunya. Rapid test kata mereka.
Padahal, ia sudah siaga kalau-kalau nasib sial datang
bertamu di rumahnya—lagi. Farhan sudah menyiapkan
seikat mental yang kuat dalam rangka menghadapi
banyaknya kesialan dalam hidup orang-orang miskin
seperti dirinya.
―Mama... tidak usah ba jual lagi di pasar!‖ 2
kalimat itu tidak sekadar keluar dari mulutnya
sebagai bentuk todongan kepada ibunya karena masih
saja tidak patuh akan beberapa aturan baru
pemerintah. Baru-baru ini ia melihat sebuah artikel
mengenai penerapan PSBB—pembatasan sosial
berskala besar di daerahnya yang telah dimulai.
Beberapa orang telah diamankan oleh pihak
kepolisian karena melanggar dijam-jam tertentu.
―pata‘o kalo jamona‘o topatali, timongoli
3
mammonga wolo?‖ jawaban itu jelas dihunuskan oleh
ibunya sebagai tanda bahwa apa yang ia lakukan tidak
bisa diganggu-gugat oleh siapapun bahkan, jika itu
pemerintah sekalipun. Tentu saja, sebagai seorang
ibu sekaligus kepala keluarga, keberlangsungan hidup
anak-anaknya jauh lebih berharga dari nyawanya
sendiri. Dan lagi, sebagai kaum bangsawan di negeri
ini, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan
rakyat-rakyat miskin —seperti mereka.
***

Disebuah pelosok pesisir Gorontalo, tumpukan


papan ringkih dan atap anyaman daun kelapa terlihat
malu-malu disapu angin laut. Beberapa manusia yang
acuh-tak acuh dengan santainya berlenggak dan
berlenggok melewati rumah yang tampak akan habis
termakan ombak itu. Namun begitu, beberapa malah
tampak takjub dengan papan-papan ringkih yang
nyatanya mampu menekan laju perkembangan zaman
sehingga, rumah papan nan kumuh itu masih mampu
melindungi tuannya dari cercaan orang-orang di
penghujung masa ini. Mungkin saja, rumah papan yang

121 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 122

mulai lapuk itu sudah mafhum atas ketidaksenonohan


alam terhadap tuannya yang miskin itu.
Farhan terdiam. Menatap wajah ibunya
dalam-dalam. Gincu milik ibunya begitu merona bukan
karena terpoles dengan naas, hanya saja ibunya
merasa malu pada siang hari yang terik sehingga,
beberapa kali mengakibatkan kegagalan transaksi
jual-beli di pasar. Bagi ibunya, beberapa pelanggan
yang menikmati sejumput kemolekan yang dimiliki
oleh janda tiga orang anak itu adalah hal yang
lumrah. Selama dagangan miliknya laku diburu
pembeli, tidak masalah.
―Bolo seitu yi‘o posikola mota bae-bae, Aan!
Nde lia kasana diberita nasib lo orang- orang macam
torang ini bagimana? Bolo sikola yang bole mo kase
selamat torang pe masa depan uti!‖ 4 perkataan
ibunya dipersilakan Farhan sampai khatam meski
sambil diringi komposisi nada yang naik turun sesuai
emosi ibunya, Farhan masih diam.
Salah satu hal yang paling disesalkan oleh
Farhan adalah, nasehat agar terus semangat dalam
melanjutkan pendidikan demi kehidupan di masa
depan yang lebih baik, yang selalu diucapkan oleh
ibunya—yang juga miskin ini, padahal mereka tahu
betul bahwa dunia sukar untuk berpihak kepada
orang-orang seperti mereka.
***

Sambil merapikan beberapa barang dagangan


yang akan dibawa ibunya ke pasar, Farhan
merapalkan beberapa rumus matematika yang
dihafalkannya semalam, lalu, setelahnya ia memasak
air putih hangat—sebagai sarapan—untuk kedua adik
perempuannya. Untung saja sekolah sedang diliburkan
oleh pemerintah sehingga, Farhan tidak perlu
menanggung hinaan— lagi dari teman-teman
sebayanya karena sepatu bolong yang tidak
digantinya selama empat tahun terakhir.
Hari itu semuanya tampak begitu normal.
Beberapa hal remeh yang sering dilakukan Farhan
setiap hari hampir tuntas. Hanya ada satu hal tidak
terduga yang terjadi hari itu;
Makanya kamu harus sekolah dengan benar.
Coba lihat nasib orang-orang miskin seperti kita
bagaimana? Sekolah adalah satu-satunya harapan
masa depan kita. pemerintah setempat mengutus
beberapa petugas medis untuk memeriksa seluruh
pedagang di pasar demi kenyamanan masyarakat
selama masa pandemi. Dan, dengan lagaknya, ibu
Farhan masih saja mengoceh—bergosip ria—dengan
para pedagang lainnya.
―Ibu, sudah selesai yah. Jadi, nanti kita akan
segera mengabari ibu mengenai hasil akhirnya.
Mohon diisi data ibu sesuai dengan apa yang tertera

123 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 124

di KTP ibu...‖ rupanya, penjelasan salah satu tenaga


medis itu belum juga sampai pada kalimat penutup.
―ohiya, ibu, ini ada masker dari kami, mohon
untuk digunakan yaa... semua ini demi kebaikan ibu
dan keluarga ibu nantinya. Jadi, kami mohon agar ibu
bisa mematuhi protokol kesehatan yang sudah
diterapkan oleh pemerintah setempat. Terima kasih,
ibu‖ jelaslah sudah. Akhirnya tenaga medis itu telah
mengkhatamkan segala rupa nasehatnya kepada ibu
Farhan.
***

Farhan tergagau di tengah kesunyian. Ia tak


mampu menahan kesal terhadap ketidakberpihakan
nasib atas dirinya atau keluarganya. Ia masih berlari
terbirit-birit—pun sepanjang jalan ia hanya
mengutuki dirinya dan pemerintah. Jika saja
pemerintah mencukupi kebutuhan hidup mereka
maka, ibunya tidak lagi perlu ke pasar hingga
terpapar virus sialan ini.
Farhan terus berlari. Punggung kokohnya
mengikuti seruan histeria kedua kaki jenjang
miliknya. Ia harus mencapai ibunya malam ini sebelum
akhirnya diisolasi oleh mereka, para petugas medis.
Ia tahu betul, rasa sakit yang sering dialami oleh
ibunya kala senja berganti rembulan.
Saban hari, Farhan kadang menghabiskan
waktunya untuk duduk di antara dua sujud, kemudian,
akan dirapalkannya beberapa doa paling muskil ketika
melihat ibunya mulai bergelut dengan rasa sakit yang
telah dideritanya cukup lama—tiga tahun terakhir
ini— semenjak ayahnya meninggal. Selama ini meski
lelah, meski terlihat tak lagi sanggup melanjutkan
hidupnya akibat ditinggal suami, ibu Farhan tidak
pernah menolak memeluk anak-anaknya dalam suka
dan duka. ―Oh duhai sayang... sungguh, betapa malang
hidup anak lelaki ini, terhinakan oleh ketidakadilan
nasib di tanah lahirnya sendiri...‖
Dihina kendati tengah berduka akibat
kehilangan sosok seorang ayah, sudah menjadi makan
siang sehari-harinya di sekolah. Namun, semua
diterimanya dengan begitu lapang.
Tapi, tidak kali ini! Sungguhpun ia tak akan
sanggup kehilangan ibunya, sandaran terakhir dalam
hidupnya di dunia yang dipenuhi oleh angkara dan
murkanya selama ini.
―kepada siapa harus kuperuntukkan hidupku
nanti?‖ pikirannya melayang oleh angin malam yang
kejam. Bersamanya jatuh air mata yang menetes dari
rahim ibunya.
***

Di negeri yang berdaulat ini sudah lumayan


lama bersemayam virus mematikan ini; kata mereka.
Namun, para bangsawan yang berdiri di atas jasad-
jasad mereka yang telah berpulang lebih dulu, masih

125 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 126

tidak bisa menemukan obat penenang bagi kaum


jelata yang hidup berdasarkan nurani pemerintah—
seperti Farhan dan Ibunya, misalnya.
Ramadan kali ini sudah cukup menyiksa kaum
muslimin diseluruh negeri ini. Bukan, bukan karena
mereka harus kembali berpuasa—menahan segala
macam nafsu selama sebulan penuh— tetapi, karena
pada bulan suci ini tamu yang tak pernah diundang ke
negeri ini tak kunjung pergi. Sehingga, suka cita
untuk menyambut ramadan tergantikan oleh duka
cita yang mendalam. Bahkan, beberapa orang
akhirnya mengurungkan niatannya untuk pulang ke
kampung halaman, memilih bercengkrama dengan sepi
di tanah rantau.
Beberapa kalimat menyedihkan malah datang
dari para petinggi negeri. ―Lebaran tahun ini jangan
mudik dulu! Takut, nanti malah menyebar sengsara di
kampung halaman!‖ Oleh karenanya, masyarakat
haruslah tunduk meski, kadang hukum dirasa hanya
berlaku bagi mereka—kaum jelata di negeri ini.
Hal ini juga berlaku bagi Farhan dan
keluarganya. Farhan—si manusia miskin harta tapi,
tak miskin pendidikan ini merupakan anak lelaki satu-
satunya kebanggan ibunya, acap kali menyiapkan
segala rupa makanan; hasil uluran tangan orang-orang
kaya katanya, untuk menyambut hari pertama puasa.
Semua dijalani mereka dengan seadanya, hanya
canda tawa kedua adik Farhan yang menjadi menu
utama kala itu. Adapun, ibu Farhan terlihat begitu
legawa dengan keadaan mereka meski, tak sama kala
kehadiran suami tercintanya.
―Ramadan tahun ini tidak ada tumbilotohe5,
mama ee?‖ Farida membuka percakapan dimalam
pertama ramadan mereka. Bukan hanya tumbilotohe
yang ditiadakan oleh pemerintah, tetapi solat
tarawih yang biasanya menjadi pusat keramaian kala
malam hari disetiap masjid, kini haruslah
dilaksanakan di rumah masing-masing.
―Bukan Cuma itu leh, sedangkan solat Id saja
tidak tau dorang pemerintah mo kase ada olo ato
tidak‖6 Farhan melanjutkan kalimat Farida. Ibunya
mengangguk tanda bahwa berita itu memang benar
adanya. Beberapa pejuang keadilan di luar sana
sedang berusaha agar setidaknya solat Idul Fitri
tahun ini haruslah dilaksanakan bersama. Tidak adil
rasanya jika beberapa supermarket bahkan, mal-mal
dibeberapa wilayah dibiarkan buka dan ramai
sepanjang hari, sementara itu hal paling utama pada
bulan ramadan ini tertangguhkan.
‖Ti mama ini bo ba fikir senggol eyy... padahal
senggol ini yang paling ti mama tunggu- tunggu. Bo
disenggol ini torang pe pemasukan bisa tatambah 7‖
Ibu Farhan tiba-tiba menimpali percakapan
antara kakak beradik itu. Memang benar, pasar

127 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 128

senggol merupakan ajang bagi para pedagang untuk


mencari rezeki tambahan kala ramadan.
―sedangkan ini torang mo bajual di pasar saja
dorang so jaga larang. Hiii pata‘o dorang somo suruh
makan apa torang? Sudah kalo dorang mo biaya
kamari torang pe hidop ini selama PSBB wolo botii!‖ 8
lanjutnya, dengan letusan emosi yang tak
tertahankan.
***

Farhan dan adik-adiknya baru saja selesai


melakukan pemeriksaan. Hasilnya negatif. Mereka
terbukti tidak terpapar virus mematikan itu. Hal
inilah yang membuat Farhan begitu terpukul.
Seorang perawat wanita yang mempersilakan Farhan
dan kedua adiknya untuk meninggalkan ruang
pemeriksaan tapi, Farhan bergeming, tak
mengindahkan perkataan perawat wanita itu. Ia
melamun.
―Jadi, untuk beberapa waktu ini kalian hanya
tinggal bersama ibu kalian?‖ salah seorang perawat
membuka percakapan karena melihat kesedihan
dimata anak lelaki itu. Tidak seperti beberapa orang
lainnya yang hanya sekadar bertanya tanpa simpati,
perawat ini kelihatan sedih tentang apa yang harus
menimpa tiga orang anak tanpa ayah ini.
―Iya.‖ Farhan menjawab sesingkat-singkatnya.
Mengurangi kemungkinan dikasihani oleh orang lain.
Cukuplah ia dikasihani oleh dirinya sendiri. Ia tak
ingin kedua adiknya ikut menjadi bahan ejekan
orang-orang sekitar melalui kepura-puraan mereka
dalam bersimpati. ―kami permisi pulang dulu‖
lanjutnya.
―ya sudah. Nanti akan kami kabari mengenai
kondisi ibu kalian jika memang sudah terlihat ada
perkembangan yang berarti‖ Farhan hanya berlalu.
Beberapa waktu yang lalu, sebelum tiga orang
tenaga kesehatan menjemput Farhan serta kedua
adiknya untuk diperiksa, ia sempat diberitahu Une
sahabatnya bahwa salah seorang korban virus ini
meninggal dunia.
―ngana tau so nanti so meninggal kasana dia
itu baru dorang telpon depe keluarga ati‖ 9 Une
dengan menggebu-gebu menceritakan apa yang baru
saja ia dengar dari orang tuanya itu. Memanglah
benar, beberapa orang dibeberapa daerah yang
berbeda tengah mencari tau kebenaran mengenai
virus mematikan ini. Mereka mungkin tengah kesal
terhadap pemerintah setempat yang terlihat begitu
membesar-besarkan masalah ini. Namun, kau
mayoritas malah sangat mendukung apa yang sedang
dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Bagi mereka, agar virus menyebalkan ini
segera musnah maka haruslah mereka bersabar dan
menaati segala aturan pemerintah demi
keberlangsungan hidup di masa depan. Hanya saja,

129 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 130

hal tersebut merupakan kesengsaraan bagi kaum


jelata seperti Farhan dan keluarganya. Dengan
mengikuti anjuran dan aturan pemerintah untuk
berdiam diri di rumah, hanya akan membuat mereka
kelaparan. Apalagi, Farhan tahu dengan jelas bahwa
pembagian bantuan berupa sembako kepada mereka
yang membutuhkan, tidaklah merata. Buktinya,
setelah dua kali pembagian, keluarga Farhan masih
saja tidak kebagian apapun. Membuatnya semakin
jengkel.
―baru ngana tau Aan, ternyata dorang dapa
tau itu yang meninggal itu bo negatif ati, bo dorang
bekeng seolah-olah dia positif, sampe dorang kubur
olo bagitu, sesuai protokol kesehatan jaatan wolo
boyito‖10 Une kembali melanjutkan dongeng di siang
hari miliknya.
―hus nga ini jangan sembarang ba cirita,
dorang mo dapa tangkap seh!‖11 Farhan langsung
menimpali kalimat Une demi keselamatannya.
***

Ramadan kali ini benar-benar berbeda.


Banyak hal yang harus direlakan oleh kaum muslimin
di Gorontalo. Seperti biasanya pada tiga malam
terakhir ramadan, masyarakat akan memulai tradisi
tumbilotohe semeriah mungkin. Namun sayangnya,
kali ini pemerintah melarang pelaksanaan tradisi ini.
Sehingga banyaknya kekecewaan masyarakat yang
harus ditanggung oleh pemerintah adalah hal yang
utama.
Malam itu, Farhan mendapatkan kabar
gembira bahwa keadaan ibunya mulai membaik dan
jika keadaan memungkinkan ia akan segera bertemu
ibunya. Sebagai seorang kakak, Farhan merasa
bingung harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
kedua adiknya. Namun, ia tetap berusaha sebaik
mungkin memberikan pengertian kepada keduanya.
Sekiranya dengan bertemu kembali pujaan
hatinya, Farhan bisa kembali berdiri tegak dihadapan
kedua adiknya tersebut. Ibunya, adalah satu-satunya
pujaan hati yang paling dihormatinya semenjak ia
menetas dari rahim ibunya ke dunia ini.
Berhari-hari setelah kabar gembira itu
Farhan tidak lagi mendapat telepon dari perawat
yang sering mengabarinya. Kabar terakhir yang ia
dengar adalah, penyakit bawaan ibunya sempat
kambuh hingga membuat pasien lainnya ketakutan.
Ibunya pingsan tepat setelah makan malam. Namun,
kabar itu segera tergantikan oleh kondisi ibunya
yang kata mereka mulai membaik.
***

―...lalu kehidupan seperti apa yang harus


dijalankan olehku dan kedua adik kecilku yang malang

131 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 132

ini? sungguhlah sial nasib yang ada dalam


genggamanku ini!‖
Farhan tak kuasa melihat kedua adiknya yang
terus terisak. Mereka bahkan tak diberikan
kesempatan untuk melihat ibunya, untuk yang
terakhir kalinya. Ia berulang kali mengumpat kepada
para petugas medis yang merawat ibunya. Orang-
orang sekitar bukannya merasa iba, yang ada
hanyalah hujatan. Mereka tak mau menerima jasad
ibunya di tanah lahirnya sendiri. mereka menolak.
―kalo kitorang olo mo tatular, dorang mo
tanggung jawab so?‖ 12 teriak salah seorang warga.
Di kepalnya dengan erat tangannya. Tak kuasa
menahan amarah kepada pria paruh baya yang
meneriaki dirinya dan kedua adiknya.
Malam ini adalah malam kedua tradisi
tumbilotohe13—seharusnya diadakan. Farhan tidak
menerima konfirmasi apapun dari petugas medis
mengenai kematian ibunya. ―bukankah ibuku sudah
baikan?‖
Setelah pemakaman, dikatakan bahwa Farhan
dan adik-adiknya akan menerima bantuan. Namun
sebelumnya, mereka harus kembali menjalani
pemeriksaan lebih lanjut mengenai virus tersebut.
Malam tumbilotohe yang seharusnya indah, hanyalah
khayalan dalam bayangan. Padahal, tumbilotohe
adalah malam yang paling dinanti-nantikan oleh
masyarakat Gorontalo.
Namun, pada malam terakhir tumbilotohe—
seharusnya dirayakan penuh suka cita ini, Farhan dan
kedua adiknya tengah berkabung. Dibawanya tiga
buah lampu botol menuju makam pujaan hatinya itu.
Bersama seikat harapan yang selama ini ia panjatkan
dalam solatnya, dikuburkannya dalam-dalam.
Pikirannya mulai melanglang buana. Pikiran negatif
menggerogoti kepala dan hatinya. Malam-malam
terakhir ramadan dihiasi oleh duka.
―Bukankah ibuku juga sedang dalam keadaan
sakit-sakitan? Mereka hanya memperindah
kalimatnya menjadi karantina atau isolasi.
Sementara, kabarnya ibuku tidak benar-benar
ditangani menurut penyakit yang dideritanya.
Mereka hanya fokus dalam penanganan virus dan
melupakan penyakit ibuku. Bagaimana jika ibuku
meninggal karena sakit yang dideritanya selama ini?‖
Beberapa orang lainnya begitu merindukan
tradisi Gorontalo dibulan ramadan yang ditiadakan
oleh pemerintah setempat akibat virus mematikan
tengah menggerogoti tubuh negeri ini. Beberapa
orang lainnya—seperti Farhan dan kedua adiknya,
misalnya, tengah merindukan kedua orang tuanya.
Farhan merindukan masa-masa dimana mereka selalu
ikut meramaikan malam tumbilotohe bersama. Penuh

133 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 134

canda tawa. Dan, kini, hanya ada kenangan


menyakitkan.
Hanya ada rindu yang akan menjadi belenggu
setiap kali ramadan datang menyapa di negeri
Serambi Madinah14 ini. Di sini, dimalam terakhir
tumbilotohe Farhan meletakkan lampu- lampu botol
itu di samping pusara milik ibunya. Semoga ziarah di
malam terakhir ramadan ini, ibunya tidak akan
merasa kesepian. Semoga, rindu ibunya karena
perpisahan saat ia hidup hingga jelang kematiannya
bisa tertutupi oleh kenangan indah saat mereka
duduk bersama menikmati tumbilotohe di pesisir
pantai rumah mereka.
Farhan kembali terisak, sembari menatap
lamat-lamat kepada kedua adik kecilnya.

***

1 Tradisi memasang lampu-lampu botol menjelang tiga malam terakhir ramadan di

Gorontalo

2 Tidak perlu pergi ke pasar

3 Kalau tida ke pasar, kalian mau makan apa?


4
Makanya kamu harus sekolah dengan benar. Coba lihat nasib orang-orang miskin

seperti kita bagaimana? Sekolah adalah satu-satunya harapan masa depan kita.

5 Pasang lampu (tradisi malam pasang lampu/lampu botol di Gorontalo)

6 Bukan itu saja, solat Id juga kemungkinan ada atau tidak


7 Aku hanya memikirkan senggol (pasar malam yang biasanya diadakan setiap

sepuluh hari sebelum ramadan berakhir). Pasar senggol ini adalah yang paling

ditunggu-tunggu untuk menambah pemasukan kita‖

8 Berjualan di pasar juga sudah dilarang. Jadi kita harus makan apa untuk sehari-

hari? Kalau hidup kita akan dibiayai oleh pemerintah selama PSBB ini, tidak

masalah.

9 Kamu tahu tidak? Setelah korban meninggal, barulah mereka memberitahu

keluarga

10 Kamu tahu tidak? Salah satu korban meninggal ternyata negatif hasilnya.

Mereka hanya membuatnya seolah -olah positif dengan cara penerapan protokol

kesehatan virus ini.

11 Hei, sebaiknya kamu jangan sembarangan biacara. Supaya kamu tidak ditangkap

oleh pihak kepolisian

12 Nanti kalau kita semua tertular, apa kalian mau tanggung jawab?

13 Malam pasang lamu (tradisi pasang lampu di provinsi Gorontalo)

14 Julukan untuk provinsi Gorontalo

135 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 136
Portal
Karya : Juwita Zahar

Kalau kau meminum darah perawan sambil


menyusuri hutan larangan di tengah hujan di bulan
April, kau akan mampu membuka portal menuju masa
lalu. Dia akan membawamu ke masa di mana jiwamu
menjerit memujanya.
***

Tak ada kebahagiaan melebihi hari ini, hari di


mana istri yang kucintai akhirnya menyimpan benih
cinta kami di dalam rahimnya. Tiga tahun lamanya kami
tak henti berdoa, memohon agar dikaruniakan buah hati
pelengkap rumah tangga. Hingga akhirnya kebahagiaan
wanitaku membuncah kala menunjukkan dua garis merah
tegas terpampang jelas di alat tes kehamilannya.
Hari-hari kami lalui penuh suka cinta, tak putus
rasa syukur kami panjatkan atas terkabulnya doa-doa.
Hingga waktu bergulir begitu cepatnya saat kami
sedang berbahagia. Tujuh bulan sudah usia kandungan
istriku. Perutnya yang semakin membuncit, tidak pernah
dijadikan alasan baginya untuk berleha-leha.
Dia tetap melakukan aktivitasnya sebagai ibu
rumah tangga, meski aku tak pernah menuntutnya.
Wanitaku hanya tidak sabar jika disuruh diam, tidak

137 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 138

melakukan apa-apa. Tubuhnya malah terasa pegal-pegal


jika sehari saja tidak menyapu, mengepel dan memasak.
Meski semua dilakukannya dalam tempo dua kali lebih
lambat dari biasanya.
Kulihat wajahnya semakin memesona berkat
aura keibuannya yang menguar kuat. Tubuhnya juga
semakin montok berisi, membuatku ingin menerkam
setiap kali melihatnya. Demi Tuhan, cintaku padanya
beranak-pinak, perasaan ini bahkan lebih kuat dibanding
ketika aku pertama kali melihatnya.
Hari ini istriku meminta diantarkan ke pasar,
dia ingin berbelanja keperluan bayi karena waktu
kelahirannya sudah semakin dekat. Tentu saja aku
menyanggupinya. Kuparkirkan motor di seberang pasar,
karena parkir di dalam pasar pasti penuh dan aku tidak
mau ambil pusing soal ini. Berjalan sedikit lebih jauh
tidak apa-apa, pikirku.
Ketika aku sedang memarkir motor, istriku
langsung menyeberang jalan tanpa menungguku,
sepertinya dia sudah tidak sabar untuk berbelanja.
Baru saja aku hendak menyusulnya, terdengar suara
decit ban mobil beradu dengan jalanan aspal. Dalam
adegan gerak lambat, kulihat tubuh istriku dihantam
begitu keras oleh badan mobil, tubuh gembulnya
melayang di udara lalu terhempas keras menghantam
bumi. Tak pernah terbayangkan akan ada hari yang
begitu meluluhlantakkan perasaan seperti hari ini.
Jiwaku tersedot dari tubuh. Pandanganku berubah
gelap, tubuhku tersungkur di atas aspal.
Hari itu aku kehilangan keduanya sekaligus.
Istri dan janin yang di kandungnya tidak dapat
diselamatkan. Tak ada air mata yang meleleh, hanya ada
lubang hitam besar yang seakan menelanku hidup-hidup.
Rasa marah, rasa bersalah, rasa sedih, semua bersatu
menggerogoti hatiku.
Kupandangi wajah damai istriku dalam balutan
kafan. Mimpi indah kami akhirnya terwujud, namun
harus berakhir tragis dalam sekejap. Kuguncangkan
tubuhnya, kuteriakkan namanya, namun dia tetap
bergeming. Meninggalkanku sendirian dalam kehampaan.
Hari-hariku tak pernah lagi sama. Diriku pun tak
pernah lagi sama. Jika orang bilang laki- laki gampang
jatuh cinta, gampang menikah, bahkan gampang
menduakan hati, hal itu tidak berlaku untukku. Dua
tahun sudah hatiku dibawa pergi. Dua tahun aku
menjalani hari- hari seperti mayat hidup. Tak lagi ada
artinya aku hidup jika tidak ada kekasih hatiku.
Kalian boleh mengatakan aku menyiksa diri
ketika kuciptakan kubangan rindu yang semakin
membuncah setiap kali kubuka album foto di ponsel.
Menikmati indah wajahnya yang berbalut tawa bahagia.
Cantik sekali, belahan jiwaku yang tak akan pernah
terganti. Air mata yang tak meleleh saat kepergiannya,
kini mengalir deras, membasahi jiwaku yang kerontang.

139 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 140

***

Sejauh apa rasa rindu akan membawamu?


Mampukah ia menjadi kekuatanmu melintasi
kemustahilan?
Jika ada sedikit saja kemungkinan untuk
bertemu, akankah kau menerobos ruang dan waktu
untuk menemuinya?
Temuilah dia! Dia yang katamu adalah kekasih
hati, separuh jiwamu! Berdirilah layaknya pria perkasa!
Berhenti menangisi kepergiannya Lakukan
sesuatu! Bangkitlah!
***

Aku terbangun dengan peluh membasahi seluruh


tubuh. Napasku memburu, jantungku berdetak liar.
Siapa tadi yang berbicara di dalam mimpiku? Apa yang
sedang dibicarakannya? Seingatku, tak ada sosok siapa
pun di dalam mimpi, semuanya gelap, pekat, hanya ada
satu suara yang menggema, bahkan setelah aku
terbangun.
Mimpi itu terus menghantui, bahkan menguntit
malam-malamku. Memaksaku untuk menuruti
kemauannya. Semakin sering aku bermimpi, semakin
jelas perintahnya. Darah perawan, hutan terlarang,
portal ke masa lalu. Tiga hal yang selalu ditekankan oleh
Si Pemberi Perintah, begitulah aku menyebutnya.
Akalku tentu menolaknya mentah-mentah, tapi
kerinduan yang tak tertahankan ini memadamkan segala
logika. Aku menyerah. Kerinduan yang sangat mendalam
berhasil membutakan segalanya. Aku ingin bertemu
dengannya. Setidaknya, aku ingin mencobanya, meski
usaha ini yang terdengar tidak masuk akal.
Jangan menghakimiku, aku pun tak tahu harus
bagaimana lagi untuk tetap hidup dalam dunia di mana
tidak ada kekasih hatiku. Sudah kuputuskan, jika dia tak
lagi hadir di sisiku, maka giliranku yang akan pergi ke
masa lalu untuk menghidupkannya. Persetan dengan
logika.
Aku mulai menyusun rencana. Langkah pertama
yang kulakukan adalah mencari tahu di mana itu hutan
terlarang? Karena aku tidak pernah tahu ada hutan
dengan nama itu di sekitaran sini. Kuharap letaknya
tidak terlalu jauh. Aku bertanya pada para tetua
mengenai hutan terlarang, sayangnya tidak ada yang
bisa memberikan informasi yang tepat, selalu saja
diawali dengan ‗katanya‘.
―Hutan itu tak bisa dilihat dengan mata
telanjang, Nak. Hanya orang tertentu yang bisa
melihatnya. Itu tergantung niatmu juga, apa tujuanmu
ke sana.‖ Seorang kakek tiba-tiba menghampiriku. Aku
sama sekali tidak mengenalnya. Kurasa dia juga bukan
salah satu penduduk desa ini. Jenggotnya yang putih
memanjang sampai ke dada, pakaian jubah lusuhnya yang

141 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 142

menyentuh tanah, sama sekali bukan ciri orang yang


biasa kulihat di sini.
Orang ini bukan orang sembarangan, aku bisa
merasakan aura mistis menyelimutinya. Kuharap dia
bisa membantuku. ―Saya ingin membuka portal ke masa
lalu, konon letaknya di dalam hutan terlarang. Bisakah
Anda membantuku?‖
Alis matanya terangkat sedikit karena kaget,
lalu beberapa detik kemudian seulas senyum dia
sematkan di wajahnya. ―Kau sudah paham risiko yang
akan kau dapat jika berhasil melakukannya?‖
***

Aku yakin, dia hanya menggertak. Dia ingin tahu


seberapa kuat niatku. Aku tak akan gentar dengan
ancamannya. Lihat saja!
―Kau salah, Anak muda. Aku bukan mau
menggertak atau mengancam, tapi kau harus siap dengan
akibat yang akan kau timbulkan jika portal itu berhasil
dibuka lalu kau berhasil masuk ke masa lalu. Perlu kau
ingat, takdir bekerja dengan cara-Nya, sekeras apa pun
usahamu untuk mengubahnya, jika Dia tidak
berkehendak, kau tidak bisa melakukan apa-apa.
Terimalah itu. Bisa jadi segala usahamu hanya akan
terbuang sia-sia. Kau mengerti?‖ Dia berkata panjang
lebar, dalam nada tenang namun tetap tegas. Kalimat
demi kalimat diucapkan penuh dengan penekanan.
Keputusanku sudah bulat, aku akan
menemukannya, aku akan melintasi portal itu, apa pun
risikonya. ―Aku mengerti.‖ Kuanggukkan kepalaku
dengan mantap. Kakek tua itu menghampiriku,
meletakkan telapak tangannya di atas ubun-ubunku, lalu
mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak aku
mengerti.
Setelahnya, dia menunjuk sebuah arah sambil
berkata, ―Pergilah ke arah barat di ujung desa ini.
Berjalanlah tanpa henti hingga kau menemukan sebuah
danau. Danau yang tenang, dengan air kehijauan,
permukaannya adalah hutan terlarang yang tak
kasatmata. Aku sudah membuka indra keenammu, kau
akan tahu ketika sudah sampai di sana. Semoga berhasil,
Anak muda. Ingatlah, kau tak bisa melawan takdir.
Batalkan rencanamu selagi masih bisa.‖
―Tidak akan pernah!‖
***

Satu masalah selesai, tinggal aku bereskan


masalah lainnya. Darah perawan. Bagaimana aku bisa
membedakan gadis yang masih perawan dengan yang
tidak lagi perawan? Tidak ada ciri khusus antara
keduanya.
―Om, punya plester luka?‖
Itu adalah keponakanku yang tinggal di sebelah
rumah. Di desa ini, kebanyakan penghuninya masih satu

143 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 144

kerabat antara tetangga yang satu dengan yang lain.


Bibiku tinggal di sebelah rumah, dan yang sekarang di
depan rumahku adalah anak gadisnya yang berusia tiga
belasan tahun. Tunggu dulu, aku baru saja mendapatkan
ide.
Aku memintanya masuk dengan dalih kotak
obatku ada di dalam rumah. Darah menetes dari ujung
telunjuknya, cukup deras, sepertinya karena teriris
pisau.
―Kalau orang-orang tua, Dik, tidak perlu pakai
plester. Cukup disedot saja darahnya pakai mulut, nanti
juga sembuh sendiri,‖ ucapku berusaha meyakinkannya.
―Ludah juga mengandung zat kimia tertentu
yang bisa mempercepat berhentinya darah yang keluar,
sini jarimu ….‖ Aku meraih telunjuknya, lalu menyesap
darah segar yang menetes tanpa henti.
Anyir, manis, getir. Jadi begini rasanya darah
perawan. Ini pertama kalinya aku meminum darah,
ternyata rasanya begitu menyegarkan. Keponakanku pun
tidak melawan, dia membiarkan telunjuknya kucecap
sampai tidak ada lagi darah yang mengalir keluar. Aku
pun tidak mau melakukannya secara berlebihan.
Bagaimana pun, aku tetap manusia, bukan makhluk
penghisap darah.
―Om benar, darahnya sudah tidak keluar lagi.
Terima kasih, Om,‖ ucapnya sambil berlalu pergi.
Tak sabar rasanya menunggu sampai bulan
April. Rencana sudah kususun sedemikian matang hanya
tinggal menunggu eksekusi. Soal lokasi, aku sudah
menuruti arahan kakek tua itu, berjalan ke arah barat
hingga menemukan danau berair kehijauan. Aku berhasil
menemukan danaunya, tapi hutan larangannya tidak
tampak di mana pun.
Rasanya aku menemukan hidupku.
Mempersiapkan segala sesuatunya untuk bertemu
belahan jiwa, membuatku bersemangat melalui hari-
hari. Lagi-lagi kubuka gallery ponsel, foto demi foto
kupandangi penuh rasa cinta. Perasaan rindu ini
berbeda dengan sebelum- sebelumnya.
Kalau dulu aku meratapi kematiannya dan
menyiksa diriku dengan memandangi foto- fotonya, kini
aku melakukannya dengan suka cita, dengan
pengharapan dan kepercayaan diri bahwa aku pasti akan
menemuinya. Tunggu aku, duhai kekasihku. Sebentar
lagi aku akan datang menemuimu.
Bulan April yang kunanti telah tiba. Musim
kemarau panjang menyiksa hari demi hari dengan rasa
panas yang kadang di luar batas. Mengharap hujan
turun pada saat begini adalah kemustahilan. Tapi tidak
bagiku. Hujan di bulan April pasti akan turun. Aku tahu
hanya akan satu kesempatan dalam setahun, jadi tidak
boleh ada sedikit pun kesalahan. Tidak boleh!
Pagi ini terasa panas luar biasa. Baru sepagi ini
tapi tubuh sudah mandi keringat. Siangnya, awan kelabu

145 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 146

tiba-tiba mendatangi desa kami. Udara yang panas terik


berubah dingin. Kurasa inilah saatnya.
Segera kupanggil keponakanku di rumah
sebelah. Kuminta untuk masuk ke dalam rumah dengan
iming-iming uang seratus ribu rupiah. Umpanku kena. Di
luar, langit mencurahkan air dengan begitu derasnya,
membasahi bumi yang tandus, membuat senyumku
semakin lebar. Hujan semacam ini tidak akan
berlangsung lama, aku harus bergegas.
Keponakanku mulai merasakan keanehan, dia
berlari menuju pintu keluar, tapi aku berhasil
menangkapnya. Kuseret tubuh ranumnya sampai ke
dapur, kurentangannya tangannya di atas meja, lalu
kupotong pergelangan tanggannya dengan pisau daging
yang rutin kuasah setiap hari. Dia berteriak nyaring,
meluapkan rasa sakitnya. Dia meronta, memohon, dan
menangis di saat aku sibuk mengumpulkan darahnya ke
dalam gelas.
Tak peduli lagi akan jadi apa aku setelah ini.
Apakah akan masuk penjara karena menyiksa keponakan
sendiri? Ataukah nyawaku akan hilang di tangan
pamanku sendiri? Aku tak peduli. Apa yang akan
terjadi, terjadilah.
Setelah kurasa cukup, aku berlari menuju arah
barat desa, ditengah guyuran hujan yang sangat
menyegarkan ini, tubuhku bagai melayang. Aku bahagia,
sebentar lagi rinduku akan terbayarkan. Dua tahun
adalah waktu yang terlalu panjang untuk kuhabiskan
tanpa didampingi kekasih hatiku. Kini, semuanya akan
terbayarkan. Tak lama lagi, tunggulah!
Curah hujan semakin surut, tidak ada waktu lagi,
aku harus mempercepat laju lariku. Aku sudah
melihatnya, danau dengan air kehijauan sudah di depan
mata. Meski kakiku harus terlepas dari tubuh, aku tak
peduli lagi, kupacu kakiku untuk berlari lebih kencang
lagi.
Hujan nyaris berhenti saat aku sampai di danau.
Kubuka penutup gelas, lalu kuminum darah segar
perawan sedikit demi sedikit. Tiba-tiba permukaan
danau yang semula berisi air kehijauan, berubah
menjadi hutan aneh. Pohon-pohonnya tak pernah kulihat
sebelumnya. Tinggi menjulang, dengan akar-akar yang
bertonjolan di atas tanah. Dahan-dahannya seolah
memintaku untuk masuk ke dalam. Tidak ada jalan
kembali, aku harus masuk. Bukankah ini yang aku
inginkan?
Hutan larangan, segalanya serba aneh di dalam
sini. Akar-akar yang bertonjolan di atas tanah melilit
kakiku dengan erat, lalu dahan-dahan pohon
mencengkeram tubuhku kuat-kuat membuatku
terhempas ke batang pohon yang usia mungkin sudah
ratusan tahun. Aku tak bisa bernapas, bukan ini akhir
yang kuharapkan.
Makhluk ini mungkin kuat, tapi tekadku lebih
kuat. Kupaksakan tanganku meraih gelas berisi darah
perawan, lalu kuminum sampai habis. Ajaib, akar pohon

147 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 148

yang melilit kakiku tiba-tiba merasuk ke dalam tanah,


dahan pohon yang memanjang dan mencekik leherku,
kini memendek. Makhluk itu kini tampak seperti pohon
biasa. aku berlari, mencari yang mereka sebut sebagai
portal.
Pohon yang paling besar terletak di tengah
hutan. Sebuah pohon raksasa, begitu tinggi menjulang
hingga aku tak bisa melihat dedaunannya di atas sana.
Kutebak lebar pohon itu lebih dari sepuluh meter. Di
batangnya, terlihat ada sebuah lingkaran berpendar.
Tidak salah lagi, lingkaran itulah portalnya! Aku
melangkah masuk kedalam lingkaran.
Yang terjadi selanjutnya adalah kejadian dua
tahun lalu. Aku dan istriku bersepeda motor menuju
pasar. Aku bukannya sedang menonton diriku sendiri,
tapi akulah yang mengalami semua itu. Aku berhasil
menembus ruang dan waktu!
Kupinggirkan motor di jalanan sepi, lalu kupeluk
erat istri yang selama ini kurindukan. Ya Tuhan,
kuharap waktu berhenti saat ini. Wangi sampo yang
kurindukan, menguar dari rambut panjangnya. Tubuh
tambunnya terasa hangat dalam pelukanku. Aku
berhasil bertemu lagi dengannya, aku berhasil
menuntaskan rinduku.
―Ada apa, Mas?‖ bisiknya di telingaku.
Dia tidak akan mengerti meski aku menjelaskan
segalanya padanya. Tak perlu berkata- kata,
merangkumnya dalam pelukan sudah cukup bagiku. Tak
akan kulepaskan lagi, dirimu, duhai separuh hidupku. Air
mata tumpah tanpa bisa kucegah, aku sampai terisak
dan tergugu. Ini adalah tangis bahagiaku.
―Aku merindukanmu, Sayang, teramat rindu.‖
Aku tahu dia tidak akan mengerti. Tapi dia bergeming
dan tetap membalas pelukanku dengan erat hingga
tubuhnya terasa meleleh di dadaku.
Kulepaskan pelukanku, lalu kutatap wajah
ayunya yang begitu menentramkan. Melihatnya secara
langsung seperti ini sungguh jauh lebih membahagiakan
dibanding melihatnya dalam foto. Kuperhatikan dengan
saksama setiap detil wajahnya. Bulu matanya yang lentik,
iris matanya yang kecokelatan, semua yang ada di
dirinya sungguh aku suka.
―Kita nggak usah ke pasar, Sayang. Besok-besok
saja ke pasarnya. Hari ini kita pulang, ya?‖ Aku harus
membawanya pulang, mencegah takdir berkuasa lagi
atas diri istriku. Meski wajahnya cemberut, tapi dia
menurutiku, tanpa merajuk. Percayalah, Sayang, ini
untuk kebaikanmu sendiri, kebaikan kita.
Saat kembali ke atas motor, dia kesulitan untuk
naik karena perutnya yang semakin membuncit.
Akhirnya kami pulang, kulajukan motor perlahan-lahan.
Tiba-tiba istriku mengubah posisi duduknya, aku tidak
siap hingga membuat motorku menjadi oleng. Istriku
terjatuh dari motor kemudian tubuhnya dihantam keras
oleh mobil dari arah belakang.

149 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 150

Pemandangan itu terulang lagi, tubuh tambunnya


melayang di udara lalu berakhir dengan hantaman keras
pada aspal yang panas. Melihat pemandangan yang sama
untuk kedua kalinya tidak serta merta mengurangi rasa
sedihku. Hatiku justru semakin hancur. Pandanganku
berubah gelap, kurasakan tubuhku juga akhirnya
menghantam aspal panas.
***

Aku terbangun di pinggir danau. Hutan larangan


sudah tidak ada lagi, begitu pula dengan istriku. Aku
meraung, menangis sekeras yang aku mampu,
meneriakkan sumpah serapah pada takdir yang
menghancurkan hidupku. Padahal sedikit lagi, tinggal
sedikit lagi, maka aku akan bisa menyelamatkannya dari
kematian. Kalau saja aku tidak memeluknya lama-lama
untuk melepas rindu, akankah kami berhasil sampai di
rumah dengan selamat? Apakah ini hanya masalah
waktu? Jika aku bisa membawanya pulang lebih cepat
dari waktu kematiannya, akankah takdir berbaik hati
melepaskannya? Akan kucari tahu di bulan April tahun
depan. Aku janji!
Sekarang aku tak bisa pulang, mungkin aku
sudah dilaporkan polisi sekarang dan menjadi buronan.
Meski yang kulakukan bukan tindak pembunuhan, tetap
saja, jika dipenjara, aku akan melewatkan bulan April
tahun depan dan melewatkan kesempatan untuk
mencoba menyelamatkan istriku lagi.
Kuputuskan untuk tinggal di desa sebelah, yang
letaknya tak jauh dari danau. Aku berbaur, dengan
sedikit uang yang aku punya, aku mencoba berdagang.
Mencoba memulai hidup baru, sebagai orang baru,
memulai semuanya dari nol. Aku harus bisa bertahan,
paling tidak selama setahun ke depan, sambil mencari
gadis perawan yang baru.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seorang gadis
cantik mendatangi kios makananku. Tak ada yang
spesial, dia memesan beberapa bungkus makanan untuk
dibawa pulang. Setiap kali mata kami bertemu, dia akan
tersipu malu, wajahnya memerah. Sama sekali tidak
menarik minatku. Tidak ada yang lebih cantik dibanding
istriku, seujung kuku pun kau tidak akan mampu
menandinginya.
Setiap hari gadis itu datang ke kios makananku,
selalu memesan beberapa bungkus makanan untuk
dibawa pulang. Meski awalnya malu-malu, lambat laun
sikapnya mulai semakin berani. Awalnya curi-curi
pandang, lama kelamaan dia berani menatap mataku lalu
mengunciku dalam netranya. Ah, gadis ini bisa
kumanfaatkan juga.
Keesokan harinya, aku menutup kios makananku,
lalu pergi ke rumah gadis itu. Matanya sampai
terbelalak ketika melihat kedatanganku.
―Aku ingin bertemu dengan ayahmu,‖ ucapku
sambil tersenyum.

151 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 152

Dia tergagap, lalu masuk ke dalam rumah,


memanggil ayahnya. Kuutarakan maksud kedatanganku
untuk melamar anak gadisnya. Tak kusangka, respon
mereka sungguh menggembirakan. Si gadis sampai
melompat kegirangan. Syukurlah, aku juga senang,
karena aku bisa mendapatkan tempat tinggal dan
perlindungan.
Pernikahan kami diselenggarakan secara
sederhana, yang penting sah dan tidak menjadi omongan
tetangga, itu sudah cukup. Aku merasa telah
menghianati istriku dengan menikah lagi, tapi kuharap
nanti dia akan mengerti bahwa ada maksud di balik
semua ini.
Aku tidak akan menyentuh istriku. Dia masih
perawan dan aku akan mempertahankannya sampai bulan
April tahun depan. Karena hanya itulah kedudukannya di
hatiku, darah perawannya lah berguna untukku.
―Pernikahan kita sudah berlangsung selama
enam bulan, tidakkah kau menginginkan seorang anak
dariku?‖ tanyanya suatu hari.
Aku memandangnya sekilas, lalu melanjutkan
pekerjaanku, memetik tauge untuk kios makananku.
―Kau masih muda, apakah kau ingin punya anak di
usia semuda ini?‖
Dia mendekatkan tubuhnya, menempelkan tubuh
depannya ke lenganku. ―Tentu saja aku ingin, aku kan
istrimu,‖ jawabnya malu-malu.
Cih, dasar gadis tidak tahu malu! Aku
melenggang meninggalkannya. Bersabarlah sampai tahun
depan, kau bisa bebas bersama pria mana pun yang kau
mau, asal aku sudah mengambil darah perawanmu.
Waktu berputar begitu cepat, bulan depan
adalah waktu yang paling kunanti-nanti. Setahun ini aku
sudah merencanakan semuanya. Kali ini tidak akan gagal
lagi. Aku benar- benar akan membawa istriku pulang,
aku sangat percaya akan hal itu.
―Kau percaya pada mitos tentang danau di desa
sebelah?‖
Aku menoleh pada gadis yang menjadi istriku.
Tak kusangka dia mengetahui tentang kisah danau itu
juga.
―Aneh jika laki-laki sehat sepertimu menolak
tubuh ranum seorang gadis selama hampir setahun.
Karena itu aku mencari tahu tentangmu di desa
sebelah.‖
Ucapannya membuatku terhenyak. Tidak
seharusnya aku merendahkan kemampuan seorang
wanita yang disakiti. Jadi kini dia sudah tahu semuanya
tentangku.
―Kenapa kau tidak mencoba membuka hatimu,
daripada repot-repot melawan takdir?‖
Aku mendengkus. ―Itu karena aku sangat
mencintainya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan
posisinya di hatiku,‖ balasku pedas.

153 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 154

Dia tersenyum. ―Aku tidak memintamu


melupakannya. Kau bisa menyimpan kenangan
tentangnya di dasar hatimu, beri kesempatan untuk
bagian hatimu yang lain agar bisa merasakan cinta juga,
cinta yang baru. Dengan senang hati aku akan
mengisinya.‖
Kudekati dia, kuraih dagu yang lancip itu, dagu
milik gadis sombong yang berkoar-koar akan
membuatku jatuh hati padanya. Cih, tak sudi! ―Aku
tidak punya hati untuk dibagi. Kau terlalu percaya diri,
gadis angkuh!‖
***

Hujan di bulan April akhirnya datang juga,


rencanaku sedikit keluar dari jalur karena gadis perawan
itu tiba-tiba mengetahui niatku. Tidak ada waktu untuk
mencari gadis perawan yang lain. Petir menyambar-
nyambar, tapi sedikit pun tidak membuat gadis itu
terbangun. Jika aku membunuhnya, darah perawannya
tidak akan segar lagi. Aku harus mencari cara untuk
mendapatkan darahnya selagi dia masih hidup.
Aku mengambil sebuah bantal dari atas tempat
tidur, kubekap wajah menjijikkannya hingga dia
menggelepar-gelepar bagai ikan keluar dari air. Aku
hanya perlu membuatnya pingsan, hingga aku bisa
leluasa mengambil darah perawannya.
Yang terjadi kemudian adalah kepalaku bagian
belakang tiba-tiba dihantam benda keras. Ketika
membalik tubuhku, kulihat ada ayah mertuaku berdiri
di sana, sedang mengangkat sebuah batu besar yang
dihantamkannya lagi ke kepalaku. Jika aku mati,
akankah aku bertemu dengan kekasih hatiku di alam
lain? Jika iya, aku sungguh tidak keberatan kalau harus
mati.
Itulah kejadian terakhir yang aku ingat. Ketika
aku membuka mata lagi, aku sedang berada di tempat
sempit dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun.
Tubuhku pun terikat kuat. Aku juga tidak bisa
bergerak. Tiba-tiba kurasakan hawa dingin memenuhi
ruang sempit ini. Seketika kurasakan ruangan melebar,
lalu tanpa adanya kuasa dariku, tubuhku terduduk
dengan posisi masih terikat. Meski gelap, aku bisa
merasakan kedatangan seseorang.
Seseorang dengan hawa mencekam. Tak bisa
kulukiskan dengan pasti, yang jelas ketika dia datang,
kengerian langsung terasa. Dia membawa sebuah pisau
panjang, entah apa namanya, pisau itu berkilat-kilat di
tengah kegelapan. Dan ternyata bukan satu orang yang
menghampiriku, tapi dua, dua mahluk ganas yang
mengerikan. Kurasakan tubuhku bergetar hebat tanpa
bisa kukontrol ketika dua makhluk itu merangsek maju
mendekatiku. Pisau panjang yang berkilat itu
disentuhkan ke leherku, sambil mereka berkata, ―Man
Robbuka?‖

155 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 156

Batas
Karya : Mariska Nolinia Harefa

Kamar itu sudah kosong, tak benar-benar


kosong, ada satu tas ransel hitam dan satu tas jinjing
besar, tas khas pulang kampung, bermerek salah satu
produk kecantikan. Beberapa menit lalu, aku
meninggalkan kamar kos yang terletak di lantai tiga
sebuah ruko. Berjalan kaki menyusuri teras pertokoan
di kawasan pasar sudah biasa kulakukan. Kudekap erat
tas selempang kecil di depan perutku, dengan ramainya
lalu lintas pasar, bukan tidak mungkin banyak jambret
yang memanfaatkan situasi. Sedikit terik pagi itu, tapi
tak menyurutkan niatku bertemu dengan Pastor, yang
mana saja boleh, aku tidak pernah benar-benar kenal
dengan salah satu Pastor di rantau ini, sama dengan di
kota asalku dulu.
Di halaman gereja, siapa sangka aku bisa
bertemu dengan Uskup, salah satu pimpinan dalam
hirarki agama Katolik. Entah keberanian darimana aku
memperkenalkan diriku pada Uskup dan menyebut nama
orangtuaku. Uskup kenal baik dengan orangtuaku, tapi
tidak denganku, aku pasif. Uskup dengan ramah
meresponku, sungguh perasaan senang yang luar biasa
mengingat selama ini ketika semua umat gereja
berbondong-bondong menyapanya, aku memilih
menjauh, bukan hal yang esensial menurutku.
Kegembiraan itu tak berlangsung lama, beliau harus
segera pergi melanjutkan urusannya. Setidaknya,
pertemuan singkat itu memberikankan energi tambahan
untuk melakukan misi pagi ini. Aku menunggu dengan
perasaan tak menentu di ruang tamu pastoran. Pastor
pun datang, dan langsung menyambutku dengan candaan.
―Mau daftar kursus persiapan perkawinan?‖
kelakar Pastor, mungkin juga setengah serius. Kursus
persiapan perkawinan adalah syarat wajib bagi calon
pasangan suami istri yang ingin menikah secara Katolik
di gereja, semacam pendalaman ilmu tentang seluk
beluk pernikahan terutama dari segi agama dan medis.
Responku selalu sama ketika banyak orang mulai
bertanya tentang pernikahan, tersenyum lebar seolah
mengiyakan namun tak peduli, dan mengulang-ngulang
dalam hati bahwa aku belum siap. Meski berumur 25
tahun, aku sadar ada sesuatu yang membuatku tak siap
menjadi seorang dewasa dengan polemik, intrik, dan
drama. Pernikahan bukan misiku saat ini, misiku adalah
mencari tahu apa yang hilang.
Obrolan tentang karakter, jati diri, orangtua,
keluarga, dan masa depan acapkali membuatku sesak.
Tangis pun tak bisa kuelakkan, bahkan di depan orang
yang tidak tahu apa-apa tentang hari-hariku. Lalu,
seringkali berahkir tanpa solusi yang sepadan, seperti
saat ini.
***

Aku kembali merasakan atomosfer kota


kelahiranku. Aku juga merasakan segarnya udara di
halaman rumah orangtuaku, halaman yang selalu
dipenuhi berbagai tanaman, jadi tempat bermain yang
ideal untuk kupu-kupu, belalang, dan kepik. Lega
rasanya kembali ke kota ini lagi, tapi tak serta merta
menghilangkan ingatanku tentang perantauan,

157 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 158

terutama siang saat supir travel membantuku


memasukkan tas ransel hitam dan tas jinjing besar, tas
khas pulang kampung bermerek salah satu produk
kecantikan, ke dalam bagasi. Saat itu aku tak sempat
berpamitan dengan ibu kos, dia tidak di rumah, hanya
bisa pamit dengan setengah berteriak kepada bapak
kos yang ada di balkon lantai dua ruko.
Aku mulai lagi dari nol. Mencari pekerjaan.
Jujur, aku senang menjadi pengangguran, bermalas-
malasan di rumah sepertinya sudah jadi kebutuhan. Aku
bahkan tak terobsesi dengan gaji tinggi, aku selalu
berprinsip kenyamanan saat bekerja adalah yang
terpenting. Hal ini juga yang menjadi salah satu
alasanku berhenti berkarir di kota sebelumnya. Tidak
nyaman dan terbeban. Beberapa bulan berlalu, aku
sudah memiliki lima murid les privat, banyak teman yang
membantu merekomendasikanku pada orangtua murid.
Aku senang mengajar, bahkan senang menceramahi
murid-murid yang bebal dan tidak mau patuh pada
aturan yang kuterapkan. Entah mereka yang kepala
batu atau aku yang terlalu mengagung-agungkan
keharmonisan, ketenangan, dan etik. Aku tidak nyaman
menjalani profesi guru di sekolah, terlebih dengan
sistem, administrasi, atau adanya konflik-konflik
internal dalam lembaga. Aku paham betul semua bidang
pekerjaan pasti mengalami hal itu, itulah sebabnya aku
sangat anti dengan pekerjaan kantoran yang cenderung
bekerja dengan data-data. Alternatif paling aman
adalah menjadi guru les privat. Itu yang kupikirkan
sebelum aku benar-benar mendalami keadaan
sebenarnya.
Aku senang dengan psikologi anak-anak, bahkan
dulu pernah ingin masuk jurusan itu. Aku senang
mendidik mereka dengan caraku, aku takkan kehabisan
media ajar untuk membuat mereka senang belajar. Tapi
aku sering lupa, apapun yang kita lakukan, tetap saja
akan ada orang yang tidak menyukainya, dan itu sudah
sangat lumrah. Begitupun dengan respon mereka, lebih
memilih bermain, terdistraksi dengan banyaknya mainan
yang ditemukan di beberapa sudut rumah, tidak
menghiraukan, keras kepala, cengeng, dan macam-
macam sifat lain khas anak-anak sekolah. Kekecewaan
terbesarku adalah ketika mereka tidak bisa menghargai
apa yang sudah aku lakukan, yang sudah aku korbankan,
pikiran, tenaga, dan waktu. Sesekali aku mencoba lebih
rasional, memang mereka belum cukup umur untuk
mengerti semua itu. Tapi di lain waktu, aku
membandingkannya dengan orang lain. Ternyata bukan
hanya anak- anak, banyak orang dewasa di sekelilingku
yang seakan hanya peduli dengan hasil sesuai ekspetasi
mereka tanpa tahu proses yang kulakukan untuk
mencapainya. Aku bahkan tak benar-benar ingat ada
berapa orang yang berempati dengan kesungguhanku.
***

Terperangkap. Pola yang sama, aku mulai sesak,


muak dengan lingkunganku. Ingin melarikan diri, tapi
tak tahu harus kemana dan harus apa. Aku hanya tahu
tempat untuk sembunyi, gereja. Gereja selalu menjadi
tempat paling aman untuk menumpahkan semua yang
tertahan. Bahkan mulai berlutut saja, otot mataku ikut
bergetar.

159 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 160

Tiap kali menangis, pikiranku sering kembali ke


masa lalu. Ke masa seperti yang aku lihat di foto-foto
dalam album berbagai warna dan ukuran di sudut kamar.
Aku ingat betapa bahagianya aku menjadi yang pertama
kali selesai berlari lima kali keliling lapangan saat
pelajaran olahraga di kelas enam SD. Sekarang, lututku
sering nyeri, tak kuat untuk squat jump. Aku ingat
ketika ayah dengan antusias mengantarkan mengikuti
lomba matematika untuk pertama kali dan
membelikanku buku cerita. Tak berapa lama, buku
cerita itu bolong-bolong karena aku menggunting
gambarnya. Lalu, matematika adalah bidang studi yang
aku ajarkan kepada anak-anak saat ini, yang sering
membuatku frustasi sendiri. Maaf, ayah. Ingatan
tentang ayah langsung mengaitkanku dengan ibu, turun
naik bis kota menyebrangkanku dan adik ke sekolah,
sementara beliau melanjutkan perjalanan untuk dinas di
rumah sakit. Pernah suatu hari aku berdua dengan
ibuku berjalan kaki dari rumah menuju simpang
komplek, seingatku saat aku sudah SMP. Aku bergumam
ada barang yang ketinggalan. Ibu yang memang
gampang panik, langsung menyuruh kembali lagi ke
rumah, sekitar 150 meter jaraknya. Tapi aku merespon
dengan menjawab tidak usah, memang ada sedikit ragu
di situ. Ibuku mengomel, kata beliau, beliau tidak bisa
kalau sudah diberitahu seperti itu berarti peting harus
diambil. Ibu menyuruhku menunggu di tepi jalan dan
beliau setengah berlari kembali rumah. Banyak hal yang
ibu lakukan di rumah kami yang dominan bercat putih,
tapi tak jarang aku kurang menghargai beliau,
menganggap memang itu sudah kewajiban sebagai
seorang ibu. Setelah lulus kuliah aku baru sadar kalau
ibu sangat menyukai soto. Model baju yang beliau sukai,
perawatan apa yang beliau butuhkan, atau bagaimana
pekerjaannya di kantor, aku tak pernah terlalu peka
untuk mau tahu. Maaf, ibu. Aku tipe pasif, hanya
mengamati tanpa mau mengklarifikasi, menebak
kebutuhan orang sesuai dengan intuisiku, itulah
mengapa komunikasiku dengan keluarga seolah macet,
padahal pikiranku terus bekerja tanpa henti, seringkali
berpikir bahwa keadaan menjadi tidak baik karena aku
yang salah, aku yang tidak pernah bisa menebak apa
sebenarnya yang mereka inginkan.
Kenangan tentang keluarga juga termasuk
tentang kedua adikku. Adik perempuan dan adik laki-
lakiku. Senang sekali rasanya mengingat momen-momen
saat pertama kali membeli handphone berkamera. Aku
tak ingat jelas apakah itu untukku, adik perempuanku,
atau ibuku. Berbagai macam ekspresi dan gaya keluar
begitu saja, tak perlu waktu lama untuk membuat
memori handphone itu penuh. Bila sudah begitu, akan
ada perdebatan kecil untuk memilih foto mana yang
harus dihapus lalu meneruskan berfoto lagi. Sekarang
mereka sudah besar, adik perempuanku lebih modis dan
lebih gigih dariku, pekerja keras, wajar dia punya gaji
yang lebih tinggi dariku, telaten pula mengurus
keuangan dan mengurus diri. Aku pikir dia sudah tak
begitu peduli lagi padaku sejak kami sama-sama sibuk
kuliah, ternyata tidak, aku ingat jelas dia
membelikanku kalung saat aku ulang tahun mendekati
umur dua puluh. Tiga tahun lalu dia bahkan
membelikanku jam tangan, dia membeli dua buah jam
tangan dengan merek yang sama, hanya berbeda variasi,
satu untuknya, satu untukku, tidak sepasang, tapi

161 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 162

benar-benar membuatku terharu. Percayalah, Tuhan


punya rencana indah untukmu di masa depan, hasil tak
akan mengkhianati proses.
Si bungsu, anak lelaki satu-satunya, sifatnya
hampir mirip denganku, harus punya trik khusus saat
meminta bantuannya. Tak jarang aku sering dibuat kesal
dengan tingkah lakunya yang masih bermanja-manja tapi
keras kepala. Pernah sekali, kurasa dia sedang kesal, dia
bilang ketika aku di rantau, atau ketika dia sendiri di
rumah, dia bisa melakukan sesuatunya sendiri. Sekali
waktu lagi, sambil bercanda dengan anggota keluarga
yang lain, dia bilang, selagi dia masih bisa minta tolong ya
harus dimanfaatkan. Sifat manja alami khas anak
bungsu. Aku ingat dia pernah ketinggalan formulir
untuk mendaftar beasiswa, rumah kami dan kampusnya
ditempuh dalam waktu satu jam. Kami sepakat bertemu
di tengah-tengah, di depan rumah sakit tempat ibuku
bekerja, seingatku saat itu ibuku sudah pensiun dari
rumah sakit. Aku melihatnya sudah menunggu di dekat
gerobak es bubur sum-sum persis di depan rumah sakit.
Sambil bergurau aku menyuruhnya mentraktirku satu
porsi. Dengan tenang dia menjawab dia sudah pesan
dua. Langka. Aku benar-benar terharu. Senang sekali
melihat sifatnya yang seperti itu. Oh Tuhan, aku
sungguh yakin Engkau punya rencana-rencana baik.
***

8 Januari. Aku mulai menjalin hubungan dengan


pacar pertamaku. Pertemuan pertama kami tepat tiga
hari sebelum aku memutuskan kembali ke kota ini.
Selama masa pendekatan, aku banyak merenung,
berjibaku dengan diri sendiri, antara rindu, rendah diri,
dan keinginan untuk berkomitmen. Bukan hal yang
mudah memutuskan untuk menerima permintaannya
menjadi pacar. Aku bahkan masih sempat berpikir
setelah satu atau tiga bulan pacaran aku mungkin akan
memutuskan hubungan. Aku terlalu tidak percaya diri
untuk menjadi pasangan yang bisa mengimbanginya,
apalagi dia sempat menyinggung tentang pernikahan.
Umurnya memang sudah sangat matang untuk menjadi
seorang suami.
Hari pertamaku menjalani hubungan jarak jauh
diawali dengan pesan singkat yang sangat manis
darinya.
―Morning, lovey‖
Aku bisa merasakan darahku berdesir di
sekujur tubuh, dan tidak bisa menahan senyum yang
terus saja bertambah lebar. Pesan-pesan singkat
darinya membuatku merasa sangat dicintai. Setelah
puluhan tahun, sekarang aku benar-benar merasakan
aku jatuh cinta. Kerinduanku merasakan indahnya masa-
masa pacaran seperti orang- orang akhirnya dikabulkan
Tuhan setelah beberapa tahun ini doa-doaku dipenuhi
dengan tangis dan keluhan agar aku segera mendapat
jodoh. Bulan demi bulan, hubungan kami baik-baik saja,
bahkan aku merasa semuanya dimudahkan, dan aku
mulai yakin kalau dia memang orang yang dipilihkan
Tuhan untukku. Aku sudah tak berniat untuk putus.
Sesekali tingkahnya memang membuatku kesal, tapi
tak sedikitpun membuatku mengucap kata putus.
Aku membuka akun instagramku dan kudapati
foto kami berdua di akun instagramnya. Dengan
sederetan kata-kata manis dan optimis di bawah foto
itu. Hari ini, setahun sudah kami bersama. Dari 365

163 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 164

seperempat hari, hanya sekitar lima belas hari kami


benar-benar bersama dan berkencan, hasil akumulasi
dari tiga kali pertemuan kami, dua kali dia ke kotaku,
dan sekali aku ke kotanya. Aku bahkan bisa menjelaskan
kembali secara rinci kemana saja kami berkencan,
memakai baju berwarna apa, dan menu apa saja yang
kami pesan. Pertemuan singkat yang menurutku sangat
berkualitas. Sebagai balasannya, aku membuka kembali
arsip di handphone ku. Beberapa tulisan singkat, hasil
kegalauanku saat pendekatan dengannya. Aku memilih
satu dan melampirkan ke alamat emailnya.

Desember, 7
Kemarin.
Aku merasa ada yang berbeda.
Debaran jantung yang terdengar lebih keras dan
berdetak lebih kencang.
Seharian,
Tak bisa berhenti memikirkan dan membayangkan
tentangmu.
Bahkan terasa sakit ketika sadar bahwa kita
terpisah oleh jarak
You ever said "let me know if you need anything"
Now, may i say that i need you to be here.
Anganku jauh terbang ke masa kala aku dan kamu
menjadi kita.
Kita
Bukankah waktu sekarang lebih banyak bercerita
tentang kita?
Aku tak tahu pasti.
Mungkinkah aku terjebak?
Atau aku terbujuk?
Aku benar-benar bahagia saat kau katakan tentang
Bali.
Bali
Bali
Bali
Bukan tempat impianku.
Tak sering pula aku memikirnya
Tapi dia istimewa di hatimu
Lalu
Bukankah secara tersirat kau ingin aku ikut ke
sana?
Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?
Bagaimana mungkin aku tidak bisa tidak jatuh cinta?
Isn‟t it crazy?
Aku bahkan mulai menunjukkan rasa percayaku.
Sungguh aku tak ingin ada yang terluka.
Tapi aku benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa
yang semakin serius ini.
Entah kau sadar atau tidak, untuk pertama kalinya
aku katakan selamat beristirahat tanpa ada
pertanyaan basa basi.
Karena di baliknya ada pesan bahwa aku
merindukanmu.

165 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 166

Bahkan ketika kegelisahan menyelimuti seharian,


menemuimu di penghujung malam menjadi pilihan
terakhir yang tak bisa lagi kutahan.
I need you

Email terkirim. Aku tidak mengharapkan respon


apa-apa darinya, hanya ingin dia tahu bahwa aku serius
dengannya, bahkan sejak masa pendekatan aku tak bisa
berhenti memikirkan tentang masa depan kami. Seperti
biasa, dia merespon dengan senyumannya dan memuji
kemampuan menulisku.
***

Memasuki tahun kedua, aku semakin tak bisa


jauh darinya, semakin merindukannya. Rindu yang
menggebu-gebu membuatku merasa sangat tertekan,
merasa tak yakin bisa melanjutkan hubungan jarak jauh
ini. Aku tak tahu apa yang benar- benar aku rindukan
darinya, pelukannya, ciumannya, senyumannya, atau
kehadirannya. Tapi, sungguh, aku tak ingin putus,
pernah aku berandai-andai jika kami ada di kota yang
sama, apa aku bisa lebih bahagia.
Hari ini, aku sudah bangun dari subuh,
menunggu sebuah travel berhenti di depan rumah.
Sambil menunggu, aku tak bisa fokus melakukan hal lain.
Aku terlalu sibuk dengan kegalauanku. Dia akan datang,
memang bukan untuk yang pertama kali, tapi perasaanku
berkata kedatangannya kali ini akan sedikit berbeda.
Sebulan belakangan, secara tak langsung dia
menanyakan ukuran jariku. Aku tak terlalu bodoh untuk
menangkap maksudnya, tentu saja untuk cincin. Cincin.
Kedatangannya kali ini untuk melamarku, aku hampir
yakin 100%. Dia mungkin sudah menahannya sejak
ulangtahunku tahun lalu. Saat itu sembari menunggu
makanan yang kami pesan datang, dia melepaskan cincin
titanium yang biasa dia pakai di jari telunjuk kirinya,
lalu meraih tanganku. Aku terkejut, tak bisa berbuat
banyak. Perlahan dia memasukkan cincin itu ke jari
manisku, tentu saja ukurannya terlihat besar di jariku
yang minimalis.
―Kecil kali tangannya,‖ tawanya renyah. Aku tak
nyaman dengan situasi ini, bukankah terlalu cepat, ini
baru empat bulan, tak bisakah lebih banyak
menghabiskan kebersamaan dengan status pacaran.
Peningkatan status menjadi suami istri dan konsep
tentang rumah tangga sering membuatku takut, terlalu
banyak contoh tak menyenangkan berkeliaran di
pikiranku.
Ada suara mobil berhenti di depan rumah. Aku
bergegas keluar dan melihatnya turun dari pintu depan,
sebelah sopir. Sosok yang lembut dan hangat.
Senyumku terus saja tertahan tiap kami akhirnya
bertemu, begitu juga saat hendak kembali ke kota
masing-masing. Bukan tak senang, sangat senang, tapi
kerinduan yang akan muncul setelah kami tak bersama
lagi langsung bisa kurasakan.

167 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 168

Dua tas besar dikeluarkan dari bagasi. Aku


sudah berdiri di depannya, melihat tasnya dan berniat
membantunya. Aku masih takut melihat matanya.
―Hai, beb‖, suaranya tenang, tapi membuat
jantungku tak karuan.
Aku melihatnya sekilas, dan dia tersenyum.
Kubilang itu senyuman maut, setengah mati aku
menahan diri untuk tidak menciumnya. Kami duduk di
ruang tamu, dengan kedua orangtuaku juga. Dia calon
menantu idaman para ibu mertua, menurutku. Sejak
awal dia bertemu dengan ibu, ibuku sudah memberi
sinyal bahwa beliau sangat setuju dengan hubungan
kami. Dia memang tahu cara menghargai wanita, ini yang
membuatku tak bisa tidur setelah pulang makan bebek
goreng saat pertama kami bertemu.
***

―Jadi, ke depannya kita gimana, beb?‖ tanyanya


santai.
Aku diam, menyendok es krim durian di gelas
besar, segelas berdua dengannya. Apa ini memang
sudah waktunya? Dia paham benar, aku akan diam saja
ketika aku sedang berpikir. Dia kembali bertanya.
―Awalnya aku pikir, kalau mau nikah, tinggal
nikah. Tapi cari-cari informasi, administrasi ke gereja
ternyata lumayan banyak dan butuh waktu. Untuk
resepsi, aku sih maunya yang sederhana, tapi
tergantung keluarga kita juga. Aku maunya kalau bisa
tahun depan‖.
―Bisa nanti kita bahas lagi? Di lobi hotel? Kalau
di sini, aku belum bisa mikir,‖ kataku sambil sebisa
mungkin tersenyum.
―Oke‖.
Aku menggandeng tangannya dari toko es krim
menuju hotel tempatnya menginap. Dia tidak punya
keluarga atau teman di kota ini. Dulunya aku pikir dia
akan menginap di hotel-hotel besar, mengingat
penampilannya dan keluarganya yang rapi, bersih, dan
terlihat berwibawa. Sebaliknya, dia justru memilih
tempat penginapan yang minim biaya. Dia pintar
mengelola keuangan. Dia tahu betul, setidaknya dia
hanya butuh tempat untuk mandi dan tidur, sepanjang
hari sisanya kami akan nongkrong di luar, atau sekedar
duduk-duduk di ruang tamu rumahku.
Lobi hotel sedang sepi, aku memilih tempat
duduk di sudut ruangan. Aku tak mau pembicaraan kami
didengar orang lain. Dia mengeluarkan handphone dan
mulai bermain game, aku menggenggam telapak
tangannya dengan lembut, menjalin koneksi, tapi tak
mau mengganggunya bermain. Aku rasa dia paham, dia
tak menepis tanganku atau mengeluh, bahkan dia masih
memenangkan permainan. Dia mulai bertanya tentang
pendapatku. Aku masih belum bisa bicara, sulit sekali
rasanya jika harus menolaknya lagi dengan alasan aku
belum siap. Dia pun diam sebentar. Dia mengubah

169 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 170

pertanyaannya. Kali ini dia menanyakan apa yang aku


pikirkan, dia juga bilang aku harus mencoba lebih
terbuka, karena ke depannya kami tak mungkin terus-
terusan berkomunikasi hanya dengan pesan singkat.
Aku menguatkan hati, mengutarakan semua
ketakutanku.
Sudah empat jam kami di sini, tak terus-
terusan berbincang, ada saat-saat kami hanya diam,
mengusap-usap punggung tangan salah satu dari kami
secara bergantian, lalu sesaat kemudian
menggenggamnya dengan erat. Kami kehabisan topik,
hari pun sudah senja, aku harus pulang. Dia izin ke
kamar sebentar, dan memberikanku sebuah kotak
sekembalinya dari kamar. Aku membukanya. Itu sebuah
kotak kejutan yang sangat manis dan romantis, buatan
tangannya sendiri. Ada berbagai jenis lipatan kertas
dan foto-foto kami yang ditempel di situ. Sebenarnya,
benda pertama yang kulihat ketika kotak itu terbuka
adalah kertas berbentuk hati berwarna merah. Hati itu
terbelah dua membentuk seperti jendela yang terbuka,
di dalamnya aku dengan mudah bisa melihat tulisan
―marry‖. Aku tercekat. Aku tau masih ada tulisan lain di
atas dan bawah kata marry itu, tapi aku memaksa
mataku melihat ke foto-foto lain yang tertempel di
seluruh kotak.
―Biasa aja ya kotaknya?‖ katanya datar.
―Bagus, hun. Suka‖, kataku sambil menutup
kembali kotak itu dan mengikatnya rapi seperti semula
saat dia memberikannya padaku.
―Nggak mau dilihat semua foto-fotonya?‖
―Nanti aja di rumah, lebih puas‖, kataku
cengengesan.
***

Tentu saja tulisan di balik hati berwarna merah


itu adalah permintaan dia untuk menjadikanku istrinya.
Aku benar-benar bingung dengan hatiku. Sebagai
penggemar FTV dan drama Korea, aku paham betul
ekspresi pemeran wanita yang dilamar, penuh rona
bahagia, bahkan sampai menangis terharu. Aku
merasakan hal yang berbeda, aku bahagia bersamanya
dan ingin selalu bersamanya, tapi di lain sisi, dadaku
sesak, air mataku mendesak keluar, tapi kurasa bukan
tangis bahagia. Aku mencintainya, aku yakin, tapi aku
perlu tahu kemana perginya kebahagiaan seperti di FTV
dan drama itu.
Setelah hari itu, dia pun tak membicarakannya
lagi saat kami sedang berkencan. Dia tak pernah mau
membuatku khawatir atau berpikir terlalu keras. Tapi
aku tak bisa pura- pura tidak tahu dan tidak memberi
respon apa-apa. Hari ini sudah dua hari kami seolah abai
dengan kasus ―marry‖, aku rasa sudah waktunya
memberikan jawaban. Aku sudah bulat hati. Aku
mendekapnya dari belakang, perlahan aku bertanya

171 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 172

bagaimana nanti ketika sudah berumah tangga. Lalu aku


menanyakan alasannya memilihku menjadi pasangan
hidupnya. Sampai akhirnya perkataanku mendesaknya
untuk mengatakan secara langsung. ―Will you marry me,
beb?‖ Lagi-lagi, darah mulai berdesir kencang di
seluruh tubuh, pertahananku hampir runtuh, bibirku
tersekat untuk sekedar mengatakan ya. Melihatku
diam, dia kembali tersenyum, mengusap-ngusap
punggung tanganku. ―Yes‖, kataku.
***

Pertemuan keluarga, lamaran, dan foto pre-


wedding sudah selesai. Tinggal menunggu beberapa
bulan lagi sampai hari besar dan bahagia itu tiba. Aku
akan bersama-sama dengan dia seumur hidup. Kami
berdua bisa berbahagia. Itu harapan yang selalu kurapal
ketika emosiku mulai naik turun. Faktanya, aku
sekarang lebih kurus, berat badanku turun hingga
empat kilogram. Aku masih merasa aneh, masih merasa
ada beban. Ada yang bilang sindrom pra-nikah, tapi
menurutku tidak sepenuhnya benar. Aku semakin sadar
sepertinya ada yang hilang dari diriku, bukan baru-baru
ini, sepertinya sejak mulai masuk kuliah atau mulai
bekerja, tak tahu persis. Aku seperti bukan aku yang
dulu.
***
Don‘t you ever say
You don‘t like the way you are
When you learn to love yourself
You‘re better off by far.

Aku menangis lagi, tak bersuara, sengaja


menahannya agar tak ada yang terbangun. Ini sudah
jam dua subuh. Lagu-lagu melankolis selalu jadi pilihan
ketika suasana hati sudah tak bisa berkompromi. Lagu
yang kudengar saat ini adalah rekaman suara calon
suamiku. Aku sering memintanya menyanyikan lagu
untukku. Suaranya selalu bisa membuatku tenang. Dia
sangat menyukai lagu-lagu berbahasa Inggris. Lagu
berjudul Stay the Same dia pilihkan saat aku bilang aku
takut tak bisa beradaptasi dengan keluarganya nanti.
Lirik pada bagian refrain lagu ini kemudian
membuatku tersadar akan satu hal, aku terlalu
merindukan diriku yang lama. Saat masih duduk di
bangku sekolah, saat semua orang memuji dan
menjadikanku contoh untuk teman-teman, adik-adik,
dan sepupu-sepupuku. Aku rindu aku yang semangat dan
optimis mengerjakan semuanya, tak peduli bagaimana
hasilnya, aku selalu menikmati setiap prosesnya. Aku
rindu saat aku bahagia hanya sekedar bisa membaca
komik atau novel dari perpustakaan. Aku rindu saat adik-
adik membutuhkanku untuk mengerjakan tugas. Aku
rindu menjadi diandalkan untuk menghitung sisa cicilan
hutang orangtuaku di koperasi. Aku rindu dicari-cari

173 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 174

oleh teman-temanku saat akan pergi nongkrong. Aku


kehilangan itu semua. Kebahagiaan yang seharusnya
bisa datang dari hal kecil dan diciptakan dari diri
sendiri. Semakin dewasa justru semakin membentukku
menjadi pribadi yang oranglain harapkan, agar bisa
dicintai seperti di masa lalu.
Aku bersyukur aku bisa menjalani hubungan
jarak jauh, aku belajar bahwa rindu yang berlebihan
tak akan mendatangkan kebaikan. Terlalu merindukan
aku di masa lalu membuatku tak bisa bergerak di masa
sekarang. Bahkan terlalu takut untuk merancang masa
depan. Aku sendiri yang membuat sekat-sekat antara
masa lalu, masa sekarang, dan masa depanku. Aku
memang tidak pernah punya mantan, dan aku berharap
tidak, jika Tuhan izinkan biarlah calon suamiku menjadi
yang pertama dan terakhir, tapi akhirnya aku mengerti
mengapa move on menjadi keharusan. Terbelenggu
dalam kenangan masa lalu, sekalipun kenangan yang
teramat manis, justru menciptakan halusinasi yang lain.
Berdamai dengan masa lalu. Aku pasti tak
benar-benar bisa melupakan, tapi harus kulakukan.
Malam ini malam terakhir aku dalam belenggu. Tekadku
bulat, kerinduanku terhadap impian-impian di masa
depan harus lebih besar daripada terjebak di masa lalu.
Kurasa besok adalah hari terbaik, pertambahan usia
merupakan momen yang tepat, bukan?
The Same Eyes
Karya : Shakeela Azhera

Mata itu, mata biru saphire tua yang

memandang dengan cerdas, dalam dan tajam.


Terlihat tertutup dan misterius, seakan-akan
menyembunyikan sesuatu yang begitu hebat
dan mistis di setiap kedipan matanya. Walau
begitu, seperti ada secercah cahaya bening
yang tersembunyi disana, suatu kelembutan
yang disembunyikan rapat-rapat entah untuk
apa.
Ya, mata indah yang dapat membius
siapapun yang melihatnya. Ya, membiusku
untuk mengikuti iramanya. Hingga akhirnya, yang
kulihat hanyalah bayang-bayangnya yang semakin
menjauh. Suram … meningggalkanku sendirian
dalam lingkar pekat kehidupan. Yah, dan hanya
meninggalkan kenangan pahit yang tak
terkiaskan, tak terlukiskan. Ah, itu sungguh
menyesakkan.
Dan sekarang, itulah suatu mata yang
selalu kuingat pasti dalam memoriku, kuingat
untuk kubenci, kuingat untuk kuhindari. Suatu
mata yang seakan-akan ingin membuat semua
amarahku ingin meledak. Mata yang akan

175 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 176

selalu kubenci dan kuharap tak akan kulihat


lagi.
Walaupun … jikalau keajaiban boleh
terjadi, dan Tuhan menghendakinya … bolehkah
aku merasakan getaran melody lembut dengan
indah oleh jemarinya-nya? Tertawa bersama
dalam lagu yang dimainkan dengan hangat di
tengah musim semi, menari diantara salju suci
dengan irama-nya yang selalu mengagumkan?
Entahlah, meski berkali-kali aku telah
mencoba untuk menghilangkan hal itu dari
pikiranku. Hal-hal itu malah terkadang datang
tanpa permisi. Kurasa seuatu hal fana bernama
‗rindu‘ terus mengetuk berbarengan dengan luka
yang semakin tergali. Orang bilang jika hal itu
menjauh maka semuanya akan larut seketika.
Dan kau tak akan menemukan bekasnya lagi.
Namun, sepertinya semua itu tak
sepenuhnya benar. Sosoknya masih terus
bersarang di sudut hatiku. Dan meski dunia
jungkir balik, kuyakin hal itu masih menetap.
Walau hanya secuil atau bahkan bias yang tak
kunjung hilang. Aku masih mengharapkannya.
Harap dalam semu. Yang membuatku tak bisa
terlepas utuh darinya.
Entahlah, hidup ini rumit. Yah, jikalau
takdir tak merintang dan membuat haluan
yang sama sekali tak terduga, mungkin aku
sudah mengetahui semuanya. Tapi, inilah hidup.
Karena hidup memanglah misteri, yang tak akan
pernah bisa dipecahkan semata-mata oleh teori.

***

―Aerlyn, coba lihat ini! Kemarilah!‖ tiba-


tiba seorang gadis berambut jagung berteriak
memanggilku.

―HMMM?‖ Aku mengerutkan kening,


merasa kesal dengan teriakannya yang
memekakkan telingaku. ―Ada apa?‖ tanyaku yang
akhirnya beranjak dari tempat duduk.
―Coba lihat ini, akan diadakan lomba
piano nasional. Salah satu hadiah utamanya
adalah duet bersama Evelyn Merrel di Etique
Hall! Dan katanya, dia akan datang dan ikut
melihat. Lombanya satu bulan lagi. kau pasti
sangat tertarik! Kau kan, penggemar
beratnya!‖ jelasnya bersemangat.
―Wah, benarkah?!‖ jeritku antusias.
Beberapa anak pun, menoleh mendengar
jeritanku membuatku cepat-cepat mengatupkan
mulutku. ―Oups … tentu saja aku harus
mengikutinya! ―Thanks Meid atas infonya!‖
cetusku sambil memeluknya. ―You‘re Welcome!
fighting!‖ ucap gadis yang kupanggil Meid itu
sambil tersenyum. Dia adalah sahabat baikku,
kami sudah berteman dari Elementary School.

177 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 178

Nama lengkapnya Medine Shacthwax Seorang


gadis berdarah Jerman dengan rambut
blonde dan mata shiver yang unik.
Nah, sekarang adalah saatnya
membuktikan pada dunia kemamapuanku! Yosh!
Aku pasti akan meraih juara utamanya! Hahaha,
percaya diri sekali aku ini. Hmmm … dan untuk
lagunya, tentu saja aku akan memakai lagu itu.
Lagu yang sudah kupersiapkan selama lebih dari
delapan tahun. Lagu indah yang akan
mewakilkan seluruh perasaaanku saat ini ….

***

Saat hari-H ….
Huft … aku berusaha menenangkan
diriku agar tidak ‗speechless‘. Sedari tadi
aku terus mengucap do‘a. Selanjutnya adalah
giliranku. Aku pun terus menanjatkan do‘a agar
aku bisa menampilkan yang terbaik.
―Selanjutnya peserta no. 24, Aerlyn
Greetzall!‖ seru seorang MC dengan baju yang
necis.
Hhh … oke aku harus yakin bahwa aku
bisa. Aku pun, segera melangkah naik ke podium
untuk memainkan sebuah piano yang sudah
tersedia disana. Aku bisa merasakan tubuhku
yang gemetar hebat. Mengiggat fakta bahwa
Evelyn Merrel akan turut menyaksikan lomba
tingkat nasional ini.
―Nah, Arelyn sebelum kau memulainya,
bisakah kutahu lagu apa yang akan kau
mainkan?‖ tanya seorang juri dengan dandanan
yang terbilang casual, dan kacamata bergagang
emas berlabel merek terkenal.
―Ehm, ya … aku ingin memainkan sebuah
lagu gubahan gubahan Fur Elise,‖ ujarku agak
tersendat. Entah kenapa keraguan besar tiba-tiba
meliputiku.
―Emh? Lagu gubahan Fur Elise?‖ juri itu
menaikkan alisnya. ―Kau yang mengubahnya
sendiri?‖
―Eh … ya … ehm … bukan … tapi …‖
kalimatku mengantung pada akhir.
Juri itu tersenyum sekilas, ―Tak apa kau
tak perlu mengatakannya. Toh semua orang
pasti punya privasi tersendiri. Nah, mulailah‖
Aku meneguk ludah, berkonsentrasi pada
pada partitur di hadapanku. Oke aku akan
memulainya. Aku membiarkan diriku memasuki
melodinya. Memulai menekan tuts-tust piano itu
membuatku menari dalam alunan melodi fur
elise yang berbeda.
Ya, melodi itu seakan membawaku jauh dari
sekarang, jauh … dan jauh … sampai aku
medongkakkan wajahku, menyelesaikan lagu itu

179 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 180

… dan tepat menatap mata biru saphire itu dari


kejauhan. Ya, sebuah mata biru saphire pada
gelap kursi penonton di ujung. Aku yakin aku tak
salah lihat!
Entah, sesuatu seakan telah menggerakkan
tubuhku dengan sendirinya. Aku berlari dari
atas panggung kontes menuju ke barisan
kursi-kursi penonton yang kosong itu. Aku
seperti tercekik, tersengat oleh mantra yang
begitu hebat. Tubuhku menegang. Keringat
dingin merembes ke pelipisku. Para juri dan
MC acara meneriakiku, aku tak mengubrisnya.
Kakiku terus berjalan.
Kujelajahi kursi penonton, mataku
membelalak lebar-lebar. Aku telah mencapai
kursi penonton paling belakang, paling ujung,
dan mendapati sebuah bangku kosong penonton
sama seperti yang lainnya. Kosong. Blank.
Tak ada siapapun disana. Ya, nyatanya memang
seharusnya tak ada siapapun disana. Aku
mengerjap. Bohong.

***

―Ya, dan untuk juara utama jatuh kepada …


AERLYN GRETZALL!‖ MC itu meneriakkan namaku
kencang-kencang.
Aku tersentak dari tempat dudukku.
Terlepas dari lamunanku. Mulai beranjak menuju
podium untuk menerima hadiah, dan uang tunai
yang jumlahnya termasuk besar. Setelahnya
hariku begitu padat, melakukan banyak sesi
foto dan wawancara dari berbagai media.
Membuatku kewalahan terhadap media-media
yang menyerbuku.
Huft … akhirnya selesai juga. Aku
mengerjap, merasakan mataku benar-benar
berat. Akhirnya aku bisa duduk tenang di ruang
tunggu gedung itu setelah berbagai wawancara
yang menyesakkan!
Krieett ….
Pintu ruang tunggu itu terbuka,
menampilkan sesosok wanita muda dengan
baju rapi dan celana longgar bergaris fertikal,
rambutnya yang berombak cukup digerai
dengan jepit sederhana. Sebuah kacamata
minus buram bertenger di hidungnya yang
sempurna. Seulas senyum terbentuk di wajah
mungilnya.
Ah, semoga saja bukan wartawan, batinku.
Nyatanya perempuan itu memang bukan
wartawan, ia tak membawa kamera ataupun
notes-notes serta pena. Cukup simple ia
hanya membawa sebuah papan kecil dan tab.

181 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 182

―Nona Aerlyn Gretzall?‖ tanyanya


mencoba menyakinkan. Aku menaikkan alisku
namun mengangguk, ―Ya?‖
―Oh, maaf, namaku Lucie Brandson, aku
adalah manajer Evelyn Merrel. Langsung saja
kukatakan, ya. Karena kau memenangkan hadiah
utama lomba piano ini, jadi seperti yang
sudah tertera pada selebarannya, kau akan
duet dengan Evelyn Merrel di Etique Hall
bulan depan,‖ jelasnya sambil menjabat
tanganku.
Aku mengagguk bersemangat, ini mimpiku!
―Dan, Evelyn Merrell berkata ia ingin duet
memainkan lagu gubahan fur elise seperti yang
sudah kau mainkan di lomba. Karena itu, aku
akan meminta partiturnya padamu,‖ ujarnya.
Aku mengerutkan keningku. Lagu itu kan,
sangat susah! Bagaimana mungkin Evelyn
menguasainya dalam sebulan? Batinku. Namun
aku tak berani mengatakanya. Ah, Evelyn
Merrell kan, pianist hebat!
―Ehm, bagaimana dengan jadwal
latihanya?‖ tanyaku.
Lucie Brandson menggeleng, ―Evelyn
berkata kau dan dia berlatih sendiri-sendiri
saja. Selain itu sekarang jadwal Evelyn sangat
padat. Hmmm, itu memang kedengaran aneh
dan mustahil bukan? Tapi memang begitulah
Evelyn. Namun, aku yakin semua akan baik-baik
saja … Yah, oke berjuanglah!‖ pamit Lucie setelah
menerima partitur dariku. ―Oiya, nanti tentang
bagian apa saja yang akan dimainkan Evelyn, aku
akan mengabarimu lebih lanjut lewat e-mail,‖
Ketika sosoknya sudah hampir menghilang
dari pintu ruang tunggu ia menoleh kepadaku
dan tersenyum sekilas, senyum yang … entahlah,
aku tak bisa mengartikannya. Namun … senyum itu
sungguh … ganjil.
Aku termenung, mulai menyadari bahwa
segala sesuatu hal yang berhubungan dengan
Evelyn Merrell itu sungguh … aneh dan misterius.
***

Aku merasakan bahwa jari-jariku lebih


menegang daripada saat lomba tempo hari.
Bayangkan untuk pertama kalinya aku berdiri di
sebuah panggung besar yang mewah. Ya, berada
di gedung music paling elite di Berlin!
Hari ini seperti yang telah ditentukan aku
dan Evelyn Merrell akan duet dihadapan
seluruh Musikus dunia! Bagaimana aku tidak
gemetar?! Sebuah piano mewah berwarna
hitam dengan sepuhan emas bertengger di
tengah-tengah panggung itu tampak begitu
indah. Itu piano Evelyn Merrell! Desisku

183 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 184

Namun, di tengah-tengah panggung ada


sebuah pembatas berupa tirai merah,
membuatku tak bisa melihat sosok Evelyn
Merrel yang berada di sisi satunya. Mereka
bilang tirai itu akan dibuka di tengah konser.
Suatu hal yang aneh … benar- benar aneh … dan
lagi-lagi itu perintah dari si pianist genius,
Evelyn Merrel.
Tep … aku duduk di kursi piano itu, kursi
piano Evelyn Merrell! Kursinya tentu saja tak
kalah bagus dengan pianonya, sangat empuk dan
nyaman! Accordion sudah dimulai, kini saatnya aku
akan memulai nada pertama, dan Evelyn Merrel
akan melanjutkan di nada kedua.
Itu permintaanya. Entahlah, bukankah itu
sungguh aneh, padahal nada dua mempunyai
ketukan cepat-tinggi dan langsung pendek,
sebuah simfoni yang sangat sulit untuk
dimainkan! Ya, tapi dari semua itu Evelyn
memang memilih nada-nada yang paling sulit!
Itulah yang dikatakan Manajer-nya Lucie-
Brandson dua minggu sebelum kontes! Sungguh
aku benar-benar tak mengerti!
Aku menghirup nafas pelan dan
mengeluarkannya perlahan, melemaskan otot-
otot jariku agar tidak gemetar. Oke, aku siap!
Aku mulai dengan nada pertama yang tak
terlalu sulit, ketukannya memang lumayan cepat
namun hanya nada rendah dan menengah yang
menyusul. Huft … jari-jariku menari dengan
sempurna. Aku berhasil menyelesaikannya!
Setelahnya giliran Evelyn. Ia tak sepertiku
yang gemetar ataupun gugup. Jari- jarinya
cukup mantap menekan tuts piano. Yah, itu
mungkin karena factor penggalamannya yang tak
usah diragukan lagi. Dia memulainya. Evelyn
memulainya. Ya, benar-benar memulainya.
Deg … deg … deg …
Aku yang berada tepat di sampingnya,
mendengarnya memainkan lagu itu dengan
begitu bagus, tinggi-cepat lalu turun dengan
lembut, tanpa kesalahan, tanpa kegugupan,
permainan yang tiada cela! Aku gugup
merasakan seluruh tubuhku bergetar.
Musiknya … musik itu seakan menyeretku di
dalamnya!
Namun, tunggu dulu. Ada sesuatu yang aneh
permainanya. Aku … aku yakin pernah
merasakan permainan seperti ini! Entahlah, tapi
kurasa … aku benar-benar yakin! Tapi …
dimana?! Dimana?! Sungguh kepalaku benar-
benar kosong! Tak terasa ia sudah
menyelesaikan permainanya. Evelyn telah
menyelesaikannya. Dengan sempurna.
Simfoni tiga akan kami mainkan
bersama-sama. Entahlah sepertinya aku masih

185 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 186

dalam lamunanku. Evelyn memulainya. Aku


tersentak, pikiranku seolah masih kosong,
namun nada-nada Evelyn seperti meyeretku di
daAlmnya. Ya, membuatku tanpa sadar sudah
menekan tuts-tuts piano itu dengan sendirinya.
Seperti … terkena mantra.
Kami sampai pada pertengahan lagu. Ya,
secara tak sadar seolah aku sudah benar-benar
hanyut di dalamnya. Kini tirai pembatas itu
bergerak sedikit, dan … sreekk …
Tirai itu benar-benar terbuka sekarang.
Dadaku berdegup kencang, sekarang di
sampingku adalah di pianist jenius itu! Tanpa
ada lagi tirai yang membatasi kami!
Aku ingin menoleh, menghadap dan melihat
langsung Evelyn Merrell dari jarak yang tak
kurang dari lima sentimeter ini. Namun, entah
kenapa aku seolah-olah tak bisa walau hanya
memiringkan mukaku. Ya, aku benar-benar tak
bisa! Lagu itu terus berjalan sempurna. Sungguh,
Evelyn seperti telah menyeretku dalam nada-
nada gubahan fur elise yang menyanyat hati ini!
Aku tertegun, tak terasa air mata telah
mengalir deras menuruni pipiku. Entahlah, aku
seperti merasakan sebuah Déjà vu . Ya, Déjà
vu yang mengerikan …
Aku mencoba untuk menoleh, ingin
melihat apakah Evelyn juga akan menangis? Ah,
bodoh sekali aku, mana mugkin Evelyn menangis!
Kenapa dia harus menangis?! Buktinya lagu itu
terus mengalir …
Simfoni terakhir dan … selesai. Kami
berhasi memainkannya dengan sangat bagus!
Aku tergugu, seluruh tubuhku gemetar, kami
mulai menundukkan kepala kami di depan
semua hadirin yang menyambutnya dengan tepuk
tangan riuh. Jelas sekali bahwa semuanya telah
terbawa dengan lagu ini, tepuk tangan ini
terasa begitu hebat bagi anak sekecilku.
Tidak, ini tidak mungkin. Tidak mungkin
Evelyn bisa memainkan lagu ini dengan begitu
sempurna. Tidak. Aku pun, tidak. Hanya … hanya
dia yang bisa memainkannya dengan sempurna.
Ya, hanya wanita itu. Aku merasakan
ketakutan yang hebat menjalari seluruh tubuhku.
Selanjutnya aku dan Evelyn akan
menundukkan tubuh Bersama-sama, penutupan.
Saat itu aku dapat wajah Evelyn kurang dari dua
meter. Namun sebelum melakukannya Evelyn
melepas kacamaata buram hitam yang selalu
dikenakannya. Menyeka mata dengan tanganya.
Aku mematung, ia … menangis? Tapi kenapa? Ia
menghadap ke arahku, kami saling
membukukkan kepala bersama-sama. Dan
kemudian mengangkatnya.

187 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 188

Membuat wajah kami saling bersirobot,


bertatapan. Tepat sekali. Sekali lagi aku
tergugu, merinding. Keringat dingin menjalari
seluruh tubuhku, tepat aku dapat melihat
matanya, mata Evelyn…tapi…tapi kenapa mata
itu? kakiku sekarang benar-benar dingin. Aku
merinding. Aku melihatnya mata itu. Mata biru
sapphire yang begitu indah. Mata yang
bisa…menyihirmu, matanya. Mata Evelyn. Aku
terguncang…tak percaya. Ini tak mungkin. Evelyn
Merrell si pianist jenius adalah orang itu.
Evelyn Merrel adalah Mama. Mama yang
telah membuagku. Mama yang telah
meninggalkannku. Mama nyatanya adalah Evelyn
Merrell idolaku … ironis.
Sungguh aku tak percaya. Kakiku menegang.
Tapi itulah kenyataanya. Kenyataan terburuk
dari yang terburuk. Dan nyatanya, aku …tak
mampu menerimanya. Itu terlalu menyakitkan.
Kenapa harus dia? Pertanyaan itu terus
berputar hebat di kepalaku.
Aku sudah tak tahan. Kakiku seolah
begerak sendiri, membawa tubuhku berlari dari
atas panggung. Orang-orang meneriakiku.
Bodoh, aku tak peduli. Aku tak peduli jika
mereka mengaggapku gila. Terserah!! Aku terus
berlari. Ya, berlari sejauh mungkin. Menerobos
lautan penonton di Gedung itu. Aku sudah tak
peduli. Air mata benar-benar mengalir deras
dari sudut mataku. Kenapa? Kenapa harus dia?
Kenapa sekali lagi aku dipertemukan denganya?
Kenyataanya, kenapa aku harus kembali
bertemu denganya? Dan bahkan bukan
sebagai seorang anak dan Mama yang
mencintai anaknya. Tapi, sebagai seorang idola
dan pengemar yang mengidolakannya. Ironis.
Sungguh ironis.
Aku berlari tanpa melihat, masa bodoh
dengan apa yang terjadi. Yang penting aku …
aku akan terus berlari … berlari dari kenyataan
yang begitu pedih ini. Kepalaku seolah sudah
benar-benar linglung. Bodoh, kenapa aku tak
menyadarinya dari awal?! Tentu saja tak ada
yang bisa memainkan lagu dengan ketukan
seindah dirinya! Bahkan Evelyn Merrrell
sekalipun, jika ia memang bukan dirinya!
Aku terus dan terus saja berlari hingga
benar-benar tak sadar bahwa aku memasuki
peron. Yang jelas aku tak peduli. Jika aku
turun ke bawah, maka kereta yang datang dari
arah peron dua akan menabrakku dan … aku akan
mati. Itulah kemungkinan terburuknya. Biarlah,
toh tak ada yang akan menagisiku. Tak akan ada
yang kehilanganku.
Peron itu sepi, aku terjun. Sepuluh meter
lagi kereta itu akan benar-benar menabrakku.

189 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 190

Sembilan meter. Delapan meter. Sepertinya Si


Masinis tak menyadarinya. Tujuh meter. Enam
meter. Lima meter. Si Masinis sepeti
melihat suatu benda di depannya. Empat meter.
Benda itu … tiga meter. Si Masinis terkejut!
Itu manusia. Dua meter. Ia mengerem kuat-
kuat, namun sekarang takkan ada lagi artinya,
mustahil … hanya satu meter-lah yang tersisa.
Sebersit bayangan muncul dari arah
samping. Bayangan itu menarikku … mustahil.
Menarikku dari tabrakan kereta itu. Mustahil.
Suatu hal yang mustahil … namun telah benar-
benar terjadi.
Kereta itu menghantam keras bayangan
itu. Tubuhku menghantam dinding peron dengan
kuat. Membuat kepalaku sangat pening. Darah
segar mengalir dari pelipisku, sepertinya aku
akan terkena gegar otak ringan. Dan kedua mataku
… tidak paku yang tajam menusukknya … aku …
akan buta? Aku merasakan badanku benar-benar
remuk hingga akhirnya kesadaranku sepenuhnya
hilang. Oh, akan lebih baik jika aku mati.

***
Gelap, hanya gelap yang dapat kulihat.
Tubuhku terasa remuk. Apakah sekarang aku
sudah mati? Tidak, jika aku memang sudah mati,
aku tak mungkin bisa merasakan sakit. Samar
… sedikit demi sedikit aku merasakan
cahaya memaski celah mataku.
Sedikit, namun pasti. Dan semuanya jelas.
Ruang putih berbau obat yang memuakkan.
Tepat, aku terdampar di rumah sakit. Apa yang
telah terjadi? Entahlah, aku tak ingat. Lemah,
aku melirik ke samping, mendapati Bibi Liza
tengah menata bunga di atas meja,
membelakangiku.
―Bibi?‖ getirku. Bibi Liza menoleh,
menghapiriku dan segera memelukku,
―Syukurlah kau sudah sadar! Aku … aku selalu
takut jika berfikir kau tidak aka bangun lagi …
sungguh …‖ desahnya parau. ―Yah, tapi keadaanmu
sungguh lebih baik daripada dia,‖ sendatnya.
Aku terpaku, ―Dia? Siapa yang kau maksud Bi? Aku
… aku sama sekali tak ingat apa yang telah
terjadi,‖
Bibi Liza terdiam beberapa detik sebelum
melanjutkan, ―Dia … pianist itu…‖ sahutnya lirih.
Aku tertegun, bayangan kejadian itu
terlintas di benakku. Pianis itu … ? jangan-jangan
dialah bayangan yang itu …?
―Sudahlah, tak apa-apa, semuanya baik-
baik saja‖ lanjutnya menutupi. Aku menggeleng,
―Aku mohon, jelaskan apa yang terjadi … apa pun
itu …‖ mohonku. Bibi Liza membuang mukanya,
sebelum mendesah dan berkata, ―Sejujurnya

191 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 192

aku tak akan pernah mengatakanya jika kau tak


bertanya … Namun, baiklah karena kau telah
bertanya. Maka aku akan memberitahukannya
padamu‖ ia mendesah panjang.
―Yah, seperti yang kau ketahui, hari itu
dimana kau menyelesaikan duetmu dengan
pianist ‗itu‘ kau melompat di peron … tepat ketika
sebuah kereta dengan kecepatan tinggi datang.
Hah … sungguh, aku tak menyangka kau
berbuat sebodoh itu!‖ Bibi Liza mendelik ke
arahku.
Aku tercenung, teringat kembali pada
hari itu. Ya, hari yang seharusnya tak akan
pernah kulupakan hari itu. ―Aku sangat terkejut
ketika mendapat telepon bahwa kau dirawat di
rumah sakit, sungguh! Tapi … aku dapat
memaklumimu setelah tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Maafkan aku Aerlyn … Jika
tahu seperti inilah yang akan terjadi, maka aku
akan memberitahumu lebih dahulu … sungguh
…maafkan aku‖ Bibi Liza menyeka airmata yang
mulai merembes di sudut matanya.
―Maksudmu apa Bibi? Kau tidak bersalah
sama sekali … yang jahat … itu adalah …‖ Bibi Liza
memotong perkataanku sebelum aku sempat
meneruskannya, ―Tidak, Aerlynn, ini tidak seperti
yang kau pikirkan Sebenarnya, dari dulu aku
sudah tahu bahkan ketika debut Evelynn Merrel
yang pertama kalinya … tak jauh sebelum
perempuan itu meninggalkanmu …‖
Aku tergugu, ―Bibi … maksudmu?!‖
Bibi Liza tersendat, ―Ya, aku tahu bahwa
Evelyn Merrell sang pianist hebat itu adalah
bentuk ego ibumu. Aku langsung mengetahuinya …
tepat pada saat pertama kali ia muncul di acara
televisi dan … dan saat itu aku benar-benar
marah …‖ Bibi Liza tersenyum hambar, ―Namun
… Aerlyn saat itu juga aku melihat senyummu.
Senyummu untuk pertama kalinya setelah
perempuan itu meninggalkanmu …‖
Aku terteguk. Mengerikan. ―Ya, kau yang
biasanya selalu termenung, dan merasakan
kehampaan … lalu, akhirnya tersenyum! Tentu
saja aku sangat senang …Meskipun dia lagi
yang akhirnya dapat membuatmu tersenyum …
dalam wujud yang berbeda …‖ Tanganku melemah.
―Karena itu aku mebiarkanmu. Bagaimanapun
melodinya memang seperti sihir. Membuat
semua orang tersihir masuk kedalamnya. Membuat
semua orang ingin menginggatnya dan
merindukannya. Dan bahkan, itu termasuk aku‖
Bibi Liza memalingkan mukanya sedih. ―Dan aku
sangat menyesal aku sedang bekerja di luar
kota saat kau mengikuti lomba itu. Jika saja
… jika saja, aku tak pergi, aku pasti akan
melarangmu mengikutinya‖ Aku tertunduk.

193 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 194

―Lalu … dimana, ia … sekarang?‖ tanyaku


parau.
Bibi Liza hanya terdiam, merogoh sesuatu
dari laci meja kecil di sebelah ranjangku.
Mengeluarkan sebuah bungkusan cokelat tipis.
―Dari-nya‖ sendat Bibi Liza sambil
meyodorkanya padaku. Aku menerimanya dengan
tangan gemetar. Terpaku memandangi
bungkusan cokelat yang kini ada di dalam
genggamanku. Dengan tangan gemetar kubuka
bungkusan itu. Secarik kertas buram dan
sebuah kartu.
Aku membuka kertas buram itu, sebuah
surat. Aku bimbang, emosiku meluap. Ingin
kuremas rasanya surat itu. Namun Bibi Liza
memegang tanganku, menghalanginya.
Mencegahku unuk meremasnya, bacalah
desisnya. Huft … baiklah aku akan membukanya.
Aku mulai membacanya.

Untuk Lynn, anakku selamanya ….


Aku sangat bersyukur jika kau mau
membaca surat ini Lynn, namun jika tidak
dan kau membuangnya, maka itu pantas
menginggat apa yang telah kulakukan
selama ini. Surat ini kutulis untukmu dari aku.
Aku sebagai ibumu. Bukan aku sebagai
idolamu. Lynn, jika kau membaca surat ini
aku ingin meminta maaf sebesar-
besarnya padamu sungguh besar … sampai aku
tak tahu sebesar apa itu karena bahkan
sebesar dunia pun tak cukup untuk menutupi
kehianaanku. Maaf, maafkan aku juga
karena melakukan hal itu sewaktu konser
aku sunguh menyesal … sangat… kukira dengan
menjadikan diriku sebagai idolamu untuk
kedua kalinya dalam wujud yang berbeda
itu sudah cukup menutupi kehinaanku.
Kupikir dengan menjadi „dirinya‟ aku mampu
menemuimu. Walau nyatanya tidak itu malah
semakin menyakitimu…menghancurkanmu
aku…sungguh menyesal, Lynn. maafkan
aku. Karena aku, sekali lagi kau jadi
begini. Maafkan, maafkan aku juga yang telah
merusak matamu karena insiden itu namun,
karena itu aku ingin memberikan mataku
padamu ya, mata yang sangat kau sukai
sewaktu kecil ini semoga pun, sekarang kau
masih menyukainya.
Kau tak perlu memikirkan tentangku,
bagaimana aku dan bagaimana keadaanku.
Jangan khawatir padaku Lynn. Dengan ijin
Tuhan, Dia memberiku kesempatan.
Kesempatan yang mustahil. Karena itu, Aku
hanya ingin hidup lebih tenang dan menjauhi
semua hal sekarang ini. Juga sebagai

195 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 196

penebus semua kesalahanku di masa lalu …


meski itu takkan membayar semuanya … Aku
sangat ingin berada di sampingmu Lynn …
sebagai Ibumu … Namun, aku tahu bahwa
aku tak pantas … karena itu, biarlah aku
menghilang … mungkin suatu saat kita dapat
bertemu kembali … atau tidak … Setidaknya
bukan sebagai seorang idola dan
penggemarnya, namun sebagai seorang Ibu
dan anaknya. Lynn mulai saat ini jangan
pernah untuk mengidolakanku lagi …
janganlah masuk dalam melodiku Lynn … karena
melodi-melodi itu nyatanya fana
menghancurkan seluruh hidupku. Bencilah aku
semaumu lupakanlah hidupmu masih Panjang
janganlah menjadi sepertiku. Jadilah pianist
dunia yang hebat seperti impianmu …
jangan jadi sepertiku. Jadilah pianist dengan
cara dan iramamu sendiri. Melangkahlah lebih
jauh. Dan, yang terakhir kutitipkan mata ini
padamu. Namun ingatlah, jangan hanya
melihat dunia fana secara buta seperti
aku . Pergunakan mata hatimu. Maka
kamu akan tahu bahwa dunia jauh lebih luas
dan indah dari bayanganmu. Selamat jalan
anakku. Dariku, Ibumu yang selalu
menyayangimu.
Irene Greetzall
Air mata mengalir deras dari sudut
mataku, membuat kertas buram itu semakin
rusak. Karena sudah jelas kertas buram itu
sudah sangat kucel. Bekas- bekas air mata si
pembuat pun masih terlihat jelas dan
sekarang air mataku juga turut ikut
membasahiya.
Aku meraih sebuah kaca kecil yang ada di
meja sebelah ranjangku. Menatap wajahku.
Tidak, tepatnya aku menatap mata itu. Bukan
mata abu-abu itu lagi yang ada. Namun mata
itu. Mata terindah yang pernah kulihat. Mata biru
sapphire itu … sekarang adalah mataku. Ia
sama sekali tak bersalah mencelakai kedua
mataku. Ia justru penyelamat hidupku.
Mengorbankan semuanya, dan bahkan
memberikanku separuh dari dirinya. Mata itu.
Aku terisak keras, Bibi Liza membiarkanku.
Melihatku dengan wajah sayu, ―Maafkan aku
juga Aerlyn, dan maaf jika aku bilang ini… sungguh,
jangan pernah membencinya meski kau tak
menyukainya … ketika itu, ia hanyalah seorang ibu
muda kikuk yang sangat menyukai piano, hingga …
hingga termakan oleh ego-nya, itu saja …‖
Aku menggeleng kuat-kuat, ―Tidak , aku
takkan pernah membencinya. Bibi Liza aku… aku
memaafkannya … atas segalanya …‖ sahutku lirih.

197 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 198

Langit biru itu sebentar lagi akan menjadi


senja yang indah. Aku tersenyum kilas.
Melihat bentuk awan yang dalam khayalku
mengambarkan dua orang. Seorang ibu dan
anak memainkan piano bersama dengan
begitu damainya. Begitu tenang dan indah
sampai awan itu memuar dan benar-benar hilang.
Aku tersenyum tipis, bagaimana bisa aku
membencimu, Ibu? Kau tahu, aku benar-benar
ingin bertemu denganmu lagi, tak peduli … kapan
atau dimanapun itu … aku juga menyayangimu …
ibu ….
Dongeng Tentang Rindu
Karya : Dima Satriani Juandaputri

― Hentikan!‖ aku menutup telingaku rapat-


rapat, berteriak sekencang mungkin berharap suaraku
mengalahkan suara iu.
Daniza, tidak kah kau merasa kesepian?
Daniza?
Daniza, apakah kau tidak rindu?
Mengapa kau diam saja, Daniza?
Daniza, kami merindukanmu!
―Diam!‖ aku berteriak lebih keras berharap
suara itu lenyap. Tubuhku gemetar menahan sesuatu
yang tak dapat kukendalikan. Aku terpojok dalam
ruangan bercat putih. ―Kumohon hentikan,‖ ucapku lirih
menahan isak tangis. Dengan tangan yang gemetar, aku
berusaha menghubungi sebuah kontak yang kuberi nama
Bunda pada gawaiku.
―Halo, Bun?‖ aku mulai mengharap balas ketika
bunyi dering di seberang sana sudah berhenti.
―Kenapa kamu menghubungi Bunda?‖ suaranya
terdengar ketus, seakan panggilan dariku adalah simbol
kesialan.
―Bunda, tolong…‖
Tut… tut… tut…
Panggilan terputus, atau mungkin sengaja
diputuskan. Aku mengepalkan tangan guna menahan

199 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 200

amarah dan ketakukan. Tangisku tiba-tiba lepas. Sambil


memeluk lutut, mataku memperhatikan setiap sudut
kamar ini, suara tak bertuan itu sudah hilang.
Syukurlah. Aku beranjak menuju kasur untuk
berselimut agar dapat menenangkan diri. Rasanya
hangat dan nyaman. Orang-orang bilang ada tempat
yang lebih hangat dari selimut dan lebih nyaman dari
kasur. Mereka berkata tempat itu dinamakan pelukan
ibu, bahkan katanya orang dewasa pun selalu
merindukan pelukan ibu. Aku pun ingin merasakannya,
tapi bagaimana mungkin? Menyentuhku saja sepertinya
bunda tak akan sudi.
Menurut cerita bibi, ayah dan bunda sudah
berpisah semenjak usiaku dua tahun. Katanya, mereka
tidak kuat dengan berbagai tekanan dan tuntutat yang
ada hingga memutuskan untuk berpisah. Tak ada yang
mau membawaku pergi bersama salah satu dari mereka.
Akhirnya, bibi– dengan sangat terpaksa–menjadi waliku.
Aku pernah bertanya kepada bibi mengapa ayah dan
bunda tidak membawaku. Bibi hanya menjawab bahwa
aku anak haram, keberadaanku tidak pernah
diharapkan, dan kelahiranku membuat ayah dan bunda
terjebak sebuah ikatan yang sebetulnya tidak mereka
inginkan. Intinya, kehadiranku sangat merepotkan untuk
ayah dan bunda, termasuk untuk bibi. Meskipun
demikian, bibi menyekolahkanku sampai aku lulus SMA.
Bibi bilang hanya itu yang bisa bibi berikan supaya aku
tidak seperti ayah dan bunda, kemudian beliau
menyuruhku kuliah dengan mencari beasiswa.
Aku menuruti perkataan bibi dan berhasil
mendapatkan beasiswa, tapi bibi tiba-tiba pergi dengan
dibalut kain kafan. Walaupun bibi tidak pernah
menunjukkan belas kasih kepadaku, aku tetap merasa
kehilangan karena bagaimanapun bibi yang membantuku
bertahan hidup sejauh ini. Semenjak kepergian bibi,
aku bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Rutinitasku hanya sebatas kuliah dan kerja.
Selama aku hidup, tak pernah sekalipun bunda
menjengukku atau bertanya kabar, sedangkan ayah
sesekali menjemputku sepulang sekolah untuk
melakukan sesuatu yang sering disebutnya sebagai
bentuk kerinduan.
***

Aku berjalan dengan kaki terseok-seok untuk


pulang ke rumah bibi. Rasa sakitnya memang tak
seberapa, tapi bibi pasti marah melihat seragam putih-
biru ini kotor karena aku tidak hati-hati saat berjalan.
Pintu rumah bibi terlihat terbuka dari jauh. Mungkin
sedang ada tamu, pikirku. Semakin dekat, aku
mendengar keributan kecil dari dalam rumah. Keributan
itu tiba-tiba lenyap ketika dua pasang mata melihatku di
depan pintu rumah. Aku melihat raut wajah bibi yang
memandang sinis seorang pria di depannya. Pria itu

201 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 202

tampak kaget memandang ke arahku. Wajahnya terlihat


familiar.
―Daniza? Kamu Daniza, kan?‖ tanya pria itu,
suaranya terdengar parau dan cukup berat.
―Iya betul, saya Daniza. Maaf, bapak ini siapa?‖
―Dia ini ayah kamu!‖ sahut bibi dengan suara
yang lantang sambil mendelikkan matanya ke arah
seorang pria yang mengaku sebagai ayahku itu.
Tubuhku kaku memandang seorang pria yang
seharusnya kupanggil ayah. Rasanya kebencianku yang
amat dalam tiba-tiba berontak menuntut diekspresikan,
tapi ada perasaan haru yang menutupinya. Aku memeluk
ayah sambil menangis, tapi aku juga sangat marah
padanya. Dia berulang kali mengucap kata maaf. Hatiku
sangat sulit memaafkannya, tapi bibir ini sembarangan
berkata tak apa. Ayah bilang mulai saat ini dia akan
menyempatkan waktu untuk menjemputku dan berjalan-
jalan denganku. Hadirnya memang sudah sangat
terlambat, tapi aku cukup senang melihat dia ada di sini
untukku.
Keesokan harinya ayah menjemputku dan
langsung mengajakku jalan-jalan berkeliling kota. Kami
membeli berbagai makanan dan minuman di pinggir
jalan. Ayah tersenyum melihatku lahap menghabiskan
berbagai jajanan itu.
Sudah hampir satu bulan ayah menyempatkan
waktunya untuk sesekali menjemputku. Biasanya, ayah
menjemputku satu atau dua kali dalam satu pekan.
Kehadiran sosok seorang ayah mulai terasa dalam
hidupku. Aku dapat bercerita segala hal kepadanya, dan
seperti ayah pada umumnya, beliau banyak
menasihatiku. Hari ini ayah bilang akan menjemputku
lagi.
―Daniza! Wah, lihatlah ini, anak ayah sudah
pulang,‖ sambut ayahku di gerbang sekolah. Seperti
biasa, tangannya sedikit mengacak rambutku.
―Iya, Ayah. Maaf lama, tadi Daniza piket kelas
dulu,‖
―Iya tidak apa-apa kok. Hari ini kita main di
rumah ayah saja, yuk? Daniza mau?‖
―Mau, Ayah. Daniza belum pernah main ke
rumah ayah,‖ aku cukup bersemangat karena selama ini
aku dan ayah hanya berjalan-jalan keliling kota, membeli
sesuatu di toko, dan makan di sebuah tempat yang
belum pernah aku datangi. Aku lekas naik ke sepeda
motor yang ayah kendarai. Perjalanannya cukup jauh,
memakan waktu sekitar 30 menit dari sekolahku. Ayah
berhenti di depan sebuah rumah dengan tembok bercat
hijau muda. Aku turun dari sepeda motor, kemudian
ayah mempersilakan aku untuk masuk.
Rumah ini tidak besar, tapi nuansa putih di
dalamnya membuat ruangan di rumah ini terlihat lebih
luas. Ayah menyuruhku masuk ke dapurnya. Tidak
kusangka, dapur ini ternyata jauh lebih luas dari
ruangan lain yang ada di rumah ini. Aku duduk di salah
satu bangku yang mengelilingi meja makan, sedangkan

203 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 204

ayah sibuk mempersiapkan makanan yang akan ia


hidangkan untukku. Harum makanan itu semerbak
memenuhi ruangan, wanginya mengindikasikan berbagai
rempah yang diolah dengan baik di atas wajan panas.
Ayah menghidangkan nasi goreng kecombrang di
hadapanku, pantas saja aromanya unik dan segar. Kami
memakannya dengan lahap.
Selang 20 menit, ayah berdiri kemudian berjalan
menuju radio yang berada di pojok ruangan. Ia
membawa radio itu lalu menaruhnya di atas meja makan.
Ayah memasukkan sebuah kaset dan memutar musik.
Terdengar alunan nada yang sangat lembut dan
menusuk dari sebuah piano. Ayah menggerakkan
tubuhnya, memukul logam-loham yang ada di dapur, lalu
mulai menari.
―Daniza, ayo sini, menari bersama ayah,‖ ajak
ayahku dengan suara yang halus, membisik di telingaku.
―Daniza tidak bisa menari, Ayah,‖
―Ayah akan ajarkan, ayo sini. Ini adalah salah
satu bentuk ekspresi rindu. Sebuah tarian akan
kerinduan,‖
―Tidak, Ayah. Daniza ingin pulang saja,‖
perasaanku mulai tak enak. Aku berdiri dan mengambil
tas.
―Jangan pulang! Temani ayah menari! Ayah masih
merindukanmu,‖ bentakan dari ayah membuatku
kehilangan kendali atas tubuh ini. Ayah menarik
lenganku. Tubuhku bergerak sesuai kemauan ayah,
berputar ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan musik.
―Nikmati saja musiknya, Daniza. Suatu saat kamu
akan merindukan musik ini, merindukan tarian ini,‖ bisik
ayah di telingaku. Ia terus menggerakkan tubuhku
seakan aku adalah bonekanya. Aku takut, aku berusaha
berontak dan melepaskan genggamannya, tapi semakin
aku melawan semakin kuat juga cengkramannya.
―Diam!‖ bentak ayah tepat di hadapanku ketika
aku sudah mencoba berkali-kali melepaskan diri
darinya. Sudah tiga jam ayah menari tanpa henti. Kaki
dan tanganku sudah terasa pegal dan sakit. Tubuhku
kehilangan tenaganya, nafasku mulai tidak teratur
karena lelah. Saat aku sudah tak berdaya, ayah
berhenti.
―Daniza sudah lelah, ya? Baiklah, adu rindu hari ini
sudah cukup. Ayah akan menunggu rindu-rindu yang
berikutnya. Sekarang ayah akan antarkan kamu ke
rumah bibi,‖ ayah mendudukkanku di kursi. Selagi ia
bersiap, aku berusaha menahan tangis dan menenangkan
diriku. Ayah mengunci pintu rumah itu lalu mengantarku
pulang. Aku tidak berani cerita kepada bibi karena yang
aku tahu itu akan merepotkan bibi. Setiap kali aku
bercerita tentang suatu hal, bibi pasti memaki sembari
berteriak, ―dasar merepotkan!‖.
Kejadian di rumah ayah terus berulang, setidaknya
satu kali dalam satu pekan. Aku tidak punya kekuatan
untuk menolak. Jika menolak, ayah akan membentakku,

205 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 206

menyekap mulutku, dan mengikat tubuhku pada sebuah


kursi di rumahnya, lalu ia akan berkata pada bibi bahwa
aku akan menginap di rumah ayah. Kemudian ia menari
semalam suntuk sambil mengitariku yang terikat di
kursi. Setiap mengajakku bermain di rumahnya, ia pasti
berkata, ―Daniza, ayah rindu menari,‖
***

Aku sudah menggunakan seragam putih-abu.


Bergantinya warna seragam ini seiring pula dengan
berpindahnya tempat kerja ayah. Ia pindah ke kota lain
karena tuntutan pekerjaan. Entah mengapa, bukannya
sedih, aku malah merasa lega. Tak ada lagi yang
mengajakku menari, tak ada lagi ucapan rindu yang
mengerikan.
Kehidupanku di SMA berjalan sebagaimana
mestinya–atau setidaknya itu yang kurasakan–. Aku
memiliki beberapa teman dekat, empat orang. Mereka
semuanya adalah perempuan. Ternyata, memiliki teman
dekat bisa semenyenangkan ini. Semasa SMP, aku tidak
pernah merasakan hadirnya sesosok teman. Aku selalu
melakukan semuanya sendirian, tak pernah bercerita
pada siapa pun, dan tak pernah dekat dengan siapa pun.
Selama satu tahun di SMA, aku sangat menikmati setiap
momen yang terjadi. Masuk tahun kedua, naik ke kelas
XI, aku mulai merasa ganjil dan tidak nyaman dengan
pertemanan ini.
Mereka memperlakukanku dengan baik, mereka
menyapaku, ramah kepadaku, dan sering meminta
bantuanku. Kadang, setiap pulang sekolah kami selalu
menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Jingga,
salah satu dari empat teman dekatku. Rumahnya dekat
sekali dengan sekolah, orangtua Jingga jarang berada
di rumah karena sibuk bekerja. Kami sering
mengerjakan tugas di rumahnya. Ah, mungkin bukan
kami, tapi aku. Mereka sering mamintaku mengerjakan
tugas-tugas mereka, membantu membersihkan rumah
Jingga, memesankan makanan, dan lain sebagainya.
Perasaan tidak nyamanku semakin kuat ketika ketua
kelas kami, Grefani, berbicara padaku. Ia bilang aku
harus punya harga diri. Tapi harga diri itu yang seperti
apa? aku tidak mengerti. Aku hanya mencoba yang
terbaik dan membantu mereka sebisaku. Jika aku tidak
membantu mereka, aku akan kehilangan mereka. Aku
tidak ingin kehilangan kawan. Rasanya memang tidak
nyaman, tapi aku tidak mau merasa kesepian lagi.
Hari ini adalah hari Jumat, besok libur. Kami
memutuskan untuk berkunjung ke rumah Jingga.
Sesampainya di sana, seperti biasa, mereka asal
melepas sepatu dan melemparnya ke arah pintu dengan
kaki mereka.
―Dan, tolong bereskan sepatunya dulu ya!‖ sahut
Yasfa, salah satu teman dekatku. Aku tersenyum,
tepatnya aku mengharuskan diriku untuk selalu
tersenyum karena aku takut mereka pergi

207 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 208

meninggalkanku. Kami berkumpul di ruang tengah.


Jaket, tas, dan kaus kaki mereka berserakan.
―Dan, kamu bisa bereskan barang-barang kita
dulu, kan? Kita mau milih film dulu nih buat ditonton
bareng-bareng,‖ pinta Kila, salah satu teman dekatku
juga. Aku tersenyum kembali selagi mereka memilih
film.
―Dan, kalau sudah beres, kita beli basreng sama
sop buah yang di pertigaan itu, yuk? Nanti kita traktir
deh, tapi kamu yang beli, ya?‖ pinta Popi kepadaku.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum sambil meng-iya-
kan. Sepulang dari membeli basreng dan sop buah,
mereka sudah mulai menonton film tanpa menungguku
kembali terlebih dahulu. Kejadian ini sudah sering
terjadi, bahkan terkadang mereka tak segan untuk
memintaku mengerjakan tugas mereka.
Pernah sekali waktu aku tidak bisa ikut ke rumah
Jingga karena bibi menyuruhku langsung pulang.
Keesokan harinya mereka mengerubungiku dengan
ucapan rindu.
―Daniza, sayang sekali kemarin kamu tidak ikut,
kita rindu kehadiran kamu,‖
―Nanti-nanti kamu harus ikut kita lagi ya?
Rasanya sepi banget kalau ga ada kamu,‖
―Iya betul, Dan. Kehadiran kamu tuh sangat
dirindukan,‖
Dan ucapan-ucapan rindu lainnya.
Aku tersenyum, tapi entah mengapa rasanya
getir. Masuk tahun ketiga di SMA, naik ke kelas XII,
aku semakin muak dengan ucapan rindu mereka.
Sekarang aku paham perkataan ketua kelasku dulu,
Grefani, bahwa aku harus punya harga diri. Mereka
tidak memperlakukan aku sebagai teman mereka.
Mereka membalut niat busuk dengan ucapan rindu.
Bahkan mereka bersenang-senang sendiri tanpa pernah
melibatkanku dalam kesenangan mereka. Barang sekali
pun, rasanya aku tak pernah benar-benar satu momen
dengan mereka. Dan dengan tidak tahu malunya, sampai
saat ini pun mereka masih sering berkata, ―Dan, main ke
rumah Jingga lagi, yuk? Kami rindu nih,‖.
Brengsek!
***

Masa sekolahku sudah usai, bibi bilang sudah tak


mampu membiayai kehidupanku lagi. Aku harus mandiri.
Bibi juga menyarankan aku untuk melanjutkan
pendidikan dengan mencari beasiswa. Aku mengikuti
saran bibi. Susah payah mencari, akhirnya aku berhasil
mendapatkan beasiswa S1 di salah satu perguruan tinggi
swasta. Semua keperluan aku siapkan sendiri. Setelah
resmi menyandang status sebagai mahasiswa, aku
berencana mengabari bibi. Aku juga sudah mendapatkan
posisi kerja paruh waktu, jadi bibi tak perlu terlalu
terbebani lagi dengan kehadiranku. Belum sempat kabar

209 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 210

itu sampai, bibi sudah menutup telinganya, matanya, dan


kehidupannya. Bibi tiba-tiba pergi dengan dibalut kain
kafan. Sekarang aku benar-benar sendiri, dan harus
bertahan sendirian. Aku harus kuat, lebih kuat dari
sebelumnya.

Rutinitasku tidak jauh dari kuliah dan kerja.


Kehidupan perkuliahanku biasa saja, aku tidak begitu
dekat dengan kawan-kawan di kampus. Selesai urusan di
kampus, aku akan langsung pulang, tak pernah ada istilah
nongkrong atau main ke indekos kawan. Di tempat kerja
pun aku bukan karyawan yang menonjol. Aku semakin
jarang berbicara dengan orang, berbicara seperlunya
saja. Tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, tak ada
yang yang bisa aku percayai, entah itu keluarga ataupun
teman. Sampai akhirnya aku mengenal seorang pria di
tempat kerjaku. Dia bekerja sebagai supervisor, aku
memanggilnya dengan sebutan Mas Rey. Awalnya ia
hanya menanyakan alasanku yang jarang berbaur.
Perlahan rasa kesepianku mulai hilang.

―Dan, gimana kuliah kamu? Lancar?‖ tanya Mas


Rey di suatu malam ketika makan bersamaku.
―Lancar, Mas,‖ jawabku tersenyum malu. Aku
masih belum terbiasa berbagi sesuatu dengan orang
lain, baik itu kisah maupun sebuah emosi.
―Santai saja, Dan. Jangan kaku gitu, ya? Kalau ada
apa-apa jangan sungkan untuk cerita sama mas,‖
perkataan Mas Rey itu seakan bisa membaca polah
tingkah yang aku tampakkan. Berawal dari tawaran itu
pula aku menjadi lebih terbuka. Semakin hari kami
semakin dekat. Kadang pula, Mas Rey membantuku
menyelesaikan tugas kuliah. Aku mulai nyaman untuk
bercerita dan mulai berani mengekspresikan diri di
depan Mas Rey. Perlahan kisah demi kisah yang sudah
kulalui berenkarnasi menjadi suara dan tangisan yang
aku tunjukkan, mulai dari kisah tentang teman-temanku
sampai keluargaku. Telinganya selalu siap mendengar,
matanya tak pernah lepas menatap lembut ke arahku,
bahunya menjadi tempat ternyaman untuk bersandar.
Mas Rey memberikan pelukannya untukku.
―Kamu hebat banget bisa bertahan sampai sejauh
ini. Aku tau itu pasti berat,‖ bisik Mas Rey sambil
menepuk halus pundakku. Aku menangis, rasanya sangat
lega dapat meluapkan semua yang kutahan selama ini.
Aku tidak tahu bahwa ada tangan yang sudi memelukku,
hangat, menyenangkan, dan menenangkan.
―Dan, mulai sekarang jangan memendam semuanya
sendirian, ya?‖ Mas Rey menatap mataku sambil
mengusap sisa air mata di pipiku. Aku mengangguk,
keningku dikecupnya dengan lembut. Aku akan sangat
merindukan pelukan ini.
***

Malam itu hujan lebat, jam sudah menunjukkan


pukul 22.00 WIB. Aku dan Mas Rey memaksakan diri

211 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 212

menembus hujan karena malam sudah terlalu larut. Mas


Rey mengantarkanku sampai ke depan rumah. Tubuh
kami basah kuyup karena tidak memakai jas hujan. Aku
mempersilakan Mas Rey untuk berteduh dulu di
rumahku. Sembari menunggu Mas Rey membersihkan
dan mengeringkan tubuhnya, aku mencari pakaian ganti
yang sekiranya dapat digunakan oleh Mas Rey. Aku
menyimpan pakaian itu di atas kasur dalam kamar tamu.
Mas Rey keluar kamar mandi dengan tubuh dibalut
handuk. Rambutnya basah, sekilas aku melihat ada air
yang menetes dari rambutnya dan membasahi dadanya
yang bidang.
―Mas, itu baju gantinya sudah kusiapakan. Ada di
atas kasur, di kamar tamu. Aku mau nyiapin buat makan
dulu, ya? Kamu mau kopi atau teh?‖
―Teh hangat saja. Makasih ya, Dan!‖ ucapan terima
kasih itu terasa manis dengan hiasan senyumnya. Aku
bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam
dan teh hangat. Kami menikmati makan malam yang
diiringi suara derasnya hujan. Jam menunjukkan pukul
23.30 WIB, tapi hujan masih belum reda juga. Akhirnya
aku meminta Mas Rey untuk tidur di sini saja karena
malam sudah sangat larut. Mas Rey setuju, ia tidur di
kamar tamu. Kamar itu dulunya adalah kamar bibiku.
Semenjak bibi tiada, aku menjadikannya sebagai ruang
serbaguna, salah satu gunanya adalah sebagai kamar
tamu.
Kami terlelap di kamar masing-masing, namun aku
terbangun karena mendengar suara pintu yang dibuka.
Dengan penglihatan yang masih menerka-nerka, aku
melihat sosok Mas Rey yang berjalan perlahan ke
arahku. Ia merengkuh tubuhku lalu berbisik, ―Daniza,
kamu percaya sama mas, kan?‖ ini jelas suara Mas Rey.
Suaranya lembut dan terdengar berwibawa. Aku
merasakan hembusan napas pada tengkukku. Aku
mengangguk lemah karena masih setengah sadar.
Setelah itu, Mas Rey mulai mencumbu dan menindih
tubuhku.
Setelah malam itu, Mas Rey seringkali berucap
rindu. Dan setiap ucapan rindunya selalu berakhir di
atas kasur. Awalnya aku merasa tidak ada yang salah,
tapi lama-lama menjadi risih. Aku memberanikan diri
untuk berbicara jujur kepada Mas Rey.
―Mas, kayaknya yang kita lakukan salah. Lama-lama
aku merasa risih dan bersalah atas apa yang kita
lakukan, Mas,‖
―Kenapa, Dan? Kamu jangan takut ya. Mas itu
sayang sama kamu, makanya Mas selalu rindu untuk
melakukannya,‖ jawab Mas Rey sambil menggenggam
tanganku dan menatap mataku lekat-lekat. Punggung
tanganku diciumnya dengan lembut. Aku hanya bisa
mengangguk karena sekarang hanya Mas Rey yang aku
punya. Aku memercayainya dan aku menyayanginya.

213 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 214

Enam bulan berlalu, Mas Rey tiba-tiba sulit


dihubungi sampai pada suatu hari ia mendatangi
rumahku.
―Mas Rey? Mas ke mana saja? Aku khawatir,‖ aku
menyambutnya dengan sebuah pelukan, tapi tubuhnya
diam tak berkutik. Tak ada tangan yang membalas
peluk, tak ada pula mata yang menatap balik.
―Dan, maaf,‖ hanya itu yang terucap dari
mulutnya.

―Ada apa, Mas? Kenapa Mas Rey minta maaf?‖

―Bulan depan Mas mau nikah, Dan. Mas harus


bertanggung jawab,‖

Pikiranku mencoba mencerna perkataan Mas


Rey. Mataku mulai berlinang dengan segala asumsi dan
prasangka yang berkeliaran di pikiranku.
―Bertanggung jawab apa, Mas?‖ jantungku
berdegup, tak siap mendengar kenyataan bahwa
prasangka pikiranku adalah sebuah kebenaran.
―Kamu tahu, Dan. Mas akan menjadi seorang
ayah,‖
―Apa Mas Rey tidak merindukanku? Mas sudah
tidak rindu?‖ aku benci ketika prasangkaku benar
adanya.
―Maaf, Dan,‖ hanya itu yang terucap. Mas Rey
lantas pergi meninggalkanku yang hanya bisa menatap
punggungnya semakin menjauh. Aku sendiri. Sampai
kapan pun aku memang selalu sendirian. Takdirku adalah
tenggelam dalam kesendirian. Tak ada yang namanya
teman, kekasih, atau bahkan keluarga. Peran dan status
tersebut hanya menjadi sebuah dongeng di
kehidupanku. Dongeng yang acap kali diikat dengan
romantisasi kerinduan.
Aku kembali masuk ke dalam rumah, tubuhku
lemas, kepalaku pusing. Aku mengunci diriku di kamar,
menyatu dalam senyap dan keheningan ruang ini.
Gawaiku tiba-tiba berdering, aku melihat nomor yang
tak dikenal menghubungiku.
―Halo?‖ sapaku membuka percakapan seluler.
―Daniza? Ini Ayah,‖
Jantungku berpacu, napasku menjadi tidak
normal, pikiranku kalut mengingat bagaimana ayah
mengajakku menari, tapi aku tidak berani menutup
telepon itu.
―Iya, Ayah. Ada apa?‖ suaraku sedikit bergetar.
―Daniza, tidak rindu menari dengan ayah?‖
tanganku lemas, gawai itu terjatuh. Aku benar-benar
takut. Dengan keberian yang tersisa, aku menutup
telepon itu.
Kring! Sebuah pesan masuk.
―Daniza, mengapa kamu menutup telepon dari
ayah? Ayah kan rindu. Daripada kamu tinggal sendirian
di sana, bagaimana kalau kamu tinggal bersama ayah
saja? Nanti kita bisa berbagi rindu dengan menari
seperti dulu, bagaimana?‖

215 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 216

―Tidak mau!‖ spontan aku berteriak, membanting


gawai dengan harapan suara dan pesan itu berhenti
mendatangi. Bayangan akan masa laluku bersama ayah
tiba-tiba tergambar jelas dalam ingatanku. Kamar ini
kembali sunyi. Aku merasa sedikit tenang dalam
kesenyapan ini. Dengan sisa tenaga, aku mencoba untuk
berdiri. Tanganku bertumpu pada meja. Belum tegak
tubuhku berdiri, kepalaku tiba-tiba pusing. Aku
terjatuh. Terdengar suara-suara perempuan yang
memenuhi ruangan ini.
―Dan, tolong bereskan sepatunya dulu ya!‖
―Daniza, kamu bisa bereskan barang-barang
kita dulu, kan? Kita mau milih film dulu nih buat
ditonton bareng-bareng,‖
―Dan, kalau sudah beres, kita beli basreng sama
sop buah yang di pertigaan itu, yuk? Nanti kita traktir
deh, tapi kamu yang beli, ya?‖
―Daniza, main ke rumah Jingga lagi, yuk? Kami
rindu kamu,‖
Suara-suara itu mengelilingiku. ―Hentikan! Aku
tidak ingin bersama kalian lagi!‖. Aku merangkak ke
pojokan kamar untuk menghindari suara itu. Sambil
memeluk lutut dan menutup mata, aku berteriak dengan
harapan suara itu hilang dan lenyap. Kamar ini kembali
senyap.
Aku memberanikan diri melihat ke sekeliling.
Tidak sengaja, mataku menangkap potret Mas Rey yang
kupajang di dinding. Sosok itu tiba-tiba bersuara.
―Daniza, kalau ada apa-apa jangan sungkan
untuk cerita sama mas, ya?‖
―Dan, aku rindu kamu. Kita ketemu, yuk?‖
―Daniza, kamu percaya sama mas, kan?‖
―Dan, jangan takut ya? Aku sayang sama kamu,
makanya aku rindu,‖
Amarahku memuncak. Potret itu terlepas dari
dinding dan berubah menjadi serpihan kertas kecil yang
berserakan. ―Diam! Hentikan! Dasar Bajingan kalian
semua!‖ aku berteriak sekencang mungkin, lalu
menangis.
Persetan dengan ucapan rindu kalian semua!
Brengsek!
Mengapa orang-orang selalu mendapatkan rindu
yang romantis? Aku pun ingin! Tangisku memecah
kesunyian kamar, tanganku mengepal memukul-mukul
dadaku karena terasa sangat sesak dan menyakitkan.
Aku rindu pada sesuatu yang tak pernah aku dapatkan.
Aku rindu merasakan rindu. Lalu, samar-samar aku
mendengar sebuah bisikan. Suara ini berbeda dari
suara-suara yang sebelumnya kudengar. Nadanya lirih
berkata, ―Daniza, apa kau tidak rindu pada Tuhanmu?‖.
Kemudian suara itu perlahan menghilang seiring dengan
hilangnya diriku.

217 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 218

Rumah
Karya : Shoffi Hanifa

Yogi mengacak-acak rambutnya gusar. Piano

di hadapannya berdenting nyaring saat ia


membenamkan kepalanya disana. Sudah dua jam ia
berada di studio kecilnya dan belum ada satupun melodi
yang terbentuk. Yogi sudah berkali-kali merekam
melodi yang terlintas di benaknya, dan sebanyak itu
pula ia menghapusnya lagi. Tak ada satupun melodi yang
sesuai dengan permintaan mentornya.
Berkuliah di Jurusan Seni Musik seperti yang ia
impikan, seharusnya membuat Yogi senang dan
bersemangat dalam melalui hari-harinya. Namun pada
kenyataannya, ia justru dirundung stres
berkepanjangan dan terus-menerus merasa tertekan.
Yogi pertama kali mengenal piano saat ia masih SMP dan
langsung jatuh hati pada saat itu juga. Tak lama setelah
itu, ia pun mulai membuat musiknya sendiri. Keluarganya
menentang mimpinya untuk menjadi seorang komposer,
tetapi ia tidak mau menyerah dan terus
memperjuangkan mimpinya. Yogi bahkan rela merantau
dan mengambil berbagai pekerjaan sampingan demi
membiayai kuliahnya.
Sejak saat itu, sudah dua tahun Yogi tidak
berkomunikasi dengan keluarganya. Kakak laki-lakinya
terkadang menghubunginya, tetapi mereka tidak pernah
bertemu. Walau begitu, Yogi tidak pernah merasa
kesepian karena ia memiliki para sahabat di sekolahnya.
Merekalah yang telah membantu Yogi bangkit dari
depresi yang ia alami.
Yogi menegakkan badannya, memejamkan
matanya, dan menghela napas panjang. Ia membuka
matanya perlahan dan menatap ke layar komputernya
yang tidak berubah sejak dua jam yang lalu. Yogi
bangkit dan menuju sofa kecil di belakangnya dan
mengambil ponselnya. Ia cek satu-satunya grup
percakapan yang aktif ia ikuti selain grup kelasnya;
grup dengan keenam sahabatnya.
Kosong. Tidak ada satupun pesan baru.
Yogi menghela napas berat tanpa ia sadari.
Biasanya ia akan mematikan fitur notifikasi saking
berisiknya grup tersebut, sehingga ia bisa
berkonsentrasi membuat lagu. Namun, belakangan ini
yang terjadi justru kebalikannya. Yogi tahu mereka
sudah bukan siswa SMA lagi dan memiliki kesibukan
masing-masing, tetapi tetap saja ia merasa ada sesuatu
yang mengganjal di hatinya.
Yogi bukan tipe yang suka membuka percakapan.
Namun, hari itu entah mengapa ia melakukan yang
sebaliknya. ‗Apa yang sedang kalian lakukan?‘ jarinya
mengetik cepat. Pesannya langsung terkirim ke enam

219 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 220

orang anggota lain di grup tersebut, tetapi tidak ada


satupun yang sudah membacanya. Yogi pun memejamkan
matanya kembali sambil menyandarkan kepalanya yang
tiba-tiba terasa sangat berat ke sandaran sofa.
Pikirannya melayang ke enam sahabatnya.
Menghabiskan hampir seluruh masa SMP dan
SMA-nya bersama-sama, membuat Yogi merasa paling
dekat dengan Juna. Walau memiliki latar keluarga yang
bertolak belakang, tetapi kecintaan mereka yang sama-
sama kuat pada musik membuat mereka menjadi rekan
yang tak terpisahkan. Jika Yogi membuat melodi, maka
Juna yang akan menulis liriknya. Lagu ciptaan mereka
sudah banyak memenangkan perlombaan maupun terjual
secara komersiil. Walaupun tidak seberapa, tetapi hasil
yang mereka dapatkan sangat berarti bagi Yogi untuk
menyambung hidupnya. Kini Juna tengah menghadapi
kesulitan serupa dengan yang dialami Yogi. Tahun lalu,
perusahaan ayahnya bangkrut, sehingga ia harus ikut
bekerja demi membantu keluarganya. Lain dengan Juna
dan dirinya, Haris dan Satya mendapat dukungan dari
keluarganya.
Sejak memasuki tahun kedua perkuliahan,
masing-masing dari mereka direkrut oleh agensi
hiburan sebagai model dan penari. Awalnya Yogi sempat
iri dengan mereka berdua. Hidup mereka terlihat
begitu mulus; sangat berbanding terbalik dengan
kehidupannya. Namun, setelah mereka menjadi dekat
dan sering bertukar cerita, Yogi sadar mereka juga
berjuang menghadapi masalah mereka sendiri.
Bertahun-tahun mereka membuktikan diri demi
meyakinkan keluarga mereka yang sangat ketat aturan
itu.
Terlahir setahun lebih awal, membuat Yogi dan
ketiga teman lainnya sering menganggap Chris, Firman,
dan Ian seperti adik mereka sendiri. Pertemanan
mereka berawal dari Satya yang mempertemukan
mereka dengan Firman, adik sepupunya. Dari situlah
mereka mengenal Chris dan Ian. Saat SMA, mereka
bertujuh sempat terlibat konflik yang cukup serius
sehingga mereka menjadi dingin satu sama lain.
Ironisnya, justru konflik itulah yang memperkuat
persahabatan mereka hingga saat ini.
Yogi menatap layar ponselnya kembali. Sepuluh
menit berlalu dan baru ada balasan dari Satya. Itupun
terkesan terburu-buru karena ia harus kembali ke sesi
pemotretannya. Yogi menghela napas panjang untuk
yang ketiga kalinya. Ia matikan ponselnya dan
memutuskan untuk pergi membeli kopi kesukaannya di
kedai seberang gedung ini.
Entah mengapa, ia merasa amat lelah dari
sebelumnya.

***

Kolam renang terbengkalai itu masih sama persis


sejak mereka tinggalkan 1-2 tahun yang lalu. Sepetak

221 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 222

tanah kosong yang dibiarkan begitu saja oleh


pengelolanya yang jatuh bangkrut, meninggalkan kesan
angker bagi warga sekitar. Namun berbeda bagi
ketujuh pemuda yang bersekolah tepat didepannya.
Pada bulan-bulan tertentu, beberapa jenis bunga liar
bermekaran di semak-semak yang menyembul diantara
pepohonan disana. Bagi Yogi dkk., kolam renang bekas
itu merupakan tempat persembunyian mereka ketika
mereka sedang jenuh ataupun dirundung masalah
semasa SMA. Mereka sering membawa makanan dan
menghabiskan waktu disana bersama-sama.
―Hm? Baru ada kau, Man?‖ tanya Chris pada
Firman yang tengah berbaring di atas kursi kayu
panjang yang sudah patah pada salah satu bilah
kayunya. Sebungkus besar plastik berisi berbagai
camilan kesukaanya teronggok begitu saja di dekat
kakinya. Chris yang juga membawa sebungkus besar
makanan menaruh plastik Firman di bawah kursi
bersama miliknya dan mendudukkan dirinya sebagai
gantinya. Ia bersandar pada sandaran kursi yang sudah
cukup lapuk itu secara perlahan. ―Yang lain belum
datang?‖ tanyanya lagi.
―Kak Satya tidak bisa datang,‖ jawab Firman
sambil memainkan lolipopnya bosan, ―harus membantu
Wanda pindahan atau semacamya. Ian bilang ia akan
menyusul begitu gilirannya selesai, tapi aku tidak yakin
ia bisa datang di akhir pekan seperti ini.‖
Chris menghela napas. ―Kak Haris juga tidak
bisa datang, ia diminta koreografer kami untuk tinggal
seusai latihan tadi,‖ ujar Chris lelah. Karena tidak ada
jadwal kuliah di akhir pekan seperti ini, ia harus berlatih
tari di agensi yang sama seperti Haris jauh lebih awal
dari biasanya. Tubuhnya lelah, tetapi ia selalu
menyempatkan diri untuk berkumpul dengan
sahabatnya. Chris mengecek grup percakapan mereka.
Hanya bertambah pesan dari Juna yang mengabarkan
absennya ia malam itu. Chris menghela napas lagi.
―Kak Juna barusan bilang tidak bisa datang,‖
ucap Chris mengabarkan pesan yang baru dibacanya.
Raut wajah Firman tetap datar saat mendengarnya, ia
bahkan tidak bertanya alasannya. Firman bangkit dan
mulai membuka plastik miliknya dan mulai membuka
bungkus camilan kesukaannya. ―Kak Yogi tidak ada
kabar?‖ tanya Chris yang masih menatap layar
ponselnya. Firman hanya menggeleng dan ikut membuka
ponselnya.
Chris sangat tidak suka ini. Keadaan mereka
saat ini sangat mirip dengan keadaan mereka dua tahun
yang lalu. Chris masih ingat dengan jelas
pertengkarannya dengan Firman, perang dingin antara
Haris dan Juna, Ian yang hampir dikeluarkan dari
sekolah karena dituduh mencuri soal ujian, maupun cinta
segitiga antara Yogi-Wanda-Satya. Tanpa sadar, ia jadi
membandingkan keadaan mereka yang dulu dan
sekarang.

223 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 224

―Kau tahu,‖ ucap Chris pelan, ―aku mulai


khawatir pada Kak Yogi.‖ ―Khawatir bagaimana?‖ tanya
Firman.
―Aku tahu Kak Yogi tidak banyak omong dan
jarang mengirim pesan di grup,‖ ujar Chris, ―Tetapi
sudah hampir dua minggu aku tidak mendengar
kabarnya sama sekali. Ia bahkan tidak membalas
pesanku yang kukirim langsung untuknya.‖
Firman diam sebentar sebelum menjawab.
―Mungkin ia sedang dikejar deadline,‖ jawab Firman
perlahan ―Kau tahu bagaimana dirinya ketika stres saat
membuat lagu.‖
Chris bahkan tidak perlu melihat ekspresinya
untuk merasakan keraguan dalam ucapan Firman.
―Hingga tak sempat membuka ponselnya selama dua
minggu sama sekali?‖ ucap Chris lagi. ―Aku masih bisa
paham jika ia tidak mengangkat telepon kita, ataupun
malas membaca grup yang sudah tidak ia buka selama
berhari-hari, tetapi apa sulitnya membaca pesan
pribadi? Aku berkata seperti ini karena Kak Haris juga
merasakan hal yang sama sepertiku. Ia juga sudah
berkali-kali mengirim pesan pribadi pada Kak Yogi
namun belum juga dibalas.‖
Kali ini sunyi menyelimuti mereka. Firman tidak
bisa membalas apapun sedangkan Chris juga tidak
melanjutkan. Mereka tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing. Walau terkesan terus mematahkan
argumen Chris, jauh di dalam lubuk hatinya, Firman
sebenarnya juga merasakan kerenggangan pada
persahabatan mereka bertujuh. Chris memang hanya
menekankan pada ketidakhadiran Yogi, tapi Firman
yakin, sahabatnya itu juga pasti merasakan hal yang
sama seperti dirinya. Ia bahkan sudah lupa kapan
terakhir kalinya mereka bertujuh berkumpul.
―Apa karena kita terlalu sibuk sendiri ya?‖
sahut Chris membuyarkan lamunan Firman. Kali ini ia
sudah tidak bersandar melainkan menatap kosong kolam
renang bekas di bawah mereka; wafer cokelat yang
sudah terbuka di tangannya hanya ia pegangi sedari
tadi.
―Tapi kita sudah bukan siswa SMA lagi, Chris,‖
ujar Firman, ―Kita kini punya pekerjaan masing-masing,
tidak mungkin kita bisa berkumpul sesering dulu.‖
Chris menggeleng cepat. ―Tidak, tidak,
maksudku bukan itu,‖ jawab Chris cepat. ―Pikirkan ini;
Ian bersama Hani, Kak Satya bersama Kak Wanda, aku
ada Kak Haris di agensi, kau pun ada Kak Satya di
agensimu,‖ lanjutnya, ―maksudku adalah, tidak ada
satupun dari kita yang benar-benar sendirian. Tapi Kak
Yogi tidak; baik di kampus maupun di tempat kerja, Kak
Yogi benar-benar sendirian.‖
Wanda adalah teman masa kecil Yogi sekaligus
cinta pertamanya yang tidak pernah ia sampaikan.
Satya dan Yogi sempat bertengkar hebat akibat
kesalahpahaman diantara mereka berdua saat Wanda
harus pergi mengikuti ayahnya yang seorang diplomat.

225 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 226

Namun Yogi langsung mengubur perasaannya begitu


mengetahui bahwa yang Wanda sukai adalah Satya.
Sedangkan Hani adalah murid pindahan yang membantu
Ian menemukan pelaku sebenarnya yang menuduh
dirinya. Walau Hani terlihat sering bertengkar dengan
Ian, mereka semua tahu kalau itu hanya bentuk
kekhawatirannya akan sifat Ian yang terlalu baik
sehingga terkadang dimanfaatkan beberapa siswa di
sekolah mereka.
―Tapi masak sih dia tidak punya teman di
kampus ataupun di tempat kerjanya,‖ sahut Firman,
membuat Chris memutar bola matanya tidak sabar. ―Kau
tidak ingat bagaimana takutnya dirimu saat pertama
kali bertemu Kak Yogi? Ia memang baik dan perhatian,
tapi dia juga bukan tipe yang mudah didekati untuk
pertama kali.‖
Firman mengelus-elus dagunya tanpa sadar.
―Apa yang ingin kau katakan dengan itu?‖
Chris menghela napas dan menatap ke langit
malam diatas mereka. Ia diam sebentar sebelum
menjawab perlahan. ―Aku punya rencana, tapi… aku
butuh bantuanmu.‖
***

Yogi tidak tahu sudah berapa kali ia mengecek


jam tangannya. Malam itu, entah bagaimana ia sampai
bisa terdampar di jalanan yang dipenuhi dengan
berbagai penjaja makanan di kanan-kiri jalan. Padahal ia
masih harus merevisi lagu yang baru saja dinilai oleh
mentornya, tapi Chris sangat berkeras untuk
mengajaknya ikut. Ia yang minta ditemani untuk
mencoba makanan disini, tetapi dia juga yang
meninggalkannya sendirian sekarang.
Oh, tidak juga. Yogi tidak sepenuhnya sendirian
karena sekarang ia bersama salah satu teman Chris
yang juga ikut malam itu, Fani. Atau Rani? Lani? Yogi
bahkan lupa nama gadis di sebelahnya ini. Awalnya, Yogi
kira ia adalah kekasih Chris yang ingin ia perkenalkan,
tapi ternyata bukan. Begitu melihat Satya, Wanda, dan
Firman juga ikut, Yogi sudah berencana pergi memilih
makanan dengan Firman saja –agar ia tidak terjebak
dengan dua pasangan itu– tapi nyatanya Chris malah
meninggalkannya dan pergi dengan Firman.
Yogi menghela napas lelah. Ia sadar bahwa
dirinya bukanlah pribadi yang hangat. Hampir semua
orang yang belum mengenalnya enggan menyapanya
terlebih dahulu karena pembawaannya yang dingin.
Bahkan diantara sahabatnya pun, hanya Haris si ceria
yang dapat menarik keluar sisi gilanya yang penuh
senyum dan tawa. Fani –atau Rani, atau siapapun dia–
sebenarnya adalah gadis yang baik. Ia sopan, tidak
banyak omong, suka tersenyum, dan menyukai musik
juga seperti Yogi. Sebenarnya Yogi akan dengan senang
hati mengobrol lebih lama dengannya, tetapi saat itu
pikirannya hanya dipenuhi oleh lagunya. Ia bukan tipe

227 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 228

yang mudah membagi perhatiannya, sehingga Yogi tidak


fokus saat beberapa kali ditanya olehnya.
Setelah kira-kira dua puluh menit menelusuri
jalanan tersebut, akhirnya gadis ini bisa memutuskan
hendak memesan apa. Saat sedang mengantri, ponsel
Yogi tiba-tiba bergetar. Ia membuka dan mendapati
ada pesan baru dari grup kelasnya. Matanya membulat
tidak percaya saat membaca pengumuman bahwa batas
waktu pengumpulan karya mereka diperpendek. Tanpa
membaca dua kali, Yogi pun langsung buru-buru
menyimpan ponselnya dalam saku dan pamit sambil tidak
lupa meminta maaf padanya. Yogi begitu terburu-buru
hingga ia bahkan lupa untuk pamit pada Chris dan yang
lain.

***

―Kau yakin kali ini akan berhasil, Chris?‖ tanya


Firman pelan agar tidak terdengar yang lain.
Pandangannya tidak pernah fokus, matanya pun terus
bergerak tidak tenang. Saat itu mereka berdua sedang
menyalakan api unggun di tepi kolam renang kenangan
mereka. Walaupun rencananya sempat gagal, tapi Chris
tidak menyerah. Kali ini, ia bekerja keras demi
mengumpulkan seluruh sahabatnya untuk hadir malam
itu. Chris bahkan sampai meminta bantuan Wanda juga.
―Tenang saja,‖ jawab Chris penuh keyakinan,
―aku yakin kali ini akan berhasil.‖ ―Semoga saja,‖ gumam
Firman seraya melemparkan kayu bakar ke bara api.
Seiring api yang semakin membesar, sahabat
mereka pun satu per satu mulai berdatangan. Juna,
tidak seperti biasanya, tiba pertama. Ia membawa
sebungkus camilan yang kelihatan asal ia pilih dan
langsung menawarkan bantuan. Chris pun memintanya
untuk merakit meja lipat besar yang sengaja ia bawa.
Ian dan Haris menyusul kemudian. Haris yang membawa
selusin kopi dari kafe tempat Ian bekerja tersenyum
lebar seperti biasa; kontras dengan Ian yang terlihat
sedikit murung. Pasti karena Hani tidak bisa datang,
pikir Chris dan Firman tanpa harus bicara. Mereka
berdua langsung bergabung dengan Juna dan membantu
merapikan makanan dan minuman yang mereka bawa.
Tak lama kemudian, Satya dan Wanda pun tiba.
Melihat Satya membawa beberapa kotak bekal yang
ditumpuk tinggi dan ia bawa di pelukannya, membuat
Ian langsung melesat membantunya. Mata besarnya
membulat begitu melihat masakan buatan Satya yang
terlihat sangat lezat. Reaksi Ian membuat yang lain
menjadi ikut heboh dan mengerubungi masakan Satya,
sehingga kehadiran Yogi dan seorang gadis lain
dibelakangnya hampir tidak mereka sadari. Gadis itu
hanya berdiri bingung di tempatnya hingga Wanda
memperkenalkannya sebagai temannya. Mereka pun
saling bertukar salam canggung sebelum melanjutkan
kegiatan mereka sebelumnya.
Yogi menghempaskan dirinya ke samping Chris
dan mulai membantu mengipasi api unggun mereka yang

229 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 230

sudah mulai membesar. ―Mengapa wajahmu kusut


begitu?‖ sahut Chris saat menoleh kearahnya. ―Kukira
kita pernah berjanji untuk menjaga tempat ini hanya
untuk kita bertujuh?‖ gumamnya sambil melemparkan
sebuah kayu bakar dengan kesal. ―Kalau Wanda aku
masih bisa mengerti, tapi temannya? Mengapa dia harus
ada disini?‖
Chris bertukar pandang gugup dengan Firman
sekilas. Chris menelan ludah dan berusaha untuk tenang.
―Jangan terlalu keras begitu,‖ ujarnya, ―Hani dan
Wanda sudah cukup sering kesini; bertambah satu
orang lagi seharusnya tidak jadi masalah, ‗kan?‖
―Masalah untukku,‖ gumam Yogi yang kini mulai
menyiramkan minyak ke api unggun mereka. ―Lagipula
mengapa Satya dan Wanda terus meninggalkannya
berdua denganku? Kalau mereka memang ingin
berduaan, tidak perlu sengaja menjemputku pun aku
bisa kesini sendiri,‖ keluh Yogi lagi, membuat Chris
makin gugup. Tangan Yogi yang sedang menyodok kayu
bakar tiba-tiba berhenti, pandangannya terpaku pada
api di depannya. Seluruh tubuhnya terlihat kaku dan
dahinya berkerut dalam.
―Ada apa, Kak Yogi?‖ tanya Firman bingung
dengan perubahan gelagat Yogi yang tiba- tiba itu. Yogi
telak mengindahkannya dan malah menatap Chris lekat.
―Kalian tidak sedang berusaha menjodohkanku, ‗kan?‖
tanya Yogi dengan pandangan mematikannya. Sedari
awal, Chris sudah menyiapkan jawaban jika suatu hari
Yogi menyadari rencananya. Namun, ditatap begitu
intens oleh orang semengerikan Yogi membuat Chris
berkeringat dingin dan tidak bisa berkata apa-apa.
Diamnya Chris sudah cukup menjawab
pertanyaan Yogi. Ia menghela napas kasar seraya
bangkit berdiri. Yogi sudah merasa ada yang aneh
dengan tingkah Chris belakangan ini. Yogi tahu Chris
memang butuh banyak perhatian, tetapi ia jarang
berkeras agar keinginannya dituruti. Yogi mengutuki
dirinya yang tidak langsung menyadari sejak ajakan
Chris yang pertama. Sekarang Wanda bahkan sampai
ikut campur. Apa ia sebegitu menyedihkannya?
Juna yang sedang merakit kursi lipat melihat
Yogi yang tiba-tiba pergi meninggalkan mereka. ―Dia
mau kemana?‖ gumamnya pelan namun cukup terdengar
oleh Ian dan Haris di sebelahnya. Mereka bertiga
menoleh dan langsung mencampakkan kursi setengah
jadi di tangan mereka begitu melihat wajah keras Yogi
dan Chris yang terlihat panik menyusul di belakangnya.
Mereka tahu bagaimana jika Yogi sudah marah,
sehingga mereka dengan sigap menyusul keduanya ke
daerah dimana pepohonan tumbuh lebih rapat dan
hampir menyerupai hutan.
―Hei! Mau kemana ka-‖ seru Satya yang bingung
dengan kepergian mendadak mereka, yang segera
dipotong oleh Wanda. Gadis itu tahu persis apa yang
tengah terjadi begitu melihat ekspresi Yogi walau
hanya sekilas. ―Kau pergilah menyusul mereka; ajak

231 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 232

Firman sekalian,‖ ucap Wanda cepat, ―biar aku


menunggu disini dengan temanku.‖
―KUBILANG, PERGI!!!‖
Satya yang awalnya enggan meninggalkan dua
orang perempuan sendirian di tempat itu malam-malam
tanpa penjagaan, langsung berubah pikiran begitu
mendengar gelegar suara Yogi dari kejauhan. Ia dan
Firman langsung melesat menyusul tanpa bicara apapun
lagi. Langkah keduanya tidak pernah melambat hingga
mereka menemukan kelima teman mereka.
Dipusat semuanya, terdapat Yogi dan Chris yang
tengah berdiri berhadapan. Dada Yogi terlihat naik-
turun dengan wajahnya yang mengeras akan amarah,
sedangkan wajah Chris seperti kehilangan warna dengan
mata yang tidak berhenti bergerak tak tenang. Juna,
Ian, dan Haris hanya bisa memperhatikan mereka
berdua dengan ekspresi campur aduk. Tidak ada
seorang pun dari mereka yang membayangkan bahwa
malam yang ditujukan untuk bersantai ini malah
berakhir seperti ini. Ditambah lagi, mereka merasa
gagal sebagai sahabat karena tidak menyadari adanya
konflik seperti ini diantara Chris dan Yogi.
―Apa aku sebegitu menyedihkannya dimatamu
hingga kau harus mencarikan wanita untukku?‖ tanya
Yogi pelan namun justru membuat mereka semua
merinding.
―Tidak, aku bersumpah aku tidak pernah
berpikir seperti itu, Kak Yogi,‖ jawab Chris sambil
menggeleng cepat. ―Aku hanya tidak ingin Kakak merasa
kesepian karena tidak ada satupun dari kami yang
bersama Kakak di kampus maupun tempat kerja Kakak.
Karena itu, aku pikir kalau kakak memiliki-‖
―DAN SEJAK KAPAN AKU PERNAH
MEMINTANYA, HAH!!?‖ bentak Yogi tanpa bisa ia
tahan. ―Tidakkah kalian sadar!? Kita perlahan kembali
terpecah persis seperti saat SMA dulu! Yang benar-
benar kubutuhkan adalah kalian, tetapi kalian semua
sibuk dengan pekerjaan dan kekasih kalian, sehingga
aku-‖ ucap Yogi terhenti dengan suara tercekat.
―Astaga.. aku benar-benar mengatakannya.. lupakan
saja, aku pergi,‖ gumam Yogi lebih pada dirinya sendiri.
Chris dengan sigap menahan lengan Yogi bahkan
sebelum ia sampai di langkah kedua. ―Tidak! Kak Yogi
maafkan aku,‖ ucap Chris dengan air mata yang mulai
menggenangi kedua manik matanya. ―Maafkan aku yang
tidak menyadari perasaan Kakak yang sebenarnya dan
malah bertindak semauku,‖ ucap Chris sambil terus
memegangi lengan Yogi, setitik air mata akhirnya jatuh
ke pipinya. ―Jangan benci aku, tolong..‖
Yogi menengadahkan kepalanya dan menghela
napas panjang. ―Aku tidak membencimu, Chris,‖ ucapnya
berusaha lebih tenang. Ia bahkan sempat menepuk
kepala Chris pelan.
Tepat setelah itu Firman menerobos maju dan
memeluk Yogi erat. ―Maafkan aku juga, Kak,‖ ucap
Firman sambil menyembunyikan wajahnya di bahu Yogi,

233 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 234

―Aku juga ikut membantu Chris; seharusnya


aku-‖
―Tidak apa-apa, Fir,‖ potong Yogi cepat.
Juna mendesah berat melihat ketiga sahabat di
hadapannya. ―Maafkan aku, Yog, aku bahkan tidak
menyadari hal ini dan sibuk dengan duniaku sendiri,‖
ucapnya sambil terus menatap tanah; ia tak bisa
menatap mata Yogi. ―Aku memang teman yang buruk,‖
gumamnya pelan namun masih terdengar oleh Yogi.
―T-tidak Jun, a-aku juga tahu kau tengah
kesulitan membantu keluargamu,‖ ucap Yogi terbata-
bata. Ia semakin sulit mengatur napasnya.
―Baiklah, jujur saja, akulah yang paling brengsek
disini,‖ kini giliran Satya angkat bicara. ―Aku merebut
cinta pertamamu dan aku tetap- oh, astaga, aku bahkan
tidak bisa melihat wajahmu sekarang.‖
Mendengar ucapan Satya membuat Yogi mati-
matian menahan air mata yang berkilauan di kedua
matanya. ―Aku bersumpah aku sudah tidak menyukainya,
dasar kau babi berotot,‖ ucapnya dengan susah payah.
Akhirnya Satya memberanikan diri menatapnya yang
dibalas oleh senyuman hangat oleh Yogi.
―Waaaah, sebenarnya sudah berapa lama
tepatnya aku tidak bertemu kalian?‖ ucap Haris
memandangi pemandangan di hadapannya dengan
senyum merekah namun dengan mata sembab. ―Sejak
kapan kalian semua jadi cengeng begini, hm?‖
―Diam kau, kuda,‖ ucap Yogi yang kini sudah tidak
peduli dengan air matanya yang tidak kuasa ia tahan.
―Ian!‖ panggil Haris, ―Berhenti menangis seperti
bayi di pojokan seperti itu! Aku bisa melihat air
matamu dengan amat jelas, jadi cepatlah kesini!‖
Ian, yang termuda diantara mereka, perlahan
keluar dari tempat persembunyiannya; menampakkan
wajahnya yang sudah basah dan hidung yang semerah
tomat. Yogi tersenyum saat memanggilnya, ―Sini, Yan.‖
Ian pun perlahan mendekati Yogi dan ikut
membenamkan wajahnya pada tubuh Yogi.
―Yooow, waktunya berpelukan!‖ seru Haris
sambil menarik Juna dan Satya dengan kedua tangannya
untuk bergabung dengan yang lainnya.
***

Tidak seperti biasanya, pagi itu kafe kecil yang


selalu mengeluarkan aroma khas kopi yang baru diracik
itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Kafe tempat Ian
bekerja itu biasanya menjadi ramai di malam hari,
terutama akhir pekan. Di pagi hari, apalagi di hari kerja
seperti ini, biasanya hanya beberapa orang saja yang
datang; itupun kebanyakan dari mereka hanya memesan
dan langsung pergi. Hanya segelintir orang yang benar-
benar menyantap pesanan mereka disana.
Karena itulah, Yogi bisa langsung mengenali
sekelompok pengunjung di satu meja besar sebagai
sahabatnya yang sudah mulai berdatangan. Duduk tegap

235 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 236

dengan senyum hangat di wajah tampannya, Satya


langsung tertangkap nitranya. Duduk disampingnya,
Wanda tengah tertawa mendengar apapun yang baru
diucapkan oleh Satya. Di sisi lain Satya, duduklah
Firman. Adik sepupu Satya yang tak kalah tampan
darinya itu sedang menyeruput minuman hangatnya. Ia
terlibat percakapan ringan dengan satu-satunya pria
yang lebih mungil dari dirinya, Chris. Dari gestur
tubuhnya, Chris sedang menceritakan sesuatu yang
membuatnya bersemangat pada lelaki di hadapannya
itu.
Semakin mendekati meja tersebut, Firman pun
menyadari kedatangan Yogi dan langsung memanggil
namanya, membuat semua orang di meja tersebut
langsung menoleh ke arahnya. Chris langsung bangkit
dan memberinya pelukan hangat sebelum menarik Yogi
untuk duduk disampingnya. Yogi menoleh ke pria di sisi
lainnya dan mendapati Juna yang terlihat sangat
kelelahan. Hari itu, kacamata bacanya yang super tebal
ia ganti dengan kacamata bundar bergagang tipis yang
terus-terusan jatuh dari hidungnya karena begitu
seringnya ia mengusap kedua matanya. Lingkaran hitam
yang jelas terlihat dari jarak pandang Yogi sekarang
gagal ia sembunyikan.
―Apa tadi malam ada deadline lagi, Jun?‖ tanya
Yogi khawatir. Ia tahu, selain berkuliah di pagi hari,
Juna juga bekerja paruh waktu di malam hari. ―Yeah,‖
gumam Juna sebelum menenggak habis kopinya.
―Sepertinya aku akan memesan ini lagi, kau mau
apa?‖ tawarnya saat bangkit dari kursinya.
―Seperti biasa,‖ jawab Yogi. Tepat setelah Juna
pergi untuk memesan minuman mereka, Hani muncul
dari sisi lain kafe dan duduk disamping Chris.
―Ian belum selesai juga?‖ tanya Chris pada
Hani. Memiliki waktu kerja yang cukup fleksibel,
membuat Ian terkadang curi-curi waktu seperti ini.
Untungnya ia memiliki rekan kerja yang mudah diajak
bertukar giliran kerja. Hani menggeleng singkat sebagai
jawaban, bibirnya sedikit mengerucut tanpa ia sadari.
―Omong-omong, dimana Haris?‖ tanya Yogi saat
menyadari ada sesuatu yang kurang. Belum sempat ada
yang menjawab pertanyaanya, bel di pintu masuk kafe
berdenting menandakan ada pengunjung yang baru
masuk. Refleks menoleh, Yogi mendapati Haris dalam
balutan kaus kebesarannya yang ia masukkan dengan
gaya ke celana pendeknya. Tak lupa dengan sepatu
besar dan pouch kecil kesayangannya yang tergantung
dan terayun-ayun liar karena begitu semangatnya ia
saat berjalan mendekati mereka. Melihat senyum
cerianya saja membuat Yogi sudah tersenyum simpul.
―Astaga, aku rindu kalian semua,‖ serunya ribut
sambil memeluk mereka satu per satu, bahkan Juna
yang baru saja tiba. Ia berdiri membeku dengan dua
gelas kopi panas di kedua tangannya dan muka datarnya
saat dipeluk oleh Haris. Juna meletakkan kopi Yogi
tanpa bicara sebelum duduk kembali di kursinya.

237 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 238

―Hm?‖ gumam Haris begitu duduk disamping


Firman, kepalanya menengok ke kanan- kiri. ―Sepertinya
ada yang kurang,‖ gumamnya lagi, kini perhatiannya
beralih ke gadis di hadapannya. ―Dimana tukang makan
itu?‖
―Masih menunggu temannya di shift berikutnya
yang belum datang,‖ jawab Hani. ―Kak Haris mau pesan
apa? Biar sekalian kupesankan,‖ tawar Hani sambil
memberikan buku menu. Haris menerimanya dengan
seringai menggodanya. ―Hooo, sebegitu inginnyakah kau
bertemu dengan Ian?‖ ucapnya membuat pipi Hani
sedikit merona.
―Padahal belum lima menit ia menemuinya di
meja barista,‖ sambung Chris yang membuahkan pukulan
keras di punggungnya dari gadis mungil itu. ―Aw! Aku
‗kan hanya menyampaikan fakta,‖ gerutu Chris sambil
mengusap-usap bahunya yang lumayan sakit. Kecil-kecil
begitu, pukulan Hani sangat pedas di kulit.
―Diam kau, pendek!‖ balas Hani sambil
menjulurkan lidahnya kesal.
―Hei! Kau masih lebih pendek dariku!‖ sahut
Chris tidak terima.
―Hanya lima sentimeter; bukan perbedaan yang
signifikan,‖ jawab Hani lagi.
―Apa katamu barusan?‖
―Ada apa ini?‖ tanya Ian yang akhirnya
bergabung dengan mereka. ―Apa yang kalian berdua
ributkan?‖
―Hanya pertengkaran antar orang pendek, Yan,‖
sahut Firman yang tengah melahap roti lapisnya, ―tidak
usah dipikirkan, sini duduk.‖
―Apa kau bilang!?‖ seru Hani dan Chris
bersamaan.
Yogi tersenyum menatap mereka. Biasanya ia
lebih menyukai suasana tenang, seperti di studio
misalnya. Namun, keributan di hadapannya kini tidak
mengganggunya sama sekali. Tanpa ia sadari, justru
inilah hal yang ia butuhkan.
Akhirnya, Yogi merasa seperti kembali ke
rumah.

***

239 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 240

Sepucuk Kilobyte Hangat dari MV Jingu Maru


Karya : Syafi Rilla S. Maghfuroh

Malam itu langit bersih gumpalan awan

tersibak memperlihatkan rembulan bundar sempurna


memancarkan cahaya keemasan. Area parkiran Thiong
Ting terlihat penuh sesak oleh puluhan mobil yang
terparkir rapi berjajar. Nampak ratusan karangan
bunga berhimpitan mengelilingi dinding parkir. Bahkan
ada satu dua karangan bunga yang nyaris tidak
mendapatkan sisa tempat untuk pajangan pada akhirnya
diletakkan di sela antara dua karangan bunga yang
lainnya. Suasana lengang dan tenang, mungkin di dalam
sana acara upacara kematian besar sedang digelar.
Pandanganku beralih pada teriakan yang tertuju padaku.
―Kau pesan apa?‖ tanya Asti memastikan
kembali yang aku mau.
―Katamu oseng - oseng goyang lidah adalah
menu paling enak disini. Pesankan juga satu untukku!‖
Ia mengangguk lalu mendekati penjual yang
tengah menggoreng magelangan dengan mantap. Kreasi
olahan dasar nasi dan mie yang ditumis menjadi satu
dalam wajan besar dengan gerakan tangan yang cekatan.
Sementara aku duduk di ujung bangku panjang yang
masih kosong sambil memperhatikannya. Kuamati Asti
mengutarakan makanan yang akan kami pesan.
―Hoi!!! Oseng-oseng goyang lidahnya habis.
Adanya tinggal bakso. Mau?‖
―Lha kamu?‖
―Aku sih nggak papa. Tapi kamu…?‖
―Yaa…bakso.‖ ucapku menandaskan keraguannya.
Sebenarnya gampang buatku untuk makan apa
saja. Lambungku tidak pernah bermasalah, tidak ada
alasan untuk mulut dan lidah menolak. Mungkin Asti
sedang panik dan takut aku kecewa sebab nikmatnya
oseng-oseng goyang lidah yang ia ceritakan seminggu
yang lalu dan rencananya kami pesan malam ini, harus
gagal karena kehabisan. Yang bisa kulakukan adalah
menikmati bakso seraya membayangkan aneka sayur –
mayur, ayam cincang, dan kuah hitam kental rasa pedas
manis asin campur jadi satu di mangkok jago persis
seperti yang Asti ceritakan tempo hari.
Setelah memesan Asti mengajakku masuk ke
warung kaki lima depan Thiong Ting. ―Duduk sebelah
sana yuk, sudah ada satu meja kosong.‖
Aku mengekor dibelakangnya dan mendapati
bangku di bawah jam dinding yang sudah bersih dari
bekas piring dan gelas kotor.
Tidak lama berselang, mangkuk berisi empat
butir bakso, bihun serta kuah bening sepertiga volume
mangkuk bertabur seledri cincang kami terima. Di
tengah - tengah makan kami, ponsel Asti berbunyi.

241 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 242

Sementara aku tetap santai menggigit bakso


yang menancap di ujung garpu.
―Haloo.. halo…‖ suara Asti memekik, sepertinya
seorang di ujung telepon tidak mendengar suara Asti
dengan baik. Terlihat Asti mengibaskan ponselnya ke
atas ke samping entah mengapa.
―Tania, Dimas telepon!‖ Asti menyerahkan
ponselnya kepadaku. Benar foto Dimas tertera beserta
nama. Mataku terbelalak. Hatiku tercekat. Lidahku kelu
untuk berucap. Kuraih ponsel yang disodorkan Asti.
Kemudian setangah gagap kutarik nafas dalam – dalam
mengurangi nervous dadakan.
―Hallo Dimasssss. Gimana kabarmu? Hihi.. ini
aku sedang makan sama Asti. Haloo..‖
Tidak ada yang bisa aku dengar lagi selain
namaku yang dia sebut pertama kali dan suara
gemeresak sangat dominan merusak arah pembicaraan
kami. Kucermati tulisan pada layar ponsel yang
kugenggam -menyambungkan ulang- kemudian mati.
―Kenapa Asti?‖ tanyaku mengernyitkan kening
mengulurkan ponselnya berniat mengembalikan.
―Mungkin sinyalnya buruk. Dia dimana sih
sekarang?‖
Aku menggeleng pelan ragu untuk memberi
jawaban. ―Dimas tidak bilang apapun. Yang jelas dia
terapung di atas samudera tanpa batas. Diantara kota
yang antah berantah.‖ ucapku setengah melamun
membayangkan tempat yang tidak terjangkau.
―Tidak kau telepon balik? Mungkin dia
rindu,‖seraya mengerlingkan mata.
―Nggak.Terima kasih. Aku akan menghubunginya
lusa,‖ ada rasa tertahan di tenggorokan. Sekuat
sanubari berteriak beda.
Melihat ekspresi dan mendengar jawabanku
Asti terkekeh kemudian mengatakan dengan jengkel
seraya menyeruput kuah disendoknya. ―Terserah kamu
lah Tan.‖
Mungkin orang lain akan bingung dengan caraku.
Sahabatku Dimas yang ingin menghubungiku harus
melalui Asti, Rahma atau Nayla. Sangat bertele - tele
dan tidak praktis. Bukankah menghubungiku secara
langsung pun bisa?
Hmm.. disinilah yang menjadi masalah. Ponselku
bukan android yang bisa dihubungi dengan mudah dari
sambungan luar negeri atau jarak tak tentu seperti
Dimas saat ini. HP tululit yang hanya dapat menerima
pesan SMS dan telepon dalam negeri saja, tidak lebih.
Maka selepas Dimas berpamitan akan berangakat
praktek pelayaran lintas negara, kuberi nomer
whatsApp tiga sahabatku sebagai opsi untuk bisa
dihubungi.
Aku menahan tawa mendengar gerutu Asti yang
terakhir. Jauh lebih dalam dari balik tempurung

243 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 244

kepalaku terbesit pertanyaan yang tidak mungkin aku


urai untuk mendapatkan jawaban.
Pertemuan jarak jauh yang tidak pernah
kusangka. Dimas telepon Asti saat aku bersamanya.
Kalau saja Dimas telepon Rahma atau Nayla pasti dia
tidak akan mendapati aku mendengar suaranya. Tapi
bagaimana bisa Dimas tahu aku sedang bersama Asti
sekarang ini? Mengapa pesan suara yang kebetulan dan
istimewa itu harus berakhir tidak menggembirakan
seperti ini?

***

Setahun setelah menjadi mahasiswa jurusan


sastra uniersitas negeri di Solo, aku dan Dimas
berkenalan. Oh mungkin lebih tepatnya dia
menemukanku. Disaat aku benar-benar merasa sendiri
tidak miliki sanak saudara maupun kawan dari daerah
asal seperti kebanyakan mahasiswa rantau lainnya. Hal
yang semakin membuat miris dan nelangsa adalah
acapkali aku harus pulang jalan kaki sejauh dua kilo
meter sendiri sebab teman yang biasa menemani akan
singgah dan aktif mengikuti acara komunitas asal
mereka misalnya Madiun, Ponorogo, Pacitan, dan lain
sebagainya.
Tahun pertama adaptasi dengan segalanya aku
lakukan, termasuk menghapus sedikit demi sedikit
harapan tentang pencarian komunitas dari daerah
asalku bisa kutemukan, Blitar. Namun sayang, tidak juga
kuketahui hingga suatu senja dia yang berasal dari kota
yang sama menjelaskan bahwa tak lain temanku di SMP.
Padahal aku tidak pernah mengenalnya. Sekarang dia
juga tengah merantau bukan di kota ini, melainkan kota
yang kuanggap bertetangga dengan Solo walau belum
pernah sekalipun kudatangi, Semarang.
Jujur saja tidak ada yang lebih membahagiakan
lagi daripada bertemu dengannya di layar jejaring
sosial. Apalagi setelah dia katakan kelas kami waktu
SMP bersebelahan dan ia seringkali melihatku terpekur
dengan buku-buku di sudut taman. Dia pengagum
rahasia yang diam-diam suka mengintipku dari balik
jendela kaca yang bertengger di samping bangkunya di
dalam kelas. Ah.. kurasa penjelasannya yang kedua
terlalu berlebihan untuk membuatku menerimanya
sebagai teman lama di tanah rantau.
Sapaannya kali pertama di jejaring sosial
membuatku punya alasan untuk mengetahui isi lobby
dasar perpustakaan, SAT (Self Access Terminal)
menjadi tujuan. Walau antrian panjang, terkantuk-
kantuk punggungku bersandar pada sofa empuk
ditengah ruangan. Buku yang sedang aku baca hampir
saja terjatuh dari pangkuan, aku tetap bertahan.
Maklum, menunggu adalah suatu hal yang bagiku
sangatlah membosankan. Apalagi jika menunggu tanpa
batasan waktu yang jelas itu teramat menjengkelkan.
Ya disini ada kiranya tiga puluh orang sesuai dengan

245 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 246

jumlah unit komputer dan bangku yang disediakan.


Mereka semua memaku pandangan kearah layar
komputer dihadapannya masing-masing dan sangat cuek
dengan keadaan disekitar. Terlihat ada yang benar-
benar sibuk garap tugas kuliah, membaca email-email
yang ia terima, membaca artikel di berbagai laman,
memperbarui status di jejaring sosial hingga sekedar
main games demi memanfaatkan fasilitas wifi gratis.
Mudah saja, cukup dengan membuat member
tanpa dipungut biaya lalu bisa gunakan sepuasnya.
Mataku melirik jam di lengan kiriku. Setengah jam lagi
suara azan magrib akan berkumandang. Hatiku mulai
resah, pandanganku menyapu setiap layar komputer
yang tengah digunakan. Klik! ada seorang yang
kemungkinan sebentar lagi akan beranjak pergi.
Ternyata benar, laman jejaring sosial ia tutup dan log
out.
Sigap kuhampiri laki-laki dengan tas kain kanvas
yang sudah berdiri dan mau melangkah meninggalkan
kursi. Sudah timbul tekadku membuka laman facebook
kali pertama. Dan seperti yang telah kuduga beberapa
pesan baru yang belum kubuka, yaitu pesan darinya.
Awalnya kami berbalas pesan melalui laman
facebook saja. Dua atau tiga kali dalam seminggu aku
yang mampir ke SAT meluangkan waktu untuk membuka
dan membalas pesan darinya. Lama berjalan hingga dua
bulan setengah kira – kira. Setelah mungkin dia lelah
atau justru mengumpulkan keberanian penuh kemudian
mengirimkan permintaan yang sebetulnya sudah aku
tunggu jauh – jauh hari.
―Boleh aku minta nomer teleponmu?‖
Kuketik nomer teleponku di inbox facebook.
Setelahnya aku pamit pulang karena komputer di ruang
SAT akan segera dimatikan otomatis dari meja admin
saat jam pelayanan berakhir. Lagi pula cahaya senja
semakin menua dan sebentar lagi berganti gelap malam.
Kuberikan nomer ponselku dan dia membalasnya
dengan cepat akan menghubungiku sesegera mungkin
dan tidak lagi membimbingku menghabiskan waktu di
SAT sebelum niat pulang ke kosan bulat. Dia akan
menghubungiku ketika aku sudah berada di kosan
dengan waktu luang sehingga aku tidak merasa
keberatan dan terganggu olehnya. Karena sekarang dia
sudah berani menyimpan HP di asrama kompi E. Di
dalam lemari meja belajarnya, di saku seragam PDU
yang di gantung di dalam lemari itu berhimpit dengan
seragam lainnya. Yang dia anggap aman dan terbebas
dari jeratan sidak dan hukuman.
Padahal yang kurasakan adalah sukacita dalam
nyaman. Tidak pernah merasa terpaksa menghabiskan
waktu berlama-lama dalam membalas pesan-pesannya.
Kusara hanya sosok sahabat yang sangatlah berharga.
Dari hari ke hari sejak mendapatkan nomer
ponselku aku dan Dimas semakin dekat. Jika
sebelumnya sekedar berbalas sapa di jejaring sosial
kini aku dan dia bisa melakukannya di telepon. Sedikit

247 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 248

berbeda memang, kalau di media sosial pikiranku selalu


dikejar oleh waktu. Iba melihat para mahasiswa yang
mengantri fasilitas di SAT semakin panjang. Gelisah
manakala jam pelayanan segera berakhir. Sedangkan di
HP, kubaca setelah mandi dan makan malam pun tak jadi
masalah. Dia rajin menyapaku setiap malam tiba.
Sebelum jam apel malam di asrama jam sembilan, jeda
selama ditinggalnya apel, dan menghubungiku lagi
setelahnya. Aku dan dia tidak lagi sekedar bersapa saja
tapi juga bercerita tentang banyak hal. Tapi kemudian
rutinitas itu harus sirna beriringan dengan pamitnya
praktek berlayar.
Teleponnya pada suatu malam, beberapa bulan
yang lalu saat sebelum rentang jarak semakin melebar.
Ruang waktu untuk sekedar sapa semakin menciut dan
rumit. Girang dan penuh syukur ia luapkan kabar
gembira kepadaku tentang sebuah penjuangan dan
kemenangan. Empat dari ratusan pendaftan yang
terjaring pada seleksi tahap satu dan dua kamu
termasuk diantaranya.
―Bener-bener aku nggak nyangka Tania, aku
lolos. Aku akan berangkat keliling dunia. Eh.. tau nggak
tadi di aula waktu pengumuman ini disiarkan aku
langsung rolling dari depan podium sampai diambang
pintu keluar. Jadi ditengah-tengah keramaian gitu aku
cuek saja hahaha..‖ ―Seseorang menyuruhmu?‖ selidikku
tidak percaya.
―Nggak. Aku sendiri yang bernadzar jika lolos
dalam seleksi ini aku akan guling-guling di aula. Saat itu
aku hanya bercanda, karena ibarat pungguk merindukan
bulan. E.. lha kok lolos. Temen- temenku pada nagih itu
janji. Lucunya dua orang yang lolos lainnya juga ikut-
ikutan rolling di samping kiri dan kananku. Walhasil aku
ada temannya malu hihihi‖
Belum sempat aku membalas ceritanya atau
sekedar komentar, Dimas Kembali mengguyur cerita
sampai tumpah ruah.
―Tidak cuma itu. Tau nggak Tan, waktu pulang
dari aula menuju kompi E dan melewati kolam sekoci
tubuhku tiba – tiba diangkat teman - teman dan
dilemparkan.. memang selebrasi yang bener - bener
gila,‖ceritanya berhamburan penuh tawa kegembiraan.
―Apa!? Jadi kau baru saja nyemplung
kolam?malam-malam begini?‖ kagetku tak percaya hal
itu benar-benar terjadi.
―Hehehe nggak papa Tania. Itu hal biasa. Ini aku
sudah dikamar, sudah selesai mandi dan ganti baju.
Sudah apel sudah mbrasso dan menyemir sepatu.‖
―Kapan jadwal keberangkatanmu?‖ ―Besok.‖
***

Belum sempat kuucapkan selamat, kuberikan doa


dan cerita sebagai tanda perpisahan, ia sudah
berangkat menuju suasana baru yang tanpa aku.
Bersemayam di lambung kapal niaga MV Jingu Maru

249 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 250

pemasok berbagai macam mesin pesanan pelanggan di


berbagai negara.
Semacam takut kehilangan yang semakin
membubung besar. Sedikit demi sedikit terhapus oleh
salam yang ia titipkan melalui Rahma, Nayla atau Asti.
Atau pesan inbox di laman facebook yang ia tulis
selepas telepon di warung depan Thiong Ting beberapa
hari lalu.
Hai Tania .. sebenarnya aku ingin mendengar
kabarmu saat pinjam telepon Asti malam itu, tapi sayang
ternyata sinyal disini tidak mendukung. Gelombang laut
yang kami lewati terlampau besar. Tapi setidaknya aku
sudah mendengar kau tertawa kecil dan itu sudah cukup
membuatku senang.
Tidak pernah terpikir olehku suatu hal yang
tanpa ku sengaja dan kusangka justru membuatnya lega.
Sungguh aku tidak merasa tertawa bahkan aku
menyimpan percikan jengkel sebab hanya suara
gemeresek saja waktu itu.
Tulis alamat emailmu. Sejak ini akan aku
kirimkan pesan lewat email saja ya.
Pintaku sekaligus harapan dengan berkirim
pesan lewat email, dia atau aku bisa menulis lebih
panjang untuk stok menahan gejolak selama menunggu
email berikutnya.

***
Suatu malam tepat jam tujuh. Tergopoh – gopoh
kakiku menuruni tangga mengcangking sepasang sepatu
kets di tangan kanan. Tiba – tiba pintu kamar didepan
rak sepatu yang tadi kulewati terdengar teriakan dari
dalam. Separuh tubuhnya bertumpu ke pegangan tangga
paling atas wajahnya melongok kebawah, terpaku
kearahku.
―Mau kemana Tania?‖ tanya Mesya penasaran
―Ke taman dinosaurus pasti‖ sahut Hera
seketika.
―Ciee… mau ketemuan ya?‖ goda Mesya
terhadapku. ―Heleh.. paling ya wifi nan.‖ jawab Hera
lagi.
Kepalaku mendongak ke atas. Ke arah Mesya
yang mengajakku bicara. ―Ada apa Me?‖
―Hmm.. nggak jadi Tan. Kukira akan beli makan
malam, aku nya nitip. Ya sudah berangkat saja, aku mau
keluar sendiri nanti.‖
Kulempar senyum simpul kepadanya dan juga
kepada Hera yang tengah berpapasan di lobby kos
lantai bawah. Ada rasa lega yang menyeruak manakala
Hera yang tidak lain temen sekaligus ketua kos, diam
saja. Padahal biasanya dia selalu mengomel saat melihat
ada teman yang akan keluar malam. Sebab ia yang
merasa bertanggung jawab atas keamanan dan
kedisiplinan penghuni kos, juga yang mengontrol
gerbang kos digembok tepat saat jam malam. Setahun
ia mengamban status ketua kos, tidak pernah ia lalai

251 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 252

dengan waktu, maklum anak rumahan yang tidak pernah


acara malam lebih dari jam delapan.
Senyumku dibalas senyuman. Hera berlalu tanpa
berkomentar. Ia sudah hafal betul aku tidak akan
menyalahi aturan, tidak macam-macam diluar, tidak
pergi jauh cuma jalan kaki dan duduk bersimpuh di kaki
dinosaurus taman cerdas yang hanya berjarak delapan
ratus meter dari kosan.
―Eittsss… Tania, jangan lupa jam sembilan.
Tidak boleh lebih! Nggak mau aku jika kau minta
membukakan pintu nanti kalo jam malam sudah berlaku.‖
Aku yang tengah jongkok mengikat tali sepatu
seketika menoleh kearahnya. Aku tersenyum kepadanya
yang berlagak ketus.
―Kalo nggak lupa yaa.. tugasku malam ini banyak.
Deadline besok pagi. Hehe, ‖aku beranjak untuk
membuka gembok gerbang.
―Heiiii kamu.. alasan terus bisanya. Awas
pokoknya!!!‖
Aku meninggalkan bergitu saja Hera yang
mendengus kesal lalu masuk kamar. Hal itu justru
membuatku tertawa dan merasa disayang, dipedulikan,
diperhatikan.
Mengingat kelakar Mesya sepanjang perjalanan
menuju dinosaurus tempat peraduanku, tawaku meledak
mengiringi ayunan kakiku. Kata -ketemuan- yang selama
ini tidak pernah terbesit dalam pikiran. Kuakui
semenjak taman cerdas dibangun dan aku rajin
berkunjung dengan meloncat pagar besi setinggi satu
setengah meter di samping parit belakang gedung
perpustakaan dengan alasan mengerjakan tugas
deadline, selalu tidak lupa kusempatkan buka email dan
kubalas pesannya. Berharap ia juga melakukan hal yang
sama dalam waktu yang bersamaan denganku. Tanda
notifikasi lingkaran warna hijau menyala di samping
namanya. Online. Kini kuakui memang pendapat Mesya
benar.
Mungkin tidak ada pengunjung selain aku yang
sudi duduk diatas rumput dibawah diantara kedua kaki
dinosaurus dengan cahaya temaram yang menghadirkan
nyamuk – nyamuk taman yang bertebaran. Hanya aku
yang merasa tempat itu paling nyaman dalam
kesendirian.
Kubuka dua laman sekaligus. Mengumpulkan
referensi untuk tugas kuliah dan email guna melihat
pesan terbaru darinya. Ada dua pesan baru yang belum
kubaca. Kemudian kukirimkan pesan sebagai balasan.
Sayangnya ia offline. Mungkin masih tugas jaga di
geladak MV Jingu Maru seperti yang dia ceritakan
tempo hari. Kupalingkan harapanku dan segera
menyelesaikan tugas kuliah untuk besok pagi.
Cting !!....
Suara notifikasi pesan baru masuk
membuyarkan konsentrasi penuhku. Kubuka pesan
dengan segera. Meraup kesempatan selagi rasa takut
kehilangan bulatan hijau disamping namanya bergelayut.

253 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 254

Tapi tiba – tiba laptopku mati tanda baterai empty. Mau


tidak mau aku harus pulang dengan rasa sesak di dada.
Tidak ada aliran listrik untuk laptop di dekat
dinosaurus.
Hari berikutnya kubaca pesan yang dia kirim
melalui jejaring sosial yang masih setia ia pergunakan
dengan degup jantung yang tidak beraturan.

Haii… Tania. Aku minta maaf selama ini merasa


keberatan jika kau berkirim lewat email karena kupikir itu
sangat jadul dan tidak praktis. Tapi kemudian pikiranku
berubah drastis setelah melihat Auntoli, teman dari
Filipina yang sedang sibuk mengirimkan pesan email untuk
kekasihnya. Kutanyakan mengapa ia menulis email, padahal
jejaring sosial sebagai pilihan banyak jumlahnya.
Jawabannya singkat dan berkesan. Ada hal yang tidak
bisa tersampaikan cuma lewat jejaring sosial. Aku
menyesal pada diriku sendiri, kamu sudah lebih dulu
mengajariku tapi aku belum juga paham. Tania, buka
emailmu. Sudah kukirim balasan untuk emailmu beberapa
hari lalu.

Layaknya menerima perintah dari komandan,


aku segera membuka laman emailku. Benar ada pesan
baru yang berlum kubaca, itu darinya.

Terima kasih tetes air hujan yang menemani Tania


juga mengirim pesan untukku. Tania, ceritamu bagus.
Kamu lihai memaparkan gambaran suasana yang ingin kau
sampaikan dengan sangat baik. Setiap kalimat
mencerminkan betapa cerianya tokoh dalam ceritamu. Riset
yang mengagumkan, disela-sela kesibukanmu kau amati
dengan sangat baik bahkan penuh ketertarikan. Aku yakin
orang yang membaca ceritam ini orang yang telalu penat
dengan dengan rutinitasnya sehari-hari pasti akan
terkagum-kagum karena kau bawa pada alam ceria yang
menggembirakan. Disini sekarang, kata kru kapal hawanya
sangat dingin, tapi aku sendiri malah kluyuran di Lorong
memakai kaos dan celana pendek dengan santainya. Padahal
lainnya mengenakan jaket wool, sweater, haha apa aku
yang tidak normal ya? Oh ya ini masih stay di perairan
Jepang terus sampai seminggu kedepan.

***

Sejak kutemukan tempat strategis di kaki


dinosaurus aku semakin rajin online. Sejak aku dan dia
menggunakan email ceritanya semakin panjang, namun
berbalik dengan intensitas berkirim pesan. Mungkin ia
semakin sibuk. Dulu diawal pelayarannya masih dalam
taraf pengenalan, aku masih bisa menemuinya hampir
setiap minggu. Namun kini, tidak ada yang bisa
menentukan dan tidak ada yang memberi jaminan. Jarak
semakin membentang dan berbagai hambatan jadi
penghalang untuk sekedar sapa atau berkabar.
Barangkali aku dan dia tapi waktu pun enggan
memberikan kesempatan untuk bertemu.
Berkali kubaca email kirimannya yang terdahulu
sebagai penghibur sedihku. Cuitan burung pipit
berterbangan diantara bunga kertas di taman. Bunga

255 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 256

pukul sembilan yang bermekaran semakin menggila


berusaha menghibur lara. Seolah semesta berusaha
mengalihkan hati yang dirundung nestapa. Namun tetap
saja suasana kalut dan gundah menyecap rasa kehilang
yang semakin nyata. Ia tiada berkabar lebih dari
sebulan.
―Tania, jika aku lama tidak berkabar kau bisa
mencariku melalui search ship ketik MV Jingu Maru
disitu kamu bisa melihat kapalku berada dimana.‖
―Hahaha untuk apa ?‖ tanyaku mengenjeknya.
―Mungkin kau rindu.‖ ucapnya malu-malu.
Tanpa sadar sudah kubuka kutemukan kapalnya
di search ship MV Jingu Maru. Melihat posisi kapalnya
yang sekarang berlayar di sekitar Israel membuat
dadaku bergemuruh. Mengkawatirkan keselamatannya.
Kubuka laman jejaring sosial miliknya. Kubaca
dengan seksama pesan di wall yang dikirim oleh ibunya
berisi foto lengkap dengan caption doa-doa terbaik
untuknya. Diakhir kalimat penutup tercantum lokasi
keberadaannya saat ini. Tertera tanggal lima berarti
lima hari yang lalu mungkin sekarang posisinya masih
sama. Mendadak hatiku riuh dan sesak, air mata yang
menggenang dipelupuk sulit kubendung, bagai bendungan
yang diterjang banjir kemudian jebol. Air mataku
tumpah ruah. Di sini kurasakan hatiku semakin berat
untuk membentang jarak.
Segera kuseka bulir - bulir yang membasahi
krah kemeja merah marunku. Perempuan berseragam
security yang tadi menatapku dengan sinis di pintu
masuk terlihat berjalan kearahku.
―Mbak boleh pinjam sandal jepitnya sebentar.
Saya mau ke toilet!‖
Aku hanya mengangguk. Tidak seberapa lama
perempuan itu kembali lagi untuk memulangkan sandalku
yang sudah kuyup terguyur air kran.
―Lagi menunggu seseorang ya mbak?‖ ucapnya
nampak hangat dan bersahabat.
―Huum mbak.‖ ucapku dengan sanyum getir.
Dalam batinku berdemo mendambakan seseorang
datang dilayar laptopku mengubah notifikasi titik
kelabu berubah hijau tanda mengetik dan ia menyapaku.
Ketegangan yang ada di dadaku berangsung
reda. Perempuan yang ia cintai dan mencintainya nomer
satu di dunia dengan iklas dan sepenuh hati menerima
kondisi ini dan terus saja mengirimkan untaian doa
terbaik untuknya. Aku sebarusnya bisa seperti beliau
yang tetap teguh pada keyakinan engkau senantiasa
selamat dan baik-baik saja dimanapun berada. Bulir doa
yang dapat menguatkan diujung lelahku melawan
kehampaan. (selesai)

***

257 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 258

Rumah Tetta
Karya : Nabila May Sweetha

Jemari gadis itu saling memilin, dia duduk

dengan kikuk. Matanya abu-abu suram, kulitnya putih


pucat, sesekali ia membenahi anak rambut yang nakal
jatuh ke pipi.
"Saya bisa masuk ke kamar utama?" tanyanya
setelah agak lama terdiam.
Ini aneh, tapi akhirnya dia dibiarkan masuk.
Tangannya meraba-raba dinding, masuk ke toilet,
mengunjungi dapur, duduk di tangga samping ruang
keluarga, mengusap air mata yang membuat sembab
wajah. Semua orang di rumah membiarkan dia meraba-
raba, menghirup- hirup, dan berjalan lurus meski
matanya tak melihat. Maklum, katanya ini memang
rumahnya, tapi dulu. Dia pasti masih mengingat setiap
jengkal lantai, setiap undakan tangga, setiap bolongan
jendela.
"Apa ada yang bisa mengantar saya ke pabrik
tua di pinggir kampung?" dia bertanya lagi.
Saya dan suami mengiyakan, menuntun gadis
delapan belas tahun itu untuk keluar dari rumah.
"Bahkan aromanya masih sama," dia berkata sebelum
kembali terisak.
Saya dan suami saling pandang, lalu
mempersilahkan dia untuk masuk ke dalam mobil. Kami
melaju, hamparan rumah-rumah berjajar, menggantikan
lahan persawahan yang dulunya ada di sana. Pabrik yang
gadis itu maksud tak jauh, hanya berjarak satu kilo dari
rumah kami. Lagi, saya membantu remaja itu turun dari
mobil. Dia mendekati bangunan pabrik yang sudah lama
terbengkalai, meletakkan tangannya di dinding yang
penuh lumut. Matanya makin sembab, ia menutup mulut
untuk menahan isak. Pabrik ini terletak di sebelah
rumah Puang Nenek, nenek suami saya.
Kami, saya dan suami hanya melihati dia yang
berusaha membuka pintu. Percuma, pikir saya, pintu itu
kusam dan tak pernah terbuka. Bahkan, mungkin
pemiliknya sudah tidak menyimpan kunci pintu pabrik
beras itu. Pabrik yang menurut desas-desus masyarakat
sini, adalah pabrik termasyur di masa lalu.
"Tak apa, kita punya kuncinya," kata gadis itu
setelah lelah berusaha mendorong paksa.
Saya melirik suami lagi dan lagi, bertanya
dengan tatap mata apa gadis ini masih waras? Tapi,
suami memberi gelengan, yang saya pahami sebagai
tanda jangan melakukan apa-apa. Anak itu sudah
mengeluarkan kunci dari sakunya, meraba-raba lubang
pintu, lalu memutar. Terdengar bunyi krak kecil, lalu dia
mendorong pintu kusam itu lagi.
Terbuka?

259 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 260

Dia melangkah masuk, dituntun oleh tongkat


merah putihnya, menjejak lantai semen yang berdebu
parah. Suami saya mengikutinya, masuk ke dalam pabrik
yang kacau sekali itu. Sarang labah-labah menguasai
seluruh langit-langit, debu menumpuk tebal sekali,
dan bau sesak memenuhi pernapasan.
"Saras, ayo keluar," ajak suami saya.
Saya tertegun, Saras? Kenapa suami saya tahu
nama anak remaja ini? Gadis asing yang tiba dua jam
lalu di rumah kami, memperkenalkan diri sebagai anak
berusia delapan belas t ahun yang dulunya pemilik
rumah kami.
Suami saya berhasil membawa anak itu keluar,
dan mengunci pintu pabrik kembali. Tatapan tanya dari
saya dihiraukan mentah-mentah oleh suami.
"Kita ke rumah Puang Nenek dulu," ajak suami
saya.
Cekatan dia sudah membimbing remaja itu, yang
kini kembali terisak tak bisa menahan suara. Saya
mengikuti mereka dengan tanda tanya besar. Dua tahun
menikah dengan suami, dan rasanya baru kali ini ada hal
yang tidak ia kisahkan ke pada saya. Siapa anak ini?
Kami menaiki rumah panggung yang terbuat dari
kayu, bercat kuning pudar, dengan tiang yang kokoh.
Tidak mengetuk, suami saya langsung masuk dan
mendudukkan gadis asing itu di sofa plastik. Suami
masuk, kemudian keluar dengan Puang Nenek. Puang
Nenek adalah perempuan tua, berusia mungkin delapan
puluh tahun, dengan senyum ramah. Puang Nenek
kelihatan sangat tua, tapi langkah kaki dan tatap
matanya masih prima betul.
"Iga yae?" Puang Nenek bertanya siapa remaja
yang duduk di depannya. "Saras, Nek," kata suami saya.
Puang Nenek berdiri, pindah duduk ke samping
anak itu, lalu memaksa agar Saras menoleh padanya.
"Saras ... iko tojeng, Nak?" tanya puang Nenek
meyakinkan. Gadis itu mengangguk patah-patah, air
matanya makin menderas.
"Bahkan ... bahkan sofa Puang Boe juga belum
berganti?" tanyanya yang mirip seperti pernyataan.
Puang Nenek memeluk anak itu, Saras juga memeluk
Puang Nenek dengan erat. "Apa yang bikin kau pulang,
Saras? Kenapa matamu? Ke mana Tettamu? Ke mana
selama ini kau pergi?" tanya Puang Nenek, ekspresi
haru tidak dapat dia sembunyikan.
Tetta adalah panggilan bapak untuk keturunan
terhormat di Bugis Makassar, khususnya di Pangkep ini,
asal suami saya.
"Mataku buta, Nek, buta. Saya kena virus, saya,
saya pulang hanya untuk lihat rumah sama pabrik. Saya
... saya rindu," kata Saras.
Jelas, dia hanya rindu dengan rumah dan pabrik
yang mungkin punya jejak masa lalu dengan dia.
"Tettaku ada di Makassar," ujarnya lagi.

261 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 262

Puang Nenek mengangguk, memeluk Saras lagi,


menanyakan banyak hal. Saras ternyata anak dari
sepupu suami saya, pernah tinggal di rumah kami,
sebelum akhirnya suami saya membeli rumah itu karena
keluarga Saras terlilit hutang. Setelah membayar
hutang yang milyaran itu, keluarga Saras malu,
meninggalkan Pangkep, entah pergi ke mana.
Hampir sore akhirnya saat Saras meminta diri,
katanya ingin balik ke Makassar. Puang Nenek menepuk
bahunya, menyuruh Saras membawa tettanya untuk
pulang ke Pangkep .
"Di sini kampung kalian, Nak," kata Puang
Nenek.
Saras mengangguk, meminta untuk diantar ke
pinggir jalan poros, akan mengambil pete-pete
(angkutan umum) yang bisa membawanya ke Makassar.
Suamiku menawarkan diri untuk mengantar gadis itu,
tapi Saras menggeleng keras.
Akhirnya suami saya menurut, mengantar Saras
ke pinggir jalan poros, kami turun untuk menemani
remaja itu menunggu pete-pete.
"Kau bisa pulang kapan saja, Sarras," kata
suami saya.
Pete-pete sudah datang, saya menuntun Saras
menuju pintu angkutan umum.
"Tidak bisa, Puang. Hari ini saya cuma pulang
untuk mengingat tettaku. Saya rindu, Puang, rindu sama
tettaku yang dulu," ujar Saras cepat.
"Ke mana tettamu, Saras?" tanya suami saya..
"Dia menikah lagi, Puang, tidak tahu ada di
mana. Sekarang saya tinggal di panti, sama anak - anak
yang buta juga. Tetta saya menikah lagi tahun lalu,
tinggalkan saya di panti khusus orang tidak melihat."
Itu kalimat terakhir dari Saras, gadis buta yang
ternyata adalah keponakan suami saya. Dia pulang
karena rindu dengan bapaknya ... rindu dengan masa
kecil, mungkin. Yang sekarang bukan lagi punya dia.
"Dari umur enam tahun mamaknya Saras itu
sudah pergi, Susi, entah ke mana. Umurnya delapan
tahun, tettanya terlilit hutang. Malu, akhirnya mereka
berdua, tettanya dan Saras pergi dari kampung. Saras
anak yang ceria dulu, bapaknya yang punya pabrik itu,"
suami menunjuk pabrik di kejauhan.
Bangunan terlantar, penuh lumut, dan kusam.
Dari sini, kelihatan besarnya dan sebagian atap pabrik
itu yang kehitaman seperti habis terbakar. Saya sedih
mengingat gerak kaku gadis buta tadi, mengingat dia
berkunjung karena rindu masa-masa bahagianya. Sering
kali, pada kasus perceraian, anak hanya masa lalu yang
tidak ingin dibawa ke masa depan. "Kenapa pabrik itu
sampai tutup, Ahmad?"
"Karena kebakaran terus menerus, Susi. Awal
terbakarnya, kata orang ada puntung rokok yang
mungkin lupa dimatikan. Tersentuh buku, membakar
pabrik itu sampai habis. Dibangun lagi, tak beberapa
lama, kebakaran lagi. Alasan yang diduga sama, puntung

263 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 264

rokok. Teta Saras membangun lagi, tapi itu yang


terakhir. Belum genap satu minggu, api kecil kembali
menyala di sana. Hutang utuk membangun pabrik
menumpuk, sementara tiap dibangun bangunan itu
kembali terbakar."
Saya mengangguk, naik ke atas mobil yang suami
beli dari hasil pabrik kami yang melimpah ruah. Kisah ini
baru saya tahu, setelah dua tahun hidup bersama
Ahmad, pemilik pabrik terbesar di kampung ini ,sejak
sepuluh tahun lalu.[*]
Pemanggul Cowet
Karya : Sapitri Indah

Itu adalah tengah hari kala kurasa matahari

betah menggantung diubun-ubun. Aku baru


melangkah pergi dari rumah hendak menuju suatu
tempat. Aku berjalan menembus lalu lintas yang bisa
dikatakan tidak terlalu padat. Kudengar, orang-orang
meneriakiku saat aku menyebrang.
―Hoi! Mau mati konyol?!‖ dan kubalas dengan
hanya mengangkat lima jari sambil berkata
―Saya bukan pelawak, Pak!‖
―Sontoloyo!‖ teriak yang lain ketika mungkin
hampir menyerempet ku. Kampret. Bodo amat!
Masih terlalu awal untuk pergi. Untuk sejenak,
kuputuskan mampir ke sebuah warung makan.
Kuperhatikan beberapa orang, lalu lintas, pedagang
klenenngan atau apalah orang-orang menyebutnya.
Ada satu hal yang menarik perhatianku.
Seorang pria yang tampak sudah cukup tua, tapi
masih begitu rosa. Kukatakan begitu karena dua
tumpuk cowet yang masing-masing menggantung pada
ujung batang bambu panjang yang dipanggulnya. Dia
baru keluar dari musala samping wc umum yang masih
bisa ku cium busuk pesingnya. Dia menurunkan lipatan

265 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 266

lengan baju dan segera turun ke jalan, berjalan


menuju warung yang kudiami.
Mataku hampir tak berkedip memperhatikannya
yang sedang mengipas-ipas topi.
―Panas ya, Pak?‖ kataku memulai pembicaraan.
Dengan bahasa tubuh yang halus dia menjawabku,
kemudian kembali mengipas-ipas topinya.
―Dari mana, Pak?‖ tanyaku mencari tahu.
―Desa Cidempet, Nang‖ jawabnya singkat.
―Waduh jauh dari sini, Pak. Bisa sampai sini naik
apa, Pak?‖
―Mlaku.‖ jawabnya lagi.
Kugeleng-gelengkan kepala dengan decak lidah
diantara gigi dan langit-langitku.
―Sudah lama, dagang begituan, Pak?‖ tanyaku
makin penasaran.
―Baru lima belas tahun.‖
Baru, ya? Itu waktu yang kubutuhkan untuk
mecapai hasil maksimal dari proyek yang sedang
kurencanakan saat ini.
―Tidak capek, Pak? Tidak coba cari kerja lain?‖
―Tidak ada pilihan lain. Hanya ini. Saya tidak
punya apapun untuk memulai hal lain. Atau mencari
yang lebih baik dari ini. Begini saja sudah cukup.‖
jelasnya.
Kujejali dengan begitu banyak pertanyaan yang
dengan ramah dan jelas dijawab. Tentang dia yang
usianya memasuki enam puluh sembilan tahun, punya
Isteri yang tengah stroke dan itu sudah hampir dua
belas tahun. Luar biasanya, dirawat Isterinya
seorang diri. Ada lagi kisah Anak laki- laki
pertamanya yang hilang di laut tanpa kabar berita
empat tahun silam ketika tengah bekerja sebagai
nelayan di kapal besar. Anak laki-laki keduanya yang
sudah kurang kewarasannya karena kerap dicekoki pil
kuning oleh kawan mainnya, ditemukan tewas
tertabrak truk saat dikabarkan hilang sepekan
lamanya. Yang juga klaim untuk kepulangan mayatnya
terkendala oleh manusia picik kurang ajar yang
serakah dengan asuransi atas kematian putranya itu.
Juga kisah Anak perempuannya yang masih dibawah
umur lari kabur bersama pacarnya saat orang tua si
lelaki tak menyutujui hubungan mereka. Saat ini dia
dan Isteri tinggal di suatu tempat yang dia bangun
dari getek dengan atap daun kelapa. Di tengah lahan
wakaf di tengah kuburan.
―Tidak takut ada uka-uka, Pak?‖
―Memang uka-uka mau apa dari kami?‖ jawabnya
yang kemudian diikuti gelak tawa kami yang pecah.
Tentang cowet yang dipanggulnya, dibandrol
tujuh puluh ribu dengan sebuah cowet dan ulekan. Si
Bapak bilang itu adalah cowet batu kali asli. Harga
segitupun masih banyak yang menawar murah.
Biasanya ibu-ibu rumpi yang suka bergerombol.
Apa dia cukup makan?

267 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 268

―Saya dan Isteri hanya bisa makan kalau


cowetnya laku, barulah yang punya menciprati hasil.‖
Hanya lima ribu hasil cipratan yang didapat dari
cowet yang laku terjual.‖ ungkapnya.
―Kalau tak terjual sama sekali?‖ tanyaku
penasaran.
―Harus laku. Kalau tidak, ya saya dan Isteri
tidak makan.‖ jawabnya dengan santai dan sedikit
terkekeh. Sesaat pernyataannya tadi membuat
nafasku beku.
―Apa Bapak tidak mau cari pekerjaan lain yang
bisa membuat kehidupan Bapak jauh lebih baik?‖
―Saya sudah mencoba hal lain. Dan sayapun
hanya bisa usaha. Apapun hasilnya nanti saya tidak
permasalahkan. Dan kalaupun begini adanya ya
dijalani saja. Saya sudah bersyukur masih ada yang
mau saya menjualkan barang dagangannya. Dan saya
juga tidak mau mengemis, Nang.‖
Begitu tenang dan lembut. Ada tenang ketika
mendengar tiap kalimat yang dikatakan.
Kutawari dia untuk makan. Tapi ditolak dengan
begitu halus. Dengan sedikit memaksa akhirnya si
Bapak mau. Tersaji di hadapannya sepiring penuh
makanan khas warung makan. Dari sepiring nasi, ikan
tongkol balado, cap cay dan tumis pakis dengan tomat,
dia hanya makan sedikit . Nasi dan laukan yang tak
terjamah Ia sisihkan. Saat kutanya kenapa tak habis,
dia bilang, kalau boleh ingin dibungkus pulang untuk
Isterinya. Kujelaskan padanya makanan itu akan rusak
bahkan sebelum Ia sampai ke rumah. Dia diam
menatap isi piring. Lalu kutawarkan menu lain yang
kira- kira bisa tahan hingga nanti si Bapak pulang
sampai ke rumah. Dan dia mau menghabiskan
makanannya tanpa sisa sebutir nasipun.
Saat menu yang kumaksud disodorkan Si pelayan
warung, Dia menatapku, kulihat matanya basah dan
menarik ujung lengan bajunya dan mengusap matanya
yang kemudian menarik lembut tanganku dan hendak
menciumnya. Kembali kutarik pelan tanganku.
―Eeeh, jangan begitu, Pak.‖
―Beribu-ribu terimaksih, Nang. Sejak kemarin
saya bingung harus beri Isteri makan apa. Dua hari ini
kami hanya minum air sumur yang kami masak. Kalau
ada yang bisa saya lakukan untuk membalasnya.‖
―Jual cowetnya pada saya.‖ sela ku tiba-tiba.
Kalimat itu terlontar begitu saja tanpa kupikirkan
terlebih dahulu.
―Tapi, Nang, beli cowet untuk apa?‖ tanyanya
dengan raut terheran.
―Ibu saya suka bikin sambal, Pak. Kakak saya,
juga Ipar sayapun Berjualan. Jarang-jarang bisa
ketemu cowet seperti ini.‖ jelasku sedikit tergagap.
Mulanya Dia diam untuk beberapa saat,
kemudian kembali pada panggulannya dan melepas
tali yang mengait cowet-cowet itu untuk kemudian
dibawanya padaku.

269 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 270

―Lalu nanti pulang bagaimana membawanya?‖


―Repot mikir, Pak. Kasih saja. biar nanti jadi
urusan saya.‖ kataku enteng.
Kutukar cowet dengan uang lembaran dua ratus
empat puluh ribu. Kini hanya tali dan bambu panjang
yang dipanggul. Si Bapak tersenyum. Kupesan
beberapa cowet dengan uang muka yang lebih dulu
kuberikan. Kami janjian untuk bertemu di tempat dan
waktu yang sama. Ada sedikit ragu, khawatir. Dan
yang kuharap Ia mampu menepati janjinya.
―Terima kasih, Nang.‖ Wajahnya tampak begitu
sumringah, melipat lembaran uang yang dipilin kecil
dan mengikatnya dengan karet untuk kemudian ia
masukkan kedalam plastik bening dan dikantongnya
dengan baik.
―Lekas pulang Pak jaga Ibu. Sampaikan salam
dari saya, semoga sehat- sehat selalu.‖ kataku
dengan rokok terjepit diantara bibirku. Beliau
mengangguk, tak lupa mengambil plastik kresek
hitam dan memanggul tongkat pada punggungnya,
pamit dan berlalu.

Mimi geleng-geleng saat mendapatiku pulang


dengan cowet dalam becak yang kutumpangi.
―Mimi harap salah menduga tentang cowet yang
kamu bawa pulang.‖ katanya menyambutku di halaman
depan rumah. Aku hanya tersenyum menyapa Mimi,
lalu membawa cowet-cowet itu ke belakang.
Kami meluangkan waktu selepas isya di dapur.
Pada Mimi kuceritakan kisah dan niatanku pada Bapak
penjual cowet. Mimi mengusap rambutku dan berkata
―Mimi hargai niat baikmu, Nang. Tapi pesan lagi
beberapa cowet lain? Kenapa tidak sekalian jadi agen
cowet?‖ kata Mimi yang kemudian berlalu merendam
cowet-cowetku di bawah kucuran kran air yang bisa
kucium harum segar kaporit.
Selang beberapa hari, aku pergi ke tempat yang
sama dan waktu yang sama sesuai kesepakatanku dan
Bapak. Aku menunggunya di warung tempo hari kami
duduk makan bersama. Entah mengapa aku merasa
bersemangat menantikan cowet-cowetku.
Hampir sekitar empat jam lamanya menunggu
dengan menghabiskan tiga gelas kopi hitam dan satu
setengah bungkus rokok yang tak henti mengepul.
Bolak-balik keluar masuk warung, duduk dan berdiri
dari bangku panjang di depan warung. Sering
kutengok waktu pada jam dinding usang yang
tertutup debu dan minyak tepat di atas kompor
memasak di dalam warung. Namun, belum kudapati
Bapak bersama cowet-cowetnya. Aku mulai tak sabar
dengan kegusaranku. Kutanyakan kepada Bi sumirah,
apa mungkin si Bapak datang lebih awal dan lama
menungguku lalu pergi ketempat lain sebentar dan
berniat kembali lagi nanti. Tapi, Bi sumirah bilang
malah tidak melihatnya sejak hari terakhir kami
duduk di sini. Karena aku tak bisa terus menunggu,

271 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 272

jadilah kutitipkan sisa uang dan berpesan untuk


menyimpan dulu cowet ku kalau saja selang setelah
aku pergi Dia kembali untuk menemuiku.
Hari berikutnya aku kembali datang.
Kutanyakan lagi pada Bi sumirah, dia bilang belum
juga melihatnya bahkan setelah aku pergi kemarin.
Ada gelisah yang kurangajar dan makin mengganggu.
―Bi sumirah tahu tidak seperti apa orangnya?
Apa mungkin orangnya sudah ke sini tapi Bi sumirah
lupa dengan pesanku?‖ tuduhku.
―Saya hapal, Nang. Orang itu memang sering
lewat sekitar sini dan beristirahat di musola sebelah.
Mana mungkin saya lupa juga dengan pesananmu.
Saya bahkan tempel kertas di etalase lauk warung
agar tak lupa.‖ Bi sumirah mengelak. Aku merasa Ia
pun mulai tidak nyaman dengan tuduhanku yang
sedikit menekan dan menyalahkannya. Akupun kembali
dengan resah yang makin membabi buta.
Sampai hari berikutnya aku kembali ke warung
yang sama, dan mulai dongkol. Mungkin aku sudah
ditipu, dan aku merasa dia memanfaatkan belas
kasihan untuk bisa makan gratis. Semua kisahnya
palsu, kalimat bijaknya membuatku terlena, dan bisa
saja sudah sering dia lakukan hal serupa pada orang
lain yang Ia kelabui. Entahlah!
Kuceritakan hal itu pada Mimi dengan
bersungut-sungut. Mimi kembali mengusap wajahku,
mencoba menenangkan emosiku dan berkata ―Jangan
punya penilaian seperti itu, barang kali ada hal lain
yang membuatnya tidak bisa datang. Kita tidak
pernah tahu. Kalau masih penasaran, cari tahu saja
dulu. Tidak baik menyimpan prasangka yang belum
jelas, tidak baik untukmu tidak baik juga untuk orang
lain.‖
Memang benar adanya. Rasa penasaran
menggiringku untuk segera mencari tahu keberadaan
Bapak dan cowetnya. Kupacu gas motorku untuk
selanjutnya pergi mencarinya.
Desa Cidempet yang dimaksud mungkin cukup
jauh dari tempatku. Dan ini hanya demi menjawab
rasa penasaranku. Dan aku berjanji demi Mimi ku
untuk tidak akan tersulut emosi apapun jawaban yang
kutemui nanti.
Kutempuh dalam waktu sekitar empat puluh lima
menit perjalanan dengan kecepatan delapan puluh
kilo meter per jam. Itupun terhitung dengan diriku
yang sempat nyungsep ke galengan sawah di
sepanjang jalanan yang tidak karuan bentuknya.
Berlubang dengan kubangan air, permukaan jalan yang
lembek berlumpur menyulitkanku untuk stabil pada
motorku. Akupun sempat nyasar ke kebun jagung
tanpa ada tanda-tanda orang yang lewat, sepi. Pohon
yang tinggi dengan ditumbuhi ilalang menyulitkanku
untuk menentukan arah selatan atau barat. Setelah
bersusah payah serasa dipermainkan jalanan asing
yang menyebalkan, aku mencoba bertanya pada

273 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 274

seseorang yang sedang menggiring kawanan kambing


yang menutupi jalanku.
―Mang, punten. Adakah di sekitaran sini pria
yang cukup tua berkeliling berjualan cowet?
Kudengar dia orang Cidempet.‖ tanyaku sembari
berusaha memarkirkan dengan benar motor yang
susah dikendarai.
―Ooh, mungkin, maksudnya Mang Naryo yang
suka keliling jualan cowet itu, ya?‖
Lah, si Bapak kenal.
‖dia tinggal di tanah wakaf kuburan sana.
Sekitar lima ratus meter dari sini, tapi...‖
Segera kupacu gas motorku. Tak kupedulikan si
penggiring kambing yang meneriakiku karena cipratan
kubangan air yang membubarkan kawanan kambing
yang digiring.
Menurut perkiraanku, tibalah motorku untuk
berhenti di sebuah pemakaman umum yang berkabut
asap. Kumatikan mesin motor, tapi akupun bingung
sekaligus heran. Tak ada rumah getek dengan atap
daun kelapa yang dimaksud. Hanya ada banyak jejeran
kuburan dengan sedikit lahan kosong yang seperti
habis terbakar. Aku garuk-garuk rambut, sampai
seseorang mengejutkanku.
―Hoi, Kang! Cari siapa?‖ hampir aku tumbang
bersama motorku.
―Pak Naryo yang manggul cowet.‖ Jawabku
tergugup.
―Ada perlu apa, ya?‖ tanya orang asing ini lagi
dan mulai membuatku tak nyaman.
―Ada sedikit urusan saja.‖
―Wah, telat.‖ Sahutnya dengan wajah
meremehkan.
―Apanya yang telat? Dia sudah pindah?‖
―Iya, sudah pindah. ke sisi Tuhan.‖
―Maksudnya?‖
Orang ini mulai menjelaskan secara rinci.
Beberapa hari yang lalu, rumah ini terbakar dan
dalam sekejap mata habis tak berpuing. Pak Naryo
ikut terbakar saat mencoba menyelamatkan
Isterinya yang terjebak di dalam rumah. Untuk
beberapa waktu, dia selamat sampai di rawat di
klinik terdekat. Sedang Isterinya mati hangus
terbakar.
Jantungku seperti baru lepas dan menggantung
di ruang hampa udara. Pembuluh darahku serasa
berhenti dan membekukankukan nafasku. Aku
tertegun. Diam terbungkam.
―Kang!‖ orang itu memanggilku, menghentak
lamunanku.
―Apa sampeyan ini laki-laki berambut kriting dan
urakan yang dimaksud Almarhum Pak Naryo?‖
tebaknya.
Aku mengangguk dengan kepala yang masih
berat. Orang ini membawaku ke rumahnya.

275 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 276

Dia menyeret sesuatu dari dalam rumahnya.


Sebuah karung bekas beras slip yang diikat tali
rapiah. Suara gesekannya begitu berat hingga
meninggalkan bekas lecet pada ubin rumah.
―Ini Almarhum titipkan pada saya beberapa saat
sebelum wafat. Almarhum berpesan jika ada anak
muda yang mencarinya, suruh diberikan. Saya sedikit
terkejut ketika Almarhum bilang ada seorang laki-
laki muda yang memesan beberapa pasang cowet dari
saya. Pasalnya saya sendiri kasihan kalau harus
membiarkan Almarhum memanggul cowet seberat itu
untuk berkeliling. Almarhum juga pantang sekali
dikasihani. Jadi apa boleh buat.‖ Jelasnya padaku
yang membuat dadaku makin sesak.
Segera kubuka ikatan karung beras yang ketika
kuketahui itu membuatku tertawa geli, cekikikan,
seperti sesuatu menggelitikku. Yang diikuti pecahnya
pembuluh air mata di pipiku sampai tanpa sadar,
akupun terisak. Seperti sesuatu menghimpit diriku.
―Kang, masih waras, kan?‖
Sesuatu merampas akal sehat dan nuraniku.
Merampas habis udara dalam dada hingga hanya sesak
yang tersisa. Aku mengutuk diriku untuk segala
tuduhan nista yang kutujukan padanya. Aku merasa
dihinakan oleh Si Tua yang membuatku terbayang
pada ucapan syukurnya padahal hidup yang dilaluinya
sangat mengerikan. Aku membenci diriku seperti ini.
Yang tak pernah mau bahkan barang sejenak berpikir
dari segala pemikiran sebelum menghakimi. Aku
mengutuk diriku!
Aku lumat dalam duka mendalam yang kurasa
sampai mengoyak ulu hatiku.

Indramayu, 28 Mei 2020

277 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 278

Ibu, Kenapa Rindu Ini Tak Terbalas?


Karya : Sari Fatul Husna

― Diam di sini, ya?‖


―Ibu mau ke mana?‖
―Sebentar.‖
―Ibu nanti balik, ‗kan?‖
―Iya.‖
―Janji?‖
―Tentu.‖
Gadis berusia sembilan tahun itu kini duduk
memeluk lututunya. Hawa dingin yang menusuk membuat
tubuh kecil yang dibaluti dress biru itu mengigil
kedinginan. Matanya memutari sekitar, menunggu sosok
yang belum juga datang.
Dia tidak tahu, sudah berapa lama dia
menunggu. Yang dia tahu, tadi ibu bilang pergi sebentar
di waktu terang. Kini gelap telah datang, menemaninya
sendiri yang terus percaya bidadarinya akan datang.
Secepatnya.
―Satu dua tiga … empat …. sepuluh … satu dua
….‖ Berulang kali bibir mungilnya menghitung, mata
bulat itu masih menatap harap siluet ibunya muncul.
Namun, hitungan berulang dan malam kian larut, ibunya
belum datang.
Kakinya mulai melangkah tak pasti, bersama air
mata yang luruh, bibirnya bergetar.
Ibu hanya pergi sebentar. Ibu akan kembali.
Ibu sudah janji dan dia akan menunggu.
***

―Dzirfa cepat! Lelet!!!‖


Dengan tangan yang memegang mulut ember,
gadis itu berlari kencang. Mengejar tiga saudara
barunya yang sudah jauh di depan. Larinya tidak stabil,
terlalu ingin cepat sampai hingga tersandung batu dan
jatuh begitu saja.
Gelak tawa membuatnya mendongak, matanya
menatap sendu.
―Masa itu aja jatuh. Lemah!!!‖ caci laki-laki
berambut ikal, wajahnya hitam manis namun sedikit
kusam. ―Lemah lemah lemah!!!‖
Dzirfa bangkit dengan hati-hati. Bajunya basah
kena air tumpahan ember. Matanya berkedip, membuat
sebulir air mata membasahi pipi tembemnya.
―Cengeng!!!‖
―Udah tinggalin aja dia. Gak bisa diandelin.
Manja lagi!!‖ tukas gadis berambut pendek sebahu. Dia
berlari menjuah diikuti dua anak lagi. Dzirfa tertunduk,
memungut embernya lalu duduk di atas batu di tepi
sungai.
Pandangannya menembus air. Pikirannya
melayang. Tangisnya kian menjadi akan rindu berat yang

279 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 280

tersimpan. Pertanyaan satu tahun belakang belum


didapatkan. Penungguan satu tahun belum juga datang.
Ibu belum kembali.
Setahun di panti, sejak bapak tua membawanya
ke sini, dia hanyalah gadis pendiam. Gadis yang selalu
menjadi bullyan saudara barunya. Gadis kecil yang suka
mengingau tengah malam, lirih memanggil ibunya.
Dzirfa itu cahaya ibu
Kalimat yang pernah didengarnya itu
membuatnya menyeka air mata. Kepalanya mendongak,
menatap awan abu-abu yang bergantung di langit.
Dzirfa cahaya ibunya. Ibunya pasti balik untuk
menjemput cahayanya.
Dia harus tetap semangat. Sampai ibu datang
menjemputnya. Kedua sudut bibirnya tertarik. ―Ibu,
Dzirfa menunggu, Ibu.‖ Dzirfa bangkit dari duduknya,
menepuk pelan celana yang kotor. Kaki mungilnya
berjalan semangat menuju sungai, untuk mengambil
seember air.
Dengan hati-hati dia berjalan menyusul
saudaranya. Senyumnya kian lebar, melihat kolam kecil
buatan mereka sudah penuh air. Dengan pasti dia
mendekat. Membuat tiga pasang mata menatapnya
tidak suka.
―Fa main ya, Kak?‖ pintanya semangat.
―Gak boleh. Kamu gak boleh main.‖
―Iya. Pergi sana!!!‖
―Kami gak mau main sama kamu.‖
Lengkungan senyumnya berganti ke bawah. Laki-
laki berambut ikal kini mendorongnya ke belakang,
membuatnya hampir saja terjatuh. ―Pergi!!!‖
Dzirfa berbalik setelah meletakkan embernya.
Berjalan menuju panti dengan kepala menunduk. Suara
tawa bahagia di belakangnya membuatnya menoleh
sekilas sebelum benar- benar menjauh.
―Loh, Dzirfa dari mana, Nak?‖
Kepalanya mendongak. Mata bulatnya menatap
Bunda-pengurusnya yang sedang menyiram bunga. Ia
mengeleng kecil.
―Ya sudah, Dzirfa mandi ya sayang. Sudah
sore.‖ Bunda Arisa tersenyum lembut.
―Ibu kapan jemput Fa, Bun?‖
―Gak akan dijemput!!!‖
―Kan anak buangan!!!‖
―Hahaha ….‖
Suara itu membuat keduanya menoleh. Bunda
menghela nafas, matanya menyipit memberi peringatan.
Kedua tangannya berkacak pingang. ―Diko, Rea, Bunda
udah bilang, ‗kan gak boleh jahat?‖
Diko-laki-laki berambut ikal tadi dan Rea-gadis
kecil berambut sebahu, langsung pergi tanpa
mendegarkan. Di panti memang mereka yang paling
bandel dan nakal. Hobinya mencari masalah.
Arisa melihat Dzirfa yang tertunduk lesu.
Diusapnya lembut puncak kepala Dzirfa dan

281 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 282

memeluknya erat. ―Sayang, gak usah dengerin kata Kak


Dito sama Rea ya?‖
―Jika Ibu tidak kembali, apa benar Dzirfa
dibuang?
***

―Fa … Fa? Bangun ….‖ Goyangan keras di


tubuhnya membuatny terusik. Dzirfa mengucek
matanya dan melirik Lila yang duduk di sampingnya.

―Malam ini ada bintang!‖ serunya semangat.


―Ayo Fa!‖
Dzirfa mengangguk. Keduanya begitu
bersemangat dan berjalan pelan menaiki tangga menuju
rooftop. Senyum mereka mengembang, tatakala melihat
sinar terang rembulan bersama bintang yang
bertaburan malam ini.
―Wow!!
―Cantik ya, Fa.‖ Lila mendudukan tubuhnya di
lantai. Menatap penuh bahagia pemandangan di atas
sana. Dzirfa mengikuti. Cukup lama mereka terdiam
dengan poisis seperti itu.
Cahaya
Telunjuk Dzirfa teracung pada bulan, lalu
bintang. Matanya melirik sekilas Lila. ―Kata Ibu, Fa
cahayanya. Tapi ….‖ Tangannya turun. Perkataan kak
Diko dan Rea sore tadi membuatnya menunduk, ―kenapa
Ibu membuang, Fa?‖
―Lila tidak tahu, Fa. Lila saja tidak punya Ibu,‖
balasanya miris.
―Mungkin karena Dzirfa nakal ya?‖ tanyanya
sedih.
―Kata Kak Diko, kita di panti ini anak buangan
semua.‖
***

―Dzirfa, Bapak dan Ibu ini akan mengadopsimu.‖


Bunda Arisa mengusap lembut rambutnya. Menunjuk
dua orang asing yang berdiri satu meter dihadapan
mereka.
Mata bulat gadis berusia 10 tahun itu menatap
wanita berparas manis dengan hijab lebaranya dan laki-
laki berstelan jas di sampingnya. Mereka tersenyum.
Cukup lama, dia memperhatikan. Ucapan dia dibuang
ibunya kian mengema dipikirannya.
―Nanti kalau Ibu datang bagaimana?‖
Entah apa yang dipikirkan gadis kecil tidak
bersalah ini, walau orang berkata dia dibuang, Dzirfa
percaya ibu akan datang lagi menjemputnya. Karena ibu
bilang Dzirfa cahayanya. Ibu janji akan kembali.
―Jika Ibu Dzirfa datang. Nanti Bunda bilang.‖
―Benar?‖
Kerinduannya begitu dalam. Dzirfa tidak paham
apa itu benci, yang dia tahu dia ingin melihat ibunya
kembali. Bunda mengangguk mantap. ―Mereka akan jadi

283 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 284

orang tua barumu. Dzirfa harus tumbuh jadi anak


hebat, biar kalau ibu kembali, Ibu bangga. Mau, ‗kan?‖
―Mau, Bunda.‖
Siang itu juga, Dzirfa dibawa pergi oleh orang
tua barunya menggunakan mobil. Tangannya melambai
pada Bunda dan teman-teman panti. Hidupnya mulai
berbeda, namun hatinya tetap sama. Menunggu Ibu.
***

Sepuluh tahun. Ibu tidak pernah datang.


Kerinduan dalam itu tak terbalasakan. Malah
menyisakan luka dalam. Ibu benar-benar pergi
meninggalkannya. Gadis berusia 20 tahun itu menyeka
air matanya yang jatuh.
Gadis polos yang dari kecil percaya akan janji
palsu. Percaya Ibu akan datang. Dzirfa ingin membenci.
Tapi hatinya tidak bisa. Dzirfa menyaingi Ibu apapun
yang terjadi.
―Dzirfa ayo sarapan, Nak.‖ Samar panggilan itu
membuatnya kembali menabur bedak bubuk untuk
menutupi bekas air mata. Kedua sudut bibirnya
tertarik. Setelah menyambar tote bag, Dzirfa turun ke
bawah untuk sarapan pagi.
Di sini keluarga barunya. Ada sosok Abi dan
Umi yang sepuluh tahun ada untuknya. Mereka yang
mengangappnya sebagai anak kandung, selalu
memberikan kasih sayang, perhatian dan bahkan ia
begitu dibanggakan oleh mereka.
Mereka orang tua yang telah menyelamatkan
hidup seorang gadis kecil di panti. Orang tua yang
membuatnya merasakan lagi keluarga seutuhnya. Jika
Abi Umi tidak datang, ia tidak tahu akan jadi apa dia?
Sekarang semua serba dicukupi oleh mereka.
Pakaian, makanan bahkan pendidikannya. Dzirfa kecil
sekarang sudah berusia 20 tahun. Gadis yang kini sudah
menempuh pendidikan sebagai mahasiswi.
―Assalamualaikum Abi, Umi.‖
Kursi ditarik pelan menimbulkan bunyi berderit.
Mereka menoleh, Uminya bernama Kasyafa Laura
Assiyfah- dengan hijab syar‘i yang selalu membaluti
kepalanya. Abinya- Arrasyid Alif Raffatah yang baru
mengambil cangkir kopinya, menoleh, menatap lembut
putrinya.
―Wa‘alaikumsalam,‖ jawab mereka kompak.
Didikan mereka juga membuat Dzirfa yang kini
bernama lengkap Hafidzah Dzirfa Raffatah- Nama
baru yang diberikan sepuluh tahun silam, namun tidak
mengubah satu namanya, Dzirfa- juga telah memakai
pakaian muslimah syar‘i seperti uminya.
Kepalanya selalu dibalut jilbab, menambah paras
manis di sana. Pipi tembem kecilnya sudah tidak
setembem dulu, sifatnya bukan lagi terlalu pendiam. Dia
adalah gadis ceria yang selalu menebar senyum, gadis

285 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 286

dengan mata bulat yang memancarkan sinar walaupun


ada sendu yang ditutupi di sana.
―Hari ini, ada berapa kelas, Nak?‖
―Tiga Mi. Pagi sampai siang dua, dan ashar satu
lagi. Abis Zuhur ada kajian, Fa izin ya Bi, Mi,‖ izinya
seraya mengambil nasi.
Anggukan kecil mereka membuatnya tersenyum.
Seperti biasa, di pagi hari mereka akan sarapan
bersama. Usai makan, Dzirfa mengecek jam mungil di
tangan kirinya. Setengah jam lagi masuk. Ia bangkit
dari duduknya, segera mencucui piring dan gelas bekas
sarapan.
―Dzirfa pamit ya Bi, Mi,‖ celetuknya begitu
kembali.
―Yakin gak mau Abi antar?‖ Perhatiannya
beralih pada Abi.
―Dzirfa sama motor aja Abi.‖
―Ya sudah, hati-hati ya, Nak.‖
Dzirfa mengangguk. Mengambil tangan Abi Umi
untuk salam seraya mengucapkan salam. Setelahnya ia
membawa langkahnya keluar dari rumah minimialis ini.
Abinya adalah seorang pengusaha. Uminya di rumah
saja, selain sebagai ibu rumah tangga juga menjalankan
bisnis pakaian muslimah dari rumah. Walaupun begitu
mereka dari dulu menerapkan kesederhanaan, memilih
rumah miniamialis walaupun uang mereka lebih dari
cukup.
Setelah menekan stater, tangannya terangkat
untuk membaca doa. Dzirfa lalu membawa motor
maticnya melaju sedang di jalan raya. Kedua bibirnya
tersenyum memperhatikan jalanan yang tidak terlalu
padat pagi ini.
Lajunya berhenti ketika lampu berganti merah,
perhtiannya menelisik sekitar hingga terpaku pada anak
laki-laki kecil dengan bajunya yang kusam. Ditangannya
ada botol aqua, nampak uang seribu hingga dua ribuan di
dalamnya.
Matanya menatap satu tuju, ke aspal dengan
tatapan kosong. Tatapan Dzirfa ikut sendu, adik kecil
itu mengingatkannya pada gadis kecil 10 tahun silam,
yang menunggu ibu hingga malam larut menerkam. Dia
lemah jika melihat anak kecil di tepi trotoar, karena itu
akan mengingatkannya pada malam dingin dengan
penungguan.
Dzirfa ingin bertanya. Sebenarnya di mana
Ibu? Ke mana ibu pergi waktu itu hingga melupakan
gadis kecilnya? Rasa rindunya benar-benar membludak.
Sekali saja bisakah ibu datang untuk melihatnya?
***

―Keadaan ekonomi atau bahkan masalah individiu


membuat orang tua tega menelantarkan anaknya. Tidak
jarang banyak kita lihat anak kecil dibuang begitu saja.

287 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 288

Selain segi finansial, entah apa yang orang tua pikirkan,


ada rasa malu atau dia tidak bisa menerima anaknya.‖
―Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebulan
terakhir, banyak anak-anak yang kecil yang berkeliaran
di tengah jalan. Panti sendiri mengeuarkan data 905
dari 100% anak dibuang dan ditemukan.‖
Pejelasan teman sekelasnya di depan membuat
hatinya tersentak. Kata dibuang begitu membuatnya
sesak. Dzirfa menunduk, mengambil buku novelnya dan
mengalihkan perhatiannya. Jika itupun benar, jika dia
pun dulu benar-benar dibuang, Dzirfa tidak ingin
membahasnya.
―Serius, kamu dari tadi baca novel. Gak
nyangka,‖ heboh Fenda sekeluarnya mereka dari kelas.
Dzirfa yang biasanya memperhatikan mata kuliah, kini
membaca novel di dalam kelas hingga selesai. Untung
tidak ketahuan.
―Aku bosan,‖ alibinya.

―Seorang Dzirfa bosan?‖

―Sebulan lagi giliran kita, kita belum penelitian.


Mau ambil kasus apa?‖ tanyanya mengalihkan
pembicaraan.
***

―Ternyata Dzirfa yang memakai baju muslimah


itu anak buangan. Data panti yang aku dapat ada foto
Dzirfa di sana, waja gadis kecil itu mirip banget sama
dia. Orang tuanya sekarang itu orang tua angkat.‖
―Sumpah, aku juga keget lihat data yang kami
dapat.‖
―Kasian ya.‖
―Pantes dia diam aja kemarin di kelas.‖
Hatinya bergemuruh panas mendegar gunjingan
sekumpulan temannya yang kemarin persentasi.
Langkahnya menjauh bersama isak yang berusaha di
redam. Wajahnya memerah. Dzirfa hanya dapat
mendunduk.
Tidak, Dzirfa tidak dibuang. Ibu tidak
membuang. Ibu akan kembali.
Tubuhnya terduduk di kursi taman belakang.
Air matanya luruh. Oh Allah, hatinya tidak kuat
menerima jika dia dibilang anak buangan, kata itu bagai
pisau yang menusuk hatinya perlahan, mengoyak
kenangan sepuluh tahun silam.
Dzirfa itu cahaya Ibu
Luka tetaplah luka walau kata semangat itu
membawa cahaya. Kini perkataan ibu tidak dapat
memberi obat pada lukanya. Dzirfa terisak dalam
diamnya. Sapuan angin mengoyangkan khimar
panjangnya.
Sebuah langkah kaki mendekat, mengulurkan
sebuah tisu dan berlalu begitu saja setelah megucapkan
satu kalimat. ―La Tahzan, semua akan berlalu. Masjid.‖

289 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 290

Dzirfa mendongak, laki-laki itu telah menjauh,


hanya menampakkan punggung yang kemudian
menghilang di balik tembok. Ia menyeka air matanya,
melirik jam tangan dan bangkit untuk ke masjid. Benar.
Sholat. Dzirfa butuh temat mengadu yang tepat.
Berita itu bagai angin yang berhembus cepat
dalam waktu singat. Entah siapa yang menyebar, kini
semua mata melirik padanya. Berbagai macam
pandangan, kasihan, sinis dan ucapan ‗sabar ya‘ atau
‗kamu benar dibuang Fa?‘
Pertanyaan itu seolah sengaja mengobrak-abrik
hati rapuhnya. Dzirfa hanya dapat tersenyum tipis,
memilih berlalu. Siapapun tiu Dzirfa sangat kesal,
bagqimana mungkin orang tega menyebar kehidupan
masa lalunya. Apa salahnya hingga kini dia menjadi
topik.
Dzirfa mengucap takbir dalam sholatnya, air
mata yang luruh membuatnya segera menyeka cairan
itu. Tidak. Dia harus khusu‘. Hingga dalam salam
terakhir, tangannya terangkat berdoa, tangis dalam
diamnya pecah. Dia bermunajat.

Ya Rahman Ya Rahim
Ya Malik Ya Qudus
Ya Hanan Ya Manan
Ya Dayan Ya Sultan
Ya Karim Ya Adzim
Ya Latif Ya Hadid
Ya Ahad Ya Somad
Ya Ghaffar
Semua yang terjadi atas kehendakmu. Ya Rabb hamba
punya masalah, tapi hamba lebih mempunyai Allah yang
Maha Besar. Mohon cepatkan berlalu semua ini, tabahkan
hati ini Allah. Hamba tidak bisa menerima fakta semua
orang berkata hamba anak buangan.

Ya Rahman Ya Rahim
Dzirfa sayang Ibu. Ibu janji akan kembali. Allah mohon
pertemukan Dzirfa dengan Ibu untuk memperjelas semua
ini. Hamba sangat yakin, ibu tidak membuang anaknya. Ya
Rab, sampaikan rindu hamba melalui al-fatihah untuk
malaikat tak bersayap yang tidak lagi terlihat.

―Dzirfa.‖
Tepukan pelan terasa setelah doanya selelsai.
Dzirfa mengusap air matanya. Menoleh dan tersenyum
pada Fanda yang duduk dengan mukena pink
berbunganya. ―Iya?‖
Fanda memeluknya erat. ―La Tahzan,‖ ucapnya
bergetar. Seolah paham apa yang sahabatanya rasakan.
―Kamu tetap Dzirfa yang hebat, appaun ucapan orang.
Kamu muslimah tangguh sahabat Fanda. Kamu gak usah
dengerin mereka.‖ Air matanya kembali mengalir.
―Masalahmu pasti berlalu.‖
―Ya, karena ada Allah yang Maha Besar.‖

***

291 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 292

Dzirfa membawa motornya melaju hingga


berhenti persis didekat trotoar bersejarah dalam
hidupnya. Tidak ada yang berubah, hanya saja gedung-
gedung yang semakin tinggi, trotoar yang sudah dibuat
baru.
Ia mematikan motornya, bediri tepat di atas
trotoar. Kepalanya menunduk, mmperhatikan bayangan
gadis kecil yang lirih memanggil ibu dengan pandangan
menelisik sekitar. Gadis malang. Sepuluh tahun lamanya,
isu beberapa hari di kampus membuatnya ingin
memastikan sesuatu. Dzirfa harus mencari tahu. Di
mana Ibu setelah meninggalkannya? Dzirfa tidak
dibuang. Benar. Ibu … tidak setega itu. Tapi bagaimana
dia mencari tahu?
Drrrttt
Lamunanya buyar pada android yang
bergetar. Dzirfa melihat nama Umi dilayar. Jam yang
telah menunjukkan pukul enam sore, tentu menjadi
tanda tanya bagi Umi. Digesernya pangilan berwarna
hijau ke atas, menempelkan benda pipih itu pada daun
telingga.
―Assalamualaikum, umi.‖ Salamnya
―Wa‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dzifra di mana, Nak? Cepat pulang ya. Ada tamu.‖
―Tamu, Mi? Siapa?‖
―Udah, cepat aja sini. Assalamualaikum.‖
Tut!
Dzirfa menatap layar yang telah gelap dengan
dahi mengerinyit. Setelah menyimpan kembali
androidnya, kepalanya menunduk lagi, menatap
bayangan gadis kecil 10 tahun silam yang telah hilang.
Helaan nafas meluncur dari bibirnya.
Kakinya melangkah berat menuju motor, sekali-
kali kepalanya menoleh ke belakang. Hingga ia benar-
benar naik ke atas motor dan melaju meinggalkan
secarcik harapan yang belum ditemukan jalan keluar.
Pukul 18.20. Motor maticnya berhenti di
halaman. Dzirfa menatap heran satu mobil yang
terparkir di belakang mobil Abi. Tamunya siapa? Buru-
buru ia melepas helm, barangkali ada yang penting.
―Assalamualaikum,‖ salam lembutnya membuat
semua pasang mata menoleh menatapnya. Dzirfa
tersenyum tipis, dan menunduk. Jawaban
wa‘alaikumsalam terdengar, lalu suara Abi yang
memintanya duduk.
―Dzirfa, ada laki-laki yang berniat baik
kepadamu.‖ Abi to the point. Membuat kepalanya
mendongak kaget.
―Nak Gibran sudah bicara sama Abi Umi.
Keputusan selanjutnya kami serahkan padamu,‖ sambung
Umi. Umi mengusap lembut tangannya yang ditutupi
handshock. Kepalanya lagi menunduk. Dzirfa tidak
pernah berpikir dan menduga hal ini sebelumnya. Walau
dia tahu pernikahan harus disegerakan
―Angkatnya kepalanya Fa, kamu bisa lihat dulu
wajahnya.‖

293 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 294

Dengan berat kepalanya mendongak. Menatap


satu tuju. Laki-laki di depannya yang tengah tersenyum.
Laki-laki asing yang bekum pernah dilihatnya. Laki-laki
dengan wajah damai, tatapan lembut dan senyum
menawan. Dzirfa segera memutuskan pandangan pada
dua orang lagi yang duduk di antara laki-laki itu.
Seorang wanita yang sepertinya Ibu dari laki-
laki itu dan di sampingnya wanita yang lebih tua darinya.
Juga memakai pakaian syar‘i. Mereka tersenyum manis.
―Assalamualaikum,‖ salam laki-laki itu.
Tunggu!
―La Tahzan, semua akan berlalu. Masjid.‖
Kenapa suaranya mirip dengan laki-laki waktu
itu?

***

―Kamu mengenalku?‖
―Ya. Sejak lama.‖
―Apa yang membuat kamu beniat melamarku?‖
―Akhlahmu.‖
―Kamu … sekampus deganku?‖
―Ya, aku seniormu yang sudah tamat dua tahun
lalu.‖
―Waktu itu yang memberikan tisu di taman
belakang, apa-―
―Itu aku.‖
―Ayo Fa, Bima udah di parkiran.‖
Dzirfa tersentak, buru-buru menyembunyikan
cincin yang tersemat di jari mansisnya. Ia mengangguk,
mengikuti Fanda yang sudah dulu melangkah. Sore itu,
Dzirfa meminta berbicara berdua untuk meyakinkan
hatinya. Hingga berakhir lamaran yang ia terima.
Pernikahan mereka dua bulan lagi.
―Kamu bawa motor, ‗kan?‖
Dia tersentak. Menggeleng. ―Tadi aku diantar
Abi,‖ jelasnya. Siang ini mereka akan ke kantor polisi
untuk wawancara dan meminta data untuk penelitian
kelompok. Mereka mulai jalan, Dzirfa bersama motor
Fanda. Bima mengikuti di belakang.
Setengah jam perjalanan, mereka sampai di
kantor polisi. Bima berjalan dahulu, menyampaikan
maksud mereka seraya memperlihatkan surat dari
kampus. Setelah mendapat anggukan, mereka diminta
menunggu sejenak.
―Silakan ikuti saya, adik-adik.‖ Pak polisi dengan
kumis tebal dan wajahnya yang sudah keriput datang
sepuluh menit kemudian. Mereka mengangguk, melewati
beberapa ruangan hingga berakhir di sebuah sofa dalam
ruangan yang sedikit lapang. Ketiganya duduk setelah
dipersilahkan.
―Kalian bisa wanwancara dengan Pak Petro
Farado Hakim. Sebentar lagi beliau akan datang. Saya
tinggal dulu.‖ Mereka mengangguk lagi, mengucapkan
terima kasih. Lagi, disuruh menunggu.

295 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 296

―Polisi sibuk banget ya. Aku kira bapak tadi yang


mau kita wawancarai. Udah nunggu 10 menit. Ternyata
masih ada lagi,‖ bisik Fanda pelan.
―Fan, bisik-bisik gak tau tempat.‖ Bima geleng-
geleng kepala, ―Bagaimana kalau kedengaran?‖
―Ya ampun Bima, aku kan gak ngomong aneh-aneh.
Sensi banget.‖ Bima mencebik ―Fanda yang mulai
wawancara nanti.‖
―Ih gak, kamu dong.‖
―Aku kan udah kasih lihat surat. Nanti abis
kamu baru aku.‖
―Ogah, masa cewek duluan. Kamu dong sebagai
cowok.‖
―Shtt!!Kalian ini, ini kantor polisi tahu,‖ tegur
Dzirfa.
―Eh tunggu, ini cincin apa?‖ Fanda menyipit
melihat cincin di jari manis sahabatnya. Dzirfa
gelagapan. Pasalnya belum ada yang tahu kecuali
keuarganya. Segera ia sembunyikan tangannya.
―Kamu mau nikah?‖
―Serius, Fa?‖ Bima ikutan heboh.
―A-―
―Selamat siang.‖
Ketiganya sontak menoleh. Mereka langsung
tersenyum kikuk dan segera menjawab salam begitu
polisi yang sepertinya bernama Petro Farado Hakim
duduk di sofa tunggal. Fanda memberi kode pada Bima.
Mulai duluan Bim!
―Pagi, Pak. Kami dari Universitas Negeri
Ahtadura ingin melakukan wawancara dengan Bapak
untuk tugas penelitian kami. Nama saya Gabima Rando,
teman saya Fanda Athala Zikra dan Hafidzah Dzirfa
Raffatah.‖
Setelah basa-basi sedikit, mereka langsung
masuk ke inti. Bima bertanya serius, sekali- kali Dzirfa
ikut bertanya. Fanda sendiri mencatat point penting
sekaligus merekam dengan ponselnya. Mereka
mengambil satu kasus pada tahun 2010 yang terpaksa
tutup karena pelaku tidak dapat ditemukan setelah
enam bulan pencarian.‖
―Ada satu korban, namun pelakunya tidak jelas.
Kecelakaan terjadi pada pukul 09.59 p.m. Satu saksi
menjelaskan sebuah mobil melaju kencang hingga
menabrak korban yang melintas. Ketika kami selidiki,
kecelakaan itu tidak tertangkap CCTV. Saksi sendiri
hanya mengingat warna mobil, itu silver.‖
―Bagaimana keadaan korbannya?‖ celetuk Fanda.
―Korban mengalami pendarahan hebat di kepala.
Pukul 10.02 a.m, kerumunan mengatakan korban
menghela nafas terakhir. Jati diri tidak ditemukn
tuntas. Ini yang sangat menyulitkan kami. Alamat
korban bukan di kota ini.‖
―Boleh saya lihat data ini, Pak? Dzirfa melirik
tumpukan kertas di atas meja yang dibawa pak Petro.
Beliau mengangguk. Wawancara berlanjut dengan
pertanyaan yang kembali diajukan Bima. Ini adalah kasus

297 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 298

yang tengah mereka bahas. Kertas itu sedikit berdebu


dan using. Jelas dibiarkan begitu saja sepuluh tahun
lamannya.
―Apa tidak ada keterangan lain untuk jati diri
korban waktu itu, Pak?‖
―Di dalam berkas ada fotokopi KTP korban yang
kami dapatkan. Namun terakhir saksi mengatakan
korban itu menyebut nama seseorang.‖
Dzirfa yang tengah membaca kasus mendongak.
―Siapa, Pak?‖
Pak Petro menoleh. Mengeleng kecil. ―Saya lupa
namanya. Lagian sudah ditutupi.‖ Mereka mengangguk.
―Jika kami boleh tahu upaya apa saja yang sudah
dilakukan untuk mencari pelaku? CCTV di tempat lain
tentu ada Pak yang menangkap mobil itu melaju pergi
dari sisi lain. Apa-―
―Saya harus ke pusat. Masih lama?‖ Pak Petro
melirik jam tangannya, menatap mereka dengan sebelah
alis terangkat.
―Ooh i-iya, Pak.‖ Mereka saling pandang
sejenak.
―Boleh kami meminjam ini, Pak?‖ tanya Dzirfa
hati-hati seraya memperlihatkan buku kasus di dalam
gengamannya.
―Sore ini kami janji akan mengembalikan. Teman
saya belum membaca semua, Pak.‖ Bima memelas
―Lima sore. Bawa lagi ke sini,‖ putus beliau.
Mereka tersenyum lega. Setelahnya Pak Petro
pamit begitu saja, meninggalkan mereka yang kembali
menatap satu sama lain. ―Ya udah, kita keluar yuk.
Sebelum jam lima. Kita harus baca ini.‖
Mereka mengangguki ucapan Dzirfa. Begitu
berdiri, polisi berkumis yang mengajak mereka ke sini
tadi datang, kembali menuntun ke pintu utama. Mereka
bertiga mengucapkan terima kasih, lalu menjauh menuju
parkiran.
―Pak Petro seperti menutupi sesuatu.
Sepertinya pelaku bukan gak ditemukan. Kasus ini pasti
sengaja dibuat seolah pelaku tidak bisa dilacak dan
ditutup gitu aja.‖ Bima mengambil helmnya seraya
menatap Dzirfa dan Fanda bergantian.
―Gak usah berlagak jadi detektif,‖ cibir Fanda.
―Gak Fan. Ini emang aneh. Kalian rasain gak sih
tadi Pak Pentro mendadak bilang mau pergi saat bahas
pelaku?‖ Dzirfa terdiam. Fanda mengangguk
membenarkan.
―Udah, ini masih kawasan polisi. Kalian mau
ditangkap kalau mereka dengar. Lagian jangan soudzon
dulu deh,‖ sahut Dzirfa.
―Ya udah, yuk!‖ Fanda naik ke atas motornya.
Menyerahkan helm untuk Dzirfa dan memakai helmnya.
***

―Udah semuanya?‖

299 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 300

―Dikit lagi.‖ Fanda mencoret buku catatannya.


Mencatat point penting dari buku tersebut. Kini
ketiganya tengah berada di taman perpustakaan
wilayah. Menganalisas buku kasus yang hanya dapat
mereka pinjam sebentar.
―Halaman selanjutnya.‖
―Berapa halaman lagi?‖
Bimo membuka halaman sisa. ―Dua puluh lima
halaman.‖ ―Duh, sempat gak ya. Udah setengah lima.
Belum ke sana.‖
―Bim, baca yang penting aja. Gak usah baca semua.‖
Dzirfa menatap Bima gemas. Laki- laki itu dari tadi
malah membaca semua, karena masih percaya ada yang
ditutupi. Jadilah, mereka terburu-buru seperti ini.
―Tapi.‖
―Ih, Bim. Buruan!!! Tinggal dikit nih waktunya.‖
―Iya iya.‖ Dia pasrah. Membuka halaman
selanjutnya. Jeli matanya memperhatikan semua tulisan
dengan cepat, sekali-kali menyebutkan point yang
penting pada Fanda.
―Ini jati diri korban. KTP yang dibilang tadi.
―Bacain aja Bim,‖ sela Dzirfa.
―Oke. Nama korban Renata Wirfa Rayesa.
Tempat tanggal lahir Bogor, 5 april 1985. Go-―
Dzirfa menarik buku itu begitu saja.
Jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetar.
Tidak! Dzirfa memperhatikan wajah yang tidak jelas
dalam kopian KTP itu. Lagi diperhatikannya nama dan
alamat yang tertera. Ya Allah …
―Katanya suruh cepat,‖ protes Bima.
―Fa, kenapa?‖ tanya Fanda heran.
―Ibu nulis apa Bu?‖
Ibunya menoleh, mengulas senyum dan
mengangkat kertas di depannya. ―Ibu nulis alamat kita,
Fa. Ayah mau kirim paket.‖
―Tangerang Selatan.‖ Bacanya sekilas. Lalu
matanya memperhatikan nama Ibunya. ―Renata Wirfa
Rayesa.‖
Deg!
Korban tabrak lari ini … ibunya?
―Bu, kata teman Dzirfa. Susah sebut nama Fa.
Ada D-nya. Kenapa ibu kasih susah?‖
―Biar lebih mudah, Fa kenalin diri pakai zirfa
aja sayang. Nama Dzirfa diambil dari nama ayah dan
Ibu. D itu Dani, nama ayahmu dan irfa itu nama Ibu-
Wirfa. Z nya ditambah.‖
―Tadi, di mana TKP-nya?‖ Dzirfa mendongak
dengan wajah pucat.
―Jalan Raya No 03.‖
Dzirfa meletakkan buku itu saja. Kakinya
berlari menjauh. Bima dan Fanda berteriak memanggil
namanya. Kepalanya mengeleng dengan tangis yang kini
keluar. Ibu. Kenapa seperti ini? Itu ... tempat itu tidak
jauh dari tempat Ibu meninggalkannya dulu. Benar, Ibu.

301 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 302

Keyakinannya benar. Ibu tidak membuanganya.


Tapi Ibu … Dzirfa menjatuhkan tubuhnya begitu saja.
Membuat Bima dan Fanda segera menyusul. Ia
tertunduk lemah. Ibu janji akan kembali. Tapi sampai
sekarang janji itu selalu palsu dan bahkan tidak akan
pernah ditepati. Karena ibu … ibu meninggalkannya dari
awal.

―Fa …‖

Fanda memeluknya..

Dzirfa menangis. Oh Allah. Kerinduannya tidak


terbalas. Kerinduan dalam ini tidak bisa bicara. Rindu
yang sudah lama tersimpan ini nyatanya tidak akan
pernah tersampaikan. Engkau mengabulkan doaku untuk
memperjelas ini semua, tapi sungguh ini benar-benar
membuatku hancur.
Dari dulu aku hanya berharap hal semu.

***

―Mana Dzirfa?‖
―Ke toilet sebentar.‖
―Sebulan lagi. Kamu yakin?‘
―Permintaan terakhir kak Azam. Semoga dengan
ini dia tenang.‖
―Tapi-―
―Aku akan berusaha mencintainya.‖
―Bagaimana kalau dia tahu kamu menikahinya
karena permintaan kak Azam?‖
―Asal jangan dibahas,‖ balasnya kesal..
―Tapi, bagaimana lebih parahnya dia tahu kakak
Azam yang menabrak ibunya 10 tahun lalu?
―A-apa?‖ Dzirfa yang mendengar semuanya
terbelalak. Pembicaraan itu seakan menikamnya
dengan belati. Jadi, jadi orang yang datang serius
melamarnya adalah adik dari pembunuh ibunya?
―Dzirfa? Aku-―
―Aku gak mau menikah dengan pembunuh
Ibuku,‖ lirihnya. Kakinya berlari keluar. Tangisnya
pecah bersama pilu yang tertahan. Oh Allah apa lagi ini.
Setelah fakta ibunya ditabrak lari. Kini calon suaminya
adalah adik dari pelaku tarbak lari itu sendiri.

303 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 304

Bia
Karya : Savira Lalita L

Gemeletuk kayu di perapian ternyata bisa

membuatku seresah ini. Sudah beberapa menit yang


lalu kumasukkan beberapa potong kayu lagi, tapi
entah mengapa ruang tamu yang kecil ini tetap
terasa dingin, padahal di luar salju turun tidak
selebat beberapa hari yang lalu. Seharian ini tidak
ada satupun prediksi cuaca yang mengatakan
cuacanya akan memburuk, tapi entah mengapa hari
ini terasa lebih dingin dari biasanya.

Hari ini tanggal 24 Desember.


Hari ini malam Natal.
Hari ini ruang tamuku dingin sekali.

Ah ya, natal dan musim dingin, dua hal yang


sangat disukai Bia. Aku ingat natal tahun lalu kami
membeli pohon natal yang sangat besar dengan
banyak pernak-pernik. Kami sangat kewalahan saat
menghias pohon besar itu, bahkan kami sampai
membutuhkan dua hari untuk menyelesaikannya. Tapi
setalah itu, jangan tanya betapa bahagianya Bia.
Pada tanggal 24 Desember tahun lalu, entah
mengapa Bia terlihat sangat gembira meski ini adalah
natal kesekian kami dengan Papa dan Mama yang
melihat dari surga. Dia sangat antusias sejak pagi
bahkan dia sudah membangunkanku padahal masih
pukul lima. Bia menyeretku menuju balkon kamarnya.
―Aku masih mengantuk, Bia‖ keluhku dengan
mata terpejam dan mulut yang menguap lebar.
―Buka matamu dulu, Jane. Kamu akan
menyukainya‖pintanya sambil mengguncang tubuhku.
Enggan memulai keributan, akupun mengikuti
sarannya. Kulihat di depanku matahari baru terlihat
seperempatnya, tapi semburat kuning keunguannya
sudah cukup menjelaskan seberapa berdayanya ia
sampai membuat langit pagi kota kami seperti
layaknya kutub utara yang dihiasi aurora. Pagi ini
indah sekali.
―Indah ya, Jane? Aku sengaja membangunkanmu
karena aku tahu kamu akan menyukainya. Kamu selalu
menyukai matahari, huh, padahal matahari itu panas,
dan aku benci kepanansan. Tapi, Jane, kamu lama-
lama sudah sangat mirip dengan matahari. Sering
membuatku benci karena kamu terlalu sering marah-
marah tetapi hanya kamu yang selalu ada bahkan
saat musim dinginpun, aku jadi tidak kedinginan
hanya karena ada kamu, Jane. Kalau aku pikir-pikir,
musim dingin tidak akan pernah seindah ini tanpa
adanya matahari. Ya, musim dingin tidak akan indah
kalau tidak ada seorang Janneta. Bagus ya, ucapanku‖

305 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 306

―Bilang saja kalau kamu minder karena aku


lebih cantik dan kamu tidak bisa hidup tanpa aku,
iyakan? Iyakan?‖ejekku sambil mencubit perutnya.
Bia mencoba menghindar dan menangkis tanganku
tapi dia gagal. Bia tertawa sampai hampir menangis.
―Iya, Jane. Kamu menang. Lepaskan aku,
please‖rengeknya dengan wajah memelas. Langsung
kulepaskan genggamanku di pinggangnya, dan Bia
segera masuk ke dalam.
―Tapi maaf, Jane. Tetap aku yang lebih cantik!
Jangan lupa buatkan sarapan ya, Jane!‖serunya dari
dalam yang kubalas dengan umpatan.
Sore harinya, kami bermain ski di danau beku
yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah kami.
Walaupun Bia menyukai musim dingin, dia itu sangat
payah bermain ski. Dibandingkan anak-anak kecil yang
baru pertama kali meluncur di danau ini, Bia sangat
jauh lebih payah dari mereka. Hanya berdiri saja dia
membutuhkan lima kali terjatuh dulu baru bisa berdiri
tegak dengan kedua kakinya sendiri, memalukan. Tapi
Bia selalu saja bisa menyombongkan diri. Karena dia
sering terjatuh, ada saja seorang lelaki yang
menolongnya dan berakhir mengajaknya berkenalan.
Bia, dan pesonanya memang suatu keajaiban.
Merasa lelah, aku memilih duduk di tepi danau.
Bia menghampiriku bersama lelaki yang tadi
menolongnya. Aku yang sudah hapal perangainya
kalau sebentar lagi dia akan menyombongkan diri
lebih memilih segera bangkit dan pergi.
―Jane! Tunggu aku!‖ teriaknya sebal lalu
berusaha secepat mungkin melepas sepatu ski
berwarna merahnya untuk menyusulku.
Kami berjalan berdua menyusuri jalanan kota
yang dipenuhi salju. Ketika kami melewati toserba,
Bia menghentikanku.
―Belikan aku ice cream‖ pintanya.
―Tidak. Kita sudah cukup menguras tabungan
untuk pohon natal kemarin, Bia. Apa kamu tidak
ingat? Dan demi Tuhan, ini musim dingin, Bi‖jawabku
sambil kembali melangkah. Tapi setelah tiga langkah,
aku kembali berhenti.
―Ayolah, Jane. Kita terakhir makan ice cream
berdua sa…‖
―Oke, ayo kita beli‖sahutku.
Kami menghabiskan sore yang cukup dingin
dengan duduk di taman kota ditemani sepotong ice
cream di tangan kami masing-masing. Kami hanya
diam menikmati suasana pertengahan musim dingin
dengan mataharinya yang mulai bergulir pelan kearah
bukit yang berada di belakang kota kecil kami.
"Jane, apa kamu juga menyukai sunset?"
tanyanya setelah beberapa saat hening yang entah
kenapa menentramkan. Aku yang kebingungan harus
menjawab apa akhirnya hanya bergumam dan
mengedikkan bahu.

307 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 308

"Lihat itu Jane. Mataharinya hilang. Apa kamu


sedih melihatnya?" ucapnya perlahan. Bia
mendekatkan duduknya dan meletakkan kepalanya di
bahuku. Matanya menerawang jauh, entah
membayangkan apa. Aku memilih diam menikmati
pemandangan di depan kami juga kebersamaan kami.
"Matahari juga bisa pergi, Jane. Sama ya
seperti musim dingin, dia sangat kusukai, tapi nanti
pasti pergi juga. Sama seperti aku juga‖lanjutnya.
―Paling tidak, selalu ada yang membuat kita
bahagia dengan sesuatu yang singkat itu, Bi. Aku
bahagia ketika matahari terbit, kamupun
begitu‖jawabku.
―Iya, aku tidak pernah sedih ketika musim
dingin berlalu, karena aku selalu merasa cukup
dengan hal-hal menyenangkan yang bisa kulakukan
ketika musim dingin. Kenangan tentang hal itu bisa
kuulang sampai musim dingin berikutnya datang.
Kamu juga harus seperti itu ya, Jane ketika aku
berlalu.‖jelasnya yang tanpa kusadari membuat suhu
udara menjadi turun beberapa derajat lebih rendah.
―Kita masih punya banyak waktu, Bia. Kita
bahkan belum dua kali mendaki bukit itu dan
berkemah disana lagi‖ ucapku dengan tangan
terangkat menunjuk bukit di depan kami.
―Jane, apa kamu rindu Papa dan Mama? Ini
sudah natal kelima tanpa mereka, tidakkah kamu
ingin mengunjungi makam mereka? ‖sahutnya
seketika merubah topik pembicaraan.
Aku menghela nafas menahan sesuatu yang
sejak lama kukubur rapat tiba-tiba menghantam
dada. Sepertinya kami harus segera pulang. Aku
menggenggam erat tangan Bia lalu menariknya pulang
tanpa sepatahpun kata, namun hatiku berbisik, aku
sangat merindukan mereka.
Aku menatap cangkir yang kini tengah
kugenggam. Dingin. Mungkin karena sudah sejam
kubiarkan begitu saja tanpa ada niatan sedikitpun
kuminum karena terlalu asik melamun. Aku jadi
teringat pagi tadi ketika Bia berbisik mengajakku
melihat matahari terbit di balkon kamarnya seperti
tahun lalu. Aku duduk disana dua jam lamanya hanya
ingin menemani sang Mentari terbit dengan
sempurna sekaligus sedang mencari sesuatu yang
entah Bia taruh dimana.

Pagi itu indah


Sore itu juga indah.
Hari itu tanggal 24 Desember
Hari itu malam natal.

Malam Natal, 24 Desember tahun lalu, kami


sudah siap dengan sepucuk surat berisi tulisan
apapun yang akan kami gantung di pohon natal. Kami
duduk di ruang tamu kecil kami yang terasa hangat

309 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 310

walaupun hanya ada kami berdua sedangkan salju di


luar sedang turun dengan derasnya. Bia menggantung
suratnya di posisi paling tinggi. Dia ingin suratnyalah
yang akan dibaca Santa pertama kali. Kemudian kami
menikmati secangkir coklat hangat bertabur
marshmallow kesukaanku. Walaupun Bia mengeluh
kalau minuman kami seperti anak kecil,buktinya dia
sudah mengisi kembali cangkir yang ia pegang untuk
kedua kalinya.
―Ayo gantung suratmu, Jane‖ suruhnya dengan
terburu.
―Kenapa memangnya? Bukankan hal ini lebih
kekanakan daripada minum coklat dengan
marshmallow?‖ jawabku sengaja menggoda Bia.
Bia hanya mendengus kemudian diam. Malam ini
kami duduk tepat di depan perapian menggunakan
sofa berwarna biru yang sengaja kami pindahkan
kesana. Kami berdua memang aneh, selain sering
bertengkar-lebih tepatnya aku memarahi Bia, dan
saling ejek, kami sangat menyukai keheningan.
Seringkali kami duduk berdua tanpa membicarakan
apapun, tapi selalu saja yang kami perhatikan atau
yang kami pikirkan itu tentang sesuatu yang sama.
Setelah setengah jam berkelana dalam pikiran kami
sendiri-sendiri, Bia mulai mengoceh kembali.
―Apa tadi kamu memikirkan apa yang aku
pikirkan, Jane?‖ tanyanya.
―Eum, memang apa yang kamu pikirkan? Aku
bahkan sudah lupa tadi memikirkan apa.‖ gurauku.
Bia malah memelukku dari samping dengan erat.
Aku tidak pernah heran jika dia seperti itu karena
Bia memang seorang gadis yang manja. Tapi Bia juga
sangat pemberani. Bagaimana tidak pemberani, dia
nekad memanjat rumah tetangga kami yang terkenal
galak dan memiliki dua ekor anjing Belgian Malinois
untuk mengambil sepatuku yang sengaja dibuang
teman kuliahku.
―Aku akan membawamu berkunjung ke makam
Papa dan Mama. Aku akan pastikan kamu tidak bisa
menolaknya, Jane‖ desahnya di pelukanku tiba-tiba.
Aku hanya diam lalu mengelus pundaknya pelan.
Aku sangat merindukan Papa dan Mama, sama seperti
apa yang Bia rasakan ketika melewati natal tanpa
mereka, tapi bagiku semua itu akan hilang dalam
sekejap hanya dengan memandang Bia, satu-satunya
keluarga yang kupunya di dunia. Aku membalas
pelukannya dan dalam hati meminta agar malam itu
Bia tidak perlu menangis karena merindukan Papa-
Mama karena aku akan selalu di sisinya. Dan benar,
untuk pertama kalinya setelah lima tahun Bia tidak
menangis. Kami tertidur di ruang tamu berdua saling
berpelukan. Pelukan yang terasa ingin diberikan
sebanyak-banyaknya oleh Bia.

Hari itu tanggal 24 Desember.

311 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 312

Itu malam natal.


Malam itu tidak sedingin malam ini.

Kurekatkan mantelku. Perapian semakin


membara tapi rasanya semakin dingin saja. Aku jadi
teringat ucapan Bia tahun lalu, dan sekarang aku
tersenyum mengingatnya. Bia tidak pernah
mengingkari janjinya, dia benar berhasil membawaku
ke makam orangtua kami tadi pagi seusai melihat
matahari. Bia pasti akan mengomel karena malam ini
tidak ada pohon natal dengan segala pernak
perniknya. Dia juga akan marah besar, karena aku
belum menyalakan lilin yang dia berikan sebagai
hadiah natalku, seperti apa yang dia tulis di surat
untuk Santanya tahun lalu. Tapi biarlah seperti ini
sebentar saja.
Jam berdentang beberapa kali pertanda bahwa
sekarang pukul 12 tepat tengah malam. Aku berdiri
dari kursi kayu yang kuletakkan di depan perapian.
Aku berjalan menuju bagian sisi perapian yang
seringkali kami gunakan untuk menaruh hadiah natal.
Lalu kuambil sebatang lilin yang berada di kotak
usang yang memang sengaja kusimpan di sana.
Kunyalakan lilin lalu kutaruh di samping pigura kecil
yang menampakkan gambar wajahku dan wajah gadis
lain yang sangat mirip denganku.
"Marry Christmas,Bia"
Ini malam natal.
Tapi tidak ada pohon natal.
Malam ini tidak ada Bia.
karena malam ini mempertemukanku dengan Bia
dalam ketiadaan.

Terinspirasi Cerpen "Ella Was" karya Deanna


Cameron.

313 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 314

Sinchan di balik Rumah Tagog Anjing1


Karya : Shinta Fatma

Aku menghela nafas berat. Hujan tak


kunjung reda sedari tadi. Langkahku lemas untuk
melangkah. Sudah hampir 2 jam aku menunggu.
Berharap akan ada orang yang bisa bilang, ―tunggu saja
disitu, aku akan menjemputmu dengan sepeda
kesayanganku.‖ Tapi itu nihil. Sinchan sedang tidak ada
di rumah. Subuh tadi, ia berangkat mencari sesuap nasi
untuk bisa bertahan hidup. Aku hanya mengangguk
pelan. Tak lupa aku memesan banyak daun putat 2 yang
dijual banyak di pasar―
Harusnya aku tadi ikut lo3 Icha saja.‖ Gerutuku
dalam hati.
Hari mulai gelap. Para guru honorer yang lain
satu per satu mulai pulang. Mau tidak mau aku pulang
dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 5 km.
Melewati kondisi jalanan berbatu, berlumpur dan
tanaman pisang yang berada di tengah jalan,
membuatku ingin segera mewujudkan mimpiku. Mimpi
memperbaiki jalanan desa. Dan aku hanya seorang guru
honorer di daerah kampung kelahiranku. Desa
Cigalontang Tasikmalaya, tepatnya. Aku tumbuh dan
besar bersama Bapak. Aku Anita. Usiaku tepat 19
tahun. Sudah 2 tahun ini, aku belum mengganti KTP-ku
yang hilang. Aku bosan merengek pada Bapak. Pasti
jawaban Bapak itu dan itu lagi. Lagi pula, jarak rumahku
ke kecamatan memang cukup jauh. Harus lima kali naik
kendaraan. Belum lagi para karyawan yang jarang sekali
untuk ada di kantor. Itulah mengapa Bapak lebih
memilih mengambil kayu-kayu hutan untuk dijual lalu
ditukar dengan bahan pangan sehari-hari. Tapi kalo
dipikir-pikir apa susahnya untuk mengurus KTP sendiri,
toh?
***

―Teteh4 pulangggggggggg … ― teriak salah satu


adikku yang berusia 8 tahun.
―Bapak mana?‖ tanyaku pada Sandra.
―Seperti biasa.‖ ucapnya singkat. Lalu kembali
bermain boneka kesayangannya yang terbuat dari
tanaman jagung.
―Sinchan mana?‖ tanyaku lagi.
―Belum pulang.‖
Aku mengangguk paham dan ber-oh saja. Lalu
aku memutuskan untuk memasak nasi di atas kayu bakar
yang sudah aku kumpulkan satu hari lalu. Jangan
ditanya lelahnya seperti apa jika setiap hari seperti ini.
Aku pun mungkin sudah terbiasa dengan kepulan asap
dengan hasil wajahku nanti hitam seperti arang. Padahal
teknologi sekarang sudah berkembang dengan sangat
modern. Tapi entah kenapa aku dan keluargaku harus
ada di garis kemiskinan. Inikah takdir Tuhan?
***

Kresek … kresek …

315 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 316

Itu pasti Sinchan. Aku meloncat dari kasur tipis


lalu cepat- cepat keluar kamar untuk menemui Sinchan.
―Kamu kehujanan, Sin?‖ tanyaku hati-hati.
Melihat pakaian Sinchan yang basah kuyup, aku segera
mengambil handuk dan memberinya kepada Sinchan.
―Aku kehujanan di desa sebelah.‖ ucap Sinchan
sembari menyodorkan satu kresek penuh pucuk daun
putat yang aku sudah pesan tadi.
―Kamu sudah makan?‖ tanyaku sembari
mempersiapkan makan malam yang bisa dibilang cukup
sederhana. Tempe goreng, tahu goreng, ikan asin
goreng dan pucuk daun putat yang akan aku rebus
sekarang ini juga.
―Perutku kenyang.‖
―Makan angin?‖ Aku menatap Sinchan yang kini
menatapku juga. Dari mata nya aku sudah mengetahui
kalau sekarang ini Sinchan sedang berbohong.
Sinchan bukan asli orang Jepang. Tapi kakek
dari Ibunya asli orang Jepang. Ibunya meninggal 10
tahun lalu akibat meminum racun tikus. Bisa dibilang
Ibunya bunuh diri. Sebelum meminum racun tikus,
Ibunya dirampok oleh rekan bisnisnya sendiri. Tapi,
cerita Sinchan kecil, Ibunya dipaksa untuk meminum
racun tikus itu. Sinchan tidak bisa berbuat apa-apa
saat itu. Ia hanya bisa menangis sekencang-kencangnya
karena melihat Ibunya mengeluarkan busa dari
mulutnya.
Sedangkan Ayahnya saat itu bekerja di
pelautan China. Mungkin hanya 5 tahun sekali ia bisa
bertemu dengan Ayahnya. Sampai sekarang pun
Ayahnya masih bekerja di pelautan China. Sinchan lahir
di negeri Jiran, Malaysia. Jadi, Sinchan bukanlah warga
negara Indonesia asli.

***
Tahun 2010.
Setelah kepergian Ibunya, Sinchan ditawan
selama kurang lebih 2 tahun. Ia tak bercerita kepadaku
dimana ia ditawan saat itu. Yang ia ingat, Bapakku tiba-
tiba datang lalu menemui kawanan perampok untuk
segera membebaskan Sinchan. Sempat terjadi duel adu
fisik dan senjata tajam antara Bapak dan kawanan
perampok itu yang berjumlah 5 orang. Bapak sempat
kalah. Tangan kiri Bapak bersimbah darah. Usahanya
pun sempat gagal. Namun, Bapak sudah berjanji akan
menyelamatkan Sinchan bagaimana pun juga. Ayah
Sinchan datang dari pelabuhan laut China malam itu.
Aku pun tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya
seperti apa. Akhir dari cerita Sinchan saat itu, kawanan
perampok itu membiarkan Sinchan dibawa pulang oleh
Bapak dengan syarat ditukar dengan uang 500 dolar
Amerika dan Ayah Sinchan harus bekerja di tempat
kawanan perampok itu selama satu minggu.
―Bapakmu hebat, Ta. Karena telah
menyelamatkanku.‖ Aku menarik nafas panjang setelah

317 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 318

Sinchan bercerita tentang kejadian yang menimpa


dirinya.
―Ayahmu juga hebat, Sin. Ia berjuang demi
kamu.‖ ucapku sambil menghapus air mataku.
Kondisi Sinchan sangat menyedihkan. Tubuhnya
kurus tak terurus. Rambutnya gimbal seperti orang gila.
Namun untungnya otaknya masih waras dan masih bisa
diajak berbicara saat itu.
Sinchan dibawa ke Indonesia sejak umur 12
tahun. Bapak yang bawa Sinchan kesini. Bapak dan Ayah
Sinchan masih satu darah. Lebih tepatnya kakak
beradik. Awal bertemu Sinchan, aku tidak berani
menatapnya. Muka Sinchan saat itu menakutkan tapi
juga membuatku tertawa ketika ia berbicara karena
belum fasih berbahasa Indonesia. Aku mengajarkannya
bahasa Indonesia. Sepertinya aku memang sudah
berbakat menjadi seorang guru baginya.

***

Satu jam kemudian, Bapak pulang. Bapak tampak


sumringah. Aku dengan cepat menyajikan teh hijau
hangat dan kukus singkong yang diberi oleh Bu Nuri.
Sinchan bersalaman dengan Bapak lalu berbincang-
bincang. Sedangkan aku menyiapkan makan untuk Bapak.
Aku yakin, seharian penuh Bapak belum makan. Pagi tadi
aku lupa untuk menyiapkan sarapan.
Aku menatap Bapak lekat. Bapak lahap sekali
makan dengan yang kusediakan hari ini. Hanya nasi
putih dan lalapan daun putat yang sudah dicampur
dengan sambal ati. Itu kesukaan Bapak memang. Khas
dari daerahku juga. Bapak tidak suka dengan makanan
yang digoreng. Alasannya, takut kalau kolestrol naik.
Sinchan pun kini sudah terbiasa makan dengan
seadanya. Bukan lagi makan dengan yang cepat saji.
Sinchan sempat menangis dan tidak mau makan selama
dua hari karena makanan disini belum terbiasa dengan
lidah dan perut Sinchan. Selama itu pula Sinchan hanya
minum air putih dan makan angin.
―Bagaimana dengan mengajar kamu Ta?‖ tanya
Bapak yang membuyarkan lamunanku.
―Menyenangkan.‖ jawabku asal.
―Sudah terima honor bulan ini?‖
―Ditunda.‖
―Karena belum punya KTP?‖
―KTP ku kan hilang, Pak, lagipula aku yang minta
Pak Kepsek menunda uang honorerku bulan ini.‖
Jawabku lalu duduk di kursi kayu sebelah Bapak.
―sudah bayar listrik?‖
Aku hanya mengangguk asal. Sebetulnya, uang
hasil dari menghonorku beberapa bulan ini aku tabung
untuk biaya operasi mata Bapak. Ya. Mata Bapak
katarak sejak satu tahun lalu. Tapi tetap saja Bapak
selalu saja menolak untuk di operasi. Katanya, lebih
baik kamu tabung untuk biaya kuliah dan kebutuhan

319 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 320

sehari-hari. Tetap saja aku tidak tega melihat kondisi


Bapak yang semakin hari semakin parah matanya.
Untung saja katarak Bapak tidak menyerang mata
kedua-duanya. Hanya mata kanan saja yang masih bisa
melihat. Bapak bilang, kita hidup harus banyak-banyak
bersyukur.
***

Seperti biasa, pagi menyambutku hangat


dengan sapaan alam desa yang jauh dari hiruk piruk
perkotaan. Tumbuhan liar tertata rapih di sekitar
halaman rumah. Terdengar musik bergenre dangdut
tahun 90-an di rumah tetangga dengan suara musik
yang cukup keras. Hanya orang-orang yang mampu saja
untuk membeli salon musik. Sedangkan aku dan warga
yang tidak mampu hanya mendengar dan menikmati
alunan musiknya saja.
Aku berangkat ke sekolah untuk mengajar
sebagai guru honorer di usiaku yang masih muda.
Jadwal kuliah harus berhenti terlebih dahulu. Bukan.
Bukan karena mengambil jadwal karyawan. Tapi kondisi
perekonomian yang tidak memungkinkan. Diantar
Sinchan menggunakan sepeda berwarna merah
kesayangannya.
Untuk sampai di sekolah, aku pasti akan
melewati pasar minggu, tempat pemakaman umum, situ
pangangonan, persawahan, dan juga perkebunan teh
hijau tempat dimana Sinchan bekerja tiap subuh
datang. Aku menggenggam bahu Sinchan erat. Jalanan
pagi ini sangat licin akibat tadi malam hujan yang sangat
deras. Aku harus hati-hati agar seragam pakaian dinas
ala kadarku tidak terciprati lumpur yang basah itu.
Dulu, semasa Ibu masih ada, Ibu selalu
mengajakku ke sebuah tempat. Yaitu Situ Pangangonan.
Tempatnya nyaman untuk aku membantu Ibu membuat
anyaman bambu yang biasa Ibu jual ke pengepul.
Terkadang pula, aku tertidur lelap di bawah pohon
kersen yang sangat lebat. Menyisir rambutku yang
hitam panjang dan tidak sengaja menemukan seekor
hewan kecil yang hidup di kepalaku.
―Kenapa aku kutuan ya, Bu?‖ tanyaku pada Ibu.
Ibu hanya menggeleng tidak tahu. Lalu
mengelus puncak kepalaku lembut. Ah, mungkin saja aku
tertular oleh teman-temanku atau juga kutu beras yang
ingin hidup di kepalaku.
Hingga matahari mulai tenggelam, digantikan
oleh warna jingga kemerah-merahan aku tak dapat lagi
melihat senyuman Ibu. Ibu kini sudah berbeda alam
denganku. Penyebab itu semua mungkin aku. Aku yang
selalu ceroboh dan otak yang selalu dipenuhi dengan
kebodohan. Jika aku mengingat kejadian itu aku akan
menangis. Entahlah, aku merasa bersalah.

***

321 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 322

Aku melambaikan tangan pada Sinchan yang


hendak meninggalkan halaman parkiran sekolah.
Senyumanku dibalas lembut oleh Sinchan. Entah
mengapa aku merasakan ada hal yang mengganjal pada
Sinchan akhir-akhir ini. Aku tidak tahu. Setelah pulang
mengajar nanti, mungkin aku bisa tanyakan kepadanya.
Aku saudaranya. Akan aku bantu dia jika aku mampu
membantunya.
Langkahku memasuki ruangan kelas yang
berisikan hanya 15 orang siswa maupun siswinya saja.
Aku mengajar kelas 1. Sedangkan semua kelas ada 6.
Tapi bangunan hanya ada 4 saja. Itu terpaksa kelas 5
dan 6 harus masuk siang. Semangat belajar mereka
selalu membara. Apalagi saat-saat seperti ini. Sekitar 1
bulan lagi mereka akan melaksanakan ujian kenaikan
kelas. Artinya, kelas 6 sekarang ini sedang
mempersiapkan Ujian Nasional. Aku selalu ikut was-was.
Mungkin setelah pulang sekolah nanti, mereka akan
selalu meminta waktu pelajaran tambahan untuk Bahasa
Indonesia. Ya. Aku disini mengajar mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Aku satu-satunya guru Bahasa
Indonesia. Pak Nadimin, guru Bahasa Indonesia senior
disini belum lama meninggal sekitar 3 minggu yang lalu.

***

Aku merapatkan kedua mataku yang terasa


mengantuk. Beberapa kali aku mengusap wajahku kasar
agar rasa kantukku hilang. Aku menyandarkan
punggungku pada kursi. Hanya 3 detik saja. Setelah itu,
salah satu muridku mengacungkan tangan, izin bertanya.
―Ada yang mau ditanyakan?‖ tanyaku dengan
sedikit menutup mulutku yang seperti akan menguap.
―Kapan kami istirahat, Bu? Kami semua sudah
lapar.‖ Jawabnya jujur disertai cengiran khas yang
menunjukkan deretan gigi putihnya.
Aku menganga. Menggaruk kepalaku yang tidak
gatal. Lalu melirik jam tangan. Jam istirahat sudah
lewat 10 menit. Aku lalu mempersilahkan murid-muridku
untuk keluar kelas dan mengisi perutnya masing-masing
yang sudah keroncongan.
―Kasihan mereka.‖ batinku.
Mereka tidak keluar kelas. Melainkan membawa
sesuatu dari ranselnya masing- masing. Ya. Mereka
selalu membawa bekal makanan. Uang jajan yang diberi
oleh orangtua disimpan dengan sebaik mungkin. Kalau
sudah seperti ini aku rindu masa-masa SD. Tapi, apa
aku pernah merasakan duduk di bangku SD, ya?
***

Hari ini aku pulang lebih cepat. Jadwal untuk


pelajaran tambahan Bahasa Indonesia untuk anak kelas
6 diliburkan terlebih dahulu. Rencana aku kali ini, aku
akan menemui Sinchan di tempat ia bekerja. Aku
menggunakan jasa ojek desa. Memang lebih mahal
dibandingkan dengan ojek online saat ini. Aku harus

323 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 324

merogoh kocek uang sebesar Rp. 25.000. Tak apalah itu


itung-itung shadaqah buat si Mang ojek.
Sesampainya di perkebunan teh, aku duduk di
bawah pohon-pohon besar. Sesekali menghirup aroma
jalanan desa. Aku akan menunggu Sinchan. Aku butuh
waktu menunggu sekitar 10 menit paling lama. Karena
jam sekarang ini bukan waktu istirahat Sinchan.
Aku mulai bosan untuk menunggu.
Satu setengah jam kemudian, aku memutuskan
untuk bertanya pada teman kerja Sinchan.
―Ada Sinchan?‖ tanyaku pada seorang pria
berbadan besar dengan kumis yang sangat tebal.
Beberapa detik kemudian ia menolehku dengan tatapan
tajam.
―Ma-maaf sebelumnya, aku tidak meminta izin
terlebih dahulu untuk bertanya.‖ kataku sopan.
Sepertinya ia merasa terganggu dengan keberadaanku.
―Anda siapa?‖ Ia bertanya balik kepadaku.
Meneliti dari ujung kerudungku hingga ujung sepatuku.
Ada yang aneh kah?
―A-a-a ku saudaranya.‖ Ucapku dengan nada
bibir gemetar. Ia kembali menatapku tajam. Seperti
ingin mengeksekusi mati seseorang.
―Anda berfrofesi sebagai guru?‖ tanyanya lagi.
Kali ini ia sedikit memberi senyuman tipis meskipun
bibirnya hitam dan tebal. Ia perokok aktif. Sepertinya.
Aku mengangguk. Lalu menunduk. Satu detik
kemudian, ia memberikan jawaban perihal Sinchan.
―Duduklah.‖ Ia mempersilahkan duduk kepadaku
dengan suguhan teh hangat hijau ramuan asli dari
desaku.
Aku menuruti perintahnya. Lalu duduk di
tempat duduk yang telah disediakan.
―Kau belum tahu?‖ tanya ia kepadaku. Aku
menggeleng cepat.
―Sinchan absen kerja?‖ Aku bertanya tanpa
basa-basi. Tapi menurut sepengetahuanku, ia selalu
semangat jika memetik teh di waktu pagi hari. Ia juga
selalu bercerita panjang lebar tentang teman-teman
kerjanya. Sampai-sampai aku tertidur pulas.
―Pagi tadi ia kesini. Mengambil keputusan kalau
ia akan berhenti bekerja. Ia akan menemui Ayahnya.‖
Jelas seorang pria itu sembari menyeruput teh hijau.
―Cuti kah?‖ Aku bertanya lagi.
―Aku tidak tahu pasti.‖
***

Aku merapalkan doa beserta ritualnya dan puja


puji yang aku panjatkan. Saat hujan seperti ini aku
selalu menghayal dan menebak berapa jumlah air yang
turun ke bumi dari langit bersama Sinchan. Setelah
hujan reda, aku mengantar Sinchan untuk ke tempat
pemakaman umum untuk nyekar5 di hadapan nisan
marmer merah muda itu. Itu pusaran Ibu Sinchan. Tapi
hanya sebatas replika. Mungkin untuk mengurangi
kerinduan Sinchan pada Ibunya.

325 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 326

―Kau tahu Ta?‖ tanya Sinchan kepadaku.


―Tidak.‖
―Andaikan Ibu masih ada disini, aku akan
memeluk Ibu erat.‖
―Kamu rindu sangat dengan Ibu?‖ tanyaku polos.
Sinchan hanya bisa mengangguk.
―Kau juga rindu kan dengan Ibumu?‖ Sinchan
bertanya balik kepadaku. Dan aku hanya mengangkat
bahuku sebagai jawaban tidak tahu. Aku takut Ibu
marah kepadaku karena kecerobohanku saat itu.
Tak lama kemudian, kami saling meneteskan air
mata. Baru kali ini aku melihat Sinchan menangis. Aku
mengusap punggungya pelan. Aku bisa merasakan apa
yang dirasakan Sinchan sekarang. Sinchan memanglah
bukan lagi anak kecil. Tapi ia sekarang sudah tumbuh
dewasa. Begitupun aku. Meski umurku dan umur Sinchan
hanya terpaut beda satu tahun.

***

Aku merengek menangis pada Bapak yang kini


tengah duduk di halaman teras depan.
Bapak menatap dengan tatapan kosong jauh ke
depan.
―Pakkkkkkkkkkkk ayo bantu Sinchan! Sinchan
dalam situasi bahayaaaa..!!!!!!.‖ pintaku pada Bapak.
―Bapak dengar Anita kan?‖ Aku semakin
menangis dengan keras. ―kenapa Bapak membiarkan
Sinchan pergi, pakkkkkkkkk???‖
Sama sekali Bapak tidak menjawab pertanyaan
dariku. Aku benar-benar kesal pada Sinchan. Ia pergi
tanpa memberi kabar kepadaku. Aku mendongakkan
kepalaku menatap langit biru di siang hari bolong.
―Bapak bohong kepadaku!!!‖ Aku menangis
sekencang-kencangnya. Hingga aku merasakan pusing
yang begitu hebat. Terdiam sesaat. Pandangan hitam
semua. Lalu tak sadarkan diri.
***

Sinchan terpaksa tidak memberi tahu siapa pun.


Termasuk aku. Jasad Sinchan kini diawetkan di kapal
besar milik perompak China. Replika tubuh Sinchan
disimpan di rumah leluhur kami yang bernama Tagog
Anjing. Aku yang membuatnya dari tanah liat. Ayah
Sinchan ditangkap polisi lalu dieksekusi mati karena
berhasil menjadi bandar narkoba selama satu tahun
belakangan ini. Sinchan tidak membela Ayahnya saat
akan dieksekusi. Ia tak mau membela karena salah.
Sinchan mati karena ditangkap oleh bandar-bandar
narkoba yang berkelas kakap sebelum Ayah Sinchan
ditangkap. Sinchan terjebak oleh Ayahnya sendiri.
Namun pada akhirnya, Sinchan lebih baik mati daripada
harus berhubungan dengan barang haram tersebut.

327 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 328

―Semoga saja Tuhan memeluk kerinduan


Sinchan pada Ibunya saat ini juga.‖ Ucapku dalam hati,
menyekar pusaran bambu milik Sinchan.
Pembunuh Bayi
Karya : Siti Fadhila Zanaria

Sudah sejak lama kau jatuh cinta padaku.

Waktu itu kau masih polos dan orang-orang bilang kau


naif. Kau suka berangan-angan tentang aku. Sejak itu,
akupun mulai tumbuh dan hidup di kepala juga hatimu
sebelum aku betul-betul berdenyut bersama jantungmu.
Kau bahkan memikirkan jauh sekali tentang
bagaimna kita menghabiskan waktu atau dengan nama
apa aku akan memanggilmu. Panggilan yang mewakili
semesta. Karena kau adalah duniaku. Kau yang
menjadikan aku ada bahkan sebelum aku hidup. Katamu
aku juga adalah duniamu. Seluruh waktumu akan
menjadi bintang yang tak mau habis kau hitung jika
bersamaku, benakmu pernah berkata begitu.
Kemudian aku benar-benar menjadi kenyataan.
Tapi, kudengar setiap saat napasmu berderu seperti
angin muson barat. Entah dari mana musim itu datang,
tapi wajahmu benar- benar mendung dan ketakutan.
Tidak ada wajah semanis kembang gula, tidak ada
tanda-tanda jatuh cinta. Padahal kupikir kau akan
memikirkan lebih banyak hal lagi karena mimpimu jadi
nyata. Sayangnya, kau sama sekali tidak segembira itu

329 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 330

malah kau sangat tidak suka--aku tahu itu degup


jantungmu tidak bisa bohong.

***

Setelah aku lahir, aku dibiarkan telanjang entah


berapa lama. Tapi, aku terus menangis. Akhirnya kau
melilit badanku yang nyaris biru semua dengan sarung
seadanya. Kau depresi. Kita sama-sama menangis.
Tangisanku lebih kencang karena kau menangis. Karena
aku tahu kau bukan menangis bahagia. Kau betul-betul
menangis.
Kau menyuruhku diam dengan melemparkan
sesuatu ke dinding. Justru aku semakin panik dan
semakin menangis. Kau berteriak ke arahku, seperti ini,
"Aku tidak mau kau! Kau anak laki-laki setan itu!" air
mata berceceran dimana-mana bukan cuma di wajahmu,
seluruh tubuhmu penuh air mata. Sarungku juga
setengah basah gara-gara air matamu yang tak habis-
habis. Iya, karena aku menangis tanpa air mata. Air
mataku sudah habis sejak tadi. Sementara kesedihanku
masih banyak sekali. Kau beruntung punya banyak air
mata.
Ada yang tak segan menyundul kakimu dengan
lugu, tampaknya sama sekali tidak terganggu dengan
teriakanmu dan tangisanku. Dia kucing kesayanganmu.
Sama seperti aku, kesayanganmu. Tapi, dulu. Saat masih
hidup dalam harapanmu. Nama kucing baik itu kemudian
aku tahu adalah ra. Dia baik padaku.
Ketika kau hampir saja melemparku seperti
melempar sesuatu ke dinding tadi, Ra datang dengan
lugunya menyundul kakimu. Kau menunduk dan
memandang Ra. Hati kecilmu masih sedikit bekerja.
Kemudian kau meletakkan aku kembali di atas tilam. Air
matamu berhenti tumpah. Kau memeluk Ra.
"Aku harus bagaimana..." suaramu seperti
burung hantu yang ketakutan di malam hari. Lalu kau
pelan-pelan mulai tertidur. Saatnya kau istirahat dari
kesedihan. Meski aku juga tidak tahu kenapa aku
membuatmu sedih. Aku baru saja benar-benar bertemu
kau, setelah lama aku hanya hidup di dalam angan-
anganmu saja.
"Kau jangan takut. Aku Ra. Nona ini baik, tapi
hatinya sedang berantakan," Kucing baik itu mengelus
pipiku dengan kepala berbulunya. Agak geli, tapi
menenangkan. Seandainya itu tanganmu pasti akan jauh
lebih nyaman. Tapi, tak apa. Kucing baik ini juga mirip
denganmu yang dulu. Aku merasa cukup terhibur.
Tangisku mulai hilang. Dan aku juga akhirnya tidur, lalu
memimpikan wajahmu tersenyum cantik sekali. Kau
memakai dua sayap berwarna hitam.
***

Perempuan itu menatap jijik dirinya di cermin.


Entah siapa yang harus dia lenyapkan. Dirinya atau bayi

331 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 332

kesayangan Uwais itu, suaminya. Hari pertama dia tahu


perutnya berisi jantung lain, dia nyaris pingsan karena
senang.
Tapi, besoknya kepalanya yang pikun itu tahu-
tahu mereka ulang dirinya di dalam sebuah kamar. Dia
juga bingung itu kamar milik siapa, bukan seperti
miliknya. Dia ingat setelah seorang pria masuk, lalu
minum gelas berisi cairan ungu yang disodorkan pria itu
padanya, dia lalu membuka satu-satu pakaiannya. Pria
itu juga. Mereka saling bertualang ke tubuh masing-
masing. Rhea pening. Kepalanya membuat semua yang
dilihatnya seperti gempa. Ini memang lebih dari
bencana gempa. Bayi di kandungannya itu bukan dari
selangkangan suaminya. Bayi yang ditunggunya selama
tujuh tahun. Bayi yang membuat suaminya tak jadi
menikah lagi dengan Dhea, sahabatnya sendiri.
Tapi, siapa laki - laki itu? Dia ingat wajahnya
dan sepertinya kenal. Tapi, siapa? Tak peduli siapa.
Yang pasti pria itu benar-benar setan. Bisa saja
memang setan. Lancang sekali pria itu membuatnya
hamil, sesuatu yang tidak bisa suaminya sendiri lakukan.
Suami yang dicintainya sepenuh mati.
***

Aku adalah Ra. Bukan sembarang binatang. Aku


lahir dari rahim langit, karena itu aku begitu
penyayang. Orang-orang yang bertemu denganku pun
akan mendadak menjadi orang yang penyayang. Mereka
tidak bisa menolak untuk mengelus atau
menggendongku.
Seperti kejadian tadi malam. Ketika nona
manisku itu berubah jadi hantu, aku buru- buru
menyundul kakinya. Semua niat buruknya menguap
bersama air mata. Aku lega. Berarti nonaku ini masih
punya hati. Walaupun, hatinya mungkin sudah
berserakan seperti remah biskuit, makanan kesukaan
mainanku : kecoa.
Semalaman aku menjaga bayi yang tidak lebih
besar dari badanku. Dia lemah dan butuh dipeluk.
Karena itu aku tidur meringkuk di sisinya. Kuharap itu
cukup sama rasanya dengan dipeluk. Lalu dia bergumam,
kurang jelas tapi aku bisa mengerti padahal bukan aku
ibunya.
"Aku lapar.." katanya. Kasihan. Aku pun berusaha
meletakkan botol susu di sampingnya tepat ke mulut
kecilnya. Aku berhasil. Sudah kubilang, aku bukan
binatang biasa. Sayang, susu itu tidak cukup banyak.
"Besok, kamu akan dapat banyak susu," hiburku,
lalu dia tidur nyenyak tidak menangis sampai pagi.
Mungkin dia juga bukan bayi biasa. Kami tertidur. Tapi
binatang tidak biasa sepertiku bisa mendeteksi
keanehan biarpun sedang tidur. Ada yang masuk,
telingaku menegang. Dia semakin dekat. Dan... Hap! Aku
menangkapnya, kugigit tangannya keras-keras. Dia
menjerit sakit sekaligus kaget dan langsung menepis
badanku keras-keras juga. Dia lari. Aku tidak mau

333 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 334

kehilangan jejak. Sayangnya dia langsung naik mobil dan


pergi jauh dari aku yang masih menggeram jengkel.
Siapa dia? Apakah nona manisku itu kerasukan
niat jahat lagi tengah malam begini? Tapi, saat aku
kembali ke kamar, nona manisku itu masih tidur santai.
Tidurnya mungkin sangat dalam sama seperti rasa
sedihnya sampai-sampai tak sadar aku sedang berkelahi
tadi demi bayi miliknya. Bayi itu juga tidur nyenyak,
tidak tahu kalau tadi dia hampir mati. Orang itu
memegang pisau, mengayunkan ke leher bayi, tapi tidak
jadi setelah kugigit.
Orang misterius itu datang lagi beberapa hari
kemudian, niat buruknya itu selalu tak jadi karena aku.
Kali ini aku berhasil menguntitnya. Diam-diam aku naik
ke mobil miliknya. Mobil itu rasanya aku kenal, sering
sekali mampir di rumah nona manisku. Ah, iya! Mobil itu
milik sahabat nonaku. Kalau tak salah namanya Dhea.
***

Sudah seminggu saya tidak menemui Rhea. Saya


bertemu dengannya terakhir kali di rumah sakit, sesaat
setelah dia melahirkan bayi itu. Tidak tahu dari mana
datangnya bayi itu. Dari pertama saya tahu dia hamil,
rasanya ingin segera kukerat urat lehernya. Sayangnya,
saya harus mengendalikan diri dan berpura-pura terlalu
bahagia. Kalau dia cukup perasa dia bisa melihat api di
mata saya ingin sekali membakarnya hidup-hidup. Tapi,
dasar dia memang wanita asu, dia juga berpura-pura
bahagia. Atau memang dia sangat bahagia bisa hamil
akhirnya, dengan laki-laki lain. Dan membatalkan
rencanaku menikahi Dhea.
Perempuan tolol itu benar-benar jadi pengacau
selama tujuh tahun dalam hidup saya. Sialnya, saya
tidak bisa cerai begitu saja karena ibu saya. Ibu sangat
sayang dengan perempuan pengacau itu dan tidak
setuju saya memilih Dhea. Ibu meyakinkan saya kalau
saya pasti bisa mencintai Rhea. Ibu saya sampai
mengancam tak mau mengakui saya anaknya lagi jika
saya menolak Rhea. Hanya ibu yang saya punya. Satu-
satunya perempuan yang saya sayang. Tidak ada yang
lain. Maka, saya sungguh sudah jadi anak penurut ibu.
Mungkin, dia kira saya sebodoh itu bisa dikibuli!
Saya tidak bodoh seperti dirinya. Selama bertahun-
tahun menikah dengannya batang selangkanganku tidak
pernah satu kali pun punya selera mencicipi aroma
tubuhnya. Saya sudah berusaha bertahun-tahun
mencintainya, tetap tidak bisa. Maka, bercinta yang
kami lakukan adalah palsu. Begitulah dia mencintai saya
sampai setolol itu, tidak sadar kalau lorong
selangkangannya kususupi dengan alat bantu, selama itu.
Saya menyerah karena tidak ada lagi kemungkinan
sekecil apapun bagi saya untuk mencintai dia.
Saya akhirnya membujuk ibu saya mengiyakan
usulan menikah lagi dengan Dhea. Alasan saya cukup
kuat : keturunan. Dengan berat hati ibu saya yang
menganggap Rhea sebagai Putrinya sendiri akhirnya

335 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 336

setuju. Tapi, tidak saya sangka dia nekat tidur dengan


laki- laki lain hanya untuk bisa punya bayi. Secara tidak
langsung perempuan kotor itu sedang mengejekku.
Saya tidak tahan. Api di mata saya sudah
menjilati sampai ke jantung, sepertinya akan segera
membakar diri sendiri jika saya tidak segera
melenyapkan perempuan pengacau itu. Dia harus saya
buat hidup namun ingin mati, mati tapi tetap merasakan
sakit! Tapi, kucing hitam miliknya sungguh keparat!
Kenapa tidak kugerek saja leher kucing itu lebih dulu!
Saya sampai di rumah Dhea dan langsung masuk
ke kamarnya. Bra dan payudara palsunya tergelatak
berantakan di sisi kasur.
"Jadi kau gagal?" dia tahu itu dari muka saya
yang kacau, "sudah kubilang bunuh dulu kucing itu,"
katanya tertawa mengolok lalu tanpa basa-basi melumat
bibir saya. Menit kemudian kami sudah sama-sama
telanjang. Penisnya lebih dulu menegang.
Kami baru saja akan mulai, tapi mata saya awas
menangkap bayangan hitam itu menguntit dengan mata
menyala di balik pintu yang sedikit terbuka. Saya ambil
pisau besar itu, lalu saya kibas secepat angin. Darah
berhamburan. Saya sepertinya berhasil menggerek
leher atau perut kucing hitam itu. Baguslah, berarti
selanjutnya adalah bayi!

***
Bayi itu mati. Kepalanya hampir terputus dari
leher. Aku adalah seekor binatang meskipun istimewa
aku hanya punya insting bukan hati, tapi aku ternyata
bisa pedih : perih dan sedih. Aku tinggal punya dua kaki
sekarang. Pembunuh bayi itu mengira aku sudah mati,
tapi dia cuma memotong dua kakiku. Percuma juga aku
tidak mati, aku tidak bisa menolong kawan kecilku yang
manis itu. Juga nona manisku.
Dia dituduh membunuh bayinya sendiri. Dan
pembunuh bayi itulah yang memanggil polisi. Beberapa
kali kudengar pembunuh itu berteriak CERAI. Seorang
perempuan tua menangis sambil berteriak memaki
nonaku dan Beberapa kali menjambak rambutnya. Dia
adalah ibu pembunuh bayi itu. Nonaku sepertinya sedih
sekali dibenci oleh perempuan itu. Setahuku perempuan
itu sangat mencintainya. Dan nonaku mencintainya juga.
Pembunuh bayi itu juga sangat nonaku sayang.
Setahuku, begitu juga sebaliknya. Tapi, nonaku tidak
dibawa ke kantor polisi. Dia dibawa kerumah sakit (aku
jadi penguntit lagi). Sebelum naik ke mobil aku
menyundul kakinya. Tak pernah kulihat nonaku jadi
setan, terakhir kali dia hanya jadi hantu di malam itu.
Hantu kadang-kadang lucu. Setan tidak ada lucunya.
Nonaku menggeram sama sepertiku ketika aku sangat
marah. Lalu dia mencekikku dan berteriak, "Kau yang
membunuh bayiku! Kucing hitam sialan!" tapi seorang
laki-laki menolongku.

337 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 338

Kudengar dia bergumam: perempuan itu memang


gila, mana ada kucing membunuh bayi. Iya, mana ada
kucing membunuh bayi! Tapi, mungkin bisa kalau
membunuh orang jahat!
Kata Abu Hurairah, ayahku dan ayah semua
kucing, manusia akan dihukum jika membunuh kucing.
Kurasa mereka yang membunuh bayi juga harus
dihukum, jauh lebih sakit dari membunuh kucing.
***

Rhea tidak tahu dia dimana. Ruangan ini


diterangi cahaya samar-samar yang sama sekali tidak
membantu. Matanya tidak bisa menangkap dengan baik
bayang-bayang di depannya. Bayang-bayang itu saling
memuntahkan suara membuat kepala peningnya semakin
berputar.
"Kau menidurinya?" suara berat itu memantul
beberapa kali di ruangan. "Adikmu sendiri?" lanjutnya
lalu tertawa seakan tebakannya adalah lelucon yang
menyenangkan.
"Adikku tidak mandul. Kau yang mandul! Suami
setan selingkuh dengan sahabat istrinya sendiri!" Balas
lelaki kurus itu dengan teriakan yang tak kalah.
"Dan kau kakak setan, meniduri adik sendiri!"
dia tertawa lagi menggelegar sepertinya ingin membuat
tembok-tembok ikut tertawa, "sudah bagus bayi haram
itu saya bunuh!"
Pria kurus itu mendadak menerjang orang yang
mengejeknya. Dia menyeringai seolah giginya adalah
semua taring hyena yang siap merobek daging kudapan.
Mereka berkelahi seperti binatang, memangsa satu
sama lain. Bau darah memenuhi udara, sampai satu
bayangan ikut menerjang, menghajar pria kurus itu
dengan kayu dipenuhi paku. Pria itu ambruk, darahnya
merembes dari sana-sini bagian tubuhnya. Tapi, dia
sempat membuka mata untuk melihat satu bayangan itu.
Seorang perempuan yang membuatnya gila karena jatuh
cinta.
"Iya, ini aku, Dhea," perempuan itu tersenyum,
tangannya mencekik leher si pria dengan kekuatan
bukan milik perempuan, "Kau harus mengerti
sebenarnya aku adalah Dhean. Dan aku bukan
perempuan! Kau masih mencintaiku?" perempuan yang
bukan perempuan itu mematahkan leher si pria tanpa
belas. Dia sudah mati.
Perempuan yang bukan perempuan itu
membantu pria lain di sisi kanannya untuk berdiri.
Badannya lumayan berdarah tapi tidak parah. "kamu
membunuhnya?" pria itu sedikit khawatir
"Apalagi yang sebaiknya kulakukan?
Membiarkan kamu mati?" mereka berjalan mendekati
seorang perempuan yang duduk dikursi dengan hampir
semua badan terlilit tali.
Rhea ketakutan. Cahaya samar-samar mulai
membantu matanya menangkap bayangan. Dua bayangan

339 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 340

itu semakin merapat kearahnya. Di tangan salah


satunya ada pisau yang sepertinya sudah terciprat
darah. Namun, belum sampai Rhea melihat dua wajah
itu, ada binatang buas menerkam keduanya. Itu yang
setidaknya matanya tangkap pada bayangan tembok.
Binatang itu berkaki empat ekornya gemuk, badannya
bulat dan besar sekali. Tidak jelas. Mungkin serigala
atau singa. Binatang itu mengaum sampai kursinya
bergetar.
***

Aku kembali menguntit nonaku setelah dia


dibawa kabur oleh laki-laki misterius dari kamar rumah
sakit. Akhirnya kutemukan dia. Pembunuh bayi itu dan
kawannya membawa pisau ditangan. Tidak jelas siapa
yang memegang pisau, tapi instingku selalu tidak salah.
Mereka berniat jahat pada nonaku sama seperti
mereka menjahati kawan kecilku.
Aku mengamuk. Telingaku melebar, bulu-buluku
memanjang dan menjadi tajam. Seluruh udara masuk ke
setiap pori badanku. Aku merasa kemarahan ini
membuat aku bukan aku lagi. Badanku berkali lipat dari
Ukuran semulaku. Kini, aku telah menjadi kucing
raksasa yang kelaparan karena murka.
Dua orang jahat itu, salah satunya berusaha
menusukku dengan pisau. Tapi, tentu mereka tidak bisa
membunuh kucing raksasa yang marah dengan mudah.
Dia justru memotong pergelangan tangannya sendiri
saat mau menusuk kepalaku yang menggigit tangannya.
Mataku memicing. Dan.. itu adalah Dhea. Perempuan
yang ternyata bukan perempuan. Dia sekarat dengan
pergelangan tangan kirinya patah.
Sekarang giliran pembunuh bayi itu. Kami
bergulat agak seru, lalu aku iseng menggigit buah
pelirnya. Entah dia geli atau kesakitan. Soalnya dia
menangis sambil tertawa keras sekali, mirip kucing
betina tetangga saat kukawini paksa. Aku tidak tahu
kalau menggigit buah pelir bisa membuat orang mati.
Dari buah pelirnya keluar darah seperti air mancur.
Seluruh darah di badannya mungkin habis karena buah
pelirnya bocor. Lalu dia jatuh begitu saja.
Tidak ada setitik lantai pun yang tidak
berdarah. Ruangan gelap itu awalnya mirip dengan
warna buluku yang hitam. Tapi sekarang ruangan itu
berwarna merah.
Tiga orang berserakan di lantai itu : pembunuh
bayi, perempuan yang bukan perempuan, dan.. Pria kurus
yang adalah saudara nonaku, ayah dari kawan kecilku.
***

Rhea kembali membuka mata setelah jatuh


tertidur. Dia kali ini berada di ranjang yang bersih dan
kamar miliknya. Dahinya berkerut mencoba mengingat-
ingat mimpi buruknya barusan. Tapi, apa itu mimpi?
Seekor kucing hitam bergelayut di tangannya, kaki
kucing yang sisa dua itu menggaruk- garuk pelan. Rhea

341 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 342

ingat kejadian dimana bayinya mati mengenaskan dengan


kondisi leher nyaris putus. Hanya ada dia dan kucing itu
di rumahnya. Suaminya datang lalu berteriak kerasukan
setan. Rhea juga kerasukan setan saat melihat bayi
yang baru saja bisa dia sayangi mati seperti binatang.
Uwais, suaminya itu, menuduhnya membunuh bayinya
sendiri. Tapi, bukan dia. Jika bukan dia, maka kucing
hitam pembawa sial itulah pelakunya!
Rhea melempar Ra ke dinding. Kepala Ra
berdarah. Tapi, Ra hanya balas menatap dengan belas.
Semua tenaganya sudah hilang, apalagi setelah kakinya
di potong dan berkelahi sebagai kucing raksasa. Ra
tampak tak keberatan nyawanya yang terakhir ini hilang
karena satu hantaman ke dinding, dari nona yang
disayangnya.
Pintu kamar terbuka, di baliknya perempuan
sepuh berambut setengah putih langsung memeluk
Rhea.
"Rhea, tidak ada kucing yang membunuh bayi!"
katanya dengan tangisan yang ditahan.
"Tapi, bu. Tak ada ibu yang membunuh bayi!
Bukan aku, bu!" Rhea tidak sanggup menampung
kesedihan.
"Ibu tahu, dan ibu percaya kamu. Uwais yang
sudah kejam berbuat begitu..."
Terkejut, tentu saja. Mana mungkin Uwais yang
sangat menyayangi bayi itu dan percaya bayi itu adalah
bayinya adalah pelakunya, "tapi,bagaimana bisa bu?"
Rhea membenamkan diri ke pelukan ibu, ibu dari suami
yang membunuh anaknya. "Kau dibawa kabur kakakmu
dari rumah sakit, Rhe.. Tapi, uwais tidak tinggal diam..
Lalu polisi berhasil menemukanmu dan mereka
semua... "
Tenggerokan ibu kering. Tak ada lagi suara yang
bisa keluar. Ibu tak bercerita apapun tentang Uwais
dan Dhea. Juga tentang bagaimana keadaan kakak Rhea.
Meski ibu juga punya banyak pertanyaan tentang bayi
yang malang itu.
Aku tidak mau kau jadi benar-benar gila setelah
tahu semua ceritanya, batin ibu.
"Kucing itu bergelayut di kakimu waktu kau
ditemukan polisi terikat dikursi, Rhe," ibu menunjuk
kucing hitam yang bulu-bulunya sebagian sudah
berwarna darah. Tubuh kucing itu kering, seolah
bukan hanya nyawa yang menguap tapi seluruh
dagingnya juga. Siapapun yang melihat tubuh kucing
hitam itu pasti akan menangis tanpa sadar.
Dan Rhea mulai menangis seperti ibu yang
kehilangan bayi.
***

Sudah cukup senang bagiku ketika nonaku itu


menangis seperti anak lugu waktu menanam tubuhku di
pekarangan rumahnya. Nonaku sangat menyesal
membantingku ke dinding dan akhirnya aku mati. Nonaku
bahkan mencium ujung kepalaku yang retak sambil

343 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 344

bergumam dengan air mata berkerumun : baru tahu aku,


binatang bisa mencintai begitu rupa dan manusia tak
berhati ternyata bisa menjadi binatang buas yang
bodohnya begitu rupa. Kucingku yang malang, maaf bisa
jadi tadi aku sempat menjadi binatang buas yang bodoh.
Atau aku telah menjadi sesuatu yang mengerikan dari
binatang buas.
Aku ingat ketika nonaku itu melemparku ke sisi
dinding, gigi taringnya tampak mencuat sepanjang
stalaktit. Wajah nonaku memerah bukan bersemu
seperti yang aku kenal. Dan sepasang bola mata
hitamnya mencair ke pipinya seperti air mata, tersisa
warna putih dengan urat-urat biru. Aku takut sekali
waktu itu, kira-kira sesaat sebelum aku melihat tubuh
berbuluku warna hitamnya dilumuri merah. Nonaku yang
aku sayang telah berubah menjadi buruk rupa,
kemudian aku menangis bukan karena sakit di kepalaku
akibat dihempas ke dinding. Tapi, seketika aku
merindukan nonaku yang dulu. Nona dengan senyum gigi
berderet yang ramah sekali, wajah bersemu seperti
bunga matahari, juga dua mata yang kalau tersenyum
seolah sembunyi dan meminta dicari. Orang-orang
setuju jika melihat nonaku tersenyum maka rasanya
ingin terus membuatnya tersenyum agar bisa
melihatnya tak berhenti. Mungkin saat itu hanya
berlangsung beberapa detik saja setelah aku benar-
benar tidak ada lagi. Beberapa detik yang menakjubkan
karena sebelumnya, aku yang seekor kucing, tidak
pernah merasa sesendu itu. Jadi aku pikir saat ini
nonaku juga pasti merasakan hal yang menakjubkan itu.
Dia barangkali merindukan bulu hitamku yang lembut
tapi menyeramkan, atau lidah bergerigiku yang
menjilati telapak tangan kadang kakinya, bisa jadi juga
karena itu akhirnya nonaku tak bisa menyukai kucing
lain sebagai gantiku.
Ketika menangis itulah aku melihat wajah
nonaku kembali. Sayangnya, aku tidak bisa mengekor di
sekeliling kaki nonaku untuk minta dipeluk— sebagai
caraku berkata ‗aku merindukanmu‘.
Aku sedih luar biasa pergi jauh dari nonaku.
Tidak bisa lagi aku menjaganya dengan insting
binatangku yang lugu. Tapi, aku ingat tentang kawan
kecilku. Dia mungkin juga sedang merindukanku.
Dan, itu dia! Sedang menyusu dari sungai yang
luasnya seangkasa!
***

345 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 346

Surat Rindu
Karya : Indira Rahmadany

Minggu merupakan hari dengan suasana

yang pasti dinanti banyak orang. Dimana mereka tidak


perlu berangkat pagi untuk melakukan tugas wajib
mereka sebagai pekerja. Suasana yang damai tanpa
beban itulah yang membuat orang suka hari Minggu.
Tapi tidak untukku, di hari Minggu pun aku masih sibuk
akan pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga.
Jika tidak, konsekuensi yang pasti diterima adalah
pelanggan akan marah ataupun yang lebih parah yaitu
mereka tidak akan membayar sepersen pun. Begitulah
nasib yang akan didapat jika kamu bekerja sebagai
desainer grafis. Kamu tidak akan pernah libur, paling
tidak jika tidak ada pelanggan yang memesan itulah
saat yang tepat untuk dibilang libur.
Ting! Ponselku berbunyi menandakan pesan
masuk. Aku yang awalnya sibuk merancang desain harus
merasa terganggu akibat suara tadi.
―Baiklah, sedikit istirahat mungkin tidak apa.‖
Aku mengambil ponselku yang berada di sampingku dan
langsung membuka pesan whatsapp di layar ponsel.
―Ternyata dari pelanggan, mengganggu saja.‖
Karena merasa jengkel akan pesan peringatan
deadline pelanggan, aku memutuskan untuk membuka
instagram. Mencoba melihat bagaimana keadaan teman-
teman setelah tamat sekolah tujuh tahun lalu. ―Aku
merindukanmu Orla!‖
Caption dari Diandra tujuh tahun yang lalu,
sebelum akhirnya kita tiba-tiba terpisah begitu saja
tanpa mengucapkan selamat tinggal. Selain itu, karena
keluarga Diandra yang memutuskan untuk pindah ke luar
kota yang jauh dari kotaku, aku jadi tidak dapat
bertemu Diandra lagi sampai akhir ini. Diandra adalah
sahabat baikku di SMA. Memang awalnya aku
membencinya karena dia begitu berbeda denganku.
Kepribadiannya yang ramah, energized, dan suka
berpetualang singkatnya extrovert merupakan ancaman
bagi diriku yang pemalu, sering menyendiri, dan
menganggap rumah adalah tempat hang out favoritku,
dimana semua itu bisa dibilang introvert. Tapi seiring
berjalannya waktu aku jadi bisa menghadapi
kepribadiannya dia. Justru aku banyak berterimakasih
kepada Diandra karena dia aku jadi belajar banyak hal.
Diandra telah berhasil membuatku mengubah
pandangan tentang dunia ini terutama lingkungan
sekolah.
Kenangan yang aku ingat dengan jelas saat
dimana Diandra mengajakku menonton pertandingan
bola basket antarsekolah. Entah apa yang telah
Diandra berikan pada minumanku sehingga aku yang
awalnya menolak dengan keras bisa berubah halus untuk
mengiyakan ajakan Diandra. Saat sampai di luar

347 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 348

stadium pertandingan bola basket, aku melihat banyak


sekali murid-murid SMA baik murid dari SMA
sekolahku ataupun murid SMA sekolah lain. Mereka
memakai kaos yang seragam sesuai tim basket mana
yang mereka dukung. Pendukung tim basket sekolahku
menggunakan kaos berwarna biru gelap sedangkan
sekolah lain menggunakan kaos kuning terang. Jumlah
mereka banyak dan ada yang membawa bendera besar
serta terdapat semacam marching band karena saat itu
aku melihat ada yang membawa drum besar dengan dua
tongkat yang juga tidak kalah besar.
Diandra mengajakku masuk ke dalam stadium.
Setelah menunjukkan tiket ke petugas dan diperiksa
apa yang kita bawa dalam tas, kita akhirnya
diperbolehkan masuk. Stadium itu besar dengan lantai
yang terlihat kilap. Sangking kilapnya aku bahkan bisa
bercermin di lantai ini.
―Orla, aku beli minum sebentar ya di kios sana.
Aku janji tidak akan lama kok.‖ ―Baiklah, aku tunggu di
sini saja.‖
―Oke.‖
Sambil menunggu Diandra membeli minumannya,
aku duduk di dekat tempat masuk penonton
pertandingan. Melihat betapa banyaknya orang dengan
suara yang ramai membuatku merasa tidak nyaman.
Selain itu, aku tidak melihat teman yang bisa aku mulai
percakapan. Mereka semua tampak asing bagiku. Karena
kecanggungan ini, akhirnya aku menghibur diri dengan
bermain game di ponselku. Aku menundukkan kepalaku
untuk menatap layar ponsel dan berusaha untuk
menghiraukan semua orang yang ada di dalam stadium
itu. Terlihat menyedihkan aku tahu tapi setidaknya ini
lebih baik daripada harus melihat setiap orang
melewatiku dengan tatapan menilai.
Tidak lama Diandra datang membawakan dua
minuman. Satu untuk dia dan satu untukku. Kami
langsung memasuki arena pertandingan. Seluruh
penonton sudah bersiap di tempat masing-masing
menunggu pertandingan dimulai.
Akhirnya para pemain dari dua tim memasuki
lapangan. Wasit mempersilahkan kedua anggota tim
saling berkenalan dan memberitahukan peraturan saat
bermain nanti. Saat pertandingan dimulai, si kapten tim
sekolahku bermain dengan mahirnya. Dia dapat
mengambil alih bola basket dari lawan dan dengan
gerakannya yang cepat dapat memasukkan bola ke ring
lawan sehingga sekolahku unggul skor sementara di awal
pertandingan. Aku mengagumi caranya dia bermain, dia
yang selalu fokus dengan bola dan ingin sebanyak-
banyaknya mencetak skor. Para penonton sangat
bersemangat saat cowok itu bermain, seolah-olah dia
adalah bintang dalam pertandingan ini. Ya tidak heran,
dia bermain lebih unggul dari teman-temannya bahkan
tim lawanpun kewalahan jika menghadapinya. Mungkin
karena itulah dia mendapatkan posisi kapten tim
basket.

349 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 350

Pertandingan akhirnya selesai, penonton


sekelilingku bersorak gembira. Tim basket sekolahkulah
yang memenangi pertandingan hari ini. Diandra
berteriak dan bertepuk tangan sekencang-kencangnya
ditambah dengan berjatuhannya konfeti menambah
kesan manis momen saat ini. Aku melihat ke arah cowok
kapten itu di tengah lapangan, dia diangkat ke atas oleh
teman-teman setimnya. Dia tampak sangat bahagia
sekali, entah mengapa melihatnya begini membuat
hatiku nyaman dan berhasil membuatku tersenyum tipis
ke arahnya. Setelah diturunkan oleh teman-temannya,
dia membungkuk badan ke arah penonton menandakan
berterimahkasih sebesar-besarnya kepada semuanya
terutama tim kor sekolah kita karena telah mendukung
tim basketnya. Dari situ, aku melihat nama dari balik
kaos badannya dengan bertuliskan Zen bernomor
punggung 05.
―Kenapa aku tiba-tiba jadi memikirkan dia?‖
Kenanganku bersama Diandra saat menonton
pertandingan bola basket malah mengarah ke kenangan
saat aku pertama kali mengetahui nama dari seorang
cowok kapten basket. Aku jadi penasaran bagaimana
keadaannya sekarang.
―Di mana dia tinggal sekarang atau apakah dia
bahagia dengan kehidupannya saat ini? Dan yang
terpenting mungkinkah dia sudah memiliki kekasih baru
di sana?‖
Semua pertanyaan yang ada dalam pikiranku
membuatku memutuskan untuk melihat instagram dia,
hanya ingin mengetahui keadaannya. Aku tidak
mengikuti zen di instagram, jadi aku langsung saja
mengetikkan namanya di kolom pencarian username.
―Zen Galen.‖
Pemilik akun dengan username seperti itu
ternyata tidak ada. Akupun berusaha lagi untuk mencari
akun Zen, baik itu ditambah dengan dot, underscore,
bahkan hastag aku ikutkan. Setelah lama aku
mencarinya, akhirnya ada username yang lebih tampak
seperti pemilik akunnya adalah Zen daripada nama akun
username lain. Aku menambahkan tanggal lahirnya dan
ternyata itu berhasil. Akun dengan username zeng5_
muncul di kolom pencarian teratas dengan diikuti oleh
Diandra dan teman-teman lain. Akupun menekan nama
username itu. Layar ponselku berubah seketika menjadi
halaman instagram milik zeng5_. Aku berharap dapat
melihat foto dan video yang dia posting selama ini.
Namun, yang aku dapatkan hanya halaman instagram
kosong dengan bertulisan this account is private. Itu
berarti aku harus mengikutinya baru bisa melihat
semua yang dia posting di instagramnya. Aku bisa saja
menekan tombol ikuti tapi entah mengapa diriku yang
lain mengatakan sebaiknya tidak usah.
Karena usaha kecilku ini gagal untuk mengetahui
keadaan Zen membuatku menjadi semakin lelah.

351 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 352

Keadaan hati yang begitu semangat sangat mengingat


kenangan bersama Diandra tiba-tiba hilang begitu saja
karena Zen.
―Huh! Dasar! Bikin keadaan hati seseorang
hilang saja! Apakah salah jika seseorang hanya mampir
melihat instagramnya sebentar tanpa harus diikuti?‖
―Huh…‖ aku menghela napas panjang.
Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, aku beranjak
dari kursiku dan mengarah ke arah tempat lemariku.
Aku membuka dua pintu lemari tersebut dan melihat ke
arah bawah tepat di bawah pakaian-pakaianku dimana
merupakan tempat aku menyimpan barang-barang. Aku
mengambil satu kotak diantara kotak-kotak itu dengan
dihiasi pita berwarna merah muda di atasnya dan
ditambah catatan kecil bertuliskan kenangan saat SMA,
akupun membuka penutup dari kotak tersebut. Di
dalamnya berisi banyak sekali foto-fotoku dengan
Diandra dan teman-teman sekelas. Aku jadi ingat dulu
aku sering mendapat undangan dari teman- teman yang
merayakan ulang tahunnya saat berumur 17 tahun dan
aku juga sering mencetak foto-foto sekelas sebagai
hiasan di dinding kamarku saat itu. Jadi tidak heran aku
banyak memiliki foto dalam kotak ini.
Saat aku mengacak ke luar isi dari kotak
tersebut, terdapat satu amplop yang berwarna merah
muda juga. Aku mengambil amplop tersebut dari dalam
kotak dan melihat amplop itu dari jarak dekat. Itu
merupakan amplop kecil yang lucu dengan lem kuat pada
amplop tersebut sehingga isi yang berada di dalam
tidak akan pernah terlepas dari amplopnya. Selain itu,
amplop yang berada di tanganku ini merupakan amplop
merah muda tanpa bertuliskan apa-apa di depan maupun
di belakang sisinya.
Aku memutuskan membuka amplop dan melihat
isi di dalamnya. Saat aku berhasil membuka amplop
tersebut, sebuah foto kecil terjatuh. Ternyata foto itu
adalah foto seorang cowok. Tidak hanya itu, di
dalamnya juga terdapat sebuah kertas yang memiliki
ukuran lebih kecil daripada ukuran amplop tersebut.
Aku membuka kertas tersebut dan membacanya. Isinya
adalah surat dariku kepada seorang cowok yang ada
dalam foto tersebut.
―Kenapa aku memutuskan untuk menulis surat?
Lagipula surat ini tidak pernah aku kasih ke dia juga.‖
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa aku
kembali mengingat kenangan saat berada di SMA.
Setelah mengetahui nama dari kapten basket tampan
itu, aku jadi ingin mengetahuinya lebih jauh. Dari
tanggal lahir, sejak kapan dia masuk tim basket
sekolah, termasuk dia siswa kelas apa. Akupun bertanya
kepada Diandra karena Diandra juga termasuk salah
satu dari sekian banyak fangirls yang dia punya di
sekolah ini.
―Kamu, menyukainya ya?‖

353 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 354

―Eh, tidak. Aku hanya penasaran dengannya.


Karena kemarin saat pertandingan, dia terlihat hebat.
Ya begitu, aku hanya ingin mengetahuinya saja.‖
Aku berusaha menjelaskan kepada Diandra
tentang mengapa aku tiba-tiba menanyakan tentang si
kapten basket tersebut. Namun ternyata penjelasanku
tidak dihiraukan sama sekali oleh Diandra. Dia mengira
aku menyukainya, padahalkan aku hanya ingin
mengenalnya saja, tapi lebih dalam.
―Yah, tidak heran sih. Dia tampan juga populer.
Jadi banyak yang terpesona dengannya bahkan kamupun
ikut mengagumi pesonanya juga.‖
―Apaan sih, aku tidak menyukainya tau!‖
―Orla, kita sudah berteman sejak kelas sepuluh
dan aku merupakan teman sebangkumu sejak itu. Yah
kira-kira dua tahunan lebih kita saling mengenal. Aku
mengetahui jika kamu tidak tertarik kepada semua
cowok di sekolah ini atau bahkan kamu tidak tertarik
cowok manapun. Kamu selalu menghindar jika ada cowok
mendekatimu dan kamu juga tidak pernah cerita
tentang cowok kepadaku. Tiba-tiba kamu menanyakan
Zen, sudah pasti ada rasa istimewa teruntuk cowok
yang satu ini.‖
―Mana mungkin Di, aku hanya ingin
mengetahuinya saja tidak lebih.‖
―Justru karena kamu ingin mengetahuinya itu
bisa mengarah ke arah suka. Ingin mengetahui
merupakan awal kita menyukai seseorang.‖
―Begitukah?‖
―Ya begitulah, banyak yang sudah
membuktikannya.‖
―Mungkin perasaanmu saja, karena kamukan
juga sering membaca novel remaja.‖
―Kamu kok tidak percaya sih? Ya terserah saja.
Baiklah, kamu ingin bertanya tentang apa mengenai si
Zen ini?‖
Jadi aku menanyakan semua penasaranku
mengenai Zen. Dia cowok kelas sebelas ipa dengan
bernomor absen satu. Dia lahir pada tanggal 5 di bulan
Mei 2002. Mungkin karena itulah nomor punggungnya
lima karena itu merupakan tanggal dan bulan lahirnya.
Dari awal masuk sekolah, dia memang cukup dikenal
karena pesonanya. Dia memiliki badan yang tinggi, kulit
sawo matang sempurna sehingga dia terlihat manis,
hidung yang mancung, dan lesung pipinya yang membuat
setiap cewek meleleh jika melihatnya. Dia belum
memiliki pacar saat SMA karena dia masih belum bisa
move on dari mantan pacarnya di SMP dan tragedi cinta
lain yang membuatnya takut untuk memulai kisah baru
saat SMA. Karena dia tampan dan belum punya pacar
jadi banyak cewek sekolah yang mendekatinya dan
berharap bisa berpacaran sama dia. Sudah banyak yang

355 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 356

menyatakan cinta pada Zen tapi juga dia menolak


pernyataan cinta mereka. Setelah itu, karena Zen
sadar tidak baik untuk mengurung diri di rumah karena
tidak bisa berpaling dari mantan pacarnya itu, dia
memutuskan untuk mengikuti ekstrakurikuler basket
saat kelas sepuluh awal semester dua. Selama itu, dia
membuktikan bahwa dia layak untuk masuk tim basket
sekolah sampai di tahap berikutnya pelatih dan mantan
kapten tim basket mempercayakan Zen untuk menjadi
kapten tim basket. Dari situlah, kepopuleran Zen makin
meningkat. Tidak hanya cewek sekolah kita yang
menyukai Zen tapi cewek sekolah lain juga tidak kalah
banyak yang menyukainya. Sampai sekarang Zen masih
populer dan sekiranya dia telah menjadi ikon dari
sekolah kita.
Diandra ternyata mengetahui banyak hal
tentang Zen, seolah-olah dia merupakan wikipedia yang
menyimpan semua informasi tentang Zen. Tidak hanya
itu, Diandra bahkan tahu kapan saat Zen mulai berlatih
hingga dia selesai berlatih basket di sekolah, tempat
favorit saat berkumpul bersama teman-temannya baik
di sekolah maupun di luar sekolah, makanan dan
minuman favoritnya di kantin sekolah, dan banyak hal
kecil lainnya mengenai Zen yang Diandra pasti tahu.
Cukup mengerikan memang, aku bisa memastikan anak
ini seperti terobsesi dengan apa yang dia suka layaknya
karakter kartun jepang cewek yang menyukai seseorang
sampai rela membunuh siapapun cewek lain yang berani
mengambil pujaan hatinya. Tapi untung saja Diandra
tidak seekstrim karakter cewek tersebut. Kalau iya,
aku dari dulu sudah pindah sekolah untuk menghindari
anak ini walaupun belum tentu kita menyukai satu orang
yang sama.
Informasi yang diberikan Diandra banyak
membantuku. Salah satu dari informasi tersebut yaitu
kapan Zen dan teman-teman kelasnya saat memasuki
jam pelajaran olahraga. Karena kebetulan kelasku
terletak tepat di belakang lapangan basket jadi aku
bisa melihat Zen bermain basket secara gratis
bersama teman-temannya. Jadwal dia berolahraga
adalah hari Kamis, aku menunggu tidak sabar saat hari
itu tiba.
Hari Kamispun tiba, jadwal dia berolahraga
bersamaan dengan mata pelajaran geografi pada
jadwalku. Untung saja guru yang mengajar geografi
tidak begitu memperhatikan muridnya saat dia
mengajar. Asalkan materi telah disampaikan tidak
peduli apa yang dilakukan muridnya itu berarti dia telah
menyelesaikan tugasnya. Saat guru menjelaskan, aku
sempat melirik ke arah jendela apakah dia sudah
memulai jam pelajaran olahraganya. Namun, aku tidak
melihat anak manapun yang memakai kaos olahraga
hijau, hanya beberapa anak dari kelas lain yang
melewati kelasku untuk menuju kamar mandi. Itu
betul, selain kelasku yang terletak persis di belakang
lapangan basket tapi juga kelasku dekat dengan kamar

357 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 358

mandi. Jadi, aku sering merasa terganggu dengan


banyaknya anak yang tiba-tiba melewati depan kelas
hanya untuk menuju kamar mandi.
Setelah aku selesai mengerjakan tugas yang
telah diberikan, Diandra meminta jawaban kepadaku.
Aku memberikan jawabanku karena bisa dibilang kita
kompak dalam memberi jawaban baik itu tugas maupun
ulangan. Dengan melihat Diandra yang sibuk menulis
jawaban tugas, membuatku merasa bosan karena tidak
melakukan apa-apa. Tiba-tiba ada suara dentuman
keras dari atas kelas dengan ditambah suara banyak
anak-anak cowok yang berteriak dari arah jendela, hal
tersebut secara spontan membuatku melihat ke arah
jendela. Di sana ada dia bersama teman-temannya yang
sedang berusaha mengambil bola dari atas. Dia tampak
terlihat dekat walaupun terhalang jendela kelas. Aku
bisa memastikan dari sini jika dia memiliki tubuh yang
tinggi dan ternyata benar apa yang dikatakan Diandra,
dia memiliki wajah yang tampan.
Entah berapa lama aku sudah menatapnya
bermain basket di lapangan, Diandra membuatku
tersadar akan hal itu dimana dia menyinggung sikuku.
Aku menoleh ke arahnya, dia tampak tersenyum puas
karena telah menangkap basah aku menatap Zen. Mulai
saat ini, Diandra yakin bahwa aku sudah menyukai Zen.
Prasangka Diandra mengenai perasaanku
tentang Zen menjadikan dia seolah-olah dia adalah ahli
cinta. Dimana dia mempunyai misi untuk membantuku
agar bisa menjadi kekasih dari Zen. Setidaknya sampai
Zen mengenal siapa diriku, itu sudah cukup bagi
Diandra. Awalnya aku menganggap remeh misi ini tapi
ternyata dugaanku salah. Diandra menjalani misi ini
dengan serius. Walaupun dia termasuk fangirls dari Zen
tapi dia tidak berharap bisa menjadi kekasihnya, namun
harapan Diandra justru mengarah supaya akulah yang
menjadi kekasih Zen. Upaya yang Diandra lakukan
antara lain seperti mulai dari setiap jam istirahat tiba,
Diandra akan mengajakku untuk menemaninya ke kantin
membeli makanan walaupun sebelumnya dia tidak perlu
ditemani. Lalu, bila ada pertandingan basket
antarsekolah Diandra memastikan aku untuk menonton
pertandingan tersebut. Terkadang juga, Diandra
memintaku untuk tidak pulang sekolah terlalu awal.
Semua upaya tersebut supaya aku bisa melihat Zen
lebih sering dan dengan harapan sang kapten bisa
memperhatikan kita.
Kita melakukan hal-hal tersebut sampai
beranjak dari kelas sebelas, namun tidak ada berita
bagus selama itu. Kapten tetap fokus pada tim
basketnya dan masih tidak peduli dengan kisah
asmara. Walaupun upaya Diandra tidak memberikan
hasil yang diharapkan tapi aku bersyukur dapat
melihatnya dari jauh setiap hari. Layaknya menjadi
seorang pemuja rahasianya adalah pekerjaan favoritku
akhir-akhir ini. Diandra tampak kasihan melihatku

359 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 360

begini, dapat dilihat dari cara dia memandangiku saat


kita berbicara ataupun melihat Zen dari kejauhan.
Walaupun aku sempat meragukan perasaanku dengan
Zen tapi perasaan ini semakin dalam setiap harinya.
Sepertinya semua upaya yang dilakukan Diandra bukan
membuat Zen dapat mengetahuiku tetapi justru
membuat aku dapat membaca perasaanku sendiri. Aku
akhirnya mengakui bahwa aku menyukainya.
Diandra pun mengetahui bahwa perasaanku
semakin dalam kepada Zen dan dengan itu dia semakin
bersemangat membantuku mendapatkan hati Zen. Dia
memaksaku untuk menyatakan cinta kepada Zen dan aku
tidak perlu harus memperhatikannya dari kejauhan
lagi. Aku juga ingin mengungkapkan perasaanku ini
secara langsung kepadanya namun bagiku yang
memasuki semester akhir kelas dua belas ini bukanlah
hal yang tepat. Minggu ujian akan segera dimulai dan aku
harus mulai fokus belajar untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Lagipula aku takut jika nanti perasaanku ini
ditolak olehnya dan secara langsung akan berdampak
pada proses belajar nanti. Jadi, aku menyimpan
perasaanku ini terlebih dahulu dan membiarkan dia
sementara menjadi penyemangat pribadiku untuk
meraih impianku. Diandra tidak mengetahui bahwa aku
sudah mempunyai rencana kapan saat yang tepat untuk
mengungkapkan perasaanku ini, yaitu saat hari kelulusan
tiba. Hari itu adalah hari yang tepat untukku
menyatakan cinta karena setelah itu aku sudah tidak
dapat melihat dia lagi. Aku juga tidak mungkin
menyatakan secara langsung di hadapannya. Namun aku
lebih memilih menyatakan cinta dengan menulis surat
untuknya. Surat yang berisi semua cerita tentang aku
yang memiliki perasaan kepadanya, dari awal aku
mengetahui namanya sampai mengapa aku bisa jatuh
hati kepadanya, ini merupakan hadiah akhir dariku
untuknya. Jadi aku memulai untuk menulis surat dan
fotonya yang sudah aku cetak berukuran kecil. Foto
tersebut merupakan foto dia bermain basket di
lapangan sekolah, aku mengambilnya saat Diandra
menerapkan upayanya agar aku bisa dekat dengan Zen.
Lalu aku belikan amplop merah muda karena sesuai
dengan perasaanku ini kepadanya dan aku simpan
dengan baik hingga waktunya tiba.
Akhirnya aku memasuki minggu ujian. Setelah
menyelesaikan minggu ujian sekolah, lalu minggu
berikutnya akan dilanjutkan lagi dengan minggu ujian
praktek. Hari Senin, kelasku mendapatkan jadwal
praktek bahasa Inggris dimana ujiannya kita melakukan
drama langsung di depan para penguji menggunakan
bahasa Inggris. Dalam ujian ini kita berkelompok dan
seperti biasa aku bersama Diandra berada dalam satu
kelompok. Tiap kelompok terdapat delapan orang dan
setiap dari kita memiliki peran dan tugas masing-
masing. Aku mendapat peran utama dalam drama ujian
bahasa Inggris jadi aku dan para anggota lain harus

361 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 362

serius berlatih agar nilai yang kita dapat sesuai dengan


apa yang kita harapkan.
Di hari sebelum tepat kita akan mengadakan
ujian praktek, aku menerima pesan masuk dari wali
kelasku bahwa besok ujian praktek diundur karena ada
perintah langsung dari pusat bahwa murid sekolah tidak
diperbolehkan bersekolah terlebih dahulu karena
mengingat semakin banyaknya korban yang terkena
virus dan dihimbau untuk tetap di dalam rumah sampai
virus ini hilang sepenuhnya.
Benar, tepat tujuh tahun yang lalu dunia ini
terkena pandemi penyakit yang cukup mematikan
sehingga masyarakat dibuat sulit dalam menjalankan
segala aktivitas mereka termasuk murid sekolah. Sejak
pengunduran ujian praktek tersebut, susulan jadwal
tidak pernah disampaikan. Ketika pandemi ini berakhir,
aku dan teman-teman lain sudah lulus dan tidak pernah
merayakan hari kelulusan sehingga membuat kami
berpisah tanpa sempat untuk mengucapkan selamat
tinggal. Hal ini membuatku sedih karena hari kelulusan
adalah hari yang paling aku tunggu, dimana kita
memakai pakaian kebaya dengan dibalut toga,
memperbanyak mengambil gambar dengan kawan
sekelas, dan akhirnya aku tidak sempat menyatakn
perasaanku ini pada Zen.
Amplop merah muda yang aku simpan dengan baik
tidak bisa menjalankan tugasnya untuk menyampaikan
perasaanku kepadanya dan sekarang berubah menjadi
bukti nyata bahwa aku pernah menyukai seorang kapten
basket terpopuler saat SMA. Aku menyesal tidak
memberikan surat ini secepatnya kepadanya.
Perasaanku yang dalam untuknya akhirnya tidak akan
pernah tersampaikan dan selamanya akan terpendam di
dalam hati.
Walaupun kisah cintaku saat SMA tidak
berakhir seindah karangan novel romantis remaja
kebanyakan, Zen tetaplah seseorang yang membuat
masa SMA-ku menjadi lebih berwarna. Dimana dia
menjadi alasan aku bersemangat untuk pergi ke sekolah
tiap harinya. Melihat dia bermain basket saat jam
pelajaran olahraga ataupun saat pulang sekolah.
Berteriak sekeras-kerasnya di panggung penonton
untuk memberinya semangat saat pertandingan basket
berlangsung. Semua kenangan itu membuatku bersyukur
karena telah terjadi kepadaku.
Teruntuk Zen, terimakasih. Kamu memang tidak
akan pernah mengetahui perasaan hatiku ini, tetapi
kehadiranmu saat berada di sekolah menjadi hal yang
paling aku rindukan. Hanya surat inilah yang dapat
membantuku menyembuhkan rinduku ini tentang dirimu.

363 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 364

Ponsel Baru
Karya : Tania Lestari Pranciska Sibarani

Warna langit bagian barat kini tak lagi sama


dengan saat Lifra baru saja duduk di teras rumahnya.
Sudah tampak kemerahan. Seharusnya mampu membuat
gadis berambut ikal dan tak terlalu panjang itu berpikir
untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun dia tetap saja
diam. Dipandanginya ponsel yang diberikan kakak laki-
lakinya empat tahun yang lalu sambil diusapnya
sesekali. Sudah tampak butut. Cat perak yang melapisi
ponsel itu sudah mulai hilang. Hanya sebagian yang
tampak keperakan, sedangkan yang lainnya kehitaman.
Tombol-tombolnya masih tertata rapi namun
kebanyakan tak berfungsi lagi. Layarnya yang tak
terlalu lebar sudah penuh goresan. Tapi Lifra selalu
merasa benda itu sangat berarti karena itulah benda
terakhir yang diberikan kakaknya kepadanya. Meski
sudah tak lagi dia gunakan untuk berkomunikasi atau
mengakses internet, dia tak pernah membuang ponsel
itu. Ada kenangan tak terlupakan yang membuat hatinya
berat melupakan ponsel itu.
Setelah selesai membantu ibunya di dapur, dia
langsung mengambil ponsel yang sengaja dia letakkan di
laci lemari bajunya. Lalu pergi ke teras rumah dan
memulai rutinitas yang hampir setiap sore dia lakukan.
Memandangi ponsel butut yang sebenarnya sudah tak
dipakainya lagi. Entah untuk apa. Hanya Lifra-lah yang
mengerti. Atau mungkin dia sendiripun tak tahu untuk
apa dia melakukan itu hampir setiap sore.
Matanya memerah. Siap membentuk dua anak
sungai di pipinya. Angin sore sangatlah mengerti
perasaan sedih di hati, batinnya. Pandangannya kini lurus
ke depan. Tak lagi ke ponsel tua yang dipegangnya
sedari tadi. Memandangi bambu-bambu yang bunyinya
berirama. Menarik hatinya untuk memperhatikannya
sebentar. Bambu-bambu, yang dulu sering ditebang
kakaknya untuk membuat pagar rumah, membuat
perabot baru bersama ayahnya, membuat mainan, dan
meriam bambu kesukaannya. Akhir tahun begini
biasanya kakak akan mengambil sebatang bambu itu dan
merakitnya menjadi meriam bambu yang siap mewarnai
malam akhir tahun di kampung mereka. Meriam bambu
kesukaannya.
Teringat saat Lifra berumur 11 tahun, tujuh
tahun yang lalu, kakaknya pergi mengadu nasib jauh
keluar kota. Menahan rindu demi membantu
perekonomian keluarganya. Lifra tak suka itu. Lifra tak
tahu jelas bagaimana rasanya berada jauh dari orang
yang disayangi. Mungkin menyakitkan, pikirnya. Ini
adalah pertama kalinya ia harus berada jauh dari kakak
yang disayanginya.
Saat kakaknya masih dekat dengannya, Lifra
selalu merasa dimanjakan. Dia takkan diperbolehkan
menimbah air dari sumur yang tak terlalu dalam itu,
dengan alasan takut Lifra jatuh. Dia diberi uang jajan
lebih oleh kakaknya setelah ibu mereka memberikan
uang jajan sebelum mereka berangkat ke sekolah.
Pastinya dengan memotong uang jajannya sendirilah
kakaknya mampu memberikan Lifra uang jajan untuk
menambah pemberian ibunya. Dia juga sering
membelikan mainan yang memang tak terlalu mahal.

365 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 366

Entah berapa hari ia tak jajan hanya untuk


mengumpulkan uang untuk membeli mainan itu. Dia tak
peduli. Yang penting bisa membuat bahagia di hati adik
kecilnya itu.
Dia dan kakaknya masih sama-sama sekolah saat
itu. Tapi kakaknya akan menyisikan uang jajannya untuk
Lifra. Orang tua mereka bukan orang kaya yang bisa
memberikan uang jajan yang lebih banyak dari biasanya.
Hidup sederhana sudah cukup disyukuri dengan
pekerjaan kedua orang tua adalah petani yang menyewa
lahan persawahan yang sekali-kali bisa saja ditarik
dengan alasan susah membayar sewa.
Setelah menyelesaikan studinya di jenjang
sekolah menengah atas, kakaknya berniat untuk pergi
merantau, dengan alasan keterbatasan ekonomi. Lifra
selalu meyakinkan kakaknya agar tak jadi pergi.
Bagaimanapun keluarganya takkan menghiraukannya.
Nanti juga Lifra akan mengerti.
―Kak, kakak harus cepat pulang,‖ pintanya
memaksa sambil memeluk kakaknya erat.
Menumpahkan air matanya yang kini sudah
membasahi baju kakaknya.
―Iya, dik. Kamu bagus-bagus sekolahnya yah.
Jangan nakal sama Ayah dan Ibu,‖ kata kakaknya
menasehati adiknya sambil menahan tangisnya. Ia tak
mau membuat kesedihan adiknya itu semakin jauh
masuk ke dalam hatinya jika melihatnya menangis.
Dilepasnya pelukan adiknya, takut orang-orang
di bus yang ditumpanginya menunggu terlalu lama.
Dipeluknya ayah dan ibunya sebelum menaiki bus.
Tak lama kemudian, berlalulah bus itu dari
hadapan mereka diiringi pecahan tangis Lifra yang
semakin menjadi-jadi. Anak kecil itu nampaknya tak
peduli dengan sekitarnya yang kini memandanginya.
Entah itu pandangan kasihan atau merasa kesal karena
terganggu. ―Kakak akan cepat pulang,‖ begitulah ibunya
menenangkan gadis kecil dengan wajah yang terlihat
berantakan itu. Lifra manggut-manggut sambil
berusaha menghentikan tangisnya yang sempat tak
terkendali itu. Ia selalu mengira bahwa ibunya takkan
membohonginya walaupun ibunya bisa saja berbohong.
Siapa yang tahu.
Setelah jauh dari mata, kakaknya jarang sekali
mengabari Lifra dan orang tuanya. Lifra takut. Lifra
tak ingin kalau sampai kakaknya melupakan mereka. Tak
bisa ia bayangkan kalau suatu saat dia bertemu
kakaknya, kakaknya tak mengenalinya lagi, kakaknya
menjadi seorang yang sombong, jahat, bukan seperti
siapa yang dia kenal dulu.
―Kakakmu pasti akan pulang, Ra,‖ ucap wanita
tua itu sambil mengelus rambut Lifra. Mencoba
menghilangkan kekhawatiran anak perempuan satu-
satunya itu. Meski dia sendiri tak tahu kapan anaknya
akan pulang untuk menghilangkan rindu di hati mereka
yang ditinggalkan. Sejak kakaknya merantau, hanya
sesekali anaknya itu bertukar kabar dengan mereka
sambil mengirimkan sedikit uang hasil kerja kerasnya.

367 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 368

―Tapi kapan, Bu?‖ tanya Lifra mulai menangis.


Sudah tiga tahun setelah pergi merantau, kakaknya tak
pernah pulang menemui mereka barang sebentar. Ada
saja alasan yang diberikan kakaknya kepada mereka.
―Ini sudah malam, kita ke dalam yah,‖ ajak
wanita tua itu sambil memegang tangan anaknya itu,
menuntunnya masuk ke dalam rumah.
Sejak kakaknya merantau, Lifra menjadi sering
duduk di teras rumah dengan harapan dapat melihat
kakaknya pulang dan hadir di depan matanya. Hanya
wanita tua itulah tempatnya mengadu tentang apa yang
dia rasakan. Ayahnya yang sudah merasa biasa dengan
kelakuan anak perempuannya itu akan langsung masuk
ke rumah, menemui istrinya dan berbicara perihal
anaknya yang masih duduk di teras rumah sambil
melamun. Meski sesekali Ayahnya harus turun tangan
jika tahu istrinya sedang mengerjakan sesuatu di
dapur.
―Kamu istirahat yah,‖ kata ibunya sambil
memperbaiki selimut anaknya itu. Anaknya itu hanya
tersenyum merasa bahagia memiliki ibu yang selalu
setia mengantarkannya menemui mimpi meskipun
usianya sudah tua.
―Bu, liburan kali ini kakak akan pulang kan,‖ tanya
anak itu menghentikan langkah kaki ibunya yang hendak
pergi keluar dari kamarnya itu.
―Kakak pasti pulang,‖ jawab ibunya sambil
tersenyum. Meyakinkan anak perempuannya itu meski
dia sendiri tidak tahu betul entah anaknya yang sedang
di rantau orang akan pulang atau tidak tahun ini.
―Selamat malam, Bu,‖ kata anak itu yang
disambut senyum ibunya.
Malam itu Lifra tak bisa tidur. Berulang kali
dicobanya memejamkan matanya namun tiada hasil.
Sudah tiga jam sejak ibunya meninggalkannya di kamar,
tapi matanya tetap saja masih segar seperti siang hari.
Dia sedang memikirkan sesuatu rupanya.
Disingkapkannya selimut dari badannya.
Dilangkahkannya kakinya pelan-pelan, jangan sampai
membangunkan orang tuanya. Dicari-carinya ponsel
milik ibunya yang biasa diletakkan di meja depan. Agak
lama, karena memang agak gelap.
Ketemu! Girangnya hatinya saat menemukan
sesuatu yang sedari tadi dicarinya. Dinyalakannya
benda itu. Ditulisnya pesan kepada kakaknya
mengatakan kalau ia ingin kakaknya pulang liburan kali
ini. Tak lupa dia membubuhkan namanya lalu
mengirimnya. Dia merasa sangat bahagia setelah
berhasil mengirimkan pesan itu kepada kakaknya,
kemudian pergi ke kamarnya. Merebahkan diri yang
belum mengantuk itu. Ada harapan di hatinya, kakaknya
akan pulang sama seperti tetangganya.
Malam selanjutnya sama saja. Liburan akhir
tahun yang tak terlalu menyenangkan menurutnya,
membuat Lifra lebih banyak menghabiskan waktu untuk
duduk di teras rumah setelah membantu ibunya

369 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 370

mngerjakan pekerjaan rumah. Ia akan masuk ke rumah


setelah ibunya mengajaknya makan malam. Untung saja
ibunya tak merasa bosan harus melakukan hal itu
hampir setiap hari. Ia sangat mengerti seberapa besar
harapan anaknya itu untuk melihat kakaknya berjalan di
halaman rumahnya. Pulang.
Suara petasan mewarnai malam-malam akhir
tahun. Tak tahu bagaimana bahagianya orang-orang
yang menyalakannya. Hanya jika kakaknya pulang -
walau tak membawa hadiah baginya – maka Lifra akan
tahu bagaimana gembiranya orang-orang yang membeli
petasan untuk dinyalakan malam harinya, entah
berapapun jumlahnya.
Dulu, saat kakaknya masih di kampung, mereka
akan membuat meriam bambu. Kakaknya akan
mengambil bambu yang agak besar kira-kira sepanjang
2 meter lalu merakitnya jadi meriam bambu. Setelah
selesai, bambu tadi diisi sedikit minyak tanah lalu siap
dibunyikan. Suaranya cukup membuat anak-anak
tetangga datang berkumpul dan meramaikan samping
rumah mereka.
Hanya mengingatnya saja Lifra sudah sangat
bahagia. Apalagi saat dia mengintip lobang bambu yang
masih berasap itu, poninya hampir saja terbakar.
Mulutnya menjerit karena takut. Entah karena poninya
yang hampir saja terbakar atau karena bisa-bisa ibunya
marah- marah karena dia yang ceroboh.
Tahun ini berbeda. Anak tetangga sudah banyak
yang sudah bekerja sama seperti kakaknya. Anak
tetangga sudah punya cukup uang untuk membeli
petasan yang dijual di pasaran. Bukan lagi seperti yang
sering dibuat oleh kakaknya dulu. Bukan lagi meriam
bambu yang membuat anak tetangga berkumpul di
halaman rumah seperti apa yang sering dilakukan anak-
anak di sekitar rumah mereka saat liburan akhir tahun
seperti ini.
Air matanya mengalir. Bantalnya basah. Entah
sepedih apa matanya saat melihat kakak-kakak teman
sekampungnya yang pulang sedangkan kakaknya tidak.
Pesan yang dikirimnya beberapa hari yang lalu tak
kunjung mendapat balasan. Sebenarnya yang terpenting
bukan balasan tapi kakaknya kembali. Ingin sekali
rasanya malam-malam berikutnya tak sesepi malam ini.
Ah sudahlah, berharap lebih banyak bahkan tidak akan
membantu, hanya akan membuat dirinya sendiri semakin
sedih. Matanya yang sudah lelah menangis kini tertidur
tanpa harus dipaksa memejam.
―Ra, Ra, bangun nak, kakakmu pulang!‖ seru ibu
sambil mengetok-ngetok pintu kamar Lifra yang
dikunci dari dalam. Sontak mata Lifra terbangun. Mimpi
atau apa?
―Bu, ibu di luar?‖ dipastikannya apakah ibunya
benar-benar memanggilnya barusan.
―Ra, ini kakak.‖ Jawab kakaknya mewakilkan ibu
mereka.

371 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 372

Cepat-cepat Lifra bangun setelah mendengar


suara kakaknya yang sudah tiga tahun tak didengarnya
itu. Disingkapkannya selimut dari badannya, dibukanya
pintu kamarnya, lalu bertemulah dia dengan kakaknya,
orang yang selalu dibawakannya dalam doa sebelum
tidurnya. Dipeluknya kakaknya erat-erat menepiskan
rindunya yang dikuburnya selama tiga tahun dalam
harapan.
―Ayo, kita duduk dulu, kamu pasti lelah di
perjalanan,‖ ajak ibunya membimbing anak laki-lakinya
itu untuk duduk di kursi tamu yang sudah tua itu.
―Nak, tolong ambilkan minum untuk kakakmu,‖
kata ibunya kepada Lifra. Jelas saja Lifra sangat
semangat. Tidak menunggu lama, air minum hangat
sudah tersedia di atas meja.
―Kakak minum dulu, biar hangat‖ ―Terimakasih,
Ra‖
Kakaknya-pun meminum air hangat yang
diberikan adiknya itu sedikit demi sedikit. Cukup
membantu menghangatkan badannya yang memang
terasa dingin.
Mereka berbincang sebentar sampai
memutuskan untuk menyambung ceritanya besok pagi.
Masih banyak cerita yang belum tersampaikan. Namun,
sudah larut malam. Sudah waktunya istirahat.
Sejak setahun yang lalu, Lifra sudah meminta
dibelikan ponsel baru. Ponsel yang dibelikan dua tahun
yang lalu sudah kudet. Hanya punya aplikasi-aplikasi
biasa, tak ada playstore seperti punya teman-temannya
yang kondisi ekonominya bahkan lebih parah dari
mereka. Setiap Lifra meminta dibelikan, ibu selalu
beralasan. Minggu depan, bulan depan, tapi sudah
setahun berlalu, tak kunjung kelihatan juga ponsel baru
yang selalu dijanjikan oleh ibunya itu. Sampai akhirnya
dia menyerah. Siapa tahu ibu benar-benar tak punya
uang, pikirnya.
Lifra menceritakan hal itu kepada kakaknya. Dia
menunjukkan ponsel lamanya yang sudah butut untuk
meyakinkan bahwa dia benar-benar ingin dibelikan yang
baru. Kakaknya hanya tertawa. Lifra bingung. Dia lalu
meyakinkan dirinya kalau dia tak sedang melawak.
―Yaudah.. yaudah. Ibu sudah cerita kemarin.‖
Ibu sudah cerita? Apa yang ibu ceritakan?
Kenapa kakak malah menganggap itu lucu? Ah sudahlah,
kurasa ibu sedikit mengejekku ke kakak kemarin, kata
Lifra membatin.
―Ambilkan tas kakak di kamar.‖ Lanjutnya
seiring menghentikan tawa kecilnya. Dikeluarkannya
kotak berwarna abu-abu daari tasnya dan
memberikannya kepada
Lifra. Kotak yamg tampaknya memberikan
jawaban pada permintaannya sejak setahun lalu.
Terbukti setelah Lifra membuka kotak itu, hatinya
sangat bahagia. Dia tersenyum menunjukkan
kegembiraannya, lalu berterima kasih kepada kakaknya,
satu-satunya saudaranya itu.

373 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 374

Sejak kecil sampai saat itu, kakaknya selalu


menunjukkan bagaimana seharusnya sikap seorang
kakak terhadap adiknya. Tak karuan rasa syukur Lifra
telah diberikan kakak yang benar-benar membanggakan
hatinya. Dengan gaji yang tak banyak saat di perantauan,
kakaknya bahkan mengumpulkan niat untuk memberikan
oleh-oleh untuk Lifra saat pulang kampung.
Setahun berlalu, lelaki itu berpikir untuk pergi lagi
merantau. Berlama-lama di kampung membuatnya itu
merasa tak enak dengan ayahnya yang berlelah-lelah
sendirian. Sedangkan ayahnya selalu menolak kalau ia
meminta untuk ikut membantu ayahnya ke sawah.
―Kamu tiga tahun ini sudah berlelah-lelah di
rantau...‖ kata ayahnya sambil memakai topi kain yang
senantiasa menemaninya melawan panas mentari setiap
hari.
―...seharusnya sekarang ini kamu di rumah saja.
Istirahat,‖ sambungnya lalu berpamitan kepada anaknya
itu yang sedang duduk di teras menemaninya
menyeruput kopi buatan istrinya, ibu anak itu.
Setelah ayahnya berangkat ke sawah, lelaki itu
masuk ke rumah, hendak mencari ibunya. Ada yang ingin
dia katakan.
―Jadi kamu akan pergi lagi merantau?‖ tanya
wanita itu setelah mendengarkan cerita anaknya.
Seolah menarik kesimpulan dari apa yang telah anaknya
ceritakan barusan.
―Bu...‖ kata lelaki itu mencoba menenangkan
ibunya yang mulai menangis. Seolah trauma dengan
anaknya yang pulang terlalu lama dari perantauan.
―...nanti aku akan pulang lebih cepat, Bu,‖
lanjutnya. Ibunya mengangguk. Tak mungkin membuat
anaknya itu kecewa. Ada masa depan yang sedang
menunggunya.
―Ibu akan mendukung apapun keputusan kamu,‖
katanya sambil mengelus pundak anaknya itu.
―Kamu bicarakan dulu sama Ayah,‖ sambungnya.
Walaupun hanya tamatan sekolah menengah
atas, ia tetap berpikir bahwa masa depan ada di tangan
setiap orang yang tak mau berputus asa. Dia hanya
berharap kelak dapat membanggakan hati kedua orang
tuanya dan Lifra, adiknya.
Bukan dia tak sedih saat harus pergi lagi. Namun
duduk di rumah dan menyaksikan hari- hari berlalu
bukanlah hal yang berguna. Tak akan ada yang
bertambah, selain usia dan masalah keluarga yang
kekurangan ekonomi. Apalagi adiknya berniat untuk
kuliah. Pasti membutuhkan biaya yang lebih besar
daripada sekarang. Darimana orangtuanya akan
mendapatkan uang untuk menutupi segala biayanya
nanti? Gumamnya.
―Ra, kakak akan lebih cepat pulang dari tahun
lalu,‖ kata lelaki itu meyakinkan adiknya yang sudah
banjir air mata itu. Meski tak lagi terisak seperti
empat tahum yang lalu.

375 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 376

―Kamu harus baik-baik di rumah. Belajar yang


bagus, biar nanti bisa dapat beasiswa kuliah,‖ kata
lelaki itu sambil mengelus rambut adiknya itu, berusaha
menenagkannya. Adiknya tak menjawab. Dia hanya
terdiam menikmati aliran sungai kecil yang tak mau
berhenti. Sedih sekali rasanya harus melepas kakaknya
lagi untuk kedua kalinya. Entah apa yang harus ia
katakan untuk menunda kakaknya itu untuk tak pergi.
Mungkin tak ada. Hanya doa yang mengiringi kepergian
kakaknya itu dan keyakinan bahwa kakaknya akan cepat
pulang.
Dia sudah lebih besar sekarang. Tak lagi
seorang anak perempuan kecil seperti empat tahun
yang lalu. Dia sedikit merasa malu jika harus terisak di
tengah keramaian loket bus yang akan membawa
kakaknya ke perantauan itu
•••

Sejak saat itu, kakaknya tak pernah pulang


sampai sekarang. Lifra hanya berharap setelah tiga
tahun berlalu, kakaknya berpikir untuk pulang seperti
empat tahun yang lalu. Tak berharap dibelikan hadiah
apa, bukan juga kejutan apa, hanya ingin kakaknya
merasakan hal yang sama dengan yang dirasakannya
sekarang.
―Ra, ayo makan malam, nak,‖ ajak ayahnya
melihat anaknya tak sedikitpun berniat masuk ke rumah
jika tak diingatkan masuk. Ibunya sedang menyiapkan
makan malam mereka yang sudah selesai dimasak
sekitar sejam yang lalu olehnya dan ibunya. Meski
bagaimanapun, Lifra selalu membantu orang tuanya
mengerjakan pekerjaan rumah sepulang kuliah.
―Iya, Yah,‖ katanya sekenanya sambil bergegas
ke kamar, menyimpan ponsel yang sedari tadi
dipegangnya ke kotaknya lalu mengikuti ayahnya ke
dapur. Menyantap makan malam yang sudah disiapkan
ibunya.
―Habis makan, Lifra bantu ibu beresin meja yah,
baru habis itu langsung belajar,‖ pinta ibunya sambil
menghabiskan sisa makanan di piringnya.
―Enggak, Bu, biar Lifra aja yang bereskan,‖
jelas Lifra yang diiyakan ibunya.
―Habis itu kamu langsung belajar yah, Nak‖
―Iya, Bu,‖ jawab Lifra lalu cepat-cepat
membereskan meja makan. Mencuci piring yang baru
saja mereka pakai. Ada tugas yang menunggu di kamar.
Di kamar, tugas yang tadinya membuatnya semangat
untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya di
dapur malah tidak dia ingat sedikitpun. Dia malah
kembali dengan apa yang membuatnya lupa masuk ke
dalam rumah tadi sore. Dibukanya lagi kotak ponsel
yang sudah dia rapikan tadi sebelum makan malam.
Seolah memegang kerang berisi mutiara, Lifra kini tak
berniat sedikitpun melepaskan kotak ponsel itu dari
genggamannya. Dia memandangi kotak itu sambil

377 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 378

berharap-harap akan ada keajaiban setelah melakukan


hal konyol yang dilakukannya hampir setiap sore.
―Ra, kamu ngapain, Nak?‖ entah sejak kapan
wanita tua itu sudah duduk di sampingnya, mengelus
rambut Lifra berulang kali dengan tangannya yang
mulai tampak keriput itu. Entah apa yang sekarang
ibunya pikirkan tentangnya. Yang ibunya lakukan hanya
menenangkan hati anaknya itu berharap tak ada masalah
serius yang sedang menimpahnya.
Lifra menjadi pendiam akhir-akhir ini. Dia tak
lagi suka bercengkrama bersama tetangganya
menghabiskan waktu sebelum sore tiba. Dia tak lagi
suka bercerita tentang band lokal kesukaannya yang
sering dia ceritakan kepada teman-temannya dulu. Dia
tak lagi suka membahas tentang konser lokal yang akan
diselenggarakan sebentar lagi, meskipun dia sama sekali
tak berniat untuk datang ke konser itu. Dia tahu bahwa
orang tuanya akan melarangnya pergi ke konser itu
makanya dia tak pernah berpikiran untuk pergi
menontonnya bersama teman- temannya.
―Ra, kenapa masih disimpan ponselnya? Kan
udah ada yang baru,‖ kata ibunya lagi.
Lifra menoleh. Dia memandangi ibunya yang
sebenarnya tak lagi merasa aneh dengan sikap anaknya
itu. ―Bu, ponsel ini...‖
―Pemberian kakakmu, kan,‖ potong ibunya cepat.
Lifra mengangguk. Dia menundukkan pandangannya
berusaha menyembunyikan air matanya yang mulai
mengalir. Mungkin dia mengira keadaan kamar yang
remang-remang itu mampu menyembunyikannya.
―Nak, kamu kan sudah punya ponsel baru, ini
disimpan saja,‖ kata ibunya menunjuk ponsel yang
sedang dipegang anaknya itu.
―Aku kangen kakak, Bu,‖ kata anak itu sambil
memandang ibunya, tak lagi mengkhawatirkan kalau-
kalau ibunya melihat air matanya yang sudah membasahi
pipinya sedari tadi.
―Kamu tahu, kakakmu akan pulang. Seperti
empat tahun yang lalu,‖ kata ibunya berusaha
menenangkan anaknya yang mulai terisak itu. Meski tak
ada apa-apa yang membuatnya berani untuk mengatakan
itu. Hanya ingin melihat anak bungsunya bahagia
membayangkan kakaknya akan pulang liburan tahun ini.
Dipeluknya anaknya erat. Dia mengerti apa yang selalu
membuat anaknya itu termenung hampir setiap sore.
―Kamu istirahat saja yah, tugasmu besok saja
dikerjakan,‖ kata ibunya lalu melepaskan pelukannya
setelah tahu anaknya mulai merasa lebih baik sekarang.
Diselimutinya anaknya lalu mencium keningnya
mengucapkan selamat tidur.
―Selamat tidur, Bu,‖ kata Lifra sebelum ibunya
menghilang di balik pintu kamarnya.
Lifra bersiap untuk menjemput mimpi sekarang.
Berharap ibunya akan membanguninya tengah malam
nanti mengatakan kakaknya pulang. Tentu saja dia
butuh banyak tenaga untuk menceritakan lebih banyak

379 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 380

cerita baru nanti. Tentang kelulusannya di sekolah


menengah atas, tentang dia yang mendaftar jadi anak
kuliah seperti anak-anak tetangga mereka yang
seumuran atau di atasnya sedikit, tentang teman-teman
barunya di kampus, dan tentang mimpinya yang masih
sama dengan saat dia masih kecil. Ingin menjadi
matahari yang bisa menyinari kakaknya dan
orangtuanya, juga semua yang ada di bumi. Meskipun dia
mengerti dia kesulitan untuk dekat dengan keluarganya,
tapi dia mengerti menjadi matahari membuatnya selalu
berguna untuk orang-orang yang disayanginya. Meskipun
dia mengerti malam hari membuatnya lebih jauh dari
kakak dan orangtuanya, tapi dia paham besok akan
datang lagi untuk melepaskan kerinduan yang tertanam
semalaman. Bukan seperti sekarang. Melihat foto
kakaknya di media sosial pun dia tak pernah. Tak ada
foto. Kakaknya tak suka media sosial. Media sosialnya
hanya berisi kata-kata semangat, bukan foto dirinya.
Lifra memang sudah punya ponsel baru
sekarang. Ponsel yang lebih bagus dari yang diberikan
kakaknya empat tahun yang lalu. Tapi jika ingin
memberi Lifra hadiah ponsel baru adalah alasan
kakaknya untuk pulang, Lifra sangat berharap diberikan
hadiah ponsel baru lagi oleh kakaknya, ponsel macam
apapun itu. Ponsel yang tak lebih bagus dari ponselnya
sekarang sekalipun pasti diterimanya. Dengan senang
hati. Hanya berharap kakak pulang, itu saja.
Untuk Bidan Yang Mempersalini Lake
Karya : Theresella Mercy Wibowo

Lake terbangun dengan keringat memenuhi


pelipisnya. Sudah dua malam ia mendapat mimpi yang
sama. Tangannya terangkat, menyentuh keningnya yang
terasa panas. Walaupun di luar tidak hujan, badannya
menggigil seperti baru disiram air es.
Ia kira, seorang suami sudah layak
mengharapkan perhatian dari istrinya ketika sedang
sakit begini. Nyatanya, semalaman ia tidur sendiri di
kamar. Istrinya lebih suka tidur di halaman depan,
berhadapan langsung dengan televisi. Kadang televisi
itu menyala semalaman karena istrinya ketiduran. Lake
mengeluh. Sekarang, dimana istrinya itu berada?
Lake berjalan keluar kamar. Pintu kamar
terbanting di belakangnya karena pusing yang tiba- tiba
menyergap.
―Banting saja itu pintu, Lake! Kau ingin aku
terkena serangan jantung?! Kalau mau mati, kau mati
sana sendiri!‖ Suara ibu mertuanya terdengar dari pintu
paling ujung. Lake menghembuskan nafas. Ia ingin sekali
menegur orang-tua itu agar bicara dengan lebih sopan
di rumahnya. Sayangnya, hari ini lain. Kepalanya seperti
diikat beban berton-ton, membuatnya pening dan
berkunang-kunang.
―Dara! Dara!‖ Lake berteriak, memanggil
istrinya. ―DARA!‖
―Dia pergi ke pasar, tukang tidur!‖ Ibu
mertuanya membalas lagi.

381 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 382

Sepertinya Lake tidak sadar saat istrinya


membuka pagar tadi pagi. Mungkin karena mimpinya itu.
Ia memutuskan masuk kembali ke kamar dan berbaring.
Kepalanya sakit. Sepertinya ia demam tinggi. Lake yakin
ibu mertuanya itu memang sudah agak tidak waras.
Selama setahun terakhir, ia tidak mau memandang
muka Lake dan hanya diam di kamar setiap Lake di
rumah. Tapi, bukannya bersikap dingin, ia justru makin
senang berteriak dan memaki Lake setiap laki-laki itu
berbicara. Bahkan dalam obrolan berdua dengan
istrinya! Lake kadang merasa seperti seorang pencuri
yang harus mengendap-endap di rumah sendiri. Ia malas
dikutuk-kutuk oleh ibu mertuanya. Sepertinya, nenek
tua bangka itu tidak sabar betul menunggu Lake
meninggal.
―Dia hanya kecewa,‖ suatu kali istrinya berkata,
―karena kau tidak mau memberinya cucu.‖ Lake saat itu
hanya diam dan melotot.
―Kenapa melihatku seperti itu, sialan?!‖ Serang
Dara. Perempuan itu kasar, arogan, dan tidak ayu
seperti yang Lake kira dulu saat pacaran. Ia suka sekali
berteriak, seperti ibu mertuanya, dan menyanggah
dengan maki-makian kasar. Mungkin juga ia, dalam
hatinya, menginginkan Lake segera meninggal. Toh ia
jadi tidak perlu mengurusi sandang-pangannya setiap
hari. Lake memutar mata.
―Kenapa kau selalu menyumpahiku mati?‖
―Kalau kau mau mati,‖ istrinya menjawab dengan
jengah, ―sana kau mati sendiri!‖
Ia dengar pintu pagar dibuka. Suara motor
masuk. Pagar ditutup lagi. Istrinya sudah pulang dari
pasar.
―Dara, kurasa kepala ku demam,‖ ucap Lake
ketika Dara mengintip ke dalam kamar.
―Mandor itu akan membunuhmu kalau tahu kau
tidak masuk lagi hari ini,‖ jawab istrinya. Ketus, jutek,
dan kasar. Ia menenteng plastik-plastik belanja ke
dapur dan mulai mempreteli isinya. Lake ingin
menyahut, hanya saja ia yakin mertuanya akan ikut
campur. Ia akhirnya kembali berbaring.
Mandor proyek, yaa, Lake lupa menghitung
orang itu. Ia adalah orang selanjutnya yang
menginginkan Lake mati. Tidak seperti mertua dan
istrinya, mandor pro yek itu tidak banyak bicara. Ia
juga tegas dan kelihatan baik. Lake pernah begitu
tertipu dengan penampilannya, sampai suatu kali ia
dapati kesalahan pada laporan bulanan.
―Pak, maaf, saya yakin saya bekerja-penuh pada
proyek ini dan tidak mengambil cuti,‖ Lake protes.
Mandor itu hanya meliriknya sebentar, lalu
menghapus namanya. Sejak itu Lake bersikap hati- hati
kepada mandor ini. Lake tahu, posisinya saat ini banyak
direbutkan orang-lain, dan mungkin saja mandor ini
sudah mendapat salam tempel dari pesaingnya. Mandor
itu ingin menyingkirkan Lake. Lake harus curiga penuh
sekarang, karena kalau cara-cara licik sudah tidak bisa
dilakukan, mungkin kecelakaan kerja dan kematian bisa
membuatnya menghilang lebih cepat.
Kepalanya berdenyut semakin keras. Lake
mungkin baru bisa kembali bekerja besok. Ia menarik
selimut menyelimuti tubuhnya sampai kepala, lalu
berusaha memejamkan mata.
Dalam mimpi, ia bertemu dengan sang bidan.
Bidan yang membantunya dilahirkan. Bidan yang

383 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 384

tersenyum di tengah malam ketika ia muncul ke dunia.


Bidan yang begitu lembut, begitu didambakan. Bidan
yang mengharapkan kehidupannya.
Bidan itu memberinya sebuah pakaian bayi baru
untuk dikenakan sampai di rumah. ―Apakah harus
dikembalikan?‖ Tanya ayahnya dengan suara getir.
―Tidak perlu, pak,‖ kata sang bidan yang cantik―
―Ini supaya Lake bisa hidup lebih lama.‖
Ayahnya menitikkan air mata. Lake kecil juga,
walau tidak ada yang menyadarinya. Bidan itu
mengeluarkannya dari dalam inkubator dan
mengecupnya dengan lembut.
―Sehat-sehat, Lake, jadilah manusia hebat,‖
gumam bidan itu kepadanya. Lake menggeliat dalam
tidur. Ia tidak mau bangun. Tidak, tidak, ia tidak mau
bangun! Tidak ketika ia baru saja bertemu dengan
seseorang yang begitu mengharapkan kehidupannya.
Hari sudah sore ketika Lake terbangun.
Sepertinya ia tidur terlalu lama. Ia rasakan badannya
sudah kembali normal, menggigilnya sudah hilang, dan
demamnya sudah mulai turun. Apakah ada penyakit yang
memang hanya kambuh di pagi hari? Sudah dua hari ia
kena demam tinggi sampai tidak bisa bekerja. Tapi
anehnya, demam itu selalu reda menjelang sore!
Lake berniat mencari udara segar. Ia keluar
kamar, bertemu dengan istrinya yang sedang menonton
sinetron entah-apa, dan berpamitan keluar. ―Hanya
jalan-jalan sore,‖ ucap Lake ketika Dara mulai cerewet
tentang suhu tubuhnya yang baru turun.
Pekerjaan proyek bukanlah pekerjaan yang
mudah. Setiap pekerjanya beresiko kehilangan nyawa
setiap hari, dengan penyebab yang seringkali begitu
cepat dideklamasi: kecelakaan kerja. Pengadilan tidak
pernah memperhatikan variabel kecemburuan sosial,
permasalahan rumah- tangga, persaingan antar-rekan,
dan buruknya pembagian jatah makan siang sebagai
penyebab kematian tersebut. Itulah kenapa penting
bagi orang-orang seperti Lake untuk mempersenjatai
dirinya sendiri. Di balik baju yang lusuh dan keringat
yang bau matahari, otot- ototnya liat akibat kerja-
keras. Staminanya tak mudah setelah bekerja seharian.
Kulitnya legam, tapi kekar dan padat. Penghasilannya
juga, tentu saja, lumayan untuk membayar asuransi
bulanan.
Lake sengaja berjalan kaki untuk melatih lagi
otot-ototnya yang kendor. Ia tidak mau sakit lagi besok
saat datang ke proyek. Istrinya pasti juga sudah marah-
marah, takut gaji dipotong di akhir bulan.
Di persimpangan jalan ia berbelok ke kanan. Ia
ingin menjauh dari kebisingan rumah berisi mertua dan
istrinya. Ia belok lagi ke kanan, hampir terserempet
motor, lalu memutuskan belok ke kiri. Ia sampai di
gerbang kompleks perumahannya.
Bagaimana kalau aku bertetangga dengan
pembunuh bayaran? Pikiran itu muncul di benak Lake
ketika ia melihat sebuah rumah besar berpagar tinggi
menjulang di seberang sana. Penghuninya sangat jarang
kelihatan. Tapi, mobil mereka selalu keluar-masuk
setiap subuh dan petang. Mereka pasti orang sibuk.
Atau bisa saja mereka penjual organ dalam di pasar
ilegal. Rumah semewah itu tentu tidak bisa dibangun
oleh pekerja proyek bergaji ecek-ecek sepertinya. Lake
tidak bisa membayangkan kalau khayalannya adalah

385 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 386

kenyataan. Kalau begitu, semakin banyak saja orang


yang mengharapkan kematianku!
Lake teringat akan mimpinya tadi siang. Lebih
tepatnya bukan mimpi, tapi kilas balik. Kenangan akan
bidan yang lembut itu terpatri di kepalanya sejak kecil.
Ia suka mendapatkan mimpi yang sama ketika sedang
merasa sedih. Apakah tadi siang ia merasa sedih? Ya
dan tidak. Ya, karena istrinya tidak mengharapkan
keberadaannya lagi. Dan tidak, karena ia sebetulnya
sudah biasa. Begitu banyak orang yang terang-terangan
menginginkannya mati. Pertama istrinya, lalu mertuanya,
lalu mandor proyeknya. Dan mungkin juga orang-orang
yang tidak Lake kenal, yang akan mendapat keuntungan
dari kematiannya: pesaingnya di proyek, penjual organ
dalam ilegal, pembuat peti mati, dan pemilik rumah
duka.
Hanya bidan itu yang begitu menginginkannya
hidup. Bidan yang begitu lembut!
Lake sampai di rumah dengan baju yang sudah
basah oleh keringat. Istrinya mengomel lagi. Ia bicara
tentang sulitnya mencuci, kerja-kerasnya yang tidak
dihargai, Lake yang tidak tahu diri, sampai amarah
mertuanya karena tidak lekas punya cucu. Lake naik
darah.
―Apa urusannya, Dara, bajuku penuh keringat
dengan cucu?!‖
―Ah, selalu saja tidak mau mengalah! Mati saja
kau sana!‖
Mungkin kalau Lake mati, Dara bisa segera
kawin lagi. Mertuanya bisa mendapatkan cucu.
Pemikiran itu membuat Lake meradang.
―Pernahkah kau berpikir, Dara, berpikir
sepertiku untuk sebentar saja? Aku tidak mau punya
anak yang hidup hanya untuk dibenci dan mati.
Menghabiskan bermiliar-miliar untuk menyokongnya
hidup, sementara di sekitarnya orang-orang tak sabar
menanti kuburnya digali. Aku tak mau membesarkan
anak yang berniat bunuh diri. Aku tidak mau punya anak
yang sepertiku! Untuk apa kita punya anak, Dara? Untuk
kau benci sampai mati? Untuk ibumu maki- maki?!‖
―Lalu untuk apa kita menikah!?‖ Dara balas
berteriak.
―Karena laki-laki bodoh itu butuh pembantu!‖
Mertuanya balas berteriak dari jauh.
Lake menghembuskan nafas kasar. Persetanlah!
Rumahnya ini dijajah oleh dua betina cerewet yang
kebetulan ia nikahi dulu. Berisik, bermulut besar,
cerewet! Lake menutup tubuhnya dengan selimut sampai
ke kepala. Kepalanya bising. Lake teringat lagi pada
bidan itu, bidan yang begitu lembut dan begitu ia
dambakan. Bidan itulah satu-satunya orang yang begitu
mengharapkan kehidupannya. Ia berharap, malam ini ia
mendapat mimpi yang sama dengan tadi siang.
***

Perjalanan ke proyek akan masuk dalam daftar


hal-hal yang paling ia benci seumur hidup. Berjejalan
dalam angkot yang panas, menunggu angkot itu ngetem
yang rasanya seperti berjam-jam, dan harus menahan
bau apek keringat penumpang lain yang berjejalan di
kiri- kanannya.

387 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 388

Ia bisa melihat RSB THB dari sini. Rumah sakit


bersalin itu adalah satu-satunya di kawasan Taman
Harapan Baru. Dulu, kata ayahnya, ia dilahirkan disini.
Ibunya mengalami kontraksi jam sepuluh malam, dan
mereka berdua menumpang angkot untuk sampai ke
rumah sakit. Lake lahir di tengah malam, dibantu
seorang bidan sampai kini masih sering ia mimpikan.
Bidan itu begitu lembut, begitu ia dambakan.
Waktu itu, kelahiran Lake adalah sebuah
keajaiban.
Ia sudah digugurkan berkali-kali selama
sembilan bulan. Ibunya meminum jamu aneh-aneh di
bulan-bulan awal kehamilannya agar janin itu tidak
berkembang jadi bayi. Tapi Lake bertahan hidup.
Ibunya mengurut perutnya, melompat-lompat,
berpuasa, bahkan bekerja berat seharian, hanya demi
menggugurkan bayinya dengan cara yang tidak-terlalu-
berdosa. Dukun beranak kedengaran terlalu seram. Dan
ayahnya tidak berbuat apa-apa. Saat itu masa sedang
susah. Ayahnya tidak punya pekerjaan. Ekonomi negara
sedang berantakan dan tidak banyak orang yang mau
meminjamkan uang. Mereka berusaha menunda
kehamilan, tapi entah bagaimana, mereka kecolongan.
Dan hasilnya adalah Lake, seorang bayi kuat yang
bertahan hidup sampai sekarang. Walaupun ibunya
harus meninggalkan ia ke Surga.
Ia menambahkan nama ayah dan ibunya ke
dalam daftar orang-orang yang mengharapkannya mati.
Angkot berjalan lagi. Beberapa penumpang lain
tampak mengisi tempat duduk di hadapannya, tapi tidak
ada yang duduk di sebelahnya. Mungkinkah Lake
terlihat seperti seorang copet?
Khayalan akan bidan itu masih memenuhi
kepalanya. Bidan yang begitu lembut, begitu ia
dambakan. Bidan yang suka main ke rumah memberi
Lake makanan dan hadiah-hadiah. Bidan itu
memperhatikan gizinya, keamanannya, dan jadwal
imunisasinya. Bidan itu mungkin saja menyusuinya! Lake
rindu sekali! Belum pernah ada manusia yang begitu
mengharapkan kehidupannya seperti bidan itu. Lake
berandai-andai, bagaimana jika ia bertemu dengan
bidan itu lagi?
―Simpang tiga, simpang tiga!‖ Ucap supir angkot.
Buyar sudah lamunan Lake tentang bidannya itu.
―Kiri, bang!‖
Angkot berhenti di bahu jalan. Di depan ada
persimpangan tiga, dan dengan sedikit jalan kaki, Lake
bisa langsung sampai ke tempat proyeknya. Bagaimana
mengakhiri bagian ini? Oh ya, dengan tiga tanda
bintang. Sampai jumpa.
***

Langit sudah gelap saat Lake masih harus


menunggu angkotnya ngetem. Dalam hati ia gusar, tapi
apa boleh buat? Ia sendiri yang memilih naik angkot
kemana-mana agar tidak perlu sibuk menservis motor.

389 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 390

Mahal! Angkot bisa membawanya pergi keliling kota


hanya dengan beberapa ribu rupiah.
Walaupun begitu, banyak orang tidak suka naik
angkot karena alasan-alasan sepele seperti tidak ada AC
dan rawan copet. Lake yakin mereka sebetulnya takut
duduk berhimpitan dengan orang yang tidak mereka
kenal. Ia mengerti perasaan itu: bisa saja orang yang
duduk disebelahmu adalah orang lain yang
mengharapkan kematianmu! Orang-orang sekitar sini
akhirnya memenuhi jalan yang tidak seberapa luas
dengan kendaraan-kendaraan pribadi kreditan.
Berkendara sendiri, menumpang sendiri, terjebak
macet sendiri.
Apakah bidan yang begitu ia dambakan akan
naik angkot atau motor kreditan?
Ah, bidan itu lagi. Lake menggeleng, berusaha
kembali kepada kenyataan. Di dalam angkot ini, orang-
orang yang masuk mungkin menginginkan kematiannya.
Mereka bisa saja copet, pembunuh, atau penjual organ
dalam ilegal seperti tetangganya. Lake tidak boleh
lengah. Ia juga akan bertemu istri dan mertuanya
beberapa saat lagi, dan mereka berdua jelas-jelas tidak
sabar menantikan kematiannya. Untung saja besok ia
tidak usah pergi ke proyek. Pekerjaan sudah hampir
selesai.
―COPET! COPET!‖ Teriakan terdengar dari
sebelah kanannya. Lake menoleh. Dari jendela ia
melihat seorang wanita beradu-tarik dengan laki-laki
bertubuh cebol dan gemuk. Tas wanita itu berhasil
diambilnya. Copet itu berlari dengan kencang, kencang
sekali, menyusuri trotoar dan menghilang ke dalam
gang-gang kampung. Sudah tidak mungkin dikejar. Gang
kampung itu begitu rumit dan tidak tertata, dan bisa
saja ada orang-orang yang sudah bersekongkol untuk
menyembunyikannya di sana. Lake mengira-ngira apa isi
tas wanita itu. Apakah hanya uang? Apakah ada barang
berharga?
Angkot yang masih ngetem membuat Lake
memutuskan turun. ―Ibu, tidak apa-apa?‖
―Mata lu tuh gapapa!‖ Balasnya sinis. Wanita itu
kemudian mengeluarkan telepon seluler dari saku
celananya dan mulai menghubungi sebuah nomor.
Tapi Lake tahu, mata wanita itu tidak berhenti
melirik dirinya. ―Ibu, ada yang bisa saya bantu? Apa ibu
ada ongkos?‖ Lake berusaha bicara dengan lembut.
―Gak usah sok perhatian deh, lu, kayak gue ga
tahu modus-modusnya aja!‖ Jawab wanita itu. Ia
kemudian berlari kepayahan menjauhi Lake. Dalam hati,
Lake menyesal mengetahui kalau wanita itu membuat
perhitungan yang buruk. Berlari ke arah sana berarti
menjauhi keramaian dan mendekati gang kampung yang
berbahaya. Wanita itu juga sekarang menunjukkan
telepon selulernya. Bisa saja pencopet tadi melakukan
serangan kedua dan kali ini tidak ada keramaian yang
akan menghentikannya.

391 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 392

Lake kembali naik ke angkot. Tempat duduknya


tadi sudah diisi orang-lain, dan hanya tersisa sebuah
tempat sempit di dekat pintu untuknya duduk. Angkot
perlahan-lahan berjalan kembali. Lake membayangkan
apa yang akan ia lakukan kalau salah-satu dari
penumpang angkot ini adalah bidannya dulu.
Ia sebetulnya tidak bisa memastikan bagaimana
wajah dan rupa sang bidan. Sudah bertahun- tahun
lewat sejak terakhir kali ia pergi ke sana dengan
ayahnya. Ini menyebabkan kerinduannya tidak
terlampiaskan. Ayahnya mungkin bisa mengingat
sesuatu, tapi di tahun-tahun terakhir hidupnya sang
ayah terkena penyakit pikun dan tidak bisa lagi diajak
bicara. Lake hanya mengumpulkan kenangan-kenangan
tentang bidan itu dari mimpi-mimpinya, mimpi yang aneh
karena anak bayi seharusnya tidak bisa mengingat hal
dengan spesifik.
Tapi buktinya, Lake bisa. Ia yakin hal ini
disebabkan oleh kesadaran kalau hanya bidan itu
sajalah yang menghendaki kehidupannya. Kalau sewaktu-
waktu mereka bertemu, Lake yakin bidan itu akan
menguarkan kelembutan yang sama. Ia akan bisa
merasakannya, karena di balik tubuh yang kekar dan
berotot, ada bagian diri manusia yang butuh dipuaskan
oleh kasih dan kelembutan. Bidan itu, walaupun hanya
dalam mimpi, selalu membawa pengharapan akan
kehidupan. Lake berhasil mencapai usia tiga puluh tahun
karena ia tahu bidan itu menghendakinya hidup. Ia
harus bertemu dengan bidan itu. Ia harus!
Angkot berhenti di depan kompleknya. Lake dan
beberapa orang lain turun. Mereka menuju arah yang
berbeda-beda, dan Lake dengan yakin berjalan lurus ke
depan. Ia mengambil belokan ke kiri, lalu ke kiri lagi,
dan ke kanan. Udara malam yang dingin membuatnya
mengantuk. Sampai di rumah, tidak ada hal lain yang
begitu Lake ingin lakukan selain tidur dan bermimpi
tentang bidan yang lembut itu.
Televisi masih menyala. Istrinya ketiduran lagi.
Lake mematikan televisi itu, menikmati kesunyian yang
datang setelahnya, lalu mengecup dahi istrinya, lembut.
―Selamat tidur, Dar,‖ ucapnya perlahan. Semoga kau
jadi lembut ketika bangun nanti.

***

Lake bermimpi mengecup bidannya dengan


lembut kemarin malam. Seperti ia mengecup istrinya.
Dan mereka bercakap-cakap, dengan lembut tentunya.
Seperti saat Lake bicara dengan wanita yang kecopetan.
Dan bidan itu bertanya tentang kesehatannya, seperti
dulu kala, apakah ia masih sering demam kalau
kecapekan.
―Bayi yang lahir prematur memang memiliki fisik
yang lemah,‖ begitu kata bidan itu di mimpinya. Mungkin
ucapan ini berasal dari kenangan bawah sadarnya, tapi

393 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 394

Lake tidak peduli. Ia suka sekali karena bidan itu tidak


menggampangkan demamnya.
―Tapi, tapi, sebetulnya aku ini kuat. Aku
bekerja di proyek. Kau bisa liat ini, otot-ototku yang
liat?‖
―Imunisasimu harus lengkap, gizimu harus
seimbang. Susu yang kamu minum tidak boleh
sembarangan, supaya saat besar nanti kamu tidak
mudah kecapaian. Banyak-banyak berjemur dan
olahraga. Pakailah pakaian ini, tidak usah dikembalikan,
agar kamu bisa hidup lebih lama.‖ Lalu bidan itu
mengecup keningnya, mengeluarkannya dari inkubator.
Lake bisa melihat wajah ayahnya yang penuh air mata.
―Sehat-sehat, Lake, jadilah manusia hebat,‖
kata bidan itu untuk terakhir kalinya, karena setelah itu
istrinya berteriak membangunkannya dari alam mimpi.
―LAKE! Kalau kau tidak ke proyek lagi hari ini,
mandor itu akan membunuhmu!‖
Lake terbata-bata bangun dan mandi. Ia
meminum kopi yang sudah istrinya seduh. Mulutnya
terkunci rapat, malas menanggapi kalau-kalau
mertuanya itu sudah bangun. Ternyata kecupan
semalam tidak bisa membuat istrinya jadi lebih lembut.
Ia berpamitan dengan perempuan yang sedang sibuk
memasak itu, lalu mengambil belokan ke kanan, kanan
lagi, dan lalu ke kiri.
Pekerjaan proyek sudah hampir selesai. Ia
seharusnya tidak perlu ke sana. Tapi, karena sudah
keburu keluar rumah, Lake naik ke salah-satu angkot
yang sedang ngetem. Di dalamnya baru ada dua
penumpang lain yang sama-sama menunggu angkot penuh
untuk melanjutkan perjalanan.
Ia bisa melihat RSB THB dari sini. Kalau-kalau
bangunan itu kelak direnovasi, Lake akan jadi pekerja
proyek pertama yang mendaftarkan diri. Ia akan
bekerja dengan keringat bercucuran disaksikan oleh
para bidan yang lembut. Mungkin salah-satu dari mereka
adalah bidannya. Ya! Bidannya pasti ada di rumah sakit
bersalin itu!
Lake turun dari angkot dan menyebrang. Rasa
panik di dadanya ia tekan. Kenapa harus takut ditolak?
Kalau ia berhasil bertemu bidannya, penantiannya
selesai sudah. Ia akan mengucapkan beribu terima-kasih
karena sudah memberikannya harapan. Ia
seseungguhnya hidup oleh imunisasi, gizi, susu, dan
pakaian yang diberikan bidan itu. Bidan itu adalah
malaikatnya! Dan Lake, setelah hidup bertahun-tahun
menjadi pekerja proyek, sudah menjadi pria yang kuat
lagi cekatan. Bidan yang lembut itu akan menginginkan
kekuatan seperti yang ada dalam diri Lake. Ia hanya
perlu bersikap tenang.
―Saya ingin bertemu dengan bidan,‖ kata Lake
lembut pada seorang yang menyambutnya di halaman
depan.
―Ada perlu apa, pak?‖ Suster itu menjawab.
Pandangannya menyelidik. Ia sepertinya tidak percaya

395 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 396

pada Lake. Mungkin ia mengira Lake adalah copet yang


menyamar.
―Tidak apa-apa, hanya kepentingan pribadi.‖
Suster itu menaikkan alisnya. Uh, wanita
sombong begini pasti bukan bidan. ―Maaf pak, harus ada
bayi. Atau minimal janin. Apakah istri bapak sedang
hamil? Bapak bisa membawanya kemari untuk menemui
bidan.‖
―Istri saya tidak hamil. Saya juga tidak
mempunyai bayi,‖ kali ini Lake berusaha menjawab
dengan lebih lembut. ―Tapi saya ada perlu!‖
―Kalau begitu bapak tidak perlu bertemu bidan.
Apakah bapak ada keluhan sakit?‖ Suster itu bertanya
lagi.
―Tidak bisakah saya bertemu bidan?‖
―Maaf, pak, bidan hanya menangani persalinan
dan bayi.‖ Ini keputusan final yang diambil si wanita
sombong. Ia kembali menaikkan alisnya, seakan
mengusir Lake keluar dari tempat kekuasaannya.
Lake tidak banyak membantah. Ia keluar dari
rumah sakit itu dan kembali menyeberang jalan.
Bagaimana ini? Kenapa harus ada bayi untuk bertemu
dengan bidan?
Kepalanya penuh. Ia berjalan terus, dengan
otomatis mengambil belokan ke kiri, lalu ke kiri lagi, dan
ke kanan. Rumahnya sepi. Mungkin istrinya sedang
memasak dan tidak menyalakan televisi. Mertuanya
pasti masih tidur di kamar. Lake hanya pergi sebentar
tadi.
Ternyata Lake salah. Begitu ia masuk,
mertuanya sedang duduk makan di ruang depan. Ia
terkejut melihat Lake kembali selekas ini. ―Bajingan,
tukang tidur, pemalas,‖ ia menggerutu sambil masuk ke
kamar. Tidakkah ia takut pada ajal yang semakin dekat?
Lake mencari istrinya ke dapur. Tidak ada. Lake
mengetuk pintu kamar mandi. Kosong. Dimana istrinya?
Lake kembali ke ruang depan, siapa tahu istrinya
ternyata ada di sana. Tidak ada juga.
Dimana istrinya?
Lake masuk ke kamar. Mungkin istrinya sedang
pergi, dan mertuanya tadi malas memberitahunya.
Ternyata istrinya ada di kamar. Tertidur di
ranjang yang selama ini Lake klaim sendiri, memeluk
guling yang biasa Lake peluk, dan menutupi tubuh
dengan selimut sampai kepala. Begitu mirip Lake! Ia
mengecup kening istrinya lembut.
Dara membuka mata. ―Lake?!‖
Lake tersenyum dan berbisik. ―Aku ingin anak
perempuan.‖
―Hah?‖ Istrinya terkejut. Kedua matanya
melotot. Lake mengecup kening istrinya lagi dan
menegaskan perkataannya.
―Dara, aku ingin anak perempuan.‖
―Kenapa kau tiba-tiba begini? Kau kerasukan
setan, ya?! Hei, kenapa pula kau tidak berangkat ke

397 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 398

proyek? Nanti mandormu yang tua bangka itu


bertingkah, tidak mau memberikan uang bulanan…‖
―Aku. Ingin. Anak. Perempuan,‖ Lake berseru
tertahan. Ia mengecup kening istrinya lagi. ―Dan kalau
kau hamil, akan kuantar kau pergi ke bidan.‖
399 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 400

Wishaka
Karya : Tita Nurhayati

Aku tersentak begitu seseorang menabrakku


dari belakang. Ketika berbalik, kudapati seorang anak
laki-laki terduduk sambil mengaduh. Aku berjongkok
kemudian mengulurkan tangan.
"Kau baik-baik saja kan?" tanyaku. Anak laki-
laki itu mengangguk pelan.
"Baiklah. Lain kali hati-hati," Aku berbalik,
kembali masuk ke dalam Mall. Berbelanja kebutuhan
bulanan yang kadang sulit di prediksi kedatangannya.
Baru saja aku memasukkan beberapa barang ke
dalam troli ketika seorang anak berdiri di sampingku.
Aku mengurut dada, kaget.
"Ya Tuhan! Apa yang kau lakukan?" Dia adalah
anak yang sama yang menabrakku di luar Mall.
"Dimana orang tuamu? Mereka pasti khawatir
sekarang," Aku menoleh ke sekeliling. Tidak ada
siapapun disana kecuali kami berdua.
"Mereka tidak menginginkanku," lirihnya pelan.
Matanya tak lepas memandang wajahku membuat
setitik perasaan aneh dalam diriku.
"Mana ada orang tua yang tidak menginginkan
anaknya?" ujarku sedikit tersulut emosi. Tapi setelah
mengatakan itu, aku seolah tertampar kenyataan.
Aku mengerjap beberapa kali. Berusaha
meredam perasaan entahlah dari dalam sini. Tanpa ku
sadari, anak itu menghilang begitu saja. Demi apapun,
ini terasa begitu janggal.
Berusaha untuk tidak terlalu peduli, aku kembali
menggiring troli menuju kasir. Setelah membayar lekas
pulang untuk menyiapkan makan siang.
Aku kembali tersentak begitu menginjakkan
kaki di depan rumah. Anak itu duduk manis di teras
rumah dengan setangkai mawar putih. Tersenyum lebar
menyambut kedatanganku.
"Hei, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyaku
bingung. Dia beranjak dari sana, memberikan bunganya
padaku.
"Untuk ibu," katanya. Membuatku mengernyit
semakin bingung. Siapa yang dia maksud ibu?
"Sebaiknya kau pulang sebelum semuanya
menuduhku penculik," Aku meraih pergelangan
tangannya, menuntunnya keluar dari gerbang. Tapi anak
itu begitu gesit. Dia berlari masuk ke dalam rumahku.
"Hei! Kau ingin aku mati huh?!" bentakku
membuat anak itu kembali menuruni tangga. Berjalan
menunduk menghampiriku dengan mata berembun.
"Aku ingin tetap hidup, Ibu," cicitnya
membuatku seolah terkoyak. Aku menutup mata
merasakan perasaan aneh itu yang kembali meradang.
"Siapa yang kau bilang ibu? Aku bahkan masih
mahasiswa,"
Untuk ke sekian kalinya di hari yang cerah ini
aku merasa kaget. Ketika membuka mata, anak itu
sudah menghilang begitu saja tanpa jejak.
Aku mengedarkan pandangan. Berusaha
melihatnya di sekeliling. Tapi nihil, dia benar-benar
menghilang.
"Aku bahkan belum tahu siapa namamu ketika
kau mengganggu tenangku di hari libur seperti ini,"

401 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 402

***

Dari kemarin aku benar-benar mengalami


kesialan. Lihatlah sekarang, aku terlambat setengah
jam dari biasanya. Dosen di kelasku yang tepat waktu
itu tidak mengizinkanku masuk sama sekali.
Lalu disinilah aku sekarang. Mengganjal perut
dengan sepiring batagor di kantin kampus. Bahkan aku
melupakan sarapanku. Semuanya karena anak itu.
Menyebalkan!
"Ta?" Seseorang duduk di sampingku
membuatku menoleh. Gavin, pacarku itu menaikkan
sebelah alisnya melihat raut wajahku.
"Pagi-pagi sudah cemberut. Ada masalah apa?"
tanya nya.
"Aku baik-baik saja," Aku kembali menyuap
batagor yang hanya tersisa satu sendok dengan malas.
"Sepertinya tidak begitu. Kenapa? Di keluarkan
dari kelas, ya?" tebak Gavin tepat sasaran. Aku
menghembuskan napas kasar.
"Aku tidak menyukai anak itu," adu ku padanya.
Gavin tercengang, dengan segera menutup mulutku. Aku
melepaskan bekapannya karena tidak bisa bernapas.
"What's wrong with you?" desis ku sambil terus
mengusap mulut.
"Kau ini, kalau ada yang dengar bisa gawat.
Bukankah sudah ku bilang untuk menggugurkan
kandunganmu," bisiknya penuh penekanan. Aku terdiam
menahan emosi yang seketika meluap sampai ubun-ubun.
"Dengar ya, Tuan Gavin! Bukankah kau sendiri
yang mencekoki ku dengan obat sehingga bayi malang
itu luruh begitu saja. Kau yang sudah membunuhnya,
sayang!" bisikku yang masih sanggup terdengar dua atau
tiga orang di belakang kami.
Untungnya saat ini kantin masih sepi.
Gavin terdiam begitu saja. Aku geram bukan
main. Laki-laki macam apa yang tidak mau bertanggung
jawab setelah menodai gadis perawan sepertiku. Meraih
tas di atas meja, aku beranjak dari sana.
"Kita putus! Aku tidak mau hidup bersama orang
sepertimu,"
Bahkan setelah aku mengatakan itu, dia tidak
menyahut barang satu kata pun. Benar- benar!
Aku pulang ke rumah setelah menyelesaikan
satu mata kuliah. Menghempaskan tubuhku di atas
tempat tidur, aku memijat kening. Semuanya seperti
efek domino. Entah kesialan apa lagi yang akan
menghampiriku.
Trang!!!
Suara barang jatuh dari lantai bawah
membuatku terlonjak. Lekas keluar dari kamar, berlari
menuruni tangga. Kenapa lagi ini?!
"Aku lapar," Anak laki-laki itu berdiri di depan
pantry. Panci penggorengan, gelas dan piring tergeletak
di atas lantai.

403 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 404

Aku mengacak rambut frustasi. Bisakah


kesialan ini berhenti barang sejenak?
"Apa yang kau lakukan? Kenapa masih ada di
rumahku? Bukankah sudah ku bilang untuk kembali ke
rumahmu," Aku berjongkok membersihkan pecahan
gelas dan piring yang berserakan di bawah sana. Anak
itu diam, terus menggenggam tangannya.
"Jangan diam saja. Menjauh sedikit atau kau
akan terluka karena serpihan kaca ini," Dia menggeser
tubuhnya menjauh. Aku mendengus, masih mengambil
serpihan kaca dengan hati-hati.
"Apa yang mau kau makan?" tanyaku setelah
membuang pecahan kaca ke dalam tempat sampah.
"Bubur jagung dan susu," jawabannya. Aku
mengulang perkataannya sambil mengambil beberapa
bahan dari kulkas.
"Hei itu makanan yang selalu aku makan saat
ham...," Aku membeku di depan kulkas dengan sekotak
susu di tanganku. Bagaimana mungkin dia? Ah mungkin
hanya kebetulan.
"Susu rasa apa?" tanyaku sedikit penasaran.
Lebih tepatnya memastikan.
"Cokelat," jawabnya lancar. Aku berbalik
menatapnya yang sudah duduk di meja makan. Dia
memainkan jarinya membentuk lingkaran di atas meja.
Aku kembali tersentak, itu adalah kebiasaanku setiap
menunggu makanan.
Aku menghampirinya dengan tubuh gemetar.
Sekotak susu cokelat masih berada di tanganku.
Mengambil tempat duduk di depannya, lantas mulai
bertanya sesuatu.
"Kau? Siapa sebenarnya?" tanyaku sedikit
takut. Tidak mungkin jika anak kecil di hadapanku ini
adalah sesosok makhluk tak kasat mata.
Dia menatapku bingung. Turun dari kursinya dan
menghampiriku. Aku membulatkan mata saat tangan
mungilnya menyentuh perutku.
"Rumahku disini," katanya membuatku kaget
bukan main. Aku berlari susah payah, masuk ke dalam
kamar dan mengunci pintu.
"Tidak mungkin! Bayiku baru empat bulan, dia
tidak sebesar itu," Aku beringsut menenggelamkan
tubuhku di balik selimut. Lelucon macam apa itu?!

***

Hari sudah gelap saat aku membuka mata.


Jendela kamar masih terbuka mengantarkan semilir
angin. Aku menyibak selimut. Perasaan seperti ini
seolah aku sudah beberapa kali mengalaminya.
Dejavu.
"Tunggu, pintu kulkas masih terbuka!"
Lagi, aku berlari menuruni tangga. Satu minggu
seperti ini aku pastikan berat badanku akan turun
drastis.

405 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 406

Dengan napas terengah-engah aku menatap


kulkas dari pintu dapur. "Sudah tertutup. Bagaimana
bisa?" gumamku berjalan menghampiri benda dua pintu
itu. Di meja makan, susu kotak rasa cokelat masih
tergeletak dengan posisi yang sama saat aku
meninggalkannya terakhir kali. Sementara anak itu
menghilang seperti biasa.
Aku mengambil minuman dingin dari dalam
kulkas. Meneguknya sambil bersandar pada pinggir
pantry.
"Ibu, aku haus,"
"Uhukk uhukk!"
Shit!
Aku meletakkan botol minuman di atas meja
pantry. Menimbulkan suara keras yang membuat anak
itu terlonjak kaget.
"Kenapa selalu datang tiba-tiba?" tanyaku
gemas. Ingin rasanya menggigit makhluk satu ini.
"Aku haus," rengeknya. Aku mengembuskan
napas pasrah. Mungkin sedikit lebih terbiasa dengan
kehadirannya.
"Minumlah," Aku menyodorkan segelas air putih
padanya. Tak lama dia meneguknya hingga tandas.
Begitu hauskah dia?
"Siapa namamu?" tanyaku masih di posisi
semula. Dia memberikan gelas kosongnya padaku.
"Kau tidak memberiku nama," jawabnya sambil
menyeka sisa air di sudut bibir mungilnya.
Aku tertohok, menelan ludah susah payah.
"Bicaramu seperti orang dewasa saja,"
"Ah aku tahu. Namamu Wishaka. Karena
bicaramu seperti orang dewasa," lanjutku sambil
membungkukkan badan.
"Buruk sekali," cibirnya. "Apa boleh buat,"
lanjutnya. Aku mendengus.
"Itu lebih baik daripada tidak kuberi nama,"
"Mulai sekarang aku memanggilmu Shaka," Aku
berjalan meninggalkannya, kembali ke kamar berhubung
sudah malam.
"Jadi, siapa ayahku?" Shaka sudah berdiri
tepat di hadapanku, di tangga kedua dari bawah. Aku
mengelus dada pelan.
Sabar Ananta! Sabar!
"Aku tidak bisa menjawabnya,"
"Kenapa?"
"Bukan urusanmu,"
"Jangan ikuti aku ke kamar!" Aku mengacungkan
jari telunjuk. Berjalan menaiki anak tangga dengan
kantuk yang kembali menyerang. Padahal baru saja
bangun.
Pagi harinya aku terbangun dengan suhu tubuh
tinggi. Untuk beranjak dari tempat tidur saja tidak
bisa. Tanganku menggapai atas nakas. Mencari

407 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 408

keberadaan ponsel untuk menghubungi Ellen. Temanku


di kampus.
"Hallo," sapa Ellen dari sambungan telpon.
"Ell, bisa kau izinkan aku hari ini? Aku tidak
enak badan," ujarku lemas. Bahkan mataku masih tak
bisa terbuka sepenuhnya.
"Kau sakit apa, Ta?" tanya Ellen cemas.
"Hanya demam,"
"Aku akan ke rumahmu sekarang," katanya.
"Tidak usah. Aku hanya perlu istirahat. Kau
izinkan saja pada dosen nanti,"
"Kau yakin?"
"Iya," Aku menarik ujung selimut.
Menutupkannya sampai ke leher. "Thanks ya, Ell,"
pungkas ku sebelum menutup sambungan telepon.
Suara cacing di perut menghentikanku saat
akan kembali terlelap. Malas, aku menyingkap selimut
lalu turun dari atas kasur dengan tubuh menggigil.
"Shaka?" Aku memanggil anak itu saat ku
dengar suara dari dapur. Aku sendiri tidak mengerti
makhluk seperti apa dia. Jika dia hanya roh anakku
mungkin dia tidak butuh makan. Tapi dia tidak begitu.
Di atas meja pantry yang hanya sebatas
dadanya, semangkok bubur jagung dan susu cokelat
hangat mengepulkan asap.
Aku mengernyit, membawa tubuhku untuk
duduk di depannya. "Siapa yang membuat ini?" tanyaku
lemas.
"Untuk ibu," katanya tanpa menjawab
pertanyaanku. Aku meraih gelas susu yang masih panas.
Meniupnya seraya terus menatap Shaka, heran.
"Thanks,"
"Kau tidak makan?" tanyaku setelah meminum
susu buatannya.
"Aku tidak bisa makan," jawabnya.
"Hei, lalu kenapa kau selalu memintaku
membuatkan makanan? Semalam kau bahkan minum
segelas air,"
"Aku hanya menghirupnya," katanya seolah itu
hal biasa. Sekarang aku yakin, dia bukan anakku.
"Seperti ini yang kau bilang menghirup?"
tanyaku sambil meminum susu. Dia mengangguk pelan.
"Makhluk seperti apa kau sebenarnya?"
gumamku sambil menyantap bubur jagung. Rasanya
tidak terlalu buruk, walau aku sendiri tidak tahu dia
mendapatkannya dari mana.
"Sebelum kau menghilang lagi, tolong ambilkan
koyo di laci ketiga lemari televisi,"
"Ini," Aku mengerjap saat hembusan angin
menerpa wajahku. Shaka datang dengan kotak P3K. Dia
meletakkan benda itu di depanku.

409 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 410

"Kau..?" Baru saja akan bertanya ketika tubuh


mungil itu menghilang seperti biasa. Aku berdecak
antara kesal dan sedikit kagum.
Tak lama sosoknya muncul kembali dengan
boneka besar yang biasa aku peluk saat tidur. "Aku
tidak menyukainya, Ibu.‖
Aku mengernyit dengan tangan menempelkan
koyo di pelipis. "Kenapa?" Shaka duduk di depanku,
memeluk boneka itu kasar.
"Hanya aku yang boleh ibu peluk," tandasnya
membuatku mendengus. Ada-ada saja.
"Kau kan...roh?" Aku sedikit penasaran apa yang
akan dia katakan. Walau dalam sosok ini umurnya
berkisar antara 6 atau 7 tahun, tapi bayiku baru
berumur 4 bulan 2 minggu.
"Memangnya kenapa?"
"Tidak bisa di sentuh," jawabku datar. Terlalu
lama duduk seperti ini membuat tubuhku lemas. Aku
turun dari atas kursi, berjalan gontai ke kamarku di
lantai dua. Shaka merengut di tempatnya.
"Tapi aku tidak begitu,"
Wush!
Aku terkesiap saat Shaka tiba-tiba muncul di
depanku. Menyentuh tepat hidungku dengan tubuh
melayang.
"Ya Tuhan!" pekik ku tak tertahankan. Aku
merasakannya, hawa dingin menjalar sampai ke ujung
kuku. Tangan mungil Shaka menempel di hidungku. Jika
di ingat lagi, saat pertama bertemu aku memang
memegang tangannya. Dia tidak seperti kebanyakan
hantu yang transparan dan berwajah seram.
"Benarkan? Aku bukan hantu, Ibu," katanya
sambil mendaratkan kakinya di depanku. Aku
menatapnya tanpa berkedip, jantungku masih berdetak
cepat sedang Shaka malah tersenyum lebar.
"Aku hampir mati karenamu," lirihku lemas.
Tanganku menggapai tembok di sisi tangga. Mengatur
napas susah payah lalu mengangkat satu kaki dan
melewati Shaka begitu saja. "Aku ingin tidur. Besok
harus kembali ke kampus,"
"Kampus itu apa?"
"Ya Tuhan," Aku menggeleng pasrah. Sudah, aku
menyerah. Mengurus anak seperti itu ternyata sangat
merepotkan. Bukan hanya kebiasaan ingin tahu segala
hal, tapi kebiasaan menghilang dan muncul secara tiba-
tiba nya yang membuatku mengurut dada.
"Biarkan aku sembuh dulu. Nanti akan aku jawab
semua pertanyaanmu itu,"
"Shaka ikut!" Dia berlari secepat kilat dan
berdiri di sampingku. Untuk jarak dua tangga
tampaknya terlalu berlebihan yang dia lakukan. Aku
hanya bisa menggeleng. Pasrah pada apa yang akan dia
lakukan.
***

411 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 412

Sudah seminggu Shaka tinggal bersamaku.


Mengingat kebiasaannya, sepertinya aku sudah
terbiasa. Lihat saja sekarang, ketika dia dengan
santainya tidur di pangkuanku.
Aku mengelus puncak kepalanya yang anehnya
sedikit lebih kusam dari pertama bertemu. Dia tertidur
lelap setelah mendengarkan dongeng dariku.
Ternyata menjadi ibu tidak terlalu buruk.
Harusnya aku tetap mempertahankan anak itu,
sekarang memang sudah terlambat.
Pelan, ku pindahkan Shaka ke atas tempat
tidur. Menarik selimut menutupi tubuhnya sampai dada.
Lalu ikut membaringkan tubuhku di sampingnya. Hari
yang melelahkan.
Aku merasakan sentuhan hangat di keningku.
Membuka mata perlahan sampai ku dapati tangan Shaka
menempel di sana.
"Kenapa?" tanyaku dengan suara khas bangun
tidur.
"Shaka mau pulang," katanya tersenyum lebar
menatapku. Entah kenapa perasaan tidak enak menjalar
di sekujur tubuhku. Aku mendudukkan diriku, menatap
wajah mungilnya dalam.
"Pulang?" tanyaku sambil mengucek mata. Dia
mengangguk. Perlahan tapi pasti aku melihat ujung
rambutnya memburam, pudar.
"Rambutmu?!" pekikku tertahan. Tangan Shaka
yang mulai transparan menggapai wajahku. Aku
meneteskan air mata saat kepanikan menguasai
pikiranku.
"Bagaimana ini? Ya Tuhan! Jangan pergi begitu
saja!" Aku menggenggam tangannya yang menempel di
pipiku. Berusaha mendekapnya erat.
"Shaka..,"
"Jangan pergi!" Aku mulai terisak.
"Sayang..,"
"Ku mohon!"
"Ibu,"
"Ku mohon!!"
Terlambat. Tubuh mungil Shaka menguap
menjadi butir-butir cahaya berpendar. Aku merengkuh
udara kosong seraya terus terisak.
"Shaka haus,"
"Ibu?"
"Boleh aku makan?"
"Shaka ingin di peluk,"
"Aku tidak menyukainya, Ibu,"
"Bacakan dongeng,"
"Kampus itu apa?"

413 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 414

"Ibu?"
Suara-suara Shaka memenuhi ruang
pendengaranku. Aku menangis sejadi-jadinya, meraung
memanggil anak itu. Tapi dia tidak mungkin kembali.
Aku terlambat. Jika saja aku tidak
menggugurkannya. Kehadiran Shaka selama ini,
mungkinkah semata-mata teguran untukku. Aku benar-
benar menyesal.
"Shaka!!"
***

Aku mengaduk makanan di hadapanku tak


bersemangat. Ellen memperhatikan tingkahku sedari
tadi. Terlihat pergerakan bibirnya yang sudah siap
menghujaniku dengan beberapa pertanyaan. Termasuk
alasan kenapa aku memutuskan Gavin waktu itu.
"Sudah dua hari kau seperti itu. Masalah apa
yang membuat sahabatku kehilangan separuh
nyawanya?" Ellen bertanya sambil menyuapkan
sesendok makanan ke mulutnya. Aku menggeleng,
meminum es lemon dengan sedotan.
"Kau tahu, Ta? Kau seperti mayat hidup
sekarang," katanya yang sama sekali tidak ku hiraukan.
Aku merindukan Shaka. Amat sangat
merindukannya. Biasanya di saat aku makan seperti ini
dia akan mengatakan..
"Boleh aku makan?"
"Shaka?!" Aku menoleh senang pada seseorang
di sampingku. Tapi kemudian perasaan kecewa
menyeruak saat tahu siapa yang duduk disana. Gavin.
Berdecak kesal aku mengambil tas, membayar
makanan yang tidak aku makan sedikitpun, lalu kembali
ke dalam kelas.
"Untuk apa kau kesini?" Samar aku mendengar
Ellen bertanya sinis padanya sebelum aku benar-benar
pergi dari sana.
Selang 10 menit, dosen masuk disusul Ellen di
belakangnya. Dia mengambil satu kursi di sampingku.
Mengeluarkan catatannya dan mulai mendengarkan.
Aku hanya mendengus. Di saat berusaha untuk
fokus pada materi. Sosok Shaka tampak berdiri
melambai padaku di pintu masuk. Aku hendak keluar
ketika tangan Ellen mencekalku.
"Kemana?" tanya gadis itu.
"Aku melihat Shaka," jawabku tanpa
mengalihkan pandangan dari pintu. Shaka tersenyum,
berjalan keluar dengan langkah mundur.
"Shaka? Siapa?" tanya Ellen bingung.
"He's my son!" teriakku tanpa mempedulikan
dosen dan mahasiswa lain yang menatapku heran.
Beberapa dari mereka bahkan berbisik dan menyebutku
gila.
"Ananta? Apa yang terjadi denganmu?" tanya
dosen dari bawah sana.

415 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 416

"Aku ingin Shaka!" teriakku meronta, berusaha


melepas cekalan tangan Ellen.
"Bawa dia ke ruang kesehatan!" perintah dosen
yang langsung di angguki Ellen. Dia membereskan
barangku, membawaku ke ruang kesehatan sesuai
perintah dosen.
"Ta? Kenapa dengamu?" tanya Ellen setelah aku
cukup tenang. Dia menyodorkan segelas air padaku.
"Shaka," hanya namanya yang terus aku ucapkan
dari tadi. Ternyata kehilangan seorang anak lebih
menyakitkan daripada kehilangan rasa cinta dari laki-
laki.
"Siapa dia?" tanya Ellen lagi seraya
mendudukkan dirinya di sampingku.
"Aku merindukannya," tanpa sanggup menjawab
pertanyaan Ellen, aku hanya bisa menggumamkan hal
konyol. Kalimat yang bahkan begitu tabu aku ucapkan.
Untuk laki-laki sekelas Gavin sekalipun.
Rindu yang tidak pernah aku serukan untuk
siapapun, kini aku melakukannya untuk seorang anak
kecil yang hanya hadir satu minggu di hidupku. Ah
bukan, empat bulan tiga minggu.
"Aku akan pulang," kataku seraya beranjak dari
sana. Tanpa mempedulikan perkataan Ellen selanjutnya,
hanya membiarkan kaki ku menuntun sampai ke tempat
yang dia mau.
Kembali menyusuri jejak pertemuan kami waktu
itu. Langkahku terhenti di depan sebuah Mall, tempat
dimana aku dan Shaka bertemu untuk pertama kalinya.
"Kau baik-baik saja?"
"Baiklah. Lain kali hati-hati,"
Bayangan waktu itu kembali melintas. Seperti
layar besar di sebuah bioskop. Aku meluruhkan setetes
air bersama perasaan aneh yang menyakitkan. Jelas
sekali aku merindukan sosoknya.
Aku menggiring tubuhku masuk, menjelajahi
bagian di dalam Mall itu. Lagi, aku memaku pandanganku
di tempat dimana Shaka muncul tiba-tiba di sampingku.
Menghembuskan napas panjang aku berjalan pulang.
Tidak akan ada habisnya jika aku terus
menangis di tempat umum seperti ini.
"Ibu? Kau sudah pulang?" Aku mengangkat
wajahku saat menutup pintu kamar. Shaka duduk di
depan meja belajar. Aku berlari menghambur padanya
dengan senyum mengembang. Shaka ku telah kembali.
"Shak...," Kosong. Aku merengkuh udara di
hadapanku. Tidak ada Shaka disana. Semuanya hanya
imajinasi. Untuk kesekian kalinya aku merasa di
kecewakan dengan imajinasiku sendiri. Memegang erat
kursi di depanku, tubuhku merosot bersama isak tangis.
"Mengapa kau mempermainkanku?"
***

417 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 418

Butuh waktu sangat lama bagiku untuk


mengikhlaskan kepergian Shaka. Tapi meskipun begitu,
kehadirannya selama ini membuatku tersadar. Bahwa
tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah
terjadi.
Alih-alih mendapatkan Shaka kembali, dia malah
mendatangiku di dalam mimpi. Mengucapkan kata-kata
yang semakin membuatku rindu padanya.
Dengan setelan berkabung, aku mendatangi
makam kecil Shaka. Bahkan setelah sekian lama aku
tetap tidak peduli padanya. Untuk sekedar mengirim
do'a atau menabur bunga saja enggan aku lakukan.
Berdalih sikap menyebalkan Gavin yang selalu
membuatku membenci segala hal tentangnya. Aku
melupakan Shaka begitu saja.
Baru setelah anak itu mendatangiku, perasaanku
sedikit melunak. Membiarkannya masuk dalam
kehidupanku. Memberikan tamparan keras atas
keegoisan kami.
Aku bersimpuh dengan keranjang bunga di
tangan. Bulir bening kembali menghujani pelupuk
mataku. Membiarkannya mengalir deras, aku meraung
memanggil namanya.
"Shaka? Maafkan ibu. Ibu memang manusia
paling tidak berguna. Jika saja kami tidak
melakukannya, maka kau tidak akan menanggung
semuanya seperti ini,"
"Maukah kau tetap menemuiku seperti biasa?
Aku merindukanmu. Bisakah kita kembali melakukan hal
yang kita suka. Aku berjanji akan memperlakukanmu
dengan baik jika kau bersedia untuk kembali,"
"Ku mohon! Aku tidak bisa hidup tanpamu,"
Aku terus meracau, memeluk nisan tanpa nama
itu dengan tangis tersedu-sedu. Ya, makam Shaka
berada tepat di belakang rumahku. Aku menguburnya
sendiri. Aku memang manusia paling tidak berperasaan
di dunia.
Menahan deburan emosi yang sudah memuncak.
Aku meluruhkan seluruh zat cair dari dalam mataku.
Berusaha untuk mengikhlaskan Shaka walau pada
kenyataannya aku tidak bisa. Jangankan untuk
melupakan, sekedar tidak memikirkannya barang
sedetik saja aku tidak bisa.
Pada akhirnya aku hanya hidup dengan perasaan
bersalah dan kerinduan yang tiada ujung. Pada sosok
mungil yang sempat mengisi hari-hari ku selama ini.
Wishaka.

419 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 420

Puzzle Piece
Karya : Trisna Dwi Lestari

Jilin, sebuah kota yang terletak di bagian utara


Cina yang berbatasan langsung dengan Korea Utara itu
mulai terlihat gelap oleh datangnya awan hitam, yang
menjadi isyarat akan turunnya hujan. Hal yang wajar,
mengingat saat ini memang sudah memasuki musim
hujan.
―Ck! Menyebalkan!‖ Runtuk seorang dari balik kaca
jendela bus yang ia tumpangi.
Angin juga seakan mendukung kunjungan awan saat
itu. Begitu dingin angin berhembus membuat setiap
orang begidik atau hanya sekedar merapatkan jaketnya.
Tak lama setelah itu, turun hujan yang menembus
hiruk-pikuk kota. Membuat orang yang berlalu lalang
berhambur mencari tempat berteduh. Namun, hal
tersebut seakan tak berlaku bagi seorang pemuda.
Ia baru saja turun dari bus saat hujan tiba-tiba
turun menyapa bumi. Sehingga, ia tak punya pilihan lain
selain menerobos hujan. Alhasil, ransel hitamnyalah
yang harus menjadi payung dadakan untuk menghalau
tetesan air yang mengguyur tubuhnya. Sebenarnya bisa
saja ia berteduh menunggu reda, tapi saat itu yang ia
pikirkan hanyalah ‗sampai di rumah‘. Entah kenapa
perasaanya menjadi lebih sensitif jika berurusan
dengan hujan.
Langkahnya tampak terburu-buru, hingga akhirnya
harus terhenti ketika ia tersandung batu yang tak
seberapa besar. Anak laki-laki berusia sekitar 17 tahun
itu tampak meringis di bawah guyuran hujan. Masih
dengan tekadnya, ia bangkit dengan cepat dan kembali
berlari untuk pulang.
Sekitar lima menit, Luhan –pemuda itu- berlari
hingga akhirnya berhasil sampai di rumahnya dengan
basah kuyup. Ia mengatur napasnya yang tersenggal-
senggal sambil bersandar pada pintu rumahnya. Setelah
ia rasa napasnya stabil,ia melangkah masuk ke dalam
rumahnya, menyisakan tetesan air dari bajunya hingga
meninggalkan jejak di lantai kayu rumah bergaya
minimalis itu.
Luhan melirik ruang tamu sebelum dirinya
melewati ruangan itu. Di sana, kakak perempuannya
sedang asik membaca buku sambil menyeruput teh
melati favoritnya. Luhan tersenyum sendu, tak ada
niatan untuk menegurnya, yang ada hanya desahan
ringan dari lelaki itu.Langkahnya kini berlanjut menuju
tangga, kakinyaberjalan agak terseok-seok karena luka
di lutut kanannya, tapi masih dengan konsisten
menapaki anak tangga itu satu demi satu, hingga
akhirnya ia sampai di depan pintu berwarna cream,
pintu kamarnya.

421 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 422

Masih sedikit malas, Luhan berjalan menuju kamar


mandi hendak membersihkan dirinya. Tak butuh waktu
lama, selang beberapa waktu pemuda itu keluar dengan
celana pendek dan kaos oblongnya, serta handuk yang
masih bertengger di lehernya menahan air yang
terkadang menetes dari rambut hitam miliknya.
Tangan pemuda itu meraih pegangan laci yang
berada di bawah nakas di samping kanan tempat
tidurnya. Mengambil kotak kecil berisi alat P3K untuk
mengobati lututnya yang terluka karena jatuh.
Matanya, terlihat sendu melihat bagaimana luka itu
agak besar dibanding dengan bagaimaana ia terjatuh
tadi.
―Biasanya kalau seperti ini ibu akan mengomeliku,‖
lirihnya sambil mengobati luka itu dengan obat merah,
―tapi … itu kan dulu. Haha..‖ Luhan tertawa renyah atas
pernyataannya sendiri.
Mata indahnya kini beralih melihat ke arah
jendela, memandangi hujan dari balik kaca jendela yang
agak buram sebab air hujan.Bagi Luhan, hujan bukan
hanya sekedar fenomena alam, melainkan peristiwa
yang selalu membawa sejuta kenangan baginya, di
otaknya kini berputar memori-memori indah yang
terjadi saat musim hujan. Peristiwa yang menurutnya
indah itu terjadi pada musim ini. Masih ingat betul saat
dirinya dan kedua orang tuanya menghadiri acara
kelulusan kakaknya, saat itu hujan lebat sehingga
mereka sampai dengan sedikit basah ke aula sekolah
kakaknya. Selama merayakan ulang tahunnya, ia ingat
betul kalau mayoritasmomen itu selalu hujan, hingga
akhirnya keluarga mereka akan membatalkan acara
jalan-jalannya dan memilih bermain mafia game atau
sekedar berbagi ceritasatu sama lain. Lalu, saat seperti
ini pula ayahnya bisa menjemputnya ke sekolah,
menunggu di luar gerbang kemudian melambai saat
Luhan sudah tampak berada di koridor sekoah, lalu
sampai di rumah ibunya akan menyambutnya dengan
membawa handuk dan baju ganti untuknya. Kegiatan
yang sederhana, tapi itu membawa kesan tersendiri
bagi Luhan. Sebuah kehangatan dibalik derasnya badai.
―Ah, kemana aku berpikir? Luhan, kau bukan anak-
anak lagi,‖ gumamnya pada diri sendiri.
Setelah memakai sweater abu-abu miliknya, ia
berpikir bahwa sepertinya meminum coklat panas
bukanlah ide yang buruk. Dengan demikian, keluarlah ia
menju dapur hendak membuat coklat panas
kesukaannya. Sampainya di dapur, ia melihat ibunya
masih berkutat dengan masakannya. Lagi, lelaki itu
tersenyum sendu melihat ibu yang begitu ia sayangi
berada di sana. Luhan menatap wanita paruh baya itu
tanpa berkata apa-apa. Sedangkan tatapan pemuda itu
hanya dibalas senyuman tulus oleh wanita itu. Luhan
sadar, ia kembali pada niatan awalnya membuat coklat
panas yang ia inginkan dari tadi. Sebenarnya, ada satu
hal yang ia pikirkan saat membuat coklat panas itu. Ia
merindukan coklat buatan ibunya, seperti dulu.

423 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 424

―Ah, kurasa aku akan minum coklat di ruang tamu


saja. Sampai jumpa, Ibu,‖ katanya sambil menoleh pada
ibunya yang masih sibuk dengan masakannya.
Di ruang tamu, Luhan menikmati coklat panasnya
sambil bersender pada sofa coklat di ruangan itu,
sesekali ia mengotak-atik ponsel miliknya. Sedikit
merasa bosan, pemuda itu mengedarkan pendangannya
ke seluruh penjuru ruangan, hingga akhirnya matanya
menangkap sebuah objek persegi mirip buku.
―Album foto.‖ Luhan tertawa getir melihat benda
itu, sebelum ia beranjak untuk mengambil benda
berbentuk persegi itu.
Album itu sudah cukup tua, tapi bagaimanapun
juga album itu sangat berharga dengan sejuta
kenangan yang ia simpan di dalamnya. Sedikit bedebu,
Luhan menepuk-nepuk sampul album itu dan sesekali
meniupnya berharap debu itu menyingkir dari sampul
albumnya.
―Ah, sudah lama sekali sepertinya,‖ gumam Luhan
seraya kembali duduk di sofa.
Tangannya kini meraih cangkir coklat panasnya
berniat menyeruputnya barang sedikit.
Satu per satu halaman Luhan buka, meliaht foto-
foto itu seakan merangkai puzzle dalam otaknya.
Kenangan demi kenangan terus berputar membentuk
sebuah film pendek yang sanggup membuat hatinya
sakit. Senyuman cerah keluarga kecilnya di foto itu tak
lagi bisa Luhan lihat sekarang. Semuanya musnah
setelah tragedi itu merenggut semua anggota
keluarganya.
Sebuah kecelakaan bus yang ia lihat dengan mata
kapalanya sendiri. Sebuah peristiwa yang berujung pada
penyesalan terbesar dalam hidupnya.
―Aku minta maaf.‖
***

Seluruh siswa sedang menikmati waktu istirahat


mereka. Berbagai kegiatan mereka lakukan, entah itu
bermain, makan, atau ada yang belajar. Hal itu juga
berlaku pada Luhan, saat ini ia sedang makan bersama
dua orang temannya di kantin. Saat tengah asik
mengobrol, tiba- tiba ponsel di saku celananya
bergetar.
Luhan merogoh ponselnya yang tiba-tiba bergetar
itu. Sedikit mengernyit, remaja itu membaca nama yang
tertera pada layar ponselnya.
―Sebentar ya, aku angkat telepon dulu,‖ jelas
Luhan pada dua orang temannya yang hanya direspon
anggukan dari dua temamnya tadi. Langsung saja Luhan
pergi sedikit menjauh dari keramaian agar suara si
penelpon terdengat jelas.
―Ayah? Tumben menelponku, ada apa ya?‖
gumamnya pada diri sendiri sebelum ia mengangkat
telepon dari ayahnya.
―Iya, Ayah? Ada apa menelponku?‖

425 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 426

―Nak, nanti kau ayah jemput, ya? Ayah dan Ibu


sedang berada di acara wisuda kakakmu. Sekalian nanti
saat pulang kami akan menjemputmu.‖
―Benarkah?‖ pekik Luhan girang. Bagaimana tidak?
Dengan begini bahkan ia tidak perlu repot-repot
menunggu bus dan uangnya juga akan lebih hemat.
―Iya, nanti kabari ayah ya kalau sudah pulang. Oh,
iya! Bisa kau tunggu di halte dekat sekolahmu saja agar
ayah tidak perlu repot-repot masuk area sekolah? Pasti
nanti agak ramai, bukan?‖
―Ayay! Siap kapten!‖ canda Luhan.
Ayahnya hanya terkekeh di seberang sana. ―Ya
sudah, belajar yang benar ya.‖ Lanjut ayah Luhan.
―Ya, Ayah.‖ Luhan menutup sambungan telponnya.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, menandakan
pelajaran di sekolah sudah selesai untuk hari ini. Para
siswa berhamburan keluar gerbang sekolah, sebagian
dari mereka terburu-buru karena langit sedang
mendung dan sepertinya akan turun hujan dalam waktu
dekat.
Tak jauh berbeda, Luhan juga bergegas menuju
halte setelah mengabari ayahnya bahwa ia sudah pulang
sekolah. Pas sekali, sepertinya dewi fortuna sedang
berpihak pada Luhan. Saat ia tiba di halte, dengan
cepat hujan mengguyur kota itu. Menyisakan pandangan
abu-abu sakin lebatnya air yang turun.
Hujan sudah sedikit mereda ketika Luhan melirik
jam tangannya, ia pikir ayahnya akan segera sampai
mengingat ia sudah menelpon sejak 20 menit yang lalu.
Lagi-lagi, dugaannya benar. Samar-samar ia melihat
mobil hitam yang ia yakini adalah mobil ayahnya sedang
membelah hujan menuju ke arahnya.
―Akhirnya, sampai juga,‖ ujar Luhan senang.
Namun, sepertinya tidak secepat itu. Faktanya,
kini ada sebuah bus yang melaju dari arah berlawanan.
Bus itu sangat cepat, sepetinya remnya sedang blong,
hingga akhirnya bus itu tergelincir dan dengan cepat
menghantam mobil keluarga Luhan. Ya, Luhan
melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Sontak
Luhan berlari menghampiri TKP.
―Ayah!‖ teriak Luhan sambil berlari.
Luhan melihat ibunya masih sadarkan diri, dengan
cepat ia menolong ibunya karena yang paling mudah
diselamatkan saat itu memang ibunya.
―Ibu? Ibu baik-baik saja?‖ Luhan berusaha
menahan darah yang terus keluar dari kepala wanita itu,
sambil menangis anak laki-laki itu membalut tubuh
ibunya dengan jaket yang ia gunakan. Darah terus
mengalir dari kepala wanita itu, bersamaan dengan itu
air hujan juga menyapunya, menyisakan genangan air
berwarna berah muda di jalanan.
―Tunggu sebentar, aku akan menolong Ayah dan
Kakak.‖ Luhan meletakkan tubuh ibunya di tepi jalan,
agak jauh dari area kecelakaan itu. Naasnya, saat Luhan
hendak pergi menyelamatkan ayah dan kakaknya,
langkahnya ditahan oleh orang-orang di sana.

427 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 428

―Hentikan, Nak! Kau bisa celaka kalau kau


memaksa!‖ bentak lelaki paruh baya yang kini menahan
tangan kiri Luhan.
―Lepaskan, Paman! Ayah dan kakakku ada di sana!
Aku harus ke sana!‖ Kata Luhan sambil berontak. Ia tak
peduli kata orang lain, yang ia pikirkan sekarang
hanyalah bergegas menyelamatkan dua orang yang ia
sayangi sebelum mobil itu benar-benar meledak. Hujan
memang sudah mereda, sehingga tak heran jika api dari
kecelakaan tadi masih setia berkobar, mengancam
nyawa penumpang bus dan penumpang mobil sedan itu
jika seketika terjadi ledakan.
Luhan masih berusaha melepas cengkraman orang-
orang yang berusaha menahannya, hingga akhirnya ia
berhasih dan mulai berlari untuk menolong ayah dan
kakaknya. Sialnya, saat separuh perjalanan ledakan itu
benar-benar terjadi. Hilang sudah harapannya untuk
melihat ayah dan kakaknya bertahan. Kakinya tiba-tiba
melemas diiringi tangisan pahit yang tak kuasa ia
bendung. Rasanya masih tadi ia senang karena ayahnya
akan menjemputnya, masih tadi ia senang karena
kakaknya sudah lulus dari universitas, tapi kenapa
kebahagiaan itu direnggut secepat ini? Dengan cara
yang sekejam ini?
***

Luhan mengintip dari balik kaca pintu ruangan


tempat ibunya dirawat. Setiap hari selalu seperti ini.
Sudah setengah bulan ini ibunya koma dan Luhan selalu
seperti ini saat jam besuk rumah sakit sudah habis.
Sebenarnya, ingin sekali ia menemani ibunya selama 24
jam, tapi mau bagaimana lagi jika sudah kebijakan
rumah sakit yang mengatur jam besuknya.
Dengan langkah gontai Luhan beranjak keluar dari
rumah sakit. Ini sudah jam delapan malam, sudah
saatnya pulang. Anak SMA seperti dia memang tidak
seharusnya pulang terlalu larut jika bukan alasan
akademis.
Sesampainya di rumah, pemuda itu memilih
menyeduh mie instan, sekedar mengisi perutnya yang
masih kosong sejak tadi siang. Akhir-akhir ini dirinya
memamg tidak nafsu makan. Hanya mie instan dan
makanan cepat saji lainnya yang ia konsumsi. Ia ingin
makan masakan ibunya, berkumpul bersama
keluarganya, tapi mau bagaimana lagi? Keadaan tidak
mendukung semua keinginannya. Kini, satu-satunya
anggota keluarga yang ia miliki hanyalah ibunya yang
terbaring koma di rumah sakit. Tak ada lagi selain
wanita itu.

***

―Ibu, cepat bangun. Aku merindukan ibu,‖ lirih


Luhan sambil mengusap punggung tangan ibunya. Manik
mata coklat anak lelaki itu lekat melihat wajah wanita
yang begitu ia sayangi. Di sana, ibunya terlihat damai

429 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 430

tanpa beban sedikitpun. Tersenyum miris, Luhan


kembali mengeratkan genggamannya pada tangan kanan
ibunya.
―Aku menunggumu, Bu. Ibu harus cepat bagun.‖
Setelah mengatakan itu, Luhan merasakan ada
pergerakan dari jari-jari tangan ibunya. Luhan
memgerjap-ngerjapkan matanya. Apakah ini karena
efek kelelahan? Oh, ia harap tidak. Masih setia Luhan
menunggu, takut-takut kalau apa yang dilihatnya
barusan merupakan kesalahnnya. Akan tetapi, seprtinya
tidak. Kali ini ia melihat kelopak mata ibunya juga mulai
bergerak. Sontak hal itu membuat Luhan bergegas
memanggil dokter yang menangani ibunya.
Selang beberapa saat setelah dokter memeriksa
keadaan ibu Luhan, anak lelaki itu kembali bangkit dari
posisi duduknya. Menghampiri dokter yang baru saja
keluar dari ruangan ibunya dirawat.
―Apa ibu saya baik-baik saja, Dok? Bagaimana
keadaanya sekarang? Ibuku bisa cepat sembuh, ‗kan?‖
cerca Luhan dengan beberapa pertanyaan. Membuat
dokter di depannya hanya tersenyum melihat tingkah
anak itu.
―Ibumu akan segera membaik, Nak.‖ Dokter itu
menepuk pundak Luhan enteng dengan senyuman masih
terpatri di wajahnya yang mulai keriput itu.
―Benarkah?‖ mata Luhan berbinar.
―Iya, tapi kali ini kau harus membiarkannya
istirahat. Kembalilah besok, kau bisa bicara dengannya
besok, ya?‖
―Baik.‖ Luhan tersenyum mendengar jawaban dari
dokter itu.
***

Aku sedang memilih buah-buahan untuk ibuku.


Sudah seminggu yang lalu ibuku sadar dan aku selalu
menjenguknya tiap hari, tapi kemarin aku tidak sempat
berkunjung karena di sekolah juga sedang ada acara.
Oleh karena itu, hari ini aku berniatmembeli apel
kesukaan ibu, kukira Ibu akan sangat senang saat aku
berkunjung sambil membawa buah kesukaannya.
Sepanjang jalan aku terus tersenyum, tak lupa aku
menyapa beberapa petugas di rumah sakit saat aku
berpapasan dengan mereka. Keadaan ibuku sudah sangat
membaik, kurasa tidak lama lagi ibu akan keluar dari
rumah sakit.
―Ibu, aku datang,‖ sapaku saat membuka pintu
kamar rawat ibu.
―Anakku!‖ serunya sambil tersenyum lembut. Aku
suka senyuman ibuku, sangat cantik dan menenangkan.
Aku menghampiri ibuku yang sedangan asik
membaca buku. Buku cerita anak.
Alisku bertaut, aku bertanya-tanya kenapa ibu
membaca cerita anak seperti itu.
―Bu, aku bawa apel. Ibu mau?‖

431 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 432

―Ibu masih kenyang, nanti saja, ya?‖


―Ah, baiklah. Eh, omong-omong kenapa ibu
membaca cerita anak?‖ ―Ah ini? Ibu hanya teringat
padamu,‖ jawab ibu sambil terkekeh. ―Eh?‖
―Sifatnyanya hampir mirip sepertimu, anak laki-
laki di cerita ini sangat suka sepak bola. Seperti anak
ibu.‖ Ibu mengusap kepalaku pelan. Terbesit rasa
senang saat ibu memperlakukanku seperti ini.
―Masih ada lagi, anak laki-laki di sini juga
digambarkan sebagai anak yang kuat. Anak ibu ini juga
begitu,‘kan?‖ Aku tidak membalas apa-apa, hanya
tersenyum sedikit malu dengan pernyataan ibuku
barusan.
―Nak, ibu harap kau bisa terus tersenyum apapun
yang terjadi. Bukannya kau tidak boleh menangis, hanya
saja kau tidak harus berlarut-larut dalam kesedihan,
mengerti?‖
―Aku tahu, Bu. Kematian ayah dan kakak masih
membekas di kepalaku. Bohong jika selama ini aku baik-
baik saja. Bohong jika selama ini aku tidak pernah
menangis, karena setiap saat aku selalu merindukan
mereka. Aku selalu berharap semua ini hanya mimpi dan
aku ingin segera terbangun darinya.‖
Ibu mengusap air mata yang mulai membasahi
pipiku. ―Kalau kau terus bersedih, kakak dan ayah juga
akan menangis di sana. Memangnya kau mau ayah dan
kakak menangis, hm?‖
―Tidak,‖ jawabku sambil menyeka air mataku
dengan lengan bajuku.
―Kau itu anak ibu. Ibu tahu kau lelaki yang kuat,
tidak cengen. Lagi pula kau bukan anak kecil lagi.‖ Ibu
mengusap bahuku pelan.

***

Lima hari kemudian.


―Ibu? Apa kau sedang bercanda?Katakan padaku
kalau ini tidak serius atau ini hanyalah mimpi.‖ Luhan
menangis di depan batu nisan yang kini terpajang foto
wanita yang beberapa hari lalu masih menghiburnya,
menyuruhnya kuat dan tidak menangis.
―Apa karena ini waktu itu ibu terus
menceramahiku? Karena ibu juga akan menyusul ayah
dan kakak, begitu?‖
―Tega sekali kalian! Bagaimana bisa aku hidup
tanpa kalian? Bagaimana bisa aku hidup dipenuhi rasa
kesepian seperti ini?‖
Luhan terus menangis tersedu-sedu. Ia tidak
peduli, dengan beberapa kerabat yang menatapnya
nanar saat ini, yang ia pikirkan hanyalah perasaannya
yang hancur saat ini.
Ibu Luhan menginggal karena serangan jantung.
Kondisinya memang sudah membaik beberapa waktu lalu.
Namun, tiba-tiba keadaannya kembali drop dan tidak
sadarkan diri selama tiga hari. Dalam kondisi tak

433 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 434

sadarkan diri itu pula jantungnya tiba-tiba bermasalah


hingga akhirnya merenggut nyawa wanita paruh baya
itu. Meninggalkan anak laki-laki yang sangat ia sayangi.
―Luhan, ayo pulang. Ini sudah sangat lama,‖
tegur seorang wanita paruh baya yang merupakan
tetangga Luhan. Karena memang sudah beberapa jam
sejak pemakaman selesai dan Luhan masih setia
mematung sambil menangis di depan nisan ibunya.
Seakan tuli, Luhan tak menggubrisnya sama sekali
teguran wanita itu. Ia tak ingin menginggalkan tempat
itu, ia ingin terus bersama ibunya. Hingga akhirnya
kondisinya melemah dan jatuh pingsan karena terlalu
lama berdiri dengan keadaan mental yang tertekan.
***

Luhan mengingat peristiwa itu. Lagi. Bagaimana


semua anggota keluarganya peegi meninggalkannha
sendiri. Cerita pilu yang tak bisa ia luapakan sampai
kapanpun.
―Sesayang itukah Tuhan pada kalian?‖ celetuk
Luhan sambil memandangi foto keluarga di album itu.
Melihat dengan lekat senyuman indah yang terukir dari
wajah orang- orang yang ia sayangi.
―Mungkin jika aku menolak waktu itu aku tidak
harus seperti ini. Mungkin aku masih bisa melihat kalian
tersenyum, mungkin aku masih bisa bercanda dengan
kakak, makan masakan ibu, dan mengobrol bersama
ayah.‖ Jeda, Luhan menghela napas menstabilkan
emosinya. ―Kemudian … aku tidak harus hidup dengan
bayang-bayang dan ilusi karena terlalu merindukan
kalian.‖ Kini suara lelaki itu sedikit serak karena harus
menahan tangisnya.
Luhan menoleh ke sofa di sampingnya. Kosong. Tak
ada apa-apa di sana, tapi dari sudut pandang Luhan ia
masih bisa melihat sosok kakaknya di sana, sedang asik
membaca buku dan sesekali tersenyum ke arahnya.
Ya, apa yang Luhan lihat barusan memang hanyalah
ilusi. Kakaknya, ibunya, mereka hanyalah ilusi yang
Luhan ciptakan untuk sekedar membendung rasa rindu
pada keluarga kecilnya itu. Tidak, Luhan masih normal.
Hanya saja, kadang ia merasa dunia ini begitu hampa
dan tidak berpihak padanya, sehingga terpaksa ia harus
memutar memori itu dan melihat bayangan keluarga
kecilnya agar ia merasa sedikit terhibur.
Hidup sendirian bukan hal yang mudah, ditambah
lagi usianya memang masih tergolong muda. Sesekali ia
harus bekerja paruh waktu, dia sadar bahwa tidak
selamanya ia bisa bergantung pada warisan keluarganya.
Ia harus bertahan dengan segala keadaan yang kadang
juga tidak berpihak padanya. Alasannya sederhana, ia
hanya tidak mau membuat keluarga kecilnya di sana
bersesih kalau dirinya melakukan hal yang aneh-aneh.
Pola pikirnya diajak tumbuh dewasa dengan cepat
karena hal ini. Akan tetapi, kembali lagi pada kenyataan
bahwa ia hanyalah remaja 17 tahun yang masih sering
merasa kesepian.

435 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 436

―Ayah, Ibu, Kakak … aku sendirian sekarang,


kenapa kalian tega sekali meninggalkan aku seperti
ini?‖ Luhan tersenyum pahit, matanya mulai berkaca-
kaca.
―Aku tahu aku tidak boleh seperti ini, aku masih
ingat pesan ibu kalau kalian akan mengawasiku dari
sana. Ibu juga bilang waktu di rumah sakit bahwa kalian
akan besedih jika melihatku menangis, bukan?‖ Luhan
menghela napas, berharap beban yang ada dalam
hatinya sedikit memudar. ―Aku akan selalu mengingat
kalian di setiap aktivitasku, dengan begitu aku tidak
harus merasa kesepian, benar, ‗kan?‖ lanjut Luhan.
Luhan menutup album itu, sudah cukup sepertinya
mengenang keluarga kecilnya itu, yang harus ia lakukan
sekarang adalah kembali bersemangat agar keluarganya
‗di sana‘ tidak khawatir padanya. Kini ia harus
merangkai puzzle-nya kembali, membuat memori indah
dan melengkapi kepingan puzzle dalam hidupnya yang
sudah terlebih dahulu disusun oleh dirinya dan
kelaurganya. Baginya, hidup seperti kepingan puzzle,
ada banyak peristiwa yang harus dirangkai menjadi satu
agar kau bisa melihat gambarnya, dalam artian kau bisa
melihat makna hidup yang sesungguhnya. Kau harus
belajar bagaimana menemukan dan merangkai kepingan
itu satau demi satu. Dengan begitu, kau bisa melihat
sesuatu yang indah pada akhirnya.
Perasaan Yang Sulit Berubah
Karya : Wa Ode Dian Madriah

Suara hentakan hells memenuhi koridor

sekolah, semua mata tertuju akan kehadirannya. Kulit


putih, tubuh tinggi, wajah cantik, senyum menawan,
mata seindah samudra, rambut panjang bergelombang,
bagaikan model sedang melakukan fashion show di
koridor sekolah. Kemudian, dia melangkahkan kaki
cantiknya ke ruang guru untuk bertemu dengan mantan
guru-gurunya.
Semua siswa dan siswi sekolah itu penasaran
dengan identitas perempuan tersebut. Mereka
bertanya-tanya ‗apakah dia anak dari salah satu guru di
sini?‘ itulah yang ada di benak semua murid. Tapi, semua
salah dan dia hanya sekedar datang berkunjung ke
mantan sekolah dan membahas kapan reuni angkatannya
akan diadakan.
―tidak terasa, sekarang kamu sudah dewasa dan
makin cantik, Dian‖ ucap bu Rina kepada perempuan itu
dengan pelukan hangat yang selalu dimilikinya.
―bisa saja, Bu‖ rona pipinya tidak bisa
disembunyikan karena malu akan pujian bu Rina ―jadi,
kamu kesini karena ingin menanyakan reuni angkatanmu
kan?‖ tanya pak Rudi yang langsung duduk di sebelah
Dian dengan berkas-berkas di genggamannya.

437 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 438

―hahahahaha, iya pak.‖ Jawabnya singkat karena malu.


Suasana di ruang guru sangat ramai sehingga
membuatnya mengingat kenangan di sekolah ini. Waktu
pembicaraan dengan guru- gurunya terbilang cukup
singkat tetapi sudah lebih dari 4 jam mereka bercerita
perihal kegiatan perempuan itu saat ini.
Ia menelusuri setiap sudut sekolah, ditelitinya
setiap bangunan dan suasana sekolah dan ternyata
tidak ada satu pun yang berubah. Terasa sesak di dada
mengingat semua kenangan itu, tiba-tiba air mata
menetes dan membuatnya merasa sedih.
"Aku merindukannya, sangat bahkan lebih. Jika
bukan karena dirinya, aku tidak mungkin bisa sesukses
ini sekarang" Ucapnya resah memandangi taman
belakang sekolah. Tiba-tiba matanya menangkap sosok
yang dikenalnya. Ya, dia adalah iren sahabatnya. 'Dia
selalu ada untukku dalam suka maupun duka' Batinnya
mengingatkan. Dia melambaikan tangan pada Dian dan
tersenyum, sehingga sudut bibir perempuan itu
terangkat sedikit memandangnya. Dia menggerakkan
tangannya seperti isyarat memanggilnya. Dian
mendatanginya dan berpelukan, mereka menyusuri
sekolah sambil berbincang tentang kegiatan yang
tengah dilakukan sekarang, dan lain-lain.
Waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WITA dan
waktunya murid maupun guru untuk pulang ke rumah
masing-masing, begitu pun dengan mereka yang telah
mengahbiskan waktu bersama setelah sekian lama tidak
berjumpa.
Setibanya di rumah, Dian langsung merebahkan
tubuhnya di atas kasur king size yang dimiliki. Tubuhnya
merasakan pegal-pegal di tubuhnya , dan memilih
beristirahat sebentar.
Setelah terbangun dari tidur, Dian menuju kamar
mandi untuk membersihkan diri. Semua tereka ulang di
kepalanya, tentang kenangan 5 tahun lalu yang
membuatnya sangat bahagia dan merasa sempurna.
Sekarang tidak lagi. Ditatapnya keheningan malam
dengan pandangan sendu dari balkon apartemennya.
Perasaan yang dulu dimiliki untuk sang pujaan hati,
bahkan sampai sekarang tidak akan pernah berubah
walau keberadaannya bukan di sini lagi.
Sekarang, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba.
Reuni sekolah angkatan tahun 2013 atau ke XX akan
segera dimulai. Semua berbahagia, tersenyum, tertawa
bahkan bertegur sapa dengan teman-teman yang tidak
pernah mengabari.
Di tengah-tengah kebahagiaan ini, matanya
menelusuri seluruh yang ada di acara ‗apakah dia akan
ada di sini ?‘ pertanyaan itu selalu menggangguku walau
kenyataannya sangat mustahil untuk terjadi. Sehingga
dilangkahkan kakiknya menuju belakang gedung aula ke
arah taman. Pemandangan malam yang sangat indah,
dihiasi oleh sang rembulan dan bintang-bintang di
langit, membuat dirinya selalu terkagum akan indahnya

439 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 440

malam hari. Dian merasakan seseorang duduk di


sebelahnya dan bertanya ―mengapa kamu sendirian di
sini, yan ?‖ tatapan mata yang meminta jawaban
menuntut. ―hm ?, hanya sekedar mengenang dirinya‖
jawaban singkat dengan senyuman manis palsu.
―aku tahu, jika hingga saat ini, kamu belum bisa
melupakannya. Tapi, ingatlah kami selalu ada untukmu‖
ucapnya sambil menepuk pundak Dian dan mencubit
hidungnya. ―aw, sakit. Jangan aneh deh‖ rajuk Dian
kesal karena hidungnya memerah akibat ulah Rendi.
Cukup lama memandangi langit malam, akhirnya mereka
memutuskan untuk kembali ke aula.
Banyak pertanyaan yang menyerbu Dian ketika
memasuki aula, karena kedatangannya dengan Rendi ke
dalam aula secara bersamaan dari arah yang sama. Dian
terus menyanggah setiap pertanyaan yang di lontarkan
kepadanya dan menatap tajam Rendi agar ikut
membantu menjelaskan keadaan yang tengah terjadi.
Setelah mendapat jawaban dari mereka bersua,
semua kembali normal dan tenang. Suasana yang meriah
di akhir acara membuat semua penonton bertepuk
tangan dan berteriak heboh. Mereka pun meneriakkan
yel-yel angkatan dan acara yang memuncak hingga
akhirnya selesai.
Selesai acara, Iren menghampiri Dian dan
menanyakan kegiatannya di hari esok. "Yan, kamu ada
waktu luang besok?" Tanyanya penuh harap.
"Maaf, besok nggak bisa. Kamu taukan besok hari
apa?" Jawab Dian dengan sebuah pertanyaan yang sudah
pasti. "Yah, padahal besok mau ajak jalan bareng Rendi"
Ucap Iren menekan nama Rendi yang sayangnya tidak
dihiraukan oleh Dian.
"Aku pulang dulu yah" Pamit Dian dan berlalu
begitu saja meninggalkan seluruh temannya. "Huffft
lelahnya" Ucapnya ketika sampai di rumah dan langsung
merebahkan tubuhnya dari penat yang menyerangnya.
"Mengapa mereka sangat suka mengcomblangkan diriku
dan Rendi. Padahal mereka tau bahwa hatiku sudah
tidak bisa berpindah tempat" Kesalnya karena tahu
maksud dari sahabatnya itu. "Lebih baik tidur untuk
menyimpan tenaga buat besok" Ucapnya sambil menatap
langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu
"Aku merindukanmu, Di" Ucapnya dengan sendu
yang ditemani tetesan air mata membasahi mimpi
hingga telah memasuki alam mimpi.
Pagi indah dengan cuaca yang sangat bersahabat.
Dian bersiap-siap dan tidak lupa untuk mengecek
tanggal. Ketika Dian melihat kalender, ternyata
sekarang tanggal 15 Agustus 2018. Hari ini adalah ulang
tahun sosok yang sangat dirindukannya.
Dian bersiap-siap dengan pakaian yang sangat rapi
dan cantik. Tidak lupa untuk membawa selendang dan
juga foto mereka berdua. Sebelum menuju tujuan, Dian
singgah ke penjual bunga dan membeli bunga anyelir
putih yang dirangkai sangat cantik. Senyuman di bibinya

441 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 442

selalu mengembang bahagia hanya untuk hari ini.


Dilangkahkan kaki cantiknya menuju tempat
peristirahatan sosok yang sangat dirindukannya itu, dan
menaruh bunga kesukaannya.
"Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun.
Selamat ulang tahun Andi. Selamat ulang tahun"
Nyanyinya dengan suara tertahan. ―Di, selamat ulang
tahun. Kubawakan bunga anyelir putih untukmu, bukan
hanya karena kamu menyukainya tapi juga
melambangkan perasaanku saat ini‖ diusapnya batu
nisan yang bertulisakan nama Andi disana. Air mata
yang sedari tadi ditahan, akhirnya menetes deras
membasahi pipinya. Dian menangis sesegukan karena
rasa sakit di dadanya hingga merasa frustasi.
―Di, sudah berapa tahun yah kamu
meninggalkanku?‖ suara tangisnya memenuhi
pemakaman. ―Di, perasaanku masih sama seperti dulu
kepadamu, karena kamu cinta pertamaku. Ingat? Saat
pertama kali kita bertemu? Kamu tidak menyukaiku
sama sekali. Ingat? Saat kamu menjauhiku karena guru-
guru memujiku. Ingat? Saat kejujuran akan
kecemburuan yang dimilikimu karena aku menjadi murid
kesayangan yang berujung kita bertengkar. Ingat?
Perasaan ini timbul karena pertengkaran kita, dan
kekompakan kita? Di, jawab‖ racaukmya karena tidak
tahan dengan perasaannya yang telah ditahannya
selama bertahun-tahun.
Semua yang meluap dalam hati akhirnya
dituangkan hari ini. Begitu sesak, rasa yang
dipendamnya semenjak 4 tahun lalu. Andi
meninggalkannya saat kelas 2 SMA, ketika perasaannya
makin dalam pada Andi.
"Oh tuhan, aku sungguh mencintainya dan sangat
merindukannya. Mengapa Engkau mengambilnya dariku
begitu cepat?" Keluhnya yang tidak tahan akan
penderitaannya.
―Aku mencintaimu dari awal pertemuan kita, tapi
gengsi membuatku tidak berani mengatakannya. Kau
tahu? Sekarang aku sangat merindukanmu. Setiap
langkahku, terbayang semua tentangmu.‖ Ucap Dian
pada nisan yang tidak mungkin menjawabnya. Dian
mengusapnya dengan penuh kasih sayang dan rindu.
―Saat kunyatakan perasaanku padamu ketika di
rumah sakit. Tahu kah kau? Bahwa hari itu kukumpulkan
semua keberanianku untuk mengatakannya. Karena aku
ingin kamu tahu walau hanya sebentar kemungkinan kita
bersama. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai orang
yang mencintaimu. Aku bahagia saat dirimu juga
mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Sungguh hari itu
adalah hari terindah dalam hidupku. My first love‖
senyuman indah mengembang di wajahnya setelah
pengungkapan cinta yang untuk kedua kalinya. Walaupun
bukan secara langsung bersama orangnya, tetapi cukup
membuat hatinya bahagia dan tenang diwaktu yang
bersamaan.

443 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 444

Running Astray Heaven for some, Hell for the rest!


Karya : Arief Jackson

Abbas menghela nafas sambil memandangi

langit. Sesekali dilihatnya arloji yang menunjukkan pukul


17:30 sambil menengok ke segala arah, meskipun
sebenarnya ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk
berada di tempat seperti itu. Sambil berjalan menuju
rumah temannya yang sudah disepakati sebagai titik
pertemuan, Abbas hanya bisa terus menoleh ke segala
arah dengan sikap waspada.
Satu – satunya jalan yang bisa dilewati menuju
rumah Nicola adalah sebuah gang kecil di ruas jalan
125th Street / Lexington Avenue yang luas itu, area
tersebut sangat rawan dengan aktivitas kriminal di
daerah Harlem New York. Tetapi tekadnya untuk pergi
menjemput para sahabat sudah bulat, Abbas terus
melangkah menembus udara senja New York. Abbas
terdorong oleh adanya suatu harapan dan kesempatan
untuk bisa bertemu dengan orang tua kandung yang
belum pernah ia lihat sejak kecil, dan hanya teman –
temannya yang bersedia untuk pergi menemani
mewujudkan keinginannya tersebut.
Abbas Deandre Xavier adalah seorang remaja 14
tahun yatim piatu berkulit hitam yang tinggal di panti
asuhan Harlem yang berada di daerah Manhattan,
Abbas tidak mempunyai banyak teman sebaya untuk
remaja seusianya, namun ia memiliki jaringan kenalan
yang bisa diandalkan berkat waktu yang ia habiskan di
lingkungan jalanan, dan di dalam jaringan itu pun hanya
ada segelintir teman yang benar – benar bisa ia
percaya.
Abbas hanya berteman dan memiliki
kecenderungan membangun persahabatan dengan orang
yang ia pandang memiliki nasib serupa dengannya,
seperti JaMarquis Wyatt dan Tyrone Dylan, kakak
beradik berkulit hitam yang terlahir akibat hubungan di
luar nikah dari ayah yang berbeda dan seorang ibu muda
yang punya banyak kekasih, ada pula Darryl white dan
adiknya Lumia yang juga berkulit hitam, mereka sering
dianiaya dan dijadikan pelampiasan amarah oleh ayah
angkat mereka yang pemabuk, serta Nicola Rodriguez
yang berasal dari keluarga imigran Kolombia yang serba
berkekurangan. Abbas hanya percaya pada segelintir
sahabatnya untuk urusan – urusan penting dalam
hidupnya, termasuk kerinduan dan rasa penasaran akan
keberadaan orang tua kandungnya. Setelah
menghabiskan waktu sambil mencari sejumlah informasi
selama jenjang pendidikan sekolah menengah di Harlem,
Abbas akhirnya berhasil melacak keberadaan orang tua
kandungnya dengan bantuan dari teman – temannya.
Berdasarkan informasi yang mereka kumpulkan,
orang tua kandung Abbas tinggal di sebuah pemukiman
kumuh daerah Fresno. Seminggu setelah kelulusan

445 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 446

mereka pada hari jumat 8 juni 1979, mereka pun


bersama – sama memutuskan untuk meninggalkan
kehidupan mereka yang sangat menyedihkan di Harlem
dan berangkat esok harinya menuju Kalifornia untuk
membantu Abbas menemukan orang tuanya.
Abbas sudah terbiasa hidup di lingkungan
Manhattan, ia lebih sering menghabiskan waktu
bersama teman – temannya di sekitar lingkungan dan
jalanan Harlem yang rawan dengan aksi kejahatan
dibandingkan dengan panti asuhan tempat ia tinggal dan
dibesarkan. Namun hadirnya prospek baru tentang
keberadaan orang tua kandungnya dan teman –
temannya yang kurang puas akan kehidupan mereka
masing – masing menjadi suatu dorongan yang
menggiurkan, sehingga para remaja ini memutuskan
untuk menunda melanjutkan pendidikan mereka dan
memulai sebuah petualangan yang mereka yakini akan
memiliki dampak besar terhadap peruntungan mereka.
Demikian yang ada di dalam kepala Abbas, sembari
berjalan setapak demi setapak lewat setiap
penyeberangan Lexington Avenue yang sudah sering ia
lewati semasa hidupnya. Tanpa ada rasa ragu dan
khawatir menerobos hiruk – pikuk Harlem di sore hari,
menuju rumah Nicola yang menjadi titik temu mereka
sebelum berangkat menuju stasiun 125 Street.
"Dimana Mia?" Ujar Abbas ketika ia sampai di
depan rumah Nicola sore itu setelah berjalan jauh dari
rumahnya, ia bertanya pada Darryl yang sedang duduk
santai di beranda rumah ―Dia sudah di dalam? Apakah
kalian sudah berpamitan dengan ayah kalian?‖ ujar
Abbas.
"Dia tidak akan ikut, tapi dia menitipkan ini "
jawab Darryl sambil menyerahkan sebuah cincin logam
kuningan dengan tulisan samar – samar yang terukir rapi
dan sepucuk kertas berisi sebuah pesan pendek sambil
menatap Abbas dengan penuh rasa kasihan dan risau.
Mia, adik Darryl, adalah yang paling akrab dan
dekat dengan Abbas dari semua sahabatnya, mereka
tidak pernah terpisahkan sejak taman kanak – kanak.
Kepergian Abbas tentunya akan memisahkan mereka
sejak pertama kali mereka berkenalan saat kecil, tetapi
Abbas maupun Mia sudah menduga hal ini akan terjadi
cepat atau lambat saat mereka mulai msngumpulkan
informasi mengenai orang tua Abbas. Bersama dengan
sebuah cincin yang pernah ia berikan pada Mia saat
acara perpisahan sekolah sebulan sebelum kelulusan, ia
menitipkan surat perpisahan lewat Darryl untuk Abbas.
Abbas bisa langsung memahami kenapa ia
mengembalikan cincin tersebut, karena Mia yang
mungkin merasa skeptis bahwa Abbas akan kembali ke
Harlem setelah menemukan apa yang ia cari. Perjalanan
ini juga akan menjadi taruhan yang beresiko jika Mia
ikut karena hidupnya bisa dikatakan lebih nyaman dan
terjamin meskipun ia dan Darryl masih diperlakukan
dengan buruk oleh ayah angkatnya sejak dulu, bila

447 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 448

dibandingkan dengan ketidakpastian yang akan mereka


hadapi dari perjalanan ini.
"Apa masih ada yang belum datang?" Tanya Abbas
sambil menyimpan surat Mia dan memakai cincin yang ia
titipkan sekaligus mengalihkan topik dan suasana.
"Mereka sudah di dalam, masuklah. kita
akan bersiap - siap sebelum pergi" jawab Darryl
sambil membukakan pintu untuk Abbas.
Tyrone dan JaMarquis terlihat sedang duduk di
ruang tamu sambil membahas dimana tempat tinggal
mereka ketika sudah sampai di Kalifornia, sementara
Nicola sibuk bersiap – siap sambil menghitung uang
untuk keperluan perjalanan mereka nanti.
"Aku membayangkan studio apartemen yang murah
dan sederhana dimana kita semua tidur dan makan dalam
satu ruangan besar dengan sofa dan televisi seperti di
sitkom kesukaan ibu, bagaimana? keren bukan?" ujar
Tyrone yang duduk tersenyum dengan lamunan akan
Fresno.
"Itu sangat tidak mungkin! kalau pun ada, ruangan
seperti itu tidak akan cocok dengan kita baik dari segi
efisiensi maupun harga! Ingat, Nicola juga akan tinggal
dengan kita demi keamanannya, dan aku tidak akan
membiarkan dia tidur di atas tumpukan pakaian
kotormu seperti yang sering aku alami dirumah kita!"
Jawab JaMarquis dengan ketus.
"Ayolah, kau tahu itu tidak mungkin terjadi, mana
tega aku membuat senorita kita yang cantik ini tidur di
atas tumpukan kain kotor? Tentulah ia akan mendapat
tempat tidur yang paling bersih dan nyaman!" Timpal
Tyrone sembari meyakinkan saudaranya.
"Lalu bagaimana jika ia membawa pacarnya nanti?
Apakah kau akan menyuruh mereka duduk di depan
pintu? Apakah kau akan menonton mereka bermesraan
hingga pagi? Pertanyaan ini juga berlaku sebaliknya
untuk kita, dan semua orang butuh privasi, Ty!" Jawab
JaMarquis yang mulai gusar dengan percakapan mereka.
"Aku tidak keberatan tidur di dalam satu ruangan
bersama kalian, selama kalian bisa mematuhi semua
aturan yang aku buat. " Nicola menyela dengan senyum
simpul menghiasi wajahnya sambil meredakan suasana.
"Apa kubilang? Amerika bukan negeri orang kolot,
Marq! Kita semua sudah saling kenal bahkan sebelum
kita pubertas yang kau khawatirkan itu!" Tyrone
membenarkan dirinya yang merasa sudah mendapatkan
dukungan.
"Seingatku kita hanya berbeda 11 bulan, dan meski
kita lahir di tahun yang sama, secara teknis, aku masih
kakakmu! Karena jika kau benar – benar mengenalku,
kau pasti tahu bahwa pendapatku tidak akan berubah!"
tegas JaMarquis yang mulai naik pitam.
"Hey sudahlah! kita bahkan belum berangkat dan
kalian sudah bertengkar? mau jadi apa kita nanti!?
Nicola, bagaimana persiapan kita?" Abbas menegur dan
melerai JaMarquis dan Tyrone sambil mengalihkan pada
Nicola yang sedang berkemas.

449 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 450

"Aku hanya perlu membungkus sandwich


dibelakangku dan kita siap berangkat" ujar Nicola
"bagus, Ty, Marq, bagaimana dengan kalian?" Abbas
menanyakan tugas dari setiap orang. "Kereta menuju
stasiun Pennsylvania akan berangkat sekitar satu jam
lagi, dan sesuai estimasi waktu yang sudah di hitung,
perjalanan kita akan memakan waktu kurang lebih lima
hari. " jawab Tyrone yang bertanggung jawab dengan
rute perjalanan.
"Jika perkiraan Ty sesuai, kita akan menemui
orang tuamu dalam waktu sehari setelah kita tiba di
Fresno, tempat tinggal mereka lumayan jauh dari
pemberhentian terakhir" ujar JaMarquis yang
bertanggung jawab menggali informasi yang mereka
butuhkan, termasuk keberadaan orang tua Abbas.
"Kita harus tetap waspada. Fresno adalah salah
satu kota dengan tingkat kriminalitas yang tinggi di
Amerika, dan ini hanya sebagian kecil dari apa yang
akan kita lalui. Kita akan melintasi beberapa negara
bagian, entah apa yang menanti kita di perjalanan.
Jangan gegabah dan lengah setiap saat!" Darryl pun
menekankan untuk berhati - hati dengan bahaya dan
ancaman selama perjalanan.
"Darryl benar! perjalanan kita ini bukan untuk
bertamasya, kita tidak punya waktu untuk berkeliling
dan melihat – lihat, tetap fokus pada tujuan, minimalisir
semua bawaan dan tinggalkan yang tidak kalian perlukan,
setelah itu kita berangkat" segera setelah Abbas
menutup taklimat, mereka pun bergegas memulai
perjalanan menuju stasiun kereta yang akan segera
berangkat menuju Fresno saat matahari mulai
terbenam.
Malam itu berlalu cukup panjang, mereka sampai
di stasiun pada pukul 19.00, tepat 10 menit sebelum
kereta berangkat menuju Pennsylvania. Hari demi hari
berlalu dengan perlahan di atas kereta. Mereka
menikmati perjalanan yang panjang dan melelahkan
tersebut dengan menghabiskan waktu bersama – sama,
sambil membahas apa yang akan mereka lakukan setelah
sampai di tujuan dan bertemu orang tua Abbas.
Tidak terasa mereka sudah melewati Atlanta dan
Dallas di hari kedua dan ketiga, mereka sampai di Union
Station Los Angeles tepat pada hari ke empat. Lima
sekawan tersebut berhenti sejenak untuk beristirahat
sambil menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.
"Dimana tempat istirahat kita? Aku sudah sangat
ingin berbaring‖ Tanya Darryl. "Jangan khawatir, aku
sudah memesan tempat untuk beristirahat hingga
kedatangan kereta ysng berikutnya, tempatnya tidak
terlalu jauh dari sini. Ayo. " jawab Nicola dengan santai.
Abbas dan kawan - kawannya sampai di sebuah
penginapan tidak jauh dari Union Station, jarak yang
dekat dan harga yang bersahabat memang sulit untuk
ditolak para penumpang kereta yang sedang menunggu
keberangkatan berikutnya, tetapi yang paling mencolok
adalah sekelompok orang berpenampilan aneh yang

451 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 452

sedang berkumpul di sekitar tempa itu. Pakaian mereka


didominasi oleh warna jingga dan mereka tidak terlihat
bersahabat, bahkan beberapa diantaranya terlihat
membawa senjata api rakitan dan senjata tajam. Ketika
Nicola dan yang lain sedang asik menikmati suasana
Downtown Los Angeles, Abbas tidak bisa mengalihkan
perhatiannya dari sekelompok orang berpakaian serba
jingga tersebut. Tetapi setelah mengingat tujuan
mereka yang sebenarnya, Abbas berpaling dari
orang – orang mencurigakan itu dan memasuki
penginapan untuk beristirahat sejenak.
Lima jam setelah beristirahat, Abbas mulai
terganggu dengan suara – suara seperti tembakan di
luar kamarnya. Kekhawatiran mulai menjalar di sekujur
tubuh mengingat ia terpisah dari kawan – kawannya.
Tembakan tersebut berasal dari koridor lantai atas,
tepat dimana kamar Nicola dan Darryl berada. Nicola
yang sedang mandi di dalam kamarnya dan Darryl yang
sedang keluar mencari udara segar tidak mengetahui
apa yang sedang terjadi. Abbas mengetuk pelan kamar
Tyrone dan JaMarquis yang berada tepat di sebelah
kamarnya sendiri.
"Yo Marq! Ty! Marq! Buka pintunya! Ty! Ini aku!"
Abbas mengetuk pelan dengan tergesa – gesa sambil
berbisik di dekat pintu memanggil nama teman-
temannya.
"Abbas!? Bisa tidak kau mengetuk kamar Nicola
atau Darryl saja? Maaf ya, tapi kami berdua terlalu
lelah dan mengantuk untuk menemanimu mengobrol...."
Tyrone membuka pintu sambil berbicara pada Abbas.
"Ikut aku sekarang! Mereka sedang dalam
bahaya!" Abbas terus mendesak sambil membuka pintu
kamar Tyrone dan JaMarquis.
"Bahaya!? Bahaya apa? Jangan mengada - ad...."
JaMarquis yang sedang menyeduh secangkir susu
hangat di kamarnya menjawab ajakan Abbas dengan
santai, namun bicaranya tiba – tiba terpotong saat
mereka bertiga dikejutkan oleh bunyi desing peluru.
Kekhawatiran akan Nicola dan Darryl menyerang
mereka bertiga, dengan bergegas mereka naik ke lantai
atas untuk mengetahui situasi yang terjadi serta
menyelamatkan kedua sahabat mereka dari ancaman
marabahaya.
Sambil mengintip dari balik tangga, mereka
menyaksikan koridor penginapan yang sudah berubah
menjadi lokasi bakutembak antara orang – orang
mencurigakan yang sempat diperhatikan Abbas di luar
penginapan tadi. Mereka melihat seorang pria
berpakaian serba warna nila diujung timur koridor dan
dua orang lainnya dengan pakaian jingga seperti di luar
penginapan di ujung koridor barat, masing – masing dari
mereka memegang sebuah pistol revolver dan ada
banyak bekas peluru di dinding koridor. Ketika Abbas
mencoba untuk menyelinap ke arah dinding dekat pintu
kamar Nicola, seketika peluru kembali berdesing dari
kiri dan kanan mereka.

453 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 454

Tiba - tiba Nicola yang baru selesai mandi


membuka pintu dan menjulurkan kepala untuk
memeriksa keadaan di luar, Abbas secara refleks
melompat ke arah Nicola dan mendorongnya hingga
terjatuh. Sepersekian detik kemudian sebuah peluru
mengenai dinding dimana kepala nicola tadinya berada,
peluru tersebut sudah pasti bersarang di kepala Nicola
jika Abbas terlambat mengambil keputusan atau ragu
untuk melakukan apa yang ia lakukan.
Nicola yang terkejut tidak sempat lagi berbicara,
karena Abbas memberi isyarat untuk tidak bersuara
sembari menengok keadaan. Salah satu dari pria
berpakaian jingga tergeletak kaku di tempat ia berdiri,
sementara rekan maupun lawannya sedang bersembunyi.
Sepertinya tembakan sebelumnya berhasil mengenai
pria tersebut, dan celah ini dimanfaatkan Tyrone dan
JaMarquis untuk menyelinap ke arah Abbas.
Nicola yang sedang panik langsung menyambar
beberapa lembar pakaian yang bisa ia raih untuk
menutupi tubuhnya yang tidak tertutupi dengan pakaian
sehelai pun setelah handuknya terlepas karena
terjangan Abbas, ia kemudian mengenakan pakaiannya
satu demi satu tanpa memperdulikan keberadaan semua
pria yang ada di dalam kamarnya. Mereka pun tidak
menghiraukan Nicola karena mereka sedang menyusun
rencana untuk bisa menyelamatkan diri dari tempat
tersebut.
"Bagaimana dengan Darryl!? Pintunya masih
tertutup!" Ujar Tyrone dalam keadaan panik.
"Kurasa ia sedang tidak ada di dalam, sekarang apa
yang harus kita lakukan!?" JaMarquis balik bertanya.
"Nicola! Apa kau sudah siap?" Nicola menjawab
Abbas hanya dengan anggukan dan bergabung dengan
mereka bertiga sambil menyimak rencana Abbas.
"Dilihat dari bekas tembakan dan jumlah peluru
yang terpakai, mereka sedang mengisi ulang amunisi,
Kita gunakan kesempatan ini untuk menyelinap sampai
keluar, setelah itu tujuan kita adalah mencari Darryl,
paham!?" Tyrone dan JaMarquis memberi tanda setuju
dengan anggukan kecil.
"Bagaimana dengan barang dan perlengkapan
kita!? Kita tidak akan bisa naik kereta ataupun
menggunakan fasilitas lain jika tidak memegang berkas
perjalanan dan identitas!" Keluh Nicola akan keputusan
Abbas.
"Tinggalkan saja! Kita tidak ada pilihan lain, dan
aku lebih memilih nyawa dibandingkan benda. Kita bisa
mencari jalan lain kalau keadaan sudah aman, mengerti!?
Dalam hitunganku.... 3, 2, 1!"
Abbas dan kawan-kawan menerobos terjangan
peluru dari kiri dan kanan koridor, dan beberapa
diantaranya berhasil mengenai paha kanan dan lengan
kiri Nicola yang tidak bisa berlari secepat yang lain.
Tyrone dan JaMarquis harus bergegas sambil memapah
Nicola yang terluka, sementara Abbas memperhatikan

455 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 456

sebuah mobil Chevrolet dengan ruang yang cukup besar


untuk banyak orang terparkir di depan penginapan.
Tanpa ada keraguan sedikit pun ia menghampiri mobil
tersebut dan mendapati mesinnya yang masih menyala
dan barang- barang yang terlihat mencurigakan. Tanpa
berpikir panjang Abbas langsung menaiki mobil
tersebut dan menjemput teman – temannya, tiba - tiba
Darryl pun muncul dengan sebungkus rokok di
tangannya dan menanyai Abbas dengan heran.
"Apa yang terjadi!? Kenapa Nicola terluka!? Ini
mobil siapa!?" "Naik saja dulu! Nanti ku jelaskan!"
Teriak Abbas.
Dengan satu raungan gas, mereka melaju pergi
menjauh dari kekacauan bersama mobil misterius dan
salah seorang teman yang terluka menuju area
perbatasan Los Angeles. Abbas menjelaskan semua
yang terjadi kepada Darryl, ekspresi wajahnya berubah
seketika. Darryl berubah dari heran dan penasaran
menjadi histeris ketakutan. Ia mengumpulkan segenap
jiwa dan tenaganya hanya untuk bertanya.
―Apakah kalian sadar kita sedang membajak
mobil Gangster!?‖ teriak Darryl dengan histeris setelah
tenaganya terkumpul untuk bisa bersuara lagi.
―‖Tenanglah Darryl, kepanikanmu hanya akan
memperparah lukaku.... agghh.... aww " jawab Nicola
dengan santai sambil menahan luka yang belum diobati.
"Apa kau yakin ini mobil orang – orang berbaju
warna - warni di penginapan itu, Darryl?" JaMarquis
bertanya sambil memperhatikan barang – barang di
dalam mobil tersebut.
"Lihatlah di sekeliling kalian! Lihat apa yang
berada di bawah kakiku! Ini senjata ilegal! Apa di
antara kalian ada yang membawa pisau kupu – kupu
sejak kita berangkat!? Apakah pistol di sebelahmu itu
milikmu Ty!? Kalian bahkan membaringkan Nicola di
atas kursi berisikan mariyuana! Ini lebih buruk dari
tumpukan pakaianmu Ty!" Darryl terus menunjuk ke
arah semua bukti bahwa mobil tersebut benar – benar
milik seorang anggota Gangster.
"Nicola, sepertinya aku menemukan sesuatu
yang bisa meredam lukamu untuk sementara sampai kita
tiba di rumah sakit terdekat " Tyrone mengeluarkan
kain berwarna nila dari bawah kursi untuk membalut
luka Nicola sambil mengusap dahinya untuk
menenangkannya. "Nila.... mobil ini.... Disciples. " Darryl
bergumam tidak jelas, sekali lagi ia terlihat seperti
kehilangan tenaganya.
"Ada apa denganmu, Darryl? Kau seperti melihat
hantu, apa itu Disciples?" Abbas menanyakan maksud
dari ucapan Darryl sambil mengawasi jalan. "Tidakkah
terlintas di benak kalian apa yang akan menimpa kita
semua karena berurusan dengan Disciples!?" Darryl
semakin panik dan terdengar frustasi. "kalau begitu aku
juga ingin bertanya, tidakkah terlintas di benak kalian
peluru yang masih ada di dalam tubuh Nicola!? Kita

457 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 458

harus ke rumah sakit sekarang!" Desak Tyrone yang


tidak tega melihat kondisi Nicola.
"Justru karena itu kita tidak bisa lagi ke rumah
sakit! Bagaimana jika para Disciples ada disana?
Bagaimana jika kita di laporkan pihak rumah sakit
kepada polisi karena membawa barang – barang
mencurigakan? Bagaimana jika kelompok saingannya,
para Lords muncul dan mengira kita adalah musuh
mereka karena kita membawa barang milik Disciples?"
Ujar Darryl yang mulai memikirkan segala kemungkinan
masalah yang akan terjadi.
"Kenapa kau bisa banyak tahu tentang
Gangster?" JaMarquis mulai merasa penasaran dengan
gagasan yang ada di kepala Darryl.
"Ayah angkatku sering bercerita tentang
persaingan antar kelompok – kelompok pembuat onar
yang ada di setiap jalanan di seluruh penjuru Amerika
untuk menakutiku dan Mia agar tidak sering keluar
hingga larut, tetapi dia akan menertawakan aku yang
sekarang. Kalau saja dia tahu aku sudah sedekat ini
untuk menjadi salah satu dari para pembuat onar
seperti yang ia sering ceritakan pada kami saat dia
mabuk. " ekspresi Darryl berubah lagi dari ketakutan
menjadi depresi dan putus asa.
"Sepertinya kita bisa menepi di sini untuk
sementara sambil mengobati luka Nicola, yang
terpenting sekarang adalah kita sampai di tujuan
dengan selamat!" Abbas melihat toserba perbatasan
Los Angeles tidak jauh di depan mereka dan mulai
menepi, mereka pun membagi tugas dan tanggung jawab
masing – masing. Darryl menjaga dan mengobati Nicola,
sementara Tyrone dan JaMarquis mengisi bensin mobil
di stasiun bahan bakar terdekat dan menghilangkan
jejak mereka dengan membuang barang – barang yang
ada di dalam mobil tersebut, Abbas sendiri bertugas
membelanjakan uang mereka yang tersisa untuk semua
keperluan penting sambil mengawasi jika ada yang
mencurigakan atau bermaksud jahat.
Menit demi Menit berlalu dan Tyrone maupun
JaMarquis tidak kunjung kembali, Abbas pun mulai
curiga bahwa sesuatu telah terjadi kepada mereka yang
belum muncul setelah pergi selama 2 jam.
"Aku akan pergi mencari Ty dan Marq, aku ingin
kau menjaga Nicola sampai kami kembali"
"Tapi. bagaimana kalau ada anggota Gangster
yang menyerang kami? Aku tidak akan bisa berbuat apa
– apa!"
"Tenang Darryl, aku tidak akan lama"
Setelah meyakinkan Darryl, Abbas mengambil
sepeda milik kasir yang terletak di sebelah toserba
tanpa sepengetahuan pemiliknya dan berniat akan
mengembalikannya setelah ia kembali besama Jamrquis
dan Tyrone. Abbas pergi ke arah stasiun bahan bakar
terdekat yang menjadi tujuan kawan – kawannya, tetapi
ia tidak melihat mereka maupun Chevrolet yang mereka
bawa sesampainya disana. Sementara itu, Darryl sedang

459 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 460

menjaga Nicola yang kondisinya mulai memburuk.


Sekujur tubuh Nicola mulai basah dengan keringat,
Darryl merasakan genggaman tangannya yang dingin. Ia
mencoba menghangatkan Nicola dengan mendekapnya,
namun ia tahu upayanya tidak akan cukup untuk
meredakan rasa sakit dan keadaan Nicola yang semakin
memburuk.
Mereka diintai oleh sekelompok pria berpakaian
jingga yang sedang menuju kearah toserba, mereka
melihat kain nila yang dipakai Nicola untuk membalut
lukanya dan saling berbisik sambil terus melihat kearah
Darryl dan Nicola dengan ekspresi yang mencurigakan.
Mereka adalah The Lords, kelompok saingan The
Disciples yang baru saja kehilangan salah satu
anggotanya di penginapan union station. Mereka sedang
kesal karena anggotanya yang mencoba menyerang salah
satu anggota Disciples di penginapan tersebut malah
tewas di tangan sasaran mereka sendiri, sehingga
mereka melihat adanya peluang untuk membalas
kekalahan saat menemukan Darryl dan Nicola yang
merupakan sasaran empuk untuk mereka.
Darryl dan Nicola yang sedang lengah tiba –
tiba disergap oleh tiga orang anggota Lords tersebut.
Para Lords menduga mereka adalah sepasang kekasih
dan anggota Disciples, sehingga mereka ingin
membalaskan kematian dari anggota mereka yang
tertembak oleh anggota Disciple di penginapan Union
Station tempat Abbas dan kawan – kawan beristirahat
sebelumnya. Para Lords semakin yakin bahwa mereka
adalah anggota Disciples setelah melihat dari dekat
kain nila yang membalut luka Nicola dan pisau kupu –
kupu di tangan Darryl yang merupakan senjata khas
gangster.
Darryl menyimpan pisau itu untuk berjaga – jaga,
dan berhasil melukai salah satu anggota Lords dengan
pisau tersebut begitu mereka mulai mendekatinya. Ia
pun berusaha sekuat tenaga untuk melawan mereka,
tetapi para Lords mengeroyok Darryl. Mereka menikam
bahu kanannya dengan pisaunya sendiri dan menembak
telapak tangannya dengan revolver, mereka menyiksa
Darryl sampai ia tidak berdaya.
Belum puas dengan balas dendam mereka.
Nicola yang tidak berdaya pun dibawa ke dalam mobil
van milik para Lords di belakang toserba, mereka ingin
memuaskan dendam mereka secara total sebelum
menyerahkan Nicola kepada sindikat perdagangan
manusia untuk melengkapi balas dendam sekaligus
meraup keuntungan. Nicola yang tidak berdaya hanya
bisa menahan rasa sakit, ketika mereka mencabut
peluru yang masih bersarang di tangan dan kakinya
sebagai permulaan dari mimpi buruk Nicola malam itu.
Darryl terkapar tidak berdaya, air matanya
bercampur dengan darah dan keringat yang ada di
wajahnya. Ia tidak mampu lagi untuk berdiri, apalagi
untuk menyelamatkan Nicola dari nafsu birahi yang
bercampur dendam para lelaki biadab itu. Darryl hanya

461 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 462

bisa mendengar teriakan dan tangisan Nicola dari luar


mobil van, suaranya yang memilukan menyayat hati
Darryl yang tidak tega dengan apa yang harus dilalui
oleh temannya yang tidak berdosa itu. Nicola hanyalah
seorang gadis biasa yang ingin membantu temannya,
namun ia harus mengalami semua kepahitan yang terjadi
dalam satu hari yang naas itu mulai dari tertembak
hingga dinodai oleh para berandal jalanan.
Sementara itu, Abbas berhasil menemukan
Tyrone dan JaMarquis. Tetapi mereka berdua telah
diborgol dan ditahan oleh polisi perbatasan, para polisi
menduga mereka sedang mencuri mobil yang mereka
bawa karena mereka tidak memiliki surat kepemilikan
atau dokumen legal apapun. Pada dasarnya mobil itu
memang sudah berstatus barang ilegal yang dicuri oleh
anggota Disciple yang muncul di penginapan Union
Station, diperburuk dengan barang – barang berupa
senjata dan narkoba milik anggota Disciples yang
tersisip di dalam mobil. Abbas hanya bisa melihat
Tyrone dan JaMarquis diborgol dengan paksa dan
diperlakukan dengan kejam sebagai tersangka dari
kejahatan yang tidak mereka lakukan, Abbas mengayuh
sepedanya menuju toserba sembari melihat mobil polisi
yang melaju pergi membawa teman – temannya ke
tempat jauh yang berlawanan dari tujuan mereka.
Sesampainya di toserba, Abbas sempat melihat
Nicola yang tampak sedih dan mengenakan pakaian yang
berbeda, Nicola kemudian dibawa pergi dengan mobil
van para Lords, sementara Abbas menemukan pakaian
Nicola yang sebelumnya dalam kondisi tercabik – cabik
dan ditumpuk di bawah sebuah kaleng sarden berisikan
2 butir peluru yang sempat melukainya. Dengan penuh
tanda tanya, Abbas mencoba mencerna semua yang
telah terjadi.
―Su....dah.... ter.... lambat ‖ ujar Darryl pelan
dengan sedikit tenaga tersisa untuk bicara. Setelah
menyadari semua yang terjadi, Abbas mendapati Darryl
yang babak belur dan memberitahunya apa yang terjadi
pada Tyrone dan JaMarquis sambil memapah Darryl.
Darryl yang sulit berdiri tiba – tiba melayangkan tinju
kanannya ke wajah Abbas sambil berteriak dengan
keras.
"INI SEMUA SALAHMU!" Abbas diam dan
terpaku mendengar teriak Darryl yang penuh dengan
dendam. "Se Seandainya kau tidak pergi meninggalkan
kami berdua disini! S-Seandainya kau tidak menyuruh
mereka berdua pergi dengan mobil itu! Seandainya kau
tidak mengambil Chevrolet milik Gangster itu!
Seandainya kami tidak ikut denganmu! Seandainya kami
tidak menuruti permintaan bodoh dari anak yatim piatu
menyedihkan yang tidak bisa menerima kenyataan dan
nasibnya sendiri!‖
―Darryl.... aku. "
"Seandainya aku tidak pernah mengenalmu!"
"Darryl. " "Seandainya kau tidak pernah ada di Harlem!"
"D-darryl.... apa yang kau bilang itu. kau tidak sungguh –

463 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 464

sungguh ka-" "Seandainya kau tidak pernah lahir di


dunia ini!" "DARRYL!" Abbas meneriaki dan memukul
Darryl hingga terjatuh, namun Darryl tidak terlihat
kesakitan sama sekali. "Sekarang bayangkan Abbas,
seandainya jika Mia ikut dengan kita.... dalam
perjalanan ini."
Kalimat Darryl yang terakhir menghantam
Abbas lebih keras dari semua ucapan Darryl
sebelumnya, saat itu tubuh Abbas bergerak dengan
sendirinya dan menaiki sepeda kasir toserba sambil
mengayuh pergi ke arah Los Angeles. Abbas pergi ke
arah yang berlawanan dengan tujuan sebelumnya,
sementara kasir toserba yang kehilangan sepedanya
malah melampiaskan amarahnya sambil memukul Darryl
yang mengira mereka berdua telah bersekongkol untuk
mencuri di toserba. Darryl hanya terdiam sambil
menerima pukulan demi pukulan kasir toserba, ia telah
berhasil meruntuhkan tekad seorang Abbas. Kini ia
tidak lagi merindukan kedua orang tuanya yang
meninggalkannya di Harlem saat ia baru lahir, kini
rindunya berubah haluan pada kenangan bersama teman
- temannya yang hanyut terbawa arus impiannya sendiri.
Sahabat - sahabat yang mungkin tidak akan ia temukan
lagi di kehidupan ini, dan akan ia rindukan sepanjang
perjalanannya yang baru. Abbas tersesat dalam
perjalanan hidupnya yang baru di kota Los Angeles,
surga bagi sebagian orang, neraka bagi segelintir
sisanya.
Separuh Jiwaku Terbang Bersamamu

Karya : Ayu Wulandari, S.S.

― Drrrt, drrrt, drrrt. Dengar gemuruh


Angkatan Udara, gegap gempita jaya perkasa. Drrrt,
drrrt, drrrt.. Tak gentar menentang angkara murka.
Menembus angkasa, menjaga persada. Drrrt, drrrt,
drrrt. Rakyat bangga padamu, berikan dharma baktimu.
Drrrt, drrrt, drrrt.. Dengan semboyan swa bhuwana
paksa, teruskan tugas suci menuju kejayaan Indonesia.
Drrrt, drrrt, drrrt.‖
Telepon genggamku berdering mendendangkan
ringtonenya, menandakan panggilan masuk. Pucuk di
cinta, ulam pun tiba. Pujaan hatiku akhirnya
menghubungiku setelah sekian lama aku merindukan
kabar darinya. Aku pun bergegas menghampiri
handphoneku dengan begitu gembira. Kutengok
handphoneku dengan riang, namun ternyata bukan orang
yang kuharapkan yang menelfonku.
―Halo, Annisa. Cepat kamu nonton breaking news
siang ini sekarang juga. Cepat!‖ Teriak sahabatku di
ujung telepon.
Telfon yang kuharapkan dari kekasihku ternyata
justru dari sahabatku. ―Ada apa gerangan? Mengapa dia
terburu-buru memintaku menonton berita?‖ Perlahan
ku ambil remote televisi dan kucari channel berita yang

465 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 466

dimaksud oleh sahabatku. Jantungku berdegup kencang,


perasaanku mulai tak enak.
―Baik pemirsa saat ini saya sedang berada di
lokasi jatuhnya pesawat Fokker 27 TNI AU, tepatnya
di kompleks perumahan Halim Perdana Kusuma. Menurut
kesaksian saksi mata, pesawat tersebut terbang
rendah saat sedang melakukan latihan terbang dan
menabrak sejumlah rumah di kawasan kompleks
perumahan Halim Perdana Kusuma. Untuk saat ini tim
SAR juga masih dalam proses mengevakuasi seluruh
prajurit TNI AU beserta para awak pesawat yang
menjadi korban. Namun untuk saat ini jumlah korban
tewas dan korban selamat masih belum diketahui.‖
Mataku berair dan tubuhku bergetar mendengar
live news report dari reporter berita tersebut.
Perasaanku terjun bebas. Fokker 27, pesawat yang
digunakan kekasihku untuk latihan terbang tadi pagi.
Aku berulang kali menepuk-nepuk pipiku. Berharap aku
bisa terbangun dari mimpi buruk ini. Namun tidak,
pandanganku mulai berkunang-kunang dan seketika
berubah menjadi sangat gelap.
***

Malam itu udara dingin semakin menusuk


tubuhku. Langit di wilayah Baturaden yang terletak di
kaki Gunung Slamet pun menitikkan rinai-rinai hujannya
hingga semakin menambah dingin dan kelamnya malam.
Namun dengan melodi yang mengalun indah dari nada-
nada setiap tetesan bulir air hujan, rinai-rinai hujan
tersebut terdengar sangat merdu. Penuh irama seperti
memiliki tempo. Bagaikan alunan musik, rinai-rinai hujan
itu mengiringi lantunan lagu syahdu yang kunyanyikan.
―Karamnya cinta ini, Tenggelamkanku di duka
yang terdalam Hampa hati terasa. Kau tinggalkanku
meski ku tak rela, Salahkah diriku hingga saat ini. Ku
masih mengharap kau tuk kembali. Mungkin suatu saat
nanti. Kau temukan bahagia meski tak bersamaku Bila
nanti kau tak kembali. Kenanglah aku sepanjang
hidupmu‖
Pikiranku menerawang serta menari-nari di
lintasan akson dan dendrit pada sel-sel otakku.
Hembusan angin pun turut membawa kembali sejumput
kerinduan yang telah kucoba untuk kutepiskan.
Sementara itu hujan terus saja merintik, melantunkan
melodi kenangan serta melayang-layangkan pikiranku
kembali ke masa lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, sore itu terik matahari
di atas kota Purwokerto yang terkenal dengan julukan
Kota Satria tak begitu menyengat. Saat itu aku dan
Airlangga bersantai di alun- alun kota setelah cukup
lelahmengayuh sepeda mengelilingi kota. Tiba-tiba,
sebuah pesawat angkut jenis C-130 Hercules milik TNI
Angkatan Udara melintas di atas kami.
―Annisa, lihat itu. Sepertinya itu pesawat para
prajurit yang mengantarkan bantuan untuk korban
gempa kemarin,‖ ujar Airlangga padaku.

467 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 468

―Wah iya. Semoga bantuan untuk korban gempa


bisa cepat tersalurkan ya. Kasihan mereka,‖ timpalku.
―Iya, mereka memang luar biasa berkorban demi
kemanusiaan. Aku juga ingin terbang tinggi seperti
mereka. Tolong doakan aku ya Annisa,‖ pinta Airlangga
padaku.
―Iya Angga, semoga kamu bisa seperti mereka.
Tapi apa itu artinya kamu akan pergi meninggalkanku?‖
tanyaku dengan nada serius.
―Maksudmu? Ya nggak lah, Annisa. Kita kan
sudah bersahabat sejak kecil, jadi nggak mungkin aku
akan meninggalkan atau melupakanmu.‖
―Ah, syukurlah. Ku harap demikian. Semoga yang
kau inginkan bisa tercapai. Apalagi mengabdikan diri
bagi bangsa dan negara adalah salah satu tugas yang
mulia. Tapi ingat, kesuksesan bukan bermula dari
talenta yang dimiliki lalu bermalas-malasan tanpa usaha
apapun. Melainkan dari satu titik paling nadir yang
dapat memberikan suntikan kekuatan dan kemauan yang
keras yaitu impian,‖ pesanku pada Airlangga.
―Siap, Annisa.Aku akan berjuang sekuat tenaga,‖
jawab Airlangga tersenyum lebar.
***

Malam bergulir menjadi pagi, cahaya fajar


merambah rumahku yang seakan-akan membuat sisa
dinginnya malam lenyap berganti hangatnya siraman
sinar mentari pagi. Kicauan burung saling bersahut-
sahutan seolah mereka menyambut pagi ini dengan
bahagia. Namun masih saja kututup mukaku dengan
bantal bagaikan ingin menutup diri dari alarm
handphone yang berkali- kali berdering.
Kamarku masih gelap, tak ada cahaya yang masuk
karena gorden jendela kamarku masih tertutup rapat.
Tak seperti biasanya, pagi ini aku benar-benar tak
mempunyai semangat secuil pun. Aku pun merasa masih
pantas untuk melanjutkan perjalananku ke alam mimpi.
Namun, tiba-tiba angin puting beliung dalam lambung
memaksaku bangun untuk mencari suplai energi.
Dengan terpaksa aku bangun walaupun mataku
masih ingin terpejam. Aku mencari makanan yang masih
tersisa di kulkas. Ternyata masih ada beberapa potong
tempe dan tahu yang sempat kugoreng semalam. Aku
mengambil tahu dan tempe tersebut serta sebotol air
mineral dari kulkasku. Tak lupa aku mengambil nasi di
rice cooker.
Perlahan aku membaca doa dan menyuapkan
makanan ke dalam mulutku. Sejenak segala
kegundahanku terlupakan. Setelah selesai makan aku
segera mandi sambil menangkap ide-ide yang
berseliweran di atas kepalaku. Entah kenapa, suasana
sejuk kamar mandi bisa memicu lahirnya kreatifitasku.
Mungkin hanya satu yang bisa membuyarkan ide
kreatifku itu, yaitu dering handphoneku. Namun
seharian ini aku ingin beraktifitas dengan tanpa
mempedulikan handphoneku.

469 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 470

Kini matahari sudah jauh condong ke barat,


pertanda petang mulai datang. Halaman microsoft word
di depan mataku masih putih bersih. Kertas coret-
coretan beserta pena yang kuletakkan disamping
laptopku juga masih polos. Tak satupun huruf yang bisa
kuketik dan tak ada satu ide pun yang bisa kutulis
dengan ujung penaku. Seperti ada yang mengganjal
seharian ini sehingga membuat otakku buntu seketika.
Padahal semua pekerjaan rumah telah
kubereskan. Tak ada lagi buku-buku yang berantakan.
Perangkat makanan yang kotor dan debu-debu di lantai
pun sudah kubersihkan. Entah apa yang membuat
kepalaku ini terasa kosong.
Usahaku gagal malam ini, tak ada kata-kata yang
mampu terangkai dengan layak. Musik yang kudengarkan
pun tak mencairkan kebekuan otakku. Menonton kartun
juga tak memicu ide apapun. Mungkin aku perlu jalan-
jalan ke luar rumah sebentar, menghirup udara dingin,
dan menyesap keheningan malam. Siapa tahu ide-ide
akan berjatuhan dari langit.
―Tuhan, andai aku bisa bertemu kembali dengan
Airlangga. Aku sangat rindu padanya. Ia cinta
pertamaku sejak kecil,‖ batinku dengan perasaan sesak.
Tiba-tiba rintik hujan turun mengguyur
dinginnya malam. Turunnya hujan selalu menjadi suatu
peristiwa yang melankolis bagiku. Terlebih ketika aku
tengah dibanjiri luapan kenangan dan kerinduan, aku
kerap merasakan sendu yang begitu menyakitkan. Namun
anehnya, senandung rinai hujan selalu menjadi suatu
candu yang tak terelakkan bagiku untuk menikmati
kepiluan yang menggigit. Jangkrik mengerik tak henti-
henti, dinginnya angin malam menusuk kulitku hingga ke
sumsum tulang. Namun aku tetap melangkahkan kakiku
menyusuri jalan di sekitar rumahku sembari menikmati
rintik hujan yang turun.
―Serahkan seluruh perhiasan yang kau gunakan!‖
bentak seseorang padaku dari belakang.
Ku tolehkan wajahku dan terlihat sosok
mengerikan sedang menyeringai padaku. Wajahnya yang
dipenuhi dengan luka jahitan tampak begitu
menakutkan. Tangannya yang kasar menggenggam
lenganku dengan begitu erat sembari menodongkan
sebuah pisau lipat. ―Serahkan seluruh perhiasan kalung,
gelang, dan cincin yang kau gunakan. Jika tidak maka kau
akan kubunuh,‖ ancam pria tersebut.
Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Aku
berusaha menarik tanganku dari cengkeraman pria
tersebut dengan sekuat tenaga. Namun sayangnya
posturku yang mungil tak memiliki banyak tenaga untuk
melarikan diri. Dalam gelapnya malam, hanya lantunan
nama Tuhan yang terus kupanjatkan dan aku pun terus
berdoa agar Tuhan menyelamatkanku.
―Toloooooooooooong. Ada perampoooook.‖
teriakku sekuat tenaga.
―Diam, atau kau akan kubunuh!‖ bentak pria kasar
tersebut sambil membekap mulutku dan menggoreskan

471 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 472

pisaunya pada kulitku. Luka perih yang kurasakan di


leherku semakin bercampur aduk dengan rasa takut
yang menghantuiku.
Berhenti! Apa yang sedang kau lakukan?
Lepaskan wanita itu!‖ terdengar suara bentakan
seseorang dari kejauhan.
Samar, ku lihat ada sesosok pria berpostur
tubuh tinggi tegap dan berambut cepak sedang berdiri
di kejauhan. Nampaknya teriakanku tadi telah menarik
perhatian pria berambut cepak tersebut. Pria itu pun
berjalan mendekati kami.
Tak disangka, preman tersebut jusru
mengayunkan pisau lipat yang sedari tadi ia genggam.
Dengan gerakan yang sangat cepat dan cekatan, pria
berambut cepak tersebut menangkis pisau lipat yang
diayunkan dan pisau tersebut justru melukai lengan
preman tersebut.
―Menyingkirlah. Jangan halangi aku atau akan
kuhabisi kalian berdua,‖ teriak preman tersebut
sembari menggeram tanpa rasa takut.
Dengan tangan kosong, pria cepak tersebut
mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan
sang preman. Namun preman tersebut tetap
mengayunkan pisau ke arah pria cepak tersebut secara
membabi buta. Pertarungan terlihat imbang namun
begitu menguras tenaga mereka. Duel di antara mereka
berdua semakin sengit. Satu sabetan pisau berhasil
mengenai lengan pria cepak tersebut. Namun pria cepak
tersebut segera membalasnya dengan mendaratkan
beberapa pukulan ke wajah sang preman. Darah pun
mengalir membasahi hidung dan bibir preman tersebut.
Nampaknya ia terluka cukup parah akibat terkena
hantaman pria cepak tersebut.
Tak mau kalah, preman tersebut kembali
mengayunkan pisaunya. Namun dengan sigap pria cepak
itu menangkis ayunan pisau tersebut dan memukul perut
sang preman. Pisau itu pun terlepas seketika. Tak mau
kehilangan nyawa secara sia-sia, preman tersebut
berlari meninggalkan kami dengan terengah-engah.
Sosok pria yang telah menolongku dan berdiri tepat di
depanku itu mengenakan pakaian dinas pesiar siang
berwarna cokelat. Seragamnya lengkap dihiasi berbagai
atribut seperti brevet terbang layang, brevet terjun
payung, brevet jungle and sea survival, serta evolet yang
bertuliskan Akademi.
Tali koor Komandan Elemen Korps Karbol dan
monogram AU yang berada di depan kerahnya
menunjukkan bahwa ia berasal dari matra udara, yaitu
Akademi Angkatan Udara. Di lengannya tertempel
sevron Sersan Mayor Satu Karbol dan dalam papan
namanya tertera nama Airlangga Dirgantara.
―Airlangga, kenapa kamu bisa ada di sini?‖ ujarku
dengan suara tertahan. Aku tak lepas memandangi
sosok pria di hadapanku yang malam itu terlihat sangat
gagah dan begitu menarik hati. Jantungku berdegup
dengan sangat kencang. Hatiku menggelepar- gelepar

473 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 474

tak berdaya. Pertemuan ini adalah pertemuan yang


paling aku nantikan. Namun aku malu untuk mengakui
bahwa aku sangat mengharapkan kedatangannya. Selalu
malu bertemu, namun hati selalu dipenuhi rasa rindu.
―Kau tak apa-apa, Annisa? Bagaimana bisa kamu
pergi sendirian ke jalanan malam-malam begini. Kamu
habis nangis?‖
―Fine, aku nggak apa-apa Angga. Kamu kenapa
kemari?‖ tanyaku penasaran.
―Bulan depan aku akan menjalani prasetya perwira
dan akan segera dilantik menjadi prajurit langit. Aku
ingin mengundangmu ke acara prasetya perwira itu,
Annisa. Aku harap kamu bisa datang sebelum nantinya
aku akan pergi lagi untuk menjalani Sekbang.‖
―Apa itu sekbang?‖ tanyaku penasaran.
―Sekolah Penerbang TNI AU, korps penerbang.‖
―Jadi, kamu benar-benar ingin menjadi pilot TNI
AU?‖
―Iya betul, Nis. Sebenarnya aku ingin
membicarakan sesuatu,‖
Jantungku semakin berdebar tak menentu, aku
merasa seolah-olah Airlangga akan mengungkapkan isi
hatinya kepadaku. Aku tersipu malu, pipiku mulai
merona merah jambu.
―Will you marry me, Annisa? Aku akan segera
melamarmu, lalu kita akan menikah setelah aku selesai
Sekbang.‖
―Yes, I do.‖ Jawabku dengan wajah sumringah
dan mata yang berbinar-binar.
***

―Langit begitu gelap Hujan juga tak kunjung


reda. Ku harus menyaksikan cintaku terenggut tak
terselamatkan Ingin ku ulang hari,ingin ku perbaiki. Kau
salah, kau kubutuhkan. Beraninya kau pergi dan tak
kembali. Dimana letak surga itu. Biar kugantikan
tempatmu denganku Adakah tanda surga itu. Biar
kutemukan untuk bersamamu Kubiarkan senangku
menari di udara Kubiarkan separuh jiwaku terbang
bersamamu Biar semua tahu kematian tak
mengakhiricinta‖
Matahari yang terlihat di antara lengkungan
cabang dan ranting mengirimkan bayangan dedaunan ke
wajahku. Aku mencoba menatap langit yang cerah
meskipun air mataku tetap mengalir. Belasan pasukan
TNI AU tampak mengantarkan peti jenazah kekasihku
secara perlahan. Saat peti jenazah itu diturunkan dari
mobil jenazah, sebuah tembakan salvo diarahkan ke
udara sebagai bentuk penghormatan terakhir.
Saat peti jenazah dimasukkan ke dalam liang
lahat, sebuah tembakan salvo kembali
terdengar.Selanjutnya, pasukan TNI Angkatan Udara
melakukan penghormatan terakhir dengan hormat
senjata menandakan upacara pemakaman itu telah
selesai.Aku hanya bisa menangis tergugumenahan

475 | H a n y a Rindu
Inspirasi Pena | 476

kesedihan yang begitu mendalam saat harus berdiri di


depan pusara dengan nisan bertuliskan ―Airlangga
Dirgantara‖
Kandas sudah rencana menikah kami bulan
depan. Berbulan-bulan kami tak bisa bertemu akibat
jadwal yang sangat padat. Tak ku sangka kini justru aku
menemuinya di liang lahat ini. Biarlah ku simpan rinduku
dalam-dalam. Biarlah separuh jiwaku terbang
bersamamu.
SERIES
#2
HANYA RINDU
Setiap insan tentu pernah merasakan kerinduan.
Bahkan hal sederhana pun bisa membuat kita rindu.
Berbagai cara dilakukan agar rasa rindu bisa terobati.
Kadang kita harus menanam rindu tersebut dalam
waktu yang lama, hingga akhirnya kita bisa
menuainya.
Aku merindukanmu.
Kapan kita bisa berjumpa?
Ingin rasanya kembali ke masa itu.
Itulah contoh beberapa kalimat yang sering terucap
ketika merindukan seseorang. Masih banyak ungkapan
kerinduan di luar sana. Berbagai kisah kerinduan
setiap insan juga berbeda-beda. Begitupun sudut
pandang tentang rindu itu sendiri.
***
Hanya Rindu merangkum 25 kisah kerinduan dari
Faisal Oddang dan Sahabat Inna. Pembaca akan
menjelajahi berbagai kisah, dengan berbagai tokoh
dan alur cerita. Selamat menyelami 25 kisah
kerinduan, agar kelak kita memahami arti rindu itu
sesungguhnya. Selamat membaca!

Muce Pedia
Jl. Plawangan Bongas. RT/RW
01/01 Kecamatan Bongas,
Kabupaten Indramayu, 45255
Inspirasi Pena

Anda mungkin juga menyukai