Anda di halaman 1dari 302

Allah is Number One

Ibnu Mas’ad Masjhur

Editor: Ian
Rancang sampul: Zaki
Cetakan pertama, 2016

Penerbit :
Media Firdaus
Website : penerbitshiramedia.com

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


viii + 292 hlm.; 13 x 20,5 cm.
ISBN: 978-602-1142-68-4

Pemasaran:
Solusi Distribusi
Jl. Wulung, Pandean, Condong Catur, Sleman
Telp. 0274-6411861 Yogyakarta
www.solusibuku.com
Sebuah Pengantar

A lam diciptakan Allah Swt agar memberikan man-


faat bagi manusia. Kearifan manusialah yang
membuat alam memiliki begitu banyak manfaat
bagi kehidupan. Tanpa kearifan, manusia hanya bisa me-
rusak. Alih-alih memanfaatkan dengan berbagai pemba-
ngunan, manusia justru merusak lingkungan, merusak
alam, tanpa berpikir panjang pada kelanjutan generasinya.
Tak hanya secara materiil alam memberi manfaat bagi
manusia, secara filosofi juga banyak memberikan pelajar-
an. Akan tetapi, hanya dengan kepekaanlah kita dapat me-
nangkap pelajaran tersebut. Oleh sebab itu, kita memiliki
kata “kontemplasi”, di mana kita berupaya berpikir dengan
mengambil berbagai pelajaran dari alam.
Kepekaan kita terhadap alam bisa dilatih dengan
mendekati atau mengunjungi keindahan alam atau biasa
kita sebut dengan wisata alam. Tak perlu terlalu jauh de-
ngan mendaki gunung atau ke tempat-tempat yang memi-
liki tantangan berat, jika di belakang atau di dekat rumah
kita ada ruang terbuka untuk berinteraksi dengan alam, di
sana kita bisa melakukan kontemplasi.

iii
Udara yang segar, lingkungan yang hijau, pepohon-
an yang rindang dan menyejukkan dapat membantu kita
berpikir lebih jernih karena kondisi tubuh kita akan me-
respon lingkungan sehingga merasa rileks. Bukan saja hal-
hal yang berat, masalah yang kecil dan remeh-temeh pun
bisa kita pecahkan. Misalnya mengajak teman atau kolega
bisnis untuk menikmati alam sambil berbicara santai mau-
pun merancang bisnis. Di ruang terbuka, pikiran kita juga
akan ikut terbuka. Bahkan sebuah daun yang jatuh atau
gemericik air bisa jadi memberi kita inspirasi. Berbeda jika
kita berada di ruang tertutup, secara tidak sadar pikiran
kita juga akan terpengaruh dan berpikir hanya pada pokok
persoalannya saja, sehingga sulit untuk membuat terobos-
an.
Bukankah demikian yang dilakukan presiden kita,
Joko Widodo, untuk melepas penat? Ia memelihara bu-
rung, kodok, ikan dan binatang lainnya. Bukan untuk hi-
asan saja, melainkan juga untuk berinteraksi dengan me-
reka. Setidaknya, jika kita berinteraksi dengan alam, kita
akan mendapatkan kesegaran tubuh karena udara jernih,
ketenangan pikiran karena keindahan, dan kedamaian
hati karena merenungi ciptaan-Nya.
Tak hanya untuk pekerjaan, dalam kehidupan sehari-
hari, inspirasi dari alam kerap muncul begitu saja tanpa
kita minta. Pada akhirnya, berdekatan dengan alam akan
membuat kita kagum pada Sang Pencipta. Betapa Allah
Swt telah memberikan nikmat yang luar biasa memalui
alam.

iv
Kandungan Buku
Air Sumber Kehidupan................................................ 4
Mengalir Sampai Jauh................................................. 9
Air yang Melubangi Batu............................................. 14
Menyiramkan Air ke Tubuh........................................ 19
Botol Air Mineral yang Ditolak................................... 23
Berapa Berat Segelas Air?........................................... 27
Gelas Kosong dan Gelas Penuh.................................. 32
Menggarami Laut......................................................... 36
Mendiamkan Air Keruh............................................... 40
Semakin Tinggi Air Dikucurkan, Semakin Jauh
Cipratannya.................................................................. 45
Air Zamzam yang Istimewa........................................ 50
Air di Tandon................................................................ 55
Berkah Hujan............................................................... 59
Api yang Membakar..................................................... 68
Jangan Bermain Api..................................................... 72
Hati-hati, Api Mudah Membesar................................ 77

v
Korsleting Memicu Kebakaran................................... 82
Api yang Menghidupkan Mesin................................. 86
Membakar Sampah...................................................... 90
Menghangatkan Diri dengan Api Unggun.................. 94
Mengobati dengan Api................................................. 98
Menghirup Udara Pagi................................................. 107
Udara Gratis dan Udara Berbayar.............................. 111
Sepoy di Pantai............................................................. 115
Membuat Kincir Berputar.......................................... 119
Bagaimana Jika Ban Tanpa Angin?............................. 122
Badai Pasti Berlalu....................................................... 125
Menggerakkan Kapal................................................... 129
Layang-layang............................................................... 133
Polusi Udara................................................................. 136
Tanah Tempat Kembali................................................ 146
Harga Tanah yang Selalu Naik.................................... 150
Tanah Subur Membawa Berkah.................................. 154
Tanah Liat Mudah Dibentuk...................................... 159
Gempa Bumi Meluluhlantakkan................................ 163
Gravitasi Bumi.............................................................. 167
Pohon Beringin yang Meneduhkan............................. 174
Sehat dengan TOGA .................................................... 179
Pohon Bambu............................................................... 182
Keindahan Bunga Mawar............................................ 187
Taman yang Indah dan Mendamaikan....................... 192
Kenapa Pohon Jati Mahal?......................................... 196
Mencangkok Tanaman................................................ 203
Berkunjung ke Hutan.................................................. 207

vi
Reboisasi....................................................................... 211
Mengakar Kuat............................................................. 215
Yang Menanam yang Memanen.................................. 218
Tak Ada Rotan Akarpun Menghias............................ 222
Menyapu Daun-daun yang Rontok............................. 226
Semakin Tinggi Pohon, Semakin Banyak
Angin Menerpa............................................................ 230
Pohon tanpa buah........................................................ 234
Anjing yang Masuk Surga........................................... 242
Makan Secukupnya...................................................... 245
Alarm Ayam Jago......................................................... 248
Menyukai Sesamanya................................................... 252
Kupu-kupu yang Indah................................................ 258
Lalat Nemplok di Mana Saja....................................... 262
Seperti Kerbau Dicucuk Hidungnya............................ 266
Hewan yang Setia......................................................... 270
Melatih Binatang.......................................................... 274
Burung Terbang Bergerombol.................................... 277
Memancing Ikan.......................................................... 281
Ikan yang Belajar pada Air.......................................... 285

DAFTAR BACAAN........................................................ 289


TENTANG PENULIS.................................................... 290

vii
INSPIRASI AIR
B agaimana rasanya jika sehari saja kita tak bersen-
tuhan air? Untuk memasak, minum, mandi, dan
lain sebagainya. Kegiatan kita sehari-hari tak lu-
put dari zat cair ini. Manfaatnya untuk hidup kita sangat-
lah besar. Bahkan, air yang mulanya gratis, dan sekarang
berbayar mahal pun tetap kita beli.
Meski tak pernah disebut sebagai bahan pokok, air
merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manu-
sia. Akan tetapi, selama ini kita hanya menggunakannya
wujud cairnya saja. Kita belum secara maksimal memak-
nai hadirnya air dalam kehidupan sehingga kita dengan
mudah membuang-buang air, atau bahkan mengotori dan
mencemarinya.
Air sebagai salah satu sumber kehidupan memiliki ba-
nyak makna atau filosofi yang bisa kita pelajari untuk di-
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu ada laut,
bahkan kita sering menjadikan laut sebagai salah satu des-
tinasi wisata, tetapi apakah kita pernah bertanya kenapa
ada laut? Untuk apa dan untuk siapa? Lalu ketika kita ber-
tamu ke rumah orang, kenapa yang mula-mula disuguhkan
adalah air? Ketika kita ke warung, bisa jadi kita tak makan,
tapi apakah kita tidak akan memesan minuman? Kenapa
pula, puncak dari segala keburukan adalah air, khomer
atau arak atau alkohol? Kenapa kehidupan manusia dimu-
lai dengan air (mani)? Dan masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang bisa membuat kita semakin bijak.
Dengan mempertanyakan demikian, kita akan sema-
kin paham akan kebesaran Allah. Batasan kita memikirkan
atau merenungkan adalah sebatas pada ciptaan Allah. Kita
perlu menghindari berpikir tentang Dzat Allah, karena se-
sungguhnya, akal kita tak akan mampu memikirkan Sang
Pencipta.
Akan tetapi kita diperintahkan Allah untuk mempela-
jari apa saja yang diciptakannya, Rasulullah Saw. Bersabda
“Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan se-
kali-kali berpikir tentang Allah”. Artinya, tak ada batasan
bagi kita untuk belajar, sebab apa yang diciptakan oleh
Allah, masing-masing memiliki rahasianya. Hanay orang
bijak yang selalu ingin menemukan rahasia tersebut.
Untuk itu, mari kita bersama-sama merenungkan
ciptaan Allah, terutama air yang tak lepas dari kehidupan
kita.
Air Sumber Kehidupan
Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah
tanpa berlebihan dan sikap sombong
—Anonim

S egala ciptaan Allah Swt. yang hidup secara fisik


(manusia, hewan, tanaman) pasti membutuhkan
air sebagai penopang pertama untuk hidup. Seperti
kita ketahui bersama bahwa dalam tubuh makhluk hidup,
khususnya manusia, ada kandungan air sebanyak 55-60%
untuk dewasa, 65% untuk anak-anak dan 80% untuk bayi.
Dengan demikian, jika kandungan air di dalam tubuh kita
kurang, akan menyebabkan tubuh kita kering dan akhir-
nya menimbulkan berbagai penyakit.
Namun sebaliknya, jika asupan air dalam tubuh kita
tercukupi, maka pencernaan dan metabolisme dapat be-
kerja pada kapasitas maksimalnya. Selain itu, air yang cu-
kup akan memperbaiki kemampuan dan daya tahan tubuh
serta tidak mudah lapar; membentuk sel-sel baru; meme-
lihara dan mengganti sel-sel yang rusak; melarutkan dan
membawa nutrisi-nutrisi; oksigen dan hormon ke seluruh

4
sel tubuh yang membutuhkan; melarutkan dan mengelu-
arkan sampah-sampah dan racun dari dalam tubuh kita;
katalisator dalam metabolisme tubuh; pelumas bagi sendi-
sendi; menstabilkan suhu tubuh; meredam benturan bagi
organ vital; serta dapat menjadi pelembab alami bagi kulit
kita.
Di sisi lain, air yang cukup dalam tubuh dapat meng-
hindarkan kita dari berbagai macam penyakit, baik yang
ringan seperti batuk dan pilek, maupun yang berat seperti
batu ginjal.
Bagaimana jika air yang tersedia melebihi kebutuh-
an tubuh kita? Hal ini tentu tidak baik dan menimbulkan
gangguan pada tubuh. Misalnya meningkatkan volume da-
rah, mengganggu fungsi ginjal, pembengkakan sel darah,
gizi buruk, menguras kandungan kalium dalam tubuh, dan
gangguan hiponetrima.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan, bahwa
memang benar air menjadi salah satu sumber kehidupan
kita, akan tetapi, jika kita tak mampu mencukupinya atau
bahkan berlebihan dalam memenuhinya, akan berakibat
buruk. Untuk itu, kata “cukup” menjadi kunci.
Ketika kita cukup dengan makan sepiring, sebaiknya
berhenti dan tak nambah lagi. Begitu pula dengan gaji kita
dalam bekerja. Jika kita masih single, dan cukup dengan
gaji tiga juta, maka sebaiknya itu yang kita terima, bukan
kemudian membanding-bandingkan dan mengeluh. Mi-
salnya dengan pekerjaan yang sama kita mengeluh bahwa

5
gaji di perusahaan sebelah lebih besar, padahal gaji di per-
usahaan kita bekerja sudah mencukupi kehidupan kita.
Cara berpikir yang demikian, bukan akan mening-
katkan taraf kehidupan kita, namun bisa jadi sebaliknya.
Misalnya kita benar-benar mendapatkan gaji yang lebih
besar, apakah kita akan menggunakannya dengan sebaik-
baiknya? Ketika gaji kita kecil, tentu kita akan mengatakan
bahwa kita sanggup menjaga jika diberi gaji besar, karena
kita belum mengalaminya. Untuk itu, kita perlu mengam-
bil pelajaran dari orang-orang dengan gaji besar.
Sebagian ornag yang memiliki gaji besar, justru ter-
libat dalam berbagai masalah. Hal ini tidak menutup ke-
mungkinan karena jika kita memiliki uang banyak, godaan
akan semakin besar.
Lalu apakah kita akan bertanya, jika gaji hanya “cu-
kup” kapan kita punya rumah, mobil dan lain sebagainya?
Mari kita renungkan, apakah kata “cukup” selalu ber-
hubungan dengan angka? Berapa banyak yang kita butuh-
kan? Jika “cukup” selalu dikaitkan dengan angka, kita tak
akan merasa cukup.
Kita dapat memaknai cukup dengan kebutuhan kita,
bukan keinginan. Kita cukup makan dengan tempe, lalu
kenapa makan dengan daging? Makan daging menjadi ke-
butuhan untuk memenuhi gizi dalam tubuh kita. Artinya,
kebutuhan pada daging adalah sesekali, bukan setiap saat.
Begitu pula kebutuhan kita terhadap kendaraan. Jika
kita masih single, motor sudah cukup bagi kita, lalu kena-

6
pa harus menggunakan mobil? Lain hal jika keperjaan kita
menuntut kita memiliki mobil. Artinya, kepemilikan mo-
bil telah menjadi kebutuhan. Berbeda pula jika kita telah
berkeluarga. Satu motor tidak cukup untuk menampung
anggota keluarga, sehingga mobil dibutuhkan.
Berpikir “cukup” membuat kita hidup dalam keseder-
hanaan, kesahajaan, keseimbangan dan kedaiaman. Cu-
kup tidak akan membuat kita memperhitung-hitungkan
apa yang kita dapatkan dengan apa yang didapatkan orang
lain. Kita tidak iri pada orang yang lebih kaya dari kita.
“Cukup” dalam agama Islam dikenal dengan istilah
zuhud. Yaitu mengesampingkan nafsu terhadap dunia
yang dapat menjerumuskan kita kepada kemaksiatan.
Sahl bin Sa’ad As Sa’idi berkata, bahwa ada seseorang yang
mendatangi Nabi Saw lantas berkata, “Wahai Rasulullah,
tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku me-
lakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula
manusia.” Rasulullah Saw bersabda,“Zuhudlah pada dunia,
Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di
sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu
Majah)

Segala keinginan yang menggebu akan ber-


henti ketika kita mengatakan “cukup!”. Ber-
pikir cukup adalah berpikir adil bagi diri kita
sendiri. Sebaliknya, sumber keinginan adalah
nafsu. Nafsu ingin memiliki, nafsu ingin me-

7
nguasai. Jika kita mengatakan cukup, berarti
kita telah memukul mundur nafsu itu. Sama
seperti air yang cukup dalam tubuh, akan
menghanyutkan segala penyakit yang siap
menyerang kita.

8
Mengalir Sampai Jauh
life a like riding a bicycle.
To keep your balance, you must keep moving.
—Albert Einstein

Air mengalir sampai jauh… Begitulah sepotong bait lagu


karangan maestro keroncong asal Solo, Gesang. Bait
itu kemudian digunakan dalam iklan sebuah produk air
mineral.

L agu tersebut menceritakan tentang Bengawan


Solo, yang airnya terus mengalir sampai jauh, sam-
pai laut. Bengwaan itu menjadi perhatian banyak
orang, dulunya, sementara riwayatnya kini tak begitu di-
perhatikan lagi. Sumber air yang mengalir ke bengawan
di Surakarta ini dari pegunungan. Bengawan ini pun di-
manfaatkan oleh para pedagang untuk mengantar barang-
barang dagangan. Perahu-perahu sering hilir mudik me-
nandakan bahwa airnya mengalir sehingga bisa mengantar
perahu sampai ke tujuan.

9
Air yang tak bergerak atau mengalir biasanya berada
di danau atau rawa. Meski demikian, beberapa danau dan
rawa juga mengalir dan berganti air. Namun, dalam kon-
teks di sini, air yang mengalir lebih mengandung pelajaran
yang bisa kita ambil hikmahnya. Sebab, air mengalir akan
menemui berbagai hambatan. Air tidak mengalir dengan
lancar begitu saja, terkadang ada akar pohon yang meng-
hadang atau batu di tengah kali, sehingga air harus mem-
belah diri untuk menembusnya.
Seperti air yang mengalir, hidup ini tak boleh berhen-
ti meski kita tahu bahwa di depan kita ada halangan yang
akan dilalui. Tanpa melalui segala rintangan, kita tak akan
dewasa dalam menghadapi segala masalah. Mengalir ada-
lah ikhtiar kita, usaha kita dalam menjalani hidup. Jika hi-
dup berhenti, hanya terlihat tenang di permukaan, namun
di dalamnya mengendap berbagai persoalan yang sebenar-
nya ditutup-tutupi.
Jika ada orang yang hidupnya hanya begitu-begitu
saja, dalam artian tanpa ikhtiar yang maksimal, cende-
rung mengarah kepada keburukan. Berilah dia pertanyaan
tentang tetangganya, akan banyak keluh kesah atau ber-
gunjing. Hal ini terjadi karena orang tersebut lebih sering
menggali apa yang dikerjakan orang lain, daripada mela-
kukan pekerjaannya sendiri. Ia bahkan sibuk mencari-cari
kesalahan orang lain daripada introspeksi diri.
Pun demikian dengan air yang diam. Di permukaan
memang bersih, indah dipandang, bagus untuk latar foto,
tetapi jika kita gerak-gerakkan airnya, kotoran yang meng-

10
endap di bawahnya akan segera naik ke atas, dan kita akan
kecewa dengan keindahannya yang hanya semu. Keindah-
an yang hanya tampak di mata saja, penuh dengan pencit-
raan.
Berbeda dengan air yang mengalir, kadang kita jumpai
permukaannya beriak dan kotor, tetapi sesungguhnya air
itu membawa kotoran ke tempat lain sehingga nantinya
akan bersih setelah kotoran itu sampai pada tempatnya.
Orang yang penuh dengan ikhtiar, begitu pula. Terkadang
ia terlihat sibuk dan pusing, tetapi sesungguhnya ia sedang
menyelesaikan persoalan atau pekerjaan yang ia hadapi.
Keruhnya air mengalir tak akan selamanya. Apakah
pernah ada sungai atau kali dengan air mengalir yang se-
lalu keruh? Pasti suatu saat akan berubah menjadi bening
dan enak dipandang, serta bisa dimanfaatkan airnya un-
tuk berbagai kehidupan sehari-hari.
Pada mulanya, air itu bersih. Kotor pada air merupa-
kan peristiwa alam, dan faktor utamanya karena manusia
itu sendiri. Manusia mengalirkan limbah pabrik ke su-
ngai, membuang sampah sembarang, membenton tanah
sehingga membuat air tak bisa masuk ke dalam tanah se-
hingga kotor dan tercemar. Jika sudah demikian, bukan
tak mustahil bencana akan datang.
Artinya, masalah-masalah yang muncul dalam kehi-
dupan kita pada hakikatnya adalah berasal dari diri kita
sendiri. Dalam Ar-Rad ayat 11, Allah telah menerangkan
bahwa,

11
‫ات ِم ْن ب َ ْ ِي يَدَ يْ ِه َو ِم ْن َخلْ ِف ِه َ ْي َف ُظون َ ُه‬ ٌ ‫َ ُل ُم َع ِقّ َب‬
‫الل ال يُغ ِ ّ َُي َما ِب َق ْو ٍم َح َّت‬ ِ َّ ‫ِم ْن أ� ْم ِر‬
َ َّ ‫الل � َّن‬
‫إ‬
‫الل ِب َق ْو ٍم ُس ًوءا فَال‬ ُ َّ ‫يُغ ِ ّ َُيوا َما ِب�أنْ ُف ِسه ِْم َو� َذا أ� َرا َد‬
ِ ِ ِ ِ ‫َ َإ‬
‫َم َر َّد ُل َو َما له ُْم م ْن ُدونه م ْن َو ٍال‬
Artinya:
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikuti-
nya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaga-
nya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan,
yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah meng-
hendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi me-
reka selain Dia."
Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang berubah di
sekeliling kita merupakan perbuatan kita sendiri, dan apa-
bila ada kerusakan maka dengan segala ikhitiar dan usaha
dalam berbagai bentuk, kita sendiri pula yang harus berbu-
at untuk memperbaikinya. Dibarengi dengan memanjat-
kan doa, Allah akan membantu kita dari sisi yang berbeda.

Air mengalir dari atas ke bawah. Air di ba-


wah tak akan melirik ke atas sehingga ingin

12
kembali naik. Pelajaran yang bisa kita ambil
adalah jika menghadapi segala perkara, baik
mudah maupun rumit, sebaiknya kita melihat
pada orang-orang yang di bawah kita, se-
hingga kita dapat tetap mengalir menyelesai-
kan persoalan. Jika kita melihat ke atas, tentu
akan menambah masalah, karena bisa jadi
di depan kita ada batu sementara kepala kita
mendongak dan tak melihatnya.

13
Air yang Melubangi
Batu
Water is driving force of all nature
—Leonardo da Vinci

P ernahkah Anda melihat ada sebongkar batu yang


cekung atau terkikis oleh air? Hal ini yang menjadi
inspirasi bagi Ibnu Hajar Asqalani, yang bernama
asli Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali
bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Qabilah
yang berasal dari Al-Asqalan, masuk dalam wilayah Pa-
lestina, dekat Ghuzzah.
Ia adalah anak yatim piatu, hidupnya menggantung-
kan kepada kakak kandungnya. Seperti umumnya tradisi
di sana, anak-anak diharuskan belajar di madrasah. Ibnu
Hajar pun berangkat sekolah. Bertahun-tahun di madra-
sah, ia masih juga bodoh, tak bisa menerima pelajaran. Se-
lalu lupa apa yang diajarkan gurunya. Ketimbang teman-
temannya, ia murid yang selalu ketinggalan pelajaran.

14
Kesal dengan kondisinya ini, ia berniat berhenti bel-
ajar dan pulang ke kampung halamannya. Ia marah pada
dirinya sendiri, ia marah pada sekolahnya.
Di perjalana pulang, hujan turun dengan derasnya. Ia
pun mencari tempat berteduh dan bertmulahia dengan se-
buah goa. Ia beristirahat sejenak di sana sembari menung-
gu hujan reda. Di sebuah bongkahan batu ia duduk sambil
memandang keluar gua. Lama kelamaan, dirasakannya se-
belah kanan celananya basah. Ia pun menengok ke kanan
dan melihat batu yang didudukinya itu berlubah, menjadi
kubangan air hujan. Setiap air menetes, menimbulkan cip-
ratan yang mengenai celananya.
Melihat peristiwa itu, Ibnu Hajar heran sekaligus ka-
gum. Air adalah benda cair, tentu tak memiliki kekuatan
untuk melubangi batu. Tapi tetesan itu menjadi bukti bah-
wa air pun mampu melakukannya. Ia pun kemudian sadar
bahwa jika batu saja bisa seperti itu, kenapa ia tidak. Isi ke-
palanya bukan batu, tentu bisa diasah. Dengan ketekunan
yang terus-menerus ia akan bisa menjadi pintar.
Berbekal keyakinan itu, Ibnu Hajar kembali lagi ke
madrasahnya. Ia kembali menghadap gurunya dan mence-
ritakan apa yang ia temui di gua. Guru itu kemudian pa-
ham dan menerimanya kembali sebagai murid. Perubahan
hidup mulai bisa dilihat dalam diri Ibnu Hajar. Ia rajin me-
lebihi murid yang lain, sukses menyerap segala ilmu yang
diberikan gurunya.
Ibnu Hajar pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan
memiliki banyak karangan kitab yang terkenal hingga se-

15
karang. Di antara karyanya yang terkenal ialah Fathul Ba-
ari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ah-
kam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad
Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail
Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakha-
wi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian
peneliti pada zaman itu menghitungnya, dan mendapat-
kan karyanya sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan
dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat
(kajian).
Pokok pada cerita di atas adalah bagaimana air bisa
melubangi batu sehingga menginspirasi murid bodoh se-
perti Ibnu Hajar. Jika kita mengaku sebagai kaum terpela-
jar, mestinya bisa lebih banyak menangkap pelajaran dari
pada pemuda asal Asqalani.
Dari tetesan air itu kita bisa belajar mengenai konsis-
tensi atau istiqomah, fokus dan ulet. Istiqomah berarti kita
tidak mudah mengubah arah usaha kita, tetapi menekuni
secara serius serta mengambil pelajaran dari segala peris-
tiwa yang kita lalui dalam menjalankan usaha. Demikian
pula dengan pelajar, belajar di satu tempat hingga selesai,
lalu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sikap istiqomah sangat disarankan oleh Nabi Saw, se-
bagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

16
ini. Abu Amr, Sufyan bin Abdillah ra. bertanya kepada Ra-
sulullah, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku perkataan
tentang Islam yang tidak akan aku tanyakan kepada sela-
in engkau?” Beliau bersabda, “Katakanlah, Amantu Billah
(aku beriman kepada Allah), kemudian istiqamalah.”
Fokus berarti membuat prioritas utama yang kita tuju.
Satu bidang usaha harus dikuasai hingga betul-betul hafal
celahnya. Begitu pula ketika kita mempelajari suatu ilmu,
tekuni saja apa yang kita minati. Dengan begitu, keahlian
kita akan muncul dengan sendiri.
Sementara ulet adalah liat, bisa menyesuaikan diri
atau beradaptasi. Ulet juga mengindikasikan tidak mudah
putus asa yang disertai kemauan keras dalam berusaha
mencapai tujuan dan cita-cita.
Dengan cara yang demikian, kita akan mampu men-
jadi air yang terus-menerus menetes. Sedikit demi sedikit
tetapi hasilnya jelas, daripada air bah atau tsunami yang
lebih banyak merusak. Tsunami akan menerjang apa saja,
tidak hanya kita, melainkan juga keluarga, tetangga dan
lain sebagainya. Berpikir dengan cara tsunami tentu lebih
banyak merugikan daripada untungnya.

Sebaiknya kita berpikir tinggi daripada ber-


pikir besar. Apakah ada cita-cita besar? Ha-
rapan besar? Ekspestasi besar? Kata “tinggi”
lebih dipilih karena memang inilah yang te-
pat. Begitu juga pelajaran dari air ini. Kalau

17
kita menginginkan melubangi batu lebih ce-
pat, maka kita bisa menempatkan air itu lebih
tinggi. Air besar tak akan mampu melubangi
batu yang keras itu.

18
Menyiramkan Air
ke Tubuh
Ojo gawe angkuh, ojo ladak lan ojo jahil
Ojo ati serakah lan ojo celimut
Ojo mburu aleman lan ojo ladak
Wong ladak pan gelis mati
Lan ojo ati ngiwo
—Pepali Ki Ageng Selo

Terjemahan bebas dari syair karangan Ki Ageng Selo ini


kira-kira begini, “Jangan sombong, jangan galak, dan
jangan jahil. Jangan serakah dan jangan panjang tanga.
Jangan mencari pujian dan jangan galak. Orang galak
cepat mati. Dan jangan berkehendak negatif”. Syair
ini selalu diawali dengan kata jangan karena memang
judulnya pepali, larangan.

Y ang menjadi penekanan dalam syair di atas adalah


galak. Galak bisa diartikan marah, suka melawan,
atau buas. Orang yang galak banyak tak disukai

19
orang karena sulit diajak bicara dengan kepala dingin. Tipe
seperti ini tidak akan mau kalah jika berduskusi atau ber-
selisih. Dengan berbagai cara ia akan berusaha mengalah-
kan teman diskusinya. Teman pun kemudian bisa menjadi
lawan karena perangai sulit diredam.
Sifat ini datangnya dari api. Api yang membakar dan
selalu panas. Jika api sudah tersulut dalam hati, kemarah-
an akan mudah menguasai diri kita. Kemarahan bisa me-
lahirkan kebencian. Kita tentu tak ingin membenci seseo-
rang apalagi teman sendiri. Untuk itu kita perlu berpikir
secara dingin agar hal ini tidak terjadi.
Cara berpikir dingin kita jumpai pada sifat air. Dingin
yang dimaksud di sini bukan seperti es, melainkan yang
bisa memadamkan api. Cara pertama memadamkan api
(kecil) adalah dengan mengibas-ibaskannya ke udara. Mi-
salnya saja jika ada api pada sebongkas kayu, dengan kita
kibas-kibaskan di udara, api justru akan kehabisan udara
dan akhirnya mati.
Cara yang demikian ini telah dijelaskan oleh Nabi Mu-
hammad Saw dalam haditsnya, “Maka apabila salah seo-
rang di antara kamu marah dalam keadaan berdiri maka
duduklah. Apabila dalam keadaan duduk maka berbaring-
lah.” (Riwayat Abu Daud).
Artinya kita disuruh untuk bergerak-gerak agar api ke-
marahan lekas padam. Namun cara ini tidak berlaku jika
kemarahan teramat sangat atau menjadi murka. Kema-
rahan yang dipicu oleh api dalam hati, dengan cepat akan
padam jika dipertemukan dengan air. Rasulullah bersab-

20
da, “Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan terbuat
dari api. Dan api itu hanya bisa dipadamkan oleh air. Oleh
karena itu, jika seorang di antara kamu marah maka ber-
wudhulah. ” (Riwayat Abu Daud).
Jika wudhu dirasa kurang, kita bisa menambahkan-
nya dengan mandi. Meskipun air bisa panas jika dimasak,
akan tetapi air bukanlah api, cepat atau lambat, air akan
berubah dingin lagi. Berbeda dengan api yang sekali tersu-
lut akan terus hidup dan membakar hingga melumat habis
barang-barang yang bisa dibakar. Kalau kita menyiramkan
air yang telah dimasak itu ke dalam api, tetaplah akan mati
meski air dalam kondisi panas.
Akan tetapi, sifat marah selalu ada dalam setiap diri
manusia. Kita bisa mencoba menghindarinya, tapi tak bisa
membuangnya karena merupakan sifat dasar. Oleh karena
itu, mencontoh air adalah hal yang tepat. Air panas jika
terus-menerus dihadapkan pada sesuatu yang panas, baik
api maupun matahari di ruang terbuka. Untuk menjadi
panas pun air butuh proses yang relatif lama. Begitu pula
untuk proses dinginnya, lambat namun pasti, air akan se-
gera dingin.
Ketika menghadapi kemarahan, sebaiknya kita meng-
ingatkan diri kita sendiri dan berkata dalam hati, bahwa
“kemarahanku adalah kemarahan air”. Jika kita tak dipan-
cing terus-menerus untuk marah, kemarahan tak akan me-
luap. Namun jika tetapi meluap, kita sebaiknya menyen-
tuh wujud air dengan menggunakannya untuk berwudhu.

21
Segala sesuatau memiliki perlawanannya. Be-
gitu juga ketika menghadapi api, maka lawan
dengan air. Melawannya dengan api justru
akan mendatangkan masalah baru. Akan te-
tapi, jika kita tak melawannya, api justru akan
merenggut hati kita, dan bahaya yang lebih
besar akan menunggu.

22
Botol Air Mineral yang
Ditolak
Kita hanya perlu keluar rumah
untuk tahu seberapa besar rumah kita.

S iapa yang tak mengenal minuman air mineral ber-


merek Aqua? Seluruh masyarakat Indonesia pasti
pernah meminumnya. Bahkan, perusahaan ini te-
lah menginspirasi orang untuk mendirikan perusahaan
baru dengan produk yang sama. Meski telah memiliki ba-
nyak pesaing dengan harga yang relatif lebih murah, Aqua
tetap menjadi nomor satu di Indonesia.
Namun apakah Anda tahu bagaimana kisah awal-awal
pendirian perusahaan air mineral nomor wahid ini? Pendi-
rinya adalah Tirto Utomo. Lelaki ini mulanya kerja di per-
usahaan asing. Ia kerap berkunjung ke beberapa negara. Ia
menemukan air dalam kemasan di jual bebas. Namun ke-
tika ia kedatangan tamu dari luar negeri, banyak yang me-
ngeluh dengan air minum di Indonesia. Maklum saja, lidah
Indonesia yang terbiasa dengan air yang langsung dimasak

23
tak cocok dengan lidah bule. Selain itu, beda geografis, juga
mempengaruhi kualitas air.
Hal inilah yang menginspirasi lelaki kelahiran Maret
1930 ini untuk memproduksi air mineral dalam kemas-
an. Ide gila ini sempat ditertawakan banyak orang, saah
satunya adalah seorang jenderal. Jenderal itu mengatakan
bahwa air di Indonesia bisa membuat banjir, lha kok malah
jualan air putih.
Saat itu memang air dalam kemasan masih sangat
asing. Akan tetapi, ia menunjukkan kegigihannya. Peru-
sahaannya ini mulanya diberi nama Puritas. Lalu ketika
meminta desainer membuat logo, diusulkan nama Aqua
yang berarti air. Usul itu diterima Tirto dengan senang
hati. Pabrik berdiri di bekasi pada 1973. Produksi dimulai
pada 1974 dan pada bulan Oktober mulai dipasarkan. Lalu
bagaimana hasilnya? Tidak laku!
Minat pasar pada produk ini baru mulai terasa pada
1984. Sayangnya, baru saja akan menikmati hasilnya, ia
disalip dengan perusahaan air kemasan berwarna merah.
Usaha ini pun mundur lagi. Lalu mengatur strategi dan
akhirnya gol! Sampai saat ini, air dalam botol berwarna
biru seolah menjadi standar hidup seseorang dan “candu”.
Mari kita renungkan, air di pegunungan begitu ba-
nyaknya, air di sungai bahkan bisa membuat banjir, dan
berapa milyar liter air yang ada laut, tak akan laku dijual
dalam jumlah yang begitu banyak. Dan lagi, kita tak bisa
mengklaim bahwa itu milik kita. Namun, yang hanya sedi-
kit dan dalam kemasan botol plastik, justru laku.

24
Di laut misalnya, kita bermain air sepuasnya, tapi tak
tahu bagaimana memanfaatkan air itu agar lebih daripa-
da hanya untuk gebyar-gebyur. Tetapi jika kita di daratan,
kita bisa menjual air laut dalam kemasan pula. Ada bebe-
rapa orang yang senang memelihara ikan asin di dalam
aquarium. Ia membutuhkan air asin untuk menghidupi
ikannya tersebut. Dan penjual ikan hidup dan aquarium
menangkap peluang ini sehingga ia berjualan air laut.
Ketika kita terjebur dalam masalah, dan kita hanya
terus berada dalam masalah tersebut, sulit bagi kita untuk
menemukan solusi yang tepat, apalagi menangkap pelu-
ang memanfaatkan masalah tersebut menjadi suatu keun-
tungan. Tetapi jika kita berjarak dengan masalah tersebut
dan memikirkannya sebagai orang yang di luar masalah,
solusi akan mudah kita dapat. Hal ini mungkin saja terjadi
karena kita bisa berpikir secara objektif.
Cara berpikir objektif ini adalah dengan cara meng-
ambil air sebotol untuk kemudian kita perhatikan betul-
betul. Apakah air itu keruh atau ada hewannya. Artinya,
kita membutuhkan analogi atau miniatur masalah untuk
merumuskan solusinya.
Akan tetapi, untuk mendapatkan solusi yang tepat,
kita memang perlu terjebur lebih dahulu agar solusi diper-
oleh berdasarkan pengalaman. Jika tidak, kita bisa meng-
ambil pelajaran dari masalah-masalah sama yang pernah
dihadapi orang lain. Yakinlah, bahwa tak ada masalah yang
benar-benar baru di dunia ini. Masalah selalu berulang-
ulang meski aktornya berbeda.

25
Penyelesaikan masalah dengan cara yang demikian
juga diatur dalam agama Islam, dengan nama qiyas. Qiyas
adalah penyelesaian masalah (hukum) dengan cara men-
cari tahu tentang peristwa yang ada. Hal ini dimaksudkan
agar kita mengambil pelajaran dari peristiwa di masa lalu
untuk menyelesaikan masalah saat ini.

Air dalam konteks ini merupakan sebuah


masalah, apapun masalahnya. Dan seorang
anggota tim SAR adalah orang-orang yang
terbiasa dengan masalah. Ia mudah saja me-
nyelematkan seseorang yang tenggelam kare-
na ia banyak menghadapi masalah. Namun,
tim SAR tidak belajar menyelesaikan masalah
ketika di dalam air, melainkan justru ketika di
darat. Ketika bersentuhan dengan air, ia su-
dah praktik. Mari kita ambil sebotol air untuk
menyelesaikan masalahnya.

26
Berapa Berat
Segelas Air?
Bukan perkara seberapa berat beban yang kita tanggung,
Tapi bagaimana kita mampu menyelesaikannya.

A da sebagian orang yang mengeluh bahwa beban


hidupnya adalah yang paling berat. Ia bekerja se-
rabutan, penghasilan pas-pasan bahkan lebih se-
ring kurang. Ia mengeluh tentang istri yang kurang bisa
mengatur keuangannya, anaknya dengan kebutuhan seko-
lah yang semakin banyak dan belum lagi keluarga besarnya
yang kadang-kadang meminta tolong padanya.
Di sisi lain, ada seseorang menyepelekan persoalan-
nya. Ia menganggap bahwa masalah yang ia hadapi adalah
hal kecil yang tak perlu terburu-buru harus diselesaikan.
Lalu datang lagi masalah yang kecil pula dan tak segera di-
selesaikan. Salah itu itu kemudian menumpuk dan akhir-
nya justru membuatnya kesulitan.

27
Dua ilustrasi di atas, kerap kita temukan dalam ke-
hidupan sehari-hari. Ada banyak orang dengan bebannya
masing-masing memilih merampungkan beban itu dengan
cara yang berbeda-beda. Ada yang menunda dan menyele-
saikannya sekaligus, ada pula yang satu persatu.
Namun, beban sekecil apapun sebaiknya tidak kita
remehkan. Bagaimana pun juga beban itu adalah tang-
gungan kita, yang dikemudian hari akan dimintai pertang-
gungjawaban. Allah telah menggariskan bahwa, “Allah
tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)

‫الل ن َ ْف ًسا �ال ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسبَ ْت‬ ُ َّ ‫ال يُ َ ِكّ ُف‬
‫إ‬
‫َوعَلَ ْيَا َما ا ْكت َ َسبَ ْت َربَّنَا ال تُ َؤا ِخ ْذنَ � ْن ن َ ِسينَا‬
‫إ‬
‫صا َ َك َ َحلْ َت ُه‬ً ْ � ‫أ� ْو أ�خ َْط�أنَ َربَّنَا َوال َ ْت ِم ْل عَلَ ْينَا‬
‫إ‬
‫عَ َل َّ ِال َين ِم ْن قَ ْب ِلنَا َربَّنَا َوال ُ َت ِّملْنَا َما ال َطاقَ َة‬
َ‫لَنَا ِب ِه َواع ُْف َعنَّا َوا ْغ ِف ْر لَنَا َو ْار َ ْحنَا أ�ن َْت َم ْوالن‬
‫ْصنَ عَ َل الْ َق ْو ِم ا ْل َك ِف ِر َين‬
ْ ُ ‫فَان‬
"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang

28
diusahakannya, dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo'a): 'Ya Rabb-kami, janganlah
Engkau hukum kami, jika kami lupa atau kami bersalah. Ya
Rabb-kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami, beban
yang berat, sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang yang sebelum kami. Ya Rabb-kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami, apa yang tak sanggup kami memikul-
nya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terha-
dap kaum yang kafir'."(Q.S. Al-Baqarah: 286)
Artinya, beban itu tak perlu kita keluhkan karena
kita pasti sanggup menyelesaikannya dengan ikhtiar yang
maksimal. Kita tak bisa berharap Allah turun tangan be-
gitu saja tanpa kita berusaha. Justru ketika kita dalam
kesusahpayahan berusaha, “Maka sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama ke-
sulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6).

ً ْ ‫سي‬
‫ُسا ا‬ ِ ْ ‫ُس � َّن َم َع الْ ُع‬ ِ ْ ‫فَ� َّن َم َع الْ ُع‬
ً‫س ي ْ إ‬
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
‫إ‬
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S.
Al-Insyirah: 5-6).
Beban yang kita tanggung serupa air segelas. Berapa
beratnya? Dengan mudah kita mengangkatnya. Bahkan
dengan sekali tenggak air itu akan masuk ke dalam tubuh
kita. Akan tetapi, ketika kita tidak menyadari bahwa be-

29
ban itu hanya segelas air, sementara beban itu selalu pe-
gang, beban akan semakin berat.
Coba saja, berapa lama Anda tahan memegang gelas
berisi air tanpa melakukan suatu apapun. Sepuluh menit,
dua puluh menit, tiga puluh menit? Atau bahkan satu jam?
Tangan kita akan letih dan kemudian keluhan meluncur
bebas dari mulut kita. Tangan yang letih dan keluhan ada
masalah baru yang muncul akibat kita terlalu lama meme-
gang gelas berisi air.
Seandainya saja kita segera meminum atau memin-
dahkan gelas berisi air itu, tentu akan lebih mudah bagi
kita. Demikian pula dalam penyelesaian tanggungan. Ka-
lau kita tidak segera merampungkannya, beban itu akan
semakin berat dan bahkan memicu munculnya masalah
baru.
Anggap saja kita punya tanggungan hutang. Berapa-
pun jumlahnya, kalau kita menunda pembayarannya, ke-
sulitan akan muncul di lain waktu. Kita bisa saja masuk
dalah daftar merah dan tak boleh lagi meminjam. Apalagi
jika pinjaman itu berbunga, makin berat pula tanggung-
an kita. Jika sampai pada batas tempo yang ditentukan,
masalah baru berupa menyitaan aset akan terjadi. Namun
jika kita perlahan merampungkannya dengan cara meng-
angsur, bukankah akan lebih mudah?
Jika kita memang tak bisa menyelesaikan tepat wak-
tu, paling tidak kita sudah punya niat baik untuk menye-
lesaikannya. Dengan demikian, kita pun tak bisa dipidana-
kan karena telah memiliki niat baik itu. Selanjutnya ting-

30
gal bagaimana kita berembug merampungkan tanggungan
tersebut.

Pekerjaan menunda akan melahirkan peker-


jaan menunggu. Di sini kita menunda, di sana
orang menunggu kita melakukan apa yang
kita janjikan. Bukankah kita sendiri tak senang
jika disuruh menunggu? Jika kita membiarkan
pihak seberang menunggu terlalu lama, teror
akan menghampiri kita.

31
Gelas Kosong
dan Gelas Penuh
Kita tak mungkin meloncat
dari satu gunung ke gunung yang lain

D i atas meja ada dua gelas. Satu gelas kosong dan


lainnya sudah penuh air. Gelas kosong akan mu-
dah akan menerima air, tak merepotkan pengisi
gelas dan langsung bisa dimanfaatkan. Berbeda jika kita
mengisi air pada gelas yang telah berisi, lambat laun akan
meluap kemudian mengenai dan membasahi kita. Air itu
akan merambah ke mana saja ke tempat yang lebih rendah.
Dalam kondisi ini, gelas telah menolak air.
Air yang meluap itu ibarat amalan kita. Entah baik en-
tah buruk, pasti akan kembali pada diri kita sendiri. Pilih-
annya kemudian adalah apakah kita akan menuangkan air
keruh atau air bersih ke dalam gelas.
Kondisi gelas kosong dan berisi sangat cocok diibarat-
kan jika kita sedang menuntut ilmu. Menuntut ilmu ada-

32
lah suatu kewajiban bagi siapa saja. Tidak hanya pelajar,
melainkan juga orang dewasa sekalipun.
Untuk bisa menerima ilmu, terlebih dahulu kita ha-
rus mengosongkan gelas dalam pikiran kita sehingga ilmu
yang disampaikan guru dapat dengan mudah masuk ke da-
lam otak kita. Cara mengosongkan gelas ini adalah dengan
menganggap bahwa diri kita belum mengetahui apa yang
disampaikan oleh guru. Artinya, kita tak boleh merasa
tahu, tetapi tahu merasa.
Meskipun kita sudah pernah mendengar atau menge-
tahui ilmu yang disampaikan, bisa jadi kita akan menda-
patkan sudut pandang baru dalam memahami ilmu ter-
sebut. Yang paling pokok dalam hal ini adalah mencari
keberkahan ilmu, dengan tetap menerima ilmu itu meski
telah berkali-kali kita mendengarnya.
Kondisi ini akan berbalik jika kita telah mempertahan-
kan gelas kita yang penuh. Setiap ilmu yang disampaikan
pasti akan dimuntahkan lagi. Cara berpikir yang demikian
sebenarnya merugikan diri kita sendiri. Selanjutnya akan
muncul sifat sombong karena meremehkan ilmu. Padahal
salah satu kebermanfaatan ilmu adalah dengan menghot-
mati ilmu itu sendiri dan ahli ilmu (guru).
Tanpa menghormati keduanya, ilmu yang kita miliki
hanya akan bermanfaat bagi diri kita sendiri, dan tidak
berguna bagi orang lain. Artinya kita tidak dipercaya orang
lain untuk menyampaikan ilmu kita karena kita sendiri
meremehkan ilmu itu.

33
Kita akan sulit menerima pembelajaran dari orang
lain bila ego kita masih ada, apalagi jika tujuannya untuk
ngetest saja. Mungkin dalam bidang yang kita tekuni, kita
merupakan pakarnya, namun di bidang lain, supaya kita
berhasil sukses, kita harus turun dulu.
Tanpa keikhlasan untuk menerima segala hal, kita
tidak akan mendapatkan apa-apa. Air dalam konteks ini
adalah segala hal, sementara gelas menjadi media keikh-
lasan. Bagi orang yang haus akan air pengetahuan, akan
dengan mudah mengosongkan gelasnya.
Selain soal ilmu, ilustrasi di atas juga bisa kita guna-
kan dalam menggambarkan rezeki dari Allah. Bagaimana
Allah akan mengisi gelas kita jika sudah mudah? Rezeki
itu akan meluber dan diberikan kepada orang-orang yang
sebidang dengan kita.
Artinya, kita perlu memberi celah pada gelas rezeki
kita dengan cara bersedekah, infaq dan lainnya. Dengan
cara demikian, Allah akan menambahkan rezeki, bahkan
mungkin menambahkan gelas lagi untuk kita.

Kita tidak mungkin melompat dari satu gu-


nung ke gunung lain. Kita harus turun ke lem-
bah dahulu untuk bisa mencapai puncak gu-
nung lain. Tidak mungkin kita selelu mengisi
gelas yang sudah penuh. Kita harus mengo-
songkannya terlebih dahulu sebelum mengi-
sinya dengan air pengetahuan yang baru. Kita

34
perlu merendahkan ego, menurunkan standar
untuk bisa menerima segala hal.

35
Menggarami Laut
Seorang muslim harus pandai mengambil
pelajaran dari muslim lainnya.

S aling menasihati adalah hal yang mulia bagi sesa-


ma muslim, dalam rangka mengingatkan tentang
berbagai hal yang dilarang oleh Allah Swt. Hal ini
merupakan kewajiban, sebagaimana hadits berikut.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiallohu ‘anhu dia berka-
ta: Aku mendengar Rosululloh Saw bersabda: “Barang sia-
pa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah
ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka
dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan
hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR.
Muslim).
Dalam konteks ini, jalan tengah adalah yang sesuai de-
ngan kondisi bangsa yang demokratis. Yaitu dengan cara
mengajak diskusi dan saling mengingatkan. Akan tetapi
ada tiga golongan orang yang tak bisa kita nasihati. Mela-
kukannya tak ubahnya menggarami laut. Sudah asin kena-
pa pula digarami?

36
Tiga golongan tersebut adalah orang yang sedang di-
mabuk asmara, orang marah, dan pemimpin yang lalim.
Ketiga kerap menggunakan segala cara untuk mendapat-
kan tujuannya. Tak heran jika mencermati politik Indo-
nesia hari ini, banyak sekali pemimpin yang tertangkap
melakukan kemungkaran, padahal setiap hari pemimpian
kita itu juga melaksanakan sholat.
Ketika sudah melaksanakan salat tetapi dia masih
melalukan kemungkaran, kita patut mempertanyakan sa-
latnya, apakah hanya secara fisik saja sebagai pencintraan
atau benar-benar merasuk dalam hatinya.
Pemimpin yang seperti ini tak akan menerima nasihat
baik dari siapa pun juga. Sebaliknya, nasihat buruk akan
mudah ia terima selama memberikan keuntungan bagi-
nya. Percuma saja menasihati pemimpin yang lalim itu.
Mereka sendiri sebenarnya sudah mengetahui apa hukum
dan konsekuensinya, tetapi ketamakan sebagai penguasa
telah merenggut sebagian hati sucinya. Kenapa sebagian?
Dalam hati kecilnya pasti masih terdapat hal-hal yang baik,
namun kalah dengan sisi jahatnya.
Begitu pula dengan orang yang sedang jatuh cinta.
Bukankah kita sering melihat seseorang yang sudah me-
miliki suami atau istri berselingkuh? Berita infotainment
kerap memberitakan hal ini. Pun demikian dengan berita
kriminal. Ujung dari perselingkuhan bahkan sampai saling
menyakiti dan membunuh.
Anak muda juga demikian, jika ketahuan pacaran oleh
orangtuanya, pasti akan dinasihati bahwa sekolahnya le-

37
bih penting. Tapi apakah kemudian mereka putus dan me-
mentingkan belajarnya? Rasanya tidak. Mereka tetap saja
berpacaran secara sembunyi-sembunyi, pada akhirnya, tak
sedikit yang hamil di luar nikah.
Menasihati orang marah, apalagi. Bisa jadi kita akan
terkena marahnya juga. Ornag marah sebenarnya tak
mampu menguasai emosinya yang meluap-luap. Apa pun
yang dikatakan orang, selama tidak sependapat dengan di-
rinya, pasti akan ditolak.
Ketiga golongan orang di atas, sebaiknya kita hindari.
Jika kita terpancing dengan kondisi mereka, bisa jadi kita
akan terjerumus ke lubang yang ama dengan mereka. Be-
gitulah cara setan membujuk manusia, menularkan dan
mengajaknya masuk ke lubang yang sama.
Setelah menghindar, cara kita selanjutnya adalah de-
ngan mendoakan agar mereka diberi hidayah oleh Allah
Swt. Hanya pelajaran dari Allah yang bisa menyadarkan
mereka. Jika kita tetap menasihati mereka, kita hanya
akan melakukan pekerjaan yang sia-sia, seperti menabur
garam di lautan.

Kepada siapa kita akan belajar agama kalau


tidak sesama muslim? Untuk itu, saling men-
dengarkan apa yang dikatakan seorang mus-
lim sepatutnya kita dengarkan. Lihatlah apa
yang dikatakan, dan jangan melihat siapa

38
yang mengatakan, meski orang tersebut lebih
muda dari kita.

39
Mendiamkan Air Keruh
Ketika Anda mencoba untuk multitasking,
dalam jangka pendek itu bisa menggandakan jumlah waktu
yang dibutuhkan untuk melakukan satu tugas, dan biasanya
menimbulkan setidaknya dua kali lipat jumlah kesalahan.
—Dr. JoAnn Deak

A pa yang bisa kita manfaatkan dari air keruh? Ba-


rangkali hanya untuk menyiram halaman atau
tanaman. Tetapi bagaimana jika kita ingin meng-
gunakan secara maksimal, misalnya untuk memasak atau
kebutuhan lainnya. Tentu air keruh tak akan bisa kita gu-
nakan.
Begitulah yang dipikirkan oleh seorang murid yang di-
minta gurunya untuk mengambil seember air dari sungai.
Melihat sungai itu begitu keruh karena baru saja hujan tu-
run, murid itu kembali lagi pada gurunya dan ember yang
dibawanya tetap kosong.
Murid itu menjelaskan kepada gurunya tentang kon-
disi sungai itu. Guru pun hanya diam. Namun bebera-
pa lama kemudian, guru itu meminta muridnya kembali

40
mengambil air. Karena kepatuhan kepada guru, tak ada
alasan untuk membantah.
Benarlah, air di sungai sudah mulai bening dan bisa
dimanfaatkan untuk apa saja. Murid itu pun senang kare-
na bisa membawakan seember air untuk gurunya. Ia pun
segera menyampaikan air itu.
“Bukankah tadi airnya keruh?” tanya gurunya.
Ia pun membenarkan dan memiliki alasan, bahwa
mungkin air keruh karena debu atau tanah yang dibawa
hujan ke sungai. Setelah beberapa saat, tanah itu meng-
endap di dasar sungai. Air di permukaan pun bisa diman-
faatkan.
Guru lalu bertanya, “Apakah jika kamu mengambil
air saat karuh, tanah itu tidak akan mengendap di dalam
ember? Sehingga kamu tidak perlu ke sungai untuk kedua
kalinya?”
Murid itu membenarkan gurunya. Ke mana pun air
keruh dibawa, jika didiamkan, kekeruhannya akan meng-
endap. Semakin tidak kena goncangan, akan semakin ce-
mat pengendapan terjadi.
Air keruh merupakan gambaran pikiran kita yang se-
dang kacau. Sekeras apa pun kita memanfaatkan pikiran
kita untuk memikirkan sesuatu, jika sedang kacau atau
stress hasilnya tidak akan maksimal. Bisa jadi, kita akan

41
membuat kesalahan demi kesalahan. Hal ini biasanya ter-
jadi jika kita sedang dalam banyak tekanan.
Tekanan membuat kita buru-buru ingin menyelesai-
kan pekerjaan, sementara dalam hati kita khawatir apakah
bisa menyelesaikan hingga tenggat waktu yang diberikan.
Dalam kondisi inilah, stress atau kekeruhan pikiran akan
mendera.
Bukankah akan lebih jika pekerjaan dilakukan dengan
cara pelan-pelan tetapi sesuai dengan target daripada di-
kerjakan dalam satu waktu sekaligus? Selain bisa berpikir
tenang, pekerjaan yang dihasilkan juga akan maksimal ka-
rena dikerjakan dengan teliti.
Namun jika kita mengalami pikiran yang keruh, se-
bagaimana air telah memberikan pelajaran kepada kita,
sebaiknya kita berhenti sejenak. Menenangkan pikiran
sembari mengerjakan hal ringan di luar pekerjaan utama.
Misalnya dengan melakukan hobi. Hal yang menyenang-
kan akan membuat pikiran kita kembali fresh.
Lalu bagaimana jika kita berada di kantor? membuat
minuman kesukaan atau mendengarkan musik bisa men-
jadi pilihan. Kita tahu, minuman bisa menjaga stabilitas
andrenaline dan musik memberikan ketenangan jiwa. Na-
mun bagi kita yang muslim, mengerjakan salat sunnah be-
berapa rakaat atau mendaras Alqur’an atau mendengarkan
salawat bisa menjadi pilihan yang paling utama.
Jika masuk waktunya dhuha, kita bisa berhenti seje-
nak untuk mengerjakan dua atau empat rakaat, lalu disam-

42
bung dengan membaca beberapa lembar Alqur’an. Akan
tetapi, hal ini sebenarnya bisa kita cegah dengan menja-
ga atau merutinkan salat malam yang disambung dengan
membaca Alqur’an. Ketika malam kita tenang, siang pun
menjadi tenang.
Untuk ketenangan pikir dan hati ini, Allah Swt me-
nurunkan Alqur’an yang bisa dibaca untuk menenangkan
kita, “Orang-orang kafir berkata: “Mengapa tidak ditu-
runkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari
Tuhannya?” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesat-
kan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang
yang bertobat kepada Nya”. “(yaitu) orang-orang yang ber-
iman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengi-
ngat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah
hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra’du: 27-28)

‫ول َّ ِال َين َك َف ُروا ل َ ْوال أ� ْن ِز َل عَلَ ْي ِه �آي َ ٌة ِم ْن َ ِرب ّ ِه‬ُ ‫َوي َ ُق‬
‫الل يُ ِض ُّل َم ْن يَشَ ا ُء َويَ ْ ِدي �ل َ ْي ِه َم ْن‬ َ َّ ‫ُق ْل � َّن‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫أ�نَ َب‬
Artinya: "Orang-orang kafir berkata: 'Mengapa tidak diturun-
kan kepadanya (Muhammad) tanda (mu'jizat) dari Rabb-nya'.
Katakanlah: 'Sesungguhnya Allah menyesatkan, siapa yang
Dia kehendaki, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat
kepada-Nya," (QS: Ar-Ra’du: 27).

43
ِ َّ ‫َّ ِال َين � آ َمنُوا َوت َْط َم ِ ُّئ ُقلُوبُ ُ ْم ِب ِذ ْك ِر‬
‫الل أ�ال ِب ِذ ْك ِر‬
‫وب‬ُ ُ‫الل ت َْط َم ِ ُّئ الْ ُقل‬ ِ َّ
Artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingat-ingat Allah-lah hati menjadi tenteram."
(QS: Ar-Ra’du: 28).
Pelajaran lain yang bisa kita ambil dari kisah air ke-
ruh di atas adalah melalukan pekerjaan dua kali. Dengan
kita tetap bekerja dalam keadaan stress, hasilnya bisa kita
prediksi kurang memuaskan, dan pada akhirnya membu-
tuhkan revisi atau perbaikan. Waktu kita yang seharusnya
bisa untuk mengerjakan hal lain, terbuang begitu saja ka-
rena harus mengerjakan pekerjaan sebelumnya yang be-
lum juga rampung. Maka, kita perlu mengambil siasat atau
strategi dalam bekerja.

Tak ada yang bisa dimanfaatkan dari air yang


keruh. Untuk bisa diambil manfaatnya, kita
perlu mendekatkan diri kepada yang Maha
Jernih. Mendekatkan diri kepada Allah mam-
pu memberi kita ketenangan sehingga bisa
menjalankan tugas apapun dengan baik dan
benar.

44
Semakin Tinggi Air
Dikucurkan, Semakin
Jauh Cipratannya
Anda boleh meninggalkan susah payahnya mencari ilmu,
Atau Anda akan merasa pedihnya menjadi bodoh
—Anonim

K ita pasti pernah terkena tempias atau percikan air


hujan. Ia mengenai siapa saja yang tak berlindung
atau berteduh. Tentu saja tempias itu menggang-
gu. Siapa yang menginginkan bajunya basah meski hanya
sedikit. Dan lagi, hal ini bisa menimbulkan penyakit jika
daya tahan tubuh kita rendah.
Atau Anda pernah berkunjung ke tempat wisata de-
ngan objeknya berupa air terjun? Tentu siapa pun pernah.
Air yang jatuh dari atas, cipratannya sampai bermeter-
meter jauhnya. Tak seperti tempias hujan, cipratan air ini

45
justru didatangi orang, bahkan rela berbasah-basahan.
Meski demikian, air hujan banyak membawa manfaat.
Air hujan dan air terjun meski sama-sama diturunkan
dari tempat yang tinggi di atas, akan tetapi sifat keduanya
berbeda. Air hujan cenderung datang secara temporal dan
berhenti hanya dalam beberapa saat atau beberapa jam.
Berbeda dengan air terjun yang senantiasa mengalir wa-
laupun di musim kemarau dengan volume air yang lebih
sedikit.
Kedua air di atas merupakan gambaran mengenai
ilmu yang kita pelajari. Ada ilmu yang hanya dipelajari da-
lam waktu pendek tetapi hadir pada setiap semester, ada
ilmu yang senantiasa bisa dipelajari setiap saat. Ilmu yang
pertama serupa air hujan, dan lainnya adalah air terjun.
Akan tetapi, ilmu adalah sesuatu yang tinggi sehingga
kita harus meraihnya. Meski demikian, dalam meraih ilmu
yang berada diposisi tinggi itu kita tak perlu memanjat.
Bisa Anda bayangkan jika harus memanjat untuk meraih
air hujan?
Untuk itu, kita hanya perlu berada di tempat yang
rendah dan terbuka jika menginginkan menerima ilmu
dengan mudah. Artinya, kita perlu merendahkan hati dan
berpikir terbuka. Sebab, seperti sifat air, ilmu akan meng-
alir ke bawah dan menembus setiap celah yang berbuka.
Sifat sombong dan tertutup hanya akan membuat
ilmu mengalir di sekeliling kita. Misalnya di kelas sedang
diterangkan tentang sejarah penciptaan alam, namun ka-

46
rena sudah pernah mendengar atau membaca sejarah ter-
sebut, kita kemudian seenaknya menyepelekan pelajaran
tersebut. Tentu saja ilmu itu tidak akan masuk ke dalam
otak kita, melainkan hanya masuk kuping kanan, keluar
kuping kiri.
Seperti posisi air yang berada di tempat tertinggi,
ilmu juga mendapat posisi yang mulia. Oleh sebab itu, si-
apa pun yang memiliki ilmu memiliki derajat yang tinggi
pula. Tanpa memiliki ilmu, kita tak ubahnya seperti makh-
luk ciptaan-Nya yang lain, hewan misalnya. Ilmulah yang
membedakan kita dengan hewan.
Mungkin kita pernah atau barangkali sudah hafal de-
ngan ayat yang mengatakan bahwa Allah SWT akan meng-
angkat derajat orang-orang yang berilmu. Salah satunya
QS. Al-Mujadilah ayat 11, “Wahai Orang-orang yang ber-
iman, apabila dikatakan kepada kalian “luaskanlah tem-
pat duduk di dalam majlis-majlis” maka luaskanlah(untuk
orang lain), maka Allah SWT akan meluaskan untuk kalian,
dan apabila dikatakan “berdirilah kalian” maka berdirilah,
Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang berilmu beberapa derajat, Allah Maha
Mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.”

‫َي أ�يُّ َا َّ ِال َين � آ َمنُوا � َذا ِقي َل لَ ُ ْك تَ َف َّس ُحوا ِف‬
‫إ‬
َ ُ َّ ‫الْ َم َجا ِل ِس فَافْ َس ُحوا ي َ ْف َس ِح‬
‫الل ل ُ ْك َو� َذا ِقي َل‬
‫إ‬
47
‫الل َّ ِال َين � آ َمنُوا ِم ْن ُ ْك‬
ُ َّ ِ ‫شوا يَ ْرفَع‬ ُ ُ ْ ‫شوا فَان‬
ُ ُ ْ ‫ان‬
َ ُ‫الل ِب َما تَ ْع َمل‬
‫ون‬ ُ َّ ‫ات َو‬ ٍ ‫َو َّ ِال َين أ�وتُوا الْ ِع ْ َل د ََر َج‬
ٌ‫َخبِري‬
Artinya: “Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikata-
kan kepada kalian “luaskanlah tempat duduk di dalam majlis-
majlis” maka luaskanlah(untuk orang lain), maka Allah SWT
akan meluaskan untuk kalian, dan apabila dikatakan “berdiri-
lah kalian” maka berdirilah, Allah mengangkat derajat orang-
orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa
derajat, Allah Maha Mengetahui atas apa-apa yang kalian
kerjakan.” (QS: Al-Mujadilah: 11)
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa bersifat ter-
buka bukan saja untuk diri kita sendiri, melainkan juga
memberi ruang kepada sesama untuk saling belajar. Da-
lam arti yang lebih luas lagi, bagi siapa saja yang ingin
belajar kepada siapa saja, sebaiknya kita bersikap terbuka.
Menutup ruang belajar hanya akan membuat ilmu kita tak
bermanfaat. Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah yang
bisa dibagi kepada orang lain? Seperti sifat air mengalir ke-
pada apa saja, siapa saja, tanpa pandang bulu.
Seperti penjelasan ayat di atas, bahwa pemilik ilmu
akan diangkat derajat, artinya, kita akan seperti air hujan
atau air terjun yang mengalirkan ilmu kepada yang di ba-
wah. Namun, hal ini tidak perlu menjadikan kita berdiri

48
di menara gading. Kita hanya berkutat dengan ilmu tanpa
mau bersentuhan dengan masyarakat kecil. Dengan demi-
kian, meski kita mengajarkan ilmu kepada ornag lain, teta-
pi sesungguhnya kita belumlah sampai pada tahap menga-
malkan ilmu yang kita miliki.
Hal ini seperti air yang mengalir, namun tak memberi
manfaat kepada alam di sekitarnya. Semakin seseorang ti-
dak mengalirkannya ke orang lain, tentulah kualitas ilmu
di dalam diri kita bukannya menjadikan semakin hebat,
malah bisa-bisa kita “keracunan” karena tetep mengkon-
sumsi “barang kadaluarsa”.

Ilmu yang bermanfaat merupakan amal yang


tidak pernah putus meski kita telah tiada. Se-
makin deras kita mengalirkan ilmu, semakin
terasalah kemanfaatannya dan semakin ting-
gi pula nilai kita di hadapan-Nya.

49
Air Zamzam
yang Istimewa
“Hidup adalah sebuah hak yang istimewa.
Karenanya, kita perlu melakukan kewajiban kita
untuk menjalaninya sebaik mungkin.”
—Winna Efendi, Happily Ever After

A ir zamzam merupakan oleh-oleh wajib bagi jama-


ah haji. Tak hanya untuk menghilangkan dahaga,
air zamzam memiliki manfaat yang lebih luas.
Terutama kaitannya dengan kecerdasan seseorang. Kita
sering melihat dan mendengar atau bahkan mengalami
sendiri, jika dalam menghadapi ujian sekolah atau yang la-
innya, kita diminta untuk meminum air zamzam. Hal ini
dipercaya mampu meningkatkan kecerdasan seseorang.
Fakta menarik yang perlu kita tahu tentang air zam-
zam ini adalah, 1) tidak ditumbuhi lumut. Merupakan hal
ini jika air tidak berlumut. Kita bisa menyaksikan di mana
saja, baik air yang mengendap maupun mengalir, akan
ditumbuhi lumut. Akan tetapi tidak demikian dengan air

50
zamzam. 2) Air zamzam memiliki zat yang bermanfaat
bagi menyembuhkan penyakit. Air zamzam ini memiliki
zat flourida yang sangat ampuh dalam melawan kuman se-
hingga bisa bermanfaat sebagai minuman kesehatan dan
untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh ku-
man.
3) Seorang peneliti mengemukakan bahwa struktur
molekul air zamzam berbeda dengan struktur molekul air
pada umumnya. Bisa dikatakan memiliki struktur molekul
yang sangat cantik dan teratur bentuknya sehingga jika di-
bekukan bisa memancarkan 12 warna dan mirip dengan
berlian. 4) Kita tahu, air zamzam telah ada sejak jutaan
tahun lalu, namun masih mengalirkan air yang banyak
untuk memenuhi banyaknya pengunjung. Air ini tidak
pernah berhenti dan mengalami kekeringan namun justru
memancarkan lebih banyak lagi.
Mencontoh sifat air zamzam dalam kehidupan kita
sangatlah tepat. Kita tahu, bahwa air yang istimewa ini
mengalir di bilangan Masjidil Haram, artinya ia berada di
tempat yang suci. Selain itu, menilik sejarahnya, air zam-
zam diusahakan uleh Siti Hajar dengan susah payah, sete-
lah berlari bolak-balik antara sofa dan marwah.
Dari dua hal di atas, kita bisa mencontoh bahwa apa
yang kita kita inginkan tidak akan dengan mudah diberi-
kan oleh Allah Swt tanpa kita berusaha dengan keras. Ana-
logi lainnya adalah bahwa untuk mendapatkan kecerdasan
atau ilmu, kita dituntut untuk belajar lebih giat dan rajin.

51
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim, ada enam syarat
yang harus dipenuhi untuk medapatkan ilmu, yaitu 1)
harus berusaha memahami, berpikiran terbuka (dzakain);
2) memiliki semangat yang tinggi (khirsin); 3) kesabaran
(istibarin); 4) biaya yang tidak sedikit (bulghoh); 5) mengi-
kuti arahan guru (iryasdi ustadzin); 6) waktu yang panjang
(thuli zamanin).
Akan tetapi mencontoh sifat air zamzam, kita perlu
dalam keadaan yang senantiasa suci agar ilmu yang kita
dapatkan tetap terjaga. Kita tahu bahwa maksiat merupa-
kan salah satu halangan yang menghambat ilmu. Selain
itu, kita perlu mendekatkan diri kepada Allah Swt yang
Maha Tahu, Maha Memiliki Ilmu. Seperti kata pepatah,
bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Artinya, kita bisa
saja terjebak dalam berbagai macam lubang kemaksiatan.
Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi pula
cobaan yang didapatkan. Akan tetapi, jika kita berhasil
melewati cobaan itu, maka seperti keistimewaan air zam-
zam yang akan kita terima. Ilmu kita akan terus mengalir
walaupun berjuta-juta orang belajar pada kita. Bukannya
terkuras, ilmu kita akan semakin mengucur deras.
Selain itu, ilmu yang kita miliki tak akan lekang oleh
zaman, atau lumutan seperti hal air zamzam. Sewaktu-
waktu bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam keperlu-
an.
Pelajaran lain bisa kita ambil adalah bekerja dan se-
nantiasa menjaga kesucian harta yang kita dapatkan.
Harta adalah titipan, dan sebagian yang kita dapatkan,

52
sesungguhnya bukan bagian kita. Oleh karena itu, kita
perlu mensucikannya dengan bersedekah, zakat, infaq dan
lainnya. Selain itu, harta bisa lantaran kita semakin dekat
dengan Allah Swt, sebagai ekspresi syukur karena telah
mencukupi kebutuhan dan keinginan kita.
Semakin kita bersyukur dan mensucikan, akan sema-
kin bertambah pula harta kita. Seperti zamzam, bukannya
berkurang meski kita banyak beramal, melainkan akan
semakin mengucur. Sebab, Allah Swt akan senantiasa me-
lipatgandakan setiap harta yang kita belanjakan di jalan-
Nya.

‫ات َما َك َسبْ ُ ْت‬ ِ ‫َي أ�يُّ َا َّ ِال َين � آ َمنُوا أ�نْ ِف ُقوا ِم ْن َط ِ ّي َب‬
‫َو ِم َّما أ�خ َْر ْجنَا لَ ُ ْك ِم َن ا أل ْر ِض َوال تَ َي َّم ُموا‬
‫ون َولَ� ْس ُ ْت ِب� آ ِخ ِذي ِه �ال أ� ْن‬ َ ‫الْ َخب‬
َ ‫ِيث ِم ْن ُه تُ ْن ِف ُق‬
‫إ‬
‫الل غَ ِ ٌّن َ ِحي ٌد‬ َ َّ ‫تُ ْغ ِمضُ وا ِفي ِه َوا ْعلَ ُموا أ� َّن‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari
hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi. Dan janganlah kamu memilih yang bu-
ruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mengambilnya melainkan dengan memincingkan

53
mata terhdapanya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya
lagi maha Terpuji” (Q.S. Al Baqarah; 267).

Orang yang bahagia adalah yang selalu dida-


tangi orang lain, beratas-ratus bahkan beribu-
ribu dan seluruh mendapatkan manfaat dari
orang tersebut. Seperti air zamzam yang se-
lalu didatangi orang dan memafaatkannya.
Orang itu dan air zamzam adalah sebuah ke-
istimewaan.

54
Air di Tandon
Muda berupaya, tua kaya raya
Muda menabung, tua beruntung
—Anonim

T andon merupakan kebutuhan pokok bagi peru-


mahan-perumahan modern. Tandon yang berada
di atas genteng digunakan untuk menampung air
sehingga tidak membuat boros listrik karena pompa air
yang menyedot sumur setiap kali kita membutuhkan air.
Di lain waktu, jika kita membutuhkan air, tinggal mem-
buka kran saja. Jika pada batas tertentu air dalam tandon
berkurang, maka pompa air akan menyala dengan sendiri.
Kita bisa mengartikan bahwa tandon merupakan ta-
bungan air jika sewaktu-waktu kita membutuhkan air.
Tanpa perlu menimba, dengan sendirinya air naik.
Kita bisa mempelajari logika air dalam tandon ini da-
lam bekerja dan menabung. Pertama-tama adalah bahwa
bekerja di dunia modern seperti sekarang ini, kita tak bisa
melepaskan diri dari teknologi yang bisa mempermudah
pekerjaan kita. Begitulah fungsi pompa air dalam pekerja-

55
an kita. Misalnya saja kendaraan. Kita membutuhkan un-
tuk mencapai ke kantor tanpa harus susah payah berjalan
kaki.
Contoh lainnya adalah teknologi perupa laptop atau
gadget. Kita seolah dikepung oleh kecanggihan teknolo-
gi, dan kedua barang ini seolah menjadi kebutuhan pokok
bagi pekerjaan kita. Meskipun bukan penulis, laptop di-
butuhkan nyaris semua lini pekerjaan. Begitu pula gadget
yang berfungsi sebagai alat komunikasi sekaligus alat ker-
ja.
Kedua, menampung air di tandon adalah menampung
hasil kerja kita. Gaji yang kita terima tidak mungkin kita
habiskan dalam sekali waktu, seperti air di tandon yang
tidak mungkin kita tuang semuanya untuk satu keper-
luan. Akan tetap akan ada yang disisihkan hingga bulan
berikutnya. Terutama jika kita memiliki tanggungan atau
angsuran yang harus dibayarkan setiap bulan. Selain itu,
kebutuhan tehadap asuransi juga merupakan tabungan.
Jika sewaktu-waktu kita mengalami kecelakaan kerja atau
sakit, asuransi ini bisa menjamin kita.
Ketiga adalah mengisi tabungan sebelum benar-benar
kosong. Kita tidak pernah kapan akan benar-benar mem-
butuhkan uang selain kebutuhan bulanan dan pokok. Pe-
ristiwa mendadak bisa saja terjadi kapan pun, untuk itu
kita memerlukan adanya tabungan sehingga tak kelim-
pungan ketika benar-benar membutuhkan. Ketika ada
saudara atau teman yang meninggal misalnya. Mau tak
mau kita harus membantunya. Apalagi jika jika saudara

56
atau teman itu sangat dekat dengan kita. Tak mungkin kita
hanya membantu ala kadarnya. Atau jika kita adalah pe-
kerja rantauan, tentu kita membutuhkan biaya untuk bisa
pulang kampung.

ً َ ُ‫َوال َ ْت َع ْل يَدَ كَ َم ْغل‬


‫ول � َل ُع ُن ِق َك َوال تَبْ ُس ْطهَا‬
‫إ‬
‫ك الْبَ ْسطِ فَتَ ْق ُعدَ َملُو ًما َم ْح ُس ًورا‬َّ ُ
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu (pelit) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
(boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al Isra’; 29).
Kita dilarang untuk berperilaku pelit. Hal ini justru
akan menyulitkan kita sendiri di lain waktu. Misalnya ada
seorang teman yang ingin meminjam uang, jika kita ada
uang, sebaiknya dipinjami. Kalau teman kita tahu bahwa
kita baru saja gajian sementara kita tak mau memijamin-
ya, tentu hal ini akan ia lakukan kepada kita di lain waktu,
jika kita membutuhkan pinjaman. Sikap pelit inilah yang
akan membelenggu leher kita sendiri dan menjadikan kita
tercela.
Anjuran lainnya dalam ayat di atas adalah hidup se-
derhana. Hidup sederhana bukan berarti memiskinkan
diri, melainkan dengan apa adanya dan tidak mengeluar-
kan uang lebih dari yang kita punya. Selain itu, menyisih-
kan uang yang kita dapatkan.

57
‫� َّن الْ ُم َب ِّذ ِر َين َكنُوا �خ َْو َان ال�شَّ َيا ِط ِني َو َك َن‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ال�شَّ ْي َط ُان ِل َ ِرب ّ ِه َك ُف ًورا‬
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-sau-
dara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhan-
nya.” (QS. Al Isra’; 27)
Fokus pada tidak boros mempunyai pengertian seder-
hana sebagai anjuran untuk menyisihkan sebagian harta
untuk digunakan bagi keperluan masa depan (menabung).

Perilaku boros cenderung berujung pada ke-


maksiatan, dan itu berarti kita membantu
setan untuk menabung temannya di akhirat
nanti. Maka mari kita buat prioritas dalam hi-
dup ini agar tak terjebak dalam lingkaran se-
tan.

58
Berkah Hujan
Gelap dan gemuruh halilintar sesekali membuat resah,
tapi tenanglah, selalu ada pelangi setelah hujan.

T ak ada yang bisa menyangkal berkah hujan kepa-


da bumi dan penghuninya. Ribuan tetes air yang
jatuh membawa nikmat bagi setiap makhluk yang
bisa memaknainya, bagi setiap makhluk yang beriman.
Bagi mereka yang gagal memaknai turunnya hujan, hanya
kemarahan yang mereka luapkan. Lalu mereka akan berka-
ta, “Hujan lagi, hujan lagi…”
Hujan merupakan suguhan Allah Swt kepada makh-
luknya. Jika kita meluapkan seperti ungkapan di atas,
maka tak ubahnya kita bertamu ke rumah seseorang dan
tuan rumah menyuguhkan teh. Hidangan teh ini bukan
kali pertama, melainkan setiap kali kita berkunjung ke
rumah seseorang itu. Lalu apakah kita akan berkata, “Teh
lagi, teh lagi…”
Ungkapan seperti itu tentu tidak sopan kepada tuan
rumah. Begitu pula kita yang rasa-rasanya hanya sebagai
tamu di bumi Allah, sebelum pada akhirnya kita akan kem-

59
bali kepada-Nya. Hanyalah syukur yang patut kita hatur-
kan kepada Sang Khalik atas curahan nikmatnya ini. Allah
berfirman,

‫ُشا ب َ ْ َي يَدَ ْي َر ْ َح ِت ِه‬ ً ْ ‫َوه َُو َّ ِالي أ� ْر َس َل ال ّ ِر َي َح ب‬


َّ ‫َو أ� ْن َزلْنَا ِم َن‬
‫الس َما ِء َم ًاء َطه ًُورا ِل ُن ْح ِ َي ِب ِه ب َ ْ َل ًة‬
‫س َك ِث ًري َاول َ َق ْد‬ َّ ِ َ‫َم ْيتًا َون ُ ْس ِق َي ُه ِم َّما َخلَ ْقنَا أ�نْ َعا ًما َو أ�ن‬
‫صفْنَا ُه بَيْنَ ُ ْم ِل َي َّذكَّ ُروا فَ�أ َب أ� ْك َ ُث النَّ ِاس �ال‬ َّ َ
‫إ‬
‫ُك ُف ًورا‬
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar
gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Dan
Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami
menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan
agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari
makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang
banyak. Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan
itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran
(daripadanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau ke-
cuali mengingkari (nikmat)” (Al-Furqaan: 48-50).
Maka jelaslah bahwa hujan adalah nikmat dan rah-
mat. Bukan hanya kepada manusia, melainkan juga kepa-

60
da tanaman, tumbuhan, pepohonan dan binatang. Semua
itu telah diatur oleh Allah. Kita hanya tinggal menikmati
pemberiannya.
Meski demikian, hujan merupakan peristiwa alam
yang tak bisa dilawan manusia. Awan yang gelap ketika
hujan akan datang, gemuruh halilintar yang membuat hati
mengecil, suara hujan di atas atap disertai angin kencang,
kadang membuat kita menggigil ketakutan. Lalu ketika
hujan menjadi sebuah bencana, apakah alam menghen-
dakinya?
Sebenarnya, bukan alam yang menjadi penyebab, me-
lainkan kitalah yang harus pandai berhitung pada apa yang
kita lakukan. Kita membangun beton di bawah tanah yang
menghalangi jalan air, membuat jalan tanpa memperhi-
tungkan arus air, menebang pohon yang mampu menye-
rap air, membuat sampah sembarangan yang menyumbat
aliran air. Berapa kilo setiap hari kita menghasilkan sam-
pah?
Perilaku semacam ini tak hanya manusia yang terkena
dampaknya, pepohon dan binatang pun akan merasakan-
nya. Maka tak jarang kita mendengar atau bahkan melihat
dengan kepala mata sendiri, ada binatang buas masuk ke
perkampungan. Hal ini karena alam yang mereka huni su-
dah dirusak.
Dampak selanjutnya adalah banjir, longsor dan lain
sebagainya. Kerusakan alam yang datang melalui banjir
tak semestinya kita menyalahkan hujan. Hal ini terjadi tak
lepas dari ulah kita sendiri. Kenapa bencana itu datangnya

61
baru-baru ini. Dulu-dulu bencana tak sesering ini. Hujan
kebanjiran, longsor. Panas kekeringan, kelaparan.
Jika sudah seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh
manusia? Tak bisa melawan, tak bisa menolak. Ketika hu-
jan tidak deras, kita masih bisa mampu berdiri tegak, bah-
kan beraktivitas seperti biasanya. Namun ketika deras dan
bahkan tak kunjung berhenti, kita hanya berdoa, upaya
daya yang terakhir. Kenapa demikian, karena ketika hujan
datang di awal dengan ringannya, kita jarang atau bahkan
tak pernah berdoa semoga hujan menjadi berkah. Tetapi
ketika deras dan mengancap, barulah kita mendekatkan
diri kepada Allah Swt.
Yang demikian ini, seharusnya menjadi pembelajaran
kita. Hujan tak ubahnya sebuah ujian bagi kita sebagai ma-
nusia. Ketika diberi ujian ringan, kita masih tegak berdiri.
Bahkan, kita seringkali tak menyadari bahwa sesungguh-
nya kita diingatkan akan datangnya cobaan. Sifat tak peka
ini akan merugikan kita sendiri. Namun ketika cobaan
yang sebenarnya datang, kita baru mau mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
Hal ini juga dialami oleh makhluk lain. Hujan ringan,
pohon tanaman masih bisa berdiri tegak, namun ketika
hujan deras, sebagian pohon atau tanaman akan merun-
duk tanda ia sebenarnya hujan datang sebagai cobaan yang
berat. Bahkan, sebagian pohon yang lain telah tumbang.
Di sawah bisa kita lihat betapa padi yang tadinya tegak me-
nguning, ambruk oleh hujan deras.

62
Sepatutnya kita pahami ketika mengalami se-
suatu yang tak mengenakkan hati, kita ang-
gap hal itu sebagai peringatan dari Allah. Apa
pun itu bentuknya. Lalu mendekatkan diri ke-
pada-Nya adalah satu-satunya jalan terbaik.
Jika kemudian cobaan yang sebenarnya da-
tang, kita telah bersiap diri menghadapinya.
Di saat seperti inilah, pelangi akan muncul
ketika hujan reda, kemuliaan dan keindahan
hidup akan mampu kita capai karena dapat
melalui ujian dengan baik.

63
INSPIRASI API
S ifat api adalah hangat, panas, membakar, meng-
hangus dan lain sebagainya. Seperti air, api meru-
pakan unsur vital yang selalu kita butuhkan setiap
hari. Tak hanya yang menyala besar, api kecil pun kita bu-
tuhkan. Dengan demikian, kita tak perlu menganggap api
sebagai musuh karena sifat lahirnya, melainkan kita perlu
bersahabat dan memahami api sehingga ia tak membakar
diri kita.
Api kecil kita anggap sebagai teman, api besar juga
kita anggap sebagai teman, tetapi teman jauh. Teman yang
tak selalu kita butuhkan, tetapi teman yang perlu kita da-
tangi jika ada perlu saja. Bukankah sesekali kita perlu ber-
silaturahmi dengan teman jauh?
Meski demikian, tak bisa kita nafikan bahwa ada seba-
gian teman yang justru menghianati dan justru membakar
kita, meski kita sudah berusaha sebaik-baiknya menjalin
hubungan dengannya. Begitu pun dengan api. Meski kita
memahami dan memanfaatkannya dengan baik, namun
masih saja kita dibuatnya rugi.
Akan tetapi, kita tak perlu buru-buru menyalahkan
api. Jangan-jangan kitalah yang salah. Misalnya ketika
kita sedang memasak, karena satu dan lain hal, kita me-
ninggalkan masakan kita. Lalu karena terlalu api memba-
kar, panci pun kemudian ikut terbakar. Api membesar dan
merambat ke tembok-tembok rumah dan melahap apa saja
yang bisa ia habiskan. Tentu saja, api tak bisa disalahkan.
Tetapi kitalah yang harus waspada terhadapnya.
Kewaspadaan terhadap api bisa kita bangun dengan
cara mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang
melibatkan api, baik sebagai aktor utama maupun aktor
pembantu. Setiap peran harus dipertimbangkan dalam se-
tiap lakon. Oleh sebab itu, dari setiap peristiwa kita harus
pandai-pandai mengambil hikmahnya.
Api yang Membakar
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
—QS. At-Tahrim: 6

T ugas utama api adalah membakar. Membakar


apa saja yang berada di dekatnya. Karena tugas-
nya inilah, api dalam berbagai filosofi cenderung
dianggap musuh. Sebagai berbagai ancaman puncaknya
adalah dengan pembakaran. Misalnya ada maling yang di-
bakar, setelah babak belur dipukuli.
Begitu pula ancaman dalam agama Islam, setiap pe-
langgaran yang dilakukan muslim, kelak akan dibalas de-
ngan api di dalam neraka. Seperti apa bentuknya api di
neraka nanti, tak ada yang benar-benar tahu. Tentu saja
akan berbeda dengan api di dunia, karena bahan bakar un-
tuk menumbuhkan api itu adalah makhluk-makhluk yang
berbuat maksiat selama hidupanya.
Karena tugasnya membakar, api mampu menghabisi
apa saja yang ia bakar. Yang tadinya berwujud menjadi hi-
lang, yang tadinya berdiri tegak, runtuh dengan pasti.

68
Sifat api adalah panas. Dan setiap manusia memiliki
sifat api dalam diri masing-masing. Akan tetapi kadarnya
bisa berbeda-beda. Sifat api ini kemudian diidentikkan de-
ngan sifat marah. Ini adalah sifat lahiriah. Kita tak mung-
kin bisa menghindarinya seperti kita mengatakan kepada
api, “jangan panas!” Tidak akan mungkin kita melepas si-
fat ini.
Sifat panas itu akan reda dengan sendiri tergantung
pada kita membawa ke suasana yang bagaimana. Kadang
ada panas yang sulit didinginkan, namun kadang pula ada
panas yang sangat mudah dingin. Sifat panas ini tentu ber-
beda jika sudah menjadi api. Panas belum tentu api, meski
keduanya adalah satu kesatuan.
Api mudah dipadamkan dengan air, tetapi panasnya
akan masih terasa beberapa saat. Jika kita marah, kita bisa
saja meredakan dengan wudhu, tetapi rasa jengkel akan te-
tap ada. Oleh sebab itu, (almarhum) Abdurrahman Wahid
atau akrab dipanggil Gus Dur, pernah membuat ungkap-
an, “Memaafkan tetapi tidak melupakan.” Artinya, marah
sebagai sesuatu yang membakar bisa ia padamkan dengan
segera, akan tetapi panasnya masih terasa karena rasa
jengkel masih ada.
Kadar api tak selalu sama. Bertingkat dari merah, ke
putih, hingga hitam. Rosulullah Saw pernah bersabda, “Api
dinaikkan suhunya selama seribu tahun sampai berubah
menjadi merah, lalu dinaikkan lagi selama seribu tahun
hingga berubah menjadi putih, kemudian dinaikkan lagi

69
selama seribu tahun sampai menghitam, dan itulah yang
disebut dengan hitam legam”. (HR. At-Tirmidzi)
Api berwarna merah/kuning biasanya berada pada
suhu kurang dari 1000 derajat celcius. Kita mudah mene-
mukan api jenis ini dalam kehidupan sehari-hari. Panasnya
dari api ini merupakan yang paling dingin jika dibanding-
kan dengan panas matahari. Dan apa yang kita rasakan di
bumi barulah efek panasnya, bukan efek apinya.
Sementara api berwarna putih menjadi yang paling pa-
nas di bumi. Suhu pada api jenis ini melebihi 2000 derajat
celcius. Dan inilah api yang ada alam inti matahari, muncul
akibat reaksi fusi oleh matahari. Sementara api hitam tak
akan kita temukan di bumi. Kita tahu bahwa warna hitam
adalah lawan dari putih dan tentu saja panasnya bisa ber-
lipatganda. Api jenis ini merupakan api paling panas yang
hanya ada di neraka. Rasulullah bahkan menggambarkan
bahwa api yang ada di dunia ini merupakan tujuh puluh
bagian (kelipatan) dari panasnya api neraka.
Begitu pula dengan kemarahan dalam diri seseorang,
bertingkat sesuai dengan kedengkiannya. Tak heran jika
kemudian kita mendengar seseorang bermusuhan hingga
tujuh turunan. Hal ini menandakan bahwa api yang ada
dalam dirinya itu sudah berwarna hitam. Akan tetapi, se-
bagai muslim kita tak semestinya memelihara jenis api ini.
“Tidak halal bagi seorang muslim tidak saling me-
nyapa dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga
malam. Keduanya saling bertemu, tetapi mereka saling
tak acuh satu sama lain. Yang paling baik di antara kedu-

70
anya ialah yg lebih dahulu memberi salam.” Imam Malik
yang menggunakan kalimat: Fayashuddu Hadza wa yashud-
du Hadza. (keduanya saling berpaling). (HR. Muslim No.
4643).

Membesar-besarkan api justru akan melukai


dan merugikan diri kita sendiri. Akan tetapi
api kecil bisa menerangi kita. Dengan api kecil
ini kita bisa melihat dan mendapat pencerah-
an. Dengan memelihara api agar senantiasa
kecil, akan membuat kita berada pada jalan
yang benar karena kita bisa melihat jalan.

71
Jangan Bermain Api
Berpikir terbuka dan menerima segala kemungkinan
adalah cara terbaik untuk menghindari bermain api.

D alam kehidupan kita sehari-hari, banyak orang


yang mengaitkan pepatah, “jangan bermain api
jika tak ingin terbakar” dengan main perasaan
dengan lawan jenis, padahal sudah memiliki pasangan. Ar-
tinya, ada usaha selingkuh dari pasangannya.
Akan tetapi dalam konteks ini berbeda. Bermain api
berarti memancing kemarahan orang. Api tak akan me-
nyala tanpa sebab. Salah satu menyebab kemarahan orang
adalah karena dibully. Di sosial media maupun dalam ke-
hidupan nyata kita pasti pernah melihat seseorang atau
bahkan kita sendiri pelaku pembullyan itu.
Mulanya barangkali bercanda, namun lama kelamaan,
bercanda menjadi ajang bully karena dilakukan secara te-
rus-menerus. Tak menutup kemungkinan, objek bullying
kemudian berbalik marah. Jika sudah demikian, hubung-
an yang mulanya baik, menjadi rusak. Dalam konteks ini,
sebab api menyala adalah perbuatan bully, lalu menjadi api

72
dengan kemarahan objek bullying dan akhirnya api mem-
bakar dan memberangus hubungan baik di antara kedua-
nya.
Perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan
dzalim. Nabi Saw melarang umatnya berbuat demikian.
“Jauhilah kedzaliman, sesungguhnya kedzaliman adalah
kegelapan pada hari kiamat.”
Yang lebih kita waspadai lagi adalah bahwa doa seo-
rang yang didzalimi termasuk doa mustajab. “Waspadalah
terhadap doa orang yang didzalimi. Sesungguhnya antara
dia dengan Allah tidak ada tabir penyekat.” (HR. Mashabih
Assunnah). Meskipun orang yang dzalimi merupakan
orang yang jahat, tak bisa dijadikan pembenaran atas pen-
dzaliman tersebut. Doanya tetap mustajab.
Penggambaran di atas merupakan menyulut api pada
orang lain. Namun bagaimana dengan menyulut api pada
diri sendiri. Hal ini terjadi ketika kita fanatik (ashobiyah)
terhadap suatu hal. Fanatisme cenderung membawa pada
pandangan yang buta, bahwa ia dan kelompoknya adalah
orang yang paling benar, sementara yang lain dalam kese-
satan.
Tak hanya dalam ajaran agama dengan bermuncul-
annya aliran-aliran di lingkungan kita, pada tataran poli-
tik pun, fanatisme telah menjalar. Di lingkup agama, kita
perlu belajar bagaiaman fanatisme golongan terjadi antara
kaum Anshor dan kaum Muhajirin. Keduanya berseteru
sekian lama. Sehingga Nabi Saw perlu turun tangan untuk
mendamaikan keduanya.

73
Jauh dari zaman Nabi Saw, ternyata kita belum pan-
dai mengambil pelajaran (ibaroh) atas peristiwa tersebut.
Fanatisme golongan terus terjadi padahal secara prinsip
ubudiyah (amalam ibadah) nyaris tak ada bedanya. Rukun
iman tetap sama enam urutan, dan rukun Islam juga tetap
ada lima. Namun, kepentingan-kepentingan di belakang
urusan agamalah yang membuat fanatisme semakin ting-
gi.
Ketika dalam posisi fanatik, tentu api dalam diri kita
akan mudah membesar. Begitu melihat atau bahkan hanya
mendengar kabar yang tidak pasti bahwa kelompok sebe-
rang berbicara seenaknya tentang kelompoknya, darahnya
segera mendidih dan ingin membalas. Lalu terjadilah sa-
ling ejek dan merendahkan. Padahal, bisa jadi kelompok
seberang tak melalukan apa-apa, melainkan hanya adu-
domba seseorang yang tak suka kepada keduanya.
Allah Swt melarang kita melakukan hal demikian,

‫الصال َة َوال تَ ُكونُوا‬ َّ ‫ُم ِني ِب َني �ل َ ْي ِه َوات َّ ُقو ُه َو أ� ِقميُوا‬


‫إ‬
‫ش ِك َني ِم َن َّ ِال َين فَ َّر ُقوا ِدينَ ُ ْم َو َكنُوا‬ ِ ْ ‫ِم َن الْ ُم‬
‫ون‬َ ‫ك ِح ْز ٍب ِب َما َ َل ْ ِي ْم فَ ِر ُح‬ ُّ ُ ‫�شِ َي ًعا‬
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang memper-
sekutukan Allah (kaum musyrikin), yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa

74
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada golongan mereka.” (QS. ar-Rum: 31-32)
Fanatisme lain mudah kita temukan dalam saat pemi-
lihan umum (pemilu). Fanatisme terhadap satu calon sa-
ngat dominan sehingga selalu mencari celah untuk mela-
kukan serangan kepada pihak lawan. Kelompok A akan de-
ngan senang hati rela bertengkar demi calon yang mereka
idamkan. Begitu pula dengan kelompok. Bahkan, setelah
pemilu selesai, fanatisme ini tak kunjung reda. Begitulah
fanatisme, apa pun kondisinya, ia akan tetap berpegang
teguh.
Contoh lain kita temukan dalam sepak bola. Suppor-
ter Tim A begitu fanatiknya hingga ketika bertemu dengan
supporter B, api dalam diri mereka langsung membesar,
padahal tak ada masalah apa-apa di antara mereka. Pernah
diberitakan bahwa supporter dari Bandung datang ke Ja-
karta untuk menonton pertandingan jagoannya. Sampai
di Ibu Kota, bis yang mereka tumpangi dilempari batu oleh
supporter tim lain di Jakarta. Karena tak terima, tawuran
pun terjadi.
Fanatisme adalah sebab utama api dalam diri kita mu-
dah membesar. Karena apa yang kita fanatiki adalah hal
yang paling diyakini benar, meski belum tentu. Dengan
demikian, kita telah bermain api sejak dalam pikiran. Ke-
benaran sesungguhnya hanya milik Allah Swt.

75
Tak ada yang ingin terbakar, tak ada yang
ingin terluka, tersebab api. Maka bermain api
adalah upaya untuk melukai diri sendiri. Dan
jika api itu membesar, bukan saja kita terluka,
melainkan juga orang-orang di sekeliling kita.
Pada akhirnya kita tak hanya bermusuhan
dengan api, melainkan dengan orang-orang
yang berhasil kita lukai.

76
Hati-hati, Api Mudah
Membesar
Kufur nikmat mendatangkan maksiat.

B erilah api sebongkah kayu, atau selembar kertas


atau plastik. Kobarannya akan semakin membum-
bung dan siap melahap yang lainnya lagi. Belum
lagi jika ia diberi minuman. Seperti manusia diberi minum-
an berenergi, api langsung bangkit begitu tersentuh bahan
bakar yang cair itu. Bahkan, tembok dan besi pun coba
dilahapnya. Meski tak berhasil melumat, namun mampu
melukai atau setidaknya membuat tembok menjadi kotor.
Tak ada api yang membakar berhenti di tengah jalan,
jika saja kita tak menghentikannya. Dia akan terus berge-
rak sampai sumber daya kehidupannya habis.
Sifat api yang membakar apa saja ini, mengingatkan
kita pada kerakusan manusia. Manusia merupakan makh-
luk yang dibekali dengan nafsu sehingga apa saja yang di-
lihat, ingin dimiliki. Karena nafsu itu pula, keinginan ma-

77
nusia tak akan pernah habis jika dituruti. Satu terpenuhi,
ingin lima, lima terpenuhi ingin duapuluh. Selalu begitu,
dan terus berlipat.
Meskipun kita beragama, belum tentu kita bisa mele-
paskan diri dari sifat rakus ini. Nabi Saw bersabda, “Tidak-
lah dua serigala lapar dilepaskan kepada seekor kambing
lebih berbahaya dari rakusnya seseorang kepada harta dan
kedudukan melalui agamanya.” (HR. Tirmidzi).
Tentu kita masih ingat cerita Tsa’labah sahabat Nabi
Saw. Ia adalah sahabat yang rajin ke masjid, meski pakai-
annya sangat lusuh dan rambutnya acak-acakan. Di suatu
siang, selasai sholat berjamaah, ada Tsa’labah terburu-
buru meninggalkan masjid. Rosulullah kemudian mene-
gurnya. “Ya Tsa’labah, mengapa kau terburu-buru pulang?
Engkau tidak ingin wirid dan berdoa terlebih dahulu? Bu-
kanlah tergesa-gesa keluar dari masjid adalah kebiasaan
orang-orang munafik…”
Ditegur Rosul, ia sangat malu dan dengan terpaksa
berterus terang.
“Wahai Rosullah, hanya sepotong ini pakaian milik
kami. Sepotong inilah yang saya gunakan untuk sholat,
bergantian dengan istri saya. Dia sekarang menunggu di
rumah. Kami sangat miskin. Jika engkau berkenan, Wahai
Rosulullah, kami mohon, doakanlah agar Allah SWT me-
nyingkirkan segala kemiskinan dan memberi rezeki yang
banyak kepada kami.”

78
Rosulullah tersenyum mendengar sahabatnya itu,
“Tsa’labah, lebih baik kamu mensyukuri hartamu yang
sedikit itu daripada kufur dengan bergelimang harta.”
Nasihat Rosulullah itu menenangkan hatinya. Namun ia
sudah sekian lama tersiksa dalam kemiskinan. Allah pasti
mengabulkan doa Rosulullah mendoakannya, maka tepat
jika memintanya untuk mendoakan.
Keesokan harinya, sahabat ini datang lagi kepada Ro-
sulullah untuk meminta didoakan. Rosulullah menjawab,
“Seandainya aku memohon agar Gunung Uhud dijadikan
gunung emas, Allah pasti mengabulkan. Tapi apa yang ter-
jadi setelahnya? Masjid-masjid akan sepi, orang-orang di-
sibukkan mengumpulkan kekayaan dari gunung itu. Aku
khawatir, Tsa’labah. Jika kau menjadi kaya, kau akan se-
perti itu.”
Tsa’labah kecewa besar. Dalam hatinya berkata bahwa
Rosulullah tak mau mendoakannya. Ia merasa tak sehina
seperti yang diceritakan Nabi. Di sisi hatinya yang lain,
ia malu karena telah memaksa junjungannya itu. Dengan
hati yang kecewa ia pulang. Hanya kebingungan yang ia te-
mui di rumah, putus asa melanda hati, seperti tak sanggup
lagi hidup dalam keadaan kemiskinan. Ia pun bertekad,
meminta didoakan lagi.
Keesokan harinya, Tsa’labah menemui Rosulullah. Ini
permintaan yang ketiga, dan orang nomor satu dalam Is-
lam itu tak kuasa menolak. Beliau berdoa. “Ya, Allah. Lim-
pahkanlah rezeki kepada Tsa’Labah.” Kemudian Tsa’labah
diberi seekor kambing dan pulang dengan gembira.

79
Dari bulan ke bulan, penampilan Tsa’labah telah ber-
ubah. Dulu miskin kini kaya, dulu lusuh kini wangi dan
bersih. Ia jadi terpandang. Begitu pun dengan kambing-
nya yang dulu hanya satu, semakin hari, kambing itu te-
rus berkembang. Takcukup dengan sebidang tanah sebagai
kandang, ia membeli tanah di pinggiran Madinah, cukup
jauh jaraknya dari masjid. Meski begitu, ia masih sering ke
berjamaah di masjid.
Kambingnya terus bertambah. Kini sudah berjumlah
ribuan. Sibuk dengan kambing menjadikannya jarang ke
masjid, hanya Dluhur dan Ashar saja. Lagi-lagi kambing
bertambah, ia harus mencari tanah baru yang lebih luas.
Tanahnya semakin jauh dari masjid. Sementara itu, urusan
ke masjid hanya saat Sholat Jum’at. Semakin sibuk dengan
kambing, Tsa’labah tak lagi ke masjid.
Lalu Rosulullah bertanya pada sahabat. Mengeta-
hui Tsa’labah kaya raya, Nabi memerintahkan dua orang
utusan untukmeminta zakat kepada juragan kambing itu.
Hasilnya ditolak. Lalu turunlah ayat 75 dalam surat At-
Taubah tantang ciri-ciri orang munafik. Ayat tersebut ber-
sambung dari mulut ke mulut, hingga ke telinga Tsa’labah.
Dengan perasaan menyesal, ia menemui Rosulullah untuk
ber zakat.
“Celakalah engkau, Tsa’Labah. Kedurhakaanmu mem-
buat Allah melarangku menerima zakatmu.” Jawab Rosu-
lullah. Tsa’labah tertegun, ia baru sadar bahwa nafsu ter-
hadap harta telah lama memperbudaknya Bahkan sampai
kholifah Utsman bin Affan, zakat Tsa’labah tidak diterima

80
karena Rosululllah dan para amirul mukminin lainnya tidak
mau menerima zakatnya.
Kisah ini merupakan bukti bahwa keserakahan akan
membawa pada keburukan. Semakin kita menuruti nafsu
rakus, semakin kita akan terjerumus dalam lubang hitam.
Inilah yang kemudian disebut sebagai kufur nikmat.

Memiliki harta yang banyak tidak selalu ber-


wujud nikmat, melainkan juga sebuah ujian.
Memang nikmat awalnya, namun jika lalai
pada kenikmatan akan berujung pada kemak-
siatan, yang menghancurkan diri kita sendiri.
Seperti api yang mulanya menghangatkan,
tapi jika kita terus berada di sampingnya dan
tak berusaha mamtikannya setelah tubuh kita
cukup hangat, bukan tak mungkin api juga
akan membakar diri kita.

81
Korsleting Memicu
Kebakaran
Saat kita angkat tangan,
Allah akan turun tangan.

K ita tentu sering mendengar berita, bahwa salah


satu penyebab kebakaran adalah korsleting listrik.
Di berbagai kasus kebakaran, terutama yang ber-
hubungan dengan bangunan, jika bukan faktor manusia,
dugaan utamanya adalah korsleting listrik. Hal ini umum
terjadi di mana-mana. Listrik tak hanya memberikan man-
faat kepada kita, melainkan juga bahaya jika tak berhati-
hati, terutama jika sednag meninggalkan rumah.
Korsleting atau biasa disebut arus pendek listrik ada-
lah kondisi di mana terjadi pertemuan langsung antara
kabel positif dan kabel negatif. Saat terjadi korsleting,
hambatan antara kabel positif dan kabel negatif sangat
kecil (sekitar 1 Ohm), dengan otomatis membuat arus lis-
triknya menjadi sangat besar. Pembesaran arus tentunya
membuat MCB atau sekring atau jenis pembatas arus lain-

82
nya akan memutuskan sumber listriknya, sehingga tidak
terjadi percikan api atau yang lainnya.
Dengan penggambaran di atas, kita belajar bahwa kita
harus memisahkan yang positif dan yang negatif dalam diri
kita. Keduanya memang tak bisa dicampur, meski sama-
sama dibutuhkan untuk keseimbangan. Bayangkan saja
jika kita tak memiliki hal-hal negatif, kita tak akan ikhtiar
jika positif rezeki datang sendiri, kita tak akan belajar jika
positif setiap impian kita akan tercapai, atau kita tak akan
belajar ikhla jika semua kemauan kita bisa terpenuhi.
Kita memerlukan negatif agar bisa berpikir positif. Se-
perti rel kereta api, keduanya saling membutuhkan, tapi
tak pernah ketemu. Kereta akan mengalami kecelakaan
jika rel bersatu karena tak ada jalan lagi. Begitu pula de-
ngan kabel, begitu pula dengan pikiran negatif dan positif
ini. Jika kedua bertemu, akan terjadi korsleting.
Korsleting yang dimaksud di sini adalah keadaan pi-
kiran yang tidak tenang dan gelisah sehingga menimbul-
kan stress. Hal ini kemudian berpengaruh pada kondisi
hati, yang menjadi gelap. Pikiran yang keruh dan hati yang
gelap tentu membuat kita tak tenang dalam menjalani hi-
dup. Bahkan, dalam bekerja pun kita akan banyak mem-
buat kesalahan. Alih-alih produktif bekerja, kita malah
menghasilkan banyak kesalahan.
Jika hal ini terus dipertahankan, akan menyebabkan
matinya hati dan pikiran. Belum lagi jika mendapat marah
dari atasa. Hati yang keruh tak akan mau menerima ke-
salahan yang dilimpahkan padanya meskipun ia yang ber-

83
buat salah. Lalu ia berbalik menyalahkan orang lain. Atau
bisa juga terjadi sebaliknya, segala kesalahan ditimpakan
pada diri sendiri. Stress akan mudah menyerang kita. Se-
makin lama stress akan semakin besar. Akhir dari kondisi
ini adalah—seperti yang sering kita lihat di berita-beri-
ta—bunuh diri.
Bunuh diri merupakan hilangnya kepercayaan terha-
dap Allah Swt yang telah memberikan segala nikmat dan
karunia. Tugas kita adalah berusaha semaksimal mungkin,
lalu Allah yang akan menilai hasil usaha kita, seberapa pan-
tas kita diberi kemudahan oleh-Nya. Oleh sebab itu, Allah
melarang hamba-Nya untuk putus asa, apalagi bunuh diri.
Jangankan putus asa, khawatir akan rahmat Allah saja kita
tak boleh. Maka Allah pun berfirman;

‫ل َب ِخ ٌع ن َ ْف َس َك عَ َل � آ َث ِر ِ ْه � ْن ل َ ْم يُ ْؤ ِمنُوا‬
َ َّ ‫فَلَ َع‬
‫إ‬
‫يث أ� َس ًفا‬ ِ ‫بِ َ َذا الْ َح ِد‬
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu ka-
rena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mere-
ka tidak beriman kepada keterangan ini (Alqur’an).” (QS. Al
Kahfi; 6).
Ayat di atas memberikan keterangan, bahwa ketika
dalam kondisi yang paling menyedihkan, kita diperintah-
kan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan salah
satu jalannya membaca dan memahami keterangan-kete-

84
rangan yang ada di dalam Alqur’an. Kita tahu, banyak doa-
doa yang diambil dari Kitab Allah ini, juga mustajab seba-
gai obat, terutama obat penenang hati.
Alqur’an sebagai mukjizat Nabi Saw juga merupakan
mukjizat bagi umatnya jika kita senantiasa membaca dan
mengamalkan apa yang termaktub di dalamnya. Telah ba-
nyak mukjizat Alqur’an yang menjadi penolong dan petun-
juk bagi muslim.

Tak ada keraguan dalam Alqur’an. Kitab ini


menjadi petunjuk untuk bagi siapa saja untuk
menuju keseimbangan hidup di dunia. Sering
berinteraksi dengan Alqur’an akan memberi-
kan energi positif sehingga tak terjadi korsle-
ting dalam diri kita.

85
Api yang
Menghidupkan Mesin
Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan sari ngelmune
Laku thoreqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane
---
Yang disebut orang saleh itu bagus hatinya
Karena sempurna seri keilmuannya
Melakukan thariqat dan ma’rifatnya
Juga hakekat meresap rasanya
—K. H. Abdurrahman Wahid

P ernahkah Anda mengalami mesin kendaraan tiba-


tiba mati? Tentu Anda akan bingung, padahal tak
ada apa-apa. Anda juga merasa menggunakannya
secara normal. Tak ada yang berlebihan. Pemakaian kenda-
raan juga hanya dalam kota. Lalu kenapa kendaraan Anda
mati begitu saja.
Yang pertama kali perlu kita selidiki setelah bahan
bakar adalah busi. Busi atau dalam bahasa Belanda dina-

86
makan bougie, adalah suku cadang untuk mesin dalam,
dengan ujung elektrode pada ruang bakar. Elektrode di-
hubungkan dengan kabel ke koil pengapian (ignition coil)
di luar busi, dan dengan ground pada bagian bawah busi,
membentuk suatu celah percikan di dalam silinder. Tugas
busi adalah untuk membakar bensin yang telah dikompres
oleh piston.
Tentu Anda sudah tahu cara kerja busi di kendaraan
bermotor. Percikan api adalah hal penting sehingga sangat
dibutuhkan. Tanpa ada percikan api, berarti mesin tak
akan menyala dan busi dinyatakan telah mati.
Jika diibaratkan, iman adalah percikan api. Sementa-
ra yang berperan sebabagi busi adalah hati. Hati menjadi
organ vital yang bisa menggerakkan apa saja dalam diri
kita. Nabi Saw, bersabda, “Sesungguhnya di dalam jasad
ada segumpal daging, bila ia baik maka baik pula seluruh
jasad, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad.
Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Kehidupan beragama sebagai muslim akan menyala
jika stater dipencet atau diputar. Kalau ada orang yang
mendengar lantunan ayat Alqur’an, lalu ia tersentuh dan
menumbuhkan semangatnya dalam beragama, maka di
hatinya masih ada iman. Kalau ada orang yang diseru un-
tuk bersedekah dan ia segera memberi sedekah, maka di
hatinya masih ada iman. Kalau ada orang yang mendengar
salawat dan ia menyahuti salawat itu, maka di hatinya ma-
sih ada iman.

87
Begitulah gambaran bahwa masih ada iman dalam diri
seseorang. Tapi sebaliknya, jika orang tersebut hanya ber-
diam diri saja, atau bahkan cuek dan tidak menghiraukan,
berarti hatinya telah penuh dengan kemaksiatan dan dira-
gukan masih ada iman. Lebih jauh lagi, hatinya telah mati.
Salah satu tanda bahwa hati itu telah mati adalah tidak
ada rasa sedih apabila telah kehilangan kesempatan un-
tuk melakukan taat kepada Allah, tidak juga menyesal atas
perbuatan (kelalaian) yang telah dilakukannya. Artinya, ia
mengetahui hak-hak Allah, tapi tak menunaikannya.
Tanda lainnya adalah meninggalkan Kitab Allah, yaitu
Alqur’an. Menurut Imam Ibnul Qayyim, beberapa tindak-
an yang bisa dianggap sebagai meninggal Alqur’an adalah
orang yang tidak mau mendengar lafadz-lafadznya, orang
yang tidak mau membaca dan memahaminya, orang yang
tidak mau mengamalkannya, orang yang tidak mau men-
jadikannya hukum dalam kehidupan, dan orang yang tidak
mau menjadikannya obat bagi penyakit-penyakit hati.
Hati yang mati juga bisa ditandai dengan mengakui
cinta kepada Rosulullah tetapi tidak mau bersalawat dan
menjalankan sunnahnya. Artinya, cinta yang ia nyatakan
hanyalah cinta palsu.
Sementara Allah Swt telah berfirman,

‫ون عَ َل النَّ ِ ِ ّب َي أ�يُّ َا‬ َ ُّ ‫الل َو َمالئِ َكتَ ُه يُ َصل‬ َ َّ ‫� َّن‬


‫إ‬
‫َّ ِال َين � آ َمنُوا َصلُّوا عَلَ ْي ِه َو َس ِل ّ ُموا ت َ ْس ِلميًا‬
88
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah
kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepa-
danya.” (QS. Al-Ahzab; 56).

Matinya busi pada kendaraan bermotor, seru-


pa hati yang telah menjadi batu. Hatinya ke-
ras, apa saja yang dinasihatkan selalu ditolak.
Hati yang mati rasa tidak mampu membeda-
kan antara kebaikan dan keburukan, antara
kebenaran dan kesalahan, antara amal saleh
dan amal salah.

89
Membakar Sampah
Akeh kang apal Qur’an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale
---
Banyak yang hafal Qur’an dan Haditsnya
Senang mengkafirkan kepada orang lain
Kafirnya sendiri tak dihiraukan
Jika masih kotor hati dan akalnya
­—K. H. Abdurrahman Wahid

S iapa yang tahan melihat tumpukan sampah? Ko-


tor, bau, jijik, penuh dengan sarang penyakit. Be-
gitu melihat sampah menumpuk di rumah, tentu
kita ingin segera menghilangkannya dari pandangan mata
dan hidung. Pasti kita akan langsung membuangnya. Jalan
yang paling praktis untuk menghilangkan sampah adalah
dengan cara membakarnya.
Membakar sampah terhitung efektif. Dalam volume
yang cukup banyak bisa dilenyapkan dalam waktu singkat.
Baik bentuk maupun bau akan segera hilang setelah pem-

90
bakaran selesai. Akan tetapi, cara ini sebenarnya dilarang
karena bisa menimbulkan bahaya polusi udara. Dalam
konteks ini, kita tidak akan membakar sampah dengan arti
yang sebenarnya.
Sampah yang dimaksud di sini adalah sampah yang
berada di dalam hati kita. Tidak seperti sampah pada
umumnya, sampah hati tidak kelihatan tetapi bisa dirasa-
kan. Imam Ibnul Qayyim mendefisinikan sampah hati ke
dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Ilmu yang tidak diamalkan, tidak aplikatif. Setiap


ada orang yang bertanya, ia enggan menjawab. Alas-
an yang paling umum adalah bahwa untuk mendapatkan
ilmu itu, ia kuliah dengan biaya yang tidak sedikit. Atau
alasan lainnya karena kuatir yang bertanya akan lebih pin-
tar darinya.

2. Amal yang tidak ikhlas. Seseorang beramal tetapi de-


ngan berbagai syarat. Misalnya menyumbang mas-
jid Rp. 100.000,- dengan meminta kuitansi dan meminta
namnya disebut-disebut. Amal seperti ini, selain tidak ikh-
las,juga tidak bisa diteladani.

3. Harta yang tidak diinfaqkan di jalan Allah. Kita ingat,


bahwa sebagian dari harta kita adalah milik orang
lain. Harta itu harus diberikan kepada yang berhak. Dan
untuk menjaga harta titipan Allah itu, kita harus membe-
lanjakan di jalan yang diridloi-Nya.

4. Hati yang kosong dari cinta, kerinduan, dan kemes-


raan pada Allah swt. Hati yang demikian sesungguh-

91
nya telah mati karena ia dengan mudah bisa meninggalkan
ibadah yang merupakan kewajibannya.

5. Sehat tetapi tidak taat kepada Allah swt. Kita menge-


nal dua penyakit, rohani dan jasmani. Penyakit roha-
ni ada di dalam hati, dan masyarakat di sekitar kita merasa
terganggu dan resah dengan penyakit itu. Sementara pe-
nyakit jasmani adalah yang terasa di badan kita, sementa-
ra masyarakat justru simpati dengan datangnya penyakit
itu. Ketika badan kita sehat, cara mensyukurinya adalah
dengan mengerjakan segala perintah Allah.

6. Cinta kepada Allah, tetapi tidak mempedulikan


ridlo-Nya. Sebagai seorang hambanya, kita harus se-
nantinya berburu ridlo-Nya. Salah satu caranya adalah de-
ngan senantiasa meminta ridlo dari kedua orangtua kita.
Bukankah ridlo Allah tergantung pada ridlo kedua orang-
tua kita?

7. Waktu yang kosong dari koreksi (evaluasi) atas keal-


paan diri. Kita sibuk dengan mengoreksi kesalahan
orang lain, sementara kita lupa pada kesalahan dan dosa
kita sendiri.

8. Pikiran yang berkelana tanpa arah dan tujuan, hing-


ga sampai kepada hal-hal yang tidak berguna. Me-
lamun, singkatnya. Melamunkan hal-hal yang tidak jelas
sampai lupa diri dan lupa waktu. Orang-orang semacam ini
digambarkan dalam Alqur’an sebagai orang yang dungu,
seperti penyair atau juga filsuf.

92
9. Kesibukan yang menjauhkan diri dari Allah. Sibuk
dengan pekerjaan sendiri sehingga melupakan siapa
yang memberi rezeki. Hasil dari pekerjaan orang ini pada
akhirnya tidak berkah, tak membawa kenikmatan dunia
dan justru dilaknat di akhirat nanti.

10. Takut dan berharap kepada selain Allah. Musy-


rik, namanya. Memohon pertolongan bukan
kepada Allah, tetapi kepada hal-hal gaib lainnya. Memper-
sekutukan Allah merupakan merupakan dosa yang paling
besar, hanya taubatan nashuha yang bisa menebus perbu-
atan ini.
Inilah sepuluh sampah hati. Sampah seperti ini akan
cepat hilang dengan dibakar. Berbeda dengan sampah pada
umumnya, sampah ini tidak akan menimbulkan polusi
apapun. Namun justru sebaliknya, pembakaran sampah
ini akan berdampak baik bagi masyarakat di sekeliling kita.

Sampah yang menumpuk dan tak terurus, se-


lain menjadi sarang penyakit juga bisa me-
nyebabkan bencana alam. Seperti halnya de-
ngan sampah di dalam hati, akan menumpuk
dan menjadi keresahan serta mendatangkan
banyak masalah bagi pemiliknya.

93
Menghangatkan Diri
dengan Api Unggun
Kelawan konco dulur lan tonggo
Kang podo rukun ojo dursilo
Iku sunnahe rosul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kito
---
Terhadap temas , saudara dan tetangga
Rukunlah jangan bertengkar
Itu sunnah Rasul yang mulia
Nabi Muhammad suri tauladan kita
—K. H. Abdurrahman Wahid

S alah satu kegiatan yang menyenangkan ketika cam-


ping adalah api unggun di malam hari. Selain kita
bisa bersenang-senang dengan berbagai permain-
an, kita juga bisa mengisinya dengan berbagi cerita, kisah
inspiratif, bernyanyi-nyayi dan lain sebagainya.
Api unggun mengandung makna dan pesan moral
yang luas. Selain kesukariaan, kegiatan ini juga bisa memi-
liki arti dan aura sakral, wibawa, dan penuh rasa khidmat.

94
Masing-masing peserta duduk membentuk lingkaran de-
ngan santai untuk melepas lelah setelah mengikuti serang-
kaian materi kegiatan.
Api unggun adalah gambaran nyata dari persaudara-
an, kebersamaan, gotong royong serta mampu memuncul-
kan keberanian dan kepercayaan diri sendiri maupun ke-
lompok. Oleh sebab itu, kegiatan api unggun sangat tepat
jika contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masyarakat modern, kita kerap disibukkan de-
ngan berbagai pekerjaan. Tanpa kita sadari pekerjaan yang
kita hadapi tak ada habis-habisnya. Selalu ada saja peker-
jaan yang menanti. Kesibukan inilah yang kemudian mem-
buat kita terkadang lupa bahwa kita masih punya saudara,
masih punya teman. Kita tak bisa menafikannya karena
ketika ada musibah atau hajatan, kita sering beralasan tak
bisa pulang karena pekerjaan menumpuk.
Dengan mengambil pelajaran pada api unggun, kita
akan mengingat masa-masa indah dulu bersama keluarga
dan teman. Api unggun diadakan pada malam hari setelah
kita lelah dengan berbagai aktivitas. Sama halnya dengan
kita yang bekerja setiap hari, berkumpul dengan saudara
dan teman adalah waktu untuk menghangatkan diri, baik
secara fisik maupun psikologis.
Dalam Islam, aktivitas bersama ini bukan lagi suatu
anjuran, melainkan sebuah kewajiban. Abdullah bin Di-
nar dari Ibnu Umar r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw pernah berkhutbah, “Wajib atas kalian untuk bersama
dalam jamaah dan berhati-hatilah kalian dari perpecah-

95
an. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian,
sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barang
siapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terba-
iknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barang
siapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia
dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, maka dia
adalah seorang mukmin.” (HR. At-Tirmidzi).
Selain itu, hikmah silaturahmi akan kita dapatkan.
Kita tahu, bahwa silaturahmi memiliki tiga hikmah yang
menjadi rahasia kehidupan, yaitu memanjangkan (berkah)
usia, menambah rezeki, dan mempertemukan jodoh. Ro-
sulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang ingin diluaskan
rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka bersilaturahmi-
lah. (HR. Al-Bukhari).
Di sisi lain, jika kita memutus tali silaturahmi, ada
ancaman yang menanti, seperti yang ceritakan oleh Abi
Sa’id Al-Khudri r.a, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak
akan masuk surga pemilik lima hal: Peminum miras, orang
yang percaya sihir, pemutus silaturahmi, dukun, dan yang
suka mengungkit-ungkit kebaikan.” (HR. Ahmad).
Tak ada ruginya kita berkumpul dengan saudara dan
teman. Malah justru banyak keuntungan yang akan kita
dapatkan. Namun, yang dimaksud api unggun di sini bu-
kanlah dengan makna sebenarnya, yaitu membakar api
unggun lalu masing-masing saling melikar. Kita bisa me-
maknainya dengan saling mengunjungi atau silaturahmi.
Dan jika kita memiliki keinginan untuk mengumpulkan
saudara atau teman atau bahkan tetangga, akan lebih baik.

96
Misalnya dalam acara syukuran, sekadar makan malam,
atau bahkan mengajar wisata religi bersama.
Cara demikian, sama halnya dengan esensi dari api
unggun yang biasa diselenggarakan oleh anggota pramu-
ka. Sebab, bukan jaman kita lagi untuk melakukannya.
Cukup diambil maknanya saja, dan diaplikasikan dengan
cara yang lentur sesuai dengan kebutuhan dan kemampu-
an kita.

Menjalin hubungan dengan banyak saudara,


teman dan tetangga, sesungguhnya kita se-
dang membangun kekuatan sendiri. Relasi
(hubungan) adalah kekuatan sosial. Ketika
sedang membutuhkan sesuatu, kita tinggal
telepon dan urusan menjadi lebih mudah. Jika
seseorang tak memiliki banyak uang, hubung-
an sosial ini bisa sebagai gantinya.

97
Mengobati dengan Api
Siapa tahu, di dalam pasir ada butiran emas
yang tersimpan.

B elakangan, di Tiongkok berkembang pengobatan


alternatif menggunakan api. Pengobatan ini dise-
but terapi api atau Fire Therapy. Dari dataran Tibet
pengobatan ini datang. Dengan menggunakan api sebagai
media pengobatan yang utama, terapi ini memanfaatkan
12 jalur meridian tubuh, yang berfungsi membuka dan
melancarkan peredaran darah. Gangguan kesehatan se-
perti gangguan pencernaan, sendi, pernapasan, dan saraf,
bisa diatasi.
Sementara di Tiongkok, terapi ini dipercaya dapat me-
nyembuhkan stress, gangguan pencernaan bahkan kanker.
Terapi api adalah salah satu pengobatan alternatif yang
telah digunakan ratusan tahun lalu di Tiongkok. Teknisi
pengobatan ini menggunakan potongan kain yang disiram
zat yang mudah terbakar, semacam alkohol, dan diletak-
kan di bagian yang akan diobati. Kain itu lalu dibakar dan

98
digantikan kain lain lagi. Pembakaran ini tidak menyakit-
kan sama sekali.
Lain lagi di Indonesia. Seorang praktisi pengobatan al-
ternatif di Bantul, Yogyakarta, menggunakan bara api un-
tuk mengobati pasiennya. Terapi alternatif ini konon bisa
menyembuhkan beragam penyakit gangguan syaraf dan
urat. Terapi inilah yang kemudian disebut dengan bekam.
Nabi Saw pernah berkata, “sebaik-baiknya cara peng-
obatan bagi kalian adalah bekam”. (HR. Bukhari dan Mus-
lim).
Bekam atau hijamah adalah teknik pengobatan de-
ngan jalan membuang darah kotor (racun yang berbaha-
ya) dari dalam tubuh melalui permukaan kulit menurut
faham umum, sebenarnya ia berfungsi untuk membuang
darah yang telah rusak atau teroksidasi karena tingginya
oksidan dalam tubuh. Manfaat bekam adalah member-
sihkan permukaan tubuh yang hal itu lebih baik daripada
fashd (membuang darah dengan cara membelah pembuluh
vena).
Bekam hanya dilakukan ketika dibutuhkan saja.
Orang yang sedang berihram juga boleh melakukan be-
kam. Namun pada saat sedang puasa, masih banyak ula-
ma yang memperdebatkannya. Karena dalam perdebatan,
sebaiknya kita menghindari pengbataan ini dalam kondisi
berpuasa.
Api yang biasanya kita asosiasikan dengan hal-hal ne-
gatif, ternyata memiliki dampak positif jika kita mengeta-

99
hui rahasia dan pemanfaatannya. Dalam hal ini untuk ke-
sehatan. Pengalaman di Tiongkok dan Bantul telah mem-
berikan kita pelajaran bahwa api sebagai salah satu sumber
keseimbangan hidup sangat bermanfaat. Hal ini tentu saja
tidak terlepas bahwa tubuh manusia juga mengandung ele-
men api.
Pelajaran lain yang bisa kita ambil adalah bahwa da-
lam sesuatu yang kita anggap negatif ada posisi yang ber-
kebalikan, yaitu hal positif. Benar, api memang membakar
dalam pengobatan tersebut, tetapi api itu kemudian me-
nyerap energi negatif atau penyakit untuk dikeluarkan da-
lam tubuh.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung bersi-
kap skeptis. Apa yang dianggap buruk, selalu dipandang
sebagai hal yang buruk. Apapun yang dilakukannya, bah-
kan kebaikan sekalipun, tetap dianggap buruk. Masyara-
kat kita adalah masyarakat yang akrab dengan stigma atau
cap. Sekali orang berbuat buruk, bisa jadi selamanya ia dis-
tigma buruk.
Padahal dalam diri seseorang, bahkan penjahat yang
paling kejam sekalipun, memiliki sifat kebaikan, meskipun
hanya sedikit. Akan tetapi, yang sedikit itu bisa memberi-
kan pelajaran kepada kita. Apa yang ada di dalam hati me-
reka kita tak mengetahuinya. Oleh karena itu, sebaiknya
kita menghindari memberi stigma kepada siapapun.
Kepada yang pernah atau kerap melakukan hal buruk,
menjauhinya atau bahkan memusuhinya bukanlah cara
yang tepat. Kita perlu memberinya kesempatan, baik ke-

100
sempatan bicara, bertindak, maupun kesempatan untuk
berbuat baik. Bukankah Rosulullah mengajarkan kepada
kita untuk melihat apa yang dibicarakan, bukan siapa yang
berbicara. Hal ini mengindikasikan, bahwa masih ada se-
suatu yang baik bahkan dari mulut yang selalu berbau arak
sekalipun.
Justru menjadi tugas kitalah untuk mendekati orang-
orang seperti ini. Seperti dulu ketika Rosulullah Saw ber-
juang menyebarkan Islam. Bukankah ketika itu masyara-
kat Arab penuh dengan kemaksiatan, bahkan syirik? Lalu
kedatangan Rosulullah untuk menyempurnakan akhlak
mereka.

Jika api sebagai pengobatan, kita juga harus


mampu menjadi obat. Di dunia yang semakin
ruwet dan penuh dengan kepentingan, jika
menjadi agen muslim untuk berdakwah dan
memberi pemahaman kepada mereka bahwa
Islam mengajarkan kedamaian. Cara yang kita
gunakan pun mesti dengan cara yang damai.

101
INSPIRASI UDARA
U nsur lain yang menjadi penyeimbang kehidupan
adalah udara. Udaralah yang memberi kita kehi-
dupan sehingga kita bernapas. Kita bisa menyak-
sikan di film-film atau membaca buku-buku bahwa di luar
angkasa, para astronot menggunakan tabung helm agar
mereka tetap mendapatkan udara. Hal ini mengindikasi-
kan bahwa kita tak bisa lepas dari udara.
Keberadaan udara tentu tak sebatas itu saja. Bagi
makhluk lain pun, udara sangat berarti. Bagi ikan yang
berada di dalam air sekalipun, tetap membutuhkan uda-
ra. Kita bisa melihat sesekali ikan naik ke permukaan air
untuk menghidup udara. Begitu pula bagi hewan di darat,
tumbuhan dan lain sebagainya. Tak terkecuali karya ma-
nusia seperti pesawat, kapal laut, balon bahkan layang-
layang membutuhkan udara untuk bisa mengaktifkannya.
Semua makhluk membutuhkan udara. Tak heran jika ke-
mudian kita sebut bahwa udara sebagai salah satu unsur
yang mendukung dalam kehidupan ini.
Mengenai kebutuhan udara bagi makhluk di bumi, Al-
lah Swt telah menetapkan dalam Alqur’an.
‫الس َما ِء َم ًاء‬َّ ‫َو أ� ْر َسلْنَا ال ّ ِر َي َح ل َ َوا ِق َح فَ�أ ْن َزلْنَا ِم َن‬
‫فَ�أ ْس َق ْينَ ُاكُو ُه َو َما أ�ن ُ ْْت َ ُل ِ َب ِناز َني‬
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tum-
buh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu
Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukan-
lah kamu yang menyimpannya” (QS. Al-Hijr:22).
Ayat di atas kemudian diperkuat dengan,

‫ه َُو َّ ِالي ي َُس ِ ّ ُيُ ْك ِف الْ َ ِّب َوالْ َب ْح ِر َح َّت � َذا‬


‫إ‬
ِ ْ ‫ُك ْن ُ ْت ِف الْ ُف‬
‫ل َو َج َرْي َن بِ ِ ْم ِب ِر ٍحي َط ِ ّي َب ٍة َوفَ ِر ُحوا‬
‫بِ َا َج َاء ْتَا ِرحيٌ عَ ِاص ٌف َو َج َاء ُ ُه الْ َم ْو ُج ِم ْن‬
َ َّ ‫ك َم َك ٍن َو َظنُّوا أ�نَّ ُ ْم أ� ِحيطَ بِ ِ ْم َد َع ُوا‬
‫الل‬ ِّ ُ
‫ُم ْخ ِل ِص َني َ ُل ا ّ ِدل َين ل َ ِ ْئ أ� ْ َن ْيتَنَا ِم ْن َه ِذ ِه لَنَ ُكونَ َّن‬
‫الشا ِك ِر َين‬ َّ ‫ِم َن‬
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di da-
ratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di
dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-
orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik,
dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai,
dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya,
dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya),
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): ‘Se-
sungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya
ini, pastilah Kami akan Termasuk orang-orang yang bersyu-
kur”(QS. Yunus: 22).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui segala ciptaan-
nya, bahkan sebelum kita mencoba berpikir dan menguak
rahasia di balik seluruh ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, mem-
pelajari udara adalah bagian dari kegiatan manusia yang
mau berpikir.
Menghirup Udara Pagi
Malas bangun pagi adalah cara
menghindari rezeki Allah.

S etelah mengistirahatkan tubuh dan kembali mem-


buatnya fit, sudah seharusnya kita merayakan kon-
disi fisik kita ini dengan beribadah kepada Allah.
Beruntunglah bagi orang-orang yang mau merayakan pagi
hari dengan cara seperti ini. Ternyata, Allah tidak membi-
arkan hambanya di pagi hari begitu saja. Sebab, pagi hari
merupakan turunnya berkah dan rezeki.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad dan
al-Baihaqi, diceritakan bahawa ketika Rasulullah pulang
dari salat Subuh di Masjid Nabawi, beliau mendapati pu-
terinya, Fatimah, masih tidur. Dengan penuh kasih sayang
lantas beliau menggerakkan badan puterinya itu lalu ber-
kata, ”Wahai anakku, bangunlah, saksikan rezeki Tuhan-
mu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai kerana
Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya, antara terbit fa-
jar dengan terbit matahari.”

107
Rezeki yang paling utama adalah udara yang segar.
Udara di pagi hari merupakan udara yang paling bersih
dan sehat untuk kita hirup. Semakin pagi akan semakin
baik. Makhluk-makhluk di bumi belum banyak yang mela-
kukan aktivitas sehingga udara belum tercemar. Selain itu,
waktu pagi adalah waktu yang paling berkah. Oleh sebab
itu kita sering mendengar adzan subuh ditambahi dengan
kalimat, assholatu khirum minan naum, salat lebih baik da-
ripada tidur.
Rosulullah Saw menyenangi umatnya yang kerap ba-
ngun pagi, hingga ia pun berdoa, “Ya Allah, berkahilah
umatku selama mereka senang bangun Subuh.” (HR Ti-
rmidzi, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah). Apa yang di-
ragukan dari doa Rosulullah? Doa itu akan terus mengalir
kepada orang-orang yang senantiasa menjadi umatnya,
sampai kapan pun.
Secara psikologi, bangun dan mendapati udara pagi
yang segar merupakan upaya kita untuk membuat mood di
hari itu lebih baik. Bagaimana kondisi hari-harimu, diten-
tukan oleh pagimu. Jika pagi dibangun dengan mood yang
baik, maka akan menjadi hari yang menyenangkan. Na-
mun sebaliknya, mood yang buruk bisa menjadikan hari-
harimu suram.
Kita bisa mencontoh udara pagi ini. Yang kita cermati
dari udara pagi adalah bersih dan suci. Bersih merupakan
salah satu cara untuk hidup sehat. Bahkan, kondisi bersih
ini dikaitkan dengan kondisi iman kita, “kebersihan se-
bagian daripada iman”. Artinya, kondisi bersih pada diri

108
dan lingkungan kita bisa menjadi ukuran kadar keimanan
kita. Nabi Saw bersabda, “Islam adalah agama yang bersih,
maka jagalah kebersihan. Sesungguhnya tidak masuk sur-
ga kecuali orang-orang yang bersih.” (HR. Baihaqi).
Kondisi bersih ini sebaiknya kita lengkapi dengan
kondisi suci. Secara lahir terlihat bersih, secara batin te-
rasa suci. Kalau kita sudah terbiasa dengan kondisi yang
seperti ini, bukan lagi kita menjadi kebersihan dan kesu-
cian, melainkan sebaliknya, kondisi itu yang menjaga kita.
Bagaimana tidak, ketika kita mau berjalan ke tempat-tem-
pat lumpur dosa, kita akan diingatkan bahwa kita dalam
kondisi bersih. Ketika kita melakukan maksiat, kita akan
diingatkan bahwa kita dalam kondisi yang suci.
Salah satu cara sederhana untuk bersuci adalah wud-
hu. Berwudhu adalah bersuci dari hadast kecil. Dalam kon-
disi dan untuk apapun, niat wudhu adalah wajib, meski-
pun untuk melaksanakan ibadah sunnah, maupun tidak
melakukan ibadah sama sekali. Dari inilah kita tahu, baru
wudhu memiliki banyak manfaat bagi yang sering melak-
sanakannya.
Mokhtar Salim dalam bukunya Prayers a Sport fot the
Body and Soul, menjelas bahwa bahan-bahan kimia yang se-
tiap hari kita temui dan bahkan tidak kita sadari menempel
di kulit dan terserap oleh kulit. Dengan melakukan wudhu,
bahan kimia tersebut akan larut. Dengan terus-menerus
terkena air, kulit akan bersih dan bersinar. Hal ini berdam-
pak pada penampilan seseorang.

109
Tak hanya itu, rahasia wudhu telah berhasil diungkap
oleh ilmuan dunia. Salah satunya adalah Prof. Leopold
Werne von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neuro-
log berkebangsaan Austria. Menurutnya, aktivitas wudu
mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia
karena ada keselarasan antara titik-titik wudu dengan ti-
tik-titik syaraf. Melalui penelitian ini, peneliti asal Austria
itu mendapat petunjuk untuk memeluk Islam. Namanya
kemudian berganti dengan Baron Omar Rolf Ehrenfels.
Bagian penting lainnya dalam wudhu adalah lubang
hidung. Hidung merupakan organ pernapasan tempat
keluar masuknya udara. Di zaman yang penuh polusi ini,
banyak yang masuk ke dalam tubuh kita tak selalu bersih.
Udara tersebut pada akhirnya menjadi penyebab berbagai
penyakit seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut),
TBC dan kanker. Dengan membersihkan saluran hidung
dengan air ketika wudhu, kita telah melakukan pencegah-
an dan antisipasi dini terhadap penyakit tersebut.

Kotor dan penuh dengan dosa adalah kebalik-


an dari suci dan bersih. Keduanya merupakan
pilihan hidup. Manusia yang sadar iman akan
berada pada pilihan kedua. Selain bermanfaat
secara fisik, juga berpengaruh bagi psikologi
untuk menjaga kesehatan keduanya. Seperti
udara pagi yang selalu memberikan kesejuk-
an, kesegaran, kesehatan dan lain sebagainya.

110
Udara Gratis
dan Udara Berbayar
Barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu
maka dia berada jalan Allah SWT sampai dia kembali.
—Muhammad Saw

J ika diminta untuk memilih udara gratis atau berba-


yar, spontan kita akan memilih udara yang gratis.
Namun pada praktiknya, kita lebih memilih ruangan
yang dipasangi air conditioner (AC) daripada ruangan tanpa
alat pendingin ruangan itu. Pilihan yang wajar, memang.
Di tengah kondisi dunia yang semakin panas karena pe-
manasan global, kita membutuhkan kondisi dingin untuk
menyegarkan tubuh kita.
Udara gratis adalah udara alami, yang diberikan alam
kepada kita. kita bebas menghirupnya kapan saja dengan
kondisi apa adanya. Kondisi ini sebenarnya kita juga yang
membuatnya, apakah tercemar atau tidak. Jika tidak ingin
tercemar, kita bisa menghindari membua tolusi. Akan te-
tapi kebutuhan manusia modern membuat kita tak bisa

111
menghindarinya. Kendaraan bermotor, pabrik, dan lain
sebagainya adalah kebutuhan kita, seolah-olah menjadi
kebutuhan pokok. Nah, dalam kondisi ini, AC dibutuhkan.
Tak hanya sampai di situ. Kebutuhan udara yang se-
gar, meski kadang tidak selalu menyehatkan, tak cukup di
dalam ruangan. Yang paling sederhana adalah pemakaian
masker, untuk menyaring polusi udara. Di kota-kota besar,
kebutuhan masker meningkat seiring dengan tingginya
tingkat polusi. Maka tak heran jika kelak ada udara segar
dalam bentuk kemasan bisa digunakan oleh perorangan di
mana saja, seperti halnya minuman kemasan.
Di daerah Xinjiang, daerah yang pencemaran udara-
nya sudah sangat buruk di Tiongkok, puluhan juta udara
dalam kaleng seperti kaleng-kaleng minuman ringan yang
ada di sekitar kita sekarang, sudah terjual setiap tahun-
nya sejak beberapa tahun terakhir. Kita tinggal menunggu
kapan produk ini akan sampai dan diminati masyarakat
Indonesia.
Animo masyarakat kita, cenderung menganggap se-
suatu yang berbayar mahal merupakan yang lebih berku-
alitas. Misalnya sekolah, barang-barang modern dan lain
sebagainya. Begitu pula, kelak pandangan masyarakat ter-
hadap udara juga demikian. Dari udara gratis dan berbayar
ini, kita bisa belajar bersama.
Udara bermanfaat bagi kehidupan fisik, nasihat ber-
manfaat bagi kehidupan rohani kita. Ya, udara dalam kon-
teks ini adalah nasihat-nasihat untuk jiwa kita agar bisa
bernapas dan merasakan nikmat yang diberikan Allah.

112
Sejatinya, nasihat-nasihat adalah perkara yang gratis. Kita
bisa mendapatinya di mana saja untuk kehidupan rohani
yang lebih baik.
Akan tetapi, kebutuhan muslim saat ini, entah terben-
tur pada kesibukan atau enggan mendatangi tempat-tem-
pat tersebarnya nasihat, lebih memilih nasihat yang berba-
yar. Bahkan rela membayar berapa saja, untuk mendatang-
kan seseorang demi mendapatkan nasihat. Misalnya sebu-
ah kantor mendatangkan seorang motivator atau ustadz.
Tidak ada yang salah memang, seperti halnya meng-
gunakan AC dalam ruangan. Tetapi kita cenderung tak
melihat setelah nasihat itu diberikan. Mudahnya menda-
tangkan seorang penasihat, semudah itu pula nasihat akan
pergi. Berbeda dengan orang yang bersusah payah menda-
tangi sebuah majlis ta’lim demi mendapatkan nasihat.
Kepayahan seseorang dalam mencapai lokasi penga-
jian merupakan usaha kita untuk meraih ridlo Allah, dan
kita sedang dalam perjalanan jihat atau fi sabililah. Maka
kepayahan itu akan menghasilkan kesungguhan dalam
menerima nasihat. Usaha semacam ini biasanya dilakukan
secara rutin, karena penyelenggaraan majlis ta’lim diada-
kan secara rutin.
Majlis ini biasanya cenderung gratis. Kalau pun ada
iuran, sifatnya lebih pada infaq atau sedekah. Dengan de-
mikian, kita telah mendapatkan tiga hal, yaitu kepayahan
berjihat di jalan Allah, mendapatkan nasihat, dan dapat
bersedekah.

113
Syekh al Albaaniy menuliskan dalam Shahiih At-tar-
ghiib, bahwa Rosulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang
pergi ke masjid, tidaklah diinginkannya (untuk pergi ke
masjid) kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk
mengajarkan kebaikan. Maka baginya pahala seperti orang
yang melakukan haji dengan sempurna.”
Tentu saja berbeda dengan kita yang mendatangkan
orang untuk menasihati. Kita yang hanya mengundang-
nya jika dibutuhkan saja. Artinya jika penyakit kita kam-
buh, baru kita mengundang dokter untuk mengobatinya.
Seperti halnya kita membutuhkan AC pada ruangan, jika
tidak butuh tinggal dimatikan. Lalu berapa biaya yang di-
keluarkan? Tentu tidak murah. Berbeda dengan udara di
luar ruangan akan senantiasa memberikan tanpa meminta
kepada kita.

Secara tidak sadar, penggunaan AC yang te-


rus-menerus dapat mendatangkan masalah
bagi kita. Apalagi jika AC selalu diarahkan ke
tubuh atau wajah kita. Apakah udara di luar
tidak berkualitas dibandingkan dengan AC,
apakah majlis ta’lim untuk umum tidak ber-
kualitas daripada di kantor-kantor atau se-
buah studio? Pengisi majlis ta’lim cenderung
tidak memiliki pretensi dan tendensi apapun
sehingga dalam penyampaian nasihat bisa le-
bih ikhlas.

114
Sepoy di Pantai
Belajarlah selagi yang lain sedang tidur.
Bekerjalah selagi yang lain sedang bermalas-malasan.
Bersiap-siaplah selagi yang lain sedang bermain.
Dan Bermimpilah selagi yang lain sedang berharap.
—William Arthur Ward (author, fountains of faith)

B agaimana Anda menikmati suasana pantai? Tentu


sangat menyenangkan dengan udara yang sepoy
serta pemandangan yang indah. Betapa menye-
nangkanya di tempat yang seperti ini. Menikmati suasana
dan keindahan alam seolah kita terlepas beban hidup yang
cukup berat. Angin sepoy meninabobokan kita dari segala
macam urusan duniawi. Padahal sebagai makhluk penghu-
ni dunia, kita tak bisa lepas darinya. Meski demikian, perlu
sesekali kita melepas beban itu agar tak stress.
Dua poin di atas, yaitu kesenangan dan bersantai ada-
lah yang akan kita dapatkan di pantai. Namun apakah kita
tahu bagaimana hal ini dipandang dari sudut pandang aga-
ma?

115
Mu’adz bin Jabal, ketika diutus ke Yaman, Rasulul-
lah Saw berpesan kepadanya: “Tinggalkanlah sifat gemar
bersenang-senang (at tana’um). Karena hamba Allah yang
sejati bukanlah orang yang gemar bersenang-senang” (HR.
Ahmad 5/243, 244, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Sya-
miyyin 279, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 5/155).
Beberapa ulama kemudian menafsirkan hadist ini de-
ngan berbagai macam tafsiran. Namun yang jelas, sifat at
tana’um ini merupakan kebalikan dari zuhud. Merupakan
hal yang perlu dihindari jika bersenang-senang dan menik-
mati hal-hal dunia sebagai kegemaran. Imam Ali Al Qari
rahimahullah berkata, “At tana’um adalah berlebihan da-
lam memuaskan nafsu dalam bentuk selalu berkeinginan
merasakan nikmat secara berlebihan, serta selalu merasa
tidak pernah puas”.
Hal ini bukan berarti kita dilarang untuk bersenang-
senang, akan tetapi yang demikian bukanlah hal yang se-
lalu dicari dan dikerjakan seorang hamba Allah sejati. Arti-
nya, bersantai dan bersenang-senang diperlukan sesekali,
bukan dicari secara terus-menerus, sebagaimana saat ini
kita saksikan di mana-mana traveling yang sifatnya berse-
nang-senang menjadi tujuan utama.
Jika kita merasa tak puas, dan selalu ingin mengulangi
pengalaman bersenang-senang dalam traveling, maka kita
termasuk golongan at tana’um. Bahkan, Imam Ali Al Qari
menggolongan orang-orang yang demikian ke dalam ciri
khas orang kafir, para penggemar maksiat, orang yang lalai
dan orang yang jahil. Kita perlu mengingatkan diri sendiri,

116
bahwa di mana terdapat tempat wisata yang menyenang-
kan, di situlah pula ada kemaksiatan yang menanti.
Allah Swt berfirman,

‫َذ ْر ُ ْه يَ�أ ُ ُكوا َوي َ َت َمتَّ ُعوا َويُلْهِهِ ُم ا أل َم ُل فَ َس ْو َف‬


َ ‫ي َ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-
senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak
mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS. Al
Hijr: 3).
Lalu bagaimana agar kita terjebak dalam at tana’um
ini? Kita niatkan untuk mensyukuri dan memuji ciptaan
Allah yang begitu megah. Tanda bahwa kita telah melaku-
kannya adalah senantiasa memanjatkan kalimat-kalimat
syukur dan membaca tasbih, serta memuji kebasaran Al-
lah. Kalimat-kalimat itu tak perah direncanakan melain-
kan keluar dengan sendirinya.
Berbeda dengan kondisi jaman saat ini. Ketika kita
melihat kebesaran Allah, yang pertama dilakukan bukan
memuji kebasaran tersebut, melainkan akan mengambil
smartphone untuk kemudian mengabadikannya. Dengan
demikian, kita telah memiliki dua sifat at tana’um. Yang
pertama bersenang-senang dengan keindahan alam dan
kedua dengan smartphone.

117
Orang bijak akan memanfaatkan waktu bersantai te-
tap dengan kegiatan positif dan kreatif. Jika kita suntuk
dengan satu pekerjaan, kita bersantai dengan mengerja-
kan hal-hal lain yang lebih ringan, bahkan yang berbeda
sekalipun dari pekerjaan utama kita. Artinya, kita sama-
sama mengambil jeda dari pekerjaan yang kita tekuni seti-
ap hari. Bukankah tujuan bersantai adalah demikian?
Dan jika kita benar-benar telah lelah, maka istirahat
adalah pilihan yang terbaik. Bukan kemudian bersenang-
senang dengan menghabiskan waktu dan uang. Yang de-
mikian sebenarnya telah masuk dalam lingkaran terlena.
Terlena dari urusannya, terlena telah menghabiskan wak-
tu dan biaya. Sebab, orang yang demikian akan suntuk jika
berhadapan lagi dengan pekerjaan. Belum lama bekerja, di
kapalanya sudah terbayang liburan dan bersenang-senang.

Angin sepoy telah memberi pelajaran kepada


kita agar tak terlena karenanya. Sepoy itu, ka-
dangkala juga bisa memberikan bencana ke-
pada kita, seperti badai, ombak besar, tsuna-
mi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, me-
nikmati angin sepoy dalam waktu yang lama
bukanlah hal baik bagi kita.

118
Membuat Kincir
Berputar
Kebaikan itu seperti permainan petak umpet,
makin bersembunyi semakin dicari orang.

D i Indonesia, beberapa daerah yang memproduksi


garam murni dengan air laut, sangat mengerti
kegunaan kincir angin ini. Hampir sama dengan
di negara lainnya, kincir angin digunakan untuk mengon-
trol air agar tak merusak lingkungan.
Kincir angin di daerah penghasil air digunakan untuk
mengalirkan air ke dalam sekotak tanah yang telah disiap-
kan untuk diisi air laut. Setelah air masuk, kincir akan di-
matikan agar air laut mengendap. Dengan bantuan panas
matahari, air itu akan berubah menjadi garam. Di waktu
yang lain, kincir akan kembali dilepaskan agar air laut di
dalam kotak tanah itu berganti. Fungsinya, agar garam te-
tap bersih dan tak berlumut karena air yang itu-itu saja.
Akan tetapi dari mata rantai produksi garam dengan
cara tradisional itu, angin berperan paling utama. Tanpa

119
angin, kincir tak akan berputar, lalu air tak akan mengalir,
dan pada akhirnya, garam tak akan terwujud. Jika sudah
demikian, makanan kita pun terasa kurang nikmat, seba-
gaimana dalam pepatah “hidup tanpa pengalaman, seperti
halnya makan tak pernah memakai garam”.
Kita bisa memandang peran angin di sini serupa pe-
ran seorang donatur. Ia jarang bahkan tak pernah tampak
meski tanpa perannya sebuah program tak akan berjalan.
Ialah yang memberi suntikan dana agar berbagai macam
kerja sosial tetap berlanjut. Donatur yang menampakkan
diri biasanya telah berubah peran menjadi investor. Ialah
pemilik saham. Berbeda dengan donatur yang memberi
tanpa mengenal timbal balik. Saham yang dimilikinya ber-
ada di akhirat.
Dalam Islam, kita mengenal ajaran kebaikan untuk
tidak dipamer-pamerkan. Perbuatan semacam ini akan
menimbulkan kesombongan. Terkadang, hal ini juga me-
nyengsarakan orang lain. Lihat saja ketika menjelang Ra-
madhan, banyak orang kaya ingin membagikan hartanya.
Ia menuntut orang-orang untuk berbaris di halamannya
dan semua orang berdesakan, berebut ingin mendepat-
kan sedekah. Namun yang terjadi justru ada yang terinjak,
bahkan sampai meninggal dunia.
Dalam memberi, seperti halnya donatur, sebaiknya
kita menyembunyikan tangan kiri agar tak dilihat oleh ta-
ngan kanan bahwa kita sedang berbuat baik. Donatur tak
akan tampil di depan, hanya pelaksana yang akan berada di
posisi terdepan karena untuk mengatur pendistribusian.

120
Nabi Saw bersabda, “Ada tujuh golongan manusia
yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak
ada naungan kecuali naungan-Nya… (dan disebutkan sa-
lah satu dari mereka adalah)… laki-laki yang bersedekah
kemudian menyembunyikan sedekahnya, hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan
kanannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meskipun sebagai peran utama, angin tak


pernah meminta apa-apa. Ia berlalu begitu
saja setelah memberikan manfaatnya kepa-
da kincir agar ia menumbuhkan sesuatu, yaitu
garam. Kita seolah diberitahu, bahwa untuk
ketika kita berbuat kebaikan, anggaplah itu
sebagai angin lalu. Tak perlu diungkit, tak per-
lu diingat. Meski kitalah yang bekerja keras di
balik banyak hal kemaslahatan, akan tetapi
kita hanya perlu kembali seperti angin, agar
segera memberi manfaat kepada lainnya.

121
Bagaimana Jika Ban
Tanpa Angin?
Sesungguhnya pembeda antara seseorang dengan
kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan salat.
—Muhammad Saw

B agi yang pernah merasakan ban kendaraan bocor


atau meletus, pasti mengerti susahnya jika roda
tak bisa digunakan dengan maksimal. Kita tak bisa
menumpangi kendaraan itu, bahkan harus berjalan kaki
dan menuntutnya hingga ke tempat tambal ban. Sampai
di sana kita harus menunggu diperbaiki. Belum lagi jika
ternyata kerusakan tak hanya bocor, melainkan pentil juga
rusak misalnya. Kita harus menggantikan dengan biaya
yang lebih tinggi. Namun tetap saja kita turuti dan mere-
lakan uang kita demi bergeraknya sebuah roda.
Posisi angin dalam roda sangatlah penting. Anginlah
yang menjadikan kehidupan utama, sementara yang lain
merupakan piranti kerasnya. Bisa dikatakan bahwa angin
adalah nyawa sebuah roda. Artinya, tanpa angin, roda ada-
lah seonggok bangkai besi dan karet.

122
Lalu apa perumpaan apa yang cocok untuk angin da-
lam ban yang ada dalam kehidupan? Jawabannya adalah
salat!
Salat dalam terminologi umum dikatakan sebagai
tiang agama, namun dalam konteks ini salat merupakan
angin yang menggerakkan roda kehidupan seorang mus-
lim. Tanpa salat, bisa dipertanyakan keislamannya. Arti-
nya, sebagai seorang muslim ia tidak bisa menggerakan
kehidupannya sebagai muslim. Maka ia tak lebih hanya
sebagai bangkai.
Jika sebuah roda, maka muslim jenis ini tak akan ber-
gerak tingkat keimanannya. Dalam kehidupan sehari-hari
kita biasa menyebutnya sebagai Islam KTP. Bagi muslim
yang salatnya masih kadang-kadang, dalam artian masih
banyak bolongnya, hal ini seperti kendaraan yang bocor
bannya. Ia harus susah payah mendorong kendaraannya
agar tetap berjalan.
Betapa enaknya menjadi muslim yang ban rodanya tak
pernah bocor. Ia tetap saja bisa menaiki kendaraannya ke
mana pun ia mengarahkan. Mudah dalam mencapai tuju-
an. Dan tentu saja, ia lebih maju daripada muslim lainnya.
Ketika kendaraan bisa dilajukan dnegan stabil, ia pun bisa
mengajak keluarga, tetangga, teman dan saudara muslim
lainnya.
Lalu bagaimana dengan muslim yang rajin salat teta-
pi ban rodanya tetap bocor? Yang demikian memang ada.
Ia rajin memompa angin pada ban, tetapi ia juga menam-
bah kebocoran pada sisi ban yang lain. Alhasil, seberapa

123
pun dia mengisi angin, tetap saja ban itu tak bisa bergerak
maksimal. Memompa ban yang seperti ini adalah bentuk
pencitraan.
Kita banyak menemui orang-orang yang sering beri-
badah, tetapi masih kerap melakukan perbuatan maksiat.
Maksiat ini yang dimaksudkan sebagai menambah kebo-
coran di sisi lain. Bagaimana kualitas salat yang dilakukan-
nya sehingga tidak mampu mencegahnya untuk berbuat
maksiat. Kelihatannya saja oran3g tersebut rajin, akan
tetapi dalam hatinya, banyak rencana-rencana yang jahat.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas mengatakan, bahwa “Di
dalam salat terdapat sesuatu yang dapat menahan dan
mencegah seseorang dari mengerjakan perbuatan maksiat
kepada Allah. Barang siapa yang salatnya tidak menyuruh-
nya untuk melakukan perbuatan ma’ruf (yang baik) dan
tidak melarangnya dari perbuatan mungkar, maka dia ha-
nya membuat dirinya semakin jauh dari Allah dengan salat
tersebut.

Salat adalah jaminan kita sebagai muslim


agar roda kendaraan Islam tetap berjalan
dengan baik. Manfaat salat tak hanya akan
berimbas pada kita, melainkan juga Islam itu
sendiri. Maka tak ada alasan bagi kita untuk
meninggalkan ibadah utama itu.

124
Badai Pasti Berlalu
Tak ada kenaikan kelas tanpa ujian,
tak ada kenaikan derajat tanpa cobaan.

S eperti kita ketahui bersama, bahwa hidup tidak


pernah datar-datar saja. Selalu ada gejolak yang
membuat hidup kita berwarna. Kadang terang ben-
derang, kadang abu-abu, bahkan kadang gelap. Yang demi-
kian ini agar kita bahwa dalam kehidupan ada keindahan,
ada ikhtiar, dan ada hasil.
Berbagai macam cara Allah mendewasakan hambanya.
Ada yang paham dengan cepat hanya dengan memahami
teks-teks dalam Alqur’an, dan yang harus dipahamkan me-
lalui berbagai peristiwa. Hal ini karena kemampuan ma-
sing-masing hamba berbeda dalam menerima pelajaran.
Ada pula hamba yang tak cukup dipahamkan hanya
dengan satu peristiwa, melainkan rangkaian peristiwa.
Satu peristiwa baru saja ia selesaikan, ditambahkan lagi
dengan peristiwa lainnya. Maka kita sering mendengar
ada yang mengeluh, “Kenapa saya tak selalu ditimpa ma-
salah? Kenapa tak selesai-selesai?” Orang yang demikian

125
sesungguhnya ia belum memahami apa yang sebenarnya
ingin Allah tunjukkan padanya.
Seperti badai, berbagai peristiwa akan hadir sebagai
cobaan. Kadang cobaan kecil sebagai pengingat, bahwa
kita disuruh lebih mendekat kepada Allah. Bagi yang ti-
dak peka dengan kode yang diberikan oleh Allah ini, akan
menerima cobaan yang lebih besar lagi. Tetapi yang perlu
kita ingat adalah bahwa Allah tidak memberikan cobaan
di luar batas kemampuan kita. Jika kita menerima cobaan
itu, mengikhlaskan serta berserah diri kepada Allah, maka
kita akan menemukan jalan keluarnya.
Allah berfirman,

ٌ ‫َوال نُ َ ِكّ ُف ن َ ْف ًسا �ال ُو ْس َعهَا َو َ َليْنَا ِك َت‬


‫اب ي َ ْن ِط ُق‬
‫إ‬
َ ‫ِبلْ َح ّ ِق َو ُ ْه ال يُ ْظلَ ُم‬
‫ون‬
“Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut ke-
sanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang
membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (QS.
al-Mu`minuun; 62).
Ayat di atas mengingatkan kepada kita, bahwa sebe-
sar apapun badai yang menimpa kita, pasti bisa kita lalui.
Misalnya Allah memberi cobaan kepada suatu bangsa, jika
bangsa itu mau bersatu dan bangkit, Allah akan memberi-
kan jalannya. Nagasaki dan Hirosima, misalnya. Pada ta-
hun 1945, kedua daerah di Jepang itu hancur lebur oleh

126
bom atom kiriman dari Amerika Serikat. Namun dengan
gotong royong warga Jepang dan dunia, daerah itu kemba-
li bangkit dengan cepat, bahkan kini menjadi negara maju
melebihi Indonesia.
Bangsa Indonesia juga pernah ditimpa cobaan berat
pada 2006. Setelah Tsunami di Aceh, lalu gempa bumi di
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dengan berbagai usaha,
ketiga daerah itu mampu bangkit. Hingga sekarang, kehi-
dupan berjalan dengan normal.
Cobaan pada perorangan seperti kecelakaan, penyakit,
semua bentuk tekanan, dan segala macam ujian yang keli-
hatannya menyenangkan seperti kekayaan, adalah dalam
rangkaian batas kemampuan seseorang untuk mengatasi-
nya. Akan tetapi, jika kita tak menyadari bahwa ini adalah
cobaan dari Allah, dan justru memilih mengingkarinya,
maka ia dinyatakan tidak lulus, seperti ujian di sekolah.
Lalu bagaimana dengan orang yang rajin beribadah
dan selalu mendekat kepada Allah, tetapi masih banyak
cobaan yang diterimanya? Cobaan seperti ini adalah upa-
ya Allah untuk mengangkat derajat orang tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa Allah sesungguhnya menyukai
hamba-Nya itu dan ingin lebih dekat dengannya.
Misalnya ada seorang yang miskin dan ahli ibadah,
setiap hari ia berdoa agar diberi rezeki lebih oleh Allah, te-
tapi tak juga doanya itu dikabulkan. Tetapi di sisi lain, ada
orang kafir yang begitu mudah mendapatkan rezeki yang
melimpah. Allah tidak pilih kasih dalam kondisi ini, tetapi
Allah menunjukkan kepada siapa Dia lebih menyukai.

127
Ibarat ada seorang pengamen yang mengampiri kita,
jika pengamen itu enak dipandang dan suara bagus, kita
seolah tak ingin pengamen itu segera pergi. Malah kita
mengajukan request lagu agar ia tetap bernyanyi untuk
kita. setelahnya kita akan memberikan uang lebih kepa-
danya. Akan tetapi, jika ada pengamen yang pakaian dan
wajahnya lusuh serat suaranya sumbang, tentu kita ingin
segera memberinya recehan agar ia lekas pergi. Begitulah
salah satu cara Allah menyayangi hamba-Nya.

Cobaan tak akan selamanya hadir dalam hi-


dup kita, seperti badai yang tak terus-mene-
rus terjadi. Ada kalanya badai itu akan reda
dan meninggalkan kehidupan cerah untuk
kita, jika kita berhasil melewati masa-masa
genting menghadapi badai.

128
Menggerakkan Kapal
Percuma saja berlayar jika kau takut gelombang
—Meggy Z

K apal layar digerakkan oleh angin. Pada masa lalu,


ke mana angin bergerak, di situ kapal akan melaju.
Layar yang dibentangkan akan menangkap angin
dan kemudian kapal bergerak menuju tujuan. Namun jika
angin bergerak ke arah berlawanan dari tujuan, maka ka-
pal akan beristirahat menunggu angin berbalik arah.
Meski sekarang sudah ada mesin yang canggih, bebe-
rapa jenis kapal masih memanfaatkan angin sebagai peng-
geraknya untuk menghemat bahan bakar. Artinya, kon-
teks ini masih relevan hingga saat ini.
Ilustrasi kapal layar ini sangat cocok untuk menggam-
barkan angin sebagai rezeki, layar sebagai wadah, kapal
sebagai kehidupan. Untuk bisa menggerakkan kapal, kita
butuh layar untuk menangkap angin. Begitu pula kehidup-
an, kita membutuhkan wadah untuk menerima rezeki dari
Allah agar kehidupan kita berjalan dengan baik.

129
Semakin besar layar kita, semakin besar pula angin
yang ditangkap. Semakin besar wadah kita, rezeki yang
kita terima juga akan semakin besar. Kita tentu mengingat
pepatah Jawa bahwa, banyak anak banyak rezeki. Anak
merupakan salah satu wadah rezeki. Rezeki tak selalu soal
harta, dengan memiliki anak yang banyak, rezeki berupa
keluarga besar akan kita terima. Dan Allah jelas mencu-
kupi rezeki masing-masing.
Ketika kita masih single, rezeki yang kita terima biasa-
nya pas-pasan. Hanya cukup untuk diri kita sendiri. Kare-
nanya, ada ungkapan di masyarakat kita bahwa uang yang
kita miliki akan terkumpul jika kita sudah menikah karena
ada yang mengatur keuangan. Lalu saat kita menikah, re-
zeki yang didapat hanya cukup untuk kebutuhan berdua.
Artinya, wadah kita punya semakin besar dan rezeki pun
cukup untuk berdua.
Sudah jelaslah, bahwa kita tak perlu khawatir akan
rezeki kita jika menikah meski tak punya tabungan. Allah
sudah berjanji akan memenuhi kebutuhan kita. “Dan ni-
kahkanlah orang-orang yang sendiri (bujangan) di antara
kalian dan orang-orang shaleh diantara para hamba saha-
yamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam
keadaan miskin, Allahlah yang akan menjadikan kaya de-
ngan karunia-Nya. (QS. An-Nur; 32).

130
‫ون ِن َك ًحا َح َّت يُ ْغ ِنيَ ُ ُم‬ َ ُ‫َولْيَ� ْس َت ْع ِف ِف َّ ِال َين ال َيِد‬
‫اب ِم َّما‬ َ َ‫ُون ْال ِكت‬ َ ‫الل ِم ْن فَ ْض ِ ِل َو َّ ِال َين ي َ ْبتَغ‬ ُ َّ
‫وه � ْن عَ ِل ْم ُ ْت ِف ِهي ْم خ ْ ًَيا‬ ْ ُ ‫َملَ َك ْت أ�يْ َمانُ ُ ْك فَ َك ِت ُب‬
‫إ‬
‫الل َّ ِالي �آتَ ُ ْك َوال تُ ْك ِر ُهوا‬ ِ َّ ‫ُوه ِم ْن َم ِال‬ ْ ُ ‫َو�آت‬
‫فَتَ َيا ِت ُ ْك عَ َل الْ ِبغَا ِء � ْن أ� َرد َْن َ َت ُّصنًا ِل َت ْبتَ ُغوا‬
‫إ‬
‫الل ِم ْن‬ َ َّ ‫َع َر َض الْ َح َيا ِة ادلُّ نْ َيا َو َم ْن يُ ْك ِره َُّّن فَ� َّن‬
‫إ‬
‫ب َ ْع ِد � ْك َرا ِهه َِّن غَ ُف ٌور َر ِح ٌمي‬
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri (bujangan) di
‫إ‬
antara kalian dan orang-orang shaleh diantara para hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam
keadaan miskin, Allahlah yang akan menjadikan kaya dengan
karunia-Nya. (QS. An-Nur; 32).
Ungkapan pun akan bertambah, bahwa setelah me-
miliki anak rezeki akan lebih besar. Wadah rezeki kita
bertambah lagi. Apakah Allah tidak akan menambahnya?
Nyatanya kita masih bisa membeli susu, membelikan baju
untuk anak, bahkan sesekali berlibur sekeluarga. Di sini,
kita telah memperlebar layar dan kehidupan terus berja-
lan.

131
Allah berfirman,

‫الل َج َع َل لَ ُ ْك ِم ْن أ�نْ ُف ِس ُ ْك أ� ْز َوا ًجا َو َج َع َل لَ ُ ْك‬ ُ َّ ‫َو‬


‫ات‬ِ ‫ِم ْن أ� ْز َو ِاج ُ ْك ب َ ِن َني َو َح َفدَ ًة َو َر َزقَ ُ ْك ِم َن ا َّلط ِ ّي َب‬
َ ‫الل ُ ْه يَ ْك ُف ُر‬
‫ون‬ َ ُ‫أ�فَبِالْ َبا ِط ِل يُ ْؤ ِمن‬
ِ َّ ‫ون َو ِب ِن ْع َم ِة‬
“Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-
istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian
itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada
kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.” (QS. An Nahl:72).
Akan tetapi, kita perlu waspada, bahwa angin yang
kencang, selain melajukan kapal kita lebih cepat, sewaktu-
waktu juga bisa membawa gelombang sebagai ujian kita.
Harta yang kita miliki sewaktu-waktu bisa menjadi ujian
bagi kehidupan rumah tangga kita.

Angin selalu datang dan menerpa apa saja.


Maka siapa yang membentangkan layar akan
menangkap angin itu. Semakin lebar layar,
semakin banyak pula angin yang ditangkap.
Begitu pula rezeki. Tetapi jika kita tak pergi ke
luat, hanya angin kecil saja yang kita dapat-
kan. Ada medan yang harus ditempuh untuk
mendapatkan angin besar.

132
Layang-layang
Semakin kencang angin menerpa,
semakian tinggi layang-layang terbang.

D engan rangka yang sederhana, kertas yang tipis,


lalu diulur dengan benang yang juga tak besar,
layang-layang terbang ke angkasa. Lalu layang-
layang bermain di atas sana dengan gembira. Sebesar apa-
pun angin menerpa, layang-layang tetap bertahan dan tak
akan jatuh. Ia semakian tinggi, tinggi dan tinggi.
Kunci dari layang-layang adalah ringan tetapi kuat.
Seandainya layang-layang berat, ia akan membutuhkan
bantuan selain angin untuk terbang, seperti pesawat yang
membutuhkan mesin untuk bisa mengangkasa. Atau sean-
dainya layang-layang lemah, ia akan tak mampu menahan
angin yang kencang, seperti burung hanya berani terbang
di angin yang sedang dan ringan.
Sementara itu, untuk menerbangkan layang-layang,
kita membutuhkan tanah yang lapang atau tempat yang
tinggi. Di perumahan yang padat, hanya sia-sia saja kita
menerbangkannya dan justru membuat kita kecewa.

133
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering diterpa oleh
angin, baik isu, kabar miring, cobaan atau apa saja yang
bisa kita kategorikan sebagai sesuatu yang bisa meruntuh-
kan nama baik kita. Namun layang-layang seolah membe-
ri pelajaran bagi kita bahwa jika kita kuat, terpaan itu tak
akan berarti apa-apa untuk kita. Justru terpaan angin itu
membawa kita semakin tinggi, jika kita memang berada di
posisi yang benar.
Akan tetapi, untuk bisa terbang seperti layang-layang
itu, kita memerlukan hati yang lapang agar kita bisa mene-
rima segala cobaan itu. Jika tak bisa berpikir lebih tinggi
daripada orang yang menerpa kita, sia-sia melawan saja
meskipun kita berada dalam posisi yang benar.
Selain itu, dibutuhkan kepandaian kita agar layang-
layang tak putus. Artinya, ketika kita berbuat baik dan ke-
mudian diterpa isu miring, kita tak boleh berhenti berbuat
baik. Kebaikan itu akan menjadi tali bagi layang-layang
kita agar tetap berada di atas, hingga orang-orang dengan
sendirinya akan melihat kebaikan kita, tanpa kita perlu
membuat pengumuman.
Akan tetapi, suatu saat layang-layang itu akan turun.
Ia tidak akan lupa darimana ia diterbangkan. Ia terbang
dari bumi, maka ia akan turun ke bumi. Jika tidak, ia akan
rusak dengan sendirinya. Hal ini berarti bahwa jika kita se-
lalu berada di posisi tinggi, kesombongan akan mengham-
piri hati kita, meski mulanya kita banyak diterpa angin
miring.

134
Dengan menurunkan hati atau rendah hati, justru di
lain waktu kita bisa melambung lebih tinggi dari penga-
laman sebelumnya. Dengan demikian, Allah telah meng-
angkat derajat kita setelah melewati berbagai cobaan. Hal
ini mengingatkan kita kepada keluarga Yasir ra. Tanpa co-
baan melalui penyiksaan orang-orang Quraisy, mereka tak
akan mendapatkan tempat yang mulia. “Sabarlah keluarga
Yasir, sesungguhnya tempat kalian kelak di surga.”(HR. al-
Hakim, Ahmad, at-Tabrani, dan Nu’aim).
Begitu juga dengan Shuhaib ar-Rumi ra, Jika orang-
orang musyrik Quraisy tidak merampas hartanya, ia tak
akan menjadi sukses. “Sungguh bisnis Abu Yahya (Shuhaib
ar-Rumi) itu beruntung.” (HR. al-Hakim).
Setiap waktu setiap saat, kita bisa saja mengalami
cobaan, tanpa kita sangka dari mana datangnya. Cobaan
kecil untuk mengingatkan kita, cobaan besar untuk meng-
angkat derajat kita, jika kita mampu melaluinya dengan
baik dan penuh kesabaran.
“Cobaan tidak henti-hentinya menimpa orang muk-
min laki-laki maupun mukmin perempuan; baik menimpa
dirinya, anak-anaknya maupun hartanya hingga ia berte-
mu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.” (HR. Tirmidzi).

Tak ada kenaikan kelas tanpa ujian. Meski


ujian bukan satu-satunya cara bagi Allah un-
tuk menaikkan darajat kita, tetapi ujian akan
mampu menunjukkan seberapa dalam iman

135
kita. Selan itu, ujian adalah petunjuk penting
dari Allah. Maka beruntunglah orang-orang
yang diberi cobaan.

Polusi Udara
Seperti penyakit,
maksiat akan menular kepada siapa saja,
jika tak memiliki daya tahan tubuh.

P olusi atau pencemaran udara merupakan kehadir-


an satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biolo-
gi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membaha-
yakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, meng-
ganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti.
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sum-
ber alami maupun kegiatan manusia.
Artinya, apa pun aktivitas kita di dunia ini, nyaris se-
lalu membawa polusi. Baik itu secara personal maupun ko-
munal dalam sebuah perusahaan. Satu manusia membuat
polusi, manusia lainnya akan terkena dampak bahayanya.

136
Misalnya sebuah pabrik berdiri di sebuah perkampungan,
pabrik itu banyak mengeluarkan asap pembakaran yang
membuat penduduk sekitar menjadi terganggu.
Salah satu penyakit yang dihadirkan karena pemba-
karan ini adalah gangguan pernapasan, hingga menyebab-
kan kematian. Belum lagi limbah pabrik yang menyebab-
kan bau tak sedap. Pengendapan limbah juga bisa menim-
bulkan berbagai macam penyakit baru. Tentu polusi ini
sangat menganggu aktivitas kita. Lalu terjadilah protes di
mana-mana.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, polusi semacam ini
bisa kita temukan pada beberapa orang. Maksudnya adalah
ada sebagian atau sekelompok orang yang senang meng-
ganggu orang lain. Di mana pun orang itu, selalu membuat
kerusakan dan menyebabkan keresahan bagi sekitarnya.
Misalnya saja seseorang yang kerap berbuat maksiat. Ten-
tu kita resah dengan keberadaannya karena kita termasuk
manusia yang beragama dan tahu larangan-larangan-Nya.
Sifat kemaksiatan adalah kesenangan pada dunia
yang terkadang melampaui batas. Sementara sifat manu-
sia sangat tertarik pada berbagai jenis kesenangan. Ke-
maksiatan ini sangat mudah menarik orang untuk masuk
ke dalamnya, jika kita tidak memiliki iman yang kuat.
Hal ini seperti polusi udara yang dengan mudah akan
memberikan penyakit pada tubuh seseorang, jika ia tidak
memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Penyakit itu pun
akan menular kepada orang lain lagi. Begitu pula dengan
pelaku maksiat yang akan senang jika bisa menarik orang

137
lain ke dalam lingkaran yang sama. Tak heran jika kemu-
dian kita melihat ada korupsi bersama, pesta minuman
keras, pesta seks, berjudi dan lain sebagainya. Semua itu
dilakukan secara berjamaah.
Kita tentu ingat bagaimana kali pertama setan diusir
dari surga Allah. Ia bersumpah akan mengganggu manu-
sia. Nabi Adam As sebagai manusia pertama pun tak luput
dari godaannya. Meski tak berhasil membujuk Nabi Adam
As, setan kemudian membujuk Hawa. Dari Hawa lalu ter-
bujuklah Adam As untuk memakan buah khuldi. Barang-
kali setan memang tak mampu membujuk seorang muslim
yang pemimpin untuk korupsi misalnya, namun karena
desakan kebutuhan keluarga maka ia menjadi koruptor.
Jika sudah demikian, sesungguhnya setan telah me-
nguasai diri mereka dan selanjutnya akan menjadikan
mereka lupa kepada Allah. Dengan berbagai jalan, setan
akan menggangu kita. Allah Swt telah berfirman dalam
QS. Al-Mujadilah; 19, “Setan telah menguasai mereka lalu
menjadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itulah
golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golong-
an setan itulah golongan yang merugi.”
Kemaksiatan adalah salah satu jalan setapak menuju
perangkap setan. Sehati-hati apapun kita melangkah di
jalan itu, pasti akan terjerumus juga. Keindahan maksiat
hanya akan membuat kita lalai.

138
Siapa yang tahan terus-menerus menghirup
polusi udara? Jawabannya pasti tidak ada.
Namun siapa yang tahan terus-menerus me-
lihat keindahan dan merasakan kenikmatan?
Pasti semua orang menginginkannya. Akan
tetapi dibalik keindahan dan kenikmatan itu,
ada setan yang membisiki kita untuk berlupa
kepada Allah.

139
INSPIRASI
TANAH
S etiap hari kita menginjak tanah, setiap hari kita
bersentuhan dengan tanah, setiap hari kita melihat
tanah, setiap hari kita membutuhkan tanah, dan
kelak kita tahu, tanah adalah tempat kita kembali. Namun
apakah hanya sebatas itu saja kepekaan kita terhadap ta-
nah? Apakah hanya itu saja kontribusi kita kepada tanah?
Apakah hanya itu saja pemahaman kita terhadap tanah?
Tanah sangat penting bagi negara agraris seperti In-
donesia. Tanah tak hanya sebagai media tanam atau ba-
ngun, melainkan juga alat untuk mencari rezeki.
Meski tanah tidak bergerak, tak bisa berbicara, na-
mun sebenarnya kita bisa belajar banyak darinya. Tanah
yang selalu kita buru dari sisi kapitalnya, tetapi jarang
sekali orang yang memburu pelajaran darinya. Padahal,
setiap segala sesuatu yang telah ada di dunia sejak lama,
ia akan menyimpan berbagai macam rahasia. Hanya orang
bijak yang akan mampu menguak rahasia itu hingga men-
jadi kekayaan dalam kehidupannya.
Tanah (bumi) merupakan satu hal yang diciptakan Al-
lah dalam tujuh hari penciptaan. Hal ini menandakan bah-
wa tanah menjadi saksi atas segala peristiwa dari pertama
dunia ini diciptakan. Lalu apakah kita tidak memperhi-
‫‪tungkannya hingga menjadikan tanah sebagai guru untuk‬‬
‫?‪kita serap rahasia dan ilmunya‬‬
‫‪Allah Swt telah menunjukkan kebesarannya melalui‬‬
‫‪tanah yang setiap hari kita injak melalui beberapa ayat,‬‬

‫َي أ�يُّ َا النَّ ُاس � ْن ُك ْن ُ ْت ِف َريْ ٍب ِم َن الْ َب ْع ِث فَ�نَّ‬


‫إ‬ ‫إ‬
‫َخلَ ْقنَ ُ ْاك ِم ْن تُ َر ٍاب ُ َّث ِم ْن ن ُْط َف ٍة ُ َّث ِم ْن عَلَ َق ٍة ُ َّث‬
‫ِم ْن ُم ْض َغ ٍة ُم َخل َّ َق ٍة َوغَ ْ ِي ُم َخل َّ َق ٍة ِل ُن َب ِ ّ َي لَ ُ ْك َون ُ ِق ُّر‬
‫ِف ا أل ْر َحا ِم َما نَشَ ا ُء � َل أ� َج ٍل ُم َس ًّمى ُ َّث ُ ْن ِر ُج ُ ْك‬
‫إ‬
‫ِط ْفال ُ َّث ِل َت ْبلُ ُغوا أ� ُشد ُ َّْك َو ِمنْ ُ ْك َم ْن يُ َت َو َّف َو ِمنْ ُ ْك‬
‫َم ْن يُ َر ُّد � َل أ� ْر َذ ِل الْ ُع ُم ِر ِل َك ْيال ي َ ْع َ َل ِم ْن ب َ ْع ِد ِع ْ ٍل‬
‫إ‬
‫َشيْئًا َوتَ َرى ا أل ْر َض هَا ِمدَ ًة فَ� َذا أ� ْن َزلْنَا عَلَ ْيَا الْ َم َاء‬
‫إ‬
ٍ ِ َ‫ك َز ْوجٍ ب‬
‫يج‬ ّ ِ ُ ‫اه َ َّْت ْت َو َرب َ ْت َو أ�نْ َبت َ ْت ِم ْن‬
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkit-
an (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu dari tanah…” (QS. Al-Hajj: 5).
Pada ayat yang lain Allah menjelaskan,

ٌ َ َ ‫َو ِم ْن � آ َي ِت ِه أ� ْن َخلَ َق ُ ْك ِم ْن تُ َر ٍاب ُ َّث � َذا أ�ن ُ ْْت ب‬


‫ش‬
‫إ‬
‫ون‬
َ ‫ش‬ ُ ِ َ ‫تَ ْنت‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencip-
takan kamu dari tanah..” (QS. Ar-Rum: 20).
Tak hanya tanah secara umum, Allah pun memperinci
jenis tanah liat, dalam firmannya,

ٍ َ ‫َول َ َق ْد َخلَ ْقنَا ا إلن ْ َس َان ِم ْن ُس‬


‫الل ِم ْن ِط ٍني‬
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu (cairan) saripati (berasal) dari tanah”
(QS. Al-Mu`minun: 12).
Kita pun mengetahui bahwa penciptaan manusia dari
juga ada unsur airnya,

‫شا فَ َج َع َ ُل نَ�سَ ًبا‬ ً َ َ ‫َوه َُو َّ ِالي َخلَ َق ِم َن الْ َما ِء ب‬


‫َو ِصه ًْرا َو َك َن َرب ُّ َك قَ ِد ًيرا‬
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air…”
(QS. Al-Furqon: 54).
Pada bab ini, kita akan bersama-sama belajar kepada
tanah, serta menggali rahasia-rahasia yang tersimpan di
dalamnya. Ketika kita berhasil memahaminya, maka ber-
tambah bijaklah kita.
Tanah Tempat Kembali
Siapa pergi, pasti kembali

K eberadaan kita di dunia merupakan kepergian


kita dari alam sebelumnya. Oleh sebab itu, kita
mengenal “telah pulang ke Rahmatullah” untuk
menggambarkan seseorang yang telah meninggal dunia.
Begitu pula dengan kalimat tarji, innalillahi wa inna ilaihi
rojiun, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya
kami kembali.
Kita diciptakan dari tanah dan akan kembali kepada
tanah. Yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah se-
cara fisik. Fisik kita diciptakan dari tanah, dan kemudian
akan bersatu kembali di dalam kubur. Namun ruh kita ada-
lah milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya.
Dalam berbagai kisah terdahulu, kita pasti telah men-
dengar bagaimana bumi begitu kuasa dan mengerikan da-
lam membalas sikap manusia. Kita mendengar bagaimana
Qorun ditelan bumi (tanah) bersama pengikut dan harta-

146
nya. Itulah bukti bahwa tanah memiliki kekuatan untuk
melaksanakan perintah Allah.
Akan tetapi, di zaman modern, kuasa tanah atau bumi
itu direduksi maknanya menjadi bencana alam seperti
gempa bumi, longsor, dan lain sebagainya. Ilmu pengeta-
huan telah menjadikan lebih sederhana sehingga kita lebih
mudah memahaminya. Namun apakah kita telah mema-
hami dari sisi Ilahiyah? Bahwa Allah menurunkan bencana
adalah karena kelalaian kita sendiri.
Kita yang kerap mengejar dunia, kerap pula lupa men-
dengarkan bisikan-bisikan akhirat yang termaktub dalam
Alqur’an atau pun tanda-tanda lainnya. Bahwa duniawi
yang kita kejar tidak akan kita bawa nantinya. Bahwa ke-
hidupan di bawah tanah adalah pantulan dari kehidupan
kita dunia.
Oleh karena itu, kita mengenal ungkapan, “kematian
akan menumbuhkan kehidupan lainnya”. Artinya, ketika
kita meninggal dunia, ada anak yang baru lahir. Setipa hari
ada yang mati, di sisi dunia yang lain terjadi kelahiran.
Begitulah siklus hidup. Hal ini mengingatkan kita bahwa
dalam kehidupan ini, kita hidup secara bergantian, atau
bergiliran.
Misalnya sebuah tanah yang tadinya milik orangtua
kita, giliran kita yang memilikinya. Rumah yang tidak bu-
kan milik kita, kemudian kita huni. Uang yang tadinya mi-
lik kita, kita berikan kepada orang lain. Kita yang mulanya
hidup di dunia, diganti oleh bayi yang baru saja lahir. Yang

147
tadinya direktur, digantikan oleh bawahannya. Yang tadi
anak menjadi orangtua. Yang tadi murid menjadi guru.
Terus-menerus begitu. Bahkan, begitu pula soal jo-
doh. Dulu istri orang lain, lalu ketika menjadi janda di-
peristri orang lain lagi. Hal ini mengingatkan kita bahwa
hidup di dunia hanya sementara. Akan tetapi dalam kese-
mentaraan itu, berlaku juga perjuangan dalam menjalani
hidup. Jika kita bekerja keras, maka kehidupan kita akan
menyenangkan. Jika sudah demikian, tinggal bagaimana
kita mempersiapkan diri di kehidupan selanjutnya.
Dalam memahami hidup bergiliran ini, tidak lantas
kita diam saja sambil menunggu. Kita pasti tahu, bahwa
menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Begitu
pula dengan jika hidup hanya menunggu. Sembari me-
nunggu, kita perlu berbuat sesuatu agar lebih bermanfaat.
Terutama lagi jika dalam berbuat sesuatu itu kita tak me-
lupakan apa yang ditunggu. Karena apa yang ditunggu itu
adalah tujuan hidup kita.
Kita hidup di dunia hanya transit atau menunggu, se-
belum kemudian kita akhirnya berpindah ke alam kubur.
Jika kita melupakan alam kubur, maka sesungguhnya kita
telah melupakan penantian kita. Jika kita terus mengingat
apa yang kita nantikan, lalu ketika bertemu pasti akan me-
raskan nikmat. Akan tetapi sebaliknya, jika kita melupa-
kannya, hanya sakit yang dirasa ketika kita bertemu.

148
Tanah adalah rumah kedua kita. Setelah di
dunia. Tak selamanya kita akan berada di ru-
mah utama. Juga tak selamanya kita berada
di rumah kedua. Akan tetapi, rumah pertama
adalah cerminan dari rumah selanjutnya. Jika
kita tak memiliki pengalaman membangun
satu rumah pun, bagaimana kita akan mem-
bangun rumah kedua dan selanjutnya? Oleh
karena itu, kita perlu membangun rumah per-
tama dengan sebaik-baiknya, agar kita lebih
mudah menghadapi jika membangun rumah
kedua dan setesrusnya.

149
Harga Tanah
yang Selalu Naik
Selembar kertas bisa menentukan hargamu!

D ulu, kepemilikan tanah hanya berdasarkan peng-


akuan dan saksi saja. Tak ada ketentuan pasti.
Lalu ketika muncul sistem pemerintahan, ada
pencatatan kepemilikan guna memperoleh pajak kepe-
milikan bagi pemerintah. Pencatatan itu mulanya hanya
berlaku secara lokal saja. Namun kemudian hukum lega-
litas tanah semakin meningkat dengan pencatatan secara
regional dan nasional. Adanya pajak atas tanah itu kemu-
dian meningkatkan harga tanah. Setelahnya, harga tanah
ditentukan oleh kebutuhan manusia atasnya.
Semua manusia membutuhkan tanah, sementara yang
tersedia semakin sedikit. Tak ayal jika harga tanah melam-
bung tinggi karena barangnya terbatas. Yang dulu orang
menjual tanah hanya berdasarkan kira-kira saja, kini dijual

150
permeter. Di daerah tertentu yang padat penduduk, harga
bisa mencapai puluhan juta rupiah untuk semeter tanah.
Dari harga tanah yang melambung ini, kita bisa belajar
tentang perubahan sosial di lingkungan kita. Bagaimana
sebuah kertas bernama sertifikat dan atas dasar kebutuh-
an manusia, dengan mudah melambungkan harga. Sama
seperti sebuah pendidikan. Dulu, untuk menjadi orang
terpandang atau duduk di kursi pemerintahan tak me-
merlukan pendidikan tinggi. Cukup hanya seseorang yang
memiliki kekayaan berupa tanah dan ternak saja untuk
bisa menjadi orang terpandang. Ia yang biasa memerintah
akan dengan mudah ditunjukkan sebagai pemerintah.
Namun ketika sistem pemerintahan kita berubah
menjadi modern, perubahan sosial pun terjadi. Tak cukup
hanya dengan memiliki kekayaan, tetapi juga pengalaman
pendidikan yang tinggi karena berhubungan dengan teori-
teori organisasi dan pemerintahan. Untuk bisa duduk di
kursi pemerintahan, bukanlah warisan, melainkan bagai-
mana seseorang berjuang sehingga bisa mendapatkan ge-
lar. Gelar tersebut dilegalisasi oleh sebuh kertas bernama
ijazah. Sama dengan tanah yang dilegalisasi dengan sebu-
ah sertifikat.
Maka harkat dan harga kemampuan manusia semakin
tinggi harganya. Yang dulu cukup hanya dengan gaji bebe-
rapa ribu rupiah, menjadi ratusan ribu rupiah, lalu naiklah
lagi menjadi jutaan rupiah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:

151
‫َي أ�يُّ َا َّ ِال َين � آ َمنُوا � َذا ِقي َل لَ ُ ْك تَ َف َّس ُحوا ِف‬
‫إ‬
‫الل لَ ُ ْك َو� َذا ِقي َل‬ ُ َّ ‫الْ َم َجا ِل ِس فَافْ َس ُحوا ي َ ْف َس ِح‬
ْ‫الل َّ ِال َين � آ َمنُ إوا ِمنْ ُك‬
ُ َّ ِ ‫شوا يَ ْرفَع‬ ُ ُ ْ ‫شوا فَان‬
ُ ُ ْ ‫ان‬
َ ُ‫الل ِب َما تَ ْع َمل‬
‫ون‬ ُ َّ ‫ات َو‬ ٍ ‫َو َّ ِال َين أ�وتُوا الْ ِع ْ َل د ََر َج‬
ٌ‫َخبِري‬
“Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepa-
da kalian ‘Luaskanlah tempat duduk di dalam majlis-majlis’,
maka luaskanlah(untuk orang lain). Maka Allah SWT akan
meluaskan untuk kalian. Dan apabila dikatakan ‘berdirilah ka-
lian’, maka berdirilah. Allah mengangkat derajat orang-orang
yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.
Allah Maha Mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.”
Artinya, perubahan sosial yang kita temui di masyara-
kat kita sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah. Per-
ubahan ini berjalan secara alamiah dan terus akan menga-
lami perubahan. Perubahan selanjutnya ditunjukkan oleh
pemerintah yang sekarang berkuasa.
Orang yang berpendidikan belumlah cukup duduk di
kursi pemerintahan yang strategis. Oleh pemerintah seka-
rang, dibahasakan dengan istilah “lelang jabatan”. Tak ha-
nya pengalaman pendidikan yang dibutuhkan, melainkan

152
juga pengalaman dalam berorganisasi dan pengalaman di
lapangan. Yang pemimpin yang berpengalaman di lapang-
an yang dapat memahami kebutuhan masyarakatnya.
Meski sudah lama mengabdi kepada negara, jika tidak
menunjukkan prestasi apapun tak akan lolos ke jenjang
yang lebih tinggi karena pengalamannya sangat terbatas.
Prestasi inilah yang dibutuhkan banyak orang atau per-
usahaan agar orang yang berprestasi itu mau bergabung
dengannya. Artinya, ada asas kebutuhan di sini. Seperti
tanah yang berkualitas dan strategis akan banyak dibutuh-
kan orang. Dengan demikian, harga atau gaji seseorang itu
akan melambung tinggi.
Perubahan sosial di atas, terkait dengan pendidikan
mengingatkan kita kepada tokoh pendidikan nasional kita
Ki Hajar Dewantara. Ia mengatakan bahwa ada tiga alam
yang dapat mendidik manusia, yang ia rumuskan dalam
pemikiran Tri Sentra, yaitu alam keluarga, alam perguru-
an, dan alam pergerakan.
Pendidikan utama adalah pada keluarga, lalu sekolah
formal, dan terakhir pergerakan, yang bisa kita tafsirkan
sebagai pendidikan berorganisasi di masa sekarang. Kare-
na dahulu di masa revolusi dan perjuangan kemerdekaan,
Ki Hajar kemudian merumuskannya dengan alam perge-
rakan. Tiga alam ini sangat penting dilalui oleh manusia
dalam hal pendidikan, sehingga harkat, martabat dan har-
ganya semakin tinggi.

153
Tanah serupa sekolah bagi manusia. Jika ha-
nya bersurat Letter C atau tercatat di pemerin-
tah lokal saja, harganya akan murah. Lalu jika
sudah berisertifikat Hak Milik atau perguruan
tinggi, akan meningkat harganya. Apalagi jika
memiliki banyak potensi strategis dan di dae-
rah produktif, seperti seseorang yang memiliki
banyak kemampuan atau kita sebut dengan
multitalent, harganya akan semakin tinggi.

Tanah Subur
Membawa Berkah
Di tanah yang subur, apa saja bisa tumbuh
Di hati yang ikhlas, banyak kebaikan akan tumbuh

T anah yang subur adalah tanah yang produktif.


Indonesia sebagai negara agraris sangat kaya de-
ngan tanah yang subuh. Hal ini yang dijadikan pi-

154
jakan bagi pemerintah kita untuk melaksanakan program
ketahanan pangan. Bahwa dengan memiliki tanah subur,
kita bisa menghidupi diri kita sendiri. Sumber pangan te-
lah tersedia, tinggal bagaimana kita mengolahnya.
Dengan pengelolaan yang baik, tanah akan memberi-
kan berkahnya kepada kita melalui panen yang melimpah
dan berkualitas. Hasil tanam ini pada akhirnya sangat ber-
manfaat bagi manusia sebagai sumber pangan, sehingga
kita bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri tanpa ban-
tuan negara lain. Dengan memanfaatkan hasil panen sen-
diri, hal ini akan meningkatkan kesejahteraan petani, har-
ga di pasaran bisa dikontrol dan negara pun berhasil dalam
mengembangkan ketahanan pangan bagi rakyatnya.
Selain itu, tanah yang subur akan menyerap air de-
ngan baik. Air subur mengandung banyak air sehingga
dengan mudah menumbuhkan tanaman. Banjir pun bisa
dihindari dengan tanah subur ini.
Di sisi lain, kita bisa belajar dengan tanah yang subur
ini, terutama yang berhubungan dengan kebermanfaatan
kita di masyarakat. Tanah subur mudah menumbuhkan
apa saja, bisa kita terapkan pada diri kita dengan mudah
memberi bantuan kepada orang lain. Tanpa kita menun-
jukkan bahwa kita orang baik, bantuan yang kita berikan
cukup memberitahu orang lain.
Sebaliknya, karena merasa ditolong, orang lain akan
membantu kita di lain waktu meski tidak kita harapkan.
Setiap kebaikan akan membekas pada seseorang, dan pada
akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri. Tak hanya

155
itu, kebaikan dengan sendirinya akan menjadi jalan rezeki
bagi kita, ketika kita ikhlas melakukannya.
Perbuatan yang ikhlas kadang membuahkan hasil
yang lebih daripada yang kita butuhkan. Hal ini karena ada
dua hal yang kita kerjakan, yaitu kebaikan dan keikhlasan.
Maka tak heran jika kedua hal itu kembali sekaligus pada
kita.
Allah Swt memerintahkan kita untuk saling tolong
menolong atau ta’awun. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2 di-
jelaskan,

‫الل َوال‬ِ َّ ‫َي أ�يُّ َا َّ ِال َين � آ َمنُوا ال ُ ِتلُّوا َش َعائِ َر‬
‫الشه َْر الْ َح َرا َم َوال الْه َْد َي َوال الْ َقالئِدَ َوال � آ ِ ّم َني‬ َّ
ً‫ُون فَ ْضال ِم ْن َر ِ ّ ِب ْم َو ِر ْض َوان‬ َ ‫الْ َبيْ َت الْ َح َرا َم يَبْتَغ‬
‫َو� َذا َحلَلْ ُ ْت فَ ْاص َطا ُدوا َوال َ ْي ِر َمن َّ ُ ْك �شَنَ� آ ُن قَ ْو ٍم‬
ْ ِ ْ ْ ُ ‫إ‬
ُ‫د‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫أ‬ ِ ‫م‬ ‫ل‬
‫� ْن َصدُّوك َع ِن ا َ ْسجد ال َح َرا ِم � ْن َ ْ َت وا‬ ‫أ‬
‫َوتَ َع َاونُوا عَ َل الْ ِ ِّب َوالتَّ ْق َوى َوال تَ َع َاونُوا عَ َل ال ْ ِإث‬
‫الل َش ِديدُ الْ ِع َق ِاب‬ َ َّ ‫َوالْ ُع ْد َو ِان َوات َّ ُقوا‬
َ َّ ‫الل � َّن‬
‫إ‬
156
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) keba-
jikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya...”.
Ayat di atas menunjukkan bahwa ada batasan dalam
tolong-menolong, yaitu hanya pada kebaikan. Sementara
tolong-menolong dalam kemaksiatan hanya akan mem-
buat kita dalam kesesatan. Bahkan di ayat yang lain, kita
diperintahkan untuk saling berlomba dalam berbuat keba-
ikan.

‫ك ِو ْ َج ٌة ه َُو ُم َو ِلّهيَا فَ ْاست َ ِب ُقوا الْخ ْ ََي ِات أ�يْنَ َما‬


ٍّ ُ ‫َو ِل‬
‫ك‬ّ ِ ُ ‫الل عَ َل‬ َ َّ ‫الل َ ِجي ًعا � َّن‬ ُ َّ ‫تَ ُكونُوا يَ�أ ِت ِب ُ ُك‬
‫إ‬
‫ش ٍء قَ ِد ٌير‬ َْ
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (da-
lam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah
akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Se-
sungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-
Baqarah; 148).
Kebaikan yang dimaksud bukanlah selalu hal-hal yang
besar. Yang kecilpun kadang bisa menyelamatkan kita dari
api neraka. Misalnya kita menyingkirkan sebatang paku

157
dari jalanan. Tidak lama setelah kita singkirkan, sebuah
kendaraan lewat hendak menuju masjid untuk beribadah.
Dengan demikian, kita telah memudahkan jalan orang ter-
sebut untuk beribadah. Artinya, berlomba dalam kebaikan
disesuaikan dengan kemampuan kita. Jika kita memaksa-
kan diri justru akan timbul rasa tidak ikhlas dalam hati.

Segala kebaikan akan menjadi penjaga bagi


pemiliknya. Orang baik akan banyak teman
yang melindunginya. Teman yang banyak
akan menjadi modal sosial dalam memudah-
kan kita menjalani kehidupan. Begitu pula de-
ngan tanah yang subur, tanpa kita menyirami
tanaman setiap hari, tanah akan melindungi
tanaman itu sendiri.

158
Tanah Liat
Mudah Dibentuk
Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia.
—Muhammad Saw

L empung adalah nama Jawanya. Namun kita biasa


menyebutnya sebagai tanah liat. Hanya tanah de-
ngan karakter khusus seperti tanah liat inilah yang
bisa dimanfaatkan tak hanya sebagai jalan atau pondasi
bangunan. Lebih dari itu, tanah yang biasa berada di ba-
wah, bisa berada di atas seperti genteng. Tanah yang biasa
diinjak, bisa berdiri tegak sebagai tembok, dan lain seba-
gainya. Itulah tanah liat.
Karakter tanah liat sulit menyerap air sehingga tidak
cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Teksturnya cende-
rung lengket bila dalam keadaan basah dan kuat menya-
tu antara butiran tanah yang satu dengan lainnya. Dalam
keadaan kering, butiran tanahnya terpecah-pecah secara

159
halus. Tanah ini inilah yang dijadikan bahan baku pembu-
atan tembikar dan kerajinan tangan lainnya yang dalam
pembuatannya harus dibakar dengan suhu di atas 10000C.
Artinya, lebih banyak manfaat yang bisa kita ambil
dari tanah liat ini. Begitu pula kita sebagai manusia. Jika
bisa menyontoh tanah ini. Misalnya kita bukan tanah
subur dan mudah ditanami seperti keterangan di atas,
setidaknya kita masih memiliki manfaat lain. Yaitu, kita
memiliki karakteristik lainnya yang bisa kita sumbangkan
kepada masyarakat di sekitar kita.
Hal ini berhubungan erat dengan kemampuan kita.
Apa yang menjadi keahlian kita merupakan tanah liat yang
kita miliki. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Ta-
nah liat dibentuk mejadi genteng, bagaimana kita bersikap
agar kita bisa menjadi pelindung bagi orang-orang di seki-
tar kita dari serangan lewat atas.
Tanah liat dibentuk menjadi batu bata, bagaimana kita
bisa melindungi orang-orang di sekitar kita dari serangan
lewat samping. Tembok yang disusun dari batu bata juga
bisa digunakan untuk melindungi apa yang terjadi dalam
sebuah rumah tangga. Begitu pula kita harus bisa melin-
dungi dan merahasiakan apa saja yang sudah diceritakan
kepada kita. Artinya, kita harus pandai-pandai menutupi
air orang lain.
Tanah liat dibentuk sebagai perhiasan rumah, ba-
gaimana kehadiran kita di mana pun membuat ruangan
menjadi tidak menjemukan, membosankan dan enak di-
pandang. Kehadiran kita membuat orang betah. Selain

160
itu, ditaruh di mana pun atau di jabatan apapun, kita bisa
menularkan energi positif. Dengan kita berbuat demikian,
sesungguhnya akan kembali pada diri kita sendiri. Allah
Swt menjelaskan bahwa,

‫� ْن أ� ْح َسن ْ ُ ْت أ� ْح َسن ْ ُ ْت ألنْ ُف ِس ُ ْك َو� ْن أ� َس�أ ُ ْت‬


‫إ‬ ‫إ‬
‫فَلَهَا فَ� َذا َج َاء َو ْعدُ الآ ِخ َر ِة ِليَ ُسو ُءوا ُو ُجوه ُ َْك‬
‫إ‬
ِ َ ْ
‫َو ِل َي ْد ُخلُوا ال َم ْس ِجدَ َك َد َخلُو ُه أ� َّو َل َم َّر ٍة َول ُي َت ِ ّ ُبوا‬
‫َما عَلَ ْوا تَ ْت ِب ًريا‬
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik
bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).
Ayat di atas diperkuat oleh sabda Rosulullah Saw,
“Barang siapa yang memudah kesulitan seorang mukmin
dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, Allah akan me-
mudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan
siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulit-
an niscaya akan Allah memudahkan baginya di dunia dan
akhirat” (HR. Muslim).

Tanah liat yang mudah dibentuk bukan seperti


bunglon yang mudah berubah warna. Menja-
di tanah liat adalah upaya kita untuk menye-

161
suiakan dan beradaptasi terhadap apa yang
dibutuhkan masyarakat dari kita. Dengan de-
mikian, kita akan benar-benar bisa menjadi
manusia yang bermanfaat.

162
Gempa Bumi
Meluluhlantakkan
Musibah adalah cara Allah menegur kita.

K ita telah melihat akibat dari gempa bumi. Bangun-


an hancur, korban jiwa, kehilangan masa depan,
dan lain sebagainya. Sahabat Nabi Saw, Ka’ab bin
Malik memberikan keterangan bahwa, “Tidaklah bumi
berguncang kecuali karena ada maksiat-maksiat yang dila-
kukan di atasnya. Bumi gemetar karena takut Rabnya Azza
Wajalla melihatnya.”
Dari keterangan sahabat Nabi di atas, kita bisa meng-
ambil pelajaran bahwa bumi saja tidak berani menampak-
kan kemaksiatan kepada Allah, lalu bagaimana dengan
kita yang kerap melakukan maksiat? Padahal Allah Maha
Melihat, bagaimana kita akan menyembunyikan kemaksi-
atan itu?
Tentu tidak mungkin kita menyembunyikan segala se-
suatu dari Allah. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah

163
dan meminta perlindungan-Nya agar kita terhindar dari
maksiat. Allah berfirman,

‫فَ ُك أ�خ َْذنَ ب َِذنْ ِب ِه فَ ِم ْنُ ْم َم ْن أ� ْر َسلْنَا عَلَ ْي ِه َح ِاص ًبا‬


‫الص ْي َح ُة َو ِم ْنُ ْم َم ْن خ ََس ْفنَا ِب ِه‬ َّ ‫َو ِم ْنُ ْم َم ْن أ�خ ََذتْ ُه‬
‫الل ِل َي ْظ ِل َمه ُْم‬
ُ َّ ‫ا أل ْر َض َو ِم ْنُ ْم َم ْن أ� ْغ َر ْقنَا َو َما َك َن‬
‫ون‬ َ ‫َولَ ِك ْن َكنُوا أ�نْ ُف َسه ُْم ي َ ْظ ِل ُم‬
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan
dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang
ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di an-
tara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-
kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah
yang menganiaya diri mereka sendiri” (QS. Al-Ankabut: 40).
Lalu apa kita akan menyangkal bahwa kita tidak me-
lakukan maksiat tetapi Allah tetap menurunkan bencana
untuk kita? Apakah kita yakin tidak maksiat, kecil maupun
besar? Banyak sekali jenis maksiat yang nyaris setiap kita
melakukannya. Misalnya membatin tentang kejelekan-
kejelekan orang lain, merupakan maksiat hati. Memaki
merupakan maksiat mulut, memandang wajah bukan

164
muhrim lebih dari sekali karena tidak sengaja, merupakan
maksiat mata. Itu baru yang kecil, yang nyaris setiap hari
kita lakukan.
Akan tetapi muslim yang beruntung adalah ia yang
mau bertaubat atas segala dosa-dosa yang ia lakukan. Nabi
Saw bersabda, “Setiap manusia itu banyak berbuat salah,
dan orang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat”
(HR. At Tirmidzi).
Meski demikian, bencana tidak hanya diturunkan di
daerah yang penuh maksiat. Sebaliknya, daerah yang di-
penuhi oleh orang saleh juga bisa terjadi bencana. Dalam
hal ini kita perlu introspeksi diri, apakah kita merupakan
saleh yang yang mengamalkan ilmunya? Sebab, kesalehan
bukanlah milik personal. Membiarkan terjadinya maksiat
dan suntuk sendiri dengan kesalehannya jika tidak bisa di-
benarkan. Nabi Saw berabda, “Demi Allah, hendaknya ka-
lian mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar. Atau Allah akan menimpakan hukuman kepada
kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan” (HR.
At Tirmidzi)
Gempa bumi sesungguhnya menjadi pelajaran bagi
siapa saja di tempat yang beda. Dengan melihat bencana
yang diturunkan Allah, diharapkan manusia di tempat lain
bisa belajar lebih baik. Salah satunya adalah kegaduhan
atau kerusakan yang ditimbulkan setelahnya. Bencana di
tempat lain adalah peringatan dari Allah bagi yang berada
di tempat jauh, agar tidak melakukan kemaksiatan serupa
yang dilakukan orang-orang di lokasi bencana.

165
Bencana bukan bukti Allah membenci kita,
tetapi justru sebaliknya. Allah mengingatkan
dan memangil kita lebih mendekat kepada-
Nya. Artinya, Allah sebenarnya sayang kepada
kita, dan barangkali begitu cara-Nya mengi-
ngatkan agar kita mendekat kepada-Nya. Se-
perti halnya memberi nasihat kepada anak
yang nakal, tak cukup dengan kalimat-kalimat
nasihat, mungkin kita perlu memberikan se-
dikit pukulan. Tentu bukan karena benci, tapi
agar anak kita mau menurut. Begitu kiranya
Allah memberikan gempa bumi kepada kita.

166
Gravitasi Bumi
Setiap orang yang memiliki kelebihan di bidangnya, akan
selalu menjadi rebutan. Pun demikian jika seseorang
memiliki kelebihan di mata Allah, tentu akan selalu
dimudahkan karena Allah tak memiliki saingan.

G ravitasi bumi merupakan faktor utama kenapa


kita dan benda-benda lain di bumi ini menginjak
tanah. Tanpa adanya gravitasi, kehidupan akan
seperti di luar angkasa, dan mungkin apa yang ada seka-
rang tak akan pernah ada. Kendaraan tak berwujud seperti
sekarang ini, dan lain sebagainya.
Gravitasi bumi ini mengingat kita kepada orang-orang
yang memiliki daya tarik kepada rezeki. Tanpa bekerjake-
ras secara fisik, orang seperti ini selalu didatangi rezeki,
entah darimana datangnya. Hal ini seperti yang terjadi
pada seorang kiai.
Seorang pejabat datang kepada seorang kiai. Ia me-
minta pertimbangan dan mohon didoakan agar amanah
dalam menjalankan jabatannya. Sang kiai kemudian mem-
berikan beberapa saran, lalu mendoakannya. Setelahnya,

167
pejabat itu segera pamit dan meninggalkan sebuah am-
plop tebal. Namun, sang kiai menahannya. Beliau berka-
ta untuk membawa amplop itu kembali. Pejabat menolak,
sang kiai bersikeras. Pejabat itu pun mengalah. Amplop
diambil kembali.
Di lain waktu, datang seorang wali santri. Ia memo-
hon agar sang kiai membimbing dan mendoakan anaknya
agar menjadi anak yang soleh. Seperti kepada yang lainnya,
Sang kiai tak pernah menolak mendoakan kebaikan. Doa
pun dipanjatkan. Selepas itu, wali santri pamit bersalaman
dengan kiai dan menyelipkan amplop tipis ke tangan kiai.
Beliau pun menerimanya.
Tak hanya itu, seorang pengusaha juga menghampiri
sang kiai tersebut. Tanpa basa-basi. Pengusaha itu mem-
buka sebuah kertas yang agak besar sembari menerangkan
maksud kedatangannya. Ia bermaksud membangun ge-
dung di sebelah pondok pesantren yang nanti bisa diman-
faatkan untuk kegiatan santri. Pengusaha itu, sebelumnya
telah berembug dengan warga yang memiliki tanah di se-
belah pondok sang kiai. Tanah itu dengan didapatkannya.
Ia berjanji, hanya dialah yang boleh membuat bangunan di
atas tanah itu. Bahkan jika sang kiai menginginkan tanah
itu, tak akan ia berikan, kecuali ia juga yang diminta mem-
bangunkan gedung. Melihat niat baik pengusaha, sang kiai
mengiyakan.
Sang kiai adalah satu salah contoh orang yang dike-
jar rezeki. Sebenarnya, apakah pekerjaan kiai tersebut? Ia
berprofesi sebagai hamba Allah yang taat. Takwa dan tawa-

168
kal kepada Allah. Setiap waktunya digunakan untuk beri-
badah. Selepas memimpin jamaah Subuh, beliau tadarus
Alqur’an, lalu mengaji bersama para santrinya hingga ma-
tahari terang. Setelahnya, beliau sholat Dhuha, hingga ada
tamu yang datang. Beliau menjamu tamu dengan sebaik-
baiknya, bahkan setiap tamu dipaksa untuk makan. Aneh-
nya lagi, beliau selalu menemani tamu-tamu yang kamu.
Berapa pun tamu yang berkunjung, beliau selalu menama-
ninya makan. Entah bagaimana caranya beliau bisa makan
berkali-kali.
Hingga Dluhur berjamaah. Biasanya sang kiai akan
sejenak beristirahat. Jika ada tamu, beliau menyempatkan
menemuinya. Akan tetapi, orang-orang sudah hapal, siang
hari adalah waktunya istirahat untuk beliau. Para tamu
yang datang akan berlanjut di sore hari. Selepas berjama-
ah Ashar, beliau mengaji bersama para santri sekitar satu
jam. Lalu kembali ke dalam rumah jika ada tamu, hing-
ga jamaah Maghrib. Selepas sholat, para santri masuk ke
dalam rumah untuk mengaji secara khusus. Tidak semua
santri tentunya, hanya santri dengan tingkatan tertentu.
Begitu adzan Isya, semua kegiatan berhenti. Kiai bersama
santrinya berjamaah. Setelah itu, mengaji kembali hingga
pukul 9 malam. Para santri akan beristirahat sejenak, lalu
dibangunkan untuk tahajud bersama. Ada yang tidur sete-
lahnya, ada pula yang wirid hingga Subuh, termasuk sang
kiai.
Kira-kira begitu hari-hari sang kiai jika tak ada un-
dangan untuk mengisi pengajian di luar pondok pesan-

169
tren. Hidupnya dibaktikan untuk agama dan mengajarkan
agama. Allah memberikan honor kepada beliau melalui
para tamu yang berkunjung ke rumah beliau. Bermaca-
macam tamunya, bermacam-macam pemberiannya. Apa-
kah beliau terlihat bekerja? Justru beliau bekerja melebihi
jam kantor. 24 jam waktunya untuk bekerja.
Lalu apakah selain kiai bisa mendapatkan kelebihan
seperti ini? Tentu saja bisa. Ia yang dengan hati merendah
bertakwa dan bertawakkal kepada Allah sepanjang hidup-
nya, bukan tidak mungkin akan dikejar oleh rezeki.

Seberapa takwa dan tawakal yang dibutuh-


kan? Kita tidak bisa mengukur ketakwaan dan
ketawakkalan. Itu adalah hak Allah untuk me-
nilai. Namun, ada beberapa yang bisa kita la-
kukan, yaitu 1) berusaha semaksimal dan se-
mampu mungkin untuk melaksanakan perin-
tahnya dan menjauhi segala macam bentuk
kemaksiatan; 2) menghilangkan sifat benci
kepada apapun dan mudah memaafkan; 3)
memaksimalkan dalam beribadah sunnah;
4) senantiasa belajar ilmu agama; 5) menga-
malkan ilmu agama yang dimiliki; 6) melihat
segala peristiwa dengan bijak; 7) tidak meng-
eksklusifkan diri; dan 8) menjaga diri agar te-
tap dalam kondisi bersuci.

170
INSPIRASI POHON
DAN TANAMAN
P epohonan dan tanaman merupakan makhluk Al-
lah, meski tak dibekali dengan akal seperti ma-
nusia. Oleh sebab itu, manusia dijadikan sebagai
khalifah di bumi ini. Akan tetapi, bukan berarti manusia
diperbolehkan semena-mena dalam memperlakukan po-
hon dan tanaman. Justru manusia diperintahkan untuk
memelihara dan mengelola demi keseimbangan hidup dan
alam.
Kerusakan pada pepohonan di hutan justru akan
merugikan manusia sendiri karena memungkinkan da-
tangnya bencana. Sementara di sisi lain, tanaman untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari manusia, entah sebagai
salah satu sumber pangan maupun sumber ekonomi. Ke-
salahan dalam mengelola akan berakibat buruk bagi kita,
terutama arena sifat ketamakan manusia ingin menguasai
dan menggenggam apa ang ada dihadapannya. Bahkan,
alam pun yang disediakan Allah untuk semua makhluk
ingin dimilikinya sendiri.
Manusia dibutuhkan untuk mendistribusikan segala
yang ada di dunia ini agar terbagi secara adil, bukan un-
tuk dikuasai. Bukankah mula-mula semuanya digratiskan
Allah kita? Lalu manusia membuat sistem dan memberi
label harga atas segala yang dianggapnya sebagai usahanya
sendiri, padahal Allahlah yang bermurah hati memberi-
kannya.
Allah pun telah menunjukkannya dengan jelas, “Dan
dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami
tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tum-
buhan, maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu
tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari tanaman
yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang
korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan ke-
bun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan
delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah
buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pu-
lalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang beriman” (QS. Al-An’aam: 99).
Untuk itu, pada bab ini, kita akan mengambil pelajar-
an dari berbagai peristiwa pepohonan dan tanaman yang
sebenarnya kita temuai sehari-hari, tapi cenderung kita
abaikan.
Pohon Beringin yang
Meneduhkan
Jika kamu berbuat baik,
orang tak akan bertanya apa agamamu.
—Abdurrahman Wahid

P ohon beringin selalu tumbuh besar, tinggi, dan ba-


nyak daunnya. Sifatnya membuat siapa saja betah
berada di bawahnya. Sebab kita akan merasa teduh
dari panas dan angin sepoy pun mendera tubuh kita. Hal
ini membuat kita nyaman dan ingin berlama-lama di ba-
wah naungan pohon beringin.
Akan tetapi, tak kita pungkiri juga bahwa pohon beri-
ngin ini juga kerap dijadikan salah satu tempat menaruh
sesaji. Artinya masih ada orang-orang yang dengan setia
memberikan dan menyembah kepada selain Allah. Di be-
berap tempat, kita mudah menjumpainya. Pohon ini di-
anggap keramat jika telah hidup bertahun-tahun dan di-
huni oleh makhluk gaib. Bahkan, di Yogyakarta ada mitos

174
tentang Beringin Kembar. Konon, bagi siapa saja yang ber-
hasil berjalan lurus dan bisa menembus lorong di antara
dua pohon besar itu, hajatnya akan terpenuhi. Entah se-
bagai hiburan atau benar-benar percaya, mitos ini banyak
dilakukan oleh orang, baik lokal maupun turis.
Kondisi pohon beringin di atas mengingatkan kepada
kita bahwa sebagai manusia kita mestinya mampu menja-
di pengayom dan memberi perlindungan kepada manusia
lain. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa, “Sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Kebermanfaatan yang kita berikan bisa dalam bentuk
apa saja sesuaikan dengan bidang kita masing-masing, se-
bab tak ada yang benar-benar menguasai semua bidang.
Paling tidak, kita bermanfaat bagi kaum atau kelompok
kita sendiri. Tak ada larangan berbuat baik kepada siapa
saja, bahkan kepada nonmuslim sekalipun. Hal ini sesuai-
kan dengan tuntunan Allah Swt,

‫وك ِف ا ّ ِدل ِين َولَ ْم‬ ْ ُ ُ‫الل َع ِن َّ ِال َين ل َ ْم يُ َقا ِتل‬ُ َّ ‫ال يَ ْنَ ُ ُاك‬
‫وه َوتُ ْق ِس ُطوا �ل َ ْ ِي ْم � َّن‬ ْ ُ ‫وك ِم ْن ِد َي ِرُ ْك أ� ْن ت َ َُّب‬
ْ ُ ‫ُ ْي ِر ُج‬
‫إ إ‬
‫الل َع ِن َّ ِال َين‬ ُ َّ ‫الل ُ ِي ُّب الْ ُم ْق ِس ِط َني �ن َّ َما يَ ْنَ ُ ُاك‬ َ َّ
‫إ‬
‫وك ِم ْن ِد َي ِرُ ْك َو َظاه َُروا‬ ْ ُ ‫وك ِف ا ّ ِدل ِين َو أ�خ َْر ُج‬ ْ ُ ُ‫قَاتَل‬

175
‫عَ َل �خ َْر ِاج ُ ْك أ� ْن ت ََول َّ ْو ُ ْه َو َم ْن ي َ َت َولَّه ُْم فَ�أول َ ِئ َك ُ ُه‬
‫إ‬
َ ‫الظا ِل ُم‬
‫ون‬ َّ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Se-
sungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan seba-
gai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama
dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan me-
reka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim” (QS. Al Mumtahanah: 8-9).
Ayat di atas memberi pengertian bahwa manusia ha-
rus memiliki sifat toleransi kepada manusia lainnya, apa-
pun keyakinannya. Yang ditekankan adalah bagaimana
kita bisa berlaku adil kepada siapa saja. Begitu juga dalam
hal tolong-menolong. Tanpa memandang apa keyakinan
kita, rasa kemanusiaan lebih diutamakan. Seperti halnya
ketika terjadi bencana alam, tak pandang siapa yang men-
jadi korban, kita tergerak ingin membantu karena rasa ke-
manusiaan kita tergugah.
Akan tetapi, yang prlu diwaspadai kemudian adalah
orang-orang yang menganggap kita melebihi apa yang
kita miliki sebagaimana manusia, seperti halnya sebagian

176
manusia menganggap pohon beringin memiliki kekuatan
mistis sehingga menyukuti Allah.
Kita tentu masih ingat bagaimana kisah Nabi Isa As
yang diberi mukjizat oelh Allah berupa pengobatan atas
berbagai penyakit. Oleh orang-orang yang ditolongnya, ia
justru dianggap sebagai Tuhan karena mampu menyem-
buhkan dan menghidupkan orang yang sudah meninggal-
kan, padahal hal itu tidak terlepas dari pertolongan Allah
Swt.
Di kehidupan sehari-hari mungkin kita masih melihat
adanya seseorang yang rela melakukan apa saja demi orang
yang sering menolongnya. Katakanlah seorang tuan yang
sangat sayang kepada pembantunya. Hal itu semata-mata
adalah upah pembantu itu karena setia kepada tuannya,
namun bukan berarti tuan itu kemudian disanjung-san-
jung melebihi Allah Swt. Jika kita melakukannya, sesung-
guhnya kita telah menyekutukan-Nya meski kita tak me-
nyembah tuan itu.
Yang demikian bisa kita lihat dalam kerajaan Jawa
yang sampai sekarang masih masih tegak berdiri. Seorang
raja dianggap sebagai Ratu Adil yang kemudian disembah-
sembah oleh para pengikutnya, tanpa melihat cacatnya.
Apapun yang menjadi perilaku raja tersebut dianggap se-
bagai kebaikan. Sebagai suatu budaya, hal itu perlu dilesta-
rikan tetapi bukan kemudian mengikutinya dengan senga-
ja “membutakan mata”.

177
Menjadi pribadi yang bermanfaat merupakan
salah satu karakter wajib yang harus dimiliki
oleh seorang muslim. Kita diperintahkan un-
tuk memberikan manfaat kepada orang lain.
Tanpa memberi manfaat, kita hanya seperti
pohon yang ranggas tanpa daun. Kering dan
hanya menganggu pemandangan.

178
Sehat dengan TOGA
Sedikit kebaikan yang ditanam,
panen bisa melimpah ruang

T anaman obat keluarga atau biasa disingkat


(TOGA) merupakan langkah sederhana sebuah
keluarga dalam menjaga kesehatan anggota kelu-
arganya. Kita tahu bahwa beberapa tanaman bisa dijadikan
sebagai bahan dasar pembuat obat. Dan jika kita memiliki
beberapa tanaman itu berarti kita mencegah datangnya
penyakit, sebelum mengobati.
Pada perkembangannya, TOGA kemudian meluas tak
hanya dimiliki oleh sebuah keluarga, melainkan secara go-
tong royong ditanam dan dimanfaatkan oleh keluarga se-
RT atau se-RW. Oleh pemertintah, sebuah kampung yang
telah memiliki TOGA ini kemudian dijadikan percontohan
agar bisa diterapkan di kampung-kampung lain.
TOGA dimanfaatkan sebagai komsumsi sehari-hari,
bukan untuk mengobati ketika sedang sakit. Dengan
cara ini, selain kita telah melaksanakan cara hidup sehat,

179
kita juga mendapatkan penghijaun yang segar di sebuah
kampung, mengingat saat ini sudah sangat jarang peng-
hijauan di kampung sebuah perkotaan. Manfaat lainnya
adalah terjadi kerjasama antarkeluarga sehingga mampu
mempererat silaturahmi di antara mereka, seperti halnya
sebuah keluarga.
Selain manfaat di atas, kita juga bisa mengambil pela-
jaran untuk diri kita sendiri. Kita bisa berlaku seperti hal-
nya TOGA tersebut. TOGA adalah kebaikan-kebaikan yang
ditanam oleh anggota keluarga untuk bisa dimanfaatkan
secara bersama. Amirul mu’minin Ali berkata, “kepada
mereka adab dan tanamkanlah pada diri mereka kebaikan”
(Tafsir Ibnu Katsir).
Terkadang, di sebuah keluarga terdapat satu atau dua
anggota yang mungkin berbeda dengan lainnya. Yang lain
baik, tapi yang satu nakal. Yang nakal ini biasanya akan
membawa dampak kurang baik di dalam keluarga. Misal-
nya pertentangan antara anak dan orangtua, kakak de-
ngan adiknya dan lain sebagainya.
Nah dalam kondisi, kita bisa berlaku sebagaimana
TOGA yang dapat mencegah dan mengobati penyakit. Kita
wajib merangkul semua anggota keluarga tanpa menjadi
pembela bagi salah satunya. Sejelek-jelek anggota keluar-
ga, di dalam darahnya mengalir darah kita juga. Apakah
kita akan tega mengalirkan darah kita sendiri?
Anggota keluarga yang nakal bisa diumpamakan tu-
buh kita yang luka. Kalau kita tidak segera mengobatinya,
tentu darah akan mengalir. Oleh sebab itu, berlaku sebagai

180
TOGA yang bisa mendamaikan adalah jalan terbaik dan
menyuruhkan mereka untuk masuk dalam kebaikan juga.
Qotadah r.a. menjelaskan, “Engkau memerintahkan mere-
ka untuk mentaati Allah dan mencegah mereka bermaksi-
at kepada Allah, hendaklah engkau menegakkan perintah
Allah teradap mereka, memerintahkan mereka dengan
perintah Allah dan membantu mereka dalam urusan ter-
sebut, dan jika engkau melihat kemaksiatan dari mereka
maka hendaklah engkau menghardik mereka” (Tafsir Ibnu
Katsir).
Dalam perkembangannya, kebaikan yang kita tanam
dalam keluarga akan meluas hingga ke tetangga-tetangga
kita. ­­Dan pada akhirnya, kita mendapatkan manfaat dari
kebaikan yang kita tanam dari orang-orang di sekitar kita.
Tak ayal kita melihat orang yang berhasil menanamkan
kebaikan dalam keluarganya diundang ke berbagai majlis
untuk menularkan kebaikan-kebaikan tersebut.

TOGA biasanya ditanam dalam polibag atau


pot-pot. Namun berbeda dengan kebaikan
yang kita tanam akan langsung menancap
di tanah dan mengakar. Akar yang kuat akan
menumbuhkan kebaikan semakin tinggi dan
lebat, sehingga bisa dimanfaatkan banyak
orang.

181
Pohon Bambu
Pring iku suket duwur tur jejek, rezeki seret ra sah do bunek.
Pring Ndeling tegese kendhel lan eling, kendhel mergo eling
timbang grundel nganti suwing. Pring Ori urip iku mati, kabeh
sing urip mesti bakale mati. Pring Apus urip iku lampus, dadi
wong urip ojo seneng apus-apus. Pring Pethung urip iku
suwung, senajan suwung nanging ojo podo bingung. Pring
Wuluh urip iku tuwuh, ojo mung embuh etok-etok ora weruh.
Pring Cendani urip iku wani, wani ngadepi ojo mlayu wedi.
Pring Kuning urip iku eling, wajib podo eling sing peparing.
—Sindhunata

T erjemahan bebas dari ungkapan panjang di atas


adalah; bambu itu rumput tinggi dan lurus, reze-
ki seret tak perlu suntuk. Bambu Ndeling artinya
berani dan ingat, berani karena ingat daripada mengeluh
sampai bibir jontor. Bambu Ori hidup itu mati, semua yang
hidup pasti bakal mati. Bambu Apus hidup itu rapuh, jadi
orang hidup jangan suka bohong. Bambu Pethung hidup
itu sunyi, meski sunyi jangan mudah bingung. Bambu
Wuluh hidup itu tumbuh, jangan tak acuh dan pura-pura

182
tidak tahu. Bambu Cendani hidup itu berani, berani meng-
ahadapi jangan lari karena takut. Bambu Kuning hidup itu
ingat, wajib ingat kepada yang memberi.
Berbagai jenis bambu telah dijelaskan di atas beser-
ta dengan filosofi pendeknya. Filosofi itu kemudian bisa
kita gunakan sebagai pedoman-pedoman hidup dalam me-
nyerap energi alam, terutama pada pohon bambu. Pohon
bambu memiliki akar yang kuat dan mendalam. Meski kita
menebang pohonnya, namun akar-akar itu masih bisa me-
numbukan kembali pohon-pohon di atas. Untuk membu-
nuh pohon bambu, kita harus mengangkat akar-akarnya,
juga cukup dengan menebangnya.
Meski terkadang bambu kita remehkan, dalam kehi-
dupan sehari-hari, nyaris kita selalu bertemu dengan bam-
bu. Kita duduk di atas lincak terbuat dari bambu, membu-
at pagar rumah dengan bambu, membuat tatakan genteng
dari bambu. Bambu juga bisa menjadi tiang penyangga, se-
bagai penutup atau pagar juga bisa menggunakan bambu,
dijadikan tali juga bisa, begitu pula jika dibentuk menjadi
tampah, tempat nasi, serok, pikulan, walesan memancing,
gethek untuk menyeberang, bahkan sayur bung dari bam-
bu bisa kita makan. Di beberapa daerah, bambu juga di-
gunakan untuk menutup mayat sebelum dikubur dengan
tanah.
Dari penjelasan di atas, kita tak bisa lagi meragukan
bagaimana manfaat bambu dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan dalam beberapa tradisi kelahiran bayi, terdapat be-
berapa bagian yang menggunakan bambu sebagai upacara

183
penyambutan bayi. Hal ini mengindikasikan bahwa dari
awal kehidupan hingga akhir hayat, kita membutuhkan
bambu.
Kita bisa menyontoh manfaat bambu ini dalam diri
kita masing-masing. Karakter bambu seperti dijelaskan
diawal bisa menggambarkan karakter kita juga. Kita ini se-
rupa pohon bambu apa, maka kita akan bisa bersikap jika
mengalami berbagai masalah. Pohon bambu telah menun-
jukkan bagaimana mesti bersikap dalam kehidupan.
Selain itu, menyontoh pohon bambu, kita sebaiknya
menjadi orang yang luwes sehingga mudah belajar dan me-
nyesuaikan dengan masyarakat. Luwes bukan berarti plin-
plan, melainkan bisa lentur sehingga dalam kondisi apa-
pun kita bertahan. Manusia hidup tanpa menyesuaikan
dengan lingkungan akan mudah mendapatkan serangan
dari berbagai sisi, baik dari warga di lingkungan kita bera-
da maupun serangan dari luar lainnya. Oleh sebab itu, si-
kap luwes dan lentur sangat dibutuhkan.
Lihatlah bambu, tak hanya dalam kehidupan rumah
tangga, ia juga bermanfaat dalam kehidupan sosial, eko-
nomi, tradisi, di darat maupun di air. Begitu juga hakikat
manusia hidup. Jika hanya bermanfaat di dalam rumah
saja, berarti kita masih bersikap kaku kepada masyarakat.
Sikap kaku ini akan mudah mematahkan diri kita sendiri.
Misalnya ketika ada sedikit persoalan dengan tetangga,
kita akan stigma buruk, meski sebelumnya kita kerap ber-
buat baik. Artinya, perbuatan baik mesti juga dilengkapi
dengan hubungan yang baik pula. Tak cukup hanya me-

184
nyumbang masjid, sekolah dan lain sebagainya, hubungan
kita dengan masyarakat juga diperbaiki. Sebab, tetangga
adalah orang pertama yang menjadi penolong jika suatu
ketika ada persoalan yang menimpa kita.
Allah Swt memerintahkan kita untuk,

‫ش ُكوا ِب ِه َشيْئًا َو ِبلْ َو ِ َال ْي ِن‬


ِ ْ ُ ‫الل َوال ت‬َ َّ ‫َوا ْع ُبدُ وا‬
‫� ْح َسانً َو ِب ِذي الْ ُق ْر َب َوالْ َي َتا َمى َوالْ َم َسا ِك ِني‬
‫إ‬
‫الصا ِح ِب‬ َّ ‫َوالْ َج ِار ِذي الْ ُق ْر َب َوالْ َج ِار الْ ُج ُن ِب َو‬
‫الس ِب ِيل َو َما َملَ َك ْت أ�يْ َمانُ ُ ْك � َّن‬ َّ ‫ِبلْ َج ْن ِب َوا ْب ِن‬
‫إ‬
ً ‫الل ال ُ ِي ُّب َم ْن َك َن ُم ْخ َتاال فَخ‬
‫ُورا‬ َ َّ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri” (Qs. An-Nisaa: 36).

Menjadi bambu adalah menjadi manusia len-


tur. Salah satu tanda bahwa kita lentur ada-

185
lah mudah diterima di berbagai kelompok.
Dengan demikian, kita akan menjadi manusia
dengan tingkat ego yang rendah dan mudah
pula menerima masukan dari berbagai sisi.
Kehidupan berkelompok atau jika kita sudah
mmapu beradaptasi baik dengan tetangga,
mereka justru yang akan manjaga kita, dan
kita akan menjaga mereka pula.

186
Keindahan
Bunga Mawar
Kecantikan sejati tidak terletak pada kulit,
melainkan hatinya.

S ebagian kita mungkin memiliki tanaman bunga


mawar di rumahnya. Tanaman ini memang bagus
sebagai hiasan di dalam mapun depan rumah. Se-
lain kecantikan bentuk dan warna, mawar juga menawar-
kan wewangian. Wajar jika banyak orang yang menyenangi
bunga ini. Bahkan, mawar juga dapat disimbolkan sebagai
perasaan. Warna merah sebagai perlambangan cinta. Be-
gitu pula mawar warna putih yang cenderung menghiasi
pelaminan pernikahan sebagai perlambangan kebahagia-
an yang didasari atas sebuah cinta.
Serupa dengan melati, yang juga turut menjadi bagian
dalam upacara pernikahan sebagai perlambangan kesucian
sebuah upacara pernikahan. Di sisi lain, bunga melati juga

187
digunakan untuk orang yang sudah meninggal. Ada sebah
kesedihan di dalam melati putih yang harum itu.
Selain itu, bunga mawar dan melati juga menginspi-
rasi pabrik parfum untuk membuat parfum dari kedua
bunga tersebut. Maka lengkaplah kedua bunga itu melam-
bangkan sebuah kecantikan duniawi. Akan tetapi, dibalik
kecantikan, jika kita tak bisa memaknai dan memanfaat-
kannya dengan baik, kecantikan itu justru akan menjadi
pisau yang akan menusuk kita sendiri.
Kita tahu, bahwa kedua bunga itu dilindungi duri-
duri yang menyakitkan. Jika tak hati-hati saat memetik,
bisa jadi tangan kita akan berdarah karenanya. Hadirnya
kecantikan dan wewangian tak begitu saja bisa tampak di
mata kita, ada banyak hal yang melingkupinya justru ber-
sifat sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap melihat ba-
nyak hal yang bagus dan cantik. Menyenangkan jika dili-
hat, meneduhkan jika disanding, tetapi akan menusuk jika
kita pegang. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan
“cantik itu luka”, yang sangat tepat untuk menggambarkan
bahwa tak selamanya kecantikan itu membawa keindahan
jika sudah pegang.
Yang demikian ini sesungguhnya salah satu metode
setan dalam menyesatkan manusia dari jalan Allah adalah
janji induknya setan, sebagaimana digambarkan Alqur’an
dalam surat Al-Hijr ayat 39, “Aku pasti akan jadikan (keja-
hatan) terasa indah bagi mereka di bumi”. Dalam ayat lain

188
disebutkan, “Dan setan pun menampakkan kepada mere-
ka indahnya apa yang mereka kerjakan (kemaksiatan)”.
Di antara metode setan dalam menjauhkan, mengge-
lincirkan dan menyesatkan manusia dari jalan Allah ada-
lah dengan memoles kebatilan, kemaksiatan dan larangan
menjadi indah dalam pandangan manusia. Tak hanya itu,
setan juga menutupi akibat buruknya dan menjadikannya
terlihat remeh di mata pelakunya. Sehingga ia terlena da-
lam perbuatan buruknya tersebut, bertambah jauh dari
Tuhannya, dan mati dalam kondisi yang hina.
Meski demikian, kita tak bisa memungkiri bahwa seti-
ap hari kita juga melakukan maksiat, meski dalam bentuk
yang kecil dan sederhana. Lalu bagaimana dengan kaum
muslim setelah berbuat maksiat?
Muslim yang telah digelincirkan setan dalam perbu-
atan maksiat, jika ia masih dalam pikiran yang sehat, akan
merasa sangat bersalah, mengakui kemaksiatannya, dan
terbebani dengan dosa-dosanya itu. Yang terjadi kemudi-
an adalah muslim tersebut akan merasa jijik dengan kenik-
matan maksiat, ia merasa tersiksa dan berharap kalau saja
ia tidak terjerumus ke dalamnya.
Sikap yang sungguh-sungguh akan penyesalan dan ji-
jik tehadap maksiat serta berjanji tidak akan mengulangi-
nya akan menjadi sebab Allah menghapuskan dosanya. Hal
ini menjadi bukti dari luasnya rahmat Allah, Tuhan semes-
ta alam. Allah Swt menerangkan,

189
‫� َّن َّ ِال َين ات َّ َق ْوا � َذا َم َّسه ُْم َطائِ ٌف ِم َن ال�شَّ ْي َط ِان‬
‫َ إ‬ ‫إ‬
‫ون‬
َ ‫ص‬ ُ ِ ‫تَذكَّ ُروا فَ� َذا ُ ْه ُم ْب‬
‫إ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka di-
timpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS.
Al-A’raf: 201)
Jika kita berbuat maksiat, Allah tidak langsung me-
merintahkan malaikat mencatat sebagai amal yang buruk.
Tetapi Allah menunggu hamba-nya beberapa saat untuk
bertaubat. Namun jika sampai batas waktu yang ditentu-
kan, ia belum juga taubat, maka akan dicatat sebagai amal
buruk atau maksiat.
Berbeda dengan amal baik. Hanya sampai pada niat
saja, kita sudah dicatat malaikat sebagai amal yang baik.
Kemudian jika kita mengerjakan amal baik itu, malaikat
juga langsung mencatatnya sebagai amal saleh. Dua pahala
jika kita melakukan amal baik, satu dosa untuk amal buruk
atau maksiat.
Inilah karakter seorang muslim sesudah terjerumus
dalam kemaksiatan karena tergoda oleh setan. Baik maka-
siat karena mengerjakan keharaman atau meninggalkan
kewajiban, seorang muslim segera sadar akan kesalahan-
nya dan ia beristighfar kepada Allah. Setelahnya, muslim
itu akan mengerjakan kebaikan-kebaikan. Jika sudah de-
mikian, setanlah yang menyesal.

190
Apakah ada perbuatan maksiat yang tidak
enak? Ketika kita melihatnya begitu meng-
giurkan, ketika berada di sisinya begitu me-
nyenangkan, namun setelahnya kita akan
merasakan bagaimana maksiat itu merusak
diri dan hidup kita. seperti halnya mawar dan
melati. Begitu kita tidak waspada, duri-duri
siap menusuk kita.

191
Taman yang Indah dan
Mendamaikan
Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah
Salahsatunya siapa bisa menjalani
Moga-moga Gusti Allah mencukupi
—Dinyanyikan kembali oleh Opick

T aman biasa menjadi ruang rekreasi dan bermain


bagi sebuah keluarga. Selain menawarkan warna-
warni bunga dan permainan, taman merupakan
tempat yang aman bagi anggota keluarga. Jauh dari bising
jalan dan kendaraan, indah di mata, sejuk, dan mendamai-
kan. Taman memang didesain seperti ini agar siapa saja
betah di dalamnya.

192
Dalam kehidupan muslim, tanpa yang dimaksud ada-
lah serupa yang lirik tombo ati di atas. Di dalam aman
muslim, dipenuhi oleh berbagai macam keindahan yang
terpancar amalan baik orang-orang saleh. Jika hati kita
merasa gundah, sebaiknya kita menciptakan taman da-
lam hati kita sendiri, yaitu dengan cara menjalankan lima
obat hati tersebut. Jika sulit dengan lima perkara, cukup
dengan satu perkara, insyallah Allah mengabulkan hati
kita menjadi terang kembali. Namun jika kita melakukan-
nya tidak hanya ketika sedang gundah, kita tentu mudah
melalukan kelimanya. Dengan begitu, kita telah mencegah
hati gelap dan pikiran kita dari stress.
Dengan analogi taman, kita bisa mengumpamakan
bacaan Alqur’an sebagai bebungaan beserta wewangian-
nya yang ada di taman, lalu salat malam dengan hiasan
bintang dan bulan di saat malam, sementara lampu-lam-
pu temaran di sekitar menjadi dzikir yang senantiasa me-
nyinari sudut-sudut taman. Sementara orang-orang saleh
adalah para pengunjung taman yang ramah dan memiliki
kesadaran lingkungan sehingga senantiasa menjaga taman
tetap bersih. Dengan merekalah kita bercengkrama selama
berada di taman. Dan kita bisa menganalogikan puasa de-
ngan tidak menyenagi jajan yang menghabiskan uang be-
lanjanya hanya untuk kesenangan sesaat, dan pada akhir-
nya membuang sampah sembarangan. Bukankah liburan
ke taman mula-mula dipilih karena biayanya terjangkau?
Jika kita telah berhasil menciptakan taman dalam
hati, bukan saja kita yang akan merasa damai. Bahkan,

193
orang-orang yang berada di sekeliling kita juga akan me-
rasa senang dengan kehadiran kita. Dengan begitu, kita
telah menjadi hiasan bagi orang-orang di sekeliling kita,
terutama keluarga. Rumah yang telah menjadi taman akan
menjadi kehidupan kelurga yang bahagia dan damai.
Kedamaian ini seyogyanya tidak hanya menjadi milik
satu keluarga saja, akan tetapi kita bisa meluaskan taman
kita ke tetangga-tetangga kita, hingga satu desa atau kom-
pleks perumahan. Betapa indahnya jika sebuah desa atau
kompleks perumahan dipenuhi dengan taman-taman yang
sangat ramah bagi keluarga siapa saja. Anak-anak akan ter-
lindungi dari dari berbagai macam serangan modernitas
yang justru akan membuat mereka jauh dari ajaran agama.
Seperti kita lihat di beberapa tempat, anak-anak su-
dah mulai dilarang ke masjid dengan alasan menggang-
gu orang tua dalam beribadah. Padahal jika kita pikirkan
kembali, ke mana anak-anak belajar kalau tidak ke masjid?
Masjid sebagai media utama untuk mengenalkan anak de-
ngan ajaran Islam. Kalau kemudian anak di larang dengan
alasan sering membuat gaduh, tentu anak akan lari-lari di
tempat yang tidak jelas dan pada akhirnya akan membaha-
yakan anak itu sendiri dan merugikan orangtuanya.
Masjid yang ramah anak adalah masjid yang sekarang
ini kita butuhkan. Banyak orang tua yang sibuk bekerja se-
hingga tidak sempat mendidik anak dalam hal agama, ter-
utama lagi zaman sekarang banyak orang tua yang minim
pengetahuan tentang agama. Akan tetapi orang tua terse-
but tidak menginginkan anaknya akan seperti dia. Maka

194
tentu, masjid menjadi harapan bersama agar anak bisa
dididik dengan benar. Masjid dalam pengertian ini akan
menjadi taman yang mendamaikan bagi anak-anak kita.

Setiap orang membutuhkan ruang publik se-


bagai ruang komunikasi dan bermain bagi
keluarga, seperti taman. Taman yang berdiri
atas gabungan tanaman dan pepohonan bisa
menjadi ruang alternatif untuk mendidik anak
dan keluarga. Taman adanya taman, kehidup-
an kita akan gersang dipenuhi bangunan-
bangunan megah yang tidak ramah lingkung-
an. Artinya, kehidupan kita penuh nilai-nilai
kapital tanpa memedulikan nilai-nilai reliji.

195
Kenapa Pohon
Jati Mahal?
Waktu terbaik untuk bahagia adalah sekarang.
Tempat terbaik untuk bahagia adalah di sini.
Dan cara terbaik untuk berbahagia adalah membahagiakan
orang lain.
—Mario Teguh—

K ayu pohon jati adalah kayu yang paling baik di an-


tara kayu-kayu lainnya di dunia ini. Kayu ini me-
miliki kualitas super dan tak terkalahkan dengan
lainnya. Semakin tua kayu jati, semakin tinggi pula har-
ganya. Beberapa alasan yang menjadikan kayu jadi mahal
adalah 1) Anti lapuk . Di segala cuaca kayu jati tahan akan
lapuk, hingga puluhan tahun kayu ini tetap tegar. Contoh
kongkrit bangunan rumah dengan tiang utama dari kayu
jati bisa dipakai seumur pemilik rumah, bayangkan kayu
jati mampu bertahan hingga 60 tahun bahkan lebih, hing-
ga rumah tersebut diwariskan kepada anaknya. Contoh

196
lain adalah dengan membeli limasan atau joglo dengan ba-
han kayu jati, harganya mencapai puluhan bahkan ratusan
juga. Semakin tua kayu yang digunakan, semakin mahal
pula harganya.
2) Tingkat kepadatan kayu sangat tinggi sehingga
lebih mudah dibuat atau dibentuk seperti yang kita mau
meskipun rumit. Pengrajin mebel tentu akan lebih senang
menggarap kayu jati ketimbang lainnya. 3) Anti Rayap dan
serangga. Meski telah diberdirikan bertahun-tahun, kayu
jati tidak keropos. 4) Terbatas. Jumlah permintaan lebih
tinggi dari pada volume yang ada, hingga kayu jati menjadi
rebutan di berbagai negara. Alasan yang terakhir adalah 5)
Termasuk kayu terbaik di dunia.
Mampukah kita menjadi seperti kayu jati di antara
kayu-kayu lainnya, menjadi mausia terbaik di antara ma-
nusia-manusia lainnya? Seperti kayu jati, menjadi terbaik
memerlukan beragam alasan. Di susun dari berbagai ha-
dist, berikut adalah alasan manusia bisa menjadi manusia
terbaik.

Para sahabat yang mulia


Sahabat merupakan saksi hidup Nabi Muhammad Saw.
Karena para sahabat itulah, ajaran-ajaran Beliau bisa sam-
pai kepada kita, melalui tabi’in, tabi’ tabiin, para wali, ula-
ma, kiai, utadz dan lain sebagainya. Mereka adalah para
pewaris ilmu dari Nabi Saw. Dari Abdullah, dari Nabi Saw.
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat),

197
kemudian generasi sesudah mereka (tabi’in), kemudian
generasi sesudah mereka (tabi’ tabi’in)” (H.R Bukhori Mus-
lim).

Orang yang senang membaca, menuntut ilmu dan


suka menyambung tali silaturrahim.
Orang yang berilmu merupakan orang yang diangkat dera-
jatnya oleh Allah. Maka tak heran jika orang yang senang
membaca dan orang yang menuntut ilmu, mau menjalin
silaturahmi, dapat menjadi manusia terbaik. Nabi Saw ber-
sabda, “Manusia terbaik adalah yang paling banyak bacaan
dan ilmu Qur’annya, paling bertaqwa dan paling suka be-
ramar ma’ruf nahi munkar serta paling rajin menyambung
silaturahim” (HR. Ahmad).

Pelajar dan pengajar Alqur’an


Alqur’an adalah petunjuk bagi manusia muslim, mukjizat
Nabi Saw. Tak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Sega-
la apa yang terjadi di dunia ini sudah digariskan di dalam-
nya. Dari Utsman, dari Nabi Saw bersabda, “Sebaik-baik
orang di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an
dan mengajarkanya” (HR. Bukhari dan Muslim).

198
4

Mujahid
Mujahid adalah ornag yang berjuang di jalan Allah. Akan
tetapi, hal ini tidak selalu berhubungan dengan perang.
Tetapi segala hal yang kita atasnamakan karena Allah. Mi-
salnya menuntu ilmu karena Allah, menikah karena Allah,
mencari rezeki karena Allah dan lain sebagainya. Bukan
semata-mata urusan perang. Kuncinya adalah beramal ka-
rena Allah. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya termasuk
salah satu manusia terbaik adalah seorang lelaki yang ber-
amal (berjuang) fi sabilillah di atas kudanya, atau untanya
atau kedua kakinya sampai maut menjemputnya” (HR. An
Nasa’i).
5

Yang Panjang Umur dan Baik Amalnya.


Inilah yang dianggap sebagai umur yang berkah dna ini-
lah yang sebenar-benarnya umur panjang. Umur panjang
tidak selalu diukur dengan tahun, melainkan juga dengan
amal. Dan apabila memiliki keduanya, kita termasuk ma-
nusia yang terbak. Nabi Saw bersabda, “Maukah kalian
aku beritahu tentang orang yang terbaik di antara kalian?”
para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Kata beli-
au, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling panjang umur-
nya dan paling baik amalnya” (HR. Tirmidzi).

199
6

Yang Kebaikannya Selalu Diharapkan


Orang-orang seperti ini adalah yang sudah teruji oleh ma-
syarakat dan waktu. Ia kerap berbuat baik sehingga keba-
ikannya selalu diharapkan. Bukan perkara ia punya harta
atau tidak, melainkan ia yang mudah memberi bantuan
kepada siapa saja. Nabi Saw bersabda, “Sebaik-baik orang
di antara kalian adalah yang kebaikannya selalu diharap-
kan dan orang merasa aman dari keburukannya, sedang
seburuk-buruk orang di antara kalian adalah yang keba-
ikannya tidak pernah diharapkan, dan orang-orang tidak
merasa aman dari keburukannya.” (HR. at-Tirmidzi dan
Ahmad, Shahih Al-Albani).

Pemilik Akhlak Mulia


Rasulullah Saw adalah akhlak Alqur’an. Artinya, beliau
menjalakan segala apa yang diperintahkan dan dilarang
dalam Alqur’an. Beliau tidak pernah berkata kotor dan
berkata jorok agar ditertawai orang-orang. Beliau bersab-
da, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya.”
(HR. Bukhari Muslim)

Yang Terbaik Terhadap Keluarga

200
Keluarga merupakan titipan dari Allah. Oleh karena itu
kita wajib menjaganya dengan sebaik-baiknya, menafkah-
inya secara cukup dengan segala daya upaya yang dimiliki.
Nabi Saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik terhadap keluarganya. dan aku adalah yang terbaik
terhadap keluargaku…” (HR. Tirmidzi).

Yang Uzlah Menghindari Fitnah


Fitnah bukan untuk dilawan. Kalau toh harus melawan kita
bisa memperkarakannya secara adil melalui persidangan.
Akan tetapi, lebih baik kita menyendiri demi menghindari
masalah yang lebih besar akibat fitnah. Nabi Saw bersab-
da, “Sebaik-baik manusia saat terjadi fitnah adalah yang
mengisolir diri dengan hartanya, beribadah kepada Rabb-
nya dan menunaikan Kewajibannya” (HR. at-Tirmidzi).

10

Pemberi Makan
Kita tahu bahwa di dunia masih banyak orang hidup dalam
kesulitan ekonomi, sementara di sisi lain banyak orang
yang hidup bermewah-mewah. Oleh sebab itu, kita dipe-
rintahkan untuk bersedekah dan memberikan makan bagi
mereka yang kesulitan mencari makanan. Nabi Saw ber-
sabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang memberi makanan
atau orang-orang yang memberi makan” (HR.Ahmad).

201
Menjadi yang terbaik adalah keinginan setiap
orang. Namun hanya orang yang berjuanglah
yang bisa mendapatkannya. Kita memang ti-
dak bisa atau nyaris mustahil memenangkan
semua pertandingan, suatu saat kita pasti ka-
lah, namun dalam setiap perjuangan itu, seti-
daknya kita telah berusaha dan belajar ikhlas
untuk menjadi yang terbaik. Dari sepuluh ciri
orang terbaik, setidaknya satu mendapatkan
satu yang bisa kita menangkan, seperti pohon
jati yang mengalahkan pohon-pohon lainnya.

202
Mencangkok
Tanaman
Ilmu tanpa agama adalah buta,
agama tanpa ilmu adalah pincang.
—Albert Einstein

M encangkok adalah sebuah teknik di mana kita


menginginkan dua tanaman yang sama tum-
buh di satu batang. Teknik ini berupaya meng-
gabungkan dua tanaman atau dua bagian tanaman sehing-
ga tumbuh menjadi satu. Dengan cara demikian, kita bisa
menggabungkan sifat baik dari tanaman yang kuat dan
tahan penyakit dengan tanaman lain yang menghasilkan
buah yang baik atau bunga yang menawan.
Teknik mencangkok ini akan memaksimalkan buah
dari sebatang pohon untuk tumbuh lebih cepat dan lebih
baik. Mudahnya, mencangkok adalah metode praktis jika
kita tak sabar menunggu sebuah pohon berbuah, terutama
jika pohon salah pohon tumbuh tidak dengan sempurna.

203
Akan tetapi, pohon lain yang digunakan untuk menitip-
kan batang pohon yang tidak tumuh sempurna haruslah
pohon yang benar-benar sehat dan kuat. Sehingga pohon
yang tidak sempurna tadi mengikuti pohon yang tumuh
sempurna.
Cara semacam ini mengingatkan kita pada orangtua
yang menitipkan anaknya kepada seseorang yan dianggap
baik, entah teman, guru atau seorang kiai agar anakanya
tertular kebaikan. Orang yang dititipi merupakan orang
yang baik secara amal dan ilmu. Artinya, jika diibaratkan
sebuah pohon, ia adalah pohon yang kuat dan sehat serta
berbuah dengan baik.
Model pendidikan semacam ini kerap kita temukan di
masyarakat kita. Daripada indekos orangtua lebih memilih
menitipkannya kepada kenalannya untuk dididik karena
bisa dikontrol dan menularkan ilmunya. Pendidikan sema-
cam ini juga diterapkan dalam pondok pesantren (Ponpes).
Di Ponpes, orangtua datang bersama anaknya dan
sowan kepada kiai. Lalu orangtua menitipkan anaknya ke-
pada kiai agar dididik tentang ilmu-ilmu keagamaan. Pro-
ses penitipan ini kepada sang kiai lebih secara personal,
sehingga orangtua dan kiai bisa saling bertatap dan ber-
komunikasi selayaknya seorang teman. Dengan akad yang
sudah disepakati bersama sang kiai biasanya akan meng-
anggap anak tersebut (santrinya) sebagai anaknya sendiri.
Hal ini semacam ini tidak kita temukan dalam pendidikan
formal kita. Di sekolah kita hanya mendaftarkan anak tan-
pa ada proses serah-terima penitipan.

204
Abdullah bin Umar r.a berkata, “Didiklah anakmu,
karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggung-
jawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah
engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya me-
ngenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya ke-
pada dirimu”(Tuhfah Al-Maudud; 123).
Dari kerengan Abdullah bin Umar di atas, kita tahu
bahwa kewajiban mendidikan anak adalah kewajiban
orangtua, maka sudah selayaknya kita menitipkan anak
kita kepada orang yang mau menganggapnya sebagai anak
sendiri, bukan sebagai klien sebagaimana kita temui di se-
kolah-sekolah bergengsi.
Memilih sekolah yang bagus bagus dan mahal saja be-
lumlah cukup. Kita perlu memilih sistem dan guru yang
akan mengajar anak kita. tak cukup kita hanya mengenal
kepala sekolah saja, tetapi dengan guru kita juga harus de-
kat. Sebab gurulah yang setiap hari bertemu dengan anak
kita. Seperti halnya kiai yang akan memantau seluruh ak-
tivitas santri dalam sebuah asrama.
Yang terbaik buat anak pada mulanya adalah akh-
laknya terlebih dahulu, kemudian secara keilmuan. Jika
kebalikannya yang kita utamakan, bukan tidak mungkin
anak kita akan menggunakan keilmuannya ke jalan yang
kita anggap salah. Oleh sebab itu, seperti pepatah di atas,
ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah
pincang.

205
Dalam kondisi pincang masih memungkinkan
kita berjalan di jalan yang benar, akan tetapi
jika kita buta, kita tak akan mengetahui mana
jalan yang benar. Oleh sebab itu, kita perlu
memilih-milih sekolah, memilih-milih model
pendidikan untuk mencangkok anak kita ke-
pada orang kita percaya.

206
Berkunjung
ke Hutan
Di balik gelap malam, ada sejuta bintang
yang bisa kita miliki.

H utan cenderung digambarkan sebagai tempat


yang gelap, liar, dan menakutkan. Memang tidak
bisa pungkiri bahwa di dalam hutan, berbagai
macam yang liar tumbuh, hidup dan berkembang, baik ta-
naman, pohon maupun hewan. Tak heran jika kemudian
hutan kerap distigma sebagai sesuatu yang menyeramkan.
Bisa saja ketika kita berjalan di hutan sendirian, tiba-tiba
ada makhluk buas menerkam kita.
Akan tetapi, di balik keseraman itu, sesungguhnya hu-
tan menyimpan berbagai rahasia dan menjadi salah satu
penyeimbang kehidupan. Tumbuhnya pepohonan yang
besar dan mampu menyerap banyak air adalah salah stau
manfaatnya. Jika hutan ditebang, air yang jatuh dari la-
ngit akan mengalir ke daerah padat penduduk. Begitu pula

207
hewan liar yang berada di dalamnya. Akan mendatangi ru-
mah penduduk untuk mencari mangsa. Sebab, kebiasaan
di hutan adalah berburu. Yang hidup di hutan harus dibe-
kali dengan keahlian berburu. Tanpa keahlian itu, kita ha-
nya akan menjadi mangsa.
Oleh sebab itu, kita mengenal adanya hukum rimba.
Siapa yang kuat dialah yang menang dan bertahan hidup.
Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan fisik untuk ber-
tarung dan mempertahankan diri demi keberlangsungan
kehidupannya.
Kehidupan seperti di hutan mudah kita temukan da-
lam kehidupan malam di perkotaan. Di kota, kehidupan
malam hampir tidak pernah mati. Ada saja aktivitas ma-
nusia, baik untuk bekerja maupun sekadar untuk menik-
mati suasana malam. Kita sering mendengar bahwa kehi-
dupan malam sangat menakutkan. Di sana lah jiwa-jiwa
pemburu sebagaimana dimiliki oleh hewan di hutan keluar
dan mencari mangsa. Bagi kita yang lengah, akan menjadi
mangsa empuk.
Kejahatan cenderung terjadi di malam hari. Adalah ri-
siko jika kita keluar malam hari tanpa perlindungan secu-
kupnya, apalagi di kota-kota besar. Di mana banyak orang
bekerja, di sanalah ada penjahat yang siap mengintai. Se-
perti semut yang selalu mendatangi gula.
Di malam hari itulah, hukum rimba berlaku. Jika kita
tak kuat secara fisik, lebih baik berdiam diri di rumah saja.
Tak hanya secara fisik, keberanian mental juga dibutuhkan
untuk menghadapi yang tampak dan tidak nampak. Selain

208
itu, daya tahan tubuh harus lebih kuat jika ingin merasa-
kan kehidupan malam. Dari seluruh tantangan dan an-
caman itu, maka mudah disimpulkan bahwa yang kuatlah
yang akan menang dan bertahan hidup hingga esok hari.
Akan tetapi, banyak rahasia malam yang harus kita
ungkap. Secara ekonomi, orang yang mau bekerja di ma-
lam hari, gajinya lebih besar karena mengandung risi-
ko yang juga besar. Tetapi di sisi lain, malam hari adalah
terbukanya pintu langit. Sehingga kita dianjurkan untuk
beribadah dan memanjatkan puji-pujian kepada Allah, se-
kaligus berdoa.
Inilah rahasia malam sesungguhnya, di saat yang lain
sedang berpesta dalam hukum rimba, di saat yang lain se-
dang terlelap dalam tidur, kita melaksanakan salat malam.
Ada banyak amalan qiyamul lail yang dapat kita laksanakan
demi mendekatkan diri kepada Allah. Salah satunya adalah
tahajud.
Allah Swt berfirman,

‫الصال َة َط َر َ ِف النَّ َ ِار َو ُزل َ ًفا ِم َن الل َّ ْي ِل‬َّ ‫َو أ� ِق ِم‬


‫ات َذ ِ َل ِذ ْك َرى‬ َّ ‫ات يُ ْذ ِه ْ َب‬
ِ َ‫الس ِيّئ‬ ِ َ‫� َّن الْ َح�سَن‬
‫إ‬
‫ِل َّذلا ِك ِر َين‬

209
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi
dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu mengha-
puskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peri-
ngatan bagi orang-orang yang ingat” (Hud; 114).
Ayat tersebut kemudian diperkuat dengan,

‫َو ِم َن الل َّ ْي ِل فَتَ َ َّج ْد ِب ِه نَ ِف َ ًل َ َل َع َس أ� ْن ي َ ْب َعث ََك‬


‫َرب ُّ َك َم َقا ًما َم ْح ُمو ًد‬
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudah-
an Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (Isra;
79)
Salat tahajud merupakan amalan yang utama setelah
salat lima waktu. Sebab, untuk bisa melakukannya kita
membutuhkan kebernian, kekuatan fisik dan mental. Ada
godaan berat dari setan sehingga tidak semua orang bisa
melakukannya. Abu Hurairah r.a. pernah menceritakan
bahawa Rasulullah Saw telah bersabda, “Setan akan meng-
ikat kamu dengan 3 simpulan pada belakang kepala ketika
kamu tidur. Pada setiap simpul dia berkata: Malam ma-
sih panjang, maka teruskan tidurmu. Apabila seseorang
itu bangun dan mengingati Allah, maka terlepaslah satu
simpul. Apabila dia berwudu, terlepas pula simpul kedua,
apabila dia mengerjakan salat, maka terlepas pula simpul

210
yang ketiga. Dan pada pagi harinya (Subuh) dia akan ba-
ngun dengan penuh semangat dan dalam keadaan hati
yang baik; sebaliknya, jika dia tidak melakukan perkara
tersebut (mengingati Allah, berwudu dan salat malam),
dia akan bangun pagi dalam keadaan hati yang buruk dan
malas” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sama-sama memiliki risiko, sama-sama


membutuhkan keberanian mental dan fisik,
maka kita tinggal memilih; berjalan menuju
maksiat atau berjalan mencari air wudu kemu-
dian salat malam. Berjalan ke tempat maksi-
at akan mendapatkan kenikmatan malam itu
saja, sementara qiyamul lail akan mendapat-
kan ketenangan hati dan akhirat.

Reboisasi
Salah satu untuk menjaga diri kita agar
awet muda adalah reboisasi!

211
R eboisasi adalah aktivitas penanaman kembali hu-
tan yang telah ditebang sehingga menjadi tandus,
gundul. Dengan adanya reboisasi ini, hutan kem-
bali menghijau karena tanaman pohon yang baru. Reboi-
sasi berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan ma-
nusia dengan menyerap polusi dan debu dari udara, mem-
bangun kembali habitat dan ekosistem alam, mencegah
pemanasan global dengan menangkap karbon dioksida
dari udara, serta dimanfaatkan hasilnya (terutama kayu).
Dalam konteks agama, reboisasi merupakan sedekah
kita kepada alam. Ketika kita menanam pohon lalu tum-
buh menjadi besar sehingga dihuni oleh hewan-hewan ter-
utama burung, dan di sanalah hewan juga mencari makan,
maka ini menjadi amal jariyah yang tidak terputus bagi
penanamnya.
Rosulullah Saw bersabda, “Tak ada seorang muslim
yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari
tanaman itu akan menjadi sedekah baginya, dan yang di-
curi akan menjadi sedekah. Apa saja yang dimakan oleh
binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu
akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan
oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah
baginya. Tak ada seorangpun yang mengurangi, kecuali
itu akan menjadi sedekah baginya” (HR. Muslim dalam Al-
Musaqoh; 3945).
Reboisasi dalam konteks kehidupan sehari-hari bisa
kita ibaratkan dengan memperbaharui diri kita melalui
penghapusan dosa-dosa. Salah satu caranya adalah dengan

212
senantiasa berwudu. Air yang kita gunakan untuk berwu-
du akan membawa kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa
kita bersama tetes-tetes yang jatuh dari anggota badan
yang terkena air wudu.
Rosulullah Saw bersabda, “Maukah kalian aku tunjuk-
kan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan
(dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menja-
wab,”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,”(Yaitu)
menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya
langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendiri-
kan salat. Itulah kebaikan (yang banyak)” (HR. Muslim no.
251).
Wudu selain untuk menjaga kebersihan fisik, juga
sangat bermafaat untuk kebersihan rohani. Misalnya ke-
tika melihat seseorang cantk atau ganteng, berdekatan
dengannya atau bahkan bersalaman seolah-olah menja-
di hasrat, akan tetapi jika kita teringat bahwa kita punya
wudu, maksiat kecil itu bisa dihindari.
Amalan yang bisa kita lakukan untuk menghapus dosa
adalah berdzikir dan berdoa setelah Salat Jumat. Salat ini
dilakukan seminggu sekali, akan sangat disayangkan jika
kita ingin segera pulang tanpa wirid dan berdoa. Apalagi,
Jumat terhitung sebagai hari yag istimewa bagi muslimin.
Adapun wirid dan doa yang dimaksud adalah sebagai ber-
ikut.
Setelah salam pada salat Jumat, kita tidak boleh
mengubah posisi kaki dan berbicara kepada siapa saja.
Lalu kita disunahkan untuk membaca surat Al-Fatihah, Al

213
Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas, masing-masing sebanyak 7
kali. Setelahnya kita memanjatkan doa semau kita, dan di-
tambahkan dengan kalimat doa “Allahumma ya Ghaniyyu
ya Hamid, ya Mubdi’u ya Mu‘id, ya Rahimu ya Wadud. Agh-
nini bi halalika ‘an haromik, wa bifadhlika ‘amman siwak,”
sebanyak 4 kali. (Ya Tuhanku Yang Maha Kaya Yang Maha
Terpuji, Yang Maha Memulai Yang Kuasa Mengembalikan,
Yang Maha Penyayang Yang Maha Kasih. Cukupkan aku
dengan pemberian-Mu yang halal, bukan yang haram. Dan
puaskan aku dengan kemurahan-Mu, bukan selain-Mu).
Bagi muslim yang bisa membiasakan amalan ini, Al-
lah akan mencukupkan dan berikan rezeki kepadanya
dari berbagai sisi yang tidak terduga. Selain itu Allah akan
mengampuni dosa-dosanya tujuh hari yang terlah berlalu
dan tujuh hari yang akan datang. Allah pelihara sikap bera-
gamanya, kehidupan dunianya, keluarganya, dan anaknya.
Akan tetapi, dosa-dosa yang dimaksud adalah dosa-
dosa kecil yang biasanya dilakukan tanpa disengaja. Se-
mentara untuk dosa-dosa besar hanya bisa dihapuskan
dengan cara taubatan nasukha.

Jika kita tak menebus dosa-dosa kecil yang


kita lakukan, baik sadar maupun tidak, akan
menjadi kebiasaan buruk dan dosa-dosa itu
menumpuk menjadi gunung. Dengan kegiat-
an reboisasi terhadap hutan keberagamaan
kita, hidup kita akan lebih muda, cerah dan
hijau, serta jauh dari bencana.

214
Mengakar Kuat
Setiap ujian dari Allah sejatinya untuk
memperkuat akar keimanan kita.

K ita pasti pernah melihat bahkan memakan buah


kurma. Bagaimana dengan melihat pohonnya?
Baik langsung maupun melalui gambar, kita ten-
tunya juga pernah melihatnya atau bahkan menyentuhnya.
Tetapi apakah di antara kita pernah melihat proses pohon
kurma itu ditanam? Jika kita bukan orang Arab atau biasa
hidup di gurun pasir, mungkin kita tak akan melihatnya.
Sungguh unik melihat petani di gurun pasir menanam
pohon kurma. Petani akan melubangi pasir lalu menaruh
sebiji kurma di dalamnya. Setelahnya, biji kurma itu ditu-
tupi dengan batu. Di sinilah uniknya. Pertama, batu digu-
nakan untuk menahan laju pertumbuhan pohon kurma
sehingga pohon kurma akan tumbuh ke bawah terlebih
dahulu secara maksimal. Artinya, akar akan menguat sejak
pohon itu masih kecil. Lalu kedua, ketika pohon itu mulai
tumbuh besar, pohon kurma akan berjuang dengan keras

215
untuk menjebol batu itu sehingga ia menjadi pohon yang
kuat secara fisik (batang).
Oleh karena itu, pohon kurma meskipun sering di-
terpa badai dan dalam kondisi tanah yang panas, kering,
gersang dan tandus, pohon itu tetap bertahan. Maka tak
berlebihan kiranya jika menyebut pohon kurma sebagai
pohon yang tahan banting. Karena kekuatan sesungguh-
nya ada pada akarnya. Semakin ke dalam pasir akan sema-
kin kuat.
Petani di negara agraris seperti di Indonesia mungkin
tidak terpikirkan cara ini, karena mudah menanam, mu-
dah pula tumbuh. Selain itu jarang ada badai seperti yang
ada di Timur Tengah. Sehingga dalam menanam tidak per-
lu dipikirkan bagaimana akar tumbuh kuat. Jika pohon itu
kemudian akan dengan mudah menanam kembali.
Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Suatu hari, Rasulul-
lah bersabda kepada para sahabatnya, ‘Kabarkanlah kepa-
daku tentang sebuah pohon yang perumpamaannya seper-
ti seorang mukmin?’ Maka para sahabat pun menyebutkan
jenis-jenis pohon di lembah-lembah. Ibnu Umar berkata,
‘Terlintas dalam benakku untuk menjawab pohon kurma,
tetapi aku segan menjawabnya karena banyak para saha-
bat yang lebih tua dariku’. Tatkala para sahabat diam, Ra-
sulullah bersabda, ‘Pohon itu adalah pohon kurma’.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Merefleksikan pohon kurma dalam kehidupan kurma
seperti mengingat prinsip hidup. Bahwa dalam hidup kita
memerlukan tekanan-tekanan sehingga kita lebih kuat di

216
akar. Berbagai tekanan itu akan membantu dalam meng-
hadapi persoalan setelahnya. Artinya, ada proses pende-
wasakan dari tekanan menuju kesuksesan hidup.
Dalam kehidupan muslim, tekanan itu datangnya dari
Allah melalui cobaan-cobaan yang kita hadapi. Ini menjadi
bukti kuat bahwa Allah tidak akan membebani kita di luar
batas kekuatan kita. Sebab, semakin ita ditekan keluar, se-
makin kita akan berusaha untuk melepaskan diri. Cobaan
itu hakikatnya bukan untuk melemahkan kita, melainkan
untuk mendewasakan keimanan kita, untuk memperkuat
akar keimanan kita.
Tak sekadar untuk bertahan, benih keimanan dalam
diri kita suatu waktu akan mengakar kuat, dan di saat yang
tepat akan menjebol “batu masalah” yang selama ini mene-
kan kita. Jika sudah demikian, kita akan keluar sebagai pe-
menang kehidupan. Kemanangan kita adalah kemenangan
yang istimewa, selayaknya buah kurma yang istimewa.

Allah mendesain kita seperti pohon kurma.


Tumbuh mengakar ke dalam, tumbuh kuat ke
atas. Sebab itu, menjadi tangguh, kuat dan te-
gar menghadapi beratnya kehidupan adalah
pilihan wajib bagi seorang muslim. Keberha-
silan kita dalam menghadapi tekanan itu akan
memperkuat tingkat keimanan kita, sekaligus
menghasilkan buah yang manis dan istimewa
seperti buah kurma.

217
Yang Menanam yang
Memanen
Sekali Anda menghentikan langkah,
selama tak akan pernah sampai tujuan.

A da pepatah Arab mengatakan man jadda wajada,


siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat-
kan. Hal ini sama prinsipnya dengan man yazra’
yahshud, siapa yang menanam dialah yang akan memanen.
Konsep ini banyak diyakini orang tak hanya bagi muslim,
orang-orang di berbagai negara juga meyakini hal ini. Mes-
ki demikian, ada orang-orang yang memang tidak mau me-
yakininya, sebab menurut pengalamannya, ia sudah beru-
saha tetap masih juga menemui kegagalannya.
Konsep ini merupakan konsep sebab-akibat. Setiap
peristiwa pasti ada penyebabnya. Kecuali sebuah mukjizat
yang merupakan bukti dari kebesaran Allah Swt. Mukjizat
bisa saja datang tanpa sebab, namun mukjizat juga meru-
pakan pemberiaan Allah tanpa diusahakan oleh penerima

218
mukjizat itu sendiri. Misalnya kenapa para nabi menerima
mukjizat? Hal itu karena konsekwensi seorang nabi yang
harus memiiki kelebihan dari umatnya sehingga ia diper-
caya membawa amanat dari Allah Swt.
Lalu misalnya lagi, seseorang yang mendapatkan ilmu
secara laduni, tanpa belajar sungguh-sungguh tetapi men-
dapatkan ilmu yang tinggi. Hal ini bisa saja karena amalan-
nya, atau karena sesepuh atau leluhurnya dulu pernah ber-
buat sesuatu yang bermanfaat atau pernah berdoa seperti
itu sehingga keturunannya mendapatkan ilmu laduni. Bu-
kankah Allah selalu mengabulkan doa, tetapi kapan terka-
bulnya hanya Allah yang bisa memutuskan. Mungkin doa
sesepuh dulu tidak akan banyak manfaatnya jika dikabul-
kan pada saat itu juga, melainkan diturunkan kepada ahli
warisnya. Usaha sesepuh itu mestinya tidak hanya sekali
dua kali, melainkan berulang kali sehingga Allah benar-
benar mengabulkannya.
Usaha sesepuh ini mengingatkan kita kepada usaha
seorang petani. Petani menanam padi, tentu dialah yang
akan memanen. Jika orang lain yang memanen berarti te-
lah terjadi pencurian. Akan tetapi, dalam pertanian kita
mengenal gagal panen. Hal ini dikarenakan oleh beberapa
sebab, yaitu karena hama, peristiwa alam, dan lain seba-
gainya.
Akan tetapi, apakah hal ini akan membuat petani ber-
henti menenami sawahnya? Tentu saja tidak, petani akan
tetap mengulangi menanam padi meski berkali-kali gagal
panen. Petani pasti tahu, suatu saat panennya akan me-

219
limpah. Terlebih lagi, harga bahan pokok semakin tinggi
sebanding dengan kebutuhan masyarakat terhadap beras.
Dalam berbagai kasus, sekali panen hasil bertani cu-
kup untuk membiaya anaknya di perguruan tinggi. Arti-
nya, panen yan ditunggu telah membuah hasil yang cukup
melimpah sehingga kebutuhan keluarga terpenuhi.
Usaha petani ini dapat kita contoh dalam berbagai bi-
dang. Baik dalam menuntut ilmu, berdagang, bidang usa-
ha, jodoh dan lain sebagainya. Pasti suatu ketika kita akan
menemukan titik balik dari setiap kegagalan yang pernah
kita lakukan.
Selain itu, kita juga melihat kesungguhan ini dalam
diri seorang muslim dalam berbuat kebaikan. Setiap keba-
ikan akan mendapatkan kebaikan yang berlipat. Namun,
balasan tersebut tidak seketika hadir sesuai dengan apa
yang kita perbuat. Misalnya kita menyantuni anak yatim
Rp. 100.000,- bukan berarti Allah akan melipatkan santu-
nan itu dalam jangka pendek dan berupa uang. Bisa ka-
pan saja Allah akan membalas dan pastinya dengan jumlah
yang berlipat. Kebaikan-kebaikan yang kita tanam, pasti
akan kembali kepada kita karena itu adalah janji Allah.

َ َّ ‫َو َّ ِال َين َجا َهدُ وا ِفينَا لَنَ ْ ِديَنَّ ُ ْم � ُس ُبلَنَا َو� َّن‬
‫الل‬
‫إ‬
‫لَ َم َع الْ ُم ْح�سِ ِن َني‬

220
Jika Anda menghentikan usaha karena sekali
gagal, maka selamanya tak akan bisa sukses.
Jika Anda berhenti belajar karena tak bisa me-
nerima satu pelajaran dan susahnya menun-
tut ilmu, maka terimalah kehinaan karena ke-
bodohan untuk selamanya. Jika Anda berhenti
menaiki sepeda karena pernah terjatuh ketika
mengendarainya, maka terimalah kesakitan
kakimu ketika berjalan jauh. Dan Jika Anda
berhenti menanam, Anda tak akan pernah
memanen.

221
Tak Ada Rotan
Akarpun Menghias
Kedzaliman adalah kegelapan di hari kiamat.
—Muhammad Saw

U ntuk membuat kursi rotan, kita memebutuhkan


sekian meter rotan. Akan tetapi, bagaimana jika
rotan yang kita miliki kurang dari jumlah yang
kita butuhkan? Sementara di sekeliling kita ada akar yang
siap digunakan. Apakah kita akan tetap menggunakannya?
Jika kita menggantikan rotan dengan akar, harga
kursi akan turun jauh karena tidak sesuai yang diharap-
kan. Dan secara estetis, kursi tidak seindah jika semuanya
menggunakan rotan. Belum lagi jika diukur dari sisi keku-
atan dan daya tahan kursi. Seberapa kuat dan tahan kursi
yang terbuat dari bahan campuran tersebut.
Diartikan secara sederhana, tak ada rotan akarpun
jadi bisa berarti jika tidak ada yang terbaik, yang kurang
baik juga bisa dimanfaatkan. Akan tetapi, kita tahu bahwa

222
setiap hal memiliki kelebihannya masing-masing. Jika kita
menempatkan yang bukan pada tempatnya, tentu akan
mengurangi nilai dan daya tahan sesuatu itu. Sementara
jika yang kurang baik ditempat pada posisi yang tepat akan
mampu menonjolkan kemampuannya yang lebih.
Lalu apakah kita akan tetap menggantikan rotan
dengan akar? Seperti misalnya sebuah perusahaan yang
menginginkan standar pegawainya memiliki nilai IPK mi-
nimal 3.75, lalu ketika rekruitmen, calon pegawai yang
melamar di bawah standar semua. Lalu apakah kita akan
menurunkan standar dengan menerika pelamar dengan
IPK 3.50? Jika pegawai ini disejajarkan pegawai sebelum-
nya dengan nilai minimal 3.75, barangkali akan terlihat
celahnya. Namun pada posisi yang tepat pelamar baru itu
akan mampu menunjukkan kelebihannya.
Dalam pikiran bijak, kita tak akan menggunakan pi-
lihan kedua untuk menambah sisi celah. Hal ini justru
menyiapkan diri kita sendiri dan klien untuk bersiap-siap
kecewa. Lain halnya, jika tak menemukan pegawai dengan
nilai yang diharapkan, kita bisa menerima tetap tidak di-
posisikan setara. Mula-mula yang dikerjakan adalah mem-
bagi tugas posisi yang kosong kepada seluruh pegawai yang
ada, lalu pelamar baru ditempatkan sebagai asisten untuk
membantu pegawai lama karena ketambahan tugas baru.
Begitu pula dengan kursi rotan. Jika rotan kurang,
bukan berarti kita akan menambalnya dengan akar. Akan
tetapi kita bisa melonggarkan ikatan rotan, dan kemudi-
an di bawahnya atau rotan itu kemudian dibalu dengan

223
akar sehingga seolah-olah disengaja dengan konsep hiasan
akar. Jadilah kursi rotan berhias akar. Alih-alih menutupi
kekurangan rotan, akar justru memperindah dan memper-
kuat kursi rotan itu.
Dalam kehidupa kita beragama pun demikian. Dalam
Islam, tidak ada pepatah “tak ada rotan akar pun jadi”. Jika
ada yang mengartikan pepatah ini dengan “jika tak masjid,
salat di mana pun bisa dilakukan.” Bukannya Islam juga
sudah mengatur kita boleh salat di mana saja asalakan di
tempat yang suci dan menghadap kiblat?
Islam selalu menganjurkan untuk memilih yang terba-
ik. Menempatkan sesuatu yang bukan tempatnya merupa-
kan perbuat dzalim dan dilarang oleh Islam. Dalam memi-
lih pemimpin misalnya, jika tidak ada yang baik ya, yang
korupsi juga tidak masalah, yang penting ada pemimpin.
Sebagai pemilih pemimpin yang korupsi itu berarti kita te-
lah melakukan kedzaliman. Kita harus menyeleksi sekian
orang untuk kemudian kita ajukan sebagai pemimpin wa-
laupun melalui jalur independen. Jika pun nanti kita gagal,
setidaknya kita telah mengusahakan pemimpin yang baik
dan benar menurut ajaran Islam. Akan tetapi, jika orang
yang korupsi tersebut tetap mendapatkan posisi, setidak-
nya ia berada di posisi bawah sehingga pemimpin yang
baik bisa mendidiknya untuk berada di jalan yang benar.
Jika cara berpikir kita “tak ada rotan akarpun jadi”
bisa saja kita mendefinisikan dengan “kalau tak yang halal,
yang haram boleh”? Tak ada wanita, lelaki pun dinikahi?
Tentu kita tak sedang mendzalimi diri sendiri. Menge-

224
nai bersikap dzalim ini, Allah telah melarang, “dan (bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
dzalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu keja-
hatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat
jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak me-
nyukai orang-orang dzalim. Tetapi orang-orang yang mem-
bela diri setelah didzalimi, tidak ada alasan untuk menya-
lahkan mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada
orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan me-
lampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran.
Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Tetapi barangsiapa
bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu ter-
masuk perbuatan yang mulia” (QS. Ash-Shuraa; 39).

Menggantikan rotan dengan akar adalah se-


buah kesalahan. Posisi dan fungsi akar tak
pernah sama dengan rotan. Yang seperti ter-
masuk dalam kedzaliman. Orang yang dzalim
merupakan orang kufur nikmat, menentang
hati nurani yang suci, mengkhianati janji,
korupsi, menyalahgunakan jabatan, berbuat
kejam, berzina, maunya menang sendiri, me-
nyia-nyiakan amanat, dna lain sebagainya.
Segala hal yang menerobos nilai-nilai Islam
dan kemanusiaan sudah layak perbuatan
dzalim.

225
Menyapu Daun-daun
yang Rontok
Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak
kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu
terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit.
—Ali Bin Ali Thalib

P unya banyak pohon di halaman rumah memang


menyenangkan. Rindang, adem, menepis polusi,
dan lain sebagainya. Pohon-pohon itu tentu mem-
beri kesejukan bagi kita. Warna hijau daunnya menawar-
kan keindahan tersendiri. Akan tetapi, pohon-pohon itu
juga memberikan kotoran berupa daun-daun yang rontok.
Setiap hari daun-daun rontok mengotori halaman.
Keindahan yang awalnya ditawarkan menjadi suram ka-
rena sampah daun begitu banyak. Apalagi jika halaman
itu luas. Membersihkan daun-daun itu tentu bukan per-
kara sepele. Membutuhkan berapa jam setiap hari untuk
membersihkannya. Padahal pohon itu tak pernah berhenti

226
merontoh daunnya. Sisi utara selesai disapu, sisi selatan
sudah ada penghuni daun rontok lagi. Begitu berganti ke
sisi barat, sisi timur sudah ada daun lagi.
Hal ini tampak sepele. Apa artinya daun-daun yang
rontok-rontok. Daun itu menandakan usia kita yang tak
selalu hijau. Dalam kondisi apapun daun bisa saja jatuh,
baik ketika berwarna hijau, kuning apalagi ketika sudah
cokelat. Daun yang gugur itu akan digantikan daun yang
baru lagi. Kapan saja, kita juga bisa jatuh (meninggal) se-
perti daun itu. Kadang dipanggil Allah lebih cepat dalam
kondisi masih hijau, kadang dalam kondisi kuning, apalagi
dalam kondisi sudah cokelat.
Pertanyaannya, sudah siapkah kita dengan panggil-
an Allah yang bisa datang kapan saja? Bekal apa yang kita
bawa? Bagi mereka yang sudah mempersiapkan kematian-
nya dengan sebaik-baiknya, ialah orang yang cerdas dalam
pandangan Islam. Sebab, peristiwa kematian adalah peri-
ngatan kepada yang hidup. Artinya, orang yang mempersi-
apkan itu telah banak belajar dari kematian.
Rasulullah Saw mengingatkan agar mempersiapkan
kematian. Abdullah ibn Umar r.a. berkata, “Aku menemui
Nabi saw bersama sembilan orang sahabat. Salah seorang
sahabat dari Anshar bertanya, “Siapakah orang yang pa-
ling cerdas dan paling mulia, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab, “Yang paling banyak mengingat kematian dan
paing keras dalam mempersiapkan diri menghadapinya.
Merekalah orang yang paling cerdas” (HR. Ibnu Majah).

227
Betapa beruntungnya muslim yang siap menghadapi
kematian dengan amal baik yang menumpuk, anak yang
saleh dan tabungan ilmu yang bermanfaat. Ia tak akan
pernah merasa kesulitan di kehidupan kelak. Namun bagi
yang tidak siap, sejak awal dicabut nyawanya ia sudah akan
merasa kepayahan. Amal di dunia juga menentukan cara
bagaimana Malaikat Maut akan mencabut nyawa kita.
Selain kematian, daun-daun rontok mengajarkan ke-
pada kita tentang kesadaran. Ribuan daun yang rontok tak
akan pernah habis kita sapu, jika kita tak sabar lalu mem-
biarkan daun-daun itu berada di depan rumah, peman-
dangan akan jadi buruk. Tak hanya itu, daun-daun yang
berkumpul dan mengendap akan menjadi sarang hewan-
hewan serta penyakit yang siap menyerang pemili rumah.
Pohon-pohon itu menguji kesabaran kita dengan me-
rontok daun-daunnya. Seberapapun daun itu rontok, kita
akan menyapunya. Terus-menerus disapu. Daun-daun itu
serupa cobaan-cobana ringan bagi kita. setiap cobaan yang
datang, sebaiknya kita segera menghadapi dan menyele-
saikannya. Jika tidak cobaan itu justru akan membelenggu
kita sendiri.
Misalnya ketika kita berhutang dalam jumlah kecil,
bukannya segera diselesaikan dan justru kita menambah
hutang yang kecil lagi di tempat yang berbeda. Besoknya
kita kembali hutang di tempat yang lain lagi. Lusa juga de-
mikian. Hutang kecil-kecil itu jika tak segera diselesaikan
akan membelenggu kita sendiri. Sedikit demi sedikit jika
itu itu kita selesaikan, aka membuat kita lega bernapas.

228
Diuji dengan kesusahan lebih mudah kita ha-
dapi daripada diuji dengan kakayaan. Dalam
kondisi susah dan tertekan, kita akan men-
dekat kepada Allah. Namun dalam kondisi
senang, kita mudah melupakan Allah. Daun-
daun yang rontok, adalah cobaan bagi kita.
Jika kita peka, cobaan itu merupakan peri-
ngatan dari Allah agar kita mendekat pada-
Nya. Jika kita semakin jauh, badai akan da-
tang merobohkan pohon di halaman rumah
dan mengenai rumah kita.

229
Semakin Tinggi Pohon,
Semakin Banyak Angin
Menerpa
Jangan berkata kuat jika kamu tidak pernah diuji
kekuatanmu. Jangan pernah mengaku cerdas jika tak
pernah mengikuti kompetisi kecerdasan.

D i musim hujan kita kerap melihat banyak pohon


tumbang. Pohon yang tumbang itu adalah pohon
yang tinggi dan berdaun lebat. Meski akarnya
kuat karena batangnya yang tinggi, hal ini tidak menja-
min bahwa pohon itu bisa melewati badai dengan mudah.
Suatu ketika jika pohon itu lengah, ia akan roboh dengan
sendirinya.
Sementara bagi pohon yang pendek atau kecil, angin
yang kencang bukanlah masalah besar baginya. Masih ba-

230
nyak tembok atau tanaman yang lebih besar di sekeliling-
nya yang akan melindunginya dari badai. Pohon kecil itu
akan tetap bertahan hingga kemudian ia tumbuh dewasa
dan angin besar menerpanya.
Kita bisa belajar pada pohon-pohon ini. Jika kita da-
lam posisi tinggi, entah dalam usaha, keilmuan, karier dan
lain sebagainya, hal ini bukan lantas kita akan bisa me-
lenggang dengan tenang tanpa gangguan. Justru di posisi
inilah kita akan mendapat banyak cobaan.
Posisi kita yang tinggi akan mudah dilihat orang. Se-
mentara itu, orang bisa melihat kita tidak hanya dari satu
sisi. Semua sisi yang kita miliki akan dengan mudah ter-
lihat dan di sinilah celah-celah kita akan kelihatan. Ada
ungkapan dalam Bahasa Jawa, “Apik elek dadi omongan”.
Baik dan buruk akan jadi pembicaraan orang. Apaun yang
kita lakukan jika dalam posisi yang tinggi, akan kelihatan.
Itu baru dari pandangan manusia, belum lagi cobaan
dari Allah. Bahwa pada setiap tingkatan, kita akan menga-
lami berbagai cobaan. Allah bukan ingin menjatuhkan kita
tetapi hanya menguji sejauh mana akar kita kuat. Jika kita
bisa menghadapinya, akar akan semakin kuat dan kita bisa
naik ke level berikutnya. Namun jika kita hanya menge-
luh saja, kita akan turun level. Artinya, bukan Allah yang
menjatuhkan level kita karena Allah tak pernah menguji
hamba-nya melebihi batas kemampuannya, tetapi hamba
itulah yang menjatuhkan dirinya sendiri. Hal ini utamanya
karena hamba tersebut tidak mengerti dan tidak mema-

231
hami bahwa apa yang menimpanya adalah cobaan dari Al-
lah.
Di sisi Allah, pohon itu tidak kita artikan sebagai po-
sisi sebagaimana dalam kehidupan di dunia, yang tepat
adalah “Semakin tinggi iman dan taqwa seseorang kepada
Allah SWT, maka akan semakin besar hal yang akan meng-
ganggu keimanan dan ketaqwaan manusia itu”. Atau “Se-
makin tinggi derajat iman dan taqwa manusia pada dan
di mata Allah SWT maka semakin besar ujian yang harus
dihadapinya untuk peningkatan derajat manusia itu dima-
ta Allah SWT”.
Gangguan yang dialami oleh pemilik iman ini bukan
semata-mata datangnya dari Allah, melainkan bisa juga
dari setan. Semakin tinggi iman kita, setan yang meng-
ganggu jika memiliki tingkatan ilmu yang setara. Tidak
mungkin seorang lulusan SD bisa menandingi lulusan per-
guruan tinggi dalam hal keilmuan. Oleh sebab itu, dalam
dunia setan jika dikenal tingkatan keilmuan seperti halnya
dalam kehidupan manusia.
Di sinilah kualitas ketinggian kita diuji. Apakah ke-
tinggian kita berkualitas atau hanya ketinggian yang ring-
kih, ketinggian yang didapat tidak dengan jalan yang be-
nar. Allah berfirman,

232
‫أ� َح ِس َب النَّ ُاس أ� ْن يُ ْ َت ُكوا أ� ْن ي َ ُقولُوا � آ َمنَّا َو ُ ْه ال‬
ُ َّ ‫ون َول َ َق ْد فَتَنَّا َّ ِال َين ِم ْن قَ ْب ِله ِْم فَلَ َي ْعلَ َم َّن‬
‫الل‬ َ ‫يُ ْفتَ ُن‬
‫َّ ِال َين َصدَ ُقوا َول َ َي ْعلَ َم َّن ا ْل َك ِذب َِني‬
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak di-
uji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta” (QS. al-Ankabut: 2-3).
Ayat di atas menerangkan bahwa setiap manusia yang
beriman pasti akan diuji. Pertama-tama untuk membukti-
kan apakah benar ia memeliki iman, kedua untuk mengu-
atkan keimanannya sehingga ia bisa lebih tinggi derajat
keimanannya. Jika orang tersebut benar-benar beriman,
yang pertama itu kan mudah terlewati.

Seseorang belum bisa dikatakan beriman jika


dia belum pernah diuji. Cobaan merupakan
salah satu cara mengetahui kedalaman kei-
manan seseorang. Orang yang tidak pernah
diuji, akan selalu merasa paling benar, sebab
tak pernah ditunjukkan di mana ia pernah sa-
lah.

233
Pohon tanpa buah
Waktu yang kusesali adalah pagi hingga matahari
terbenam, amalku tidak bertambah sedikitpun, padahal aku
tahu saat ini umurku terus berkurang.
—Ibnu Mas’ud

P ohon besar yang tak berbuah hanya bisa dimanfa-


atkan rindangnya saja. Jika pohon itu kemudian
tumbang, tak akan ada yang menyesali. Bahkan,
jika pohon itu terlalu rindang, kadang pemiliknya engan
suka rela menabangnya. Artinya, menjadi pohon rindang
manfaatnya tidak banyak. Lain jika kita memiliki pohon
yang berbuah.
Pohon yang berbuah akan senantiasa menjadi perha-
tian pemiliknya. Ia dirawat dan diberi pupuk, karena bisa
bernilai ekonomi. Meskipun tidak diekonomikan, pohon
berbuah setidaknya bisa untuk dibagikan kepada tetangga
dan saudara. Akan tetapi, jika pohon itu tidak lagi produk-
tif, mungkin karena usianya, pemiliknya akan menebang
dan menggantinya dengan pohon yang baru.

234
Ada dua hal yang bisa diibaratkan sebagai pohon ber-
buah ini dalam kehidupan sehari-hari kita, yaitu tentang
kepemilikan terhadap ilmu dan tentang muslim yang me-
ninggalkan salat.
Kita sering mendengar pepatah bahwa “pohon tak
berbuah sepeti halnya ilmu yang tidak diamalakn”. Assa-
jaru bila samarin, kal ilmu bila amalin. Percuma saja kita bel-
ajar sampai waktu yang lama bahkan mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit, namun ketika lulus kita membiarkan
ilmu kita tak perpakai. Hal semacam ini kerap kita temu-
kan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya ketika seorang sarjana lulus, kemudian dia
tidak bekerja sesuai dengan bidangnya. Ia lebih memilih
berjualan pulsa atau berbisnis yang jauh dari ilmu yang
dulu dipelajarinya di kampus. Bukan suatu yang haram
memang, akan tetapi ilmunya menjadi tidak bermanfaat
karena ia tidak mendistribusikan atau mengamalkan ilmu-
nya.
Mengamalkan ilmu tidka harus selalu menjadi guru.
Kita bisa membuka ruang-ruang diskusi atau kelas-kelas
informal untuk mendidik atau mendayagunakan masya-
rakat. Artinya, ilmu yang kita pelajari benar-benar tersa-
lurkan kepad masyarakat yang membutuhkan. Pada akhir-
nya, orang tetap setia berada di jalurnya, tidak membiar-
kan ilmu itu sebatas teori saja sebagaimana ia pelajari di
kampus, melainkan sudah menjadi praktik nyata di masya-
rakat. Oleh sebab itu, di perguruan tinggi kita mengenal

235
adanya kuliah kerja nyata atau KKN. Program ini menyi-
apkan mahasiswa agar siap di masyarakat.
Orang yang tidak berada di jalurnya, mungkin karena
selama kuliah ia tidak banyak belajar dan kurang mengem-
bangkan diri, misalnya dengan ikut organisasi di kampus
maupun di luar kampus. Pendidikan di luar kelas akan
menguatkan mental mahasiswa serta meluaskan jaringan-
nya, sehingga ketika lulus tak akan kebingungan mencair
pekerjaan.
Dengan mengamalkan ilmu, berarti kita merawat po-
hon ilmu kita, memberinya pupuk sehingga pohon berbu-
ah lebat dan banyak manfaatnya. Nabi Saw bersabda, “Al-
qur’an adalah hujjah untukmu dan juga dapat menghujat-
mu” (HR. Muslim). Hadist ini sebenarnya panjang, namun
di sini kita ambil intinya saja. Yang bisa kita artikan dari
hadist di atas tentang Alqur’an yang menghujat adalah
kita tak diperbolehkan membiarkan satu orang pun terse-
sat karena ilmu yang kita peroleh tidak diamalkan.
Pelajaran kedua yang bisa kita ambil dari pohon berbu-
ah ini adalah seperti yang dinyanyikan oleh Wafiq Azizah
dengan judul lagu Sebatang Pohon. Hidup bagaikan sebatang
pohon / Lebat bunganya serta buahnya / Walaupun hidup se-
ribu tahun / Kalau tak sembahyang apa gunanya / Walaupun
hidup seribu tahun / Kalau tak sembahyang apa gunanya.
Sepotong lirik dari lagu di atas menjadi pengingat kita
bahwa model kehidupan apapun yang kita lakukan di du-
nia jika tanpa salat tak ada gunanya. Salat menjadi pupuk
bagi kehidupan agar kelak berbuah lebat dan manis se-
hingga memberatkan timbangan amal baik di akhirat.

Buah menjadi pertimbangan pertama sese-


ornag menanam sebuah pohon. Jika buah itu
tak kunjung memberikan manfaatya berupa
buah, pohon akan ditebang. Begitu pula de-
ngan kita hidup, jika kehidupan kita tak ber-
buah, mungkin Allah akan segera menebang
kita daripada membuat kerusakan yang lebih
pada parah di bumi.

237
INSPIRASI
HEWAN
I nspirasi alam selanjutnya yang turut memberikan pel-
ajaran bagi kita adalah inspirasi hewan atau binatang.
Binatang yang cenderung menjadi makhluk kedua
setelah manusia, kita ketahui telah memberikan pelajar-
annya kepada manusia sejak awal manusia di bumi. Sebut
saja dalam kisah Qobil dan Habil, putra Nabi Adam As.
Kisah ini menjadi pembunuh pertama di muka bumi
karena rasa cemburu yang mendalam. Qobil tidak terima
dengan dijodohkan Layuda, sementara Habil dengan Iqli-
miya yang lebih cantik. Kecemburuan itu membawa peta-
ka. Qobil membunuh saudara kandungnya sendiri. Karena
peristiwa ini merupakan pengalaman pertama, Qobil pun
bingung bagaimana memperlakukan jenazah Habil.
Allah lalu menurunkan dua burung gagak yang saling
bertarung. Salah satu burung itu lalu meninggal. Melihat
peristiwa itu, Qobil memperhatikan bagaimana burung
yang hidup memperlakukan mayat temannya. Maka yang
hidup mengais-ngais tanah dengan paruhnya membuat
lubang untuk menanam burung gagak yang mati. Qobil
mengambil pelajaran dari peristiwa itu tentang cara me-
ngubur jenazah saudaranya.
Pada zaman modern, seorang ilmuwan Inggris Char-
les Robert Darwin, mengaitkan hubungan penciptaan
manusia dengan monyet atau kera. Manusia merupakan
perkembangan evolusi dari binatang tersebut selama ber-
tahun-tahun. Teori ini berdasarkan penemuan-penemuan
tulang-belulang hewan dan manusia purba termasuk kera
purba. Kera tersebut secara bertahap mengalami ‘perbaik-
an biologis’ selama jutaan tahun sehingga menjadi manu-
sia.
Terlepas dari benar atau salah, percaya atau tidak,
hubungan manusia dengan binatang telah terjadi di masa
lalu. Dan hingga kini masih relevan kita mengambil berba-
gai pelajaran dari apa yang dilakukan oleh binatang.
Anjing yang
Masuk Surga
Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
—QS. Al-Baqarah; 142

K isah tentang anjing yang masuk surga tentu sudah


ketahui bersama. Secara jelas, Alqur’an telah men-
ceritakannya dalam surat Al-Kahfi ayat 9 – 22. Di-
kisahkan ada beberapa pemuda, ada yang berpendapat 7
orang, dengan seekor anjing yang setia. Seluruh pemuda
itu tidur di dalam gua karena dikejar oleh raja yang lalim
dan ingin memaksa para pemuda itu untuk masuk ke aga-
ma yang diyakini sang raja. Mereka kemudian bersembu-
nyi ke dalam gua, sementara anjing yang setia itu berada di
mulut gua. Begitu ada yang lewat, anjing akan menggong-
gong keras sehingga membuat orang-orang takut.
Sementara itu, Allah menidurkan para pemuda itu
entah dalam waktu berapa lama. Ketika mereka bangun,

242
mereka saling bertanya, sudah berapa lama mereka di da-
lam gua. Sebagian mengatakan sehari atau setengah hari.
Akan tetapi, ketika salah satu dari mereka ke pasar untuk
membeli makanan, uang mereka tidak laku lagi. Uang yang
mereka bayarkan itu telah berumur kira-kira 300 tahun
yang lalu.
Para pemuda itu memiliki iman yang kuat. Mereka tak
mau dipaksa raja yang lali untuk mengkhianati Allah. An-
jing yang setia kepada mereka itu menjaga selama mereka
tidur. Dalam arti yang lebih luas, anjing itu telah menjaga
iman para pemuda itu. Tak heran jika kemudian binatang
yang dihukumi najis itu masuk ke dalam surga.
Kita bisa memetik hikmah dari kisah ini untuk menja-
ga iman kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Iman
merupakan hal yang tidak tampak dan sulit sekali meng-
ukurnya. Hanya Allah yang tahu kadar keimanan seseo-
rang terhadap-Nya. Secara sederhana kita bisa memahami
bahwa ciri orang beriman adalah percaya dan takut akan
larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya. Allah Swt
berfirman,

‫الل َو ِجلَ ْت ُقلُوبُ ُ ْم‬ ُ َّ ‫ون َّ ِال َين � َذا ُذ ِك َر‬ َ ُ‫�ن َّ َما الْ ُم ْؤ ِمن‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫َو� َذا تُ ِل َي ْت عَلَ ْ ِي ْم � آ َيتُ ُه َزاد ْ َُت ْم �ميَانً َوعَ َل َر ِ ّ ِب ْم‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ون‬ ُ َّ
َ ‫ي َ َت َوك‬
243
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang
bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka” (QS. Al-
Anfal: 2).

Allah tidak pilih kasih kepada hambanya. Jika


Allah menginginkan karena mengetahui yang
terbaik, maka Alllah akan memberi petunjuk
kepadanya. Tidak terkecuali anjing, hewan
yang dihukumi najis. Anjing sebagai makhluk
Allah juga berhak mendapatkan petunjuk ter-
sebut.

244
Makan Secukupnya
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri,
bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena
pengalamannya sendiri.
—Prameedya Ananta Toer

M ungki kita melihat bahwa pekerjaan hewan ha-


nya bermain dan mencari makan. Selama ada
makanan ia akan makan, tetapi setelah makan
sesuai porsinya setiap hari, apakah ia akan meminta tam-
bah lagi? Dan apakah hewan yang mencari mangsa berle-
bihan karena akan disimpan sebagai persediaan untuk ke-
esokan harinya? Jika kita melihat hewan seperti, mungkin
hewan itu sudah punya pikiran kemanusia-manusiaan.
Binatang makan secukupnya. Ketika ia cukup makan,
pekerjaannya adalah bermain atau tidur saja. Tidak ada
yang lebih. Sebab, kebutuhannya telah terpenuhi. Dan bin-
tang juga tidak memakan apa yang jauh darinya. Apa yang
ada di depannya, itulah yang ia makan.
Kebiasaan binatang ini tentu berbeda dnegan kebiasa-
an kita sebagai manusia. Manusia diberi pikiran agar kita

245
berpikir bagaimana memanfaatkan makanan yang ada se-
hingga cukup sampai esok hari. Perilaku yang semacam ini
agar kita tidak boros dan berlebih-lebihan dalam hidup.
Kesederhanaan dalam hidup sangat dianjurkan dalam Is-
lam.
Dari umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari
Nabi Saw, sesungguhnya Nabi Bersabda: “Makanlah, mi-
numlah, berpakaianlah dan shodaqohlah tanpa berlebihan
dan sikap sombong” ( HR. Baihaqi).
Dalam hal mencari rezeki tak ada salahnya kita belajar
dari binatang. Makan secukupnya. Artinya, dalam mencari
rezeki kita dianjurkan untuk tidak menimbun segala se-
suatu hingga merugikan yang lain. Misalnya dengan gaji
sepuluh juta perbulan kita sudah cukup, bahkan bisa me-
nabung, ya itu yang kita terima. Bukan kemudian karena
kebutuhan hidup banyak, lalu kita mencari-cari celah agar
kita mendapatkan penghasilan yang lebih dari memanfa-
atkan perusahaan tempat kita bekerja. Dengan begitu, se-
benarnya kita telah berbuat curang.
Perilaku ini sering kita lihat di televisi, di mana seo-
rang pejabat tidak amanah, tetapi justru menumpuk dan
memperkaya diri sendiri. Alhasil, ia merugikan negara.
Akibat dari perilaku ini kemudian berhadapan dengan Ko-
misi Pemberantasa Korupsi (KPK), yang membuat diri dan
keluarga besarnya menahan malu.
Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang anak
Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sen-
diri, cukuplah bagi anak adam beberapa suap yang dapat

246
menegakkan tulang punggungnya, jikapun ingin berbuat
lebih, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk
minum dan sepertiga lagi untuk nafasnya” ( HR. Tirmidzi
dan Ibnu Hibban).

Mendapatkan harta yang cukup tetapi jujur


akan lebih berkah, daripada banyak tapi di-
dapatkan dengan jalan curang. Cepat men-
dapat harta dan banyak, cepatl habisn pula
habisnya. Kita bisa melihat berbagai kasus
pejabat di KPK yang menghabiskan milyaran
rupiah untuk menghadapi sidang. Belum lagi
jika tersangka korupsi itu divonis dan denda.
Maka makan secukupnya atau mencari rezeki
yang cukup akan lebih baik kita.

247
Alarm Ayam Jago

K okok ayam jago adalah tanda hari sudah subuh.


Dan sudah waktunya kita untuk memulai akti-
vitas sehari-hari. Ayam jago selalu begitu setiap
hari, ia tak pernah mengingkari janjinya untuk luput ber-
kokok di pagi hari, apa pun kondisinya, apapun cuacanya.
Soalah sudah menjadi tugasnya secara turun-temurun un-
tuk menjadi alarm bagi alam sebagai tanda subuh hari.
Jika kita pikirkan, bangun di waktu pagi akan mem-
buat kita cukup sibuk bagi orang yang beriman. Di seper-
tiga malam ia bangun, hingga ayak berkokok tanda subuh,
lalu salat subuh, dilanjutkan dengan salah dhuha. Berbeda
dnegan waktu siang, di mana hanya kewajiban salat dhu-
hur saja yang kita punya. Selebihnya kita manfaatkan un-
tuk bekerja sebaik-baikya.
Bagi beberapa orang bangun pagi sangat penting. Di
saat orang-orang masih tidur, ia sudah terbangun untuk
belanja dan menata barang-barang dagangannya. Rasulul-
lah Saw telah bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di
pagi harinya” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Artinya apa-

248
pun keyakinannya selama ia adalah umat Nabi Saw akan
mendapatkan keberkahan dari doanya ini.
Di subuh itulah para pedagang asongan memenuhi
emperan stasiun sebuah kereta api. Mereka menunggu pe-
numpang dari berbagai kota keluar dari stasiun itu sejak
pukul 04.00 WIB. Jika mereka telat bangun dan berada
di stasiun itu melebihi jam datangnya penumpang, rezeki
mereka sudah pasti disambar yang lain. Di antara mereka
itu ada penjual kacang, rokok, telur asin, kopi, gorengan
serta minuman ringan lainnya.
Bangun pagi saja belum cukup, ia harus punya mental
menawarkan dagangannya kepada calon pembeli. Bisa kita
bayangkan, jika para penjual itu tak berani menawarkan,
mungkin para penumpang yang baru saja tiba di Jakarta
akan segera memesan kendaraan untuk sampai ketujuan-
nya. Kehadiran pedagang itu menahan sejenek para pen-
datang itu untuk duduk-duduk sejenak, menikmati pagi
di ibu kota atau sekadar menghabiskan waktu menunggu
dengan minum kopi. Ya. Waktu subuh itu menjadi lahan
rezeki bagi pedagang asongan.
Di sudut Jakarta yang lain. di sebuah perumahan itu
ada seorang pedagang sayur, ibu-ibu mengerubunginya.
Penjual sayur sudah ada di salah sudut perumahan itu se-
jak pukul 05.00. Bagaimana jika suatu hari ia telah berada
di sudut itu? Tentu pembelinya berkurang dan besoknya
orang meragukan ia datang atau tidak. Sebab, sepagi itu-
lah ibu-ibu di perumahan itu hanya sempat memasak pada
jam itu, setelah mereka harus bersiap ke kantor. Atau jika

249
salah satu ibu-ibu itu adalah pembantu, ia bisa kena marah
majikannya.
Bisa kita perkirakan jam berapa pedagang sayu itu ha-
rus ke pasar. Mungkin jam dua atau jam tiga. Setelahnya ia
harus menata dan membungkus dagangannya untuk diju-
al eceran, hingga menyiapkan uang kembalian. Mungkin
tak seberapa hasilnya, namun nyatanya ia lakoni setiap
hari. Artinya, cukup baginya rezeki yang tak seberapa itu.
Atau misalnya kita yang biasa bekerja di sebuah kan-
tor. Bagaimana reaksi pimpinan jika kita datang ke kantor
dengan terlambat? Pimpinan akan menganggap kita se-
bagai pegawai yang tidak patuh pada aturan dan bekerja
maunya. Meski tuduhan itu tidak benar, mungkin karena
malamnya kita lembur, kita telah kehilangan rezeki. Yang
tadinya akan mendapat bonus, karena telat datang, bonus
dibatalkan. Kita harus lebih hati-hati lagi untuk datang
terlambat jika kantor kita menjanjikan jenjang karier. Ter-
lambat ke kantor berarti mempersulit diri sendiri untuk
meraih karier yang diidamkan.
Rezeki tak akan datang jika kita hanya menunggu.
Rezeki harus diusahakan, dikejar, dicari, bahkan diburu.
Apalagi di subuh hari, sebab itulah saat rezeki ditabur oleh
Allah seperti kita memberikan makan ayam. Jika masih
ada ayam masih tertidur pulas, kita juga akan malas ma-
kan untuk kali kedua di pagi itu.
Suatu hari, Fatimah Azzahra r.a. menceritakan kisah
tentang ayahnya, “Pada suatu pagi Rasulullah Saw lewat
di depanku semantara aku masih berbaring. Sambil mem-

250
bangunkan dengan kaki, Baginda berkata, ‘Hai Anakku,
bangunlah. Saksikanlah rezeki Tuhanmu dan janganlah
engkau menjadi orang yang lalai, sebab Allah membagikan
rezeki kepada manusia di waktu fajar mulai menyinsing
hingga matahari terbit” (HR. Baihaqi).

Tak hanya rezeki yang berbuhungan dengan


harta, Allah juga memberikan udara yang se-
gara, dan fisik yang bugar jika kita mau ba-
ngun pagi. Jarang kan kita melihat ada ayam
sakit? Nah, jangan sampai telat bangun sebe-
lum alarm ayam jago berhenti.

251
Menyukai Sesamanya
Menyukai sejenis bukanlah penyakit, sebab mereka berpikir.
Mereka hanya tidak memahami ayat-ayat Allah.

P ernahkah kita melihat ada kerbau yang mengha-


mili sapi? Atau sapi menghamili kambing? Tentu
kita akan mengira binatang itu suka melucu jika ia
mengawini binatang jenis lainnya. Meski kadang binatang
itu berganti-ganti pasangan, karena tidak hukum bagi bi-
natang itu, akan tetapi tak pernah berpindah ke lain je-
nis. Sapi ya mengawini sapi, kerbau ya mengawini kerbau,
ayam ya mengawini ayam, begitu juga dengan burung dan
binatang lainnya.
Dan tentu kita juga tidak pernah binatang laki-laki
mengawini bintang laki-laki. Mereka sudah patuh dengan
apa yang diberikan Allah kepada mereka. Binatang yang
tidak dibekali dengan pikiran saja mengetahui hal itu, ba-
gaimana dengan manusia yang berpikir? Pikiran dan hati
manusia mengandung hawa nafsu, jika kita tidak bisa me-
ngendalikannya maka kita akan menjadi budak nafsu. Dan

252
jika sudah demikian, maka kita tak lebih rendah dari bina-
tang.
Begitu pula jika kita berganti-ganti pasangan tanpa
mematuhi hukum yang berlaku bagi manusia, kita tak le-
bih dari segolongan binatang yang hanya tahu hawa nafsu-
nya saja. Sementara kita tidak menggunakan pikiran kita
untuk berbuat yang lebih baik.
Allah Swt berfirman,

‫َو ِم ْن � آ َي ِت ِه أ� ْن َخلَ َق لَ ُ ْك ِم ْن أ�نْ ُف ِس ُ ْك أ� ْز َوا ًجا‬


‫ِلت َ ْس ُكنُوا �ل َ ْيَا َو َج َع َل بَيْنَ ُ ْك َم َو َّد ًة َو َر ْ َح ًة � َّن ِف‬
‫إ‬ ‫إ‬
َ ‫َذ ِ َل لآ َي ٍت ِل َق ْو ٍم ي َ َت َفكَّ ُر‬
‫ون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencip-
takan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum; 21).
Lalu apakah kita akan berpikir, jika kita mengawini
lawan jenis dan kemudian beranak-pinak tidak lebih dari
binatang? Nah, di sinilah bedanya manusia yang berpikir
sehat dan berpikir sesat. Manusia yang sesat akan berpikir
demikian, menyamakan kelahiran manusia dengan kela-

253
hiran binatang ternak. Lalu bagaimana dengan manusia
yang berganti pasangan tetapi tidak berani bertanggungja-
wab dengan tidak menumpahkan sperma ke dalam rahim
perempuan? Untuk kasus lain, sudah menghamili tetapi
tak mau bertanggungjawan mengakui sebagai suami atau
ayah dari anaknya?
Penyataan seperti di atas biasanya keluar dari mulut
orang-orang yang melanggengkan hubungan sesama jenis,
laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan,
dan lain sebagainya. Alasan hak asasi menjadi pedoman
mereka. Namun, sebelum kita menuntut hak, sudah kita
melaksanakan kewajiban? Kewajiban apa yang sudah kita
lakukan sehingga kita menuntut hak demikian? Tuntutan
hak harus sejalan dengan kewajiban yang dilakukan. Kita
membayar kewajiban hak kendaraan, kita bisa menuntut
jalan yang bagus. Jika kita menuntut hak untuk menikahi
sesama jenis, kewajiban apa yang sudah kita jalankan? Se-
bagai muslim, hubungan yang demikian telah diatur dan
sebaiknya kita menjalankan kewajiban sebagai sudah di-
gariskan.
Allah Swt berfirman,

‫َي أ�يُّ َا النَّ ُاس ات َّ ُقوا َربَّ ُ ُك َّ ِالي َخلَ َق ُ ْك ِم ْن ن َ ْف ٍس‬


‫َوا ِحدَ ٍة َو َخلَ َق ِم ْنَا َز ْو َ َجا َوب َ َّث ِم ْنُ َما ِر َجاال‬

254
َ ُ‫الل َّ ِالي ت َ َس َاءل‬
‫ون ِب ِه‬ َ َّ ‫َك ِث ًريا َو ِن َس ًاء َوات َّ ُقوا‬
‫الل َك َن عَلَ ْي ُ ْك َرِقي ًبا‬َ َّ ‫َوا أل ْر َحا َم � َّن‬
‫إ‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripada-
nya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Al-
lah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mem-
pergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Al-
lah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisaa’; 1)
Ayat di atas dimulai denga perintah bertakwa kepada
Allah. Dengan demikian, hanya orang bertakwalah yang
bisa memahami dan mengikuti kalimat selanjutnya. Bagi
mereka yang mengingkari ayat di atas, mereka bukanlah
termasuk golongan yang bertakwa.
Manusia yang berpikir sehat akan berpikir dengan
kelahiran anak, kebahagiaan hidup akan terasa lengkap.
Sementara itu ikatan nikah di antara laki-laki dan perem-
puan menjadi alasan kuat bahwa mereka adalah manusia
yang sadar dan mau berpikir sehat. Sebab, ikatan perni-
kahan dilakukan dengan kesadaran penuh dan disaksikan
oleh banyak orang.
Lalu bagaimana dengan mereka bercerai. Cerai ada-
lah persoalan berbeda dari pernikahan. Cerai merupakan

255
salah satu akibat dari ketidakmampuan pasangan untuk
berdamai satu dengan lainnya. Bahwa laki-laki dan perem-
puan diciptakan berbeda, dan keduanya juga mengenyam
pendidikan, jadi wajar jika keduanya bersilang pendapat.
Percuma sekolah tinggi-tinggi jika tak memiliki pendapat-
nya sendiri.
Akan tetapi, dalam berbeda pendapat itu, kita perlu
menggunakan hati, karena ikatan dalam keluarga tak ha-
nya soal formalitas, melainkan juga asmara. Jika kita me-
mahami ini, kebahagiaan dalam berkeluarga akan menjadi
milik kita. Allah Swt menjelaskan,

‫ون َربَّنَا ه َْب لَنَا ِم ْن أ� ْز َو ِاجنَا‬ َ ُ‫َو َّ ِال َين ي َ ُقول‬


‫َو ُذ ّ ِر َّي ِتنَا ُق َّر َة أ� ْع ُ ٍي َوا ْج َعلْنَا ِللْ ُمتَّ ِق َني � َما ًما‬
‫إ‬
“Dan orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerah-
kanlah kepada kami istri-istri kami, dan keturunan kami se-
bagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Furqaan; 74).

Menyukai sejenis adalah upaya untuk meng-


ingkari ayat Allah. Mereka berpikir tetapi
mengingkari dengan dalil-dalil duniawi, me-
reka tahu tetapi menutup mata dengan hawa
nafsu. Sedang binatang saja yang hanya dibe-

256
kali nafsu saja patuh dengan hanya menyukai
di antara jenis mereka.

257
Kupu-kupu yang Indah
Hidup mungkin tak sesuai rencanamu.
Namun selama itu sesuai dengan rencana Tuhan,
sebenarnya hidupmu terencanan dengan sempurna.
—Merry Riana

B agaimana proses menjadi kupu-kupu yang indah?


Bagi kupu-kupu, proses itu bukanlah mudah,
membutuhkan waktu lama, bahkan banyak coba-
annya. Sebelum bisa terbang dengan indah, ia dianggap
binatang yang menjijikkan dan dibenci oleh manusia.
Semula ia adalah telur, lalu berubah menjadi ulat kecil
kemudian tumbuh dewasa. Di sinilah proses itu begitu su-
lit bagi calon kupu-kupu. Bagi petani, ia dianggap sebagai
hama yang harus dibasmi. ukan hanya tanaman semusim
yang dimangsanya, namun juga pohon buah-buahan dan
pohon pada umumnya dapat habis digunduli daunnya oleh
hama ulat dalam waktu yang relatif singkat. Banyak jenis
hama ulat, terutama dari jenis-jenis ngengat yang menjadi
hama pertanian yang serius.

258
Sementara bagi manusia kebanyakan, ia adalah bin-
tang menjijikan, yang bisa membawa gatal bagi siapa saja
yang ia tempeli. Proses ini dijalaninya selama kira-kira
tigapuluh hari. Sementara masa hidup kupu-kupu sangat
pendek. Beberapa spesies kupu-kupu hanya berumur se-
minggu, beberapa lainnya bisa mencapai setahun. Bisa kita
bayangkan, penderitaannya cukup lama sementara usia-
nya tak panjang.
Tetapi jika ia lolos dan dilahirkan sebagai kupu-kupu,
segalan pujian datang padanya. Ia merupakan binatang
yang elegan dan disimbolkan dengan kecantikan. Begitu
pula bagi petani, kupu-kupu ini sangat bermanfaat untuk
membantu jalannya penyerbukan tanaman. Kupu-kupu
sebagai serangga penyerbuk tanaman, yang membantu
bunga-bunga berkembang menjadi buah.
Bagaimana dengan kita sebagai manusia? Menderita
sedikit sudah mengeluh bahkan menyatakan tidak kuat.
Misalnya kita di tengah jalan ketika berkendara, lalu ter-
kena musibah dengan ban bocor. Lalu kita akan memaki-
maki tidak jelas dan kepada siapa. Masa mau memaki paku
yang menancap di ban motor kita? Dan beberapa meter
kita mendorongnya, seolah kita sudah menjadi yang paling
menderita di dunia. Sementara di belahan dunia yang lain,
kita melihat banyak anak-anak yang kelaparan dan kehi-
langan orangtuanya.
Contoh lainnya yang terjadi di sekeliling kita adalah
kepemilikan barang modern. Smartphone misalnya. Ka-
dang, kita merasa malu dengan memiliki jenis smartphone

259
dengan model lama. Selain penampilannya kurang bagus,
ketinggalan mode, kameranya juga kurang bagus. Sehing-
ga ketika berkumpul dengan teman-temannya ia merasa
malu mengeluarkan smartphone-nya. Apalagi jika diminta
foto bersama, maka dengan malu-malu ia menyembunyi-
kan smartphone-nya. Sementara dari segi fungsi tak memi-
liki perbedaan sama sekali.
Hal ini terjadi karena kita kerap memandang ke atas
dalam hal harta. Sementara usaha kita hanya cukup un-
tuk smartphone kelas teri. Memandang ke atas akan terasa
jauh dan sulit menggapainya. Sementara jika kita meman-
dang ke bawah begitu dekatnya dengan kaki kita, sehingga
membuat kita mudah untuk bersyukur.
Suatu saat Nabi Saw pernah menyampaikan nasihat
kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata, “Kekasihku yakni
Nabi Saw, memerintah tujuh perkara padaku, (di antara-
nya); 1) Beliau memerintahkanku agar mencintai orang
miskin dan dekat dengan mereka; 2) beliau memerintah-
kanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam
masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memper-
hatikan orang yang berada di atasku…” (HR. Ahmad).
Sesungguhnya orang yang berada di posisi bawah
sedang dalam masa percobaan oleh Allah Swt. Yang kita
butuhkan hanya pasrah sembari terus berusaha agar kita
tetap diberi kekuatan untuk menghadapinya. Kelak, jika
masa ujian itu dianggap Allah telah selesai, kita akan me-
nemukan jalan terbaik untuk mengumpulkan harta dan
hidup dengan mapan.

260
Dan jika kita telah mencapai posisi di atas, Nabi Saw
dalam hadist di atas memerintah kita untuk tetap dekat
dengan orang miskin agar tetap mengingat bagaimana
dulu kita pernah berjuang dan menjauhkan sifat sombong.
Di sinilah kita akan menjadi kupu-kupu yang indah, sebab
dulu kita pernah berjuang dalam segala kesulitan sehingga
bisa menjadi sukses. Kisah kita akan dicatat di hati masya-
rakat dan buku-buku sebagai kisah inspiratif. Artinya seja-
rah telah mencatat nama kita.

Siapa yang mau hidup menderita? Tentu tak


ada yang menginginkannya. Tetapi jika kita
menyadarinya, penderitaan hidup adalah ta-
hap untuk mencapai kenikmatan yang kelak
diberikan oleh Allah. Menjalani ketentuan-
Nya adlaah cara terbaik untuk selalu menyu-
kuri segala nikmat yang sudah kita terima.

261
Lalat Nemplok
di Mana Saja
Lebah pergi untuk mengumpulkan madu
Lalat pergi mencari kotoran dan kebusukan
—NN

L alat memang tak pernah merugikan siapa pun. Ke-


tika ia hinggap di sebuah makanan, nyaris makan-
an itu tak berkurang. Akan tetapi, kita pasti merasa
jijik karena lalat menempel pada apa saja. Tak hanya ma-
kanan, pada kotoran pun lalat tak segan untuk mendekam
di sana. Sebab itulah, kita begitu jijik dan segera mengu-
sirnya jika ada lalat di sekitar kita. Bahkan, kadang kita
tak segan untuk membunuhnya karena kuatir lalat akan
membawa penyakit.
Dalam keseharian kita, lalat bisa kita ibaratkan se-
perti seorang penjilat yang biasa hinggap ke mana saja,
demi keuntungannya pribadi. Jika belum tahu seseorang
itu adalah penjilat, kita akan dengan sehati menerimanya.

262
Akan tetapi, jika tabiatnya itu kita ketahui, pasti kita akan
menghindari atau justru membencinya. Bagaimana tidak,
orang semacam ini tidak dalam pembicaraan, dalam arti
sering mengingkari apa yang diucapkannya sendiri. Di de-
pan kita ia bilang A, di depan orang lain bilang B. Dan yang
semacam ini rawan dengan penyebaran fitnah.
Dengan kata lain, orang semcam ini adalah ornag
pandai mencari muka. Dalam bahasa halusnya, ia pandai
membuat pencitraan tentang dirinya, bahwa seolah-olah
ia adalah orang yang baik. Tetapi sebenarnya ia memiliki
rencana jahat di belakang kita. Ungakapan “asal bapak se-
nang” dalam lingkungan pemerintahan kita sudah men-
jadi rahasia umum. Pegawai di tingkat bawah membuat
pencitraan seolah-olah dirinya telah berkekerja maksimal
sehingga pimpinan senang. Laporan pun dibuat sebaik
mungkin, akan tetapi kenyataannya berbeda dengan di la-
pangan. Pejabat ini bisa dikatakan bermuka dua. Dan Allah
Swt sangat membenci sifat ini.
Nabi Saw bersabda, ”Kalian pasti akan bertemu de-
ngan orang-orang yang paling Allah benci, yaitu mereka
yang bermuka dua. Di satu kesempatan, mereka memper-
lihatkan satu sisi muka, namun di kala yang lain, mereka
memperlihatkan muka yang lain pula” (HR. Bukhari-Mus-
lim).
Sifat ini bergitu samar. Siapa saja bisa memilikinya
karena kita tidak ingin terlihat buruk di mata orang. Akan
tetapi bagi seorang muslim, mempertahankan sifat jujur
adalah suatu kewajiban. Untuk menghindari sifat ini, se-

263
baiknya kita mengetahui karakteristik orang-orang ber-
muka dua ini.
Yang pertama adalah memuji secara berlebihan.
Mungkin kita pernah diperkenalkan oleh seorang teman
kepada teman yang lainnya. Lalu ia akan mempromosikan
kita di depan teman baru. Perhatikan deskripsinya tentang
kita. Jika merupakan hal wajar, kita bisa menerima seba-
gai teman yang jujur, akan tetapi jika berlebihan dan sudah
tidak sesuai dengan kita, meski kita merasa tersanjung,
kita perlu waspada jika ia memiliki tujuan tertentu.
Kedua, suka pamer. Seorang penjilat akan dengan se-
nang hati memamerkan hasil pekerjaannya yang sedikit.
Bahkan, tak segan-segan ia mengklaim yang bukan peker-
jaanya sebagai hasil kerja kerasnya. Ketiga, meminta im-
balan. Setelah pekerjaan itu dianggap sebagai hasil kerja-
nya, ia tak segan meminta imbalan atau jabatan sebagai
upah kerja kerasnya, padahal orang lainlah yang berhak
mendapatkannya.
Keempat, ambisi. Penjilat adalah seorang ambisius
yang tidak bisa mengontrol ambisinya sendiri. Ambisi ini
kemudian membuatnya menghalalkan segalah cara untuk
mendapatkannya. Kelima, lebih takut kepada manusia da-
ripada kepada Allah. Ia mematuhi perintah atasannya te-
tapi tidak takut akan akibat dari perbuatannya yang tidak
jujur.
Keenam, tidak konsisten dengan ucapannya sendiri.
Ia merupakan seorang yang plin-plan. Tidak berpendiri-
an terhadap apa yang baru saja diucapkannya. Ketujuh,

264
menyembunyikan kesalahannya dengan selalu mencari
kambing hitam. Seorang penjilat sangat tangkas dalam
melempar batu sembunyi tangan. Ciri yang terakhir atau
kedepalan adalah senang mengorek kesalahan orang lain
sementara ia adalah orang yang antikritik.
Kedepalan ciri di atas memang tidak langsung kelihat-
an pada diri seorang penjilat. Akan tetapi, jika kita menge-
tahui salah satunya saja, kita bisa harus waspada. Dan jika
salah satu ciri itu ada pada diri kita, ingatlah bahwa akan
Allah melaknat kita.

Jika kita pergi ke tempat yang busuk maka kita


pun akan berbau busuk. Dan butuh banyak
sabun serta waktu untuk membersihkannya.
Demikian pula jika menjadi seorang penjilat
yang kerap mengorek kesalahan orang lain,
jika hal ini ketahuan, untuk memulihkan ke-
percayaan akan membutuhkan waktu lama,
atau bahkan kepercayaan itu telah hilang
sama sekali.

265
Seperti Kerbau Dicucuk
Hidungnya
Bila kau tak tahan lelahnya belajar, maka kau harus tahan
menanggung perihnya kebodohan.
—Iman Syafi’i

D alam masyarakat kita kerbau selalu dianalogikan


sebagai orang yang bodoh yang malas bekerja.
Tubuhnya yang besar dan membuatnya susah
bergerak juga membuatnya tak lincah. Cara berjalannya
sangat pelan. Maka ketika kita memasrahkan pekerjaan
kepada kerbau, mungkin akan selesai tetapi waktunya
akan sangat lama.
Selain itu, karena kebodohannya itu, kerbau mudah
saja dicucuk dan menurut saja ketika talinya yang mengi-
katnya itu ditarik. Ia tak pernah menolak untuk diperintah
apa saja, bahkan yang tujuannya tidak tahu pun, ia berse-
dia berangkat mengerjakan perintah itu.

266
Dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu kita banyak
menyaksikan orang yang seperti ini. Mereka dengan pe-
mahaman yang rendah, akan dengan hanya tahu tentang
menuruti atasannya. Bahkan ketika dikerjai pun ia tak
menyadari. Di sisi lain, ada orang yang menyadari hal ini,
tetapi ia tak bisa berbuat banyak, karena posisi yang di
bawah dan sulitnya mencari peluang pekerjaan yang lain.
Orang yang kedua ini lebih baik karena sebenarnya ia me-
miliki pemikiran untuk melepaskan diri dari kebodohan
kerja itu akan tetapi kondisinya belum memungkinkan.
Namun kita mendapatkan kondisi dan waktu yang tepat,
ia akan membuat keputusan yang tepat.
Karakter yang semacam ini kadang juga dicari orang
hanya sebagai suruhan saja. Dan orang yang menyuruh
hanya memanfaatkannya saja. Dengan gaji yang rendah
ia mudah disuruh untuk apa saja. Pemimpin yang seperti
sudah merupakan pemimpin yang dzalim. Ia memeras te-
naga tetapi dengan upah yang tak seimbang.
Selain pekerjaan, kebodohan lainnya juga kita temu-
kan dalam hal keilmuan. Seorang bodoh hanya akan mang-
gut-manggut saja jika diberi tahu, terlepas ia memahami
atau tidak. Meskipun ia sekolah tinggi, tetapi tidak dapat
memanfaatkan sekolahnya dengan baik. Disuruh ke utara
akan menurut saja, disuruh ke selatan ia tak pernah me-
nolak.
Sementara orang yang berilmu akan memberi penda-
patnya melalui analisis yang ia lakukan. Ketika disuruh ke
utara, ia akan berpikir apakah di sana peluang atau justru

267
akan menjeremuskannya. Ia akan lebih berhati-hati dan
memikirkan akibatnya. Orang-orang yang seperti inilah
yang perlu kita gauli. Mereka memiliki inisiatif untuk maju
dan dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kita.
Allah Swt melarang kita untuk bergaul dengan orang
bodoh.

‫َو� َذا َ ِس ُعوا الل َّ ْغ َو أ�ع َْرضُ وا َع ْن ُه َوقَالُوا لَنَا أ� ْ َعالُنَا‬


ِ ِ ْ ِ ْ ُ َ ْ ُ ُ َ ْ ْ ُ َ ‫إ‬
‫َولك أ�عالك َسال ٌم عَل ْيك ال نَبْتَغي ال َجاهل َني‬
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak ber-
manfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kese-
jahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-
orang jahil” (QS. Al-Qasas; 55).
Orang bodoh adalah orang yang tidak mau belajar. Hal
ini bukan berarti orang yang sekolah tidak akan bodoh. Se-
kolah bisa jadi sesuatu yang terpaksa atau ia hanya kuatir
dikucilkan jika tak sekolah. Namun nyatanya ia malas bel-
ajar, malas baca buku sehingga diri dan keilmuannya tidak
berkembang. Meskipun tidak sekolah tetapi jika ia mau
belajar, tentu akan mendapatkan kepintaran atas apa yang
ia tekuni.
Tak ada manfaatnya bergaul dengan orang bodoh, se-
lain kita akan menjadi bodo pula, kecuali si bodoh mau bel-
ajar kepada kita. Kesia-sian ini pernah pula diungkapkan

268
oleh Imam Syafi’i, “Lebih baik aku berdebat dengan seratus
orang pintar daripada dengan satu orang bodoh. Jika aku
berdebat dengan seratus orang pintar, mungkin aku akan
menang, namun bila aku berdebat dengan orang bodoh je-
las aku akan kalah.”
Tentu saja akan kalah karena orang bodoh akan ber-
pikir dengan segala keterbatasan dan sulit menerima pen-
dapat orang, meski kadang ia menurutinya. Akan tetapi
dengan orang yang pandai, masing-masing pikiran akan
terbuka sehingga ketika mendengar kebenaran dengan
mudah ia akan mengakuinya.

Orang yang tidak belajar adalah kerbau yang


dicucuk hidungnya. Ia akan menjadi pemalas,
tidak mau berusaha, dan hanya bekerja jika
ada instruksi. Bukannya membantu perusa-
haan atau lembaga tempat ia bekerja akan
maju, orang semacam ini justru akan menjadi
beban. Pekerjaan sedikit dan tidak selesai, ka-
lau toh selesai banyak kesalahannya, semen-
tara ia harus digaji setiap bulannya.

269
Hewan yang Setia
Tidak ada yang bisa menjamin kepastian,
Kecuali istiqomah.

D i Jepang, ada seekor anjing yang setia kepada


tuannya. Hachiko namaya. Anjing ini ditemukan
tuannya ketika masih kecil. Kehadirannya di ru-
mah tuannya mulaya ditentang oleh keluarganya, namun
akhirnya diperbolehkan. Konon, anjing tersebut merupa-
kan keturunan anjing kerajaan.
Tuannya itu setiap hari mengajak Hachiko bermain,
entah ketika mau bernagkat maupun sepulang bekerja.
Meski tinggal dalam satu keluarga, tetapi Hachiko hanya
setia pada satu orang saja. Di setiap pagi, ia akan mene-
mani tuannya itu menuju stasiun untuk berangkat beker-
ja. Ketika pada jam pulang, Hachiko sudah menungu tuan-
nya di depan stasiun.
Kesetiaan Hachiko kemudian terkenal di mana-mana
karena setiap orang yang ke stasiun akan melihatnya,
bahkan di antara mereka memberikan anjing itu. Sampai

270
suatu anjing itu merasakan firasat buruk, bahwa tuannya
akan mengalami hal yang tidak menyenangkan. Si anjing
melarang tuannya berangkat, namun karena pekerjaan
tak bisa ditinggalkan, tuannya segera berangkat. Selepas
mengantarkan ke stasiun, Hachiko tidak langsung pulang
ke rumahnya, melainkan menunggu tuannya di depan pin-
tu stasiun.
Benarlah firasat anjing itu. Sang tuan meninggalkan
ketika sedang mengajar mahasiswanya. Karena kondisi
darurat ia diangkut dengan mobil menuju rumahnya. Tu-
annya itu kemudian meninggal dunia. Sementara Hachiko
tetap menunggu tuannya di stasiun hingga ia meninggal.
Kisah kesetiaan Hachiko ini telah sampai ke berbagai
belahan dunia, terutama pascadifilmkan. Ada dua film ten-
tang anjing ini. Satu versi Jepang, satunya lagi versi Holly-
wood. Sungguh, kesetiannya mampu membuat penonton
film itu meneteskan air mata.
Belajar pada Hachiko adalah belajar tentang kesetiaan
dan istiqomah. Ia setia pada apa yang sudah dijalaninya,
terutama pada apa yang telah menolongnya. Seseorang
yang menolongnya, terutama dalam kondisi yang sangat
sulit, adalah orang yang benar-benar ingin membantu kita.
Jika dalam pekerjaan, kita bisa menyetiai perusaha-
an atau lembaga di mana kita bekerja. Perusahaan akan
sangat senang dengan pegawai yang seperti ini karena
dianggap memiliki loyalitas yang tinggi. Apalagi jika ke-
mampuan kita selalu meningkat, tentu kita akan dengan
mudah meraih jenjang karier yang dijanjikan perusahaan.

271
Berbeda dengan ketika kita berloncatan dari satu perusa-
haan satu ke perusahaan lainnya.
Ketika kita melamar pekerjaan di sebuah perusahaan
dan di CV kita terdapat banyak perusahaan di mana kita
pernah bekerja, tentu HRD di perusahaan yang kita tuju
akan berpikir, kenapa kita mudah sekali meninggalkan
perusahaan tempat kita bekerja? Mungkin perusahaan
yang bermasalah, atau kita yang punya masalah. Jika per-
usahaan yang bermasalah kenapa masih bisa bertahan cu-
kup lama dan karyawannya juga tidak banyak berkurang.
Maka kesalahannya akan ditimpakan kepada kita.
Jika kita memiliki loyalitas yang tinggi, bukan tidak
mungkin perusahaan lain juga akan memberikan tawar-
an kepada kita. Nyatanya, perusahaan tempat kita beker-
ja tak bangkrut selama kita bekerja di sana, malah justru
mengalami kemajuan. Tentu kita bisa menjadi salag fak-
tornya. Dan untuk itu, mudah sekali perusahaan lain akan
memberikan tawaran menggiurkan.
Akan tetapi, dalam kondisi ini kita perlu mengingat
bahwa, mungkin kita bisa sukses dengan perusahaan tem-
pat kita bekerja karena tim yang ada di dalamnya. Jadi
bukan semata-mata usaha kita sendiri. Selain itu, jika per-
usahaan lain begitu mudahnya memberikan tawaran kepa-
da kita, bukan tidak mungkin jika suatu saat perusahaan
itu akan menemukan orang yang lebih berkompeten dari-
pada kita, tawaran yang sama juga akan diberikan. Dengan
begitu, posisi kita akan tergeser.

272
Sementara itu, untuk konsisten kita bisa melakukan
hal-hal kecil tetapi dilakukan dilakukan secara terus-mene-
rus. Misalnya salat dhuha ketika bekerja di kantor, rutin
mengisi kotak amal di masjid, dan lain sebagainya. Nabi
Saw bersabda, dari Aisyah r.a. berkata: Nabi pernah dita-
nya, ”Manakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau ber-
sabda, ”Yang dilakukan secara terus-menerus meskipun
sedikit.” Beliau bersabda lagi :”Dan lakukanlah amal-amal
itu, sekadar kalian sanggup melakukannya” (HR. Bukhari).

Lihatlah kesetian Nabi Saw kepada Allah Swt.


Meskipun coba begitu berat, ia tak tetap tak
meninggalkan Allah. Meki doanya terkabul
untuk menghancurkan kaum kafir, ia tak me-
lakukannya karena istiqomah untuk selalu
menjaga umatnya, hingga yaumul akhir nanti.

273
Melatih Binatang
Jangan pernah melatih burung untuk berenang.

B inatang bisa jadi teman manusia, asalakan ma-


nusia bisa melatihnya dengan baik. Kita kerap
menyaksikan hal ini di sekeliling kita. yang kerap
kita lihat adalag di kebun binatang. Beberapa binatang di
sana dilatih agar bisa berinteraksi dengan pengunjung. In-
steraksi inilah yang kadang diinginkan oleh pengunjung.
Dengan melihat saja tentu kurang menyenangkan, tetapi
dengan bersentuhan akan memberi kesan tertentu.
Di luar kebun binatang, kita kerap melihat manusia
melatih anjing, monyet, burung, ayam dan lain sebagai-
nya. Tak hanya untuk kesenangan atau hobi semata, ma-
nusia melatih mereka juga karena faktor ekonomi. Monyet
untuk topeng monyet, burung untuk kompetisi dan dijual,
begitu pula dengan ayam. Jika bisa bertarung dengan baik,
ia akan memiliki dijual yang tinggi.
Akan tetapi, hewan-hewan itu tak bisa dilatih di luar
batas kemampuannya. Misalnya kita melatih monyet un-

274
tuk berenang, karena memang monyet kurang suka de-
ngan air. Monyet tidak akan berhasil dalam berenang.
Seperti juga manusia, kita tak bisa mendidik anak kita
di luar batas kemamapuannya. Yang perlu orantua lakukan
adalah menyediakan berbagai fasilitas bagi anak hingga
sang anak memilih di mana ia memiliki minat. Ketika anak
menunjukka minatnya, kita bisa memberikan pengalaman
privat untuk lebih memperdalam bakatnya tersebut se-
hingga ia menjadi seperti apa dia inginkan.
Di sekeliling kita, kadang kita melihat orangtua begitu
memaksakan keinginan kepada anak. Orangtua ingin me-
nyekolahkan anaknya dengan jurusan tertentu, padahal
sang anak tidak menginginkannya. Betul, orangtua meng-
inginkan yang terbaik bagi anaknya. Akan tetapi, pilihan
yang terbaik adalah pilihan sang anak, dengan berbagai
pertimbangan dari orangtua.
Dalam kompetisi di televisi juga kerap kita lihat,
sorang anak sampai menagis ketika waktunya maju ke
panggung, ia takut dan tidak percaya diri. Namun orang-
tuanya tetap memaksanya untuk ke atas pentas. Dengan
kemampuan yang tidak percaya diri itu, jika anak meng-
alami kekalahan, pasti ia akan mengalami tramautis. Hal
ini akan berdampak buruk bagi sang anak itu sendiri. Lalu
dengan sombong orangtua akan berkata bahwa ia banyak
pengalaman dan pasti berhasil dalam mendadak anak. Ke-
sombongan ini seolah ingin mematahkan kehendak Alah
bahwa setiap anak lahir dengan membawa keahliannya
masing-masing.

275
Memang benar, pada orangtua memiliki peranan yang
penting dalam mendidik anak, tetapi bukan dengan jalan
memaksa. Rosulullah Saw bersabda, ““Setiap anak dilahir-
kan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya
lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang
Nasrani, atau seorang Majusi” (HR. Bukhari). Akan teta-
pi setelah pada usia yang ditentukan anak sudah memilik
pilihannya sendiri. Di waktu yang lain Rosulullah juga ber-
sabda, “Perintahkan anak kalian untuk salat saat mereka
berusia tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksa-
nakan salat) saat mereka berusia sepuluh tahun. Bedakan
mereka di tempat tidurnya.”
Artinya, pada batas usia tujuh tahun, anak sebenarnya
sudah bisa memilih. Kita biarkan ia memilih sesuatu yang
kelak akan ditekuninya. Tugas orangtua kemudian menda-
pingi. Jika anak berbuat tak baik, kita tinggal meluruskan-
nya. Bukan kemudian memaksa atau melarangnya.

Di zaman modern, lembaga pendidikan sa-


ngatlah banyak. Baik yang formal maupun
nonformal. Kita harus pintar-pintar memilih
sekolah yang bisa mengarahkan bakat anak.
Di sekolahlah anak akan ketahuan minatnya
karena fasilitas yang mendukung.

276
Burung Terbang
Bergerombol
Jika bukan elang, burung terbang bergerombol.
Jika bukan manusia super, berjamaah lebih menjamin
keselamatan.

D i pedesaan atau setidaknya di tempat-tempat


yang masih jarang bangunan gedung-gedung
bertingkat, kita akan sering melihat kawanan
burung bergerombol terbang ke suatu arah. Mereka me-
nempuh jarak yang cukup jauh, untuk bermigrasi ke suatu
tempat di mana mereka akan hidup dengan baik dan te-
nang. Bahkan, burung berjenis arctic tern (sterna paraise-
ae) mampu terbang dari Kutub Utara di musim panas dan
kembali ke Kutub Selatan dengan menempuh jarak pergi
pulang sekitar 30,000 – 40,000 km atau sekitar 2-2.5 kali
Jakarta – Jeddah pergi-pulang.
Dan lagi, mereka terbang tidak sembarang. Burung-
burung itu terbang beraturan seperti membentuk formasi

277
tertentu, misalnya membentuk huruf V. Farmasi ini memi-
liki manfaat yang banyak. Bagian paling terdepan, mempu-
nyai tugas untuk membelah udara seolah mencarikan jalan
pagi yang lain. Selain itu, burung yang terdepan memberi
daya angkat sehinga mereka bisa terbang sejauh itu. Akan
tetapi, terbang sejauh itu hanya bisa mereka lakukan seca-
ra bergerombol. Mereka tak akan kuat terbang sendirian.
Dengan metode seperti ini, burung yang berada di
depan akan lebih cepat lelah dari pada yang lain. Untuk
mensiasati agar mereka tetap bisa terbang bersama, posisi
terdepan akan digantikan yang lain. Terus-menerus begitu
hingga sampai tujuan.
Jika ada burung yang terlepas dari formasi, ia akan
segera menyadari betapa beratnya terbesar sendiri kare-
na berjamaah bisa menghemat tenaga sekitar 70%. Dan
jika ada burung sakit atau kelelahan, akan ada dua burung
lainnya yang akan mengawal dan mendapinginya hingga
mereka bisa menyusul rombongan kembali.
Betapa indah kebersamaan burung-burung ini ter-
bang. Begitu pula dengan manusia jika kita bisa bersama-
sama. Orang-orang yang memiliki misi sama, akan lebih
mudah mencapai tujuan bila mereka bersama-sama. Satu
sama lain akan saling mendorong dan bersama-sama me-
ringankan beban. Sama seperti halnya kita ingin pergi ke
suatu tempat, dengan berombongan naik bis, beban kita
akan berkurang daripada naik kendaraan sendiri. Selain
ada teman ngobrol, badan tidak capai dan ongkos pun le-
bih irit.

278
Jika ada salah satu anggota yang keluar dari jamaah,
pasti akan ada anggota jamaah lainnya yang menemani
dan memberi motivasi untk segera kembali ke jamaah. Ba-
gaimana pun kembali ke dalam rombongan akan memper-
mudah jalan menuju tujuan.
Pelajaran lain dari burung terbang bergerombol adalah
adanya kepemimpinan. Pemimpin yang berada di depan
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh jamaahnya. Akan
tetapi, seorang pemimpim mesti menyadari bahwa tak se-
lamanya ia kuat dan bisa bertahan. Dibutuhkan pemimpin
baru dengan tenaga dan pemikiran yang baru sehingga ja-
maah tidak goyah dan tetap sesuai tujuan. Masing-masing
anggota harus bersedia menjadi pemimpin jika dibutuh-
kan. Bukan kemudian menolak menjadi pemimpin lalu se-
ring mengeluarkan kritikan untuk pemimpinnya.
Sistem organisasi yang dibangun secara kekeluarga-
an ini, tidak akan meninggalkan anggotanya yang dalam
kesusahan dlaam menghadapi musibah. Seluruh jamaah
akan merasa prihatin. Beberapa anggota kemudian me-
nemani shohibul musibah untuk memberi dukungan. Akan
tetapi, keprihatinan itu tidak boleh berlarut-larut. Jama-
ah harus terus berjalan sesuai tujuan. Sementara anggota
yang tadi terkena musibah, diajak menyusul jamaah.
Allah Swt telah memerintahkan kita untuk belajar
pada burung-burung itu,

279
ٍ َّ ‫الط ْ ِي فَ ْوقَه ُْم َصاف‬
‫ات َوي َ ْقب ِْض َن َما‬ َّ ‫أ� َول َ ْم يَ َر ْوا � َل‬
‫إ‬
ٌ‫ش ٍء ب َ ِصري‬ َْ ‫ك‬ ِّ ُ ‫يُ ْم ِس ُكه َُّن �ال َّالر ْ َح ُن �ن َّ ُه ِب‬
‫إ‬
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung
‫إ‬
yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas
mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang
Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesu-
atu” (QS. Al-Mulk; 19).

Hidup berjamaah adalah berkehidupan sosi-


al. Manusia sebagai makhluk sosial tak akan
bisa hidup sendirian. Dengan misi yang sama
dalam sebuah organisasi dan membentuk tu-
juan bersama, kehidupan akan lebih mudah.
Hal ini bisa diterapkan misalnya dalam kope-
rasi, arisan, dan lain sebagainya.

280
Memancing Ikan
Dengan membiasakan diri hidup mewah,
secara tidak langsung kita telah memancing
kecemburuan orang lain.
—Abdullah Gymnastiar

P engalaman memancing merupakan pengalaman


menyenangkan bagi sebagian orang. Beberapa di
antara mereka kemudian memiliki hobi meman-
cing. Ini bisa menjadi hobi murah jika kita memancing de-
ngan sederhana, di kali, kolam, parit dan lain sebagainya.
Namun, hobi ini juga bisa sangat mahal bahkan melebihi
hobi bergengsi seperti golf. Dengan memenuhi standar
mancing yang tinggi, mancing di laut, di tempat-tempat
yang jauh dan tidak umum atau dan lain sebagainya, akan
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk menyewa
kapal saja sudah jutaan rupiah.
Akan tetapi, kita melihat tentang sebuah hobi. Kena-
pa hobi dilakukan? Tentu untuk mengejar kepuasan sema-
ta. Meski demikian, hobi yang sudah menjadi gaya hidup
masyarakat modern bisa menjadi bernilai ekonomi. Sering

281
kita melihat di televisi acara mancing menjadi favorit bagi
pemirsa.
Jika dulu orang memaknai memancing sebagai salah
satu simbol orang yang sabar, atau malah sebaliknya, ma-
las berusaha, kini orang memancing adalah upaya orang
untuk melepaskan beban kehidupan karena suntuk beker-
ja dalam ruangan. Pemancing dimaknai sebagai orang yang
sabar tentu tak bisa dipungkiri, sebab memancing dengan
cara tradisional memang membutuhkan kesabaran me-
nunggu ikan memakan umpannya.
Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi, memancing
tak lagi soal kesabaran, karena umpan yang digunakan
telah dimodifikasi menyerupai ikan hidup yang biasa di-
mangsa. Umpan itupun bisa bergerak-gerak mencari pe-
mangsanya. Posisinya kemudian menjadi terbalik, umpan
yang biasanya dimangsa itu kemudian dijadikan senjata
untuk memangsa ikan pemangsa.
Cara pandang seperti ini bisa kita gunakan untuk
melihat bisnis zaman sekarang. Perusahaan tidak lagi me-
nunggu orang-orang datang kepadanya setelah memasnag
umpan iklan, tetapi sebaliknya umpan itu kemudian dige-
rak-gerakkan setiap waktu setiap hari untuk menggoda
mata kita hingga akhirnya kita terperangkap dimangsa
iklan.
Lalu ketika terjebak pada kail pemancing, kita akan
menyesal bahwa sebenarnya barang yang diiklan itu tak
sepenuhnya kita butuhkan. Oleh sebab itu, kita harus hati-
hati dalam memilih produk, jangan hanya tergiur iklannya.

282
Kita perlu berpikir ulang, sejauh mana kita membutuhkan
barang itu dan manfaatnya kemudian.
Iklan dibuat memang untuk merayu kita agar menjadi
manusia konsumen dan menghabiskan uang yang kita da-
patkan selama sebulan bekerja hanya untuk belanja. Kehi-
dupan ini menjadi kita boros dan selalu kekurangan. Allah
Swt melarang perbuatan yang demikian,

َّ ‫َو� آ ِت َذا الْ ُق ْر َب َحقَّ ُه َوالْ ِم ْس ِك َني َوا ْب َن‬


‫الس ِب ِيل‬
‫َوال تُ َب ِّذ ْر تَ ْب ِذ ًيرا � َّن الْ ُم َب ِّذ ِر َين َكنُوا �خ َْو َان‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ال�شَّ َيا ِط ِني َو َك َن ال�شَّ ْي َط ُان ِل َ ِرب ّ ِه َك ُف ًورا‬
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan” (QS. Al Isro’; 26-27).
Yang perlu kita perhatikan lagi adalah adanya um-
pan hidup yang mendatangi kita bahkan sampai masuk
ke dalam kamar privasi kita. Perusahaan jamaan sekarang
sanggup membayar orang untuk membuat riview tentang
suatu produk, padahal belum tentu riviewer itu memakai
produk tersebut. Maka pekerjaan model baru ini pun hadir
di dunia usaha.
Bagi yang senang berbicara, ia akan menjadi riviewer
dengan cara menggosip. Senang mengajak teman-teman-

283
nya main atau bahkan mendatangi temannya hingga ke
kamar lalu bergosip tentang suatu produk. Berbeda bagi
orang yang senang menulis, ia akan membuat ulasan ten-
tang suatu produk di blog atau media tertentu. Kita bisa
membacanya di mana saja, bahkan di atas kasur di dalam
kamar kita. Artinya, iklan ini sama seperti umpan meman-
cing yang tak lagi statis menunggu iklan memangsa, tetapi
mendatangi ikan untuk ia memangsanya lalu ia masuk da-
lam perangkap dan menjadi termangsa.

Namanya juga memancing, pasti umpannya


enak dan nikmat serta mudah diambil. Na-
mun jika kita mengambilnya, sebuah perang-
kap siap menampung kita. Begitu pula iklan.
Produk selalu ditampilkan secara elegan de-
ngan model yang ganteng atau cantik. Dan
cara inilah yang digunakan setan untuk mem-
bungkus kemaksiatan berjenis hidup boros.

284
Ikan yang Belajar
pada Air
Menjadi ikan besar di kolam kecil
Menjadi ikan kecil di kolam besar
—NN

K arakter ikan adalah selalu berada di air. Entah apa-


pun wadah air itu, akan dengan mudah mampu
menyesuaikan. Hal ini bisa kita lihat karena ikan
tidak memiliki kesombongan, di kolam yang besar atau
lautan ia belajar pada ikan-ikan besar dan di kolam yang
kecil ia bisa memberikan pelajaran bagi ikan-ikan lainnya.
Kita bisa belajar pada ikan ini. Intinya adalah merada-
kan ego kita agar terhindar dari rasang sombong dan iri
atau dengki. Di kolam yang besar, maksudnya di sebuah
komunitas atau perusahaan yang besar, hendaknya kita
mampu menjadi ikan yang kecil. Hal ini akan memungkin-
kan kita mudah belajar dan menangkap pengalaman serta
energi yang dimiliki oleh orang-orang di sekitar kita yang

285
telah lebih dulu berada dalam komunitas atau perusahaan
tersebut.
Jika tak bisa menghilangkan ego dalam kolam yang
besar ini, kita tidak akan mendapatkan pelajaran apa-apa,
kecuali rasa iri kepada orang yang lebih sukses, sinis kepa-
da orang-orang yang tidak disukainya dan lain sebagainya.
Padahal di kolam besar itu, kita bisa juga sukses seperti
mereka. Sebab, dulu mereka juga ikans kecil seperti kita,
lalu tumbuh besar dan sukses.
Sementara itu, dari pengalaman itu, kita kemudian
bisa pergi ke kolam yang lebih kecil di mana kita menge-
lola atau setidaknya menjadi orang yang menjadi referen-
si di komunitas kita. Dengan menurunkan ego, kita akan
terhindar dari sifat sombong dan menganggap diri kita le-
bih tahu dan lebih pintar dari lainnya. Dengan demikian,
dengan mudah kita akan menularkan ilmu yang didapat
dari kolam besar, dan begitu pula sebaliknya, orang-orang
di kolam kecil juga mudah menerimanya karena mereka
menyenangi gurunya.
Perintah saling belajar ini bisa kita tafsirkans ebagai
saling menasihati dalam Islam. Allah Swt bersabda,

286
‫ �ال َّ ِال َين‬.‫س‬ ٍ ْ ‫ � َّن ا إلن ْ َس َان لَ ِفي ُخ‬.‫َوالْ َع ْص‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫ات َوت ََو َاص ْوا ِبلْ َح ّ ِق‬ َّ ‫� آ َمنُوا َو َ ِعلُوا‬
ِ ‫الصا ِل َح‬
‫َوت ََو َاص ْوا ِب َّلص ْ ِب‬
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan kerugi-
an yang nyata kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
shalih dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling me-
nasihati dalam kesabaran” ( QS, Al-Asr; 1-3).
Hanya dengan merendahkan egolah kita bisa saling
menasihati dan tidak saling menyembunyikan kebenaran.
Hal ini bisa juga kita maknai sebagai ruang diskusi dalam
komunitas untuk saling memberikan pembelajaran satu
sama lain. Orang yang pandai dalam satu hal, belum tentu
mengerti hal lain yang dikuasai orang lain, oleh sebab itu,
membuat ruang diskusi merupakan hal yang patut kita la-
kukan.
Dan dalam konteks belajar, kita tidak bisa melihat
pada siapa yang berbicara, sebab kepada si kecil pun kita
bisa mendapatkan pelajaran. Apa yang kita alami dulu de-
ngan zaman sekarang sangatlah berbeda, dan tentu kita
bisa mempelajari kemauan anak sekarang dengan belajar
kepada mereka. Sahabat Ali bin Abi Thalib menasihati kita,
“Jangan melihat siapa yang bicara tapi lihatlah apa yang
dibicarakan”.

287
Akan tetapi, kita bisa tidak menganggap pembiaraan
itu meskipun dalam pikiran manusia bisa dibenarkan, te-
tapi jika keluar dari ajaran Alqur’an dan Sunnah ternyata
melenceng, lebih baik kita tinggalkan. Seperti misalnya
dalam melihat teori evolusi, jika dipikirkan dengan cara
manusia, mungkin ada benarnya, tetapi hal ini telah ke-
luar dari ajaran Alqur’an tentang proses peciptaan. Yang
seperti ini sebaiknya kita tinggalkan.
Ulama besar sekaliber madzahibul arba’ah (Imam
Syafi’i, Iman Hambali, Iman Hanafi, Imam Maliki) pernah
berpesan, “Tinggalkan pendapat kami bila bertentangan
dengan Al-Quran dan Sunnah!”

Jika kita dilarang untuk belajar kepada apa


saja dan di mana saja, buku ini tentu tak akan
sampai di tangan Anda. Allah menciptakan
segala sesuatu dengan memiliki kerahasiaan
agar kita bisa saling belajar dan menghargai.
Jika kita belajar pada alam, tentu kita hanya
menjadi perusaknya.

288
DAFTAR BACAAN
Sumber buku
Shindunata. 2003. Air Kata-kata. Yogyakarta: Galang Press
dan Banyu Media.

Sumber Daring
https://kisahmuslim.com/
http://www.kompasiana.com/
https://muslimah.or.id/
http://alquranalhadi.com/
http://multazam-einstein.blogspot.co.id/
https://id.wikipedia.org/
https://rumaysho.com/
https://motivasipagi.com/
http://tabungwakaf.com/
http://manhaj-salafusshalih.blogspot.com/
http://www.hidayatullah.com/
https://aljaami.wordpress.com/
https://qurandansunnah.wordpress.com/
https://erwantoindonesia.wordpress.com/
http://www.eramuslim.com/
http://umar-arrahimy.blogspot.co.id/

289
TENTANG PENULIS
Ibnu Mas’ad Masjhur adalah putra pertama pasangan
Bapak. H. Mas’ad dan Ibu Hj. As’adah. Lahir di lingkung-
an pesantren di desa terpencil, Babalan, Wedung, Demak,
pada 24 Juni 1985, dengan nama lengkap Fairuzul Mum-
taz. Selepas tamat Madrasah Tsanawiyah di desanya tahun
1999, ia melanjutkan ke Madrasah Aliyah Jurusan Keaga-
maan di Pondok Pesantren Krapyak, Yayasan Ali Maksum
Krapyak Yogyakarta, namun tak rampung. Ia kemudian
lulus SMA di Madrasah Aliyah Tajul Ulum, Pondok Pesan-
tren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggungharjo, Grobogan.
Belajar menulis sejak tahun 2003 di UNY lalu berlan-
jut ke Universitas Sanata Darma Yogyakarta. Selain itu, ia
juga belajar ditempa di Sanggar Kreativitas Manusia (Sar-
kem) UNY dan Kelompok Studi Seni Sanggar Suto Krapyak
Yogyakarta, ia menulis, berkesenian dan berorganisasi.
Sesekali menyutradarai, menjadi aktor, mengisi berbagai
workshop dan diundang di berbagai acara untuk memba-
cakan puisi. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media
massa dan antologi bersama, di antaranya adalah Memoar
Perjalanan (Puisi, 2004); Dian Sastro For President #3 (Pui-
si, 2005); Negeri Tanpa Kekasih (puisi, 2006); Stasiun Per-
jamuan (Puisi, 2007); Hari Ini Tak Ada Hujan Turun (Puisi,
2007); Kenangan, Esok Pasti Cerah (Cerpen, 2008); Rendez-
vouz di Tepi Serayu (Cerpen, 2009); Seratus Buku Sastra In-

290
donesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan (Kumpulan
Esai, 2009);  Selalu saja Begitu, Sembilan Kisah dari Kolong
Tangga  (Cerpen Anak, 2013);  90 Penyair Yogya, Lintang
Panjer Wengi di Langit Yogya (Puisi, 2014), Almanak Musik
Indonesia (Kumpulan Esai, 2016).
Bukunya yang telah terbit berjudul Selembar Kertas
Mungil (Novel Anak, 2008); Aku Menunggumu, Ayah (Novel
Anak, 2008); Mendongkrak Kecerdasan Anak (2011); Men-
cintaimu dengan Segenap Bahasa (Kumpulan Puisi bersa-
ma Tikah Kumala, 2012); Tamansari Taman Batik (2013);
Blangkon! (2013); Sri Panglaras, Tari Angguk Kreasi baru
(2013); 50 Kisah Sukses dan Inspiratif Diaspora Indonesia
(2014); Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswadi (2016) dan
La Raiba, Inspirasi Muslim (2016 – proses terbit).
Ia juga menyunting dan mengeditori sejumlah buku,
di antaranya adalah Dr. Ir. Willy M. Yoseph: Memerdekakan
Murung Raya untuk Indonesia (2013); Derap Langkah Kepe-
mimpinan Marinda dalam Membangun Raja Ampat (2013);
dr. Moch Affandi, Sp.KK(K): Beauty Outside-Happy Inside
(2014); Kemala Motik: Berkarya Tanpa Jeda (2015); dan
Akademi Komunitas, Merajut Keragaman dari Pinggir Yogya-
karta (2016)
Ia bisa disapa melalui FB Fairuzul Mumtaz, Twitter @
fairuzulmumtaz dan email virusastra@gmail.com.

291

Anda mungkin juga menyukai