Anda di halaman 1dari 361

SPEKTRUM TEORI SOSIAL:

Dari Klasik Hingga Postmodern

Sindung Haryanto

Editor: Meita Sandra & Rina


Proofreader: Nur Hidayah
Desain Cover: TriAT
Desain Isi: Leelo Legowo

Penerbit:
AR-RUZZ MEDIA
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 488132
E-mail: arruzzwacana@yahoo.com

ISBN: 978-979-25-4913-3-3
Cetakan I, 2012

Didistribusikan oleh:
AR-RUZZ MEDIA
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id

Perwakilan:
Jakarta: Telp./Fax.: (021) 7816218
Malang: Telp.Fax.: (0341) 560988

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Haryanto, Sindung
Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern-Sindung Haryanto/Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
364 hlm, 17,6 X 25 cm
ISBN: 978-979-25-4913-3-3
1. Sosiologi
I. Judul II. Sindung Haryanto
PENGANTAR PENERBIT

i
lmu sosial merupakan ilmu yang unik. Ia tidak dapat dirumuskan secara pasti sebagaimana
ilmu eksak, tidak dapat ditentukan secara mutlak salah atau benarnya, serta tidak dapat
dirangkum dalam sebuah teori yang berlaku sepanjang masa. Ilmu sosial mempelajari
manusia dari banyak sudut pandang dan dalam banyak cara. Oleh karena itu, tidak ada satu
pun teori sosial yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan teori sosial yang lain.
Sudah merupakan rahasia umum bahwa teori sosial bersifat komplementer. Selalu
ada kaitan erat antara teori yang satu dengan teori yang lain. Suatu teori sosial yang
muncul saat ini dapat dipastikan merupakan kelanjutan dari teori yang sudah ada,
dan dapat dipastikan pula bahwa teori tersebut berkaitan dengan teori-teori lain yang
muncul bersamaan.
Apabila dirunut dari sejarahnya, teori sosial yang paling berpengaruh adalah teori
struktural. Teori struktural merupakan teori yang paling banyak mendapat kritikan dan
dianggap tidak berguna. Namun demikian, teori struktural banyak ditelaah dan dijadikan dasar
berpikir para ilmuwan sehingga memunculkan teori-teori baru seperti strukturalisme genetik,
hegemoni, Marxisme, semiotika, postmodern, dekonstruksi, feminisme, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana bisa teori struktural yang dianggap “bersalah” itu justru menjadi
sumber inspirasi kemunculan teori-teori lain? Mengapa para ilmuwan menjadikan
teori struktural sebagai dasar berpikir? Dan, bagaimana kaitan teori struktural dengan
teori-teori sosial yang lain? Melalui buku ini, Anda akan mendapatkan penjelasan secara
detail mengenai teori-teori sosial, mulai dari sejarah kemunculannya, premis-premisnya,
sampai dengan problematika yang dihadapi oleh masing-masing teori. Akhir kata,
selamat membaca.
Jogjakarta, Maret 2012
Penerbit

5
PENGANTAR PENULIS

s
egala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan, petunjuk, dan
rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan buku Spektrum Teori
Sosial. Buku ini merupakan buah pergulatan ilmiah penulis selama beberapa
tahun sejak sebelum menempuh pendidikan S-3 hingga mencapai tahap ”kematangan”
melalui berbagi diskusi dengan para kolega di Universitas Airlangga. Saat ini telah banyak
buku semacam ini, baik yang merupakan karya penulis asli maupun terjemahan dari
penulis asing. Namun, buku-buku tersebut biasanya tidak membahas suatu teori secara
lebih komprehensif dan sistematis. Kenyataan inilah yang antara lain menginspirasi dan
mendorong penulis untuk menulis buku ini.
Secara keseluruhan buku ini mencerminkan keinginan penulis untuk menunjukkan
kepada pembaca bahwa suatu teori sosial perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif
mulai dari sejarah, akar pemikiran atau teori sosial yang memengaruhi, substansi,
kritik-kritik dan tanggapannya, serta perkembangan atau prospeknya ke depan. Dengan
begitu, pembaca akan mengetahui state of the art masing-masing teori yang hingga saat
ini memang tidak pernah sepi dari perdebatan. Suatu teori sosial bukanlah entitas yang
saling terpisah satu sama lain. Mereka saling terkait, saling memengaruhi bahkan saling
”berkompetisi” dalam khazanah teori sosial untuk mendapatkan tempat yang istimewa
(baca: mainstream). Kontestasi pemikiran dari para teoretikus tersebut menjadi menarik
untuk diikuti beserta argumentasi-argumentasi yang mendasarinya sehingga hal ini akan
membuka cakrawala pemikiran pembaca yang lebih luas serta mampu menempatkan
setiap pengetahuan baru mengenai satu teori sosial pada proporsinya.
Keinginan penulis untuk menulis buku ini mendapat dorongan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis menghaturkan
banyak terima kasih kepada teman-teman kolega, para mahasiswa dan teman-teman
aktivis, dan terlebih keluarga yang memberikan suasana yang kondusif bagi penulis
untuk menyelesaikan buku ini. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada

7
penerbit yang telah bersedia menerbitkan karya ini. Dengan disertai doa semoga segala
bentuk kontribusi positif para pihak yang tidak penulis sebutkan satu per satu, dicatat
sebagai amal saleh. Buku ini tentu saja masih memiliki kekurangan, untuk itulah penulis
mengharapkan kritik konstruktif dari sidang pembaca. Akhirnya, penulis berharap
semoga buku ini memberikan manfaat bagi pembaca dan juga perkembangan teori
sosial khususnya di Indonesia.

Temanggung, akhir Januari 2012


Sindung Haryanto

8
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT ................................................................................................................... 5


PENGANTAR PENULIS ....................................................................................................................... 7
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. 9

BAB I TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL ........................................................................ 11

BAB II TEORI KONFLIK ............................................................................................................... 39

BAB III TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK ................................................................... 67

BAB IV TEORI FEMINISME .......................................................................................................... 99

BAB V FENOMENOLOGI .............................................................................................................. 129


BAB VI TEORI PERTUKARAN SOSIAL .................................................................................... 161
BAB VII TEORI PILIHAN RASIONAL ......................................................................................... 193
BAB VIII TEORI KRITIK ................................................................................................................... 231
BAB IX TEORI STRUKTURALISME .......................................................................................... 259
BAB X TEORI POSTMODERN.................................................................................................... 293

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 329


INDEKS ...................................................................................................................................................... 347
TENTANG PENULIS.............................................................................................................................. 363

9
BAB I

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

A. Sejarah
Abad 20 ditandai dengan munculnya banyak teori sosial dan beberapa di antaranya
merupakan tradisi pemikiran berbasis negara. Sejak dekade 1930-an hingga 1960-an,
Amerika Serikat merupakan pusat pertumbuhan dan runtuhnya teori struktural
fungsional (yang berakar pada karya Durkheim selain dari beberapa antropolog). Seiring
dengan berkembangnya nilai-nilai politik liberal dan kepercayaan dalam hal harmoni
sosial yang ditawarkan oleh sistem negara kesejahteraan (welfare state), khususnya
setelah PD II, teori struktural fungsional menawarkan sintesis sistem pemikiran
sosial secara komprehensif. Namun demikian, salah satu kelemahan teori ini adalah
ketidakmampuannya dalam menawarkan penjelasan yang meyakinkan tentang konflik
sosial dan ketimpangan distribusi pendapatan, sebaik penjelasan mengenai perubahan
sosial. Teori ini mengalami kemunduran mulai akhir dekade 1960.
Kemunculan teori struktural fungsional, baik di dalam maupun di luar Amerika
Serikat, berkorelasi dengan dominasi Amerika Serikat dalam segenap aspek kehidupan.
Teoretikus yang paling berpengaruh dalam teori ini tak lain adalah Talcott Parsons dari
Harvard University, yang berkolaborasi dengan koleganya dalam bidang antropologi
budaya dan psikologi sosial mendirikan Department of Social Relations pada tahun
1946, sebuah Departemen Interdisipliner yang menggantikan Departemen Sosiologi.
Selama berkolaborasi dengan para koleganya ini, Parsons mengembangkan sebuah
taksonomi komprehensif tentang masyarakat melalui beberapa karyanya, seperti Towards
a General Theory of Action (1951, editor bersama Edward Shils) dan The Social System
(1951). Dengan menggunakan beberapa konsep, seperti status, peran, norma, nilai, dan
kebutuhan, dia mengembangkan sebuah alat analitis terhadap properti-properti mendasar
masyarakat yang dipandang sebagai sistem sosial, termasuk hubungan-hubungannya
dengan kepribadian dan kebudayaan yang juga dilihat sebagai sebuah sistem. Fokusnya
pada aspek struktural dari masyarakat dan prasyarat-prasyarat fungsional dari sistem

11
sosial untuk memeliharanya keberlangsungannya. Oleh karena itu, teorinya dinamakan
“struktural fungsional”, yang kemudian dirumuskan secara lebih sederhana menjadi
“fungsionalisme”.
Pengaruh teori struktural fungsional mulai mengalami penurunan pada akhir
dekade 1960-an hingga dekade 1970-an. Meskipun demikian, dominasi teori fungsional
tidak menghilang sama sekali. Pendekatan neofungsionalisme merupakan suatu
perspektif kontemporer penting, yang muncul pada awal dekade 1980-an. Pendekatan
ini merupakan perspektif teori yang berusaha memperbaiki beberapa kelemahan teori
struktural fungsional. Pendekatan neofungsional menjadi popular berkat kontribusi
sosiolog Amerika, Jeffey Alexander, dan sosiolog Jerman, Richard Munch. Pendekatan
neofungsionalisme juga merupakan tantangan bagi teori struktural fungsional. Teori
struktural fungsional menjadi semakin kurang populer disebabkan munculnya banyak
teori-teori mikroskopik, seperti interaksionisme simbolik, pilihan rasional, pertukaran
sosial, dan juga pendekatan-pendekatan yang lebih humanistik, seperti fenomenologi.
Berikut ini secara ringkas adalah beberapa peristiwa penting seputar kemunculan dan
perkembangan teori struktural fungsional.

KRONOLOGI SEJARAH TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

TAHUN KETERANGAN
Auguste Comte mendeskripsikan filsafat positivistik, pandangan evolusioner tentang dunia dalam karyanya yang
1830–1842
berjudul Positive Philosophy.
Herbert Spencer memublikasikan karyanya yang berjudul Social Statics, di mana dia mengembangkan ide dasarnya
1850
tentang struktur dan perubahan. Dalam karyanya ini, ia mengemukakan hak-hak perempuan dan anak.
Charles Darwin memublikasikan karyanya yang berjudul The Origin of the Species. Teori evolusionernya menjadi
1859
tonggak sejarah pengaruh biologi terhadap pemikiran sosial sesudahnya.
Herbert Spencer memublikasikan Study of Sociology. Textbook ini digunakan pertama kali dalam pengajaran
1873
sosiologi di Amerika Serikat.
Spencer memublikasikan The Principles of Sociology, dalam tiga volume. Literatur ini kemudian menginspirasi
1877–1882
William Graham Sumner melontarkan konsepnya yang dikenal social Darwinism.
Émile Durkheim pertama kali memublikasikan The Division of Labor in Society. Dalam buku ini, dia menjelaskan
1893
proses perubahan masyarakat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik.
Durkheim mengembangkan idenya tentang fakta sosial, yang menjadi dasar filsafat positivisme dalam sosiologi
1895
dalam karyanya Rules of Sociological Method.
Durkheim memublikasikan karyanya yang diberi judul Suicide. Karyanya ini merupakan sebuah aplikasi prinsip-
1897 prinsip metodologi baru dalam sosiologi. Dia menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan fakta sosial bukan
persoalan individual.
1903 Durkheim memublikasikan karyanya yang berjudul Moral Education.
William G. Sumner pertama kali mengembangkan konsepnya tentang social Darwinism dalam bukunya yang
1907
berjudul Folkways.
Dalam karyanya yang berjudul Elementary Forms of the Religious Life, Émile
1912 Durkheim menunjukkan bukti-bukti antropologis guna memperkuat argumennya bahwa pengalaman religius
menjadi fondasi tatanan sosial (social order).

12
Talcott Parsons memublikasikan karyanya Structure of Social Action,di mana dia memperkenalkan grand theory
1937
Eropa kepada masyarakat ilmuwan Amerika.
1949 Talcott Parsons memublikasikan Essays in Sociological Theory, Pure and Applied.
1949 Robert Merton memublikasikan Social Theory and Social Structure.
Parsons memublikasikan The Social System and Toward a General Theory of Action. Teori ini kemudian dikenal
1951
sebagai “teori struktural”. fungsional. Dalam karya yang kedua, ia mengembangkan teori tindakan (action theory).
Mills mengartikulasikan pandangan yang terkenal tentang imajinasi sosiologi dalam karyanya The Sociological
1959
Imagination. Dalam karyanya ini, dia juga mengkritik teori struktural fungsionalisme Parsons.
Karya Gouldner yang berjudul The Coming Crisis of Western Sociology berisi kritik beberapa kecenderungan dalam
1970
sosiologi Barat, khususnya teori struktural fungsionalisme Parsons.
1973 Clifford Geertz murid Parsons memublikasikan The Interpretation of Cultures.
Niklas Luhmann mengembangkan versi teori sistem yang berbeda dalam karyanya yang berjudul The Differentiation
1982
of Society.
1982 Jeffrey Alexander merilis karyanya yang berjudul Theoretical Logic in Sociology.
Parsons menerbitkan karyanya The Structure of Social Action, dalam empat volume yang merupakan upayanya
1983
untuk menyintesiskan dan memperbaruhi teori fungsionalismenya.

Tabel 1. Kronologi Sejarah Teori Struktural Fungsional

Sumber: Diolah dari Lemich (dalam Ritzer, 2005: 899–904).

B. Pemikiran/Filsafat Sosial yang Memengaruhi


Teori struktural fungsional mempunyai akar pemikiran yang cukup panjang. Sejak
pertengahan abad 19, pemikiran-pemikiran para ahli tentang masyarakat menjadi cikal
bakal teori struktural fungsional yang “menguasai” khazanah teori sosiologi hampir
sepanjang abad 20. Pemikiran seorang filsuf Prancis, Auguste Comte, tentang tahapan
perkembangan masyarakat, menjadi salah satunya. Teori Comte tentang tahapan
perkembangan masyarakat ini kemudian dikenal sebagai “hukum tiga tahap” yang pada
intinya masyarakat berkembang melalui tiga tahapan berdasarkan tingkat rasionalitas
pemikiran masyarakatnya, yakni tahap teologis, tahap metafisik, dan terakhir tahap
positif. Pada tahap pertama, manusia pada dasarnya dikuasai alam. Pandangan manusia
tentang alam bersifat theistik atau animistik. Semua gejala alam dipandang sebagai hasil
beroperasinya kekuatan-kekuatan gaib yang termanifestasikan dalam kepercayaan bahwa
kekuatan-kekuatan tersebut menjelma pada benda-benda keramat, seperti batu, pohon,
dan lain-lain. Tahap ini menandai perkembangan intelektual Eropa hingga abad 14.
Tahap perkembangan berikutnya adalah tahap yang disebut sebagai metaphysical. Pada
tahap ini, fenomena alam tidak lagi dipandang sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan
gaib, tetapi hanya merupakan bagian dari objek tatanan alam secara inheren. Menurut
Comte, tahap ini berlangsung di Eropa sejak abad 14 hingga pecahnya Revolusi Prancis.
Menurutnya, signifikansi Revolusi Prancis ini bukannya pada perubahan konstelasi
politik Eropa, melainkan yang terpenting adalah dimulainya transformasi intelektual

13
manusia menuju tahap yang disebutnya sebagai “tahap positif”. Tahap ini merupakan
tahap kematangan ilmu pengetahuan karena kemampuan manusia menjelaskan seluruh
fenomena dalam terminologi beroperasinya hukum-hukum alam.
Comte percaya bahwa hukum-hukum alam dapat diketahui melalui penelitian
ilmiah dengan menggunakan Metode Positivisme. Alam semesta pada dasarnya memiliki
hukum-hukum yang relatif bersifat tetap. Dengan demikian, masyarakat (sebagai bagian
dari alam semesta) mempunyai tatanan yang menentukan realitas sosial. Persoalan statik
dan dinamik merupakan titik sentral teori Comte. Ia berpendapat bahwa sosiologi
harus concern terhadap eksistensi struktur sosial atau unsur statika sosial dan perubahan
sosial sebagai unsur dinamika sosial. Menurut Ryan (2005: 793), aspek statika sosial
merupakan aspek sosial yang eksistensinya berada pada momen kesejarahan sosial
khusus. Sementara itu, aspek dinamika sosial berkaitan dengan pandangan tentang cara
masyarakat mengalami perubahan sepanjang waktu. Dengan demikian, dimensi waktu
menjadi elemen penting dalam studi dinamika sosial sejak Comte berpandangan bahwa
evolusi alamiah masyarakat bergerak menuju ke kondisi harmoni final.
Comte bahkan merujuk dinamika sosial sebagai Theory of Natural Progress of
Human Society (teori kemajuan masyarakat alamiah). Ia percaya bahwa masyarakat
secara berkelanjutan mengalami perbaikan dan bahwa hukum perkembangan progresif
tersebut berlaku universal bagi seluruh masyarakat. Jadi, meskipun kecepatan perubahan
berbeda antar-masyarakat, atau antar-waktu, yang jelas setiap masyarakat bergerak ke
arah tujuan yang sama, yakni masyarakat yang lebih harmonis. Gejolak yang terjadi di
masyarakat betapa pun hebatnya akan berakhir (melalui mekanisme alamiah) menuju
kondisi semula (keteraturan sosial).
Studi yang dilakukan Comte tentang statika sosial merupakan tonggak sejarah
karya-karya sosiologi kontemporer pada umumnya dan teori sosiologi pada khususnya,
terutama teori struktural fungsional. Comte tertarik pada cara berbagai unsur masyarakat
menjalankan fungsinya (difungsikan), berkembang menjadi lebih penting peranannya,
dan juga bagaimana hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan. Dia melihat
bagian dari masyarakat dan keseluruhannya berada dalam kondisi harmoni (apa yang
kemudian disebut sebagai equilibrium) dan hak-hak istimewa (privilege) bermula dari
masyarakat secara keseluruhan bergerak ke arah bagian masyarakat secara khusus.
Comte merupakan seorang filsuf sosial yang lahir dari keluarga kelas menengah di
Montpellier satu tahun sebelum Revolusi Prancis berakhir. Orangtuanya merupakan
pendukung monarki Kerajaan Bourbon. Comte mulai belajar di Ecole Polytechnique,
Paris, pada tahun 1814. Comte merupakan seorang mahasiswa yang brilian. Pada
masa kuliahnya ini, Comte berpandangan bahwa filsafat dapat dibangun berlandaskan
metode ilmiah murni dan metode ilmiah tersebut dapat digunakan untuk memahami
dan mengatasi masalah sosial. Hasilnya dapat mengatasi berbagai perbedaan pendapat
14
yang menjadi sumber potensial bagi terjadinya instabilitas politik dan konflik sosial.
Karyanya yang pertama berjudul Cours de Philosophie Positive diterbitkan antara tahun
1830–1842. Dalam karyanya ini, dia menyurvei semua pengetahuan ilmiah, sembari
berusaha mempertahankan tesisnya tentang filsafat umum positivisme. Selain itu, dia
juga mulai menerapkannya untuk meneliti dan mengatasi berbagai permasalahan sosial
yang terjadi.
Ketika ia mulai menulis Cours de Philosophie, ia yakin bahwa ia telah menemukan
suatu filsafat yang dapat mengatasi semua kekacauan peradaban manusia selamanya dan
membuatnya kehidupan berjalan harmonis dan makmur. Pandangannya itu bukanlah
suatu pemikiran yang politis ataupun filsafat etis, melainkan suatu filsafat yang ilmiah,
sama halnya dengan kepastian Hukum Newtons di bidang fisika. Oleh karena itu, ia
menyebutnya sebagai “filsafat positif”. Oleh Comte, hal itu dimaksudkan sebagai suatu
kepastian yang absolut yang membedakannya dari semua filsafat lain yang sebelumnya
ia pahami. Filsafat positivisme menganut pandangan bahwa manusia dan fenomena
sosial, seperti halnya fenomena fisika dan biologi, merupakan bagian dari suatu tatanan
alam. Dalam pandangan Comte, tugas filsuf yang menganut paham positivisme yang
terkait dengan masalah manusia dan fenomena sosial adalah menemukan hukum-hukum
yang menguasai dan berlaku dalam perkembangan sejarah peradaban manusia. Dengan
diketahuinya hukum-hukum tersebut, dapat dilakukan prediksi terhadap apa yang
akan terjadi di masa mendatang. Tugas ilmuwan tidak sekadar mengetahui, tetapi juga
mengontrol fenomena alam.
Auguste Comte dikenal sebagai salah seorang Bapak Sosiologi. Dalam melakukan
studinya tentang fenomena sosial, dia tidak menggunakan pendekatan seperti yang
digunakan ekonom klasik, yakni melihat perilaku manusia sebagai individu, tetapi
pendekatan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Bagi Comte, sosiologi
adalah studi tentang masyarakat sebagai keseluruhan dan tidak dapat direduksi ke dalam
individu. Masyarakat bukanlah agregat dari individu-individu yang ada di dalamnya.
Pada tataran ini, individu sangat dipengaruhi oleh budayanya, bukan suatu entitas
yang bersifat independen. Masyarakat sebagai keseluruhan bersifat lebih primer dan
lebih konkret daripada individu. Comte mendeskripsikan masyarakat manusia bukan
hanya agregasi individu. Masyarakat mempunyai struktur-struktur yang masing-masing
berfungsi secara terorganisasi. Bukti dari hal itu semua adalah elemen budaya yang
menghasilkan solidaritas sosial. Hal itu berfungsi mengintegrasikan perilaku individu
dalam masyarakat.
Comte percaya bahwa perkembangan masyarakat yang telah mencapai tahap ketiga
(positive), sosiologi akan menjelma menjadi “ratu ilmu pengetahuan” (queen of the
science). Pada masa tersebut, peran sosiolog tidak dibatasi oleh kemurnian kedaulatan
ilmuwan. Pada tahap ini, Comte berpendapat bahwa semua ilmu pengetahun baru harus

15
dibangun menjadi ilmu yang praktis, seperti halnya ilmu politik ataupun kedokteran.
Dia memopulerkan semboyannya, “To know is to predict, and to predict is to act.” Hal ini
sejalan dengan obsesinya sejak masa awal kariernya, yakni ia selalu dimotivasi oleh suatu
keyakinan bahwa ketidakteraturan sosial (social disorder) merupakan “setan terbesar”.
Dimensi aksiologis ilmu dengan demikian menjadi titik perhatian utama Comte.
Setelah Comte, ilmuwan besar yang mempunyai pengaruh terhadap teori struktural
adalah Herbert Spencer. Ia menulis beberapa buku yang mempunyai pengaruh besar bagi
perkembangan sosiologi antara lain: Social Statics, The Study of Sociology, dan The Principles
of Sociology. Spencer menggembangkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam biologi
khususnya konsep organisme yang kemudian digunakan sebagai analogi masyarakat.
Sebagaimana organisme biologis, masyarakat juga merupakan sebuah organisme yang
mengalami proses evolusi. Seiring berjalannya waktu, setiap masyarakat berkembang dan
perkembangan tersebut ditandai terutama oleh bertambah kompleksnya institusi-insitusi
di dalamnya. Dalam hal ini, evolusi menurutnya berarti sebuah kemajuan. Teorinya
ini paralel dengan model evolusionismenya Charles Darwin sehingga sering disebut
sebagai “Darwinisme sosial”. Sebagai sebuah sistem, setiap elemen masyarakat memiliki
fungsi mempertahankan kelangsungan sistem sosial secara keseluruhan. Baginya, setiap
masyarakat memiliki empat problem mendasar yang harus diatasi, yakni produksi,
reproduksi, regulasi, dan distribusi.
Dalam karyanya yang berjudul The Man versus the State, Spencer berusaha
menggabungkan paham liberalisme Inggris (utilitarianisme) dengan teori evolusionarisme
Charles Darwin. Setiap organisasi sosial (masyarakat) bergerak dari bentuk-bentuknya
yang primitif ke arah masyarakat industrial. Evolusi sosial merupakan sebuah proses yang
terarah dan bertahap. Sebagaimana organisme biologis, individu, dan juga masyarakat
harus berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Lingkungan merupakan
agen evolusi dengan melakukan “seleksi” sehingga diperoleh organisme yang paling
adaptiflah yang mampu bertahan (prinsip the survival of the fittest). Proses seleksi bersifat
alamiah karena proses tersebut membentuk sifat-sifat asli organisme di suatu lingkungan
lokal. Konsep evolusioner Spencer ini mempunyai perbedaan mendasar dengan
pendahulunya Comte. Menurut Ritzer (1983: 26), perbedaan mendasar tersebut adalah
bahwa Spencer menolak hukum tiga tahap Comte. Bagi Spencer, evolusi Comtenian
berada dalam alam ide (perkembangan intelektual), sementara teori evolusi Spencerian
berada dalam dunia nyata (material world).
Sesuai dengan prinsip the survival of the fittest, kemajuan teknologi subsistensi
masyarakat dengan demikian kongruen dengan perubahan genetik dalam evolusi biologis
dan seperti halnya evolusi biologis, tidak ada tujuan dalam evolusi masyarakat. Lebih
dari itu, tidak ada asumsi-asumsi tentang pertumbuhan masyarakat dan meningkatnya
kompleksitas yang terjadi di dalamnya, seperti perubahan dalam teknologi, budaya,

16
struktur sosial, dan lingkungan yang dalam hal ini dapat menjadi penyebab hancurnya
populasi (penduduk). Juga, sebagaimana evolusi biologis, kepunahan merupakan takdir
bagi sebagian besar masyarakat, kecuali bagi yang memiliki teknologi yang lebih modern
yang mampu menjamin untuk tetap dapat berkompetisi dan bertahan (Maryanski,
2005: 258).
Kontribusi penting Spencer bagi perkembangan teori struktural fungsional terletak
pada konsepnya tentang ekuilibrium sosial. Spencer melihat ekuilibrium sosial sebagai
kondisi masyarakat yang berada dalam kondisi penuh dengan harmoni sosial, stabil,
dan terintegrasi. Bailey (2005: 312) menggambarkan bahwa kondisi masyarakat seperti
ini lebih bersifat utopis. Dalam pandangan teori evolusioner, masyarakat tidak dimulai
dari kondisi ekuilibrium, tetapi akan selalu bergerak ke arah tersebut sepanjang waktu.
Pencapaian kondisi tersebut akan menjadi pencapaian yang paling berharga bagi
masyarakat. Ekuilibrium merupakan sebuah kondisi stabilitas yang berkelanjutan yang
dapat dipertahankan ketika hal itu sudah dapat dicapai. Hal ini sebenarnya agak berbeda
dengan yang terjadi di dunia ilmu alam. Ekuilibrium dikonotasikan bukan sebagai kondisi
idealistik dari sebuah sistem yang terintegrasi dan stabil, melainkan lebih merupakan
sebuah dissolusi sistem. Meskipun demikian, Spencer tetap menggunakan konsep
ekuilibrium untuk mencoba mengatasi kontradiksi tersebut yang pada akhirnya tidak
pernah memuaskannya. Persoalan tersebut hingga akhir masa kariernya tetap menjadi
Spencerian dilema, yakni sebuah dilema bagaimana menerapkan konsep ekuilibrium
dalam posisi yang secara langsung berlawanan dengan kenyataan aktual.
Selain Spencer, sosiolog yang berkontribusi terhadap teori struktural fungsional
adalah Emile Durkheim. Kontribusi Durkheim terhadap sejarah perkembangan sosiologi
dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, perhatiannya pada persoalan moral dalam
masyarakat. Dalam studinya tentang pembagian kerja di masyarakat (The Division of
Labor in Society), ia memperdebatkan tentang individualis utilitarian dan menunjukkan
syarat-syarat tatanan sosial yang diajukan Comte, konsensus kepercayaan-kepercayaan
moral, memerlukan interpretasi baru dalam pandangan fakta sosial. Sebagai ilustrasi,
tipe solidaritas yang lebih tinggi “solidaritas organik” muncul karena tumbuhnya pola
pembagian kerja, perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dapat mengatur
hubungan-hubungan interpersonal secara lebih efektif, bahkan dalam masyarakat
sosialis, dan kohesi sosial, berada pada tingkat yang rendah yang mempunyai andil
bagi terjadinya kasus bunuh diri. Paradigma normatif ini segera menjadi bagian teori
sosial melalui struktural fungsionalisme Parsons. Kedua, dalam karyanya The Rules of
Sociological Method, Durkheim menjelaskan bagaimana cara memahami masyarakat.
Terhadap berbagai penentangnya yang baru, Durkheim pada posisinya bahwa fakta
sosial merupakan bentuk realitas yang sui generis, yang tidak dapat direduksi ke dalam
kualitas-kualitas psikologis atau individual. Institusi-institusi sosial seperti (perkawinan,

17
pengadilan, pasar dan gereja), norma-norma, dan peraturan sosial (seperti tumbuhnya
pembagian kerja dalam masyarakat modern, menyusutnya keluarga tradisional, dan
depresi ekonomi) tergantung pada hukum-hukum yang dimiliki untuk dapat diteliti
sosiologi.
Contoh terbagus yang ditawarkan oleh Durkheim dalam menjelaskan tesisnya
tentang fakta sosial ini adalah perkembangan tingkat bunuh diri. Dalam pandangan
Durkheim, tidak ada tindakan manusia yang lebih individual selain bunuh diri
(keputusan mengakhiri hidupnya sendiri). Durkheim menunjukkan dengan data statistik
bahwa tingkat bunuh diri secara mengejutkan berada pada titik konstan dalam kaitannya
dengan aspek-aspek sosial, agama, kelompok profesi, baik pada musim semi, panas, dan
orang yang sudah kawin atau masih single. Durkheim kemudian membedakan antara
tipe-tipe yang berbeda dari bunuh diri: egoistik, altruistik, fatalistik, dan anomik. Isolasi
hubungan manusia dalam masyarakat merupakan prakondisi bagi terjadinya bunuh diri
egoistik. Sebaliknya, bunuh diri altruistik ditujukan untuk melindungi masyrakat yang
seseorang secara kuat terintegrasi di dalamnya. Seorang tentara membunuh dirinya karena
dia telah melakukan suatu kesalahan yang membahayakan bagi profesi kelompoknya.
Istilah anomi yang secara literal diterjemahkan sebagai tanpa hukum, menandai keadaan
tiadanya norma, iritasi, kebingungan, dan perpecahan. Durkheim mengasumsikan
bahwa anomi akan ditemukan ketika perubahan sosial meningkat, yaitu ketika nilai-nilai
tradisional tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat individu dan norma-norma baru
belum cukup mempunyai kekuatan memberikan arahan perilaku individu. Orang
cenderung melakukan bunuh diri lebih besar dalam situasi depresi karena mereka tidak
mengetahui bagaimana cara menjalani kehidupannya. Cara Durkheim menjelaskan
fenomena bunuh diri ini dengan menggunakan data statistik resmi dari pemerintah
sehingga karyanya ini menjadi studi penelitian sosiologis paradigmatik dengan melakukan
generaliasi, penjelasan probabilistik berbasis korelasi.
Meskipun Durkheim mendiskusikan fungsi “kejahatan” dalam karyanya The
Rules of Sociological Method (1895), ia menunjuk pada perilaku terlarang dalam lingkup
yang lebih luas, yang kemudian dinamakan sebagai “perilaku menyimpang” (deviance).
Tekanan Durkheim pada konsensus sosial menjadikan dirinya sebagai peletak dasar
teori struktural fungsional yang menjadi teori dominan dalam sosiologi sejak PD II,
ketika konsep penyimpangan muncul. Dalam perspektif ini, penerapan sanksi terhadap
pelanggaran hukum dilakukan masyarakat sebagai alat (cara) untuk mempertahankan
tatanan sosial dan juga untuk reafirmasi terhadap konsensus sosial yang telah disepakati
bersama. Konsep deviance (perilaku menyimpang) muncul dari disiplin ilmu statistik,
yaitu deviation (penyimpangan) menunjuk pada variasi nilai yang menyimpang dari
mean (rata-rata). Penggunaannya membawa implikasi otoritas ilmiah dan objektivitas.
Konotasinya menjadi metafora untuk menggambarkan orang atau perilaku yang berbeda

18
dari yang normal. Hal ini konsisten dengan kecenderungan para teoretikus fungsionalis
yang memihak pada objektivitas dan lebih memilih penjelasan deduktif. Penyimpangan
menawarkan pembahasan seputar isu moral yang berada dalam kerangka ilmiah (Best,
2005: 189).
Karya Durkheim memainkan peran penting dalam perkembangan, baik struktural
fungsionalisme maupun strukturalisme. Teori terakhir ini meskipun demikian juga
berdasarkan karya Durkheim yang kemudian (seperti, The Elementary Forms of Religious
Life). Karya Durkheim tersebut kemudian ditinggalkan setelah teori strukturalisme
berbelok arah dan berusaha mencari “struktur-dalam” (deep structure) yang mendasari
pemikiran sosial dan tindakan sosial. Jadi, struktural fungsional memainkan peran
penting dalam perkembangan ide struktur sosial (dan institusi sosial), berdasarkan pada
peran sentralnya dalam analisis sosial. Para teoretikus struktural fungsional kemudian
menjadi tertarik pada analisis “fungsional” dari struktur sosial. Dalam hal ini, mereka
tertarik dalam menganalisis konsekuensi-konsekuensi dari struktur-struktur sosial yang
sudah given bagi struktur sosial lain, seperti masyarakat yang lebih besar.
Sosiolog Amerika, Talcott Parsons dan kemudian disusul Robert Merton
menghasilkan elaborasi paling ekstensif dari kalangan teori struktural fungsional. Parsons
mengembangkan sebuah teori kompleks. Dalam teori ini, dia berpendapat bahwa sistem
sosial diatur oleh empat kepentingan fungsional: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi,
dan latensi (sering disingkat dengan akronim AGIL). Untuk dapat bertahan, sistem sosial
harus terstrukturkan guna menjamin kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara
tepat dan efisien. Seorang murid Parsons, yakni Robert Merton, menggunakan beberapa
asumsi yang sama dari teori struktural fungsional, selain dia juga mengkritik Parsons
dan mempunyai pandangan yang lebih ekstrem. Sebagai contoh, dalam mengontraskan
asumsi bahwa semua elemen dari struktur sosial adalah fungsional bagi masyarakat.
Merton mengklaim bahwa kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik sosial tertentu
dapat menjadi disfungsional atau bahkan nonfungsional. Dalam mengelaborasi konsep
disfungsi ini, dia menggunakan konsep terkenal dari Durkheim, yakni “anomi” untuk
menyatakan bahwa struktur sosial tertentu dapat menyebabkan terjadinya perilaku
menyimpang. Kritik dari luar terhadap paradigma struktural fungsional adalah bahwa
para teoretikus struktural fungsional cenderung melupakan agen atau melihatnya
sebagai terlalu dikontrol oleh struktur sosial. Struktural fungsionalisme pun menjadi
sebuah contoh ekstrem dari kecenderungan beberapa teori sosial yang melihat aktor
sosial sebagaimana dikatakan oleh Harold Garfinkel sebagai judgmental dopes (si tolol
penurut).

19
C. Substansi
Pendekatan/teori struktural fungsional membahas perilaku manusia dalam konteks
organisasi (masyarakat) dan bagaimana perilaku tersebut berada dalam (dapat
mempertahankan) kondisi keseimbangan dalam organisasi/masyarakat. Persoalan
mendasar yang dihadapi setiap organisme sosial adalah bagaimana agar tetap
dapat bertahan dan pola interaksi antar-subsistem yang terjadi di dalamnya dapat
mempertahankan keutuhan sistem tersebut. Menurut Zeitlin (1995: 3), asumsi yang
dikembangkan pendekatan ini adalah bahwa setiap struktur sosial, atau setidaknya yang
diprioritaskan, menyumbangkan terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang
berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang telah ada dijelaskan melalui
konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang keduanya diduga perlu dan bermanfaat
terhadap permasalahan masyarakat.
Kontributor utama teori struktural fungsional tak pelak lagi adalah seorang sosiolog
Amerika, Talcott Parsons. Ia lahir pada 13 Desember 1902 di Colorado Springs,
California. Ayahnya adalah seorang anggota parlemen dan aktif dalam gerakan reformasi
sosial seperti The Social Gospel movement. Parsons memperoleh gelar sarjana di Amherst
College dengan kajian utama biologi, leisure and tourism, dan filsafat. Ia pernah belajar ke
London School of Economics (LSE). Reputasi kecemerlangan intelektualnya dan posisi yang
sering berseberangan dengan dosennya menyebabkan dia kemudian belajar sosiologi.
Pada tahun 1949, Parsons terpilih sebagai presiden The American Sociological Association.
Selain mengajar di Harvard University, ia juga menjadi dosen tamu di Cambridge.
Masyarakat sebagai sistem sosial menurut Parsons paling tidak harus memiliki
empat fungsi imperatif yang sekaligus merupakan karakteristik suatu sistem.
Keempatnya berhubungan dengan sistem tindakan (action systems). Keempat fungsi
imperatif ini dikenal dengan sebutan AGIL yang merupakan kepanjangan dari
fungsi A (Adaptation); G (Goal Attainment = pencapain tujuan); I (Integration); dan
L (Latent Pattern Maintenance = sistem fidusier). Fungsi adaptasi merupakan sistem
untuk mempertahankan sumber-sumber penting dalam sistem dalam menghadapi
external demands. Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment) merupakan fungsi
ketika sistem memprioritaskan tujuan dan memobilisasi sumber daya untuk mencapai
tujuan. Fungsi integrasi merupakan proses-proses yang terjadi di internal sistem yang
mengoordinasi inter-relationship berbagai subsistem (unit-unit sistem). Sementara itu,
fungsi pemeliharaan pola (latency) merupakan proses ketika sistem memelihara motivasi
dan kesepakatan sosial dengan menggunakan internal tensions (social control).
Sekalipun cenderung berada dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium), setiap
sistem sosial tidak tertutup kemungkinan mengalami perubahan sosial. Hanya saja
dalam pandangan stuktural fungsional, perubahan tersebut berlangsung secara gradual

20
dan berdampak pada berbagai penyesuaian yang dilakukan masing-masing unsur sistem.
Apabila dilihat dari segi sumbernya, perubahan dapat berasal dari luar (eksternal) maupun
dari dalam (internal), seperti perubahan komponen genetik penduduk yang berpengaruh
terhadap perilaku dan peran-peran sosial. Sumber-sumber perubahan dapat terorganisaasi
secara politis seperti misalnya perang, hubungan antar negara, dan difusi budaya.
Apabila tantangan berupa kecenderungan ke arah ketidakseimbangan antara
dua atau lebih unit sistem menjadi cukup besar dan mekanisme kontrol tidak dapat
mempertahankan konformitas, upaya yang dilakukan sistem adalah menghindari
perpecahan struktur. Dalam menghadapi persoalan tersebut, terdapat paling tidak tiga
alternatif, yakni (1) resolusi: merestorasi konformitas dengan ekspektasi-ekspektasi
normatif; (2) isolasi: sekalipun konformitas penuh tidak tercapai, tetapi terdapat beberapa
akomodasi yang dapat diterima; (3) perubahan di dalam struktur.
Parsons mengembangkan Grand Theory, sebagai suatu usaha untuk mengintegrasikan
semua disiplin ilmu sosial ke dalam kerangka teoretikus. Tujuan utamanya adalah
terbangunnya action theory yang menjelaskan bahwa tindakan manusia adalah voluntir,
intensional, dan simbolik. Karya-karya yang paling berpengaruh antara lain: (1)
The Structure of Social Action (1937); (2) The Social System (1995). Beberapa tokoh
yang memengaruhi pemikirannya adalah Max Weber, Vilfredo Pareto, dan Emile
Durkheim.
Teori sistem sosial Parsons terkenal dengan sebutan General System Theory yang
merupakan kerangka konseptual yang memberi perhatian pada etiologi perilaku seseorang
pada lingkungan yang lebih luas bukan terpaku pada model hubungan sebab akibat. Teori
sistem ini melakukan observasi pada tiga hal, yakni seseorang sebagai bagian dari situasi
kehidupannya; interaksi dinamis antar-orang; sistem dan lingkungan; serta fungsionalitas
seseorang dan sistem. Salah satu cara terbaik untuk memahami teori ini adalah melihat
konteks kehidupan keluarga yang merupakan subsistem dari komunitas yang lebih besar.
Beberapa fakta menunjukkan: (1) keseluruhan lebih besar dari jumlah seluruh bagian
yang ada; (2) perubahan pada bagian sistem, berakibat perubahan pada bagian lain dari
sistem tersebut; (3) keluarga terorganisasi dan berkembang sepanjang waktu. Anggota
keluarga memegang peran yang berbeda-beda; (4) keluarga pada umumnya merupakan
sistem terbuka dalam menerima informasi dan pertukarannya dengan setiap orang di
luar keluarga. Keluarga berbeda derajat keterbukaannya dan kondisi lingkungannya; (5)
disfungsi individual sering merefleksikan sistem emosional aktif.
Dalam mengembangkan teori sistem tindakan (action system theory), Parsons
menyebut empat tipe tindakan yang saling interelasi satu sama lain. Teori ini sering
pula disebut sebagai “teori sibernetika”. Keempat sistem tindakan tersebut adalah sistem
budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisme perilaku. Di dalam sistem
budaya terdapat sistem simbol yang tertata yang digunakan untuk mengatur perilaku
21
individu. Sistem sismbol tersebut dapat bersifat terinternalisasi (internalized) maupun
terinstitusionalisasi (institutionalized). Budaya merupakan kekuatan utama yang mengikat
masyarakat. Di dalam sistem sosial, komponen utamanya adalah interaksi antar-individu
yang menghasilkan norma sosial. Tekanannya adalah pada sosialisasi pasif. Sistem
kepribadian merupakan sistem orientasi dan motivasi individu yang terorganisasi. Arah
kebutuhan individu merupakan produk dorongan yang dibentuk oleh setting sosial dan
menjadi komponen dasar kepribadian (personality). Sementara itu, sistem organisme
perilaku merupakan predisposisi biologis yang memengaruhi situasi lain.
Sistem budaya

Sistem sosial

Sistem kepribadian

arus energi Organisme perilaku budaya

arus kontrol

Gambar 1. Skema Teori Sibernetika Parsons

Keempat sistem tersebut berada dalam tatanan hierarki, yaitu sistem yang berada
di atas mengontrol sistem yang ada di bawahnya. Sebaliknya, sistem yang ada di
bawah memberikan energi bagi sistem yang ada di atasnya. Semakin tinggi kedudukan
sistem, semakin sulit mengalami perubahan. Menurut Ritzer dan Goodman (2008:
121), organisme perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
dengan menyesuaikan diri atau mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian
melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan
memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi
fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan
aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Keempat sistem tersebut dapat dibedakan secara analitis. Akan tetapi, secara empiris,
yakni dalam praktik kehidupan sehari-hari, hubungan antar-sistem tersebut saling
berkelindan sehingga tidak dapat dipetakan posisi masing-masing. Dalam proses interaksi,
individu tidak dapat berdiri bebas, bertindak menurut dorongan kepribadiannya tetapi
harus memerhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi produk masyarakatnya.
Dalam perspektif teori struktural fungsional, seorang individu akan bertindak sesuai
dengan nilai dan norma sosial karena sebelumnya telah mengalami internalisasi melalui
institusionalisasi dan sosialisasi.
22
Dalam perdebatannya tentang otonomitas tindakan individu, Parsons berbeda
dengan Durkheim. Apabila Durkhiem menganggap bahwa tindakan individu murni
sepenuhnya ditentukan masyarakatnya, Parsons melihat bahwa individu pada dasarnya
memiliki kebebasan dalam bertindak. Konsep voluntarisme merupakan konsep yang
dimaksud Parsons untuk menjelaskan hal tersebut. Dalam bukunya The Structure of
Social Action, Parsons melihat bahwa individu memiliki pilihan dalam bertindak dalam
situasi sosial. Namun demikian, voluntarisme tidak dapat disamakan dengan free will.
Konsep voluntarisme berimplikasi pada pikiran, kesadaran, dan pembuatan keputusan
yang dipengaruhi dan dibatasi oleh nilai-nilai, norma-norma, ide-ide, situasi-situasi sosial,
dan produk masyarakat lainnya. Sebagian ahli mengartikan bahwa kebebasan tersebut
hanya terbatas pada means (cara/alat) mencapai tujuan.
Dalam teori tindakan voluntaristik Parsons, terdapat tiga aspek “unit tindakan”.
Agen (pelaku) berusaha merealisasikan tujuannya dalam suatu situasi ketika kondisi
material dan cara-cara yang memungkinkan dipakai untuk merealisasikan tujuan
tersebut. Parsons percaya bahwa norma-norma sosial yang terinternalisasi selama proses
sosialisasi membentuk sebuah basis alternatif tindakan terhadap apa yang ditawarkan
oleh keinginan individual. Pencarian seorang individu berada di antara egoisme
keinginan dengan norma-norma yang terinternalisasi. Seorang aktor (individu) tidak
dapat memilih antara penderitaan dan kesenangan berhubungan dengan tindakan,
tetapi dapat memilih sejauh mana hal itu diperhitungkan ketika melakukan tindakan.
Secara alamiah, penderitaan dari penyimpangan norma meningkat, seorang aktor akan
memilih untuk lebih sering menyesuaikan, tetapi apa pun pilihannya berakibat pada
tindakan (Loyal, 2003: 63–64).
Sebuah tindakan adalah volunter, tidak dipaksakan, dengan pilihan seorang agen
(aktor/individu) berada di antara dua jenis tekanan, yaitu tindakan harus selalu dipandang
sebagai pelibatan tekanan antara dua elemen tatanan berbeda: normatif dan kondisional.
Parsons menyadari bahwa seorang individu menyesuaikan diri dengan norma-norma
yang ada oleh karena tekanan-tekanan yang ada baik internal maupun eksternal.
Sanksi dari masyarakat juga merupakan tekanan bagi individu untuk menyesuaikan
diri dengan norma. Akan tetapi, sanksi tersebut merupakan dukungan sekunder yang
berasal dari tatanan normatif dan tidak mempunyai arti independen. Dalam analisis
Parsons, sejumlah tindakan yang menyesuaikan norma akan berbeda tergantung pada
seberapa kuat dan ekstensifnya norma-norma terinternalisasi, juga terhadap seberapa
kuat keinginan individu merealisasikan tujuannya meskipun harus berlawanan dengan
norma, selain pada seberapa banyak usaha yang dilakukan individu untuk menyesuaikan
diri dengan norma-norma (Loyal, 2003: 65).
Konsep voluntarisme dikemukakan Parsons pada tahun 1937 dan kemudian
konsep tersebut mengalami penurunan atau marginalisasi dalam perdebatan ilmiah.

23
Pada awal dekade 1950-an, konsep voluntarisme mengalami revitalisasi seiring penjelasan
Parsons tentang orientasi-orientasi motivasional. Sebelum bertindak, individu atau aktor
menggunakan kerangka orientasi-orientasi motivasionalnya untuk menganalisis fenomena
sosial yang menarik baginya. Perhatian utamanya ditujukan pada fenomena aktual atau
yang paling potensial memberikan kepuasan bagi pemenuhan kebutuhannya. Proses
ini melibatkan tiga dimensi tindakan. Pertama, aktor harus menganalisis situasi secara
kognitif. Ia harus menempatkan fenomena sosial (individu, kolektivitas, objek-objek
kebudayaan fisik) secara terpisah dengan fenomena sosial lain, menghubungkan dengan
kategori-kategori objek, menentukan properti-properti suatu fenomena sosial, dan
menentukan fenomena-fenomena sosial aktual atau fungsi-fungsi potensial. Kedua,
secara simultan, seorang aktor harus menilai signifikansi kataktik dari fenomena tersebut,
terutama dampak bagi dirinya. Ketiga, aktor bertindak melalui proses evaluatif yang
menentukan bagaimana mereka mengalokasikan energi-energi yang dimilikinya untuk
mengoptimalkan gratifikasi (kepuasan) dan meminimalisasi deprivasi (Ritzer, 1983:
187–188).
Karya Parsons yang berjudul The Structure of Social Action (Struktur Tindakan Sosial)
mempunyai dua tujuan. Pertama, mengonsolidasi dasar-dasar filosofi sosiologi dengan
cara melacak konvergensinya di antara empat teoretikus klasik besar, yakni Marshall,
Pareto, Weber, dan Durkheim. Kedua, sebagai kritik terhadap filsafat utilitarian.
Parsons percaya bahwa aliran filsafat tersebut mendominasi ilmu sosial pada waktu itu.
Parsons menggunakan utilitarianisme sebagai titik sentral kritiknya. Meskipun Parsons
menggunakan terma “utilitarianisme”, bukti-bukti menunjukkan bahwa dia tidak
merujuk secara spesifik premis-premis filsafat utilitarian, tetapi pada premis yang lebih
luas dari itu, yakni individualisme. Di atas semuanya, ia merujuk pada premis-premis
filsafat ekonomi berkaitan dengan tindakan ekonomi rasional seorang aktor. Dalam hal
ini, Parsons menganggap bahwa aliran individualistik mempunyai keunggulan dalam
memperlakukan “kepuasan” yang merupakan pendorong tindakan aktor dalam perspetif
teori-teori ekonomi, filsafat, dan psikologi utilitarian.
Dalam diskusinya tentang filsafat utilitarian, Parsons menguji pertama formulasi problem
Hobbesian yang termuat dalam karyanya Leviathan, dan dari situ dilacak berbagai cara di mana
para filsuf modern berusaha mengatasi problem tatanan sosial: bagaimana mereka menjelaskan
koordinasi unit-unit tindakan. Parsons memulai dengan karya Hobbes bukan hanya karena
Hobbes merupakan salah satu filsuf politik pertama yang paling menonjol yang bergelut
dengan persoalan penjelasan tatanan sosial dalam terma-terma rasional, kepentingan-diri
individual, melainkan juga karena menurut Parsons teori sistem sosial dari Hobbes merupakan
yang paling murni dalam membahas utilitarianisme. Bagi Parsons, Hobbes melihat problem
tatanan sosial dengan sangat jelas dan tidak berlebihan. Pernyataannya pun tetap valid hingga
saat ini. Problem tatanan sosial (social order) bagi Hobbes berkaitan dengan asumsi manusia

24
sebagai makhluk rasional, didorong oleh kepentingan-diri, individu yang otonom. Pada
titik ini, asumsi Hobbes dapat diterima Parsons, tetapi mekanisme penciptaan tatanan sosial
melalui bellum omnium contra omness (perang semua lawan semua) bagi Parsons tidak dapat
dipahami. Dalam pandangan Parsons, Hobbes hanya dapat menjelaskan penciptaan tatanan
di luar kondisi alamiah. Dengan demikian, pandangan ini berlawanan dengan premis-premis
utilitarian. Menurutnya, Hobbes melupakan otonomitas individu (King, 2009: 9).
Terinspirasi karya Hobbes, Parsons mengidentifikasi pertanyaan sentral dalam
sosiologi yakni problem tatanan sosial yang ia sebut sebagai “problem Hobbesian”
atau bagaimana aspek-aspek konfliktual dan egoistik dalam diri manusia berpotensi
tidak saja menghalangi, tetapi juga dapat merusak hubungan-hubungan sosial. Dalam
menyintesiskan tulisan-tulisan Weber, Durkheim, Pareto, dan teoretikus Eropa lain,
Parsons mengidentifikasi berbagai tatanan/aturan struktural yang berfungsi mengatur
atau meningkatkan tatanan, termasuk penerapan otoritas politik dan hukum serta
institusionalisasi kompetisi-kompetisi ekonomi berlandaskan hukum. Akan tetapi,
ia berpendapat bahwa proses tatanan sosial merupakan sebuah komponen paling
efektif, sebuah perangkat primer bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, juga
merupakan aturan tindakan sosial yang menghubungkan dirinya dengan keluarga selain
sebagai model norma-norma lebih umum yang mengatur perilaku.
Parsons menggunakan kerangka psikoanalisis untuk mengembangkan “teori
tindakannya”. Motivasi individu dipahami sebagai secara intrinsik penting bagi
struktur sosial. Kerangka yang sama juga digunakan untuk mengembangkan teorinya
tentang sosialisasi. Menurut Parsons, dalam sosialisasi, aktor sosial menginternalisasi
simbol-simbol dan nilai-nilai kultural. Parsons menyintesiskan teori Durkheim dan
Freud serta pandangan teoretikus sebelumnya dalam mengembangkan teorinya tentang
sosialisasi. Dalam pandangan Parsons, terdapat konvergensi antara Durkheim dan Freud,
yang keduanya meneorikan tindakan sosial. Durkheim memulai analisisnya dengan
meneorikan cara-cara individu menginternalisasikan norma-norma dan nilai-nilai
kolektif, sementara Freud memulai analisisnya tentang kepribadian individu dan
mengakui adanya superego. Di sini, dia juga meneorikan internalisasi norma-norma dan
nilai-nilai kolektif dalam diri individu. Perbedaannya, Durkheim melupakan monoisme
individu, sementara Freud justru membangun teorinya berdasarkan hal tersebut.
Parson bersama sahabatnya Edward Shils mengembangkan variebel-variabel pola
(pattern variables) merujuk pada orientasi-oreintasi motivasional individu dalam tindakan
sosial. Konsep motivasional menunjuk pada keinginan seseorang untuk memaksimalkan
kepuasan (gratifikasi) dan meminimalkan deprivasi, termasuk menyeimbangkan antara
tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Orientasi nilai menunjuk pada
standar-standar normatif yang mengatur pilihan-pilihan individu dan prioritas dengan
penghargaan perbedaan kebutuhan dan tujuan. Variabel pola membantu menentukan

25
orientasi-orientasi seseorang yang dianggap cocok ketika mereka berinteraksi. Secara
esensial, menurut Parsons terdapat lima pilihan yang bersifat dikotomis, baik secara
implisit maupun eksplisit.
Variabel-variabel pola merupakan seperangkat pilihan yang ditentukan individu sebelum
melakukan tindakan. Pada tingkat ini, variabel pola merupakan alat analisis terhadap proses
kesadaran. Dalam setiap situasi tindakan, individu selalu menghadapi problem orientasi
sebagai berikut.
1. Affectivity-neutral affectivity: problem ini seputar seberapa besar dan kuat emosi dan
afeksi (perhatian) dicurahkan kepada orang lain ketika berinteraksi. Sebagai contoh,
seorang dokter yang sedang menangani pasien, apakah harus terlibat emosi yang
cukup intens terhadap pasien ataukah harus mengambil jarak terhadapnya.
2. Collectivity-Self orientation: dilema yang dihadapi seseorang dalam berinteraksi
terkadang juga seputar apakah harus mengejar kepentingan diri atau harus berbagi
dengan orang lain sebagai kolektivitasnya.
3. Particularism-universalism: Dalam mengambil keputusan, seseorang terkadang
dihadapkan pada dilema apakah akan menggunakan standar-standar universal ataukah
standar-standar spesifik yang sarat dengan ikatan-ikatan emosional. Sebagai contoh,
dalam rekrutmen pegawai, seorang direktur dihadapkan pada standar universal berupa
kompetensi seseorang ataukah kedekatan ikatan persaudaraan.
4. Ascription-achievement: problem yang terjadi dalam interaksi sosial pada konteks
ini, apakah status seseorang lebih banyak “diberikan” atau harus dicapai melalui
perjuangan, apakah seseorang dilahirkan memiliki kemampuan menjadi dokter
ataukah kemampuan tersebut harus dipelajari?
5. Diffuseness-Specificity: problem yang terjadi dalam interaksi sosial pada konteks ini
adalah apakah seseorang akan menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan keahlian
seseorang, ataukah kompetensi lain juga ikut berpengaruh. Sebagai contoh, seorang
pasien apakah akan menerima seluruh nasihat dokter ataukah hanya nasihat-nasihat
yang sesuai bidang keahlian dokter saja (Baert, 1998: 51–52).
Johnson (2008) dalam bukunya Contemporary Sociological Theories menghubungkan
variabel pola Parsons dengan tipologi masyarakat Ferdinand Tonnies. Tipologi tersebut
hanya alat analisis dan secara empirik. Sebenarnya, tidak ada batas yang tegas antara
kedua tipologi tersebut. Sebagai contoh, hubungan-hubungan antara pelayan dengan
pelanggan di sebuah supermarket besar dan antara pekerja sosial dan kliennya. Keduanya
merupakan tipikal hubungan gesselschaft. Meskipun hubungan-hubungan di supermarket
mencerminkan a self orientation, pekerja sosial lebih memberikan prioritas terhadap
kebutuhan kliennya, bukan kepentingan pribadinya.

26
VARIABEL-VARIABEL POLA PARSONS DIKAITKAN DENGAN DIKOTOMI TONNIES
Gemeinshaft Gesselschaft
Affectivity Affective neutrality
Collectivity orientation Self orientation
Particularism Universalism
Ascription Achievement
Diffuseness Specificity

Tabel 1. Variabel-variabel Pola Parsons dikaitkan dengan Dikotomi Tonnies

Sumber: Johnson (2008: 316).

Dalam teori struktural fungsional, terdapat dua perspektif utama tentang


struktur sosial. Pertama, perspektif institusional atau kultural. Dalam perspektif
ini, elemen-elemen dasarnya meliputi norma-norma, kepercayaan-kepercayaan,
dan nilai-nilai yang mengatur tindakan sosial. Dalam perspektif ini, struktur sosial
merupakan sebuah struktur institusional, yang terdiri dari seperangkat model kultural
dan normatif yang mendefinisikan harapan-harapan individu (aktor) dari perilakunya.
Perspektif ini dikembangkan secara teoretikus dalam kerangka teori struktural fungsional,
terutama dari karya-karya Talcott Parsons dan yang akhir-akhir ini berasal dari kalangan
neo-institusionalisme. Kedua, perspektif relasional. Dalam perspektif ini, elemen-elemen
yang membentuk struktur sosial utamanya adalah hubungan-hubungan sosial.
Berdasarkan perspektif ini, analisis struktur sosial terfokus pada jaringan hubungan sosial
yang menghubungkan individu, kelompok, organisasi, komunitas, dan masyarakat.
Selain Parsons, tokoh lain yang mempunyai kontribusi bagi perkembangan teori
struktural fungsional adalah Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Kedua tokoh ini
menyoroti stratifikasi sosial yang menurutnya, selain fungsional, juga mutlak bagi
masyarakat guna melanjutkan eksistensinya. Dalam pandangan Davis dan Moore,
stratifikasi sosial merupakan bagian inheren setiap masyarakat. Tidak ada masyarakat
yang secara total tidak ada kelas di dalamnya. Hal ini disebabkan setiap masyarakat
membutuhkan sebuah sistem stratifikasi bagi kelangsungan hidupnya. Pandangan ini
bukan berarti bahwa penciptaan sistem strata merupakan sebuah konsensus di antara
warga masyarakat, melainkan lebih merupakan “perlengkapan yang terbentuk secara
tidak sadar”. Orientasi teoretikus struktural fungsional dalam hal ini terfokus pada
hierarki posisi sosial, bukan pada aktor. Konsekuensinya, perhatian utamanya tertuju
pada masing-masing posisi berada pada ranking tinggi atau rendah dalam sebuah sistem,
dan bukannya pada bagaimana seseorang berada pada posisi tertentu dalam sistem
stratifikasi.
Mereka berpendapat bahwa semakin tinggi posisi seseorang di masyarakat (seperti
dokter, pengacara, dan politisi), semakin penting pula perannya bagi masyarakat
27
keseluruhan. Hal itu juga berkorelasi dengan tingkat keterampilan yang dibutuhkan
juga semakin tinggi. Oleh karena itu, posisi-posisi seperti ini mendapatkan penghargaan
berupa prestige, uang, dan fasilitas lain. Davis dan Moore percaya bahwa salah satu
persoalan utama dalam masyarakat adalah bagaimana mendapatkan orang yang tepat
pada posisi yang tepat dan kecenderungan untuk mempertahankan posisinya, terutama
untuk posisi-posisi tinggi. Hal ini menjadi permasalahan karena beberapa posisi lebih
menyenangkan untuk diduduki daripada posisi yang lain. Beberapa di antaranya
lebih penting bagi keberlanjutan masyarakat daripada yang lain, dan perbedaan posisi
memerlukan perbedaan keterampilan.
Menurut Ryan (2005: 798), pendekatan struktural fungsional dalam melihat stratifikasi
sosial dikritik dari berbagai arah. Pertama, pendekatan tersebut menyederhanakan privilage
yang seolah-olah selalu menyenangkan untuk dinikmati. Kedua, asumsi-asumsi yang
digunakan juga terlalu sederhana karena menyatakan stratifikasi telah ada sejak dulu dan
akan terus berlanjut di masa depan. Ketiga, menjadi sulit untuk mendukung bahwa terdapat
posisi tertentu yang lebih atau kurang penting di masyarakat. Apakah seorang perawat
kurang penting daripada dokter? Keempat, hanya ada sejumlah kecil orang yang mempunyai
keinginan untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam sistem stratifikasi disebabkan
sistem yang terstratifikasi tersebut mensyaratkan perbedaan akses untuk mencapainya,
seperti pendidikan dan pelatihan. Akhirnya, pendekatan tersebut menegasikan kemungkinan
seseorang termotivasi untuk memperoleh posisi yang lebih tinggi dengan sendirinya atau
bahkan dalam kasus penghargaan intrinsiknya.
Pada dekade 1950-an, selain karya-karya Parsons dan Amitai Etzioni, teori struktural
fungsional didominasi oleh konsep teoretikus baru, yakni institusi total (total institution).
Dalam pandangan teori struktural fungsional, sebuah institusi total merupakan sebuah
bentuk struktural, sebuah organisasi formal, dan komunitas residensial yang mengadopsi
strategi-strategi dan upacara-upacara seremonial untuk mengintegrasikan dunia staf
dengan penghuni (penjara) ke dalam sistem sosial fungsional dengan mengelaborasi
peran-peran komplementer antara penghuni penjara dan staf. Konseptualisasi institusi
sosial ini belakangan dikembangkan oleh teoretikus lain di luar struktural fungsional,
seperti Erving Goffman yang mengembangkan deskripsi dan kerangka analitis unik
untuk memahami determinan-determinan struktural subjektivitas penghuni penjara
yang mengalami realitas sosial.
Analisis struktural Goffman terhadap peran, aturan, dan hubungan-hubungan
antara penghuni penjara (narapidana) dan staf berbeda dengan karya sebelumnya, yakni
The Presentation of Self in Everyday Life (1959). Dalam karya ini, dia mengembangkan
analisis dramaturgi interaksi sosial dalam institusi total dengan melihat interaksi sebagai
panggung sandiwara (theater). Dalam panggung sandiwara ini, aktor menggunakan
panggung depan, script dan properti-properti, serta membangun kesepakatan dengan

28
aktor lain untuk menjalankan manajemen impresi sebelum diperlihatkan kepada
audiens. Konsep institusi total menjadi konsep yang bertahan lama dan memengaruhi
karier sejumlah teori. Teoretikus sosiologi interpretif dan peletak teori labelling (Howard
Becker), etnometodologi (Harold Garfinkiel), dan gerakan antipsikiatri (Thomas Szasz,
R.D. Laing). Selain itu, sosiologi organisasi dan teoretikus kebijakan juga concern dengan
konsep-konsep deinstitusionalisasi dan kesehatan mental masyarakat yang dipopulerkan
oleh karya Goffman (Rubin, 2005: 845).

D. Krik/Tanggapan
Tokoh utama yang memberikan kritik sekaligus melakukan penyempurnaan teori
struktural fungsional adalah murid Parsons, yakni Robert K. Merton. Berbeda
dengan gurunya yang sibuk dengan teori besarnya (grand theory), Merton lebih fokus
mengembangkan teori menengah (middle ring) yang lebih empiris. Menurutnya,
masyarakat tidak hanya dapat diteliti dari strukturnya secara keseluruhan. Objek
studi sosiologi sebaiknya dapat berupa organisasi-organisasi, kelompok-kelompok,
dan subkomponen sosial lainnya. Sebagaimana penganut paham positivistik lainnya,
Merton bertumpu pada pertanyaan apakah teori dapat menghasilkan hipotesis yang
dapat diuji secara empiris, dan juga pertanyaan seputar apakah teori dapat menjelaskan
uniformitas dalam hubungan antar-variabel dalam berbagai konteks. Perbedaan yang
mendasar dengan Parsons, Merton tidak menaruh perhatian terhadap orientasi subjektif
individu yang terlibat dalam satu tindakan tertentu, tetapi pada efek atau konsekuensi-
konsekuensi sosial yang bersifat objektif.
Kritik utama yang ditujukan terhadap teori struktural fungsional adalah dalam
kaitannya dengan fungsi tindakan dan struktur sosial. Kaum struktural fungsional
mempunyai keyakinan bahwa setiap tindakan atau struktur sosial mempunyai fungsi bagi
sistem sosial secara keseluruhan. Hal ini menurut Merton tidak benar. Dalam sistem sosial,
terdapat tindakan-tindakan atau struktur sosial yang justru disfungsional atau bahkan
bertentangan dengan tujuan sistem (nonfungsional). Merton kemudian menjelaskan
hubungan antara fungsi-fungsi, konsekuensi-konsekuensi, dan intensi-intensi dengan
memperkenalkan konsep fungsi manifes dan laten. Perbedaan tersebut berdasarkan pada
ada tidaknya intesitas di dalamnya.
Selain itu, Merton juga membedakan antara fungsi dan disfungsi berdasarkan sifat
konsekuensi bagi sistem sosial, yakni apakah berdampak positif ataukah negatif. Dalam
pandangannya, institusi-institusi sosial tidak selamanya berfungsi bagi sistem sosial,
bahkan adakalanya institusi sosial mempunyai konsekuensi-konsekuensi disfungsional.
Inilah perbedaan mendasar antara Merton dan gurunya, Parsons. Belakangan, para ahli
teori fungsional ini mengembangkan konsep fungsional dan disfungsional, khususnya

29
dalam bidang agama. Fungsi laten menjadi konsep yang populer yang menurut Merton
diartikan sebagai konsekuensi-konsekuensi intensional (purposif) yang tidak diharapkan.
Kontribusi Merton terhadap teori struktural fungsional meliputi berbagai konsep, di
antaranya anomi, penyimpangan sosial (social deviance), peran (role), dan kelompok
referensi (reference goup). Kritik Merton terhadap teori struktural fungsional terefleksikan
dari pendapatnya bahwa komponen-komponen sistem sosial tidak selalu berada dalam
kondisi penuh harmoni, tetapi sering berada dalam relasi-relasi konflik. Efeknya tidak
selalu berupa keseimbangan (ekuilibrium), tatanan, dan keberlanjutan, tetapi kadang
sebaliknya, yakni disekuilibrium, disorder, disorganisasi, dan beberapa bentuk perubahan
sosial lainnya.
Merton membedakan dua orientasi analisis teoretis, yakni analisis fungsional dan
analisis struktural. Orientasi teoretikus struktural belakangan kemudian dikenal dalam
bentuk yang berbeda sebagai “strukturalisme” atau “post strukturalisme”. Apa yang
dimaksud Merton sebagai fungsionalisme adalah interpretasi data terhadap konsekuensi-
konsekuensi bagi struktur masyarakat yang lebih luas. Dalam karyanya yang berjudul
Paradigm for Functional Analysis, (1949), ia menjelaskan bahwa komponen sistem sosial
tidak hanya terdiri dari unsur-unsur yang fungsional, tetapi juga yang disfungsional.
Secara bersama-sama, unsur-unsur tersebut merupakan balance of functional consequences,
yang terdiri, baik kondisi penuh harmoni maupun yang bersifat konfliktual. Sementara
itu, yang dimaksud analisis struktural adalah analisis yang bersifat natural dan merupakan
komplemen analisis fungsional. Sebagai contoh, dalam analisisnya tentang anomi, ia
menunjukkan bahwa anomi meningkatkan berbagai bentuk perilaku menyimpang
lain—innovation, ritualism, retreatism, atau rebellion, tergantung pada konteks struktural
masyarakat lebih luas tempat hal itu terjadi (Sztompka, 2007: 170–171).
Merton memperluas argumentasi Durkheim tentang faktor-faktor penyebab
bunuh diri. Menurutnya, ekonomi yang mengalami krisis dan bersifat fluktuatif dapat
menyebabkan orang melakukan bunuh diri karena terjadinya instabilitas aturan-aturan
yang mengatur perilaku masyarakat. Selain itu, krisis ekonomi juga menyebabkan
harapan-harapan masyarakat semakin jauh dari kenyataan yang ada. Dengan
menggunakan logika yang sama, Merton berpendapat bahwa penyimpangan sosial
semakin meningkat pada masyarakat yang mengalami anomi, ketika tidak ada korelasi
antara kuatnya harapan sukses dan kesempatan untuk merealisasikan harapan-harapan
tersebut. Pada masyarakat anomik, pencapaian kesuksesan seseorang dilakukan dengan
cara-cara yang ilegal sehingga menyebabkan terjadinya disorganisasi sosial. Banyaknya
cara ilegal tersebut pada saat yang sama menyebabkan semakin banyak orang frustasi,
terutama di kalangan lapisan masyarakat bawah. Kondisi demikian menyebabkan
sebagian orang melakukan pola adaptasi lain, seperti penyalahgunaan obat-obatan
terlarang, bunuh diri, atau berbagai bentuk penyakit jiwa. Sementara itu, beberapa

30
orang lain mencoba melakukan perlawanan dan berusaha mengubah sistem. Inilah teori
Merton yang kemudian terkenal sebagai teori tekanan (strain theory) untuk menunjuk
pada kondisi ketika peningkatan harapan dan tuntutan masyarakat yang tidak disertai
kesempatan yang sama untuk mencapainya. Dengan kata lain, terjadi deskrepansi antara
tujuan dan alat untuk mencapainya dan hal itu menjadi sumber frustasi sosial.
Pada pertengahan dekade 1950-an, teori struktural fungsional mendapat kritikan
tajam dari beberapa ahli, seperti Lockwood, Mille, Coser, dan Dahrendorf. Para
ahli tersebut belakangan dikenal sebagai teoretikus konflik. Mereka berpendapat
bahwa teori struktural fungsional terlalu menekankan pada konsensus nilai-nilai dan
internalisasi norma-norma dan kurang memerhatikan konflik dan perubahan sosial.
Mereka juga berpendapat bahwa teori aksi (action theory) merupakan teori yang terlalu
abstrak dan sangat sulit diaplikasikan secara empirik.
Mengikuti pemikiran Van den Berghe (Nasikun, 1984: 17–18), teori stuktural
fungsional beranggapan bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-
penyimpangan sosial merupakan sumber perubahan sosial dalam bentuk pertumbuhan
diferensiasi sosial yang semakin kompleks. Perubahan sosial terjadi terutama karena
faktor-faktor yang berasal dari luar. Anggapan semacam ini mengabaikan bebeberapa
kenyataan seperti berikut.
1) Setiap struktur sosial, di dalam dirinya, mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-
kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi
terjadinya perubahan-perubahan sosial.
2) Reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar
(extra-systemic change) tidak selalu bersifat adjustive.
3) Suatu sistem sosial, di dalam waktu yang panjang, dapat mengalami konflik-konflik
sosial yang bersifat vicious circle.
4) Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-
penyesuaian yang lunak, tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
Niklas Luhmaan membandingakan teori stuktural fungsional di satu sisi dengan
fenomenologi dan interaksionisme simbolik di sisi lain. Teorinya dikenal dengan nama
“teori sistem” yang menghubungkannya dengan Parsons, tetapi hanya dalam lingkup yang
terbatas. Luhmann berpendapat bahwa adalah tidak masuk akal mengembangkan teori
tandingan bagi teori integrasi sosial dan konflik sosial, interaksionis, dan analisis masyarakat.
Ia mengklaim sebagaimana Parsons: perumusan sebuah teori umum tentang perilaku manusia
dapat memperlakukan setiap tipe tindakan (perilaku) manusia, menjadi konsensual juga
dapat konfliktual. Bagi Luhmann, tidak ada harapan bahwa penelitian akan mendorong
beberapa keterasingan dari ekspresi-ekspresi tindakan penuh arti karena motif individual harus

31
digolongkan ke dalam kategori yang lebih umum untuk dapat menjadi penjelasan sosiologis
(Nollman, 2005).
Dari sudut pandang Luhmann, teori sistem membantu membedakan level mental
di satu sisi dengan level sosial di sisi lain. Pembedaan yang tegas ini mengingatkan kita
pada penjelasan sosiologi sebagaimana dikatakan Weber dan Durkheim—berdasarkan
pada aturan sosial yang mengatur penandaan makna. Idiosinkratik mental tidak
menarik perhatian sosiolog. Selanjutnya, keuntungan penggunaan teori sistem ada pada
metodologi yang tidak hanya menghasilkan pembedaan yang tegas antara level mental
dan level sosial, tetapi juga penjabarannya, sebagaimana Weber memerhatikan dengan
idenya mengenai “hubungan-hubungan sosial”, objek sosial yang kompleks ke dalam
unit observasi yang lebih kecil. Luhmann menyebutnya sebagai jenis sistem sosial yang
berbeda, dan sebagai subsistem sosial: interkasi tatap muka, organisasi-organisasi formal,
dan subsistem masyarakat fungsional. Penggunaan terma teoretikus sistem tidak memiliki
kesamaan dengan ide Parsons tentang “tindakan sebagai sebuah sistem”.
Terdapat dua jalur argumentasi yang menjelaskan hubungan antara Luhmann,
Parsons, dan Schutz. Pertama, berkaitan dengan status teoretikus dan metodologis dari
“makna” (meaning) dengan “pemahaman” (understanding). Kedua, berkaitan dengan
problem subjektivitas. Meskipun demikian, baik Parsons maupun Schutz, mengklaim
bahwa hal itu merupakan perspektif tentang aktor yang harus menjadi arahan riset
sosiologis. Schutz tidak setuju bahwa teori Parsons merupakan sebuah analisis yang
tepat untuk makna. Sosiologi fenomenologis dan varian-varian interpretif menekankan
perlawanan terhadap struktural fungsional bahwa penjelasan-penjelasan sosiologis
harus bertujuan memahami makna secara tepat. Sulit diketahui bahwa Luhmann
secara jelas mendukung posisi Schutz dalam diskusinya tentang Parsons dan upayanya
membangun teori yang membantu sosiologi interpretif menemukan cara bagaimana
menggeneralisasikan obeservasi-observasi kehidupan modern.
Bagi Luhmann, tidak ada keraguan bahwa teori-teori sosiologi dapat menghindarkan
dirinya untuk menjadi terasing dari makna ekspresi-ekspresi pertama karena dalam
penelitian motif-motif individual harus digolongkan ke dalam kategori-kategori yang
lebih umum untuk bisa menjadi bagian dari penjelasan-penjelasan sosiologis. Ketika
beberapa ilmuwan sosial melanjutkan problematik konsep tipe-tipe ideal Weber,
Luhmann percaya bahwa interpretasi tindakan sebagai sebuah hubungan antara alat
dan tujuan menjadi terlalu spesial dan pandangan selektif perilaku manusia yang dapat
membentuk sebuah alat analitik dasar. Sesungguhnya, hubungan kausal antara alat dan
tujuan menghasilkan bukti-bukti bagi peneliti, tetapi tidak cukup fundamental untuk
merekonstruksi cara lain di mana makna muncul dalam dunia sosial. Sesungguhnya,
Luhmann melihat penandaan model tindakan sosial sebagaimana diterapkan dalam
psikologi cocok untuk memperoleh ketepatan makna dan penyebab dalam riset sosiologis.

32
Model ini menghasilkan empat tipe perilaku berdasarkan interaksi internal dan eksternal
dan interpretasi tetap (stable) dan berubah (variable). Atribusi perilaku internal akan
muncul sebagai basis tindakan bagi contoh pada kemampuan dan/atau upaya. Atribusi
perilaku eksternal yang diinterpretasikan sebagai “pengalaman-pengalaman” dunia,
sebagai contoh keberuntungan atau takdir. Oleh karena itu, tindakan sosial secara
ontologis bukannya, objek penelitian sosiologis yang tak dapat dipertanyakan, tetapi
interpretasi tahap pertama berdasarkan pada atribusi perilaku internal. Hal ini menjadi
alasan bahwa Luhmann menempatkan level analisisnya pada sistem sosial, atau lebih
tepatnya, pada komunikasi tindakan sosial.
Homans secara gradual bergerak dari induksi ke deduksi dan dari teori formal ke
teori aksiomatik. Homans merupakan teman dekat Parsons di Harvard. Ketika Homans
mengagumi karya-karya Parsons, dia juga sangat keras mengkritik gaya teorinya yang
dianggapnya hanya merupakan skema konseptual yang menamai dan mengategorisasikan
fenomena, tetapi melupakan hubungan-hubungan antar-fenomena. Homans percaya
bahwa suatu teori harus mampu menjelaskan fenomena dan penjelasannya tersebut
memerlukan bukan hanya konsep-konsep, melainkan preposisi-preposisi yang
menghubungkan konsep yang satu dengan yang lain. Ia berargumentasi dalam karyanya
yang berjudul The Nature of Social Science. Penjelasan dan teori harus terdiri dari satu
atau lebih preposisi yang berada pada tingkat generalisasi rendah dapat dideduksi secara
logis dari preposisi-preposisi yang lebih abstrak tingkat generalisasinya. Preposisi-
preposisi yang lebih rendah tingkat abstraksinya menjelaskan peristiwa-peristiwa aktual
dalam dunia empiris sehari-hari. Preposisi jenis ini dikembangkan Homans dalam
karyanya yang berjudul The Human Group. Ia menunjukkan bagaimana hal itu mungkin
dilakukan deduksi sebuah pola empiris dari seperangkat preposisi dan aksioma yang lebih
umum. Homans berpendapat bahwa hal itu sama dengan penjelasan pola (Molm, 2005:
382–383).
Sebagai teori sosiologi yang dominan dalam kurun waktu yang lama, struktural
fungsional dikritik dari berbagai arah. Kritik meliputi: (1) teori struktural fungsional
dinilai sebagai ahistoris (dalam kenyataannya teori berkembang sebagai reaksi pendekatan
historis evolusioner dari beberapa antropolog pada saat yang sama); (2) teori struktural
fungsional tidak dapat mencandra proses-proses perubahan sosial kontemporer; (3) teori
struktural fungsional tidak dapat menganalisis konflik secara adekuat (konflik secara
umum dilihat sebagai suatu teori konsensus, dan oleh karena itu bertentangan dengan
teori konflik); (4) bias konservatif yang mempertahankan status quo dan dominasi
kekuasaan kelas elite; (5) teori struktural fungsional pada umumnya terlalu abstrak,
vague, ambigu dalam membawa setiap hubungan ke dalam dunia nyata; (6) teori terlalu
besar dan ambisius ketika lebih secara historis dan situasi teori relevan mungkin lebih
cocok; (7) terdapat metode penelitian yang tidak tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan

33
yang diajukan; (8) analisis komparatif secara virtual adalah tidak mungkin. Turner dan
Maryanski juga melihat problem teleologi dan tautologi yang dialamatkan struktural
fungsionalisme (Ryan, 2005: 803).
Lebih khusus, mereka melihat ketidaksahan teleologi sebagai suatu problem. Sah
untuk mengasumsikan bahwa masyarakat memiliki tujuan khusus dan hal itu membawa
struktur-struktur dan fungsi-fungsi khusus untuk mencapai tujuan tersebut. Apa yang
dilakukan beberapa ahli struktural fungsional, meskipun demikian, tidak sah untuk
mengasumsikan bahwa struktur-struktur dan fungsi-fungsi tertentu di masyarakat
yang hanya satu yang dapat diciptakan untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu,
tautologi adalah suatu problem karena, baik keseluruhan maupun bagian, didefinsikan
dalam term keseluruhan. Oleh karena itu, Jeffrey Alexander dan Paul Colomy berusaha
memepertahankan kepentingan dalam topik dengan mengembangkan neofungsionalisme di
pertengahan dekade 1980-an. Istilah neofungsionalisme mempunyai implikasi baik hubungan
yang kuat dengan “fungsionalisme” sebagaimana implikasi dari baru, arah “neo”.
Terakhir, sekalipun tidak secara khusus ditujukan untuk mengkritik teori struktural
fungsional, Giddens yang melontarkan teori strukturasi sosial jelas sangat berbeda dengan
teori struktural fungsional. Perbedaan yang menyolok adalah dalam kaitannya dengan
isu seputar struktur-agensi. Apabila Parsons menganggap bahwa struktur mengekang
individu untuk bertindak, bagi Giddens, struktur sosial tidak selamanya bersifat constrain,
tetapi dapat pula bersifat enabling (mendorong), bahkan memfasilitasi tindakan individu.
Giddens (dalam Waters, 1994: 47) dalam mengembangkan teorinya pertama kali
mengatasi problem struktur-agensi dengan memisahkan agensi dari intensi-intensinya.
Seorang aktor pada dasarnya dapat “diciptakan”, tetapi juga dapat “menciptakan”
masyarakat. Ketika seorang aktor menciptakan masyarakat, dia menjabarkan sumber
daya-sumber daya yang ada padanya yang meliputi makna (sesuatu yang diketahui, the
stock of knowledge), moral (sistem nilai), dan kekuasaan (pola dominasi dan pembagian
kepentingan). Seluruh fenomena sosial skala besar sesungguhnya merupakan pola-pola
interaksi. Namun, selain itu, dapat pula dilihat sebagai struktur-struktur.

E. Perkembangan/Prospek
Teori besar pertama yang berpengaruh dalam sosiologi kesehatan (medical sociology)
adalah struktural fungsional. Berdasarkan karya Talcott Parsons, teori-teori dalam
disiplin ini melihat sehat dan sakit sebagai sebuah sistem, dengan memfokuskan pada
fungsi peran institusi-institusi sosial, seperti ilmu kedokteran dalam mempertahankan
kesehatan masyarakat. Meskipun demikian, kontroversi yang tumbuh pada dekade 1960
hingga 1970-an berkaitan dengan legitimasi dari perspektif ini, yang menahan pengaruh
dan relevansinya. Tidak hanya Parsons (sebagai sosiolog yang paling terkenal pada masa

34
itu) dan penggunaan struktural fungsional membantu menguatkan studi-studi tentang
kesehatan dan kesakitan sebagai sebuah usaha keras sosiologi, pendekatannya juga sangat
membantu dalam melakukan studi pada area-area, seperti hubungan antara pasien dengan
dokter, peran sakit (yang kemudian dikenal sebagai perilaku kesakitan), penyimpangan-
penyimpangan medisalisasi, dan profesionalisme tenaga kesehatan.
Para teoretikus struktural fungsional mempunyai kontribusi penting bagi
perkembangan teori tentang masyarakat pada abad 20. Amos Hawley yang
mengembangkan teori ekologi manusia (human ecology) dalam karyanya yang berjudul
Human Ecology: A Theory of Community Structure. Setelah beberapa dekade dari penelitian
dan kritik, perhatian terhadap ekologi manusia dikembangkan oleh para pengikut aliran
Chicago (Chicago School). Hawley menjawab beberapa aspek problematik dari teori
aslinya dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional dan mendorong perhatian
pada penggunaan ekologi manusia sebagai kerangka penelitian masyarakat dan persoalan
perkotaan. Hawley mendefinisikan komunitas sebagai struktur hubungan-hubungan
melalui masyarakat yang terlokalisasikan menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Komunitas
dipandang sebagai sebuah struktur yang secara fungsional terdeferensiasikan ke dalam
strata, terdiri unit-unit komunal terhubungkan yang membentuk fungsi-fungsi yang
berkontribusi bagi kelangsungan masyarakat dan adaptasinya terhadap lingkungan. Saling
ketergantungan (interdependensi) fungsional dipandang sebagai kekuatan integratif dan
basis bagi kohesi sosial dalam komunitas.
Seperti halnya teori ekologi tradisional yang dikembangkan Chicago School,
Hawley menyatakan kembali teori tentang masyarakat yang terdiri dari sebuah sistem
yang terstruktur dari unit-unit sosial melalui cara mana manusia beradaptasi terhadap
lingkungan dan menjamin sumber daya yang dihasilkannya diperlukan bagi kelangsungan
hidupnya. Meskipun demikian, satu perbedaan penting adalah bahwa dia tidak lagi
menekankan peran kompetisi yang memengaruhi struktur komunitas, tetapi lebih
fokus pada saling ketergantungan fungsional yang dikembangkan unit-unit sosial yang
membentuk komunitas. Term ini kemudian dikenal dengan “ekologi kontemporer”.
Rumusan Hawley berkontribusi bagi bertahannya ekologi manusia sebagai paradigma
teoretis sentral dalam sosiologi perkotaan. Kedua, arti penting perkembangan yang
berkaitan dengan struktural fungsional adalah penerapan teori sistem sosial Parsons
untuk menganalisis komunitas. Parsons mendefinisikan sebuah sistem sosial sebagai
sebuah pluralitas aktor-aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam sebuah
situasi di mana minimal memiliki aspek lingkungan fisik, aktor yang termotivasi dalam
terma kecenderungan untuk “mengoptimumkan kepuasan” (optimization of gratification),
dan hubungan dengan situasi mereka termasuk kepada setiap orang didefinisikan
dan dimediasi dalam terma sistem atau secara kultural terstruktur dan simbol-simbol
bersama.

35
Dalam penerapannya terhadap sebuah komunitas, ide tentang interaksi di antara
aktor-aktor yang heterogen diperluas sehingga meliputi interaksi di antara organisasi-
organisasi atau kelompok-kelompok sosial lainnya. Komunitas didefinisikan sebagai sebuah
teritori geografis yang terdapat di dalamnya sebuah sistem sosial. Dalam kerangka sistem
sosial, komunitas dipandang sebagai sebuah sistem konstituen inklusif yang lebih besar
dari sistem makro masyarakat. Roland L. Warren sebagai salah seorang tokoh pendekatan
ini mendefinisikan komunitas sebagai kombinasi unit-unit sosial dan sistem-sistem yang
membentuk fungsi sosial utama di suatu lokalitas tertentu. Dengan pernyataan yang lebih
tegas, sistem komunitas memungkinkan seseorang melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari
berhubungan dengan dunia luar demi memenuhi kebutuhannya. Warren menggunakan
terma “komunitas pola vertikal” untuk menunjuk pada hubungan-hubungan struktural
dan fungsional dari berbagai unit sosial atau subsistem sosial dengan sistem sosial lain di
luar batas-batas teritorial komunitas. Sementara itu, terma pola horizontal menunjuk pada
hubungan-hubungan struktural dan fungsional antar-unit atau subsistem sosial yang ada
dalam sebuh sistem.
Warren menggunakan terma The Great Change untuk menunjuk serangkaian proses
perubahan sosial yang terjadi pada komunitas di AS yang kehilangan otonomi lokalnya
dalam mengontrol fungsi-fungsi kunci yang memelihara kehidupan anggotanya dan
semakin tergantung pada pola vertikal dari komunitas untuk memelihara anggotanya.
Untuk memiliki sebuah fondasi dalam struktural fungsional, suatu tantangan bersama
di antara ekologi manusia kontemporer dengan pendekatan sistem sosial terhadap
komunitas adalah pandangan tentang komunitas sebagai sistem yang terstruktur secara
sistematis berhubungan unit-unit sosial yang membentuk fungsi-fungsi saling tergantung
yang diperlukan untuk memelihara kehidupan manusia dalam sebuah lingkungan teritori
geografis tertentu (Goe and Noonan, 2007: 458).
Merton mengelaborasi dua orientasi teoretikus: analisis fungsional dan analisis
struktural. Baginya, fungsionalisme merupakan praktik menginterpretasikan data dengan
mempertahankan konsekuensinya bagi struktur yang lebih besar tempat kesimpulannya
diimplikasikan. Pada tahun 1949, ia memublikasikan paradigma yang terkenal, yakni
analisis fungsional. Di sini dia mengerangkakan versi fungsionalisme yang lebih fleksibel,
nondogmatik, melakukan revisi terhadapnya sehingga ia mengonseptualisasikan
konflik sosial dan perubahan sosial. Dia menekankan tidak hanya pada fungsi, tetapi
juga disfungsi dari berbagai komponen dalam sistem sosial yang dikatakannya sebagai
“variabel keseimbangan dari konsekuensi-konsekuensi fungsional”. Dia menyatakan
bahwa komponen-komponen dari suatu sistem sosial dapat saja muncul tidak saja
dalam hubungan-hubungan yang penuh harmoni, tetapi dalam hubungan-hubungan
konfliktual.

36
Disfungsi didefinisikan sebagai kegagalan individu berkontribusi terhadap organsasi
atau sistem secara keseluruhan. Berikut adalah level-level disfungsi (Merton, 1968).
 Conformity: tujuan budaya yang terinternalisasi dan mempunyai akses untuk
memperbaiki sarana mencapai tujuan.
 Innovation: mempunyai tujuan budaya yang terinternalisasi, tetapi tidak mempunyai
akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan.
 Ritualism: mempunyai akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan, tetapi
kehilangan konteks tujuan budaya (inflexible bureaucracy).
 Retreatism: tujuan budaya tidak tercapai demikian juga perbaikan sarana (outcast of
society).
Alexander dan Colomy melihat neofungsionalisme sebagai pendekatan yang
lebih luas dan lebih integratif daripada struktural fungsional tradisional. Meskipun
neofungsionalisme tidak dianggap sebagai teori yang berkembang penuh, tetapi sebagai
suatu “kecenderungan”, Alexander mengidentifikasi beberapa prinsip: (1) ia melihat
masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi (yang tidak
dikontrol oleh kekuatan otoriter) yang membentuk sebuah pola yang terdeferensiasi oleh
faktor lingkungan; (2) perhatian yang kurang lebih sama diberikan kepada tindakan dan
tatanan; (3) integrasi dipandang sebagai sebuah kemungkinan daripada sebuah hasil/
produk; (4) masih menekankan pada persoalan personalitas, budaya, dan sistem sosial
meskipun tekanan antara sistem-sitem ini dilihat sebagai sumber kontrol dan perubahan;
(5) fokus pada perubahan sosial, terutama diferensiasi dalam personalitas, budaya, dan
sistem sosial; dan (6) berimplikasi pada otonomi konseptualisasi dan teori dari berbagai
level invetigasi sosiologik (Ryan, 2005: 803).
Jeffrey Alexander dan Paul Colomy mengembangkan teorinya pada pertangahan
dekade 1980-an yang kemudian dikenal sebagai “neo-fungsionalisme”. Teori ini
merupakan upaya “elaborasi” atau “revisi” atau “rekonstruksi” terhadap teori struktural
fungsional yang sudah mulai kehilangan pengaruhnya dalam teori sosialogi sejak dekade
1960-an. Alexander dan Colomy mendefinisikan neofungsionalisme sebagai rangkaian
kritik diri teori struktural fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual
fungsional yang mempertahankan inti teorinya. Karena teori struktural fungsional
dianggap sempit, untuk itu diperlukan teori sintesis yang dapat mengatasi problem,
anti-individualisme, antagonisme terhadap perubahan, konservatisme, idealism, bias
anti-empiris, serta mampu mengatasi keterbatasan teori deferensiasi.
Menurut Cuff et. al. (2006: 274), neo-fungsionalis mengikuti alur analisis Parsonian
dengan memercayai beberapa prinsip berikut.
 Fungsionalisme mendeskripsikan masyarakat sebagai sebuah sistem yang relatif
mandiri, yang terorganisasi melalui interaksi antar-bagiannya, tetapi tanpa bahwa

37
di sana tidak ada penolakan prinsip atau kekuatan yang mengarahkan sistem sebagai
suatu keseluruhan.
 Ide-ide tentang keseimbangan sistem dan integrasi sistem merupakan alat analisis
untuk membantu mendeskripsikan masyarakat meskipun tanpa asumsi bahwa
anggota masyarakat berusaha mencapai kondisi tersebut. Alexander (1985)
mengatakan bahwa integrasi adalah sebuah kemungkinan dan penyimpangan serta
kontrol sosial merupakan fakta. Dengan demikian, menjadi sangat jelas bahwa asumsi
bahwa masyarakat terintegrasi secara penuh bukan asumsi yang naïf.
 Diasumsikan terdapat beberapa tingkat integrasi kebudayaan, kepribadian, dan sistem
sosial. Asumsi naif bahwa integrasi sempurna kebudayaan, personalitas dan sistem
sosial harus ditolak, inter, dan antar-elemen tegangan yang menghasilkan tegangan
dan memprovokasi perubahan.
 Perubahan bukan hanya sebuah produk tegangan-tegangan. Sesungguhnya,
perubahan sering menghasilkan tegangan. Terdapat evolusi jangka panjang
masyarakat Barat melalui diferensiasi progesif budaya yang tidak tedeferensiasi
sebelumnya. Perubahan-perubahan ini mendorong masyarakat secara keseluruhan
dari yang relatif terintegrasi ke tingkat lain, dan kemudian mengalami reintegrasi
pada tingkat adaptabilitas yang lebih tinggi.
Selain Alexander dan Colomy, tokoh lain yang berusaha mengembangkan dan
“membela” teori struktural fungsional dalah sosiolog Jerman, Richard Much. Menurut
Munch (2008: 195–253), tradisi teoretikus Parsonian sedang mengalami pembaruan yang
menakjubkan. Meskipun pendekatan ini sudah dinyatakan mati oleh banyak sosiolog
selama tahun 1970-an, tetapi yang mengejutkan, di tahun 1980-an muncul sejumlah
pendekatan baru yang ingin membangun kembali teori Parsonian pada tingkatan yang sama
sekali baru. Munch berusaha menyintesiskan teori Parson dengan pendekatan-pendekatan
yang saling berlawanan. Pada tingkatan metateori, Munch mengintegrasikan pendekatan-
pendekatan metodologi, seperti ideografis, tipe-ideal, nomologis, dan konstruktivis.
Masing-masing bentuk prosedural ini dapat dianalisis dengan varian positivistik maupun
idealistik. Langkah berikutnya adalah menempatkan penghubung antara metode-metode
penjelasan kausal dan telenomik positivistik, dengan metode-metode idealistis yang
menyoroti aspek normatif dan dunia kehidupan atau interpretasi rasional. Sementara itu,
di tingkatan teori, Munch mengintegrasikan utilitarianisme dengan teori konflik sebagai
varian positivisme dan sosiologi dunia-kehidupan normatif, serta teori rasionalisme budaya
sebagai varian-varian idealisme. Akhirnya, integrasi harus dilakukan antara teori-teori
tentang perubahan sosial, sosiologi makro dan sosiologi mikro, individualisme dan
kolektivisme, serta teori tindakan dan teori sistem.
ooo0ooo

38
BAB II

TEORI KONFLIK

A. Sejarah
Teori konflik berkembang pertama kali pada dekade 1950–an hingga 1960–an,
seiring dengan meredupnya pengaruh teori struktural fungsional. Sebagaimana teori
struktural fungsional, teori konflik pertama berkembang di daratan Eropa dan kemudian
menyeberang ke Amerika berkat peran sejumlah teoretikus. Ralf Dahrendorf, seorang
eksponen teori konflik utama, memulai kariernya di Hamburg. Ia pernah menjadi direktur
London School of Economics (1974–1984) sebelum kemudian mengabdikan dirinya
di St. Antony’s College, Oxford (1987–1997). Lewis Coser juga seorang imigran dari
Eropa yang mengembangkan teori konflik, terutama memfokuskan pada fungsi konflik
bagi masyarakat. Coser secara konsisten mengkritik teori fungsional yang “menguasai”
dunia akademik Amerika. Selain itu, Coser juga mengkritik kebijakan represif terhadap
perkembangan pemikiran Marxis (komunis) pada dekade 1950-an.
Teori konflik merupakan teori yang berkembang sebagai reaksi dan kritik langsung
terhadap teori struktural fungsional. Para teoretikus konflik menganggap bahwa teori
struktural fungsional memiliki sejumlah kelemahan mendasar dalam menganalisis realitas
sosial. Kelemahan yang menyolok menurut para teoretikus konflik terletak pada sejumlah
asumsi yang digunakannya. Keberatan para teoretikus konflik terhadap teori struktural
fungsional terutama terletak pada pandangan bahwa konflik yang dilihatnya sebagai
patologis dan bersifat destruktif bagi masyarakat. Teori konflik sebaliknya melihat bahwa
masyarakat pada dasarnya memiliki unsur-unsur konflik, selain unsur-unsur integratif
semisal konsensus sosial.
Teori konflik yang pada mulanya berkembang di benua Eropa berakar dalam
karya-karya Marx, Weber, dan Simmel. Karya-karya awal Marx dapat dipandang sebagai
titik tolak perkembangan teori konflik. Bagi Marx, sejarah manusia pada dasarnya
merupakan sejarah perjuangan manusia. Hubungan antara sumber daya material

39
dan akuisisi adalah sirkular. Pihak yang satu mengontrol yang lain karena memiliki
sumber daya yang lebih banyak dibandingkan pihak yang dikontrol tersebut. Tingkat
ketimpangan kekuasaan yang paling ekstrem terjadi pada masyarakat kapitalis. Dalam
masyarakat kapitalis ini, moda produksi dan hak milik diprivatisasikan. Dalam moda
produksi seperti ini, komoditas (termasuk tenaga kerja) diperjualbelikan di pasar guna
mendapatkan uang. Secara umum, kondisi buruh mengalami alienasi. Kondisi buruh
yang tindak menguntungkan pada gilirannya akan melahirkan revolusi yang merupakan
ekspresi konflik kaum buruh terhadap kaum borjuis pemilik kapital.
Dalam The German Ideology, Marx dan Engels mulai mengangkat persoalan
ideologi dan mengkritik—sesuatu yang ironis, mengingat pengistimewaan proletariat
dalam teori mereka—pretensi kaum borjuis bahwa kepentingan mereka tak lain adalah
kepentingan rakyat umum. Pada tahun 1848, Marx dan Engels menerbitkan karyanya
yang amat terkenal: The Communist Manifesto. Karya ini merupakan sebuah polemik
yang brilian dan menguraikan satu dimensi utama proyek Marx: suatu penilaian atas
peradaban kapitalis yang sangat ambivalen, peradaban yang menjadikan segala sesuatu
menjadi mungkin, dan serentak menyingkirkan realisasi-diri potensi kemanusiaan.
Dalam karya ini juga terdapat aksioma bahwa semua sejarah adalah sejarah perjuangan
kelas. Model dua kelas Marx pada akhirnya banyak ditiru oleh banyak ilmuwan lain
(Beilharz, 2005: 272).
Pemikiran Weber juga dapat dianggap sebagai akar perkembangan teori konflik.
Weber, sebagaimana Marx, juga menaruh perhatian pada persoalan kekuasaan. Bagi
Weber, kekuasaan merupakan konsekuensi tindakan manusia intensional. Kekuasaan
merupakan aspek cara manusia berhubungan satu sama lain. Weber (Waters, 1994:
222) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan seorang aktor memaksakan
kehendaknya kepada orang lain sekalipun mendapat resistensi. Kualitas kepribadian
seseorang dan kombinasi dari beberapa kualitas yang dimilikinya memungkinkan
seseorang mengontrol orang lain. Weber memusatkan analisisnya pada bentuk-bentuk
kekuasaan yang mendasari setiap relasi sosial. Tipe kekuasaan tersebut adalah dominasi
(Herrschaft).
Sementara itu, Simmel mengembangkan konsep alienasi Marx ke dalam filsafatnya.
Aktivitas mental dapat didefinisikan sebagai memproduksi sesuatu yang mempunyai
arti dan mengatur diri, serta memiliki potensi menjadi asing dari asal-usulnya. Hidup
tidak dapat dilihat selain dalam cara lain subjek yang secara kontinu menguasai sesuatu
yang tidak familiar untuk seterusnya menjadi tidak asing bagi dirinya. Ketika Marx
menyadari adanya kebobrokan masyarakat kapitalis, Simmel melihat fenomena yang
tak terelakkan pada kondisi manusia secara umum. Seperti halnya dalam hubungan
ayah-anak, produk mental lebih dilihat sebagai teremansipasikan daripada teralienasikan.
Hal itu bukan suatu yang mengada-ada, melainkan sesungguhnya ada dengan sendirinya.

40
Simmel menyebutnya sebagai Mehr-als-Leben-Sein (lebih dari sekadar hidup) (Helle,
2005: 698–699).
Dalam perkembangannya, teori konflik ini tumbuh subur di Amerika terutama
pada pertengahan abad 20 yang diinspirasi teori kritik Eropa terhadap teori struktural
fungsional. Kritik paling awal terhadap fungsionalisme datang dari David Lockwood dan
Ralf Dahrendorf, yang berpendapat bahwa teori fungsional, khususnya versi Parsonian,
terlalu optimistik terhadap integrasi masyarakat dan tidak memperhitungkan konflik
dan perubahan sosial. Kritik semacam ini kemudian diteruskan oleh Lewis Coser yang
berpendapat bahwa, baik teori konflik maupun struktural fungsional, terlalu ekstrem
dalam menilai fungsi konflik. Kritik-kritik terhadap teori struktural fungsional semakin
kuat dilancarkan pada era dekade 50-an hingga 60-an ketika terjadi eskalasi gerakan
mahasiswa di Amerika dan isu Perang Vietnam.
Fungsionalisme dalam pandangan teoretikus konflik dilihatnya sebagai ideologi
konservatif yang secara politis hanya melahirkan justifikasi terhadap status quo.
Kritik-kritik tersebut sebenarnya terlalu berlebihan dan tidak melahirkan alternatif
teoretikus baru. Namun demikian, tak urung hal itu menyebabkan pudarnya pamor teori
fungsionalisme khususnya teori aksi Parsons. Kritik terhadap fungsionalisme menandai
bangkitnya tradisi teori konflik Eropa di Amerika dan pada pertengahan dekade 1970-an,
pendekatan Max dan Weber kembali memengaruhi teori konflik modern, dengan
digunakannya ide-ide dari Simmel. Apabila dirunut agak jauh ke belakang, benih-benih
pemikiran teori konflik sebenarnya telah ada sejak abad 17, yaitu ketika Thomas Hobbes
melalui karyanya Leviathan menyatakan bahwa kondisi bellum omnium contra omnes
(perang semua lawan semua), terjadi ketika di masyarakat tidak ada aturan yang secara
efektif mampu mengendalikan hasrat manusia yang cenderung menjadi “serigala” bagi
yang lain. Karya Marx yang ditulis 2 abad kemudian, The German Ideology, juga menjadi
sumber inspirasi para teoretikus konflik dalam mengembangkan teorinya.

KRONOLOGI SEJARAH TEORI KONFLIK

TAHUN KETERANGAN
1651 Karya Thomas Hobbes yang berjudul Leviathan antara lain menyebutkan bahwa Hidup adalah “buruk, biadab, dan pendek”.

1846 Marx memublikasikan The German Ideology, berisi studi tentang historis materialisme.
1848 Marx dan Engels memublikasikan The Communist Manifesto, yang berisi antara lain seruan untuk melakukan revolusi.
1848 Terjadi revolusi kaum buruh di berbagai negara di Eropa.
1848 Mill membantah ide-ide sosialisme dalam bukunya Principles of Political Economy.

1852 Marx menawarkan analisis Revolusi Prancis dalam bukunya The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
1867 Marx memublikasikan Capital: A Critique of Political Economy, volume 1.
1884 Volume 2 dari Capital: A Critique of Political Economy diterbitkan. Volume 3 diterbitkan 10 tahun kemudian

41
1916 Lenin mengembangkan ide-ide Marx yang dituangkan dalam karyanya berjudul Imperialism, The Highest Stage of Capitalism.
1917 Terjadi revolusi Rusia yang diinspirasi idealisme Marx dengan menggulingkan Tsar.
1923 György Lukács memublikasikan History and Class Consciousness.
1933 Nazi membuka untuk pertama kalinya kamp konsentrasi di Dachau.
1939 Perang Dunia II meletus dipicu oleh invasi Jerman ke Polandia.
1941 Di Auschwitz, Nazi mulai menggunakan gas Zyklon untuk membunuh kaum Yahudi.
Max Horkheimer dan Theodor Adorno mencari penjelasan mengapa pencerahan gagal memenuhi janjinya membawa
1949
kemajuan, rasionalitas, dan tatanan. Kesemuanya dituangkan dalam karyanya yang berjudul The Dialectic of Enlightenment.
1956 Karya Ralf Dahrendorf yang berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society menjadi buku teks dasar teori konflik.

Lewis Coser memublikasikan The Functions of Social Conflict. Ia mengintegrasikan ide-ide Simmel tentang konflik
1956
dengan pendekatan struktural fungsional.

1968 Revolusi pelajar dan mahasiswa terjadi di Eropa dengan pusatnya di Prancis.
Randall Collins memublikasikan Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. Dalam karyanya ini, dia
1975
mengembangkan orientasi mikroskopik dalam teori konflik.
Karya Theda Skocpol, States and Social Revolutions, menunjukkan bahwa struktur negara, kekuatan-kekuatan
1979
internasional, dan hubungan-hubungan klas mempunyai kontribusi bagi transformasi revolusi.

Tabel 2. Kronologi Sejarah Teori Konflik

Sumber : diolah dari Jon A. Lemich (Ritzer, 2005: 899).

B. Pemikiran/Filsafat Sosial yang Memengaruhi


Ferguson dan John Millar (1735–1801) dapat dikatakan merupakan peletak dasar teori
konflik. Mereka melihat bahwa perubahan sosial berasal dari kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan. Sementara itu, Adam Smith menggambarkan masyarakat bahwa
melalui mekanisme sistem pasar. Dalam mekanisme ini, kepentingan dasar manusia bebas
dan pada saat yang sama juga terkontrol. Dalam karyanya yang berjudul The Theory of Moral
Sentiments (1971), Smith menganalisis elemen-elemen interaksi, seperti hasrat (nafsu),
kecenderungan, afeksi, dan perasaan yang membentuk masyarakat. Sentimen moral harus
dipandang sebagai ekspresi sementara kehidupan sosial. Menurut Smith, manusia diberkahi
Tuhan dengan sentimen moral yang membuat manusia terikat satu sama lain. Jadi, menurut
Smith, unsur utama tatanan dan kohesi sosial adalah prinsip-prinsip resiprositas selain
konflik antar-individu dan konflik kolektif. Dalam bukunya The Wealth of Nations (1963),
Smith mengonversi konsep mutualitas ke dalam problem hubungan-hubungan pertukaran,
fundamental bagi ekonomi masyarakat sipil.
Salah satu pemikiran yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan teori
konflik adalah analisis Marx tentang konflik yang menyatakan bahwa konflik utama yang
terjadi di masyarakat adalah konflik antar-kelas. Sejarah sosial menurutnya pada hakikatnya
merupakan sejarah perjuangan kelas. Dalam pandangan Marx, setiap tipe masyarakat selalu
terdapat di dalamnya dua kelas yang saling berbeda kepentingannya secara diametrikal
42
sehingga menimbulkan konflik di antara keduanya. Pada masyarakat feodal terdapat kelas
tuan tanah yang berhadapan dengan buruh. Sementara itu, pada masyarakat kapitalis terjadi
pertentangan antara kelas kapitalis (borjuis) dan kelas proletar. Hubungan antar-kelas yang
eksploitatif menjadi faktor inheren timbulnya konflik di masyarakat.
Dalam pandangan Marx sebagai teoretikus konflik awal, kelas yang ada di masyarakat
terdiri dari kelas yang memiliki kekayaan dan kelas proletar yang terdiri dari kaum buruh
yang hanya memiliki tenaga kerja. Menurut Marx, masyarakat terbangun karena konflik
yang terjadi antara “kelas pemilik” dan “kelas buruh”. Sejarah masyarakat hakikatnya
pada akhirnya akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas. Pada tahap perkembangan
ini, tidak ada lagi eksploitasi di masyarakat dan semua orang dapat bekerja sesuai dengan
kemampuannya serta mendapatkan segala apa yang dinginkannya. Segala sesuatu yang
terjadi di masyarakat pada dasarnya disebabkan oleh hubungan-hubungan ekonomi.
Penjelasan semacam ini dikenal sebagai “ekonomi deterministik”.

KONSEP DASAR MARX TENTANG STRUKTUR MASYARAKAT


Sistem-sistem: Politik, Ekonomi, Media, Agama,
Superstruktur Institusi Sosial
Keluarga…
Hubungan Produksi Pemilik (borjuis) à buruh (proletar)
Infrastruktur
Alat/Kekuatan Produksi Tanah, Pabrik, Mesin

Tabel 3. Konsep Dasar Marx Tentang Struktur Masyarakat

Sumber: Armstrong (1995: 36).

Selain Marx, teori konflik juga mendapat kontribusi pemikiran dari Weber.
Menurut Turner (2005), terdapat tiga alur analisis konflik yang muncul di Amerika,
dua di antaranya berakar dari teori Mark dan Weber dan satunya merupakan kombinasi
elemen-elemen, baik dari Mark maupun Weber. Ketiga aliran tersebut sering dinamakan
neo-Marxist, neo-Weberian, dan teori konflik historical-comparative. Di samping itu,
terdapat teori yang lebih spesifik yang berhubungan dengan gerakan sosial dan identitas
politik (seperti etnisitas dan gender). Meskipun demikian, teori kritis tidak mengalami
kebangkitan yang sama di Amerika, masih didominasi oleh teori konflik yang berkembang
di Eropa yang ditandai dengan bangkitnya kembali teori konflik Marxian.
Teori konflik atau sering pula disebut paradigma konflik merupakan kerangka
teori yang melihat masyarakat sebagai sebuah arena tempat kesenjangan yang ada di
dalamnya berpotensi menimbulkan konflik dan perubahan. Konflik dapat terjadi inter
dan antar-kelompok tidak terbatas pada tipe dan ukuranya, seperti klan, suku, keluarga,
negara, dan sebagainya. Konflik tersebut merupakan unsur utama dalam politik dan
perubahan sosial. Masyarakat bahkan terbentuk dari konflik-konflik antar-kelompok

43
utama. Menurut beberapa teoretikus konflik, kelompok-kelompok tersebut merupakan
klas ekonomi utama masyarakat.
Teoretikus konflik memfokuskan pada kekuatan-kekuatan di masyarakat yang
meningkatkan kompetisi dan perubahan. Mengikuti tradisi pemikiran Karl Marx,
teoretikus konflik tertarik pada bagaimana kelas yang memiliki kekuasaan berusaha
mengontrol kelas yang tidak memiliki kekuasaan. Teoretikus konflik tidak membatasi
perhatiannya pada tindakan-tindakan konflik kekerasan. Mereka juga tertarik pada
kompetisi-kompetisi non-kekerasan antar-kelompok dalam masyarakat—laki-laki
dengan perempuan, antar-generasi, antar-ras, dan latar belakang nasional. Beberapa topik
yang termasuk dalam lingkup studi sosiologi konflik meliputi pembuatan keputusan
dalam rumah tangga, hubungan-hubungan antar-kelompok ras, dan perselisihan antara
maapabilan dan buruhnya. Menurut para teoretikus konflik, persaingan memperebutkan
sumber daya yang langka merupakan basis konflik sosial.
Hal tersebut disebabkan karena sumber daya, seperti kekuasaan dan kekayaan
terbatas dan orang harus berkompetisi untuk mendapatkannya. Ketika satu
kelompok memperoleh kontrol terhadap sumber daya masyarakat, mereka cenderung
mempertahankan aturan dan hukum guna melindungi kepentingannya. Hal ini
mendorong terjadinya konflik, yaitu ketika kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
berusaha memperoleh akses terhadap sumber daya yang diinginkannya. Konflik pada
gilirannya mendorong terjadinya perubahan sosial. Jadi, teoretikus konflik melihat
bahwa perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan
sosial sering justru bermanfaat bagi masyarakat meskipun terkadang berlangsung disertai
kekerasan di dalamnya. Dalam pandangan teori konflik, konflik merupakan fenomena
universal, sebagaimana kesenjangan sosial yang semakin melebar, sementara konsensus
sosial merupakan fenomena yang sangat langka terjadi. Teori konflik tergolong pada
pendekatan sosiologi makro.
Berdasarkan uraian mengenai perkembangan teori konflik, apakah kemudian kita
dapat mengatakan bahwa beberapa dekade setelah menurunnya pengaruh struktural
fungsional, pendekatan konflik menjadi dominan dalam memahami tatanan sosial?
Pertama, teori konflik menyimbangkan kecenderungan teori fungsional yang terlalu
menekankan integrasi. Kritik yang ditujukan kepada teori konflik adalah teori ini
terlalu sering mengabaikan beberapa ide teori fungsional, padahal ide-ide tersebut
dapat ditemukan kembali pada perkembangan teori konflik kontemporer. Kedua, teori
konflik mengembangkan analisis dinamika konflik dalam beberapa arena spesialisasi
substantif sosiologi, seperti keluarga, gender, pendidikan, organisasi, hukum, budaya, dan
komunitas. Selain itu, teori konflik mengalami revitalisasi di beberapa area kajian, seperti
perilaku kolektif, gerakan sosial, hubungan antar-etnik, sosiologi sejarah, stratifikasi,
dan sosiologi politik. Ketiga, satu kekuatan baru bergerak di belakang kebesaran teori

44
konflik, seperti kajian-kajian sosiologis tentang sistem dunia dan studi dampak globalisasi.
Keempat, dan mungkin yang paling penting, seperangkat prinsip teoretikus konflik
dapat digunakan dalam beberapa konteks tempat berbagai jenis ketimpangan menjadi
fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah peradaban manusia.

C. Substansi
Esensi teori konflik adalah pengakuannya bahwa realitas sosial diorganisasikan berdasarkan
ketimpangan distribusi nilai dan sumber daya, seperti kesejahteraan material, kekuasaan
dan prestise dan ketimpangan-ketimpangan lain yang secara sistematik meningkatkan
tegangan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kondisi-kondisi khusus seperti itu
meningkatkan eskalasi berbagai bentuk konflik antara orang yang memiliki nilai dan
sumber daya dengan orang yang tidak memilikinya.
Teori konflik mengalami kebangkitan karena beberapa premisnya digunakan
untuk melawan bias konservatif dari teori fungsionalisme. Akan tetapi, selama
perkembangannya, teori konflik terpecah menjadi beberapa varian. Salah satu varian
teori konflik yang membuat teori menjadi lebih abstrak adalah berasal dari analisis Marx
tentang konflik kelas dan perluasan ke seluruh sistem sosial tempat terjadi ketimpangan
kekuasaan (Dahrendorf, 1959). Pendekatan ini mengambil apa yang digunakan Marx,
kemudian pendekatan tersebut dimodifikasi dengan menambahkan ide-ide dari Weber
dan Georg Simmel sehingga menghasilkan teori konflik abstrak yang meliputi sistem
secara keseluruhan. Dalam beberapa versi teori abstraksi Marxis, dijelaskan mengenai
kondisi-kondisi yang menghasilkan kesadaran kelas di kalangan subordinat dari
kepentingannya dalam perubahan ketimpangan yang ada. Penjelasan ini mengikuti Marx,
tetapi dengan tambahan mengenai syarat penting, yakni adanya subordinat yang lebih
terorganisasi, yang terlibat dalam konflik kekerasan (pada dasarnya klas subordinat lebih
menyukai negosiasi dan kompromi). Hal ini sungguh kontras dengan pandangan Marx.
Pendekatan ini berpendapat bahwa organisasi yang baru, kemunculan ideologi, dan
kepemimpinan awal akan cenderung membuka peluang terjadi konflik dan kekerasan.
Pada situasi ini, organisasi politik tingkat tinggi, ideologi-ideologi yang terakulasi secara
jelas, dan mapannya pemimpin cenderung mengarah negosiasi dan kompromi, suatu
jalur argumentasi teoretis terhadap Marx, tetapi juga Weber dan Simmel.
Para teoretikus konflik tidak menghasilkan karya yang sebanding dengan teori
struktural fungsional, terutama teoriasi yang sistematik ala Parsons. Hal ini kemungkinan
karena ide sentral teori konflik secara esensial merupakan pernyataan kembali
konsepsi-konsepsi Marxian dan Weberian. Konsep Weber tentang masyarakat sebagai
sebuah arena konflik tempat kelompok berkompetisi memperoleh dominasi ekonomi,
budaya, dan politik. Sementara itu, Parsons menghasilkan kerangka analisis yang

45
dapat diterapkan di semua level tatanan sosial, teori konflik hanya fokus pada tingkat
masyarakat secara keseluruhan. Seperti halnya Weber dan juga Marx, para teoretikus
konflik menekankan fenomena kontestasi dominasi di dalam sistem stratifikasi sosial.
Bagi teori konflik, stratifikasi merupakan ciri pokok pengorganisasian masyarakat
terutama dengan suatu pandangan yang menunjukkan derajat tempat intitusi lain dan
ciri-ciri kebudayaan yang dibentuk dan citranya serta struktur yang diperuntukkan
memenuhi kepentingan satu strata dibandingkan strata yang lain.
Secara umum, teori konflik menekankan ciri-ciri dinamika internal masyarakat:
distribusi penduduk pada masing-masing strata sosial yang merefleksikan perbedaan
akses sumber daya; kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antar-kelompok
dan kelas sosial; kemampuan kelompok dominan mempertahankan dominasinya, baik
melalui persuasi maupun paksaan terhadap kolompok lain agar mematuhi aturan dan
memenuhi kewajiban-kewajibannya; serta perjuangan kelompok subordinat sebagai
stimulus perubahan sosial. Meskipun demikian, berbeda dengan citra yang diterima
luas bahwa teori konflik mengonsentrasikan pada perjuangan kelas dan perubahan
revolusioner, terdapat pula teori konflik yang menaruh perhatian pada penjelasan
bagaimana bentuk-bentuk disruptif dari konflik yang dihindari dan mekanisme
perubahan sosial terinstitusionalisasi yang cenderung terjadi dalam kerangka stabilitas
sosial. Teori konflik memiliki sejumlah eksponen yang memberikan kontribusi bagi
perkembangan teori konflik (Johnson, 2008: 393). Berikut ini adalah pandangan
masing-masing eksponen teori tersebut.

1. Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf lahir pada tahun 1929. Pada masa itu, Jerman dikuasai oleh Nazi
sehingga sejak kecil Dahrendorf mempunyai banyak pengalaman terhadap kekejaman
rezim tersebut. Setelah usai Perang Dunia II, ia terlibat dalam politik praktis di Jerman
Barat selain mengembangkan karier akademiknya. Dahrendorf bahkan pernah menjadi
anggota parlemen. Pemikiran-pemikirannya mempunyai pengaruh luas tidak terbatas di
negaranya karena ia pernah menduduki jabatan prestisius sebagai direktur London School
of Economics. Teori konflik Dahrendorf menarik perhatian banyak pihak terutama
para sosiolog Amerika ketika ia memublikasikan karyanya yang berjudul Class and Class
Conflict in Industrial Society pada tahun 1959.
Dahrendorf merupakan salah satu penerus sekaligus yang melakukan revisi atas
pemikiran Marx. Berbeda dengan Marx, Dahrendorf mempunyai pandangan tentang
stratifikasi sosial bahwa pengelompokan kelas tidak hanya didasarkan atas pemilikan
sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Menurutnya,
faktor penentu stratifikasi sosial bukan pada kepemilikan alat produksi, melainkan pada
kontrol terhadap alat produksi tersebut. Antara kepemilikan dan kontrol terhadap alat
46
produksi harus dibedakan karena kenyataannya kedua hal tersebut mengalami perubahan
seiring berkembangnya kapitalisme. Pada awal perkembangan kapitalisme, pemilik
alat produksi adalah juga yang melakukan kontrol terhadapnya sehingga keduanya
tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, ketika kapitalisme berkembang hingga tahap
post-kapitalisme seperti saat ini, antara pemilik dan pemegang kontrol alat produksi
dipisahkan. Pemilikan alat produksi tersebar secara luas di kalangan pemegang saham
sementara pemegang kontrol alat produksi dimiliki oleh para eksekutif profesional atau
menajer yang mengenndalikan perusahaan.
Analisisnya mengenai perkembangan kapitalisme ini merupakan koreksi Dahrendorf
atas pemikiran Marx. Pada abad 19, menurut Dahrendorf, telah terjadi perubahan besar
pada masyarakat industri, yakni dekomposisi modal dan dekompoisisi tenaga kerja serta
tumbuhnya kelas menengah baru. Terjadinya dekomposisi modal menyebabkan para
analis mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolitis yang
disebabkan para pegawai rendahan pun kini dapat ikut menjadi pemilik perusahaan
melalui sistem pasar saham. Terjadinya dekomposisi tenaga kerja menyebabkan kaum
pekerja pada hakikatnya bukanlah suatu kelas yang homogen, melainkan tersusun dalam
sebuah hierarki kekuasan yang kompleks. Kedua proses tersebut mendorong tumbuhnya
kelas menengah baru berkat meningkatnya kesejahteraan pada (sebagian) kelas pekerja.
Pada masyarakat tersebut juga terjadi mobilitas antar-kelas, tumbuhnya kesamaan hak
sipil dan politik, meningkatnya peran pemerintah dalam berbagai bentuk redistribusi
pendapatan guna meningkatkan kesejahteraan sosial, dan memantapkan mekanisme
institusional. Berbagai karakteristik perkembangan tersebut tidak mendapat perhatian
Marx ketika menganalisis kapitalisme tahap awal. Dengan demikian, penjelasan Marx
tentang pembentukan kelas dan konflik kelas hanya relevan untuk masyarakat kapitalisme
tahap awal, bukan pada masyarakat industri postcapitalist.
Apabila fokus analisis teori Marx hanya terbatas perusahaan, teori Dahrendorf lebih
luas. Teori Dahrendorf dapat diterapkan pada semua jenis organisasi sosial. Dalam hal
ini, Dahrendorf mengklaim bahwa teorinya dapat diterapkan untuk semua jenis “asosiasi
yang di(ter)koordinasi secara imperatif” (imperatively coordinated association/ICA’s). Istilah
tersebut dipinjam dari Weber untuk menunjuk pada semua tipe organsiasi sosial atau
sistem sosial, terutama organsiasi formal pada masyarakat industri, baik yang bertipe
kapitalistik maupun sosialistik. Menurut Dahrendorf, konflik merupakan suatu kondisi
yang tidak dapat dipisahkan karena terjadi divergensi kepentingan antar-kelas dalam
hierarki kekuasaan dan kewenangan. Namun demikian, pada masyarakat industrial
modern, terdapat berbagai mekanisme yang dikembangkan untuk mereduksi dan
mengendalikan konflik kelas. Akibatnya, konflik tidak berkembang menjadi disruptif
dan revolusioner sebagaimana yang diperkirakan Marx.

47
Dahrendorf, dalam mengembangkan teori konfliknya, tertarik pada isu otoritas
(authority). Dia menyatakan bahwa otoritas berasal dari posisi sosial, bukan pada karakteristik
individual. Secara khusus, Dahrendorf tertarik pada konflik antar-posisi sosial pada level
analisis sosiologi makro. Otoritas (kewenangan) menurut Dahrendorf berimplikasi baik
pada superordinasi maupun subordinasi. Pemegang otoritas kekuasaan dimungkinkan
karena adanya ekspektasi sosial terhadapnya bukan semata-mata didasarkan karena
memiliki karakteristik-karaktesitik personal sebagai pemimpin. Dahrendorf berpendapat
bahwa otoritas tidak mempunyai sifat yang konstan. Otoritas memiliki keterbatasan ruang
dan waktu. Dengan kata lain, orang yang memiliki otoritas di satu tempat mungkin tidak
memiliki hal yang sama di tempat lain. Demikian pula orang yang memiliki otoritas saat ini
mungkin tidak lagi di lain waktu. Selanjutnya menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan
otoritas terbagi dalam dua kelompok kepentingan yang saling bertentangan, yakni antara
yang ingin mempertahankan otoritas tersebut dan kelompok kepentingan yang ingin
melakukan perubahan (perebutan) otoritas. Konsekuensinya adalah posisi pemegang otoritas
selalu mengalami risiko penggulingan (kudeta).
Dahrendorf mengasumsikan bahwa teori kelas dapat dibagi menjadi dua elemen,
yakni teori pembentukan kelas dan teori tindakan kelas sebagai teori konflik. Daya tarik
dari pembagian analitis ini konsisten dengan pemikiran-pemikiran tentang pembentukan
kelas yang saat ini banyak dilakukan studi terhadapnya. Diskusi tentang konsep kelas saat
ini berbasis pada pembedaan Dahrendorf antara “pembentukan kelas” dan “tindakan
kelas”. Sebagai contoh, Sorensen (2000) and Goldthorpe (2000a) membedakan tiga
tipe utama konsep kelas. Mereka memulai dengan sebuah konsep yang menghasilkan
kategorisasi nominal orang berdasarkan dimensi-dimensi stratifikasi penting yang
berkaitan dengan kesempatan hidup, kondisi, sikap-sikap, nilai-nilai, dan pola-pola
tindakan. Kedua kelas yang berkaitan dengan posisi-posisi yang mendorong individu ke
dalam kolektivitas berdasarkan identitas-identitas budaya. Ketiga, yang paling ambisius,
berkaitan dengan tujuan tindakan kelas yang didefinisikan sebagai kolektivitas dalam terma
kepentingan umum dan motivasi yang dirancang dalam konflik dengan kelas lain.
Selanjutnya, beberapa asumsi teori konflik Dahrendorf adalah sebagai berikut.
1. Di mana pun bisa terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan, dan kontribusi
tiap-tiap elemen itu terhadap perubahan dan disintegrasi masyarakat.
2. Kelompok dalam masyarakat perlu dikoordinasikan dan dibentuk oleh dua agregat
dominasi dan kepatuhan.
3. Tiap-tiap agregat memiliki kepentingan laten umum yang menggambarkan basis
kelompok semu (quasi group).
4. Kepentingan laten tersebut dapat diartikulasikan dalam kepentingan yang jelas
sehingga kelompok semu menjadi kelas sosial (mempunyai kepentingan nyata).

48
5. Artikulasi tersebut bergantung pada adanya beberapa faktor, yakni kondisi teknis,
politis, sosial, dan psikologis.
6. Apabila kondisi-kondisi ini ada, intensitas konflik kelas bergantung sejauh mana
kondisi itu eksis dan sejauh mana kelompok dan konflik itu diletakkan sehingga
bagian lain masih dapat terlihat, distribusi otoritas dan imbalan, dan keterbukaan
sistem kelas.
7. Kekerasan konflik kelas tergantung pada sejauh mana kondisi-kondisi itu ada,
yaitu pada sejauh mana kemiskinan mutlak memberikan celah perubahan menjadi
kemiskinan yang relatif dan bagaimana konflik itu ditata secara efektif.
Dahrendorf melihat bahwa masyarakat terdiri dua karakteristik yang saling
berdampingan, yakni unit yang statik dan unit dinamis selain integrasi dan konflik.
Selanjutnya, ia memfokuskan pada penolakan terhadap klaim teori struktural fungsional
tentang perubahan sosial dan konflik. Menurutnya, tidak ada pendekatan sistematik
sebagai instrumen analisis yang mampu menciptakan universalitas teori. Meskipun
demikian, Dahrendorf (1959) merasa perlu memperbaiki premis teori struktural
fungsional tentang integrasi bahwa “elemen-elemen variabel dinamik” yang memengaruhi
konstruksi struktur sosial bukan berasal dari luar sistem, melainkan berasal dari dalam
sistem tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dahrendorf membuat perbandingan antara
masyarakat Eropa dan Amerika. Masyarakat Eropa demikian menurut Dahrendorf
ditandai dengan sistem sosial superimposisi negara, yaitu satu sistem institusional melapisi
yang lain dan masing-masing saling berkaitan. Institusi gereja, negara, pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan, hukum, dan sebagainya saling berkelindan di mana
pemisahan antar-institusi menyebabkan guncangan pada seluruh sistem. Dalam hal
ini, institusi agama merupakan insitusi yang tidak mempunyai kekebalan (imun) dari
pengaruh tersebut. Amerika Serikat sebagai perbandingan dicirikan oleh pluralisme yang
relatif lebih baik sejak semula. Gereja dan negara yang secara konstitusional terpisah, dan
pasar bebas, dan ekonomi laissez-faire membatasi peran negara sejauh sektor institusional
lain dalam sistem sosial yang diakui. Meskipun demikian, di AS tumbuh pandangan
bahwa “agama” mengalami penurunan.
Dahrendorf mengembangkan teori yang menyaingi struktural fungsional dengan
menaruh perhatian pada kekuasaan dan otoritas. Dia mengasumsikan bahwa konflik,
perubahan sosial, dan dinamika masyarakat bersumber pada hubungan-hubungan
kekuasaan. Fenomena mendasar dari konflik sosial bukan hanya ada pada struktur
sosial yang sudah mapan, melainkan di atas semuanya, yakni elemen-elemen struktur
sosial yang “normal”, seperti hubungan-hubungan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Untuk tujuan ini, ia menjelaskan konsep otoritas (authority)

49
selain konsep-konsep dasar sosiologi, seperti norma dan sanksi. Sebagaimana Weber,
Dahrendorf membedakan antara power dan authority. Apabila power bersumber di
dalam kepribadian seseorang, authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan
orang yang memilikinya. Perintah-perintah dari seseorang yang memiliki authority
diikuti karena kedudukan yang dimilikinya terlepas dari kepribadiannya. Individu
atau kelompok yang memiliki otoritas cenderung mempertahankan norma-norma
otoritas. Legitimiasi otoritas selalu berimplikasi konflik kepentingan laten. Apabila
aktor menyadari kepentingan-kepentingan latennya, kepentingan-kepentingan tersebut
menjadi manifes. Jadi, kelompok semu (quasi group) sebagai sebuah agregasi posisi-posisi
kepentingan yang identik dapat melahirkan beberapa kelompok kepentingan. Terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan kelompok semu menjadi kelompok kepentingan
yang sebenarnya, yakni faktor-faktor teknis, politis, dan sosial psikologis.
Dahrendorf menekankan tidak hanya hubungan antara kewenangan yang sah dan
posisi tertentu dan peranan, tetapi juga posisi-posisi dalam masyarakat yang pengaruhnya
ditentukan oleh penggunaan paksaan. Dalam hal ini, ia mencontohkan, seperti
posisi-posisi yang secara tipikal berfungsi untuk “mengoordinasi asosiasi-asosiasi secara
imperatif” (Herrschaftsverbaende). Ia mendefinisikan hal tersebut sebagai bagian-bagian
institusi yang terorganisasi dengan tujuan permanen. Hal itu dapat ditemukan pada
negara sebagai masyarakat yang terorganisasi secara politis demikian pula dalam
organisasi-organisasi ekonomi dan kultural, seperti perusahaan, sekolah, dan gereja.

2. Lewis Coser
Lahir di Berlin, dari keluarga Yahudi, Coser terlibat dalam gerakan mahasiswa,
sebuah kelompok protes sosial yang tidak memberikan toleransi munculnya rezim Hitler
dan Nazi. Coser meninggalkan Jerman pada tahun 1933 dan pergi ke Paris. Di Prancis,
dia kuliah di Sorbornne. Di sana dia melakukan studi teori-teori sosial, khususnya
karya-karya Durkheim. Coser juga mengekspose ide-ide Karl Mark dan menyebut dirinya
sebagai unorthodox Marxist with strong admixtures of Durkheimian thought. Setelah berhasil
melarikan diri dari pengejaran terhadap orang-orang asing di Prancis, Coser terbang ke
AS. Pada tahun 1954, Coser memperoleh gelar Ph.D dari Columbia University setelah
menyelesaikan disertasinya di bawah bimbingan Robert Merton. Karya-karya sosialisnya
selalu merefleksikan perhatiannya pada politik dan hubungan-hubungan antara ide
dan realitas sosial. Pada tahun 1954, Coser bersama Irving Howe mendirikan majalah
Dissent. Mereka berharap agar masyarakat, khususnya kaum intelektualnya, tidak
bersikap intoleran terhadap komunisme. Tulisan akademiknya pertama berjudul The
Functions of Social Conflict (1956), kemudian diikuti Men of Ideas: A Sociologist’s View
(1965), Continuities in the Study of Social Conflict (1967), Greedy Institutions: Patterns of
Undivided Commitment (1974), dan Masters of Sociological Thought (1977).

50
Lewis Coser (1913–2003) mempunyai beberapa kontribusi dalam perkembangan
sosiologi. Dia utamanya dikenal sebagai teori konflik yang berbeda dengan kebanyakan
teori lainnya dalam dua hlm. Pertama, dia mendeskripasikan konflik sosial sebagai akibat
dari kepentingan-kepentingan kelompok yang saling bertentangan. Kedua, dia concern
dengan konsekuensi-konsekuensi konflik. Pengaruh Durkheim terhadap teori Coser
juga tampak nyata, seperti ketika dia mendiskusikan mengenai aspek-aspek fungsional
konflik dan aspek-aspek fungsional masyarakat (Burchel, 2006: 155).
Coser mengkritik kaum fungsionalis yang terlalu menekankan konsensus nilai
norma, tatanan, dan harmoni. Dia memandang konflik, tetapi tidak semua, sebagai
problem disruptif atau disfungsional yang secara potensial dapat diatasi dengan
mengaplikasikan keahlian sosiologis yang memadai. Sebagai contoh, meningkatnya
hubungan manusia mendorong berkembangnya sosiologi industri yang berbasis premis
bahwa antagonisme dan kepalsuan antara buruh dan menajemen yang tidak diharapkan,
tetapi dapat diatasi dengan keterbukaan komunikasi dan “hubungan manusia yang
baik”. Perspektif Coser berakar pada pemikiran George Simmel. Meskipun demikian,
ketika Simmel melihat konflik sebagai bentuk dasar interaksi sosial yang terjalin dalam
hubungan yang kompleks. Tujuan analisis Coser adalah menunjukkan jenis-jenis
konflik positif atau mempunyai konsekuensi menguntungkan bagi sistem yang lebih
luas tempat konflik itu terjadi. Hal ini bukan berarti bahwa konflik adalah baik dari sisi
moral. Sesungguhnya, fokusnya adalah pada konsekuensi-konsekuensi sosiologis objektif.
Apakah konsekuensi itu baik atau buruk dari pandangan moral merupakan persoalan
lain (Johnson, 2008: 369).
Coser memulai analisisnya dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu
perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian
kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisasi atau dilangsungkan, atau
dieliminasi saingan-saingannya. Dengan definisi semacam ini, hal-hal yang esensial tidak
perlu dipertentangkan. Akan tetapi, hal ini berarti bahwa perhatian terhadap pernyataan
dan implikasinya merupakan suatu permasalahan yang lain sebab dengan pernyataan
itu menunjukkan bahwa Coser telah menggunakan istilah yang problematik dan
samar-samar, tidak kritis, serta menggunakannya dalam asumsi-asumsi fungsionalisme
(Zeitlin, 1995: 156). Coser selanjutnya membagi jenis konflik berdasarkan ruang lingkup
atau tipe perubahan yang menstimulasinya: antara konflik yang realistik dan konflik
yang non-realistik.
Konflik yang realistik dapat menjadi strategi mengalihkan atau mengurangi
sebab-sebab terjadinya konflik tanpa merusak hubungan. Ia menyatakan bahwa
sistem sosial yang mempunyai solidaritas dan integrasi tinggi pada saat yang sama
anggota-anggotanya terlibat dalam negosiasi realistik dari isu konflik. Sebaliknya,
konflik nonrealistik melibatkan ekspresi permusuhan sebagai suatu tujuannya. Konflik

51
semacam ini sering berbelok arah dari objek konflik sebenarnya dan cenderung
mengambinghitamkan korban. Sebagai contoh, seorang ibu (istri) tua yang menyalahkan
pasangan selingkuh suaminya, atau kelompok minoritas yang menjadi sasaran kemarahan
akibat kekalahan pasukan militer (Johnson, 2008: 371).
Coser percaya bahwa kekerasan dan konflik, yang seringkali berhubungan, dapat
mendorong terjadinya perubahan sosial. Dia menyatakan bahwa kekerasan mempunyai
tiga fungsi khusus bagi masyarakat. Pertama, kekerasan sebagai suatu prestasi. Penyebab
kekerasan terletak pada ketimpangan struktur sosial. Sebagaimana ditekankan Merton
dalam teori anomi penyimpangan sosial, masyarakat tidak menghasilkan kesempatan
yang sama bagi seluruh anggotanya untuk meraih kesuksesan hidupnya. Sebagai
konsekuensinya, beberapa orang akan menyimpang dari harapan masyarakat normal
dan kemudian berperilaku menyimpang. Perilaku tersebut dilakukan sebagai cara untuk
mencapai kesuksesan hidupnya. Kedua, kekerasan sebagai sinyal bahaya. Kekerasan sering
mengisyaratkan masyarakat dan anggotanya bahwa terdapat problem atau kesalahan
yang harus dikoreksi. Tindak kekerasan merupakan suatu sinyal bahaya bahwa beberapa
orang di masyarakat mengalami frustasi terhadap sistem sosialnya. Ketiga, fungsi
kekerasan sebagai katalis. Fungsi katalis dapat mulai proses “koreksi” dalam pemecahan
masalah sosial, atau itu dapat menyebabkan meningkatnya level kekerasan. Kekerasan
memberitahukan kepada masyarakat bahwa sesuatu sedang terjadi. Ketika masyarakat
bersatu memecahkan persoalan, akan terjadi katalisasi pemecahan persoalan. Meskipun
demikian, kekerasan dapat menjadi katalis terhadap terjadinya berbagai problem baru dan
mendorong komponen masyarakat lain terlibat dalam kekerasan. Coser menyimpulkan
bahwa kekerasan mempunyai fungsi, baik positif maupun negatifnya di masyarakat
(Delaney, 2005: 156).
Coser menunjukkan bagaimana konflik mempunyai fungsi positif, terutama
dalam meningkatkan integrasi sosial ketika isu konflik bersifat terbuka dan mekanisme-
mekanisme regulasi konflik dikembangkan untuk mengatasi dampaknya. Konflik
antar-kelompok meningkatkan solidaritas di antara kelompok-kelompok yang berkonflik.
Hal itu sering diikuti terbentuknya aliansi di antara mereka. Konflik yang bersifat
moderat di antara kelompok-kelompok tersebut mencegah ketegangan-ketegangan dan
antagonisme yang mengancam jalinan hubungan yang ada sebelumnya. Konflik dapat
menstimulasi perubahan sosial positif apabila hal itu diorientasikan pada tujuan-tujuan
yang realistik. Sebaliknya, apabila tujuan-tujuannya tidak realistik, konflik dapat
menyebabkan tindakan-tindakan emosional, yang bukan saja tidak mampu mengatasi
persoalan yang sebenarnya, melainkan juga tidak membawa perubahan sosial positif.
Secara ringkas, beberapa fungsi konflik menurut Coser antara lain menstabilkan
hubungan antar-kelompok, memunculkan norma-norma baru, tersedianya mekanisme

52
adaptasi, keseimbangan kekuasaan, berkembangnya koalisi dan asosiasi baru, dan
terpeliharanya garis batas kelompok.
Berkaitan dengan hal tersebut, Coser menggunakan beberapa asumsi teori konflik
sebagai berikut: (1) konflik cenderung meningkatkan penyesuaian sosial (adaptasi)
dan memelihara batas kelompok; (2) konflik muncul ketika ada akses dari penuntut
untuk memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya; (3) semakin ketat sistem stratifikasi
semakin sedikit institusi katup keselamatan, semakin rendah institusionalisasi toleran
konflik institusional, semakin dekat merajut kelompok, partisipasi kelompok lebih tinggi,
perjuangan kelompok lebih lama, lebih intens dan semakin berpotensi menjadi konflik
sosial; (4) tipe persoalan yang menyebabkan konflik adalah persoalan yang berkaitan
legitimasi masyarakat dan melibatkan ketidaksetujuan asumsi dasar; (5) gabungan positif
faktor di atas akan menghasilkan konflik fungsional bagi sistem sosial.

3. György Lukács
Gyorgy Lukacs (1885–1971) adalah filsuf Hungaria penganut utama Marxisme.
Lukacs lahir pada tahun 1885 di Budapest, menghabiskan sebagian besar waktu sebelum
dan selama Perang Dunia I di Heidelberg, Jerman dalam lingkaran intelektualitas
Weber. Lukacs kembali ke Hungaria pada tahun 1917 dan bergabung dengan partai
komunis yang baru dibentuk di tahun 1918. Setahun berikutnya, dia memegang
urusan kebudayaan selama masa pemerintahan Soviet di Hungaria. Setelah runtuhnya
pemerintahan tersebut, dia bermigrasi ke Wina, Berlin, dan pada tahun 1933 ke Moskow.
Pada tahun 1928, ia secara total menarik diri dari dunia politik praktis. Dia kembali ke
Hungaria pada tahun 1945, pada waktu itu karena terjadi konsolidasi rezim Stalinis, dia
kemudian terdorong masuk ke dunia politik lagi. Selama revolusi Hungaria pada tahun
1956, dia dinominasikan sebagai Menteri Kebudayaan pada pemerintahan Imre Nagy.
Akibat intervensi Soviet, dia kemudian pertama kali memasuki Rumania. Lukacs, menulis
buku-buku penting, seperti Soul and Form (1900) dan Theory of the Novel (1910). Dia
meninggal pada tahun 1971.
Gyorgy Lukacs adalah salah satu tokoh teori kritis yang juga mengembangkan
teori Marx. Lukacs terkenal sebagai teori yang idealis. Lukacs sering dikenal sebagai
tokoh ultra-Marxis pada awal dekade 1920-an. Ia mengembangkan dimensi-dimensi
filosofis dan politik Marxisme hingga akhirnya pada akhir dekade 1920-an kembali pada
analisis kultural. Ia meminjam ide Marx tentang fetishism of comodity dan kemudian
memperkenalkan istilah reification dalam semua objek, termasuk orang, sebagai
komoditas yang diperjualbelikan, harga jualnya ditentukan oleh “nilai tukar”. Konsep
reifikasi menunjuk pada kecenderungan orang untuk melihat dampak dari seluruh
aktivitas yang dilakukannya sebagai suatu realitas objektif yang berlangsung berdasarkan
prinsip-prinsip yang berada di luar jangkauan kontrolnya. Lukacs melihat bahwa proses
53
reifikasi dapat menjadi kecenderungan evolusioner, identik dengan kesimpulan Weber
tentang “kerangkeng besi” (iron cage). Akan tetapi, ia menawarkan sebuah jalan keluar:
terdapat keterbatasan bagaimana kesadaran manusia akan mentoleransi reifikasi, dan
demikian menjadi penting untuk tidak menjadikan sumber daya internal resisten ke
arah reifikasi.
Proses reifikasi ini bukan hanya merupakan orientasi-orientasi subjektif pekerja
industri, melainkan juga menjadi mentalitas aparat birokrasi sebagaimana sinyalemen
Weber tentang model birokrasi impersonal. “Kesadaran palsu” terefleksi dalam proses
reifikasi yang lingkupnya luas yang antara lain dapat mencegah terbentuknya kesadaran
kelas pekerja dan melemahnya semangat perjuangan revolusioner melawan sistem yang
menindas. Selain itu, juga dapat mendorong segmen penduduk lain untuk menerima
pola-pola dominan dan kontrol administrasi birokrasi sehingga memberikan legitimasi.
Akibatnya, terjadi stabilitas seluruh aspek sosiopolitik masyarakat.
Terma alienasi sering dihubungkan dengan reifikasi (dalam bahasa Jerman,
Verdinglichung), digunakan oleh Lukacs untuk menunjuk pada alienasi ekstrem yang
tumbuh dari fetisme komoditas dan proses rasionalisasi pada masyarakat kapitalis modern.
Kapitalisme modern pada dasarnya mengalami proses tersebut, ketika semua aktivitas
kehidupan ditransformasikan ke dalam sesuatu yang mati, yakni objek semu yang bernama
“modal”. Bagi Lukacs, produksi dan pertukaran di bawah kondisi alienasi menghasilkan
sebuah objek benda yang lebih tampak alami daripada sifat sosial atau historis. Individu
pada masyarakat modern terreduksi ke dalam “sikap kontemplatif” yang hanya mengamati
dan menerima secara pasif struktur konsumsi dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Individu menjadi semakin kehilangan makna dan trivial. Individu sering terlibat dalam
pemilihan yang banal yang selalu distruktur oleh sistem konsumsi.
Dalam esainya yang berjudul History and Class Conciousness (1923), argumentasi
Lukacs sering dipandang sebagai bentuk interpretasi baru karya Marx yang sering
disebut sebagai “Marxisme Barat”. Dia secara radikal mengkritik interpretasi positivis-
ilmiah interpretasi teori Marx. Marxisme bagi Lukacs, menawarkan sebuah solusi untuk
mengatasi dilema antara pencerahan dan idealisme klasik Jerman yang terutama berakar
pada kontradiksi internal kelas borjuis. Dilema tersebut merupakan kesulitan yang tidak
dapat dipecahkan hanya dengan teori, tetapi harus berimplikasi pada ranah praktis yang
secara radikal bertransenden ke horizon masyarakat. Marxisme adalah teori praktis
proletariat yang secara evolusioner dapat menghapuskan situasi-situasi, seperti dominasi
dan eksploitasi kelas dengan menghapuskan logika reifikasi perkembangan historis yang
mencapai puncaknya dalam kapitalisme. Di bawah kondisi reifikasi tersebut, individu
dan kolektivitasnya menjadi tergantung objek kekuasaan tempat kondisi-kondisi sosial
dan institusi yang tercipta dengan sendirinya dalam masyarakatnya—tidak secara
kolektif terorganisasi—nasibnya ditentukan oleh hukum-hukum yang terpisah lingkup

54
institusional pertama semua hukum pasar di atas mereka tidak mempunyai kontrol.
Ketika mengatasi situasi semacam reifikasi ini, diperlukan pengembangan kesadaran
kelas yang tepat. Kesadaran kelas ini tidak dapat hanya merefleksikan atau pengenalan
secara sederhana kepentingan-kepentingan ekonomi, kelas pekerja. Hal itu dapat hanya
berkembang dalam suatu penggabungan progresif dari praktik material teori perjuangan
kelas dan revolusioner.
Lukacs kemudian menulis karyanya yang berjudul Society of the Spectacle, yang secara
jujur mengadopsi karya Baudrillard tentang The Silent of Majorities yang membahas
konsumerisme modern. Menurutnya, individu pada masyarakat modern berpartisipasi
secara pasif dalam representasi kaum kapitalis yang semu. Lebih dari itu dalam jebakan
peran konsumen, individu dalam masyarakat modern pada umumnya tidak mempunyai
posisi tawar dan akhirnya menyerah dalam perjuangannya di tempat kerja dan juga
di arena politik kekuasaan. Bagi Lukacs, komoditas merupakan masalah sentral dan
struktural dalam masyarakat kapitalis. Komoditas dalam masyarakat kapitalis yang
berbentuk barang berkembang menjadi objek yang mendasari hubungan antar-orang.
Reifikasi menurut Lukacs adalah tereduksinya hubungan antar-manusia karena menjadi
alat produksi. Dalil dasar reifikasi adalah “penurunan” nilai relasi manusia yang
seharusnya hangat menjadi hubungan antar-manusia karena kepentingan ekonomi.
Kekhasan masyarakat borjuis adalah bahwa semua hubungan antar-manusia, dipandang
sebagai bentuk komoditas, barang yang diperjualbelikan. Komoditas dan seluruh proses
jual-beli ditentukan oleh hukum-hukum objektif pasar yang menurut paham kapitalis
bersifat “alami” dan “rasional”, karena itu “abadi”.
Kegiatan manusia dalam pekerjaan bukan lagi milik pribadi yang ada sesuai minatnya.
Manusia dengan begitu menjadi teralienasi dan proses ini tidak secara langsung mereka
miliki dan kuasai. Mereka sepertinya menjadi tersebar dalam spesifikasi yang diberikan
dalam pekerjaan. Misalkan saja, seorang yang bekerja di pabrik sepatu. Ada orang yang secara
khusus bekerja menggunting kain sebagai bahan dasar sepatu. Ia tidak tahu keseluruhan
proses dan hanya dengan mengikuti apa yang diberikan oleh pabrik. Ia hanya mengambil
bagian dalam sistem produksi saja. Keberadaannya hanya ada dalam partikularitas pabrik.
Ini oleh Lukacs telah menyingkirkan kedalaman diri manusia yang juga memiliki minat,
inisiatif, kreativitas, dan kepribadian. Oleh masyarakat kapitalis, hal seperti ini tidak menjadi
bagian yang dipikirkan, tetapi hal yang mengganggu sistem produksi.
Dalam masyarakat kapitalis, interaksi manusia dengan alam menghasilkan produk
atau komoditas tertentu, tetapi manusia sering mengabaikan fakta bahwa merekalah
yang menghasilkan komoditas dan memberikan nilai komoditasnya. Nilai dalam hal ini
dipahami sebagai produk pasar yang terlepas dari aktor. Fetishisme (pemujaan mutlak)
terhadap komoditas merupakan proses berpikir yang mengakui komoditas dan pasar
dalam masyarakat kapitalis sebagai objek yang keberadaannya terlepas dari aktor. Konsep

55
Marx tentang fetishisme ini merupakan basis konsep reifikasi Lukacs. Namun demikian,
terdapat perbedaan dalam hal keluasan cakupan dari kedua konsep tersebut. Fetishisme
Marx penerapannya terbatas pada lembaga ekonomi. Marx menempatkan ekonomi
sebagai fetish commodity, yaitu pemujaan mutlak terhadap komoditas dan pasar (lembaga
ekonomi). Dengan basis fetishisme Marx tersebut, Lukacs menerapkan konsep reifikasi
dengan memperluas cakupan fetishisme terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat
dan negara. Dengan berbasis pada hubungan individu, fetishisme itu bisa diterapkan
secara dinamis pada semua sektor masyarakat kapitalis. Struktur sosial mempunyai
kehidupannya masing-masing sehingga struktur sosial mempunyai ciri objektif. Dalam
konsep reifikasinya, Lukacs, menyatukan pandangan Weber dan Simmel. Akan tetapi,
karena konsep reifikasi berada dalam teori Marxian, seolah-olah konsep reifikasi hanya
berlaku dalam masyarakat kapitalis, sementara Weber dan Simmel yang melihat reifikasi
sebagai nasib umat manusia.
Selain sebagai seorang filsuf, Lukacs juga dikenal sebagai tokoh cultural studies. Dalam
karyanya yang berjudul Theory of the Novel, Lukacs menghubungkan kecenderungan
novel di Eropa dengan muncul dan berkembangnya kaum borjuis dan kapitalisme.
Dalam novel-novel tersebut, dilukiskan individu-individu protagonis berhubungan
dengan individualisme yang semakin marak. Misi cerita dan pengalaman karakter
tokoh-tokohnya sering disampaikan dengan tujuan mereproduksi ideologi kaum borjuis.
Bagi Lukacs, bentuk-bentuk kesusastraan, karakter tokoh-tokoh, dan isi pesan semuanya
harus diinterpretasikan sebagai artikulasi konteks historis. Narasi tersebut diekspresikan
dalam berbagai macam bentuk dan fungsi-fungsi.

4. Randal Collins
Randall Collins dikenal sebagai teori yang mempunyai perhatian terhadap persoalan
stratifikasi sosial. Tidak seperti Weber atau Davis dan Moore, Collins memfokuskan
perhatian pada efek-efek stratifikasi sosial tingkat mikro. Dia melakukan studi tentang
stratifikasi karena dia melihat fenomena itu memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan
manusia sehari-hari. Dia secara khusus tertarik untuk menunjukkan “stratifikasi dan
organisasi yang berbasiskan interaksi kehidupan sehari-hari”. Untuk alasan ini, sekalipun
ia mengacu pada teori Marx dan Weber, ia juga sangat terpengaruh pada etnometodologi
dan fenomenologi. Teori Collins dimulai dengan asumsi bahwa manusia secara inheren
bersifat sosial selain juga mementingkan kepentingan dirinya (self-interested). Oleh karena
itu, sering terjadi konflik kepentingan di antara keduanya.
Terdapat tiga kerangka dasar pendekatan konflik menurut Collins, yakni (1)
manusia hidup dalam dunia subjektif yang terkonstruksikan dengan sendirinya; (2)
manusia lebih dari sekadar aktor individual mungkin mempunyai kekuasaan untuk
memengaruhi pengalaman subjektif aktor; (3) manusia selalu berusaha untuk mengontrol
56
pengalaman aktor, yang mendorong terjadinya konflik. Berdasarkan tiga kerangka dasar
ini, Collins kemudian merumuskan lima prinsip analisis konflik dalam stratifikasi sosial,
yakni (1) analisis tersebut harus lebih fokus pada pengalaman hidup nyata daripada
ideologi abstrak; (2) pengujian harus dilakukan untuk mengetahui bagaimana setiap
aktor dapat memanipulasi atau dibatasi oleh faktor-faktor kepemilikan material; (3) sadar
atau tidak sadar terdapat eksploitasi terhadap mereka yang memiliki sumber daya yang
lebih sedikit dari mereka yang memiliki sumber daya yang lebih banyak; (4) kepercayaan
dan sistem ide-ide harus dianalisis dengan memerhatikan kepentingan-kepentingan,
sumber daya-sumber daya, dan kekuasaan; (5) studi tentang stratifikasi harus dilakukan
secara ilmiah, menggunakan uji hipotesis, riset empiris, dan apabila mungkin digunakan
penjelasan kausal (Ryan, 2005a: 799).
Randall Collins dikenal sebagai teori yang mempunyai pemahaman yang baik
terhadap teori makroskopiknya Weber serta menggunakannya untuk membangun teori
integrasi mikro-makro. Kebanyakan ide-ide teoretisnya dimuat dalam karyanya yang
berjudul Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science, yang dipublikasikan pada
tahun 1972, segera setelah ia mendapat gelar doktornya di Universitas California di
Berkeley pada tahun 1969. Dalam bukunya tersebut, ia mengadvokasi pengembangan
sosiologi ilmiah, yaitu penelitian dan teori sosiologis harus bergerak ke arah teori-teori
eksplanatori yang digeneralisasikan secara ilmiah. Apa yang ia sebut sebagai “eksplanatori”
berarti bahwa teori harus dapat menghasilkan penjelasan atau pernyataan-pernyataan
yang dapat diuji mengenai kondisi-kondisi ketika suatu peristiwa terjadi atau tidak terjadi.
Sementara itu, apa yang ia sebut sebagai “digeneralisasikan” adalah dinamika-dinamika
sosial yang dapat diaplikasikan di semua sub-bidang kajian sosiologi. Dia berpendapat
bahwa stratifikasi dan organsiasi merupakan inti penjelasan dalam sosiologi. Karena
mendapat pengaruh dari teori interaksionisme simbolik seperti Goffman, Collins
mendasarkan teori-teorinya pada kehidupan orang sehari-hari tempat pola-pola interaksi
mempertahankan struktur sosialnya.
Dengan meminjam konsep Goffman tentang encounter, Collins berpendapat bahwa
situasi harus menjadi unit analisis interaksi mikro. Dia mengonstruksikan teori mata
rantai ritual interaksi dengan mengombinasikan teori Durkheim tentang solidaritas
sosial dan ide Goffman tentang ritual-ritual mikro dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mengacu pada karya Durkheim yang berjudul The Elementary Form of Religious Life,
Collins mengidentifikasi unsur-unsur dari sebuah ritual interaksi, peran para partisipan
dalam interkasi face to face, fokus perhatian dan dorongan emosional yang sama di
kalangan partisipan, kondisi-kondisi yang dapat membuat segala sesuatu berada dalam
suasana kesedihan, dan kesadaran antar-partisipan. Partisipasi dalam sebuah ritual
interaksi menghasilkan perasaan memiliki terhadap kelompok, tempat pengalaman
individu berada pada tingkat ketinggian yang sama dengan energi emosionalnya. Energi

57
emosional yang tinggi adalah suatu perasaan kepuasan, kepercayaan diri, dan energi.
Sementara, tingkat energi emosional yang rendah adalah depresi. Intensitas ritual interaksi
yang tinggi dengan fokus perhatian yang jelas disertai dorongan emosional yang juga kuat
akan menghasilkan energi emosional yang kuat. Simbol-simbol yang digunakan dalam
suatu ritual interaksi akan menjadi bersifat suci, menjadi simbol yang merepresentasikan
kelompok. Energi emosional yang tinggi dalam sebuah ritual interaksi akan disimpan
dalam simbol tersebut, sebagai energi cadangan (baterai) (Li, 2005: 123).
Collins mengembangkan teori proses sosial yang berbasis ide-ide Weber tentang
konflik. Meskipun Collins menggabungkan pendekatan teori mikro sosial dengan ide-ide
dari Durkheim, pandangan dasarnya tentang organisasi sosial sangat condong ke Weberian.
Realitas sosial berada pada tingkat mikro melalui ritual interaksi yang saling jemalin,
menghasilkan stratifikasi sosial yang pada gilirannya menghasilkan struktur yang lebih makro
mulai dari negara dan ekonomi hingga dinamika sistem geopolitik. Pada semua level realitas
sosial, selalu terdapat ketimpangan distribusi sumber daya, baik material, simbolik, maupun
politik dengan potensi konflik selalu muncul antar-individu yang terlibat dalam interaksi
face-to face, dalam organisasi, antara klas dan budaya kelas, dan juga antar-masyarakat.
Meskipun Collins menggunakan label sosiologi konflik bagi pendekatannya, teorinya
lebih umum, yakni tentang bagaimana struktur makro dibangun dari struktur tingkat
mikro. Pada tingkat mikro, Collins menggambarkan individu sebagai sosok yang selalu
berusaha meningkatkan modal budaya dan energi emosional dengan menggunakan sumber
dayanya untuk keuntungannya dan apabila mereka tidak mempunyai sumber daya, mereka
membatasi pemanfaatan modal kapital dan emosinya dalam ritual interaksi tempat mereka
tidak memperoleh keuntungan sumber daya. Pada tingkat meso organisasi sosial, Collins
menggambarkan organisasi-organisasi sebagai sistem kontrol yang memiliki sumber daya
untuk melakukan koersi, simbolik, dan material dengan menggunakan kelebihan yang
dimilikinya untuk memperoleh konformitas dari mereka yang resisten. Analisis awal
tentang sistem stratifikasi menekankan variasi-variasi dalam budaya kelas, tetapi dalam
karya-karyanya kemudian, Collins tertantang untuk melihat hierarki klas sebagaimana yang
terlihat dalam sosiologi Marxian (Turner, 2005: 138).
Randall Collins dengan demikian merupakan salah satu teori sosial yang berusaha
mengintegrasikan fenomena-fenomena tingkat makro dan mikro meskipun titik
tekanannya pada analisis tingkat mikro. Kenyataannya, kebanyakan tulisan Collins
disatukan dan kemudian diberi judul On the Microfoundations of Macrosociology, dan dia
menyebut usahanya tersebut sebagai “mikrososiologi radikal”. Collins percaya bahwa
semua fenomena tingkat makro dan dipahami sebagai kombinasi fenomena tingkat
mikro. Fokusnya terletak pada persoalan seputar interaksi, mata rantai interaksi, dan
marketplace tempat masing-masing interaksi berlangsung. Teorinya ini dalam batas

58
tertentu sama dengan pandangan Coleman yang menunjukkan bagaimana tingkat mikro
memengaruhi makro (Ryan, 2005c: 508).
Randall Collins menggabungkan analisis Weber tentang dominiasi dengan ide-ide
dari tradisi teori lain. Collins menyatakan bahwa struktur sosial level makro, seperti sistem
organisasi dan stratifikasi dibangun dari interaksi tingkat mikro yang mempertahankan
budaya kelas, sistem kewenangan dalam organsiasi, dan ketimpangan-ketimpangan
sumber daya. Masing-masing orang memiliki tingkat modal kultural, energi emosional,
kekayaan material, prestige, dan kekuasaan. Mereka juga menggunkan sumber-sumber
tersebut dalam interaksi sehari-hari, tempat kepemilikan sumber daya-sumber daya
tersebut memengaruhi tingkat dominasi terhadap orang lain dan meningkatkan pangsa
pemilikan sumber daya. Berdasarkan pandangan Weber, Collins kemudian menganalisis
perbedaan budaya kelas-kelas sosial, kekuasan negara, dan ideologi yang digunakan
untuk melegitimasi kekuasaan negara, ekonomi, bahkan geopolitik antar-negara dalam
terma sumber daya aktor relatif. Jadi, sumber daya yang dimilikinya akan menyebabkan
perbedaan budaya dan orientasi daripada siapa yang harus memberikan perbedaan.
Kontrol alami dalam sistem organisasi akan berbeda tergantung pada kekuatan relatifnya
dalam memaksa, sumber daya material, atau sumber daya simbolik, skala negara
tergantung pada surplus sumber daya ekonomi, derajat konsensus terhadap simbol-simbol
dan keamampuannya menggunakan sumber daya untuk memperluas basis kekuasaan
administrasi dan koersinya, dan geopolitik akan merefleksikan keuntungan-keuntungan
negara dalam bidang teknologi, produktivitas, dan keuntungan-keuntungan geografis
dan politik. Jadi, seperti halnya Marx, ide-ide Weber berada pada pusat teoriasi konflik
versi baru.
Randall Collins mengembangkan model penjelasan yang diinspirasi oleh Weber.
Ia menyatakan bahwa ekspansi kerajaan meningkat ketika masyarakat memiliki suatu
keuntungan wilayah geografis (hambatan-hambatan alam melindungi wilayah dan
tenteranya) dan ketika, dibandingkan dengan tetangganya, mempunyai penduduk yang
lebih besar, lebih kaya, produktivitas yang lebih tinggi, teknologi yang lebi maju, dan
bala tentara yang lebih terorganisasi. Akan tetapi, ekpansi wilayah kerajaan (negara)
kadang menyebabkan kehilangan wilayah dan militer (misalnya, musuh menjiplak
teknologi perang) ketika kebutuhan logistik untuk mempertahankan kerajaan meningkat.
Bahkan, kadang-kadang sebuah kerajaan harus terlibat perang dengan kerajaan lain, yang
menyebabkan negaranya menjadi kolaps dan kembali kepada kondisi semula. Sebagai
buktinya kemudian, teoriasi Marx dan Weber, analisis historis komparatif tentang
pembentukan negara dan kerajaan, serta konflik revolusioner dan perang.
Prinsip-prinsip umum analisis konflik dapat diterapkan secara empirik pada semua
arena. Collins meneorikannya melalui formulasi-formulasi abstrak yang diambil dari
sampel interaksi-interaksi kehidupan nyata. Ia berpendapat bahwa manusia adalah

59
hewan yang cenderung mencari keuntungan, mudah terbawa oleh suasana emosional,
dan selalu diarahkan oleh kepentingan dirinya mendapatkan kepuasan dan menghindar
dari ketidakpuasan. Collins mengidentifikasi pola-pola atau aturan yang memengaruhi
interaksi tempat, media komunikasi, alat, dan perlengkapan untuk memperoleh kesan
di mata publik, akses relatif terhadap sumber daya yang tersedia untuk setiap individu
beserta potensinya bagi paksaan fisik, akses untuk melakukan negosiasi dengan orang
lain, daya tarik seksualnya, cadangan modal kultural, dan sebagainya. Collins menerapkan
hipotesis umum bahwa ketimpangan sumber daya mendorong kelompok dominan
mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Tindakan tersebut tidak melibatkan
perhitungan sadar, tetapi merupakan sebuah kecenderungan perasaan dasar secara
otomatik untuk memperoleh keuntungan jangka pendek sebesar mungkin.
Struktur sosial yang dijelaskan dalam terma-terma perilaku mengikuti berbagai
jenis sumber daya, perubahan sosial yang berasal dari perubahan sumber daya, dan
konflik-konflik sebelumnya. Perspektif Randall Collins digunakan untuk meneliti
berbagai aspek kehidupan. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Hafferty dan
Castellani (2007: 331) menunjukkan bagaimana kesehatan masyarakat dan sistem
pelayanan kesehatan merupakan hasil kompleks jaringan konflik, kompetisi tujuan,
dan kepentingan yang berdasarkan perbedaan pendapatan, gender, etnisitas, pekerjaan,
pendidikan, afilisasi politik, dan sebagainya. Teori konflik menjadi teori penting dalam
bidang sosiologi kesehatan karena ia mampu menghasilkan kerangka teoretis yang
memuaskan, yang dapat digunakan oleh para ahli sosiologi kesehatan dalam melakukan
studi mengenai topik-topik penting, seperti kesenjangan dalam sistem pelayanan dan
jaminan kesehatan, politik kebijakan pelayanan kesehatan, ekonomi asuransi kesehatan,
serta kegagalan dunia medis dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.

5. C.W. Mills
C. Wright Mills (1916–1962) adalah sosiolog Amerika yang dikenal sebagi sosiolog
yang produktif sekaligus kontroversial. Karya-karya Mills yang terkenal berkaitan dengan
struktur dan distribusi kekuasaan, terutama di Amerika Serikat dan juga kritiknya terhadap
teori dan metodologi sosiologi mainstream. Antara tahun 1940 hingga 1962, ia menulis
dan mengedit 12 buku, memublikasikan sekitar 200 artikel, komentar dan review, serta
mengerjakan sejumlah proyek. Mills lahir di Waco, Texas berasal dari keluarga penjual
asuransi. Mills kecil merupakan anak yang pemalu, introvert, dan diam-diam sangat
mengagumi intelektual dan integritas ayahnya. Ia mengambil kuliah filsafat dan ekonomi
di Universitas Texas. Pada dekade 1940-an, ia pindah ke University of Wisconsins tempat
dia menjadi sahabat Hans Gert, seorang imigran Jerman yang sangat kuat dipengaruhi
aliran Frankfurt. Beberapa komentarnya merupakan karya unik yang merupakan
perpaduan antara populisme Eropa tengah, pragmatisme Amerika, dan sosiologi Jerman.

60
Mills menyebut dirinya sebagai politisi radikal pada awal dekade 1940-an, ketika dia
menjadi asisten profesor sosiologi di Universitas Maryland. Setahun kemudian, ia pindah
ke Univeresitas Columbia dan menjadi profesor penuh pada tahun 1956.
Karya Mills yang pertama berjudul New Men of Power, diterbitkan tahun 1948 yang
berisi penilaian terhadap potensi politik radikal di kalangan para pemimpin. Ia kemudian
menolak prediksi Marxian tentang kelas pekerja sebagai agen utama perubahan sosial besar,
yang ia sebut sebagai “metafisika buruh”. Karya berikut menyusul setelah empat tahun
kemudian, diberi judul White Collar, yang berisi perbandingan antara kelas menengah
lama dari para pebisnis muda dan kelas menengah baru yang merupakan pekerja kerah
putih (white collar). Mills menyebut bahwa pekerja kerah putih ini sebagai terjebak antara
perserikatan dan bisnis besar, secara politik tergantung, dan tidak memiliki arah serta
tindakannya dipengaruhi oleh status-status baru. Pada tahun 1956, ia menerbitkan karya
yang berjudul The Power Elite terbit. Dalam karyanya ini, dia menolak analisis struktur
kekuasaan, baik yang pluralis maupun yang Marxis. Karya-karya Mills kebanyakan
merupakan refleksi pengalamannya sebagai manajer institusi besar dan secara implisit
keinginannya agar sistem berjalan dengan baik (smooth) (Doomhof, 2005: 503–504).
Dalam semua karyanya, Mills menginterpretasikan dunia melalui sebuah perspektif
teoretis yang sangat kuat dipengaruhi Max Weber. Seperti halnya teori klasik lainnya, visi
Mills adalah sebuah pandangan yang holistik tentang keseluruhan sistem sosiokultural.
Sistem tersebut bersifat saling pengaruh dan mempunyai pengaruh terhadap nilai-nilai,
pemikiran, dan perilaku manusia. Sebagai murid Weber, titik sentral karya Mills berkaitan
dengan isu rasionalisasi. Apa yang dimaksud rasionalisasi adalah aplikasi praktis pengetahuan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut adalah efisiensi yang berarti
koordinasi dan kontrol total terhadap proses sosial yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
Hal itu merupakan prinsip pengaturan yang ada di balik birokrasi dan konsekuensinya
meningkatkan pembagian kerja. Humans being tidak dapat dipahami secara terpisah dari
struktur sosial dan historisnya tempat manusia berinteraksi di dalamnya.
Berkaitan dengan konflik, Mills mengajukan beberapa asumsi sebagai berikut: (1)
kenyataan sosial menggambarkan kombinasi biografi, sejarah, dan antarbagian dalam
struktur sosial; (2) industrialisasi meningkatkan rasionalitas sosial; (3) pengaruh besar
dari rasionalisasi adalah peningkatan sentralisasi dan elitisme; (4) rasionalisasi juga
memengaruhi struktur pekerjaan; (5) akibat proses ini pada tingkat individu adalah
menurunnya rasa kebebasan, rasa keterasingan, dan rendah diri (minder).
Ketika manusia dimotivasi oleh sistem norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan yang
berlaku di masyarakat, struktur perubahan sering melewati “perbendaharaan motivasi” ke
dalam beberapa kebingungan. Jumlah dan variasi struktur perubahan di dalam masyarakat
meningkat seiring perkembangan institusi-institusi yang berubah menjadi lebih besar, lebih
erat, dan lebih saling terkait. Menurut Mills, munculnya pekerja kerah putih berakar dalam
61
perubahan pekerjaan yang tumbuh akibat birokrasi, perubahan teknologi, dan meningkatnya
kebutuhan pasar barang-barang masyarakat industri. Karakteristik sentral pekerja kerah
putih dalam masyarakat industri modern adalah bahwa mereka tidak terorganisasi dan
bersifat bebas dari birokrasi yang melingkupi kehidupan mereka. Keberadaan dan sifat
kebebasannya mereka mampu mengubah karakter dan cita rasa kehidupan masyarakat
Amerika. Dengan memfokuskan pada tumbuhnya pekerja kerah putih, Mills percaya bahwa
kita dapat belajar lebih mendalam tentang karakter bangsa Amerika. Peningkatan jumlah
pekerja kerah putih tersebut mempunyai efek pada sistem pendidikan dalam birokrasi
masyarakat industri modern.
Mills menaruh perhatian pada isu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority).
Bagi Mills, terdapat tiga bentuk kekuasaan. Pertama, koersi atau paksaan secara fisik. Mills
mencatat bahwa koersi semacam ini tidak begitu diperlukan dalam masyarakat demokratik
modern. Kekuasaan semacam itu hanya diperlukan pada tingkat yang minimal. Kedua,
apa yang ia sebut sebagai otoritas (authority). Kekuasan jenis ini berkaitan dengan
posisi seseorang dan mendapat legitimasi dari bawahannya. Ketiga adalah kekuasaan
“manipulasi” adalah kekuasaan yang tidak disadari atau diakui oleh bawahannya. Ketika
struktur birokrasi berbasiskan otoritas, Mills melihat otoritas semacam ini cenderung
berubah ke arah manipulasi. Manipulasi tidak berdasarkan teror atau kekuatan eksternal
meskipun kekuasaan polisi negara selalu mendukung kekuasaan tersebut. Masyarakat yang
tergantung pada penggunaan paksaan dan intimidasi untuk mendisiplinkan anggotanya
akan menjadi sangat tidak efisien dan efektif. Penyebab perubahan adalah sentralisasi dan
perluasan kekuasan politik. Otoritas membutuhkan legitimasi untuk menjamin loyalitas
dan kepatuhan. Manipulasi muncul ketika otoritas yang tersentralisasi tidak dibenarkan
secara publik, dan ketika dalam kekuasaan tidak percaya mereka dapat membenarkannya.
Karena kekosongan dari semua jenis legitimasi dan makna yang lain, pekerjaan dan jabatan
akan mengalami kekosongan makna intrinsik.
Dalam karyanya yang berjudul The Power Elite, Mills menegaskan keyakinannya
bahwa doktrin keseimbangan kekuasaan Amerika adalah sesuatu yang ideal karena
mengalami penurunan dibandingkan di masa lalu. Menurut Mills, terdapat kekuasan elite
pada masyarakat modern, yakni elite yang menguasai sumber daya organisasi birokrasi yang
akan mendominasi masyarakat industri. Ketika birokrasi tersentralisasi dan ruang lingkup
bagi orang yang ingin lepas dari organisasi ini menyempit, konsekuensinya keputusan-
keputusannya menjadi sangat besar. Elite menguasai posisi-posisi kepemimpinan kunci
di dalam birokrasi yang sekarang mendominasi masyarakat modern, Posisi-posisi tersebut
menjadi alat kekuasaan yang efektif. Jadi, kekuasaan berakar dalam otoritas, suatu atribut
organsiasi sosial, bukan individual. Menurut Mills, kekuasan elite adalah orang kunci
yang ada di dalam tiga institusi masyarakat modern, yakni ekonomi, pemerintahan,
dan militer. Dalam pandangan Mills, kekuasan nasional utama sekarang hampir

62
semuanya secara eksklusif berada dalam ekonomi. Semua institusi lain menurun dalam
ruang lingkup dan kekuasaannya. Birokrasi negara, perusahaan, dan militer semakin
besar, tersentralisasi, dan menjadi alat kekuasaan yang tidak pernah ada dalam sejarah
umat manusia sebelumnya. Hierarki-hierarki kekuasaan ini merupakan kunci untuk
memahami masyarakat industrial modern. Hal itu bukan sebuah konspirasi manusia
jahat, melainkan merupakan struktur sosial yang membesar dan tersentralisasinya proses
pembuatan keputusan sehingga kemudian menempatkan otoritas hanya di tangan
orang-orang yang memiliki kesamaan latar belakang dan pandangan.
Kesamaan latar belakang sosial menjadi sumber utama kesatuan di antara kaum
elite. Mayoritas elite, kata Mills, berasal dari lapisan atas dari piramida struktur pekerjaan.
Mereka lahir dari kelas atas yang sama. Mereka mendapatkan pendidikan dan bergabung
dalam organisasi olahraga di universitas. Mereka bergabung dalam klub-klub yang sama dan
memiliki organisasi-organisasi yang sama. Mereka mempunyai ikatan-ikatan perkawinan.
Beberapa koordinasi datang dari perubahan personal di antara ketiga elite hierarki.
Kedekatan hubungan antara bisnis dan aparat pemerintah dapat dilihat dari
kemudahan dan frekuensi tempat orang berpindah dari satu hierarki ke hierarki yang
lain. Massa secara ekonomi bebas, tetapi politik dieksploitasi. Karena mereka tidak
terorganisasi, masa sulit bergerak dari ciri demokrasi publik klasik, padahal organisasi-
organisasi volunteer memegang kunci kekuasaan. Antara massa dan elite, menurut Mill,
terdapat kekuasan yang berada di antaranya, yakni terdiri dari pemimpin opini lokal
dan kelompok kepentingan khusus. Mereka tidak merepresentasikan massa, juga tidak
mempunyai pengaruh kepada elite. Mills melihat bahwa kongres dan partai politik
merupakan sebuah refleksi kekuasan kelas menengah. Meskipun kongres dan partai
politik berselisih dalam hal isu-isu minor, kekuasan elite menjamin bahwa tidak ada
tantangan serius terhadap otoritas dan kontrol yang ditoleransi dalam arena politik.
Posisi elite membolehkan dirinya untuk melebihi lingkungan laki-laki dan perempuan.
Elite memiliki akses untuk meningkatkan kekuasaannya yang membuat keputusan-
keputusan yang dibuatnya (sebagaimana kegagalannya untuk bertindak) berpengaruh.
Saat ini Mills khawatir apabila pemimpin-pemimpin itu bertindak (atau gagal bertindak)
dengan tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan kesengsaraan masyarakat. Akan
tetapi, hal itu bukan berarti bahwa hal itu selalu demikian. Perubahan struktural besar
adalah keluarnya alat-alat dan jenis kekuasan dan terkonsentrasi dalam sedikit orang.
Selain dikenal sebagai teori konflik, Mills juga dikenal dengan konsep sosiologi
imajinasi (imagination of sociology). Ia mengklaim bahwa penilitian sosiologi lebih
banyak diarahkan oleh persyaratan administratif daripada concern intelektual. Hal itu
menjadi akumulasi fakta untuk tujuan memfasilitasi keputusan-keputusan administratif.
Bagi Mills, perbedaan antara sosiologi efektif dan sosiologi yang gagal tergantung pada
imajinasinya. Sosiologi imajinasi secara sederhana didefinisikan sebagai “kualitas pikiran”

63
yang memungkinkan ilmuwan menggambarkan “sejarah dan biografi dan hubungan
antara keduanya dalam masyarakat”. Untuk memenuhi janjinya, secara benar-benar
ilmu sosial harus memfokuskan pada substansi persoalan kemudian menghubungkan
problem tersebut dengan karakteristik struktural dan historis sistem sosiokulturalnya.
Dalam konsepsi Mills, ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral untuk mengatasi
problem sosial bukan hanya sekadar meneliti. Ilmuwan harus memiliki arti signifikan
bagi lingkungan sekitar.

PERBANDINGAN KONSEPSI DI ANTARA BEBERAPA EKSPONEN TEORI KONFLIK

Naturalistik Sistemik
Tipe Teori
Dahrendorf Mills Coser Reisman
Pengetahuan tentang Pendidikan dan karier
Latar Belakang Pendidikan Eropa Kekeluargaan Eropa
Simmel bervariatif
Teori umum tentang
Penerapan Imaginasi Slg. Menganalisis fungsi Menganalisis perubahan
Tujuan Kelas dan Perubahan
Dalam analisis sosial sosial politik dalam karakter sosial
sosial
Industrialisasi dan
Teori paksaan tentang Konflik bisa Dasar demografi dan
Asumsi-asumsi Rasionalisme berakibat
masyarakat fungsional harmoni
dominasi dan keterasingan
Penerapan Mark dan Penerapan teori Penerapan teori Demografi
Metode Penerapan Keahlian klasik
Weber Simmel dan ekonomi
Tipologi Model konflik kelas Tipe Struktur sosial Tipe Struktur sosial Tipe Harmoni Sosial
Pendekatan Sintesis Mark dan Weber Pendekatan subjektif Struktur fungsionalisme Penerapan faktor demografi

Tabel. Perbandingan konsepsi di antara beberapa eksponen teori konflik

Sumber: Kinloch (2005: 270).

D. Krik/Tanggapan
Kritik utama yang sering dilontarkan para ahli terhadap teori konflik adalah teori konflik
tidak bisa membebaskan dirinya dari bayang-bayang teori struktural fungsional. Teori
konflik yang semula lahir sebagai reaksi dan kritik terhadap teori struktural fungsional
nyatanya tidak memberikan alternatif teori yang lebih baik. Teori konflik bahkan tidak
lebih hanya merupakan “bayangan” saja dari teori struktural fungsional. Salah satu
persoalan terbesar teori konflik menurut Ritzer (1983: 50) adalah bahwa teori konflik
kurang mendasarkan diri pada teori Marxian. Teori Marxian sendiri berkembang dengan
sangat baik di luar sosiologi dan hal itu seharusnya menjadi basis perkembangan sosiologi.
Dahrendorf, teori yang sangat kuat dipengaruhi Marx, nyatanya teori yang dihasilkan
lebih merupakan bayangan kecil teori struktural fungsional daripada teori konflik
Marxian. Dahrendorf pada dasarnya tetap mempertahankan sosiologi mainstream yang
dalam hal ini adalah struktural fungsional. Teori konflik terlalu memfokuskan dirinya

64
pada struktur sosial dan jarang atau tidak pernah membicarakan tentang aktor beserta
pikiran dan tindakannya.
Selain itu, teori konflik dikritik antara lain karena (1) mengabaikan ketertiban dan
stabilitas; (2) berideologi radikal; (3) mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan
teori lain. Penekanan Dahrendorf, misalnya, pada hal-hal, seperti sistem (asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperatif), posisi, dan peran secara langsung mengaitkan diri
dengan teori struktural fungsional sehingga dengan demikian kelemahan teori konflik pada
dasarnya hampir sama dengan kelemahan yang ada pada teori struktural fungsional (Rizer
dan Goodman, 2008: 157–158).

E. Perkembangan/Prospek
Kontestasi teori dalam ilmu-ilmu sosial terus berlangsung hingga saat ini. Masing-masing
teori tumbuh dan mengalami kejatuhan seolah silih berganti dalam mewarnai
perkembangan sosiologi. Masing-masing teori berusaha bertahan dengan perspektif
teorinya guna mempertahankan “keabsahan” teorinya. Beberapa teori lain mempunyai
pandangan tersendiri terhadap prospek perkembangan suatu teori. Terdapat teori yang
pesimistik, namun ada juga yang optimistik. Demikian pula teori konflik, terdapat
sejumlah teori yang pesimistik, namun ada pula yang optimistik. Randal Collins,
misalnya, termasuk salah satu teori yang optimistik terhadap perkembangan teori konflik.
Collins (Ritzer, 1988: 84) menyatakan bahwa terdapat beberapa area empiris tempat teori
konflik menjadi perspektif utama dan hal itu akan terus berkembang di masa mendatang.
Collins berusaha memperluas ruang lingkup teori konflik dengan membahas tema
produksi sosial di kalangan komunitas inteltekual. Menurutnya, sejarah perkembangan
intelektualitas merupakan produk dari proses konflik. Di kalangan intelektual, terdapat
faksi-faksi yang saling berebut pengaruh atas ide-ide yang dicetuskannya. Masing-masing
faksi bersuaha menunjukkan kelemahan ide-ide dari faksi saingannya.
Collins selanjutnya berpendapat bahwa jalan utama perkembangan teori konflik
adalah pada jalur atau level analisis historis sosiologis tingkat makro. Pada ranah itu,
terdapat sejumlah teori neo-Marxian, seperti Barrington Moore, Perry Anderson,
dan Immanuel Wallerstein yang telah menghasilkan sejumlah premis konflik
multi-dimensional. Demikian pula usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Tilly, Skocpol,
dan Mann. Karya-karya para teori tersebut tidak hanya sekadar deskriptif historis, tetapi
lebih merupakan analisis umum tentang moda dominasi dan konflik. Teori konflik
tumbuh pertama kali pada area yang merupakan refleksi pola-pola historis, yakni berasal
dari riset-riset tentang stratifikasi sosial dan organisasi. Kontribusi teori konflik dari
Collins berasal dari riset-riset yang dilakukan Goffman, Garfinkel, Sack, dan Schegloff.
Salah satu perbedaan teori konflik dengan teori-teori yang lain, yaitu teori konflik

65
mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan sosiologi empiris sehingga kurang
teraplikasikan dalam refleksi metateori (dalam Ritzer, 1988: 84–85).
Teori konflik dikembangkan oleh sejumlah ahli untuk mendukung teori lain.
Sebagai contoh, studi tentang stratifikasi dilakukan dalam kerangka teori feminis.
Seorang feminis, Janet Chafetz, menggunakan analisis teori konflik dengan fokus
ketimpangan gender, atau yang ia sebut sebagai stratifikasi seks. Ia ingin mengetahui
kondisi-kondisi struktural yang menyebabkan stratifikasi seks di berbagai masyarakat dan
juga perbedaannya antar-waktu. Dia mengeksplorasi kondisi-kondisi yang memengaruhi
hal tersebut dalam hal intensitasnya, termasuk pola-pola keluarga, surplus ekonomi, dan
ideologi-ideologi patriarki. Variabel-variabel tersebut dipandang penting karena mereka
merupakan kerangka ekonomi rumah tangga dan pasar serta bagaimana perempuan dapat
melintasi dua ranah tersebut. Chafetz berpendapat bahwa perempuan akan mengalami
ketidakberuntungan pada tingkat yang minimal ketika mereka memiliki sebuah titik
keseimbangan antara kewajian-kewajiban dalam lingkungan rumah tangganya dengan
peran independennya di dunia publik. Dia juga menggariskan apa yang ia anggap
sebagai lokasi penting dalam struktur tempat kesetaraan gender dapat dicapai dengan
cara memperbaiki kondisi perempuan (Ryan, 2005b: 799).
Akhir-akhir ini, teori konflik dikembangkan dengan mengonvergensikan teori
neo-Marxian dan neofungsional. Konvergensi semacam ini meskipun demikian selalu
mengaburkan batas-batas pemikiran antara Marx dan Parson, dan lebih dari itu masih
kurang jelas mengenai gambaran yang berimbang tentang konflik dan konsensus.
Upaya-upaya tersebut tidak berhasil mengatasi menurunnya keistimewaan dan daya tarik
teori konflik sejak dekade 1950-an. Dalam disiplin yang lebih luas, masih diperlukan
usaha-usaha untuk menyitesiskan antara struktur mikro-makro dari hasil-hasil penelitian
empiris. Meskipun demikian, konvergensi paradigma neofungsional dengan neo-Marxian
akan lebih sulit bagi kita untuk melihat perspektif konflik sebagai teori penting dalam teori
sosiologi. Collins menunjukkan prognosi yang berbeda dalam hal ini. Dia berpendapat
bahwa setelah perdebatan teoretis, teori konflik dengan fungsionalisme pada dekade
1950-an, teori konflik berkembang dalam hubungannya dengan riset historis empiris
skala makro yang merupakan area substansi utamanya, seperti gerakan sosial, organisasi-
organisasi, dan stratifikasi sosial. Tekanan teori terletak pada dominasi, kekuasaan, dan
perubahan. Dalam pandangan Collins, temuan dan pemikiran yang meresap bukan
dalam sifat kesadaran diri secata teoretis. Jadi, sebagai riset dalam area berbeda berlanjut
untuk mengakumulasikan, perkembangan teori konflik mungkin secara terus-menerus
sebelumnya (Abrahamson, 2007: 147).
ooo0ooo

66
BAB III

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

A. Sejarah
Teori interaksionisme simbolik pertama kali berkembang di Amerika Serikat terutama di
Universitas Chicago pada awal abad 20. Tokoh utamanya berasal dari berbagai universitas
di luar Chicago. Dua orang tokoh besarnya adalah filsuf John Dewey dan Charles Horton
Cooley yang pindah dari Universitas Michigan dan memengaruhi tokoh lain, seperti W.I.
Thomas dan George Herbert Mead. Selain itu, Robert Ezra Park yang sedang melakukan
studi di Harvard dan dibimbing teori interaksionisme simbolik lain, yakni William
James dan Josiah Royce kemudian juga pindah ke Universitas Chicago. Tokoh terakhir
ini datang membawa pengaruh George Simmel yang ahli dalam pendidikan dan pers,
mendorong pemikiran interaksionisme simbolik bergeser ke arah empirisme. Oleh karena
itu, tidak mengherankan apabila aliran pemikiran Chicago ini lebih filosofis dan empiris
dibandingkan dengan pengikut Parsons di Harvard yang cenderung mengembangkan
teori-teori abstrak (Ritzer, 1985: 59).
Aliran Chicago diinisiasi oleh Robert E. Park dan Ernest Burgess, kemudian dilanjutkan
mulai dari dekade 1930 hingga 1950 di bawah kepemimpinan Everett C. Hughes (Cuff
et. al., 2006: 105). Aliran Chicago ini memiliki pengaruh yang kuat bagi perkembangan
sosiologi di benua Amerika, bahkan di belahan dunia yang lain. Hal ini disebabkan aliran
inilah yang menerbitkan jurnal sosiologi profesional pertama, yakni The American Journal
of Sociology yang menjadi jurnal sosiologi terkemuka di dunia hingga saat ini. Selain itu,
aliran ini mengembangkan model laboratorium alamiah dengan ciri khasnya penelitian
etnografis kualitatif mengenai proses-proses dan problem-problem sosial perkotaan
(Johnson, 2008: 53). Sejumlah teori terkenal telah dilahirkan di antaranya adalah social
disorganization. Menurut teori ini, berbagai penyimpangan sosial yang terjadi, terutama
di daerah pemukiman kumuh kota, disebabkan karena pengaruh melemahnya organisasi
sosial sebagai dampak urbanisasi yang tidak terkontrol.

67
Tokoh-tokoh aliran Chicago yang memiliki kontribusi besar antara lain adalah
George Herbert Mead, Jane Addams, William I. Thomas, dan Robert Ezra Park. Ide-ide
Mead memberi kontribusi bagi perkembangan perspektif interaksionisme simbolik yang
berada pada level analisis sosiologi mikro. Jane Adam mendedikasikan dirinya pada
pengembangan sosiologi pengetahuan dan implementasinya dalam reformasi sosial.
Thomas memfokuskan pada pentingnya definisi sosial dalam memahami perilaku.
Sementara itu, Robert Ezra Park merupakan pelopor sosiologi perkotaan dengan
menggunakan perangkat analisis ekologis.
Di antara tokoh aliran ini, George Herbert Mead merupakan tokoh yang paling
besar kontribusinya. Mead menekankan pentingnya meneliti hubungan antara interaksi
sosial dan proses-proses mental subjektif, seperti konsep diri yang berhubungan dengan
komunitas atau masyarakat yang lebih besar. Perspektif Mead adalah tentang bagaimana
pengetahuan berkembang melalui proses adaptasi terhadap lingkungan serta mengenai
pemecahan masalah sebagai jembatan antara pragmatisme dan sosiologi. Mead menyebut
perspektifnya ini sebagai behaviorisme sosial (social behaviorism). Akan tetapi, belakangan
beberapa idenya berhubungan dengan teori interaksionisme simbolik. Sebagaimana halnya
Simmel, Mead memfokuskan pada interaksi, hanya saja Mead menekankan secara lebih
eksplisit pada interaksi yang berhubungan dengan interpretasi subjektif (the thinking process)
(Johnson, 2008: 55).
Pada tahun 1922, Cooley mengembangkan teori yang terkenal, yakni the looking-glass
self yang menunjuk pada pengembangan konsep diri seorang individu berdasarkan
bagaimana dia membayangkan mengenai citra diri yang diperoleh dari orang lain, terutama
dari significant others. Tanpa umpan balik (feedback) dari orang lain, terutama anggota
keluarganya, seorang individu tidak akan mampu membentuk citra tentang dirinya. Teori
Cooley ini cukup mewarnai perkembangan teori interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1934, George Herbert Mead memformulasikan sebuah kerangka teori
yang kemudian dikenal dengan sebutan symbolic interactionism (Blumer, 2004). Mead
menggeneralisasikan teori Cooley untuk skala masyarakat yang lebih luas, mengajukan
preposisi bahwa identitas individual berada dalam konteks masyarakat, memanifestasi,
dan berubah melalui interaksi sosial. Menurut Mead, makna yang muncul dalam
interaksi sosial diperoleh melalui negosiasi antara pengirim dan penerima pesan-pesan.
Makna-makna yang khusus menyebabkan perbedaan interpretasi mengenai suatu even
interaksi. Melalui proses ini, citra diri di(ter)kostruksikan.
Herbert Blumer (1900–1987) adalah murid George Herbert Mead di Universitas
Chicago. Blumer-lah orang yang pertama kali menggunakan istilah interaksionisme
simbolik pada tahun 1937. Bagi Blumer, makna bukanlah emanasi makeup sesuatu yang
bersifat intrinsik, juga makna tidak muncul dari elemen-elemen psikologis antar-orang.
Makna tentang sesuatu bagi seseorang muncul dari bagaimana cara orang-orang lain
68
memaknai hal tersebut. Jadi, dalam perspektif ini, makna merupakan produk sosial yang
terbentuk melalui aktivitas-aktivitas orang yang berinteraksi. Individu dalam hal ini
tidaklah pasif, tetapi dapat memengaruhi individu lain, bahkan kelompok sosial. Dalam
interaksi sosial, perilaku bersifat dinamis, selalu terjadi refleksivitas diri dan negosiasi
berbagai karakter yang ada pada masing-masing individu (Farganis, 2000: 349).
Teori interaksionisme simbolik berkembang dan mencapai kejayaannya hingga
dekade 1950-an. Namun demikian, teori ini kemudian mengalami “perpecahan” dengan
munculnya aliran baru, yakni aliran Iowa yang memiliki perbedaan sangat mendasar
dengan aliran Chicago yang “menguasai” teori interaksionisme simbolik sebelumnya.
Perbedaan kedua aliran ini layaknya perbedaan antara orientasi teoretis behaviorisme
psikologi dan struktural fungsional dalam teori sosiologi secara umum.
Kematian G.H. Mead dan kepindahan Park dari Universitas Chicago merupakan
pemicu kemunduran teori ini. Selain itu, juga terdapat faktor lain, yakni pertumbuhan
sosiologi yang semakin ilmiah dengan menggunakan metode canggih dan analisis statistik.
Semakin luasnya kebencian di kalangan sosiolog terhadap dominasi aliran Chicago
juga menjadi faktor penyebab menurunnya pamor teori interaksi simbolik (Ritzer dan
Goodman, 2008). Meskipun demikian, di akhir abad 20 dan pertengahan abad 21, teori
ini kembali mengalami revitalisasi dengan munculnya sejumlah teori baru yang merupakan
pengembangan atau inspirasi teori interaksionisme simbolik. Teori ini meskipun gagal
menjadi mainstream dalam teori sosiologi, memiliki pengaruh yang luas.

B. Pemikiran/Filsafat Sosial yang Memengaruhi


Teori interaksionisme merupakan salah satu perspektif teori dalam sosiologi yang
memiliki akar pemikiran yang beragam. Banyak karya pemikir dan filsuf ternama yang
mengilhami lahirnya teori ini. Kelahiran teori interaksionisme simbolik sebagai respons
terhadap dominasi teori struktural fungsional yang telah mendominasi sosiologi selama
lebih dari satu abad. Bagi para teori interaksionisme simbolik, teori struktural fungsional
tidak mampu memecahkan persoalan klasik, namun tetap menjadi problematik, yakni
bagaimana memahami pikiran orang lain. Problem inilah yang semestinya menjadi
subject matter sosiologi menurut teori ini.
Salah satu tokoh utama teori interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead
yang tertarik melakukan studi tentang kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman
sosial. Mead bertujuan memahami bagaimana kapasitas komunikasi melalui simbol-simbol
berkembang di antara orang, serta bagaimana hal itu mematangkan kepribadian. Dia juga
bertujuan mempertahankan dua poin filsafat Cartesian, yakni pikiran merupakan sesuatu
yang natural, oleh karenanya secara esensial merupakan fenomena biologis sekaligus
sosiologis.

69
Menurut Cuff et.al. (2006), Rene Descartes (1596–1650), seorang filsuf
Prancis memiliki kontribusi secara immanen terhadap kemunculan abad pencerahan
(enlightenment) berpendapat bahwa pengetahuan terbentuk melalui reason, dan cara
memperoleh pengetahuan tersebut harus dilakukan melalui metode yang ketat (rigorous).
Dia juga mempunyai kontribusi melalui pandangannya yang kemudian dikenal sebagai
Cartesian Dualism yang melihat bahwa manusia terdiri dua elemen yang berbeda, yakni
pikiran (the mind) dan badan (the body). Hal tersebut dipahami secara terpisah. Sedangkan,
Mead berseberangan dengan pandangan ini, demikian pula terhadap ide yang menyatakan
bahwa pikiran merupakan murni fenomena individu.
Dengan demikian, salah satu akar teori interaksionisme simbolik adalah tradisi
filsafat pragmatisme. Teori ini dielaborasi dari tulisan karya Charles S. Peirce, William
James, dan John Dewey (1859–1952). Para pemikir ini menentang pandangan dunia
yang mekanistik dan asumsi-asumsi klasik dualistik. Aliran pragmatisme mendominasi
pemikiran filsafat Barat sejak abad 17 (Turner, 2006). Beberapa aspek filsafat pragmatisme
memiliki pengaruh terhadap orientasi teori sosiologi Mead (Charon, 1979 sebagaimana
dikutip Ritzer (1983: 299). Pertama, bagi penganut aliran pragmatisme, kebenaran, atau
realitas tidak berada “di luar” realitas dunia, tetapi hanya ada ketika orang melakukan
intervensi dan interpretasi terhadap apa yang sedang terjadi. Kedua, orang mempunyai
ingatan. Berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya tentang dunia, dia menggunakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin akan mengubahnya ketika tidak lagi
“bekerja”. Ketiga, orang mendefinisikan “objek-objek” sosial dan benda fisik yang
ditemukannya berdasarkan apa yang digunakannya. Terakhir, apabila seseorang ingin
memamahi aktor-aktor maka harus mendasarkan diri pada pemahaman tentang apa
yang secara aktual sedang dilakukannya.
Individu merupakan pencari pengetahuan yang aktif, makna-makna berkaitan dengan
perspektif dan tindakan sosial yang dilakukannya. Pengetahuan merupakan instrumen
yang memungkinkannya mengatasi berbagai persoalan hidup dan meredefinsikan dunia
sekitar (Denzin, 1996a; Joas, 1996; Shalin, 1986; dan Thayer, 1981) sebagaimana dikutip
Sandstrom et. al. (2001: 217). Dengan demikian, tiga poin teori interaksionisme simbolik
adalah: (1) memfokuskan pada interaksi antar-aktor dengan dunia sekitarnya; (2)
memiliki pandangan bahwa aktor dengan dunia sekitarnya merupakan suatu proses yang
dinamis, bukan struktur yang bersifat statis; (3) menekankan pentingnya kemampuan
aktor melakukan interpretasi terhadap dunia sekitarnya.
Teori interaksionisme simbolik sangat berutang budi terhadap Max Weber
terutama berkaitan dengan idenya tentang pentingnya memahami (verstehen) terhadap
tindakan orang lain. Weber mendefinisikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan
sosial. Menurutnya, suatu tindakan yang dilakukan seseorang bersifat sosial apabila
diperhitungkan oleh orang lain dalam masyarakat. Weber percaya bahwa penjelasan

70
tentang tindakan sosial dibutuhkan untuk memahami makna-makna dan motif-motif
yang mendasari perilaku manusia. Menurut Haralombos (et al. 2000: 972), sosiolog
harus menginterpretasikan makna-makna tindakan dari orang yang bersangkutan.
Sebagai contoh, dalam menjelaskan mengapa seseorang menebang pohon, sosiolog
harus dapat menemukan motif tindakan tersebut—mungkin saja dia membutuhkan
uang, untuk keperluan memasak, mungkin karena marah, atau sederet motif yang lain.
Pemahaman motif dilakukan melalui proses yang disebut Weber sebagai verstehen, yakni
membayangkan diri Anda berada pada posisi orang yang perilakunya akan dijelaskan.
Untuk memahami (verstehen) tindakan sosial, perlulah memiliki bukti yang meliputi
makna subjektif khusus (sinn) para pelaku. Hal ini menuntut sebuah kemampuan untuk
menangkap seluruh kompleks makna yang dipakai pelaku itu untuk merumuskan
alasan-alasannya untuk bertindak dengan cara yang ia lakukan. Pemahaman ini tidak
bisa dilakukan tanpa mengetahui simbol-simbol yang dipakai si pelaku untuk melukiskan
tingkah lakunya (Campbell, 1994: 204–205).
Geoge Simmel juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sosiologi
Amerika (teori interaksionisme simbolik) melalui salah satu muridnya, yakni Robert
Ezra Park. Tokoh terakhir ini dikenal sebagai pendiri aliran Chicago yang mengikuti
pandangan Simmel bahwa kota merupakan lingkungan sosial yang bersifat anonim dan
berbahaya. Selama berada di Universitas Chicago, Park menjalin hubungan dengan
Mead dan tanpa ragu memperkenalkan karya-karya Simmel. Interpretasi Mead yang
terpengaruh pemikiran Simmel menjadi fondasi sentral teori interaksionisme simbolik.
Masyarakat pada dasarnya terbentuk dari pertukaran isyarat (gesture) dan bahasa yang
keduanya merupakan proses mental (Waters, 1994: 23).
Phillipe Cabin, seorang jurnalis sekaligus sosiolog Prancis membuat skematika aliran
pengaruh teori interaksionisme yang menarik. Dalam skema tersebut, digambarkan
bahwa teori interaksionisme simbolik paling tidak mendapat pengaruh dari lima tokoh
besar masing-masing William Thomas, Robert E. Park. George Herbert Mead, E.
Hugues, dan Herbert Blumer. Menariknya, di sini G.H. Mead justru ditempatkan
sebagai tokoh yang memengaruhi teori tersebut.

71
SKEMA ALIRAN PENGARUH TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Aliran Chicago I:
• W. Thomas (1863-1944)
• R. Park (1864-1944)

G.H. Mead (1863-1931)

Aliran Chicago II:


• E. Hugues (1897-1983)
• H. Blumer (1900-1987)

Interaksionisme Simbolik:
• H. Becker (lahir 1928)
Fenomenologi: • A. Strauss (1916-1998)
• A. Shutz (1899-1959) • E. Goffman (1922- 1982)

Etnometodologi: Analisis Percakapan:

• H. Garfinke (lahir 1917) • H. Sacks

• A. Cicourel (lahir 1928) • E. Schegloff

Skema. Skema aliran pengaruh teori interaksionisme simbolik

Sumber: Cabin (2008: 118).

Revolusi Politik dan Revolusi Industri yang melanda masyarakat Eropa, terutama di
abad 19 dan awal abad 20, merupakan faktor langsung yang memunculkan teori sosiologi.
Revolusi Industri bukan kejadian tunggal, melainkan merupakan berbagai perkembangan
yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia Barat dari corak sistem
pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan
beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan pabrik-pabrik yang sedang berkembang.
Pabrik telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi. Birokrasi ekonomi berskala
besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sistem
ekonomi kapitalis (Ritzer & Goodman, 2008).
Revolusi Industri dan perkembangan kapitalisme dunia yang terjadi di dunia Barat
telah membawa dampak perubahan di berbagai aspek kehidupan manusia. Fenomena
sosial utama yang terjadi pada masa-masa awal berkembangnya teori interaksionisme
simbolik adalah kondisi sosial ekonomi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
pesat. Industrialisasi yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar telah
menjadi daya tarik bagi migran dari berbagai negara. Selain itu, negara-negara industri
menghadapi persoalan sebagai konsekuensi arus migrasi urbanisasi yang cukup deras
tersebut, yakni berupa kriminalitas, prostitusi, dan radikalisasi politik massa. Hal ini

72
selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam kaitannya dengan hubungan
antar-ras dan antar-golongan dalam masyarakat.
Menurut Joas (2008), struktur desentralisasi ekonomi dan politik yang disertai
pertumbuhan ekonomi yang kuat menyebabkan perubahan radikal kelas sosial di
AS. Sebagian perubahan itu harus disebutkan secara khusus, seperti bangkitnya kelas
menengah “profesional” yang baru. Secara politis, perubahan-perubahan itu disertai
banyak upaya untuk mencapai reformasi sosial, yang di antaranya adalah memelihara
idealisme demokrasi pengaturan diri komunitas lokal di antara hegemoni baru berupa
korporasi besar dan pemerintah federal pusat. Chicago merupakan pusat dari reformasi
ini yang didukung para intelektual yang terlibat intensif dalam gerakan tersebut. Chicago
merupakan salah satu kota besar di Amerika Serikat yang mengalami urbanisasi yang
cepat dan menghadapi berbagai persoalan sosial sebagai dampak ikutannya. Tema utama
aliran Chicago adalah berbagai masalah seputar kota modern. Oleh karena itu, menjadi
tidak mengherankan apabila para intelektual di Universitas Chicago ini mengembangkan
teori-teori di sekitar persoalan perkotaan.
Arus perubahan yang terjadi di Amerika pada waktu itu tidak hanya terbatas pada
bidang politik saja, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu
sosial. Kaum intelektual yang menjadi pelopor sekaligus motor utama gerakan reformasi
di bidang politik juga sedang merasa tidak nyaman dengan perkembangan teori-teori
sosial selama ini. Teori-teori sosial yang telah mapan saat itu, terutama teori struktural
fungsional, dianggap menjadi penyebab stagnasi, bahkan krisis ilmu pengetahuan
disebabkan kegagalannya dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial yang ada. Kondisi
kelembagaan Universitas Chicago yang baru terbentuk mendukung orientasi menuju
riset dan hubungan interdisipliner. Di universitas ini, fokus pembelajaran khususnya
bagi para mahasiswa pascasarjana, dilakukan melalui riset, dan sebagai infrastrukturnya
riset dilakukan secara kooperatif. Penciptaan sebuah jurnal profesional, American Journal
of Sociology pada 1895; serta penerbitan buku-buku karya Thomas, Park, dan Burgess
memberikan dukungan besar bagi kinerja para sosiolog di Universitas Chicago.
Suasana akademis yang mendukung menjadikan sosiologi berkembang melalui
interaksinya dengan ilmu-ilmu lain, di antaranya etnologi, filsafat, pendidikan, dan ilmu
ekonomi intitusionalistik Thorstein Veblen (Joas, 2008). Semangat reformasi yang menggelora
di kalangan akademisi Universitas Chicago ditujukan bagi terciptanya tatanan masyarakat
masyarakat yang demokratis yang menghargai hak-hak individu secara memadai. Semangat
itulah yang mewarnai kelahiran interaksionisme simbolik yang sekaligus merupakan bentuk
perlawanan kemapanan teori yang ada. Manifestasi dari semangat reformasi ini antara lain
berupa teori yang dikembangkan yang lebih mengedepankan otonomitas dan independensi
peran individu dalam membentuk budaya di masyarakat. Individu pada dasarnya memiliki
subjektivitas dalam membentuk realitas sosial.

73
C. Substansi
Teori interaksinonisme simbolik dalam tradisi sosiologi merupakan teori yang berifat
mikro dan lahir sebagai reaksi terhadap teori-teori struktural fungsionalisme yang
menafikan otoritas dan otonomi individu dalam posisinya di masyarakat. Menurut
Turner (2006), dalam tradisi sosiologi mikro, terdapat dua orientasi utama, yakni teori
pilihan rasional (rational choice theory) dan teori pertukaran sosial (social exchange theory)
di satu sisi. Sementara di sisi lain, terdapat teori interaksionisme simbolik (symbolic
interactionism) dan ethnomethodology. Tradisi ini dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi
mikro yang melihat perilaku manusia dari aspek ekonominya, yang fokus perhatiannya
terutama pada preferensi individu, hambatan-hambatan, transaksi, dan analisis untung
rugi (cost benefit analysis). Akar tradisi ini adalah perspektif pemikiran Weber mengenai
verstehen dan fenomenologi Edmund Husserl serta Alfred Schutz yang concern terhadap
subjektivitas individu dan konstruksi makna.
Dalam perspektif teori interaksionisme simbolik, apa yang disebut sebagai “realitas”,
“kebenaran”, maupun “budaya manusia” merupakan produk dari interaksi antar-individu
dalam suatu jalinan yang kompleks tempat masing-masing individu mendefinisikan
dirinya, dan juga mendefinisikan situasi ketika dia berinteraksi pada waktu itu. Realitas
mungkin berbeda antar-kelompok sosial (masyarakat), tetapi dalam satu kelompok sosial,
terdapat sistem pengetahuan yang bersifat taken for granted mengenai sesuatu yang nyata
dan benar. Budaya Barat, misalnya, menganggap bahwa sesuatu yang nyata (real) itu
didasarkan kebenaran “natural”. Sementara itu, pada masyarakat lain, kebenaran lebih
bersifat transendental.
Realitas bersifat kompleks dan secara kultural terdapat aturan khusus tentang
bagaimana orang dapat mengetahui sesuatu. Poin sentral teori interaksi simbolik
adalah melihat bagaimana anggota masyarakat memproduksi dan mereproduksi sistem
pengetahuannya melalui interaksi sosial yang mereka jalin dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan perspektif teori interaktionisme simbolik, seorang individu bertindak
terhadap orang lain berdasarkan makna yang diterima dari orang lain tersebut. Makna
tersebut berasal dan mengalami modifikasi selama proses interaksi sosial berlangsung
tempat seseorang berkomunikasi dengan yang lain melalui penggunaan simbol-simbol.
Individu dengan demikian memiliki kemampuan secara alamiah dan kultural dalam
melakukan interpretasi makna terhadap berbagai objek di sekitarnya pada saat interaksi
sosial berlangsung.
Menurut Smelser (1997), pendekatan interaksionisme simbolik menolak ide bahwa
seorang individu merupakan aktor yang pasif, berperilaku berdasarkan kekuatan-kekuatan
psikologis dan sosial. Pendekatan ini berpendapat bahwa perilaku individu tidak dapat
dipahami tanpa memperhitungkan bagaimana seorang individu secara aktif memengaruhi

74
lingkungan-lingkungannya, baik internal maupun eksternal dengan makna dan tindakan
yang berdasarkan pemaknaan. Implikasi metodologisnya adalah bahwa peneliti sosiologi
harus memahami, menghargai, dan menyertakan aspek-aspek makna tersebut dalam
setiap penjelasan perilaku manusia.
Teori ini mendasarkan pada ide bahwa kemampuan orang untuk merespons dirinya
sebagai objek memungkinkan mereka berkomunikasi dengan dirinya melalui penggunaan
simbol. Jadi, orang melakukan interpretasi terhadap dunia sekitarnya dan meresponsnya
berdasarkan interpretasinya tersebut (Borgotta dan Montgomery, 2000). Orang
memiliki kesadaran dan kemampuan merefleksikan dirinya yang secara aktif membentuk
perilakunya. Kapasitas terpenting yang mengalami perkembangan ketika orang terlibat
interaksi sosial dalah mind dan self. Mead yang melakukan penelitian menemukan bahwa
kapasitas tersebut berkembang dalam hal melihat dan merespons dirinya sebagai objek.
Individu berpikir dan belajar berinteraksi dengan dirinya (Turner, 2006).
Dalam proses berpikir tersebut, seorang individu dapat membentuk makna dirinya
sebagai objek, menerimanya, menolaknya, atau mungkin mengubahnya sesuai dengan
definisinya dan tindakan yang akan dilakukannya. Pengalaman seseorang merupakan
elemen penting bagi otonomi tindakannya. Pada saat yang sama beberapa faktor sosial,
seperti bahasa, budaya, ras dan etnisitas, kelas sosial, dan gender menjadi constrain bagi
interpretasi dan perilaku seseorang. Dengan demikian, kaum interaksionis dapat dikatakan
memiliki karakter sebagai naturalis atau soft determinis. Mereka mengasumsikan bahwa
tindakan seseorang dipengaruhi, bukan ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelumnya atau oleh kekuatan faktor-faktor biologis dan sosial (Turner, 2006).
Secara ringkas, seseorang dapat menjadi objek bagi dirinya, berinteraksi dengan
dirinya, melakukan interpretasi terhadap dirinya selama interaksi selain berbagai objek
yang ada di lingkungan sekitarnya. Kemampuan seseorang dalam melakukan refleksi
diri dan mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah objek disebut sebagai self indication.
Hasil proses ini adalah identitas diri yang selanjutnya digunakan dalam interaksi sosial.
Orang yang berinteraksi dengan orang lain terlebih dahulu mengamati dan kemudian
mengarahkan perilakunya menurut interpretasinya terhadap ekspektasi orang lain. Fields
et. al. (2006: 164) menyebutkan bahwa identitas bukan bersifat statis, juga bukan produk
agensi individual semata. Orang pada dasarnya terlibat dalam proses sosial identity work
guna memberikan makna bagi dirinya dan orang lain.
Bagi kaum interaksionis, manusia adalah aktor yang bersifat pragmatik yang secara
terus-menerus harus menyesuaikan perilakunya dengan tindakan orang lain. Manusia
mampu menyesuaikan perilakunya tersebut karena mampu menginterpretasikannya,
seperti melakukan denotasi secara simbolik, bertindak, dan membentuk dirinya sebagai
objek. Proses penyesuaian tersebut ditujukan untuk meningkatkan kemampuannya
untuk secara imajinatif memilih alternatif-alternatif tindakan yang akan dilakukannya.
75
Proses ini selanjutnya juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tentang
dan bereaksi terhadap tindakannya dan bahkan dirinya sendiri sebagai objek. Jadi, kaum
interaksionisme simbolik melihat manusia sebagai aktor yang aktif, bukan pasif, yakni
aktor yang hanya menjadi objek sosialisasi (Blumer, 2004).
Dalam melakukan interaksi, perangkat utamanya adalah simbol. Melaui simbol,
seseorang dapat melakukan interaksi, baik dengan orang lain maupun dengan dirinya.
Simbol yang paling bermakna (significant symbol) dalam interaksi sosial adalah bahasa.
Apa yang dimaksud bahasa dalam konteks ini meliputi, baik bahasa verbal maupun juga
bahasa isyarat (gesture). Manusia tidak saja dapat menggunakan simbol dalam interaksi,
tetapi juga mengembangkannya. Teori interaksi simbolik mengklaim bahwa tanpa sistem
simbol, tidak mungkin terbentuk pengalaman dan budaya manusia. Sarana utama tempat
manusia saling mempertukarkan makna simboliknya adalah bahasa.
Bahasa merupakan sistem simbol yang memungkinkan manusia berkomunikasi dan
saling berbagi makna abstrak. Bahasa, pikiran, dan perilaku sosial mempunyai kaitan
erat. Kita saling berhubungan satu sama lain dengan terlebih dahulu mengamati dan
kemudian mengarahkan perilaku kita menurut interpretasi kita terhadap ekspektasi orang
lain. Proses ini bersifat internal, kita berbicara dengan diri kita, bagaimana memaknai
situasi dan peran kita dan akhirnya bagaimana memberikan tanda bermakna kepada
orang lain. Mead, sebagaimana dikutip O’Brien (2006), meneorikan bahwa bahasa
diperoleh melalui preses interaksional. Dalam hal ini, anak-anak belajar menandai
sesuatu di lingkungan, termasuk dirinya, melalui interaksi dengan anak yang lain. Anak
tidak saja belajar mengenai suatu objek, katakanlah “bola” secara an sich, tetapi juga
belajar berbagai aktivitas lain yang berkaitan dengan bola tersebut. Anak juga belajar
respons orang lain, baik positif maupun negatif berkaitan dengan aktivitas yang mereka
lakukan, seperti ketika dia bermain bola di halaman rumah dengan ketika bermain bola
di lapangan. Singkat kata, anak-anak belajar sesuatu yang kompleks yang berhubungan
dengan orang-orang, benda-benda, dan situasi-situasi.
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang sangat kompleks sehingga
sulit dibuat rangkuman ataupun kesimpulan. Di dalamnya terdapat sejumlah tokoh yang
masing-masing telah memberikan kontribusinya bagi perkembangan teori dan memiliki
pandangan yang berbeda. Masing-masing tokoh tersebut juga mendapat pengaruh dari
para pemikir lain yang juga berlainan pandangan. Di antara tokoh-tokoh teori ini yang
akan dibahas dalam tulisan ini adalah C.H. Cooley; G.H. Mead; dan Herbert Blumer.
Berikut adalah pandangan masing-masing tokoh.

1. Charles Horton Cooley (1864–1929)


Salah satu tokoh penting yang berperan bagi kemunculan teori interaksionisme
simbolik adalah Charles Horton Cooley. Ia lahir di Ann Arbor, Michigan, dan
76
menghabiskan seumur hidupnya di sana. Cooley belajar di Universitas Michigan sekaligus
kemudian mengajar di almamaternya tersebut. Cooley mengajar selain sosiologi juga
bidang psikologi sosial dan ekonomi institusional. Meskipun sebagai dosen di Michigan
University, pemikiran Cooley sejalan dengan aliran Chicago yang membidani lahirnya
teori interaksionisme simbolik. Cooley menekuni studinya tentang kesadaran. Akan
tetapi tidak seperti ahli psikologi lain, tokoh yang satu ini menolak untuk memisahkan
kesadaran dari konteks sosial.
Selama kariernya, Cooley telah menghasilkan berbagai karya yang cukup
monumental. Cooley berusaha mengaplikasikan ide-ide tentang pragmatisme ke dalam
pengembangan teori sosiologi tentang tindakan sosial, tatanan sosial, dan perubahan
sosial. Trilogi tujuan tersebut dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berjudul Human
Nature and the Social Order (1902), Social Organization (1909), dan Social Process (1918)
(Schubert, 2005). Setelah kematiannya, koleksi tulisan Cooley diterbitkan dengan judul
Sociological Theory and Social Research (1930). Walaupun judul itu menggunakan kata
sosiologi, hanya pada dua tulisan yang menunjukkan arti pentingnya sosiologi, yakni The
Root of Social Knowledge dan Personal Competition.
Pemikiran Cooley dipengaruhi oleh beberapa tokoh sastra, seperti Emerson,
Thoreau, dan Goethe. Jejaknya dapat dilihat dari pernyataan Cooley yang menyebutkan
bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu yang artistik. Selain itu, guru mazhab organismik
Jerman, Schaffle, dan pandangan hukum evolusi Darwin juga memengaruhi pemikiran
Cooley. Hal ini tecermin dari pendapatnya mengenai masyarakat yang dilihatnya sebagai
sebuah organisme. Cooley tertarik dengan pendekatan psikologi dan menggunakannya
dalam menjelaskan fenomena masyarakat. Ia mengikuti pandangan tokoh-tokoh, seperti
William James, James M. Baldwin, dan J. Stanley Hall (Thimashef dan Theodorson)
sebagaimana dikutip Susilo (2008: 80).
Teori yang sangat terkenal dari Cooley adalah the looking glass self (cermin citra
diri). Melalui konsepnya ini, Cooley menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran
dan kesadaran tersebut terbentuk melalui interaksi sosial yang berlanjut. Bagi Cooley,
self bukan pertama individual dan kemudian sosial, melainkan ia muncul secara dialektis
lewat komunikasi. Kesadaran individu tentang dirinya merupakan pemikiran tentang
gagasan-gagasan mengenai dirinya yang ia hubungkan dengan pikiran orang lain. Konsep
Cooley tentang self ini di kemudian hari dikembangkan dan dipopulerkan sebagai teori
yang lengkap dan umum oleh William James dan George Herbert Mead.
Konsep the looking glass self dari Cooley ini berlawanan dengan asumsi-asumsi kaum
utilitarian yang menganggap bahwa self merupakan sesuatu yang bersifat natural (natural
given). Bagi Cooley, self merupakan produk sosial dalam arti individu dan masyarakat
bukannya sesuatu yang terpisah, melainkan memiliki aspek-aspek yang berbeda dari satu
hal yang sama. Konsep self ini kemudian menjadi konsep kunci George Herbert Mead
77
dalam mengembangkan interaksionisme simbolik. Sehubungan dengan hal tersebut,
Cooley menyarankan para sosiolog untuk menggunakan metode empirik yang ia sebut
sebagai sympathetic introspection, yakni suatu bentuk investigasi terhadap kesadaran aktor
dengan memosisikan self sebagai panglimanya. Formulasi ini di kemudian hari oleh para
ahli psikoanalitik disebut sebagai empathic introspection.
Konsep the looking glass self terdapat tiga elemen pokok, yaitu (1) imajinasi
penampilan seseorang pada orang lain; (2) imajinasi penilaiannya terhadap penampilannya
itu; (3) beberapa jenis perasaan self yang timbul akibat penampilannya itu, seperti bangga,
malu, dan lain sebagainya. Menurut Poloma (1984), diktum Cooley menyatakan
bahwa imajinasi yang dimiliki manusia merupakan fakta masyarakat yang solid dan
berfungsi sebagai suatu warisan realitas dunia subjektif. Cooley selanjutnya menekankan
pentingnya mempelajari fakta subjektif, meskipun fakta objektif tidak boleh diabaikan.
Sebagai contoh, bilamana orang membatasi sesuatu sebagai hal yang riil, batasan subjektif
tersebut juga akan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang riil pula. Realitas masyarakat
berada dalam pikiran individu, sebaliknya pikiran individu terdiri atas imajinasi pikiran
orang lain yang merupakan fakta riil dari masyarakat.
Konsep Cooley tentang the looking glass self berhubungan dengan konsep lain
dalam sosiologi, yakni self-fulfilling prophecy. Konsep ini adalah suatu peristiwa
yang menjadi benar karena orang bertindak dalam suatu cara untuk merealisasikan
harapan-harapannya. Sebagai contoh, ketika sebagian besar nasabah bank mempunyai
persepsi bahwa suatu bank sedang colapse dan kemudian melakukan penarikan uang
tunai secara massal (rush), bank tersebut akan benar-benar colapse. Sesuatu yang penting
dalam konteks ini tidak selalu benar, tetapi tindakan orang dilakukannya berdasarkan
definisinya tentang sesuatu yang riil. Orang tidak merespons peristiwa langsung, tetapi
interpretasinya terhadap sesuatu.
Kepercayaan tentang karakteristik terhadap kelompok orang yang dipertahankan
masyarakat (stereotypes) sering menghasilkan self fulfilling outcome. Interaksi yang
berlangsung sehari-hari dipengaruhi sistem kepercayaan atau nilai-nilai sosial budaya
yang diasumsikan riil dan benar. Ketika orang berinteraksi, orang tersebut akan berusaha
memperoleh berbagai informasi tentang orang lain. Informasi tersebut selanjutnya
dikonfirmasikan dengan stereotype yang ada dan kemudian berharap orang lain bertindak
seperti stereotype tersebut. Kemudian, orang bertindak sesuai dengan apa yang menjadi
harapannya atau harapan orang lain. Dari tindakannya tersebut, orang memperoleh
ide bagaimana menerima orang lain. Selanjutnya, perilaku berubah sesuai harapan atau
dilakukan konfirmasi dengan stereotype.
Dalam studinya tentang organisasi sosial, Cooley mengelaborasi konsep lain yang
kemudian terkenal dengan the primary group, yang merupakan proses inti dari sebuah
institusi yang terdapat di dalamnya interaksi yang intim (face-to-face interactions) dan
78
mempertahankan simbol-simbol serta makna bersama (common symbols and meanings).
Dalam karyanya yang berjudul Social Process (1918), ia menjelaskan bagaimana human
plasticity mendorong perubahan sosial sebagai suatu proses yang tidak pernah berakhir
sekaligus proses yang rentan bagi perubahan respriokal dalam self, kelompok primer, dan
definisi sosial. Konsepsi pragmatisnya tentang potensi kreatif disorganisasi sosial menyatakan
bahwa pemutusan tradisi-tradisi memiliki akibat positif dan negatif (Turner, 2006).

2. George Herbert Mead (1863–1932)


George Herbert Mead dilahirkan di South Hadley, Massachussetts, Amerika, pada
27 Februari 1863, anak dari seorang pendeta, Hiram Mead. Ia mendapatkan pendidikan
terutama bidang filsafat dan aplikasinya terhadap kajian psikologi sosial. Mead lulus
sarjana muda di Oberlin College di tahun 1883 dan beberapa tahun kemudian menjadi
guru sekolah dasar. Tahun 1887, Mead meneruskan pendidikannya di Harvard dan di
Universitas Leipzig. Selama di Jerman, Mead mempelajari beberapa gagasan filsafat dari
berbagai tokoh, seperti Kant, Hegel, dan Fichte selain mempelajari pemikiran psikologi
sosial Wilhelm Wundt.
Mead kemudian ditawari mengajar di Universitas Michigan pada tahun 1891.
Pada 1894, atas undangan John Dewey, ia pindah ke Universitas Chicago hingga akhir
hayatnya. Tokoh terakhir ini memiliki pengaruh terhadap Mead dengan pemikiran
aliran filsafat pragmatisme. Walaupun telah memasuki usia pensiun pada tahun 1928,
Mead tetap mengajar sebagai dosen kehormatan dan ketua jurusan filosofi pada tahun
1930. Selain sebagai seorang akademisi, Mead juga seorang aktivis sosial yang terlibat
dalam berbagai aktivitas reformasi sosial. Dia percaya bahwa sains dapat digunakan
untuk mengatasi berbagai persoalan sosial.
Pemikiran Mead mengenai pentingnya komunikasi diinspirasi oleh filsuf sekaligus
pendiri aliran pragamatisme di Amerika, yakni C.S. Peirce (1839–1914). Akan tetapi,
pengaruh terbesar bagi Mead adalah pemikiran filsuf John Dewey dan ahli psikologi
sosial Charles Horton Cooley. Menurut Poloma (1984), Mead mengembangkan suatu
kerangka yang menekankan arti pentingnya perilaku terbuka (overt) atau objektif dan
perilaku tertutup (covert) atau subjektif di dalam aliran sosiologis. Posisi Mead berada di
antara subjektivisme ekstrem dari Cooley, yang melihat masalah pokok sosiologi sebagai
hanya “imajinasi-imajinasi” dan objektivisme Durkheim. Joas (2001: 92) menyebutkan
model teori tindakan yang dikembangkan Mead melalui empat tahap, yakni impulse,
perception, manipulation (need-satisfaction), dan consummation. Pembedaan utama antara
manusia dan makhluk lain adalah pada tahap ketiga.
Berbeda dengan Blumer, Mead memperhitungkan faktor konflik dan status sosial
dalam interaksi sosial. Kedua faktor tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap
proses pemaknaan dan tindakan seseorang. Mead menyadari bahwa manusia sering
79
terlibat dalam suatu aktivitas yang di dalamnya terkandung konflik dan kontradiksi
internal yang memengaruhi perilaku yang diharapkan. Mereka menyebut “konflik
intrapersonal”, yang menggambarkan konflik antara unsocialized will—nafsu, dorongan,
dan lain sebagainya—dengan keinginan (suara) significant group yang terinternalisasi.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan self yang juga memengaruhi
konflik intrapersonal, di antaranya adalah posisi sosial. Orang yang mempunyai posisi
tinggi cenderung mempunyai harga diri (self esteem) dan citra diri (self image) yang tinggi
selain mempunyai pengalaman yang berbeda dari orang dengan posisi sosial berbeda.
Status sosial memengaruhi mileu interaksional selain pandangan orang terhadapnya.
Pemahaman makna dari konsep diri pribadi dengan demikian mempunyai dua
sisi, yakni sisi pribadi (self) dan sisi sosial (person). Karakter diri secara sosial (person)
dipengaruhi oleh “teori” (aturan, nilai-nilai, norma-norma) budaya setempat seorang
berada dan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang dalam budaya tersebut.
Konsep diri terdiri dari dimensi dipertunjukkan (display) sejauh mana unsur diri berasal
dari diri sendiri atau lingkungan sosial (realization) dan sejauh mana diri dapat berperan
aktif (agency). Dari perspektif ini, tampaknya konsep diri tidak dapat dipahami dari
diri sendiri. Dengan demikian, makna dibentuk dalam proses interaksi antar-orang
dan objek diri, ketika pada saat yang bersamaan memengaruhi tindakan sosial. Ketika
orang menanggapi apa yang terjadi di lingkungannya, ketika itu ia sedang menggunakan
sesuatu yang disebut conduct (sikap).
Tindakan sosial adalah proses yang melibatkan tiga unsur, yakni masyarakat,
diri pribadi, dan pikiran. Komunikasi dapat terjadi apabila terdapat significant symbol.
Tindakan sosial terdiri dari (1) isyarat awal dari seorang individu; (2) respons terhadap
isyarat dari orang lain; dan (3) hasil atau makna komunikasi dari suatu tindakan. Makna
berada pada ketiga hubungan tersebut. Konsepnya yang lain adalah self (diri pribadi
sebagai objek), role taking (pengambilan peran untuk memahami diri), significant others
(orang-orang yang berarti dalam kehidupan seseorang yang memengaruhi pemaknaan),
generalizhed other (gabungan untuk melihat diri), mind (proses interaksi dari diri sendiri),
serta perilaku diri tidak terorganisasi dan impulsif dan me (generalized other).
Ketika interaksi menjadi rutin, orang masih melakukan manajemen impresi.
Dalam hal ini, orang masih merasa penting untuk melakukan observasi dan mengevaluasi
penampilannya. Citra dan idealisme yang dipertahankan seseorang tentang suatu perilaku
yang pantas merepresentasikan sikap dan nilai orang tersebut. Hal ini merupakan fungsi
ekspektasi dari generalized other untuk memberikan suatu ideal script memainkan peran
yang pantas dalam suatu situasi. Individu harus mendapatkan bekal simbol-simbol yang
cukup karena ia harus melakukan take the role of the other (mengambil peran orang lain).
Karena banyaknya peran yang tersedia di masyarakat, tentu tidak semuanya diambil.
Hanya pihak-pihak yang dipercayai saja yang berhubungan dengan proses take the role

80
of the other itu. Sekalipun pada kehidupan sosial, individu bertemu dengan banyak
orang, banyak model tentunya pula banyak peran, tetapi tidak semua mereka terima
atau adopsi.
Hanya peran dari significant others saja yang digunakan untuk panduan peran.
Adapun significant others yang dimaksud mengacu pada pengertian berikut (Hery
Etzkowitz & Ronald G. Glassman, 1991: 157), “Those people in our lives who provide the
perspective from which we learn to view ourselves.” Ada pula sosiolog yang mendefinisikan
significant others sebagai those who have an important influence or play a formative role
in shaping the behaviour of another (Gordon Marshall, 1998: 601) sebagaimana dikutip
Susilo (2008: 72).
Mead mengklaim bahwa tanpa sistem simbol, tidak mungkin terbentuk pengalaman
dan budaya manusia. Manusia belajar untuk mengelompokkan orang ke dalam peran
sosial, seperti guru, hakim, tentara, dan sebagainya. Ekspektasi kultural secara khusus
berhubungan dengan peran-peran sosial tadi. Respons perilaku dan emosional terhadap
stimuli lingkungan dibentuk oleh proses penamaan terhadap suatu hlm. Jadi, dengan
demikian, perilaku yang berbeda bukan sebagai jawaban atas stimulus tertentu, melainkan
sebagai jawaban atas perilaku orang lain terhadap stimulus yang sama.

3. Herbert Blumer (1900–1987)


Herbert Blumer lahir 7 Maret 1900, di St. Louis, Missouri. Ia berkarier di Fakultas
Sosiologi pada Universitas Chicago tahun 1927–1952. Blumer adalah murid Mead
yang juga mengajar di Chicago. Setelah Mead meninggal tahun 1931, Blumer banyak
mengganti posisi gurunya tersebut. Tidak heran apabila gagasan Blumer banyak mengacu
pada tradisi keilmuan yang telah dirintis gurunya tersebut. Blumer mengembangkan
gagasan Mead selama 25 tahun. Penghargaan tertinggi sesuai dengan profesi saat Blumer
menjadi redaktur dari American Journal of Sociology dari tahun 1941–1952. Juga, sebagai
Presiden American Sociological Association (ASA) pada tahun 1956 (Susilo, 2008:
163–164).
Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional yang menyatakan bahwa tindakan
manusia lebih ditentukan oleh struktur masyarakat yang berada di luar kediriannya
(eksterior), teori interaksionisme simbolik berpandangan bahwa tindakan manusia
ditentukan oleh makna yang ada pada dirinya. Makna tersebut berasal dari proses
interpretasi seseorang terhadap berbagai objek di luar dirinya ketika interaksi berlangsung.
Dengan demikian, makna tersebut bersifat labil dan temporer. Dalam kaitan ini, Herbert
Blumer sebagaimana dikutip Maines (2005: 58), mengemukakan bahwa teori interaksi
simbolik bertumpu pada tiga premis, yakni (1) manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; (2) makna tersebut

81
berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain; (3) makna-makna tersebut
disempurnakan pada saat interaksi sosial berlangsung.
Interaksi simbolik yang diketengahkan Blumer (1969) mengandung sejumlah root
images atau ide-ide dasar yang dapat diringkas sebagai berikut (Poloma, 1984: 269): (1)
masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian
melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai “organisasi sosial”; (2)
interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan
manusia lain, baik interaksi non-simbolik, maupun interaksi simbolik; (3) objek-objek
tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi
simbolik; (4) manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka juga dapat melihat
dirinya sebagai objek; (5) tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh
manusia; (6) tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi
sosial dari tindakan-tindakan berbagai manusia”. Sebagian besar tindakan bersama
tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai
“kebudayaan” dan “aturan sosial”.
Selanjutnya, premis-premis Blumer dapat dijelaskan sebagai berikut: manusia itu
memiliki “kedirian” (self). Ia dapat membuat dirinya sebagai objek dari tindakannya sendiri,
atau ia bertindak menuju pada dirinya sebagaimana ia dapat bertindak menuju pada
tindakan orang lain. Hal ini mendorong individu untuk membuat indikasi terhadap dirinya.
Sedangkan, indikasi kedirian itu kita sebut dengan keseluruhan kesadaran yang memiliki
berbagai tingkatan. Self dan bentuknya itu dijembatani oleh bahasa yang mendorong manusia
untuk mengabstraksikan sesuatu yang berasal dari lingkungannya, dan memberikannya
makna—“membuatnya menjadi suatu objek”. Objek bukan hanya merupakan rangsangan,
melainkan ia dibentuk oleh disposisi tindakan individu (Zeitlin, 1995: 332).
Sandstrom et. al. (2001: 218–219) menyatakan bahwa premis-premis yang
disampaikan Blumer secara implisit terdapat asumsi-asumsi lain yang selanjutnya menjadi
pemandu arah perspektif interaksionisme simbolik. Beberapa asumsi tersebut antara
lain: (1) manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya menggunakan
simbol-simbol; (2) orang secara distingtif menjadi manusia melalui interaksi yang
dilakukannya; (3) orang memiliki kesadaran dan kemampuan melakukan refleksi
diri, hal itu membentuk khazanah pengetahuan yang dimilikinya; (4) orang adalah
makhluk yang memiliki tujuan, bertindak dalam, dan menyesuaikan terhadap situasi;
(5) masyarakat terdiri dari orang-orang yang terlibat dalam interaksi simbolik; (6) untuk
dapat memahami tindakan sosial seseorang, peneliti memerlukan metode yang dapat
mengungkapkan makna-makna yang ada di balik tindakan tersebut.
Sebagaimana Mead, Blumer berpandangan bahwa seseorang memiliki kedirian
(self) yang terdiri dari unsur I dan Me. Unsur “I” merupakan unsur yang terdiri dari
82
dorongan, pengalaman, ambisi, dan orientasi pribadi. Sedangkan unsur “Me” merupakan
“suara” dan harapan-harapan dari masyarakat sekitar. Kedirian (self) dikonstruksi melalui
interaksi, dan hal itu melalui beberapa tahap.
Tahap pertama, individu menginternalisasi objek. Seorang individu secara
sadar memahami realitas tempat dia berhubungan dan berusaha melepaskan diri dari
tekanannya. Ketika individu menginternalisasi objek fisik dan menguasainya, objek
tersebut menjadi bagian dari pengalaman batinnya. Tahap berikutnya, suatu proses
transmisi terjadi ketika individu merealisasikan bahwa dia juga merupakan objek bersama
dengan objek-objek lain di lingkungannya.
Filmer, Jenks, Searle, dan Walsh (1998) mendeskripsikan realisasi ini sebagai berikut,
“Dalam diri individu, pembentukan self pada umumnya dalam bentuk dialog antardua
bagian, yakni, I dan me.” “I” terdiri dari stimuli yang bersifat psikis dan sosiologis yang
menghasilkan gestural behavior. Sebaliknya, “me” adalah respons dari orang lain yang
diinternalisasi. Seorang individu akan memiliki kesadaran akan self dan secara simultan
juga memiliki kesadaran terhadap orang lain. Menurut William James (O’Brien, 2006),
kedirian seseorang adalah sebanyak orang pernah berhubungan dengannya. Hal ini dapat
diinterprestasikan bahwa kita selalu menempatkan identitas atau topeng-topeng, ketika
berinteraksi dengan orang lain—meskipun semua orang tahu bahwa beberapa identitas
dirasa lebih konsisten dan nyata dibandingkan identitas lain.
Bagaimana proses kehidupan masyarakat itu terjadi? Teori interaksionisme simbolik
menjelaskan bahwa individu atau unit-unit tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang
tertentu saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka melalui proses
interpretasi. Apabila aktor yang berbentuk kelompok, tindakan kelompok itu merupakan
tindakan kolektif dari individu yang tergabung ke dalam kelompok itu. Bagi teori ini,
individual, interaksi dan interpretasi merupakan terminologi kunci dalam memahami
kehidupan sosial. Penjelasan ini berdasarkan lima asumsi yang dibangun sebagai berikut
(Ritzer, 1985: 63–68).
1) Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol serta memberikan tanggapan
terhadap simbol-simbol tersebut.
2) Melalui simbol-simbol, manusia berkemampuan menstimulasi orang lain dengan
cara-cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain
itu.
3) Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai,
dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
4) Simbol, makna, serta nilai-nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya
terpikirkan oleh mereka dalam bagian yang terpisah-pisah, tetapi selalu dalam bentuk
kelompok yang kadang-kadang luas dan kompleks.

83
5) Aktivitas berpikir merupakan suatu proses pencarian kemungkinan yang bersifat
simbolis dan untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir
keuntungan dan kerugian realtif menurut penilaian individual, yang salah satu di
antaranya dipilih.
Selanjutnya, berdasarkan kelima asumsi tersebut, dibangun dua preposisi umum,
yakni (1) dengan mempelajari kultur atau subkultur, manusia mampu memprediksi
tindakan antara sesamanya sepanjang waktu dan mengeksploitasi tindakannya sendiri
untuk memprediksi tindakan orang lain; (2) individu menentukan sendiri barang sesuatu
yang bermakna bagi dirinya sendiri—begitu pula sasaran tindakannya serta sifat khas
cara-cara mencapai tujuannya itu (Ritzer, 1985: 65–66).
Dalam konteks ini, teori interaksionisme simbolik menggunakan perspektif
filsafat pragmatisme dalam melihat perilaku sosial. Filsafat ini berpandangan bahwa
perilaku sosial manusia didasarkan pada pemecahan masalah berupa adaptasi terhadap
lingkungan fisik, berbeda dengan binatang yang beradaptasi dengan lingkungan secara
instingtif. Manusia secara sadar memahami lingkungannya, menggunakan pandangannya
untuk memahami dunia sekitar dan perilaku sosial memiliki karakter simbol. Dengan
demikian, terdapat interaksi yang sinergis antara manusia dan lingkungannya dalam
proses pembentukan identitas diri. Identitas dan budaya bukan merupakan entitas
yang dapat dipisahkan. Batas-batas menggambarkan perbedaan dalam hal kepercayaan,
kepentingan, dan kekuatan relatif di antara orang atau kelompok.
Pandangan Blumer ini sejalan dengan gurunya, yakni G.H. Mead, yang menyatakan
bahwa dalam percakapan internal terkandung di dalamnya pergolakan batin antara unsur
“I” (pengalaman dan harapan) dengan unsur “Me” (batas-batas moral). Self merupakan
manifestasi dari konflik antara me yang socialized dengan harapan dan sesuatu yang ideal
yang muncul ketika interaksi sosial berlangsung. Pandangan orang lain terutama yang
memiliki kedekatan (significant other) memengaruhi citra diri dan tindakannya. Citra
diri dan idealisme yang dipertahankan seseorang tentang suatu perilaku yang pantas
merepresentasikan sikap dan nilai orang tersebut.
Pandangan Blumer ini dikembangkan Blumstein yang secara khusus tertarik pada
cara-cara tempat kedirian (selves) dihasilkan dari hubungan personal. Tesis Blumstein
menyatakan bahwa significant others, khususnya teman intim, merupakan kontributor
penting bagi terbentuknya self karena mereka merefleksikan penilaian. Kepercayaan, citra
rasa, dan kebiasaan dari significant others, juga merupakan sumber input budaya yang
digunakan untuk memakai/membuang identitas sosial. Hubungan dengan kelompok
referensi mempunyai pengaruh terhadap penilaian diri/keputusan seseorang. Perspektif
ini juga membantu menjelaskan mengapa orang mempunyai perilaku sama, padahal
mereka mempunyai citra diri yang berbeda (O’Brien, 2006).

84
Dalam perspektif teori interaksionisme simbolik, pembentukan dunia sosial
terbentuk melalui komunikasi simbol. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Julia T. Wood
(1992) menawarkan model guna menjelaskan bahwa komunikasi merupakan proses
dinamik dan sistemik ketika komunikator menghasilkan makna melalui interaksi dengan
simbol. Terdapat delapan elemen, yakni waktu, sistem bersama, hambatan komunikasi,
interaksi simbol, komunikator A sebagai sistem keprribadian, komunikator B sebagai
sistem kepribadian, dunia fenomenal A, dan dunia fenomenal B. Interaksionisme
simbolik menghubungkan komunikator, baik dengan tindakan sekuensialnya maupun
tindakan simultan.
Demikian pentingnya bahasa sehingga, menurut O’Brien (2006), manusia menjadi
makhluk sosial melalui kemampuannya memformulasikan bahasa berdasarkan sistem
makna. Kita sebenarnya hidup dalam universalitas simbol daripada dalam suatu
lingkungan alam. Manusia mengorganisasi eksistensinya ke dalam suatu realitas penuh
makna melalui simbol-simbol dan bahasa merupakan bentuk simbol paling primer.
Salah satu implikasi dari tesis ini adalah bahwa tatanan sosial berada dalam alam
pikiran manusia, dan bentuk konseptual penuh makna berhubungan dengan organisasi
pengalaman dan persepsi masing-masing orang.
Teori interaksionisme simbolik bukanlah teori yang bersifat tunggal sehingga
mudah untuk disimpulkan. Teori ini memiliki spektrum pemikiran yang beragam.
Antara George Herbert Mead dan Herbert Blumer, yang merupakan tokoh utama teori
ini, ternyata memiliki segi-segi persamaan dan perbedaannya. Konsep sosialitas Mead
dipengaruhi oleh teori relativitas Einstein dan prinsip-prinsip teori evolsui dari Darwin.
Sementara itu, konsep-konsep yang dikembangkan Blumer beberapa di antaranya
mengacu kepada gurunya, yakni Mead. Selain itu, Blumer juga mendapat pengaruh
kuat aliran pragmatisme filsafat, terutama dari John Dewey.
Blumer terlihat lebih ambisius dalam mengembangkan paradigma baru dalam
sosiologi, yakni dengan melakukan berbagai studi yang mendalam mengenai berbagai
macam persoalan dengan menggunakan pendekatan teori interaksionisme simbolik.
Blumer membedakan secara lebih jelas antara model stimulus-respons dari pendekatan
behaviorisme psikologi dan simbolik atau komponen meaningful dari interkasi sosial.
Blumer melihat bahwa semua stimulus pertama kali dilihat dan diinterpretasikan
oleh aktor dalam term-term makna sebelum aktor merespons (bertindak). Kontribusi
penting dari Blumer antara lain adalah konsepnya mengenai penafsiran (interpretation),
struktur dan proses, metodologi, dan kajian tentang interaksi yang diantarai penafsiran
dan simbol. Sementara itu, kontribusi Mead ada pada konsep tentang I, Me dan Self,
serta pentingnya sosialisasi. Karya Mead yang berjudul Mind, Self, and Society (1934)
merupakan kumpulan catatan kuliah yang dikompilasi murid-muridnya, termasuk
Blumer. Berikut adalah perbandingan teoretis antar-keduanya.

85
PERBANDINGAN TEORI ANTARA G.H. MEAD DAN H. BLUMER

ASPEK G.H. MEAD H. BLUMER

PERSAMAAN
Individu memiliki kedirian (selves) dan karenanya memiliki kemampuan untuk melakukan self
Tekanan (Stressing)
interaction.
Arti penting makna Penentu tindakan seseorang. Manusia bertindak atas sesuatu berdasar makna yang dimiliki.
Self Interaction termanisfestasikan dalam peran yang dimainkan seseorang ketika mereka
Kapasitas/fungsi membuat indikasi-indikasi terhadap dirinya.
Self Interaction Self Interaction memungkinkan individu mengevaluasi dan menganalisis sesuatu berdasarkan
apa yang dipikirkan.
Kapasitas/fungsi individu dalam Melalui interaksi dengan dirinya sendiri, individu dapat mengantisipasi efek-efek dari berbagai
Self Interaction alternatif sikapnya dan karenanya dia dapat memilihnya.
Tidak hanya sebagai respons terhadap lingkungan, juga bukan hasil dari disposisi keinginan,
Perilaku Individu
sikap, dan motif tak sadar atau nilai-nilai sosial.
Keduanya dikritik sebagai tidak memperhitungkan struktur sosial dan efek-efek yang tidak
Kritik terhadapnya diharapkan, dan karya mereka dinilai memberikan kontribusi besar bagi psikologi sosial, tetapi
gagal sebagai teori sosial.
PERBEDAAN
Pendekatan yang digunakan Behaviorisme psikologi Behaviorisme sosial.
Keberadaan struktur (posisi
Mengakui struktur sebagai sesuatu yang fleksibel dan
sosial, organisasi birokrasi, dan Menolak
kemampuan improvisasi.
sebagainya)
Hakikat manusia Makhluk kreatif Makhluk yang sadar dan refleksif.

Tabel 3.1 Perbandingan Teoretis antara G.H. Mead dan H. Blumer

Sumber : Diolah dari Baert (1998: 72–74)

Secara keseluruhan, teori interaksionisme simbolik kemudian terbelah menjadi dua


aliran besar, yakni aliran Chicago dan aliran Iowa. Pembelahan ini layaknya perbedaan
antara orientasi teoretis, behaviorisme psikologi, dan struktural fungsional yang ada
dalam khazanah teori sosiologi secara umum. Peristiwa ini terjadi setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Kedua aliran ini dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Aliran
Chicago sangat kuat dipengaruhi oleh George Herbert Mead dan Charles Horton Cooley.
Sementara itu, aliran Iowa sangat dipengaruhi karya-karya Robert Ezra Park dan William
Issac Thomas. Pendekatan yang digunakan juga memiliki perbedaan. Aliran pertama
menggunakan pendekatan psikologi sosial, sedangkan aliran kedua menggunakan
pendekatan sosiologi mikro.
Kelahiran aliran Iowa merupakan reaksi terhadap aliran Chicago yang terlalu
menekankan pada interaksi beserta proses-proses penafsiran yang dilakukan individu di
dalamnya. Manfred Kuhn mencoba mengubah pandangan ini ke dalam variabel-variabel
yang terukur. Kuhn mengasumsikan bahwasanya self bersifat stabil dan tidak berubah.
Ia menciptakan instrumen pengukuran sikap yang terkenal dengan sebutan Twenty
Statements Test. Dalam aplikasinya, seseorang diminta untuk memilih dari rangkaian 20
86
pertanyaan yang paling tepat mendeskripsikan dirinya dan kemudian menghubungkan
dengan posisi sosialnya (Craib, 1986).
Kelahiran aliran ini makin menegaskan betapa kompleksnya perspektif teori
interaksionisme simbolik. Dalam perkembangan selanjutnya, kompleksitas teori semakin
bertambah dengan dilakukannya upaya-upaya untuk menyintesiskan teori ini melalui
penggunaan berbagai pendekatan teori lain. Bryant (2007: 85) menyatakan bahwa teori
interaksionisme simbolik terdiri dari beberapa varian yang masing-masing mencerminkan
perbedaan tradisi teoretis. Teori ritual Durkheim memengaruhi dramaturgi. Sementara
itu, interaksi antara kedua teori tersebut menjadi elemen penting lahirnya teori baru,
yakni etnometodologi. Pertanyaan mendasar dari teori baru ini adalah bagaimana orang
yang saling berinteraksi satu sama lain dapat menghasilkan tatanan sosial bersama,
bahkan ketika mereka saling tidak kenal dan senyatanya mereka dapat saling berbeda
pandangan.

PERBANDINGAN TEORETIS ALIRAN CHICAGO DENGAN ALIRAN IOWA


Aspek Aliran Chicago Aliran Iowa
• Setting and situation. • Self concept.
Fokus • Interaksi dan proses-proses • Pengukuran variabel-variabel dalam interaksi
penafsiran. sosial.
Pendekatan Psikologi sosial. Sosiologi mikro.
Asumsi tentang hubungan “I”
Interdeterminasi antara “I” dan “me”. “I” Subsumed by “me”.
dan “me”
Asumsi tentang “I” Emosional, impulsif, dan energetic. “oversocialized” character.
Selalu berubah selama proses interaksi Relatif stabil/tidak berubah selama proses
Asumsi tentang “Self”
tergantung situasi dan penafsiran. interaksi.
Tidak dapat diprediksi dan tidak dapat
Predictable karena individu mengalami internalisasi
Asumsi tentang Human Behavior ditentukan (individu sebagai creative
norma-norma.
inovator).
Merupakan proses konstruksi di mana
Stimuli tidak dapat diinterpretasi dan
refleksi individu tergantung stimuli
dipertimbangkan.
lingkungan.
Tindakan manusia dilakukan sebagai
respons terhadap konsekuensi- Tindakan manusia dilakukan hanya berfungsi
Asumsi mengenai Human Action konsekuensi yang mungkin dalam sebagai triggers terhadap apa saja yang
hubungannya dengan berbagai “diperbolehkan”.
kepentingannya.
Individu merupakan pembuat atau
Individu tidak dapat menciptakan peran. Individu
pencipta peran yang diinginkan sebagai
Asumsi mengenai peran hanya bertindak berdasarkan ekspektasi-
konsekuensi proses interpretasi yang
ekspektasi yg diserap dari struktur sosial.
tentatif dan eksploratif.
Tokoh Utama Herbert Blumer Manfred Kuhn

Tabel. Perbandingan Teoretis Aliran Chicago dengan Aliran Iowa

Sumber: Diolah dari Craib (1986: 115); Ritzer (1990: 119); dan Waters (1994: 26).

87
Menurut Fine (1990: 136–137), teori interaksionisme simbolik saat ini merupakan
gabungan wawasan asli dengan pemikiran yang berasal dari teori mikro lain seperti teori
pertukaran, etnometodologi dan analisis percakapan, dan fenomenologi. Bahkan, yang
lebih mengherankan adalah integrasi gagasan dengan teori-teori makro, seperti Parsons,
Durkheim, Simmel, Weber, dan Marx. Teori interaksionisme simbolik juga berupaya
mengintegrasikan pemikiran dari post-strukturalisme, postmodernisme, dan feminisme
radikal. Interaksinonisme simbolik post-Blumerian menjadi perspektif yang jauh lebih
sintetis daripada di masa jayanya Blumer.
Tujuan mengintegrasikan interaksionisme simbolik dikemukakan oleh Stryker
(1980:53), “Kerangka teori yang memuaskan harus menjembatani struktur sosial dan
individu, harus mampu bergerak dari tingkat aktor ke tingkat struktur sosial berskala
luas dan lalu kembali lagi...harus ada sebuah kerangka konseptual yang memfasilitasi
gerakan melintasi tingkat organisasi dan individu.” Perinbanayagam (1985: xv)
mengartikulasikan tujuan serupa bagi interaksionisme simbolik, “Adanya struktur dan
arti, diri dan lain-lain, adanya hubungan dialektika dan kemunculan, yang mengarah
pada dialektika interaksionisme.”
Stryker menghubungkan orientasinya dengan interaksionisme simbolik Meadian,
tetapi mencoba mengembangkannya ke tingkat kemasyarakatan, terutama melalui
penggunaan teori peran (Ritzer dan Goodman, 2008: 312). Pemikiran kedua tokoh ini
barangkali mendekati tujuan teori-teori linkage dan konstruksi sosial Peter Berger dan
Thomas Luckmann. Menurut Kedua tokoh ini, hubungan antara diri (self) dan dunia
sosiokultural bersifat dialektis, berlangsung melalui tiga “momen”, yakni eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi (Berger & Luckmann, 1990). Teori-teori linkage ini berusaha
memosisikan dirinya sebagai jembatan antara sosiologi mikroskopik dan makrokospik.
Teori linkage pada dasarnya merupakan refleksi dari ketidakpuasan sebagian sosiolog baik
terhadap pendekatan sosiologi makroskopik maupun mikroskopik. Kedua pendekatan
tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing yang dapat disintesiskan
menjadi sebuah kerangka teori yang lebih komprehensif.

D. Krik/Tanggapan
Lahirnya teori interaksionisme simbolik telah memberi warna tersendiri dalam teori
sosiologi kontemporer. Menurut Jones (2009), pengaruh interaksionisme paling umum
adalah pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita
pikir siapa kita”. Berarti, citra diri (self image)—kesadaran identitas kita—adalah produk
dari cara orang lain berpikir tentang kita. Akibatnya, dalam hal ini, “saya adalah apa
yang saya pikir engkau berpikir tentang saya”. Bagi interaksionisme, simbolik inilah
terutama apa yang dimaksud dengan sosialisasi. Jadi, bukan proses tempat aturan-aturan

88
kebudayaan yang sudah ada, bersifat eksternal, yang secara umum diinternalisasi oleh
manusia, seperti pendapat teori struktural. Citra diri adalah produk interpretif—alokasi
makna antara satu orang dan orang lain—yang bagi teori tindakan adalah akar dari
semua interaksi sosial. Bahkan, menurut Bogdan dan Taylor (1993), semua organisasi
sosial berisi para pelaku yang mengembangkan definisi-definisi sari suatu situasi, atau
perspektif melalui proses penafsiran dan siapa yang kemudian menjalankan perbuatan
yang sesuai yang sesuai dengan definisi-definisi itu.
Sementara itu, Fine (1990) memberikan penilaian yang cukup komprehensif
mengenai teori interaksionisme simbolik. Menurutnya, paling tidak teori ini memiliki
enam kontribusi bagi perkembangan teori sosiologi yang lain, yakni (1) teori tentang self
and identity; (2) dramaturgi, perhitungan dan presentasi diri; (3) teori perilaku kolektif dan
tindakan kolektif; (4) teori tentang budaya dan seni; dan (5) pendekatan sosiolinguistik;
(6) teori problem-problem sosial. Uraian berikut ini merupakan intisari kontribusi teori
interaksionisme simbolik terhadap perkembangan masing-masing teori tersebut.
1. Teori self and identity. Kebanyakan citra tentang diri digunakan oleh kaum interaksionis
untuk menggambarkan bagaimana individu mencocokkan dirinya dengan dunia sosial
sekitarnya dan sebagai hasilnya teori ini menciptakan dan memperluas konsep-konsep,
seperti the looking glass self (Cooley), the generalized other (Mead), role-taking (Mead),
role-playing (Coutu), role-making (Hewitt), identity salience (Stryker), the impulsive
self (Turner, Zurcher), the self concept (Gecas), role merging (Turner), atau altercasting
(Weinstein and Deutchberger). Metodologi yang dikembangkan juga berbeda tidak lagi
tipikal participant observation, tetapi juga menggunakan grounded, in-depth interviews,
open-ended questionnaires, experimental studies, bahkan large-scale survey research. Selain
itu, teori tentang self juga mempunyai pengaruh terhadap studi-studi tentang emosi
dan sosiologi organisasi. Studi terakhir berpendapat bahwa selves berkaitan dengan
organisasi dan institusi tempat dia terlibat di dalamnya, seperti keluarga, sekolah,
gerej, dan tempat kerja. Teori tentang self di masa yang akan datang akan bergerak
meninggalkan perspektif psikologi sosial murni.
2. Teori dramaturgi, perhitungan, dan presentasi diri. Selain mendapat pengaruh
dari Blumer, Mead, Cooley dan Hughes, Goffman juga dipengaruhi Durkheim,
Simmel, dan Schutz. Ide Goffman mengenai kehidupan sebagai sebuah panggung
sandiwara sebenarnya bukanlah yang pertama kali dicetuskan. Lebih dari 2.500
tahun yang lalu, ide mengenai kehidupan sosial sebagai sebuah drama dan orang
sebagai aktor digunakan oleh pemikir-pemikir, seperti Plato, Thomas Hobbes, Adam
Smith, Denis Diderot, dan Jean Jacques Rousseau. Selanjutnya, publikasi Goffman
memengaruhi para pemikir lain dan lahirlah konsep-konsep baru, seperti masks
(Strauss), performance (Messenger et. al.), dan strategies (Scott and Lyman; Hewitt
and Stokes). Konsep tentang account (perhitungan) menunjuk pada teknik yang

89
digunakan untuk me-manage kesan tentang dirinya terhadap orang lain. Konsep ini
selanjutnya diaplikasikan oleh sejumlah peneliti dalam bidang yang beragam, seperti
pembunuhan (Ray dan Simons), kehidupan sekolah (Kalab), perkosaan (Scully dan
Marolla), dan pemalsuan (Fine).
3. Teori perilaku kolektif dan tindakan kolektif. Studi sosiologis tentang perilaku kolektif
meskipun aslinya bukan berasal dari teori interaksionisme simbolik, melainkan sangat
erat berkaitan dengan perspektif ini. Blumer menganalisis hal itu melalui bertahannya
jalur-jalur tindakan kolektif. Perilaku irasional yang menjadi karakteristik tindakan
kolektif tidak dapat secara mudah dianalisis dengan menggunakan model tindakan
aktor rasional. Teori ini kemudian memengaruhi kemunculan teori norma (Turner
dan Killian), frame analysis (Snow et al.; Gamson; Fireman; dan Retyna) serta teori
konvergensi (McPhail dan Miller). Premis-premis teori interaksionisme simbolik
yang digunakan oleh ketiga teori di atas adalah premis tentang dinamika interaksi,
konstruksi makna, dan negosiasi makna. Di antara teori interaksionis, terutama
Blumer, dalam hal perhatiannya pada perilaku kolektif menunjukkan bahwa
interaksionisme simbolik bukan merupakan antitesa sosiologi makro. Blummer
menggunakan konsep fitting together dari jalur tindakan untuk menyatakan bahwa
perilaku bukan hanya merupakan fungsi determinasi-determinasi individual atau
negosiasi “lokal”.
4. Teori tentang budaya dan seni. Teori interaksionisme simbolik mempunyai pengaruh
terhadap semiotika, strukturalisme, dan etnometodologi. Studi-studi budaya yang
dilakukan Howard Becker juga sangat dipengaruhi oleh teori interaksionisme
simbolik. Dalam sosiologi kebudayaan, pendekatan teoretis yang dominan adalah
perspektif “produksi budaya” yang menyatakan bahwa dunia seni haruslah dianalisis
layaknya industri yang menghasilkan sebuah produk. Selanjutnya, studi yang
dilakukan Becker memengaruhi beberapa kolega dan muridnya, seperti Rosenblum,
Bennet, Kealy, Gilmore, Mukerji, dan Lyon. Dalam satu dekade terakhir, sosiologi
kebudayaan berkembang menjadi sebuah disiplin yang serius dan penting, serta
tetap berada dalam hubungan antara kemanusiaan dan ilmu sosial yang diperluas
dan diperdalam.
5. Pendekatan sosiolinguistik. Setiap pendekatan yang menekankan pentingnya eksistensi
simbol dalam tatanan sosial harus menyertakan sistem simbol yang paling nyata
dan penting, yakni bahasa. Bahasa merupan poin sentral teori Mead, tetapi selalu
diabaikan oleh teori interaksionisme simbolik generasi selanjutnya, seperti Blumer
dan Hughes. Revitalisasi studi sosiologis tentang bahasa justru lebih banyak dilakukan
oleh etnometodologis dan antropolog budaya daripada teori interaksionisme simbolik.
Analisis percakapan etnometodologis dilakukan oleh Sack, Schegloff, Jefferson,
Zimmerman, West, Molotch, dan Boden. Sementara itu, pendekatan sosiolinguistik

90
dikembangkan oleh Sapir dan Whorf. Penelitian-penelitian sosiolinguistik ke depan
meliputi usaha-usaha untuk menempatkan kajian tersebut pada analisis keterkaitan
makro-mikro (macro-micro link) seperti yang dilakukan Deirdre Boden yang
menyatakan bahwa percakapan menstruktur organsisasi sosial.
6. Teori problem-problem sosial. Teori interaksionisme simbolik memiliki peran
cukup besar terhadap studi-studi tentang problem sosial. Teori ini terlibat dalam
organisasi dan menerbitkan jurnal Social Problems. Teori Labeling dari Becker telah
merevolusi analisis sosiologis tentang problem sosial yang menyatakan bahwa publik
mempunyai tanggung jawab terhadap munculnya berbagai perilaku menyimpang
di masyarakat. Teori ini memiliki pengaruh terhadap studi-studi problem sosial
pada dekade 1960-an hingga 1970-an meliputi topik-topik, seperti gangguan
kejiwaan, kejahatan, dan penyimpangan perilaku seksual. Belakangan, para teoretikus
interaksionis tertarik pada problem sosial yang ditempatkan pada formulasi yang
lebih makro, seperti yang dilakukan oleh Spector, Kitsuse, Conrad, dan Schneider.
Teori interaksionisme simbolik juga mempunyai kaitan erat dengan teori retorika
Keneth Burke yang menyatakan bahwa dunia hanya dapat dipahami melalui
konstruksi metaforis, tempat orang membentuknya, dan identifikasi-identifikasi
yang dilakukannya berasal dari konstruksi tersebut. Teori retorika ini selanjutnya
digunakan oleh beberapa kademisi, seperti Gusfield, Manning, Loseke, Fine, dan
Lofland dalam melakukan studi-studinya.
Pemikiran Mead mengalami renaissance akhir-akhir ini terutama dipelopori oleh Hans
Joas, Gary Cook, and Dmitri Shalin. Jürgen Habermas, bahkan lebih ambisius dengan
membingkai dan merekonstruksi elemen-elemen sosiologi Mead dan menghubungkan
dengan teorinya yang terkenal, yakni theory of communicative action. Habermas tetap
mempertahankan fokus Mead, yakni pada koordinasi interaksi melalui simbol-simbol
signifikan (Turner, 2006). Habermas mengembangkan konsepnya yang terkenal,
yakni tindakan komunikatif (communicative action) yang menunjuk pada komunikasi
interpersonal yang diorientasikan pemahaman bersama tempat masing-masing partisipan
menjadi dirinya dan bukan sebagai objek manipulasi. Masing-masing aktor yang terlibat
dalam komunikasi tidak semata-mata bertujuan mencapai kesuksesan bagi dirinya, tetapi
berusaha menciptakan suasana harmonis dalam komunikasi.
Seorang profesor emeritus di Universitas California, San Francisco, Anselm L.
Strauss bersama rekannya Barney G. Glaser tahun 1968 menerbitkan The Discovery of
Grounded Theory. Mereka mengembangkan pendekatan untuk penelitian empiris yang
meliputi metode penelitian komparatif tempat teori dibangun secara induktif melalui
penelitian eksploratif. Pendekatan tersebut terkenal dengan nama grounded theory. Strauss
menginterpretasikan dunia sosial sebagai a negotiated order. Perspektifnya dapat dilihat

91
dalam karya-karyanya yang berjudul The Hospital and its Negotiated Order (1963); Mirrors
and Masks, The Search for Identity (1959); Negotiations (1978); serta Social Organization
of Medical Work (1985). Dalam karya yang disebut terakhir ini, Strauss dan koleganya
melakukan studi tentang negosiasi yang berlangsung di tempat kerja khususnya rumah
sakit. Studinya memfokuskan mengenai bagaimana interkoneksi antara teknologi,
organisasi kerja, dan kelompok jabatan di-manage (Turner, 2006).
Sosiolog Prancis kontemporer, Pierre Bourdieu, mengembangkan teorinya
mengenai bahasa sebagai pertarungan simbolik dan kekuasaan juga dengan menggunakan
pendekatan teori interaksionisme simbolik. Hanya saja kemudian Bourdieu menggugat
subjektivisme yang menempatkan subjek intelektual pada peran utama pembentukan
dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan waktu yang melatarbelakanginya.
Dalam konteks ini, sebenarnya bukan hanya Bourdieu yang mendapat pengaruh teori
interaksionisme simbolik. Hampir semua teori linkage memperhitungkan eksistensi teori
interaksionisme simbolik dalam membangun teorinya. Bagi Bourdieu, sebagaimana
dikutip Branson dan Miller (2008), para agen interaksi sosial adalah para pelaku strategi
(strategist), sementara ruang dan waktu merupakan segi yang integral dalam strategi
mereka itu. Praktik strategi mereka distrukturkan oleh lingkungan sosiokulturalnya, yang
dinamakan Bourdieu habitus mereka, yang meliputi disposisi-disposisi terstruktur yang
pada gilirannya akan menjadi basis bagi penstrukturan (strukturasi) terus-menerus.
Teori interaksionisme simbolik juga memiliki pengaruh terhadap berbagai teori
feminis. Teori peran yang disodorkan Lopata lebih mendasarkan diri pada penekanan
teori interaksionisme simbolik pada peran daripada konsep peran Parsonian. Sementara
itu, teori sosialisasi juga menggunakan pandangan teori interaksionisme simbolik
tentang perkembangan identitas diri dalam proses yang memproduksi identitas diri
yang digenderkan. Sejumlah teori feminis sosiolinguistik, psikologi sosial, dan sosiolog
memfokuskan perhatian pada tradisi teori ini yang mendefinisikannya sebagai medium
kunci melalui mana “pikiran, diri, dan masyarakat” diproduksi komunikasi simbolik
atau bahasa (e.g., Fishman, 1982; Mayo & Henley, 1981; West & Zimmerman, 1977)
sebagaimana dikutip (Chafetz, 2006: 16).
Pengaruh teori interaksionisme simbolik tidak saja di benua Amerika dan Eropa,
tetapi juga di belahan dunia lain. Perkembangan sosiologi di Jepang, misalnya, pada
dasarnya melanjutkan tradisi sosiologi di Amerika. Perkembangannya meliputi
diversifikasi area substantif, metodologi, dan teori, selain juga ditandai berkembangnya
asosiasi-asosiasi sosiologi spesifik. Area substantif meliputi kajian dalam bidang
organisasi, keluarga, pendidikan, psikologi sosial, olahraga, tenaga kerja, hukum, dan
agama. Sementara itu, diversitas pendekatan metodologi meliputi metodologi subjektif,
fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan etnometodologi (Sasaki, 2000) sebagaimana
dikutip Bryant (2007: 64).

92
Karena teori interaksionisme simbolik ditandai berbagai perspektif teori, asumsi dan
metode maka teori ini mengalami perkembangan berupa luasnya cakupan studi yang
menggunakan teori ini. Areanya meliputi studi institusi, seperti keluarga, ilmu pengetahuan,
kedokteran, agama, serta berbagai fenomena, seperti penyimpangan, perilaku kolektif/
gerakan sosial, gender, emosi, sosialisasi, dan hubungan antar-ras/etnik. Selain itu, teori
interaksionisme simbolik juga memiliki kontribusi terhadap kajian mendalam mengenai
konstruksi sosial atau kekuasaan individu yang membentuk setting sosial. Teori konstruksi
sosial dari Berger dan Luckmann ini tetap mempertahankan argumennya bahwa orang
menciptakan sebuah realitas yang dialami bersama sebagai memiliki makna subjektif
sekaligus kenyataan objektif (Bryant, 2007: 159).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa teori interaksionisme simbolik telah
memberikan kontribusi yang luas bagi munculnya sejumlah teori sosial dewasa ini. Hal
ini merupakan salah satu keunggulan yang nyata dari teori tersebut. Kelahirannya pada
awal abad 20 telah mematahkan dominasi teori struktural fungsional yang positivistik
tempat teori interaksionisme simbolik memberikan alternatif yang berbeda dalam
menjelaskan fenomena sosial. Dimensi-dimensi subjektivitas aktor yang selama ini tidak
pernah diperhitungkan mendapat tempat utama dalam teori interaksionisme simbolik.
Singkat kata, teori interaksionisme simbolik telah menyadarkan para ilmuwan sosial
bahwa realitas sosial pada dasarnya tidak bersifat tunggal.
Teori struktural fungsional yang positivistik dituduh sebagai telah gagal dalam
mengembangkan teori tersebut. Aktivitas intelektual yang dilakukan sejumlah ilmuwan
hanya berkutat menguji dan membuktikan teori-teori yang telah mapan. Dalam kondisi
seperti inilah, teori sosiologi khususnya dan teori-teori sosial pada umumnya mengalami
kemandegan (stagnasi). Kondisi serupa juga dialami teori aksi (action theory). Kondisi
kevakuman teori tersebut pun telah dimanfaatkan dengan baik oleh teori interaksionisme
simbolik untuk menjadi kekuatan utama teori sosiologi. Selain itu, arti penting teori
interaksionisme simbolik adalah dalam melawan dominasi teori behaviorisme, terutama
behaviorisme radikal. Bagi interaksionisme simbolik, perilaku manusia bukan sekadar
respons terhadap stimulus yang ada sebagaimana dijelaskan behaviorisme.
Selain beberapa keunggulan yang telah diuraian di atas, tentu saja teori ini memiliki
beberapa kelemahan. Para pengkritik tidak saja datang dari “luar”, tetapi juga berasal
dari kalangan dalam sendiri. Kebanyakan kritik sering dialamatkan kepada Mead dan
Blumer sebagai tokoh utama teori ini. Menurut Baert (1998: 73–74), kritik yang sering
dilontarkan terhadap Mead dan Blumer adalah bahwa keduanya mengabaikan stuktur
sosial dan pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan (unintended effects). Selain itu,
karya-karya mereka dikritik mempunyai andil yang cukup berarti bagi studi psikologi
sosial, tetapi gagal dalam mengembangkan teori-teori sosial. Namun sebenarnya,
kritik-kritik tersebut menurut Baert tidak selalu tepat. Konsep Mead tentang generalized

93
other menunjukkan bahwa dia sangat memerhatikan struktur sosial. Selain itu, baik Mead
maupun Blumer, juga memerhatikan pengaruh tidak diharapkan.
Sementara itu, menurut Craib (1986: 118), kritik yang paling sering dijumpai dalam
literatur terhadap teori interaksionisme simbolik adalah bahwa ia mengabaikan ciri-ciri yang
lebih luas dari struktur sosial dan oleh karena itu tidak bisa mengatakan apa pun mengenai
kekuasaan, konflik, dan perubahan, Juga, perumusan teorinya sama sekali samar-samar.
Butir-butir ini telah biasa dibuat seolah-oleh jelas pada dirinya. Setiap orang idiot bisa
melihat struktur-struktur sosial dan akibatnya dan hanya orang bodoh yang bisa puas
dengan rumus samar itu.
Kritik seperti ini sebenarnya tidak selalu tepat karena teori peran yang dikembangkan
interaksionisme simbolik secara sungguh-sungguh memerhatikan struktur sosial. Konsep
self bukanlah individual, melainkan sosial karena memerhatikan orang lain terutama
(significant others) dalam proses self identification. Selain itu, teori interaksionisme
simbolik juga memerhatikan budaya dan posisi sosial yang juga dapat memengaruhi
proses interaksi sosial. Bagi aliran Chicago, struktur sosial merupakan entitas abstrak
dan individu selalu menafsirkan ulang entitas-entias abstrak tersebut.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2008: 309–310) menginventarisasi
adanya empat kritik utama terhadap teori interaksionisme simbolik. Pertama, aliran
utama interaksionisme simbolik dituduh terlalu mudah membuang teknik ilmiah
konvensional. Kedua, konsep-konsep dari Mead, seperti pikiran, diri, I dan Me dianggap
tidak jelas, ambigu, bahkan kontradiktif. Di luar teori Meadian, konsep-konsep teori
interaksionisme simbolik dinilai keliru, tidak tepat. Oleh karena itu, tidak mampu
menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset. Ketiga, interaksionisme
simbolik dikritik karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berskala luas.
Keempat, interaksionisme simbolik dinilai tidak cukup mikroskopik, mengabaikan peran
penting faktor, seperti ketidaksadaran dan emosi.
Lemert (1997) sebagaimana dikutip Sandstrom et. al. (2001: 227), menyatakan
bahwa dalam beberapa dekade terakhir, tantangan paling nyata bagi teori interaksionisme
simbolik mainstream berasal dari para teori postmodern. Menurut para teori pengkritik
ini, dalam era posmodern, term yang mendominasi adalah multidimensional yang
menggambarkan kondisi ketika seseorang “menemukan” dirinya dalam suasana kemajuan
negara-negara kapitalis modern. Kondisi ini ditandai dengan tumbuhnya budaya
konsumsi, masyarakat yang sangat berorientasi pada media, tumbuhnya teknologi
informasi dan industri budaya, komodifikasi citra, pluralisasi dunia sosial, dan disorientasi
kedirian serta penghancuran nilai-nilai modernis dominan sebelumnya. Di atas semua
itu, kondisi era postmodern ditandai dengan transformasi sosial yang berjalan dengan
sangat cepat.

94
E. Prospek/Perkembangan
Media massa di era postmodern ini menampilkan berbagai mitos dan stereotype yang pada
ujungnya mengklasifikasi status individu berdasarkan kelas ekonomi, ras, suku, agama,
kelompok sosial, maupun gender. Terpaan pesan-pesan dan tanda-tanda melalui media
massa mampu mengonstruksikan kedirian (self) seseorang secara berbeda dibandingkan
dengan pesan dan tanda yang diterimanya ketika berinteraksi langsung dengan orang lain.
Dengan demikian, proses self identification tidak hanya merefleksikan hasil interaksinya
dengan orang lain secara face to face, tetapi juga dibantu oleh hadirnya media massa.
Perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat juga dapat mengubah manajemen
kesan (impression management) dalam interaksi sosial. Realitas-realitas seperti ini dapat
meruntuhkan premis-premis, preposisi-preposisi, dan berbagai teori yang telah dibangun
kaum interkasionisme simbolik.
Secara epistemologis, tradisi ilmu pengetahuan sejak abad pertengahan dipengaruhi
secara kuat oleh positivisme. Aliran filsafat ini tidak saja memengaruhi ilmu-ilmu alam
(natural science), tetapi juga ilmu-ilmu sosial (social science), terutama sejak Durkheim
mulai melakukan studi-studi intensif tentang berbagai fakta sosial. Aliran ini memandang
bahwa sesuatu (fakta) dapat dianggap benar apabila terukur dan dapat diuji kembali
(verifikatif). Setiap pernyataan pengetahuan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan
ke fakta, tidak mempunyai makna apa-apa. Ketika hal ini diterapkan pada ilmu sosial,
akan terjadi reduksi objek ontologis manusia dalam tataran kuantifikasi matematis.
Sosiologi sejak kelahirannya pada kenyataannya sangat dipengaruhi oleh aliran
positivisme yang merupakan paham yang kembangkan oleh para the founding fathers.
Durkheim dikenal sebagai sosiolog yang menganut paham positivisme karena pada
dasarnya ia menggunakan ilmu pengetahuan (sains) untuk menjelaskan kehidupan sosial.
Durkheim berpandangan bahwa sesuatu yang terjadi di alam semesta disebabkan oleh
sesuatu yang berada di alam semesta juga. Keajegan yang terjadi di alam semesta disebabkan
keajegan lain. Hubungan sebab akibat (kausalitas) ini disebut sebagai “hukum”.
Menurut Durkheim, sebagaimana dikutip Jones (2009), struktur sosial sama
objektifnya dengan alam. Sifat struktural diberikan kepada masing-masing warga
masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena
alam, yang hidup maupun tidak. Suatu masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang
bersifat “eksternal dan menghambat” individu. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah
ada menentukan gagasan dan perilaku individu melalui sosialisasi. Sama halnya dengan
gejala alam yang merupakan produk aturan alam, gagasan, dan tindakan manusia adalah
produk kekuatan sosial eksternal yang membentuk struktur sosial.
Aliran ini telah menemui jalan buntu bagi pengembangan ilmu maupun
kemanusiaan. Hal ini disebabkan penelitian-penelitian yang dilakukan hanya sebatas

95
menguji teori-teori yang telah ada berdasarkan fakta empirik yang ditemukan di
lapangan. Analisis yang dilakukan—kebanyakan menggunakan pendekatan kuantitatf—
menjadi “kering” oleh karena telah mereduksi sedemikian rupa unsur-unsur subjektivitas
manusia. Sosiologi positivistik melihat masyarakat sebagai fenomena objektif yang dapat
dideskripsikan sebagai seperangkat kekuatan yang tidak mengenal sejarah (ahistoris). Pada
masyarakat kapitalis, sosiologi positivistik dikembangkan dengan cara mengasingkan
individu-individu dalam proses penciptaan sejarah, karena itu sosiologi gagal sama sekali
dalam menganalisis masyarakat sebagai sebuah bangunan kemanusiaan.
Sosiologi positivisitik membangun pengetahuan melalui observasi-observasi empiris
yang dapat diuji secara ketat. Apa yang disebut data dalam hal ini adalah deskripsi
tentang perilaku-perilaku sosial, dan nilai individual. Data disebut objektif kalau dapat
diuji dengan model-model teori yang sudah ada. Konsep-konsep utama yang lalu
dikembangkan di antaranya adalah konsep bebas nilai. Objektivitas dan bebas nilai bagi
sosiologi positivistik tidak lain adalah keinginan untuk membedakan antara fakta dan
nilai; serta antara teori dan praktik.
Positivisme juga dikritik karena asumsinya yang keliru dalam hal hakikat manusia
dan masyarakat. Sosiologi yang dipengaruhi positivisme beranggapan bahwa masyarakat
merupakan fenomena objektif yang bersifat ahistoris. Menurut Salim (2001: 39),
penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitiatif berusaha untuk mengungkapkan
kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Sedangkan, Guba (1990: 19) menjelaskan bahwa sistem keyakinan dasar positivisme
berakar pada ontologi realis, yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang
dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tetap. Sebagaimana dalam tradisi ilmu-ilmu
alam, Sosiologi positivistik melihat bahwa hakikat manusia tak ubahnya seperti data mati
yang tidak bergerak. Konsekuensi metodologisnya, dalam melakukan penelitian, peneliti
cenderung memisahkan diri dari objek kajiannya. Manusia sebagai objek penelitian
dianggap tidak mempunyai perasaan, motivasi, kehendak dan berbagai karakteristik
kemanusiaan lainnya. Manusia dalam pandangan ilmu positivistik merupakan manusia
yang tidak mempunyai subjektivitas.
Positivisme ditengarai oleh sebagian ahli, terutama Heidegger (1996), telah
menyebabkan terjadinya krisis ilmu pengetahuan bukan saja ilmu-ilmu naturalistik,
melainkan juga ilmu-ilmu humanities, termasuk sosiologi (Riyanto, t.t.: 13). Di
tengah krisis dan stagnasi teori sosiologi tersebut, teori interaksionisme simbolik lahir
dan memberikan alternatif baru bagi penjelasan terhadap realitas sosial yang ada.
Berbeda secara diametral dengan sosiologi positivistik, teori interaksionisme simbolik
menempatkan subjektivitas individu sebagai lokus penjelasan terhadap perilaku
individu. Bagi teori interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanlah barang sesuatu yang
mengendalikan dan memaksakan (coersive and constrain) tindakan individu. Fakta sosial

96
sebagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat ditempatkan di dalam kerangka
simbol-simbol interaksi manusia. Fakta sosial merupakan kerangka tempat tindakan
manusia mengambil tempat (setting), bukan faktor penentu tindakan sosial.
Dengan posisinya seperti itu, teori interaksionisme simbolik juga menyerang teori
behaviorisme yang juga cukup berpengaruh dalam khazanah teori sosial. Dalam perspektif
teori interakasionisme simbolik, behaviorisme tidak mengakui arti penting individu dalam
masyarakat karena melihat perilaku manusia hanya semata-mata ditentukan rangsangan
(stimulus) yang datang dari luar dirinya. Bagi teori interaksionisme simbolik, manusia
merupakan individu yang lebih otonom, memiliki kebebasan dalam taraf tertentu
untuk menentukan keputusan dan perilaku yang diambil serta memiliki kemampuan
melakukan interpertasi dan menciptakan dunianya. Meskipun dominasi teori ini dalam
percaturan teori sosiologi hanya berlangsung singkat, teori ini telah membuktikan dirinya
memiliki kontribusi besar bagi tumbuhnya sejumlah teori sosiologi kontemporer. Selain
itu, sejumlah ahli yang melakukan penelitian dengan menggunakan teori ini memberikan
bukti bahwa di masa depan teori ini tetap prospektif, baik dalam melahirkan teori baru
maupun dalam membangun teori yang lebih integratif.
ooo0ooo

97
BAB IV

TEORI FEMINISME

A. Sejarah
Feminisme sebagai sebuah teori dan gerakan sosial mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Josephine Donovan (2000: 11) membagi teori feminisme berdasarkan tahapan
era perkembangannya, yakni teori feminisme gelombang pertama (the first wave) yang
dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 20, kemudian teori feminisme gelombang
kedua (the second wave) yang berlangsung kurang lebih dua dekade, yakni dimulai pada
dekade 1960-an hingga 1980-an, dan terakhir feminisme gelombang ketiga (the third
wave) yang dimulai pada dekade 1990 hingga saat ini. Masing-masing gelombang
terdapat teori feminisme yang menjadi mainstream, seperti pada gelombang pertama
yang sangat dipengaruhi oleh teori feminisme liberal.
Setelah berlalu beberapa abad, nilai-nilai pencerahan, seperti kebebasan dan
hak-hak, memengaruhi aliran liberalisme fundasional di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Liberalisme berpengaruh selama abad 19 sebagai ideologi sentral berada di samping
sosialisme di kiri dan konservatisme di kanan. Liberalisme membantu tumbuhnya
gerakan feminisme gelombang pertama yang kemudian menjadi gerakan yang menjalar
di dunia Barat. Meskipun feminisme liberal menjadi ciri konstan masyarakat modern,
versi feminisme liberal melakukan kritik terhadap ide-ide pencerahan. Feminisme
mempunyai hubungan yang ambivalen dengan akar liberalisme. Kate Nash (2001)
melihat ambivalensi tersebut justru menjadi sangat produktif terhadap perkembangan
teori feminisme. Hal itu mungkin karena dorongan transformatif akibat resistensi
terhadap teori feminisme liberal. Selain itu, resistensi terhadap liberalisme juga
memengaruhi liberalisme. Liberalisme terus mendapat tantangan hingga awal dekade
1960-an. Feminisme gelombang kedua mungkin yang penentang serius pertama ide-ide
liberalisme, seperti hak-hak asasi dan isu ranah publik/privat (domestik). Pada dekade
1980-an, komunitarian dan postmodernis juga menjadi penentang hegemoni liberalisme

99
dalam teori sosial. Seperti ditandai munculnya teori postkolonial. Pada dekade 1990-an,
terjadi krisis dalam liberalisme dan hal itu meningkatkan resistensi terhadapnya.
Kaum feminis yang termasuk dalam feminisme gelombang pertama berusaha
memperjuangkan hak pilih. Para tokoh feminisme ini terutama berasal dari AS dan
mereka memulai pertemuan pertama di New York tahun 1948. Tujuan gerakan
feminisme ini adalah memperjuangkan kebebasan berbicara di muka publik, hak milik,
dan hak-hak politik bagi perempuan. Perjuangan mereka mencapai puncaknya pada
tahun 1920, ketika Amandemen Konstitusi AS ke-19 diratifikasi yang mengesahkan
hak pilih bagi perempuan. Sejumlah feminis yang menjadi tokoh gerakan feminisme
gelombang pertama ini antara lain Susan B. Anthony; Elizabeth Cady Stanton; Lucretia
Mott; Sojourner Truth; dan Lucy Stone.
Berkaitan dengan diakuinya berbagai hak perempuan pada pertengahan dekade
1960-an beberapa feminis, yakni Bella Abzug, Betty Friedan, Gloria Steinem, dan
lainnya mendirikan organisasi feminis yang berhasil meningkatkan kesadaran gender,
baik di kalangan perempuan maupun laki-laki. Tokoh-tokoh tersebut termasuk dalam
gerakan feminisme gelombang kedua yang memfokuskan pada perjuangan untuk
memperoleh kesamaan upah bagi buruh perempuan, akses pekerjaan dan pendidikan,
pengakuan terhadap pekerjaan rumah tangga “tak berupah”, serta pengurangan beban
ganda perempuan. Feminisme gelombang kedua ini ditandai dengan berdirinya
kelompok-kelompok pembebasan perempuan (women’s liberation) yang menganut
politik kiri, seperti gerakan mahasiswa bagi masyarakat demokratik. Selanjutnya,
kelompok-kelompok ini bergabung dengan kelompok lain yang menuntut perubahan
sistem politik melalui organisasi politik yang mereka bentuk. Feminisme gelombang
kedua ini berlangsung hingga dekade 1980-an ketika berbagai serangan ditujukan
kepadanya hingga gerakan ini mengalami stagnasi. Beberapa varian teori feminisme
yang lahir pada era ini, antara lain feminisme Marxis, feminisme radikal, feminisme
psikoanalisis, feminisme sosialis, feminisme eksistensialis, dan feminisme postmodernis.
Publikasi Beauvoir yang berjudul The Second Sex dan Betty Friedan yang berjudul The
Feminine Mystique menjadi landasan gerakan feminisme gelombang kedua. Gerakan
perempuan yang melemah antara dekade 1920 hingga 1960 mengalami revitalisasi pada
dekade 1960-an. Di AS berdiri organsiasi perempuan berskala nasional, yakni National
Organization for Wowen (NOW). Di organisasi ini, Freidan membantu membidani
dan merevitalisasikannya.
Teori feminisme gelombang ketiga muncul pada dekade 1990-an, terdiri dari
eksponen yang merupakan saudara ataupun juga keturunan para eksponen teori
feminisme gelombang kedua. Isu-isu yang dimunculkan adalah isu-isu yang saat ini
menjadi perhatian dari berbagai kalangan antara lain seperti isu tentang pengasuhan
(penitipan anak) sebagai dampak kesibukan orangtua yang meniti karier, pencapaian

100
posisi yang menentukan dalam perusahaan bisnis dan birokrasi pemerintahan,
pembangunan berkelanjutan, dan juga kepekaan gender pada tingkat global. Feminisme
gelombang ketiga ini mempunyai gaung yang lebih besar karena lebih bersifat global,
ditandai dengan terbentuknya koalisi dan jejaring yang mendukung perkembangan
feminisme. Beberapa tokoh feminisme gelombang kedua menjadi bagian dalam gerakan
ini. Di AS gelombang ketiga ini bersifat multikultural dan inklusif, mendapat dukungan
dari berbagai kalangan perempuan sebagaimana juga para lesbian dan gay.
Beberapa feminis gelombang ketiga mengusung isu berupa tantangan-tantangan
yang dihadapi feminisme terdahulu. Dengan menekankan diri pada penindasan yang
diakibatkan oleh sistem patriarkhal, feminisme ini tumbuh subur di negara-negara yang
terdapat di dalamnya tokoh feminisme gelombang kedua yang berusaha memperjuangkan
kesamaan dalam pekerjaan dan pendidikan, akses terhadap pengendalian kelahiran,
dukungan terhadap pihak kepolisian dalam penanganan perkosaan, serta keterwakilan
perempuan dalam dunia politik. Terdapat banyak perbedaan dalam feminisme gelombang
ketiga ini, terutama dalam hal penggambaran citra diri perempuan. Feminisme gelombang
ketiga berusaha menunjukkan signifikansi peran dan citra perempuan dalam ranah
publik, dan mereka berusaha agar perempuan mempunyai keterlibatan yang lebih intens
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Aliran feminisme yang mewarnai
feminisme gelombang ketiga ini antara lain adalah black feminism dan ekofeminisme.
Sesungguhnya teori feminisme mendapat sambutan luas dari kalangan akademisi
mulai pada dekade 1960-an. Muncul kesadaran di kalangan akademisi terutama sosiolog
mainstream, bahwa studi-studi tentang kelas sosial yang selama ini dilakukan telah
melupakan is-isu gender dan teori feminisme di dalamnya. Salah satu hal yang dilupakan
tersebut adalah isu mengenai bagaimana mengukur kelas sosial untuk menentukan
posisi sosial perempuan (istri) “yang tidak bekerja”. Menurut Turner (2007: 89),
gender menjadi persoalan dalam sosiologi di Inggris pada mulanya di bawah payung
sosiologi perkawinan dan keluarga. Peter Wilmot dan Michael Young (1960) melakukan
studi penting tentang kehidupan keluarga pekerja di London Timur dipublikasikan
dengan judul Family and Class in a London Suburb. Studi tersebut bertujuan menguji
apakah derajat koneksi familial dan komunitas kelas pekerja menurun sebagai dampak
perkembangan kota. Sosilogi Inggris sangat kuat dipengaruhi karya Ann Oakley (1974)
meskipun tradisi ini sekarang menjadi tidak menarik, konservatif, dan ketinggalan zaman.
Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, analisis dan kritik kaum feminis melontarkan
asumsi-asumsi yang lebih radikal. Melalui pengaruh Michelle Barrat (1992) dan Juliet
Mitchel (1966), sosiolog feminis terlibat dalam studi-studi yang lebih produktif terhadap
karya-karya Marxisme dan Michael Foucault dan juga feminis Prancis. Pemikiran
feminisme kemudian terbagi ke dalam beberapa aliran, yakni materialis, sosialis, dan
postmodern. Selain itu, juga terdapat perdebatan antara studi-studi gender, studi wanita,

101
lesbian, dan gay. Judith Butler mengilustrasikan bagaimana kayanya spektrum teoretis
feminisme. Perdebatan sekitar isu gender, seks, dan seksualitas kuat dipengaruhi oleh
teori konstruksionisme sosial dengan klaim dasarnya bahwa anatomi bukanlah takdir.
Dominasi studi gender, lesbian, dan Queer Theory sering secara ironis menyatakan bahwa
tradisi sosiologi keluarga dan perkawinan melupakan bahkan menyatakan secara ideologis
bias terhadap berbagai orientasi perilaku seksual tersebut.
Menurut Mamo (Ritzer, 2005), teori feminisme berkembang berdasarkan
pertanyaan esensial mengenai makna kategori “perempuan”. Perdebatan di kalangan
feminisme esensialis dan kontruksionis menjadi landasan teori feminisme sosial yang
tumbuh di sekitar dekade 1980-an hingga 1990-an. Intinya tidak hanya sekadar
perdebatan sekitar apakah “perempuan” merupakan sebuah karakteristik esensial atau
secara sosial merupakan subjek yang dikonstruksikan, tetapi juga perdebatan mengenai
bagaimana menggunakan atau “mengambil risiko” esensialisme untuk tujuan-tujuan
politis. Argumentasi sentral dalam hal ini adalah esensialisme strategis, seperti yang
diusulkan Gayatri Chakravorty Spivak. Menurut Spivak, feminis sebaiknya secara
strategis menggunakan esensialisme untuk mencapai tujuan-tujuan politis. Jadi, sebuah
isu sentral, sebagaimana Simone de Beauvoir menuliskan dalam bukunya The Second Sex,
adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul berkaitan dengan apakah gender merupakan
sebuah konstruksi sosio-kultural dan bagaimana hal itu terjadi. Apabila gender dan sex
bukan merupakan innate feature, lalu darimana mereka berasal, dan bagaimana mereka
memainkan perannya?
Secara kronologis, feminisme sebagai teori dan gerakan sosial mengalami pasang
surut seperti terlihat dalam tabel di bawah. Harlan (1998) mencatat feminisme sebagai
gerakan mengalami kemenangan pertama pada tahun 1920 ketika konstitusi AS
mengakui adanya hak pilih perempuan. Gerakan feminisme mengalami kemunduran
ketika terjadi depresi ekonomi yang melanda hampir semua negara pada tahun 1930-an.
Gerakan feminisme kemudian mengalami revitalisasi pada dekad-dekade setelah PD II
dan semakin meluas pada era globalisasi ini berkat dukungan perkembangan teknologi
dan respons positif dari berbagai organisasi berskala internasional, baik yang governmental
maupun non-pemerintah (LSM/NGO). Feminisme sebagai sebuah teori mengalami
perkembangan pesat sejak dipublikasikannya buku karya Simone de Beauvoir yang
berjudul The Second Sex. Buku ini mendapat respons yang luas dan menjadi inspirasi
gerakan feminisme gelombang kedua. Selanjutnya, pasang surut feminisme, baik sebagai
gerakan sosial maupun teori dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

102
KRONOLOGI SEJARAH TEORI DAN GERAKAN FEMINISME

TAHUN KETERANGAN
1920 Amandemen Konstitusi AS ke 19 diratifikasi yang mengesahkan hak pilih bagi perempuan (18 Agustus 1920).

Partai Nasional Perempuan pertama kali mengusulkan kesamaan hak pada amandemen konstitusi AS. Pada tahun itu
1923
juga berdiri Liga Pemilih Perempuan.
Dekade depresi ekonomi. Meskipun amandemen persamaan hak mendapat dukungan dari politisi laki-laki, tetapi
1930-an
gerakan feminisme mengalami hambatan berkaitan dengan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Terjadi PD II. Di berbagai negara, diberlakukan hukum yang melarang perempuan bekerja terutama pada pekerjaan berat
1940-an
dan shift malam hari. Perempuan termarginalisasi di sektor pekerjaan publik dan laki-laki kembali mengambil alih.

1940 Di AS, Partai Republik mendorong amandemen persamaan hak dan diikuti Partai Demokrat pada tahun 1944.

1945 PBB berdiri yang memungkinkan perubahan platform perempuan secara global.
1948 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal yang mengutuk diskriminasi berbasis seks.
Setelah PD II usai, muncul fenomena “baby boom” dan pandangan patriarkhis yang menyatakan bahwa suami
1950-an merupakan “bread winner” dan istri sebagai house maker. Studi-studi yang dilakukan pada dekade ini menunjukkan
adanya depresi di kalangan perempuan.
Simone de Beauvoir mempublikasikan The Second Sex yang banyak memengaruhi munculnya feminisme gelombang
1953
kedua.
Gelombang kedua feminisme dimulai. Terjadi moblisasi perempuan di berbagai belahan dunia. Hak-hak perempuan
1960-an
menjadi topik pembicaraan dan perdebatan politis.

Betty Friedan memublikasikan buku yang berjudul The Feminine Mystique yang menjadi pemicu munculnya arus
1963
utama generasi baru kesadaran di kalangan perempuan Amerika terhadap penindasan berbasis rasial dan gender.

1964 The Civil Rights Act melarang diskriminasi dalam pekerjaan berbasis ras, warna kulit, agama, dan kebangsaan.

Terjadi gerakan buruh di AS menuntut perbaikan upah dan kondisi pekerjaan. Terminologi affirmative action
1965
diluncurkan Presiden Lyndon Johnson.

Organisasi Perempuan Nasional AS dalam kongresnya kedua mendukung amandemen persamaan hak dan hak untuk
1967
aborsi.

1968 Terjadi protes di kalangan perempuan AS terhadap penyelenggaraan kontes Miss America.

1970-an Merupakan dekade penuh harapan di mana beberapa perjuangan kaum feminis mencapai keberhasilan.
Sejumlah perempuan di London membuka shelter bagi perempuan korban kekerasan yang kemudian menginspirasi
1971
perempuan di negara lain untuk melakukan hal serupa.
The National Black Feminist Organization dibentuk dengan tujuan melawan rasisme dan seksisme yang dialami
1972
perempuan Afro-Amerika. Organisasi ini cepat berkembang namun tidak berumur panjang (kurang lebih 2 tahun).
1974 Terminologi sexual harassment pertama kali muncul di Cornell University.
PBB mendeklarasikan Tahun Perempuan Internasional pada Konferensi Perempan Dunia pertama di Mexico City.
1975
Gerakan modern perempuan dunia dimulai dengan menemukan berbagai kesamaan visi.
Feminis mendukung Day Care Services Act, disetujui kongres, namun undang-undang tersebut diveto Presiden Gerald
1976
Ford.
1978 Sally Ride merupakan perempuan pertama peserta pelatihan astronot NASA.

Presiden Jimmy Carter mendirikan The Office of Domestic Violence, yang merupakan sebuah clearinghouse (pusat
1979
informasi). Konferensi Kekerasan Terhadap Perempuan diselenggarakan di Denver, AS.

Tahun pertama dekade baru Tahun Perempuan Internasional. Konferensi Perempuan Dunia diselenggarakan di
1980
Copenhagen.

103
Terminologi glass ceiling diluncurkan oleh Wall Street Journal yang menggambarkan hambatan-hambatan tersembunyi
1986 yang dihadapi perempuan dalam usaha menduduki posisi-posisi menentukan, baik dalam dunia bisnis maupun
struktur politik.

Konferensi Dunia tentang prostitusi diselenggarakan di New York City, dihadiri perwakilan perempuan seluruh dunia. Dilaporkan
1988
adanya praktik prostitusi trans-nasional yang terjadi di berbagai negara.
1990 Terbentuk koalisi kaum feminisme yang merupakan media interaksi pemikiran tetang feminisme di seluruh dunia.
PBB menyelenggarakan Konferensi Dunia tetang Hak Asasi Manusia yang kembali mengafirmasi hak perempuan
1993
sebagai hak yang “tidak dapat dicabut, integral, dan tak dapat dibagi” dari keseluruhan hak asasi manusia.
Konferensi Perempuan Dunia keempat diselenggarakan di Beijing, China. Lebih dari 4.000 delegasi menghadirinya.
1995 Hak asasi manusia masih menjadi tema utama. Perempuan seluruh dunia menyerukan peningkatan peran perempuan
yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan negara dan pada forum-forum internasional.
Dideklarasikan sebagai tahun perempuan pada olimpiade musim panas. Sebanyak 38 dari 101 medali emas yang
1996
direbut AS disumbangkan oleh atlet perempuan.
Madeleine Albright menjadi Sekretaris Negara perempuan pertama di AS berjanji akan proaktif memperjuangkan
1997 hak-hak perempuan dunia dan mendesak AS untuk meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW).

Tabel. Kronologi sejarah teori dan gerakan feminisme

Sumber: diolah dari Harlan (1998: 21–49).

B. Filsafat/Teori Sosial yang Memengaruhi


Sebuah teori sosial tidaklah muncul secara tiba-tiba dan murni (genuine) tanpa ada
pengaruh teori sosial lain yang telah terlebih dulu eksis. Teori feminisme demikian pula.
Banyak teori sosial yang memengaruhi atau bahkan menjadi cikal bakal perkembangan
teori. Teori feminisme, terutama feminisme esensial, mempunyai sejarah pemikiran yang
panjang mulai dari pemikiran para filsuf Yunani Kuno. Pemikiran yang berkembang pada
masa itu didasarkan pada ketertakjuban dan ketakutan manusia terhadap fenomena alam
sekitar. Mereka mulai memikirkan mengapa terjadi hujan, angin ribut, gempa bumi, dan
sebagainya. Para filsuf pada waktu itu mulai mempertanyakan asal-usul alam semesta
(jagat raya). Hasil pemikiran mereka adalah mitos-mitos yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat. Jadi, penjelasan mengenai mengapa terjadi angin ribut adalah karena dewa
angin sedang marah atau sedang berkejaran dengan dewa lain untuk memperebutkan
seorang dewi. Ciri pemikiran filsafat mereka disebut kosmosentris. Namun demikian,
betapa pun sederhananya alam pemikiran mereka, ilmu pengetahuan sebagai sebuah
proses telah mulai dilakukan.
Beberapa filsuf mempunyai pemikiran yang spekulatif mengenai asal-usul alam
semesta. Asal-usul alam semesta menurut para filsuf ini ternyata berbeda satu sama lain.
Thales, misalnya, menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal mula) dari segala
sesuatu. Pendapatnya didukung kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda-benda
di jagat raya. Anaximender (611–545 SM) meyakini bahwa asal mula dari segala

104
sesuatu adalah apeiron, sesuatu yang tidak terbatas. Anaximenes (588–524 SM)
mengatakan bahwa asal mula segala sesuatu adalah udara. Sementara itu, Pythagoras
(580–500 SM) mengatakan bahwa asal mula segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar
bilangan-bilangan.
Beberapa filsuf lain tidak lagi mempertanyakan asal usul dan kejadian alam semesta,
tetapi apakah realitas itu tetap atau berubah. Herakleitos (540–475 SM) dan Parmenides
(540–475 SM) termasuk dalam hal ini meskipun pendapat keduanya bertolak belakang.
Herakleitos mengatakan, “Panta rhei khai uden menei (semua mengalir dan tidak ada sesuatu
pun yang tinggal mantap)”. Sementara itu, Parmenides berpendapat sebaliknya. Realitas itu
tetap, tidak berubah. Sedangkan, Demokritos (460–370 SM) menegaskan bahwa realitas
terdiri dari banyak unsur yang disebut atom (atomos, a = tidak, tomos = terbagi). Atom sama
sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Pandangan Demokritos
merupakan cikal bakal perkembangan ilmu fisika, kimia, dan biologi.
Metode pemikiran filsafat seperti itu disebut sebagai esensialisme. Metode ini
bertujuan mencari sesuatu yang esensial dan berusaha menyingkirkan yang non-esensial
(eksistensial). Sesuatu yang esensial mempunyai sifat yang pasti, tak terjangkau oleh
pancaindra, dan langgeng. Sebaliknya, sesuatu yang eksistensial bersifat tidak pasti,
terjangkau oleh pancaindra, dan selalu berubah-ubah mengikuti hukum perubahan
ruang dan waktu. Dalam kaitannya dengan teori feminisme, filsafat Plato yang
membedakan antara jiwa (mind,soul) dengan tubuh (body) merupakan akar pemikiran
feminisme esensial dan juga liberal. Bahkan, Alison M. Jaggar (1983) menyebutkan
bahwa feminisme radikal, Marxis, dan sosialis juga dibangun atas paradigma berpikir
esensialisme.
Plato berpendapat bahwa esensi manusia adalah jiwa, sedangkan tubuh hanya
merupakan “tempat bersemayam” jiwa. Tubuh secara esensial mempunyai sifat yang
bertolak belakang dengan jiwa. Tubuh bersifat sementara dan cenderung hedonis karena
menuhankan nafsu. Jiwa bersifat kekal, penuh ketenangan, dan kebaapabilan. Manusia
menurut Plato, selalu terpenjara oleh hal-hal yang bersifat sementara, penuh kepalsuan,
dan remeh-temeh. Filsafat menjadi solusi bagi problem tersebut. Manusia yang berfilsafat
akan mampu membebaskan dirinya dari kungkungan nafsu dan hal-hal lain yang
bersifat sementara. Bertitik tolak dari pemikiran Plato ini, bagaimana sebenarnya kodrat
manusia? Pada dasarnya, manusia adalah baik, penuh kebaapabilan, bersifat rasional, dan
mendambakan kebebasan. Pemikiran semacam ini menjadi landasan aliran filsafat dan
gerakan liberalisme yang berpengaruh selama berabad-abad, baik di Amerika maupun di
Eropa. Pada abad pencerahan, pemikiran Plato bertransendensi menjadi gagasan bahwa
mind (jiwa) itu mengatasi body (tubuh).
Pemikiran feminisme esensial tidak memisahkan antara perempuan-tubuh-alam.
Menurut pandangan teori feminisme ini, hukum-hukum alam yang bersifat tetap telah
105
mengatur relasi gender di masyarakat. Jadi, apabila di masyarakat terjadi fenomena
subordinasi perempuan, hal itu disebabkan faktor biologis perempuan. Beberapa
pertanyaan seputar rendahnya peran perempuan di sektor publik penjelasannya berada
pada kendala-kendala biologis perempuan, seperti menstruasi, hamil, menyusui, dan
sebagainya. Kesemuanya itu menjadi penghambat perempuan untuk berperan lebih
signifikan dalam masyarakat.
Beberapa teori feminisme juga mendapat pengaruh dari pemikiran para founding
fathers sosiologi yang mengasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan secara alamiah
berbeda baik dalam hal intelektualitas, emosi, dan moralitasnya. Herbert Spencer sebagai
sosiolog Inggris, feminis liberal pertama, merefleksikan hal tersebut dalam karyanya Social
Statistic yang secara khusus menulis dalam bab “Hak-hak Perempuan”. Dia berpendapat
bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan hak yang sama. Hal itu disebabkan
oleh hanya ada perbedaan mental sepele di antara keduanya. Selama empat tahun
dia mengembangkan Darwinisme sosial dan sampai pada kesimpulan bahwa biologi
(bukan budaya) menghasilkan perbedaan seks yang amat besar. Perempuan memiliki
otak yang lebih kecil, kurang memiliki kepekaan dalam keadilan, dan kemampuan
rasionalisasi yang dibutuhkan di dalam kehidupan di balik pengurusannya terhadap
suami dan anak-anak. Lebih dari itu, perempuan secara natural cenderung memilih
untuk dilindungi oleh laki-laki yang kuat. Perempuan yang diizinkan memasuki dunia
publik akan membahayakan kemajuan peradaban (Kandal, 1988) sebagaimana dikutip
Chafetz (2006).
Sementara itu, sosiolog Prancis, Auguste Comte, juga sependapat dengan hal
itu. Karena memiliki “superioritas” dalam hal emosional dan spiritual, perempuan
cocok tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Selain itu, inferioritas intelektual yang
dibandingkan laki-laki menyebabkan perempuan tidak cocok untuk menjadi apa pun
selain sebagai ibu rumah tangga. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh sosiolog
Jerman Ferdinand Tonnies dan sosiolog Italia Vilfredo Pareto. Sosiolog terkemuka
Prancis. Emile Durkheim juga menggunakan pendekatan biologis dalam menjelaskan
subordinasi perempuan. Dalam bukunya yang berjudul Suicide, data statistik yang
ditunjukkan membuktikan bahwa perkawinan mengakibatkan efek yang berbeda bagi
laki-laki. Misalnya, tingkat bunuh diri adalah rendah pada golongan laki-laki kawin
sebaliknya tingkat yang lebih tinggi pada wanita yang kawin. Dia menyimpulkan bahwa
perkawinan suatu saat harus direformasi. Akan tetapi, dalam jangka waktu dekat, laki-laki
harus diproteksi dari bunuh diri melalui pemeliharaan dari bentuk-bentuk perkawinan
yang menghasilkan lebih banyak stres dan kerugian bagi perempuan. Pembenarannya ini
berasal dari data yang menunjukkan bahwa peningkatan bunuh diri pada wanita kawin
lebih rendah dibandingkan dengan pada laki-laki yang tidak kawin karena perempuan
mempunyai lebih sedikit “kebutuhan sosiabilitas” dan lebih “instingtif”. “Kehidupan

106
mental” wanita yang kurang berkembang dan karena itu lebih mudah puas. Laki-laki
“lebih kompleks” dan keseimbangan psikologisnya lebih sulit dicapai dan kebutuhan
akan perlindungan dilakukan melalui pengaturan perkawinan. Feminisme mendukung
adanya perceraian, namun Durkheim menentangnya dengan menyatakan bahwa hal itu
berasal dari pemikiran yang tidak ilmiah. Durkehim juga melontarkan isu gender dalam
bukunya The Division of Labor in Society. Dalam bukunya ini, dia berpendapat bahwa
peningkatan diferensiasi seks, baik secara fisik maupun kultural yang terjadi dalam kurun
waktu yang lama, menyebabkan peningkatan spesialisasi pekerjaan di antara laki-laki
dan perempuan, karena itu terjadi “solidaritas konjungal”. Suatu keadaan kesamaan
dan kesetaraan gender merupakan sesuatu yang “primitif”, salah satunya berhubungan
dengan perkawinan yang tidak stabil (Chafetz, 2006).

C. Susbtansi
Teori feminisme merupakan salah satu teori sosial yang sulit dideskripsikan, apalagi
digeneralisasikan. Terminologi teori feminisme merupakan cabang akademik yang
muncul pada pertengahan hingga akhir abad 20. Terminologi tersebut menunjuk pada
sistematika ide-ide yang berusaha mendefinisikan posisi perempuan dalam kebudayaan
dan masyarakat, termasuk menjawab berbagai pertanyaan besar mengenai gambaran
perempuan. Tuchman (2008: 988) mengidentifikasi paling tidak terdapat tiga hal yang
menyebabkan kesulitan mendefinisikan teori feminisme tersebut. Pertama, teori tersebut
bersifat interdisipliner. Kritikus sastra, sejarawan seni, musikolog, dan filsuf merupakan
beberapa spesialis yang berhubungan dengan humaniora. Kesemuanya menawarkan
berbagai ide dan penjelasan yang saling bertentangan mengenai posisi perempuan dalam
kebudayaan dan masyarakat. Demikian pula para sosiolog, antropolog, ekonom, psikolog,
dan ahli psikoanalisis. Sayangnya, para ahli dari berbagai bidang tersebut tidak ada yang
menjelaskan mengenai ruang lingkup teori feminisme kontemporer. Kedua, teori feminis
berbasis pada gerakan sosial yang sangat dipengaruhi oleh konsen politik yang bersifat
lokalitas dan temporer. Di benua Amerika dan Eropa, gerakan tersebut menentang
institusionalisasi seksisme dan rasisme serta ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan.
Sementara itu, perempuan di negara-negara berkembang menyuarakan mengenai
pentingnya penerapan teori feminisme yang berbasis pengalaman masing-masing negara.
Ketiga, teori feminis tidak hanya eksis dalam konteks sosiopolitik, tetapi mendapatkan
data dan informasi justru pada konteks tersebut. Dengan demikian, teori tersebut
mengonfrontasikan isu-isu epistemologis, seperti makna objektivitas dan cara bagaimana
laki-laki mendominasi di berbagai budaya. Berbeda dengan para teori sosial lain, para
teori feminis mengusung dua isu, yakni (a) hubungan yang tak terpisahkan antara

107
ide-ide dengan metode penelitiannya; serta (b) bagaimana ide-ide dan metode dominan
dipengaruhi oleh hegemoni laki-laki dalam diskursus ilmiah dan akademik.
Selain itu, perlu dicatat bahwa teori feminisme merupakan sesuatu yang sulit
didefinisikan karena banyaknya varian pemikiran yang masih eksis hingga saat ini.
Kebanyakan feminis percaya bahwa perempuan merupakan kelompok yang tertindas
dan berbeda dari laki-laki karena menjadi subjek diskriminasi, baik personal maupun
institusional. Para feminis umumnya juga percaya bahwa mekanisme-mekanisme yang
bekerja di masyarakat semuanya berdampak keuntungan yang lebih besar bagi laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini bukan berarti semua laki-laki memperoleh keuntungan
yang sama karena masyarakat juga menindas laki-laki dalam derajat intensitas yang
berbeda-beda. Juga, bukan berarti bahwa semua laki-laki berperan dengan cara yang sama
dalam sebuah sistem karena laki-laki dapat pula membuat keputusan untuk menetang
penindasan dari kelompok lain. Akan tetapi, premis tadi (bahwa mekanisme dalam
masyarakat lebih menguntungkan laki-laki) berimplikasi bahwa terdapat perbedaan
perlakukan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan cara bagaimana mereka
melihat dirinya dan kelompok lain digenderkan.
Beberapa feminis menyadari kesulitan-kesulitan dalam mengasumsikan bahwa
perempuan dan laki-laki semuanya sama, dan khususnya selama satu dekade terakhir
teori feminis concern menganalisis perbedaan cara atau bentuk-bentuk penindasan dan/
atau diskriminasi seperti halnya rasisme dan homophobia, yang mungkin tumpang tindih
dan berkaitan dengan bentuk-bentuk seksisme. Feminis pada umumnya menyadari
bahaya simplisasi analisis yang berbasis asumsi bahwa perempuan merupakan kelompok
yang homogen. Terdapat beberapa perbedaan di kalangan perempuan akibat perbedaan
klas, ras, umur, pendidikan, dan kesehatan yang kesemuanya membuat sulit untuk
mempertahankan kategori “perempuan” karena perbedaan-perbedaan tersebut tampak
dalam perempuan dan bukan pada laki-laki. Sebagaimana dikatakan Butler bahwa saat
ini para feminis memfokuskan perhatiannya pada jawaban atas pertanyaan “politik apa
yang muncul ketika identitas”.
Kaum feminis umunya juga menyadari akan bahayanya membuat analisis simplistik
bahwa perempuan merupakan suatu kelompok yang bersifat homogen. Pada dasarnya,
terdapat perbedaan di kalangan perempuan, baik karena kelas, ras, umur, pendidikan,
kesehatan, dan lain-lain yang membuat kategori “perempuan” sulit dipertahankan
disebabkan perbedaan yang ada di kalangan perempuan selain perbedaannya dengan
kaum laki-laki. Sebagaimana dikatakan Butler (Mills, 1995: 2–3), akhir-akhir ini
feminisme berkutat pada pertanyaan sensitif mengenai “politik apa yang melatarbelakangi
ketika identitas sebagai basis pembedaan yang sama tidak lagi menjadi hambatan
dan diskursus politik feminisme?” Serta usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk
menempatkan kesamaan identitas sebagai fondasi politik feminisme menghindari temuan

108
feminisme radikal ke dalam konstruksi dan regulasi politik identitas? Pandangan para
feminis yang concern terhadap posisi perempuan dan laki-laki dikonstruksikan pada level
representasional dan aktual, dan bagaimana pandangan terhadap perempuan tersebut
dilakukan yang lain. Dalam hal ini, kami tidak akan menilai bahwa semua perempuan
sama. Kebanyakan feminis masih mempertahankan pandangan bahwa perempuan secara
sistematik didiskriminasikan sebagai sebuah kelompok, sekalipun dengan sebuah cara
yang berbeda. Kaum feminis mempunyai komitmen untuk mengubah struktur sosial
yang berdampak berkurangnya penindasan terhadap perempuan dan juga terhadap
laki-laki. Komitmen untuk mengubah tersebut berimplikasi, baik pada analisis teoretis
maupun dalam praktik pendidikan gender.
Menurut Rosemarie Putnam Tong (1998: 280), kekuatan terbesar dari perspektif
teori feminisme terletak pada pengakuannya terhadap kompleksitas perilaku manusia dan
kemampuannya memberikan sebuah tawaran pandangan dunia kalei-doscopic. Akar teori
feminisme berasal dari berbagai macam disiplin, seperti liberalisme, Marxisme, sosialisme,
teori psikoanalisis, eksistensialisme, postmodernisme, dan multikulturalisme. Meskipun
para teorinya mempunyai kesamaan komitmen untuk memahami dan melawan setiap
bentuk penindasan perempuan di masyarakat, mereka memiliki perbedaan pendapat
mengenai penyebab persoalan-persoalan, seperti subordinasi perempuan. Pandangan-
pandangan para teori feminis terhadap persoalan tersebut tergantung pada perspektif
pemikirannya. Sebagai contoh, para feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme
mempunyai tanggung jawab terhadap kesenjangan gender. Mereka percaya bahwa
perempuan seperti halnya kelas proletariat (kelas buruh/pekerja) dieksploitasi oleh suatu
kelas yang mengontrol sistem, dalam hal ini para kapitalis borjuis yang kebanyakan pria.
Sementara itu, feminisme radikal menyatakan bahwa runtuhnya kapitalisme tidak akan
melenyapkan penindasan perempuan karena ketidakadilan seksis berakar dalam ideologi
“patriarki”, suatu sistem yang diciptakan laki-laki untuk mengontrol perempuan. Ideologi
tersebut memengaruhi aspek kehidupan, baik politik, sosial, maupun budaya.
Teori feminisme telah memberikan kontribusi cukup signifikan bagi perkembangan
teori sosiologi dan disiplin lain dan kontribusi tersebut terus meluas hingga saat ini. Teori
feminisme yang mengalami penguatan di dekade 1960-an berkaitan dengan gerakan
kebebasan perempuan yang merupakan kekuatan politik signifikan dan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi besar terhadap sosiologi. Feminisme sebagai teori dan gerakan
pembebasan perempuan memiliki visi dengan cara pertama kali menunjukkan asal-usul
patriarkalisme di masyarakat dan bagaimana kemudian perempuan menjadi sadar dan
peduli dengan penindasan yang menimpa diri dan kaumnya. Tugas utama gerakan
tersebut adalah bagaimana mendorong perempuan agar dapat melihat dirinya sebagai
kelompok tertindas dan selanjutnya memunculkan kepentingan bersama (common interest)
guna melawan penindasan yang ada. Teori feminisme melakukan kritik terhadap patriarki

109
masyarakat, termasuk dominasi institusi masyarakat oleh laki-laki, dan penyingkiran
secara sistematik perempuan dari peran-peran penting dalam masyarakat.
Menurut Fagan dan Belknap (2002), kontribusi penting dari pemikiran feminis
kontemporer adalah analisisnya tentang berbagai isu-isu gender, khususnya yang berkaitan
dengan bentuk-bentuk penindasan lain, seperti penindasan yang berbasis pada kelas, ras
atau etnisitas, seksualitas, umur, kemampuan, dan sebagainya. Sebagai contoh, feminis
multikultural meyakini bahwa perempuan tidak akan eksis apabila hanya berperan sebagai
“perempuan” di masyarakat. Pengalamannya dibentuk oleh karakteristik penting lain dan
perempuan mungkin mengalami penindasan di berbagai level, seperti rasisme, klasisme,
dan heteroseksisme. Sebagai akibatnya, feminis aliran ini menekankan pentingnya
perubahan sistem apabila menghendaki masyarakat yang benar-benar adil.
Pengaruh teori feminisme sangat nyata dalam ilmu sosial dan humaniora yang
membidani lahirnya studi wanita sebagai disiplin akademik khusus. Teori-teori feminisme
menghasilkan analisis sistematik mengenai pentingnya definisi gender dalam kehidupan
sosial, juga kritik terhadap pola-pola dominasi laki-laki di berbagai bidang, termasuk dalam
disiplin sosiologi. Hal tersebut penting karena konsep tentang gender merupakan konsep
yang ambigu, kompleks, dan penuh kontradiksi. Sayangnya, hal ini tidak mengalami
perubahan. Dalam hal ini, Chafetz (2006: 5) menegaskan bahwa “semua teori tentang
gender tidak mesti feminis meskipun semua teori feminis memusatkan perhatiannya pada
persoalan gender”. Masih diperlukan asumsi-asumsi tentang gender yang bersifat taken
for granted yang berasal dari studi-studi sosiologis dan kehidupan sosial pada umumnya.
Terdapat tiga ciri yang membuat suatu teori dikatakan feminis, yakni (a) memfokuskan
(meski tidak eksklusif) pada persoalan ketimpangan, hambatan, dan kontradiksi-kontradiksi
yang ada dalam relasi gender; (b) sebuah asumsi bahwa hubungan-hubungan gender tidak
imun, tetapi lebih mudah berubah kreasi sosial; (3) mempunyai komitmen normatif bahwa
masyarakat harus mengembangkan aturan gender yang lebih setara.
Dalam sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lain, terdapat kecenderungan yang
memarginalkan atau mengooptasi isu gender, khususnya ketika isu tersebut berhubungan
dengan sistem ketimpangan politik kehidupan sehari-hari. Fraser dan Naples (Sydie,
2007: 247) berpendapat bahwa pedebatan dalam teori feminis akhir-akhir ini cenderung
melihat ketimpangan sebagai problem kebudayaan yang mengabaikan “ketidakberdayaan
terhadap fundamentalisme pasar bebas”.
Analisis sosiologis ortodoks menekankan pendapat bahwa institusi-institusi sentral
masyarakat dimonopoli oleh laki-laki, misalnya dalam hal ekonomi dan politik, ketika
institusi-institusi penting tempat perempuan memegang peran utama, seperti keluarga,
mengalami penurunan arti pentingnya dalam masyarakat. Perlu dicatat bahwa analisis
masyarakat modern dapat ditemukan dalam karya-karya klasik, seperti Marx, Weber, dan
Durkheim, yang menekankan persoalan-persoalan, seperti otoritas, rasionalitas, kalkulasi,
110
dan kepentingan-diri (self interest) menjelaskan bahwa karakteristik-karakteristik institusi
publik daripada realitas privat tempat perempuan memberikan kontribusi pentingnya
dalam kehidupan sosial. Tidak mudah disimpulkan bawa kontribusi perempuan
jarang menjadi perhatian dalam karya-karya para founding father; “masyarakat” dilihat
hanya berisi pemikiran laki-laki, tetapi dalam diskusi yang jarang dilakukan mengenai
perempuan, mereka juga selalu mendefinisikan sebagai makhluk sosial sepenuhnya
(lebih natural) daripada laki-laki. Misalnya, Durkheim berpendapat bahwa kontribusi
perempuan dalam masyarakat utamanya ditentukan oleh ciri-ciri biologisnya. Perempuan,
demikian dia berpendapat, menjadi to a far greater extent the product of nature. Sementara,
laki-laki dapat mengatasi hambatan biologis dan memainkan peran sosial mereka secara
penuh. Mereka memasuki hampir seluruh produk masyarakat.
Teori feminisme memiliki sejumlah varian yang memiliki perbedaan pandangan
khususnya dalam melihat asal-usul atau faktor penyebab subordinasi perempuan dan
bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Menurut Chafetz (2006), perspektif-perspektif
teori feminisme dapat dibedakan berdasarkan tingkatan analitisnya, yakni antara mikro,
meso, dan makro. Beberapa varian teori feminisme adalah sebagai berikut.
 Teori standpoint yang dikembangkan Dorothy Smith. Teori ini menekankan
“kesadaran terbelah” dari pengalaman hidup perempuan karena perbedaan
pengalaman berada dalam posisi subordinat dan definisi official dunia sosial juga
dialami oleh laki-laki.
 Hierarki gender, ras, dan kelas. Perspektif ini berasal dari analisis Patricia Hill Collins
tentang perempuan Afro-Amerika yang menurutnya mengalami dominasi hierarki
ganda (multiple) berbasis ras, kelas, orientasi seksual, kebangsaan, dan juga gender.
 Perbedaan gender tingkat mikro memfokuskan pada ketergantungan yang terjadi
dalam proses-proses biologis, kultural, dan sosial. Topik-topik khusus yang berkaitan
dengan hal ini meliputi: (1) analisis Nancy Chodrow tentang perbedaan gender pada
proses sosialisasi anak-anak tahap awal tempat pola-pola keibuan direproduksi; (2)
deskripsi Dorothy Dinnerstein tentang bagaimana reaksi emosional laki-laki dan
perempuan terhadap isu-isu kehidupan dan kematian dan juga identitas personalnya
yang berbeda karena perbedaan perannya dalam reproduksi.
 Perbedaan gender tingkat makro (dan juga meso). Teori-teori yang termasuk
dalam jenis ini antara lain: (1) perspektif Marxis yang tecermin dalam spekulasi
Engels tentang struktur hak milik dan keluarga; (2) analisis Randall Collins tentang
perkembangan institusi-insitusi khusus yang mengontrol sarana kekerasan dan
paksaan. Analisis tersebut diaplikasikan dalam persoalan hubungan-hubungan
gender; (3) perspektif fungsionalis Miriam Johnson yang memberikan kontribusi
pada gerakan perempuan dalam konteks perbedaan institusional masyarakat modern;
(4) analisis Chafetz tentang implikasi ganda perbedaan akses perempuan dan laki-laki
111
terhadap sumber daya ekonomi dan posisi elite; (5) penjelasan Dorothy Smith tentang
bagaimana perempuan dipengaruhi oleh efek “hubungan-hubungan kekuasaan”
tempat pola-pola dominasi dimediasikan melalui teks-teks otoriter atau official. Di
samping perbedaan analisis, baik Smith maupun Chafetz, menekankan hubungan
antara tingkat makro dan mikro.
Berbeda dengan Chafetz, Ritzer dan Goodman (2005: 467) membuat klasifikasi
teori feminisme berdasarkan tipe relasi gender yang meliputi perbedaan gender,
ketimpangan gender, penindasan gender, dan penindasan struktural. Secara garis besar,
perbandingan beberapa varian teori feminisme tersaji dalam tabel berikut.

PERBANDINGAN BEBERAPA VARIAN TEORI FEMINISME

Asumsi hubungan perempuan-laki-laki Tipe Teori Feminisme Varian Teori Feminisme


▪ Feminisme kultural
▪ Ekonfeminisme
Perempuan memiliki posisi yang berbeda dengan
Perbedaan gender ▪ Feminisme multikultural
laki-laki pada hampir semua aspek kehidupan
▪ Feminisme postmodern
▪ Eksistensial & fenomenologi
Apabila dibandingkan dengan laki-laki, perempuan ▪ Feminisme liberal
memiliki posisi yang kurang menguntungkan dalam Ketimpangan gender ▪ Marxian
hampir semua aspek kehidupan
Perempuan ditindas, disubordinasikan, dikekang, ▪ Feminisme psikoanalisis
dan dibentuk “dunia”nya oleh laki-laki bahkan Penindasan gender ▪ Feminisme radikal
kemudian disalahgunakan
Pengalaman perempuan tentang pembedaan,
▪ Feminisme sosialis
ketimpangan, dan berbagai penindasan ditentukan Penindasan struktural
▪ Black feminism
oleh posisi sosial mereka

Tabel. Perbandingan Beberapa Varian Teori Feminisme

Sementara itu, Abbott et. al. (1990) mengidentifikasi tujuh perspektif feminis,
yakni liberal, Marxis, radikal, system dualism, postmodernis, kritis, dan pos-kolonial/
black feminis. Semua perspektif teori tersebut berusaha menjawab pertanyaan seputar
apa yang menjadikan perempuan tertindas, bagaimana penindasan tersebut dijelaskan,
serta bagaimana cara mengatasi persoalan tersebut. Semua teori feminis sependapat
bahwa perempuan tertindas, tetapi terdapat perbedaan dalam menjelaskan mengenai
penyebabnya dan saran tentang bagaimana cara mengatasi problem tersebut. Secara
ringkas, feminisme liberal concern dengan persoalan-persoalan diskriminasi terhadap
perempuan yang selama ini luput perhatian dan menyarankan dalam mengatasinya
digunakan pendidikan dan upaya-upaya legal lain. Feminisme Marxis berpendapat
bahwa keluarga merupakan tempat utama penindasan perempuan terjadi. Perjuangan
untuk emansipasi gender merupakan sebuah bagian integral dari perjuangan melawan
kapitalisme dan hal itu harus dilakukan secara global. Feminisme radikal berpendapat
bahwa kontrol laki-laki atas perempuan (patriarkhi) merupakan problem utama dan

112
perempuan seluruh dunia harus berupaya melawan dominasi tersebut demi kebebasan
dirinya. Feminisme dual-system berpendapat bahwa penindasan perempuan merupakan
aspek kapitalisme demikian pula relasi patriarki, dan berakhirnya kapitalisme bukan
berarti secara otomatis meningkatkan emansipasi perempuan (dengan bukti ketimpangan
gender dalam masyarakat komunis juga terjadi).
Teori-teori feminisme berbeda dengan demikian berdasarkan caranya dalam
menjelaskan subordinasi perempuan. Terlepas dari berbagai variasi perspektif
pemikiran tersebut, terdapat beberapa prinsip yang sama di kalangan feminis. Satu hal
yang menyatukan perbedaan perspektif tersebut adalah pemaknaan dan arti penting
perbedaan seksual, yakni perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai subjek-subjek
sosial. Feminis menentang pandangan yang sudah diterima umum tentang dunia dan
bagaimana pandangan-pandangan tersebut dikonstruksikan. Feminis menekankan bahwa
pemahaman aspek-aspek sosial dan biologi harus dikembangkan dan disebarluaskan
terutama oleh laki-laki, sering menggunakan contoh laki-laki, akibatnya hal itu sering
terjadi misinterpretasi dan selanjutnya mengakibatkan penindasan perempuan. Secara
ringkas, berbagai variasi perspektif teori feminisme diuraikan sebagai berikut.

1. Feminisme Kultural
Aliran feminisme kultural muncul di dekade 1970-an dan menjadi aliran kuat pada
dekade berikutnya. Feminisme kultural berusaha merevaluasi aspek-aspek feminisme
yang mengalami devaluasi di masyarakat. Pendekatan ini mengapresiasi segala sesuatu
milik perempuan, baik yang berasal dari kehidupan sosial, kelas, ataupun biologi. Akan
tetapi, berbeda dengan kebanyakan feminis lainnya, yang melihat beberapa aspek gender
sebagai faktor biologis, atau sangat kecil distukturasikan oleh budaya. Feminisme kultural
mengakui perbedaan antara perempuan dan laki-laki, terutama dalam hal kualitas-kualitas
femininitas sebagai sebuah sumber kekuatan dan kebanggaan personal dan oleh karena
itu perempuan mempunyai moralitas yang tinggi. Dalam pandangan feminisme kultural,
perempuan mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem
sosial. Seiring dengan perubahan politik, feminisme kultural memfokuskan pada
transformasi kultural, menekankan pentingnya segi-segi kehidupan nonrasional, intuitif,
dan kolektif. Penjelasan seperti ini dapat ditelusuri dari perdebatan yang terjadi di
kalangan penggiat gerakan feminisme gelombang pertama. Jadi, perdebatan tersebut di
seputar kebutuhan akan peran perempuan dalam pemerintahan sebagai penjaga moral
dan nurani bangsa.
Pada tahun 1845, Margaret Fuller menerbitkan buku yang berjudul Woman
in the Nineteenth Century yang menginspirasi munculnya tradisi cultural feminism.
Aliran feminisme ini merupakan produk gerakan romantisme Eropa atau lebih spesifik
transendentalisme Amerika yang menekankan sisi-sisi emosional dan intuitif pengetahuan
113
serta mengekspresikan sebuah pandangan dunia organik yang sangat berbeda
dengan pandangan mekanistik kaum rasionalis era masa pencerahan. Romantisisme,
transendentalisme, serta liberalisme sama-sama menyuarakan individualism fundamental.
Transendentalis sangat percaya bahwa individu mampu dan harus mengembangkan
kemampuan secara penuh untuk selanjutnya bertanggung jawab terhadap kehidupan
(peradaban) (Donovan, 2000: 48).
Charlotte Perkins Gilman, yang merupakan feminis kultural lain, menulis buku yang
berjudul Women and Economics (1898). Ia menggunakan hipotesis Darwinisme untuk
menunjukkan bahwa penundukan perempuan merupakan suatu penyimpangan yang
tidak alamiah yang menghalangi perkembangan ras. Orang, menurutnya, ditentukan
oleh lingkungan sosial ekonominya. Lingkungan sosial ekonomi perempuan dalam hal ini
tidak natural atau bersifat artifisial. Oleh karena itu, ekonomi perempuan tergantung pada
laki-laki. Hal ini mengacaukan perkembangan dirinya dan secara keseluruhan mengancam
keutuhan ras. Jadi, ketergantungan tersebut tidak ditentukan alam. Keibuan (motherhood)
tidak memerlukan segregasi dari seluruh jenis pekerjaan juga tidak memerlukan perlindungan
dari laki-laki. Waktu yang dicurahkan seorang ibu dalam mengemban fungsinya sebagai ibu
sesungguhnya hanya sedikit, suatu tindakan yang “tak menentu dan abnormal” (Donovan,
2000: 59). Dalam perspektif Gilman, pola dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan
merefleksikan kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi tentang perbedaan gender yang
kebanyakan berbasis pada definisi sosial (Johnson, 2008: 70).

2. Ekofeminisme
Aliran feminisme ini diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974.
Ekofeminisme menunjuk pada bagian teori feminis dan aktivisme yang berhubungan
dengan perhatian pada lingkungan. Aliran feminisme ini menekankan hubungan dan
interdependensi antara gender dan berbagai isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Aliran feminisme ini kurang berakar pada lingkaran studi akademik yang kebanyakan
diekspresikan feminisme lainnya. Ekofeminisme dibangun berdasarkan asumsi inti
hierarki yang saling berkait. Hierarki inti melibatkan manusia yang mendominasi semua
bentuk kehidupan, yaitu laki-laki mendominasi perempuan. Secara tipikal, ekofeminisme
berasumsi bahwa subordinasi perempuan berkait tidak hanya dengan masyarakat manusia,
tetapi juga dengan subordinasi kelompok hewan. Jadi, ekofeminisme mengajukan premis
bahwa dominasi dan kontrol “alam” sebagai bagian dari seperangkat ideologi yang dipakai
untuk membenarkan subordinasi perempuan dari laki-laki.
Noel Sturgeon (1997: 23) pernah menyatakan bahwa ekofeminisme meneorikan
hubungan-hubungan fundamental antara ideologi-ideologi yang digunakan untuk
membenarkan seluruh hierarki utama, seperti umur, ras, kelas sosial, gender, dan
orientasi seksual. Dapat ditambahkan, teori ekofeminisme berpendapat bahwa manusia
114
dikontraskan tidak hanya dengan alam, tetapi juga dengan feminisme. Di Amerika
Utara, ekofeminisme muncul di kalangan komunitas perempuan dan disemangati
oleh gerakan-gerakan perempuan di berbagai bidang, seperti kesehatan, lingkungan,
perdamaian, dan juga gerakan anti-nuklir. Berbagai event digelar untuk menyuarakan
persoalan lingkungan sebagaimana juga persoalan relasi gender (Rogers, 2005).
Tumbuh dari ide bahwa nilai-nilai perempuan terpisah dari nilai-nilai laki-laki
dan lebih dekat ke alam, ekofeminisme mengevaluasi kembali dan mendefinisikan
karakteristik perempuan. Menurut aliran feminisme ini, perempuan dilihat sebagai dekat
dengan alam dan bekerja untuk keselarasannya, sementara laki-laki mempunyai sebuah
hubungan hierarki dan berusaha mengontrolnya. Pandangan seperti ini berdasarkan
pendapat bahwa kontrol laki-laki terhadap alam saat ini berakibat rusaknya (krisis)
lingkungan di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, ekofeminisme menghendaki
solusi berupa afirmasi kehidupan dan non-kekerasan. Mereka kemudian mendorong
program pembangunan berkelanjutan dan mengutuk kebijakan-kebijakan yang
berdampak rusaknya lingkungan hidup, seperti pembalakan liar. Ekofeminisme melihat
nilai-nilai perempuan merupakan fitur yang diperlukan oleh patriarki agar tetap survive.
Ekofeminisme memberi kontribusi bagi pemikiran feminisme liberal, radikal dan marxis/
sosialis, dengan memfokuskan diri pada persoalan-persoalan lingkungan dan alam.

3. Feminisme Multikultural
Aliran feminisme multikultural muncul sebagai bentuk refleksi keprihatinan
sejumlah tokoh terhadap kegagalan teori feminisme dalam melihat perbedaan kondisi
perempuan dari berbagai parameter. Teori feminisme selama ini dianggapnya gagal
karena menggunakan asumsi bahwa perempuan merupakan kelompok yang homogen.
Situasi dan pengalaman perempuan menurut feminisme multikultural tidaklah sama
antar-masyarakat yang disebabkan perbedaan geografis, ras, kelas, agama, orientasi
seksual, dan lain-lain. Berdasarkan keanekaragaman tersebut, feminisme multikulturalis
menyambut baik penekanan pada isu ”perbedaan”. Menurut feminisme multikultural,
ketertindasan dapat juga berlaku dengan memperlakukan “kesamaan”. Aliran feminisme
ini melawan berbagai paham, seperti seksisme, rasisme, dan sebagainya.

4. Feminisme Postmodern
Feminisme postmodern sering diidentikkan dengan feminisme gelombang
ketiga. Munculnya feminisme ini tidak terlepas dari perkembangan cultural studies
yang memfokuskan pada analisis teks dan produksi budaya. Feminisme postmodern
beranggapan bahwa realitas adalah teks dalam berbagai bentuk, baik tulisan maupun
pencitraan. Alasan yang mendorong tumbuhnya teori feminis gelombang ketiga, yang
sering disebut sebagai “feminisme postmodern” antara lain adalah seperti yang diusulkan
115
Sandra Harding melalui teori standpoint-nya bahwa diperlukan suatu “perspektif tentang
perempuan” yang berbeda dan koheren yang berbasis pada pengalaman penindasan yang
dialami semua perempuan pada masyarakat patriarkis. Feminis postmodern berpendapat
bahwa konsep “perempuan” mempunyai makna yang tidak tetap atau tidak stabil.
Dalam hal ini, terjadi perubahan dalam pemaknaan (termasuk ‘perempuan’) seiring
dengan arus perubahan besar teori sosial ke arah linguistic turn yang kemudian dikenal
juga sebagai “strukturalisme”.
Feminis postmodern berpendapat bahwa tidak ada definisi tunggal tentang
“perempuan” sebagaimana juga terdapat diskursus yang beragam mengenai relasi-relasi
gender. Lebih dari itu, seluruh definisi tentang perempuan—seperti seluruh definisi pada
umumnya—pada umumnya sangat ringkas dan aplikasinya bersifat temporer (kurang
permanen). Menurut Judith Butler (1994: 166), tokoh utama feminis postmodern,
definisi-definisi tentang “perempuan” tidak dapat digeneralisasikan atau diringkaskan
dengan deskripsi kategori identitas. Definisi perempuan tidak ditentukan oleh suatu
“realitas yang mendasari”, seperti biologi karena definisi biologis juga dapat bermutasi
dan dapat dinegosiasikan.
Butler menolak pembedaan seks-gender sebagai sebuah sumber teoretis karena hal
itu berimplikasi bahwa body sebagai pra sosial dan gender bersifat imun dari pengaruh
kekuatan-kekuatan luar. Dengan demikian, body hanya merupakan fenomena lain yang
dikonstruksikan secara kultural, juga merupakan produk signifikansi dan selanjutnya di
manifestasikan dalam diskursus ilmiah. Tubuh dan identitas gender keduanya merupakan
aspek yang sama dalam tatanan diskursif. Berdasarkan hal ini, Butler mengusulkan
suatu “konsepsi identitas gender performatif” yang sangat dipengaruhi oleh pandangan
Foucault. Butler berpendapat bahwa identitas gender adalah persoalan linguistik. Gender
sebaiknya dipahami sebagai sesuatu yang “dibentuk”, baik melalui pembicaraan maupun
praktik-praktik diskursus lain yang relevan. Lebih dari itu, berbagai diskursus mungkin
berhubungan, saling tumpang tindih, atau tidak cocok. Untuk itu, perempuan dapat
“dibicarakan” dalam berbagai cara, atau dengan kata lain terdapat berbagai cara “untuk
membicarakan” perempuan (Cuff et. al., 2006).
Aliran-aliran filsafat yang memengaruhinya antara lain eksistensialisme, psikoanalisis,
dan dekontruksi Derrida. Dalam membaca relasi gender, Derrida (Sumarwan, 2005:
9–10), misalnya, menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berada dalam relasi yang
beroposisi biner. Dalam budaya patriarki, (term) laki-laki mendominasi term perempuan.
Di bawah payung oposisi biner laki-laki >< perempuan terkumpul sejumlah oposisi lain,
seperti pikiran >< perasaan, kuat >< lemah, publik >< privat, dan seterusnya. Dengan
didukung oleh oposisi biner tersebut, dominasi term “laki-laki” terhadap “perempuan”
menjadi semakin kokoh. Feminisme berusaha memperlihatkan kekerasan oposisi ini
dan berusaha mengatasi ketimpangannya. Dekontruksi dalam hal ini tidak sekadar

116
membalik tatanan lama sehingga yang dulu “mondominasi” sekarang ganti “didominasi”.
Dekonstruksi sebaliknya harus mencari tatanan “alternatif” di luar tatanan oposisi biner
hierarkis. Bagi Derrida, “perbedaan” yang tampak dalam oposisi tersebut tidak dapat
didamaikan, dinaturalisasi, dan dihilangkan tanpa sebuah kekerasan dan brutal.
Oposisi biner laki-laki><perempuan yang didukung oleh oposisi biner lain seperti
budaya><alam juga dibenarkan Helene Cixous, seorang tokoh feminis postmodern
Prancis lainnya. Menurutnya, selama ini telah terjadi kemapanan cara berpikir dan
menulis laki-laki yang didasarkan pada oposisi biner. Situasi, kondisi, pengalaman dan
“dunia” perempuan ditentukan atau didefinisikan laki-laki. Dalam konteks ini, laki-laki
membuat sejumlah aturan yang menguntungkan dirinya. Laki-laki kemudian menjadi
self dan perempuan menjadi other. Dengan bahasa yang hampir sama, Piere Bourdieu
(Haryatmoko, 2003: 18–19) menyatakan bahwa perempuan mengalami “kekerasan
simbolik” melalui wacana yang dibangun laki-laki. Penguasaan atas wacana menjadikan
dominasi laki-laki seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Bahkan,
situasi yang paling menyiksa dan tak bisa ditoleransi pun bisa tampak wajar. Seorang
perempuan rela menanggung malu dan tidak mau mengungkapkan nama kekasih yang
menghamilinya supaya nama baik dan karier laki-laki tidak ternodai. Dengan demikian,
perjuangan untuk kesetaraan perempuan tidak bisa hanya berhenti pada pemenuhan
hak-hak perempuan, tetapi harus sampai pada pembongkaran sistem penindasan, yakni
dominasi wacana oleh laki-laki, yang merupakan kekerasan simbolik.
Feminisme postmodern mengkritik teori-teori feminisme yang termasuk dalam
feminisme gelombang kedua yang dianggapnya terlalu radikal dalam mereformasi
tatanan relasi gender yang timpang. Kebenaran absolut laki-laki hendak diganti dengan
kebenaran absolut perempuan melalui jalan rasional dan cara berpikir yang dikotomik
seperti yang direpresentasikan feminisme radikal. Konsep lain yang diajukan adalah
mendefinisikan relasi gender dengan opresi, dan agenda politisnya adalah bagaimana
mencapai kesamaan hak-hak perempuan melalui berbagai gerakan sosial. Feminisme
postmodern hampir sama dengan feminisme gelombang pertama dalam hal transformasi
wacana yang sifatnya lebih personal kearah analisis politik, misalnya dengan jargon the
personal is political. Penyadaran akan hak-hak perempuan yang terus berlangsung di
segala bidang memberi ruang pada penemuan kembali arti menjadi perempuan, identitas
perempuan yang membawa pada solidaritas perempuan (sisterhood).
Perempuan dengan demikian membutuhkan perlawanan demi kebebasan dirinya dari
dominasi kontrol laki-laki. Teori postmodern berpendapat bahwa masyarakat memerlukan
dekonstruksi oposisi biner melalui mana perempuan dikonstruksikan secara sosial sebagai
kelompok inferior. Mereka juga berpedapat bahwa rasionalitas, dan demikian pula sosiologi,
merupakan produk upaya maskulin (phallosentris) untuk objektifikasi dan kontrol dunia.
Aliran feminisme ini berpendapat bahwa perempuan merupakan kelompok sosial yang

117
dieksploitasi dan disubordinasikan oleh laki-laki sebagai sebuah kelompok. Perbedaan seksual
(perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan) tidak hanya menghasilkan pembenaran
ideologis, tetapi lebih dari itu, menjadi fondasi eksploitasi.

5. Eksistensial dan Fenomenologi


Aliran feminisme eksistensial mendasarkan diri pada pandangan filsafat Yunani
Kuno yang pada waktu itu para filsuf berusaha memecahkan berbagai misteri/fenomena
alam. Jawaban para filsuf terhadap berbagai misteri/fenomena alam tersebut bersifat
spekulatif dan sangat dipengaruhi latar belakang sosial filsuf tersebut. Thales, misalnya,
menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal mula) dari segala sesuatu. Thales adalah
seorang filsuf yang tinggal di dekat pantai sehingga sangat akrab dengan air (laut).
Sekalipun para filsuf berbeda pandangan mengenai apa yang menjadi asal mula sesuatu
(arche), mereka sepakat bahwa segala sesuatu benda atau apa pun di dunia ini mempunyai
inti yang kemudian disebut sebagai “hakikat” atau esensi (essentia). Tujuan berfilsafat
adalah berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai esensi dari sesuatu sekaligus
membedakannya dengan yang non-esensi. Dengan demikian, terdapat pemikiran oposisi
biner antara sesuatu yang esensi dan non-esensi (eksistensi).
Asumsi yang digunakan feminis aliran eksistensial ini adalah bahwa human nature
identik dengan human essence. Manusia dipandang sebagai makhluk biologis yang
mempunyai kemampuan berpikir (nalar). Apabila feminisme Marxis menekankan
pada determinisme ekonomi untuk menjelaskan subordinasi perempuan, feminisme
eksistensial menekankan pada determinasi biologis. Faktor biologis tersebut bersifat
given, tidak dapat diubah sehingga dengan demikian subordinasi perempuan juga tidak
dapat dihilangkan dari muka bumi. Dalam pandangan feminisme eksistensial, segala
kondisi yang dialami perempuan lebih banyak ditentukan oleh faktor biologis seks.
Peran perempuan yang rendah di ranah publik, misalnya disebabkan peran reproduksi
perempuan yang bersifat menghambat. Selain itu, perempuan dipandang memiliki akal
budi yang relatif bersifat pasif dibandingkan laki-laki. Dalam konteks ini, laki-laki lebih
dekat ke culture (budaya) sedang perempuan lebih dekat ke nature (alam).
Sementara itu, feminisme fenomenologi sangat kuat diinspirasi karya Marx yang
menekankan adanya perubahan sosial. Dalam perspektif ini, yang diperlukan bukan
hanya transformasi personal, melainkan suatu perubahan sosial dan transformasi kultural
yang berkaitan dengan kondisi dan posisi perempuan. Tokoh aliran ini, misalnya Bartky,
menekankan pentingnya kesadaran dalam diri perempuan sebagai prakondisi untuk
terjadinya perubahan sosial dimaksud. Kesadaran tersebut menyangkut posisi dan kondisi
perempuan yang secara umum mengalami subordinasi dan penindasan. Bagi Bartky,
meningkatnya kesadaran perempuan akan memberi dampak signifikan bagi tumbuhnya
gerakan perempuan.
118
6. Feminisme Liberal
Feminisme liberal dipengaruhi paham individualisme yang menekankan pentingnya
kebebasan, khususnya kebebasan untuk memilih. Mereka melihat beberapa kesamaan antara
perempuan-laki-laki dan melihat ke depan sebuah masyarakat yang terdapat kesamaan
kesempatan antara keduanya. Dalam hal ini mereka melihat pilihan merupakan suatu
hak yang bersifat absolut. Gerakan feminisme ini adalah agar perempuan mendapatkan
kontrol, baik terhadap tubuh dirinya maupun dalam dunia sosialnya. Mereka menolak
simbol-simbol gender yang melekat pada masing-masing jenis kelamin dan sosialisasi
gender kepada anak-anak yang selama ini dilakukan. Mereka juga melihat kebanyakan
stereotype, baik yang menyangkut laki-laki maupun perempuan dibentuk oleh budaya.
Sebagaimana laki-laki, perempuan adalah juga makhluk yang rasional dan mempunyai
kapasitas yang sama. Problem yang dihadapi perempuan lebih banyak disebabkan oleh
banyaknya kebijakan negara yang bias gender. Agenda-agenda untuk mengatasi problem
tersebut antara lain dengan memperbaiki akses dan kualitas layanan publik, seperti
pendidikan dan kesehatan bagi perempuan. Aliran ini juga mencari pendekatan kehidupan
yang lebih autentik, individual, dan tidak direkayasa. Akhir-akhir ini beberapa feminis
liberal mendeskripsikan dirinya sebagai feminis kesetaraan dan melihat hubungan antara
dirinya dan feminisme gelombang pertama atau awal feminisme gelombang kedua.
Berakar pada humanisme renaissance dan liberalisme yang berorientasi pada hak-hak
individu yang muncul dari pemikran Barat selama era pencerahan. Feminisme liberal pertama
kali muncul secara fenomenal merebak di mana-mana selama abad 19 di Barat. Feminisme
liberal memosisikan perempuan sebagai pusat ide dan praktik yang memfokuskan pada
pencapaian kesamaan hal antara laki-laki dan perempuan sebagai warga negara sebagaimana
kesamaan kesempatan dan situasi tanpa mengabaikan perbedaan psikologis dan kognisi
antara laki-laki dan perempuan. Posisi teori feminis ini jauh lebih terkenal karena diketahui
secara luas. Tidak seperti halnya feminisme lainnya, feminis liberal secara fundamental
memiliki semangat dan cenderung reformis. Mereka mengidentifikasi tatanan apa saja dalam
sistem sosial dan dengan cara bagaimana hal itu dilakukan agar terjadi perubahan sosial.
Selama beberapa abad, liberalisme menekankan kebebasan berpolitik dan hak-hak
warga negara secara politik menjadi dasar sebagaimana demokrasi Barat modern
sebelumnya. Karena menguasai hegemoni pemikiran selama abad 19 sebagai sebuah
ideologi sentris dengan sosialisme di kiri dan konservatisme di kanan, liberalisme
menjadi tonggak penting feminisme gelombang pertama yang berkembang secara luas
di dunia Barat. Di antara fungsi-fungsi laten feminisme gelombang pertama, apa yang
membuat feminisme liberal kurang lebih usianya sama dengan masyarakat modern.
Feminisme memiliki ciri umum secara konsisten mengkritisi nilai-nilai pencerahan yang
memunculkan dirinya. Feminisme liberal menjadi faktor yang memengaruhi munculnya

119
gerakan perempuan. Akan tetapi, hal itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan.
Nilai yang sangat berharga yang dianut feminisme liberal sehingga memperoleh
dukungan luas adalah pengabaiannya isu-isu ketidakadilan gender, perbedaan ras,
dan bentuk-bentuk ketimpangan lain yang terinstitusionalisasikan. Berbagai hak yang
menjamin laki-laki kulit putih secara monolitik menyembunyikan dari hak perempuan
sebagaimana laki-laki nonkulit putih. Dari titik ini, kemudian feminisme dipengaruhi
oleh diskursus feminisme liberal. Bahkan, hingga saat ini, feminisme liberal terus
menunjukkan hubungan ambivalen dengan liberalisme yang membantu melahirkannya
(Rogers, 2005).

7. Feminisme Marxian
Eksponen teori Marxis klasik sangat menyadari bahwa relasi gender merupakan
produk kehidupan sosial dan menunjukkan adanya ketimpangan. Sumber penindasan
perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara-cara produksi yang tentunya
menguntungkan laki-laki. Dalam hal ini, Friedrich Engels mengembangkan
pendekatannya dalam The Origin of the Family, Private Property and the State. Eksponen
teori Marxis merupakan sebuah teori yang mendeskripsikan perkembangan masyarakat
tiga tahap berdasarkan karakteristik bentuk perkawinan. Ketimpangan gender terjadi
pada perkembangan tahap ketiga, ketika surplus ekonomi yang tak terhindarkan
pertama kali muncul akibat perkembangan teknologi dan institusi hak milik. Laki-laki
mengubah sistem matrilineal untuk menjamin masa depan kehidupan anak-anaknya
dan melembagakan segala bentuk kontrol terhadap perempuan untuk menjamin “hak
milik” laki-laki. Dalam tahap ini, anggota rumah tangga bekerja pada sektor privat dan
perempuan disingkirkan dari proses produksi sosial. Dengan demikian, subordinasi oleh
laki-laki menjadi legal. Status perempuan pun jatuh karena adanya konsep kekayaan
pribadi (private property) (Chafetz, 2006).
Proses produksi mengalami perubahan ketika kapitalisme berkembang. Perubahan
tersebut bergerak dari sifatnya yang subsisten ke arah pertukaran (exchange). Sistem produksi
seperti ini dikontrol laki-laki dan pada saat yang sama laki-laki juga mengontrol hak-hak
sosial perempuan. Solusi terhadap ketimpangan gender adalah menghapus kapitalisme
karena kapitalisme berdampak pada marginalisasi hak-hak perempuan terhadap hak milik
dan juga hak waris. Dalam beberapa dekade feminis Marxis menyerukan emansipasi sebagai
tujuan gerakannya. Meskipun demikian, beberapa tokoh Marxisme ortodoks berpendapat
bahwa ketimpangan gender merupakan produk ketimpangan kelas sosial dan karena itu
mengganti sistem kapitalisme dengan sosialisme akan secara otomatis mengatasi problem
perempuan.

120
8. Feminisme Radikal
Feminisme aliran ini juga membedakan antara perempuan dan laki-laki. Namun
demikian, hubungan di antara keduanya bersifat hierarkis. Laki-laki dalam hal ini
merupakan kategori sosial secara umum mendominasi kaum perempuan, oleh karena
itu mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Model hubungan yang berupa dominasi
laki-laki di satu sisi dan subordinasi perempuan di sisi lain diasumsikan oleh feminisme
aliran ini sebagai model yang dapat menjelaskan berbagai bentuk penindasan yang
lain. Feminisme radikal menilai perempuan dan laki-laki adalah spesies yang terpisah.
Perbedaan yang semula berdasarkan faktor biologis kemudian digenderkan oleh
masyarakat hingga pada akhirnya laki-laki menjadi berbeda dan mendominasi. Menurut
Jaggar (1983: 249), jenis kelamin seseorang adalah faktor yang paling berpengaruh
dalam menentukan posisi sosial, pengalaman hidup, kondisi fisik dan psikologis, serta
kepentingan dan nilai-nilainya.
Tokoh feminisme aliran ini antara lain Paula Rothenberg dan Alison Jaggar
mendeskripsikan perempuan sebagai kelompok sosial yang berada di posisi penindasan
paling bawah. Situasi ini digambarkan sebagai berikut: (1) perempuan dalam sejarah
digambarkan sebagai kelompok yang pertama tertindas; (2) penindasan terhadap
perempuan tersebar luas ke berbagai kehidupan sosial; (3) penindasan terhadap perempuan
adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser hanya oleh perubahan sosial antar-kelas;
(4) penindasan perempuan menyebabkan penderitaan kaum korban, secara kuantitatif
dan kualitatif walaupun penindasan itu tidak selalu diakui dan disadari baik oleh pelaku
maupun korban; (5) penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual
model untuk mengetahui bentuk penindasan yang lain (Murniati, 2004: 128).
Area penindasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik, tetapi
juga di ranah privat, yakni rumah tangga mereka karena perjuangan pembebasan
perempuan juga dilakukan pada ranah domestik tersebut. Dalam perjuangannya
tersebut, kaum feminis radikal menggunakan semboyan the personal is political yang
artinya bahwa hal-hal yang bersifat pribadi juga berimplikasi politis. Bahkan, menurut
Bouchier (1983), perkawinan merupakan sumber institusional dari eksploitasi yang
sesungguhnya. Agar perempuan terbebas dari penindasan, ia harus membebaskan diri
dari yang namanya institusi perkawinan. Aliran ini juga mempermasalahkan seksualitas,
terutama heteroseksual yang dianggapnya sebagai instrumen bagi laki-laki dalam
mengaplikasikan dominasinya. Heteroseksual merupakan basis patriarki. Ideologi
patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual laki-laki juga terjadi pada
berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan mulai dari pelecehan seksual,
perkosaan, hingga pornografi. Menurut ideologi feminisme radikal, kekerasan dalam
heteroseksual laki-laki cenderung menjadi patriarkal dan secara hierarki menjadi culture

121
pada saat ini. Selanjutnya, laki-laki menindas dan mengorbankan perempuan melalui
pornografi, kekerasan, dan militerisasi dunia.
Untuk mengatasi problem-problem seperti itu, feminisme radikal menawarkan
strategi seperti: (1) perubahan budaya ke arah androgini, yaitu mencampuradukkan sifat
feminin dan maskulin dalam setiap pribadi manusia; (2) perjuangan anti-pornografi
yang dianggap sebagai simbol penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki; dan (3)
berjuang melalui paradigma lesbian (Murniati, 2004:129).

9. Feminisme Sosialis
Sebagai kritik terhadap feminisme Marxian, muncullah aliran feminisme sosialis.
Kritik yang ditujukan terhadap feminisme Marxian berkaitan dengan asal-usul sistem
patriarki. Apabila feminisme Marxian menganggap bahwa sistem patriarki muncul
pada waktu masyarakat mencapai tahap perkembangan kapitalisme, feminisme sosialis
berpendapat bahwa sistem patriarki tersebut sudah ada sebelum kapitalisme. Selain itu,
feminisme sosialis mempunyai keyakinan bahwa sistem tersebut tidak akan lenyap meski
kapitalisme mengalami keruntuhan. Dalam memahami berbagai bentuk penindasan
terhadap perempuan, feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender. Pada
titik ini, feminisme sosialis sama dengan feminisme Marxian. Pada saat yang sama,
feminisme sosialis sepaham dengan feminisme liberal yang beranggapan bahwa patriarki
juga merupakan sumber lain penindasan perempuan. Oleh karena itu, solusi yang harus
ditempuh untuk menghilangkan penindasan perempuan adalah dengan menghapus,
baik sistem patriarki maupun kapitalisme.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan mempunyai karakteristik yang berbeda
antar-kelas dalam masyarakat. Pada kelas menengah, dominasi tersebut berpusat pada
kontrol seksual. Menurut aliran feminisme ini, sumber penindasan perempuan adalah
kapitalisme. Bentuk-bentuk dominasi juga berbeda berdasarkan tahapan perkembangan
masyarakat. Pada masa-masa awal kapitalisme, tenaga kerja murah dibutuhkan di
mana-mana dan untuk jenis-jenis industri tertentu yang menggunakan teknologi rendah,
dibutuhkan tenaga kerja perempuan yang memungkinkan upah rendah. Hal ini banyak
terjadi dalam industri pertenunan dan tekstil yang merupakan motor penggerak revolusi
industri di Inggris pada abad ke-18. Akan tetapi, di daerah-daerah tempat industri
berat dan setengah berat berkembang, dibutuhkan tenaga kerja laki-laki yang berupah
murah sehingga dibutuhkan tenaga kerja perempuan yang tak dibayar di rumah agar
si maapabilan tak perlu memberi upah terlalu tinggi pada si tenaga kerja laki-laki.
Konteks terakhir berarti perempuan mendukung kapitalisme (Saptari & Holzner, 1997:
53–54).

122
10. Black Feminism
Aliran black feminism ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir keturunan afro-Amerika.
Meskipun feminis ini tidak menjadi mainstream dalam feminisme gelombang kedua, aliran
ini secara konsisten melakukan kritik terhadap feminisme. Bagi pendukung aliran ini, rasisme
merupakan problem yang bersifat perennial (abadi) selain seksisme. Problem tersebut bersifat
klasik karena merupakan hierarki yang melekat pada sistem kasta, sistem ekonomi, dan juga
sistem sosial. Mereka mengharapkan agar para feminis memperhitungkan problem rasisme
dan kelas-isme selain faktor seksisme. Selanjutnya, mereka menjelaskan interkoneksi antara
rasisme  seksisme  kelas-isme. Seksisme tidak dapat dipelajari tanpa pemahaman potensi
problem rasisnya. Dengan kata lain, rasisme menentukan seksisme. Mereka menyangkal
stereotip bahwa perempuan kulit hitam merupakan matriarki dan superwomen serta pelopor
gerakan di bidang ekonomi dan politik yang kemudian memengaruhi perempuan kulit
warna. Mereka juga menjadi bagian dari gerakan feminisme dan kepemimpinan umum
baik di AS maupun di dunia secara global.
Dalam mendeskripsikan pemikiran black feminism, Patricia Hill Collins tokoh utama
black feminism, menekankan hubungan antara gender, ras, dan klas sebagai sumber dominasi
khususnya bagi perempuan kulit hitam. Karena kebanyakan teori feminis dikembangkan
oleh feminis kulit putih, analisisnya menjadi kurang relevan dengan pengalaman hidup
perempuan kulit hitam. Analisis yang dilakukan Collins bertujuan terutama menggambarkan
kehidupan perempuan kulit hitam dari sudut pandang perempuan kulit hitam yang berbeda
dengan dari pengalaman atau dunianya sebagai perempuan kulit putih. Collins secara
ekstensif merujuk tulisan-tulisan dan ekspresi kebudayaan lain di kalangan perempuan
kulit hitam Afro-Amerika. Ia mendeskripsikan kehidupannya dan pandangannya
dalam hal identitas diri, “politik seksual”. Sebagai contoh dia menunjukkan bagaimana
heroiknya perjuangan perempuan kulit hitam dalam jaringan sosial yang dimilikinya untuk
mempertahankan martabatnya dan harga diri serta melawan citra negatif yang terjadi dalam
praktik institusional di arena yang lebih luas. Sebaliknya, dia juga menggambarkan betapa
sedikitnya apa yang diperoleh perempuan kulit hitam dari dunia sosial dan masyarakat yang
lebih luas. Cinta dan hubungan yang saling mendukung yang dikembangkan satu sama
lain dalam keluarga besar dan komunitasnya menjadi sumber harga diri yang positif dan
memberdayakannya dalam lingkungan dunia yang memusuhinya dan menindas.
Collins mengidentifikasi adanya dilema di kalangan perempuan kulit hitam dalam
mengajarkan anak-anak perempuannya untuk melawan sistem yang menindas. Dilema
tersebut terjadi ketika anak-anak (perempuan) mereka harus bekerja maka hal itu berarti
anak-anak berada dalam proses pemiskinan kehidupannya. Pada saat yang sama, para ibu
tersebut harus mengajarkan kepada anak perempuannya tentang bagaimana beradaptasi
dengan sistem yang menempatkan anak perempuannya berada dalam posisi marginal

123
dan tersubordinasi. Dorongan agar anak perempuannya bekerja menjadi keharusan agar
mereka dapat terus bertahan. Dengan kata lain, ketika perempuan kulit hitam mendorong
anak perempuannya untuk memperbaiki kehidupannya. Mereka juga harus berhadapan
dengan realitas kehidupan yang tidak bersahabat. Collins menunjukkan bahwa “keibuan”
bagi perempuan kulit hitam termasuk peran “ibu lain”, yakni mengurusi keluarga besar
dan anggota komunitas lain sebagai sebuah peran yang sering mendorong berbagai
bentuk aktivisme politik dalam komunitas. Secara keseluruhan, Collins menggambarkan
dunia perempuan kulit hitam sebagai penuh tantangan akibat dari subordinasinya di
berbagai sistem dominasi. Hal ini berarti perjuangan mereka untuk mempertahankan
martabatnya dan untuk bekerja demi keadilan baginya serta komunitasnya harus dihadapi
dengan tantangan yang berasal dari berbagai pihak secara simultan. Collins mencatat
bahwa perempuan kulit hitam cenderung tersubordinasi dari laki-laki kulit hitam dalam
terma identitas gender, tetapi tersubordinasi dari perempuan kulit putih karena identitas
rasialnya (Johnson, 2008: 434).

D. Krik/Tanggapan
Awal feminisme gelombang kedua (antara dekade 1960 hingga 1970) menekankan
peran faktor-faktor struktural dan material dalam memahami penindasan perempuan,
ketika pendekatan-pendekatan yang lebih baru (terbesar sejak tahun 1980-an) telah
mengalihkan fokus kaum feminis ke isu-isu simbolik dan representasional, berkutat pada
pertanyaan-pertanyaan seputar kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas. Munculnya
feminisme gelombang ketiga dengan demikian dapat dipandang sebagai kritik terhadap
feminisme gelombang kedua, terutama dari sisi epistemologis teoriasinya. Menurut
Yeatman (dalam Brooks, 2009: 22), kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan teori
feminisme gelombang kedua adalah pada esensialisme biologisnya, kurangnya komponen
lintas budaya, dan tendensi ke arah konstruksionisme sosial.
Pemikiran postmodern dalam sosiologi berpandangan bahwa perspektif teoretis
feminisme yang ada sebelumnya dipandang sebagai tidak lagi cocok. Selain itu,
keberatan para teori terhadap teori-teori feminisme adalah kesulitannya dalam usahanya
mengklasifikasikan teori feminis disebabkan beragamnya teori yang tersebar dalam
berbagai ruang lingkup disiplin ilmu. Secara umum, teori feminisme dikritik karena
pandangannya tentang konstruksi ideologis yang dianggapnya berfungsi melegitimasi
ketimpangan seksual. Teori feminis umumnya mengambil posisi sebagai sebuah
perspektif “konstruksionis sosial”, berbasis pada perbedaan antara “seks”, dan “gender”.
Fakta alamiah, meskipun demikian, tidak cukup berhubungan dengan cara pendefinisian,
baik laki-laki maupun perempuan. Fenomena gender yang lahir belakangan merupakan
kreasi sosial.

124
Simone de Beauvoir dalam karyanya The Second Sex, sebagai karya feminis klasik,
mempertanyakan “apa itu perempuan?” Jawaban para pemikir feminis sesudahnya
menunjukkan bahwa perempuan bukan merupakan produk alam dari biologi wanita,
melainkan lebih merupakan produk sosial dan historis yang sangat kuat dipengaruhi
budaya patriarki. Argumentasi de Beauvoir yang merupakan pemikir feminis
konstruksionis pertama, sesungguhnya tidak menggunakan terminologi itu. Dia
berpendapat bahwa karakteristik-karakteristik “keperempuanan” dan “feminitas” berasal
dari alam, yang diperoleh melalui pembelajaran sosial, dimulai dari kelahiran, dilanjutkan
dengan masa anak-anak dan dewasa. Pandangan ini diterima secara bijaksana oleh para
aktivis gerakan perempuan. Secara umum, gender merupakan produk proses sosialisasi
yang melekat dalam institusi-institusi masyarakat patriarki, terutama keluarga. Anggota
masyarakat menyamaratakan antara seks dan gender. Mereka kemudian menyadarinya
bahwa perempuan secara alamiah memang berbeda dengan laki-laki. Hal ini merupakan
ciri khas masyarakat patriarki: perempuan secara sistematis disubordinasikan dari
laki-laki.
Kritik terhadap feminisme dengan demikian sering berasal dari kalangan feminis.
Di antara teori-teori feminisme gelombang kedua, juga terdapat konflik dan munculnya
suatu teori merupakan kritik terhadap teori yang lain. Teori feminis sosialis, misalnya
merupakan kritik terhadap feminisme Marxis. Kritik-kritik terhadap feminisme memiliki
karakteristik yang berbeda berdasarkan varian teori feminisme. Secara teperinci, Murniati
(2004) mengidentifikasi beberapa kritik terhadap masing-masing varian teori feminisme,
sebagaimana tersaji dalam tabel berikut.

BEBERAPA KRITIK TERHADAP TEORI-TEORI FEMINISME

Varian Teori Feminisme Kritik terhadapnya


• Cenderung menerima nilai-nilai maskulin sebagai manusia sehingga gerakannya mengarah pada
emansipasi.
• Cenderung membentuk manusia individualis. Padahal, kenyataannya, manusia hidup berkelompok
Liberal
di dalam masyarakat.
• Mempunyai pemikiran dualistik, kebebasan individu, dan bertindak rasional adalah konsep maskulin.
Padahal, secara alamiah terdapat perbedaan seks.
• Teori ini didasarkan oleh ajaran Engels tentang asal mula keluarga, kekayaan pribadi, dan negara.
Teori ini mendorong perempuan ke bidang publik, dunia industri sehingga membangun sosialisasi
pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak.
• Teori ini memberi nilai ekonomis pada pekerjaan perempuan sehingga perempuan menjadi mandiri
secara ekonomi. Pekerjaan ibu rumah tangga terkesan menjadi pekerjaan komersial.
Marxis • Menyamakan keluarga dengan dunia industri sehingga dapat menghilangkan perkembangan kasih
sayang yang berasal dari nilai-nilai keluarga.
• Membuka keluarga ke arah publik, menciptakan konsekuensi negara akan mengatur keluarga,
bahkan setiap anggota keluarga.
• Teori ini belum memasukkan analisis gender sehingga belum dapat mengemukakan sebab
sesungguhnya dari penindasan perempuan.

125
• Fungsi reproduksi adalah alamiah (nature) bukan teknologis. Sebenarnya, justru perempuan
mempunyai kekuatan karena fungsi ini. Oleh karena itu, fungsi ini tidak bisa digantikan secara teknis.
Radikal • Menggeser fungsi reproduksi kepada kaum laki-laki akan merugikan perempuan sendiri, karena
perempuan kehilangan kekuatan untuk membebaskan diri.
• Perjuangan konfrontatif akan menimbulkan kekerasan yang meningkat.
• Keterbatasan dalam melaksanakan pembagian kerja berwawasan gender.
Sosialis • Pernyataan pandangan atau pengertian konsep mengenai alienation oppressive dan dominance
yang memengaruhi relasi manusia, sukar dilakukan karena sudah membatu.
• Teori second sex tidak dapat diterima oleh semua orang. Teori ini sangat abstrak, tidak semua
orang mengalaminya dalam hidup.
Eksistensialis • Dasar pemikiran filosofis yang digunakan teori ini sangat maskulin
• Kesadaran perempuan yang berpangkal dari sejarah biologisnya, dapat mengurangi kebebasan
perempuan dalam menentukan haknya.

Tabel. Beberapa Kritik terhadap Teori-Teori Feminisme

Sumber: diolah dari Murniati (2004: 125–133).

E. Prospek/Perkembangan
Teori feminisme terus mengalami perkembangan hingga saat ini dan perhatian para
teori semakin meluas. Teori-teori feminisme kontemporer dibangun atas dasar visi-visi
yang diusung gerakan feminis yang tumbuh di akhir abad 19 dan awal abad 20. Teori
feminisme kontemporer terus mengalami perbaikan, terutama dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan kritik terhadap berbagai asumsi-asumsi implisit sekitar “cara
di mana dunia ada”. Teori feminisme yang tumbuh belakangan mempunyai anggapan
bahwa realitas kehidupan keseharian yang bersifat taken for granted menjadi sumber
berbagai problem sosial. Selain itu, teori feminisme kontemporer berasumsi bahwa
penderitaan yang dialami perempuan dapat diubah. Hal ini berbeda dengan asumsi teori
feminisme sebelumnya yang menganggap hal itu sebagai tidak dapat dielakkan.
Teori-teori feminis yang muncul pada era gelombang ketiga sering diasosiasikan
dengan postmodernisme yang sama-sama menentang berbagai asumsi yang bersifat
taken for granted dalam ilmu sosial. Asumsi-asumsi baru dibangun demikian pula
studi-studi tentang gender terus mengalami perkembangan. Kesemuanya merupakan
bentuk-bentuk perkembangan teori feminisme. Teori-teori feminisme memiliki peran
cukup penting bagi perkembangan sosiologi pada khususnya dan ilmu sosial pada
umumnya. Turner (2006: 233) mencatat bahwa studi-studi gender telah mempunyai
kontribusi signifikan bagi perkembangan sosiologi kesehatan, seperti karya Ann Oakley
yang berjudul Women, Medicine and Health (1993); sosiologi emosi, seperti karya Arlie
R. Hochschild yang berjudul The Managed Heart (1983); dan sosiologi tubuh, seperti
dalam karya Emily Martin yang berjudul The Woman in the Body (1987). Studi-studi
gender tersebut mempunyai kontribusi bagi perkembangan sosiologi, namun masih

126
sangat jarang ditemukan studi serupa dalam studi literer dan cultural studies. Dalam studi
ini, norma-norma tradisional ditransformasikan oleh pengaruh teori feminis.
Bagaimana prospek teori feminisme ke depan? Menurut Harstock (Mamo, 2005)
teori feminisme harus memberi arah dan berpartisipasi dalam dunia gerak perubahan
sosial ekonomi dan politik. Argumentasinya ini dibangun berdasarkan teorinya yang
menguji hubungan antara teori dan praktis, feminisme dan Marxisme, dan antara
postmodern dan politik. Ia kemudian memerhatikan hubungan-hubungan dominasi:
bagaimana dikonstruksikan, dipertahankan, diresistenkan, dan ditransformasikan,
khususnya di kalangan ras, kelas, dan garis seksualitas. Pertanyaan-pertanyaan tentang
kekuasaan diinspirasi dari pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi. Konseptualisasi
kekuasaan selalu terdapat di dalamnya asumsi-asumsi teoretis khusus. Kemudian, dia
memfokuskan pada pertanyaan, seperti bagaimana pengetahuan dikonstruksikan,
metode apa yang paling baik dalam ilmu sosial, bagaimana menciptakan epistemologi
dan ontologi alternatif, serta juga bagaimana memahami hubungan teori pengetahuan
dan praktik kehidupan sehari-hari.
ooo0ooo

127
BAB V

FENOMENOLOGI

A. Sejarah Fenomenologi
Setelah usai Perang Dunia II hingga dekade 1970-an, terjadi perkembangan yang pesat baik
dalam teori maupun penelitian ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi di Amerika Serikat
maupun di Benua Eropa yang merupakan “sumber” perubahan tersebut. Selama periode
tersebut ditandai dengan suatu ekspansi besar-besaran pada banyak segi: perkembangan
akademik, organisasi profesional, jurnal, dan publikasi ilmiah selain perkembangan
penelitian yang dilakukan pemerintah. Ketika program-program penelitian sosiologis dan
metodologi berkembang biak dalam berbagai arah, kecenderungan dalam teori sosiologi
menunjukkan perbedaan pola: pertama, konsolidasi di sekitar pradigma utama, yakni
struktural fungsional; dan kemudian pada tahun 1960-an terjadi pelarian dari dominasi
paradigma tersebut menuju beberapa teori termasuk interaksionisme simbolik, teori
pertukaran, fenomenologi, etnometodologi, teori konflik, dan teori kritis.
Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang
paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni struktural fungsional.
Karya-karya besar, seperti Studies in Ethnomethodology (Garfinkel), The Social Construction
of Reality (Berger dan Luckmann), dan The Phenomenology of the Social World (Alfred
Schutz), secara implisit merupakan kritik sosiologi yang berkembang di Inggris dan
Eropa pada umumnya. Para penulis tersebut menggunakan analisis kualitatif dalam
melihat bagaimana aktor sosial menciptakan makna dan memperoleh posisi sosial dan
konteks bahasa. Tumbuhnya disiplin berlanjut hingga saat ini melalui berbagai insitusi
pendidikan tinggi di Inggris dan juga beberapa negara lain. Sosiologi sebagai sebuah
disiplin mulai terpengaruh oleh karya-karya tersebut. Pada dekade 1970-an, terdapat
beberapa orientasi teori sosiologi. Fenomenologi menjadi salah satu di antaranya bersama
sama dengan argumentasi Marxis, analisis Althuser (ahli strukturalis Prancis), aliran
Frankfurt, Habermas, dan Gramsci. Pada tahun 1979, Giddens mengembangkan teori

129
strukturasi untuk merekonsilasi perdebatan teoretis sebelumnya. Analisis sistematik
Giddens tentang modernitas adalah karyanya yang paling ekstensif dan tersebar luas.
Mulai dekade 1980-an, muncul perspektif teori zeitgeist dalam sosiologi Inggris yang
menandai meningkatnya perhatian pada isu-isu budaya (studi budaya). Cultural Studies
yang berkembang pada dua dekade sebelumnya melalui karya-karya Richard Hoggart,
E.P. Thompson, dan Stuart Hall juga menekankan aspek-aspek sosial dari budaya.
Cultural studies cenderung terspesialisasi pada dekade 1980-an dan 1990-an dalam area
disiplin, seperti media, feminisme, dan etnisitas. Cultural studies menekankan analisis
kultural sebagai bagian dari sebuah analisis keseluruhan terhadap perubahan fundamental
pada masyarakat modern sekitar produksi, konsumsi, dan interaksi sosial. Cultural
studies dipengaruhi oleh teori-teori politik Eropa, ideologi, dan diskursus mengenai teori
Marxis dan fungsionalis yang dilihatnya sebagai teori dunia sosial modern yang tidak lagi
akurat. Meskipun terdapat perbedaan kerangka teoretis antara Marxisme, teori konflik,
fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan feminisme, semuanya dapat dikatakan
mempunyai bentuk-bentuk orientasi humanistik sebagai bagian dari kerangka teoretis
keseluruhan, yakni humanisme dalam sosiologi yang diidentifikasikan dengan sosiolog
yang melakukan pengajaran, penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah di sekitar asosiasi
sosiologi humanisme.
Fenomenologi dalam percaturan teori sosiologi baru dikenal luas sejak dekade
1960-an. Mamun demikian, teori ini mempunyai sejarah akar pemikiran yang cukup
panjang. Teori fenomenologi telah digagas sejak abad 19. Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770–1831) yang lahir di Stuttgart, anak dari seorang pegawai pemerintah, yang
memulai memperkenalkan fenomenologi sebagai metode baru dalam mendekati realitas.
Hegel pada masa mudanya mempelajari teologi di Universitas Tubingen, bekerja sebagai
tutor privat di Berne dan Frankfurt, sebelum menjadi pengajar universitas di Jena hingga
tahun 1807. Pada tahun tersebut, ia memublikasikan Phenomenology of Mind yang diakui
menjadi masterpiece-nya. Menurut Cubbitt (2006: 269), dalam karya tersebut, Hegel
berargumen bahwa alasan mempunyai kekuatan yang tidak terbatas. Ketika realitas
berkembang menjadi sesuatu, muatan utamanya adalah jiwa atau pikiran.
Publikasinya tersebut menandai kematangan filsafat Hegel. Melalui karyanya
tersebut, Hegel mulai mucul sebagai sosok yang berbeda dalam gerakan neo-Kantianisme
dan idealisme Jerman. Selain hal itu, dia juga mulai menjauhkan dirinya dari filsuf-filsuf
lain pada saat itu. Dalam karya-karya sebelumnya, tampak Hegel menjadi pengikut teman
lama sekaligus mentornya F.W.J. Schelling (1775–1854) (Stern, 2002: 4). Buku Hegel
yang berjudul Phenomenology of Mind tersebut merupakan pengantar filsafat Hegel yang
komprehensif. Melalui buku tersebut, ia ingin menunjukkan bentuk-bentuk kebenaran,
menjadi semakin eksis, dan akhirnya menjadi sistem ilmiah. Dalam pengetahuan nyata,
filsafat menjadi ilmu pengetahuan sebagai sistem. Hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan

130
dan sistem hanya sinkron ketika terjadi konstruksi realitas pikiran sehingga menjadi
transparan. Konsep sentral dalam filsafat Hegel adalah dialektika. Dia melihat bahwa
dialektika merupakan seperangkat hukum yang mendasari pemikiran dan realitas:
setiap tesis terdapat di dalamnya antitesis. Keduanya melebur menjadi sintesis. Bagi
Hegel, fenomena dalam sejarah bukanlah suatu kejadian yang kebetulan, melainkan
merupakan tahap penting menuju organon yang lebih kaya. Sejarah semestinya dipahami
dan juga semestinya diinterpretasikan, sebagai bentukan ingatan pikiran (Kleiner, 2005:
319–320).
Sekitar dua dekade sebelum Hegel, Immanuel Kant merupakan pioner konsep
fenomenologi (Johnson, 2008: 138). Selain Kant dan Hegel, beberapa filsuf lain
yang pernah menggunakan istilah (term) tersebut antara lain Lambert, Herder, dan
Fichte (Moran, 2000: 6). Kant menggeluti perennial problem (problem abadi) tentang
bagaimana kita bisa mengetahui dunia berdasarkan pada persepsi terbatas yang darinya
disaring melalui skema implisit yang selalu ada dalam pikiran kita? Dalam bahasa yang
lebih sederhana, kita mengetahui bahwa persepsi-persepsi yang kita miliki tidak selalu
sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak sadar kita
mendapatkan fakta bahwa suara dan pengamatan yang terekam dalam telinga dan mata
akan bervariasi berdasarkan jarak dari sumbernya. Dalam hal ini, Kant berpendapat
bahwa adalah tidak mungkin kita mengetahui dunia sebagai sebuah realitas dengan
sendirinya. Sesungguhnya, kita mengetahui sesuatu berdasarkan pada persepsi kita
tentang dunia sebagaimana yang difilter terlebih dahulu melalui penglihatan dan
diorganisasi oleh kerangka-kerangka pengetahuan khusus (Johnson, 2008: 138). Dengan
demikian, posisi Kant bertentangan dengan tradisi pendekatan grounded research yang
menekankan bahwa untuk mengetahui sesuatu, seorang peneliti “menggunakan tangan
kosong” tanpa bekal kerangka teori di benaknya.
Akhir abad 19, beberapa filsuf yang mengkritisi metafisika Hegel, vitalisme Nietzche,
dan historis materialisme Marx menyarankan untuk kembali kepada epistemologi Kant
yang memfokuskan pada hubungan problematik antara pengetahuan dan realitas, konsep
dan pengalaman. Gerakan ini disebut sebagai neo-Kantianisme yang juga dipacu oleh
munculnya ilmu-ilmu sosial baru, terutama psikologi dan sosiologi. Neo-Kantianisme
merupakan sebuah arus pemikiran dan penelitian penting hingga 1933 ketika munculnya
Nazisme mengakhirnya. Setelah Perang Dunia II, dimunculkan kembali oleh filsafat
eksistensialisme Prancis dan Jerman, filsafat analitik Anglo-Saxon, dan fenomenologi.
Aliran ini menolak perangkap saintisme atau positivisme yang menjadi model ilmu alam
logika ilmu pengetahuan (Wissenschaftslehre) sebagai logika ilmu pengetahuan. Untuk
mengungkap dunia sejarah nilai dan makna (diistilahkan sebagai Geist), dibutuhkan
metode ilmiah yang cermat dan berbeda dari cara ilmuwan alam melakukan penelitian.
Dengan kata lain, perbedaan esensial antara Geisteswissenschaft (ilmu-ilmu sosial/

131
humaniora) dengan Naturwissenschaft (ilmu-ilmu alam = sains), terletak pada logika dan
metodologinya. Dalam ilmu-ilmu sosial/humaniora, terutama sejarah, fokusnya adalah
sesuatu yang unik, berbeda, dan individual. Ilmu ini bersifat deskriptif, menggunakan
pendekatan idiografik dalam menangkap realitas.
Filsuf Edmund Husserl (1859–1938) yang dikenal sebagai founding father
fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan (lifeworld). Ia menggunakan
filsafat fenomenologi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya struktur pengalaman
yang merupakan cara manusia mengorganisasi realitasnya sehingga menjadi terintegrasi
dan autentik. Bagi Husserl, dunia kehidupan menyediakan dasar-dasar harmoni kultural
dan aturan-aturan yang menentukan kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang riil
dan normal. Dunia kehidupan juga menghasilkan latar belakang ilmu pengetahuan yang
dipandang sebagai kepercayaan-kepercayaan yang diterma apa adanya (taken for granted)
dalam sebuah tata kelakuan sistematik.
Setiap pengetahuan dilegitimasi oleh originary presentive intuition. Konsep tersebut
merupakan inti filsafatnya. Dalam hal ini, ia mengkritik tradisi empirisme yang terlalu
naif menganggap bahwa setiap penilaian dilegitimasi oleh pengalaman, padahal dalam
kenyataannya berbagai bentuk intuisi berada di bawah proses penilaian dan penalaran
seseorang (Moran, 2000: 10–11). Dalam usaha melihat hakikat, Husserl menggunakan
intuisi. Suatu “benda” tidak dapat secara langsung memperlihatkan hakikatnya sendiri.
Apa yang kita temui pada “benda” itu pertama-tama dalam pikiran kita bukanlah
hakikat. Apa yang menjadi hakikat sebenarnya berada di balik benda itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak mampu membuka tabir yang menutupi hakikat
benda, diperlukan pemikiran kedua (second look). Instrumen yang digunakan untuk
menemukan pemikiran kedua tersebut sehingga dapat ditangkap hakikat dari gejala
adalah intuisi (Praja, 2003: 179–180).
Martin Heidegger, seorang filsuf yang mempunyai pengaruh besar terhadap berbagai
disiplin ilmu, memberikan kontribusinya terhadap perkembangan fenomenologi melalui
pengembangan filsafat eksistensial fenomenologi. Dalam berfilsafat, Heidegger selalu
berusaha mencapai pengertian-pengertian mendalam berdasar pengalaman eksistensial
manusia. Sementara, tokoh yang berhasil membuat fenomenologi menjadi pendekatan
yang aplikatif adalah Peter Berger dan Thomas Luckman yang memfokuskan pada
persoalan religiusitas. Setelah itu, fenomenologi menjadi pendekatan yang menarik
minat para feminis, seperti Dorothy Smith, Sandra Bartky, Judith Butler, dan lain-lain.
Berikut secara ringkas dipaparkan perkembangan teori fenomenologi.

132
Tabel 5.1 Sejarah Perkembangan Teori Fenomenologi

Tahun Keterangan
1788 Publikasi Immanuel Kant berjudul Critique of Practical Reason,
1807 Georg Hegel mempublikasikan karyanya yang terjemahanya berjudul The Phenomenology of Mind.
Dalam karyanya Logical Investigations, Edmund Husserl meletakkan dasar-dasar fenomenologi. Ia dikenal sebagai
1900-01
founding father perspektif teori itu.
Ernst Cassirer mempublikasikan karyanya yang kemudian pada tahun 1957 Penerj. Ralph Manheim dengan judul
1929
The Philosophy of Symbolic Forms. vol. 3 dan The Phenomenology of Knowledge.
Alfred Schütz melalui karyanya The Phenomenology of the Social World berusaha memperluas filsafat
1932
fenomenologi dalam teori sosial.
Martin Heidegger menerbitkan karyanya Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale
1936 Phänomenologie,yang kemudian pada tahun 1954 karya tersebut diterjemahkan dengan judul The Crisis of
European Sciences and the Transcendental Phenomenology.
Edmund Husserl mengembangkan ide tentang dunia kehidupan (lifeworld) dalam karyanya yang berjudul The Crisis
1936
of the European Sciences and Transcendental Phenomenology (diterbitkan tahun 1936 diterjemahkan tahun 1970).
1965 Martin Heidegger mempublikasikan Phänomenologie als strenge Wissesnchaft.
Martin Heidegger mempublikasikan Zur Phänomenologie des inneren Zeitbewußtseins yang kemudian
1966
diterjemahkan dengan judul On the Phenomenology of the Consciousness pada tahun 1991.
Peter Berger dan Thomas Luckmann mempublikasikan The Social Construction of Reality: A Treatise in the
1966
Sociology of Knowledge yang merupakan perluasan fenomenologi ke level analisis makro.
Martin Heidegger menerbitkan Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie,yang
1976
kemudian diterjemahkan dengan judul Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy.
Dorothy Smith mengombinasikan pendekatan fenomenologi dengan feminisme dalam menuliskan karyanya yang
1987
berjudul The Everyday World as Problematic: A Feminist Sociology.
Judith Butler mempublikasikan karyanya yang berjudul “Performative Acts & Gender Constitution: An Essay in
1988
Phenomenology and Feminist Theory.”
Sandra Lee Bartky professor feminis pertama menerbitkan Femininity and Domination: Studies in the
1990
Phenomenology of Oppression.
1997 Ernst Cassirer mempublikasikan Philosophie der symbolischen Formen [Philosophy of Symbolic Forms]. Dalam 3 Volume.
1997 Lester Embree et al., eds. Mempublikasikan Encyclopedia of Phenomenology
Tabel. Sejarah Perkembangan Teori Fenomenologi

Sumber: Diolah dari Ritzer (2005: 926–930).

B. Filsafat/Teori Sosial yang Memengaruhi


Fenomenologi pertama kali secara sistematis dikembangkan oleh filsuf Edmund Husserl
pada awal abad 20. Ia lahir 1859 di Jerman dari keluarga Yahudi, tepatnya di daerah
Prostejov, Moravia, yang dulu merupakan bagian dari kekaisaran Austro-Hungaria yang
sekarang menjadi bagian wilayah Republik Czech (Ceko). Ia belajar matematika dan
filsafat di Universitas Leipzig (Berlin) dan Wina dan mengajar filsafat di Universitas Halle,
Gottingen, dan Freiburg. Dia meninggal tahun 1938. Dari keseluruhan karyanya dapat
dibagi menjadi tiga periode: (1) investigasi asumsi-asumsi filosofis pemikiran logis; (2)
investigasi-investigasi terhadap makna tindakan kesadaran; dan (3) teori tentang dunia

133
kehidupan (lifeworld). Husserl memulai dengan penilaian kritis terhadap pemikiran
filsafat kontemporer. Pada waktu itu, pemikiran filsafat berpijak pada pandangan bahwa
bentuk-bentuk pengetahuan manusia dibagi ke dalam pendekatan-pendekatan yang
menekankan metodologi (neo-Kantianisme) dan pendekatan yang menekankan logika
(Frege, lingkaran Wina) di satu sisi dan di sisi lain ilmu pengetahuan yang concern
terhadap pengalaman hidup (filsafat hidup-Dilthey, Bergson).
Fenomenologi secara esensial merupakan sebuah perspektif modern tentang
manusia dengan dunianya. Gerakan filsafatnya sangat dekat berhubungan dengan abad
20. Perspektif ini seperti semua gerakan-gerakan filsafat lainnya—dapat ditelusuri dari
naskah-naskah kuno dan yang lebih penting lagi berakar dari filsafat skolastik abad
pertengahan. Meskipun demikian, para teori fenomenologi, pada umumnya berkiblat
pada karya-karya Edmund Husserl sebagai titik pijakan (point of departure), dan Husserl
mengulangi apa yang menjadi perhatian Rene Decartes dan filsafat sebelumnya sebagai
permulaan perspektif fenomenologi secara meyakinkan (Ferguson, 2005: 233).
Sebagaimana kita ketahui, pada abad pertengahan (6–16 M), alam pikiran Eropa
terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Dogma-dogma gerejani
sangat memengaruhi pemikiran para filsuf, di antaranya adalah Agustinus. Menurutnya,
manusia adalah ciptaan Tuhan yang unik. Ia diwujudkan secara aktif dalam suatu
pengetahuan yang penuh kasih. Di sisi lain, manusia melalui penciptaannya dapat mendaki
sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan. Sementara, Descartes dikenal
sebagai tokoh aliran rasionalisme. Menurutnya, sumber pengetahuan yang memadai dan
dapat dipercaya adalah akal (rasio), sedangkan pengalaman hanya mengukuhkan kebenaran
pengetahuan yang diperoleh akal. Metode utama yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan adalah deduktif. Descartes bersemboyan cogito ergo sum (saya berpikir, jadi
saya ada) sebagai prinsip pertama dari filsafat. Aliran rasionalisme yang berkembang saat itu
beranggapan bahwa setiap ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian
yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya yang secara langsung disadari oleh akal
manusia.
Fenomenologi Husserl sangat kuat dipengaruhi teori-teori psikologi, terutama
yang dikembangkan oleh Wilhelm Wundt, Carl Stumpf, dan Franz Bretano. Pengaruh
ini bersama-sama dengan pengaruh John Locke dan David Hume yang mendorong
dirinya menjadi penganut empirisme dan psikologisme. Dalam buku pertamanya
Philosophy of Arithmatic (1891), dia mencoba untuk menderivasikan dasar-dasar konsep
aritmatika ke dalam tindakan psikologis secara khusus (Zeitlin, 1995: 209). Khusus dari
Brentano, Husserl berpandangan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan rigorous
yang memiliki ciri deskriptif, bukan penjelasan kausal. Fenomenologi Husserl menjadi
sama seperti usaha yang dilakukan Brentano untuk meninjau ulang asal-usul psikologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan. Brentano mengusulkan filsafat psikologi atau filsafat

134
pikiran (philosophy of mind) (Moran, 2000: 8). Brentano merupakan ahli psikologi yang
banyak memengaruhi fenomenologi Husserl.
Bretano mengembangkan apa yang ia sebut sebagai “psikologi empirik” yang
secara deskriptif mengidentifikasi domain mental dalam term intensionalitas. Brentano
menggunakan frasa “deskriptif psikologi atau deskriptif fenomenologi” untuk
membedakan psikologi empirik tersebut dengan psikologi genetik. Jenis psikologi
yang terakhir ini melakukan studi tentang subtrat material atau kondisi psikis, seperti
asal-usul organ-organ perasa, pola-pola kegelisahan, dan sebagainya. Bretano dalam
mengembangkan jenis psikologinya menggunakan pendekatan inner perception yang
sangat berbeda dengan introspeksi atau apa yang ia sebut sebagai inner observation. Kita
tidak dapat mengobservasi kondisi mental seseorang ketika tindakan berlangsung, tetapi
kita dapat memahami secara reflektif dari orang yang bersangkutan setelah kejadian. Bagi
Bretano, tidak ada kondisi mental yang tidak terreprensentasikan ataupun sebaliknya
tidak berdasar presentasi (Moran, 2000: 8). Pengaruh dari Bretano tersebut tampak dari
metode reduksi yang dikembangkan Husserl untuk memahami karakter dasar kesadaran,
yaitu tentang “intensionalitas”.
Selain psikologi, fenomenologi juga sangat dipengaruhi oleh aliran, terutama
neo-Kantianisme. Salah seorang penganutnya Heinrich Rickert (1863–1936) mengelaborasi
ide filsafat nilai dalam konteks yang lebih luas. Konsep Geisteswissenschaft diusulkannya
untuk diganti dengan Kulturwissenschaft. Hal ini disebabkan istilah Geist sangat mudah
diasosiasikan dengan sesuatu yang bersifat psyche atau “jiwa” (soul), sementara istilah
Kultur menunjuk pada realitas nilai dan makna-makna yang imaterial. Dalam pandangan
Ricket, ilmu sosial, seperti psikologi dan sosiologi, dapat mengklaim dirinya sebagai ilmu
pengetahuan yang memiliki ciri dan sifat yang sama dengan ilmu alam dan berusaha
mencari hukum-hukum umum yang berkaitan dengan psikis dan perkembangan sosial,
tetapi mereka harus fokus pada nilai-nilai dan makna-makna (budaya). Mereka dapat
bekerja dengan metode-metode sejarah. Idenya ini mendapat pengaruh dari logika dan
metodologinya Max Weber yang selalu berusaha mengombinasikan pendekatan “ilmu
alam”, yakni generalisasi (seperti dalam karyanya Economy and Society) dengan metode
sejarah yang individual (lihat karyanya tentang etika ekonomi dari agama-agama dunia)
(Zijderveld, 2005: 529).
Konsepsi Simmel tentang sosiologi mempunyai implikasi-implikasi penting bagi
cara ilmuwan mempelajari masyarakat, termasuk fenomenologi. Pertama, Simmel
menolak ide masyarakat sebagai suatu totalitas menjadi objek utama kajian sosiologis.
Dengan demikian, bertentangan dengan Herbert Spencer dan Durkheim yang
keduanya menganggap masyarakat sebagai suatu entitas absolut. Sementara itu, Simmel
memandang masyarakat sebagai penjumlahan interaksi, dan hanya ketika dilakukan
penelitian terhadap semua bentuk interaksi sosial, akan dapat diketahui masyarakat

135
secara keseluruhan. Masyarakat merupakan sebuah konstelasi bentuk-bentuk sosiasi, baik
secara temporer maupun yang lebih permanen. Khususnya, di sini sejumlah interaksi
minimum krusial yang melibatkan “saya” dan “kamu”, tetapi juga jaringan yang lebih
luas dari aktor sosial lain. Simmel mengeksplorasi bentuk-bentuk ideal interaksi sosial
dalam sosiabilitas dan dalam hubungan-hubungan pertukaran. Kedua, Simmel melihat
masyarakat sebagai dasar pengalaman dan pengetahuan dari anggotanya, jadi merupakan
sebuah antisipasi fenomenologi masyarakat dan sosiolgi pengetahauan. Masyarakat
mensyaratkan kesadaran sosiasi anggotanya. Dimensi ini muncul dari pertanyaan Simmel
bagaimana sebuah masyarakat ada (berlangsung). Ketiga, dimensi-dimensi estetik dari
masyarakat dan interaksi sosial merupakan ciri unik yang membedakan sosiologi Simmel
dengan yang lain.

C. Substansi
Di antara alternatif-alternatif teori selain fungsionalisme yang diterima luas di dekade
60-an adalah fenomenologi. Pada mulanya, fenomenologi merupakan filsafat yang
berkembang di Eropa melalui pengaruh dan karya Husserl. Fenomenologi kemudian
memengaruhi benua Amerika berkat Alfred Schutz. Ia mengajarkan dan memengaruhi
muridnya, termasuk Peter Berger yang juga merupakan seorang imigran dari Eropa.
Peter Berger pada tahun 1966 memublikasikan karyanya yang terkenal, yakni The Social
Construction of Reality bersama Thomas Luckman. Karyanya tersebut termasuk dalam
kajian sosiologi agama. Ahli lain yang mendapat pengaruh dari Schutz adalah Harold
Garfinkel yang mempunyai kontribusi terhadap fenomenologi sosial yang dia rancang
sebagai etnometodologi. Pada tahun 1967, ia memublikasikan karyanya yang berjudul
Studies in Ethnomethodology.
Fenomenologi memfokuskan studinya pada masyarakat berbasis makna yang
dilekatkan oleh anggota. Apabila filsafat Edmund Husserl yang memfokuskan
pada pemahaman fenomena dunia, fenomenologi yang diterapkan dalam sosiologi,
khususnya oleh Alfred schutz (1962) yang bekerja sama dengan teori yang memegang
teguh pragmatisme khususnya Mead, dan menjelaskan mengenai sosiologi kehidupan
sehari-hari. Schutz dan Mead keduanya memfokuskan pada proses sosialisasi yang
menjadi “cadangan pengetahuan umum” (common stock of knowledge) dari anggota
masyarakat, kemampuan mereka berinteraksi (perspektif resiprositas), dan relevansi
pemahaman makna yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Fenomenolog lain
menekankan perwujudan asal-usul manusia, hilangnya dikotomi ke-diri-an sebagaimana
yang diutarakan Rene Descartes. Martin Heidegger menunjuk hal itu sebagai dasein
(being-in-the-world). Maurice Merleau-Ponty juga menekankan hal yang sama dengan
menyebutnya sebagai (étre-au-monde). Fenomenolog yang lain pada umumnya menolak

136
ciri-ciri manusia yang dapat dijelaskan di luar realitas kehidupan sehari-hari. Mereka
melihat manusia terlekat dalam dunianya melalui karnalitas tubuhnya. Manusia adalah
tubuhnya sendiri. Jadi, sosiolog kehidupan sehari-hari melihat manusia terlekat dalam
dunia kehidupan sehari-hari ketika memfokuskan pada negosiasi makna dari interaksi
mereka.
Fenomenologi merupakan perspektif sosiologi yang concern pada kehidupan
sehari-hari selain interaksionisme simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnomethodologi,
sosiologi eksistensial, dan sosologi postmodern. Di antara perspektif-perspektif teoretis
tersebut terdapat ide yang sama, yakni dengan mempertahankan integritas fenomena.
Peneliti harus mencurahkan waktu dengan anggota masyarakat yang ditelitinya untuk
memperoleh sebuah pemahaman tentang bagaimana pandangan kelompok dan
menjelaskan dunia kehidupan sosial tempat anggota masyarakat menjalani kehidupan
sehari-hari mereka. Peneliti tidak boleh menyertakan asumsi teoretis dalam studinya akan
tetapi harus menderivasikan ide-ide yang berasal dari anggota masyarakat. Jadi, seluruh
sosiologi kehidupan sehari-hari menggunakan metode observasi partisipan, wawancara
mendalam, atau keduanya dan juga penalaran induktif untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik dan meminimalkan distorsi dari fenomena yang ditelitinya.
Fenomenologi yang pada mulanya berkembang dalam studi filsafat, oleh beberapa
orang murid Husserl dan ahli-ahli yang lain, seperti Maurice Merleau-Ponty, Alfred
Schutz, Sartre, dan de Beauvior, digunakan untuk menganalisis pengalaman hidup
sehari-hari. Analisis pengalaman hidup sehari-hari berfokus, baik pada aspek-aspek
subjektif maupun aspek-aspek intersubjektif. Pengalaman subjektif menunjuk pada
persepsi individual tentang pengalaman hidupnya juga, termasuk realitas pengalaman
hidup individual lain sebagai bagian dari kehidupannya. Pengalaman intersubjektif
menunjuk pada pemahaman resiprokal yang dimiliki masing-masing individu (terjadi
dalam pengalaman subjektif masing-masing individu). Penting dicatat di sini bahwa
pengalaman subjektif yang diresapi oleh hubungan-hubunangan intersubjektif dan
realitas-realitas intersubjektif yang diinterpretasikan dalam perspektif unik dari
masing-masing kesadaran individual (LaFountain, 2003).
Secara etimologis, fenomenologi menunjuk pada studi tentang fenomena atau
bagaimana fenomena muncul dalam kehidupan seseorang. Aliran ini menginvestigasi
struktur berbagai pengalaman dan mengasumsikan bahwa analisisnya menghasilkan
fondasi filosofis yang lebih baik daripada, misalnya epistemologi atau metafisika. Di
antara filsuf fenomenologi, nama-nama Edmund Husserl, Alfred Schutz, Martin
Heidegger, dan Maurice Merleu-Ponty merupakan yang paling terkenal. Beberapa filsuf
hermeneutik, seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Recoeur juga menjadi bagian dari
tradisi fenomenologi. Filsuf eksistensialis, seperti Jean-Paul Sartre (1905–1980) dan
(1883–1969), dalam berfilsafatnya juga menggunakan pendekatan ini. Fenomenologi

137
mempunyai pengaruh signifikan terhadap sosiologi, khususnya melalui karya Schutz.
Fenomenologi Sosiologis merupakan versi terpisah dari sosiologi interpretatif. Pendekatan
ini memiliki daya tarik terhadap tipe sosiologi interpretatif lain, seperti etnometodologi
(yang sangat dipengaruhi fenomenologi), interaksionisme simbolik, dan hermeneutik.
Fenomenologi juga menginspirasi karya-karya Peter Berger, Harold Garfinkel George
Gurvitch, Thomas Luckmann, dan Natason. Sosiologi fenemenologik memerhatikan
cara-cara ketika manusia merasionalkan realitas sosialnya dan bertindak berdasarkan
padanya. Pendekatan ini cenderung menentang pendapat neo-positivis bagi sebuah
kesatuan metode antara sosial dan natural, masyarakat selalu siap “diinterpretasikan”
dan hal ini membutuhkan sebuah metodologi interpretif. Dalam sosiologi Amerika,
fenomenologi muncul di tahun 1960-an yang berhadapan dengan pendekatan
mainstream, yakni struktural fungsional.
Untuk jangka waktu lama, fenomenologi berada di “pinggiran” sosiologi
karena premis-premisnya bertentangan dengan paradigma ortodoks yang berkuasa.
Fenomenologi kontras dengan metodologi yang dikembangkan Durkheim lewat
karyanya Rules of Sociological Method (1895 [diterjemahkan 1958]), terutama diktumnya
bahwa fakta sosial harus diperlakukan sebagai “sesuatu”. Pada dekade 1970-an,
sosiologi tertarik dengan fenomenologi, khususnya melalui tulisan-tulisan Anthony
Giddens dan Pierre Bourdieu. Ironisnya, ketertarikan ini menular dengan tumbuhnya
pengakuan bahwa tradisi filsafatnya berat sebelah. Fenomenologi terlalu memfokuskan
pada bagaimana individu merasionalisasikan dunia kehidupannya dan melupakan
hambatan serta faktor-faktor eksternal dari struktur sosial. Para sosiolog kemudian
mengasyikkan diri dengan menjembatani jurang antara pendekatan fenomenologi
dan strukturalisme dengan mengambil kelebihan-kelebihan dari keduanya. Giddens
lewat karyanya yang berjudul The Constitution of Society; Outline of the Theory of
Structuration (1984), melontarkan teori strukturasi di mana dia melakukan investigasi
mengenai bagaimana orang menjabarkan pengetahuan-pengetahuan praktis dan tacit
(tersembunyi) dalam kehidupan sehari-hari. Melalui hal tersebut, mereka berkontribusi
terhadap reproduksi masyarakat. Demikian pula Pierre Bourdieu melalui karyanya
Outline of a Theory of Practice (1972 [diterjemahkan 1977]) berusaha mentransendenkan
pertentangan antara “subjektivisme” (pendekatan fenomenologi) dan “objektivisme”
(pendekatan strukturalis). Bourdieu mencetuskan konsep yang ia sebut sebagai habitus
dan ia cenderung menggunakan pendekatan fenomenologi. Habitus adalah seperangkat
“disposisi” yang memungkinkan persepsi dan pengetahuan tentang dunia kehidupan
termanifestasi dalam suatu cara tertentu.
Dewasa ini para sosiolog tertarik dengan fenomenologi yang dikembangkan
Merleau-Ponty, khususnya melalui karyanya yang berjudul The Phenomenology of
Perception (1945 [diterjemahkan 1962]). Fenomenologi digunakan dalam dua cara

138
mendasar dalam sosiologi, yakni (1) untuk meneorisasikan problem-problem sosiologi
substantif; dan (2) untuk meningkatkan keakuratan metode penelitian sosiologis. Oleh
karena fenomenologi melihat masyarakat sebagai sebuah konstruksi kemanusiaan,
sosiologi beserta teori-teori dan metodenya juga dikonstruksikan (Cicourel 1964,
1973 sebagaimana dikutip Orleans, 2000: 2099). Jadi, fenomenologi berusaha untuk
menawarkan sebuah konseptualisasi dan metode riset korektif terhadap apa yang oleh
kaum positivis dipandang sebagai taken for granted. Fenomenologi menampilkan
teknik-teknik teoretis dan metode-metode kualitatif yang menjelaskan makna-makna
kehidupan sosial manusia.
Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi-interaksi
resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan situasional, dan
konstruksi realitas. Tidak seperti kaum positivis yang melihat setiap aspek sebagai suatu
faktor kausal, fenomenolog melihat bahwa semua dimensi sebagai pembentuk realitas.
Biasanya, para fenomenolog menggunakan istilah refleksivitas untuk menandai cara ketika
dimensi-dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi
dari seluruh aspek kehidupan manusia. Tugas fenomenologi kemudian adalah untuk
mengungkapkan (menjadikan sebagai sesuatu yang manifes) refleksivitas tindakan, situasi,
dan realitas dalam berbagai moda dari “sesuatu yang ada di dunia” (being in the world).
Fenomenologi memulai dengan suatu analisis sikap alamiah (natural attitude). Hal ini
dipahami sebagai cara pada umumnya individu berpartisipasi dalam kehidupan sosial,
menggunakan pengetahuan yang diterima apa adanya (taken for granted), mengasumsikan
objektivitasnya, dan melakukan tindakan yang sebelumnya telah ditentukan (direncanakan).
Bahasa, budaya, dan common sense yang muncul dalam sikap alamiah merupakan ciri objektif
dari dunia eksternal yang dipelajari aktor dalam proses kehidupannya.
Menurut Avison (1997: 87), fenomenologi berkaitan dengan makna-makna yang
memberikan pandangan yang berarti bagi pengalaman seseorang dalam usahanya
memperoleh sesuatu. Sementara itu, menurut Titchen dan Hobson (2005: 121),
fenomenologi merupakan studi tentang kehidupan manusia sehari-hari dalam konteks
sosial tempat fenomena tersebut terjadi berdasarkan perspektif orang-orang yang terlibat
langsung dalam pengalaman tersebut. Fenomena dapat secara langsung diteliti melalui
eksplorasi pengetahuan manusia melalui akses kesadarannya dan secara tidak langsung
dengan melakukan investigasi terhadap individu yang terlibat langsung melalui akses
pandangan-pandangan dan pengalaman serta kesamaan latar belakang makna-makna.
Perspektif yang pertama disebut sebagai direct approach (pendekatan langsung) atau
phenomenological sociology tempat peneliti menyoroti latar depan (light on foreground)
pengalaman. Sementara, perspektif kedua disebut sebagai indirect approach (pendekatan
tidak langsung) atau existential phenomenology. Dalam pendekatan ini, peneliti terlibat
langsung (within the background) dalam pengalaman. Sebagai perbandingan, Berger

139
(Kuswarno, 2009: 21) membagi fenomenologi ke dalam dua varian, yakni fenomenologi
hermeneutik yang memusatkan perhatiannya pada aspek kolektif dari budaya dan varian
fenomenologi eksistensial yang berorientasi pada level individu dari budaya, yakni
internalisasi kesadaran subjektif individu.
Dalam phenomenological sociology, fokus perhatiannya adalah pencarian kesamaan
makna-makna intersubjektif di antara partisipan serta merumuskan tipe-tipe umum
pengalaman subjektif. Beberapa konsep dasar (kunci) yang digunakan antara lain kesadaran
(conciousness), pengalaman (experience) tindakan rasional (rational action), makna-makna
subjektif (subyective meanings), intersubjektivitas penuh makna (meaningful intercubyectivity),
dan pemahaman rasional (rational understanding). Sementara itu, metode pemahaman
yang digunakan adalah verstehen, yakni mengetahui makna tindakan partisipan, yang
dikontraskan dengan makna tindakan yang mungkin dilakukan orang lain (termasuk peneliti
netral) (Titchen dan Hobson, 2005: 126). Selanjutnya, perbandingan antara Sociological
Phenomonology dan Exitential Phenomenology dapat dilihat dalam di bawah ini.
Asumsi pendekatan fenomenologi (dan juga realisme metafisika) adalah bahwa manusia
dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf
mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Tidak
dapat lepas bukan berarti keterpaksaan, melainkan momot etik. Pendekatan fenomenologi,
selain itu bukan hendak berpikir spekulatif, melainkan hendak mendudukkan tinggi pada
kemampuan manusia untuk berpikir reflektif, dan lebih jauh lagi untuk menggunakan
logika probabilistik. Pendekatan fenomenologi bukan hendak menampilkan teori dan
konseptualisasi yang sekadar berisi anjuran atau imperatif, melainkan mengangkat makna
etika dalam berteori dan berkonsep (Muhadjir, 1996: 83–84).

Tabel 5.2. Perbandingan Beberapa Aspek Antara Sociological Phenomonology dengan


Existential Phenomenology

Aspek Sociological Phenomonology Existential Phenomenology


Mengetahui makna-makna intersubjektif di antara Analisis kehidupan sehari-hari, keahlian, aspek teknis
Fokus (perhatian) partisipan praktik kehidupan
Utama Interpretasi kehidupan manusia sebagai self interpreting
Menghasilkan tipe-tipe umum pengalaman subjektif
secara esensial
Kesadaran, mengamati dari luar, pengalaman, Dasein, seperti : berada di dalam dunia, berada di
Konsep-konsep tindakan rasional, makna subjektif, antara, latar belakang makna, keterlibatan dalam dunia
intersubjektivitas penuh makna kehidupan yang diteliti
Pemahaman Ontologis – penilaian dari konvensi logika
Pemahaman rasional
umum/hermenetik
Verstehen –memahami makna tindakan seseorang,
Latar belakang pre-reflektif pemahaman pragmatik,
Pemahaman dikontras-kan dengan makna tindakan yang mungkin
aktivitas keterlibatan
dilakukan orang lain termasuk pengamat netral
Pemahaman sesuatu terlekat dalam bahasa, praktik-
praktik sosial, konvensi kultural dan pemahaman historis

140
Bahasa sehari-hari sebagai kunci untuk Bahasa sehari-hari sebagai kunci untuk memperoleh
mendapatkan konteks makna subjektif individual latar belakang makna, pengalaman dan konteks sosial
Peneliti memerhatikan pemikiran intuitif, embodied dan
Peneliti memerhatikan pemikiran rasional aktor
pengetahuan non-verbal
Perbedaan
Analisis data untuk membangun “tipe-tipe ideal” Sintesis berdasarkan prinsip-prinsip hermenetika untuk
Metodologi
yang terdekontekstualisasi mengungkap bukti-bukti prakognitif.
Peneliti mengambil jarak Peneliti terlibat dalam kehidupan sehari-hari aktor.
Observasi bukan metode kunci karena tidak dapat
Observasi merupakan metode esensial
mengkases konteks-konteks makna subjektif seseorang

Tabel. Perbandingan Beberapa Aspek Antara Sociological Phenomonology dan


Existential Phenomenology

Sumber: Disarikan dari Titchen dan Hobson (2005).

Dalam pandangan Schutz, subjektivitas adalah satu-satunya prinsip yang tidak


boleh dilupakan ketika para peneliti sosial memaknai objek-objek sosial. Peneliti harus
berkonsentrasi pada bagaimana setiap anggota (members) dunia kehidupan memproduksi
(secara interpretif) bentuk-bentuk (yang dapat dikenali dan dipahami) yang mereka
anggap nyata. Dengan berbekal orientasi subjektivitas, para peneliti melakukan penalaran
praktis dan menggunakan ilmu pengetahuan umum yang kerap digunakan oleh para
anggota (members) dunia/kehidupan untuk “mengejawantahkan” bentuk-bentuk sosialnya
(Holstein dan Gubrium, 2009: 336). Dalam pandangan Schutz, apa yang dimaksud
kebenaran ilmiah tidak berasal dari ruang-ruang formal, seperti kuliah, seminar, sidang
pengadilan, dan seterusnya, tetapi berasal dari kesadaran manusia akan ruang lingkup
dunia sekitarnya. Dalam hal ini, konsep lifeword Husserian dapat disejajarkan dengan
konsep everyday life Schutz. Implikasi fenomenologi terhadap metodologi penelitian,
terutama terletak pada pendekatan dari “bawah” yang untuk mengetahui kebenaran,
seorang peneliti harus mampu “mencandra” fenomena dari sumbernya, yakni manusia
yang terlibat dalam pengalaman hidup keseharian. Penilaian tentang baik-buruk,
benar-salah, dan sebagainya bukan berasal dari fatwa, dogma, dan sebagainya, melainkan
buah kesadaran moralitas pengalaman keseharian manusia. Fenomenologi sebagai sebuah
teori memiliki variasi pemikiran. Berikut ini adalah uraian singkat pemikiran-pemikiran
fenomenologi dari beberapa tokoh.

1. Edmund Husserl
Edmund Husserl, sebagai peletak dasar perspektif fenomenologi, menghabiskan
sebagian besar karier akademiknya dengan tujuan membuat “korelasi karakteristik
antar-objek ideal mulai dari yang murni logik hingga pengalaman hidup yang secara
subjektif membentuk tindakan” sebagai topik penelitian. Tujuan yang murni filosofis
mempunyai dampak luas bagi sosiologi karena membantu menjembatani antara
pendekatan sistematik logik terhadap problem epistemologis dan yang sebaliknya, yakni

141
analisis kesadaran sebagai sebuah arus pengalaman hidup di mana instrospeksi intuitif
dipilih sebagai metode. Husserl yang pada awal kariernya dikenal sebagai ahli matematika,
menekankan pentingnya bukti kedirian murni logis bagi setiap ilmu pengetahuan. Pada
saat yang sama, meskipun demikian, ia menunjukkan bahwa yang logis membutuhkan
fondasi filsafat dalam rangka untuk menjelaskan konteks letak pemikiran logis berada.
Ia melihat kesadaran sebagai sebuah arus tindakan yang selalu “intensional” dan selalu
berkorelasi dengan realitas yang dapat mereka ketahui.
Husserl tertarik pada struktur tindakan kesadaran yang menjadi pengalaman intensional,
selalu merepresentasikan suatru keseluruhan isi dan bentuk pengalaman. Oleh karena itu,
menjadi basis pendekatan manusia terhadap realitas dalam setiap modenya. Akan tetapi,
apabila itu dipakai untuk mengklaim sebagai ilmu pengetahuan yang teliti menghasilkan
sebuah fondasi dari seluruh ilmu pengetahuan individual, filsafat harus mencapai dua hal,
yakni sesuatu yang dapat diterapkan secara logik murni dan pada saat yang sama dapat
dipakai untuk mengklarifikasi basis-basisnya dalam arus kesadaran intensional. Dalam karya
pada periode keduanya, Husserl (1976) mengembangkan metode khusus yang kemudian
dikenal sebagai “reduksi fenomenologi” (epoche). Ia concern dengan investigasi pengalaman
sebagai pembentukan makna dari tindakan kesadaran dan mencari metode untuk
mencari bukti-bukti tersebut. Dia menyarankan untuk menempatkan validitas self-evident
pengalaman ke dalam “golongan” (brackets) dan merefleksikan tindakan kesadaran yang
membentuk self evidence yang taken for granted (Srubar, 2005: 557).
Teknik bracketing merupakan teknik fenomenologi kontemporer dalam sosiologi.
Teknik ini mengangkat suatu item (pengalaman) yang diinvestigasi dari konteks
maknanya dalam kerangka common sense beserta semua penundaan penilaian lainnya.
Sebagai contoh, item “alkoholisme sebagai sebuah penyakit” (Peele 1985, Truan 1993)
tidak dinilai dalam kerangka phenomenological brackets sebagai sesuatu yang benar atau
salah. Akan tetapi, sebuah reduksi (reduction) dibentuk tempat item tersebut dinilai
dalam term-term bagaimana hal itu (alkoholisme) beroperasi dalam kesadaran: apakah
orang-orang mendefinisikan dirinya sebagai kecanduan alkohol menilai hal itu sebagai
penyakit? Sebuah reduksi fenomenologis, baik sebagai pengukur ketegaklurusan ide-ide
esensial maupun untuk memastikan makna-maknanya bebas dari seluruh kesempatan
khusus ketika digunakan. Reduksi fenomena bracketed dengan demikian sebuah teknik
untuk memperoleh penjelasan teoretis terhadap makna elemen-elemen kesadaran.
Husserl berpendapat bahwa untuk mengungkapkan tindakan-tindakan tersebut
akan berarti menyingkapkan proses-proses dalam kesadaran manusia yang dipengaruhi
pengalaman beserta maknanya, yang kesemuanya itu membentuk semua fakta yang
berada dalam pikiran manusia. Setiap pengalaman dilihat sebagai fenomena yang
terjadi dan terbentuk dalam tindakan kesadaran sehingga fenomena menjadi sesuatu
bagi manusia. Prosedur fenomenologi ditujukan untuk mengungkapkan pengalaman

142
yang self-givenness, dengan kata lain, untuk memperlihatkan pengalaman sebagai sesuatu
yang nyata. Apa yang oleh Husserl maksudkan dengan ungkapan terkenal “kembali ke
sesuatu dengan sendirinya” (Srubar, 2005: 557).
Oleh karena itu, Husserl menunjukkan bahwa pengalaman nyata dan logis tidak
hanya saling kontradiksi satu sama lain, tetapi juga menunjukkan bahwa pengalaman-
pengalaman tersebut sangat erat saling terjalin dan kita dapat memperoleh bukti
langsung hal itu ketika kita menggunakan fenomenologi sebagai metode filsafat reflektif
mendalam. Dengan demikian, analisis fenomenologi Husserl tentang terbentuknya
tindakan kesadaran muncul untuk mengindikasi cara mengklarifikasi semua ilmu
pengetahuan ilmiah dan dapat ditambahkan membuka area riset yang berkaitan dengan
kondisi-kondisi bagi terbentuknya seluruh pengetahuan manusia. Ia percaya bahwa hal
itu harus memungkinkan dengan cara reduksi fenomenologi untuk mengungkapkan
self-givenness struktur dasar dan proses terbentuknya makna, yang membentuk kondisi
kemungkinan validitas dunia dan harus oleh karena itu dipandang sebagai sebuah
validitas a priori. Ia juga meyakinkan bahwa analisis fenomenologis yang secara konsisten
diperoleh tidak hanya mengungkapkan pembentukan makna tindakan kesadaran
manusia, tetapi dapat juga mencapai level abstraksi di atas mana hasilnya akan diperoleh
sebuah validitas transendental.
Reduksi ini menggiring seseorang pada suatu penemuan yang disebut Husserl
dengan “ego transendental”. Inilah “I” (saya sebagai subjek) yang pada puncaknya
memutuskan pemahaman dan validitas. Dalam proses, objek lain yang dimaksudkan
bukan dari dirinya sendiri. “I” (saya sebagai subjek) menyadari terhadap dirinya sendiri;
ia hanya mengubah dunia dalam suatu bentuk fenomena. “I” menjadi sadar terhadap
perubahan dunia, tetapi bukan pada dirinya. “I” merupakan suatu Ego yang murni yang
secara total tanpa isi dan terdiri dari beberapa bentuk keterkaitan yang berbeda (Zeitlin,
1995: 217). Tujuan fenomenologi Husserl adalah menangkap struktur-struktur universal
orientasi subjektif individu melalui lingkungan eksternalnya. Namun demikian, Husserl
tidak mengeksplorasi dimensi-dimensi sosial dan kultural pengalaman kehidupan umum
secara mendalam, sebagaimana dia tertarik pada isu-isu filsafat. Inilah barangkali yang
menjadi kelemahan fenomenologi Huserl.
Fenomenologi yang dikembangkan Husserl merupakan jawaban terhadap krisis
internal dan eksternal ilmu pengetahuan. Krisis internal terjadi disebabkan oleh hilangnya
landasan teori yang kukuh untuk berpijaknya teori-teori ilmiah. Sedangkan, krisis
eksternalnya disebabkan oleh ketidakmampuan ilmu dalam menangani akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penerapan ilmu dalam praktik kehidupan sehari-hari serta kehidupan
sosial-politik-budaya. Krisis eksternal pengetahuan juga tampak dari ketidakmampuan
ilmu dalam memanfaatkan peluang untuk membuat hidup lebih bermakna. Dalam
konteks ini, Husserl mengecam keras positivisme. Aliran positivisme dikritik karena

143
keengganan dan atau ketidakmampuan ilmu-ilmu positif dalam mempertimbangkan
masalah nilai dan makna. Nilai dan makna, kata Husserl tidak bisa diabaikan oleh karena
keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan (Abidin, 2006: 156–157).
Menurut Husserl, dengan fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk
pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita
mengalaminya langsung. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar
yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang.
Semuanya itu bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya.
Oleh karena itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna.
Makna itu lebih luas dari sekadar bahasa yang mewakilinya (Kuswarno, 2009: 10).
Bagi Husserl, fenomenologi merupakan ilmu yang fundamental dalam berfilsafat.
Fenomenologi merupakan ilmu tentang hakikat sesuatu dan bersifat a priori. Dengan
mengikuti Descartes, tetapi juga memberikan beberapa modifikasi, filsafat yang
dikembangkan Husserl adalah filsafat radikal, yakni filsafat yang mempertanyakan
hakikat sesuatu. Ia memulainya dengan mempertanyakan sesuatu yang dahulu diterima
begitu saja. Hal ini membutuhkan sikap yang berbeda (einstellung) terhadap dunia, dan
memandangnya sengan suatu “pandangan baru”. Dalam karyanya Cartesian Meditation,
Husserl merujuk pada sikap ketika seseorang “menolak” validitas suatu kepercayaan
alami yang ada dari apa yang dialaminya. Seseorang harus mengurung dunianya yang
bersifat objektif agar mendapatkan nilai yang berbeda. Reduksi tersebut mendorong
kaum fenomenologis untuk mentransformasikan dirinya ke dalam sosok peneliti yang
tidak berkepentingan dan terpisah.
Reduksi Husserl bergerak ke dalam dua arah, yakni ke arah noesis (suatu tindakan
yang diarahkan kepada suatu objek yang dikehendaki), dan ke arah noema (suatu objek
dari tindakan noetic), atau menuju tindakan yang sadar terhadap dirinya sebagaimana
kepada dunia objek yang dikehendaki. Elaborasi analisis noetic Husserl sebagai berikut:
orang menguji objek kesadaran orang lain yang dikehendakinya yang dihubungkan
dengan kesadaran dirinya pada saat mencoba membedakan suatu fenomena yang asli
dari sesuatu yang hanya berupa asumsi-asumsi dan praduga-praduga tentangnya. Orang
menguji kesadaran yang dijadikan sebagai suatu objek dengan menguji tentang keinginan-
keinginannya, perasaannya, dan keyakinan-keyakinannya sehingga bisa masuk dalam
suatu pengalaman objek tempat ia mampu merefleksikannya. Konsep intensionalitas
kesadaran Husserl ini adalah bahwa subjek dan objek tidak dapat dipisah-pisahkan dan
bersifat interaksional yang masing-masing hanya dapat dimengerti dari penjelasan yang
lain. Setiap objek merupakan objek bagi beberapa subjek dan setiap subjek merupakan
bagian dari objek intensionalitasnya (Zeitlin, 1995: 221).
Diskursus tentang aktivitas sehari-hari orang tidak dapat mengharapkan validitas
dunia sekitar mereka. Akan tetapi, dari sudut pandang filsafati, validitas tersebut, secara
144
“semi otomatis”, memunculkan persoalan bagi kita. Bagaimana kesadaran kita menangkap
realitas dunia sekitar yang diterima apa adanya dalam “sikap alamiah”? Fenomenologi
sebagaimana dikembangkan Edmund Husserl merupakan aliran filsafat pemikiran
yang berusaha menjelaskan problem tersebut dengan mendeskripsikan bagaimana
terbentuknya realitas dalam tindakan dari kesadaran orang terjadi. Jadi, fenomenologi
bertujuan pada proses dasar pelimpahan makna dalam dunia manusia, dan hasilnya
yang signifikan bagi pertanyaan teori sosial krusial bagaimana aktor mengonstruksikan
dan menginterpretasikan realitas dan bagaimana mereka mendefinisikan situasi untuk
memperoleh orientasi bagi tindakan-tindakannya. Menurutnya, dalam lapangan teori
sosial, pemikiran fenomenologi adalah fundamental bagi pendekatan interpretatif dalam
teori tindakan, bagi sosiologi pengetahuan, budaya dan bahasa, serta secara umum
pembentukan teori masyarakat.

2. Alfred Schutz
Alfred Schutz (1899–1959) lahir di Austria, kemudian hijrah ke Amerika Serikat
pada tahun 1939. Ia belajar hukum dan pengetahuan sosial di University of Viena. Di
antara guru-gurunya adalah Hans Kelsen, seorang filsuf hukum dan Ludwig von Mises,
ahli ekonomi dari perguruan tinggi kaum marginal di Austria. Schutz juga belajar sosiologi
di bawah bimbingan Freidrich von Weiser dan Othmar Spann. Schutz adalah seorang
intelektual yang tertarik oleh pemikiran Max Weber, tetapi berusaha menjernihkan
dan mengembangkannya dalam filsafat fenomenologis Edmund Husserl yang ia kenal
secara pribadi. Schutz-lah yang mengembangkan fenomenologi dalam sosiologi dan
sepanjang karier akademiknya dicurahkan untuk memperbaiki pemahaman sosiologis
mengenai dunia kehidupan (lifeworld). Ia menggunakan sumber fenomenologi yang
dikembangkan Edmund Husserl untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik sebagai
pilar-pilar filosofis ilmu sosial. Ia juga mengkritik teori Max Weber tentang tindakan
sosial dan interpretasi. Dia berusaha memahami bagaimana sebuah teori tindakan harus
ilmiah. Argumentasi sentralnya adalah bahwa sosiologi harus memahami bagaimana
aktor sosial menggunakan tipifikasi untuk mengorganisasi pengetahuan umum (common
sense) dari dunia kehidupannya dan untuk memahami perbedaan-perbedaan dasar
antara pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan ilmiah. Riset fenomenologis dengan
demikian merupakan studi relevansi perbedaan-perbedaan bentuk pengetahuan bagi
tindakan sosial.
Schutz adalah murid Husserl dan sangat kuat dipengaruhinya. Apabila pendekatan
Husserl adalah murni filsafat, Schutz mengeksplorasi relevansi fenomenologi ke dalam
sosiologi. Dalam karyanya The Phenomenology of the Social World (1967) dan koleksi
makalahnya, Schutz secara khusus tertarik cara-cara ketika individu menggunakan
skema interpretatifnya untuk merasionalisasikan fenomenologi personalnya dalam

145
kehidupan sehari-hari. Hal itu menjadi stock of knowledge yang memungkinkan dia
memahami makna dari apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Orang secara
normal memerhatikan stock of knowledge yang digunakannya, yang menjadi bagian
dari pengetahuan tak disadari (tacit knowledge). Dalam konteks ini, Schutz berbicara
tentang rasionalitas sehari-hari sebagai lawan rasionalitas ilmiah. Apabila rasionalitas
ilmiah dicirikan dengan pengetahuan teoretis dan keraguan-keraguan sistematik,
rasionalitas sehari-hari bersumber pada pengetahuan praktis dan penilaian (suspense)
ketidakpercayaan. Fenomenologi Schutz melicinkan jalan bagi penemuan-penemuan
sosiologis tentang bagaimana orang menandai makna terhadap lingkungannya. Dengan
dipengaruhi oleh Schutz dan Sartre, Berger dan Luckmann menulis karyanya, The
Social Construction of Reality; A Treatise in the Sociology of Knowledge (1967). Karya
ini memfokuskan pada bagaimana konsepsi realitas sehari-hari dikonstruksikan dan
dipertahankan (Baert, 2005: 438).
Stock of knowledge oleh Schutz adalah keseluruhan peraturan, norma, konsep tentang
tingkah laku yang tepat, dan lain-lain yang kesemuanya memberikan kerangka referensi
atau orientasi kepada seseorang dalam memberikan interpretasi terhadap segala sesuatu
yang terjadi di sekitarnya sebelum melakukan suatu tindakan. Beberapa ciri dari stock of
knowledge yang mendapat penekanan khusus dari Schutz adalah sebagai berikut.
1) Realitas yang dialami oleh orang-orang merupakan stok pengetahuan bagi orang
tersebut. Bagi anggota-anggota sebuah masyarakat, stok pengetahuan mereka
merupakan realitas terpenting yang membentuk dan mengarahkan semua peristiwa
sosial. Aktor-aktor menggunakan stok pengetahuan ini ketika mereka berhubungan
dengan orang-orang lain di sekitarnya.
2) Keberadaan stok pengetahuan ini memberikan ciri take for granted (menerima sesuatu
begitu saja tanpa mempertanyakannya) kepada dunia sosial. Stok pengetahuan ini jarang
menjadi objek refleksi sadar atau menjadi semacam asumsi-asumsi dan prosedur implisit
yang diam-diam digunakan oleh individu-individu ketika mereka berinteraksi.
3) Stok pengetahuan ini dipelajari dan diperoleh individu melalui proses sosialisasi
di dalam dunia sosial dan budaya tempat dia hidup. Akan tetapi, kemudian stok
pengetahuan tersebut menjadi realitas bagi aktor di dalam dunia yang lain karena
ke mana saja ia membawa stok pengetahuan itu dalam dirinya.
4) Individu-individu bertindak berdasarkan sejumlah asumsi yang memungkinkan
mereka menciptakan perasaan “saling” atau timbal balik: (a) yang lain dengan si
aktor yang berhubungan atau berelasi dianggap pada waktu itu juga menghayati
atau memiliki stok pengetahuan si aktor; (b) yang lain biasa juga menghayati atau
memiliki stok pengetahuan yang khas dan berbeda dari stok pengetahuan si aktor
karena memiliki riwayat hidup yang berbeda, tetapi stok pengetahuan ini tidak
dipedulikan si aktor ketika ia berelasi dengan mereka.
146
5) Eksistensi dari stok pengetahuan dan perolehannya melalui sosialisasi. Asumsi yang
memberikan aktor rasa saling atau tumbal balik, semua beroperasi untuk memberikan
kepada aktor perasaan atau asumsi bahwa dunia ini sama untuk semua orang dan ia
menyingkapkan ciri-ciri yang sama kepada semua. Apa yang membuat masyarakat bisa
bertahan atau menjaga keutuhannya adalah asumsi akan dunia satu yang sama.
6) Asumsi akan dunia yang sama itu memungkinkan si aktor bisa terlibat dalam proses
tipifikasi, yakni berdasarkan tipe-tipe, resep-resep, atau pola-pola tingkah laku yang
sudah ada. Tindakan atau perbuatan pada hampir semua situasi kecuali yang sangat
personal dan intim, dapat berlangsung melalui tipifikasi yang bersifat timbal balik
ketika si aktor menggunakan stok pengetahuannya untuk mengategorikan satu sama
lain dan menyesuaikan tanggapan mereka terhadap tipifikasi-tipifikasi tersebut.
7) Dengan tipifikasi tersebut, si aktor dapat secara efektif bergumul di dalam
dunia mereka karena setiap nuansa dan karakteristik dari situasi mereka tidak
harus diperiksa. Selain itu, tipifikasi mempermudah penyesuaian diri karena
memungkinkan manusia memperlakukan satu sama lain sebagai kategori-kategori
atau objek dengan tipe-tipe tertentu (Schutz, 1967; Campbell, 1994).
Karya pertama Schutz secara implisit merupakan kritik terhadap metode verstehen
Weber. Melalui karya ini, Schutz ingin mengetahui mengapa dan melalui proses apa, para
aktor dapat memahami arti yang sama. Asumsi Weber bahwa aktor-aktor menghayati
arti-arti subjektif mengantar Schutz pada pertanyaan: “Mengapa dan bagaimana
aktor-aktor bisa memperoleh arti subjektif yang sama?”; “Bagaimana mereka bisa
menciptakan suatu pandangan yang sama tentang dunia?”; “Bagaimana mungkin bahwa
sekalipun saya yang tidak melihat seperti yang engkau lihat, tidak merasakan seperti yang
engkau rasakan, tidak memandang seperti yang engkau pandang, akan tetapi tokoh bisa
turut merasakan pikiran, perasaan dan sikapmu?” Bagi Schutz (1967), hal ini merupakan
masalah intersubjektivitas yang merupakan skema sentral dalam intelektualitasnya.
Alfred Schutz mengembangkan sosiologi dunia kehidupan dan fenomenologi
sosial. Menurut Schutz, dunia kehidupan merupakan sesuatu yang terbagi, merupakan
dunia kebudayaan yang sama. Kepercayaan-kepercayaan dunia kehidupan berdasarkan
tipifikasi-tipifikasi, asumsi-asumsi, dan pengetahuan yang diterima begitu saja (taken
for granted) melalui interpretasi dan klasifikasi seseorang terhadap orang lain dalam
kehidupan sehari-hari. Individu melukiskan pengalaman dan biografinya untuk
memahami orang lain. Penelitian ilmu-ilmu sosial mengonfrontasikan berbagai makna
dan interpretasi dunia kehidupan. Bagi Schutz, kategori-kategori pengetahuan berasal
dari dunia kehidupan. Tipe ideal, ide-ide yang paling umum dalam ilmu sosial tentang
kehidupan sosial tempat ilmuwan sosial menggunakannya berdasarkan tipifikasi-
tipifikasi sehari-hari. Seluruh pengetahuan dimulai dari akal sehat (common sense) dan

147
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial tempat hal itu muncul. Schutz berpendapat
bahwa kepuasan ilmu sosial harus dimulai dengan suatu pemahaman dunia subjektif
dari seseorang, jadi harus mempelajari dunia kehidupan sosialnya. Ide tentang dunia
kehidupan mempunyai pengaruh terhadap beberapa perspektif sosiologi. Harold
Garfinkel penemu etnometodologi mengeksplorasi aktivitas dan kinerja seseorang melalui
dari mana seseorang mengonstruksikan kehidupan yang diterima apa adanya. Penulis lain
menggunakan istilah dunia kehidupan dalam arti yang berbeda. Peter Berger dan Thomas
Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1967) berpendapat bahwa seseorang
memiliki dunia kehidupan ganda. Lebih dari itu, seseorang yang memiliki kekuasaan
sosial dapat menentukan definisi realitas terhadap orang lain (Tucker, 2006: 339).
Schutz terinspirasi fenomenologi Husserl yang juga sekaligus merupakan kritik
terhadap pemikiran Barat positivisme, khususnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Inti
tradisi positivisme terletak pada pandangan bahwa kunci kesuksesan ilmu alam sebagai
sumber konsepsi definitif tentang realitas. Positivisme adalah jaminan metode ilmiahnya.
Ringkasan metode ini dapat ditemukan pada ilmu fisika, sebagai ilmu pengetahuan yang
paling sukses. Pandangan ini menekankan bahwa apabila kita ingin mengetahui apakah
suatu realitas itu nyata atau tidak, kita harus mencontoh metode seperti yang ada dalam
buku teks fisika. Akan tetapi, bagi Schutz, dunia kehidupan merupakan sebuah dunia
yang sangat berbeda dengan apa yang biasanya diketahui oleh ilmuwan alam. Dunia
alamiah yang familiar bagi kita adalah dunia kehidupan kita sehari-hari yang tidak akan
dijumpai dalam buku teks fisika, misalnya. Beberapa pemikir positivis melakukan persuasi
untuk membaca buku tersebut untuk meyakinkan kepada kita bahwa dunia kehidupan
sehari-hari adalah tidak nyata, dan hanya merupakan sebuah ilusi.
Posisi sosiologi yang berkembang pada awal kelahirannya dipengaruhi oleh
asumsi-asumsi kaum positivis. Sosiologi mengikuti jalur ilmu pengetahuan alam termasuk
kemudian dalam mendefinisikan realitas menurut terma-terma dan kaidah-kaidah
metode ilmiah. Realitas sosial pada mulanya didefinisikan melalui metode tersebut.
Dalam persepsi yang lahir belakangan, realitas sosial dilihat sebagai hasil dari kepercayaan-
kepercayaan yang salah. Hal ini sangat berbeda dengan Husserl. Ia tidak menerima
penjelasan mengenai hubungan antara dunia menurut ilmu pengetahuan di satu pihak
dan dunia dalam pengalaman yang nyata (lebenswelt) di lain pihak. Dia berpendapat
bahwa kesalahpahaman serius adalah tentang cara ilmu pengetahuan menghubungkan
pemahaman pra-ilmiah manusia sehingga menimbulkan dua gambaran yang salah
dan saling bertentangan. Ilmu pengetahuan tidak menghasilkan gambaran tentang
pengalaman hidup manusia berlangsung. Karena itu, tidak dapat melakukan penjelasan
ilmiah, baik tentang asal-usulnya maupun ketergantungannya dari pengalaman hidup.
Sebuah foto sinar X tidak dapat dijadikan sebagai foto KTP atau passport (Cuff et al.,
2006: 127).

148
Bagi Schutz, setiap interaksi melibatkan proses pengiriman sinyal kepada orang lain
dan hal itu tidak dipertanyakan mengenai asumsi bahwa masing-masing yang berinteraksi
mempunyai pandangan yang sama terhadap realitas yang terjadi. Bagi ahli metodologi,
gerak tubuh dan tanda-tanda yang dipertukarkan individu merupakan “indeksikal”
yang maknanya hanya dalam konteks khusus. Tanda-tanda tersebut digunakan untuk
mengonstruksikan sebuah pandangan makna bersama di antara individu-individu.
Kebanyakan riset etnometodologi menguji dengan baik transkrip-transkrip pembicaraan
untuk menentukan metode ethno atau folk. Dalam riset ini, individu membuat atau
mempertahankan sebuah pandangan tentang realitas. Sebagai contoh, dari sebuah
dialog, peneliti ingin mengetahui gerak tubuh yang ada dalam bentuk-bentuk dialog
normal, juga gerak tubuh yang sama-sama tidak disukai (disetujui) bersama. Selain itu,
juga dicari, misalnya pola-pola tumpang tindih (overlapping) pembicaraan, ambiguitas-
ambiguitas makna yang ditoleransi, atau perbaikan terhadap kesalahpahaman kecil yang
kesemuanya itu merupakan teknik-teknik yang digunakan seseorang untuk menciptakan
dan mempertahankan pandangan bahwa mereka berada dalam dunia intersubjektif
yang sama (Garfinkel, 1967; Sacks, 1992; Schegloff, 2001). Data yang ditampilkan
oleh etnometodolog dapat diadopsi oleh teori lain, namun sayangnya, argumentasi teori
etnometodologi tampak berada di belakang analisis empirik pembicaraan dan sering
etnometodologi dimasukkan sebagai salah satu versi linguistik (Turner, 2007: 54).
Schutz mengadopsi aliran fenomenologi ke dalam sosiologi dengan menekankan
bahwa interpretasi-interpretasi tidaklah unik bagi setiap orang, tetapi tergantung
pada kategori-kategori kolektif atau yang ia sebut sebagai “tipifikasi”. Masing-masing
kelompok mempunyai seperangkat “pengetahuan bersama”. Meskipun demikian, orang
hanya dapat berkomunikasi dengan berpijak pada asummsi bahwa dirinya memiliki
makna yang sama, dan kemudian menegosiasikan untuk mendapatkan saling pengertian
dan persetujuan komprehensif (Payne and Payne, 2004: 77).
Schutz membedakan antara makna dan motif. Makna berkaitan dengan bagaimana
aktor menentukan aspek apa yang penting dari kehidupan sosialnya. Sementara, motif
menunjuk pada alasan seseorang melakukan sesuatu. Makna mempunyai dua macam
tipe, yakni makna subjektif dan makna objektif. Makna subjektif merupakan konstruksi
realitas tempat seseorang mendefinisikan komponen realitas tertentu yang bermakna
baginya. Makna objektif adalah seperangkat makna yang ada dan hidup dalam kerangka
budaya secara keseluruhan yang dipahami bersama lebih dari sekadar idiosinkratik. Schutz
juga membedakan dua tipe motif, yakni motif “dalam kerangka untuk” (in order to) dan
motif “karena” (because). Motif pertama berkaitan dengan alasan seseorang melakukan
sesuatu tindakan sebagai usahanya menciptakan situasi dan kondisi yang diharapkan di
masa datang. Motif kedua merupakan pandangan retrospektif terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu (Ritzer, 1983: 215).

149
3. Harold Garinkel
Harold Garfinkel lahir tahun 1917 di Newark, New Jersey. Ia berguru pada Talcott
Parsons di Harvard University dan memperoleh gelar Ph.D-nya pada tahun 1952. Ia
bekerja di Universitas California sejak tahun 1954. Walaupun awalnya Garfinkel berminat
menjadi dokter bedah, namun kondisi depresi berat mendorongnya untuk belajar
bisnis dan membantu ayahnya berbisnis furnitur. Mata kuliah akuntasi di Universitas
Newark memengaruhi tugas-tugas selanjutnya sehingga ia tertarik pada pembuatan
laporan pertanggungjawaban akunting. Akan tetapi, selama di University Newark, ia
berinteraksi dengan sekelompok mahasiswa dari universitas tersebut dan dari Columbia
University, yang membuatnya tertarik pada sosiologi. Setelah lulus, ia pergi ke sebuah
kamp kerja Quaker di Georgia dan bertemu dengan lebih banyak mahasiswa. Pada akhir
musim panas tahun 1939, ia kuliah di University of North Carolina dan menyelesaikan
tesis menggunakan gagasan awal tindakan yang menggambarkan hubungan ras dan
pembunuhan. Ia juga mulai membaca karya-karya teori yang kemudian memengaruhi
bidang sosial, termasuk Talcott Parsons, Edmund Husserl, Alfred Schutz, C. Wright
Mills, dan Kenneth Burke.
Pada tahun 1948, Garfinkel menulis proposal disertasi berjudul Prospektus untuk
Upaya Studi Eksplorasi Komunikatif dan Cara-cara Pemahaman yang Dipilih dalam
Jenis Hubungan Dyadic. Melalui disertasinya, ia menunjukkan bahwa fenomenologi
sebagaimana diaplikasikan pada ilmu humaniora oleh Alfred Schutz dan Aron Gurwitz,
juga menawarkan sebuah konsepsi sosiologi yang sangat berbeda dengan apa yang
dikembangkan oleh Talcott Parsons. Selain itu, tujuan umumnya adalah membangun
pendekatan sosiologi yang sistematik, konsisten, dan rigorous (teliti) yang berbasis
definisi sosiologi oleh Marx dan Weber yang melakukan studi tindakan sosial. Garfinkel
mengembangkan dan merivisi ide-ide inisial ini ke dalam bentuk yang dapat diteliti
secara empirik. Apa yang dikembangkan tersebut diberi nama “etnometodologi”. Dia
mendeskripsikan sebuah alternatif perspektif sosiologi yang asimetrik dan sangat berbeda
dengan sosiologi mainstream yang selama ini dikenal.
Teori etnomeodologi merupakan kritik terhadap aliran-aliran utama sosiologi yang
menurut Garfinkel terlalu memaksakan kategori-kategori sosial kepada orang awam. Secara
khusus, Garfinkel melalui etnometodologi mengkritik konsep Parsonian, yang sudah lama
diyakini sebelum gelombang baru teori mengubahnya menjadi fungsional-struktural.
Berbeda dengan teori Parsonian, etnometodologi tidak tertarik pada dunia sosial tertentu,
tetapi lebih tertarik pada bagian-bagian spesifik interaksi di antara anggota-anggotanya.
Penekanannya adalah tentang bagaimana keteraturan suatu tatanan social merupakan
pencapaian (yang tidak disadari) oleh partisipannya.

150
Etnometodologi menekankan metode dan teknik yang bersifat interpersonal,
khususnya dalam pembicaraan dan wawancara, tempat individu mengonstruksikan,
mempertahankan, atau mengubah asumsi-asumsi tentang apa yang akan dibagi (share)
bersama. Ide ini berasal dari fenomenologi. Etnometodologi memfokuskan pada tatanan
sosial, tetapi dalam cara yang berbeda. Sedangkan, perbedaannya menurut Sharrock
(2007: 88) terletak pada kondisi-kondisi yang menyebabkan hubungan-hubungan
sosial menjadi mantap dan kekal: bagaimana pengaturan-pengaturan organisasi sosial
bekerja? Perubahan dalam sosiologi berlangsung sejak pertengahan abad 20 yang bermula
dari doktrin Parsons tentang solidaritas sosial melalui nilai konsensus hingga kini ke
keyakinan bahwa organisasi sosial dipengaruhi oleh kekuasaan. Problem tradisional
tatanan tampaknya bagi Garfinkel kembali ke pertanyaan sebelumnya: apabila akar
terdalam dieksplorasi, kemudian bagaimana mungkin tindakan dapat ditata secara
cerdik? Dalam setiap situasi, bagaimana anggota dapat mengetahui apa yang sedang
terjadi dan bagaimana meresponsnya: bagaimana mereka dapat membangun sesuatu yang
terhubung secara serial untuk memperbaiki tindakan? Argumentasi ini mengubah fokus
perhatian terhadap hubungan antara tindakan sekarang dan yang akan datang. Dengan
menganggap seseorang saat ini membentuk tindakan sekarang, bagaimana mereka
meningkatkannya pada tindakan yang akan datang? Secara generik, bagaimana sebuah
tindakan dikembangkan? Problem tatanan sosial digolongkan ke dalam pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Hal yang jelas tentu saja, respons terhadap tindakan orang lain dan
kebutuhan untuk menghubungkan tindakan satu dengan yang lain merupakan bagian
dari setiap situasi tindakan.
Harold Garfinkel bersama Aaron Cicourel mengembangkan etnometodologi dari
karya Schutz, tetapi tidak seperti Schutz—yang tetap sebagai teori murni—penelitian
mereka bersifat empirik. Dalam studinya tentang etnometodologinya, Garfinkel (1967)
melakukannya dengan prosedur investigasi dan interpretasi terhadap rasionalitas tindakan
manusia di lingkungan sosialnya. Dalam sejumlah eksperimennya, Garfinkel bersama timnya
juga melakukan studi tentang apa yang terjadi (dilakukan orang) ketika kenyataan tidak
sesuai dengan harapannya. Dalam situasi seperti ini, mereka menemukan bahwa ternyata
orang tidak mempermasalahkan apa yang diperkirakannya. Lebih dari itu, individu justru
cenderung menggunakan perkiraan-perkiraannya sebelumnya untuk merasionalisasikan
kenyataan yang terjadi, dan mereka berusaha mempertahankan asumsi-asumsi yang
dimilikinya. Garfinkel menyebut hal ini sebagai documentary method of interpretation.
Akar intelektual etnometodologi antara lain adalah sebagai berikut.
1) Interaksionisme simbolik: proses interaksi dan penciptaan arti-arti yang sama dalam
berhubungan satu sama lain. Hal ini sama dengan etnometodologi dengan pergerseran,
yaitu dalam hal apa aktor-aktor menciptakan suatu perasaan bahwa mereka memiliki
pandangan yang sama, dan bagaimana aktor-aktor itu sampai pada asumsi bahwa

151
ada sebuah dunia eksternal yang bersifat objektif. Etnometodologi mengurungkan
(bracketing) atau menunda (suspend) isu dunia eksternal dari norma, peran, nilai,
dan kepercayaan. Etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana interaksi
menciptakan perasaan akan dunia fakta di luar.
2) Analisis Dramaturgi Goffman: etnometodologi setuju dengan keprihatinan Goffman
dengan teknik-teknik yang dilakukan oleh aktor untuk menciptakan kesan-kesan
di dunia sosial. Dalam etnometodologi, bukan tentang manajemen kesan individu,
melainkan bagaimana aktor menciptakan perasaan terhadap realitas yang sama.
Etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana teknik-teknik itu dapat
mempertahankan perasaan terhadap realitas sosial.
3) Fenomenologi Alfred Schutz: etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi
dengan isu bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan praktik-praktik yang
biasa dilakukan aktor untuk mencapai rasa (sense) bahwa mereka menghayati dunia
kehidupan sehari-hari yang sama.
Dalam pandangan kaum etnometodolog, realitas sosial adalah kreasi para pelaku.
Asumsi-asumsi yang digunakan adalah: (1) kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti,
segala sesuatu dapat terjadi dalam interaksi; (2) para pelaku tidak menyadari adanya
ketidakpastian dan terjadinya interaksi; (3) tanpa diketahui oleh para pelaku, mereka
mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia tampak sebagai tempat
yang teratur. Etnometodologi memusatkan perhatiannya pada bagaimana interpretasi
muncul. Sasarannya adalah mengungkapkan metode yang digunakan oleh partisipan
(warga) pada suatu tatanan sosial untuk berkomunikasi satu sama lain tentang apa yang
mereka pikirkan sedang terjadi—apa makna situasi itu bagi mereka dan upaya-upaya yang
mereka lakukan agar interpretasi itu dipahami orang lain. Etnometodologi menekankan
bahwa setiap situasi sosial adalah unik. Kata-kata yang diucapkan dan tindakan yang
diambil adalah indeksikal. Artinya, kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan
atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Garfinkel menunjukkan bahwa
para anggota mengidentifikasi kesadaran mengenai kejadian (sense of occasion) meskipun
bukti-bukti dari anggota lain kurang atau tidak ada.

4. Peter Berger dan Thomas Luckmann


Peter Berger dan Thomas Luckmann melahirkan teori konstruksi sosial yang sangat
dipengaruhi oleh Alfred Schutz. Mereka merupakan tokoh penting yang menjadikan
fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunakan dalam sosiologi melalui
karya-karyanya yang berjudul The Social Construction of Reality dan Phenomenology
and Sociology (1978). Berger dan Luckmann berusaha menjembatani perbedaan yang
semakin tajam dalam sosiologi akibat modernitas dan sekularisasi. Mereka melakukan

152
interpretasi kehidupan religius masyarakat modern. Mereka khususnya tertarik untuk
mereintegrasikan dasar-dasar filosofis sosiologi dengan positivisme dalam ilmu sosial.
Beberapa tulisan Berger dan Luckmann menekankan sentralitas pengalaman manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman hidupnya, refleksi intersubjektivitas
komunikasi sehari-hari (hal ini memengaruhi teori Jurgen Habermas tentang tindakan
komunikatif). Berger dan Luckman mengembangkan tesis yang menghubungkan antara
modernitas/sekularisasi dan kehidupan agama. Mereka berpendapat bahwa agama
mengalami deinstitusionalisasi dan kehilangan fungsi monopolisasi kehidupan sosial
sebagai akibat meningkatnya deferensiasi di masyarakat.
Dalam In The Invisible Religion: The Transformation of Symbols in Industrial Society
(1963 [diterjemahkan 1967]), Luckman khususnya mendeskripsikan bagaimana
pengalaman manusia terdesak keluar dari public sphere dan kemudian menjadi sesuatu
yang bersifat privat dalam menentukan ke-diri-an (self) sehingga terbentuk kesadaran
religius baru yang terindividualisasikan. Dalam karyanya kemudian, Luckmann menyoroti
bagaimana “khotbah moralisasi” yang mengarahkan terbentuknya suatu kehidupan yang
baik—diasumsikan menjadi sebuah bahan utama pembentukan pandangan dunia dalam
masyarakat nasrani tradisional, meskpun mengalami penurunan dalam gereja-gereja—
adalah kehidupan manusia intrinsik dan varian-varian menjadi bagian cadangan diskursus
publik pada masyarakat modern.
Istilah konstruksi sosial pertama kali digunakan oleh Peter Berger dan Thomas
Luckmann (1966), melalui karyanya The Social Construction of Reality. Berger dan
Luckmann berpendapat bahwa realitas sosial yang “dikonstruksikan” merupakan
sebuah domain yang dapat dilacak secara empirik, sebuah dunia objektif yang
berbeda dari tatanan objektivitas dalam ilmu alam. Mereka tidak mempermasalahkan
objektivitas, baik dalam ilmu sosial maupun ilmu alam, tetapi sesungguhnya berusaha
mengembangkan sebuah pendekatan teoretis yang berbeda. Mereka mengembangkan
fenomenologi, terutama dari karya Alfred Schutz tentang fenomenologi dunia sosial,
tetapi mengadaptasinya menjadi sebuah bentuk penjelasan sosial konvensional. Tidak
seperti Schutz, Berger dan Luckmann tidak berusaha menjelaskan dunia kehidupan
(lifeworld) dari sudut anggota khusus. Mereka menggunakan istilah “konstruksi” sebagai
sebuah varian ide fenomenologi Amerika dan sosiologi, yakni “konstitusi” (sebuah
koordinasi dari tindakan dan objek-objek intensional), dan mereka mengembalikan
ke bentuk yang lebih familiar dari teori struktural, menggunakan sebuah pandangan
historis untuk mengembangkan penjelasan umum tentang bagaimana tindakan-tindakan
subjektif menjadi stabil, secara eksternal mendapat hambatan, dan (untuk semua tujuan
praktis) institusi objektif. Penilaiannya tentang institusi-institusi merupakan kombinasi
kritik positivisme—mengkritik pandangan berat sebelah tentang institusi sosial sebagai
sesuatu yang berada “di luar” individu—dengan sebuah pandangan empirik yang

153
diperoleh dari hasil penelitiannya tentang bagaimana sebuah institusi menjadi objektif
(Lynch, 2006: 774).
Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, terdapat hubungan dialektis
antara diri (self) dan dunia sosiokultural dan hubungan tersebut berlangsung secara
simultan melalui tiga “momen”, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi
(Berger & Luckmann, 1990; Berger, 1991: 4). Eksternalisasi merupakan penyesuaian
diri dengan dunia sosio-kulturalnya sebagai produk manusia. Objektivasi merupakan
interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi. Sementara itu, internalisasi merupakan proses ketika individu
mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat
individu menjadi anggotanya. Manusia sebagai subjek individu dan masyarakat sebagai
dunia sosio-kulturalnya terlibat dalam hubungan dialektis yang saling berkelindan.
Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi
objektif dan subjektif. Manusia merupakan instrumen dalam penciptaan realitas sosial
yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui
proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Dalam mode yang dialektis,
terdapat tesis, anti-tesis, dan sintesis. Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia
dan manusia sebagai produk masyarakat (Poloma, 1984: 308). Masyarakat sebagai
realitas objektif menyiratkan terjadinya pelembagaan di dalamnya. Awal mula terjadinya
pelembagaan adalah bahwa semua kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan
(habitualisasi). Tiap tindakan yang sering diulang pada akhirnya akan menjadi suatu
pola yang kemudian bisa direproduksi sehingga dipahami oleh pelakunya sebagai pola
yang dimaksud. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan, yang terjadi
apabila suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi
berbagai tipe pelaku. Secara teori, penting untuk ditekankan adalah proses pelembagaan.
Tipifikasi timbal balik akan terjadi juga apabila dua individu mulai berinteraksi. Dari
sini masing-masing dapat meramalkan tindakan pihak lainnya.
“Eksternalisasi” merupakan pernyataan lahiriah subjek-individu yang berasal dari
pemahamannya terhadap sebuah konteks sosial. Kisi kelampauan bertaut erat dengan
bagaimana pengalaman-persepsi membentuk pernyataan atas dunia. Kesadaran bentukan
(second reality) ataupun sang hakiki tertuang dalam pola-pola perilaku dalam ranah makro
maupun mikro kosmos subjek-individu itu. Pada gilirannya, proses kesadaran tersebut
termanifestasikan ke dalam perilaku-perilaku masyarakat luas sehingga menjadi kenyataan
“objektif”, yakni pranata-pranata sosial yang dibentuk berdasar konsensus. Pemahaman
terhadap realitas objektif yang terbentuk kemudian mengalami proses internalisasi, yakni
proses masuknya pengetahuan dan kesadaran ke dalam tataran batin subjek-individu,
yang kemudian melahirkan butir kesadaran “baru”. “Internalisasi” adalah sebuah ruang

154
tawar-menawar yang digunakan subjek-individu untuk memetakan dunia luar serta
menyatakan diri “ada”.
Realitas kehidupan sehari-hari merupakan yang diterima begitu saja (taken for
granted). Hal itu disebabkan karena merupakan sesuatu yang bersifat alamiah dan tidak
perlu dibuktikan atau dipermasalahkan lagi kebenarannya. Selain itu, realitas sosial
merupakan realitas yang bersifat khas (dan individu tidak mungkin mengabaikannya).
Realitas sosial merupakan totalitas yang teratur, terikat struktur ruang dan waktu, serta
objek-objek yang menyertainya (Hanneman, 1993: 9). Selain diisi objektivasi-objektivasi,
realitas kehidupan manusia juga dikelilingi oleh signifikansi tanda-tanda buatan manusia
yang merupakan objektivasi khas. Tanda-tanda tersebut memiliki makna intersubjektif
walaupun tidak ada batas jelas antara signifikansi dan objektivasi. Sistem tanda meliputi
sistem tanda tangan, gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak
material, dan sebagainya. Bahasa sebagai sistem tanda-tanda suara merupakan sistem
tanda paling penting. Signifikansi tingkat kedua ini merupakan sarana untuk memelihara
realitas objektif. Dalam situasi tatap muka, bahasa memiliki suatu sifat timbal balik yang
inheren yang membedakannya dari setiap sistem lainnya. Dengan bahasa, realitas objektif
masa lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa
memungkinkan menghadirkan objek tersebut ke dalam situasi tatap muka (Berger dan
Luckmann, 1990: 50–51).

5. Maurice Merleau-Ponty
Maurice Merleau-Ponty (1908–1961) adalah seorang filsuf Prancis yang
memperoleh gelar profesornya di Universitas Lyon dan Sorbonne. Merleau-Ponty adalah
seorang editor Jurnal Les Temps yang didirikan oleh Jean-Paul Sartre (1905–1980) Dia
memutuskan hubungan dengan Satre dan partai komunis setelah terjadi perang Korea,
yang kemudian menyebabkannya semakin jauh dari dunia politik. Dia mengembangkan
fenomenologi kehidupan sehari-hari dan sangat menaruh perhatian pada persoalan-
persoalan kesadaran, persepsi, dan intensionalitas.
Karyanya merupakan penerapan fenomenologi Edmund Husserl terhadap kesadaran
intensional. Akan tetapi, dari perspektif eksistensi pemenuhan kebutuhan badaniah.
Dia menginginkan mendeskripsikan kehidupan dunia tanpa menggunakan dualisme
tradisional antara subjek dan objek. Dengan demikian, Merleau-Ponty mengkritik
dualisme antara pikiran (mind) dan body (tubuh). Dia mengembangkan ide body-subject
yang selalu disituasikan dalam realitas sosial. Dia mengembangkan epistemologi yang
menolak dualisme antara realisme dan konstruksi sosial. Dia juga menolak pendekatan
behavioral dan mekanistik dalam memahami tubuh manusia. Ia bekerja dengan
mengembangkan fenomenologi tubuh sebagai pengalaman hidup dalam kehidupan
sehari-hari. Dia berusaha menunjukkan bahwa identitas dan kesadaran tentang diri tidak
155
dapat dipisahkan dari pengejawantahan seseorang. Bagi kalangan sosiolog, karya yang
paling berpengaruh adalah Phenomenology of Perception (1945 diterjemahkan 1962) yang
menjadi pendekatan kontemporer dalam sosiologi tubuh meskipun pendekatannya ini
sering dikontraskan dengan Michel Foucault, terutama dalam hal konsep governmentality
(Turner, 2006: 380).
Merleau-Ponty menaruh perhatian pada peran tubuh (body) dalam pembentukan
persepsi. Idenya tentang phenomenal body (yang berlawanan dengan objective body)
meletakkan objektivisme sebagai inti ilmu alam. Meskipun ia sangat menghargai
gurunya Sartre, dalam epilog karyanya, ia mengkritik ide-ide Sartre. Peningkatan
perhatian terhadap tubuh menjelaskan mengapa sosiolog kontemporer sangat tertarik
dengan karya Merleau-Ponty. Sebagai contoh, karya Bryan Turner tentang Sociology
of the Body (1984) merupakan buku pertama yang mempunyai relevansi dengan karya
Merleau-Ponty (Baert, 2006: 438–439). Dalam bukunya Phenomenology of Perception
(1945 [diterjemahkan 1982]), Merleau-Ponty menguji bagaimana persepsi realitas
selalu terjadi dari lokasi khusus dari tubuh. Merleau-Ponty menunjukkan bagaimana
kesadaran atau pemahaman terhadap dunia selalu merupakan sebuah persepsi yang
terejawantahkan. Ringkasnya, fenomenologi mengkritik dualisme antara mind dan body.
Body bersifat pasif dan lamban. Penelitian tersebut diinspirasi oleh ide tentang lived body
yang menjadi bukti penting adanya hubungan yang erat antara tubuh, pengalaman dan
identitas (Turner, 2006: 42–43).
Merleau-Ponty menguji cara-cara aspek kognitif dari kesadaran berada dalam
suatu lived body yang merujuk pada pengalaman-pengalaman yang dilihat dan
dirasakan dari orang lain atau dunia sekitarnya. A lived body termasuk di dalamnya
adalah tubuh fisik. Dalam hal ini, lived body mempunyai kemampuan untuk melihat,
mengubah, dan merasakan apa yang dianggap sebagai ciri kesadaran fundamental.
Merleau-Ponty selanjutnya menunjuk subjektivitas sebagai the body-subject untuk
menandai suatu “penglihatan” dari diri sendiri atau orang lain sebagai sesuatu yang
lebih bermakna, bahkan sebelumnya untuk melakukan interpretasi kognitif. Di sini,
transenden juga termasuk kapasitas yang membentuk kesadaran dari pengalaman dan
hubungan-hubungan antar-kejadian sebagai suatu kesatuan (LaFountain, 2003).
Perbedaan tradisi filsafat dan sosiologi membentuk pendekatan-pendekatan
kontemporer terhadap tubuh. Pertama, tubuh sering didiskusikan sebagai suatu representasi
kultural dari organisasi sosial. Sebagai contoh, kepala sering digunakan sebagai suatu
metafora pemerintahan, dan kata korporasi digunakan untuk mendeskripsikan perusahaan
modern juga aslinya memiliki metafora tubuh serupa. Dalam tradisi sosiologi, penelitian
tentang tubuh ditujukan untuk memahami bagaimana tubuh memasuki diskursus politik
sebagai sebuah representasi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan ditunjukkan oleh tubuh.
Pendekatan terhadap tubuh sering dihubungkan dengan Michel Foucault yang memusatkan

156
perhatiannya pada persoalan tersebut lewat karyanya Discipline and Punish. Sementara itu,
The Birth of the Prison (1975 [diterjemahkan 1977]) merupakan hasil penelitiannya mengenai
perintah tubuh, baik di sekolah, penjara, maupun pabrik-pabrik. Pendekatan terhadap tubuh
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang representasi dan regulasi. Contohnya,
diet merupakan metode yang digunakan untuk mengatur tubuh.

D. Krik/Tanggapan
Sejauh ini, tidak banyak ahli yang melakukan kritik terhadap fenomenologi. Gabriel
Marcel merupakan salah satu di antara sedikit ahli yang melakukan kritik. Menurut
Marcel (Ferguson, 2005: 246), reduksi fenomenologi cenderung menghasilkan pandangan
yang valid, tetapi tidak mampu menghasilkan self-knowledge atau self-understanding. Apa
yang diungkapkan tidak lebih dari sekadar mistery tentang sesuatu yang tidak dapat
dihilangkan. Fenomenologi dengan demikian lebih merupakan fondasi bagi teologi
eksistensi kontemporer daripada filsafat modern tentang pengalaman yang dapat
mengklarifikasi dirinya. Metode yang dikembangkan Husserl lebih menekankan pada
bagaimana melacak pengetahuan seseorang secara intuitif, bukan bagaimana menemukan
pengetahuan “baru”. Problem esensial yang berkaitan dengan fenomenologi adalah
bagaimana menginterpretasikan sesuatu yang bermakna, bukan mengkritisi konsistensi
internal atau menolak asumsi-asumsinya.
Sementara itu, salah satu kritik terhadap etnomeodologi datang dari dari Paul
Atkinson (Ritzer dan Goodman, 2008: 326) yang menegaskan kurangnya koherensi dalam
studi etnometodologi dan selanjutnya menyatakan bahwa ada beberapa etnometodologis
yang menyimpang terlalu jauh dari premis-premis yang melandasi pendekatan ini. Dengan
demikian, meski etnometodologi ini merupakan teori sosiologi yang sangat bersemangat,
namun tetap “mengidap penyakit” yang makin parah di tahun belakangan ini. Tak salah
dikatakan bahwa etnometodologi, diversitasnya, dan juga masalah pokok yang menjadi
sasaran studi etnometodologi merupakan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang
terbatas. Oleh karena itu, akan semakin banyak studi, makin banyak diversifikasinya dan
makin growing paints.
Beberapa sosiolog kontemporer Eropa mempunyai kontribusi signifikan dalam
perdebatan dan mempunyai pandangan baru dalam konsep penjelasan tentang perilaku
bermakna. Antony Giddens salah satunya yang menekankan pada dualitas struktur.
Dalam karyanya yang berjudul New Rules of Sociological Methods, Giddens mengusulkan
fondasi sosiologi interpretif yang ia sebut sebagai double hermeneutic: pemahaman tidak
hanya merupakan sebuah sumber hipotesis yang tak terhindarkan tentang perilaku
manusia, tetapi juga merupakan elemen yang selalu inheren dalam tujuan penelitian.
Sosiologi membutuhkan untuk memperhitungkan bahwa dunia sosial selalu telah

157
diinterpretasikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, Giddens mengkritik tradisi positively
fenomenologi Schutz, etnometodologi, dan teori tindakan Anglo Saxon yang diikuti
Wottgenstein. Pada saat yang sama, Giddens menekankan bahwa kita akan membuat
kesalahan apabila kita melihat dunia sosial hanya dari sudut produksi sesuatu yang
bermakna. Peneliti harus menjaga dalam pikirannya reproduksi material dari praktik
sosial. Dalam karyanya The Constitution of Society, Giddens meringkas teori strukturasinya
dan menghasilkan sebuah definisi luas tentang struktur sosial. Definisi tersebut meliputi
tidak hanya aturan struktur, yang harapan-harapan perilaku manusia bermakna, tetapi
juga struktur yang membatasi tindakan manusia, yang diakibatkan oleh ketimpangan
distribusi sumber daya. Term struktur, yang sangat mapan dalam sosiologi Eropa hingga
kini meskipun demikian mempunyai dua makna, yakni dilihat baik sebagai pendorong
maupun penghambat perilaku manusia (Nollman dan Strasser, 2007: 81).

E. Prospek/Perkembangan
Fenomenologi merupakan teori sosiologi yang mempunyai pengaruh luas. Dalam
sosiologi kontemporer, pengaruhnya dapat dilihat dari meningkatnya humanisasi, baik
dalam kerangka teori, metodologi riset, serta prosedur penilaian, dan model-model
instruksional dalam pendidikan. Pemikiran fenomenologi juga mempunyai pengaruh
terhadap teori postmodern, poststrukturalisme, teori kritis, dan juga neofungsional.
Konsep-konsep, seperti konstruksionisme, situasionalisme, dan refleksivitas, yang
menjadi core fenomenologi juga dikenal dalam teori-teori tersebut di atas (Orleans,
2000: 2101).
Dalam khazanah teori sosial Eropa, fenomenologi yang menjelma menjadi kekuatan
baru teori sosial yang dalam perkembangannya memengaruhi teori-teori lain, seperti
strukturalisme Claude Le’vi-Strauss dan poststrukturalisme-nya Michel Foucault, Jack
Derrida, dan yang lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan metodologis yang dimunculkan
gerakan linguistic turn masih belum terpecahkan meskipun terdapat sejumlah studi
tentang strukturasi subjektivitas dan hubungan-hubungan sosial dalam kerangka
sitem-sistem simbol. Basis teori strukturalisme berasal dari linguistik. Menurut aliran
ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa
meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan ilmu fonetik dan tata
bahasa. Pengaruh fenomenologi terhadap strukturalisme Levi-Strauss terlihat antara
lain pada pandangan Levi-Strauss yang menyatakan bahwa apa yang tampak dari suatu
fenomena bisa sangat menipu, dan realitas harus ditemukan di balik fenomena yang
tampak tersebut—seperti halnya ketidaksadaran dalam mekanisme mental menjadi
alasan bagi tindakan-tindakan yang mungkin tidak disadari.

158
Sementara itu, pengaruh fenomenologi terhadap Derrida terlihat ketika Derrida
memublikasikan karya pentingnya pada tahun 1967 berjudul Speech and Phenomena.
Dalam karyanya ini, dia menguji problem-problem yang dimunculkan Edmund
Husserl. Karya tersebut erat kaitannya dengan bagian tulisan Husserl yang berjudul
Logical Investigations. Husserl membedakan antara tanda ekspresif dan tanda indikatif.
Tanda ekspresif menunjuk adanya jaminan makna penuh yang ada secara inheren,
sementara tanda indikatif dicirikan oleh kemungkinan kekosongan konstan (tanpa
makna) pengulangan. Meskipun demikian, karena tidak ada tanda yang lepas dari
pengulangan yang memungkinkannya berfungsi sebagai sebuah tanda, pembedaan
Husserl menjadi lemah (Philips, 2005: 197). Derrida memopulerkan istilah baru dalam
filsafat, differance, untuk menekankan peran tulisan dan nilai ruang di antara kata-kata
yang bergerak melampaui oposisi biner. Istilah yang hampir sama, difference, pernah
dipakai Heidegger untuk menunjuk perbedaan antara being (ada) dan beings (mengada
atau adaan). Derrida secara tulus mengaku berutang budi pada Heidegger. Konsep
differance tidak hanya menentukan makna, namun juga kenyataan. Differance (dalam
bahasa Inggris: difference) berarti to differ (membedakan/spasial) atau bahwa kenyataan
tak pernah dapat mengidentifikasi. Selain itu, dapat pula berarti to deffer (menunda).
Pengertian bukanlah korespondensi (kesesuaian) dengan objek. Konsep tersebut hampir
paralel dengan konsep suspend (penundaan) Husserl yang menjadi prosedur baku dalam
penilaian suatu objek kajian studi.
Habermas mengembangkan sebuah pandangan evolusioner tentang sejarah manusia,
mengombinasikan beberapa elemen teoretis dari beberapa tradisi teoretis kontemporer.
Argumentasi dasarnya adalah bahwa lifeworld (dunia kehidupan) “dikoloniasi” oleh
negara dan ekonomi. Melalui proses ini, kapasitas “tindakan komunikatif” seseorang
direduksi. Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah proses ketika makna-makna
terbentuk, tercipta dunia kehidupan yang merupakan instrumen dasar integrasi sosial.
Karena dunia kehidupan mengalami “kolonisasi”, reproduksi dunia kehidupan pun
mengalami interupsi, dan integrasi sosial dipertahankan hanya melalui media yang
delinguistified, seperti uang dan kekuasaan.
Fenomenologi juga memengaruhi banyak teori feminis. Salah satunya adalah
feminis Amerika keturunan Yahudi, Bartky, yang menulis autobiografinya berjudul
Phenomenology of a Hyphenated Consciousness. Bartky (Rogers, 2005: 23) berbicara dari
sudut pandang perempuan yang mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota sebuah
etnik minoritas. Karyanya merupakan penelitian yang cemerlang. Dalam karyanya ini,
identitas merupakan seperangkat praktik yang berisi, baik konformitas (persetujuan)
maupun resistensi (penolakan). Karyanya tersebut juga membahas isu bahwa anggota
masyarakat merasa berutang budi kepada kelompoknya, tidak mempermasalahkan sejarah
dan budaya, menghasilkan dasar-dasar bagi identitas yang dimilikinya. Dalam karya-karya

159
terakhirnya, Bartky juga membahas isu moral. Di atas itu semua, perempuan kulit hitam
berjuang menghadapi hak-hak istimewa, rasisme, kesalahan, dan keterlibatan dalam
kejahatan. Bartky mendesak perlunya kewajiban moral dari orang kulit putih Amerika
Utara untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan dan gerakan antirasis, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam dunia politiknya. Tulisan-tulisan Bartky memberikan suatu
pemahaman bahwa feminisme secara prinsipnya concern terhadap persoalan perempuan
baik dari berbagai latar belakang kategori sosial.
Feminis lain yang menggunakan fenomenologi sebagai alat analisisnya adalah
Judith Butler seorang filsuf, fenomenolog, dan teori gender. Melalui karya-karyanya,
ia menawarkan pemikiran yang lebih kompleks, komprehensif, dan brilian tentang
isu-isu seperti pembentukan subjektivitas manusia (self), kekuasan bahasa baik yang
produktif maupun destruktif, dan relevansi filsafat Hegelian. Karya Butler (Borgerson,
2007: 47) menentang pemahaman kaum esensialis tentang identitas dan eksistensi,
budaya dan biologi, serta hubungan antara gender dan seks. Dengan kata lain, seluruh
aspek femininitas berhubungan dengan perempuan dan maskulinitas berhubungan
dengan laki-laki. Penelitian dan analisis konsepnya berasal dari Sigmund Freud dan
filsuf Prancis Michel Foucault yang mendorongnya menemukan model analisis dan
inovasi-inovasi fundamental di berbagai bidang, selain itu juga melakukan elaborasi
filsafat fenomenologi—studi tentang gerakan kesadaran melalui waktu—termasuk
bagaimana sesuatu muncul bagi manusia.
Fenomenologi menjadi inspirasi bagi Denzin dalam mengembangkan pendekatan
interpretif yang dipadukan dengan konsep-konsep dalam teori postmodern dan thick
description (deskripsi mendalam) yang menjadi trade mark antroplolog Clifford Geertz.
Denzin menyebut metode yang dikembangkannya sebagai biografi interpretif (interpretive
biography) dan metode tersebut dirancang untuk melakukan studi tentang titik balik
situasi problematik tempat manusia “menemukan dirinya” selama periode transisi.
Data termasuk dokumen, obituary, life histories, dan cerita pengalaman personal yang
menekankan pada bagaimana informasi seperti itu dibaca dan digunakan. Pertanyaan
dasar yang ia ajukan adalah bagaimana manusia hidup dan memberikan maknanya bagi
kehidupannya, dan bagaimana makna tersebut direpresentasikan dalam tulisan, narasi,
dan bentuk-bentuk budaya lisan (oral form).
ooo0ooo

160
BAB VI

TEORI PERTUKARAN SOSIAL

A. Sejarah Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial muncul pada awal dekade 1960-an. George C. Homans, seorang
sosiolog Amerika yang menjadi pionir teori ini. Pada tahun 1961, ia memublikasikan
karyanya yang berjudul Social Behavior: Its Elementary Forms, yang kemudian menjadi
naskah pertama teori pertukaran sosial. Homans memulai kariernya sebagai sejarawan
sebelum kemudian tertarik sosiologi dan antropologi berkat pengaruh Lawrence
Henderson dan Elton Mayo di Harvard Bussiness School tahun 1930-an. Setelah Perang
Dunia II, ia bersama-sama dengan Talcott Parsons berada di salah satu departemen
di universitas yang sama. Namun, berbagai publikasinya mencerminkan bahwa ia
menentang pikiran-pikiran koleganya tersebut.
Setahun setelah Homans memublikasikan karya pertamanya tersebut, Richard
Emerson menulis artikel yang berjudul “Power-Dependence Relations” yang
dipublikasikan dalam American Sociological Review. Emerson adalah teori yang
mengembangkan konseptualisasi Homans khususnya pada institusi-institusi sosial skala
besar. Dengan kata lain, apabila Homans mengembangkan teori pertukaran pada level
mikro, Emerson lebih tertarik untuk mengembangkan teori pertukaran pada level analisis
tingkat makro. Perbedaan lain dengan Homans: apabila Homans memfokuskan pada
struktur pertukaran yang adil (fair), Emerson memfokuskan pada struktur pertukaran
yang tidak adil (unfair) yang disebabkan adanya perbedaan kekuasaan yang dimiliki
masing-masing pihak yang melakukan pertukaran.
Pada tahun 1964, Peter Blau mengembangkan teori pertukaran dengan mencoba
menghubungkan level analisis mikro ke level makro. Gagasannya tersebut ia tuangkan
dalam karyanya yang berjudul Exchange and Power in Social Life. Seperti halnya
Homans dan Emerson, Blau memulai dengan tingkat primitif, yakni tingkat analisis
yang mempertanyakan mengapa orang mengembangkan asosiasi bersama yang lain
dalam segenap aspek kehidupan. Bagi Blau, hal itu sudah jelas, bahwa asosiasi manusia
161
mempunyai manfaat secara intrinsik oleh karena kebanyakan kenikmatan yang dirasakan
manusia kebanyakan berakar pada kehidupan sosial. Meskipun demikian, partisipasi
dalam asosiasi memerlukan biaya dan distribusi biaya dan imbalan jarang terjadi dalam
kurun waktu singkat. Orang melakukan sesuatu kepada orang lain, misalnya dengan
membantu ketika sedang kesulitan, tetapi ia tidak memperoleh imbalan segera.
Teori pertukaran terus berkembang. Pada tahun 1983, Cook, Emerson, Gillmore,
dan Yamagishi memublikasikan The Distribution of Power in Exchange Networks: Theory
and Experimental Results. Artikel ini merupakan pengembangan gagasan Emerson yang
didukung dengan hasil-hasil penelitian empirik. Linda D. Molm adalah sosiolog lain
yang sangat antusias mengembangkan teori pertukaran sosial. Ketertarikannya pada teori
pertukaran sosial mulai tumbuh di akhir dekade 1970-an. Dari dekade 1980-an hingga
1990-an, ia menguji peran dan penggunaan kekuasaan koersif dalam relasi pertukaran.
Buku yang dihasilkan dari riset ini berjudul Coercive Power in Social Exchange (1997).
Tokoh lain yang berkontribusi bagi pengembangan teori ini adalah Peter Ekeh.

B. Filsafat/Teori Sosial yang Memengaruhi


Teori pertukaran sosial mendasarkan diri pada premis bahwa perilaku sosial harus
dipahami sebagai sebuah pertukaran sumber daya yang bernilai. Teori pertukaran sosial
mempunyai akar pengaruh yang cukup kuat, terutama dari program-program penelitian
yang dikembangkan dalam disiplin psikologi sosial, khususnya psikologi behaviorisme.
Paradigma behavioris dalam psikologi merupakan paradigma yang paling dominan.
Paradigma ini memfokuskan diri pada persoalan inferensi sosial, yakni cara ketika orang
menerima dan terlibat dalam proses informasi sosial. Program penelitian teoretis yang
paling aktif dalam psikologi sosial ditujukan bagi pengembangan teori pertukaran sosial.
Teori ini dengan demikian bermula atau bersumber pada psikologi behavioral. Perspektif
ini memfokuskan diri pada kontingensi pertukaran sumber daya di antara individu yang
berusaha menyesuaikan tingkatan imbalannya.
Homans sebagai penggagas pertama teori ini sangat berutang budi pada B.F. Skinner
yang merupakan tokoh psikologi behavioris ternama di Amerika Serikat. Basis analisis
Skinner mengenai perilaku manusia adalah penelitian-penelitian eksperimentalnya
terhadap perilaku binatang utamanya burung dara dan tikus. Homans berusaha
mentransfer temuan-temuan Skinner tersebut untuk diberlakukan pada manusia dan
hal itu menurutnya bukan suatu masalah. Kebanyakan binatang mempunyai karakter
perilaku refleksif demikian pula manusia. Namun demikian, terdapat perbedaan di antara
kedua analisis. Skinner menganggap lingkungan berada dalam pengaruh kemahakuasaan
Tuhan, bersifat gaib, dan berubah melalui tangan-tangan yang tidak kelihatan (the
invisible hand). Homans di lain pihak menganggap lingkungan sangat dipengaruhi oleh

162
aktor-aktor yang berusaha mengontrol atau mengondisikan situasi ketika mereka dapat
memaksimalkan keuntungan (Waters, 1994: 67).
Sebagaimana Skinner, Homans berpendapat bahwa untuk menjelaskan perilaku
manusia, dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap perilaku binatang. Ia
menggunakan asosiasi perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak maju dari kondisi
yang sederhana ke kondisi yang kompleks. Psikologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari kenyataan empiris yang dapat diamati (observational fact). Perilaku
binatang sebagaimana perilaku manusia juga merupakan kenyataan empiris yang dapat
diamati dengan demikian mempelajari perilaku manusia dari perilaku binatang sah secara
metodologis. Hal ini disebabkan hukum-hukum yang menguasai organisme tunggal
identik dengan hukum-hukum yang menguasai organisme lain, termasuk manusia.
Jauh sebelum berkembangnya teori pertukaran sosial dan juga teori pilihan rasional,
persoalan proses pertukaran sosial telah menjadi perhatian sejumlah teori, terutama
penganut paham utilitarianisme. Sebagai contoh, ekonom Inggris klasik, Adam Smith
menekankan analisisnya pada keuntungan-keuntungan dari pertukaran pasar dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai catatan awal,
implikasi politis dari pandangan ini adalah bahwa pengaturan pemerintah terhadap
sistem pasar harus berada pada tingkat minimal. Smith juga menyadari bahwa sifat
mementingkan diri sendiri di masyarakat dapat dihambat oleh sentimen-sentimen moral
bersama meskipun kepentingan individual menjadi prioritas dalam analisisnya.
Menurut perspektif teori utilitarianisme, salah satu hukum dasar manusia
menyatakan bahwa setiap orang selalu berusaha menghindari penderitaan (mengurangi
biaya-biaya) dan memaksimalkan kesenangan (atau imbalan lain). Manusia hanya akan
bertindak apabila diperkirakan dia akan mendapatkan imbalan (reward). Pencitraan
tentang manusia yang seperti ini direfleksikan dalam pandangan bahwa seluruh organisasi
masyarakat selalu berbasiskan pada kesepakatan kontraktual yang dinegosiasikan
sebelumnya guna mencapai tujuan dan tujuan tersebut tidak dapat dicapai secara
memuaskan hanya melalui usaha individual atau transaksi-transaksi pasar yang bersifat
independen.
Teori pertukaran individualistik sangat berbeda dengan versi teori yang lebih
kolektivis. Meskipun Durkheim dikenal bukan sebagai teori pertukaran, sebuah
ekspansi penting jaringan-jaringan pertukaran dalam masyarakat modern dijelaskan
dalam analisisnya tentang meningkatnya saling ketergantungan yang diakibatkan oleh
meningkatnya pembagian kerja. Dalam pandangan ini, meningkatnya individualisme
sebagai akibat dari proses tersebut adalah sebuah refleksi dari heteroginitas sosial yang
lebih besar yang berasal dari spesialiasi pekerjaan dan pembagian kerja yang lebih
kompleks. Meskipun demikian, meningkatnya ketergantungan individu terhadap
orang lain dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya berkorelasi positif dengan
163
meningkatnya solidaritas organik yang berbasiskan pada transaksi-transaksi pertukaran
dan secara parsial menggantikan solidaritas mekanik yang lebih sederhana dan lebih
terbatas serta lebih sedikit tingkat saling ketergantungannya.
Lebih lanjut, kontras perbedaan antara versi individualis dan kolektivis, dijelaskan
oleh Peter Ekeh yang sangat dipengaruhi oleh antropolog Prancis, Levi-Strauss. Ia
menganalisis tradisi-tradisi perkawinan yang diatur melalu transaksi pertukaran di
antara klan-klan dalam masyarakat primitif. Dalam hal ini, Levi-Strauss menunjukkan
bagaimana pertukaran pasangan pengantin berkontribusi terhadap kohesi sosial di
kalangan klan-klan yang terlibat. Argumentasi teoretisnya dapat dibedakan antara
pertukaran yang terbatas dan pertukaran umum. Pola pertama merupakan pertukaran
yang langsung, sedangkan pola kedua merupakan pertukaran yang tidak langsung.
Dalam pertukaran umum, anggota-anggota dari kelompok yang melakukan pertukaran
menerima keuntungan dari pertukaran yang dilakukan bukan dari pasangan langsung,
melainkan dapat berasal dari orang lain. Pertukaran seperti ini bukan merupakan
resiprositas mutual yang langsung.
Akar teori pertukaran dengan demikian berasal dari sejumlah disiplin ilmu sosial,
termasuk psikologi, sosiologi, antropologi, dan ekonomi mikro. Menurut Cook dan Rice
(2005:735), beberapa teori terdahulu yang memengaruhi teori pertukaran sosial adalah
pragmatisme, utilitarianisme, behaviorisme, dan fungsionalisme. Sumber pengaruh
lainnya termasuk beberapa karya psikologi sosial dan antropologi budaya. Dari psikologi,
karya John Thibaut dan Harold Kelley yang berjudul The Social Psychology of Groups
(1959, 1986) merupakan yang paling dekat dengan analisis yang dikembangkan teori
pertukaran sosiologi, khususnya Homans dan terakhir Emerson. Pengaruh utama lain
yang berasal dari psikologi adalah teori behaviorisme khususnya dalam memengaruhi
teori Homans tentang perilaku sosial sebagai pertukaran, karya awal Emerson serta karya
Linda Molm. Dari disiplin antropologi budaya, karya Claude Levi-Strauss, Bronislaw
Malinowski, dan Marcel Mauss juga mempunyai pengaruh sangat spesial terhadap teori
pertukaran sosial.

C. Substansi Teori Pertukaran Sosial


Kerangka teori pertukaran sosial difokuskan pada pertukaran sumber daya antar-orang
dan kerangka teori tersebut berkembang secara ekstensif pada dekade 1960-an dengan
ditandai maraknya studi-studi tentang struktur hubungan, baik pada level makro maupun
mikro. Secara khusus, teori pertukaran sosial dikembangkan berdasarkan tiga asumsi,
yakni (1) perilaku sosial merupakan sebuah rangkaian pertukaran; (2) individu-individu
selalu berusaha untuk memaksimalkan imbalan dan meminimalkan biaya yang harus

164
dikeluarkan; (3) ketika individu menerima imbalan dari pihak lain, mereka merasa
mempunyai kewajiban untuk membalasnya (mengembalikannya).
Perspektif teori pertukaran dan juga teori pilihan rasional meliputi seluruh aspek
relasi sosial—pertemanan dan relasi personal lainnya sebagaimana transaksi pasar sesaat
maupun kontrak-kontrak jangka panjang—dalam term biaya dan imbalan, baik material
maupun nonmaterial. Sebagaimana teori interaksionisme simbolik, analisis dimulai
pada tingkat mikro. Meskipun demikian, pertukaran tingkat mikro ini dilihat sebagai
fondasi bagi struktur tingkat meso dan makro. Dengan mengesampingkan pada level
analisis, seluruh tipe pertukaran sosial merefleksikan usaha individual untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan personalnya melalui pilihan perilaku yang mereka lakukan,
baik material maupun non-material dan juga kebutuhan emosional. Bahkan, ketika
tindakan pertukaran secara sadar diorientasikan kepada keinginan atau kesejahteraan
lain, fokus teori pertukaran sosial dan pilihan rasional tetap pada keuntungan yang
diterima sebagai imbalannya.
Teori pertukaran sosial kontemporer berakar, baik dari psikologi maupun ekonomi
mikro yang menekankan struktur sosial tempat pertukaran sosial berlangsung. Apabila
teori pertukaran sosial awal secara khusus menguji dua macam hubungan, teori
pertukaran sosial mencermati pertukaran dalam konteks jaringan yang lebih luas, dan
mengeksplorasi bagaimana kesempatan-kesempatan struktural aktor untuk pertukaran
dengan pasangan alternatif memengaruhi kekuasaan, pembentukan koalisi, dan proses
lainnya (Molm, 2005: 413). Sebagai teori sosiologi mikroskopik, teori pertukaran
sosial mendapat persaingan dari beberapa teori lain terutama dari teori pilihan rasional.
Pesaing lain menurut Ritzer dan Smart (2005: 266) datang dari teori elementer yang
dikembangkan Willer dan Markovsky, teori nilai diharapkan dari Friedkin, dan teori
permainan dari Bienenstock dan Bonacich.
Sekalipun teori pertukaran sosial berakar pada prinsip-prinsip yang berlaku
pada ekonomi mikro, pertukaran sosial mempunyai perbedaan karakteristik dengan
pertukaran ekonomi dalam berbagai aspek. Perbedaan pertama berkaitan dengan objek
yang dipertukarkan. Dalam pertukaran objek yang dipertukarkan, bukannya komoditas,
melainkan merupakan “pemberian” (gifts). Dalam pertukaran sosial, tidak dilibatkan
di dalamnya baik uang, kredit, maupun kontrak. Pemberian merupakan “tindakan
egois dari sifat murah hati” (selfish act of generosity) yang berdampak kebutuhan untuk
membalasnya bagi penerimanya dengan pembalasan tertentu sesuai yang diinginkan
pemberinya. Masing-masing pihak dalam pertukaran “cenderung menyediakan lebih
dari yang dimilikinya dalam memberikan insentif bagi orang lain untuk meningkatkan
persediaannya”. Sederhananya, sebuah pemberian bukan merupakan ekspresi altruisme,
melainkan suatu cara untuk memperlihatkan power kepada orang lain. Perbedaan kedua
berkaitan dengan term pertukaran yang tidak dispesifikkan. Di satu sisi seseorang

165
menawarkan sesuatu yang bernilai kepada lain tanpa mengetahui bagaimana atau
kapan orang tersebut akan membalasnya. Ketiga, pertukaran secara instrumental tidak
dikalkulasi. Tanpa adanya kecanduan dan bargaining nyata, seseorang tidak mengetahui
apabila hadiah yang diberikan sudah optimal dalam sebuah transaksi pemberian.
Dalam pertukaran sosial, optimisasi dilakukan melalui penyesuaian inkremental
perilaku sebagai respons terhadap pengalamannya di masa lalu. Tidak ada kebutuhan
untuk menyesuaikan kesadaran, tetapi pemberian dapat menjadi pengalaman berupa
kepuasan atau ketidakpuasan dalam hubungan dengan orang lain. Terma pertukaran
muncul sebagai hasil proses pembelajaran. Setiap aktor mengevaluasi dampak dari
pertukaran relatif untuk membuat “tingkat perbandingan” berhubungan dengan apa
yang diharapkan aktor yakni menerima yang terbaik dari hubungan dengan orang
lain. Ketika nilai lebih rendah dari standar, individu merasa tidak puas dan mencari
pasangan alternatif yang menawarkan sesuatu yang dapat lebih baik yang mungkin
dapat diperolehnya. Di lain pihak, menurut Susan Sprecher dalam teori pertukaran dan
seksualitas (Harlan, 1998: 34), apabila yang diperoleh dari hubungan lebih baik dari yang
diharapkan, seseorang merasa tergantung pada hubungan dan mempunyai komitmen
tinggi terhadap hubungan tersebut.
Pertukaran sosial secara inheren merupakan aktivitas bersama yang dilakukan
masing-masing pihak yang melakukan pertukaran. Hal ini merupakan implikasi peran
salingketergantungan dalam teori pertukaran (Emerson, 1972b; Thibaut dan Kelley,
1978). Konsep tentang “aktivitas-aktivitas” sebagai sebuah dimensi fundamental
dalam setting interaksi atau kelompok secara implisit melontarkan isu bagaimana
menggabungkan aktivitas-aktivitas tempat individu terlibat. Contoh dari aktivitas
bersama adalah gabungan dua organisasi, dua orangtua yang menentukan bagaimana
memelihara anak, atau warga kampung untuk menentukan perlu atau tidaknya
memperbaiki fasilitas umum. Pertukaran terjadi terutama karena ada sesuatu yang dibagi
bersama dengan pihak lain untuk memperoleh hasil yang lebih baik daripada harus
dilakukan sendiri atau tidak melakukan sesuatu apa pun. Meskipun seluruh pertukaran
atau interaksi sosial terdapat variasi derajat kebersamaan, variasi tersebut berkaitan dengan
struktur sosial. Sebuah pertanyaan teoretis dapat diajukan di sini, yakni kondisi-kondisi
struktural apakah yang menyebabkan perbedaan (variasi) tingkat kebersamaan dalam
hubungan pertukaran.
Proses pertukaran mendeskripsikan bagaimana interaksi terjadi dalam struktur
pertukaran. Peluang-peluang pertukaran menyebabkan berkesempatan menginisiasi
pertukaran. Ketika sebuah inisiasi pertukaran timbal balik (atau sebuah tawaran
yang diterima), pertukaran mutual yang menghasilkan keuntungan tersebut disebut
sebagai sebuah transaksi. Sejumlah transaksi yang berlangsung lama antara aktor-aktor
yang sama menghasilkan sebuah hubungan pertukaran. Transaksi dalam hubungan

166
pertukaran langsung terbagi dalam dua bentuk utama: negotiated dan reciprocal. Dalam
negotiated transactions (pembelian mobil, pembagian pekerjaan rumah), aktor terlibat
dalam sebuah proses pembuatan keputusan bersama melalui proses bergaining. Mereka
memperoleh kesepakatan dalam sebuah terma pertukaran. Baik aspek pertukaran yang
disetujui maupun keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak merupakan sebuah
transaksi yang diskret. Sementara itu, dalam reciprocal transactions, kontribusi aktor untuk
pertukaran terbentuk secara terpisah (Macy dan DeRijt, 2006: 184).
Hubungan-hubungan pertukaran berkembang dalam struktur-struktur
ketergantungan mutual, yang dapat berupa pertukaran langsung, pertukaran umum,
dan pertukaran produktif. Dalam hubungan pertukaran langsung hanya terdapat dua
aktor yang saling berinteraksi dan dampak yang dialami setiap aktor tergantung secara
langsung dari perilaku aktor yang lain. Pola hubungan jaringan dapat berdampak positif
maupun negatif. Dampak negatif, misalnya, terjadi dalam kasus hubungan antara A dan
B1 dan B2,. A mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan B1 dan B2. Hal ini
disebabkan A mempunyai akses untuk melakukan pertukaran ganda dengan dua pihak,
Sementara itu, masing-masing rekan hubungannya (B1 dan B2) hanya memiliki akses
hubungan dengan A. Akan tetapi, apabila kita menambahkan jalur hubungan antara
B1 dan B2, A akan kehilangan keuntungan struktural. Pola hubungan jaringan yang
berdampak positif terjadi ketika masing-masing pihak memiliki kesamaan kekuasaan
dan juga akses hubungan.
Hubungan pertukaran umum melibatkan tiga atau lebih aktor dan ketergantungan
resiprokalnya bersifat tidak langsung: keuntungan yang diterima B dari A tidak
diterimanya secara langsung, melalui pemberian B kepada A, tetapi secara tidak langsung,
melalui pemberian B kepada aktor lain dalam sebuah jaringan. Bahkan, A mungkin
menerima sebuah “pengembalian” dari pertukarannya dari beberapa orang dalam sistem,
tetapi bukan dari B.
Secara umum, teori pertukaran sosial dengan demikian mengklasifikasikan dua
macam pertukaran, yakni pertukaran langsung (restricted) dan pertukaran tidak langsung
(generalized). Dalam pertukaran langsung, A terbatas terlibat dalam pertukaran dengan
B. A memberikan sumber daya kepada B, dan sebaliknya B memberikan sumber
daya sebagai balasannya kepada A. Sementara itu, dalam pertukaran tidak langsung
(generalized), aktor yang terlibat lebih dari dua orang. Dalam pola hubungan ini, tidak
ada hubungan antar-aktor yang menerima sumber daya dari orang lain dan kemudian
memberikannya kepada orang yang telah memberikannya. Apabila A memberikan kepada
B, B tidak secara resiprokal memberikan kepada A. Dapat saja C sebagai pihak ketiga,
memberikan balasannya kepada A. Jadi, resiprokal berjalan tidak langsung.
“Apabila saya melihat pencuri di rumah tetangga saya, maka saya mempunyai kewajiban
untuk melakukan sesuatu, misalnya menelpon polisi, bukan karena saya mengharapkan balasan

167
langsung—apa pun dari tetangga yang sedang mengalami musibah—akan tetapi saya mempunyai
harapan bahwa tetangga saya akan berbuat sama apabila mereka melihat peristiwa yang kurang
lebih sama menimpa rumah saya (Ekeh 1974: 206) sebagaimana dikutip Macy dan DeRijt
(2006: 184).”

Takahashi (2005: 315) menggunakan deskripsi Malinowski tentang Kula dan


perkawinan antar-sepupu satu garis keturunan ibu dari Levi-Strauss, sebagai contoh
pertukaran tidak langsung (generalized) berbentuk rantai (chain-generalized network).
Dalam sistem ini, A memberikan sumber daya yang ditujukan kepada B dalam jaringan
ini. B menerima resiprokal secara langsung. Sementara, A mungkin menerima sumber
daya dari aktor lain (C) dalam jaringan yang memungkinkan C memberikannya kepada
A. Teori Malinowski didasarkan pada analisisnya mengenai sistem pertukaran di antara
individu-individu dalam komunitas yang mendiami suatu lingkaran kepulauan yang
luas. Robert Merton (Turner, 1986: 207–208) mengakui bahwa analisis Malinowski
ini memiliki kontribusi bagi perkembangan teori pertukaran dalam beberapa hal: (1)
dalam terminologi Malinowski, makna Kula terdapat dalam keadaan instrumental untuk
menghilangkan konsepsi mengenai suatu keadaan rasional yang tidak menghendaki
sesuatu, tetapi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya dan melakukan tindakan
menurut prinsip ekonomi; (2) kebutuhan psikologis seseorang yang melebihi kebutuhan
ekonomi merupakan kekuatan yang menginisiasi dan mendorong relasi-relasi pertukaran
dan karenanya hal ini sekaligus merupakan kritik terhadap penjelasan perilaku sosial; (3)
hubungan-hubungan pertukaran dapat berimplikasi bagi masing-masing pihak, termasuk
dalam hubungan yang lebih kompleks berupa hubungan tidak langsung; (4) relasi-relasi
pertukaran simbolik merupakan proses sosial dasar yang menetapkan perbedaan jarak
dalam masyarakat dan integrasi sosial ke dalam keseluruhan solidaritas dan kohesivitas.
Dengan demikian, Malinowski telah membebaskan teori pertukaran dari batasan-batasan
utilitarianisme dengan menekankan pentingnya pertukaran simbolik.
Dalam argumentasi Ekeh, pola pertukaran langsung/terbatas (restricted)
merefleksikan sebuah concern adanya keseimbangan atau kesamaan. Masing-masing
partisipan terlibat dalam hubungan yang personal satu sama lain, tetapi setiap transaksi
relatif mandiri, dan tidak ada integrasi dari transaksi-transaksi yang terbatas dalam
hubungan-hubungan jaringan yang lebih besar. Pola pertukaran terlihat konsisten dengan
struktur keluarga-keluarga, suku-suku, atau komunitas lokal yang relatif mandiri. Dalam
lingkungan masyarakat yang relatif mandiri, pertukaran sosial menjadi ekstensif, tetapi
pertukaran antar-strata sosial yang berbeda menjadi minimal. Sebaliknya, pertukaran
umum yang melibatkan jaringan transaksi-transaksi yang lebih besar beberapa di
antaranya tidak langsung. Dalam pola pertukaran ini, negosiasi-negosiasi yang bersifat
personal tidak banyak terjadi. Sesungguhnya, individu berorientasi pada sistem sosial
yang lebih besar dan manfaat diperoleh dari partisipasi yang dilakukan di dalamnya.

168
Dalam pertukaran seperti ini, masing-masing pihak berharap dapat berkontribusi
dan memberikan manfaat bagi orang lain tanpa memperoleh manfaat-manfaat langsung.
Semua memperoleh manfaat, tetapi tanpa negosiasi individual atau manfaat yang bersifat
langsung. Ekeh menyarankan bahwa pola pertukaran umum harus dihubungkan dengan
perkembangan moral tingkat tinggi dibandingkan dengan pola pertukaran terbatas.
Masing-masing orang berharap dapat memenuhi kewajibannya dan memercayai orang
lain tanpa memedulikan kepentingan dirinya (dalam jangka pendek). Motivasi yang
mendorong pertukaran umum berbeda dengan implikasi-implikasi individualistik dari
transaksi-transaksi pasar sebagaimana yang digambarkan oleh pemikiran-pemikiran
ekonomi klasik dan kaum utilitarian.
Bentuk kedua dari hubungan tidak langsung (generalized exchange) adalah
group-generalized exchange (Ekeh, 1974; Yamagishi dan Cook, 1993). Dalam sistem
pertukaran ini, anggota kelompok mengumpulkan sumber dayanya, dan kemudian
seluruh anggota menerima keuntungan yang dihasilkan dari pengumpulan tadi. Contoh
dari sistem pertukaran ini adalah pemeliharaan kebersihan kamar mandi umum di sebuah
apartemen, atau penduduk desa yang mengumpulkan sumber daya untuk membangun
gudang bagi kepentingan bersama. Bentuk ketiga adalah apa yang disebut pure-generalized
exchange (Takahashi, 2000). Tipe pertukaran ini tidak ada struktur jaringan yang pasti
(fixed). Dalam bentuk pertukaran ini, setiap aktor dapat memberikan sumber daya
untuk anggota sistem yang lain. Contoh dari kasus pencurian tadi. Oleh karena tidak
ada struktur yang pasti, sistem pertukaran ini ditandai dengan pemberian sumber daya
unilateral, yang kadang-kadang dipahami sebagai altruisme (Takahashi, 2006: 315).
Dalam hubungan pertukaran tidak langsung (generalized exchange), masing-masing
anggota jaringan harus memiliki tingkat kepercayaan yang relatif lebih tinggi dan lebih
mengutamakan untuk melaksanakan kewajibannya meskipun tidak memperoleh imbalan
secara langsung. Seluruh anggota memperoleh keuntungan, tetapi tidak ada negosiasi
antar-individu atau pembalasan segera dari tindakan yang dilakukannya. Menurut Ekeh
(Johnson, 2008: 167–168), pola hubungan pertukaran generalized berkaitan dengan
perkembangan moral yang lebih tinggi dibandingkan pola hubungan restricted. Anggota
berharap dapat memenuhi kewajibannya tanpa memerhatikan kepentingan dirinya. Saling
percaya antar-anggota menjadi penting. Citra yang mendasari pola hubungan generalized
dengan demikian berbeda dengan implikasi transaksi pasar berupa sifat individualistik
seperti yang ada dalam pemikiran ekonomi klasik dan kaum utilitarian. Lebih dari itu,
bentuk pertukaran bukan menjadi sesuatu yang menjadi dasar keputusan seseorang.
Dengan demikian, pola pertukaran yang terinstitusionalisasikan dan dilegitimasi oleh
kode moral bersifat transenden dari kepentingan individual. Pola ini kontras dengan
pertukaran pasar ekonomi tempat individu bernegosiasi dengan apa yang dimilikinya,
dan mengharapkan terpenuhi kepentingan dirinya.

169
Beberapa bentuk interaksi sosial di luar ruang lingkup ekonomi dapat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah pertukaran keuntungan. Demikan pendapat
Levi-Strauss, seorang antropolog pertama kali yang menaruh perhatian terhadap masalah
tersebut. Baik pertukaran ekonomi maupun sosial berdasarkan pada fitur kehidupan
sosial fundamental, yakni nilai dan kebutuhan hidup, seperti barang-barang, jasa,
dan kerja sama yang hanya dapat diperoleh dari orang lain. Orang tergantung satu
sama lain untuk sumber daya nilai ini. Mereka memenuhi kebutuhan tersebut melalui
pertukaran. Teori pertukaran sosial memfokuskan pada aspek kehidupan sosial ketika
keuntungan diperoleh darinya, memberikan kontribusi kepadanya, berinteraksi, dan
struktur-struktur peluang dan hubungan ketergantungan yang mengarahkan pertukaran.
Tidak seperti teori ekonomi mikro-klasik, yang secara tradisional mengasumsikan
transaksi antar-orang bersifat independen, teori pertukaran sosial menaruh perhatiannya
pada hubungan-hubungan yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Tekanannya
pada sejarah hubungan yang merefleksikan pengaruh psikologi behavioral, suatu disiplin
yang memainkan peran kunci bagi perkembangan teori ini (Molm, 2001: 260).
Sosiologi behavioral saat ini berusaha mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi
behavioral untuk menjawab berbagai problematika sosiologis. Sosiologi behavioral
concern pada hubungan antara pengaruh individu terhadap lingkungannya dan sebaliknya
respons lingkungan terhadap perilaku yang akan dilakukan di waktu mendatang. Seorang
individu pada dasarnya menampilkan sejumlah perilaku, beberapa di antara merupakan
perilaku mendasar, sedang yang lain merupakan perilaku acak. Lingkungan, baik sosial
maupun fisik, tempat perilaku eksis dipengaruhi oleh perilaku individu dan pada
gilirannya lingkungan akan bereaksi balik kepada seseorang. Reaksi tersebut bisa bersifat
positif, negatif maupun netral yang sama-sama akan memengaruhi perilaku seseorang
selanjutnya. Apabila reaksi tersebut memberikan imbalan ganjaran bagi seseorang,
dapat diprediksi perilaku yang sama akan ditampilkan di masa datang dalan situasi dan
kondisi yang serupa, begitu sebaliknya. Sosilogi behavioral termasuk di dalamnya teori
pertukaran sosial tertarik dengan kajian persoalan-persoalan ini.
Sebagaimana teori-teori sosial lain, teori pertukaran sosial bukanlah teori yang
tunggal, melainkan memiliki variasi di antara sejumlah tokoh pemikirnya. Sekalipun
berada dalam kerangka teori yang sama, beberapa tokoh, seperti Homans dan Peter
Blau, mempunyai sejumlah pandangan yang berbeda. Demikian pula Emerson yang
merupakan tokoh penting lainya mempunyai kontribusi bagi perkembangan teori
pertukaran sosial dengan bergerak jauh dari ruang lingkup teori yang dikembangkan
para pendahulunya. Perbedaan tersebut mencakup beberapa asumsi yang dikembangkan
teori selain persoalan subject matter dan juga aspek metodologis. Teori ini mendapat
tanggapan luas dari para teori sosial lain dan hasilnya adalah semakin “memperkaya”
perbedaan tidak saja kerangka teoretisalnya, tetapi juga bukti-bukti empiris sebagai

170
pendukungnya. Berikut adalah masing-masing pemikiran dari para tokoh yang memiliki
kontribusi cukup signifikan dalam perkembangan teori pertukaran sosial.

1. George Caspar Homans


George Caspar Homans merupakan sosiolog Amerika pendiri sosiologi behavioral
dan merupakan orang pertama yang memperkenalkan teori pertukaran sosial dan ia
pula arsitek teori konstruksi dalam sosiologi yang kontroversial (Molm, 2005: 381).
Homans lahir 11 Agustus 1910 di Boston, Massachusset. Ia adalah anak tertua Robert
Homans, seorang pengacara dan anggota Harvard Corporation. Homans belajar pada
sekolah lanjutan swasta yang bergengsi, yakni St. Paulus di Concord, New Hampshire,
dari tahun 1923–1928 dan lulus dalam bidang Sastra Amerika dan Inggris tahun 1932.
Sekalipun dating dari perjalanan panjang sebagai pengacara, Homans terpilih menjadi
mahasiswa doktor muda di Sosiologi Harvard (1934–1939). Di Universitas tersebut,
ia mengajar sosiologi dan juga sejarah abad pertengahan. Ia mendapat gelar guru besar
pada tahun 1953 (Susilo, 2008: 177).
Teori pertukaran sosial merupakan teori yang pertama kali menggunakan
asumsi-asumsi rasionalistik ke dalam sosiologi. Asumsi-asumsi tersebut sebelumnya
tumbuh subur dalam disiplin ilmu ekonomi. Kerangka teori pertukaran sosial
dikembangkan melalui konsep-konsep, seperti imbalan (reward), biaya (costs), dan
resiprositas. Homans (dalam Waters, 1994: 68) mengembangkan konsep-konsep lain.
Ia memulai kajian teoretisnya dengan mendefinisikan beberapa konsep, seperti aktivitas,
sentimen, interaksi, frekuensi, dan nilai. Homans menggunakan term-term tersebut
untuk menggambarkan situasi pertukaran antara dua orang (person dengan other).
Beberapa konsep tersebut berkaitan dengan serangkaian preposisi dasar yang
merupakan “jantung” teori pertukaran Homans. Preposisi tersebut fokus pada (1)
kemungkinan bahwa seorang individu akan melakukan perilaku tertentu; (2) bagaimana
ia bereaksi terhadap akibat dari perilakunya; (3) proses pilihan antara perilaku-perilaku
alternatif. Secara ringkas, kemungkinan dari suatu perilaku khusus meningkat seiring
dengan frekuensi perilaku yang dilakukan masa lalu mendapatkan imbalan, nilai imbalan
yang diterima, dan kesamaan situasi saat ini dengan situasi yang terjadi pada masa lalu di
mana perilaku dilakukan mendapat imbalan. Dengan kata lain, kemungkinan perilaku
khusus akan menurun oleh meningkatnya biaya (dibandingkan dengan imbalan) dan juga
oleh kepuasan. Berikut adalah penjelasan masing-masing konsep yang dikembangkan
Homans.

171
BEBERAPA KONSEP YANG DIKEMBANGKAN HOMANS

Konsep /Term Definisi


Aktivitas (activity) Sebuah tipe, bukan suatu contoh konkret perilaku.
Sentimen (sentiment) Tipe khusus aktivitas yang mengekspresikan atau mensimbolkan sikap dan perasaan internal.
Interaksi (interaction) Terjadi ketika dua orang secara mutual terlibat dalam aktivitas langsung.
Frekuensi (frequency) Variabel aktivitas.
Nilai (value) Identik dengan term ekonomi “utilitas”. Nilai mengindikasikan kekuatan pemaksaan (reinforcement).

Tabel. Beberapa konsep yang dikembangkan Homans

Sumber: Waters (1994: 68).

Perspektif teori pertukaran Homans merupakan reaksi teori fungsionalisme Parsons,


dengan menyarankan bahwa sosiologi harus mengubah diri dari perhatiannya pada
struktur-struktur yang bersifat makro ke arah perilaku dan interaksi sosial elementer. George
Homans secara eksplisit menolak fokus perhatian Parsons pada syarat-syarat fungsional
suatu masyarakat. Ia kemudian menyarankan untuk menggunakan strategi reduksionisme
ketika perilaku manusia dijelaskan dalam term prinsip-prinsip psikologi pada tingkat
individual. Dia menjelaskan secara eksplisit model stimulus-respons dari psikologi behavioral
(Mead menolaknya) disertai konsep-konsep yang berasal dari disiplin ekonomi mikro
untuk menjelaskan perilaku manusia ditentukan oleh paksaan (reinforcement) dan/atau
hukuman dan juga oleh biaya/imbalan. Esensinya, dia mengusulkan untuk mengalihkan
fokus perhatiannya pada persoalan motivasi dan sentimen manusia, bukannya syarat-syarat
fungsional masyarakat atau sistem sosial lain.
Homans mengkritik apa yang diabstraksikan teori sosiologi kontemporer, terutama
karya Parsons, yang dinilainya tidak akurat karena tidak terbukti melalui penelitian
empirik. Homans menekankan pentingnya mengembangkan hipotesis yang dapat diuji
yang menjelaskan proses sosial dasar dalam kelompok kecil (Turner, 2006: 273). Berbeda
dengan behaviorisme psikologi, apa yang menjadi subject matter behaviorisme sosiologi
secara tipikal bukan individual, melainkan perilaku yang muncul pada hubungan dyadik,
jaringan, atau kelompok. Behaviorisme sosiologi sebagaimana behaviorisme psikologi,
menjelaskan perilaku-perilaku tersebut (di mana secara aktual hubungan-hubungan
antar perilaku dua orang atau lebih) terjadi secara kebetulan. Jenis-jenis kemungkinan
pemaksaan dipelajari secara berbeda antara psikolog dengan sosiolog. Kebanyakan
psikolog behavioris melakukan studi mengenai bagaimana perilaku seseorang dipengaruhi
oleh kemungkinan individual: hubungan-hubungan ketika pihak yang mempunyai
kekuasaan untuk memaksa memengaruhi perilaku orang yang dipaksa. Sementara itu,
behaviorisme sosiologi melakukan studi mengenai bagaimana perilaku dua orang atau
lebih dipengaruhi bersama-sama secara mutual sebagai kemungkinan sosial: hubungan

172
yang masing-masing pihak mempunyai kekuatan memaksa atau memengaruhi perilaku
pihak lain sebagai partner hubungannya.
Homans menggunakan perspektif teori pertukaran untuk menganalisis beberapa
konsep sosiologi, seperti tingkat sosial, konformitas normatif versus inovasi, pengaruh,
harga diri, status, dan kewenangan. Temuan berbagai studi empirik digunakan untuk
mendukung preposisi dasarnya. Homans berpendapat bahwa dalam menjelaskan berbagai
fenomena sosial sebaiknya digunakan terma-terma karakteristik individu daripada terma
struktur sosialnya. Sebagai contoh, pengaruh sosial merefleksikan kemampuan seseorang
mendapatkan penghargaan dari orang lain dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Salah
satu penghargaan yang paling umum adalah penerimaan sosial, atau ekspresi-ekspresi
sentimen positif dari orang lain. Preposisi lain, seseorang yang mempunyai solidaritas
tinggi, menunjukkan tingkat konformitas tinggi pula terhadap norma kelompok karena
setiap konformitas dihargai dan diterima oleh anggota kelompok. Kelompok yang
berada dalam kohesi sosial tinggi dan pertukaran sentimen positif, menunjukkan tingkat
konformitas anggota yang tinggi terhadap norma kelompok. Sebaliknya, tingkat kohesi
dan konformitas yang rendah dalam kelompok disebabkan anggota memiliki sejumah
sumber daya alternatif penerimaan sosial di luar kelompoknya. Dengan meningkatnya
sumber daya yang berasal dari luar kelompok mengakibatkan seorang, individu merasa
kurang membutuhkan untuk mematuhi norma kelompok (Johnson, 2008: 173).
Homans berpendapat bahwa interaksi sosial dapat dianalisis dengan menggunakan
lima basis preposisi perilaku. Berdasarkan term-term tersebut, Homans kemudian
mengembangkan lima preposisi yang sangat terkenal, yakni preposisi sukses, preposisi
stimulus, preposisi nilai, preposisi deprivasi satiasi, serta preposisi restu agresi. Preposisi
sukses menyatakan bahwa dalam situasi pertukaran saat ini yang mirip dengan pertukaran
yang telah lalu, semakin sering seseorang memperoleh ganjaran, semakin sering pula
ia akan melakukan tindakan yang sama. Dalam konteks ini, semakin sering seseorang
memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada orang lain, semakin besar
kemungkinan orang lain akan membalasnya dengan memberikan bantuan. Preposisi
stimulus menyatakan, “Apabila di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau
seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh
ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu, akan
semakin besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan serupa atau agak sama.”
Apabila seseorang merupakan satu-satunya orang yang memberikan apresiasi terhadap
bantuan orang lain, semakin besar kemungkinan orang lain tersebut memberikan bantuan
yang sama. Preposisi nilai menyatakan bahwa semakin tinggi nilai suatu tindakan, kian
senang seseorang. Dengan demikian, kian senang melakukan tindakan itu. Preposisi
deprivasi satiasi menyatakan bahwa semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang
menerima ganjaran tertentu, semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan

173
setiap unit ganjaran. Terakhir, preposisi restu agresi menyatakan bahwa bila tindakan
seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan, atau menerima hukuman yang
tidak diharapkan, dia akan marah, cenderung menjadi agrasif, dan hasil perilaku demikian
menjadi lebih bernilai baginya. Sebaliknya, bilamana tindakan seseorang memperoleh
ganjaran yang diharapkan, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang diperkirakan, atau
tidak memperoleh hukuman yang diharapkan, dia akan merasa senang, dan dia akan
lebih mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang
demikian akan menjadi lebih bernilai baginya (Turner, 1986: 227–228; Waters, 1994;
Ritzer & Goodman, 2008: 361–367).
Preposisi-preposisi yang dikembangkan Homans ini merupakan derivasi atau
kontribusi dari B.F. Skinner. Meskipun Homans berangkat dari berbagai prinsip
psikologis, pandangannya terhadap posisi manusia sangat jelas. Menurutnya, manusia
tidak berada dalam kevakuman sosial. Pengaruh psikologi terlihat dari konsep-konsep
kunci yang dikembangkan Homans antara lain deprivasi dan kejemuan (satiation),
investasi, dan keadilan distributif. Tak dapat dimungkiri, deprivasi dengan kepuasan
memiliki hubungan saling terkait. Investasi meliputi sumber daya personal yang mungkin
menjadi relevan untuk suatu pertukaran khusus, tetapi tidak dapat diperluas secara aktual
(sebagaimana biaya). Umur, sebagai contoh, dapat dipandang sebagai investasi dalam
suatu situasi, seperti senioritas dalam setting organisasi atau keahlian dalam konteks
profesional.
Pada umumnya, keuntungan seseorang (imbalan minus biaya) yang diharapkan
menjadi lebih tinggi apabila investasi mereka lebih tinggi. Sebagai contoh, pekerja yang
telah lama bekerja secara tipikal dilihat layak untuk memperoleh upah yang lebih tinggi
dibandingkan pekerja yang baru. Konsep keadilan distributif merujuk pada penilaian
individual mengenai keadilan bagaimana biaya dan imbalan didistribusikan. Hal lain
menjadi sama (termasuk investasi). Individu secara umum mengharapkan bahwa apabila
biaya tinggi, imbalan yang mereka terima pun juga tinggi. Apabila investasi tidak sama,
keadilan distributif mensyaratkan bahwa hanya yang memiliki investasi tingi yang akan
menikmati keuntungan yang tinggi (rasio untung rugi yang lebih populer), selain itu
hanya yang memberikan biaya yang lebih tinggi yang diharapkan dapat memperoleh
imbalan yang lebih tinggi.
Bagaimana individu dapat mengevaluasi apakah suatu pertukaran itu fair atau tidak?
Bagian dari jawaban ini ada pada pengalaman seseorang di masa lalu. Individu pada
umumnya mengharapkan untuk melakukan pertukaran di masa mendatang sebagaimana
dilakukan di masa lalu, bahkan ketika investasi mereka meningkat. Apabila seseorang
menerima lebih sedikit, pengurangan tersebut akan dinilai sebagai tidak fair. Situasi
seperti ini terjadi, misalnya ketika perusahaan bisnis yang menghadapi kesulitan yang
berdampak pengurangan upah atau gaji karyawan. Pengurangan upah dan gaji tersebut

174
dapat diterima sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh karena memang sedang
perjadi penurunan pasar dan pengurangan upah dan gaji tersebut terpaksa dilakukan
untuk mempertahankan pekerjaan.
Standar penilaian umum yang sama juga berlaku pada pertukaran sosial. Jadi, suami
atau istri mungkin protes dengan mengatakan “kamu tidak mencintai saya seperti dulu
lagi” apabila ia mendapati pasangannya tersebut, tampak semakin kurang responsif
atau apresiatif. Atau, seorang teman baik menjadi sensitif terhadap setiap saran yang
mengakibatkan dirinya untuk terus meluangkan waktu kebersamaan. Standar keadilan
seseorang juga tergantung pada perbandingan dampak yang menimpa dirinya dengan
dampak yang menimpa orang lain. Perbandingan khusus mungkin berbeda bagi individu
atau kelompok yang berbeda. Karakteristik, seperti umur, keahlian, tanggung jawab
pekerjaan, kewenangan, dan senioritas, adalah basis perbandingan. Dengan basis apa
pun, individu berharap terdapat kesamaan dalam hal payoff (dampak imbalan/biaya)
yang diterima dengan orang lain adalah sama. Jadi, seseorang akan merasa tidak adil
apabila dibayar lebih rendah daripada yang lain yang memiliki kinerja, keahlian, dan
senioritas yang sama. Prinsip yang sama juga dapat dipalikasikan dalam teori pertukaran
meskipun determinasi ketepatan biaya dan imbalan sebagai basis objektif menjadi lebih
sulit daripada pertukaran ekonomi.
Lebih dari itu, bentuk pertukaran bukan menjadi masalah bagi individu untuk
menentukan keputusan berdasarkan apa yang menjadi miliknya. Sesungguhnya, pola
pertukaran diinstitusionalisasikan dan dilegitimasikan oleh kode-kode moral yang
mentransendensikan kepentingan-kepentingan individual. Pola ini kontras dengan
pertukaran pasar ekonomi tempat individu menegosiasikan apa yang dimilikinya dan
berharap dapat diarahkan berdasarkan kepentingan dirinya. Untuk menggambarkan
bagaimana perdebatan mengenai pola-pola pertukaran ini berlanjut, teori pertukaran G.
Homans awal dikembangkan dari penolakannya terhadap orientasi analisis kolektivisme
Levi-Strauss tentang pola-pola perkawinan dan kekerabatan. Berbeda dengan Levi-Strauss
yang memfokuskan pada kebutuhan fungsional masyarakat akan solidaritas sosial,
Homans menegaskan bahwa praktik-praktik seperti itu (perkawinan /kekerabatan) harus
dipahami dalam terma curahan emosional yang selalu ada di antara keluarga-keluarga
yang terlibat.
Homans, sebagai tokoh yang paling menonjol dalam pendekatan individualis
terhadap perkembangan teori sosial membangun dasar-dasar perspektifnya yang kontras
dengan penjelasan Levi-Strauss yang kolektivis terutama dalam hal pola-pola perkawinan
dan struktur kekerabatan. Teori Homans juga menggambarkan strategi yang berbeda,
tidak sekadar mendeskripsikan retapi enjelaskan (Johnsons, 1986: 58–59).
Pola individualistik juga tecermin dalam analisis John Thibaut dan Harold Kelly
tentang konfigurasi khusus hubungan-hubungan sosial yang berkembang dalam latar
175
kelompok. Dalam modelnya, hubungan-hubungan itu dapat dijelaskan dalam terma
kalkulasi individu untuk mengantisipasi biaya dan keuntungan. Mereka berpendapat
bahwa individu akan fokus pada hubungan satu lawan satu apabila mereka mengantisipasi
keuntungan lebih besar daripada yang diperolehnya dari keterlibatan partai tambahan.
Di sisi lain, apabila mereka melihat suatu kesempatan untuk meningkatkan keuntungan
totalnya (minus biaya apa pun yang dikeluarkan) dengan perluasan lingkup interaksi
melibatkan orang lain, mereka akan berusaha untuk melakukan juga. Jelas, keberhasilan
mereka akan menjadi kontingen pada harapan-harapan pihak lain. Keuntungan mereka
akan juga lebih besar daripada pola alternatif tempat mereka terlibat. Pola ini dapat
diamati dalam pergaulan partisipan dalam kebersamaan sosial tak struktur.
Homans menawarkan untuk pertama kali teori pertukaran sosial dengan
menempatkan isu emosi dalam suatu cara yang sistematik (Lawler dan Thye, 2006:
299). Dalam karya Homans tentang kelompok sosial, dia meneorikan bahwa setiap
konteks sosial dapat dinalisis dalam term aktivitas-aktivitas apakah yang dilakukan,
bagaimana interaksi yang sering terjadi antar-individu, dan sentimen-sentimen apa yang
berkembang dari interaksi yang sering terjadi tersebut. Sentimen di sini merujuk pada
“kondisi internal dari seseorang” termasuk afeksi, simpati, antagonisme, atau suka/tidak
suka. Fokusnya ada pada pada sentimen interpersonal, person ke person, bukan person ke
kelompok (unit). Homans menggunakan frekuensi interaksi dan sentimen (emosi) untuk
menjelaskan pembentukan dan penguatan hubungan sosial. Sebuah konteks eksternal
atau struktur meningkatkan aktivitas (tugas) di dalam mana individu berinteraksi secara
regular, semakin sering interaksi cenderung meningkatkan sentimen positif di antara
aktor-aktor yang terlibat (interpersonal) dan hal ini didasari kekuatan hubungannya.
Dalam Human Group, Homans menempatkan proses interaksi (ke emosi) ke relasi
sebagai pusat analisisnya. Hal ini merupakan kajian pertukaran dan emosi penting saat
ini. Baginya, aktivitas tugas, kedirian, dan lainnya merupakan objek sosial primer.

2. Richard Emerson
Richard Emerson (1926–1982) dikenal sebagai sosiolog abad 20 yang memusatkan
perhatian pada masalah kekuasaan. Emerson memperoleh gelar sarjana sosiologi di
University of Utah. Emerson memperoleh gelar MA di tahun 1952 dan Ph.D 3 tahun
kemudian dari Universitas Minnesota. Ia kemudian mengajar di Harvard dan Berkeley
selepas PD II. Sosiolog yang memiliki hobi camping dan naik gunung ini pindah ke
Universitas Washington pada pertengahan dekade 1960-an. Paper pertamanya tentang
power-dependence dipublikasikan dalam American Sociological Review tahun 1962 (Cook,
2005: 245–247).
Richard Emerson memberikan kontribusi penting teori pertukaran dengan lebih
menekankan pada persoalan hubungan antara kekuasaan dan ketergantungan. Emerson
176
menggunakan analisis kekuasaan dalam mengembangkan teorinya. Ia berpendapat
bahwa kekuasaan tidak berada pada orang perorangan atau institusi tertentu, tetapi
berada dalam hubungan antar-individu atau antara individu dan institusi tempat mereka
terlibat di dalamnya. Bagi Emerson, kekuasaan merupakan konsep relasional. Untuk
mengatakan bahwa aktor A memiliki kekuasaan terhadap aktor B, hanya terjadi ketika
B tergantung pada A, baik dalam hal sumber daya maupun tindakan-tindakan lain yang
bernilai. Dalam pandangan ini, kekuasaan A terhadap B berasal dari ketergantungan B
terhadap A. Struktur pertukaran seperti ini dinyatakan sebagai “relasi-relasi kekuasaan-
ketergantungan”. Dia kemudian meneorikan tentang determinan-determinan kekuasaan
dalam setiap hubungan dan fitur-fitur hubungan yang dihasilkan oleh kekuasaan. Dengan
demikian, dalam setiap hubungan pertukaran selalu melekat di dalamnya persoalan
kekuasaan (Cook, 2005: 247).
Ada tiga asumsi penting yang dikemukakan Emerson yang bertolak dari prinsip
behaviorisme sebagai titik tolak analisisnya. Ketiga asumsi tersebut adalah: (1) orang
yang merasa persaingan bermanfaat baginya cenderung bertindak secara rasional begitu
persaingan terjadi; (2) karena orang akhirnya merasa jemu dengan persaingan, manfaat
persaingan itu akan semakin berkurang (3) manfaat yang didapatkan orang melalui
proses sosial tergantung pada manfaat yang mampu mereka berikan dalam pertukaran,
memberikan teori pertukaran, pemusatan perhatiannya pada aliran manfaat melalui
interaksi sosial (Ritzer dan Goodman, 2008: 375).
Dalam perkembangan pemikiran Emerson selanjutnya, tampak sekali bahwa ia
mulai menunjukkan ciri behavioristis orientasi pertukaran menurut arah yang kian
berbeda. Ia mulai membangun teori pertukaran sosial yang memperlakukan struktur
sosial sebagai variabel yang terpengaruh (dependent). Dalam esai pertama, Emerson
memusatkan perhatian pada aktor tunggal yang terlibat dalam hubungan pertukaran
dengan lingkungannya. Sedangkan, dalam esai kedua ia kembali ke hubungan sosial dan
ke jaringan pertukaran (exchange network) (Ritzer dan Goodman, 2008: 376).
Menurut Turner (1986: 304), pendekatan Emerson telah bergerak melampui teori
pertukaran konvensional sebagaimana dirumuskan Hommans dan Blau, menuju model
pertukaran baru yang berorientasi pada dinamika aktor dalam jaringan relasi-relasi
pertukaran sosial, atau lebih dikenal dengan istilah networking theory. Menurut Molm
(2003: 3), satu hal yang penting diungkap dalam substansi teori pertukaran Emerson,
yakni persoalan ketergantungan kekuasaan (power-dependence). Emerson mendefinisikan
kekuasaan sebagai tingkat biaya potensial yang menyebabkan aktor dapat memaksa
aktor lain “menerima”, sedangkan ketergantungan melibatkan tingkat biaya potensial
yang diterima seorang aktor dalam suatu relasi. Kekuasaan yang tidak seimbang dan
ketergantungan menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan, tetapi melalui

177
perjalanan waktu ketimpangan ini akan bergerak menuju hubungan kekuasaan-
ketergantungan yang makin seimbang.
Kontribusi lain dari Emerson adalah pembahasannya pada bagaimana
hubungan-hubungan pertukaran cenderung ke arah keseimbangan struktural atau suatu
ekuivalensi ketergantungan selain mengenai empat prinsip perubahan struktural yang
masing-masing menunjukkan cara jaringan pertukaran menerima sebuah kondisi yang
seimbang.
Pengaruh terbesar Emerson dalam pengembangan teori pertukaran sosial terletak
pada teorinya seputar isu hubungan antara kekuasaan dan ketergantungan dengan
didukung riset-riset empiriknya. Emerson mengembangkan konsep pertukaran sosial
dari hasil pengamatannya seputar kekuasaan dalam hubungan sosial. Dia seperti Blau,
menganggap bahwa kekuasaan dan ketimpangan sebagai sentral proses pertukaran
yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana juga Blau, ia melihat bahwa teori pertukaran
sosial merupakan langkah awal menuju pengembangan teori umum tentang struktur
sosial. Struktur kepentingan primer jaringan terbentuk sebagai akibat atau hasil
hubungan-hubungan di antara sejumlah aktor yang terlibat dalam pertukaran sosial.
Kontribusi penting lainnya dari Emerson dalam pengembangan teori pertukaran
sosial adalah pandangannya mengenai asal mula hubungan kekuasaan dan perluasan
teori pertukaran sosial berupa analisisnya mengenai jaringan-jaringan sosial yang
diciptakan oleh hubungan pertukaran. Bagi Emerson, hubungan antara kekuasan
dan struktur sosial merupakan problem teoretis sentral dalam teori pertukaran sosial.
Dalam hal ini, Emerson mendefinisikan kekuasaan dalam terma sebagai sebuah fungsi
ketergantungan satu individu dari individu lain. Kekuasaan A terhadap B atau Ax: By,
x dan y merepresentasikan sumber daya bernilai, meningkat sebagai suatu fungsi nilai
dari y terhadap A, dan penurunan proporsional derajat ketersediaan dari y untuk A dari
sumber alternatif. Dua faktor ini (sumber daya bernilai dan ketersediaanya) menentukan
tingkat ketergantungan B dari A dan dengan demikian kekuasaan A terhadap B. Jadi,
dengan demikian kekuasaan A terhadap B adalah fungsi langsung ketergantungan B dari
A dalam sebuah skema hubungan pertukaran A : B. Semakin tinggi ketergantungan B
dari A, semakin besar pula kekuasaan A terhadap B.
Keterlekatan hubungan ini dalam jaringan kemungkinan-kemungkinan pertukaran
menghasilkan basis bagi teori kekuasaan struktural dalam jaringan pertukaran. Konsepsi
relasional kekuasaan mempunyai dua ciri yang membantu meningkatkan jumlah penelitian
mengenai jaringan pertukaran sosial. Pertama, kekuasaan diperlakukan secara eksplisit
sebagai relasional, bukan properti sederhana dari seorang aktor yang bersifat given. Kedua,
kekuasaan adalah kekuasaan potensial dan berasal dari hubungan sumber daya di antara
aktor yang mungkin atau tidak digunakan. Hubungan pertukaran adalah dihubungkan
dengan luasnya pertukaran dalam satu pengaruh hubungan atau dipengaruhi oleh sumber
178
pertukaran dalam hubungan yang lain. Hubungan menurut Emerson dapat bersifat
positif maupun negatif. Sebuah hubungan negatif berarti bahwa pertukaran dalam satu
hubungan mengurangi jumlah atau frekuensi pertukaran dalam hubungan pertukaran lain
yang melibatkan salah satu dari partisipan yang sama (contoh hubungan pertukaran A-B
bersifat negatif bagi B apabila hubungan pertukaran tersebut mengurangi jumlah hubungan
pertukaran antara B-C). Sebuah hubungan pertukaran bersifat positif apabila keseluruhan
atau frekuensi pertukaran dalam satu hubungan meningkat jumlah atau frekuensinya
keseluruhan hubungan bagi salah satu pihak (contoh Hubungan A-B bersifat positif bagi
B, apabila hubungan pertukaran tersebut meningkatkan jumlah atau frekuensi hubungan
pertukaran B-C). Dalam kenyataannya, meskipun demikian, pertukaran dalam dua
hubungan mungkin juga “bercampur”, baik positif maupun negatif berkaitan dengan aspek
(dimensi) pertukaran berbeda. Pertukaran dalam jaringan yang lebih kompleks melibatkan,
baik hubungan yang positif maupun negatif (Cook dan Rice, 2005: 737).

3. Peter M. Blau
Peter M. Blau lahir di Wina, Austria, 7 Februari 1918. Tahun 1939, ia bermigrasi
ke Amerika Serikat dan baru menjadi warga Negara AS pada tahun 1943. Ia memperoleh
gelar BA dari Elmhrst College di Elmhrst, Illinois pada tahun 1942. Setelah PD II, ia
kembali melanjutkan studi sampai mendapat gelar Ph.D dari Universitas Columbia di
tahun 1952. Tulisannya bersama Otis Dudley Duncan yang berjudul The American
Occupational Structure memenangkan hadiah Sorokin Award dari ASA (American
Sociological Association) tahun 1968. Sementara itu, buku yang ditulisnya dan
cukup fenomenal adalah Exchange and Power in Social Life (1964) (Susilo, 2008:
265). Keterlibatannya di Center for the Study of Behavior Science, Stanford University,
Blau sangat aktif mengembangkan teori pertukaran sosial. Karya-karya Blau dan juga
Richard Emerson tentang relasi-relasi pertukaran menjadi topik populer di kalangan
sosiolog. Dalam karyanya yang berjudul Structural Context of Opportunities (1994), Blau
memperluas dan memperbaiki teori makrostruktural, melakukan pengujian implikasi
pengaruh struktur makro terhadap stratifikasi, mobilitas, asoasiasi antar-kelompok,
kekuasaan, dan pertukaran (Bienenstock, 2005: 56).
Peter M. Blau merupakan salah satu peletak dasar sosiologi mikroskopik yang
mempunyai kontribusi penting bagi perkembangan teori pertukaran sosial. Dalam
karyanya yang berjudul Exchange and Power in Social Life (1964), ia menyatakan bahwa
teori pertukaran sangat dekat dengan utilitarian. Blau mengelaborasi prinsip-prinsip
normatif resiprositas dan keadilan di samping rasionalitas dan utilitas marginal
yang semuanya ditujukan untuk memahami, baik konflik maupun integrasi dalam
hubungan-hubungan sosial. Peter M. Blau yang mengembangkan teorinya dengan
mengambil beberapa prinsip teori ekonomi dan utilitarianisme. Teori Blau menekankan

179
bagaimana hubungan-hubungan dapat memengaruhi perkembangan institusi-institusi
dan kelompok-kelompok yang lebih besar. Ia memfokuskan pada munculnya pengaturan-
pengaturan sosial yang lebih besar yang berasal dari asosiasi-asosiasi antar-aktor sosial.
Blau menekankan hubungan antara struktur sosial tingkat mikro dan struktur sosial
tingkat makro.
Bersama Otis Dudley Duncan, ia menghasilkan sebuah landmark studi tentang
stratifikasi, dipublikasikan dengan judul American Occupational Structure (1967).
Dengan mengombinasikan model teoretis canggih tentang pencapaian status sosial dan
teknik analisis data inovatif, mereka melakukan studi kecenderungan mobilitas sosial
dan menjadi kajian sosiologi empirik Amerika klasik. Dia melanjutkan karyanya dengan
menggarap ranah teori hubungan mikro-makro di akhir kariernya, memublikasikan
Structural Contexts of Opportunities (1994). Melalui karya tersebut, dia memformulasikan
teori pertukaran yang menjelaskan munculnya struktur sosial yang terkendala peluang
(Holmwood, 2006: 41).
Peter M. Blau adalah sosolog yang pertama kali menggunakan istilah pertukaran
sebagai analogi transaksi dalam ekonomi. Analogi seperti ini tidak dilakukan oleh Homans.
Menurut Scott (2007: 142–243), analogi ekonomi semakin berpengaruh dalam sosiologi,
sejak kematian Homans pada tahun 1989. Ekonom, seperti Gary Becker, secara terus terang
menggunakan model ekonomi untuk topik sosiologis seperti pilihan fertilitas dan pembagian
kerja rumah tangga. Meski demikian, bagi Blau (Poloma, 1984: 83), tidak semua perilaku
manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi ia berpendapat kebanyakan
memang demikian. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku
yang menjurus pada pertukaran sosial: (1) perilaku tersebut “harus berorientasi pada
tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain”; (2) perilaku
“harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut”. Tujuan
yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang-barang, atau
jasa-jasa) atau instrinsik (termasuk kasih sayang, kehormatan, atau kecantikan). Pertukaran
manusia, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu, mendasari pembentukan
struktur serta lembaga-lembaga sosial.
Salah satu kontribusi penting Blau bagi perkembangan teori pertukaran sosial adalah
penjelasannya terhadap konsep emergence yang ia lontarkan. Konsep tersebut merujuk
pada perubahan yang terjadi pada proses-proses sosial yang bergerak dari struktur sosial
sederhana ke struktur sosial kompleks beserta tumbuhnya kekuatan-kekuatan sosial
baru. Sesederhana apa pun struktur pertukaran, selalu terdapat di dalamnya bibit-bibit
stratifikasi sosial yang bermula dari perbedaan kemampuan individu dalam memberikan
kontribusi dalam pertukaran tersebut. Menurut Blau (Poloma, 1984: 84), tidak semua
transaksi sosial bersifat simetris, yaitu semua anggota menerima ganjaran sesuai dengan
apa yang diberikannya. Maka, kita dapat menyebut hal demikian sebagai hubungan

180
pertukaran. Suatu hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa merupakan hubungan
yang terdapat di dalamnya pertukaran tidak seimbang yang dipertahankan melalui
sanksi-sanksi negatif. Dengan demikian, kekuasaan yang memaksa itu merupakan
fenomena yang bersifat emergent dan belum memperoleh penjelasan sebagaimana
mestinya dalam proses pertukaran-psikologis.
Tekanan analisis Blau ada pada struktur sosial, yakni bagaimana menganalisis
proses sosial yang memengaruhi hubungan-hubungan antar-individu dan kelompok.
Pertanyaan mendasar yang ia ajukan adalah bagaimana kehidupan sosial terorganisasi ke
arah struktur hubungan antar-manusia yang semakin kompleks. Blau (Ritzer, 1983: 379)
memfokuskan pada proses pertukaran yang menurutnya berpengaruh langsung terhadap
perilaku manusia dan menjadi dasar hubungan antar-individu juga antar-kelompok. Blau
mengidentifikasi empat tahap perkembangan dari pertukaran interpersonal ke struktur
sosial dan akhirnya perubahan sosial.
Tahap I : transaksi pertukaran personal antar-orang, meningkatkan….
Tahap II : diferensiasi status dan kekuasaan, menentukan ke….
Tahap III : legitimasi dan organisasi, menaburkan benih….
Tahap IV : pertentangan dan perubahan.
Konsep Blau mengenai perubahan sosial dibatasi pada tindakan yang dilakukan
secara bersama-sama (massif), yang tergantung pada reaksi dari pihak lain—tindakan yang
dihentikan ketika reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Orang tertarik satu sama
lain karena berbagai alasan yang mendorongnya untuk tetap mempertahankan hubungan
sosial. Ketika ikatan melemah, mereka bahu-membahu untuk mempertahankan dan
memperkuat ikatan. Kondisi sebaliknya bisa terjadi, yakni hubungan tersebut mungkin
melemah atau bahkan putus. Ketika seseorang berharap bantuan orang lain, sementara
dari dirinya tidak ada sesuatu yang dapat dipertukarkan sebagai imbalannya, tersedia
empat alternatif kemungkinan. Pertama, orang dapat memaksa orang lain untuk
membantunya. Kedua, mencari sumber daya lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketiga, berusaha untuk bersabar demi mendapat bantuan orang lain terrsebut. Keempat,
yang paling penting, dia dapat menyubordinasikan dirinya kepada orang lain sehingga dia
bisa memberikan kepada orang lain semacam “utang budi” (Ritzer, 1983: 380). Inilah
salah satu perbedaan Blau dengan teori pertukaran lain bahwa Blau sangat menaruh
perhatian pada proses-proses terbentuknya kekuasaan dalam setiap bentuk pertukaran
antar individu.
Blau menjelaskan isu-isu kekuasaan dalam kerangka power-dependence, yakni
hubungan antara kekuasan dan ketergantungan yang muncul dalam bentuk-bentuk
pertukaran sosial. Secara teperinci, beberapa hal yang dijelaskan dalam kaitan ini antara
lain: (1) dilema-dilema yang muncul dalam proses pertukaran; (2) proses diferensiasi

181
alokasi sumber daya; (3) dinamika kehidupan sosial yang terorganisasi bersumber
dari kekuatan-kekuatan penantang; dan (4) dialektika akibat banyaknya kekuatan
kontradiktoris. Resiprositas adalah kekuatan yang mampu menimbulkan kesimbangan
struktur sosial. Akan tetapi, suatu paradok bahwa resiprositas yang terjadi di tingkat
tertentu dapat menciptakan ketidakseimbangan di tingkat lain (Poloma, 1984:
96–98).
Sebagaimana teori pertukaran sosial lain, teori pertukaran mikroskopik Blau sangat
dipengaruhi teori ekonomi dan filsafat utilitarian. Teori Blau menekankan bagaimana
hubungan-hubungan pertukaran memengaruhi perkembangan kelompok-kelompok dan
institusi-institusi yang lebih besar. Dengan menekankan munculnya aturan-aturan yang
berasal dari pertukaran antar-aktor, Blau juga menekankan hubungan antara struktur
sosial tingkat mikro dan tingkat makro. Menurut Bernardi (2007: 164), pandangan
Blau tentang struktur sosial berasal dari perspektif disitributif atau posisional. Menurut
perspektif ini, struktur sosial merupakan seperangkat posisi yang tersusun secara hierarkis.
Bagi Blau, struktur sosial didefinisikan secara kuantitatif dalam term distribusi di antara
warganya berdasarkan perbedaan posisi sosialnya. Dalam kata-kata Blau, struktur
sosial mengacu pada “distribusi penduduk berdasarkan posisi sosial dalam berbagai
jalur—posisi yang memengaruhi peran hubungan dan interaksi sosial.
Berdasarkan uraian di atas, menjadi jelas bahwa teori pertukaran sosial mempunyai
perbedaan signifikan dari para tokoh utamanya. Perbedaan tersebut menyebabkan
teori pertukaran sosial tidak mudah ditinjau ulang, apalagi diintegrasikan ke dalam
teori yang terpadu dan komprehensif. Hal ini disebabkan perbedaan-perbedaan yang
muncul merupakan perbedaan yang mendasar yang tidak memungkinkan disatukan
dalam perspektif tunggal. Perbedaan yang terdapat pada salah satu aspek teori
mempunyai implikasi yang luas dan hal inilah yang menyebabkan kesulitan dalam
upaya mengintegrasikan teori pertukaran sosial. Tabel berikut ini merupakan perbedaan
kerangka teori pertukaran sosial di antara para tokoh utamanya.

PERBANDINGAN KERANGKA TEORI PERTUKARAN SOSIAL DI ANTARA PARA TOKOHNYA

Aspek Perbandingan Homans Blau Emerson


Behaviorisme sosial Gabungan antara
Pendekatan yang merupakan derivasi behaviorisme sosial dan Behaviorisme
behaviorisme psikologi fakta sosial
Proses pertukaran Reward/cost yang mendorong
Bentuk-bentuk pertukaran
Fokus dalam kaitannya dengan orang terlibat dalam pertukaran
sederhana
perubahan struktur sosial khusus
Manusia pada hakikatnya Manusia pada hakikatnya Manusia pada dasarnya selalu
Asumsi mengenai human
selalu mengejar kesenangan selalu mengejar kesenangan bertindak rasional, terutama
nature
dan menghindari penderitaan dan menghindari penderitaan ketika terjadi persaingan

182
Motivasi individu melakukan atau Keinginan memperoleh Bervariasi, dapat bersifat Memperoleh manfaat (reward)
mempertahankan pertukaran berbagai ganjaran sosial intrinsik maupun ekstrinsik dari pertukaran yang dilakukan
Tidak selalu simetris karena Tidak simetris karena ada
Selalu simetris,masing-
Asumsi mengenai bentuk ada perbedaan akses perbedaan aliran manfaat masing-
masing pihak memiliki posisi
pertukaran kekuasaan antar pihak yang masing pihak yang mencerminkan
bargaining relatif sama
melakukan pertukaran perbedaan kekuasaan
Unit analisis Individual, dyadic Struktur sosial Individu, struktur sosial
Reduksionisme psikologi. Generalisasi dari studi dunia Struktur dapat dijelaskan
Posisinya terhadap isu mikro- Penjelasan perilaku pada sosial tingkat mikro ke dunia dari proses-proses sosial
makro tingkat individu berarti sosial makro tidak dapat sebelumnya pada tingkat relasi
penjelasan seluruh kelompok dilakukan individual

Tabel. Perbandingan kerangka teori pertukaran sosial di antara para tokohnya

Sumber: Ritzer (1983), Poloma (1984), Cook (2005)

Selain sejumlah perbedaan, terdapat pula kesamaan-kesamaan di antara para


teori. Salah satu kesamaan pemikiran di antara para teori pertukaran sosial tersebut
adalah pemusatan perhatian pada isu-isu yang sama, yakni tentang solidaritas dan
jaringan-jaringan yang mendukung sistem pertukaran. Menurut Thomas dan Worrall
(2002: 315), baik Homans, Blau, Ekeh, Emerson, Heath, maupun Befu memandang
bahwa pertukaran merupakan sebuah rantai panjang dari tindakan-tindakan yang
ditangguhkan antar-mata rantai (agen) atau sebagai sebuah rantai panjang yang
merupakan interkoneksi dari tindakan-tindakan antar-agen. Kunci utamanya adalah
pertukaran hanya akan berfungsi apabila tindakan-tindakan bersifat resiprokal (hubungan
timbal balik) atau kerja sama dipertahankan. Dalam hal ini, terdapat beberapa upaya
untuk menjelaskan sumber daya unilateral pemberian (giving) dan kerja sama dan
penjelasan tersebut dibedakan menjadi tiga kategori, yakni altruisme, kewajiban, dan
keuntungan pribadi. Pertama, pertukaran sosial dipertahankan oleh sifat altruisme.
Kedua, dalam pertukaran resiprokal unsur utamanya adalah adanya kewajiban moral
menurut prinsip par excellence. Ketiga berkaitan dengan teori permainan (game theory)
yang mengasumsikan, baik perilaku altruisme dan pertukaran resiprokal, hanya sebagai
implikasi dari kepentingan-diri (self interest).
Asumsi kunci teori pertukaran dapat diringkas sebagai berikut: (1) perilaku
dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan hasil dan menghindari kerugian
(atau meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif); (2) hubungan
pertukaran berkembang dalam struktur ketergantungan mutual baik karena adanya
kesamaan alasan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran untuk mendapatkan
sumber daya ataupun karena tidak adanya keinginan membangun jaringan hubungan
pertukaran; (3) aktor-aktor yang terlibat dalam pertukaran saat ini, secara timbal balik
meningkatkan pertukaran dengan pasangan khusus pada kesempatan yang lain (artinya
mereka tidak terlibat dalam transaksi-transaksi jangka pendek); (4) dampak bernilai akan

183
mengikuti hukum ekonomi utilitas marginal yang semakin turun atau prinsip psikologi
mengenai kepuasan.
Berdasarkan asumsi tersebut, beberapa prediksi mengenai perilaku aktor yang terlibat
dalam pertukaran dan efek-efek dari faktor-faktor yang berbeda terhadap dampak pertukaran
dapat dibuat. Salah satu prediksi perilaku yang mungkin terjadi ketika masing-masing pihak
merasakan memperoleh reward sesuai atau melebihi dengan apa yang diharapkan. Prinsip
ketergantungan kekuasaan dapat ditambahkan, mengikuti formulasi prediksi mengenai
efek-efek peningkatan nilai sumber daya yang terlibat dalam pertukaran dan ketersediaan
sumber daya yang ada. Menurut Waters (1994: 72), perbedaan kekuasaan meningkatkan
dinamika dalam organisasi sosial kolektif. Pertama, apa yang disebut sebagai legitimasi.
Fenomena bahwa seseorang bersedia mensubordinasikan diri sendiri demi memperoleh
manfaat sosial mengindikasikan bahwa dirinya menerima adanya kekuasaan dari pihak lain.
Legitimasi kekuasaan memungkinkan organisasi sosial kolektif dapat mengalokasikan sumber
daya guna mencapai tujuan yang diinginkan. Pada gilirannya, ketika kekuasaan diterima
sebagai sesuatu yang berlebihan, akan muncul dinamika kedua, yakni oposisi. Dalam hal ini,
sekelompok orang mengekspresikan dan mengomunikasikan ketidakpuasannya satu sama lain.
Sekalipun demikian hal itu juga merupakan sumber daya organisasi kolektif yang mungkin
akan membentuk organisasi sosial baru, baik itu gerakan sosial, partai politik, dan organisasi-
organisasi lain yang dimaksudkan oposisi tersebut menjadi efektif.

D. Krik/Tanggapan
Para pengkritik teori pertukaran sosial tidak hanya datang dari luar tetapi juga berasal dari
kalangan teori pertukaran sosial. Di antara para tokohnya terdapat perbedaan pandangan
yang cukup mendasar. Blau, misalnya, sangat menentang keras reduksionisme psikologi
yang dipakai Homans sebagai pijakan analisisnya. Bagi Blau reduksionisme tersebut
mengandung bahaya oleh karena antara struktur sosial mikro dan struktur sosial makro
terdapat perbedaan esensial. Struktur mikro terdiri dari individu-individu yang saling
berinteraksi, sedangkan struktur makro terdiri dari kelompok yang saling berhubungan.
Perbedaan tersebut berimplikasi dalam banyak hal, misalnya dalam kontrol sosial. Dalam
kelompok kecil, kontrol sosial cukup dilakukan dengan, misalnya imbauan. Sedangkan,
pada struktur sosial besar, diperlukan selain diperlukan instrumen-instrumen yang lebih
kompleks juga memerlukan mekanisme dan aparatus khusus.
Sementara itu, Peter Ekeh (Poloma, 1984: 72) mengkritik gambaran manusia dari
Homans. Menurutnya, kesalahan Homans adalah karena mengambil prinsip-prinsip
psikologi yang diterapkan pada spesies manusia yang berasal dari pengamatannya terhadap
perilaku binatang. Homans kehilangan apa yang mungkin paling esensial dalam manusia:
berbeda dengan binatang, tindakan manusia tidak perlu dikaitkan dengan masa lalu mereka,

184
tetapi manusia dapat bertindak sekarang walaupun masa lalu menyediakan perhitungan
berbagai kemungkinan masa depan yeng menguntungkan mereka. Para pengkritik lain,
seperti Zietlin, Singlemann, Turk, dan Simpson menyatakan tidak realistis bila melihat
dunia sebagai suatu sistem yang cenderung ke arah pertukaran seimbang seperti yang
diyakini Homans.
Sementara itu, Collins (Cook et. al., 1990: 172) mengkritik teori pertukaran
sosial yang dinilainya membatasi diri pada orientasi-orientasi teoretis ilmu sosial yang
secara eksplisit mengonseptualisasikan aktor bertujuan dalam hubungannya ke struktur
yang lebih besar. Menurutnya, teori pertukaran sosial menggambarkan individu
sebagai memiliki sisi bebas dan terikat sekaligus. Manusia mempunyai kapasitas untuk
menciptakan atau bernegosiasi, tetapi mereka selalu bertindak dalam situasi yang
terstruktur sehingga dampak-dampak dan kondisi kreativitas dan negosiasi mereka
telah dipolakan oleh struktur-struktur yang lebih besar yang berada di luar kontrol
mereka. Perspektif ini menegasikan bukan hanya reifikasi struktur makro, melainkan
juga interaksi-interaksi mikro yang memiliki struktur sebagaimana pola-pola hubungan
antar-individu.
Kritik lain yang ditujukan Homans datang dari Bengt Abrahamson dan juga
Jack N. Mitchell. Menurut Abrahamson, kegagalan terbesar Homans terletak pada
ketidakakuratannya dalam menganalisis kesadaran (consciousness). Pengetahuan mengenai
pengalaman individu dan persepsinya mengenai reward dari tindakan yang dilakukannya
sering menjadi penting bagi pemahaman dan memprediksi perilakunya. Mitchell di
sisi lain mengkritik reduksionisme Homans dan kegagalannya dalam menganalisis
dinamika kesadaran. Ia mengatakan bahwa setiap teori yang berusaha menjelaskan atau
“menangkap” perilaku sosial manusia tidak dapat mengasumsikan, baik secara eksplisit
maupun implisit. Interaksi merupakan satu-satunya faktor yang bekerja memengaruhi
rasionalitas kebutuhan, dan juga proses-proses, baik aspek biologi, psikologi, maupun
ekonomi (Ritzer, 1983: 383).
Teori pertukaran sosial sebagaimana teori-teori sosiologi mikroskopik lain masih
menyisakan beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab. Teori yang berakar
pada filsafat utilitarisme mengandaikan bahwa manusia selalu bertindak atas dasar
pertimbangan untung-rugi. Manusia selalu berusaha memaksimalkan keuntungan
dan menghindarkan sejauh mungkin kerugian. Sekalipun dalam perspektif teori
pertukaran masalah untung dan rugi tidak selalu berupa uang atau materi, tetapi tetap
saja masih menyisakan pertanyaan mengenai bentuk-bentuk perilaku altruisme. Perilaku
seperti ini tidak mendapatkan porsi penjelasan yang cukup untuk tidak mengatakan
luput dari perhatian teori pertukaran. Sekalipun banyak kalangan menyebut bahwa
tindakan altruisme semakin jarang seiring dengan globalisasi yang salah satu di antara

185
karakteristikanya mendewakan materi, perilaku altruisme tetap menjadi teka-teki bagi
teori pertukaran sosial dan juga mungkin bagi teori sosial lain.
Kecuali seleksi yang dilakukan William D. Hamilton, penjelasan tentang altruisme
antara dua orang dilakukan sebelum tahun 1990. Biolog, seperti Robert Trivers,
menyebut tipe altruisme ini sebagai altruisme resiprokal. Hal itu hanya mungkin terjadi
ketika aktor mengadopsi strategi tit-for-tat. Interaksi yang berulang di antara dua aktor,
seseorang memberikan sesuatu ketika aktor lain memberikan sesuatu sebagai imbalannya
dan sebaliknya tidak memberikan ketika aktor lain tidak memberikan sesuatu. Situasi
demikian meskipun demikian, lebih menyerupai gambaran sosiolog sebagai pertukaran
terbatas. Untuk menjelaskan altruisme di luar hubungan dyadic, peneliti memulai
mengubah fokus kepada resiprositas tidak langsung yang secara esensial merupakan
sumber daya yang diberikan dalam hubungan pertukaran umum murni. Meskipun tidak
ada jawaban yang jelas tentang persoalan altruisme di luar hubungan dyadic yang diajukan
oleh teori biologi evolusioner, argumentasi umum mereka berhubungan dengan ide-ide
yang dilontarkan oleh teori pertukaran sosial. Hal ini beberapa jenis strategi pemberian
selektif (memberikan kepada yang memberi dan tidak memberikan kepada yang tidak
memberi) membuat resiprositas tidak langsung mungkin terjadi di antara aktor-aktor
yang berorientasi pada pengejaran kepentingan diri (Takahashi, 2005: 316).
Karena fokus dominan pada kekuasaan dan isu-isu yang berhubungan, beberapa
pertanyaan penting kurang mendapat perhatian. Mereka mengabaikan area-area yang
di masa mendatang berpotensi bagi perkembangan teori. Beberapa topik yang tidak
dilakukan kajian yang memadai, misalnya peran dari dampak, emosi, dan komitmen
serta kepercayaan dalam pertukaran sosial. Beberapa area lain juga kurang mendapat
perhatian yang salah satunya adalah seperti yang dilakukan dalam penelitian Emerson
mengenai perubahan struktural. Selama dua dekade terakhir, kebanyakan peneliti
teori pertukaran melakukan studi mengenai bagaimana struktur jaringan statik
memengaruhi distribusi keuntungan pertukaran. Akan tetapi, jarang sekali terjadi studi
yang meluas ke arah kontrak-kontrak, perubahan koneksi jaringan dan nilai sumber
daya dipertaruhkan untuk posisi yang berbeda. Studi mengenai apa yang menyebabkan
perubahan struktural, bagaimana perubahan memengaruhi pola-pola interaksi yang telah
mapan, dan bagaimana sejarah struktural jaringan memiliki dampak yang berbeda juga
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan perhatian (Molm, 2005: 270).
Uraian mengenai kritik terhadap teori pertukaran sosial mengisyaratkan bahwa teori ini
masih memiliki banyak kelemahan. Hal ini selanjutnya mempunyai implikasi perbaikan
baik dalam aspek kerangka teoretis maupun metodologik.

186
E. Prospek/Perkembangan
Perkembangan terakhir teori pertukaran jaringan dikembangkan oleh Markovsky dan
Willer. Perkembangan teori pertukaran jaringan meliputi studi-studi tentang dinamika
jaringan, formasi koalisi, dan hubungan antara proses pertukaran dan proses sosial lain,
seperti munculnya perbedaan status dan legitimasi ketimpangan. Dapat ditambahkan,
Markovsky akhir-akhir ini mendalami hubungan antara studi jaringan pertukaran dan
kompleksitas teori, sebuah bidang riset interdisipliner yang berkembang pesat.
Linda D. Molm adalah seorang sosiolog Amerika yang menguji proses-proses
fundamental dalam relasi-relasi pertukaran sosial. Setelah menamatkan gelar BA di
tahun 1970 dari Universitas North Dakota, Molm merampungkan studi doktoralnya
di Univeritas North Carolina, Chapel Hill pada tahun 1976. Ketertarikannya pada teori
pertukaran sosial mulai tumbuh di akhir dekade 1970-an. Sejak saat itu, ia terlibat dalam
tiga proyek penelitian sistematik yang meningkat secara signifikan dalam memahami
proses-proses pertukaran sosial.
Pendekatan Molm dalam pengujian teori dihasilkan dari elaborasi dan pengembangan
teori pertukaran. Secara khusus, kontribusinya bagi pengembangan teori difokuskan pada
tradisi kekuasaan-ketergantungan dalam teori pertukaran. Ketiga program riset yang
dilakukan masing-masing memberikan kontribusi bagi teori kekuasaan-ketergantungan.
Program riset pertamanya dilakukan antara tahun dekade 1970-an hingga 1980-an
menguji bagaimana proses perkembangan, pemeliharaan, dan perusakan relasi-relasi
pertukaran sosial terjadi. Dari dekade 1980-an hingga 1990-an, ia menguji peran dan
penggunaan kekuasaan koersif dalam relasi pertukaran. Buku yang dihasilkan dari
riset ini adalah Coercive Power in Social Exchange (1997). Terakhir, program riset yang
dilakukannya memulai dengan proses-proses komparasi bentuk-bentuk resiprokal dan
pertukaran sosial yang dinegosiasikan. Tiga program riset yang dilakukan tersebut
mempunyai beberapa kesamaan ciri. Mungkin salah satu yang terpenting adalah fokusnya
pada relasi-relasi pertukaran resiprokal. Beberapa teori pertukaran sosial klasik, termasuk
Homans dan Blau, mengembangkan teori pertukaran di sekitar konsepsi pertukaran
sosial sebagai pertukaran resiprokal. Riset Molm berada jauh dari karya para peneliti teori
pertukaran kontemporer dan fokusnya pada bentuk-bentuk resiprokal dalam pertukaran.
Dapat ditambahkan, penelitiannya menguji tidak hanya isu kekuasaan dalam relasi
sosial tetapi juga isu-isu fundamental yang menjadi perhatian teori klasik seperti risiko,
kepercayaan, dan keadilan. Ketika beberapa peneliti teori pertukaran mempertahankan
fokusnya pada isu kekuasan dalam pertukaran sosial, riset Molm memfokuskan pada
topik-topik yang lebih luas meliputi ruang lingkup kehidupan sosial potensial tempat
teori pertukaran sosial dapat diaplikasikan (Peterson, 2005: 512).

187
Molm mulai dengan teori Emerson dengan dua posisi sentral: kekuasaan adalah
relasional dan kekuasaan adalah fungsi ketergantungan, tetapi dalam program-program
penelitiannya menggunakan posisi yang berbeda. Pertama, Molm memfokuskan pada
pertukaran yang tidak dinegosiasikan, tetapi tindakan resiprokal yang meningkatkan
pemberian. Dalam pertukaran resiprokal, aktor tidak melakukan bargaining tentang
pembagian bagian sumber daya (atau bagian yang akan diterima sebagai imbalan), tetapi
hal itu merupakan proses pertukaran “pemberian hadiah” atau tindakan sederhana dengan
memberikan sumber daya atau jasa bernilai, dan hubungan pertukaran berkembang
sepanjang waktu melalui tindakan berulang berupa pemberian resiprokal. Kegagalan
resiprokal berakibat dalam frekuensi pertukaran. Kedua, kekuasaan itu tidak selalu terikat
dengan penggunaan otoritas yang sah. Kekuasaan mungkin dapat berbentuk pemakasaan
atau hukuman. Ketika teori lain melihat penggunaan kekuasan sebagai perluasan
pengaruh struktural melalui ancaman dan/atau praktik pengucilan dari pertukaran
(khususnya, ketika terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dalam jaringan hubungan),
Molm menaruh perhatian bagaimana aktor dapat menerima (impose) sanksi hukuman
atau dampak negatif dari aktor lain. Ancaman atau pengucilan adalah yang paling efektif
dalam jaringan ketika terdapat kesenjangan yang lebar dalam hal kekuasaan antar-aktor.
Aktor yang paling tergantung (memiliki kekuasaan paling sedikit) adalah yang paling
mungkin dikucilkan dari pertukaran bersama (Cook dan Rice, 2005: 738).
Riset empirik lain dari teori pertukaran sosial memfokuskan pada efek-efek faktor
penting seperti ketidakpastian dan risiko alam dan struktur pertukaran sosial. Karena
menghadapi ketidakpastian lingkungan alam, aktor yang terlibat dalam pertukaran
cenderung mencari bentuk hubungan pertukaran yang penuh komitmen atau jaringan
hubungan pertukaran yang melibatkan orang yang dapat dipercaya. Efek penting dari
munculnya komitmen dalam beberapa jaringan adalah berkurangnya aktor mencari
jaringan hubungan pertukaran dengan pihak lain dan dengan demikian mengurangi
ketimpangan kekuasaan, baik dalam hubungan pertukaran maupun dalam jaringan
di mana hubungan terlekat. Kollock menunjukkan bahwa ketidakpastian tidak hanya
berakibat pada terbentuknya komitmen sebagai cara untuk mengurangi ketidakpastian,
tetapi juga cenderung berkorelasi dengan persepsi-persepsi saling percaya di antara
aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan pertukaran. Karya akhir tentang kepercayaan
dalam pertukaran sosial menempatkan kepercayaan sebagai properti yang muncul dalam
tipe khusus setting pertukaran.
Yamagishi, Cook, dan Watabe (1998) melaporkan bahwa kepercayaan muncul
dalam hubungan pertukaran di bawah kondisi ketidakpastian tinggi ketika aktor mulai
membangun komitmen untuk membentuk hubungan pertukaran eksklusif sebagai usaha
menghindari kemungkinan eksploitasi oleh aktor yang tidak dikenal yang masuk ke dalam
struktur pertukaran dan mengambil keuntungan darinya. Dalam ketidakpastian yang

188
rendah, aktor cenderung untuk menyukai melanjutkan “peran pasar” dan menghindari
berkomitmen kepada pihak tertentu sebagau usaha untuk memaksimalkan aksesnya
memperoleh sumber daya bernilai. Ketidakpastian dalam eksperimen ini merujuk pada
hubungan yang dieksploitasi oleh pendatang baru dalam sebuah jaringan hubungan
pertukaran kemungkinan-kemungkinan yang berubah sepanjang waktu.
Cook, Rice, dan Gerbasi mengindentifikasi tipe-tipe ketidakpastian ekonomi yang
mendorong terbentuknya jaringan kepercayaan untuk pertukaran. Jaringan kepercayaan,
apabila mereka menjadi jaringan tertutup, kenyataannya mungkin memperlambat
transisi ke arah ekonomi pasar di bawah kondisi ketidakpastian tinggi seperti yang terjadi
pada negara-negara Eropa timur atau negara-negara lain yang mengalami transisi dari
ekonomi sosialis ke kapitalis. Implikasi lain dari teori pertukaran sosial bagi hubungan
ekonomi dieksplorasi oleh Cook. Aplikasi baru teori pertukaran sosial dalam struktur
dan proses-proses sosial level makro dan adalah sesuai dengan pendapat Blau yang sangat
memengaruhi teori pertukaran sosial meskipun terdapat skeptisisme tentang hubungan
antara teori pertukaran tingkat mikro dengan struktur dan proses sosial tingkat makro
(Cook dan Rice, 2005: 739).
Kerangka teori pertukaran sosial diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan termasuk
gender. Beberapa teori feminis, seperti Bell, Newby, Chafetz, Curtis, dan Parker menggunakan
perspektif teori pertukaran dalam menjelaskan berbagai fenomena ketimpangan relasi
gender di masyarakat. Mereka berpendapat bahwa aturan-aturan struktural mempunyai
fungsi tingginya akses suami dibandingkan istri terhadap sumber daya yang dibutuhkan
dan diinginkan keluarga. Menurut Chafetz (2006: 14), sumber daya tersebut meliputi
ekonomi, prestise, pengetahuan, dan berbagai bentuk sumber daya lain yang secara kultural
merupakan pembentuk otoritas. Tingginya akses sumber daya yang dimiliki suami harus
diimbangi dengan berbagai peran istri untuk melanjutkan hubungan. Istri secara tipikal
mempunyai peran yang berbeda, baik sebagai tenaga kerja domestik maupun partner dalam
hubungan pertukaran. Dalam mendeskripsikan hubungan pertukaran dalam kondisi seperti
itu, Curtis membedakan pertukaran ekonomi dengan pertukaran sosial. Bentuk pertukaran
pertama (ekonomi) berbasiskan pada spesifikasi mengenai apa yang dipertukarkan dan
untuk apa. Dalam pertukaran sosial, hadiah dan kemurahan hati yang diberikan disertai
suatu pemahaman secara implisit bahwa pemberi pada akhirnya telah memenuhi kewajiban
(yang tidak ditentukan dan berjangka panjang). Oleh karena tidak ditentukan, jumlah utang
budi menjadi tidak dapat dihitung secara pasti sehingga dengan demikian menjadi tidak
jelas pula ketika dibayar. Suami mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dibandingkan
istri oleh karena kemampuan superiornya untuk menghasilkan hadiah dan kemurahan
hati. Pertukaran yang berbasis ketimpangan hubungan suami-istri seperti ini menghambat
perempuan sebagai angkatan tenaga kerja, dengan demikian meningkatkan ketimpangan
gender pada skala makro. Sekalipun demikian, feminis lain, seperti Parker dan Chafetz,

189
mencatat adanya peningkatan akses perempuan di luar keluarga yang mengakibatkan
perubahan struktur pertukaran suami-istri yang di satu sisi meningkatnya kesamaan tetapi
di sisi lain juga terjadi peningkatan perceraian.
Selanjutnya, menurut Bielby (2006: 399), dalam beberapa hubungan domestik,
pembagian kerja yang tidak seimbang dalam rumah tangga dan pekerjaan berupah
membentuk kekuasaan relatif antar-pihak dalam mencapai kepentingannya. Teori
pertukaran sosial (Emerson, 1976), diterapkan pada pembuatan keputusan bagi pasangan
(Blood & Wolfe, 1960) dan konflik perkawinan (Scanzoni, 1970), menunjukkan
bagaimana sumber daya finansial memengaruhi bargaining antar-pihak pasangan.
Dalam hal ini, pasangan yang memiliki sumber daya finansial yang lebih besar secara
konsisten dapat mencapai kepentingan secara lebih baik (Blumstein & Schwartz, 1983;
Duncan & Duncan, 1978). Teori pertukaran adalah netral gender dari aspek kekuasaan
dalam hubungan domestik. Perbedaan gender terlihat dalam distribusi sumber daya
dan peluang-peluang alternatifnya di luar rumah. Pasangan yang memiliki sumber daya
yang lebih besar dan alternatif yang lebih baik, juga memiliki kekuasaan yang lebih besar
dalam hubungan dengan pasangannya. Riset yang dilakukan teori feminis menunjukkan
bagaimana ideologi gender dan institusi yang digenderkan membentuk pertukaran dalam
hubungan domestik (Pyke, 1996) sebagaimana dikutip Bielby (2006: 399).
Bielby dan Bielby (1992) menunjukkan bahwa ideologi gender menyebabkan
asimetri keputusan antara suami dan istri, terutama dalam menentukan pindah kerja
ke tempat yang lebih baik. Penelitian ini menguji model ekonomi neoklasik tentang
keputusan migrasi keluarga di antara pasangan yang keduanya memiliki pendapatan.
Model neoklasik adalah netral gender: baik suami maupun istri tidak menginginkan
untuk pindah kerja apabila hal itu akan merusak karier pasangannya serta gagal dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarganya. Berdasarkan hal ini, model membuat
prediksi bahwa semua hal lain bersifat konstan apabila salah satu pihak memutuskan
untuk pindah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik secara negatif berkorelasi dengan
pendapatan pasangannya saat ini. Kenyataannya, kontras dengan prediksi model ekonomi
neoklasik, keinginan untuk pindah kerja meningkatkan kepercayaan-kepercayaan,
baik berkaitan dengan gender maupun peran gender. Perempuan diprediksi dengan
menggunakan model ini: pendapatan suami yang lebih tinggi, semakin rendah keinginan
untuk pindah kerja bagi dirinya sendiri. Kenyataannya, pria tradisional, yang percaya
akan peran suami sebagai pencari nafkah utama dan tidak setuju dengan perempuan
karier, tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan istri. Sesungguhnya, mereka
berusaha sekuat tenaga untuk berjuang meniti karier dan memperbaiki kesejahteraan
keluarganya. Meskipun demikian, tidak semua ditempatkan kepentingan kariernya
ditujukan untuk keseluruhan anggota keluarganya. Laki-laki yang menolak ideologi peran
gender tradisional yang mempunyai keinginan untuk pindah kerja apabila pendapatan

190
pasangannya berada pada tingkat yang baik (tinggi) meskipun bahkan laki-laki seperti ini
kurang sensitif terhadap rusaknya karier pasangannya dibandingkan istri yang bekerja di
bawah kondisi yang dapat diperbandingkan. Temuan ini mendukung bahwa pembagian
kerja keluarga dinegosiasikan di seputar simbol-simbol maskulinitas dan feminimitas
(Bielby, 2006: 400).
Selain dalam kajian gender, teori pertukaran ternyata juga diterapkan untuk
menjelaskan fenomena-fenomena spiritual dan religi. Menurut Hamilton (2001: 218),
teori yang dikembangkan Stark dan Bainbridge tentang hubungan antara pemuja
Tuhannya berada dalam terma hubungan pertukaran. Mereka memostulatkan bahwa
manusia tidak dapat memuaskan keinginannya sehingga mereka mencari kepuasan
dengan berhubungan pertukaran dengan orang lain. Ketika manusia tidak mendapatkan
kepuasan yang diinginkan, mereka cenderung mencari kompensasinya kepada hal-hal
yang bersifat supranatural. Karena manusia mencari pahala dari Tuhannya dengan
mempertukarkan sesuatu darinya, ia mempunyai harapan bahwa Tuhan akan memuaskan
hamba-Nya. Pahala dari Tuhan sangat tergantung dari perbuatan seseorang. Tuhan
cenderung menjadi dilihat sangat berkuasa dalam hubungan pertukaran dan manusia
dilihat sebagai sangat tergantung kepada-Nya. Stark dan Bainbridge sepakat dengan
pendapat Malinowski bahwa orang tidak akan terlibat hubungan pertukaran dengan
Tuhan apabila tidak ada cara yang lebih murah atau lebih efisien untuk memuaskan
keinginannya.
Prinsip-prinsip teori pertukaran juga diaplikasikan pada pertukaran sumber
daya seksual dengan sumber daya lain, baik yang seksual maupun non-seksual,
seperti keintiman, komitmen, posisi sosial, atau uang. Orang digambarkan memulai,
mempertahankan, dan meninggalkan hubungan-hubungan seksual berdasarkan pada
pengalaman atas imbalan biaya yang diperolehnya. Model pertukaran interpersonal dari
kepuasan seksual memfokuskan pada pertukaran sumber daya seksual secara spesifik
dan konsekuensi-konsekuensi dari kepuasan seksual. Teori lain melihat hubungan
kepuasan secara lebih umum. Sebagai suatu kelompok, teori ini dapat diaplikasikan
untuk memahami dan memprediksi perilaku seksual, termasuk pemilihan pasangan,
seks pranikah, hubungan seksual lansia, dan hubungan seksual ekstra dyadic (DeLamater
dan Hasday, 2005: 254).
Kerangka teori pertukaran sosial juga diaplikasikan dalam sosiologi emosi untuk
menjelaskan berbagai fenomena yang berkaitan dengan emosi yang menyertai hubungan
pertukaran sosial antara dua orang (dyadic). Teori sosiologi emosi mengembangkan
pengaruh teori pertukaran sosial dengan menempatkan emosi aktor sebagai titik sentral
teori pertukaran sosial. Menurut Thye (2005: 436), teori ini berpendapat bahwa
perbedaan bentuk atau tipe pertukaran sosial (productive, negotiated, reciprocal, dan
generalized) mempunyai hubungan dengan perbedaan derajat kebersamaan (jointness).

191
Pertukaran yang melibatkan lebih banyak kebersamaan pura-pura meningkatkan
pandangan yang lebih kuat akan tanggung jawab bersama terhadap hasil pertukaran.
Jadi, teori ini memprediksi lebih banyak kebersamaan dan rasa tanggung jawab bersama
dalam pertukaran yang dinegosiasikan (sebagai contoh, ketika A dan B saling memberikan
keuntungan unilateral, secara terpisah, sepanjang waktu). Teori ini berpendapat bahwa
tanggung jawab bersama, pada gilirannya, meningkatkan penandaan emosi untuk
unit-unit sosial relevan karena hal itu merupakan konteks bagi fokus dan aktivitas
bersama para aktor. Teori dapat membantu menjelaskan kapan dan bagaimana jaringan
sosial aktor independen menjadi kelompok dalam suatu level kognitif atau behavioral.
Kajian-kajian teoretis dan empirik sosiologi emosi diarahkan oleh tiga ide atau
asumsi. Pertama, pertukaran sosial secara inheren merupakan tugas bersama tempat
aktor-aktor mempunyai fokus yang sama dan terlibat dalam aktivitas yang “sama”
(Lawler 2001, 2002). Hal ini masih merupakan hal yang implisit dalam teori pertukaran
secara umum (Emerson, 1972b; Homans, 1961; Thibaut dan Kelley, 1959; Wilier,
1999). Kedua, aktivitas bersama meningkatkan atau menggandakan respons emosional
(seperti antusiasme yang berasal dari melakukan aktivitas bersama orang lain, dari afiliasi
dan kesamaan identitas, atau dari peraihan kesuksesan bersama orang lain). Ketiga,
emosi-emosi yang berasal dari pengalaman individu merupakan hasil kerja bersama.
Dengan demikian, pertukaran relasional atau afiliasi kelompok menjadi sumber atau
sebab tumbuhnya perasaan/emosi. Orientasi ide ini mendukung pendapat bahwa
penambahan struktur berhubungan dengan saling ketergantungan dan selanjutnya
berhubungan pula dengan proses perubahan berdasarkan formulasi teori pertukaran
standar. Secara ringkas, kerangka teori pertukaran dalam kaitannya dengan isu emosi
adalah: (1) interaksi atau pertukaran mempunyai efek emosional bagi aktor individual;
(2) emosi memengaruhi kekuatan afiliasi kelompoknya; dan (3) afiliasi kelompok ini
berada dalam konteks struktur yang meningkatkan saling ketergantungan (tugas bersama)
dan pola-pola pertukaran di masa mendatang (Thye dan Lawler, 2006).
Kritik-kritik yang ditujukan pada teori pertukaran sosial menyiratkan berbagai
persoalan yang memerlukan pengembangan dan elaborasi di masa depan. Menurut Cook
(1990: 168), implikasi teoretis kajian teori pertukaran sosial memerlukan elaborasi paling
tidak dalam dua area. Pertama, model penjelasan tentang aktor yang lebih komprehensif
yang menyiratkan kompleksitas pengetahuan yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan. Kedua, pertanyaan seputar nilai: apa yang diperlukan aktor dan bagaimana
nilai menentukan dalam pertukaran.
ooo0ooo

192
BAB VII

TEORI PILIHAN RASIONAL

A. Sejarah Teori Pilihan Rasional


Teori pilihan rasional, sebagaimana teori pertukaran, merupakan teori sosiologi
mikroskopik yang tumbuh mulai akhir dekade 1960-an. Teori ini dipelopori oleh James
S. Coleman ketika ia menulis esainya yang berjudul “Purposive Action Framework”
(1973). Ia mengusulkan sebuah analisis tindakan kolektif yang bahkan dapat diperluas
ke dalam analisis, seperti norma sosial, marriage markets, sistem status, dan pencapaian
tingkat pendidikan. Melalui karyanya tersebut, Coleman mempertahankan tema bahwa
untuk merumuskan definisi pilihan rasional dalam sosiologi, fokus studi diarahkan pada
penjelasan fenomena sosial makro berdasarkan pilihan yang dibuat aktor sosial pada
tingkat mikro. Pemusatan perhatiannya pada tindakan rasional individu ini dilanjutkan
dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana
cara gabungan tindakan individual menimbulkan perilaku sistem sosial. Selanjutnya,
Coleman juga memerhatikan hubungan sebaliknya, yakni hubungan makro-mikro atau
bagaimana cara sistem memaksa orientasi aktor.
Heckarthorn (2005: 604–605) membagi perkembangan teori pilihan rasional ke
dalam beberapa tahap. Tahap pertama, perkembangan teori pilihan rasional tumbuh
secara perlahan-lahan dengan kontribusi beberapa teori yang melakukan studi di berbagai
bidang. Di antara teori tersebut, antara lain Anthony Obschall (1973) yang menganalisis
gerakan sosial, Pamela Oliver (1980) yang menganalisis proses-proses organisasional
berdasarkan tindakan sosial kolektif, Karl-Dieter Opp (1982) yang menganalisis
norma-norma dan gerakan sosial, dan Heckarthorn (1983) yang menganalisis bargaining
dan jaringan tindakan kolektif serta Lindenberg (1982) yang melakukan studi tentang
sharing group.
Tahap kedua perkembangan teori pilihan rasional dalam sosiologi dimulai pada
pertengahan dekade 1980-an dengan ditandai publikasi dari dua tokoh pengembang

193
terpenting, yakni Coleman (1986) dan Hechter (1983). Kedua tokoh ini menekankan
pentingnya kontinuitas antara teori pilihan rasional dengan pendekatan-pendekatan
tradisional sebelumnya untuk membangun teori yang lebih komprehensif. Sebagai contoh,
Coleman sepakat dengan penjelasan Weber tentang bentuk-bentuk organisasional baik
yang birokratik, tradisional, maupun karismatik dalam terma tindakan bertujuan pada
tingkat mikro. Pernyataannya ini juga menjadi kritik terhadap pendekatan tradisional
dan teori sosiologi pada umumnya yang menekankan bahwa teori pilihan rasional harus
menawarkan alat analisis unik dan lebih memadai untuk menganalisis hubungan antara
tingkat mikro dan makro.
Tema esensial dari pernyataan ini, meskipun tidak mengekspresikan secara tepat
dalam term ini, adalah bahwa runtuhnya teori struktural fungsional tidak menjadi bahan
pelajaran. Pandangan bahwa aktor sosial sebagai oversocialized digantikan dengan pandangan
sejenis “paradigma keterlekatan struktural” yang melihat aktor hanya, seperti boneka dari
budaya dan struktur tempat mereka terlekat di dalamnya. Problem pendekatan ini adalah
itu menjadi penghalang meningkatnya arus analisis dari mikro ke level sosial makro.
Sebaliknya, kontribusi yang berbeda dari teori pilihan rasional menghasilkan kerangka
tempat peran agensi dapat secara penuh diapresiasi melalui analisis proses resiprokal oleh
masing-masing aktor yang mentransformasikan, baik konteks tempat mereka bertindak
maupun terbentuknya oleh struktur tersebut.
Buku Hechter menunjukkan bagaimana pendekatan tersebut cocok terhadap
bidang-bidang yang luas sosiologi makro dan teori ilmu sosial dalam disiplin lain.
Termasuk di dalamnya analisis yang dilakukan Mary Binton tentang keluarga Jepang,
Douglass North yang menganalisis perubahan institusional. Hechter menganalisis
solidaritas kelompok tinggi, seperti sekte-sekte keagamaan yang terorgansiasi secara
karismatik dengan menggunakan teori kekuasaan-ketergantungan yang diperluas.
Selama periode ini, pertumbuhan pilihan rasional dalam sosiologi terefleksikan
dalam perkembangan institusional, seperti pembentukan jurnal Rationality and Society di
tahun 1989 dan terbentuknya seksi pilihan rasional dalam ASA di tahun 1994. Periode
ini juga ditandai perdebatan sengit di antara para tokohnya, seperti antara Coleman dan
Fararo dan kritik, seperti dari England dan Kilbourne. Perdebatan juga terjadi dalam
disiplin ilmu politik, seperti antara Friedman The Rational Choice Controversy (1995)
dengan Green dan Shapiro, Pathologies of Rational Choice Theory (1994) yang mengadopsi
perspektif teori pilihan rasional yang ada sebelumnya.
Tahap ketiga munculnya teori pilihan rasional muncul dalam sosiologi pada
pertengahan dekade 1990-an ketika beberapa orang menaruh harapan, beberapa yang
lain takut, dan ada juga yang tidak puas. Pilihan rasional bukan suatu disiplin yang
murni. Sesungguhnya, teori ini menempatkan dirinya sebagai salah satu pendekatan
alternatif dalam teori sosiologi umum. Perkembangan teori pilihan rasional ini terjadi
194
ketika terjadi penurunan teori sosiologi yang terus berlanjut. Pada dekade ini fokus
perhatian tindakan intelektual dalam disiplin mengalami perubahan ke bidang-bidang
substantif, seperti ketimpangan, organisasi, dan sosiologi politik. Pilihan rasional terus
berkembang dan semakin interdisipliner dan memberikan kontribusi pada karya-karya
teori ilmu sosial mulai dari ekonomi, ilmu politik, antropologi, hukum, dan filsafat.
Perluasan ini juga berhubungan dengan suatu perubahan dalam teori pilihan rasional
mikro, psikologi sosial, dan berbagai bentuk teori permainan.
Perluasan ini terus berlanjut dalam area-area tempat pilihan rasional menjadi
pendekatan paling menonjol, seperti gerakan sosial dan tindakan kolektif lainnya.
Marwell dan Oliver (The Critical Mass in Collective Action, 1993), menyatakan bahwa
berbeda dengan kearifan konvensional (lihat juga Olson, The Logic of Collective
Action, 1965), peningkatan baik dalam hal ukuran dan heterogenitas kelompok akan
meningkatkan tindakan kolektif. Hal ini terjadi karena pada kelompok yang besar dan
terdeferensiasi, akan semakin banyak anggota yang masing-masing memiliki kepentingan
kuat dalam meningkatkan tindakan kolektif. Kelompok semacam ini akan menjadi
“massa kritis” (critical mass) yang menjadi pemicu timbulnya tindakan kolektif. Analisis
ini memerhatikan bagaimana tindakan kolektif dapat diorganisasi dan kerja sama
voluntir tempat setiap individu memilih secara independen apakah akan berkontribusi
terhadap tindakan kolektif itu atau tidak (Heckathorn, 2005: 623). Sejumlah karya terus
bermunculan, misalnya pada tahun 1992, Lindenberg memublikasikan karyanya yang
berjudul Rational Choice Theory: Advocacy and Critique. Dua tahun kemudian, Donald
Green dan Ian Shapiro memublikasikan Pathologies of Rational Choice: a Critique of
Applications in Political Science. Pada tahun 2000, Roger Gold menulis buku The Rational
Choice Controversy in Historical Sociologi.

B. Pemikiran/Filsafat Sosial yang Memengaruhi


Teori pilihan rasional mempunyai keterkaitan yang sangat dekat dengan teori pertukaran
sosial yang berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan. Beberapa kritik dan
pertanyaan yang diajukan sejumlah teori terhadap kerangka pemikiran Homans dan
kawan-kawan mendorong Coleman dan sejumlah teori lain mengembangkan teori
pilihan rasional yang kemudian menjadi lebih populer. Menurut Molm (2005: 384),
teori pertukaran Homans telah memprovokasi kritik keras dari para sosiolog. Pertama,
“preposisi rasionalitas”-nya menimbulkan sejumlah pertanyaan yang sering diajukan teori
pilihan rasional tentang apakah orang secara aktual menghitung untung dan rugi dalam
suatu cara rasional. Kedua, sejumlah kritik dialamatkan pada penjelasannya yang tautologis
menyangkut beberapa prinsip behavioral seperti pemaksaan, diskriminasi, stimulus, dan
satiasi. Homans menstranformasikan definisi-definisi ke dalam preposisi-preposisi.

195
Sebagai contoh, pemaksaan didefinisikan sebagai suatu stimulus yang meningkatkan
frekuensi perilaku. Jadi, Homans menganggap bahwa reinforcement merupakan reward.
Ketiga, Homans menyarankan prinsip-prinsip psikologis sebagai aksioma bagi teori
sosiologi sehingga tidak mengherankan hal itu menjadi reduksionisme. Homans tidak
menolak eksistensi kelompok, institusi, atau properti-properti yang muncul. Akan tetapi,
dia percaya bahwa hal itu harus dapat menjelaskan melalui preposisi-preposisi yang
dirumuskan tentang perilaku individual. Tidak hanya Homans percaya dalam penjelasan
fenomena makro dengan prinsip mikro, tetapi sistem deduktifnya sering diambil
beberapa fenomena tempat sosiolog tertarik dalam penjelasannya. Sebagai contoh, dalam
hal mengaplikasikan preposisinya, dia secara tipikal membuat asumsi tentang perilaku
apa yang dilakukan orang pada masyarakat pra dan post industri mendapat ganjaran,
dan dampak-dampak apa bagi masyarakat tersebut dalam menemukan imbalan, serta
bentuk-bentuk organisasi sosial apa yang sering mendukung struktur imbalan tertentu.
Kritiknya diarahkan, secara konsekuen, bahwa ia menafikan begitu banyak pertanyaan
bahwa sosiolog seharusnya melancarkan. Homans menegaskan bahwa tidak ada teori
dapat menjelaskan sesuatu.
Keterkaitan teori pilihan rasional dengan teori pertukaran terletak pada pandangannya
mengenai beberapa tema instrumental. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara teori
operan atau reinforcement dan tokohnya Emerson dan Romans; teori pilihan rasional
dengan tokoh-tokohnya, seperti Elster, Molm dan Cook, dan Wilier. Perbedaan penting
antar-keduanya menurut Lawler dan Thye (2006: 296) adalah bahwa dalam kerangka
teori reinforcement, aktor diasumsikan selalu “melihat ke belakang” (orientasi perilakunya
berdasarkan pengalaman masa lampau) sementara teori pilihan rasional mengasumsikan
individu selalu “melihat ke depan” (orientasi perilakunya didasarkan pada pencapaian tujuan
atau kondisi yang diinginkan). Teori pertukaran secara tipikal dibangun dari salah satu
atau kedua kerangka metateori, baik implisit maupun eksplisit. Menariknya, berdasarkan
penelitian dan teori psikologi, “melihat ke belakang” dan “melihat ke depan” menghasilkan
perbedaan respons emosional—looking backward menghasilkan perasaan senang dan nyaman,
sementara itu looking foreward menghasilkan interes dan semangat. Jadi, perbedaan perspektif
temporal (ke belakang dan ke depan) mungkin menimbulkan perbedaan konsekuensi bagi
hubungan dan kelompok berdasarkan pada pertukaran sosial.
Ketika Blau dan juga Homans menggunakan preposisi-preposisi psikologi untuk
menjelaskan orientasi individu terhadap perubahan, dia menunjukkan perhatian terhadap
struktur sosial yang lebih luas baik dalam hal konteks maupun proses pertukaran. Melalui
analisisnya tentang pertukaran yang berbasis pada pembuatan keputusan individual,
Blau juga dapat dipandang sebagai pioneer teori pilihan rasional. Asumsi Blau tentang
human nature memiliki kesamaan dengan yang dikembangkan oleh para teori pilihan
rasional.

196
Perkembangan teori pilihan rasional yang mengikuti teori pertukaran sosial
mengikuti tren perkembangan teori sosial pada umumnya. Dalam ilmu sosial terdapat
kecenderungan bahwa perpsektif teoretisal berkembang pada periode awal berlanjut
dengan munculnya para pengikutnya pada periode berikutnya. Teori yang baru
cenderung hanya meneruskan aliran pemikiran pendahulunya bukanya muncul sebagai
inovasi baru yang radikal. Fungsionalisme diikuti neofungsionalisme; teori pertukaran
diikuti analisis jaringan dan teori pilihan rasional; interaksionisme simbolik cukup lama
bertahan akan tetapi kemudian diikuti oleh dramaturgi dan variasi lain; teori konflik
memberikan jalan bagi tumbuhnya teori kritis; dan terakhir studi tentang ras, klas, dan
gender diikuti studi tentang kebijakan berbasis kesetaraan, ganti rugi, dan reformasi.
Teori pilihan rasional dan pertukaran kontemporer sama-sama berasal dari
pemikiran utilitarian klasik. Teori pertukaran sosial mempertahankan pandangan bahwa
ketika pertukaran sosial mempunyai fungsi dan merupakan instrumen bagi individu.
Pertukaran melibatkan sebuah produk kelompok yang mengembangkan emosional,
yakni proses afektif. Pada tataran ini, kemudian teori pilihan rasional menguji bagaimana
komitmen dalam jaringan pertukaran yang diakibatkan oleh penurunan ketidakpastian.
Teori pilihan rasional, seperti Lawler, Thye, dan Yoon menunjukkan bahwa pertukaran
mempunyai pengaruh di dalam meningkatkan komitmen pihak-pihak yang melakukan
pertukaran. Pertukaran ini terjadi dalam setting tempat anggota kelompok mempunyai
kekuasaan yang sama, melakukan koordinasi, dan terjadi saling ketergantungan anggota
kelompok penting yang selanjutnya menimbulkan dampak (Sell, 2007: 176). Dengan
demikian, teori pertukaran sosial tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan teori
pilihan rasional.
Dalam sosiologi, teori-teori yang mendasarkan pada asumsi pilihan rasional
meminjam beberapa ide dasar dari ekonom klasik sebagai ide yang menjadi inti ekonomi
neoklasik, teori permainan, dan usaha-usaha ekonom dalam menjelaskan logika tindakan
kolektif termasuk di dalamnya. Dalam pandangan ekonomi neoklasik yang paling ekstrem,
aktor dipandang sebagai berpartisipasi di pasar yang bebas, terbuka dan kompetitif. Dalam
pandangan yang ekstrem ini, diasumsikan bahwa aktor memiliki akses terhadap seluruh
informasi yang relevan, dan bahwa mereka memerhatikan semua alternatif tindakan yang
mungkin dilakukan, mereka dapat mengalkulasi utilitas-utilitas potensial relevan terhadap
biaya yang berhubungan dengan setiap alternatif tindakan yang akan dilakukan. Oleh
karena itu, mereka berusaha memaksimalkan utilitas tersebut (Turner, 2006: 498).
Dari ekonom klasik muncul asumsi yang menyatakan bahwa aktor memiliki
sifat-sifat “rasional”. Asumsi ini sebenarnya berasal dari pengandaian Adam Smith tentang
bekerjanya sistem ekonomi di masyarakat melalui mekanisme “tangan-tangan yang
tidak kelihatan” (the invisible hand). Dalam pandangan Adam Smith, hanya mekanisme
tersebutlah yang mampu menciptakan masyarakat yang paling adil. Meskipun demikian,

197
perlu dicatat bahwa Smith berbeda dari ekonom neoklasik lainnya. Smith memiliki suatu
pandangan mengenai pentingnya sentimen moral dalam mengatur tindakan rasional
individu. Pentingnya sentimen moral tersebut adalah bahwa pada hakikatnya pengejaran
terhadap kepentingan diri (self-interest) tidak akan tercapai tanpa memerhatikan
kepentingan orang lain.
Menurut Priyono (2008: 9), pandangan Smith tentang self-interest ini dalam
perkembangannya dipelintir ke sana kemari untuk apa saja, bahkan berbalikan dengan
garis pemikiran Smith. Pada mulanya, Smith menyimpulkan bahwa perdagangan
dan industri akan maju pesat apabila dalam kinerjanya manusia bergerak atas dasar
kepentingan diri. Dalam hal ini, Smith tidak pernah mengatakan bahwa kodrat manusia
adalah kepentingan diri. Apa yang ia ajukan bukan bahwa kebaikan hati tidak terlibat
dalam kegiatan ekonomi, melainkan bahwa kebaikan-hati dan belas kasih tidak dapat
menjadi dasar kukuh untuk perdagangan dan ekonomi. Jadi, pada mulanya adalah gejala
perdagangan, dan untuk menjelaskan dinamikanya ia harus mengandaikan kepentingan-
diri sebagai penggerak tindakan manusia.
Pandangan Smith ini sejalan dengan koleganya John Stuart Mill dan Jeremy Bentham
yang merupakan pencetus aliran filsafat utilitarianisme. Paham ini menggunakan semboyan
the greatest happiness for the greatest number (kabahagiaan sebesar mungkin bagi sebanyak
mungkin jumlah orang yang menikmatinya). Paham utilitarian menekankan tindakan
individu secara subjektif dimotivasi oleh alasan untuk memaksimalkan kepentingannya
atau keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian atau penderitaan. Tindakan tersebut
harus juga memerhatikan dampaknya bagi orang lain. Hal ini disebabkan karena menurut
Bentham (Suseno, 1997: 180) kehidupan manusia ditentukan oleh dua kekuatan besar:
nikmat dan perasaan sakit sehingga tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan
perasaan nikmat dan meminimalkan perasaan sakit. Apa yang dianggap sebagai dasar
kebaikan tertinggi adalah bermanfaatnya perbuatan, baik yang memberikan kegunaan
sebesar-besarnya bagi dirinya maupun juga orang lain.
Asumsi rasionalitas penganut paham utilitarian sama dengan yang kita kenal
dalam perkembangan teori sosial saat ini. Seseorang yang rasional dianggap memiliki
seperangkat preferensi yang koheren atas pelbagai pilihan yang terbuka baginya. Dia
mengurutkan pelbagai pilihan tersebut berdasarkan pertimbangan sejauh mana pilihan
tersebut memenuhi tujuannya. Ia cenderung menjatuhkan pilihan yang lebih memuaskan
keinginannya, bukannya justru mengurangi keinginannya, dan pilihan yang kemungkinan
pencapaiannya lebih besar (Rawls, 2006: 172–173). Asumsi ini secara implisit memiliki
asumsi pendukung: pertama, perilaku aktor dilihat sebagai berorientasi material dan
mementingkan diri. Lebih dari itu, motif tersebut berkoinsidensi dengan kenyataan.
Dengan demikian, dapat dikatakan individu pada umumnya bersifat materialistik dan
egoistik. Kedua, aktor memiliki akses informasi yang lengkap terhadap alternatif pilihan

198
yang mungkin. Ketiga, aktor memiliki kemampuan teknis untuk menentukan pilihan
yang paling menguntungkan.
Asumsi rasionalitas ini mempunyai pengaruh kuat bagi perkembangan ilmu-ilmu
sosial hingga saat ini terutama ilmu ekonomi. Banyak teori ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu
sosial lain yang dibangun berdasarkan asumsi rasionalitas seperti ini. Meskipun demikian
asumsi ini memiliki kelemahan serius, di antaranya menegasikan aspek-aspek perilaku
nonrasional atau irasional dan juga perilaku unselfish dan altruistik. Menurut Smelser
(1997), terdapat pengaruh bias analitik terhadap rasionalitas dalam tradisi utilitarian
pada disiplin ilmu ekonomi. Tradisi lain dalam ekonomi juga mempunyai kontribusi
bagi berkurangnya pengaruh sisi-sisi kehidupan nonrasional. Marx mewariskan banyak
hal kepada tradisi utilitarian dan cenderung menyubordinasikan segala bentuk moral
dan sisi-sisi afeksi kehidupan sebagai produk dari kekuatan-kekuatan sejarah.
Bias teoretis ini bersumber pada kesalahan pandang terhadap dua hal pokok, yakni
pandangan mengenai hakikat manusia (human nature) dan pandangannya tentang
kelangkaan sumber daya (scarcity). Telah lama dalam ekonomi berkembang pengandaian
homo economicus. Pengandaian ini sejajar dengan homo homini lupus (manusia adalah
serigala bagi yang lain) dalam ilmu politik, atau homo educationis, homo ludens (manusia
makhluk bermain) dalam ilmu pendidikan dan juga homo simbolicum dalam ilmu
humaniora. Pengandaian homo economicus sebagai keseluruhan kodrat manusia, menurut
Priyono (2008) merupakan kesesatan totalisasi karena Adam Smith dan John Stuart Mill
ketika menulis, “ilmu ekonomi tidak mengkaji seluruh kodrat manusia, tetapi hanya
manusia sebagai makhluk yang berhasrat memiliki harta”, ia sedang melakukan langkah
yang disebut penghematan konseptual. Tak sekalipun ia memaksudkan bahwa manusia
hanya makhluk pengejar kekayaan.
Kesalahan kedua berkaitan dengan pandangan mengenai kelangkaan sumber
daya (scarcity). Ekonomi klasik mengandung asumsi bahwa sumber daya bersifat
langka. Asumsi mengenai kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) ini berkaitan
dengan asumsi berikutnya berupa konsekuensinya, yakni asumsi yang berkaitan
dengan penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien. Secara umum, masyarakat
terorganisasi ke dalam sistem ekonomi karena adanya kelangkaan sumber daya. Sistem
ekonomi dengan demikian beroperasi berdasarkan bagaimana sumber daya terorganisasi.
Tujuan akhir sistem ekonomi adalah terpenuhinya kebutuhan manusia, baik yang primer,
sekunder, maupun tersier persoalan mengenai kelangkaan sumber daya ini menjadi
bahan perdebatan karena ada perspektif ilmu ekonomi tertentu yang menganggap bahwa
sumber daya bersifat tidak terbatas (infinitif=unlimited). Ekonomi Islam merupakan
salah satu varian teori ekonomi yang mempunyai anggapan sebaliknya, yakni bahwa
sumber daya bersifat tak terbatas karena Tuhan telah menganugerahi manusia dengan
rezeki yang mencukupi.

199
Dalam ekonomi neoklasik, kelangkaan adalah asumsi kunci di belakang ide bahwa
pasar dalam kompetisi antar-individu akan mengatasi kelangkaan sumber daya dan
selanjutnya memaksa individu melakukan spesialisasi dan ekonomisasi. Kriteria prinsip
dari rasionalitas meliputi alokasi rasional sumber daya dalam sebuah konteks kelangkaan
alat untuk memuaskan kebutuhan manusia dalam rangka untuk memaksimalkan hasil/
dampak. Teori utilitas marginal adalah alokasi rasional dari sebuah unit ekstra dari
usaha-usaha untuk memaksimalkan keinginan atau kebutuhan melalui alat yang langka,
dan keseimbangan pasar dicapai ketika keinginan-keinginan individu terpuaskan. Apa
yang menyebabkan kelangkaan? Dalam ekonomi klasik, hal itu diasumsikan sebagai
suatu konsekuensi dari kenyataan bahwa alam tidak menyediakan cukup sumber daya
untuk memuaskan keinginan manusia.
Asumsi mengenai kelangkaan dalam ilmu ekonomi neoklasik memengaruhi
ilmu-ilmu lain. Dalam argumentasi demografi klasik, seperti Robert Malthus, alam
bersifat konstan dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan
wabah dan kelaparan. Manusia harus melakukan pembatasan kelahiran dalam rangka
menyeimbangkan pertumbuhan penduduk di tengah kelangkaan sumber daya. Sementara
itu, teori-teori postmodern memiliki pandangan alternatif, yang secara implisit ada pada
karya-karya Frankfurt School, yakni bahwa kelangkaan secara sosial diakibatkan oleh
berkembangnya kapitalisme yang secara artifisial meningkatkan kecenderungan dorongan
untuk mengonsumsi. Krisis mode of production kapitalis sering diinterpretasikan sebagai
konsekuensi ketidakstabilan hubungan antara produksi dan konsumsi. Dalam masyarakat
kapitalis modern (mature), produksi melebihi kapasitas orang untuk mengonsumsinya.
Hal ini terjadi antara lain karena pengangguran disebabkan oleh over-saving terjadi sebagai
akibat berlimpahnya modal dan defisiensi permintaan efektif karena penurunan pendapatan
akibat meningkatnya pengangguran. Dengan demikian, dorongan untuk mengonsumsi
tidak sepenuhnya dapat dipuaskan karena keterbatasan pendapatan. Problem dari ekonomi
kapitalis adalah kecenderungan untuk mengonsumsi di bawah standar.
Uraian di atas menunjukkan bahwa asumsi-asumsi yang dipakai teori pilihan rasional
dan sejumlah teori ilmu sosial lain yang bersumber filsafat utilitarian telah mengalami
“cacat bawaan”. Manusia diasumsikan sebagai makhluk rasional yang bertindak
“semata-mata” berdasarkan optimalisasi utilitas dari kerangka preferensi (pilihan-pilihan)
yang telah mereka miliki. Kerangka preferensi bersifat relatif tetap. Asumsi mengenai
human nature yang seperti ini merupakan simplifikasi yang luar biasanya. Pada
dasarnya, semua bentuk perilaku manusia, selain merefleksikan kondisi psikologis,
sangat dipengaruhi oleh setting budaya dan kondisi lingkungan sosial tempat tindakan
itu berlangsung. Dengan demikian, asumsi teori pilihan rasional tersebut menegasikan
faktor lingkungan sosial, seperti norma, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan yang
berkembang di masyarakat yang kenyataannya tidak selalu mengarahkan manusia untuk

200
bertindak mementingkan kepentingan sendiri (self-interest). Individu dengan demikian
dalam teori pilihan rasional diasumsikan sebagai undersocialized.
Teori pilihan rasional mendapat pengaruh kuat dari teori utilitarian tentang
tindakan yang merupakan teori paling berpengaruh dalam ekonomi. Teori utilitarian
bahkan juga memengaruhi banyak teori pilihan sosial lain, seperti ekonomi neo-klasik,
teori permainan, dan teori pilihan kebijakan publik. Menurut Habermas, sebagaimana
dikutip Johnson (2008: 130–131), teori pilihan rasional secara tegas memformulasikan
asumsi-asumsi, seperti agen (pelaku) dipandang sebagai memiliki sebuah aturan dan
konsisten dengan seperangkat preferensinya dan memilih cara atau strategi yang dapat
memaksimalkan utilitas baginya. Bagi penganut aliran teori pilihan rasional Marxis,
seperti John Roemer, teori utilitarian mempunyai sebuah alat yang sangat ampuh
untuk mentrasformasikan historis materialisme ke dalam teori deduktif yang kebenaran
hukum-hukum dibuktikan dengan teorema. Hal yang sama juga dilakukan untuk
mengidentifikasi hubungan antara rasionalitas dan optimalisasi, apabila benar, akan
menjadi sangat problematik. Baik Weber maupun tokoh awal aliran Frankfurt melihat
bahwa peradaban modern sebagai kerajaan bagi tindakan rasionalitas intrumental, setiap
urusan diarahkan untuk mencapai rasionalitas substantif. Dalam hal ini, rasionalitas lebih
banyak dilihat dari sisi tujuan yang ingin dicapai dibandingkan dengan alat atau cara
untuk mencapainya. Individu tidak lagi memerhatikan apakah cara yang dicapai untuk
mencapai tujuan tersebut, misalnya merugikan orang lain atau tidak.

C. Substansi
Teori Pilihan rasional sering dilihat sebagai teori yang berbeda dari pendekatan teoretis lain
dalam sosiologi dalam dua hal, yakni komitmennya pada metodologi individualisme dan
pandangannya tentang pilihan sebagai sebuah proses optimalisasi. Metode individualisme
digunakan sosiolog termasuk teori pilihan rasional untuk menjelaskan tindakan
intensional (bertujuan). Metode tersebut digunakan dalam penelitian-penelitian yang
difokuskan pada bagaimana tindakan individual bertujuan tidak saja berdampak sesuai
yang diharapkan, tetapi juga yang berdampak tidak diinginkan atau tidak diantisipasi
sebelumnya. Marx Weber dan Karl Popper merupakan dua sosiolog yang menyarankan
untuk menggunakan metode ini. Mereka menentang bentuk penjelasan holistis yang
menunjuk pada sistemik atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Beberapa sosiolog yang
menggunakan metode ini bertujuan untuk menjelaskan tindakan rasional. Menurutnya,
tindakan rasional adalah tindakan intensional disertai asumsi bahwa orang bertindak
secara rasional. Orang bertindak secara rasional apabila mereka mempunyai kerangka
preferensi dan membuat keputusan sesuai dengan kerangka preferensinya tersebut. Selain
itu, individu mempunyai kepercayaan rasional tentang bagaimana memperoleh apa yang

201
mereka inginkan dan tentang biaya dan keuntungan yang mungkin diperoleh. Teori
pilihan rasional (atau teori tindakan rasional) menawarkan penjelasan rasional.
Ciri kedua dari pilihan rasional yang sering dilihat sebagai berbeda dari teori sosiologi
tradisional adalah pandangannya bahwa pilihan merupakan sebuah proses optimalisasi.
Pilihan dilihat sebagai sesuatu yang rasional. Penting dicatat di sini bahwa, tidak seperti
ekonomi klasik, sosiologi teori pilihan rasional kontemporer tidak mengasumsikan bahwa
pendapatan atau keuntungan dimaksimalkan. Oleh karena itu, menurut Heckarthorn
(2005: 275), teori pilihan rasional bergerak dari asumsi ekonomi mikro klasik bahwa
individu berusaha memaksimalkan pendapatan, ke arah pemahaman tentang multiplisitas
tujuan egoistik dan altruistik yang dapat mengarahkan perilaku. Ini adalah analisis
yang oleh Jane Mansbridge disebut sebagai modeling inclusive, yakni analisis yang pada
prinsipnya tidak manganggap bahwa kepentingan diri sebagai satu-satunya motif. Motif
kepentingan siri bersama motif-motif lain akan menghasilkan pembuatan keputusan
yang maksimal dan konsisten. Teori pilihan rasional termasuk dalam kategori ini. Lebih
dari itu, para ahli teori pilihan rasional kontemporer tersebut melihat rasionalitas sebagai
yang “terikat” (bounded), yakni pembuat keputusan dilihat sebagai memiliki keterbatasan
mendapatkan informasi dan kemampuan terlibat proses informasi. Dengan demikian,
teori pilihan rasional juga menjauh dari asumsi ekonomi mikro tentang informasi
lengkap yang dimiliki individu ketika membuat keputusan (menentukan pilihan). Karena
rasionalitas terikat tersebut, aktor sering tidak dapat mengantisipasi dampak-dampak dari
tindakannya. Beberapa konsekuensi dari tindakannya mungkin tidak dikehendaki.
Teori pilihan rasional sebagaimana teori sosiologi mikroskopik lain berpusat pada
aktor sebagai salah elemen kunci teori. Elemen lainnya adalah sumber daya. Seorang
aktor dalam teori pilihan rasional diasumsikan memiliki maksud/tujuan (instensional)
dalam setiap tindakannya. Tidak ada tindakan yang tidak bertujuan. Selain itu, aktor
juga diasumsikan selalu mempunyai kerangka preferensi (kerangka pilihan) yang bersifat
relatif tetap atau stabil. Pilihan yang dibuat aktor berdasarkan kerangka preferensi
tersebut. Dalam teori pilihan rasional, individu dilihat sebagai sangat rasional, mampu
melakukan yang terbaik untuk memuaskan keinginannya. Menurut Molm (2005: 410),
teori pilihan rasional menganut pandangan atomis, yakni memfokuskan pada preferensi
dan pilihan individu sebagai basis untuk menjelaskan perilaku sosial, termasuk konstruksi
dan utilisasi institusi.
Masing-masing aktor dalam melakukan tindakan memiliki modal berupa sumber
daya yang berbeda dan juga aksesnya terhadap sumber daya tersebut. Sumber daya adalah
hal-hal yang dikehendaki aktor dan yang diinginkannya. Perbedaan penguasaan sumber
daya ini mengakibatkan ketimpangan dalam struktur hubungan dengan segala akibat
yang ditimbulkan. Dengan demikian, perbedaan penguasaan sumber daya mengakibatkan
perbedaan kekuasaan dalam struktur hubungan antar aktor. Hal ini juga diperhatikan

202
oleh teori pertukaran terutama Blau dan Emereson. Dalam pandangan Coleman (1990:
29), syarat minimal terjadinya tindakan sosial adalah adanya interaksi dua orang aktor
yang masing-masing memiliki kontrol sumber daya yang berbeda. Masing-masing aktor
yang saling berinteraksi tersebut mempunyai tujuan memaksimalkan terpenuhinya
kepentingannya.
Dalam melakukan tindakannya, aktor terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap
pilihan yang tersedia (atau yang memungkinkan) dengan memerhatikan segala aspek
seperti tujuan apa yang menjadi prioritasnya, sumber daya yang dimiliki dan juga
kemungkinan keberhasilan dari tindakan yang dilakukannya. Seorang aktor dapat
saja dapat saja memilih untuk tidak mengejar tujuan yang paling bernilai oleh karena
mungkin sumber daya yang dimilikinya tidak mencukupi, kemungkinan keberhasilannya
kecil, atau mungkin justru akan membahayakan tujuan-tujuan lain yang diinginkannya.
Dengan demikian, aktor dipandang selalu berusaha memaksimalkan keuntungan
mereka.
Teori pilihan rasional menyatakan bahwa perilaku sosial dapat dijelaskan dalam
istilah perhitungan rasional yang dilakukan individu dalam berbagai pilihan yang tersedia
bagi mereka. Ini adalah logika dasar teori ekonomi kapitalis, yang menjabarkan apa yang
terjadi ketika dengan sumber daya terbatas ditempatkan dalam suatu pasar ekonomi.
Ekonom meneorikan bahwa individu berusaha untuk memaksimalkan keuntungan
melalui strategi investasi dan konsumsi (Agger, 2008: 316).
Teori pilihan rasional yang dikembangkan Coleman dimulai dengan menganalisis
tindakan dan relasi-relasi sosial elementer. Coleman mengelaborasi pandangan teori
pertukaran klasik, yakni bahwa aktor pada dasarnya memiliki kepentingan dan mereka
mengontrol sumber daya dan persaingan, tetapi mereka kekurangan sesuatu karena
mereka tidak dapat secara penuh mengontrol sumber daya dan persaingan tersebut untuk
memenuhi kepentingannya. Itulah sebabnya, aktor kemudian melakukan pertukaran
sumber daya yang dimilikinya. Coleman dalam mengembangkan teorinya, menekankan
pada struktur tindakan dengan memfokuskan pada kewenangan, sistem kepercayaan,
tindakan kolektif, dan juga norma-norma. Sebagai contoh dalam analisisnya, kewenangan
merupakan hak untuk mengontrol tindakan individu lain. Kewenangan tersebut
dapat dijalankan karena adanya pemberian hak dari individu lain untuk mengontrol
tindakannya.
Pemberian hak kontrol kepada orang lain atau kepada pelaku kelompok (kolektif)
tersebut menurut Coleman merupakan tindakan rasional. Pengalihan hak kontrol
oleh individu tersebut disertai asumsi bahwa pengalihan hak-hak akan dilakukan
sedemikian rupa sehingga menguntungkan individu tersebut daripada apabila mereka
memegang hak-hak tersebut sendiri (Coleman, 1990). Pengalihan hak tersebut
merupakan konsekuensi kehidupan kolektif. Pengalihan hak kepada orang lain dikenal
203
sebagai resiprositas sedangkan pengalihan hak kepada tindakan kolektif disebut sebagai
redistribusi. Menurut Sairin (2002: 44), konsep resiprositas berbeda dengan konsep
redistribusi karena adanya hubungan simetris sebagai syarat timbulnya aktivitas
resiprositas. Sebaliknya, aktivitas redistribusi memerlukan syarat adanya hubungan
asimetris. Hubungan asimetris ditandai oleh adanya individu-individu tertentu yang
tampil sebagai pengorganisasi pengumpulan barang-barang atau jasa dari anggota-anggota
kelompok. Setelah dikumpulkan, kemudian barang atau jasa tersebut didistribusikan
kembali ke dalam kelompok tersebut dalam bentuk barang atau jasa yang sama atau
berbeda.
Pada awalnya, individu memegang haknya masing-masing, tetapi lama-kelamaan
tidak dapat secara terus-menerus memegang haknya sendiri-sendiri. Masing-masing
akan mengalihkan sebagian haknya tersebut kepada individu lain atau pelaku kelompok
yang mengakuisisi hak-hak tersebut. Akan tetapi, dalam beberapa kasus diakui Coleman
bahwa pengalihan hak tersebut tidak rasional bagi individu, kecuali kalau mereka tetap
memegang sebagian kontrol atas tindakan-tindakan yang diambil pelaku kelompok
karena tindakan tersebut melahirkan atau menciptakan peristiwa yang menimbulkan
konsekuensi bagi mereka. Masalahnya adalah bagaimana kontrol atas tindakan kelompok
tersebut dapat dibagi secara adil di antara sejumlah individu.
Mengapa orang secara sepihak mengalihkan hak kontrol atas tindakannya kepada
orang lain? Jawabannya, menurut teori pilihan rasional, mereka berbuat demikian
dalam upaya memaksimalkan kepentingan mereka. Biasanya, upaya memaksimalkan
kepentingan individu itu menyebabkan keseimbangan kontrol antara beberapa aktor dan
ini menghasilkan keseimbangan dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam kasus perilaku
kolektif hal ini disebabkan karena terjadi pemindahan kontrol secara sepihak. Upaya
memaksimalkan kepentingan individu tidak selalu menghasilkan keseimbangan sistem.
Pengalihan hak kontrol hanya kepada satu atau segelintir orang akan mengakibatkan
ketimpangan kewenangan yang menjurus kepada tindakan kesewenang-wenangan yang
tidak saja merugikan orang lain atau orang yang memberikan hak kontrolnya, tetapi
juga dapat membahayakan keseluruhan sistem. Runtuhnya beberapa negara totalitarian
merupakan salah satu contoh dalam hal ini.
Kewenangan dengan demikian merupakan sebuah pertukaran ketika hak untuk
mengontrol tindakan orang lain dipertukarkan dengan beberapa jasa (seperti pemberian
perlindungan) atau kompensasi moneter dalam sebuah organisasi. Elaborasi tentang
kewenangan, sistem kepercayaan, tindakan kolektif, dan norma-norma selanjutnya
dilengkapi alat untuk menjelaskan “corporate action” dan ciri-ciri masyarakat modern
lain seperti yang dipublikasikan hasil penelitian empiriknya dengan judul The Asymmetric
Society. Dalam karyanya ini, Colemen menunjukkan bagaimana argumen-argumen yang

204
dibangun sebelumnya menjadi lebih tepat dengan menggunakan model matematika yang
terinspirasi dari model ekuilibrium dalam ilmu ekonomi (Lindenberg, 2005: 114).
Isu pengalihan hak kontrol kepada individu lain atau perilaku kolektif merupakan
salah satu bukti bahwa teori rasional juga menjelaskan fenomena yang bersifat makro.
Dalam hal ini, yang diperhatikan bukan hanya fenomena makro yang bersifat teratur atau
stabil, melainkan juga yang bersifat dinamis atau penuh gejolak. Hal yang menyebabkan
perpindahan hak dari aktor rasional ke berfungsinya sistem oleh Coleman (1990:
198) disebut sebagai “perilaku kolektif yang liar dan bergolak”, yakni pemindahan
pengendalian atas tindakan seseorang aktor ke aktor lain yang dilakukan secara sepihak,
bukan sebagai bagian dari pertukaran.
Fenomena makro lain yang diperhatikan teori pilihan rasional Coleman adalah
norma. Berbeda dengan kebanyakan sosiolog lain yang menganggap norma dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku individual, Coleman justru lebih tertarik dengan
isu mengapa dan bagaimana norma itu muncul dan dipertahankan oleh beberapa orang
yang berinteraksi di masyarakat. Menurut Coleman, norma muncul karena inisiatif
dari individu-individu tertentu yang melihat adanya keuntungan dari ditaatinya
norma dan kerugian-kerugian akibat pelanggaran norma. Orang ingin melepaskan
pengendalian terhadap perilaku mereka, tetapi dalam proses, mereka memperoleh
pengendalian (melalui norma) terhadap perilaku orang lain. Dengan kata lain, orang
akan memaksimalkan keuntungan yang mereka peroleh dengan menyerahkan sebagian
hak kontrol atas orang lain dan mendapatkan kontrol parsial atas orang lain sehingga
terjadilah keseimbangan.
Sebuah norma yang menyangkut tindakan tertentu akan muncul ketika hak yang
ditetapkan secara sosial untuk mengontrol tindakan tersebut dipegang bukan oleh
pelakunya, melainkan oleh pelaku-pelaku lain. Dalam hal ini, terdapat konsensus dalam
sistem sosial yang menyatakan bahwa hak untuk mengontrol tindakan dipegang oleh
pelaku-pelaku lain (Coleman, 2009: 334). Apabila norma terbentuk, norma tersebut
umumnya ditaati oleh pelaku sasaran meskipun bertentangan dengan kepentingan
langsung pelaku sasaran. Sanksi mungkin jarang diperlukan, namun apabila ahli waris
norma tidak berkemampuan untuk menerapkan sanksi yang efektif ketika diperlukan,
tentunya tidak ada artinya menyatakan bahwa mereka memegang hak untuk mengontrol
tindakan (Coleman, 2009: 367).
Dalam beberapa hal, kemunculan norma merupakan transisi utama dari mikro ke
makro karena proses tersebut pasti muncul dari tindakan-tindakan individu meskipun
norma merupakan sifat di tingkat sistem yang memengaruhi tindakan-tindakan individu
tersebut lebih lanjut, baik sanksi yang diterapkan oleh individu yang memegang norma
maupun tindakan yang sesuai dengan normanya. Gambar di bawah ini menggambarkan
kemunculan norma yang dimulai di tingkat mikro dan berakhir di tingkat mikro juga,
205
dengan sanksi individual dan kesesuaian dengan normanya. (Coleman, 2009: 336).
Norma adalah fenomena tingkat makro yang ada berdasarkan tindakan bertujuan di
tingkat mikro. Begitu muncul, norma yang disertai sanksi atau ancaman sanksi akan
memengaruhi tindakan individu. Tindakan tertentu mungkin mendorong motivasi,
sementara tindakan lain sebaliknya. Ketika sudah terebentuk norma, sekumpulan aktor
berkepentingan untuk mengendalikan aktor lain dan menginternalisasi norma yang ada.
Ini adalah rasional karena dapat efektif dengan biaya yang masuk akal.
Norma

Tindakan Sanksi Individual dan


Individual Kesesuaian dengan norma

Gambar. Relasi tingkat mikro dan makro pada saat munculnya norma

Dalam usahanya menjelaskan munculnya norma-norma dan struktur sosial, teori


pilihan rasional menurut Turner (2006: 498) meminjam konsep “eksternalitas negatif”
dari ekonomi neo-klasik. Ketika terlibat dalam kegiatan kolektif untuk menghasilkan
barang publik, problem pembonceng gratis (free rider) tidak dapat dihindarkan muncul
karena hal itu rasional bagi aktor yang tidak berkontribusi dalam menghasilkan barang
publik, tetapi tetap dapat menikmati utilitas barang publik tersebut. Sesungguhnya,
apabila semua aktor menjadi pembonceng gratis, barang publik tidak akan pernah dapat
diciptakan dan akibatnya semakin banyak orang yang menjadi pembonceng gratis.
Maka, semakin besar eksternalitas negatif bagi seluruh aktor yang terlibat dalam tindakan
kolektif menghasilkan barang publik. Pada kondisi demikian, rasional bagi aktor untuk
menciptakan kesepakatan normatif yang membatasi perilaku pembonceng gratis. Oleh
karena itu, menjamin individu melaksanakan kewajiban pada tingkat maksimum. Hal
ini menjadi landasan argumentasi terhadap pertanyaan mengapa dan bagaimana struktur
sosial dan kesepakatan normatif diciptakan oleh aktor rasional yang mengejar kepentingan
diri—sebuah versi sosiologi dari konsep Adam Smith tentang the invisible hand.
Mancur Olson seorang ekonom yang sangat dipengaruhi aliran pemikiran
utilitarian, berusaha mendeskripsikan tindakan rasional individu dalam kaitannya dengan
penggunaan fasilitas umum. Dalam perspektif utilitarian, seorang individu akan berusaha
meminimalisasikan cost (biaya/pengorbanan) serendah mungkin untuk memperoleh
keuntungan sebesar mungkin. Orientasi tindakan yang demikian ini diekspresikan melalui

206
pengorbanan serendah mungkin seorang individu bagi kepentingan-kepentingan umum,
seperti aktivitas bergotong royong membangun fasilitas umum. Pada kenyataannya,
individu tadi tetap dapat menikmati fasilitas umum. Fenomena inilah yang disebut
Olson sebagai free rider yang menjadi problem masyarakat.
Menurut Callinicos (2004), problem free rider ini merupakan temuan paling
penting dalam teori pilihan rasional dan mewarnai kemunculan apa yang disebut
sebagai public good. Olson mendefinisikan public good sebagai sebuah barang (good),
yaitu ketika seseorang X1 berada dalam kelompok yang beranggotakan X1...Xi, ....Xn
dalam mengonsumsi barang tersebut tidak dapat melakukannya dengan mengabaikan
anggota kelompok lain. Ketika tidak semua anggota kelompok mempunyai kontribusi
dalam memproduksi barang, barang tersebut tetap tersedia bagi semua anggota, dan
mengecualikan penggunaannya bagi yang tidak berkontribusi adalah sesuatu yang tidak
mungkin atau justru memerlukan biaya yang mahlm. Karakteristik public good adalah
dari sisi produksi dan supply-nya diproduksi secara bersama-sama demikian pula dari
sisi penggunaannya tidak ada pengecualian (non-excludability). Dalam hal ini, mengapa
individu dalam kelompok berkontribusi memproduksi kedua barang tersebut? Kelompok
atau masyarakat adalah sesuatu yang sangat besar sehingga kontribusi seorang individu
menjadi terlalu kecil untuk dipandang berbeda dalam produksi public good tersebut. Oleh
karena dia tidak dapat dicegah untuk mengonsumsi barang tersebut, menjadi rasional
baginya dan juga para free rider (pembonceng gratis) lainnya untuk tidak memberikan
kontribusinya. Kelompok atau masyarakat tidak memiliki sistem sanksi dan penghargaan
yang mampu mendorong individu berkontribusi memelihara sistem sosial.
Dengan mengacu teori Olson tersebut, pilihan tindakan seorang individu dikatakan
rasional apabila dia telah berusaha meminimalisasikan biaya dan memaksimalkan
ganjaran. Ini menjadi problem teoretis serius karena akan berhadapan dengan pembuktian
secara empirik. Apabila semua anggota kelompok atau masyarakat berpikir dan bertindak
sesuai dengan prinsip tersebut, pada saat itu sistem sosial mengalami kelumpuhan,
bahkan chaos. Asumsi tersebut sebenarnya secara implisit terdapat konflik kepentingan
fundamental yang muncul dalam seluruh transaksi pertukaran. Keseimbangan antara
kompensasi yang diberikan kelompok di satu sisi dan kewajiban masing-masing anggota
menjadi prasyarat berjalannya sistem sosial. Dari sisi kompensasi kelompok, beberapa
bentuk penghargaan individu secara khusus diperlukan karena kepentingan individu
tidak secara intrinsik berhubungan dengan pencapaian tujuan kelompok. Sebaliknya,
anggota diharapkan berkontribusi karena mereka telah memperoleh keuntungan melalui
keanggotannya dalam kelompok dan pencapaian tujuan kelompok.
Struktur kepentingan diciptakan oleh eksternalitas yang menjadi asal-usul norma.
Struktur kepentingan tersebut dapat ditampilkan secara lebih sistematik dengan
menggunakan situasi sederhana yang hasilnya dapat digambarkan melalui matriks nilai

207
seperti dalam teori permainan. Sebagai contoh, misalkan dua orang diberitahu secara
terpisah, “Anda dapat memilih salah satu dari dua tindakan berikut: menyumbang
9 dolar untuk proyek bersama, atau tidak memberikan kontribusi apa pun. Untuk
masing-masing 3 dolar yang disumbangkan, 1 dolar tambahan akan diperoleh melalui
proyek tersebut (akan ada pengembalian 4 dolar untuk setiap 3 dolar yang disumbangkan).
Jumlah keseluruhan pada akhir periode akan dibagikan secara rata kepada Anda berdua
tanpa memedulikan siapa yang telah memberikan kontribusi.” Masing-masing dapat
menilai keuntungan bersih atau kerugian bersih bagi dirinya dan bagi orang lain, untuk
masing-masing kombinasi tindakan (lihat matriks).
Apabila tidak ada yang memberikan kontribusi, tidak ada keuntungan dan kerugian
bagi keduanya. Apabila A1 memberikan kontribusi sementara A2 tidak, kontribusi A1
sebesar 9 dolar ditambah dengan 3 dolar yang didapatkannya dibagi dua = 6 dolar
untuk masing-masing. Pendapatan ini merupakan keuntungan bersih bagi A2, tetapi
bagi A1 yang diawal memberikan kontribusi sebesar 9 dolar, ia menderita kerugian 3
dolar. Keuntungan dan kerugian akan berbalik apabila A2 memberikan kontribusi dan
A1 tidak. Situasi ini menciptakan sepasang tindakan, yang masing-masing menimbulkan
eksternalitas bagi pelaku lain. Dalam matriks itu, terlihat bahwa tindakan A1 (baik
memberikan kontribusi maupun tidak) menghasilkan selisih 6 dolar (antara 3 dan -3 atau
antara 6 dan 0) dengan A2, dan tindakan A2 menghasilkan selisih 6 dolar dengan A1.

MATRIKS 1
NILAI UNTUK PROYEK GABUNGAN BERANGGOTAKAN DUA ORANG
A2
Memberikan kontribusi Tidak memberikan kontribusi
A1 Memberikan kontribusi 3,3 -3,6
Tidak memberikan kontribusi 6,-3 0,0

Sumber: Coleman (2009: 347)

Teori Coleman di atas dikembangkan berdasarkan konsep rasionalitas ekonomi


yang berkembang pesat dalam teori ekonomi, khususnya teori ekonomi neo-klasik.
Menurut Sarkar dan Pfiefer (2006: 227), ekonom yang menganut aliran neo-klasik ini
concern terhadap analisis pilihan rasional individu dalam konteks ganjaran, risiko, dan
ketidakpastian. Dampak individual dan ganjaran tergantung pada probabilitas pilihan
dari sejumlah opsi yang ada. Selain itu, mereka juga concern terhadap rasionalitas dalam
konteks interaksi strategi antara dua atau lebih agen (pelaku). Ganjaran seseorang
tergantung pada pilihan rasional yang dibuat oleh agen yang lain seperti yang ada
dalam teori permainan. Apa “aturan-aturan keputusan” asli yang membentuk perilaku
rasional dalam kedua konteks tersebut? Perhatian khusus dari para filsuf ekonomi
menghasilkan pengujian kritis terhadap teori rasionalitas ekonomi. Upaya tersebut
208
membantu memperluas pemahaman kita tentang konsep rasionalitas. Pertama, para
filsuf mencurahkan perhatiannya pada gap antara teori utilitas dan teori preferensi
individual. Kedua, mereka menggunakan asumsi-asumsi egoisme atau kepentingan-
diri rasional sebagai prasyarat teori murni. Ketiga, para filsuf dan yang lain mencatat
bahwa alasan psikologis aktor yang riil menjadi ganjil dalam pandangan teori rasionalitas
ekonomi murni. Keempat, para filsuf dan yang lain mencurahkan perhatiannya pada
asumsi-asumsi yang mendasari teori permainan. Terakhir, beberapa filsuf ekonomi
melakukan studi mengenai karakteristik dari “rasionalitas ekonomi” dalam diri seseorang
dengan menggunakan metode eksperimen.
Tujuan dari teori pilihan rasional secara umum adalah menunjukkan bahwa
dampak pada level makro dapat dijelaskan dengan konsepsi tentang aktor rasional pada
tingkat mikro. Di sini terdapat kritik dalam teori sosiologi bahwa asumsi sederhana
mengenai struktur dan norma sosial tidak disertai penjelasan bagaimana struktur dan
norma tersebut ditingkatkan dan juga tanpa bukti kekuatan yang memaksa struktur
dan norma tetap bertahan. Kritik sosiologi struktural dan normatif menekankan
bahwa teori struktural dan normatif tidak menaruh perhatian pada mekanisme atau
serangkaian proses dinamika, yaitu struktur tingkat meso dan makro berlangsung dan
simbol-simbol kultural dihasilkan. Sebaliknya, teori pilihan rasional berpendapat bahwa
mereka dapat menspesifikasikan mekanisme-mekanisme—keputusan rasional di antara
aktor menghasilkan sesuatu barang publik tetapi mengalami eksternalitas negatif dan
pembonceng gratis—yang meningkat dan mempertahankan norma-norma dan struktur
sosial. Jadi, kritik dari teori pilihan rasional berpendapat bahwa spesifikasi lebih bersifat
ilusif daripada nyata karena, pada akhirnya, apa yang menjadi perhatian teori pilihan
rasional adalah bahwa orang menciptakan struktur sosial dan budaya karena hal itu
rasional tanpa penspesifikasian dalam proses-proses yang terjadi sebelumnya ketika
eksternalitas negatif, perilaku pembonceng gratis, dan terbentuknya norma berlangsung
atau dengan ketidakjelasan proses aktual di dalam persamaan melalui simulasi komputer
(Turner, 2006: 498).
Institusi-institusi dipandang sebagai pengaturan atau sistem aturan yang diciptakan
individu dalam upaya meningkatkan atau melindungi kepentingan-kepentingannya.
Meskipun institusi-institusi mengatur dan membatasi individu, pada saat yang sama,
individu menyadari bahwa tujuannya akan menjadi lebih efektif dicapai hanya melalui
tindakan institusional. Penjelasan menjawab pertanyaan mengapa individu termotivasi
mengonstruksikan sistem yang membatasi perilakunya. Penjelasan awal tentang aktor
rasional mengasumsikan bahwa aktor individual terlibat dalam perilaku memaksimalkan
utilitas, diarahkan oleh preferensi yang stabil, dan memiliki pengetahuan yang lengkap
tentang alternatif-alternatif tindakan yang mungkin dilakukan dan juga mengenai
konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan dengan setiap pilihan. Penjelasan ini

209
digantikan dengan model baru yang menyatakan bahwa rasionalitas individu “terikat”
oleh limitasi-limitasi informasi dan kalkulasi. Meskipun demikian, individu dilihat
sebagai aktor yang diharapkan rasional, melakukan yang terbaik yang dapat memuaskan
keinginannya.
Model penjelasan teori pilihan rasional dapat dibagi berdasarkan bentuk institusional
yang menjadi acuan. Terdapat empat bentuk institusional dasar tempat pilihan yang
dibuat apakah berasal dari aktor tunggal (single actor) ataukah melibatkan banyak aktor,
serta pilihan tersebut berdampak bagi aktor tunggal ataukah akan berdampak banyak
orang. Model pertama, terdapat sumber daya dari single aktor dan dampaknya juga single
actor, terdapat pada model dilema, seperti dilema tahanan (prisoner dilema) yang terkenal.
Model ini menjelaskan apakah secara normatif memberikan hukuman bagi pengkhianat
ataukah memberikan imbalan bagi pihak yang bekerja sama. Pelanggaran terhadap norma
ini pada dasarnya adalah hipokrisi. Sebagai contoh, pembunuh sebenarnya tidak ingin
menjadi pembunuh atau gelandangan tidak menginginkan dirinya menjadi gelandangan.
Setiap masyarakat memiliki aturan besar yang dikodifikasikan, seperti norma.

MATRIKS
BENTUK INSTITUSIONAL SEBAGAI FUNGSI Sumber daya DAN TARGET DAMPAK
TINDAKAN
Target Dampak
Single actor Multiple actors
Single actor Pasar Hierarki
Sumber daya Multiple actors Sistem Normatif Sistem Pemilihan

Matriks. Bentuk institusional sebagai fungsi sumber daya dan target dampak tindakan

Sumber: Heckarthorn (2005: 278)

Pasar sebagai institusi terbentuk berdasarkan agregasi pertukaran antar-aktor.


Pertukaran tersebut dapat melibatkan aktor individual, seperti dalam pasar petani, aktor
perusahaan seperti dalam pasar kapitalis atau campuran antar-keduanya seperti ketika
individu berhubungan dengan perusahaan. Pasar di sini tidak hanya diartikan sebagai
sistem transaksi moneter sebagaimana yang menjadi fokus ekonomi tradisional, tetapi juga
pasar sebagai fenomena yang menjadi concern sosiolog. Sebagai contoh, pilihan pasangan
hidup yang secara agregat membentuk pasar perkawinan (marriage market) ketika nilai
pasar individu tergantung pada beberapa faktor, seperti prospek pekerjaan, daya tarik
fisik, serta kepribadiannya. Suatu fokus sosialisasi terpenting adalah bagaimana seseorang
memiliki atribut-atribut yang akan meningkatkan nilainya di pasar perkawinan.
Konsisten dengan fokus sosiologi tradisional pada norma, fokus khusus dari sosiologi
pilihan rasional adalah concern terhadap isu keterlekatan (embeddedness) norma di pasar.

210
Hal ini menjadi tema utama yang tumbuh pesat dalam sosiologi ekonomi (Smelser dan
Swedberg). Pasar bukanlah entitas yang cukup mandiri sebagaimana yang diasumsikan
ekonomi klasik dan neo-klasik. Pasar pada dasarnya sangat tergantung pada norma-norma
yang mengaturnya termasuk sistem hak kepemilikan yang mendasari transaksi dan
norma-norma yang menstruktur transaksi. Ketergantungan pasar terhadap norma menjadi
tema penting analisis Durkheim tentang pasar ([1893] 1947). Meskipun demikian,
pandangan ini menjadi dasar berkembangnya sejumlah karya, seperti Coleman tentang
modal sosial yang menekankan pentingnya norma-norma bagi perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi. Norma di sini termasuk norma yang diperlukan agar kewajiban
terpenuhi, bahkan norma yang menjamin agar aman ketika berjalan di malam hari.
Hierarki sebagai institusi terbentuk berdasarkan prinsip fundamental organisasi
tempat seorang aktor berhadapan dengan kekuasaan atau pengaruh terhadap aktor-aktor
yang menjadi subordinat. Dalam bentuk yang palung sederhana subordinat berhadapan
dengan superordinat berada dalam struktur piramida. Teori agensi yang dilontarkan Jensen
dan Meckling merupakan teori pilihan rasional yang menganalisis hubungan-hubungan
hierarkis. Teori ini memfokuskan pada asimetri informasional antar-individu yang
terlibat kontrak untuk mendapatkan pelayanan. Oleh karena itu, ia membayarnya.
Misalnya, hubungan antara pasien (principals) dan dokter (agents), yaitu pihak dokter
mempunyai akses pengetahuan medisal yang juah lebih besar yang memungkinkan dia
mengontrol pasien melalui berbagai tindakan pencegahan, kepura-puraan, mistifikasi,
dan praktik-praktik “pemerdayaan” lain. Secara umum, birokrasi dapat dilihat sebagai
superordinat yang berhubungan dengan individu sebagai subordinat yang memenuhi
berbagai kewajibannya.
Sistem pemilihan sebagai bentuk institusi terjadi ketika sejumlah orang (the voters)
melakukan tindakan (memilih) yang berdampak secara kolektif. Berbagai tipe dilema
yang terdapat pada ketiga tipe institusi sebelumnya dapat terjadi pada institusi keempat
ini. Problem PD (prisoner’s dilema) terjadi ketika kandidat menggunakan taktik penipuan
atau kampanye kotor, politik dagang sapi, dan juga ketika pemilih menggunakan
kriteria simplistik dalam menentukan pilihan di antara berbagai isu dan kandidat yang
kesemuanya merefleksikan problem koordinasi. Bentuk institusi ini menjadi fokus
tradisional analisis pilihan rasional dalam ilmu politik dan juga sosiologi politik. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila para sosiolog juga berkontribusi di dalamnya.
Kanazawa, misalnya, mengusulkan sebuah solusi terhadap paradok golongan putih.
Problem ini menjelaskan mengapa orang tidak mau memilih ketika dilihatnya tidak ada
dampak terhadap pilihannya tersebut.
Perspektif teori pilihan rasional pada dasarnya sama dengan teori pertukaran sosial
yang berusaha menjelaskan hubungan-hubungan sosial, baik hubungan yang bersifat
personal maupun hubungan-hubungan yang bersifat impersonal, seperti transaksi-

211
transaksi yang terjadi pasar dan juga kontrak-kontrak formal berjangka panjang.
Beberapa terma kunci yang sering digunakan, antara lain biaya (cost) dan hasil atau
keuntungan (reward). Sebagaimana teori interaksionisme simbolik, analisis teori pilihan
rasional berada pada tataran mikro yang selanjutnya pertukaran pada tingkat mikro
tersebut merupakan fondasi bagi pertukaran pada tingkat meso dan makro. Tanpa
memperhitungkan tingkatan analisis, pertukaran sosial apa pun tipenya merefleksikan
usaha individu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan personalnya melalui pilihan
yang dibuatnya, baik kebutuhan material mapun nonmaterial berupa kebutuhan sosial
dan emosional. Tindakan seseorang secara sadar dilakukan dan berorientasi melalui
pilihan yang dibuatnya untuk memperoleh keuntungan. Fokus teori pilihan rasional
juga sama dengan teori pertukaran, yakni pada keuntungan-keuntungan yang diperoleh
aktor yang melakukan pertukaran. Teori pilihan rasional kontemporer mengelaborasi
ide-ide tersebut dengan tetap menggunakan asumsi individualistik. Hanya saja bedanya,
perspektif teori pilihan rasional kontemporer memperluas dengan menggabungkan
ide bahwa kepentingan personal seorang individu pada dasarnya bercampur dengan
kepentingan-kepentingan sosial melalui partisipasinya dalam jaringan hubungan sosial
dan keterlibatan organisasional. Individu tidak selalu mengejar kepentingan-dirinya
semata-mata, tetapi tidak jarang individu melakukan tindakan untuk kepentingan orang
lain atau bahkan masyarakat luas.
Apa yang membuat teori pilihan rasional berbeda dari yang lain adalah konsepsinya
tentang pilihan sebagai sebuah proses optimisasi yang dibuat secara eksplisit. Karena
posisinya yang demikian, merumuskan asumsi secara eksplisit tampaknya bukan menjadi
masalah yang penting. Meskipun demikian, implikasinya dalam pengembangan struktur
umum model teori pilihan rasional, terdapat di dalamnya beberapa terma teoretis, yakni
(1) setiap aktor berfungsi sebagai pemain dalam sistem; (2) alternatif-alternatif pilihan
tersedia bagi setiap aktor; (3) sejumlah dampak mungkin terjadi di dalam sistem dari
setiap tindakan aktor; (4) preferensi setiap aktor jumlahnya lebih dari dampak yang
mungkin terjadi; (5) ekspektasi aktor berdasarkan parameter sistem.
Model penjelasan teori pilihan rasional mungkin juga bervariasi dalam beberapa
halaman. Teori tersebut diekspresikan secara diskursif atau menggunakan model
matematika, dapat dihubungkan dengan satu jenis permainan tempat seorang
aktor hanya memiliki satu pilihan, atau model prosesual tempat setiap pilihan aktor
memengaruhi kondisi-kondisi ketika masing-masing aktor akan lain dalam membuat
pilihan berikutnya. Seorang aktor dapat mengasumsi dirinya akan memperoleh
keuntungan secara material berdasarkan pilihan instrumental ataupun menggunakan
preferensinya dalam bertindak guna mendapatkan penerimaan sosial (social approval),
altruisme, atau keadilan. Seorang aktor dapat pula mengasumsikan informasi yang
berkaitan dengan tindakan adalah lengkap, mengetahui struktur permainan, termasuk

212
(preferensi orang lain), sempurna (mengetahui strategi yang lain), atau mengasumsikan
informasi tidak lengkap dan merefleksikan risiko lain (mengetahui kemungkinan
yang dapat terjadi dari setiap ketidakpastian), atau ketidakpastian (tidak mengetahui
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi), baik dari aktor individual maupun aktor
perusahaan atau kombinasi keduanya. Meskipun terdapat variasi, teori pilihan rasional
mempunyai kesamaan dalam perbendaharaan konsep-konsep kunci, di antaranya adalah
bahwa teori pilihan rasional berfungsi sebagai interlingua ilmu sosial dan menjamin
bahwa perkembangan teoretis dalam area substantif mempunyai akibat terhadap area
yang lain. Tugas dari struktur umum teori pilihan rasional adalah menganalisis isu-isu
sentral seputar hubungan antar-preferensi. Apabila pereferensi individu konvergen, sistem
diarahkan untuk mencapai optimalisasi melalui mekanisme invisible hand. Dengan
demikian, tindakan rasional seseorang berdampak tindakan kolektifnya juga rasional
(Heckarthorn, 2001: 273).
Salah satu pertanyaan yang mendasar yang dialamatkan kepada teori pilihan rasional
adalah tindakan seperti apa yang disebut sebagai “rasional”. Pertanyaan tersebutlah
yang mendorong para teori mengembangkan teorinya. Tidak mudah untuk menjawab
pertanyaan itu disebabkan karena pada dasarnya tidak ada standar baku yang dapat
digunakan untuk menjustifikasi suatu tindakan apakah termasuk dalam kategori
“rasional” ataukah “irasional”. Upaya-upaya yang dilakukan para ahli untuk menjawab
persoalan itu selama ini adalah dengan membuat klasifikasi atau tipe-tipe tindakan,
seperti yang dilakukan antara lain oleh Weber dan Habermas. Namun demikian, tipologi
itupun belum sepenuhnya memuaskan.

Aplikasi Teori Pilihan Rasional


Dengan menggunakan teori ekonomi mikro, Coleman di awal dekade 1980
mengembangkan teori pertukaran dan tindakan kolektif (beberapa artikel dipublikasikan
di tahun 1986, dengan judul Individual Interest and Collective Action. Karyanya yang
mendapat pengaruh besar adalah Foundations of Social Theory yang dipublikasikan pada
tahun 1990. Dalam bukunya ini, ia menunjukkan bagaimana teori pilihan rasional
dapat digunakan untuk membangun teori sosiologi tahap demi tahap, dimulai dengan
tindakan-tindakan dan relasi-relasi elementer. Ide dasarnya adalah sebuah elaborasi teori
pertukaran klasik: aktor memiliki kepentingan-kepentingan, dan mereka mengontrol
beberapa sumber daya dan kesempatan-kesempatan untuk memenuhi kepentingannya
tersebut. Beberapa sumber daya dan kesempatan mereka butuhkan untuk mengontrol,
baik secara parsial maupun keseluruhan di bawah kontrol yang lain. Untuk memperbaiki
situasi seperti ini, aktor harus mempertukarkan dengan aktor lain baik kontrol dengan
sumber daya dan/atau kontrol dengan kesempatan. Dengan begitu, mereka dapat

213
memperbaiki situasi dengan mempertukarkan kontrol terhadap sesuatu yang memiliki
sedikit kepentingannya dengan kontrol terhadap sesuatu yang memiliki kepentingan
lebih besar. Berdasarkan teori ini, Coleman berada pada posisi struktur tindakan (dengan
fokus pada otoritas, sistem-sistem kepercayaan, perilaku kolektif, dan norma-norma).
Sebagai contoh, dalam analisisnya, otoritas terdiri dari pemberian hak kontrol kelas
tertentu dari tindakan seseorang terhadap orang lain menghasilkan hak untuk mengontrol
tindakanya. Jadi, otoritas adalah sebuah pertukaran ketika hak untuk mengontrol suatu
tindakan diperdagangkan terhadap beberapa layanan (seperti proteksi) atau kompensasi
moneter (dikatakan, di dalam sebuah organisasi). Elaborasi otoritas, sistem kepercayaan,
tindakan kolektif dan norma-norma, pada gilirannya, menyempurnakan alat analisis
untuk menjelaskan “tindakan bersama” dan ciri-ciri utama “masyarakat modern” seperti
mereka menghubungkan dengan penelitian kebijakan (di sini Coleman mengaitkan
dengan argumen-argumen yang dibuat sebelumnya The Asymmetric Society). Dalam
ketiga buku terakhir, Coleman menunjukkan bagaimana argumen-argumen sebelumnya
dapat dibuat bahkan lebih tepat dengan menggunakan matematika (diinspirasikan oleh
analisis keseimbangan dalam ekonomi) (Lindenberg, 2005: 114).
Varian teori pilihan rasional yang paling luas diterapkan adalah teori tentang biaya
transaksi ekonomi (transaction cost economics) yang diinspirasi oleh karya Ronald Coase
dan dielaborasi dan diperkaya oleh Oliver E. Williamson. Dengan mengembangkan
pandangan Commons, Williamson berpendapat bahwa perilaku ekonomi secara
fundamental terdiri dari transaksi-transaksi, yakni pertukaran nilai antar-individu. Untuk
mempertahankan kepentingan masing-masing pihak, individu merancang kontrak yang
dimaksudkan untuk mengatur perilaku. Ketika transaksi-transaksi menjadi semakin
kompleks dan ketidakpastian dampaknya lebih besar, biaya negoisasi dan kontrak kian
meningkat. Individu selain itu juga di(ter)motivasi untuk mengonstruksikan struktur
pengaturan (institusi-institusi regulatif) sebagai contoh proteksi terhadap hak milik,
hierarki organisasional, asosiasi perdagangan, dan rezim politik yang kesemuanya
ditujukan untuk mengurangi biaya transaksi.
Teori pilihan rasional yang mengalami perkembangan pesat selama dekade
1980–1990 dengan meminjam penggunaan model-model yang diterapkan dalam
ekonomi. Perkembangan teori pilihan rasional tidak terbatas pada bidang ekonomi
saja, tetapi juga di bidang-bidang lain kriminologi, sosiologi, ilmu politik, agama, dan
hukum. Menurut Bartollas (2007: 432), teori pilihan rasional yang diterapkan dalam
kriminologi merupakan sebuah perluasan penolakan terhadap doktrin aliran klasik
tentang insentif dan juga penolakan terhadap fokus kalkulasi payoffs dan biaya-biaya
sebelum tindakan kriminal dan menyimpang lainnya dilakukan (Cornish and Clarke,
1986; Akers, 1990). Analisis terhadap perilaku menyimpang cenderung menyimpulkan
bahwa perilaku anti-sosial sering terlihat sebagai tindakan yang rasional dan bertujuan.

214
Orang yang terlibat dalam perilaku penyimpang didorong karena rendahnya biaya atau
risiko dari perilaku tersebut. Rendahnya risiko ini berasal dari filosofi parens patriae, yang
mendasarkan diri pada asas praduga tak bersalah bagi anak-anak. Seiring meningkatnya
umur, pada masa remaja, mereka memiliki tanggung jawab sehingga hal ini berpotensi
menjadi biaya tindak kriminal. Akan tetapi, secara umum, dari semua bentuk perilaku
menyimpang yang serius, dan biaya (cost) dari tindakan-tindakan tersebut relatif
diabaikan pelaku.
Sementara itu, pendekatan pilihan rasional dalam agama pertama kali dilakukan
oleh Stark dan Bainbridge. Ruang lingkup kajian teori pilihan rasional dimodifikasi
dan diperluas. Mereka membangun teori agama secara deduktif yang berasal dari
teori-teori umum tentang hakikat manusia dan perilaku yang dikonstruksi dari sejumlah
kecil aksioma dasar mengenai karakteristik individu dan kelompok kecil fundamental
dan sejumlah preposisi lainnya yang diderivasi dari aksioma tersebut atau yang lain.
Pendekatannya sangat dipengaruhi teori pertukaran yang mendasarkan bahwa interaksi
manusia dipandang sebagai sebuah bentuk pertukaran. Teori umum dan mendasar
kemudian dikembangkan dengan memperhitungkan bentuk-bentuk spesifik agama dan
secara khusus diaplikasikan untuk memahami fenomena muncul dan berkembangnya
sekte-sekte dan cara-cara pemujaan (Hamilton, 2001: 215).
Sejumlah teori saat ini menggunakan paradigma teoretis yang berbeda, yakni
teori pilihan rasional untuk mengonstruksikan sebuah model yang secara eksplisit
menyadari realitas diversifitas agama (Stark dan Bainbridge, 1985; Finke dan Stark,
1992; Warner, 1993; Iannaccone, 1994). Ide dasarnya adalah bahwa jenis pembuatan
keputusan konsumen dianalisis dengan teori ekonomi juga digunakan untuk perilaku
keberagamaan (religius). Pendekatan ini melihat publik sebagai konsumen agama
yang ingin memuaskan dengan memperoleh “produk” terbaik. Organisasi-organisasi
keagamaan layaknya perusahaan bisnis yang berkompetisi dalam pasar agama yang diatur
oleh hukum penawaran dan permintaan. Meskipun “barang dagangan” (merchandise)
agama dianggap sama dengan barang dagangan lain, sesungguhnya terdapat perbedaan.
Keuntungan dan kerugian konsumen harus dipandang sering bersifat supranatural
(seperti janji akan kehidupan sesudah mati) yang tidak dapat dibuktikan secara empirik.
Organisasi keagamaan bebas ditinggalkan seseorang, tetapi juga menciptakan problem
bahwa konsumen sering berada dalam ketidakpastian tentang apakah dirinya secara
nyata akan menerima ganjaran seperti yang dijanapabilan atau tidak. Jadi, kelompok
yang menghendaki komitmen tinggi sering memiliki produk yang paling menarik karena
mereka menciptakan perasaan ketidakpastian yang lebih tinggi di antara konsumen
tempat mereka akan secara aktual menerima apa yang dijanapabilan. Hal penting lain
ditekankan oleh teori ini adalah pluralisme agama yang lebih besar akan meningkatkan
religiusitas yang lebih tinggi di kalangan masyarakat karena hal itu menstimulasi

215
kompetisi di antara kelompok-kelompok agama untuk memperbaiki “produk” dalam
rangka melindungi dan memperluas pangsa pasarnya. Masyarakat dengan kondisi
keagamaan yang homogen, di lain pihak, akan cenderung kurang memiliki vitalitas
keagamaan karena agama yang mapan kurang responsif terhadap keinginan publik
(Coleman, 2007: 299–300).
Ekonom Laurence Iannaccone menawarkan sebuah penjelasan formal yang dielaborasi
dari teori pilihan rasional tentang fenomena munculnya sektarian yang dilihatnya sebagai
sesuatu yang masuk akal apa yang dipandang sebagai beban serampangan. Sosiolog Roger
Finke dan Rodney Star dengan menggunakan data sensus denominasi agama selama 100
tahun berusaha mengembangkan preposisi yang berasal dari teori sekularisasi. Menurutnya,
pluralisme agama di suatu negara telah menurunkan partisipasi keagamaan. Pertengahan
dekade 1990-an, Finke dan Stark, yang merupakan teori pilihan rasional dalam agama,
menjelaskan bahwa mobilisasi agama di AS pertengahan abad 19 merupakan fungsi
kompetisi sekte dalam sebuah “pasar” agama. Sementara itu, Iannaccone mengidentifkasi
pada saat yang sama tumbuhnya kelompok keagamaan konservatif di tengah sikap keras
mereka (Warner, 2005).
Menjadi menarik apa yang ditemukan Finke dan Star, namun bagaimana
penjelasannya dan kaitannya dengan teori pilihan rasional? Pluralisme agama memiliki
makna berupa “pasar” yang apabila dilihat dari sisi supply-nya lebih besar apabila
dibandingkan masyarakat yang relatif homogen ketika hanya ada satu atau beberapa
agama. Dengan demikian, dalam masyarakat pluralis, terdapat pilihan yang lebih
banyak bagi seorang individu untuk memilih agama yang sesuai dengan keinginannya.
Namun demikian, penjelasan ini bisa saja salah. Menurut Coleman (2007: 300),
metafora “pasar” yang sering digunakan sebagai alat analisis sosiologi dalam bidang
agama dapat mengalami kesalahan serius karena secara fundamental agama tidak seperti
komoditas ekonomi. Satu kesalahan yang nyata adalah bahwa mayoritas orang tetap
memeluk agamanya sejak mereka lahir dan tidak berubah ke lain agama meskipun ada
tawaran “pasar” yang lebih menguntungkan atau dengan sedikit biaya. Lebih dari itu,
“produk-produk agama” tidak seperti subjek nyata yang dipertukarkan karena tidak secara
langsung berhubungan dengan nilai moneter. Sebuah gereja tidak dapat menempatkan
produknya di pasar apabila para pelanggan (jemaat) tidak datang. Terakhir, dalam
aspek lain kehidupan manusia, teori pilihan rasional gagal dalam menyadari kekuatan
emosional dalam yang terlibat dalam kehidupan keagamaan yang sering sangat kedap
terhadap isyarat-isyarat alasan.
Dalam bidang kajian sosiologi emosi, teori pilihan rasional juga mempunyai peran
signifikan meskipun penjelasanya belum cukup memuaskan. Menurut Goodwin dan
Jasper (2006: 5), dalam literatur-literatur tentang gerakan sosial telah lama didominasi
oleh model-model pendekatan pilihan rasional dan mobilisasi sumber daya. Meskipun

216
demikian, kedua pendekatan itu tidak dapat secara akurat mengeksplorasi ruang lingkup
emosi yang secara inisial menarik individu untuk terlibat dalam gerakan sosial ataupun
tetap mempertahankan afilisasinya pada gerakan sosial tersebut. Karena gerakan-gerakan
sosial secara khusus berkaitan dengan mobilisasi individu, menjadi sangat mengherankan
bahwa kekuatan motif di belakang mobilisasi tersebut—yang melibatkan sejumlah
emosi—tidak secara penuh dikonseptualisasikan dalam literatur tentang gerakan
sosial. Kelemahan teori pilihan rasional dalam hal ini menurut Smelser (1997: 33)
asumsi-asumsi yang digunakan dengan menggunakan model utilitarian menghasilkan
sejumlah paradoks di antaranya, individu dilihat sebagai tidak mempunyai alasan yang
rasional untuk terlibat dalam gerakan-gerakan sosial. Kelemahan ini berusaha diatasi
dengan mengajukan skema kalkulasi cost-benefit yang lebih kompleks untuk menjelaskan
alasan apa seseorang berafiliasi dan terlibat dalam gerakan-gerakan sosial dan organisasi-
organisasi gerakan sosial.
Perkembangan terakhir, topik tentang kecanduan (addiction) sering diambil oleh
para tokoh teori pilihan rasional yang sebelumnya menaruh perhatian pada perilaku
kebalikannya dalam suatu preposisi bahwa tindakan sosial adalah tindakan rasional.
Beberapa ahli berkolaborasi untuk melakukan studi empirik tentang pola perilaku adiktif
dengan preposisi inti teori pilihan rasional. Beberapa di antaranya menyimpulkan bahwa
kecanduan secara esensial tidak rasional dan sesungguhnya hal itu berakar di dalam
disfungsi neurologi bukan pada mekanisme pembuatan keputusan ekonomi mikro.
Ketika usaha-usaha ini menghasilkan beberapa perbaikan teknis yang menarik dari teori
pilihan rasional, mereka kurang memberikan penjelasan yang cukup memadai mengenai
persoalan mengapa beberapa orang tampak kesulitan membebaskan dari penggunaan
alkohol dan obat-obatan, bahkan ketika pengalaman negatif selalu terulang pada dirinya.
Beberapa karya teoretis terkait yang juga menaruh perhatian pada perilaku kecanduan
ini berasal dari teori atribut.
Teori ini mengalihkan perhatiannya jauh dari persoalan mengapa orang tertentu
kemudian mempunyai pola perilaku kecanduan dan sebaliknya memerhatikan penjelasan
sosial dan psikologik terhadap persoalan mengapa orang kemudian diberi cap (atribut)
sebagai pecandu. Teori atribut sebelumnya menonjolkan kenyataan bahwa karakteristik
objektif dari perilaku sosial dan usaha-usaha untuk menjelaskan bahwa perilaku yang
secara erat berhubungan satu sama lain. Penelitian lain memusatkan perhatian mengapa
aktivitas tertentu menjadi bersifat adiktif bagi orang tertentu. Hasil pandangannya
dapat berasal dari studi tentang bagaimana konsep tentang kecanduan memaksa bagi
orang-orang tertentu dalam konteks sosial tertentu.
Analisis pilihan rasional sering juga dipakai dalam menjelaskan berbagai fenomena
relasi gender di masyarakat. Freidman dan Diem (Chafetz, 2006: 15) meninjau ulang
hasil-hasil penelitian feminis untuk menunjukkan bahwa teori pilihan rasional secara

217
implisit terdapat di dalamnya. Mereka berpendapat bahwa tiga mekanisme sentral pilihan
rasional yang sering digunakan untuk menjelaskan perbedaan pilihan yang dibuat baik
oleh laki-laki maupun perempuan, yakni hambatan institusional, biaya oportunitas, dan
preferensi. Mereka menunjukkan bahwa pilihan berelasi gender yang dibuat orangtua
(seperti pilihan antara menginvestasikan anak laki-laki versus menyekolahkan anak
perempuan), maapabilan (seperti mengupah atau meningkatkan karier laki-laki atau
perempuan dalam berbagai jabatan/pekerjaan), perempuan sebagai individu (misalnya,
apakah akan menjadi ibu rumah tangga penuh atau wanita karier) dapat dipahami
dengan menggunakan konsep-konsep pilihan rasional. Sementara itu, Chafetz and
Hagan (1996) menggunakan versi teori pilihan rasional yang dimodifikasi, yakni dengan
menggunakan konsep “kepuasan” untuk memahami bagaimana perempuan semakin
berusaha menyeimbangkan preferensi bagi pencapaian individual dan komitmen
romantik jangka panjang dan anak-anak. Teori mereka menjelaskan serangkaian
perubahan keluarga dialami oleh semua negara-negara industri (meningkatnya umur
perkawinan pertama, menurunnya fertilitas, serta meningkatnya perceraian dan hidup
bersama suami istri), utamanya sebagai akibat perubahan dalam rasionalitas kalkulasi
pilihan perempuan ketika mereka berhadapan dengan serangkaian peluang baru dan
serangkaian hambatan tradisional.
Beberapa penelitian empirik yang mengaplikasikan teori pilihan rasional dalam
sosiologi termasuk di dalamnya adalah analisis Hechter (1987) tentang solidaritas
kelompok, analisis Brinton (1993) tentang peran gender di Jepang, Kiser dan Schneider
(1994) tentang negara-negara pra modern, Opp (1988) tentang protes politik, Nee
(1996) tentang studi pembangunan di China, Brustein (1996) asal-usul (latar belakang
sosial) partai Nazi, dan Anthony (1994) tentang perdebatan ratifikasi menyusul konvensi
konstitusional AS tahun 1787. Dari studi-studi tersebut, hal yang mengejutkan adalah
bahwa pandangan pilihan rasional sebagai teori yang terobsesi mendapat dukungan
bukti-bukti hasil penelitian tersebut. Bahasa pilihan rasional dapat menjadi basis diskripsi
yang kaya. Mekipun ketika hal itu dilakukan, penggunaan term grounded secara teoretis
juga mendukung keseluruhan teori pilihan rasional yang mempunyai relevansi dengan
sebuah penjelasan. Oleh karena itu, teori dalam analisis pilihan rasional tidak pernah
dapat hilang (surut) ke belakang (Heckarthorn, 2005: 282).
Teori pilihan rasional dalam sosiologi mulai berkembang di dekade 1960-an. Salah
satu tokoh utamanya adalah James Coleman yang mengajukan konsep tentang “kerangka
tindakan bertujuan” (purposive action framework). Coleman menggunakan model penjelasan
tentang tindakan kolektif yang diperluas ke dalam analisisnya tentang norma sosial,
perkawinan, sistem status, dan pendidikan. Dalam karya monumentalnya yang berjudul
Foundations of Social Theory (diterbitkan tahun 1990), Coleman tetap mempertahankan
tema lamanya dan kemudian melontarkan teori pilihan rasional dalam sosiologi, yang

218
memfokuskan penjelasan tentang fenomena sosial makro dengan cara melakukan penelitian
grounded tingkat mikro, yakni tentang pilihan rasional seorang aktor. Menurutnya, teori
pilihan rasional memiliki dua sisi. Pertama, pandangannya tentang tindakan sosial sebagai
tindakan bertujuan. Kedua, komitmen terhadap berbagai bentuk metodologi individualistik
tempat struktur sosial dan institusi dipandang sebagai produk tindakan sosial.
Ruang lingkup teori pilihan rasional yang dikembangkan Coleman dengan demikian
berbeda dengan fokus teori pertukaran sosial Homans yang lebih memfokuskan pada
perilaku sosial dari hubungan personal (face-to face interaction). Teori Coleman juga
berbeda dengan Blau yang tentang menjelaskan bagaimana struktur makro “muncul”
(emergent) dari pertukaran di tingkat mikro. Coleman dalam karya monumentalnya
Foundation of Social Theory (1990), sebaliknya menunjukkan bagaimana struktur tingkat
makro (dan juga meso) termasuk pemerintahan, perusahaan, dan organisasi-organisasi
lain secara intensional mengonstruksikan dirinya dalam mencapai tujuan akan menjadi
lebih baik dilakukan secara kolektif daripada dilakukan secara individual, jauh di luar
transaksi pertukaran khusus. Struktur ini dan pola-pola normatif yang mendukungnya,
plus berbagai strategi yang dikembangkan untuk penguatannya, membentuk lingkungan
sosial yang selanjutnya memengaruhi, dan mengatur cara transaksi pertukaran khusus
yang dikembangkan anggotanya.

D. Krik/Tanggapan
Terdapat empat kritik utama yang dialamatkan teori pilihan rasional. Namun demikian,
menurut Heckathorn (2001: 621) terdapat kesalahan konsep dalam kritik tersebut.
Pertama, pilihan rasional tidak dikawinkan dengan pandangan kuat bahwa aktor
merupakan seorang oportunis yang kejam. Kenyataannya, analisis pilihan rasional
sosiologi lebih memfokuskan pada perilaku altruistik dan non-egoistik lain (Hechter,
Principles of Group Solidarity [1987]; Mansbridge, Beyond Self-Interest [1990]). Kedua,
pilihan rasional tidak dikawinkan dengan posisi politik khusus. Kenyataannya, penganut
pilihan rasional cukup beragam mulai aliran konservatif tentang pasar bebas, seperti
James Buhanan hingga ilmuwan politik moderat, James Coleman dan aliran Marxis,
John Elster, dan John Roemer. Ketiga, pilihan rasional tidak memperhitungkan bahwa
tindakan hanya diarahkan pada konsekuensi-konsekuensinya. Kenyataannya, tekanan
utama teori pilihan rasional diletakan pada analisis mengenai dilema sosial, seperti dalam
dilema tawanan (prisoner’s dilema) ketika tindakan rasional individu dikombinasikan
dengan tujuan menghindari kerugian secara kolektif. Terakhir, pilihan rasional bukan
merupakan barang impor asing. Akan tetapi, kenyataannya seperti yang dipertahankan
oleh Coleman dan lainnya (Swedberg, MaxWeber and the Idea of Economic Sociology,

219
[1998]), teori pilihan rasional sebenarnya merupakan teori yang berakar cukup kuat
dalam sosiologi, khususnya aspek metodologi individualistik Weberian.
Mannheim (1936) melontarkan kritik terhadap teori pilihan rasional, khususnya
dalam hal penjelasan ekonomi untuk perilaku non-ekonomi dengan menyatakan
bahwa tidak ada sesuatu yang lebih salah selain mendeskripsikan sikap seseorang ketika
mereka melakukan pekerjaan seni secara tidak reflektif, atau ketika mereka berperan
berdasarkan pola-pola etik yang tidak diperhitungkan sejak masih kecil, dalam terma
kesadaran memilih antara nilai ekonomi atau utilitas. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa teori ini mengabaikan mekanisme dasar tindakan irasionalitas yang mengarahkan
hubungan manusia dengan dunianya (Zafirovsky, 2007).
Kritik terhadap teori pilihan rasional juga datang dari Pierre Bourdieu yang
mengembangkan teori sosial dengan latar belakang pemikiran strukturalisme Prancis
seperti yang direpresentasikan oleh Ferdinand de Saussure (1957–1913) dan Claude
Levi-Strauss (1908). Bourdieu mengidentifikasi tradisi strukturalis dengan penelitian
kaum objektivis untuk menyusun sistem aturan. Hal itu ditujukan untuk membangun
model yang lengkap dan secara logika konsisten untuk menganalisis fenomena sosial.
Aktor individual dan kolektif tidak hanya sebagai eksekutor struktur sosial. Peneliti
ilmiah berada dalam posisi istimewa untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih
lengkap tentang konteks sosial daripada pelakunya sendiri. Pandangan Bourdieu ini
dengan demikian sangat kontras dengan pandangan tradisi subjektivis seperti yang
direpresentasikan fenomenologi Jean Paul Sartre, teori pilihan rasional, teori permainan,
dan ekonomi neo-klasik. Perspektif-perspektif tersebut, menurut Bourdieu, terlalu
menekankan keputusan-keputusan yang berdasarkan pada kesadaran. Bourdieu melihat
pentingnya memediasi di antara tradisi-tradisi pemikiran tersebut. Ia melihat kelemahan
utama pendekatan objektivis dengan kecenderungannya mengonstruksi apa yang
menjadi objek pengamatannya dan mengabaikan pernyataan-pernyataan paradoksal,
intensi-intensi, dan motif-motif yang ada pada perilaku sehari-hari. Kategori sentral
untuk menyintesiskan tradisi-tradisi ini adalah habitus yang berisi skema persepsi dan
evaluasi yang dapat meningkatkan perilaku praktis (sehari-hari). Habitus diinternalisasikan
dan merupakan bentuk prakondisi-prakondisi bukti-diri (self evident) dari konformitas
dan kontinuitas perilaku manusia. Habitus tidak didukung oleh rencana-rencana dan
keputusan refleksif, tetapi memungkinkan manusia mengetahui secara otomatis apa
yang harus dilakukan itu beralasan dan berguna dalam terma praktikal. Seperti halnya
Weber, Bourdieu berargumentasi bahwa perilaku manusia kebanyakan non-refleksif dan
tradisional. Perilaku yang otomatis ini tidak dapat dihindarkan karena perilaku praktis
telah berlangsung dalam jangka waktu lama (Nollman dan Strasser, 2007: 82).
Sejumlah teori yang menggunakan pendekatan psikologi sosial mengkritik teori
pilihan rasional sebagai sesuatu yang tidak adekuat dalam mengonsepsikan motivasi

220
manusia dan hubungan-hubungan kelompok. Dengan menganggap manusia sebagai
aktor rasional dalam membuat keputusan yang mandiri, kritik dialamatkan bahwa
teori pilihan rasional gagal menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam partisipasi,
derajat keterlibatan, dan komitmen-komitmen yang selalu dibuat selama berinteraksi.
Untuk menanggapi kritik semacam ini, beberapa teori melakukan revisi teori, bergerak
“menjauh dari model keputusan-keputusan individual ke model-model proses-proses
mobilisasi kelompok”. Beberapa teori lain beralih dengan menggunakan konsep-konsep
psikologi sosial untuk menjawab persoalan-persoalan seputar motivasi dan komitmen
individu. Bert Klandermans (1997) meneliti proses-proses yang terjadi pada rekrutmen
individu dalam gerakan-gerakan sosial dan bagaimana mereka mempertahankan atau
kehilangan komitmen, termasuk meningkatnya kerangka tindakan kolektif, transformasi
ketidaksenangan dalam tindakan, dan menurunnya dukungan. Dalam hal ini, ia berusaha
mengombinasikan pendekatan mobilisasi sumber daya dan proses politik dengan
konsep-konsep psikologi sosial di beberapa tingkat analisis. Sesungguhnya, kerangka
tindakan kolektif tidak saja melibatkan tingkat sosial konstruksi berupa menyatunya
kepercayaan-kepercayaan melalui diskursus publik, komunikasi persuasif selama kampanye
mobilisasi, dan meningkatnya kesadaran selama proses tindakan kolektif, tetapi juga pada
tingkat individual berupa kerangka pengorbanan melalui proses informasi kognitif dan
interaksi interpersonal. Mobilisasi partisipasi melibatkan interaksi faktor-faktor struktural
dan psikologi sosial. Gerakan-gerakan sosial memperoleh pendukung potensialnya
melalui jaringan, efektivitas demonstrasi-demonstrasi, dan komunikasi persuasi ketika
individu membuat kalkulasi tentang biaya dan keuntungan serta harapan kesuksesan
gerakan. Rendahnya keterlibatan disebabkan karena tidak memadainya gratifikasi dan
menurunnya komitmen pada sebagian individu, berhubungan, baik dengan faktor
makro seperti perubahan opini publik maupun struktur-struktur tingkat meso yang
menghalangi individu terlibat dalam gerakan (Staggenborg, 2005: 757).
Feminis mengkritik perspektif pilihan rasional karena dua alasan. Pertama,
perempuan secara umum dikesampingkan dalam pertimbangan teoretis. Kedua, apabila
dilibatkan, secara umum gagal dalam membuat prediksi-prediksi (Friedman & Diem,
1993: 92). Dalam kriminologi, beberapa studi yang menggunakan perspektif teori
pilihan rasional selain mengesampingkan perempuan dari analisisnya (Bachman, 1993)
juga memperlakukan gender sebagai variabel kontrol (Paternoster, 1989; Nagin &
Paternoster, 1993; Paternoster & Simpson, 1996), bukannya melihat bagaimana proses
pembuatan keputusan yang digenderkan (kecuali yang dilakukan Tibbetts & Herz,
1996). Bahkan, dalam studi-studi tempat pengaruh-pengaruh gender dihipotesiskan,
mereka melihatnya sebagai sekunder daripada “hipotesis yang lebih penting” (Piliavin,
1986: 110). Pentingnya perbandingan interpersonal dalam hal utilitas pada teori ini,
adalah, situasi yang terjadi “ketika seorang individu berusaha mengakses utilitas lebih

221
dari individu lain yang berasal dari situasi sosial alternatif dan berusaha membandingkan
utilitas-utilitas tersebut dengan utilitas yang perempuan miliki yang berasal dari situasi
sosial alternatif” (Friedman & Diem, 1993: 112), kondisi-kondisi penting khususnya
yang relevan dengan cara perempuan membuat keputusan (England & Kilbourne, 1990),
tidak diperhatikan dalam model ini (Chafetz, 2006: 548).
Kritik yang dilontarkan Buchanan (Zafirovsky, 2004) ditujukan pada asumsi
bahwa manusia selalu bertindak rasional berdasarkan perhitungan untung rugi dengan
memaksimalkan utilitas dan meminimalkan biaya (cost). Menurutnya, perilaku ekonomi
berhubungan dengan struktur atau kekuatan-kekuatan sistemik yang berlaku di masyarakat,
termasuk ekonomi. Namun demikian, secara khusus terdapat alasan sosial-struktural atau
makro-sistemik yang menjelaskan mengapa kekuatan-kekuatan sosial dan non-rasional
menghasilkan perilaku ekonomi. Apabila semua faktor mengikuti “kitab suci” optimalisasi
rasionalitas (maksimisasi utilitas), ekonomi atau masyarakat secara keseluruhan akan
mengalami disintegrasi. Dalam hal ini Buchanan (1991: 212) mengatakan:
“Tatanan sosial akan segera mengalami collaps apabila semua orang, atau bahkan sebagian besar
orang, mulai bertindak berdasarkan model maksimisasi utilitas atau teori pilihan rasional ortodok
dan dibatasi hanya oleh struktur penegakan hukum yang legal.”

Model pilihan rasional mungkin menjelaskan dan memprediksi perilaku tertentu


dengan baik, tetapi model tersebut tidak dapat menjelaskan beberapa perilaku yang
cukup familiar di ranah pelayanan publik (DiIulio, 1994). John DiIulio mengatakan
dalam hal ini (Perry dan Hondeghem, 2008: 57):
“Argumentasi pokok saya…adalah apa yang dicakup oleh pendekatan pilihan rasional untuk
birokrasi adalah kurang menarik atau kurang penting untuk tidak mengatakan salah. Teori
pilihan rasional khususnya model principal-agent membantu menjelaskan mengapa para birokrat
melalaikan, berbuat makar, dan melakukan korupsi (pencurian dari pekerjaannya). Tetapi model
itu tidak banyak berbicara dalam hal bahwa di dalam birokrasi yang ada, siapa yang bekerja
keras dan mentaati peraturan (strive) bahkan melakukan pengorbanan (melakukan sesuatu yang
melebihi kewajiban resminya). Akibatnya, model itu dapat menjelaskan mengapa para birokrat
memaksimalkan budget tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa mereka melakukan perlindungan
terhadap uang rakyat, dapat menjelaskan mengapa para birokrat berjuang untuk mendapatkan
bensin tetapi tidak untuk mengapa mereka bekerjsama secara sukarela dengan pegawai lain,
dapat menjelaskan mengapa para birokrat belajar cara-cara mengelabuhi sistem pengawasan
tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa birokrat lainnya secara rutin mengekspose dirinya untuk
menghilangkan tekanan psikologis….”

Di samping itu, teori pilihan rasional mendapatkan berbagai kritik di antaranya


dari Ajzen dan Fishbein (1969), Green dan Shapiro (1994), Marwell dan Ames (1979,
1980), dan Rabin (1998) yang menyatakan bahwa teori pilihan rasional perlu melakukan
reformasi progresif dan tidak sekadar menjadi pendekatan teoretis eksklusif ilmu sosial
di masa mendatang (Perry dan Hondeghem, 2008: 57).

222
E. Prospek/Perkembangan
Teori pilihan rasional dengan segala kelebihan dan kelemahannya masih cukup prospektif
di masa depan. Melalui berbagai upaya mengatasi berbagai kelemahannya, teori ini
ke depan semakin luas digunakan di berbagai area disiplin ilmu sosial. Modal sosial,
misalnya merupakan salah satu isu yang menarik perhatian para teori ilmu sosial dalam
dua dekade ini. Tidak sulit untuk melihat paralelisme dengan teori modal manusia,
dengan apa yang diteorikan pilihan rasional. Mahalnya pendidikan diperlakukan sebagai
bentuk investasi manpower atau sumber daya manusia (bukan sebagai konsumsi). Pekerja
menjadi kapitalis bukan karena difusi kepemilikan cadangan perusahaan, sebagaimana
cerita rakyat, melainkan disebabkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang
bernilai ekonomi. Teori sumber daya manusia mempunyai pengaruh besar terhadap
formulasi teori pilihan rasional (Coleman, 1990).
Menurut Pescosolido (2006: 217), tradisi teori modal sosial (social capital) cenderung
menggunakan prinsip-prinsip teori pilihan rasional. Teori modal sosial seringkali
membahas soal-soal, seperti cost dan benefit dari adanya ikatan-ikatan sosial, dengan
mempertanyakan mengenai bagaimana dan mengapa aktor secara sengaja mengonstuksikan
atau mempertahankan ikatan-ikatan dalam usahanya memperoleh kesempatan-kesempatan
atau sumber daya. Mereka mendiskusikan hal-hal, seperti “strategi-strategi investasi” atau
“fungibilitas”, “biaya-biaya oportunitas”, atau “sumber daya untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan” (Baker, 1990). Akan tetapi, tidak mempertanyakan kecenderungan
mementingkan diri, atau individu-individu yang antisosial, sebuah perdebatan dalam
sosiologi masih tidak mengakomodasikan sosiabilita inheren.
Teori pilihan rasional mempunyai kontribusi bagi munculnya teori public choice
(pilihan publik) yang menjadi area disiplin baru dalam bidang studi administrasi publik.
Teori public choice ini sebagaimana teori pilihan rasional menggunakan beberapa asumsi
yang sama di antaranya adalah asumsi mengenai kelangkaan (scarsity). Hanya bedanya,
apabila dalam teori pilihan rational scarsity dialami individu, dalam teori public choice
kelangkaan tersebut dialami negara sebagai institusi pembuat kebijakan publik. Beberapa
peneliti, seperti Crawford (1996); Bekker dan Zouridis (1999) dalam Osborne dan
Brown (2005: 55) mengindentifikasi bahwa birokrasi berada di bawah tekanan untuk
mengadopsi perubahan besar dalam kondisi meningkatnya keterbatasan finansial yang
dialokasikan pemerintah pada pelayanan publik. Paradigma ekonomi dan pilihan rasional
menggantikan bentuk birokrasi sebagai suatu cara meningkatkan efisiensi. Ide Weberian
tradisional tentang birokrasi mendasarkan diri pada ketaatan aturan, pembuatan
keputusan konsisten, dan meningkatnya praktik efisien berdasarkan spesialisasi tugas
terbatas dalam kerangka pembagian kerja (Lane, 1998). Meskipun demikian, Cole (1988)
berpendapat bahwa pelayanan publik yang harus merespons meningkatnya tuntutan

223
pelayanan menjadi politis. Hal itu lebih diarahkan oleh “kepentingan diri” daripada
“kepentingan publik”, dan meningkatnya inefisiensi diatasi melalui pengukuhan negara
sebagai monopoli penyuplai sejumlah pelayanan. Hal itu semakin menguatkan bahwa
pasar bebas yang ketat akan menghasilkan ekonomi yang lebih efisien untuk memberikan
pelayanan publik.
Menurut Jamison (2006: 482), teori ini berkembang pesat di benua Amerika. Di
Eropa, studi tentang kebijakan publik dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni
formulasi, implementasi, evaluasi, penilaian, dan substansi (konten). Studi kebijakan
publik tersebut meliputi berbagai sektor masyarakat, seperti kebijakan kesehatan,
kebijakan pendidikan, kebijakan lingkungan hidup, kebijakan inovasi, dan kebijakan
ekonomi. Studi kebijakan publik pada umumnya menggunakan pendekatan instrumental
seperti teori pilihan rasional dan analisis cost-benefit. Studi kebijakan publik di luar
Amerika Utara pada umumnya menggunakan teori-teori dan konsep-konsep yang tidak
secara khusus diorientasikan kearah pembuatan kebijakan.
Berdasarkan asumsi bahwa pelaku (actor) sosial secara konstan mencari lebih
banyak hasil dan pada saat yang sama berusaha mengurangi pengeluaran dan imbalan
negatif, teori pilihan publik mengembangkan analisisnya terhadap sejumlah persoalan
sosial yang muncul dalam kehidupan bernegara seperti meningkatnya kepentingan
(tuntutan) publik, ambisi-ambisi, dan potensi konflik di antara warga masyarakat.
Teori pilihan publik juga menggunakan asumsi-asumsi bahwa manusia dimotivasi
oleh kepentingan dirinya. Individu demikian pula kelompok dan institusi kebanyakan
bertindak berdasarkan tujuan yang diinginkan. Hal ini dapat bersifat formal maupun
informal, tetapi mereka selalu bertujuan memaksimalkan keuntungan personal dan
meminimalkan biaya. Menurut Denhardt dan Denhardt (2007: 21), keterkaitan teori
pilihan publik dengan teori pilihan rasional terletak pada implikasi pada seleksi nilai-nilai,
terutama nilai efisiensi dan produktivitas. Apabila menekankan pada nilai seperti
efisiensi, akan mengeliminasi pemborosan atau menyesuaikan sumber daya yang ada
dengan tujuan (sigma values). Meskipun demikian, kita juga mencatat bahwa pengejaran
terhadap nilai-nilai ini mungkin akan mengorbankan kejujuran, menghindari bias
atau meningkatkan pertanggunggugatan (accountability) (theta values) atau keamanan,
kemandirian, dan kemampuan beradaptasi (lambda values).
Teori pilihan publik berkembang seiring meningkatnya kecenderungan intervensi
negara terhadap pasar dan kebijakan-kebijakan dalam rangka menjamin hak-hak universal,
seperti pendidikan dasar, pendapatan minimal, dan pekerjaan yang adil. Kecenderungan
ini dapat didefinisikan sebagai berkembangnya negara-negara sosial-demokratik. Di
negara-negara seperti ini, sejumlah barang sosial secara politik dijamin peningkatannya.
Barang sosial adalah barang yang paling berharga yang diberikan (diproduksi) masyarakat.
Sementara di negara-negara liberal, kebebasan dan keamanan sipil merupakan barang

224
sosial utama. Di negara-negara sosial-demokratik, proteksi sosial melalui jaminan
kesehatan, pendidikan dasar gratis, mekanisme pendapatan minimum, dan keamanan
sosial merupakan daftar persamaan kesempatan yang menempati posisi sentral sebagai
barang sosial. Struktur sosial mempunyai keterkaitan dengan barang sosial. Kekuasaan dan
kekayaan selalu diperlukan oleh orang kaya. Kebebasan dan aturan hukum dibutuhkan
kelas sosial menengah. Sementara, kesehatan dan pendapatan minimum merupakan
barang sosial yang paling dibutuhkan masyarakat miskin. Pendekatan pilihan rasional yang
dipakai dalam teori pilihan publik pada umumnya ditujukan untuk menjawab problem
“pembonceng gratis” (free rider) terhadap pemanfaatan barang-barang sosial tersebut.
Fenomena pembonceng gratis merupakan hal yang umum terjadi di masyarakat.
Fenomena ini muncul tidak lepas dari lemahnya sistem penegakan hukum merit system di
masyarakat. Jadi, tidak mungkin menjelaskan demokrasi modern tanpa memerhitungkan
adanya beberapa warga negara yang diuntungkan dengan karena dapat memperoleh
pelayanan publik tanpa berkontribusi. Para pembonceng gratis sebagaimana juga pelaku
kriminal dan pelanggar hak-hak adalah makhluk rasional yang mengetahui kelemahan
sistem hukum yang mengorganisasi sosial. Apabila setiap orang melanggar hukum, sistem
hukum akan kehilangan kemampuannya dan kekacauan akan semakin meluas. Hukum
Mancur Olson dan argumentasi pilihan rasional mengasumsikan bahwa pembonceng
gratis adalah normal atau paling tidak merupakan perilaku yang mungkin dilakukan.
Secara paradoksal, asumsi ini mensyaratkan fakta bahwa di antara banyak orang yang
bekerja sama, diperlukan mekanisme untuk mencegah pembonceng gratis dan pencari
keuntungan (rent-seeking).
Salah seorang pengembang teori pilihan publik, Silberman, juga menggunakan
perspektif pilihan rasional. Ia menyatakan bahwa organisasi birokratik adalah cara
untuk mengurangi ketidakpastian dalam proses pembuatan keputusan sehingga akan
semakin banyak kemungkinan perilaku yang dapat diprediksi. Dalam hal ini, terdapat
dua penjelasan saling melengkapi. Reformasi pelayanan publik, proses birokratisasi,
dan rasionalisasi adalah fenomena historis yang berasal dari karakter superior birokrasi
administrasi publik berhadapan (vis-à-vis) dengan administrasi publik patrimonial.
Pendekatan pilihan rasional dalam kebijakan publik dengan demikian merupakan
cara terbaik untuk meningkatkan efisiensi, mengeliminasi nepotisme, dan mengurangi
korupsi. Meskipun demikian, menurutnya, negara-negara liberal yang pada abad 19
menggantikan sistemnya menjadi negara sosial-demokratik pada abad 20, administrasi
publik yang dijalankan belum menjamin kualitas hidup, dan juga pelayanan publik murah
yang dapat dinikmati masyarakat. Birokrasi administrasi publik lahir dalam kerangka
kapitalisme liberal dan bukan pada demokrasi liberal sehingga yang terjadi adalah
pemenuhan kebutuhan masyarakat berjalan lamban, mahal, berorientasi self-centred,

225
dan otoritarian. Administrasi publik masih mengalami “distorsi” atau “disfungsi” dan
inefisiensi (Breser-Preriara, 2004: 149).
Selanjutnya, menurut Silberman (1993:414) dalam Breser-Preriara (2004:159),
konsep “publik” berbeda antara dua model pendekatan. Dalam model prefesional, konsep
“publik” sangat erat berhubungan dengan konsep “sosial”, atau berkaitan dengan institusi
sosial, khususnya pendidikan dilihat sebagai publik. Para birokrat adalah agen publik
yang memerlukan pengetahuan ketika pada saat yang sama kepentingan publik juga
meningkat. Sebaliknya, dalam model organisasional, “publik” diidentifikasikan dengan
institusi politik, khususnya negara. Jelas dari klasifikasi ini bahwa model organisasional
paralel dengan model Weberian Klasik, sementara model profesional lebih fleksibel dan
merupakan varian dari model yang sama. Silberman yang menggunakan model pilihan
rasional melihat bahwa kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dibuat oleh
elit bertujuan mengurangi ketidakpastian. Secara historis ketidakpastian itu cukup besar
terjadi di beberapa negara, seperti Prancis dan Jepang, ketika rasionalisasi birokrasi atau
reformasi pelayanan sipil terjadi setelah terjadi revolusi radikal, yakni Revolusi Prancis
dan Restorasi Meiji.
Teori pilihan rasional selain mempunyai kontribusi terhadap teori pilihan publik
dalam bidang kajian administrasi publik, juga mempunyai peran penting bagi lahirnya
Principal-agent theory. Teori ini dirancang untuk menganalisis hubungan-hubungan
antar aktor yang memiliki perbedaan akses informasional sehingga memengaruhi
struktur hubungan. Pihak yang dikatakan sebagai agent adalah pihak yang memiliki
akses informasional yang dominan sebaliknya pihak yang disebut sebagai principal
adalah pihak yang tidak atau sedikit akses terhadap informasi. Teori pilihan rasional
selain itu juga mempunyai pengaruh kuat bagi tumbuhnya teori permainan yang
menggunakan formulasi matematika guna mendeskripsikan berbagai dilema yang
muncul ketika terjadi relasi antar aktor. Menurut Scott (2005: 410), teori permainan,
mengonseptualisasikan problem pencarian kepentingan pihak-pihak yang berinteraksi
dalam situasi independen sebagai suatu perangkat permainan di antara aktor. Problem
aktor adalah mengonstruksikan matrik distribusi imbalan (payoff) yang dapat mereka
peroleh guna memenuhi kepentinganya dengan biaya minimal. Sebuah studi yang sangat
berpengaruh, Robert Axelrod, menggunakan situasi prisoner dilema (dilema tahanan)
untuk mengevaluasi kondisi-kondisi tempat individu yang mengejar kepentingan-dirinya
pada situasi absennya otoritas sentral akan memikirkan insentif-insentif untuk memaksa
perilaku kooperatif.
Teori pilihan rasional, selain itu juga memengaruhi kelahiran teori jaringan sosial.
Menurut Mizruchi (2005: 537), kebanyakan karya awal dalam teori jaringan sosial
menggunakan teori pilihan rasional, ketika tindakan manusia dipandang sebagai suatu
respons terhadap kepentingan dan bukannya respons terhasap emosi atau sentiment.

226
Alasan untuk ini tidak mengherankan. Kritik struktural dari sosiologi normatif
menekankan kesulitan memercayai norma-norma yang terinternalisasi sebagai sebuah
sumber perilaku. Sosiolog struktural lebih memilih untuk memfokuskan pada ketakutan
sanksi daripada internalisasi norma sebagai alasan pengaturan perilaku. Dalam studi-studi
awal tentang jaringan, asumsi-asumsi pilihan rasional dinyatakan secara implisit. Tokoh
yang menyatakan secara tegas dalah Burt melalui karyanya yang berjudul Toward a
Structural Theory of Action (1984), dan Granovetter pada tahun 1985, yang menulis
artikel “Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness”.
Burt menawarkan sebuah model ketika struktur sosial mempunyai efek, baik langsung
maupun tidak langsung, terhadap tindakan (kepentingan aktor). Dia membedakan tiga
tipe tindakan: atomistik, normatif, dan struktural. Tindakan atomistik adalah bentuk
tindakan seperti yang dinyatakan oleh ekonom neoklasik. Preferensi aktor diasumsikan
berada di luar (exogen) dan pasti, dan tindakan dapat dipahami keseluruhannya sebagai
suatu fungsi preferensi individual tersebut. Tindakan normatif adalah tindakan yang
dimotivasi oleh nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Tindakan struktural adalah
tindakan yang diarahkan oleh kepentingan-kepentingan yang secara endogen terbentuk
berdasarkan posisi aktor dalam struktur sosial. Aktor yang secara struktural ekuivalen,
dalam pandangan Burt, akan memiliki kepentingan yang sama dan oleh karena itu akan
memiliki perilaku yang kurang lebih sama pula. Burt melihat konsep tindakan struktural
sebagai tindakan yang terbaik dibandingkan tindakan normatif dan atomistik: model
normatif fokus pada konteks sosial tempat tindakan tersebut berlangsung dan model
atomistik bersifat kaku (rigor). Sebuah konsepsi tindakan yang diarahkan kepentingan
dalam struktur sosial memaksa adalah solusi Burt terhadap problem yang dilontarkan
pendekatan tradisional. Untuk memperoleh pengaruh analitik, Burt menyandarkan diri
pada konsepsi tindakan dirahkan kepentingan konsisten dengan prinsip teori pilihan
rasional, ketika aktor memperhitungkan biaya dan imbalan dari berbagai tindakan dan
melakukan tindakan berdasarkan perhitungan tersebut.
Berkembangnya teori pilihan rasional telah memicu pemikiran-pemikiran di
kalangan ekonom untuk memerhatikan perilaku-perilaku yang sebelumnya sulit
dijelaskan dengan teori-teori ekonomi konvensional. Sudah jamak dalam ekonomi,
bahwa perilaku mementingkan diri (self-intersted) dipandang sebagai suatu pilihan
rasional seorang individu untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Sebaliknya,
tindakan mengorbankan diri (self-sacrificial) dianggap sebagai suatu yang irasional dan
perilaku yang semacam ini sangat sulit dijelaskan dalam term ekonomi. Perilaku semacam
itu dapat diamati dari seluruh tipe interaksi antar-individu. Beberapa peneliti, meskipun
demikian, menjelaskan motif perilaku mengorbankan diri dari perspektif ekonomi.
Berkaitan dengan hal itu, Frank (1988) sebagaimana dikutip Dobin (2007:
44), berpendapat bahwa komitmen emosional yang terdapat dalam perilaku tak

227
mementingkan diri sendiri (unselfish) menciptakan keuntungan, baik bagi dirinya
maupun bagi masyarakat keseluruhan. Ia meneorikan bahwa perilaku dermawan
(bermurah hati) akan membangun komitmen emosional antar-individu dan juga sebuah
reputasi positif kepada pelaku berbasis pada sebuah jaringan koneksi emosional jangka
panjang di masyarakat. Reputasi positif meningkatkan, baik keuntungan yang tangible
maupun yang intangible bagi kemanusiaan di masyarakat. Perilaku yang menciptakan
sebuah reputasi positif tidak dengan mudah dilakukan dengan berpura-pura ketika
orang cenderung menjadi cukup cerdik untuk akhirnya dapat mendeteksi tipu muslihat
tersebut dan menghukumnya. Dengan demikian, seorang individu termotivasi untuk
melakukan tindakan altruistik secara jujur dalam rangka memperoleh keuntungan bahwa
dirinya akan mendapat reputasi positif dan menghindarkan diri dari hukuman akibat
ketidakjujuran.
Teori pilihan rasional dalam perkembangannya ke depan masih memiliki relevansi
untuk menjelaskan beberapa fenomena yang sebelumnya luput dari perhatian para
teori sosial, khususnya ilmu ekonomi. Hampir semua teori ekonomi yang berkembang
saat ini menggunakan asumsi-asumsi dari pilihan rasional dan preferensi stabil. Dalam
teori ini, setiap individu diasumsikan mengevaluasi biaya dan imbalan dari seluruh
aktivitas potensial dan oleh karena itu bertindak untuk memaksimalkan keuntungan
dari preferensi utamanya. Dalam bidang agama, menurut Iannaccone (2000: 23) hal itu
berarti perilaku dalam memilih agama. Apabila terdapat beberapa pilihan, persoalannya
adalah dalam hal bagaimana orang memilih agama dan seberapa ekstensif keterlibatannya
dalam aktivitas keagamaan. Pilihan optimal ini tidak selalu permanen. Sesungguhnya,
teori ini sangat cocok untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan di dalam derajat atau
konten aktivitas keagamaan, baik antar waktu maupun antar-individu. Berkaitan dengan
asumsi preferensi stabil masih jarang penjelasan-penjelasan yang mendasarkan diri pada
bervariasinya selera, norma-norma, atau kepercayaan-kepercayaan.
Prospek ke depan dan teori pilihan rasional, khususnya dalam sosiologi masih
menghadapi tantangan berat khususnya dalam mengembangkan metodologi yang
komprehensif dalam menjelaskan perilaku rasional individu. Menurut Lindenberg (1992:
1), teori pilihan rasional dalam sosiologi merupakan usaha untuk mengombinasikan
keunggulan teori-teori yang berbasis riset yang terdapat dalam tradisi ekonomi dengan
keunggulan empirik yang terdapat dalam tradisi sosiologi. Untuk mencapai keberhasilan
ini, ketika upaya-upaya sebelumnya gagal, diperlukan metodologi baru. Sementara itu,
untuk menemukan alasan yang tepat, diperlukan penjelasan mengapa upaya-upaya serupa
yang dilakukan pada masa lalu mengalami kegagalan. Dalam hal ini, perlu ditunjukkan
beberapa pengembangan metodologi yang telah dilakukan sebagai berikut: pertama,
disagregasi teori utilitas ke dalam asumsi-asumsi inti tentang hakikat manusia serta
ke dalam variabel yang menjembatani asumsi-asumsi mengenai metode penurunan

228
abstraksi. Kedua, diperlukan pendekatan heuristik untuk mengurangi ketidakpastian
ketika asumsi-asumsi antara yang digunakan dalam metode penurunan abstraksi.
Pendekatan heuristik tersebut meliputi teori fungsi-fungsi sosial produksi, teori framing
serta heuristik dari dua struktur penjelasan. Dengan bantuan alat ini, dapat dibangun
model teori yang jelas pada tahap awal kemudian realitas dapat diadaptasi pada tahap
selanjutnya. Pemahaman yang mendalam dari tradisi ekonomi neo-klasik dan sosiologi
merupakan bagian paling esensial keseluruhan proses pengembangan model tersebut.
ooo0ooo

229
BAB VIII

TEORI KRITIK

A. Sejarah
Teori kritik muncul dari para ahli teori Jerman yang tergabung dalam sebuah lembaga
yang bernama Institut fur Sozialforschung (Institut untuk Riset Sosial). Institut tersebut
didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923 dengan direktur pertamanya adalah Carl
Grundberg. Sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008), teori kritik muncul
sebagai koreksi terhadap teori Marxian. Sekelompok neo-Marxis Jerman merasa tidak
puas terhadap teori Marxian, terutama tentang determinisme ekonomi. Tokoh utama
yang menjadi “primadona” teori kritis tak lain adalah Max Horkheimer, seorang
keturunan Yahudi kelahiran 14 Februari 1895 di Zuffenhausen dekat Stuttgart.
Keprihatinan yang mendalam Horkheimer terhadap berbagai masalah sosial di
negaranya telah dimulai sejak umur 21 tahun. Ketika itu, ia sudah menjabat sebagai
direktur muda perusahaan tenun milik ayahnya. Horkheimer menulis surat kepada
saudara sepupunya Hans. Apa yang ia lukiskan melalui suratnya adalah gambaran
kemiskinan yang mendera, terutama kaum buruh kecil. Kondisi ini baginya merupakan
buah dari bekerjanya sistem ketidakadilan. Sejak muda, Horkheimer memang selalu
monolak tatanan sosial yang tidak benar, dan menyiratkan harapan akan suatu masyarakat
yang bebas dari kenistaan.
Kesenjangan sosial yang sangat mencolok akibat sistem kapitalisme yang
berkembang di Eropa Barat serta kekerasan demi kekerasan yang berlangsung akibat
Perang Dunia I dan II dan berkembangnya gerakan politik antisemitisme di beberapa
negara Eropa pada waktu itu merupakan konteks sosial yang melandasi teori kritik pada
awal kemunculannya. Pada era tahun 1960-an, muncul gerakan-gerakan mahasiswa
radikal yang hal ini juga tidak lepas dari unsur kekerasan yang menyertainya. Teori
kritik meskipun dalam pemikirannya sangat radikal dalam arti ingin menjungkirbalikkan
struktur masyarakat yang dianggapnya telah membawa ketidakadilan, namun senyatanya

231
tidak menghendaki adanya kekerasan. Perjuangan untuk mencapai keadilan tidak harus
dengan kekerasan. Pada tingkat ini, teori kritik berbeda dengan Marx.
Para ahli yang bergabung dalam Institut fur Sozialforschung mempunyai tujuan
untuk mengembangkan Marxisme dengan cara yang produktif. Para teori kritik berupaya
memurnikan teori materialisme historis yang sudah lama bertahan, sembari berusaha
memberikan ruang bagi kemungkinan pemaduan ilmu sosial dengan teori Marxis.
Tujuan yang bersifat metodologis menjadi menonjol dilakukan para teori kritik yakni
penggunaan sistematik semua disiplin riset keilmuan sosial demi mengembangkan sebuah
teori materialis tentang masyarakat (Honneth, 2008)
Untuk mewujudkan tujuan yang sangat luas ini, iklim intelektual dan lokasi geografis
adalah prasyarat utama yang akan menarik para ilmuwan beragam disiplin ilmu dengan
orientasi yang sama. Selain itu, fasilitas-fasilitas kelembagaan juga dibutuhkan untuk
memungkinkan para ilmuwan ini bekerja bersama-sama di bawah satu atap. Di Frankfurt
tahun 1920-an, iklim intelektual seperti itu sudah tersedia. Didukung oleh kaum borjuasi
yang berpikiran terbuka, forum kehidupan budaya, universitas baru, pers yang liberal,
stasiun radio yang gemar melakukan eksperimen dan akhirnya, Das Freie Jüdische Lehrhaus
(Rumah Pengajaran Orang Yahudi yang Berpikiran Bebas) (Honneth, 2008).
Pada dasarnya, institut tersebut lahir untuk menentang pembagian disiplin akademis
yang ketat, seperti halnya ilmu ekonomi, ilmu politik, filsafat, sosiologi, dan sebagainya.
Teori kritik mengklaim bahwa ada problem epistemologis dan metafisis dalam hal
abstraksi dari interkoneksi fenomena dunia atau dari pengalaman manusia tentangnya.
Berdasarkan pandangan ini, filsafat, misalnya, yang memisahkan dari sosiologi dan
ekonomi atau ilmu politik telah mengesampingkan ekonomi atau kultur dari batas-batas
konseptualnya. Filsafat menjadi sangat terbatas dan picik. Teori kritik dengan demikian
menabrak batas-batas disipliner yang ada dan membangun disiplin, teori, dan wacana
baru yang menghindari ketimpangan pembagian akademis tradisional. Sejak semula, teori
kritik menolak menempatkan dirinya dalam domain akademis konvensional atau arbitrer.
Ia dengan demikian mengaburkan batas-batas antara disiplin keilmuan yang ada, dan
menekankan interkoneksi antara filsafat, ekonomi, politik, budaya, dan masyarakat.
Pada awal kelahirannya, teori kritik ini dikembangkan dari berbagai studi sosial
yang berusaha menggabungkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu selain berusaha
menunjukkan perbedaan antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Di
bawah kepemimpinan Horkheimer, yang menjabat direktur Institut fur Sozialforschung
pada tahun 1931, teori kritik mengalami perkembangan pesat. Apa yang menjadi
keprihatinan Horkheimer waktu itu adalah bagaimana mengalihkan filsafat menjadi teori
kritik masyarakat. Filsafat harus bersifat praktis dalam arti membawa perubahan sosial.
Selain itu, ilmu pengetahuan apa pun yang dikembangkan, terutama sosiologi, harus
bergerak ke arah yang sama. Sosiologi tidak sekadar berhenti setelah menganalisis data,
232
tetapi harus bergerak mencari jalan keluar bagi terciptanya masyarakat emansipatoris,
yakni suatu masyarakat yang bebas dari penindasan dan kesengsaraan.
Max Horkheimer ketika menjadi direktur institut tersebut pada tahun 1930 bersama
teori berbakat lainnya, seperti Erich Fromm, Franz Neumann, Herbert Marcuse, dan
Theodor W. Adorno, mulai mengembangan riset-riset sosial interdisipliner. Di bawah
kepemimpinan Horkheimer, institut tersebut mengalami perkembangan pesat dan
diarahkan sebagai instrumen transformasi sosial. Karya-karya yang lahir dalam masa
kepemimpinannya pada umumnya merupakan sintesis antara filsafat dan teori sosial
dengan mengombinasikan sosiologi, psikologi, cultural studies, dan ekonomi politik. Riset
pertamanya merupakan studi tentang kewenangan, yakni suatu penelitian tentang individu
yang tunduk pada kewenangan irasional dalam sistem otoritarian. Kebanyakan anggota
Frankfurt School baik yang Yahudi maupun Marxis radikal terpaksa kemudian keluar
dari Jerman ketika Hitler berkuasa. Kebanyakan mereka bermigrasi ke Amerika Serikat
dan institut yang mereka dirikan kemudian berafiliasi dengan Universitas Columbia dari
tahun 1931 hingga tahun 1949.
Dari tahun 1936 hingga saat ini, institut tersebut diidentikkan dengan karya-karya
yang berupa “teori kritik masyarakat”. Selama beberapa tahun, “teori kritik” dibedakan
dengan upayanya untuk mendirikan teori sosial interdisipliner radikal yang berakar pada
dialektika Marxian-Hegelian, historis materialisme, dan kritik ekonomi politik. Beberapa
teori di dalamnya berpendapat bahwa konsep-konsep Mark tentang komoditas, uang,
nilai, pertukaran, dan fetiisme mencirikan bukan hanya hubungan sosial di bawah sistem
kapitalisme melainkan juga hubungan antar-manusia dan segala aspek kehidupan yang
ditentukan oleh komoditas serta hubungan pertukaran dan nilai-nilai.
Teori kritik adalah teori yang lahir dari ketidaksetaraan dalam suatu sistem, atau
yang disebut sebagai structural inequality yang inherent di dalam suatu masyarakat
khususnya masyarakat Barat di bawah sistem kapitalisme. Teori Kritik secara struktur
dikatakan sebagai teori kritik karena para teorinya mengkritik status quo dan berbagai
bentuk penindasan yang ada di masyarakat. Ada dua aliran utama dari teori kritik,
yaitu aliran positivis dan aliran post-positivisme. Teori-teori yang masuk dalam postivis
adalah marxisme, neo-marxisme, dan neo-gramscianisme. Bahkan, ada beberapa ahli
yang mengategorikan konstruktivisme sosial sebagai salah satu varian teori kritik dalam
aliran positivisme. Sedangkan, aliran post-positivisme adalah teori-teori yang “bergerak”
beyond positivism, yaitu teori-teori yang dapat dikategorikan sebagai supra-critical karena
teori-teori ini tidak bergerak sesuai dengan alur yang ada dan tetap dalam paham
postivisme yang begitu kental dengan nilai-nilai akurasi yang tinggi, anti-relativitas
(universalitas), konsisten dengan pengetahuan yang telah mapan, dan bersifat parsimonial
(Sugiono, 2009).

233
Teori kritik hendak menyediakan perspektif dan alternatif kritis yang dapat
digunakan untuk mengkritisi dan mentransformasikan aspek-aspek opresif masyarakat.
Kellner menyebut teori kritik adalah suatu kritik terhadap batas-batas di antara disiplin
(akademis maupun kemasyarakatan secara umum) dan suatu teori tentang mediasi (atau
interkoneksi) yang menghubungkan dan mengintegrasikan pelbagai mode dan dimensi
realitas sosial ke dalam satu sistem sosial atau “masyarakat”. Berbeda dengan pembagian
disiplin akademis umumnya, teori kritik memetakan relasi antara domain realitas sosial
yang biasanya dipisahkan secara spesifik. Pengotakan realitas sosial ke dalam ruang-ruang
penyelidikan (spheres of inquiry) yang terspesialisasikan, dalam pandangan teori kritik akan
mereproduksi pengkotakan seperti halnya ciri khas masyarakat modern kontemporer.
Istilah teori kritik untuk pertama kali dipopulerkan oleh Max Horkheimer pada
tahun 1937 melalui sebuah esainya yang berjudul Traditional and Critical Theory. Menurut
Horkheimer, teori kritik merupakan teori sosial yang berorientasi perubahan masyarakat
secara keseluruhan dalam arti masyarakat yang adil dan bebas penindasan. Teori kritik
sangat berbeda dengan teori sebelumnya, yang pada umumnya hanya beorientasi pada
pendeskripsian, pemahaman, dan penjelasan terhadap fenomena sosial. Dalam pidato
pengangkatannya sebagai direktur institut, Horkheimer menyebutkan tugas-tugas dari apa
yang disebut sebagai filsafat sosial. Istilah ini menunjuk pada minat terhadap teori mengenai
masyarakat yang dikembangkan dari proses dialektik antara “problem-problem filsafat”
kontemporer dan riset ilmiah empiris.

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING SEPUTAR SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI KRITIK

Tahun Keterangan
Felix Weil mendirikan Institut fur Sozialforschung (Institut untuk Riset Sosial) dengan direktur pertamanya adalah Carl
1923
Grundberg.
Horkheimer memperoleh gelar doktor dengan predikat suma cum laude, mempertahankan disertasinya tentang Kant di
1923
bawah promotor Prof. Hans Cornelius, seorang neokantianisme.
1923 Gyorgy Lukacs memublikasikan History and Class Consciousness.
1926 Mark Horkheimer dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt.
Atas ajakan Pollock, Horkheimer masuk Sekolah Frankfurt yang berhaluan Marxisme.
1931 Hoorkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt menggantikan Carl Grunberg.
Bersama beberapa rekan di Sekolah Frakfurt pindah ke Amerika sekaligus memindahkan pusat Sekolah Frakfurt ke
1933 Universitas Columbia. Kepindahannya ini disebabkan situasi politik di Jerman yang sedang bergejolak. Ketika itu
muncul paham antisemit. Nazi yang berkuasa di Jerman waktu itu mengejar-ngejar warga keturunan Yahudi.
Akibat Perang Dunia II dan ancaman Nazi yang bertubi-tubi memengaruhi pemikiran Horkheimer yang kemudian mulai
1940-an
menjadi pesimis akan terjadinya perubahan sosial seperti yang dicita-citakan sebelumnya.
Mark Horkheimer dan Theodor Adorno menjelaskan mengapa masa pencerahan (enlightment) gagal membawa
1949
kemajuan dituangkan dalam karyanya yang berjudul The Dialectic of Enlightment.
Horkheimer kembali ke Jerman dan hasil-hasil pemikiran Sekolah Frankfurt menjadi inspirasi gerakan mahasiswa
radikal yang tergabung dalam SDS (Sozialistischer Deutscher Studentbund). Hanya saja kemudian terjadi perpecahan
1950
antara anggota sekolah dengan mahasiswa karena Horkheimer dan kawan-kawan tidak menyetujui cara kekerasan
yang dilakukan mahasiswa.

234
Herbert Marcuse mempublikasikan One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advance Industrial Society, yang
1964
mendeskripsikan dampak masyarakat yang “rusak” terhadap manusia.
Horkheimer meninggal dunia pada tanggal 7 Juli 1973. Menjelang masa akhir hidupnya, pemikiran Horkheimer berubah
1973
menjadi religius dan semakin pesimistis terhadap kemungkinan terjadinya perubahan sosial .
Habermas memublikasikan The Theory of Communicative Action. Vol. 1, Sebagai interpretasi kembali dan perluasan
1984 teori sosial Weber dan melalui karyanya ini ia juga mengembangkan ide rasionalitas komunikatif. Volume kedua terbit
pada tahun 1987.

Tabel. Peristiwa-peristiwa Penting Seputar Sejarah Perkembangan Teori Kritik

Sumber: Disarikan dari Sindhunata (1983: 2–6); Ritzer (2005: 900–-904).

B. Filsafat/Teori Sosial yang Memengaruhi


Teori kritik pada dasarnya merupakan sebuah perspektif teori yang sangat eklektik yang
sumber-sumber pemikirannya bisa diketemukan dari berbagai pemikiran yang berbeda
seperti pemikiran Aritoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein dan
pemikiran-pemikiran lain. Berbagai macam pemikiran yang sangat berbeda tersebut
disatukan oleh sebuah orientasi atau semangat teori yang sama, yakni semangat untuk
melakukan emansipasi. Semangat emansipatoris teori kritik muncul dalam dua aspek
yang berbeda: tujuan dan metode. Teori kritik bertujuan untuk menghilangkan berbagai
bentuk dominasi serta mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori kritik
menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus menerus terhadap
tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak
kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan (Sugiono, 2009).
Pengaruh Kant terhadap teori kritik dapat ditelusuri dari filsafat Kantian tentang
rasionalitas, baik dalam tataran teori murni maupun dalam tataran praktis-etis. Dalam
hubungannya dengan alam, manusia menjadi insan rasional dengan cara menerapkan
kategori-kategori pemahaman dan dengan demikian merealisasikan kemungkinan bagi
pengetahuan objektif. Dalam wilayah pengalaman moral, manusia menjadi rasional, dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah rasio praktis secara konsisten dan universal. Meningkatnya
minat para ahli di abad 19 terhadap riset dan refleksi historis yang juga dikembangkan kaum
Neo-Kantian yang menjadikan sejarah sebagai fokus utama refleksi diri yang kritis merupakan
bukti paling nyata pengaruh Kant terhadap teori kritik.
Karya Hegel yang berjudul Phenomenology Of The Mind mempunyai pengaruh
terhadap teori kritik dalam dua hlm. Pertama, istilah kritik yang diambil dari pengujian
imanen atau internal dari berbagai sumber penipuan, ilusi dan distorsi pikiran melalui
perjalanan ke arah pengetahuan absolut. Kedua, kepercayaan bahwa sejarah manusia
mengekspresikan suatu telos immanen, yang membebaskan manusia dan spesies lain
dari sistem yang menghambat pikiran manusia. Merupakan komponen kunci untuk
memahami Hegel adalah dia mengasumsikan bahwa manusia didorong oleh kepentingan

235
bersama yang bernama kebebasan. Warisan lain dari Hegel dan juga Marx terhadap
teori kritik adalah immanent critique yang merupakan metode deskripsi dan evaluasi
yang selanjutnya oleh anggota Frankfurt School dikembangkan menjadi pendekatan
interdisipliner dalam riset sosial.
Tokoh-tokoh yang termasuk dalam Frankfurt School dapat dikategorikan sebagai
Marxis tulen oleh karena komitmennya terhadap gerakan revolusioner dan peningkatan
emansipasi manusia selain komitmennya berupa sikap kritisnya terhadap berbagai sistem
yang menimbulkan ketimpangan dan dehumanisasi. Marx berpendapat bahwa esensi
kapitalisme adalah eksploitasi buruh upahan yang bertentangan dengan representasi
ideologinya atau dengan kenyataan berupa ketimpangan hubungan antar-pihak (buruh
dan maapabilan). Pendapat Marx ini oleh pengikut Frankfurt School diinterpretasikan
bahwa Marx menaruh perhatian terhadap ideologi sebagai suatu indikasi kepercayaannya
tentang kesadaran kritis masyarakat dari ilusi ideologi merupakan elemen kunci politik
praktis yang secara potensial berkontribusi meluaskan agensi manusia (human agency).
Pengaruh terhadap teori kritik juga berasal dari pemikir lain, seperti Georg Lukacs
(1885–1971). Lukacs yang lahir di Budapest (Hongaria) berasal dari keluarga Yahudi,
belajar di Berlin bersama Simmel, Ricket, dan Windelband. Lukacs membantah bahwa
subjektivitas hilang karena produksi komoditas. Menurutnya, rasionalitas memengaruhi
berbagai aspek kehidupan modern. Hal ini jelas berbeda dengan Marx, yang menyatakan
bahwa struktur ekonomilah yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Lukacs,
sebagaimana ditulis oleh Walters (1994), menempatkan argumentasinya dalam hubungan
dengan analisis Marx tentang fetishisme komoditas. Bursa komoditas sudah ada sebelum
kapitalisme, tetapi di bawah kapitalisme. Hal itu menjadi sesuatu yang terstruktur secara
universal. Di sini wujud komoditas meliputi keseluruhan aspek kehidupan masyarakat
sedemikian rupa sehingga hal itu menggambarkan citra masyarakat. Semua hubungan,
semua nilai, dan semua tenaga kerja ditentukan oleh komoditas. Hubungan manusia
diubah dari pola-pola perikatan ke hubungan kontraktual timbal balik ketika jasa yang
spesifik dipertukarkan. Kontrak tersebut diatur oleh negara dan bahkan menjadi alat bukti
yang sah secara hukum. Harga atau nilai tentang setiap objek, termasuk objek artistik
yang mungkin sebelumnya mempunyai makna khusus, ditetapkan dalam bentuk-bentuk
pertukaran (sebagai contoh lukisan Van Gogh yang berjudul Irises, sekarang nilainya tidak
berdasarkan kualitas estetiknya, tetapi dipengaruhi oleh pertukaran dari waktu ke waktu
di antara pemilik modal kaum borjuis). Jadi, nilai pertukaran ditentukan, bukan oleh
minat dan kreativitas manusia, melainkan oleh hukum-hukum dan kekuatan-kekuatan
yang mempunyai karakter “ekonomi” (permintaan dan penawaran, kenaikan dan
penurunan harga, serta pertumbuhan dan kemunduran).
Pada sisi lain, menurut Agger (2005), melalui karyanya yang terkenal, yakni History
and Class Conciousness (1923), Lukacs berusaha menjelaskan mengapa revolusi sosialis

236
seperti yang diramalkan Marx tidak terjadi. Menurut Lukacs, hal itu bukan karena kritik
Marx terhadap kontradiksi modernitas kapitalis salah, namun karena penjaga kapitalisme
telah belajar bagaimana mengatasi berbagai krisis sosial, ekonomi, dan budaya yang pada
pertengahan abad 19 diyakini Marx akan menghancurkan melalui peristiwa semisal
jatuhnya angka keuntungan sehingga menyiapkan jalan bagi kehadiran sosialisme.
Teori kritik adalah anak dari aliran besar filsafat berinspirasi Marx, tetapi yang
paling jauh meninggalkan Marx. Teori ini semula membutuhkan waktu yang lama
sekali sampai berhasil menarik perhatian para kalangan filsafat umum. Walaupun
beberapa tulisan berbobot sudah terbit dalam tahun tiga puluhan, dalam kebanyakan
kamus filsafat, sampai ke tahun enam puluhan, nama-nama para tokoh itu percuma
akan kita cari. Teori kritik baru betul-betul menjadi bahan diskusi di kalangan filsafat
dan sosiologi pada tahun 1961. Pada tahun ini, Deutsche Gesellschaft für Soziologie
mengadakan pertemuan. Saat itu, terjadi konfrontasi antara Adorno dan Karl Popper.
Konfrontasi itu kemudian masih dilanjutkan oleh Hans Albert di pihak Popper dan
Jurgen Habermas di pihak Adorno. Konfrontasi itu masuk ke dalam sejarah filsafat di
Jerman sebagai Der Positivismusstreit in der Deutschen Soziologie (Perdebatan Positivisme
dalam Sosiologi Jerman) yang untuk satu dasawarsa lebih menghidupkan panggung
filsafat di universitas-universitas Jerman. Baru Jurgen Habermas, murid, dan pengganti
Adorno di Frankfurt, berhasil mengintegrasikan tuntutan keras metode-metode analitis
ke dalam pemikiran dialektis teori kritik (Suseno, 1995).

C. Substansi
Teori kritik lahir dalam konteks masyarakat yang sedang mengalami keresahan. Berbagai
fenomena sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, eksploitasi, dan penindasan manusia
atas manusia sangat kental mewarnai masyarakat Eropa Barat dan juga Amerika seiring
dengan berkembangnya kapitalisme. Sementara itu, di Eropa Timur dan Uni Soviet
(Rusia dan beberapa negara pecahannya saat ini) yang pada waktu itu menerapkan sistem
sosialisme, juga ditandai dengan kondisi kemanusiaan yang hampir serupa. Kondisi sosial
seperti ini terefleksikan dalam pemikiran beberapa sosiolog dan pemikir sosial lainnya.
Dennis H. Wrong dalam bukunya Skeptical Sociology (1977) menyatakan bahwa di
bidang sosiologi, gagasan-gagasan Sekolah Frankfurt kurang lebih searus dengan pemikiran
dari sosiolog, seperti Peter Berger, C. Wright Mills, dan Daniel Bell. Menurutnya,
sosiolog-sosiolog tersebut ingin menceburkan diri ke dalam persoalan kehidupan manusia
secara menyeluruh, tidak membatasi diri pada analisis teknis belaka tentang manusia dan
masyarakatnya. Mereka ingin agar sosiologi juga bisa menganjurkan perubahan masyarakat:
keprihatinan mereka adalah kemanusiaan secara lengkap (Sindhunata, 1983).

237
Peter Berger lewat karyanya yang terkenal, The Pyramids of Sacrifice (1974),
menegaskan perlunya hak manusia untuk tidak menderita. Perkembangan dan kemajuan
yang dinikmati saat ini pada dasarnya dibangun di atas korban jutaan manusia yang
menderita baik di bawah sistem kapitalisme maupun sosialisme. Mills dalam karyanya
Sociological Imagination di lain pihak menekankan pentingnya kemampuan sosiolog
dalam merefleksikan apa yang sedang terjadi dan mengungkapkan harapan akan yang
bakal terjadi. Sosiolog harus mempunyai kemampuan imajinasi sosiologis. Sementara itu,
Daniel Bell menyatakan bahwa kapitalisme telah melahirkan kontradiksi, di satu pihak
perkembangan ekonomi melahirkan manusia konservatif yang takut akan perubahan.
Perkembangan ini juga telah mereduksi perkembangan kemanusiaan yang menganggap
pribadi hanya mempunyai nilai instrumental dan fungsional bagi keseluruhan sistem. Di
lain pihak, di bidang kebudayaan, justru makin muncul secara radikal kecenderungan
akan nilai-nilai kemanusiaan (Sindhunata, 1983: 7–9).
Berbeda dengan sosiologi empirik yang selalu terjebak dalam pencanderaan
fakta-fakta sosial, sosiologi kritis berusaha menjalin korelasi antar-gejala dan melihat
fakta sosial dalam konteks totalitas. Sosiologi kritis berusaha membuang segala bentuk
pengetahuan yang bersifat tradisional, terutama sifat bebas nilai (value free). Hal ini
disebabkan paradigma tersebut telah mendorong sosiologi cenderung memanipulasi data,
mendukung status quo, bahkan melestarikan penindasan manusia. Sosiologi kritis di lain
pihak melihat fakta sosial tidaklah bebas nilai. Sosiologi kritis menempatkan orientasi
konteks sosial dalam situasi yang ditentukan; serta mengutamakan aspek emansipatori
dalam pengetahuan politisnya. Masyarakat yang ingin dibangun Horkheimer dan para
teori kritik lain adalah masyarakat yang rasional atau masyarakat yang emansipatoris,
yakni masyarakat tempat manusia di dalamnya bebas dari belenggu yang menghambat
realisasinya sebagai manusia. Atau, dengan kata lain manusia yang ingin dibangun adalah
manusia yang berdaulat atas dirinya.
Dalam mengembangkan teorinya, Horkheimer dan kawan-kawan bertolak dari
teori Marxisme sekaligus mengoreksi teori tersebut. Teori Marxian menjadi sasaran
kritik pertama yang dilancarkan teori kritik. Terdapat beberapa aspek teori Marx
yang dilihatnya sebagai tidak lagi relevan dengan situasi saat itu. Asumsi-asumsi dan
pengandaian Marx tidak lagi sesuai dengan perkembangan kapitalisme di Eropa Barat
kontemporer. Apabila pada awal perkembangan kapitalisme—modal menjadi kekuatan
produktif utama—pada perkembangan selanjutnya teknik dan ilmu pengetahuanlah yang
menggantikannya. Marx mengandaikan kaum buruh bersatu padu, mempunyai class
counciousness, dan menjadi aktor utama revolusi melawan kaum borguise. Hal ini menurut
Horkheimer tidak lagi demikian. Hal ini disebabkan asumsi mengenai bentuk penindasan
itu sendiri berbeda. Apabila Marx melihat bahwa penindasan itu terjadi antara pemilik
modal dengan buruh, Horkheimer melihat seluruh komponen masyarakat terindas oleh

238
totalitas sitem. Kaum buruh tidak dapat menjadi subjek revolusi. Kesadaran kelas tidak
mungkin terbangun di kalangan kaum buruh. Horkheimer tidak menghendaki adanya
revolusi untuk mencapai masyarakat yang diinginkan. Baginya revolusi hanya akan
melahirkan kondisi seperti semula. Berikut ini lebih lengkap disaapabilan perbandingan
kerangka teoretis tersebut.

PERBANDINGAN KERANGKA TEORETIS KARL MARX DAN MAX HORKHEIMER

Aspek Perbandingan Karl Marx Max Horkheimer


Tenaga produktif utama Modal Teknik dan ilmu pengetahuan
Penindasan Manusia Penindasan kaum kapitalis terhadap Penindasan dilakukan terhadap semua oleh sistem
Pada masyarakat kapitalis kaum pekerja produksi yang sangat ditentukan teknologi
Asumsi mengenai posisi kaum
Subjek Tidak lagi menjadi subjek revolusi
proletar dalam revolusi
Mengembalikan keadaan semula yakni
Arti penting revolusi Menciptakan masyarakat yang ideal
masyarakat penuh penindasan
Sasaran kritik Teori ekonomi kapitalis Kebudayaan teknokratis
Tidak lagi menentukan. Tekanannya pada fungsi
Determinisme suprastruktur Menentukan kesadaran manusia
primer kesadaran dalamrangka emansipasi
Visi teori Masyarakat yang tidak ada lagi kelas Masyarakat emansipatoris

Tabel. Perbandingan Kerangka Teoretis Karl Marx dan Max Horkheimer

Sumber: Disarikan dari Suseno (1983: xx).

Tokoh-tokoh teori kritik pada dasarnya dapat dibagai menjadi dua bagian, yakni
tokoh-tokoh yang tergabung dalam “lingkaran dalam” (inner circle) dan tokoh-tokoh
yang tergabung dalam “lingkaran luar” (outer circle). Kelompok pertama menujuk
pada tokoh-tokoh yang pertama-tama mengembangkan teori kritik yakni pada periode
1920–1950. Sementara itu, kelompok kedua menunjuk pada tokoh-tokoh teori kritik
yang mengembangkan teori tersebut belakangan, yakni periode setelah tahun 1950.
Crozier (2005) menggolongkan Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse,
Leo Lowenthal, Erich Fromm, Otto Kirchheimer, Franz Neumann, Fredick Pollock dan
Walter Benjamin sebagai tokoh-tokoh yang termasuk dalam “lingkaran inti”, atau yang
sekarang dikenal sebagai “generasi pertama”. Sementara itu, tokoh-tokoh kontemporer
seperti Jurgen Habermas, Albrecht Wellmer, Oskar Negt, Claus Offe, Alfred Schmidt,
dan Klaus Elder sebagai tokoh-tokoh yang tergolong sebagai “lingkaran luar” atau dikenal
“generasi kedua”.
Meskipun demikian, Crozier (2005), mengingatkan bahwa penggolongan seperti
itu, dari segi tertentu, dapat menyesatkan apabila hanya bersandar pada adanya
reproblematisasi gagasan teori kritik oleh generasi kedua. Selain itu, penerapan label
mazhab pemikiran Frankfurt dapat pula menyesatkan apabila dikenakan pada kedua
generasi tersebut. Pada dasarnya karya-karya teorikus kritik sangat heterogen dan tidak

239
selalu bertemu dalam satu upaya yang interdependen. Kendati demikian, memang
terdapat beberapa tema utama yang bisa disebut sebagai ciri pendekatan generasi pertama,
yang akhirnya tampak tersimpul dalam karya-karya dari tiga tokohnya yang paling
dikenal luas: Horkheimer, Adorno, dan Marcuse.
Beberapa karya penting dari para teoretikus kritik antara lain: (1) dari T.W. Adorno:
On Jazz (1936), On the Fetish-Character in Music (1938), On Popular Music (1941),
Philosophy of Modern Music (1949/1973), The Authoritarian Personality (1950) With
Others Negative Dialectics (1966/1972); (2) dari W. Benjamin: The Work of Art in the
Age of Mechanical Reproduction (1936), The Complete Correspondence 1928—40 (1999),
Illuminations (ed. Arendt, 1968); (3) Adorno & Horkheimer: Dialectic of Enlightenment
(1946 rev.1969); (4) Habermas: Structural Transformation of the Public Sphere (1989)
dan (5) dari Herbert Marcuse: Eros and Civilisation (1955) dan One-Dimensional Man
(1964) (r.witts@ed.ac.uk, diakses tanggal 1 Oktober 2009).
Tokoh Frankfurt School lingkar luar, terdiri dari banyak tokoh teori yang salah satunya
adalah Antonio Gramsci. Akan tetapi, sebagian ahli lain menyebut Gramsci sebagai tokoh
teori cultural studies karena memang perhatian besarnya pada persoalan hegemoni budaya.
Gramsci kembali merujuk ke analisis awal Marx, dengan menunjukkan peran penting
ideologi dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi Gramsci, (Peck dan Bryant, 2007: 51),
kekuasaan negara digunakan untuk memanipulasi pekerja dan komponen masyarakat
lain melalui propaganda ideologi tentang budaya kewarganegaraan yang nampaknya tidak
ofensif dan masyarakat tidak merasakan ketika mereka ditindas. Jadi, pekerja percaya pada
kesempurnaan pasar, komodifikasi objek dan simbol-simbol, jual beli tenaga kerja sebagai
komoditas, aturan hukum kontrak yang tidak menguntungkan buruh, semangat karitas
pribadi (dibandingkan reformasi struktural) untuk mengeliminasi kepuasan, kurikulum
sekolah, definisi negara tentang “warga negara yang baik” dan berbagai kepercayaan yang
taken for granted lainnya yang menekan rakyat. Jadi, kontrol negara terhadap rakyatnya
tidak hanya sekadar melalui “kerangkeng besi” tetapi juga melalui represi dan dominasi
legal rasional sebagai simbol dunia “lunak” yang menekan yang diterima sebagai sesuatu
yang “natural dan wajar”. Hal ini lebih kompleks daripada apa yang dirumuskan Marx
sebagai “kesadaran palsu” (false consciousness). Konsep Gramsci tentang hegemoni sangat
dipengaruhi oleh Marx, dirumuskan untuk menganalisis kelas pekerja Italia yang ditekan
oleh fasisme. Konsep tersebut digunakan Gramsci sebagai kritik terhadap analisis historis
pekerja terutama ide-ide Marx tentang negara.
Sementara itu di Prancis, Louis Althusser mengadopsi metafora kaum strukturalis,
yaitu melihat individu sebagai orang yang terjebak dalam suatu tatanan struktural yang
“lebih dalam” yang didominasi oleh negara, hubungan-hubungan ekonomi kapitalis,
dan ideologi-ideologi kapitalis. Oleh karena orang melihat tatanan tersebut sebagai
sesuatu yang seharusnya ada, mereka menerimanya dan tidak ada kemampuan untuk

240
melarikan diri dari struktur tersebut. Karena kegagalannya melihat negara dan ideologi
sebagai alat kekuasaan dan kerena melihat dirinya sebagai subordinat dari struktur-dalam
seluruh aspek kehidupan, individu menjadi percaya bahwa resistensi terhadap struktur
yang opresif tersebut adalah sia-sia.
Sebuah teori sosial tentang masyarakat harus bisa memanfaatkan seluruh spektrum
disiplin ilmu sosial agar mampu meneliti dengan tepat konflik yang sesungguhnya dari
kekuatan-kekuatan dan relasi produksi. Masalah-masalah empiris, yang dijadikan fokus
kerja sama di antara disiplin-disiplin ilmu khusus, digarap dengan mengaplikasikan filsafat
sejarah kaum materialis bagi situasi kontemporer. Apabila kaum materialis menyatakan
bahwa proses historis bergerak maju dengan suatu cara potensi rasio yang mewujud
dalam kekuatan-kekuatan produksi adalah waktu yang dibebaskan dan konflik-konflik
sosial maka pertanyaan yang diajukan adalah mekanisme-mekanisme apa yang dapat
mencegah terjadinya konflik tersebut. Proses meningkatnya kesatuan kelas pekerja di
dalam sistem masyarakat kapitalis maju sebagai kecenderungan perkembangan yang
paling mengejutkan pada masanya. Inti teori kritik adalah teori yang sekaligus juga
praktis. Ideologi yang diusung adalah emansipatoris dalam arti masyarakat yang ingin
dibangun adalah masyarakat yang di dalamnya terdapat manusia yang bebas, berdaulat,
serta bebas dari penindasan.
Konten utama teori kritik pada dasarnya adalah kritik terhadap berbagai hlm. Ritzer
dan Goodman (2008), menyebutkan paling tidak terdapat lima kritik utama, yakni: (1)
kritik terhadap teori Marx; (2) kritik terhadap positivime; (3) kritik terhadap sosiologi;
(4) kritik terhadap masyarakat modern; (5) kritik terhadap kultur. Berikut ini secara
ringkas dijabarkan mengenai substansi kritik yang dilontarkan oleh tokoh teori kritik.

1. Kritik terhadap Teori Marx


Kritik teori Marx terutama ditujukan pada determinisme ekonomi yang mekanistis.
Menurut teori kritik, kekeliruan teori Marx adalah pengabaiannya terhadap aspek sosial
yang lain. Sebagai koreksi terhadap hal ini, teori kritik memusatkan perhatiannya pada
aspek kultural. Dalam kaitan ini misalnya, teori kritik menolak asumsi teori Marxian
yang menyatakan bahwa negara sebagai bentuk alamiah masyarakat politik. Keberadaan
negara dengan demikian merupakan sebuah realitas yang universal dan alamiah. Dengan
kata lain, negara merupakan cara mengorganisasi kehidupan politik yang normal atau
dalam terminologi Marx, ‘fetishism’ of the state.
Para teoretikus kritik berusaha menunjukkan bahwa pemahaman mengenai negara
seperti itu menimbulkan masalah-masalah etis yang sangat menghambat pencapaian
kebebasan, keadilan, dan kesederajatan. Organisasi kehidupan politik dalam bentuk
negara modern menghasilkan dua kategori manusia: manusia dan warga negara. Dalam
bukunya Men and Citizens in the Theory of International Relations (1990), secara sistematis
241
menunjukkan bagaimana status kewarganegaraan menimbulkan implikasi etis yang sangat
besar bagi seorang individu dibandingkan dengan statusnya sebagai manusia. Warga negara
adalah anggota dari sebuah negara tertentu dan, sebagai konsekuensi keanggotaannya,
menikmati hak-hak istimewa tertentu yang tidak dimiliki oleh individu yang bukan warga
negara. Dengan kata lain, kategori sebagai warga negara memiliki nilai yang lebih besar
daripada kategori sebagai bagian dari umat manusia (Sugiono, 2009).
Teori kritik juga mengkritik teori Marx tentang perkembangan sejarah peradaban
manusia. Menurut Pollock dan Horkheimer, peradaban manusia tidak “berakhir” pada
bentuk komunisme negara tetapi pada bentuk “kapitalisme negara” (state capitalism)
sebagai bentuk perkembangan terakhir kapitalisme. Kapitalisme negara memiliki perbedaan
dengan kapitalisme liberal atau privat capitalism. Kapitalisme negara mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut (Walters, 1994).
a) Negara mengganti pasar dalam hal koordinasi produksi dan distribusi komoditas
dengan rencana terpusat yang mempunyai tujuan ekonomi dan berlangsung dalam
jangka waktu yang lama.
b) Harga diatur oleh negara dalam hubungannya dengan rencana terpusat.
c) Keinginan untuk memperoleh keuntungan sebagai motivator ekonomi hilang.
Negara menentukan siapa yang dapat dan siapa yang tidak dapat keuntungan.
d) Proses produksi dikendalikan dengan prinsip-prinsip manajemen ilmiah. Dengan
demikian, buruh/pekerja tidak terilibat dalam pembuatan keputusan melainkan
hanya sebagai pelaksana keputusan dalam suatu cara yang paling efisien.
e) Perencanaan dijalankan dengan komando dan paksaan negara.
f) Negara menjadi instrumen dalam menyatukan elit politik manajer senior, kelas atas
birokrasi pemerintah, militer, pemimpin partai, dan aparatur negara.
Pollock, yang diberi tugas untuk menganalisis kapitalisme negara, menerangkan
bahwa kapitalisme negara mengatasi konsep kapitalisme monopolis yang baru saja terjadi.
Menurut Pollock, organisasi-organisasi monopolis masih suka mengacau kestabilan
pasar. Organisasi-organisasi itu dulu bertindak sebagai kelompok bebas yang berusaha
memburu keuntungan maksimum dengan berusaha sedapat mungkin menyumbat
kemungkinan produksi-produksi dari kelompok lain untuk tumbuh. Kini mereka secara
serempak bertindak sebagai agen-agen negara dalam peranannya di pasaran. Semua
organisasi monopolis merasa mempunyai tanggung jawab kolektif untuk mengatur
seluruh proses ekonomi negara dan dengan demikian mempertahankan struktur
sosial yang sedang berjalan. Pemegang monopoli dengan demikian bertindak sebagai
teknokrat dan birokrat dari negara di zaman kapitalisme negara ini (Sindhunata, 1983).
Kemampuan kapitalisme menciptakan kestabilan pasar didorong oleh organisasi kelas
pekerja (Horkheimer, 1978).

242
2. Kritik terhadap Positivisme
Teori kritik juga mengarahkan kritiknya terhadap positivisme yang sangat
berpengaruh terhadap ilmu-ilmu sosial. Teori kritik berpandangan bahwa ilmu sosial
positif yang berkembang di berbagai belahan dunia hanya menekankan pada penjelasan
pengetahuan dasar-dasar metodologi dan epistemologinya. Ilmu-ilmu sosial kontemporer,
dengan demikian tidak lebih dari dominasi metodologi dan epistemologi. Ilmu-ilmu
sosial hanya berkutat pada penjelasan dan pembuktian teoretis. Akan tetapi, di lain pihak
telah melupakan dimensi aksiologi ilmu itu sendiri, yakni untuk membebaskan manusia
dari berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Keyakinan dasar dari paradigma
positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas
berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law).
Penelitian berupaya mengungkap kebenaran relitas yang ada, dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme juga dikritik karena asumsinya yang keliru dalam hal hakikat manusia
dan masyarakat. Ilmu-ilmu sosial yang dipengaruhi positivisme beranggapan bahwa
masyarakat merupakan fenomena objektif yang bersifat ahistoris. Sebagaimana dalam
tradisi ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial positivistik melihat bahwa hakikat manusia tak
ubahnya seperti data mati yang tidak bergerak. Konsekuensi metodologisnya, dalam
melakukan penelitian, peneliti cenderung memisahkan diri objek kajiannya sendiri.
Manusia sebagai objek penelitian dianggap tidak mempunyai perasaan, motivasi,
kehendak, dan berbagai karakteristik kemanusiaan lainnya. Peneliti sosial sama sekali
tidak memihak atau memikirkan nasib masyarakat yang sedang ditelitinya. Menurut
Habermas (1971), positivisisme telah mengabaikan aktor karena menurunkan aktor ke
derajat yang pasif yang ditentukan oleh kekuatan alamiah.
Sebagai konsekuensi dari asumsi tersebut, secara epistemologis dan aksiologis ilmu
sosial positivistik menempatkan subjek secara terpisah dari objek, atau tepatnya peneliti
dengan yang diteliti. Manusia diteliti layaknya sebuah objek (benda mati) yang terpisah
dari peneliti. Manusia dalam pandangan ilmu positivistik merupakan manusia yang
tidak mempunyai subjektivitas. Pada tataran aksiologis, peneliti hanya mempunyai
kepentingan terhadap “data” yang diperoleh dari objek yang diteliti. Ilmuwan positivistik
tidak memedulikan kondisi masyarakat yang diteliti serta kegunaan hasil penelitian
itu sendiri. Pada sisi lain, ilmu sosial kritis menempatkan manusia sebagai subjek yang
mempunyai kekuatan membentuk sejarahnya sendiri. Setiap individu mempunyai
subjektivitas. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan penelitian harus dapat
memahami subjektivitas dan intersubjektivitas dari objek yang ditelitinya. Oleh karena
lebih emansipatif, ilmu sosial kritis mempunyai karakter yang berbeda dengan ilmu
sosial positif yang lebih dekat dengan kelompok dominan yang menindas. Ilmuwan

243
sosial kritis mempunyai kewajiban moral untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang
ditelitinya. Dalam hal ini, ilmu sosial kritis mengenal apa yang disebut sebagai praktik
di mana aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori. Riset kritis justru paling
besar kepentingannya terhadap usaha-usaha membangun hubungan antarsubjek guna
menyingkap realitas sosial dalam arti yang sebenarnya, bukan semu.
Paham positivisme membagi secara tegas pengetahuan dan sumbernya. Suatu
pengetahuan dikatakan ilmiah apabila dapat diukur dan terverifikasi. Setiap pernyataan
dari pengetahuan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan kepada fakta dikatakan
tidak mempunyai arti dan tidak masuk akal. Dengan kata lain, pengetahuan ini tidak
bermakna. Pendekatan mekanistik dari positivisme telah mereduksi sedemikian rupa
objek ontologis dari manusia (termasuk ilmu pengetahuan) dalam tataran kuantifikasi
matematis (Lubis, 2009).

3. Kritik terhadap Sosiologi


Teori kritik secara khusus menyerang disiplin ilmu sosiologi sebagai ilmu yang
terjebak dalam perspektif bahwa pengembangan metode ilmiah sebagai tujuan. Selain itu,
sosiologi juga dituduh menerima status quo. Teori kritik berpandangan bahwa sosiologi
tidak serius mengkritik masyarakat, tidak berusaha merombak struktur sosial masa kini.
Menurut aliran kritik, sosiologi telah melepaskan kewajibannya untuk membantu rakyat
yang ditindas oleh masyarakat masa kini (Ritzer dan Goodman, 2008).
Sosiologi sejak kelahirannya pada kenyataannya sangat dipengaruhi oleh aliran
positivisme yang merupakan paham yang dikembangkan oleh para the founding fathers.
Aliran ini telah menemui jalan buntu bagi pengembangan ilmu maupun kemanusiaan.
Hal ini disebabkan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan hanya sebatas menguji
teori-teori yang sudah ada berdasarkan fakta empirik yang ditemukan di lapangan.
Analisis yang dilakukan–kebanyakan menggunakan pendekatan kuantitatf–menjadi
“kering” karena telah mereduksi sedemikian rupa unsur-unsur subjektivitas manusia.
Sosiologi positivistik melihat masyarakat sebagai fenomena objektif yang dapat
dideskripsikan sebagai seperangkat kekuatan yang tidak mengenal sejarah (ahistoris). Pada
masyarakat kapitalis, sosiologi positivistik dikembangkan dengan cara mengasingkan
individu-individu dalam proses penciptaan sejarah dan karena itu sosiologi gagal sama
sekali dalam menganalisis masyarakat sebagai sebuah bangunan kemanusiaan.
Sosiologi positivisitik membangun pengetahuan melalui observasi-observasi empiris
yang dapat diuji secara ketat. Apa yang disebut data dalam hal ini adalah deskripsi
tentang perilaku-perilaku sosial, dan nilai individual. Data disebut objektif kalau dapat
diuji dengan model-model teori yang sudah ada. Konsep-konsep utama yang lalu
dikembangkan di antaranya adalah konsep bebas nilai. Objektivitas dan bebas nilai bagi
sosiologi positivistik tidak lain adalah keinginan untuk membedakan fakta dengan nilai,
244
dan antara teori dan praktik. Positivisme dalam sosiologi yang ”diturunkan” dari natural
science, larut dalam pandangan bahwa ilmu dikatakan positif apabila mampu meramalkan
dan mengontrol alam. Namun, ketika hal itu diterapkan pada manusia akan cenderung
mengabaikan hubungan-hubungan kemanusiaan, mengedepankan rasional intrumental
daripada moral, dan bahkan mendukung penindasan atas manusia.

4. Kritik terhadap Masyarakat Modern


Mendasarkan diri pada analisis Marx tentang dominasi, teori kritik meletakkan orientasi
teorinya pada masalah kultural. Menurutnya, masyarakat modern lebih didominasi oleh
elemen kultural dibandingkan dengan ekonomi sebagaimana yang dikatakan Marx. Masalah
yang berkaitan dengan kultur merupakan realitas masyarakat kapitalis modern. Teori kritik
yakin bahwa penindasan yang terjadi pada masyarakat modern adalah penindasan kultural
atas individu dalam masyarakat (Ritzer dan Goodman, 2008). Teori kritik melihat bahwa
masyarakat modern merupakan masyarakat yang irasional. Dalam masyarakat seperti ini,
produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan
kebutuhan manusia yang diciptakan dimanipulasikan demi produksi. Teori kritik berusaha
membuka tabir irasional ini dan berharap apabila berhasil akan dapat membebaskan manusia
pada kemanusiaan sebenarnya (Sindhunata, 1983).
Sementara itu, teori budaya yang digagas Horkheimer merupakan titik tolak
kritik terhadap fungsionalisme Marxisme yang selama ini tertutup bagi analisis tentang
masyarakat kontemporer. Dalam teori tersebut, subjek-subjek yang tersosialisasikan
bukannya pasif menerima proses pengendalian anonim, melainkan aktif berpartisipasi
dengan upaya interpretatif mereka sendiri di dalam proses kompleks integrasi sosial
(Honneth, 2008).
Selain itu, dalam upayanya melakukan kritik terhadap masyarakat modern, teori
kritik dipengaruhi oleh analisis Weber, terutama tentang rasionalitas. Menurut teori
kritik, suatu tindakan yang dalam terminologi Weberian disebut sebagai rasional formal
merupakan suatu tindakan yang dipengaruhi cara berpikir teknokratis. Tindakan tersebut
bertujuan membantu kekuatan yang mendominasi, bukan untuk membebaskan individu
dari dominasi. Tujuan tindakan rasional formal adalah semata-mata untuk menemukan
cara paling efisien dalam mencapai tujuan apa pun yang dianggap penting oleh pemegang
kekuasaan. Cara berpikir teknokratis sangat berbeda dengan cara berpikir nalar (reason).
Cara berpikir nalar, di sisi lain, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai
tertinggi, seperti keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan. Dalam konteks ini, teori kritik
memandang Nazisme pada umumnya dan kamp konsentrasi Nazi pada khususnya
merupakan contoh yang jelas di mana rasionalitas formal bertempur mati-matian dengan
nalar sehat (Ritzer dan Goodman, 2008).

245
5. Kritik terhadap kultur
Teori kritik melontarkan kritik terhadap apa yang mereka sebut sebagai “industri
kultur”, yakni struktur yang dirasionalisasi dan dibirokrasi (misalnya, jaringan televisi)
yang mengendalikan kultur modern. Industri kultur menghasilkan “kultur massa” yang
didefinisikan “sebagai kultur yang diatur... tidak spontan, dimaterialkan, dan palsu”
(Ritzer dan Goodman, 2008). Kritik semacam ini sepertinya mendapatkan momentum
yang sangat tepat dengan realitas kekinian. Fenomena global saat ini memang ditandai
dengan industri kultur yang bersifat masif. Kondisi ini sangat dimungkinkan karena
strategi pencitraan yang sangat efektif melalui media massa, terutama televisi. Gaya
hidup para elit penuh glamor yang dipopulerkan oleh artis-artis idola masyarakat
sontak menjadi gaya hidup masyarakat kebanyakan. Kapitalisme menyediakan berbagai
komoditas termasuk komoditas mewah yang secara ekonomis berdampak inefisiensi
sumber daya.
Wujud yang paling nyata dari konsekuensi budaya massa tersebut adalah tumbuhnya
budaya konsumerisme di kalangan masyarakat. Budaya ini telah meruntuhkan akal
sehat. Orang tidak lagi dapat membedakan antara keinginan (want) dengan kebutuhan
(need). Orang tidak lagi dapat membuat skala prioritas untuk menentukan berdasarkan
kebutuhan yang paling mendesak. Kecenderungan ini tidak saja melanda lapisan
masyarakat menengah ke atas, tetapi juga di kalangan masyarakat bawah. Sebagai
ilustrasi, seorang pembantu rumah tangga rela menghabiskan sebagian besar upah yang
diterimanya untuk pergi ke salon atau membeli peralatan konsmetik mahal, hanya
karena ingin tampil cantik, tidak ketinggalan zaman, dan sebagainya. Konsumerisme
telah menjadi “ideologi” palsu yang membius dan menghalusinasi masyarakat. Iklan
yang bertubi-tubi di berbagai media massa yang merepresentasikan gaya hidup mewah
menjadi impuls-impuls yang mengganggu rasionalitas masyarakat. Perspektif kritis
mengenai konsumerisme ini berangkat dari titik pijak observasi bahwa orang-orang
seringkali menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya
tidak menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan sejati. Pandangan ini biasanya dipertegas
dengan kenyataan bahwa kita, sebagai masyarakat, menginvestasikan sejumlah besar
modal untuk hal yang kurang berguna.
Sementara itu dari sisi perusahaan kapitalis, iklan menjadi senjata ampuh dan bahkan
dianggap “dewa” yang menentukan hidup-matinya perusahaan. Melalui iklan, pencitraan
produk (komoditas) dan juga pencitraan perusahaannya sendiri dibentuk. Berkaitan
dengan itu, investasi yang dibenamkan untuk iklan dapat mengalahkan segalanya,
termasuk upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program CSR
misalnya, atau bahkan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya sendiri. Dalam
beberapa kasus, kita juga melihat bahwa program-program yang sepertinya kelihatan

246
“altruis” seperti CSR ternyata ada “pamrih” lain karena program tersebut dipublikasikan
sebagai upaya pencitraan baru yang dapat “menutupi” citra buruk yang sebenarnya ada
pada perusahaan tersebut.
Teori kritik menggunakan metode deskripsi dan evaluasi yang berasal dari Karl
Marx dan Hegel. Metode ‘‘Immanent critique,’’ merupakan metode interdisipliner
dalam melakukan penelitian sosial yang dibangun oleh para anggota Sekolah Frankfurt.
Sebagai penganut Marxisme, para anggota Sekolah Frankfurt mempunyai komitmen
membangun emansipasi kemanusiaan secara revolusioner. Metode ini tidak sekadar
melakukan kritik terhadap berbagai tatanan sosial dengan menggunakan nilai-nilai
etika dari “luar” tetapi juga melakukan evaluasi terhadap institusi-institusi sosial dengan
menggunakan nilai-nilai internal (immanent) dari institusi tersebut, serta klaim-klaim
ideologis yang menyertainya.
Poin dari “imamanent critique” adalah bagaimana melihat secara empirik apakah
realitas sosial menegasikan klaim-klaim yang ada di dalamnya. Teori Sekolah Frankfurt
menemukan contoh paradigma “immanent critique” dalam karya-karya Karl Marx mulai
dari tulisan awalnya tentang alienasi hingga karya akhir tentang analisis kapitalisme
industrial. Herbert Marcuse menggunakan analisis dua tingkat dalam menganalisis Das
Capital karya Marx. Pertama, Das Capital dilihat sebagai analisis historis institusi sosial
yang mengalami evolusi progresif, sebagai akibat dari konflik antara “kekuatan-kekuatan”
(seperti misalnya teknologi) dan “hubungan-hubungan” (seperti misalnya konflik kelas)
dalam sistem produksi ekonomi. Para teoretikus, khususnya teoretikus sepeninggal
Marx, yang menganalisis karya Marx, melihat esensi pandangan Marx sebagai dogma
yang cenderung mengabaikan peran human agency serta menekankan determinisme
ekonomi dalam sejarah sosial. Kedua, para teoretikus Sekolah Frankfurt, terutama
Marcuse, di lain pihak melihat Das Capital karya Marx sebagai kritik “negative” atau
“immanent” dari bentuk ideologi penting, ekonomi borjuis psudo ilmiah (Borgatta and
Montgomerry, 2000).
Teori kritik menghasilkan analisis teoretis tentang transformasi kapitalisme
kompetitif ke kapitalisme monopoli dan fasisme, serta berharap menjadi bagian dari
proses historis melalui kapitalisme yang akan digantikan sosialisme. Horkheimer
mengakui bahwa kategori-kategori yang muncul dalam teori tradisional memengaruhi
kritiknya. Kategori-kategori Marx seperti kelas, eksploitasi, nilai lebih, keuntungan,
pemiskinan, dan sebagainya harus dimaknai bukan sebagai reproduksi masyarakat saat
ini, melainkan dilihat nilai transformasinya menuju masyarakat yang benar. Teori kritik
dengan demikian dimotivasi oleh kepentingan emansipasi dan merupakan filsafat sosial
praktis yang diarahkan kepada “perjuangan mencapai masa depan”. Teori kritik harus
selalu loyal terhadap “ide tentang masyarakat masa depan sebagai masyarakat yang
terdapat di dalamnya manusia bebas” (Turner, 2006).

247
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa teori kritik menawarkan sesuatu yang
baru yang berbeda dengan teori-teori sebelumnya, atau yang sering disebut sebagai teori
tradisional. Alternatif pertama yang ditawarkan adalah teori yang tidak sekadar teori,
tetapi teori yang juga mempunyai makna sebagai ideologi praktis. Apabila teori-teori
tradisional berhenti setelah melakukan analisis fakta yang menjadi objek penelitiannya,
teori kritik tidak sekadar itu. Teori harus mempunyai makna praktis, yakni sebagai sarana
untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Alternatif kedua, dalam
melakukan analisis terhadap institusi sosial, teori kritik menggunakan alat analisis atau
metode yang disebut sebagai “immanent critique”. Metode ini paling tidak mempunyai
dua perbedaan mendasar dengan metode yang sering digunakan oleh para teoretikus
tradisional. Pertama, sifat interdisiplinernya. Kedua, perhatiannya pada dimensi-dimensi
kontradiktif yang ada pada setiap realitas sosial yang ditelitinya. Hal kedua yang disebut
terakhir inilah yang sering dilupakan oleh para teoretikus tradisional.
Perbedaan asumsi dalam melihat manusia sebagai objek penelitian ilmu-ilmu sosial, serta
prospek teori bagi masyarakat mempunyai konsekuensi sejumlah perbedaan metodologis
antara teori kritik dengan teori tradisional, juga dengan teori konstruktivis. Teoretikus
tradisional menyatakan bahwa realitas itu bersifat objektif. Oleh karena itu, dia harus bebas
nilai. Artinya, hubungan antara subjek yang meneliti dengan objeknya harus terpisah. Hal
ini berbeda dengan teori kritik yang melihat hubungan antara peneliti dengan realitas
yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas
merupakan value mediated finding. Secara metodologis teori kritik menawarkan metode
yang bersifat partisipatif. Metode ini mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan
multi-level analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan
dalam proses transformasi sosial. Sementara itu, kriteria yang dipakai untuk menilai kualitas
penelitian adalah historical situatedness. Penelitian dinilai berkualitas sejauh mana penelitian
memerhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik (lihat tabel 8.5).

D. Krik dan Tanggapan


Meskipun banyak teori yang “terpesona” dengan teori kritik, namun tidak sedikit pula
yang tidak sepaham dan kemudian melancarkan kritik. Kritik terhadap teori kritik
dialamatkan pada beberapa aspek. Menurut Suseno (1995), kegagalan teori kritik
justru berada pada claim-nya yang paling inti, yaitu sebagai katalisator suatu praktis
emansipatoris. Pembebasan dari belenggu dogma Marxisme klasik dibayar dengan
pesimisme total. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah teori kritik terlalu
terkesan oleh daya integratif sistem masyarakat kapitalisme tua. Kenyataannya, kaum
buruh belum tentu seratus persen terintegrasi. Kebutuhan masyarakat bertambah terus,
sehingga belum tentu selalu dapat dipenuhi. Gejala kemiskinan baru, masalah energi, dan

248
lingkungan hidup menunjukkan bahwa affluent society di Barat pun belum sepenuhnya
tercapai. Teori kritik gagal bukan karena perkembangan ekonomi dunia berbeda dari
pengandaiannya, melainkan karena mereka tetap bertolak dari pengandaian-pengandaian
filosofis Marx. Dengan demikian, teori kritik sudah menanamkan kegagalan ke dalam
pengandaian-pengandaiannya sendiri.
Senada dengan pendapat di atas, Agger (2005) juga melihat bahwa kegagalan teori
kritik terletak pada landasan pijak teori kritik pada teori Marx. Menurutnya, kecaman
lain yang dialamatkan kepada teori kritik adalah dalam hal landasan teori yang dipakai.
Teori kritik yang bertujuan mengoreksi teori Marx, kenyataannya menggunakan teori
Marx sebagai pijakannya. Utopianisme teori Marx merupakan sasaran empuk kritik
yang dilancarkan kaum sosiolog midwestern. Menurut kelompok ini, keruntuhan Uni
Soviet melalui perestroika-nya merupakan bukti nyata kegagalan teori Marx. Apabila
Marxisme tidak lagi berlaku, teori sosial kritis akan kehilangan sebagian besar pengaruh
teori dan politis. Apabila Marx salah, alasan teori kritik sebagai satu revisi simpatik dan
eksplorasi Marxisme akan bubar.
Teori kritik ternyata dikritik tidak hanya oleh tokoh-tokoh dari luar kalangan teori
kritik, tetapi juga dari kalangan teori kritik sendiri. Douglas Kellner merupakan salah satu
tokoh yang banyak melakukan kritik terhadap teori kritik. Kellner sendiri sebenarnya
termasuk tokoh teori kritik. Menurut Ritzer dan Goodman (2008), dengan mengambil
tradisi Marxian, Kellner menyajikan konsepsi yang lebih utuh mengenai industri
televisi. Menurutnya, teori kritik mengabaikan analisis rinci tentang ekonomi politik
media televisi, mengonseptulisasikan kultur massa sebagai sebuah instrumen ideologi
kapitalis semata. Jadi, selain melihat televisi sebagai bagian dari kultur industri, Kellner
mengaitkannya dengan kapitalisme korporat dengan sistem politik. Lebih jauh, Kellner
tidak melihat televisi sebagai kekuatan monolitik atau kekuatan yang dikendalikan oleh
korporat yang koheren, tetapi sebagai “media massa yang sangat konfliktual yang bertemu
kekuatan kultural, sosial, politik, dan ekonomi yang saling bersaing”. Jadi, meski bekerja
dalam tradisi teori kritik, Kellner menolak pandangan bahwa kapitalisme sepenuhnya
adalah dunia yang diatur.
Sementara itu, Agger (2005) mencatat bahwa kritik sosiologi atas teori kritik
terletak pada tiga kegagalan terkait. Pertama, teori kritik bersifat nonkuantitatif sehingga
gagal meraih standar metodologi sains. Kedua, teori kritik dinyatakan bersifat politis,
menolak mengadopsi standar bebas nilai positivis. Hal ini merupakan sosiologi kursi
malas. Ketiga, teori kritik tidak memiliki “data”. Ia mempertahankan spekulasi murni. Ia
adalah sosiologi kursi malas. Kritisisme ketiga ini tidak sama dengan kritisisme pertama.
Sosiologi mainstream menganut hierarki metodologis yang meletakkan karya kuantitatif
di puncak sekaligus menempatkan karya kualitatif yang melibatkan metode semacam
wawancara mendalam, etnografi, dan observasi partisipatif di atas teori.

249
Tom Bottomore (1984) sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008) juga
mencatat adanya tiga kritik terhadap teori kritik. Pertama, teori kritik dituduh bersifat
ahistoris, meneliti berbagai peristiwa tanpa banyak memerhatikan konteks sejarah dan
komparatifnya (misalnya, Nazisme pada 1930-an dan antisemitme pada 1940-an, atau
pemberontakan mahasiswa pada 1960-an). Hal ini merupakan kritik terhadap setiap
teori Marxian yang semestinya historis dan komparatif. Kedua, aliran kritis, seperti telah
kita lihat, umumnya mengabaikan ekonomi. Ketiga, teori kritik cenderung berargumen
bahwa kelas pekerja telah hilang sebagaimana halnya kekuatan revolusioner, pandangan
yang bertentangan dengan analisis Marx.
Teori kritik yang mengkritik sosiologi mainstream yang dituduh sebagai disiplin ilmu
yang terjebak dalam pengembangan metode sebagai tujuan mendapat pembelaan dari
Robert K. Merton. Sebagai seorang positivis, Merton menyatakan bahwa teori sebenarnya
“menguji” preposisi dengan mengacu kepada data empirik. “Teoretikus” mobilisasi
kelompok akan pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data atau menganalisis data lain
untuk memperbaiki kerangka kerja penjelasannya sendiri atau mungkin menyingkirkan
yang lain. Penelitian seharusnya dapat menjelaskan dunia nyata dan oleh karena itu
harus dilakukan dengan menggunakan teknik metodologi ilmiah. Senada dengan hal
itu, kelompok sosiolog midwestern menyatakan bahwa teori dapat ditoleransi hanya
apabila dia menguji preposisi atau hipotesis (pernyataan apabila-maka) yang, secara
bersama-sama membangun teori dan terakumulasi menjadi hukum, sebagaimana misi
fisika sosial Comte (Agger, 2005).
Teori kritik banyak mengkritik positivisme sebagai landasan epistemologi ilmu
pengetahuan (sains) modern. Sebagai alternatifnya, teori kritik menawarkan pendekatan
penelitian yang sama sekali berbeda. Pada tabel 8.5 terlihat bahwa dalam melakukan
penelitian, peneliti yang menggunakan pendekatan teori kritik tidak mengambil
jarak terhadap objek yang ditelitinya. Hubungan antara peneliti dengan realitas yang
diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas
merupakan value mediated finding. Dalam hal analisis data, teori kritik mengutamakan
analisis komprehensif, kontekstual, dan multi-level analysis yang bisa dilakukan melalui
penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial. Sementara
itu, dimensi aksiologis ilmu yang ditawarkan oleh teori kritik juga sangat berbeda
dengan positivisme maupun konstruktivisme. Dalam teori kritik, nilai, etika, dan pilihan
moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Sementara itu, tujuan
penelitiannya merupakan kritik sosial, transformasi, emansipasi, dan social empowerment.
Pada tataran ini nampak jelas bahwa teori kritik ingin menawarkan sesuatu yang baru
yang segera mendapat sambutan hangat para kaum reformis, baik di Barat maupun
Timur pada era tahun 60-an yang memang sedang mendambakan perubahan.

250
Namun demikian, sebagai sebuah alternatif metodologi, ternyata apa yang
diawarkan teori kritik tidak memuaskan banyak kalangan, salah satu di antaranya adalah
E.G. Guba. Menurut tokoh ini apa yang ditawarkan oleh teori kritik belum dapat disebut
sebagai paradigma baru. Guba (1990: 23) menjelaskan teori kritik sebagai berikut: “The
label critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives that can be swept
into this category of paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented
inquiry”, including neo-Marxism, materialism, feminism, Freireism, participatory inquiry,
and other similar movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly
placed together, however because they converge in rejecting the claim of value freedom made
by positivists (and largely continuing to be made by postpositivists).” Yang artinya: “Nama
teori kritik tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang
dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang
berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme,
penelitian terlibat, dan perspektif lain, termasuk teori kritik itu sendiri. Perspektif-
perspektif ini pantas ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas
nilai yang dibuat oleh kaum positivis (dan yang umumnya terus dibuat oleh kaum
Postpositivis).”
Senada dengan pendapat di atas, Salim (2006) juga menyatakan bahwa teori kritik
sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut
“ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas
yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Selanjutnya dijelaskan
bahwa dilihat dari segi ontologis, paham teori kritik ini sama dengan Postpositivisme
yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat
secara benar oleh pengamatan manusia. Untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis
paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran
realitas yang hakiki. Secara epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, aliran ini lebih
menekankan konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena
nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan
kebenaraan tentang suatu halaman.
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori kritik (critical
theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai
suatu cara pandang yang berorientasi pada ideologi seperti neo-Marxisme, materialisme,
feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Hal yang penting dari teori kritik ini adalah
penolakannya terhadap pandangan kaum positivis dan postpositivis yang menyatakan
realitas itu bebas nilai. Oleh karena teori kritik ini berpandangan bahwa realitas tidak
dapat dipisahkan dari subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut memengaruhi
kebenaran dari realitas tersebut.

251
E. Prospek dan Perkembangan
Teori kritik mendapat “amunisi” baru ketika muncul tokoh-tokoh pemikir yang
melakukan pembaruan terhadap teori kritik yang dilontarkan para pendahulunya.
Teori paling menonjol yang termasuk dalam “generasi kedua” atau “lingkaran luar”
yang muncul sekitar tahun 1960-an adalah Douglas Kellner dan Jürgen Habermas.
Pemikiran kedua tokoh ini banyak melakukan koreksi terhadap teori kritik pada dekade
tiga puluhan. Suseno (1995) mencatat bahwa hal pertama yang dikritik Habermas
adalah sifat kritis ”teori tradisional” Horkheimer dan Adorno yang dinilainya sebagai
asal mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat. Menurut Habermas,
terminologi ”kritis” pertama-tama berarti sadar akan pengandaian-pengandaian dan
fungsi sosial teori-teori, termasuk teorinya sendiri. Sebuah teori kritis merefleksikan
kaitan perkembangannya (Entstehungszusammenhang) maupun kaitan penggunaannya
(Verwendungszusammenhang).
Posisi Habermas dalam hal ini sangat jelas. Menurutnya, teori kritik menjadi
praktis dan emansipatoris justru sebagai usaha teoretis. Dengan membuka kepentingan-
kepentingan terselubung sebuah teori positif, daya legitimatif teori itu didobrak. Dengan
demikian, ketidakmantapan realitas yang sebelumnya dilindungi, oleh teori positif itu
ditelanjangi. Dengan demikian, realitas yang tidak beres itu tidak lagi tampak sebagai
“realitas objektif” yang mau tak mau harus diterima. Realitas dengan demikian kembali
menjadi medan yang terbuka bagi tindakan emansipatif manusia. Dengan menyobek
selubung ideologis teori-teori positif yang memberikan legitimasi palsu kepada realitas,
realitas sendiri dapat ditantang. Teori kritik masyarakat merupakan salah satu pendekatan
teori dan metodologis paling canggih yang sampai sekarang dikembangkan (Suseno,
1995). Teori bagi Habermas merupakan suatu produk dari dan memenuhi maksud
dari tindakan manusia. Secara esensial teori adalah alat untuk kebebasan manusia yang
besar, yang berkembang dalam sejumlah tingkat-tingkat yang berbeda dan karenanya
menarik kita keluar dari dominiasi dan perbudakan (Craib, 1986).
Seperti halnya pendahulunya, Habermas banyak menganalisis mengenai kapitalisme
modern. Bagi Habermas, kapitalisme merupakan suatu tahap perkembangan masyarakat
yang berjalan secara evolusioner. Habermas menekankan dominasi teknologi dan nalar
instrumental yang mewarnai kapitalisme modern. Peran negara adalah sentral, terutama
dalam menentukan jalannya ekonomi dan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Berbagai
persoalan masyarakat dipandang sebagai persoalan teknis dan banyak diselesaikan oleh
ahli-ahli yang menggunakan rasionalitas instrumental. Bagi Habermas, intervensi negara
dan akibat pertumbuhan dari nalar instrumental telah menjangkau suatu titik berbahaya
yang disebutnya sebagai suatu “utopia negatif” (Craib, 1986). Dalam hal ini, Habermas
hampir sama dengan Weber yang menyatakan bahwa kapitalisme modern ditandai

252
dengan meningkatnya efisiensi, perhitungan dan prediksi, di mana hal-hal tersebut
semakin mengabaikan aspek spiritual, suatu proses yang ia sebut sebagai lenyapnya
hal-hal gaib (disenchantment). Ia memandang masa depan kehidupan modern sebagai
masa depan kehidupan yang kaku. Ia memprediksi masa depan yang ditandai oleh
obsesi berlebihan untuk melakukan segala sesuatu dengan cara seefisien mungkin dengan
sedikit atau tanpa perhatian kepada nilai-nilai, kepada konsep-konsep baik-buruk dan
benar-salah (Jones, 2009).
Teori Habermas lebih bersifat preskriptif ketika mengarahkan perhatiannya kepada
apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi rasionalitas instrumental mendominasi
kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana kita dapat menciptakan dunia yang
lebih baik ketika upaya efisiensi hanya diterapkan di posisi yang seharusnya? Di mana
warga berbagai kebudayaan yang berbeda berbicara satu sama lain tentang persoalan
baik dan buruk? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Habermas menggunakan
peranti teori-teori yang lebih bersifat mikro-sosiologik, yakni interaksionisme simbolik
dan teori tindakan. Habermas menaruh perhatian besar pada fungsi bahasa dalam
komunikasi antarpersonal. Komunikasi merupakan interaksi yang diantarkan secara
simbolik, menurut bahasa, dan mengikuti norma-norma. Bahasa harus dapat dimengerti,
benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui
kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya.
Habermas menginginkan agar suatu teori tidak hanya sekadar menjelaskan hal-hal
sedemikian rupa sehingga teori harus bersifat praktis. Pada tataran ini Habermas masih
berada pada “jalur” yang sama dengan pendahulu teori kritik seperti Horkheimer.
Seorang teoretikus menurut Habermas semestinya tidak hanya sekadar merenungkan
berbagai masalah sekitar dengan hanya memberikan jalan keluar melalui karya-karya yang
diterbitkan. Namun agaknya, harapan Habermas ini agak sulit diwujudkan mengingat
ilmu pengetahuan beserta khazanah teoretisnya sudah terlanjur berada di menara
gading. Ketika dilibatkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, manusia justru terbelit
rasional instrumental yang menjadi landasan teori-teori tersebut. Manusia modern
terjebak dalam lingkaran “kebenaran” ilmu pengetahuan yang berlandaskan asumsi
rasionalitas bertujuan. Hal yang dibutuhkan, menurutnya, bukanlah kritik terhadap
ilmu pengetahuan melainkan kritik terhadap totalitas, kritik terhadap identifikasi dengan
keseluruhan totalitas (McCarthy, 2009).
Menurut Suseno (1995), fokus penelitian Jürgen Habermas semakin diarahkan pada
prasyarat-prasyarat komunikasi yang terbuka dan bebas. Dalam komunikasi terbuka dan
bebas, Habermas melihat jaminan terbesar bahwa umat manusia dapat mempertahankan
sebuah ruang yang bebas dari diktator dan pemaksaan. Kita memasuki era globalisasi.
Kekuatan-kekuatan yang mengancam harkat dan kebebasan manusia masih tetap
mengancam, meskipun komunisme sudah runtuh, nampaknya tidak berkurang. Kiranya

253
tepat sekali kalau semua yang merasa berkepentingan pada pembelaan masyarakat yang
terbuka, bebas menghormati martabat semua anggotanya sebagai manusia mengikuti
rintisan Habermas dan mengusahakan kemampuan berkomunikasi bebas dari tekanan
yang semakin luas.
Terdapat dua konsep masyarakat yang berkaitan dengan mekanisme integrasi, yakni
konsep dunia kehidupan (lifeworld) dan konsep sistem sosial. Dari sudut pandang aktor
pelaku, masyarakat dilihat sebagai kehidupan dunia sosiokultural, sementara dari sudut
pandang peneliti, masyarakat dipandang sebagai sistem sosial. Dengan menggunakan
dua konsep tersebut, Habermas mendeskripsikan semua bentuk masyarakat sebagai
konteks-konteks yang terstabilisasi secara sistematis dari kelompok-kelompok yang
terintegrasi secara sosial. Bagi Habermas, dunia kehidupan dan sistem dapat dibedakan
dalam proses evolusi sosial. Dalam masyarakat primitif, integrasi sosial dan integrasi
sistem relatif tertutup, di mana dalam masyarakat yang berkembang mekanisme integrasi
sistem terpisah dari integrasi sosial. Dalam tahap transisi ke modernitas, dua prinsip
tersebut menjadi semakin terpisah. Pada masyarakat kontemporer, dunia kehidupan dan
sistem berada dalam pertentangan satu sama lain. Ruang privat dan ruang budaya-politik
publik merepresentasikan tatanan institusional dari dunia kehidupan. Dalam area
yang terintegrasi secara sosial ini, reproduksi simbolik masyarakat berlangsung seperti
tradisi dan inovasi pengetahuan kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi. Dalam hal ini,
reproduksi simbolik merepresentasikan bukan hanya satu melainkan beberapa fungsi
layanan dunia kehidupan modern (Nollman and Strasser, 2007: 83).
Habermas mengembangkan konsep yang terkenal, yakni tindakan komunikatif
(communicative action) yang menunjuk komunikasi interpersonal yang diorientasikan
pada pemahaman bersama di mana masing-masing partisipan menjadi dirinya sendiri
dan bukan sebagai objek manipulasi. Masing-masing aktor yang terlibat dalam
komunikasi tidak semata-mata bertujuan mencapai kesuksesan bagi dirinya tetapi
berusaha menciptakan suasana harmonis dalam komunikasi. Lawan dari konsep ini
adalah apa yang ia sebut sebagai tindakan strategis (strategic action) yang merupakan
instrumen untuk melakukan eksploitasi ataupun manipulasi. Seseorang yang melakukan
tindakan strategis berusaha mencapai tujuan pribadinya dengan cara mengeksploitasi atau
memanipulasi orang lain, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Menurut Habermas,
suatu masyarakat sipil yang kuat akan terbentuk apabila di dalamnya terdapat public
sphere dan public discources yang memungkinkan terjadinya communicative action. Syarat
lain yang harus ada adalah authentic language, yakni bahasa “asli” yang tidak “dilekati”
(embedded) berbagai kepentingan politis yang manipulatif dan eksploitatif.

254
Tabel 8.3 Jenis-Jenis Tindakan Manusia Menurut Habermas

Orientasi Tindakan
Situasi Tindakan Orientasi sukses Orientasi pengayaan pemahaman
(oriented to succes) (oriented to riching understanding)
Non sosial Instrumental Action -
Sosial Strategic Action Communicative Action

Habermas mencoba mempertahankan potensi alasan pembebas di dalam perjuangan


untuk mencapai kebebasan. Ia menyetujui penilaian teoretikus Sekolah Frankfurt tentang
rasionalitas instrumental yang mendominasi kehidupan masyarakat. Meskipun begitu, ia
menyadari pentingnya potensi yang dimiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Solusi yang ia tawarkan dalam menghadapi berbagai kontradiksi dalam kehidupan
modern bukan menghindarkan diri dari “modernitas” melainkan bagaimana memperluas
diskusi rasional (Borgatta and Montgomerry, 2000).
Tabel 8.4 Perbandingan Kerangka Teori Marx dan Habermas

Aspek Perbandingan Karl Marx Jurgen Habermas


Masyarakat emansipatoris melalui komunikasi
Visi Teori Masyarakat tanpa kelas (komunis).
yang memungkinkan tercapainya understanding.
Instrumen untuk mencapai Revolusi kaum buruh yang menumbangkan Tersedianya public sphere dan public discourses,
Ideal Society. dominasi kelas kapitalis. serta authentic language.

Tereduksi melalui pekerjaan. Manusia Mengalami pengayaan budaya (enrichment) dan


Hakikat manusia
mengalami alienasi. pemahaman bersama melalui komunikasi.

Searah (asimetris). Manusia mengerjakan Dua arah (simetris). Komunikasi timbal balik
Arah hubungan sosial
alam=aktif, sedangkan alam itu sendiri pasif. antarorang yang berkedudukan sama.
Arti penting penguasaan alat Memelopori perubahan sosial (independent
Mengikuti perubahan sosial (dependent variable).
produksi variable).
Basis primer perkembangan Bidang ekonomi (berlaku pada seluruh Hanya berlaku pada konstelasi unik (awal
sosial penahapan perkembangan masyarakat). kapitalisme).

Sumber: Disarikan dari Suseno, 1995.

Selain Habermas, tokoh lain yang menonjol sebagai teori kritik kontemporer adalah
Douglas Kellner. Teori yang dikembangkan menjadi sangat terkenal di era 1990-an.
Menurut Ritzer dan Goodman (2008), teori Kellner didasarkan atas premis bahwa
kita belum lagi bergerak ke abad postmodern atau postindustri, tetapi masih berada di
zaman kapitalisme yang terus merajalela seperti masa jayanya teori kritik. Oleh karena
itu, ia merasa bahwa konsep dasar yang dikembangkan untuk menganalisis kapitalisme
(contoh reifikasi dan pengasingan) masih relevan untuk menganalisis tekno-kapitalisme.
Dalam masyarakat tekno-kapitalisme, modal konstan berangsur-angsur menggantikan
modal variabel seperti tecermin pada rasio antara teknologi dan tenaga kerja yang makin
meningkat dengan mengorbankan input tenaga kerja manusia. Namun, kita tak boleh

255
lupa bahwa tekno kapitalisme masih merupakan kapitalisme walaupun teknologi jauh
lebih besar perannya daripada masa sebelumnya.
Teori kritik terus berkembang hingga saat ini. Hal ini terbukti dari penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli dari berbagai penjuru dunia yang
menggunakan teori kritik sebagai pijakan analisisnya (point of departure). Teori kritik
diterapkan pada aspek-aspek kajian yang sangat luas. Agger (2005) mencatat bahwa
bidang aplikasi teori kritik yang antara lain: kebijakan negara dan kebijakan sosial;
kontrol sosial; budaya pop, analisis wacana dan media massa, kajian jender, psikologi
sosial; sosiologi pendidikan; gerakan sosial; metode penelitian; ras dan etnisitas; politik
dan politik mikro; penerapan pada pendidikan: kritik imanen, historisitas, dan politik
kurikulum.
Selanjutnya, Agger (2005) menyimpulkan bahwa teori kritik telah memberi
kontribusi besar bagi perkembangan sosiologi. Kontribusi tersebut tidak terlepas dari
ide pertama teori kritik yang dikembangkan oleh para pendahulunya, yakni pada
dimensi aksiologis dari displin sosiologi itu sendiri. Menurutnya, teori kritik merupakan
salah satu cara memahami tulisan yang menekankan tanggung jawab penulisan untuk
mengubah dunia untuk menggugurkan mitologi dan ideologi, menghapuskan dogma dan
bahasa untuk golongan tertentu, membongkar representasi budaya yang mereproduksi
masyarakat yang ada, dan mengaitkan segala penindasan.
Kontribusi lain dari teori kritik adalah muncul dan berkembangnya berbagai
perspektif pemikiran di berbagai bidang. Beberapa perspektif teori yang muncul
kemudian sebagai varian baru teori kritik antara lain: critical race theory, critical feminist
theory, critical race feminism, queer theory, world systems theory, postcolonial theory,
performance theory, transversal poetic, social ecology, dan the theory of communicative action.
Berbagai perspektif teori semakin memperkaya khazanah teori kritik selain memperbaiki
kekurangan yang ada pada teori kritik itu sendiri. Munculnya berbagai perspektif tersebut
menandakan bahwa teori kritik mendapat tanggapan luas dari para ilmuwan. Tidak
hanya ilmuwan sosial, tetapi juga ilmuwan bidang-bidang ilmu yang lain.
Berikut ini disajikan beberapa contoh artikel jurnal yang menggambarkan luasnya
cakupan teori kritik dalam berbagai aspek kajian. Dalam bidang agama misalnya,
studi-studi agama yang dikumpulkan dan kemudian diedit oleh Waren Goldstein (2006)
memaparkan esai yang beragam mengenai agama, tetapi mempunyai dua ciri utama:
pertama, komitmen untuk mengembangkan teori kritik dari Sekolah Frankfurt (atau
dulunya disebut The Institute fur Socialforschung) bagi studi-studi agama; kedua, terdapat
tantangan untuk menggunakan pendekatan pilihan rasional dalam studi-studi agama.
Kenyataan menunjukkan bahwa teori kritik agama merupakan sarana yang paling ampuh
untuk menjawab tantangan tersebut.

256
Reformasi situasi kerja di bawah kondisi fiskal dan kendala-kendala demokrasi
merupakan titik awal untuk merefleksikan hubungan antara keadilan sosial dan
demokrasi. Fokus kajian ini ada pada dilema apakah perkembangan keduanya bersifat
regress ataukah sirkuler. Sifat terakhir didefinisikan sebagai situasi di mana masing-masing
saling mensyaratkan satu sama lain. Konsep Fraser dan Honneth dalam hal ini
kelihatannya menjanjikan karena mereka mengintegrasikan diskursus etika dengan
refleksi yang lebih sistematis tentang keadilan sosial dan pengenalan. Namun demikian,
mereka cenderung mereplikasi intervensi keadilan sosial dan demokrasi sebagai sesuatu
yang bersifat sekuensial. Solusi yang ditawarkan adalah melakukan intervensi yang
seimbang antara keduanya (keadilan sosial dan demokrasi) (Toens, 2009).
Owen (2007) menyatakan bahwa teori tentang “whiteness” (ras kulit putih) adalah
penting, bahkan mutlak, untuk memformulasikan penjelasan akurat tentang mekanisme
penindasan rasial di dunia modern. Teori tersebut digunakan untuk menjelaskan
bagaimana ras kulit putih menggunakan sistem penindasan rasial dan bagaimana hal itu
direproduksi, serta mengidentifikasi sifat-sifat orang kulit putih. Dari berbagai konsep
tentang ras kulit putih yang ada dalam literatur, menunjukkan bahwa terdapat konsep
dasar yang seragam yang mendasari berbagai pemikiran ras kulit putih. Akhirnya,
implikasi yang direkomendasikan adalah pelibatan ras kulit putih dalam gerakan
antirasis.
Zanneti (2004) mengeksplorasi dimensi-dimensi etis kerangka kerja administrasi
berdasarkan premis-premis filosofis teori kritik. Tujuan teori kritik pada dasarnya adalah
melihat dunia dengan cara dialektis, selain mengambil bagian peran di dalam upaya
besar membangun peradaban dunia yang merupakan tujuan praktisnya. Teori kritik juga
bertujuan membantu membuat langkah afirmatif bahwa reifikasi konstruksi sosial tidak
bersifat kekal, serta bekerja untuk mengubah bentuk masyarakat sesuai visi emansipatori.
Satu komponen yang penting dari pandangan ini adalah penolakannya untuk terikat
pada “Recht”, yakni sistem hukum yang dibangun pada situasi dan kondisi tertentu yang
berorientasi melayani kelompok masyarakat dominan. Penulis menggunakan teori-teori
kritik dari Horkheimer, Habermas, Benhabib, dan teori etis Margaret Urban Walker
untuk merumuskan petunjuk etis kritik bagi administrator, serta memperkenalkan
gagasan peran para praktisi sebagai “tempered radicals” yang berbasis teori kritik.
Teori kritik merupakan teori yang lahir sebagai respons terhadap berbagai
kondisi sosial yang memprihatinkan yang terjadi sebagai implikasi langsung penerapan
kapitalisme. Para teoretikus kritik mempunyai keprihatinan yang mendalam terhadap
berbagai kondisi kemanusiaan yang terjadi waktu itu. Keprihatinan yang mendalam
tersebut direfleksikan dalam teori-teorinya yang bersifat praktis. Artinya, teori-teori yang
dibangun oleh para ilmuwan harus mempunyai kontribusi langsung bagi perbaikan
kondisi kemanusiaan. Visi teori yang dikembangkan dalam hal ini adalah teori ilmu

257
pengetahuan harus bersifat emansipatoris. Mereka mencita-citakan suatu masyarakat yang
tidak ada lagi penindasan manusia atas manusia (exploitation de l’home par l’home). Teori
kritik mendapat respon yang sangat kuat di Eropa ketika gerakan menuju perubahan
sangat kuat di kalangan mahasiswa. Selain itu, sambutan terhadap teori ini muncul dari
para ilmuwan yang terus mengembangkan teori ini dalam berbagai bidang kajian. Dengan
demikian, teori kritik tidak dapat lagi diklaim sebagai “milik” salah satu disiplin ilmu.
Tabel 8.5 Perbandingan Teori Klasik, Teori Kritik, dan Teori Konstruktivisme
No Teori Klasik Teori Kritik Teori Konstruktivisme
1 Aspek Ontologis
Critical realism: Historical realism :
Relativism:
Ada realitas yang ‘real’ yang diatur Realitas yang teramati (virtual reality)
Realitas merupakan konstruksi sosial.
oleh kaidah-kaidah tertentu yang merupakan realitas “semu” yang telah
Kebenaran suatu realitas bersifat
berlaku universal, walaupun kebenaran terbentuk oleh proses sejarah dan
relatif, berlaku sesuai konteks spesifik
pengetahuan tentang itu mungkin hanya kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan
yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
bisa diperoleh secara probablilistik. ekonomi-politik.
2 Aspek Epistemologis
Transactionalist/subjectivist
Dualist/objectivist Transactionalist/subjectivist
Hubungan antara peneliti dengan
Ada realitas objektif sebagai suatu Pemahaman tentang suatu realitas
realitas yang diteliti selalu dijembatani
realitas yang eksternal di luar diri atau temuan suatu penelitian
oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman
peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin merupakan produk interaksi antara
tentang suatu realitas merupakan value
membuat dengan jarak penelitian. peneliti dengan yang diteliti.
mediated findings
3 Aspek Aksiologis
▪ Nilai, etika, dan pilihan
▪ Nilai, etika, dan pilihan moral moral merupakan bagian tak
▪ Nilai, etika, dan pilihan moral harus merupakan bagian tak terpisahkan terpisahkan dari suatu penelitian.
berada di luar proses penelitian- dari suatu penelitian. ▪ Peneliti sebagai passionate
penelitian. ▪ Peneliti menempatkan diri sebagai participant, yakni fasilitator yang
▪ Peneliti berperan sebagai transformative intellectual, advokat, menjembatani subjektivitas
disinterested scientist. dan aktivis. pelaku sosial
▪ Tujuan penelitian: eksplanasi, ▪ Tujuan Penelitian: kritik sosial, ▪ Tujuan penelitian: rekonstruksi
prediksi, dan kontrol. transformasi, emansipasi, dan social realitas sosial secara dialektis
empowerment. antara peneliti dengan pelaku
sosial yang diteliti.
4 Aspek Metodologis
Reflective/Dialectical:
Participative:
Intervensionist: Menekankan empati dan interaksi
Mengutamakan analisis komprehensif,
Pengujian hipotesis dalam struktur dialektis antara peneliti-responden
kontekstual, dan multi-level analysis
hipothetic-deductive method; melalui untuk merekonstruksi realitas
yang bisa dilakukan melalui penempatan
lab, eksperimen atau survei eksplanatif yang diteliti melalui metode-
diri sebagai aktivis/partisipan dalam
dengan analisis kuantitatif. metode kualitatif seperti participant
proses transformasi sosial.
observation.
Kriteria kualitas penelitian: Kriteria kualitas penelitian:
Kriteria kualitas penelitian: Historical situatedness; sejauh mana Authenticity and reflectivity;
Objectivity, Reliability and validity penelitian memerhatikan konteks Sejauh mana temuan merupakan
(internal dan external validity) historis, sosial, budaya, ekonomi, dan refleksi otentik dari realitas dihayati
politik oleh para pelaku sosial.

Sumber: Dedy N. Hidayat dalam Jurnal ISKI Vol III/April 1999 hlm. 39—40 (diolah).

ooo0ooo

258
BAB IX

TEORI STRUKTURALISME

A. Sejarah
Teori strukturalisme memiliki perjalanan sejarah pemikiran cukup panjang. Secara
formal pendekatan ini dilontarkan Claude Lévi-Strauss pada dekade 1950-an. Namun,
jejak-jejak pemikirannya dapat ditelusuri dari para pemikir yang ada sebelumnya.
Beberapa konsep yang dikemukakan Lévi-Strauss berkaitan dengan beberapa konsep
Durkheim yang memang merupakan tokoh yang berpengaruh kuat terhadap pemikiran
Lévi-Strauss. Ketika Durkheim mempelajari fenomena agama, ia membuat distingsi
antara “sacred” dengan “profane”. Ketika Durkheim membahas soal moralitas, ia juga
membuat distingsi serupa, yakni antara “normal” dan “deviant” (penyimpang) selain
istilah perilaku “bermoral” dan “immoral”. Pola oposisi biner seperti yang dikemukakan
Durkheim tersebut, pada perkembangannya menjadi salah satu ciri khas analisis
Lévi-Strauss terhadap berbagai fenomena budaya manusia. Misalnya, ketika Lévi-Strauss
menganalisis fenomena kuliner masyarakat, ia membuat distingsi antara “raw” (mentah)
dengan “cooked” (dimasak).
Selain kepada Durkheim, teori strukturalisme juga sangat berutang budi kepada
Ferdinand de Saussure. Karya Ferdinand de Saussure yang berjudul Course in General
Linguistics yang diterbitkan pada 1916. Bahkan, secara umum dianggap sebagai titik
awal kemunculan strukturalisme. Karya Saussure itu ditujukan untuk memahami
struktur-struktur yang mendasari bahasa. Strukturalisme dengan demikian dapat
diasosiasikan dengan gerakan untuk kembali ke bahasa (linguistic turn). Fokus de
Saussure diarahkan pada hubungan antara sistem gramatika (tata bahasa) formal bahasa
(langue) dengan bahasa dalam pemakaiannya sehari-hari (parole). Strukturalisme de
Saussure mendasarkan diri pada teori yang berasal dari linguistik. Dalam pandangan
teori linguistik, setiap orang di masyarakat diasumsikan mengetahui bagaimana caranya
menggunakan bahasa, walaupun kebanyakan di antara mereka tidak mempedulikan
aturan-aturan berkenaan ilmu fonetik dan tata bahasa. Tugas ahli bahasa adalah untuk
259
menemukan prinsip-prinsip yang tak disadari atau deep structure dari bahasa-bahasa
yang berlaku di masyarakat. Pada saat yang sama, kaum strukturalis mencoba untuk
mendesain suatu metode yang sistematis untuk membongkar struktur dasar bahasa yang
ada hubungannya dengan budaya.
Karya Marcel Mauss yang merupakan keponakan Durkheim, berjudul The
Gift, yang diterbitkan pada 1925 juga mempunyai kontribusi bagi perkembangan
teori strukturalisme, khususnya Lévi-Strauss. Menurut Mauss (Badcock, 2008: 50),
timbal balik merupakan prinsip struktural (dan juga norma) yang mendasari jaringan
kekerabatan, dan yang turunan-turunan logis serta akibat wajarnya banyak menentukan
apa yang berlaku pada perilaku aktual. Prinsip tersebut oleh Lévi-Strauss dipakai untuk
menganalisis sistem kekerabatan dan perkawinan di mana ia menemukan prinsip
struktural, yakni incest (perkawinan sedarah) sebagai sistem yang berlaku pada semua
budaya. Berdasarkan prinsip incest tersebut, logika turunannya berupa pertukaran
saudara perempuan secara timbal balik, harus dipandang sebagai dasar dari semua sistem
kekerabatan, sama persis ketika Mauss menunjukkan timbal balik sebagai yang mendasari
semua sistem gift-giving.
Pada 1934, berkat jasa Mauss, Claude Lévi-Strauss berhasil memperoleh sponsorship
untuk melakukan penelitian di Brazil. Kondisi sosial yang kacau akibat Perang Dunia
pertama yang terjadi pada saat hampir bersamaan, merebaknya politik antisemitisme
(Lévi-Strauss merupakan keturunan Yahudi yang kemudian merasa tidak nyaman dengan
perkembangan politik tersebut) menambah intensitas kekacauan. Kondisi sosial ekonomi
yang demikian inilah yang juga turut mendorong Lévi-Strauss tertarik untuk mengajar
di sebuah universitas dan melakukan penelitiannya di Brazil. Hasil penelitiannya pada
suku-suku yang tinggal di pedalaman Brazil menghasilkan beberapa karya terkenal,
di antaranya “The Savage Mind”. Menurut Lévi-Strauss (Crick, 2008: 259) semua
fenomena budaya yang tampak di permukaan seperti sistem kekerabatan, sistem tato,
pola makan, dan sebagainya merupakan “bahasa” yang memiliki “tata bahasa” dasar yang
menyampaikan pesan-pesan kultural, yang tidak tergantung pada kesadaran manusia.
Kultur dan masyarakat, dalam semesta struktural, merupakan sistem pemikiran yang
anonim dan dianggap objektif; ia adalah sistem perilaku dan pemikiran yang tidak
dikarang ataupun diarahkan oleh seorang individu.
Jean-Paul Sartre (1905–1980) seorang eksistensialis Prancis, novelis, dan filsuf
Marxis, pada 1946 menerbitkan karyanya yang berjudul “l’Existentialisme est un
humanisme” (“Eksistentialisme dan Humanisme). Sartre tidak sependapat apabila
struktur dikatakan menentukan perilaku individu. Pandangan Sartre jelas, yang pada
intinya aktor tanpa agensi (actors without agency). Sangat berbeda dengan kebanyakan
filsuf yang dikategorikan sebagai “eksistensialis”, yang bersemboyan “eksistensi
mendahului esensi” yang berlawanan dengan semboyan Descartes “saya berpikir maka

260
saya ada”. Sartre tidak mengasumsikan sesuatu tentang hakikat manusia. Tidak ada
apriori mengenai esensi atau hakikat manusia dari apa yang dapat diderivasi dari suatu
pemahaman tentang pemikiran dan tindakan manusia. Sartre mengembangkan ontologi
atau filsafat tentang ada. Baginya, ada tidak dapat menentukan kesadaran, bukan sesuatu
di antara dua hal, juga bukan mekanisme kausal yang memengaruhi tindakan dan
kesadaran (Craib and Wernick, 2005: 664). Strukturalisme menolak konsep kebebasan
manusia dalam memilih. Strukturalisme sebaliknya memfokuskan pada cara-cara
perilaku manusia ditentukan oleh berbagai macam struktur. Strukturalisme dengan
demikian dapat dikatakan merupakan reaksi terhadap humanisme Sartre atau filsafat
eksistensialisme secara umum.
Pada 1949, Claude Lévi-Strauss memublikasikan Elementary Structures of Kinship
yang merupakan disertasi doktoralnya. Melalui karyanya ini, Lévi-Strauss berusaha
menemukan kaidah-kaidah sistem kekerabatan dan perkawinan yang berlaku di berbagai
masyarakat. Berbeda dengan kebanyakan antropolog yang mengandalkan data lapangan,
ia dalam hal ini lebih memilih untuk melakukan observasi ratusan masyarakat dari data
sekunder (naskah-naskah tertulis). Menurut Barnard (2004: 127), karya Lévi-Strauss ini
merupakan representasi antropologi strukturalis paling ekstrem. Lévi-Strauss memusatkan
perhatiannya pada bagaimana aturan perkawinan memengaruhi, bahkan menciptakan
struktur sosial. Ia menemukan bahwa larangan (tabu) inses merupakan esensi budaya, dan
ia secara virtual menyamakan tabu tersebut dengan aturan perkawinan. Secara esensial
terdapat aturan perkawinan positif (seperti tidak mengawini saudara sepupu) dan juga
aturan perkawinan negatif (larangan kawin dengan sesama anggota klan). Secara umum,
strukturalisme Lévi-Strauss berkaitan dengan budaya sebagai sebuah abstraksi, bukan
pada perilaku aktual seseorang.
Pada 1957, Roland Barthes, tokoh lain strukturalisme, memublikasikan karyanya
yang terkenal, Mythologies. Menurut Bardzell, Barthes merupakan salah satu strukturalis
yang kontroversial karena memperluas metode “diskursus” secara berbeda, yakni tidak
hanya berkaitan dengan kata-kata. Barthes dalam hal ini menganalisis mengenai fesyen
(fashion). Barthes memperlakukan fesyen sebagai suatu tanda diskursif karena apabila
pakaian kurang berarti, orang tidak akan mengganti pakaian yang dipakainya. Sebaliknya,
ketika pakaian menjadi penting, akan ada permintaan sosial terhadap pakaian. Misalnya,
ketika pakaian seperti blue jeans menjadi sesuatu yang lebih meaningfull.
Tulisan Althusser (bersama Balibar) berjudul Reading ‘Capital’ yang ditulis pada
1970, mempunyai arti khusus bagi perkembangan strukturalisme. Karya tersebut
merepresentasikan campuran pendekatan antara strukturalisme dan Marxisme. Ia
membedakan antara pembacaan Marx pada tingkat permukaan (surface) dengan
pembacaan Marx “simptomatik”. Yang dimaksud yang akhir ini lebih mendalam dan lebih
benar untuk memahami perhatian Marx. Model pembacaan yang terakhir (simptomatik)

261
menurutnya dapat mengantarkan kita ke dalam pemahaman yang lebih baik tentang asal
usul mode produksi (Barnard, 2004: 141). Althusser menolak cap humanis pada karya
Marx. Ia kemudian menciptakan sebuah teori struktural masyarakat yang mengeliminasi
seluruh pengaruh agensi manusia yang memiliki ciri self-evolving secara internal dalam
dinamika sosioekonomi dan struktur politik (Nielsen, 2005a: 743).
Strukturalisme memperoleh “ruh” baru berkat jasa Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis
yang mengembangkan teori perilaku manusia secara berbeda. Bourdieu, meskipun pada
umumnya dikenal sebagai seorang poststrukturalis, ia menunjukkan elemen-elemen
strukturalisme dalam teorinya tentang habitus. Ia menganggap bahwa struktur-struktur
dapat berada dan bertahan dalam dunia sosial, bebas dari bahasa dan budaya. Menurut
Kleden (Binawan, 2007: 28), konsep habitus Bourdieu memiliki beberapa elemen.
Pertama, habitus merupakan sistem atau perangkat disposisi yang telah bertahan lama
melalui praktik latihan secara berulang-ulang. Kedua, habitus lahir dari kondisi sosial
tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh
kondisi sosial yang diproduksi (structured structure). Ketiga, disposisi yang terstruktur
itu sekaligus juga berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk
kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang, dan karena itu menjadi structuring
structure. Keempat, habitus bersifat dapat dialihkan (transposable) ke kondisi sosial lain.
Kelima, habitus bersifat prasadar (preconcious) karena dia tidak merupakan hasil dari
refleksi atau pertimbangan rasional. Keenam, habitus bersifat teratur dan terpola, tetapi
bukan merupakan ketertundukan pada peraturan-peraturan tertentu. Habitus bukan
merupakan a state of mind, melainkan a state of body dan menjadi site of incorporated
history. Terakhir, habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan.
Strukturalisme terus mengalami perkembangan pesat dengan keterlibatan sejumlah
peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang menerapkan kerangka teoretis strukturalisme
(terutama dari Lévi-Strauss) ke dalam penelitian-penelitian empirik mereka. Meskipun
demikian, strukturalisme mendapat kritikan tajam dari sejumlah pemikir seperti Jacques
Derrida, Michel Foucault, Jaques Lacan dan lain-lain yang belakangan mereka disebut
sebagai teoretikus poststrukturalis. Berikut ini secara ringkas beberapa peristiwa penting
yang menandai tumbuh dan berkembangnya teori strukturalisme.
Tabel 9.1 Beberapa peristiwa penting seputar Teori Strukturalisme

Tahun Keterangan
Dalam karyanya yang berjudul Elementary Forms of the Religious Life, Émile Durkheim memperkenalkan bukti-bukti
1912
antropologis untuk menyatakan bahwa pengalaman religius berada pada fondasi tatanan sosial.
1916 Ferdinand de Saussure mempublikasikan karyanya Course in General Linguistics yang menjadi basis strukturalisme.
1925 Marcel Mauss mengembangkan teorinya tentang pertukaran hadiah dalam karyanya yang berjudul The Gift.
Claude Lévi-Strauss mengajar Sosiologi di Universitas Sao Paolo dan melakukan penelitian pada suku-suku di
1934
pedalaman Brazil.

262
Claude Lévi-Strauss mengajar di New School for Social Research di New York dan menjadi atase kebudayaan di
1941
Washington.
Jean-Paul Sartre mengelaborasi eksistensialisme kontemporer dalam karyanya yang berjudul Being and Nothingness
1943
yang beberapa bagiannya ditulis dalam bahasa Jerman.
Claude Lévi-Strauss mempublikasikan Elementary Structures of Kinship. Yang ditulisnya ketika menjadi tawanan
1949
perang antara tahun 1940–1941.
Roland Barthes melakukan penelitian mengenai mitos dan objek kultural lain sebagai bahasa tanda di masyarakat
1957
dalam karyanya Mythologies.
Claude Lévi-Strauss dikukuhkan sebagai profesor Antropologi di College de France, serta menjadi pengajar dan
1959
peneliti sepanjang kariernya.
Jacques Derrida menyelesaikan karyanya On Grammatology yang menjadi teks sentral munculnya bidang kajian baru,
1967
yakni poststrukturalisme.
Althusser bersama Etiene Balibar menulis Reading Capital. Melalui karyanya ini mereka memperluas pengertian
1970 ekonomi, meliputi ideologi dan politik yang berinteraksi dengan ekonomi. Interaksi tersebut sangat krusial bahkan
ketika ekonomi menjadi penentu segalanya.
Pierre Bourdieu mempublikasikan Outline of a Theory of Practice yang mem-formulasikan strukturalisme konstruktivis
1977
dan konsepnya, habitus.
1982 Jonathan Culler, menerbitkan buku yang berjudul On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism.
1983 Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow menerbitkan buku Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics.
Pierre Bourdieu mempublikasikan Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste di mana dia mengaplikasikan
1984
strukturalisme konstruktivis terhadap isu konsumsi dan budaya di Prancis.
Lee M. Rademacher menerbitkan karyanya yang berjudul Structuralism vs Humanism in the Formation of the Political
2002
Self: The Philosophy of Politics of Jean-Paul Sartre and Louis Althusser.

Sumber : George Ritzer (2005).

B. Filsafat/Teori Sosial Polik yang Memengaruhi


Akar-akar pemikiran strukturalisme tidak hanya ada dalam sosiologi, tetapi dapat dilacak
dari berbagai disiplin. Beberapa strukturalis memfokuskan pada apa yang mereka percaya
sebagai struktur-dalam dari suatu masyarakat. Sebagai contoh, Karl Marx memfokuskan
pada struktur ekonomi yang melandasi struktur-struktur lain di masyarakat. Perubahan
struktur ekonomi dan struktur lain yang lebih besar di masyarakat tidak diperhatikan,
dipahami, dan ditransformasikan. Hingga akhirnya strukturalis Marxis (Althusser dan
Poulantzas) menyimpulkan bahwa Marx adalah seorang strukturalis. Hal ini dibuktikan
dari perhatian Marx pada struktur-struktur masyarakat yang lebih luas yang tidak
kelihatan pada masyarakat kapitalis. Pusat perhatiannya adalah struktur ekonomi yang
tidak terlihat yang mendasari struktur lain di masyarakat dan menolak analisis empirik
yang membuat strukturalis Marxis sebagai bentuk strukturalisme.
Prinsip-prinsip strukturalisme Marx dipakai Althusser untuk mengembangkan
teorinya. Sebagai seorang Marxis, Althusser (1971) membawa strukturalisme kembali
ke ranah materialistik. Menurut Bharadwaj (2007:288–289), Althusser berusaha
menunjukkan bagaimana melalui kultur dominan, negara kapitalis dan aparatur ideologi
membentuk dan mengarahkan kesadaran individual sehingga menjadi pelayan sistem
263
(kapitalisme) tersebut. Ia sepakat dengan Gramsci mengenai peran kesadaran, budaya,
dan human agency dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme mempertahankan status
quo-nya melalui hegemoni budaya. Akibatnya, revolusi dapat terjadi ketika ada perlawanan
kaum proletar terhadap aparatur budaya dominan untuk membentuk kesadaran baru
berdasarkan hubungan-hubungan yang ada menuju kondisi sistem kapitalis baru…
budaya dengan demikian merupakan area kritik dan perjuangan bagi Gramsci dan bukan
hanya sebuah penentu subjektivitas struktural, kolektivitas, dan ketidaksadaran.
Pemikir lain memfokuskan pada struktur yang mendasari pikiran, khususnya
yang ditemukan dalam ketidaksadaran. Sigmund Freud merupakan tokoh utama yang
menyatakan bahwa ide dan pikiran sangat penting, tidak hanya untuk memahami
struktur-struktur yang mendasarinya, tetapi juga untuk memahami bagaimana ide dan
pikiran itu beroperasi yang memungkinkan orang melakukan yang lebih. Atau dengan kata
lain mengetahui dampak struktur tersebut terhadap pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan
selanjutnya. Jacques Lacan dalam perkembangannya merupakan seorang psikoanalis
Prancis yang mengambil ide Freud dan dengan mengombinasikannya dengan teori de
Saussure, ia mengembangkan idenya bahwa ketidaksadaran distruktur––dalam cara yang
sama sebagaimana halnya bahasa. Pada posisi ini ia melihat bahasa sebagai titik sentral
pembentukan individual dan juga cara utama ketidaksadaran pikiran distrukturkan
(Ryan, 2005: 804).––
Pemikiran Freud sangat jelas memengaruhi Claude Lévi-Strauss. Dengan demikian,
strukturalisme dapat dikatakan mempunyai akar pemikiran dari tokoh psikoanalis tersebut.
Keterkaitan antara kedua pemikiran tersebut terlihat seperti misalnya dalam hal bahwa
ketidaksadaran dalam mekanisme mental menjadi alasan bagi tindakan-tindakan yang
mungkin tidak disadari. Selain itu, menurut Badcock (2008), karya-karya Lévi-Strauss
yang berjudul Elementary Structure of Kinship, Totemism, dan The Savage Mind mempunyai
kemiripan dengan karya Freud yang berjudul Totem and Taboo, serta Mythologiques pada
hakikatnya seperti The Interpretation of Dream karya Freud, yang dituangkan kembali
dalam sebuah model strukturalis. Dalam Totem and Taboo, Freud menyatakan bahwa
totemisme dicirikan pemujaan ritual totem yang ditabukan (biasanya hewan) dan dengan
sebuah sistem dari klan-klan eksogamus. Tujuan dari klan-klan tersebut adalah mencegah
gesekan hukum yang melarang perkawinan sedarah. Totem, bagi Freud, adalah phobia
binatang kolektif yang merepresentasikan ayah pertama terhadap siapa anak-anaknya
memberontak karena dominasi totalnya dari ibu. Totemisme, karenanya merupakan
kesejajaran yang dekat dengan psikologi kelompok untuk phobia-phobia binatang yang
umumnya ditemukan di kalangan anak-anak muda.
Dari disiplin sosiologi, strukturalisme mempunyai keterkaitan erat dengan pemikiran
Durkheim. Turner (2007: 55) mengidentifikasi adanya dua cabang teori strukturalisme
yang keduanya terinspirasi dari teori Durkheim. Salah satu cabang menekankan

264
kondisi-kondisi material yang memengaruhi relasi sosial di antara individu dan aktor
kolektif. Marx, Georg Simmel, dan khususnya Durkheim di awal kariernya sepakat
bahwa struktur merupakan seperangkat koneksi-koneksi di antara bagian-bagiannya.
Tujuan teori dari ketiganya adalah mengetahui penyebab koneksi-koneksi tersebut beserta
proses dinamikanya. Cabang strukturalisme yang lain berusaha mencari “struktur-dalam”
(deep structure) yang menentukan pembentukan sistem budaya dan aturan-aturan sosial
struktural. Apa yang diobservasi secara empirik adalah melihat apa yang termanifestasikan
di permukaan dari struktur yang lebih dalam yang melandasi sistem aturan. Aturan
ditentukan oleh neurologi otak manusia.
Selain itu strukturalisme dapat dilacak dari analisis Durkheim tentang bagaimana
mengidentifikasi dan menghukum penyimpang (perilaku menyimpang) dalam rangka
mempertahankan batas-batas moral kelompok. Dalam hal ini, Durkheim menggunakan
istilah normal untuk menyebut perilaku yang mengikuti norma-norma kelompok
dan “deviant” (penyimpang) untuk menunjuk perilaku-perilaku yang berbeda atau
berlawanan dengan norma kelompok. Mary Douglas juga menggarisbawahi pentingnya
menentukan batas-batas moral suatu masyarakat dengan pembedaan antara “murni”
dengan “tidak murni” dan “bersih” dengan “kotor”. Perspektif seperti ini dapat pula
dibandingkan dengan fokus Pierre Bourdieu tentang struktur kelas masyarakat yang
meliputi penggunanaan kategori dikotomis untuk membedakan orang berdasarkan
beberapa kriteria evaluatif, yakni antara yang superioritas dengan yang inferioritas
(Johnson, 2008: 416).
Dengan demikian, menurut Johnson (2008: 416), secara sederhana dapat dikatakan
bahwa strukturalisme merupakan usaha untuk mengkaji struktur-struktur-dalam (deep
structure) yang mendasari struktur-struktur yang ada (tampak) di permukaan (surface)
dari kesadaran dan perilaku manusia. Struktur-struktur tersebut dapat dilihat dalam
masyarakat seperti misalnya bahasa atau dalam pikiran orang (masyarakat). Salah satu
ciri fundamental dari keseluruhan bentuk strukturalisme adalah suatu sistem kategori
yang diterima secara luas dalam pandangan umum dan bahwa hal itu digunakan untuk
membedakan di antara orang atau di antara perbedaan objek yang ada di lingkungan
(Johnson, 2008: 416).
Strukturalisme menunjuk pada perspektif-perspektif teoretis yang memberikan atau
memunculkan pola-pola substansi dari sesuatu. Bagi strukturalis, makna datang dari
pengetahuan tentang bagaimana sesuatu dalam konteks kebersamaan, bukan sesuatu
yang berada dalam suatu isolasi. Dalam hal ini, Barnard (2004) mengomparasikan
antara strukturalisme dengan aliran fungsional-struktural. Menurutnya, keduanya
concern terhadap hubungan-hubungan antarsesuatu. Meskipun demikian, terdapat
perbedaan di antara keduanya. Kaum fungsional-struktural tertarik pada tatanan
dari hubungan-hubungan sosial, sementara strukturalis secara umum tertarik pada

265
struktur-struktur pemikiran yang menjadi inti struktur masyarakat. Lebih dari itu,
struktural fungsionalis seperti halnya Redclife Brown mendasarkan diri terutama pada
penalaran induktif. Bermula dari data kemudian mencari generalisasi yang dibuat
berdasarkan data tersebut. Sementara itu, strukturalis sering menggunakan metode
deduktif yang berdasarkan pada premis-premis pokok. Kaum strukturalis mengikuti
premis-premis tersebut kemudian melihat pengaruhnya terhadap perilaku manusia.
Mereka lebih senang memilih bekerja di luar kemungkinan-kemungkinan logika dan
melihat bagaimana “realitas” terjadi. Bahkan, bagi strukturalis tulen, tidak ada realitas
kecuali merupakan hubungan antarsesuatu.
Sementara itu, menurut Giddens (2009), persamaan antara Durkheim dan
Lévi-Strauss terletak pada teorema tentang keunggulan masyarakat di atas individu.
Perbedaannya, apabila fungsionalisme lebih menyoroti aktivitas praktis, Lévi-Strauss
menitikberatkan kognisi; dan apabila fungsionalisme, terutama seperti yang telah
dimatangkan oleh Parsons, telah mengembangkan tema masyarakat sebagai konsensus
moral, Lévi-Strauss pada prinsipnya mengkaji Kantianisme Sosiologisme Durkheim. Bagi
keduanya (Parsons dan Lévi-Strauss), masyarakat “memiliki alasan-alasan sendiri yang
tidak banyak diketahui oleh anggota-anggotanya”. Dalam kasus fungsionalisme, dijumpai
aneka tuntutan terhadap koordinasi masyarakat. Bagi Lévi-Strauss, tuntutan-tuntutan
tersebut merupakan mekanisme pemandu bagi alam bawah sadar. Kaum fungsionalis
maupun Lévi-Strauss tidak membedakan secara tegas antara struktur dengan sistem,
dan dapat dikatakan bahwa kedua gagasan ini dipandang berlebihan bagi kedua aliran
pemikiran tersebut. Tidak ada “anatomi” dalam kehidupan sosial yang terlepas dari
“fisiologinya”. Dari sini, struktur dan sistem menjadi terma yang dapat digunakan secara
bergantian dalam fungsionalisme.
Tabel 9.2 Perbandingan antara Fungsionalisme dengan Strukturalisme

Aspek Perbandingan Fungsionalisme Strukturalisme


Determinisme hubungan Struktur-individu Struktur mengatasi individu Struktur mengatasi individu
Fokus analisis Aktivitas praktis Kognisi

Daya integratif masyarakat Konsensus moral Tatanan struktural yang “mengarahkan”

Pemandu bagi alam bawah sadar


Fungsi tuntutan normatif Alat koordinasi masyarakat
(unconsciousness)

Deskriptif, digunakan melalui analogi


dengan anatomi mirip dengan “pola Eksplanatoris. Struktur berhubungan dengan
Konsep struktur
tetap”. Struktur tidak berhubungan gagasan transformasi.
dengan gerakan apa pun.

Pembedaan struktur dengan sistem Tidak tegas Tidak tegas

Sumber: Giddens (2009: p.26—27, diolah).

266
Strukturalisme khususnya Lévi-Strauss, sangat terpengaruh oleh model linguistik
dalam merumuskan teorinya tentang kekerabatan, mitos, dan budaya secara umum.
Teorinya mengeliminasi pengalaman dan respons individual dalam mempertahankan
realitas, bahkan mungkin “struktur-struktur dalam” manusia. Pengalaman manusia
dan ekspresinya di berbagai budaya dilihat sebagai variasi berdasarkan struktur tersebut,
tetapi beroperasi secara langsung dalam batas-batasnya. Strukturalisme seperti yang
dicontohkan dalam linguistik oleh Ferdinand de Saussure dan dalam teori sastra oleh
Roland Barthes, berusaha menciptakan kerangka teori yang menjadi dasar bagi analisis
yang ketat (rigorous) dan penelitian seluruh aspek kehidupan manusia dan ilmu sosial.
Strukturalisme yang muncul pada 1960-an berbasis karya Ferdinand de Saussure
(1857–1913).
Konsep-konsep de Saussure yang sangat memengaruhi Lévi-Strauss antara lain: (1)
pembedaan antara signifier dan signified, langage, parole dan langue, dan akhirnya sinkroni
dan diakroni; (2) perbedaan antara signifier dan signified dalam dalam bahasa Indonesia
barangkali dapat disamakan dengan “penanda” dan “yang ditandai”. Menurut Saussure
(Lane: 1970: 45) hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrer. Oleh karena itu
sign merupakan keseluruhan yang berasal dari hubungan antara signifier dan signified. Ide
tentang “sister” tidak berhubungan dengan suksesi bunyi-bunyian s-ö-r yang berfungsi
sebagai signifier dalam bahasa Prancis. Akan tetapi, hal itu dapat direpresentasikan
sama oleh hubungan-hubungan lain dalam bahasa yang berbeda. Signified dari “ox”
mempunyai signifier b-ö-f di satu sisi dan o-k-s (Ochs) di sisi lain.
Saussure (Cuff et al., 2006: 174), memperlakukan bahasa percakapan yang
digunakan sehari-hari (parole) sebagai fenomena sekunder; sementara aturan dalam
bahasa formal (language) dijelaskan dalam hubungan-hubungan sistematik antarkata
(atau “sign”) yang telah ada sebelum adanya bahasa percakapan, dan bukan dalam term
cara individu menempatkan kata-kata untuk mengatakan sesuatu. Lebih dari itu, sistem
bahasa dapat dipahami sebagai suatu sistem perbedaan atau kontras. Language, menurut
de Saussure (Wells, 1970: 102) seperti halnya fenomena sosial lain, merupakan subjek
perubahan yang berlangsung terus menerus (perpetual change), sehingga dapat dianalisis
kapan saja sebagai sesuatu yang diwarsikan ke dalam elemen-elemen institusional dan
elemen-elemen inovasi. Elemen institusional oleh de Saussure disebut sebagai la langue
dan elemen inovasional disebut sebagai la parole; secara definitif keduanya disebut le
langage. Langue merupakan deposit dari tanda-tanda (sign) yang diterima oleh setiap
individu dari anggota masyarakat lain yang memiliki kesamaan bahasa.
Berbeda dengan ahli lingusitik sebelumnya yang mempelajari bahasa secara
diakronik atau melihat perkembangannya sepanjang waktu, de Saussure lebih memilih
untuk menggunakan metode sinkronik. Bagi de Saussure, melacak linguistik secara
historis diakronik tidak dapat menjelaskan bagaimana sesuatu kata mendapatkan makna

267
atau fungsinya di dunia. Menurutnya, bahasa hanya dapat dipahami secara rasional,
dengan melihat hubungan-hubungan antara bagian-bagian yang berbeda sebagai sebuah
sistem yang sinkronik. De Saussure berpendapat bahwa makna suatu kata berasal
dari aturan-aturan yang pasti (tertentu) dan konvensi-konvensi yang mengorganisasi
bahasa bukan dari ungkapan-ungkapan khusus yang digunakan orang sehari-hari yang
jumlahnya tidak terbatas. Konsep de Saussure tentang bahasa sangat kuat memengaruhi
pemahaman makna kultural dan perkembangan struktruralisme selanjutnya. Claude
Lévi-Strauss secara khusus menempatkan konsepsi linguistik de Saussure sebagai referensi
utamanya dalam mengembangkan teori strukturalisme.

C. Substansi
Strukturalisme merupakan pendekatan akademik yang muncul pertama kali pada abad
19 dalam bidang psikologi, kemudian mengalami revitalisasi berkat jasa Lévi-Strauss pada
pertengahan abad 20. Strukturalisme menjadi salah satu pendekatan yang kontroversial.
Pendekatan ini mempunyai pengaruh kuat di bidang akademik di Barat. Meski demikian,
tidak sedikit pula ilmuwan yang mengkritiknya. Kebanyakan para ilmuwan yang keberatan
dengan pendekatan strukturalisme disebabkan pendekatan ini mendasarkan diri pada
positivisme yang banyak mendapat kritikan tajam dari sejumlah teori. Istilah strukturalisme
itu sendiri dipopulerkan antropolog Prancis, Claude Lévi-Strauss. Keyakinan dan
keteguhan Lévi-Strauss terhadap kehebatan analisis struktural tidak perlu diragukan,
karena sepanjang karier akademiknya ia menggunakannya dalam menjelaskan berbagai
fenomena budaya di masyarakat. Bersama pemikir lain, seperti ahli psiko-analisis Jaques
Lacan, Foucault, Althusser, dan Marxisme strukturalis Nicos Poulantzas, ia menggagas
“gerakan strukturalis”. Strukturalisme tidak hanya popular di disiplin antropologi, tetapi
juga berpengaruh pada ilmu-ilmu sosial lain, terutama sekali sosiologi.
Strukturalisme mengajukan 4 prinsip. Pertama, ia menolak argumentasi bahwa semua
makna, praktik, dan tindakan dapat dipahami dalam term dan didorong oleh kesadaran
subjektif. Kedua, strukturalisme mempertahankan pendapat bahwa makna praktik dan
tindakan dapat dijelaskan hanya dengan mempelajari hubungan-hubungan di antara
elemen-elemen dalam struktur atau sistem. Ketiga, strukturalisme melihat oposisi biner
sebagai kunci untuk memahami hubungan-hubungan struktural di antara elemen-elemen
(seperti: signifier/signified, raw/cooked, male/female). Terakhir, strukturalis cenderung
memfokuskan perhatiannya pada analisis sinkronik yang mempelajari hubungan-hubungan
di antara elemen-elemen pembentuk struktur pada waktu tertentu. Poststrukturalis
pada umumnya setuju dengan prinsip pertama, tetapi dengan berbagai alasan mereka
mengeksplorasi dan menolak prinsip-prinsip yang lain. Karya-karya Jacques Derrida dan
Michel Foucault merupakan kritik terhadap strukturalisme (Murphy, 2005: 591).

268
Strukturalisme berasumsi bahwa bentuk-bentuk budaya yang terwujud dalam
berbagai simbol didasarkan pada khazanah kekayaan pikiran manusia. Strukturalisme
didasarkan pada kepercayaan bahwa objek budaya, seperti literatur, seni, dan arsitektur
tidak bisa dipahami di ruang kevakuman, melainkan harus dipahami dalam konteks
struktur-struktur yang lebih besar di mana mereka berada dan berkembang. Tujuan
yang ingin dicapai dari strukturalisme adalah untuk menemukan prinsip-prinsip yang
universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan manusia.
Strukturalisme tidak mengakui otonomitas perilaku individu. Dalam pandangan
strukturalisme, individualitas di(ter)subordinasikan ke dalam uniformitas struktur-struktur
kognitif. Individu dilihat sebagai sesuatu yang ditentukan oleh budaya, masyarakat,
psikologi, atau lingkungan, atau melalui kombinasi beberapa di antaranya, sehingga
dengan demikian dapat digeneralisasikan. Individualitas memiliki problem teoretis ketika
terjadi penyimpangan norma. Persoalan tersebut terdapat beberapa alternatif penjelasan
sebagai penyimpangan disengaja, kegagalan sosialisasi, atau sebagai suatu problem yang
wajar dalam kehidupan (Cohen, 1992: 226).
Para teori yang bekerja dengan pendekatan strukturalisme pada umumnya meyakini
kekuatan struktur-struktur yang bertahan lama (longue duree) seperti kekuatan-kekuatan
lingkungan objektif (termasuk iklim), dan struktur sosioekonomi dan peradaban dalam
membentuk perilaku manusia. Sejarawan Fernand Braudel (1949) melalui karyanya
The Mediterranean, dan juga studi Immanuel Le Roy Ladurie yang mengkaji dampak
ekonomi dan sosial dari fluktuasi iklim, kemudian mempopulerkan ungkapan “sejarah
tanpa orang”. Sementara itu, studi Michel Foucault berpendapat sebaliknya. Studinya
mengenai kegilaan (madness), perubahan bentuk-bentuk pengetahuan, klinik, dan
tawanan merupakan jejak perubahan fundamental dalam epistemologi. Ia mengkaji
topik-topik tersebut tanpa perlu mencari kaitan kausal atau melihat perubahan-perubahan
yang terjadi sebelum munculnya tindakan-tindakan individual. Sesungguhnya, justru
aktor-lah yang menciptakan kata-kata dan perbuatan yang mungkin dengan mengarahkan
diskursus. Variasi pendekatan terhadap masyarakat, budaya, dan sejarah mencapai puncak
perkembangannya berkat tokoh strukturalis Marxis, Louis Althusser yang menolak ciri
humanis dalam analisis Marx awal. Ia menciptakan teori struktural tentang masyarakat
yang seluruhnya mengeliminasi setiap pengaruh human agency dari karakter keterlibatan
diri secara internal dalam struktur sosioekonomi dan politik (Nielsen, 2005a: 743).
Strukturalisme Lévi-Strauss pada dasarnya juga mengabaikan peran individu
dalam masyarakat. “Kematian subjek” merupakan slogan yang dialamatkan pada
strukturalisme. “Subjek” dalam hal ini adalah agen-agen sosial, tindakan, dan pribadi
individu. Menurut strukturalisme, bahasa manusia merupakan perancang dari pemikiran
dan tindakan-tindakannya. Asumsi yang dikemukakan adalah bahwa manusia tidak

269
menciptakan. Manusia adalah boneka-boneka dari ide-idenya dan tindakan-tindakan
mereka ditentukan oleh pilihan dan putusan tetapi merupakan hasil dari struktur ide-ide
pokok. Individu tidak menciptakan masyarakat, tetapi diciptakan oleh masyarakat.
Lokus penjelasan Lévi-Strauss dengan demikian termasuk dalam kategori ”mind” yang
menentukan ”body”.
Secara umum, strukturalisme Lévi-Strauss dapat dikelompokkan sebagai collectivist
theory. Unit analisis pada tingkat masyarakat membuatnya menegasikan peran dan
kualitas individual dalam masyarakat. Lévi-Strauss tidak terlepas dari pengaruh para
pemikir besar sebelumnya, seperti Durkheim, Marx, Freud, dan lain-lain. Meskipun
mempunyai pengaruh luas pada bidang-bidang kajian di luar antropologi, ketika politik
di banyak negara dipenuhi nuansa pembebasan individu dari segala bentuk penindasan,
paradigma strukturalisme mulai kehilangan pengaruhnya.
Asumsi strukturalisme tentang individu dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh
asumsi filsuf Immanuel Kant bahwa dunia di sekitar kita adalah produk dari ide-ide kita.
Asumsi yang digunakan strukturalisme juga sama, yakni ide-ide yang kita miliki akan
menghasilkan dunia yang kita lihat. Jadi, ketika Lévi-Strauss menegaskan bahwa ia telah
memiliki struktur pokok dari sistem-sistem kekerabatan pada masyarakat suku terasing,
dia sedang mengatakan bahwa dirinya telah menemukan struktur pokok dari terminologi
persahabatan, ide-ide yang dengannya masyarakat berbicara tentang persahabatan. Sama
halnya dengan Durkheim, posisi Lévi-Strauss sebagai seorang ”kolektivis” dalam hal ini
sangat jelas. Fakta sosial bagi Durkheim adalah “hal-hal” dalam pengertian yang nyata,
yakni sesuatu yang ada di luar subjektivitas, sesuatu yang memiliki eksistensi yang
independen. Demikian pula ketika Lévi-Strauss meneliti sistem kekerabatan suku-suku
terasing.
Penting bagi kita untuk memahami strukturalisme dari sudut pandang pendekatan
yang muncul kemudian, seperti poststrukturalisme, dan terutama teori sosial postmodern.
Strukturalisme muncul dan sangat berkembang di Prancis. Oleh karena itu sering disebut
strukturalisme Prancis. Filsafat sosial yang paling memengaruhi adalah humanisme,
terutama eksistensialisme Sartre. Aliran ini berpengaruh hingga setelah PD II. Humanis
seperti Sartre memberi perhatian besar pada individu dan menganggap penting otonomi
dan agensi individu tersebut. Strukturalis mengubah perspektif itu dengan memfokuskan
pada struktur-struktur yang ada dalam pikiran manusia sebagai basis kebenaran dunia
(realitas) sosial. Meskipun memiliki otonomi dan fungsi agensi, manusia dilihat sebagai
subjek yang dipengaruhi, apabila tidak dikatakan, ditentukan oleh struktur-struktur
yang melingkupinya.
Apa yang ingin dicari oleh strukturalisme bukanlah struktur-struktur yang tampil di
permukaan (surface) yang dapat diobservasi secara empirik, melainkan struktur-struktur
yang ada di bawah atau di balik realitas empirik. Lévi-Strauss dalam karyanya Le Cru
270
et le cuit (The Raw and the Cooked), menyatakan bahwa struktur tersebut mempunyai
kekuatan dan memberikan rasionalitas terhadap realitas. “Saya tidak mengesampingkan
kemungkinan bahwa manusia, yang memproduksi dan mengalami mitos ini, dapat
menyadari dengan sendirinya struktur dan mode operasinya. Akan tetapi, hal itu
menjadi tidak biasa. Menjadi bersifat parsial dan sementara”. Dia mengomparasikan
hal itu dengan situasi ketika manusia menggunakan bahasanya. Meskipun mereka
secara konsisten dan konstan mengaplikasikan hukum-hukum fonologi dan gramatika
(strukturnya) dalam percakapan, mereka tidak akan dapat menyadari atau mengetahui
struktur tersebut apabila tidak mengetahui linguistik. Juga tidak dapat dikatakan bahwa
mereka dapat memberi masukan terhadap hukum-hukum tersebut. Bagi para strukturalis,
semua aktivitas sosial adalah sama. Apa yang dilihat pengamat bukan struktur, melainkan
bukti sederhana atau produk dari struktur.
Gambar 9.1 Hubungan antara Surface dan Deep Structure

Kapasitas Penstrukturan Bawaan

Struktur Struktur Struktur


Bahasa Mitos Kekerabatan
DEEP
…………………………………………………………………………………………………………………
………………………………......................................................................................…………............

Bahasa, Mitos Pola Perkawinan dan


Diskursus Hubungan-hubungan
SURFACE
Keluarga

Sumber: Lane (1970: 15).

Skema di atas menunjukkan bahwa terdapat dua struktur utama dalam sebuah
budaya, yakni struktur-luar atau permukaan (surface structure) dan struktur-dalam
(deep structure). Menurut Ahimsa-Putra (2001: 61), struktur-luar adalah relasi-relasi
antar-unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri
empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur-dalam adalah susunan tertentu
yang kita bangun berdasarkan ciri-ciri yang sudah kita buat, tetapi tidak selalu nampak
pada sisi empirik dari fenomena yang kita pelajari. Struktur-dalam dapat disusun dengan
menganalisis dan membandingkan berbagai struktur-luar yang berhasil ditemukan
atau dibangun. Struktur-dalam itulah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk
memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur itulah peneliti kemudian
dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.

271
Suatu contoh yang baik mengenai struktur-struktur ini ditunjukkan oleh Laksono
(2009: 74—75) yang telah melakukan studi tentang tradisi pada masyarakat Jawa dengan
menggunakan kerangka strukturalisme Lévi-Strauss. Menurutnya, elemen-elemen
kosmos dalam pandangan orang Jawa berada dalam kesatuan yang harmonis. Kemudian
pengertian itu oleh orang Jawa diwujudkan melalui rangkaian-rangkaian klasifikasi yang
saling berkorespondensi dan cocok. Kita bisa melihat korespondensi itu setiap kali ada
hubungan permanen antara satu butir rangkaian klasifikasi dengan suatu butir dari
rangkaian lainnya. Model seperti ini mampu menjelaskan dinamika masyarakat Jawa
yang kompleks, karena model ini bisa mencakup cara orang Jawa melihat kenyataan di
dalam masyarakatnya, yang tidak hanya menekankan perbedaan-perbedaan, tetapi juga
persamaan-persamaan yang masing-masing sesuai dengan konteksnya (hlm. 96).
Tabel 9.3 Korespondensi Rangakaian-Rangkaian Klasifikasi Jawa

Korespondensi
Rangakaian
I II III IV V
Hari Pasaran Legi Paing Pon Wage Kliwon
Warna Putih Merah Kuning Hitam Multi Warna
Mata-angin Timur Selatan Barat Utara Tengah
Keluarga Kaki Nini Bapak Ibu Anak
Pekerjaan Petani Pedagang Penderes Jagal Raja
Wilayah Mancanegara- Mancanegara- Gunung
Laut Selatan Negara
Kerajaan Negaragung Negaragung Merapi
Model Imanen Eksistensial Transenden Esensial 0

Sumber: Laksono (2009: 75), diolah.

Rangkaian-rangkaian itu tampaknya memiliki hubungan korespondensi dengan


kutub pasangan antara transenden: imanen dan esensial: eksistensial. Dalam hal ini
timur adalah titik imanensi, selatan adalah titik eksistensi, barat titik transendensi, utara
titik esensi, dan tengah adalah titik 0. Homologi itu juga menjelaskan bahwa pembagian
wilayah Mataram memang mengikuti suatu pola lingkaran-lingkaran konsentris yang
berporos pada titik tengah. Pola ini dalam petungan (numorologi) Jawa dinyatakan
dengan rangkaian-rangkaian klasifikasi lima. Moertono (1981: 27), sebagaimana dikutip
Laksono (2009), hampir memastikan bahwa istilah mancanegara ada hubungannya
dengan pembagian ruang dalam lima klasifikasi seperti yang ada dalam konsep desa
mancapat.
Tokoh sentral Strukturalisme tak pelak lagi adalah seorang antropolog Prancis
Claude Lévi-Strauss. Ia lahir pada 28 November 1908 di Brussel (Belgia) dari keluarga
Yahudi. Sejak kecil pindah ke Prancis dan menyelesaikan studi filsafat di Universitas
Sorbonne pada 1931. Bidang filsafat sebenarnya merupakan bidang yang tidak

272
disukainya. Selama belajar di Prancis, dia berkenalan dengan beberapa sosiolog Prancis
seperti Comte, Durkheim, dan Mauss. Pemerintah Prancis memberinya kesempatan
untuk melawat ke Brazil untuk meneliti kelompok suku Indian di Amerika Selatan
sekaligus mengajar Sosiologi di Universitas Sao Paulo.
Basis analisis strukturalisme Lévi-Strauss ada pada konsep oposisi biner (binary
opposition) yang menurutnya merupakan organisasi pemikiran manusia dan juga
kebudayaannya. Oposisi biner dengan mudah dapat kita jumpai, misalnya siang-malam,
pagi-sore, pria-wanita, hitam-putih, mentah-matang, dan seterusnya. Pendek kata,
dalam pandangan Levi-Strauss, dunia sekitar diorganisasi dalam pikiran manusia dalam
bentuk konsep yang saling berhadap-hadapan (bertentangan). Suatu kata atau konsep
tidak selalu mempunyai makna tunggal. Dapat terjadi satu kata memiliki banyak makna,
misalnya kata “putih” sering dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan, dan
sebagainya.
Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut dikaitkan dengan persoalan-
persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau
beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Lévi-Strauss mengembangkan teorinya
dalam analisis mitos. Lévi-Strauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itulah sebabnya
ia memulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan
mencoba menerangkan paradigma mereka yang tumpang tindih dengan varian-varian
mitos. Model strukturalnya tidak linear (Meletinskij dalam Fokkema, 1978).
Gambar 9.2 Tokoh-tokoh yang memengaruhi teori Strukturalisme Lévi-Strauss

Marx 1880
Freud
Durkheim Boas 1900

de Saussure

Mauss Krober 1920


Lowie

Trubetzkoy
Jakobson Redclife Brown 1940

Levi-Strauss
1960

Sumber: Barnard, 2004.

Gambar di atas menunjukkan bahwa pemikiran Lévi-Strauss dipengaruhi oleh


banyak teori yang lahir sebelumnya. Dalam karya awalnya, Trites Tropiques (1955),
Lévi-Strauss menyebutkan bahwa dia memiliki tiga guru utama: Freud, Marx, dan
273
Geologi (Crick, 2008). Dari ketiga gurunya itu ia mendapat pengertian bahwa apa yang
nampak pada suatu fenomena bisa sangat menipu, dan realitas harus ditemukan di balik
fenomena yang nampak tersebut. Selain itu, antarstruktur terdapat hubungan kausalitas.
Misalnya, pendapat Marx, bahwa tatanan dasar tekno ekonomi memengaruhi pola-pola
nilai dan ideologi. Pandangan strukturalisme mendasarkan pada ketiga pemikiran
tersebut dan Lévi-Strauss menyatakan bahwa wilayah yang sesungguhnya ilmiah terletak
di balik persepsi manusia yang lazim.
Lévi-Strauss memiliki kemiripan dengan Sigmund Freud dalam menganalisis suatu
fenomena. Apabila Freud menggunakan sistem simbol mimpi untuk merekonstruksi sejarah
individu, ambisi strukturalis adalah menafsirkan sistem simbol dalam mitos agar dapat
merekonstruksi sejarah budaya. Untuk mencapai tujuan ini, Lévi-Strauss menggunakan alusi
singkat Freud pada “dua trauma”—mitos personal dan mitos universal. Freud menyatakan,
“Seorang anak manusia tidak dapat menyelesaikan perkembangan sampai pada tahap
beradab tanpa melewati masa neurosis (mitos neurotik individu) ... yang kemudian diatasi
secara spontan (atau melalui psikoanalisis) ... dengan cara yang sama, orang bisa berasumsi,
bahwa kemanusiaan secara keseluruhan, dalam perkembangan yang cukup lama, sampai
kepada situasi analog dengan neurosis tersebut ... menimbulkan proses yang mirip dengan
represi. Residu proses yang mirip dengan represi tersebut, yang terjadi ratusan tahun yang
lalu, memiliki keterkaitan erat dengan peradaban ... agama kemudian menjadi neurosis
kemanusiaan universal (Kruzweil, 2004).
Lévi-Strauss mengembangkan studi linguistik strukturalis dengan menggunakan
konsep-konsep yang berasal dari de Saussure. Bahasa adalah sistem tanda (sign), yang
menurut de Saussure, elemen dasarnya adalah tanda-tanda linguistik yang wujudnya
tidak lain adalah kata-kata. De Saussure mendefinisikan tanda sebagai kombinasi objek
dan nama atau bunyi untuknya. Objek adalah tertanda dan nama adalah penanda.
Tertanda + penanda = tanda. Contoh kata mawar adalah penanda untuk bunga, bunga
adalah yang ditandai. Secara bersama-sama, kata ini dan pencitraan dari bunga tertentu
menjadi tanda untuknya. Tanda adalah kesatuan bentuk penanda yang disebut signifier,
dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified.
Menurut de Saussure, representasi objek oleh nama/bunyi bersifat arbitrer. Tiap
penanda dalam budaya yang berbeda selalu berbeda, tetapi peraturan yang melandasinya
tetap sama. Hubungan antara tertanda/penanda sama dengan konsep-konsep lain yang
merupakan oposisi biner seperti baik/buruk, siang/malam, dan seterusnya. Asas oposisi
biner menjadi asas yang melandasi linguistik. Inti pemikiran de Saussure ini kemudian
dipakai Lévi-Strauss untuk mempelajari masyarakat manusia. Dunia dan hakikat manusia
merupakan dua hal yang saling bertentangan. Lévi Strauss berusaha mencari struktur
yang menjadi landasan pemikiran dan tindakan manusia, yakni struktur-dalam (deep
structure) yang ada di balik kata-kata, mitos, riwayat, dan berbagai artefak budaya lain.

274
Pengaruh de Saussure pada pemikiran Lévi-Strauss dalam konteks ini terlihat
dari gagasan Lévi-Strauss mengenai sistem tanda. Lévi-Strauss menyebut penggunaan
seperangkat alat yang ada untuk perbaikan tujuan-tujuan baru sebagai bricolage, yang
merupakan aspek penting pemikiran primitif. Totemisme dalam hal ini merupakan contoh
terpenting dari bricolage otak sehingga dapat dikatakan totemisme merupakan sistem
pemikiran. Penggunaan unsur-unsur yang ada dengan yang cara yang baru—bricolage—
ini merupakan transformasi unsur-unsur pemikiran ke dalam tanda-tanda. Menurut
Lévi-Strauss, tanda-tanda terletak separo jalan antara persepsi dan konsepsi.
Pengaruh Roman Jacobson terhadap teori-teori Lévi-Strauss juga cukup kuat.
Berdasarkan tesis-tesis yang telah dibangun oleh Jacobson, Lévi-Strauss membuat asumsi
bahwa “mode-mode ekspresi budaya lain, selain bahasa, seperti sistem kekerabatan,
taksonomi cerita rakyat, mitos, dan sebagainya terorganisasi sebagaimana bahasa”.
Tesis Jacobson yang dipakai Lévi-Strauss adalah bahwa “dalam semua bahasa di dunia
terdapat sistem oposisi kompleks antarfonem, yang tidak lebih dari elaborasi multi arah
dari sistem yang lebih sederhana yang dikenal semua orang, yakni kontras antara vokal
dan konsonan, melalui bekerjanya oposisi ganda antara kompak dan menyebar, halus/
lembut dan melengking, bunyi hidung atau mulut, dan seterusnya. Sejak kecil anak-anak
telah belajar membedakan vokal dengan konsonan berdasarkan keras lembutnya suara
(loudness). Jacobson menyebut taksonomi ini sebagai “segitiga vokal” di satu sisi, dan
“segitiga konsonan” di sisi lain (Leach, 1973).
Banyak kata-kata dari berbagai bahasa terbentuk berdasarkan kombinasi dari
sejumlah fonem. Fonem itu sendiri adalah unsur terkecil suara yang digunakan penutur
bahasa untuk membedakan satu kata (makna) dengan lainnya. Dalam bahasa Inggris,
b dan p adalah dua fonem. Bet dan pet adalah dua kata yang berbeda. Demikian pula
big dan pig. Pada 1930, Jakobson dan Nikolai S. Trubetzkoy menunjukkan bahwa
ciri-ciri distingtif fonem (seperti vokal, konsonan, dan lain-lain) diorganisasi dalam
“berkas-berkas” oposisi, seperti contoh b dan p. Pembedaan tersebut bukan karena
faktor suara, melainkan karena kombinasi sejumlah kecil “ciri distingtif” suara fonologis
sebagai basis bahasa. Noam Chomsky berpendapat bahwa terdapat sejumlah aturan yang
kompleks yang mengarahkan pembentukan pola-pola fonemik dengan analogi (oleh
karena isu akurasi linguistik dari strukturalisme Prancis mendasarkan diri).
Dengan pola yang sama, Lévi-Strauss menggunakannya untuk menganalisis pola
kuliner masyarakat, yang hasilnya adalah “segitiga kuliner”. Makanan yang dimasak
dapat berasal dari makanan mentah segar yang ditransformasikan (elabore) dengan
menggunakan benda-benda budaya. Sementara itu, makanan busuk adalah makanan
mentah segar yang mengalami transformasi karena kekuatan-kekuatan alam. Apabila
dalam sistem fonem ada oposisi biner, dalam sistem kuliner juga ada oposisi biner, yakni

275
yang ditransformasikan/normal, budaya/alam, yang keseluruhannya diinternalisasikan
ke dalam eidos budaya manusia di mana pun (Leach, 1973).
Pada 1959, ketika berusia 51 tahun, Lévi-Strauss terpilih menjadi ketua jurusan
antropologi sosial di Colle`ge de France. Dia kemudian mengembangkan laboratorium
antropologi sosial. Setahun sebelumnya, dia mempublikasikan bukunya Structural
Anthropology, yang kemudian menjadi “kitab suci” strukturalisme dalam ilmu sosial dan
humaniora. Lévi-Strauss mengaplikasikan perspektif strukturalnya untuk menganalisis
mitologi seperti yang ada dalam karyanya The Raw and the Cooked. Dalam buku tersebut
Lévi-Strauss (Fournier, 2005) menjelaskan bagaimana struktur-struktur mitos menghasilkan
pemahaman dasar tentang hubungan-hubungan kultural. Hubungan-hubungan tersebut
muncul sebagai oposisi biner seperti yang secara implisit ada dalam judul buku tersebut,
yakni sesuatu yang “mentah” dilawankan dengan sesuatu yang “dimasak”, dan sesuatu yang
“mentah” berhubungan dengan alam, sedangkan sesuatu yang “dimasak” berhubungan
dengan budaya. Bentuk-bentuk oposisi biner tersebut merupakan struktur dasar bagi
seluruh ide dan konsep budaya. Strukturalisme sebagai sebuah aliran pemikiran menjadi
alat analisis penting bukan hanya dalam antropologi, melainkan juga dalam bidang ilmu
sosial dan humaniora lain, seperti semiologi (Roland Barthes), filsafat dan ilmu politik
(Louis Althusser), dan psikoanalisis (Jacques Lacan).
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa teori sosial Lévi-Strauss sangat
dipengaruhi oleh banyak teori lain. Sebagian pengaruh tersebut merupakan dampak
langsung kedekatan pribadi antara Lévi-Strauss dengan para tokoh lain. Sebagian
lagi merupakan pengaruh “sekunder”; dalam arti Lévi-Strauss diperkenalkan dengan
pemikiran seorang tokoh melalui tokoh lain yang dikenalnya. Durkheim dan Mauss
memengaruhi pemikiran Lévi-Strauss melalui kedekatannya sebagai sesama kolega di
Universitas Sorbornne. Pemikiran Jacobson memengaruhinya karena mereka berdua
sama-sama mengajar di New School for Social Research. Sementara itu, pemikiran de
Saussure diperkenalkan oleh Jacobson yang pada akhirnya hal itu juga ikut memengaruhi
teori sosial Lévi-Strauss.
Ketekunan Lévi-Strauss pada metode strukturalisme dalam menganalisis berbagai
fenomena budaya telah menghasilkan banyak karya dan kontribusi signifikan dalam
antropologi sosial. Teori–teori yang lahir dari hasil karyanya cukup bervariasi. Glazer
(tt) dalam hal ini meringkaskan aspek-aspek utama teori Lévi-Strauss ke dalam 3 hal,
yakni (1) teori aliansi (alliance theory); (2) proses-proses mental manusia (human mental
processes); dan (3) analisis struktural tentang mitos.
1. Teori aliansi
Kontribusi teori Lévi-Strauss terhadap antropologi sosial sangat banyak dan
signifikan, dan yang terbaik dalah apa yang dikenal sebagai alliance theory. Teori ini

276
menekankan pentingnya arti perkawinan di masyarakat yang dilawankan dengan
pentingnya keturunan. Asumsi dasarnya adalah bahwa pertukaran perempuan
antarkelompok merupakan peluang survival yang lebih baik bagi seluruh anggota
kelompok yang berasal dari satu keturunan. Lévi-Strauss menyatakan bahwa
pengaturan perkawinan melalui preskripsi dan preferensi serta pelarangan tipe
perkawinan lain akan menghasilkan suatu “pertukaran” perempuan dalam masyarakat
sederhana. Pertukaran ini berhubungan dengan pertukaran hadiah (gift), yang
menjamin kerja sama antaranggota dalam kelompok tersebut. Analisisnya tentang
larangan inses sangat menarik. Bagi Lévi-Strauss, hubungan antara alam (nature)
dengan budaya (culture) berasal dari larangan universal ini. Dalam larangan inses,
alam mentransedensikan dirinya dan menciptakan budaya sebagai elemen pengontrol
perilaku manusia. Hubungan seks dan dorongan lain diatur oleh budaya sehingga
manusia menjadi entitas kultural.
2. Proses-proses mental manusia
Terdapat keseragaman dalam cara berpikir manusia. Lévi-Strauss mengklaim bahwa,
meskipun manifestasi-manifestasi mungkin sangat berbeda, proses-proses mental
manusia adalah sama di semua kebudayaan. Keseragaman proses mental manusia
berasal (sebagai akibat) dari biologis otak manusia dan caranya bekerja. Sebagai
akibatnya adalah keseragaman tersebut. Sebagai contoh, klasifikasi dari keseluruhan
dengan “manusia primitif” mempunyai basis sama ketika digunakan oleh setiap
kelompok. Kenyataan bahwa model-model resultan dari klasifikasi yang mungkin
berbeda adalah tidak relevan baginya. Analisis tentang mitos dalam pemikiran Lévi
Strauss juga berdasarkan pada premis tentang keseragaman pikiran manusia.
3. Analisis Struktural Mitos
Karya-karya Lévi-Strauss tentang mitos yang paralel dengan perhatiannya pada
proses-proses mental terlihat dari usahanya untuk mengungkapkan regulasi-regulasi
pikiran manusia. Penggunaan model strukturalis tentang mitos memungkinkan
materi-materi yang diteliti direduksi ke dalam tataran yang dapat dikendalikan.
Metode dominan untuk mencapai tujuan tersebut didasarkan pada penggunaan
konsep-konsep seperti: (1) struktur-luar—struktur-dalam (surface and deep structure),
(2) oposisi biner budaya/alam; dan (3) mediasi. Untuk mengetahui model/struktur
dari suatu mitos, seseorang harus mengeksplorasi struktur-dalam suatu mitos dengan
mencari oposisi biner di dalamnya. Struktur biner tersebut terjadi secara alamiah
dalam alam pikiran manusia. Oposisi biner ini dapat mengalami perubahan. Sebagai
contoh, dalam oposisi biner “hidup” dan “mati” muncul kategori sleeping beauty
sebagai bentuk mediasi. Di sini oposisi biner “hidup” versus “mati” dimediasi oleh
12 cerita: kematian ditransformasikan ke dalam tidur selama 100 tahun.

277
Lévi-Strauss tertarik pada mitos untuk mengembangkan analisis strukturalnya.
Mengapa mitos? Dalam hal ini Lévi-Strauss berargumen bahwa mitos merupakan
bentuk manifestasi linguistik yang paling umum dan memiliki struktur yang lebih
kompleks dibandingkan dengan manifestasi linguistik yang lain (Lévi-Strauss 1993
dalam Baert, 1998: 25). Mitos atau dongeng atau cerita yang beredar di masyarakat
bagi Lévi-Strauss bukan sekadar dongeng pengantar tidur untuk anak-anak. Di dalam
mitos terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita pertama
kali. Pembuat cerita tersebut kadang tidak pernah diketahui secara definitif. Lewat
mitos, secara sosiologis ada proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai tertentu
antargenerasi. Mitos menyimpan logika nalar manusia, sehingga menganalisis mitos
akan dapat mengungkapkan logika tersebut.
Lévi-Strauss menetapkan landasan analisis struktural terhadap mitos. Pertama,
bahwa apabila memang mitos sebagai sesuatu yang bermakna, makna itu tidaklah
terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang
lain, tetapi pada cara unsur-unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain, pada
in the way the elements are combined. Cara mengombinasikan unsur-unsur mitos inilah
yang menjadi tempat bersemayamnya sang makna. Kedua, walaupun mitos termasuk
dalam kategori bahasa, mitos bukanlah sekadar bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu
saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa. Oleh karena itu, “bahasa” mitos
memperlihatkan ciri-ciri tertentu yang lain lagi. Ketiga, ciri-ciri ini dapat kita temukan
bukan pada tingkat bahasa itu sendiri, melainkan di atasnya. Ciri-ciri ini juga lebih
kompleks, lebih rumit daripada ciri-ciri bahasa ataupun ciri-ciri yang ada pada wujud
kebahasaan lainnya (Ahimsa-Putra, 2001: 94).
Lévi-Strauss mengambil contoh mitos Yunani, Oedipus, sebagai pengembangan analisis
strukturalnya. Mitos tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk tabel seperti pada Tabel
9.4. Seseorang yang ingin menceritakan mitos tersebut dapat membacanya dari kiri ke kanan
atau dari atas ke bawah. Akan tetapi, apabila seseorang ingin mengetahui mitos tersebut
haruslah membacanya kolom demi kolom. Kolom-kolom dikonstruksikan bahwa setiap
kolom terdapat peristiwa-peristiwa yang memiliki kemiripan. Sebagai contoh, peristiwa-
peristiwa yang ada di kolom pertama mengindikasikan hubungan-hubungan darah yang
sangat dekat, sementara peristiwa-peristiwa di kolom kedua menunjukkan sebaliknya
(mengabaikan adanya hubungan darah). Kolom ketiga menunjuk pada pembunuhan
monster-monster yang membahayakan kehidupan bersama. Sementara kolom keempat
berkaitan dengan Oedipus dan para leluhurnya yang semuanya bermasalah dengan
kakinya. Kolom pertama dan kedua lebih jelas tetapi kolom ketiga dan keempat tidak dapat
menjelaskan dengan sendirinya dan memerlukan interpretasi lebih lanjut. Kemampuan
strukturalis dalam menginterpretasikan menjadi sangat penting (Baert, 1998: 26).

278
Tabel 9.4 Analisis Strukturalisme Lévi-Strauss tentang Mitos Oedipus

Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4


Kadmos mencari saudara
perempuannya, Eropa yang Kadmos membunuh naga.
dilarikan Zeus.
Orang Spartoi saling bunuh.
Labdakos ayah
Laois=lumpuh?
Oedipus membunuh ayahnya.
Laois, ayah
Oedipus=Pincang?
Oedipus membunuh Spinx.
Oedipus=kaki bengkak.
Oedipus mengawini Jocaste,
ibunya sendiri.
Eteocles membunuh saudara
laki-lakinya, Polyneces.
Antigone mengubur saudara
laki-lakinya, Polyneces,
meskipun dilarang.

Sumber: Lévi-Strauss 1963 (dalam Ahimsa-Putra, 2001: 107).

Secara implisit Lévi-Strauss berpendapat bahwa manusia pada dasarnya menghadapi


satu pertanyaan fundamental: mana yang benar di antara pandangan mitologi yang
mengatakan bahwa manusia berasal dari tanah (yang berarti berasal dari satu makhluk,
entah itu Adam atau makhluk yang lain) dengan kenyataan bahwa manusia lahir dari
persatuan laki-laki dan perempuan? Teka-teki ini tidak mungkin dijawab. Oleh karena
itu diplesetkan sedemikian rupa sehingga dapat dijawab. Menurut Lévi-Strauss, teka-teki
yang perlu dijawab adalah, “bagaimana memperoleh peralihan yang memuaskan, yang pas,
antara pandangan keagamaan atau teori tersebut, dengan kenyataan bahwa manusia berasal
dari persatuan antara laki-laki dan perempuan. Kisah Oedipus merupakan logical tool yang
menghubungkan masalah pokok dengan turunannya (Ahimsa-Putra, 2001: 110).
Lévi-Strauss merumuskan hipotesis bahwa sebuah mitos dapat dirinci ke dalam
unit-unit pembentuknya (mythemes); kunci untuk memahami keseluruhan makna sebuah
mitos adalah mengungkapkan cara mythemes diorganisasi atau dihubungkan satu sama
lain. Mythemes adalah kalimat terpendek dari narasi mitologi. Melalui analisis intuitif
dan trial and error, Lévi-Strauss mengidentifikasi hal tersebut dalam mitos Oedipus. Dia
menempatkan elemen-elemen hubungan-hubungan perkawinan sedarah (inses) dalam
kolom 1. Ia juga menemukan episode-episode yang menggambarkan pembunuhan
monster-monster yang nampak untuk mendukung penolakan asal-usul mitologi manusia
dari bawah; elemen ini ditempatkan di kolom 3. Akhirnya, Lévi-Strauss mendeteksi

279
nama-nama seperti Labdacos, Laios, dan Oedipus yang muncul untuk mengindikasi
kesulitan-kesulitan dalam berdiri tegak dan jalan lurus, yang nampaknya mendukung
asal-usul mitologi dari bawah, elemen ini ditempatkan pada kolom 4.
Item-item yang ditempatkan dalam empat kolom menjadi masuk akal hanya
ketika dipahami dalam hubungannya satu dengan yang lain. Dalam kehidupan sosial,
baik penekanan (kolom 1) maupun penafikan hubungan-hubungan keluarga (kolom 2)
terjadi, pengetahuan mitologis (manusia tercipta dari tanah—kolom 3) dan pengetahuan
empirik (manusia lahir dari perkawinan dua orang––kolom 4) juga dapat terjadi. Struktur
logis dalam mitos nampak membingungkan apabila dilihat dari sisi permukaan isi setiap
kolom, tetapi menjadi sangat jelas apabila kita memfokuskan hubungan-hubungan
kesamaan dan perbedaan di antaranya: a adalah untuk b dan c adalah untuk d. Kehidupan
sosial memvalidasi kosmologi dengan kesamaan struktur logis, juga dengan kontradiksi-
kontradiksi yang ada di dalamnya.
Apabila Lévi-Strauss benar, mitos Oedipus adalah suatu perlengkapan intelektual
untuk merekonsialisi kontradiksi dan dilema dalam pengalaman hidup manusia.
Manusia yang lahir dari sebuah hubungan inses pada dasarnya lahir dari satu orang (dari
perempuan) oleh karena aturan budaya melarang hubungan inses. Akan tetapi, secara
biologis dan empiris, manusia tersebut tetap lahir dari dua orang, yakni perkawinan
antara laki-laki dan perempuan. Bukankah ini sebuah solusi elegan terhadap hubungan
problematik antara ilmu pengetahuan dan agama? Beban dari lemahnya bukti dari model
analisis ini berasal dari penentang-penentang Lévi-Strauss yang harus menunjukkan
bahwa analisis perbedaan logis menghasilkan penjelasan mitos yang lebih efisien.
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian Lévi-Strauss dengan demikian
ada pada level makro (tingkat masyarakat). Apa yang diteliti Lévi-Strauss tidak
ubahnya seperti yang diteliti Durkheim, yakni fakta sosial yang bersifat makro. Data
yang dikumpulkan merupakan data makro, misalnya sistem kekerabatan, mite, atau
simbol-simbol budaya pada masing-masing masyarakat yang menjadi objek kajiannya.
Data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi. Metode
seperti ini dilakukan Lévi-Strauss ketika meneliti sistem kekerabatan masyarakat suku
terasing, totemisme, pemikiran liar (savage thought), dan lain-lain. Lévi-Strauss sangat
konsisten dengan metode ini dan menjadi ciri utama yang membedakan dengan teori
lain, baik antropologi yang menjadi bidang kajiannya maupun teori sosial lainnya.
Asumsi yang dibangun dalam hal ini mirip dengan asumsi Durkheim. Apabila Durkheim
mengasumsikan masyarakat sebagai organisme sosial, Lévi-Strauss mengasumsikan bahwa
kebudayaan itu sebagai organisme sosial. Dalam konteks ini, gejala yang dipelajari akan
dipandang seperti makhluk hidup yang terbangun dari berbagai macam unsur yang
saling berhubungan secara fungsional satu sama lain sehingga terdapat saling pengaruh
(interdepedency).

280
Salah satu anggapan sentral Lévi-Strauss adalah bahwa, oleh karena bahasa dan
mitologi yang merupakan ekspresi pikiran manusia, hal itu dapat menghasilkan sebuah
metodologi untuk memahami aturan-aturan berdasarkan struktur pikiran seperti suatu
budaya terbangun. Berasal dari teori-teori dari para ahli linguistik seperti Ferdinand de
Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai S. Troubetzkoy, Lévi-Strauss mengambil ide
bahwa makna unit-unit linguistik intrinsik terletak tidak pada setiap unit tersebut, tetapi
berasal dari hubungan-hubungan kesamaan dan perbedaan antarelemen konstituennya.
Bahasa, dengan demikian bukan sekadar agregasi dari elemen-elemen tersebut, melainkan
terstruktur atau ditentukan secara total oleh hukum-hukum internal yang ada; “struktur”
bahasa tidak menunjuk pada pola-pola linguistik yang dapat diamati secara empirik,
tetapi menunjuk pada hubungan-hubungan fungsional di antara elemen-elemen yang
membentuknya.
Demikian pula struktur kebudayaan, isi budaya yang nampak heterogen tersebut,
harus dipahami pada tingkat organisasi logikanya (oleh karena itu, struktur logis
merupakan struktur yang nyata=sesungguhnya). Dengan memfokuskan pada logika
yang mendasari berbagai sistem budaya yang dapat diamati, baik yang mendasari
kesamaan struktural, perbedaan struktural, maupun variasi-variasi di antara varian sistem
sosiokultural, aturan transformasi dari satu fenomena ke fenomena lain atau sintaksis
transformasi-transformasinya membentuk tatanan struktur tingkat kedua. Struktur
dasar beroperasi pada level subempiris sepanjang struktur tersebut konsisten dalam hal
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan relasional di antara komponen elementer
data. Isu kunci dengan demikian adalah metodologi apa yang cocok untuk menentukan
unit-unit elementer dari data kebudayaan. Kita mengetahui bahwa metodologi awal yang
dikembangkan Lévi-Strauss adalah linguistik.
Dalam hal ini, Lévi-Strauss (Cuff et al., 2006: 179) mencontohkan bahwa pemilikan
totemisme oleh masyarakat tribal, primitif yang jauh dari kemajuan masyarakat, tidak
mengindikasikan sebuah pembagian dalam asal-usul pikiran. Perbedaan tersebut hanya
bersifat superfisial. Pikiran manusia pada dasarnya bekerja dengan cara yang sama; dan
perbedaan antara masyarakat “primitif” dan masyarakat “modern” hanya terletak pada
kondisi-kondisi yang melandasi pikiran beroperasi. Masyarakat “modern” ditandai
oleh berkembangnya akumulasi historis kompleks aparatur untuk mengekspresikan
pemikiran abstrak, seperti yang ada dalam tulisan dan rumus matematika. Sistem seperti
ini mendorong ekspresi, preservasi, dan komunikasi pemikiran serta memfasilitasi
beroperasinya pemikiran-pemikiran yang kompleks dan abstrak. Masyarakat “primitif”
tidak memiliki sistem seperti itu. Namun, bukan berarti tidak memiliki kemampuan
operasi intelektual yang canggih. Mereka mengekspresikan dan mengomunikasikan
pemikiran dengan cara dan sarana yang berbeda dengan masyarakat modern. Hal inilah
yang oleh Lévi-Strauss disebut perbedaan superfisial, yakni perbedaan antara pemikiran

281
“kita” dengan pemikiran “mereka”. Perbedaan tersebut menyangkut sarana ekspresi
pemikiran logis yang berbeda satu sama lain. Pemikiran “kita” sering dipublikasikan
dalam berbagai bentuk sehingga dapat bertahan lama dan dapat dipelajari oleh generasi
berikutnya. Akan tetapi, pemikiran “mereka” hanya di “share” melalui cerita-cerita mistis
dan bentuk-bentuk budaya lisan lainnya. Namun, secara fundamental, pemikiran “kita”
dengan pemikiran “mereka” adalah sama, baik dalam bentuk-bentuk ekspresinya maupun
fungsinya sebagai kurir perubahan secara formal refleksi logika yang berbelit-belit.
Selain Lévi-Strauss, teori strukturalisme mendapatkan kontribusi dari filsuf
Marxis Prancis, Louis Althusser. Karya-karya Althusser sangat krusial di tengah arus
besar pengaruh pemikiran sosial Eropa, baik di Inggris maupun di AS. Di bawah nama
strukturalisme yang merupakan aliran pemikiran baru, ia memiliki pandangan yang
sangat berbeda dengan konsepsi-konsepsi tentang manusia dan ilmu sosial sebelumnya
yang berkembang di Prancis, khususnya di dekade 1960-an. Pendekatan Althusser
menjadi salah satu pendekatan sosiologi ilmiah yang sangat sukses walaupun tidak ada
yang mengira sebelumnya. Karya Althusser dapat diidentifikasikan sebagai strukturalisme
Marxis yang mengombinasikan beberapa ciri menarik, antara lain: (1) prospek sosiologi
ilmiah yang otentik; (2) memperbarui pandangan Marxis; dan (3) memiliki implikasi
politik kuat. Di tengah pro dan kontra, karya Althusser meningkatkan karya-karya
sosiologi di Eropa dan memunculkan diskusi-diskusi yang menarik.
Althusser lebih tertarik untuk mendefinisikan kembali pemahaman-pemahaman
kontemporer Marx. Ia, sebagaimana diketahui, juga menggunakan perspektif
antihumanis seperti yang dilakukan Lévi-Strauss dan Barthes. Perhatian utamanya adalah
mempertahankan dan mengoreksi teori-teori yang ditemukan dalam tulisan Marx pada
akhir hayatnya. Karya Althusser secara esensial berada di seputar problem hubungan
antara struktur dasar (base structure) dan superstruktur, baik dalam hal interelasinya
maupun dalam mekanisme bekerjanya struktur tersebut. Sesuatu yang dianggap benar
dalam pembacaan Marx, menurutnya, adalah mengidentifikasi poin-poin penting
dalam tulisan Marx dan ide-ide esensial Marxisme, baik yang ada di tulisan Marx
pada awal kariernya maupun dari tokoh-tokoh yang menjadi pengikutnya. Setelah
itu, mengembangkan pandangan Marx mengenai pentingnya pemahaman mengenai
bagaimana elemen-elemen ekonomi dan ideologi membentuk masyarakat (Cuff, et al.,
2006: 193).
Kontribusi penting Althusser adalah konsepnya tentang aparatur-aparatur ideologis
negara (Ideological state apparatuses=ISAs) meliputi sistem pendidikan, keluarga, sistem
hukum, sistem politik, serikat dagang, media massa, ruang budaya, dan waktu luang.
ISA terdiri atas berbagai aktivitas otonom yang terlihat dari sifat kemandiriannya dan
kecenderungan perkembangan internal. Althusser membuat dua catatan tentang hal ini.

282
1. Otonomi tersebut hanya relatif dan heterogenitasnya sangat superfisial, karena
mereka beroperasi dan beremanasi dari ideologi tunggal yang berasal dari kelas
penguasa.
2. Ruang kehidupan sosial yang nampaknya independen ini memiliki fakta krusial sama,
yakni bahwa hal itu merupakan bagian dari aparatur negara (Cuff et al., 2006: 193).
Sebagai seorang Marxis, Althusser memberikan warna materialistik dalam
strukturalisme. Di balik model sederhana atau superstruktur, dia berusaha menunjukkan
bagaimana negara kapitalis dan aparatur ideologisnya membentuk dan mengarahkan
kesadaran individual dan usaha dalam melayani sistem melalui budaya dominan. Hal
itu kemudian mendorong Gramsci mereafirmasi peran kesadaran, budaya, dan agensi
manusia dalam penjelasannya tentang bagaimana kapitalisme mempertahankan status
quo-nya melalaui hegemoni budaya. Akibatnya, revolusi hanya dapat dilakukan oleh
kaum proletar melawan aparatur budaya dominan untuk membentuk kesadaran dari
hubungan untuk kondisi dalam sistem kapitalisme. Budaya, dengan demikian, menjadi
arena kritik dan perjuangan bagi Gramsci dan bukan hanya persoalan struktural,
kolektif, dan ketidaksadaran sebagai faktor determinan subjektivitas (Walsh, 1998 dalam
Bharadwaj, 2007: 133)

D. Krik/Tanggapan

Strukturalisme memiliki peran penting dalam mereorientasikan sosiologi Anglo-Amerika melalui


pemikiran yang bersumber dari daratan Eropa. Aliran ini juga memecah kebuntuan metode
analisis fenomena budaya secara umum yang dihadapi ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi. Metode
strukturalisme, yang berasal dari disiplin antropologi dan linguistik, muncul sebagai alat analisis
baru yang memiliki karakteristik yang khas. Dengan mengombinasikan pengaruh Marxisme Barat
yang concern pada hegemoni budaya, strukturalisme merupakan bentuk analisis budaya yang
mengubah perhatiannya ke arah analisis dalam terminologi Marxis, seperti fenomena superstruktural.
Strukturalisme selain itu juga mempunyai pengaruh kuat dalam karya-karya sastra, sehingga istilah
“teori” yang melekat pada nama strukturalisme menjadi bahan perdebatan di kalangan banyak
ahli. Benarkah strukturalisme merupakan teori? Strukturalisme mendapatkan kritik dari berbagai
sisi. Berikut uraian mengenai kritik-kritik yang dialamatkan pada teori strukturalisme.

Dalam menganalisis budaya sebagai pesan, Lévi-Strauss menggunakan analisis


Marxisme konvensional dengan melihat masyarakat sebagai hasil dari pertentangan
hubungan-hubungan material sehingga berguna untuk menangani isu perubahan sosial.
Pendekatan strukturalis dalam hal ini hanya berhubungan dengan isu-isu suprastruktur
yang memungkinkannya direduksi menjadi dasar materialistis dalam fisiologi pemikiran.
Sebaliknya, meskipun menyediakan penjelasan reduktif tentang perubahan sosial,
pendekatan Marxis hanya diterapkan pada infrastruktur karena tidak bisa memberikan
penjelasan atas berbagai pertanyaan yang cukup berbeda mengenai proses-proses

283
penstrukturan dari suprastruktur-suprastruktur ideologis sejenis (Badcock, 2008).
Dengan demikian, pengaruh Marx terhadap Lévi-Strauss terletak pada penggunaan
metode dialektika dalam menganalisis perubahan sosial, konflik, dan sebab-sebab akhir
dari kode-kode budaya.
Mary Douglas mengkritik strukturalisme, terutama yang berkaitan dengan isu agensi
manusia. Ia menolak “candu budaya” (cultural dope) strukturalisme dan juga utilitarian
yang mengabaikan peran manusia di dalamnya. Douglas konsisten dengan pandangannya
bahwa individu berada dalam posisi “in the active voice”. Agensi, peran aktif orang, dan
bervariasinya agensi tidak dapat dipahami dari referensi proses-proses institusional yang
memberikan makna, keampuhan, dan bahkan kemungkinan-kemungkinan bagi agensi
itu sendiri (Perri, 2007: 67).
Tulisan Foucault yang berjudul The Archaeology of Knowledge merupakan bukti
bahwa dia sangat tidak puas dengan strukturalisme dan dia memberikan ruang yang
cukup dalam bukunya untuk membuktikan bahwa dia menjaga jarak dengannya. Buku
tersebut diawali dengan sebuah aturan tentang metode “arkeologi” yang dikembangkan
dari karya-karya sebelumnya. Pembedaannya adalah bahwa diskursus harus dipandang
sebagai keseluruhan sistem pernyataan otonom. Meskipun demikian, dia buru-buru
merevisi pandangannya dan berpendapat bahwa pembentukan diskursif jauh dari
otonom tetapi juga sangat dekat ikatannya dengan kekuasaan dan dominasi. Hal ini
merupakan sebuah perubahan kunci dalam pemikirannya; dan perlu dicatat bahwa
“genealogi” muncul sebagai metode pembuktian yang menjadi ciri khasnya (Carrabine,
2007a: 83).
Selain Foucault, tokoh postmodernis lain yang menentang strukturalisme adalah
Jacques Derrida. Karyanya yang berjudul Of Grammatology didedikasikan untuk
mendekonstruksi teori-teori Lévi-Strauss. Selain itu, karya tersebut ditujukan untuk
mengkritik filsafat Barat yang menurutnya terlalu mendasarkan diri pada “logosentrisme”
atau “metafisika kehadiran”. Filsafat Barat, menurutnya, mendasarkan diri pada
“logosentrisme” atau “metafisika kehadiran”. Logosentrisme adalah sistem metafisika
yang mengandaikan logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang
nampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. Logosentrisme
berarti menaruh kepercayaan penuh pada logos atau rasio. Ciri menonjol dari tradisi
logosentrisme adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis,
seperti esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/
empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan, konsep/metafor dan seterusnya.
Oposisi biner ini disertai anggapan bahwa yang disebut pertama merupakan pusat,
asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya, sementara yang disebut kedua hanya
sebagai derivasi, manifestasi pinggir, sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama.
Teori Lévi-Strauss sangat kental dengan ciri logosentrisme tersebut.

284
Filsafat Barat memandang bahwa tulisan merupakan suplemen dari percakapan
atau sesuatu yang sekunder. Menurut Derrida, oposisi percakapan/tulisan yang
ditransformasikan ke dalam oposisi primer/sekunder tersebut tidaklah benar. Terbukti
misalnya dari mitologi Mesir, antara raja Ammon dan putranya Thoth merupakan bentuk
pertentangan antara ayah dengan anak. Putra mahkota (Thoth) menjadi suplemen bagi
rajanya. Namun demikian, Thoth, sang putra raja pada akhirnya menggantikan rajanya
sendiri. Dalam hal ini ada pertentangan putra melawan ayah=putra raja melawan raja.
Dengan kata lain suplemen tidak selalu menjadi pelengkap.
Proyek dekonstruksi Derrida tidak hendak membangun pemikirannya di atas
konsep-konsep lama yang digunakan filsafat/metafisika tradisional. Derrida dalam
hal ini menolak dikotomi konseptual antara “kehadiran” (presence) dan “absensi”
(absence). Dengan kata lain, antara metafisika yang didasarkan pada kehadiran subjek
dengan ketiadaan subjek lainnya. Dalam tradisi metafisika yang logosentris, dikotomi
kehadiran/absensi dipertahankan sedemikian rupa melalui pemilahan antara pikiran/
tubuh, kesadaran/kegilaan, rasionalitas/irasionalitas, logos/mitos, dan lain sebagainya.
Lalu apa yang terjadi apabila semua sistem dikotomi ditolak? Yang terjadi adalah
terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh
filsafat/metafisika Barat untuk tampil ke permukaan. Oleh karenanya, tubuh, kegilaan,
irasionalitas, mitos, dan berbagai subjek yang terepresi menemukan momentumnya di
sini (Al-Fayyadl, 2005: 27—28).
Apabila bahasa selalu merupakan ekspresi, untuk apa perluasan dan dengan cara apa
ekspresi tersebut nampak, tidak dapatkah grammatology menjadi semiologi nonekspresif
yang lebih didasarkan pada notasi matematika dibandingkan dengan notasi linguistik?
Derrida menjelaskan bahwa ekspresivisme tidak pernah dapat dinampakkan secara
sederhana karena tidak mungkin mereduksi oposisi biner luar/dalam sebagai struktur
oposisi sederhana. Oposisi tersebut merupakan efek dari differance sebagai efek bahasa
yang memaksa dirinya sendiri sebagai representasi ekspresif. Representasi bahasa sebagai
ekspresi bukan merupakan prejudis aksidental, melainkan semacam daya tarik struktural,
atau dalam bahasa Kantian—sebagai ilusi transendental (illusion trancendental). Oleh
karena notasi matematika merupakan ciri logosentrisme dan phonologisme, grammatology
harus mendobrak pengandaian ini dan selanjutnya harus membebaskan diri dari
matematisasi bahasa. Bahwa praktik ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti untuk
memprotes dominasi logos.
Dari aspek metodologi, strukturalisme mendapat serangan dari para ahli yang tidak
setuju dengan metode positivisme yang menjadi landasan strukturalisme. Satu oposisi
(perentangan) nampaknya sangat tidak dapat didamaikan antara analisis struktural yang
mencari struktur logika dan struktur riil dengan metodologi empirico experimental yang
mendasarkan pada kriteria pengetahuan verifikatif; dan karenanya, yang terbatas pada

285
studi struktur-struktur yang dapat diobservasi secara empirik. Dapatkah metodologi
yang lahir kemudian mengungkapkan makna sistem kultural dari struktur-dalam (deep
structure)? Hal ini menjadi tantangan perkembangan metodologi di masa depan.
Meskipun demikian, penilaian bahwa strukturalisme Lévi-Strauss merupakan
“positivisme struktural” ataupun “neo-positivisme” dibantah oleh Ahimsa-Putra.
Sebagaimana dinyatakan oleh Lévi-Strauss sendiri, strukturalisme yang diperkenalkannya
bukan hanya sebuah kerangka teori, melainkan juga sudah merupakan epistemologi.
Oleh karena itu, penilaian terhadapnya mestinya tidak dilakukan hanya dengan
mendasarkan pada satu atau dua elemen dari perangkat epistemologis tersebut,
sebagaimana dilakukan oleh Badcock. Apabila strategi analisis seperti itu yang ditempuh,
yang akan diperoleh bukanlah kejelasan peta paradigma-paradigma ilmu sosial budaya,
melainkan kesimpangsiuran peta, yang akan semakin membingungkan dan sulit diurai
(Ahimsa-Putra, 2008: xxviii).
Terdapat analogi antara realisme ilmiah dengan strukturalisme Prancis, varian lain
antipositivis yang berusaha mengonstruksi ilmu pengetahuan tentang masyarakat yang
menjelaskan bahwa aktivitas manusia berada pada deep structures dan bukan pada makna
yang ada di permukaan di mana orang bertindak. Struktur ini diyakini berada di luar
aktivitas manusia sehingga pelaku tidak menyadari keberadaannya. Contoh terkenal
ada pada struktur mitos yang dianalisis Lévi-Strauss dan pernyataan ulang Marxis yang
dilakukan oleh Althusser. Meskipun demikian, studi-studi strukturalisme dipicu oleh
kritik yang muncul di akhir dekade 1970-an, terutama yang berkaitan dengan refleksivitas
dan kegagalannya untuk diperhitungkan status ilmiahnya. Ketika menekankan
penstrukturan ketidaksadaran aktivitas dan kepercayaan yang dikaji, mereka nampak
membebaskan aktivitas-aktivitas dan kepercayaan-kpercayaan yang dimilikinya dari
analisis struktural. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemunculan
postmodernisme tidak berselang lama (Halfpenny, 2001: 379).
Dalam teorinya tentang strukturasi, Giddens berpendapat bahwa agensi/dualisme
struktur dapat mengatasi hanya dengan menyintesiskan pandangan-pandangan yang berasal
dari berbagai perspektif. Proses ini melibatkan reformulasi khazanah konsep-konsep dalam
sosiologi. Bagi Giddens, aplikasi teoretis sebelumnya berkaitan dengan istilah struktur ––yang
paling banyak ditemukan dalam fungsionalisme dan Marxisme–– cenderung mendefinisikan
struktur sebagai hubungan-hubungan sosial yang terpolakan secara kausal yang tidak hanya
bersifat eksternal bagi agensi manusia, tetapi juga “memaksa” (constraining). Dia memiliki
pemahaman mengenai “struktur” yang sangat berbeda dengan Lévi-Strauss. Struktur di sini
menunjuk pada model-model abstrak dalam bentuk oposisi biner dan dual relations, yang
ada dalam human being, yang tidak eksis dalam dimensi ruang dan waktu, tetapi sebagai
relasi-relasi ada dan tiada. Dengan menggunakan pendekatan ini, Giddens menawarkan
definisi yang menarik mengenai struktur. Seperti halnya bahasa, struktur adalah “virtual”.

286
Hal ini disebabkan ia eksis di luar rentang ruang dan waktu, yang direproduksi secara tidak
sengaja melalui praktik-praktik kehidupan sehari-hari.
Dengan mengidentifikasi struktur melalui bahasa, dia berharap dapat memengaruhi
dinamika penyejajaran antara pengucapan dan tindakan yang diimplementasikan oleh
seorang agen dan struktur yang membentuk kondisi kemungkinan bagi peningkatan
pengucapan dan tindakan. Hal ini mempunyai dua efek. Pertama, apa yang dirujuk
Giddens sebagai “dualitas struktur”; struktur tidak lebih dipahami sebagai hanya
memaksa, tetapi juga dapat “mendorong” (enabling). Struktur tidak hanya membatasi
tindakan melalui aturan “syntax”, tetapi juga memungkinkan peningkatan tindakan.
Kedua, struktur merupakan medium sekaligus dampak dari tindakan-tindakan.
Oleh karena itu, pengejawantahan struktur-dalam tindakan seseorang secara rekursif
menggambarkan dan mereproduksi totalitas bahasa. Setiap tindakan merupakan produksi
sosial yang secara simultan juga merupakan reproduksi tindakan (Loyal, 2005).
Isu perdebatan struktur-agensi juga menjadi bahan kritikan dari Alan Touraine
yang banyak melakukan studi tentang gerakan-gerakan sosial. Beberapa karya Touraine
dirampungkan ketika strukturalisme mendominasi iklim intelektual Prancis. Menariknya,
meskipun demikian, karyanya sangat bertentangan dengan strukturalisme, terutama
tekanannya pada isu-isu seperti agensi, proses, dan perubahan. Keputusannya untuk
mempelajari gerakan sosial, tentu saja, menjadi bagian dari usahanya untuk menjelaskan
peran agensi. Dalam mempelajari gerakan sosial, yang dilakukan kebanyakan orang
adalah mempelajari cara individu sebagai agen sosial bekerja sama untuk mencapai
perubahan. Hal ini sangat berbeda dengan tendensi strukturalisme yang “mengaburkan”
peran agen yang dilihatnya hanya sebagai “kurir” struktur. Atau untuk menjelaskan
cara-cara tersebut sebagai efek ideologis atau aparat politik. Agensi menjadi sesuatu yang
penting dalam pandangan Touraine melebihi teori gerakan sosial lain. Beberapa karyanya
berusaha mengeksplorasi agensi dan membawanya ke dalam latar belakang analitiknya.
Sebuah konsepsi adekwat tentang masyarakat dan sosial berubah. Dia mengusulkan
adanya konsepsi yang kuat tentang agensi. Meskipun fokusnya pada agensi, gerakan
tidak selalu mendapat penjelasan yang jelas dalam analisis Touraine. Untuk alasan ini ia
mengusulkan apa yang disebut sebagai “intervensionisme sosiologis”, yakni keterlibatan
penelitian sosial yang tidak hanya memerhatikan proses gerakan sosial tetapi juga sebagai
usaha yang memungkinkan mengkristalisasikan secara lebih jelas asal-usul dan tujuan
dari gerakan-gerakan sosial tersebut (Crossley, 2007: 215).
Strukturalisme juga mendapat serangan dari kaum feminis. Mulvey, misalnya,
melacak teori-teori feminis yang berakar dari strukturalisme dan psikoanalisis. Menurut
Seiter (1992) dalam Cragin and Simonds (2006: 200), dengan mengikuti karya
ahli linguistik Ferdinand de Saussure, strukturalisme menganalisis budaya dengan
menentukan grammar (tata bahasa) dari sebuah teks. Strukturalisme berpendapat bahwa

287
“lebih dari sekadar refleksi dari sebuah realitas, fungsi bahasa adalah untuk mengorganisasi
dan mengonstruksi akses manusia terhadap realitas”, walaupun studi kaum strukturalis
terhadap budaya tidak memungkinkan bermula dari mempelajari grammar-nya, baik
linguistik maupun logika. Strukturalisme menganggap grammar sebagai pengaturan
seperangkat oposisi biner, seperti budaya/alam, laki-laki/perempuan dan sebagainya,
di mana makna dikonstruksikan. Menurut pandangan kaum strukturalis, makna selalu
relasional dan kontekstual. Oleh karena itu, pembacaan kaum strukturalis cenderung
menjadi absolut; mengasumsikan bahwa makna adalah tunggal, makna tetap dari sebuah
teks, yang dapat menjadi sasaran oleh para pengkritiknya.
Marx, Georg Simmel, dan khususnya Durkheim, di awal karier akademiknya,
semuanya percaya bahwa struktur merupakan seperangkat hubungan antarbagian, dengan
tujuan teoretisnya adalah menemukan sebab dari hubungan-hubungan tersebut dan
dinamikanya. Cabang lain dari strukturalisme berusaha menemukan deep structure”atau
generative rules yang mengarahkan pembentukan sistem budaya dan struktur sosial
masyarakat. Apa yang dapat diamati secara empirik dilihatnya sebagai manifestasi dari
struktur yang lebih dalam yang menjadi sistem generative rules dan dalam pemikiran
teori lain seperti Lévi-Strauss, aturan-aturan itu ditentukan atau diarahkan oleh neurologi
otak manusia. Metodologi yang mendasarkan diri pada apa yang dapat diverifikasi
secara empirik tersebut pada dasarnya menolak hal-hal yang masuk akal (plausibility)
pada struktur-dalam sistem budaya yang telah dapat diidentifikasi hukum-hukum
strukturalnya yang mengagumkan, di dalam realisme kosmik maupun biologis, baik
pada ranah atomik maupun subatomik (Rossi, 2005: 445).
Bardzell (tt) meringkas kritik terhadap strukturalisme menjadi 3 poin, yakni (1)
kritik yang datang dari poststrukturalis/dekonstruktif yang menilai bahwa pilihan aspek
studi strukturalis pada tanda-tanda (signs) dan/atau sistem tanda menjadi tidak ilmiah dan
bebas dari kesalahan, karena kenyataannya hal itu mengalami pembusukan disebabkan
oleh banyak sistem yang didesain untuk mengeksposnya; (2) kritik yang datang dari
kaum humanis yang menyatakan bahwa strukturalis melupakan kualitas dan kurang
memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi. Strukturalisme lebih bersifat deskriptif
daripada kritis. Strukturalisme juga merusak subjektivitas manusia, mengklaim bahwa
subjektivitas adalah sebuah konstruk; (3) kritik yang berasal dari kaum Marxis yang
menyatakan bahwa pretensi-pretensi strukturalisme terhadap universalitas membuatnya
“ahistoris”, menjauh dari sesuatu yang secara aktual menjadi masalah (kehidupan riil
manusia di dunia).
Uraian di atas menunjukkan bahwa strukturalisme mendapatkan kritikan dari
berbagai sisi. Strukturalisme yang menekankan pada pencarian struktur-dalam (deep
structure) secara langsung menafikan arti penting otonomitas tindakan individu.
Hal ini menjadi sasaran empuk para pengkritik “humanis” yang berasumsi bahwa

288
individu memiliki independensi dalam bertindak, terlepas dari struktur-struktur yang
melingkupinya. Berkaitan dengan hal tersebut, strukturalisme juga diserang dari aspek
epistemologinya, yakni berupa metode positivistik yang dipertahankannya.

E. Prospek/Perkembangan
Paradigma strukturalis dalam antropologi menyatakan bahwa struktur proses pemikiran
manusia adalah sama pada semua budaya. Proses mental ini berada dalam oposisi
biner seperti, misalnya panas-dingin, pria-wanita, culture-nature, mentah-matang dan
sebagainya. Kaum strukturalis berpendapat bahwa oposisi biner tersebut direfleksikan
di berbagai institusi budaya. Antropolog menemukan dasar proses pemikiran tersebut
dengan menguji beberapa hal seperti kekerabatan, mitos, dan bahasa. Hal itu kemudian
dipreposisikan bahwa suatu realitas tersembunyi tetap bertahan di balik segala ekspresi
budaya. Tujuan kaum strukturalis adalah memahami makna yang terkandung dalam
pemikiran manusia yang diekspresikan dalam tindakan budaya.
Selanjutnya, pendekatan teoretis yang ditawarkan kaum strukturalis adalah bahwa
unsur-unsur budaya harus dipahami dalam terminologi hubungan-hubungannya dengan
keseluruhan sistem. Poin ini menunjukkan bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian,
sebagaimana dianut oleh aliran psikologi Gestalt. Esensinya, elemen-elemen budaya tidak
dapat dijelaskan dalam dan oleh dirinya sendiri. Hal itu merupakan bagian dari keseluruhan
sistem yang penuh makna. Sebagai sebuah model analisis, strukturalisme mempunyai asumsi
bahwa universalitas proses pemikiran manusia dipakai untuk menjelaskan “struktur-dalam”
(deep structure) atau makna yang menjadi dasar fenomena budaya. Strukturalisme adalah
seperangkat prinsip untuk memahami superstruktur mental.
Meskipun strukturalisme tumbuh di berbagai disiplin yang berbeda—Marx yang
disebut sebagai strukturalis Marxis dalam bidang ekonomi politik, Freud dalam psikiatri
dan Lévi-Strauss dalam bidang antropologi serta berbagai bidang lain—perhatian terbesar
dalam perkembangan strukturalisme dapat ditemukan pada linguistik yang membantu
melahirkan gerakan “linguistic turn’ (kembali ke linguistik) atau perubahan perhatian dari
struktur-struktur sosial ke struktur-struktur linguistik yang membawa perubahan besar
di berbagai disiplin ilmu sosial. De Saussure sangat tertarik pada perbedaan antara langue
(struktur universal yang menjadi basis semua bahasa) dengan parole (cara yang dilakukan
orang dalam menggunakan bahasa secara aktual).
Meskipun demikian, langue lebih penting bagi de Saussure dalam dua hal.
Pertama, dia percaya bahwa langue paling relevan untuk melihat sistem bahasa formal
daripada parole. Langue selain itu juga dapat dilihat sebagai sistem penandaan dan setiap
penandaan sangat bergantung pada penanda-penanda lain dalam sistem pemaknaan.
Sebagai contoh, kata “tinggi” tidak membawa sebuah perasaan posisi yang meningkat

289
tanpa menunjuk lawan katanya “rendah”. Struktur langue tidak dapat dibentuk oleh
individu. Yang membentuk makna dari kata-kata adalah pikiran, dan terutama, struktur
sosial. Lévi-Staruss mengambil karya Saussure tentang strukturalisme linguistik yang
diterapkan dalam bidang antropologi. Dia merekonseptualisasikan sejumlah fenomena
sosial (terutama yang terkenal sistem-sistem kekerabatan) sebagai sistem komunikasi
dalam kerangka analisis strukturalnya. Bahkan, perhatian pada struktur-dalam (deep
structure) dan sistem penandaan berkembang ke dalam disiplin lain, misalnya semiotika—
sebuah bidang studi yang concern tidak hanya bahasa melainkan juga seluruh sistem
penandaan dan simbol, atau dengan kata lain, bentuk-bentuk komunikasi baik verbal
maupun nonverbal (Ryan, 2005: 804—805).
Pierre Bourdieu, mengembangkan teori sosialnya berdasarkan strukturalisme Prancis
seperti yang berasal dari Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan Claude Lévi-Strauss
(1908–). Dalam karyanya The Logic of Practice, Bourdieu meringkaskan pandangan-
pandanganya ke dalam sebuah kerangka teoretis yang menarik. Sementara itu, dalam
Distinction (1984), ia menunjukkan beberapa temuan penting dalam hal stratifikasi
sosial pada masyarakat Prancis. Bourdieu mengidentifikasi tradisi strukturalis dengan
pencarian objektivis terhadap sistem-sistem aturan. Tujuannya mencari model yang
komplet dan konsisten secara logis dalam menganalisis fenomena sosial. Subjek individual
dan kolektif dipandang berperan penting dalam pembentukan struktur sosial. Peneliti
ilmiah berada dalam posisi istimewa yang memiliki pengetahuan lengkap tentang konteks
sosial daripada para pelaku (partisipan).
Bourdieu mengontraskan pandangannya ini dengan tradisi subjektivis, seperti yang
ditunjukkan fenomenologi Jean-Paul Sartre, teori-teori pilihan rasional, teori permainan,
dan ekonomi neoklasik. Dalam perspektif ini, secara subjektif menentukan ciri makna
aktor terhadap perilaku yang direkonstruksi. Usaha tersebut, menurut Bourdieu, terlalu
menekankan keputusan-keputusan kesadaran “sendiri”. Bourdieu mendefinisikan
struktur sebagai model berkembangnya realitas sosial. Meskipun pada umumnya dikenal
sebagai ahli poststrukturalis, Bourdieu secara konsisten menunjukkan elemen-elemen
strukturalisme dalam teorinya tentang habitus. Ia menganggap bahwa struktur-struktur
dapat berada dan bertahan dalam dunia sosial, bebas dari bahasa dan budaya.
Strukturalisme sebagai sebuah teori sekaligus pendekatan diaplikasikan dalam
berbagai bidang, termasuk dalam kehidupan agama. Menurut Nielsen (2005b: 641),
George Dumezeil, dan pada saat yang sama, Mircea Eliade—ilmuwan berkebangsaan
Italia yang besar dan meniti karier di Prancis, mengembangkan fenomenologi komparatif
historis untuk mengkaji bentuk-bentuk manifestasi kesakralan antarmasyarakat.
Demikian pula Georges Bataille menghasilkan pandangan baru tentang agama yang
menekankan hubungan-hubungan antara kekerasan dengan kesakralan. Teori-teori
sosial tentang agama tidak menggambarkan secara jelas pemikiran-pemikiran Prancis

290
kontemporer, kecuali karya Lucien Goldmann, The Hidden God (1959), sebuah
studi tentang pemikiran Pascal dari sudut pandang strukturalisme genetik yang
menggambarkan inspirasi-inspirasi secara simultan baik dari Marxisme maupun Piaget,
dan hasil-hasil penelitian belakangan dari Foucault tentang seksualitas, kedirian, dan
pemikiran religius. Claude Lévi-Strauss sendiri dengan mengombinasikan ide-ide
Marcel Mauss dengan perspektif-perspektif linguistik, Freud dan lain-lain, berusaha
menciptakan teori baru yang kemudian diaplikasikan dalam kerangka barunya untuk
melakukan studi tentang struktur kekerabatan. Ia semakin memfokuskan perhatiannya
pada studi komparatif mitologi, sebuah kajian baru yang juga berkembang di Prancis
berkat jasa kaum strukturalis.
Meskipun di sini terdapat beberapa perbedaan besar di antara para pemikir
strukturalisme, strukturalisme muncul di kalangan ilmuwan Anglo-Amerika sebagai
gerakan intelektual yang berasal dari Prancis. Dalam konteks ini, Barthes mengembangkan
semiologi ke dalam studi semua jenis sistem tanda dalam usahanya untuk mendeskripsikan
struktur dasar dari seluruh aktivitas manusia. Seperti halnya pemikir lain, dia kemudian
menjauhkan diri dari strukturalisme, yang kemudian dikenal sebagai “poststrukturalisme”
yang tampak pada karya-karya awalnya (Carrabine, 2007b: 11).
Strukturalisme sangat ekstensif diterapkan oleh tokoh utamanya, Claude
Lévi-Strauss, pada area-area yang cukup luas, meliputi hubungan-hubungan kekerabatan,
praktik kuliner masyarakat, dan cerita mistis sebagai struktur linguistik. Ia menyimpulkan
bahwa pikiran manusia bekerja melalui oposisi biner untuk mereduksi data arbitrer
ke dalam suatu tatanan tertentu. Demikian pula filsuf dan pengikut Marxis, Louis
Althusser, mengidentifikasi sebuah struktur yang mendasari atau bahasa kapitalisme
yang dipandang sebagai bahasa percakapan khusus. Sementara itu, Jacques Lacan,
seorang tokoh psikoanalisis ternama, berpendapat bahwa ketidaksadaran pun memiliki
struktur (terstruktur) sebagaimana bahasa. Michael Foucault bahkan mengklaim bahwa
dia menemukan kode-kode struktural yang menentukan pemikiran pada era tertentu,
yang terdapat dalam karyanya The Order of Things.
Selama dekade 1960-an hingga awal dekade 1980-an strukturalisme tidak hanya
mendominasi antropologi tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti sastra, filsafat, sejarah,
bahkan sinematografi. Beberapa penulis seperti Barthes, Foucault, Lacan, Althusser,
dan beberapa pengkritik strukturalisme terinspirasi dari karya-karya Lévi-Strauss dan
mereka menyebut dirinya sebagai “strukturalis”. Teori ini telah menarik perhatian banyak
pihak. Menurut Bloch (1996: 673—674), para pengikut teori ini dapat dibagi menjadi
3 kelompok sebagai berikut.
1. Para antropolog Prancis yang memegang teguh prinsip-prinsip strukturalisme
Lévi-Straussian, seperti F. Héritier dan koleganya yang mengembangkan beberapa
aspek pola kekerabatan (Héritier,1981). Sejumlah peneliti lain mengembangkan
291
analisis mitos dan simbolisme, sementara yang lain menekuni isu kepercayaan dan
pelanggaran hukum (belief and transgression), seperti karya yang diedit oleh Izard dan
Smith (1982 [1979]). Perlu dicatat bahwa para pengikut ini menggunakan kerangka
teoretis yang lebih luas daripada yang digunakan Lévi-Strauss dan membatasi aplikasi
metodologi strukturalisme.
2. Kelompok penulis antara dekade 1970-an hingga 1980-an yang berusaha
mengawinkan pandangan Marxisme baru dengan strukturalisme. Usaha pertama
dilakukan oleh L. Sebag yang menekankan ide dialektika Hegelian yang diperlakukan
sama seperti halnya yang dilakukan Lévi- Strauss (Sebag, 1964). Tema ini kemudian
diikuti M. Godelier (1978 [1973]) yang menerapkan strukturalisme hanya pada
superstruktur Marxian dan mencocokkan dengan teori dampak mode produksi
terhadap infrastruktur.
3. Teori yang berasal dari Inggris, seperti Edmund Leach dan Rodney Needham. Leach
memberikan kritik konstruktif terhadap strukturalisme. Ia menyebut dirinya sebagai
seorang strukturalis dan melalui karya-karyanya ia ingin menunjukkan bagaimana
struktur-struktur dan transformasi-transformasi antarteks dalam Injil yang saling
berkaitan. Studi yang dilakukan berbeda dengan Lévi-Strauss dalam hal: a) studinya
pada teks tertulis yang oleh Lévi-Strauss dipercaya tidak bermanfaat, b) ide tentang
transformasi digunakan dalam pengertian yang lebih sederhana dibandingkan
Lévi-Strauss, dan c) Leach selalu bersemangat menunjukkan bahwa signifikansi sosial
dari mitos yang dianalisis lebih mendekati fungsionalisme dibanding strukturalisme.
Needham juga memberi saran-saran perbaikan untuk strukturalisme dan membelanya
dari sarangan para pengkritiknya. Ia juga menggunakan analisis yang mirip dengan
yang dilakukan Lévi-Strauss. Langkahnya ini diikuti oleh beberapa koleganya, seperti
D. Maybury Lewis (1967) dan J. Fox (1975). Mereka menunjukkan bagaimana
simbol-simbol pada masyarakat tertentu dapat membentuk pola-pola besar (master)
yang sering memiliki karakter biner yang mengorganisasi pengetahuan umum
masyarakat. Meskipun demikian, pendekatan ini lebih condong ke Durkheimian
dibandingkan dengan strukturalisme karena mengasumsikan kesatuan budaya
yang berada di luar (beyond) pikiran manusia, sementara Lévi-Strauss menekankan
bagaimana budaya tidak pernah membentuk kesatuan koheren serta bagaimana
komunikasi dan modifikasi terus menerus antarindividu menyebabkan terjadinya
transformasi.
ooo0ooo

292
BAB X

TEORI POSTMODERN

A. Sejarah
Istilah postmodern merupakan istilah yang paling ambigu dan kontroversial, baik di dunia
akademik maupun di luar dunia akademik. Istilah ini memiliki banyak arti sehingga
menimbulkan pro dan kontra. Banyak tokoh yang memberikan pengertian pada istilah
ini dan keseluruhan pengertian itu sulit dicari titik temunya. Demikian pula, muncul
perdebatan apakah postmodern itu sebuah teori, pendekatan, ataukah paradigma.
Sebagian ahli berpendapat bahwa postmodern merupakan pemutusan secara total
dari mata rantai modernisme. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa postmodern
merupakan kelanjutan saja dari modernisme. Selain itu, juga terdapat sejumlah ahli
yang menyatakan bahwa postmodern merupakan sisi radikal dari modern. Secara umum
dapat dikatakan bahwa postmodernisme sebagai sebuah sistem pemikiran lahir sebagai
reaksi terhadap kagagalan modernisme dalam berbagai hal, terutama dalam mengangkat
harkat dan martabat manusia.
Istilah postmodern mulai banyak digunakan orang dari berbagai kalangan pada
dekade 1970-an. Istilah postmodern tercatat pertama kali, menurut Ritzer (2009: 36),
pada 1870-an. Konsep ini muncul pertama kali dalam sebuah judul buku pada 1926
dan dimunculkan kembali pada 1930-an dan 1940-an. Pada 1960-an, Susan Sontag
menulis “Against Interpretation”, yang merupakan literatur postmodern awal. Dalam
karyanya ini, ia berpendapat bahwa memahami interpretasi merupakan tindakan yang
melumpuhkan dan penindasan. Ia menekankan pentingnya sensasi langsung, dan
bukannya memahami “makna” dari interpretasi-interpretasi.
Pada dekade 1970-an muncul sejumlah tokoh postmodern yang melontarkan
gagasannya masing-masing secara khas. Pada dekade ini muncul tokoh-tokoh seperti
Derrida, Foucault, Lyotard, Jameson, dan lain-lain. Derrida melalui karyanya On
Grammatology–yang menjadi teks sentral munculnya poststrukturalisme–melontarkan

293
gagasannya yang dikenal sebagai “dekonstruksi”. Dekonstruksi merupakan manifestasi
dari metode refleksi atas wacana maupun teks-teks yang dianggap sebagai narasi besar
(grand narration). Melalui metodenya tersebut, ia mengkritik filsafat Barat yang dinilainya
terlalu logosentris, atau lebih mengutamakan bahasa lisan atas tulisan.
Foucault di sisi lain melontarkan gagasannya mengenai “genealogi kekuasaan”
yang pada prinsipnya ia menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan telah mengalami
“penundukan” oleh dan untuk manusia, serta terhadap manusia itu sendiri dalam
bingkai kekuasaan. Kekuasan dan pengetahuan merupakan tema sentral pemikiran
Foucault. Menurutnya, kedua hal tersebut terdapat hubungan interdependensi yang
saling menguatkan. Sistem kekuasaan menciptakan dan mempertahankan kebenaran,
sedangkan kebenaran adalah produk dari praktik-praktik kekuasaan tertentu. Pada
dasarnya, tidak ada pengetahuan yang netral atau value free, tetapi selalu bias pada
kepentingan penguasa pada saat itu. Sebaliknya, tidak ada kekuasaan yang tidak
menggunakan pengetahuan untuk mempertahankan dominasinya. Karakteristik
pengetahuan yang lekat dengan kepentingan kekuasaan ini akan sangat terlihat dari
pernyataan-pernyataan ilmiah yang diajukan. Dari gagasan yang dilontarkan Foucault
tersebut merefleksikan bahwa ia memiliki karakter sebagai pemikir yang anti-kemutlakan,
anti-kemapanan, anti-keseragaman dan anti-finalis.
Pada 1970, Jean Baudrillard merilis Consumer Society: Myths and Structures. Karyanya
ini dianggap sebagai tonggak studi tentang konsumsi. Karya Baudrillard ini mempunyai
posisi khusus dalam khazanah pemikiran postmodern. Karakter pemikiran Baudrillard penuh
dengan teror, mengguncang kemapanan berpikir yang stabil selama ini. Dalam karyanya
tersebut, ia antara lain mengasumsikan bahwa konsumsi menjadi landasan utama tatanan
masyarakat. Objek konsumsi menjadi sistem klasifikasi dan objek pun ikut memengaruhi
perilaku. Objek konsumsi membentuk sistem tanda yang membedakan masyarakat. Objek
konsumsi dipandang sebagai sesuatu yang “diorganisir” olah tatanan produksi. Pemikiran
Baudrillard menjungkirbalikkan asumsi yang selama ini diyakini dalam ekonomi bahwa
kebutuhan merupakan hasil produksi. Bagi Baudrillard, orang membeli barang sebenarnya
bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan lebih sebagai kebutuhan untuk memperoleh
tanda (sign) yang berwujud pengakuan sosial sebagai manusia modern.
Pemikiran postmodernisme lain yang muncul pada dekade 1970-an datang dari
filsuf Prancis lain, Jean François Lyotard, yang juga membangun kritikan terhadap grand
narrative. Baginya grand narrative layaknya mitos atau dongeng yang menceritakan
dan menjelaskan sejumlah besar peristiwa. Secara implisit, dari grand narrative terselip
adanya kekuasaan atas pikiran pembacanya. Apa yang hadir dari grand narrative
seolah-olah menjadi kebenaran mutlak atau dogma. Menurut Lyotard (sebagaimana
dikutip Callinicos, 2008: 26–27), postmodern adalah estetika. Apabila dibandingkan
dengan yang modern, postmodern merepresentasikan yang tak bisa dilukiskan dalam

294
representasinya itu sendiri. Estetika adalah estetika yang menyangkal penghiburan (solace)
diri pada bentuk-bentuk yang baik (good form). Konsensus mengenai cita rasa yang baik
memungkinkan dimilikinya secara kolektif, perasaan nostalgia terhadap sesuatu yang tak
terjangkau (the unattainable). Estetikanya adalah estetika yang mencari wujud-wujud
penyajian baru. Meskipun demikian, postmodern adalah bagian dari modern.
Pemikiran postmodern terus berkembang dengan munculnya tokoh-tokoh lain ke
permukaan, seperti Jürgen Habermas, Frederic Jameson, Richard Rorty, Gilles Deleuze,
Julia Kristeva, Felix Gauttari, Emmanuel Levinas, dan lain-lain. Pemikiran yang muncul
dari berbagai tokoh tersebut menjadikan teori postmodern bukanlah teori yang tunggal dan
upaya untuk menggeneralisasikan adalah sesuatu yang sulit untuk tidak mengatakan tidak
mungkin. Berikut sekilas beberapa peristiwa penting yang menandai teori postmodern.
Tabel 10.1 Kronologi Sejarah Teori Postmodern

Tahun Keterangan
Jacques Derrida merampungkan karyanya On Grammatology, yang menjadi teks sentral munculnya poststrukturalisme.
1967 Pada tahun yang sama Frederic Jameson menulis Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism.

1970 Jean Baudrillard merilis Consumer Society: Myths and Structures yang menjadi tonggak studi tentang konsumsi.

1971 Jürgen Habermas mempublikasikan Knowledge and Human Interests.


Perusakan proyek perumahan modernis Pruitt-Igoe di St. Louis menandai berakhirnya rezim modernitas sekaligus
1972 munculnya teori postmodernis.

1973 Karya Baudrillard The Mirror of Production menandai keterpisahannya dengan akar pemikiran Marxian.
Foucault mempublikasikan Discipline and Punish: The Birth of the Prison di mana dia melukiskan asal-usul the carceral
1975 society.
Baudrillard, dalam karyanya Symbolic Exchange and Death, berpendapat bahwa dunia modern kehilangan
1976 kemampuannya dalam pertukaran simbolik.

1979 Jean-Francois Lyotard mempublikasikan The Postmodern Condition.


Bruno Latour dan Steve Woolgar mempublikasikan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts, sebuah
1979 dokumen kunci bagi studi ilmu pengetahuan sosial, juga menginspirasi teori jaringan aktor.
Karya Richard Rorty Philosophy and the Mirror of Nature menolak epistemologi foundationalis & esentialis. Ia
1979 menyarankan untuk menggunakan filsafat pragmatik.
Foucault mempublikasikan The History of Sexuality volume pertama, karya utama dalam poststrukturalis dan queer
1980 theory.
Stuart Hall memperkenalkan model “Encoding/Decoding” dalam dunia televisi. Ia berpendapat bahwa audiens
1980 menginterpretrasikan makna program dalam berbagai cara.

1983 Baudrillard, dalam Simulations, mengembangkan konsep simulasi dan simulacra di masyarakat.
Pierre Bourdieu, dalam Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, mengaplikasikan sturkturalisme
1984 konstruktivis pada isu budaya konsumsi masyarakat Prancis.
Habermas mempublikasikan The Theory of Communicative Action, vol. 1, Reason and the Rationalization of Society. Ia
1984 menginterpretasikan kembali dan memperluas teori sosial Weber dan mengembangkan ide rasionalitas komunikatif.
Anthony Giddens mempublikasikan The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, yang
1984 merupakan pernyataan paling lengkap tentang teori strukturasi.
Gilles Deleuze & Felix Guattari menentang psikoanalisis dan menawarkan analisis politik keinginan dalam karyanya
1985 Anti-Oedipus: Capitalism & Schizophrenia.

Sumber : Diolah dari Chronology of Social Theory dalam Ritzer (2005: 903).

295
B. Filsafat/Teori Sosial yang Memengaruhi
Dalam memetakan postmodernisme, Huyssen (1984) melacak lintasan perjalanan
istilah tersebut yang dimulai dari kritik sastra di AS pada akhir dekade 1950-an, seni
tari, teater, seni lukis, musik, dan film hingga dekade 1970-an. Istilah postmodernisme
kemudian bermigrasi dan memengaruhi pemikiran sosial Eropa melalui Prancis dan
Frankfurt pada akhir dekade 1970-an. Hasilnya adalah bahwa kunci-kunci pemikiran
sosial postmodernisme lebih banyak berasal dari Prancis. Karya-karya Foucault, Lyotard,
Baudrillard, Bourdieu, dan Derrida merupakan buktinya. Sementara itu, pemikiran
postmonderisme dari Jerman muncul melalui karya-karya Habermas, Beck, dan
Luhmann (Ritzer dan Smart, 2001: 3). Dengan demikian, salah satu akar pemikiran
teori postmodern sebenarnya berada di luar bidang akademik, seperti seni tari, arsitektur,
film, musik, dan sebagainya. Perjalanan sejarah dari pemikiran postmodern itu juga
menunjukkan bahwa perbedaan budaya bukan merupakan penghalang bagi muncul dan
berkembangnya perspektif pemikiran postmodernisme yang pada akhirnya memengaruhi
banyak kalangan, baik akademisi maupun non- akademisi di seluruh dunia.
Kemunculan postmodernisme menstimulasi resistensi sejumlah pemikir terhadap
liberalisme. Akibatnya, pengaruh paham tersebut menyusut, dan mencapai puncaknya
pada akhir dekade 1960-an. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa salah
satu akar teori postmodern juga terdapat pada liberalisme. Paham ini terus mendapat
tantangan dari berbagai kalangan. Feminisme gelombang kedua merupakan yang pertama
kali menjadi penentang serius dengan membongkar ide liberalisme, terutama mengenai
isu publik/privat. Pada dekade 1980-an, komunitarianisme dan postmodernisme juga
muncul sebagai penentang serius hegemoni liberalisme, yakni dengan memunculkan teori
poskolonial. Sepanjang dekade 1990-an merupakan puncak kemerosotan liberalisme.
Menurut Lemert (sebagaimana dikutip Ferguson, 2001: 232), postmodernisme
bertentangan sekaligus berkaitan dengan liberalisme. Postmodernisme menyatakan
bahwa paham liberalisme merupakan suatu pandangan yang dangkal, suatu kegagalan
eksperimen, harapan yang salah, dan juga merupakan rasionalitas kolonialis. Namun
demikian, sebagaimana liberalisme itu sendiri, postmodernisme menampilkan watak
ambigu. Apa pun versinya, postmodernisme mengasumsikan bahwa periode waktu
selama abad 20, nilai-nilai dan mimpi kaum modernis mulai hilang. Sejak kelahirannya
sudah memunculkan ambiguitas, ironi, paradoks, dan pertanyaan-pertanyaan
mengenai bagaimana menempatkan dan menyituasikan teori dalam pengetahuan dan
pemanfaatannya untuk tujuan praktis. Ambiguitas juga terlihat pada salah satu versi
postmodernisme, seperti teori feminis yang mengembangkan hubungan-hubungan
ambivalen (cinta-benci).

296
Barnard (2004: 139), menyatakan bahwa poststruktualisme adalah bentuk
postmodernisme, dan strukturalisme adalah bentuk awal “modernisme akhir” dalam
antropologi. Dengan demikian, tak pelak lagi bahwa postmodernisme—khususnya
poststrukturalis—sangat dipengaruhi oleh strukturalisme. Hal ini disebabkan
poststrukturalisme lahir sebagai reaksi langsung strukturalisme. Poststrukturalisme
menempati posisi yang ambigu dalam antropologi. Di satu pihak, ia merupakan esensi
kritik terhadap pemikiran strukturalis yang berada di luar terminologi stukturalis. Jadi,
poststrukturalis yang bergerak terutama di luar antropologi sosial (filsafat, kritik sastra,
sejarah, dan sosiologi) mengkritik Levi-Strauss dan para peletak dasar strukturalisme
lainnya. Pada saat yang sama, poststrukturalis menawarkan model penjelasan tindakan,
penelitian yang cermat mengenai kekuasaan, dan dekonstruksi penulis sebagai kreator
diskursus. Jadi, poststruktualis menyentuh kepentingan transaksionalis, Marxis, feminis,
serta postmodernisme.
Teori postmodern tidak dapat dilepaskan dari teori-teori yang berkembang pada
era yang disebut “modern”. Adapun teori-teori yang berkembang pada era modern
sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Jadi, teori postmodern sebenarnya
tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran positivisme. Teori postmodern secara umum
menolak asumsi-asumsi yang diyakini kaum positivis. Janji-janji positivisme sebagaimana
dilontarkan oleh Comte dan Spencer menimbulkan skeptisisme di kalangan postmodernis
yang mengembangkan retorika antisains. Dalam konteks postmoderrnisme, menurut
Turner (2001: 39), positivisme telah gagal sebagai epistemologi dan sebagai usaha
telah salah arah dalam menghasilkan narasi besar (grand narrative). Kenyataanya dalam
konteks Amerika, asosiasi positivisme dengan analisis data kuantitatif kompulsif telah
memunculkan gelombang kritik luas. Bagi teori kritik di Eropa dan AS, positivisme
dilihat tidak hanya tidak manusiawi (inhumane), tetapi juga merupakan instrumen
dominasi yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk melegitimasi status quo dan sistem
kekuasaan yang ada.
Selain positivisme, teori postmodern juga dipengaruhi oleh relativisme. Relativisme ini
merupakan aliran pemikiran yang cukup berpengaruh dalam antropologi. Menurut Barnard
(2004), dalam antropologi, pemikir besar relativisme adalah Franz Boas. Ide-idenya secara
esensial termasuk relativisme deskriptif. Pengikutnya seperti ahli linguistik Benjamin Lee
Whorf, menganut aliran relativisme kognitif, yang kemudian dikenal sebagai antropolog
dan etnosaintis kognitif. Antropologi psikologis awal yang menganut aliran “budaya dan
kepribadian” dicirikan berhubungan dengan relativisme moral. Relativisme epistemologi
merupakan aliran yang kuat dalam antropologi saat ini. Paham ini lahir sekitar tiga puluh
tahun yang lalu, dari para pemikir di berbagai negara. Clifford Geertz barangkali merupakan
eksponen yang paling dikenal, tetapi beberapa interpreter dan pemikir postmodernis
mempertahankan pemikiran radikalnya (Barnard, 2004).

297
Selain itu, teori postmodern sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat Jerman. Menurut
Hicks (2004: 42–43), memahami filsafat Jerman sangat penting untuk dapat memahami
asal-usul teori postmodern. Tokoh-tokoh teori postmodern Eropa, seperti Foucault,
Derrida, Nietzsche, dan Hegel, semuanya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Jerman.
Tokoh postmodernis Amerika, Richard Rorty, meski sebelumnya muncul dari puing-puing
tradisi positivis logik, banyak menyetir pemikiran Heidegger dan teori pragmatisme
Jerman. Ketika kita mencari akar positivisme, kita akan menemukan alur pemikiran filsuf
Jerman, ahli budaya, Wittgenstein dan para anggota lingkaran Wina (Vienna Circle).
Ketika kita melacak pragmatisme, kita akan menemukan aliran pemikiran Kantianisme
dan Hegelianisme versi Amerika. Postmodernisme dengan demikian menggantikan
era pencerahan yang berakar filsafat Inggris abad 17. Filsafat ini kemudian mendapat
perlawanan yang berakar pada filsafat Jerman pada akhir abad 18.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa teori postmodern bukanlah teori tunggal.
Untuk melacak akar filsafat atau teori sosial yang memengaruhinya bukanlah perkara
mudah. Metode yang barangkali dapat mendekati hal tersebut adalah bagaimana melacak
akar pemikiran masing-masing eksponen teori. Sebagai contoh, Baudrillard yang berjasa
melalui gagasannya mengenai “simulacra” dipengaruhi oleh beberapa pemikir, seperti
Henri Lefebvre, Roland Barthes, dan juga Marx. Analisis semiologi Roland Barthes
tentang masyarakat kontemporer sangat memengaruhi Baudrillard, khususnya yang
berkaitan dengan industri fesyen. Menurut Barthes, nilai pakaian tidak tergantung pada
hal-hal yang bersifat teknis dari pakaian itu sendiri, seperti aspek jumlah atau ketersediaan
barang, asli tidaknya merek produk, atau rumit tidaknya proses pembuatan produk
pakaian, tetapi telah diatur oleh konsumerisme dan bisnis besar. Pemikiran Barthes ini
sejalan dengan Baudrillard yang menyatakan bahwa orang mengonsumsi sesuatu bukan
karena butuh, melainkan karena ingin memperoleh “pencitraan” tertentu.
Baudrillard, sebelum dikenal sebagai teoretikus postmodernis, merupakan
penganut neo-Marxis yang memperluas kritik Marxisme terhadap kapitalisme di luar
jangkauan teori mode produksi. Sekalipun demikian, sebagaimana teori postmodernis
lain, ia kemudian mengambil jarak dengan Marxisme, bahkan menjadikan pemikiran-
pemikiran Marx sebagai sasaran kritiknya. Menurutnya, teori Marxisme tidak mampu
menjelaskan banyak hal, seperti bahasa, sistem tanda, dan komunikasi. Teori Marxisme
yang dikembangkan dengan beberapa konsep dasar seperti buruh, dialektika, nilai lebih
(surplus value), teori mode produksi dll., oleh Baudrillard justru merupakan cerminan
masyarakat kapitalis, bahkan merupakan bentuk legitimasi tertinggi kapiltalisme.
Asal-usul intelektual pemikiran Foucault yang memberikan kontribusi filosofis
terhadap teori kebenaran (the theory of truth) terutama bersumber dari pembacaan kembali
atas filsafat Barat, serta kritik terhadap antroposentrisme filsafat itu sebagaimana yang
dilancarkan oleh Nietzsche dan Heidegger. Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche

298
antara asal-usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembedaan antara presentasi
sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secara jelas serta sebagai fenomena yang
murni kebetulan. Di samping itu, Foucault menggunakan gagasan Nietzschean
tentang kemunculan (emergence) untuk menunjukkan bahwa mode-mode pengetahuan
memiliki pertalian erat dengan meluapnya berbagai kekuatan (forces) (Harrison, 2005:
127–132).
Foucault mendapatkan pengaruh dari Nietzsche. Ia menolak menggambarkan sejarah
ilmu-ilmu sebagai sejarah kemajuan atau gerak tunggal yang seakan-akan diarahkan
menuju satu tujuan. Tujuan itu untuk menjelaskan kesadaran manusia terhadap dunia
demi kesejahteraannya. Gagasan sejarah seperti itu menurut Foucault harus dicurigai
seakan kejadian-kejadian itu hanya memiliki sebab tunggal. Padahal, sebab itu tidak selalu
tunggal, tetapi kontradiktif dan sangat mungkin banyak terjadi permainan kekuasaan.
Karya Foucault yang berjudul The Birth of Clinic dan juga Madness and Civilization,
menurut Baert (1998: 115), secara eksplisit sangat dipengaruhi oleh strukturalisme. Buku
tersebut merupakan studi arkeolog tentang persepsi medis, terutama berkaitan dengan
hubungan antara pengetahuan medis dengan munculnya ilmu pengetahuan manusia.
Karya Foucault lain, The Order of Things, juga sangat kuat dipengaruhi strukturalisme.
Karya tersebut merupakan sejarah arkeologi tentang aturan-aturan dan pembentukan
organisasi yang menstruktur model-model kerangka intelektual.

C. Substansi
Teori yang paling baru dalam sosiologi saat ini adalah postmodernisme. Postmodernisme,
seperti halnya teori kritik, cenderung bertentangan dengan ilmu pengetahuan sebagaimana
dikemukakan oleh Lyotard dan Rorty. Ada banyak teoretikus yang dapat digolongkan
sebagai postmodernis, yang masing-masing memiliki versi pandangan yang berbeda,
baik dalam hal ontologi dan epistemologi maupun aksiologi. Mengingat begitu banyak
tokoh yang dapat dikategorikan sebagai postmodernis, sebuah usaha untuk membuat
sistematika akan banyak menolong untuk memetakan teori yang satu ini. Ritzer dan
Goodman (2008: 666–667) dalam kaitan ini mengklasifikasikan teoretikus postmodern
menjadi 3 kategori. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa telah terjadi kehancuran
radikal dan masyarakat modern telah digantikan oleh masyarakat postmodern (Jean
Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Gauttari). Kedua, kelompok yang menganggap
bahwa meskipun telah terjadi perubahan, postmodern tumbuh sebagai lanjutan dari
modernisme (pemikiran Marxisme seperti Frederich Jameson, Ernesto Laclau, Chantal
Mouffe, dan feminis postmodern sperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson). Ketiga,
kelompok yang melihat bahwa antara modernisme dan postmodernisme hanyalah sebagai

299
epos. Keduanya terlibat dalam hubungan jangka panjang yang terus berlanjut, dengan
postmodernisme yang terus menunjukkan keterbatasan modernisme (Barry Smart).
Pertanyaan yang muncul di benak kita barangkali adalah mengapa teori postmodern
ini muncul dan mendapat sambutan begitu meriah di seluruh belahan dunia,
faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tumbuhnya teori ini dan apa bedanya dengan
teori-teori yang ada sebelumnya? Paling tidak, secara garis besar terdapat dua hal yang
mendorong lahirnya teori postmodern, yakni kondisi sosio-ekonomi-politik masyarakat
dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mengawal kemajuan-kemajuan selama era
modernisasi. Adapun era modernisasi yang dimaksud adalah era sejak masa pencerahan
yang kemudian diikuti oleh revolusi industri hingga masa sebelum era globalisasi saat ini.
Faktor pertama secara umum berkaitan dengan kegagalan modernisasi dalam mengangkat
harkat dan martabat serta kesejahteraan masyarakat dunia sebagaimana janji-janji
sebelumnya yang dilontarkan pada masa pencerahan dulu. Kemiskinan, pengangguran,
gizi buruk, radikalisasi politik massa, dan rezim politik totalitarian di berbagai penjuru
dunia adalah beberapa fenomena untuk menyebut bukti kegagalan tersebut. Faktor kedua
menunjuk pada perkembangan ilmu pengetahuan yang cenderung mengedepankan
absolutisme (kebenaran tunggal) dengan menegasikan aspek-aspek manusiawi dalam
metode penelitiannya.
Dengan latar belakang seperti itu, teori postmodern berusaha mengeksplorasi sisi-sisi
negatif masyarakat modern. Menurut Jameson (sebagaimana dikutip Denzin, 2005: 582),
teori postmodern diarahkan kepada masyarakat visual beserta representasinya, logika
kultural, dan persoalan-persoalan personal baru seperti AIDS, tuna wisma, kecanduan
obat, kekerasan, serta persoalan-persoalan publik yang terjadi saat ini. Pada tingkat yang
lebih abstrak, logika kultural masyarakat kapitalisme akhir menjadi pusat perhatian
teori ini. Postmodernisme lebih dari sekadar serangkaian formasi ekonomi. Masyarakat
postmodern merupakan suatu produksi sinematik dan dramaturgikal melalui industri
film, televisi, video, dan sebagainya yang merepresentasikan kenyataan pengalaman
hidup aktual. Tiga implikasi mengikuti pandangan dramaturgi terhadap kehidupan
kontemporer. Pertama, realitas adalah suatu panggung produksi sosial. Kedua, kenyataan
saat ini dinilai dari panggungnya, pasangan sinematik-video. Ketiga, metafora masyarakat
dramarturgikal atau “dunia adalah panggung sandiwara” saat ini telah menjadi realitas
interaksional. Aspek teatrikal dari metafora dramaturgikal tidak hanya merasuk ke dalam
kehidupan sehari-hari, melainkan mereka menggantikannya. Seni bukan hanya cermin
kehidupan, ia menstruktur dan mereproduksinya. Masyarakat postmodern adalah suatu
masyarakat dramaturgik sebagaimana dikatakan Goffman.
Di samping perubahan utama dalam pandangan dunia yang direpresentasikan
dalam teori postmodern, beberapa aspek budaya modernitas, khususnya teknologi dan
bentuk lain budaya material, secara nyata sangat relevan dalam dunia kontemporer.

300
Menurut Johnson (2008: 544), kelanjutan kemajuan dalam area ini seperti transportasi,
komunikasi, produksi, dan sistem informasi, serta teknologi komputer adalah bagian
penting dari lingkungan material yang mempunyai pengaruh besar terhadap pandangan
dunia dan munculnya gaya hidup baru pada era postmodern. Selain itu, karya-karya
ilmu pengetahuan di semua disiplin, termasuk sosiologi, terus bergerak ke depan berbasis
kepercayaan secara implisit bahwa kemajuan yang terus berlanjut dapat dicapai melalui
penelitian empirik sistematik. Demikian juga, di samping transformasi penting saat ini
yang dapat diidentifikasi, beberapa ciri pembeda struktur birokrasi yang mendominasi
lanskap ekonomi dan politik menampilkan kelanjutan beberapa karakteristik yang paling
penting dari modernitas. Beberapa tema postmodern yang menjadi perhatian sosiolog
antara lain: (1) postmodernitas versus modernitas akhir; (2) skeptisime terhadap sistem
pengetahuan dan otoritas; (3) meningkatnya interdependensi global; (4) efek media
massa pada erosi budaya dan fragmentasi; (5) budaya sebagai strategi pelarian dari
realitas duniawi melalui perluasan dan pengayaan pengalaman konsumsi; (6) tantangan
pembentukan identitas dalam dunia modern akhir dan postmodern; (7) ekspresi budaya
yang diaplikasikan pada tubuh manusia.
Kemunculan teori postmodern secara eksplisit berbeda dengan teori-teori
modernisme. Akhir-akhir ini terdapat usaha-usaha yang lebih serius untuk menjelaskan
hubungan-hubungan yang tidak dapat didamaikan antara modernisme dan
postmodernisme. Huyssen dan Sheppard (sebagaimana dikutip Giles, 1993: 176)
melontarkan konsep paralelisme antara modernisme Eropa dan postmodernisme
kontemporer, yang menimbulkan implikasi-implikasi asal-usul mitos, tetapi karya
pelopor postmodernisme Jerman, Wolfgang Welsch memiliki posisi khusus dalam
konteks ini. Dalam essainya, “Die Geburt der postmodernen Philosophie aus dem Geist
der modernen Kunst” (The Birth of Postmodern Philosophy from the Spirit of Modern
Art), Welsch mengidentifikasi seperangkat hubungan khusus antara filsafat dan seni
modernisme/postmodernisme, di mana filsafat postmodernisme diartikulasikan secara
diskursif dan seni modern didemonstrasikan secara artistik. Dengan mengambil
filsafat Lyotard, Welsch menunjukkan kemiripan antara ide Lyotard dengan estetika
modernis. Welsch mengidentifikasi afinitas antara fragmentasi dengan dekomposisi seni
modern dan akhir dari metafisika meta-narasi, antara sebuah filsafat dalam pencarian
aturan-aturan dan refleksivitas artistik, serta antara estetika yang sublim dengan
paradox filsafat. Selanjutnya seperti halnya Huyssen dan Shepard, dia mengelaborasi
cara-cara di mana seni modern/is lebih dahulu memiliki konsepsi-konsepsi makna
dan logika yang berhubungan dengan kritik dekonstruksi logosentrisme, sebagaimana
penolakan humanisme dan antroposentrisme. Pada saat yang sama, argumentasi Welsch
menunjukkan tidak ada hubungan berarti antara filsafat modern dengan postmodern,
demikian pula dalam hal seninya.

301
Uraian tersebut menunjukkan bahwa teori postmodern memiliki karakteristik
yang berbeda dengan modernisme. Secara lebih jelas Hicks (2004: 6) merangkum
teori postmodern ke dalam 3 aspek, yakni metafisikal, epistemologi, dan etik/politik.
Secara metafisikal, postmodernisme anti-realis mempertahankan pendapat bahwa tidak
mungkin menjelaskan suatu realitas yang berdiri secara bebas. Postmodernisme cenderung
menggunakan pendekatan sosiolinguistik untuk mengonstruksikan realitas. Secara
epistemologi, postmodernisme menolak ide tentang realitas yang berdiri secara bebas.
Postmodernisme juga menolak alasan apa pun atau metode lain sebagai alat pembuktian
pengetahuan objektif tentang realitas. Dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik,
postmodernisme menekankan subjektivitas, konvensionalitas, dan incommensurability
(sifat tak terbandingkan) dari konstruksi tentang realitas tersebut. Postmodernisme
memperlakukan bahwa kodrat manusia adalah kolektivis secara konsisten. Identitas-identitas
individual dikonstruksikan terutama oleh kelompok-kelompok sosiolinguistik di mana dia
berada. Jadi, kelompok-kelompok berbeda secara radikal berdasarkan perbedaan kelamin,
ras, etnisitas, dan kekayaan. Postmodernisme juga menganggap bahwa kodrat manusia
secara konsisten terlibat dalam hubungan konflik antarkelompok tanpa alasan mendasar
dan konflik-konflik tersebut diatasi, terutama, dengan menggunakan kekuasaan (forces),
baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Penggunaan kekuasaan tersebut pada
akhirnya menciptakan hubungan dominasi, ketertundukan (submission), dan penindasan
(oppression). Akhirnya tema-tema postmodern dalam etika dan politik dikarakteristikkan
oleh suatu identifikasi dan rasa simpati terhadap kelompok-kelompok yang mengalami
penindasan dalam konflik serta ada inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut.
Apa yang dilakukan Hicks tersebut adalah upaya membedah teori postmodern
berdasarkan 3 dimensi keilmuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun
demikian, penjelasan masing-masing dimensi tersebut masih diperdebatkan, terutama
pada dimensi aksiologi. Banyak kritik yang dialamatkan pada teori postmodern, terutama
pada sisi aksiologinya yang dianggap tidak jelas dalam memberikan arahan ke arah
mana masyarakat harus berubah. Kebanyakan teori postmodern terlalu asyik melakukan
dekonstruksi terhadap realitas sosial yang selama ini dibakukan, menggugat persoalan
yang dianggap telah mapan, baku dan kaku, serta berusaha membongkar kepalsuan
ideologis dan kepentingan-kepentingan yang ada di balik wacana dan pengetahuan.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan, apakah ada upaya rekonstruksi setelah kebenaran
didekonstruksi? Terhadap pertanyaan ini terdapat variasi respon di kalangan teori
postmodern. Bagi Derrida dan Foucault, rekonstruksi bukan tujuan akhirnya. Pemikiran
kritisnya hanya sekadar untuk membangkitkan kesadaran bahwa tidak ada pengetahuan
yang netral atau bebas dari relasi kekuasaan. Sementara itu, Habermas dan Bourdieu secara
gamblang menawarkan alternatif teoretis yang tidak hanya berhenti pada penjelasan,
tetapi juga harus memiliki relevansi praktis bagi penciptaan perubahan sosial. Visi teori

302
Habermas adalah menyadarkan subjek dengan berbekal pengetahuan kritisnya untuk
dapat melakukan kontrol atas kehidupannya dengan kekuatannya sendiri serta mampu
berperan sebagai subjek perubahan sosial dan perubahan sejarahnya.
Dari segi bidang kajiannnya, teori postmodern juga dapat diklasifikasikan, seperti
yang dilakukan oleh Turner (2007: 52) dengan membagi postmodernisme menjadi dua
bidang kajian besar yakni ekonomi dan budaya. Posmodernisme ekonomi melontarkan
ide-ide tidak hanya yang berasal dari Marx, tetapi juga yang berasal dari teoretikus-
teoretikus awal lainnya yang memfokuskan perhatian pada “patologi” modernisasi.
Postmodernis ekonomi menekankan dimensi-dimensi khusus tranformasi yang datang
bersama globalisasi. Salah satu titik tekannya adalah efek dari perdagangan global yang
berlangsung dalam kecepatan dan volume tinggi karena didorong antara lain oleh iklan.
Akibatnya adalah komodifikasi terhadap objek-objek, termasuk orang, dan yang paling
penting, simbol-simbol budaya. Ahli postmodern ekonomi lain menekankan pada
pergerakan modal dunia yang berlangsung cepat serta proses dekonsentrasinya dari
pusat modal tradisional selama ini. Kemajuan dalam bidang teknologi transportasi dan
komunikasi memperpendek/mempersempit ruang dan waktu dan hal ini memfasilitasi
percepatan arus tidak hanya modal, tetapi juga barang, orang, dan simbol-simbol di
dunia. Akhirnya, postmodernis ekonomi cenderung menekankan tumbuhnya dominasi
teknologi reproduksi pencitraan yang melebihi produksi.
Kapitalisme yang berkembang saat ini mempunyai perbedaan karakteristik dengan
kapitalisme yang ada pada masa modernisme. Dalam kaitan ini, Jones (2009: 218)
mendeskripsikan bahwa kapitalisme secara dramatis berubah semenjak pembentukannya
sebagai dinamika ekonomi di balik modernitas. Kapitalisme tidak lagi menjadi milik
Barat. Upaya mencari untung yang tak kenal lelah telah merambah ke seluruh pelosok
dunia yang paling jauh. Kapitalisme sudah menjadi fenomena global, jauh dari
jangkauan regulasi nasional. Para pemain ekonomi yang signifikan dalam kapitalisme
kontemporer adalah korporasi multinasional, atau lebih tepatnya, transnasional. Tidak
tunduk pada negara tertentu, korporasi transnasional beroperasi di negara-negara tetapi
tidak untuk negara-negara. Pertimbangan keuntungan menentukan lokasi korporasi.
Apabila sektor upah dapat ditekan tetap rendah dengan cara menempatkan produksi
di negara-negara yang tidak memiliki serikat buruh dan oleh karena itu tidak memiliki
prosedur tawar-menawar upah, korporasi ini dianggap sukses dalam berbisnis.
Sementara itu, postmodernisme budaya menekankan pada meningkatnya dominasi
budaya seiring dengan fragmentasi simbol-simbol dan komodifikasi yang membuat
individu sangat refleksif dan tidak dapat mempertahankan stabilitas identitas. Baik
postmodernisme ekonomi maupun budaya menekankan transformasi dramatik
yang datang bersama pasar global yang diarahkan oleh kapitalisme. Postmodernisme
kultural memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi transformasi yang dideskripsikan

303
oleh postmodernis ekonomi seperti Baudrillard, Gergen, dan Kellner. Konsekuensi
penting pertama adalah meningkatnya dominasi budaya dan simbol pada seluruh
struktur material. Orang semakin hidup dalam simbol-simbol yang terfragmentasi, di
mana hal itu lebih berdampak pada identitas dan perilaku mereka daripada kondisi
kesejahteraannya. Meningkatnya dalam kekuasaan kebudayaan dimungkinkan dari
kelompok-kelompok lokal, yang mengirimkan elemen-elemen budaya terkomodifikasi
melalui teknologi media atau pasar di dalam sistem global. Kehidupan manusia, menurut
Baudrillard, sesungguhnya berada dalam suatu dunia yang disimulasikan dari simbolisasi
simbol-simbol yang dilihat melalui layar kaca dan media.
Dalam pandangan Baudrillard, masyarakat postmodern ditandai oleh pertukaran
simbolis yang menggantikan pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua
pihak mempunyai peran dan posisi yang sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses
timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran
dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, tetapi juga oleh
berbagai kekuatan lain, yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Baudrillard meyakini bahwa telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh
“mode produksi” ke ”kode produksi”. Media massa sebagai simbol zaman baru di mana
bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi semua komunikasi yang
baru. Artinya, keberadaan media massa telah menjadi ekstasi komunikasi di masyarakat.
Saat ini tidak ada lagi adegan dan cermin, yang ada hanya layar dan jaringan. Kita hidup
dalam ekstasi komunikasi. Bersamaan dengan hilangnya ruang publik, iklan menginvasi
semuanya. Ruang publik tidak menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi
rahasia. Kehidupan kita merupakan penopang kehidupan dunia virtual media.
Globalisasi bagi postmodernis merupakan transformasi fundamental yang menandai
tahap baru evolusi manusia: postmodern. Menurut Turner (2007: 53), teori postmodern
merupakan perlawanan terhadap modernitas. Teori ini menunjuk paling tidak empat
hal. Pertama, anggapan kaum postmodernis yang melihat modernisme telah gagal dalam
mengemban misinya memperbaiki kehidupan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya
sejumlah peristiwa yang terjadi pada PD II hingga saat ini. Peristiwa-peristiwa yang mengusik
rasa kemanusiaan tersebut meliputi Perang Vietnam, dua kali Perang Teluk, resesi ekonomi
global dekade 1970-an hingga 1980-an, munculnya kekuatan konservatif atau rezim
politik neoliberal di Eropa dan Amerika, kegagalan gerakan kaum kiri sebagai gerakan
efektif melawan rezim tersebut, runtuhnya gerakan buruh internasional, rezim totalitarian
di Eropa, Asia, Amerika Latin, dan Afrika Selatan, mencairnya perang dingin, munculnya
glasnost, serta meningkatnya rasisme di seluruh dunia. Kedua, postmodern menunjuk pada
bentuk-bentuk kapitalisme multinasional tahap akhir yang memperkenalkan logika-logika
kultural, bentuk-bentuk komunikasi, dan representasi baru ke dalam dunia ekonomi
dan sistem kultural. Ketiga, hal itu mendeskripsikan sebuah gerakan di dalam seni visual,

304
arsitektur, sinema, musik pop, dan teori sosial yang bertentangan dengan bentuk-bentuk
modernis dan realis. Keempat, postmodernisme menunjuk pada suatu bentuk teori dan
tulisan tentang sosial yang antifundasional, postpositivis, interpretif, dan kritis.
Teori postmodern merupakan teori yang fenomenal. Teori ini tidak lahir dan
berkembang dari satu disiplin ilmu saja. Teori ini cukup mengundang kontroversi bukan
hanya dari teoretikus yang berada di “luar” tetapi juga dari kalangan eksponen teori
postmodern sendiri. Banyak label yang dilekatkan pada teori postmodern ini, misalnya
“penolakan absolutisme”, “ontologi perbedaan”, “nihilisme secara etik”, “trivial”, dan
sebagainya. Teori postmodern bukanlah teori tunggal. Oleh karena itu, dalam tulisan
ini akan diuraikan versi teori postmodern dari beberapa ekponennya.

1. Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah tokoh penting teori postmodern, atau lebih tepatnya
poststrukturalisme. Ia adalah seorang keturunan Yahudi yang lahir di El Biar, suatu wilayah
terpencil di Aljazair pada 15 Juli 1930. Sejak kecil ia hidup di negeri bekas jajahan yang
memiliki instabilitas politik yang justru menjadi “berkah terselubung” baginya, karena
membantu mengasah ketajaman dan kekritisan pemikirannya. Pada 1949, Derrida
pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolah dan baru pada 1957 ia kembali ke Aljazair
untuk memenuhi kewajiban militernya dan menjadi pengajar bahasa Inggris dan Prancis
untuk anak-anak tentara. Ia meraih gelar sarjana di Husserl Archive, salah satu pusat kajian
fenomenologi di Louvain, Prancis. Pada 1960, ia dipanggil untuk mengajar filsafat di
Universitas Sorbonne dan empat tahun kemudian hingga 1984, Derrida mengajar di
Ecole Normale Superiorre (ENS). Pada 1967, Derrida mengawali serangkaian kuliah yang
disampaikannya pada konferensi Baltimore, Amerika Serikat. Tiga bukunya terbit pada
tahun itu juga. Antara lain: (1) Of Gramatology; (2) Writing and Defference, dan (3) Speech
and Phenomena. Pada 1980, ia berhasil memperoleh gelar doktor. Enam tahun kemudian
ia resmi menjadi guru besar humaniora di Universitas California, Irvine. Gelar doktor
kehormatan ia peroleh dari Cambridge University dan Colombia University.
Derrida identik dengan dekonstruksi. Sekalipun istilah dekonstruksi pertama kali
diperkenalkan oleh Heidegger, Derrida-lah yang membuatnya radikal. Istilah tersebut
menjadi populer di berbagai bidang kajian seperti kritik sastra, arsitektur, teologi, seni
rupa, politik, pendidikan, musik, film, hukum, sosiologi, dan sejarah. Dekonstruksi
(pembongkaran) merupakan suatu metode yang dikembangkan Derrida, terutama
sebagai kritik terhadap filsafat Barat, logosentrisme, yang memiliki anggapan bahwa
bahasa lisan lebih superior dibandingkan dengan bahasa tulisan.
Dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Adapun yang khas
dalam cara baca dekonstruksi yang membuatnya bermuatan filosofis adalah bahwa
unsur-unsur yang dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, pertama-tama bukanlah
305
inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis yang tidak akurat yang terdapat
dalam teks––sebagaimana yang dilakukan oleh modernism—melainkan unsur yang
secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi
filosofis. Itulah sebabnya, dalam metode dekonstruksi atau pembacaan dekonstruksi,
filsafat diartikan sebagai tulisan, dan karena itu filsafat tidak pernah berupa ungkapan
transparan pemikiran langsung (Norris, 2009).
Dekonstruksi sebagaimana yang diterapkan Derrida menjadi elemen kunci
dalam poststrukturalisme dan membantu membidani lahirnya postmodernisme.
Pemikiran sebelumnya menganggap bahasa sebagai pusat dan penentu subjek,
sementara dekonstruksi menyatakan desentering setiap subjek tersebut kemudian
menghubungkannya dengan setiap penghalangnya atau dominasinya. Seperti halnya
filsafat, ilmu pengetahuan selama ini mengasumsikan adanya hubungan antara bahasa
dan makna. Mereka juga menggunakan metode observasi, interaksi, dan eksperimen
untuk menggali kebenaran dan kepastian yang lebih dalam. Dekonstruksi di lain pihak
melakukan intervensi dengan cara membongkar apa pun, baik tulisan maupun tuturan,
menunjukkan kontradiksi-kontradiksinya dan memosisikan kemungkinan makna dan
hasil-hasil alternatifnya. Dengan menampakkan asal-usul tulisan yang labil dan tidak
logis sebagaimana dalam asumsi filsafat Barat, dekonstruksi memihak pada dunia liyan
(the others) yang termarginalisasi (Hooker dan Murphy, 2005: 189).
Derrida menyatakan bahwa dalam oposisi filsafat klasik (tradisional), kita tidak
berurusan dengan koeksistensi damai dari dua hal yang berhadap-hadapan (vis a vis), tetapi
sebuah hierarki yang brutal. Satu term menguasai term yang lain, baik secara aksiologi,
logis, dan lain-lain, atau memegang kendali atas yang lain. Mendekonstruksi oposisi
pertama-tama berarti membalik hierarki untuk sementara waktu. Derrida tidak sekadar
membalik hierarkinya, dan hal itu merupakan upaya menghapuskan setiap oposisi yang
diskriminatif, yang mengunggulkan satu di atas yang lain. Hal itu disebabkan, dalam
setiap oposisi selalu ada hierarki dan di setiap hierarki selalu ada represi.
Mengabaikan fase pembalikan berarti melupakan struktur konfliktual dan
subordinatif dari oposisi. Akibatnya, orang akan membiarkan oposisi sebelumnya tak
terpegang, sehingga mencegah terjadinya intervensi dalam bidang itu secara efektif. Hal
yang terjadi kemudian adalah efek praktis (terutama politis) dari lompatan langsung
melampaui oposisi, dan juga protes-protes dalam bentuk sekadar tidak ini, tidak itu. Kata
fase sebenarnya bukan dalam arti kronologis, melainkan bersifat struktural, yakni demi
keperluan analisis yang tak kunjung henti: [sebab] hierarki dalam oposisi ganda dengan
sendirnya akan mengukuhkan diri lagi. Dalam konteks ini, tujuannya bukan sebuah
sintesis universal—yang dalam istilah Hegel disebut aufhebung—melainkan suatu upaya
untuk mencari tatanan baru (tatanan alternatif) di luar kerangka oposisi biner.

306
Usaha Derrida mendekonstruksi filsafat modern pertama-tama adalah mengkritik
pandangan metafisika dan epistemologi modern. Derrida menolak pandangan bahwa
dengan menjelaskan hakikat, eksistensi, substansi, subjek, alethia, dan seterusnya berarti
telah menguasai realitas. Tanda, kata atau konsep baginya tidak menghadirkan “ada”
tetapi hanya merupakan “bekas” (trace). Menurutnya, “yang ada” bersifat majemuk, tak
terstruktur, dan tak bersistem sehingga tidak dapat direkayasa secara sewenang-wenang
dalam kata, tanda, atau konsep tunggal. Pandangan metafisika modern tersebut harus
didekonstruksi apabila menginginkan solusi atas dilema modernitas.
Kritik terhadap logosentrisme ditunjukkan oleh Derrida dengan cara mendekonstruksi
karya Plato yang berjudul Philebus dan karya Mallarme yang berjudul Mimique.
Tujuannya adalah membongkar ambiguitas mimesis, yakni hasrat meniru sesuatu yang
lebih awal dan memiliki prioritas ontologis dibandingkan yang sesudahnya. Hasrat
mimetik yang paling awal adalah kreasi manusia dalam bentuk relief, arca dsb. sebagai
refleksi ketertakjuban manusia terhadap alam. Hasrat ini tidak pernah padam karena
manusia selalu merindukan sesuatu yang ditiru, arkhe yang transenden dan ideal. Dalam
perspektif Platonian, mimesis berada dalam kerangka hierarkis yang menempatkan yang
ideal (ide atau kebaikan) di atas yang temporal. Sesuatu yang ditiru (the imitated) memiliki
“kualitas lebih” daripada yang meniru (the imitator). Hubungan keduanya bersifat vertikal
yang menandakan bagaimana yang ideal dipersepsikan sebagai kehadiran logos (pusat
yang stabil dari teks) dan telos (yang menggarisi arah yang telak dalam proses menuju
kebenaran akhir yang mutlak dan absolut).
Untuk lebih memahami teori dekonstruksi Derrida, ada baiknya kita menyimak
ilustrasi yang dilakukan Edward Said (sebagaimana dikutip Sumarwan, 2005: 10) mengenai
kajian teori postkolonial. Upaya pembongkaran hierarki oposisi biner serta upaya untuk
menemukan tatanan alternatif yang mengatasi oposisi itu seringkali diperoleh dalam term
lain yang meleset dari tatanan oposisi biner ini. Selain berupaya mendekonstruksi oposisi
Barat><Timur, oposisi biner lain yang menjadi sasaran dekonstruksi teori poskolonial
adalah oposisi penjajah><terjajah. Oposisi penjajah><terjajah telah menjadi “payung” dan
ditopang oleh oposisi biner lain seperti baik><buruk, beradab><biadab, rajin><malas,
rasional><irasional. Dari berbagai oposisi biner yang terkumpul di bawah “payung”
oposisi penjajah><terjajah ini, muncullah pembenaran bagi kolonialisme: mereka boleh
kita jajah karena mereka masih biadab. Tidak hanya itu, oposisi biner juga memungkinkan
sebuah fantasi luhur. Kolonialisme––yang dalam kenyataan merupakan pendudukan,
perampasan, dan kontrol kita yang beradab atas mereka yang biadab––disertai cita-cita
luhur memberadabkan (a civilizing mission) mereka yang masih terbelakang. Panggilan
luhur untuk memberadabkan ini merupakan fantasi luhur yang mengukuhkan superioritas
penjajah atas terjajah, sekaligus “menyucikan” tindakan penjajahan itu sendiri.

307
Tujuan metode dekonstruksi sesungguhnya adalah ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Itulah
sebabnya pembacaan dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu
mencari makna sebenarnya dari teks, atau terkadang berusaha menemukan makna yang lebih
benar dari teks itu. Adapun pembacaan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna kebenaran tunggal. Dia
hanya ingin menumbangkan susunan hierarkis yang menstrukturkan teks (Norris, 2009).
Dekonstruksi sering disalahartikan hanya sekadar keasyikan membongkar tanpa usaha
untuk menyusun kembali menjadi stuktur alternatif yang baru. Bagi Derrida, dekonstruksi
merupakan sesuatu yang positif karena setelah membongkar dan menjungkirbalikkan makna
atau logika sesat yang ada di dalamnya, metode dekonstruksi memberi peluang untuk
membangun hal-hal baru dan menemukan makna baru. Dekonstruksi bagaikan membuka
pemikiran yang selama ini tertutup.

2. Michel Foucault
Tokoh postmodern lain adalah filsuf Prancis, Michel Foucault. Ia lahir pada 15
Oktober 1926. Tokoh ini mempunyai latar belakang keluarga yang berkecimpung
di dunia medis. Ayahnya seorang professor anatomi, sedangkan ibunya adalah putri
seorang ahli bedah Prancis). Meskipun demikian, ia tidak menyukai bidang medis.
Hal itu terbukti ketika ia akan masuk universitas ia memutuskan untuk tidak menjadi
dokter. Masa kecil Michel sebenarnya sarat dengan pendidikan agama, bahkan ia sempat
menjadi Putra Altar di gereja. Namun, pada akhirnya ia membenci kaum ruhaniawan
“antiklerus”. Ia kemudian berbalik arah dan menyukai filsafat dengan membaca berbagai
karya filsuf besar.
Michel Foucault memulai kariernya menjadi pengajar di Universitas di Lille pada
1952. Akan tetapi, pada 1955 ia menjadi atase kebudayaan Prancis yang bertugas di
Uppsala, Warsawa dan Hamburg. Di Uppsala, ia memulai riset kepustakaan yang
kemudian menjadi karya besarnya di bidang sejarah sosial, yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan judul Madness and Civilization: A History of Insanity in
the Age of Reason 1965. Pada 1960, ia kembali ke Prancis untuk mengajar filsafat dan
psikologi di Clermont-Ferrand. Dalam waktu singkat ia menulis karya-karya besarnya
dan pada dekade 1970 karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perception (1973), The Order of Things
(1970), dan The Archaeology of Knowledge (1972) (Lemert, 2005: 284).
Sebagaimana teori postmodern lain, Foucault mengkritik masyarakat Barat.
Menurutnya, selama tiga abad masyarakat Barat telah membuat berbagai kesalahan
mendasar di mana para ahli memercayai adanya pengetahuan objektif yang bisa
diungkapkan. Mereka mempunyai pengetahuan yang bersifat netral (bebas nilai).
308
Pencarian pengetahuan demikian akan memberi manfaat bagi seluruh umat manusia,
bukan hanya untuk golongan tertentu. Semua aturan masa modern itu ditolak Foucault.
Dia percaya pada pengetahuan yang berada pada satu wewenang akan menimbulkan
kekuasaan yang terlembaga. Wacana yang terbentuk hanyalah suatu bentuk dominasi dari
sistem kekuasaan. Kebenaran menurut Foucault adalah produk atau dongeng, regulasi,
distribusi, dan pernyataan sehingga sistem kebenaran berada dalam hubungan timbal
balik dengan sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan ini menciptakan dan mempertahankan
kebenaran, sedangkan kebenaran adalah produk dari praktik-praktik tertentu. Kekuasaan
pengetahuan mewujudkan diri dalam wacana yang menciptakan kebenaran secara
sewenang-wenang demi kepentingannya. Dengan demikian, pengetahuan menciptakan
realitas (Basis 2002, dalam Wibowo, 2009).
Berkat Jasa Foucault, postmodernisme tidak hanya sekadar mengkritik epistemologi
tetapi juga menawarkan suatu genealogi sebagai metode kontrol sosial yang lebih efektif.
Foucault (Antonio, 1990: 104) dalam hal ini berpendapat bahwa pandangan modern
tentang kegilaan (madness), kriminalitas, kesakitan (illness), dan seksualitas meningkatkan
dominasi selama ini ke tingkat yang tak dibayangkan. Bentuk-bentuk kekuasaan
dimanifestasikan dalam praktik-praktik profesi “pembantu” baru dan institusi-institusi
total semakin tergantung pada konsepsi rasional yang diarahkan oleh kontrol-kontrol
internal. Pengaturan sosial dengan demikian menjadi lebih meluas dan menindas
ketika pengaturan diri (self-regulation) yang berbasis pada rasionalitas dan kenormalan
yang diinternalisasikan menggantikan hambatan-hambatan fisik dari pengurungan dan
“perlakuan”. Alasan kebenaran ideal Barat dan institusi-institusi yang “sangat diarahkan”,
seperti negara kesejahteraan dan sosialisme, melindungi hubungan-hubungan antara
pengetahuan dengan kekuasaan dan konsekuensinya menguatkan jalinan kekuasaan
mereka.
Kekuasaan, bagi Foucault, beragam dan produktif. Kekuasaan tidak terpusat pada
satu orang atau pihak, tetapi menyebar kemana-mana, serta tidak pernah disesuaikan
sebagai komoditas atau bagian dari kekayaan. Kekuasaan terkait dengan jaringan
dan pembentukan struktur kegiatan. Oleh karena itu, harus dipahami melalui suatu
jaring seperti organisasi. Lebih lanjut Foucault (2002: 166–180), menjelaskan bahwa
kekuasaan tidak dapat dipahami sebagai hubungan subjektif searah: kemampuan
seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada yang lain. Kekuasaan
merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver,
teknik, dan mekanisme tertentu. Secara umum, kekuasaan lebih beroperasi daripada
dimiliki. Kekuasaan bukan merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan
kelas dominan, melainkan suatu akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat
yang menunjukkan posisi mereka yang dominan. Dalam hal ini, individu yang tidak
mempunyai kekuasaan, tidak hanya tak berdaya atau menyetujui sasaran, tetapi juga

309
selalu menjadi elemen-elemen dari artikulasi. Hal ini mengandung pengertian bahwa
“individu-individu adalah kendaraan kekuasaan, bukan sebatas titik aplikasi”.
Teori wacana yang dikembangkan Foucault juga menggunakan oposisi biner yang
terlihat dari rumusan preposisinya. Oposisi biner tersebut misalnya, apabila ada karya akal
(reason) harus ada juga karya bukan akal (unreason). Hal yang dapat dipikirkan (thought)
dilawankan dengan hal yang tidak dapat dipikirkan (unthought), sehat dilawankan
dengan sakit, bebas dilawankan dengan tidak bebas, waras dilawankan dengan gila, dan
seterusnya (Foucault, 2002: 206–226). Studi-studi yang dilakukan Foucault kemudian
mendasarkan diri pada logika tersebut. Bagi Foucault, justru kegilaan atau sakit mentallah
yang secara institusional membentuk apa yang disebut “disiplin”, seperti pengetahuan
tentang pengobatan, psikiatri, psikologi, dan kedokteran. Justru penjaralah yang
menciptakan ilmu penologi dan kriminologi. Wacana seksualitaslah yang memunculkan
kesadaran akan nafsu dan keinginan sendiri, bioetika, kontrol kelahiran, psikoanalisis,
psikologi, kedokteran, kriminologi, etika, bahkan teologi. Dengan demikian, semua
tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pembentukan pengetahuan.
Sebaliknya, semua pengetahaun memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan
(Haryatmoko, 2002: 12; Foucault, 2002: 136–165).
Dalam karyanya, Dicipline and Punish (1975), Foucault mempersoalkan modernitas
sebagai pemisah paling menentukan antara periode klasik dengan abad 19. Foucault
memetakan munculnya “masyarakat disipliner” sebagai akibat dari masyarakat yang
didominasi oleh “tontonan panggung eksekusi” (spectacle of scaffold). Terdapat dua
bentuk kekuasaan yang amat berbeda yang didominasi oleh dua bentuk kekuasaan
yang amat berlainan. Konsep kedaulatan yuridikopolitis dalam masyarakat pramodern
menyelenggarakan eksekusi publik untuk memperbaharui kedaultan yang keropos.
Sedangkan dalam modernitas, adanya bentuk-bentuk baru “penghukuman yang
digeneralisasikan” disebabkan oleh adanya bentuk baru kekuasaan yang merembes dan
menjangkau setiap bagian tubuh sosial. Pada level metodologis, persoalannya adalah
bahwa kita masih memandang kekuasaan lewat kerangka politicoyuridis, dan sebagai
konsekuensinya, kita tidak mampu memahami produktivitas kekuasaan kecuali sekadar
mengonsepsikannya sebagai sesuatu yang negatif dan terbatas (Harrison, 2005: 132).

3. Jean Baudrillard
Tokoh postmodernisme yang satu ini lahir pada Juli 1929 di sebuah kota kecil
Reims, Prancis. Karier akademiknya boleh dikatakan kurang bagus. Ia pernah gagal masuk
Ecole Normale Superiur (ENS). Pada umur 36 tahun, ia baru berhasil menyelesaikan tesis
sosiologinya di Nantere bersama Henri Lefebvre. Setahun kemudian, ia menjadi tenaga
pengajar di University of Paris selama 20 tahun. Kemudian, ia menyelesaikan doktornya di
Sorbornne dan berhenti mengajar pada 1987.
310
Walaupun karier akedemiknya kurang mulus, pemikiran Baudrillard terkesan
orisinel dan darinya lahir banyak gagasan dan konsep segar yang sebelumnya tidak
(kurang) dikenal. Menurut Merrin (2007: 15–16), secara historis dan filosofis teori
postmodern Baudrillard bersumber dari kritik terhadap proses kontemporer masyarakat
konsumen dan media melalui pemulihan dan penonjolan konsep kuno seperti
simulacrum. Analisisnya kemudian tentang reproduksi kenyataan kontemporer mengenai
hyprerealitas dan penghapusan hubungan sosial, makna dan investasi mempertahankan
kekuasaan dan inspirasi. Kemudian, dia mendiskusikan dampak pemodelan simulacra
berdasarkan pengalaman hidup. Meskipun demikian, adopsinya terhadap konsep-konsep
ini secara esensial mengundang kritik yang terutama ditujukan pada pelukisan penetrasi
simulacrum melalui kehidupan sehari-hari dan fungsinya sebagai sebuah mode kontrol
sosial, perdamian, dan integrasi.
Beberapa kata kunci (key words) untuk memahami pemikiran Baudrillard antara
lain: simulasi, simulacara, representasi, tanda-tanda (signs), kode, kode produksi, citra
(image), dan hiperrealitas. Gagasannya mengenai simulasi dituangkan dalam karyanya
yang berjudul Simulations. Konsep simulasi menunjuk pada proses penciptaan model
realitas yang tidak mengacu pada referensi realitas sesungguhnya. Kehidupan postmodern
ditandai dengan simulasi dengan kendaraan utamanya adalah iklan media massa.
Baudrillard (Featherstone, 2001: 7) menekankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan
informasi baru menjadi pusat perubahan, dari tatanan sosial yang produktif ke tatanan
sosial reproduktif, di mana berbagai simulasi dan modal semakin melanda dunia sehingga
perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur.
Dalam karyanya yang berjudul Consumer Society, Baudrillard melontarkan
argumentasi brilian mengenai kebutuhan. Sesuai dengan analisis struktural, konsumsi
merupakan efek saling ketergantungan tanda-tanda. Jadi, tidak ada korespondensi langsung
antara signifier dan signified. Objek khusus tidak diproduksi dalam hubungannya untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Secara individual, kebutuhan tidak memiliki identitas
karena dalam sistem saling ketergantungan tidak ada identitas yang berada dalam isolasi.
Lebih dari itu, oleh karena kebutuhan tidak dapat ditekan dan tidak memiliki spesifikasi
objektif, maka akan selalu kekurangan. Kenikmatan dalam konsumsi bagi Baudrillard
adalah tidak mungkin. Klaim yang sama juga mengenai kemandirian dan kebebasan
dari kebutuhan individual. Ironi terbesar dari definisi konsumsi menurut Baudrillard
adalah bahwa perbedaan-perbedaan produksi industrial dianggap memungkinkan bagi
seseorang untuk menjadi dirinya sendiri, memiliki gaya dan kepribadian, secara simultan
menghapus perbedaan tunggal antarorang yang menggantinya dengan tanda-tanda
perbedaan, secara terus menerus, menyesuaikan dengan model artifisial dan abstrak.
Konsekuensi untuk menjadi diri sendiri di bawah term masyarakat konsumen adalah
tidak menjadi sesuatu apa pun (Genosco, 2005: 31).

311
Baudrillard (Waters, 1994: 209) mengembangkan suatu periodisasi cara di mana
tanda-tanda (simbol-simbol) berhubungan dengan referennya. Dia menggambarkan
hubungan tersebut sebagai simulasi, pola representasi. Tiga tatanan simulasi yang
berlangsung sejak Renaissance tersebut sebagai berikut.
1. Periode Renaissance atau periode “tanda diemansipasikan”. Dalam periode ini
tanda-tanda dapat digunakan untuk memalsukan tatanan dan kemungkinan-
kemungkinan baru, untuk memikirkan alternatif-alternatif. Di sini tanda-tanda
kaya akan makna dan kemungkinan-kemungkinan. Mereka adalah seni.
2. Periode Revolusi Industri ditandai dengan munculnya tanda-tanda yang mempunyai
kesamaan nilai. Era ini adalah era produksi di mana serangkaian produk yang
memiliki karakter sama dapat direproduksi dalam suatu gelombang yang tiada henti.
Seluruh komoditas dapat dialihkan ke dalam bentuk yang lain melalui pertukaran. Di
sini tanda-tanda disebarkan dan memudar. Mereka adalah komoditas-komoditas.
3. Era simulasi kontemporer adalah mas di mana tanda-tanda menjadi suatu realitas.
Seluruh tanda (seluruh informasi) direduksi ke dalam oposisi biner dan dideskripsikan
sebagai “kode”. Realitas adalah pemodelan (komputer) atau “dimediamasakan” keluar
dari oposisi tersebut dan model-model menjadi realitas. Di sini tanda-tanda tidak
ada maknanya sama sekali. Mereka adalah digitalisasi ‘bit-bit’.
Menurut Baudrillard, dunia postmodern ditandai antara lain dengan peperangan cyber.
Misalnya, bahwa Perang Teluk adalah suatu drama di layar kaca, di mana fakta diseleksi
dan ditafsirkan oleh kedua belah pihak. Baudrillard mengembangakan strategi seduksi:
gelagat, penegasan, atau sikap subversif yang menolak untuk menjalankan permainan sosial
hubungan kekuasaan yang biasa. Tidak ada satu pihak pun yang dapat menjadi penindas
atau direduksi ke tataran objek yang harus dikontrol. Baudrillard merasa bahwa apabila kita
dapat menjungkirbalikkan struktur kekuasaan, dapat menyingkirkan penghalang untuk
berpikir lebih jernih. Tetapi, ia skeptis apakah kita mampu menghasilkan perubahan sosial
yang riil dan bertahan. Postmodernisme mempersoalkan apakah “kebenaran” benar-benar
eksis. Ia mencurigai dan bersikap sinis tentang siapa yang mengatakan apa kepada kita.
Baudrillard mengemukakan konsep hiperrealitas, di mana tanda mempunyai eksistensi
virtualnya sendiri, mengambang bebas dalam arti yang baru, dan terpotong dari akarnya
(O’Donell, 2009: 45).

4. Jean François Lyotard


Lyotard lahir pada 1924. Sebelum menjadi filsuf profesional, ia menghabiskan
kariernya sebagai teoretikus dan praktisi dalam sebuah kelompok kiri radikal Socialisme
ou Barbarie. Dia menyelesaikan pelatihan filsafat formalnya pada 1958 (Hicks, 2004:
3). Lyotard memulai analisisnya tentang masyarakat dunia kontemporer pasca PD

312
II berdasarkan observasinya mengenai perubahan struktur produksi ekonomi yang
ditransformasikan oleh ilmu pengetahuan, khususnya dengan ditemukannya komputer.
Pada saat ini kita berada dalam era informasi, di mana ilmu pengetahuan dengan
sendirinya menjadi kekuatan produktif, bahkan mungkin paling produktif. Bukan hanya
itu, ilmu pengetahuan bahkan semakin menjadi komoditas (sesuatu yang diproduksi
untuk dijual). Akibatnya adalah produksi dan diseminasi (penyebarluasan) ilmu
pengetahuan direorganisasi. Pada masyarakat dunia kontemporer, ekonominya semakin
mengglobal, di mana aktivitas ekonomi berada di luar jangkauan kontrol suatu negara.
Pada saat yang sama, produksi dan kontrol pengetahuan menjadi fenomena ekonomi.
Demikian pula persoalan politik yang berkaitan dengan isu kontrol terhadap ekonomi
termasuk pengetahuan. Apakah mungkin dapat mengontrol perkembangan ini? Lyotard
berpendapat bahwa perkembangan itu tidak dapat dikontrol karena diarahkan oleh apa
yang disebut Weber sebagai rasionalitas instrumental (means-end rationality) atau dalam
istilah Lyotard performativity (Cuff, et al., 2006: 253–254).
Modernitas, dalam hal apa pun itu terwujud, tidak dapat eksis tanpa penghancuran
kepercayaan dan tanpa penemuan “lack of reality” dari realitas bersama-sama dengan
penemuan realitas baru. “Realitas lain” ini menjadi perhatian utama Lyotard (Sica,
2005: 509). Menurut Lyotard (Hicks, 2004: 3), kebanyakan postmodernis berpikir
dalam kerangka estetika daripada aktivisme politik. Alasan kebenaran dan realitas
dikonstruksi adalah karena mereka percaya bahwa di bawah nama alasan, kebenaran,
dan realitas peradaban Barat terdapat dominasi, penindasan, dan destruksi. “Alasan dan
kekuasaan berada dalam satu koin yang sama,” demikian menurut Lyotard. Keduanya
mengarahkan dan identik dengan “penjara, pelarangan, proses seleksi dan barang publik”.
Postmondernisme kemudian menjadi suatu strategi aktivis melawan koalisi alasan dan
kekuasaan. Selanjutnya Lyotard menjelaskan bahwa kekerasan dialami oleh si miskin
dari si kaya, oleh negara-negara terjajah dari imperialis. Untuk menjelaskan ini, Lyotard
menggunakan contoh invasi Amerika ke Irak pada dekade 1990-an. Menurutnya, Saddam
Hussein di samping sebagai korban propaganda Amerika juga sebagai penyambung lidah
korban-korban imperialisme Amerika terhadap dunia.
Saddam Hussein adalah korban dari negara dan perusahaan besar Barat. Seperti halnya Hitler,
Mussolini, dan Franco yang dilahirkan dari kampanye “perdamaian” yang digembar-gemborkan
negara-negara pemenang Perang Besar. Saddam Hussein adalah korban dari suatu cara yang
bahkan lebih menyolok dan ironis. Akan tetapi, kediktatoran Iraq sebelumnya, sebagaimana yang
lain, berasal dari negara aporia atau gagal (tidak dapat menyelesaikan persoalan) dalam sistem
kapitalisme ke negara yang kalah, kurang berkembang, dan sangat resisten.

5. Fredric Jameson
Fredric Jameson lahir pada 1934. Ia tumbuh besar di kawasan New Jersey Tenggara
dan masuk Haverford College di minat Bahasa Prancis. Ia kemudian pindah ke Yale dan
313
memperoleh gelar Ph.D dengan disertasi tentang Jean-Paul Sartre, yang kemudian menjadi
buku dengan judul Sartre: Origin of a Style (1961). Setelah melakukan studi intensif tentang
teori sastra Prancis pada 1950, pada dekade 1960-an Jameson memulai menggeluti teori
Marxian. Ia melakukan studi selama dua tahun di Berlin, kemudian terpengaruh gerakan
kiri baru dan antiperang. Pada dekade 1970-an, ia mempublikasikan Marxism and Form.
Dalam karyanya itu ia memperkenalkan suatu tradisi teori sastra dialektika neo-Marxis.
Sejak menuliskan karyanya yang berjudul The Prison-House of Language (1972), Jameson
mengonsentrasikan diri pada pengembangan teori sastra dan budaya yang dituangkan dalam
karya-karyanya seperti: Fables of Aggression: Wyndham Lewis, the Modernist as Fascist (1979),
The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act (1981), dan Postmodernism, or,
The Cultural Logic of Late Capitalism (1991). Studinya terhadap karya Theodor W. Adorno,
Late Marxism (1990a) dan Brecht and Method (2000), dan karyanya yang berjudul A Singular
Modernity (2002)—yang diorientasikan pada perdebatan postmodernis melalui analisis
kritis tentang diskursus modernitas dan modernisme (Kellner, 2005: 421)—menunjukkan
perhatiannya pada teori Marxis dan estetika.
Sebagai Guru Besar Perbandingan Sastra Duke University, kritikus budaya
dan eksponen kunci teori postmodern Marxis, serta interpretator kecenderungan-
kecenderungan budaya kontemporer, Jameson lebih dikenal melalui karyanya,
Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism (1991). Postmodernisme, menurut
Jameson, merepresentasikan model baru representasi, pengalaman hidup, dan sensitivitas
estetika. Semua itu merefleksikan tahap akhir perkembangan kapitalisme. Ciri utama
tahap ini adalah kapitalisme pasar pada abad 19, kapitalisme monopoli pada awal abad
20, pembagian kerja global, intensifikasi konsumsi, khususnya konsumsi pencitraan,
suatu perkembangbiakan media masa, dan meningkatnya kejenuhan masyarakat dengan
teknologi informasi. Di atas semua itu, kapitalisme akhir mengintegrasikan produksi
estetika ke dalam produksi komoditas secara umum, yakni mengintensifkan konsumsi
media melebihi novel (karya sastra). Jameson mengidentifikasi ciri-ciri konfigurasi kultural
postmodern sebagai suatu “mode produksi” baru dalam kapitalisme akhir, termasuk
pengaburan perbedaan antara popular/komersial dan cendekiawan/budaya klasik,
pelemahan dimensi historis dengan tekanan pada pengalaman kekinian (di sini dan saat
ini) dan organisasi ruang (paling menonjol dalam arsitektur kontemporer); penyebarluasan
secara elektronik reproduksi pencitraan (simulacra dalam istilah Jean-François Lyotard);
penggunaan pastiche secara luas; dan merosotnya afektivitas yang menurunkan kebutuhan
keterlibatan emosional dalam budaya konsumsi (Pakulski, 2007).
Studi-studi Jameson tentang postmodernisme merupakan konsekuensi logis dari
proyek teoretisnya. Dalam analisisnya, Jameson menempatkan budaya postmodern
dalam kerangka teori panggung masyarakat––berbasis neo-Marxian––model tahap
perkembangan kapitalisme dan dia berargumentasi bahwa postmodernisme merupakan

314
bagian dari tahap baru kapitalisme. Setiap teori postmodern, menurutnya, berisi periodisasi
sejarah dan dimensi politik asal muasal kapitalisme multinasional saat ini. Mengikuti
periodisasi Ernest Mendel dalam bukunya Late Capitalism, Jameson mengklaim bahwa
terdapat tiga momen fundamental dalam kapitalisme. Masing-masing menandai suatu
ekspansi dialektikal dari tahap sebelumnya. Tiga momen tersebut adalah kapitalisme
pasar (market capitalism), kapitalisme monopoli atau imperialisme, dan saat ini yang
sering disebut sebagai postindustrial—tetapi mungkin lebih baik diistilahkan dengan
multinational capital. Bentuk-bentuk masyarakat ini berhubungan dengan bentuk-bentuk
budayanya, yakni realisme, modernisme, dan postmodernisme. Jameson muncul sebagai
ilmuwan (teoretikus) budaya Marxian eklektik dan sintetik yang berusaha melindungi
dan mengembangkan teori Marxian sambil menganalisis momen-momen politik dan
utopian dari suatu diversitas tek-tek budaya yang menarik perhatian. Ia memperluas
analisis kultural yang meliputi budaya pop dan arsitektur sehingga dapat dikatakan
sebagai bagian dari gerakan menuju studi kultural interdisipliner yang menggantikan
studi literer kanonikal (Kellner, 2005: 421).
Waters menjelaskan lebih lanjut konsep Jameson tentang keterkaitan antara
periodisasi kapitalisme dengan karakteristik budayanya. Eksplosi kapitalisme ke arena
global paralel dengan ekspansi budaya yang membebaskan diri dari konteks sosialnya.
Ekspansi besar-besaran budaya melalui realitas sosial menuju aspek apa pun kehidupan
sosial––dari ekonomi, kekuasan negara, hingga praktik-praktik yang menstrukturkan
jiwa––dapat dikatakan menjadi “kultural” dalam beberapa hal dan ini belum dijadikan
sebuah teori. Postmodern budaya yang memfokuskan pada sentralitas global dan dislokasi
individual dari realitas yang dihadapinya ini memiliki 4 karakteristik sebagai berikut.
1. Pendekatan “dangkal” (apa yang dilihat adalah apa yang diperoleh). Produk
kultural tidak memiliki intensitas dan tidak emosi di belakangnya karena budaya
dipisahkan dari orang yang memproduksinya. Budaya adalah citra-citra yang dapat
digunakan.
2. Pendekatan “ahistoris” dan instan. Budaya tidak menghasilkan referensi dari
perjuangan dan kemandirian manusia. Tradisi-tradisi dapat “dicampur” dan
dicocokkan dengan praktik kehidupan sehari-hari untuk dirunut asal-usulnya.
3. Pendekatan yang mengabaikan aspek waktu (timeless). Pendekatan ini memfokuskan
pada bagian-bagian makna budaya di suatu tempat. Hubungan waktu antarfragmen
secara eksternal tidak berarti tetetapi secara internal dibentuk kembali oleh aktor
individual.
4. Pendekatan yang menganggap dunia lebih sebagai suatu entitas teknolog daripada
sebagai suatu yang alamiah dan lebih sebagai suatu jaringan komputer daripada
keseimbangan ekologis (Waters, 1990: 207).

315
Karya-karya Jameson tentang postmodernisme sangat berpengaruh karena dia
tidak hanya mencoba untuk menemukan dan memahami kualitas khusus berbagai
pengalaman budaya yang disebut dengan postmodern, tetapi juga mencoba untuk
menempatkan pengalaman-pengalaman budaya itu dalam suatu kerangka kerja sosial.
Teori Jameson mengenai masyarakat dan perkembangannya berasal dari Marxisme dan
dia menempatkan postmodernisme sebagai budaya dominan yang berasosiasi dengan
gerakan ke arah kapitalisme baru dalam era pasca-Perang Dunia II (Featherstone,
2001: 123–124). Jameson sebagaimana Baudrillard menunjukkan analisis tipe ideal
terhadap modernitas yang ditandai dengan linearitas, diferensiasi, eksplosi, sentralisasi,
homogenisasi, hierarki, fragmentasi, dan individualisme. Postmodernitas sebaliknya
ditandai, antara lain, dengan dediferensiasi, desentralisasi, tribalisme, budaya media,
dan komputer yang disebut sebagai cyberpace.

6. Gilles Deleuze/Felix Guattari


Gilles Deleuze adalah seorang filsuf Prancis yang lahir di Paris pada 1925. Ia
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Paris. Ia belajar filsafat di Sorbonne dan
kemudian menjadi pengajar di sana, di bidang sejarah filsafat pada 1957 hingga 1964.
Selain itu, ia juga mengajar di University of Lyon dan Vincennes. Di sinilah ia mengenal
Foucault dan menjadi sahabat baiknya. Terakhir ia juga mengajar di University of Paris
VII pada 1987 sampai akhir kariernya. Ia meninggal pada 1995 akibat penyakit paru-paru
yang serius. Deleuze melakukan studi monografi filsuf-filsuf klasik mulai dari Kant,
Spinoza, Leibniz, Hume, Bergson, hingga Nietzsche (Terranova, 2007: 59).
Gilles Deleuze dan Felix Guattari dikenal sebagai filsuf muda yang berpikiran
radikal. Mereka mengembangkan filsafat posthumanisme sebagai salah satu bentuk
filsafat postmodernisme. Posthumanisme menaruh perhatian pada ide yang selama
ini dipercaya, bahwa manusia adalah makhluk yang membatasi diri. Posthumanisme
mengembangkan agenda politik radikal, menolak pendapat yang berkembang sejak
masa pencerahan (enlightment), dan menawarkan alternatif ide tentang hakikat kedirian
manusia yang lebih progresif, kreatif, dan memiliki inisiatif untuk mengembangkan
diri melalui berbagai saluran komunikasi. Deleuze dan Guattari (dalam Elliot, 2006),
mengembangkan konsep-konsep intelektual artifisial, nanoteknologi, teknologi cyber,
biomesin, dan sebagainya. Sebuah tema yang tetap dalam posthumanisme adalah bahwa
memori-memori sosial dan sosialitas adalah ganda. Gilles Deleuze dan Felix Guattari
dalam A Thousand Plateaus (1980) menyatakan bahwa memori sosial tersebut seperti
molekul, terbuka, sebuah sistem yang kompleks, bentuk inisiasi ke berbagai jalur
komunikasi sebagai suatu fenomena heterogen.
Dalam karya-karyanya, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (1984) dan A
Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (1987), Deleuze dan Guattari mulai
316
mengembangkan ide-ide Nietzschean tentang genealogi keinginan pada masyarakat
kapitalis kontemporer. Mereka berpendapat bahwa buntut turbulensi politik dan filsafat
Prancis pada peristiwa Mei 1968 adalah pemikir politik radikal harus lebih kreatif dalam
melihat hubungan-hubungan variabel yang memengaruhi kehidupan politik dan personal.
Konsekuensinya, dalam Anti-Oedipus, Deleuze dan Guattari berusaha untuk melepaskan
diri dari ide Freud tentang ketidaksadaran sebagai suatu “teater”, dan sebaliknya
mereka memperluas model imanen tentang ketidaksadaran sebagai suatu “pabrik”
yang menghasilkan keinginan. Secara fundamental, dalam mengembangkan kajian
psikoanalisis, Deleuze dan Guattari menolak “Freudo-Marxism” atau sudut pandang
yang menyatakan bahwa ketidaksadaran diikat secara ekslusif dengan “sistem pewarisan
orangtua”. Individu dan masyarakat pada dasarnya tidak menghilangkan keinginan yang
ditekan, tetapi keinginan tersebut justru dibebaskan oleh hubungan-hubungan sosial
yang lebih terbuka. Mereka mendemonstrasikan bahwa ketidaksadaran secara krusial
berhubungan dengan keinginan-keinginan dan harapan kolektif, historis, sosiogeografis
dan “pantas” (berkembang tanpa subjek dan objek) (Armitage, 2005: 190).
Dalam buku tersebut, Deleuze dan Guattari ingin membedah relasi antara Oedipus
Complex dengan kapitalisme dengan cara menggabungkan tiga konsep: “hasrat”,
“produksi”, dan “mesin” (Sarup, 2008). Dalam hal hasrat, mereka membedakan antara
hasrat paranoid dengan hasrat schizoprenik. Konsep biner ini paralel dengan fasis dan
revolusioner, otoritarian dengan libertarian dan juga sentralisasi dengan desentralisasi.
Menurut mereka, fasisme bukan hanya sekadar rezim politik yang harus dilawan,
melainkan juga fasisme dalam tubuh yang menyebabkan kita sangat mencintai kekuasaan
dan nafsu untuk mendominasi dan mengeksploitasi (Foucault, 1983). Anti Oedipus
adalah sebuah upaya pemikiran untuk membebaskan diri dari hasrat dominan dan
membantu masyarakat dari otoritarian yang bersifat fasistik dan sentralistik, baik internal
maupun eksternal. Buku ini juga menggambarkan suatu perlawanan pada ide Oedipus
Complex (OC) yang berfokus pada “keluarga suci” yang terdiri dari “bapak, ibu, dan
saya” dan OC ini sangat erat berkaitan dengan sistem kapitalisme (Ritzer, 2008).
Dari buku Anti Oedipus tersebut, ide utama yang dapat kita tangkap yang ingin
dimunculkan Deleuze dan Guattari adalah keinginan untuk membebaskan manusia
dari ikatan OC dan membiarkan hasrat manusia berselancar ke dunia tanpa batas
sehingga tercipta “revolusi hasrat”. Model orang yang bebas dari ikatan OC ini adalah
schizoprenik. Sebagaimana Deleuze dan Guattari jelaskan, seorang schizoprenik jauh
lebih baik daripada seorang neurotik yang hanya terbaring dan terperangkap dalam “dipan
analisis”. Akan tetapi, harapan yang ingin diusung Deleuze dan Guattari sesungguhnya
adalah “subjektivitas kolektif” (subjek nonfasistik atau anti Oedipus, yakni subjek yang
bebas berkeliaran yang akan menjadi kekuatan yang dahsyat, kekuatan revolusioner).

317
Dalam bukunya, Schizophrenia and Capitalism—dua volume yang terbit pada 1972
dan 1980, Deleuze dan Guattari mengombinasikan karya Nietzsche dan Marx sebagai
kritik kapitalisme modern dan psikoanalisis Freudian. Mereka berpendapat bahwa
psikoanalisis konvensional berhubungan dengan kapitalisme modern. Psikoanalisis
menghubungkan keinginan dengan apa yang dapat diterima dalam tatanan kapitalisme
modern dan struktur keluarga yang mendukungnya. Psikoanalisis tidak melihat
kemungkinan bahwa orang dapat bertindak dalam rangka merealisasikan keinginan yang
beraneka ragam. Kapitalisme dan liberalisme yang ideal dapat “beroperasi” karena adanya
hambatan-hambatan yang menekan kedirian individual. Deleuze dan Gauttari (Stepnisky,
2005: 462) melihat bahwa kedirian (self) secara kontinu terbuka terhadap kekuatan dan
arus keinginan ganda. Dalam psikoanalisis, Deleuze dan Gauttari mengusulkan suatu
“schizoanalysis” di mana ego kehilangan schizophrenia yang berfungsi sebagai model
hubungan sosial. The schizophrenic, menurut mereka, tidak dihambat oleh keinginan
internal untuk mengontrol diri––fasisme kedirian––tetapi hidup sebagai suatu “tubuh
tanpa organ”. Revolusi sosial, sebagai tantangan bagi kapitalisme dan negara totaliter,
berasal dari kedirian yang dikategorikan modern didukung oleh tatanan filsafat, politik,
dan ekonomi yang kondusif bagi munculnya gerakan sosial tersebut.
Dalam hubungannya dengan postmodernisme, karya Deleuze menghasilkan suatu
teori postmodern alternatif yang menghargai representasi kekuasaan eksklusif untuk
memediasi pengalaman sosial. Ia berpendapat bahwa apa yang disebut oleh postmodernis
sebagai representasi (seperti dalam kata-kata atau citra) masuk ke dalam kelompok
heterogen yang berhubungan dengan elemen sosial, biologis, teknik, budaya, dan fisik.
Tidak satu pun yang menjadi prioritas ontologisme, tetapi semuanya harus digambarkan
bersama ke dalam kapasitas memproduksi efek-efek materialnya (termasuk efek-efek
makna). Bahasa harus dapat dipisahkan dari eksistensi kumpulan ucapan kolektif yang
secara produktif membawanya ke dalam ada. Kata-kata tidak merepresentasikan objek
karena kata-kata itu sendiri merupakan entitas material (Terranova, 2007: 61).
Uraian di atas menunjukkan bahwa teori postmodern merupakan teori yang sangat
kompleks karena variasi pemikiran dari para eksponennya. Di antara variasi pemikiran
tersebut terdapat beberapa kesamaan atau titik temunya. Salah satu kesamaan pemikiran
postmodern adalah dalam hal pijakan teoretisnya (point of departure), yakni bahwa
postmodernisme lahir karena kegagalan modernisme dalam berbagai hal. Postmodernisme
merupakan suatu gerakan menuju zaman pascaindustri. Sebagai konsekuensinya, teori
postmodern menentang berbagai asumsi yang mendasari modernisme, terutama ilmu
pengetahuan yang berkembang pada zaman itu. Teori postmodern dalam hal ini
menentang kebenaran tunggal sebagaimana dijanjikan oleh teori-teori besar (grand
theory) dengan menyatakan bahwa grand theory—atau dalam istilah Baudrillard disebut
metanarasi—telah menemui ajalnya. Persamaan ketiga, teori postmodern memiliki

318
pandangan yang khas berkaitan dengan isu agensi atau posisi individu dalam masyarakat.
Dalam hal ini menurut Sarup (2008: 203), postmodernisme menekankan berbagai
bentuk identitas individu dan sosial yang berbeda-beda, demokrasi pluralistik, dan
terbuka. Pada postmodernisme muncul kesadaran pada faktor kebetulan dan ambivalensi,
produktivitas teknologi industry yang sangat dikagumi Marx, dan yang ingin dijinakkan
dengan komunisme, telah digeser oleh konsumerisme universal. Berikut ini deskripsi
perbandingan antara pramodernisme, modernisme, dan postmodernisme.
Tabel 10.2 Perbandingan Pra-Modernisme, Modernisme dan Postmodernisme

Aspek Pra Modernisme Modernisme Postmodernisme


Metafisika Realisme-supernaturalisme Realisme-Naturalisme Antirealisme
Epistemologi Mistikisme dan/atau kepercayaan Objektivisme: pengalaman dan bukti Subjektivisme sosial
Kodrat Manusia Dosa warisan; subjek kehendak Tuhan Tabula rasa dan otonom Konstruksi sosial
Politik dan Ekonomi Feodalisme Kapitalisme liberal Sosialisme
Masa Pencerahan: abad 20. Akhir abad 20. Bidang
Kapan dan Di mana Abad pertengahan Bidang : ilmu pengetahuan, bisnis Humanisme dan profesi lain
dan teknik. yang berhubungan.

Sumber: Hicks, 2004: 15.

Esensi postmodernisme menurut Hicks (2004: 14–15) bertentangan dengan


modernisme dalam beberapa hal. Realitas alamiah dilawankan dengan antirealisme.
Pengalaman dan bukti-bukti dilawankan dengan subjektivisme linguistik sosial. Identitas
dan otonomi individual dilawankan dengan kelompok-kelompok yang berbasis ras,
gender, dan kelas. Orientasi manusia secara fundamental cenderung ke arah harmoni
berupa interaksi yang menguntungkan secara mutual dilawankan dengan hubungan yang
penuh konflik dan penindasan. Penilaian individual dalam hal nilai, pasar, dan politik
dilawankan dengan komunalisme, solidaritas, dan pengekangan egalitarian. Penghargaan
terhadap pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kecenderungan permusuhan
yang sama sekali palsu.

D. Krik/Tanggapan
Ritzer (2009: 408–424) mengidentifikasi kritik-kritik terhadap teori postmodern sebagai
berikut.
1. Kebanyakan kritisisme atas teori sosial postmodern menentang kegagalannya untuk
bertindak sesuai dengan standar sains postmodern, standar-standar yang dijauhi oleh
postmodernis.
2. Antimodernisme teoretikus sosial postmodern memunculkan banyak persoalan lain
bagi mereka, termasuk kecenderungan atas ketiadaan konseptualisasi yang jelas.

319
3. Meskipun kecenderungan mereka mengkritisi narasi besar dan totalisasi, teoretikus
sosial postmodern seringkali menawarkan variasi-variasi narasi dan totalisasi mereka
sendiri.
4. Dalam analisis mereka, teori sosial postmodern seringkali menawarkan kritik
masyarakat modern, tetapi kritik tersebut diragukan validitasnya karena mereka
biasanya tidak memiliki dasar normatif untuk membuat penilaian.
5. Terobsesi dengan perkembangan (postmodern) kontemporer, seseorang seringkali
mempertanyakan teori sosial postmodern mengenai masa lalu.
6. Penolakannya atas subjek dan subjektivitas, postmodern seringkali tidak memiliki
teori agensi.
7. Teoretikus sosial postmodern sangat baik sekali mengkritisi masyarakat, tetapi mereka
tidak memiliki sama sekali visi apa yang semestinya dilakukan masyarakat.
8. Teori sosial postmodern pesimisme yang sangat kelam.
9. Beberapa teoretikus sosial postmodern memiliki kecenderungan yang mengganggu
untuk melakukan proses materialisasi, setidak-tidaknya beberapa fenomena sosial.
10. Ada diskuntinuitas besar yang terdapat pada kajian teori sosial postmodern, dan ini
menyebabkan persoalan-persoalan tidak terselesaikan dan ambigu.
11. Di samping bergulat dengan hal-hal yang mereka anggap sebagai persoalan-persoalan
sosial utama, teoretikus sosial postmodern akhirnya cenderung melupakan persoalan
kunci saat ini.
12. Barangkali teoretikus sosial postmodern berusaha menyatukan perspektif postmodern
dengan perspektif lain, yaitu perspektif yang lebih tradisional. Namun, mereka
seringkali gagal memuaskan pendukungnya dalam beberapa kemampuan teori.
13. Di samping beberapa bentuk kasus kajian mereka tidak dapat dibedakan dengan
bentuk kajian modernis, bentuk kajian mereka juga menimbulkan persoalan bagi
teoretikus sosial postmodern.
14. Di samping seseorang bisa menjumpai para pengikut di antara mereka, para feminis
secara khusus sering mengkritisi teori sosial postmodern.
Pengkritik postmodern lain datang dari tokoh-tokoh cultural studies seperti Hall,
Hebdige, dan Grossberg. Hall (Kellner, 1990: 278) secara khusus mengkritik karya
Baudrillad, The Silent of Majority, sebagai teori postmodern yang mengonsepsikan
massa sebagai pasif, pesimis, dan politik sinisme dan nihilisme. Dick Hebdige menyebut
teori-teori yang dilontarkan Baudrillard penuh racun, tidak ada masa depan dan
meningkatkan klenik (ilmu sihir), dan irasionalitas. Sementara itu Grossberg (Kellner,
2005: 403) mengkritik Baudrillard sebagai versi postmodernisme dan cultural studies
yang ekstrem. Dari sejumlah artikel Baudrillard terlihat elitisme, sangat pesimistik dan

320
nihilisme serta terdapat “defisit politis” dibandingkan dengan teori postmodern lain
yang lebih positif.
Teori Postmodernis selain itu dituduh memperlakukan “ilmu pengetahuan sebagai
metafora” dan memainkan sebuah peran intellectual hooky yang secara nyata didukung
filsafat. Menurut Gross dan Levitt (Stahl et al., 2002: 163), kebanyakan postmodernis
berpendapat bahwa “realitas” adalah chimerical atau hal yang paling dapat diakses
pengetahuan manusia, dan bahwa kesadaran manusia adalah suatu penjara permainan
bahasa yang dikodifikasi. Jadi, seolah ada kepercayaan bahwa menguasai kata-kata,
yang melebihi terminologi dalam kamus, berarti menguasai dunia. Postmodernis jarang
sekali berusaha memahami makna kata-kata yang digunakan dalam kritik-kritik yang
dilancarkannya. Postmodernis sebaliknya, mengklaim dapat lebih memahami “makna”
dalam setiap kata dibandingkan apa yang dipahami para ilmuwan. Padahal, kompetensi
mereka dangkal, tidak sempurna secara analitik kasar. Arogansi mereka melebihi para
“ilmuwan pencipta”.
Posthumanisme, sebagai bagian teori sosial postmodernisme, mengusung visi
kebebasan manusia yang lebih besar, bahkan menembus batas-batas kekuasaan negara.
Ide kebebasan ini melebihi ide liberalisme sebagaimana yang digagas Immanuel Kant
pada abad pertengahan. Kant sendiri berpendirian bahwa kebebasan bukanlah suatu fakta
ahistoris sebagai subjek esensial manusia, melainkan secara konstan disaring dari strategi
kekuasaan kompleks di mana subjek diinterpelasi sebagai tidak sama, karena orang
pada dasarnya saling bergantung secara mutual. Kenyataan yang terjadi di masyarakat,
kebebasan itu tidak pernah dapat dicapai pada tingkat yang “sama” di antara manusia.
Hal ini disebabkan ketimpangan kekuasaan yang semakin meningkat. Pengandaian
posthumanisme mengenai kebebasan ini, menurut Milbank (2006), menimbulkan
problem. Yakni, apabila kebebasan menghilangkan dirinya sendiri dalam pesona
kekuasaan arbitrer. Kemudian, bagaimana dapat memembedakan kebebasan antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain? Setiap masyarakat akan menunjukkan, baik
kebebasan maupun ketidakbebasan. Pendekatan posthumanis dan diskursus genealogi
dalam hal ini harus membatasi diri dalam mendekonstruksi rezim kekuasaan dan tidak
menjadikan tugas ini sebagai “sejarah filsafat dengan sesuatu tujuan praktis” atau suatu
potensi emansipatoris.
Anthony Giddens (Giddens dan Turner, 2008: 380) menyatakan bahwa, baik
strukturalisme maupun poststrukturalisme, terbukti tidak sanggup menangani isu-isu yang
mereka gulirkan sendiri. Sementara itu, komentarnya terhadap teori postmodern secara
umum, Giddens (Jones, 2009: 253–254) menyatakan bahwa teori postmodern adalah
suatu teori sosial yang salah arah dalam tiga hal: (1) teori tersebut telah mengabaikan realitas
institusional kehidupan pada abad 21; (2) adalah keliru memandang individu manusia
tidak berdaya (tidak memiliki kekuasaan) ketika berhadapan dengan pengaruh-pengaruh

321
wacana; (3) tidak memberikan kontribusi yang berguna bagi pembangunan dunia
yang lebih aman dan lebih baik karena ia menolak bahwa manusia memiliki kapasitas
pengetahuan bagaimana segala sesuatu sesungguhnya ada. Dengan demikian, menurut
Giddens, postmodernisme tidak memadai sebagai suatu teori sosiologi.
Keberadaan teori poststrukturalisme sering dianggap sebagai “antiteori” atau
“antimetode”. Namun, kemunculannya mendapatkan tanggapan serius dari sebagian
ilmuwan, terutama dari mereka yang masih memegang kuat tradisi positivisme
dan para “modernis”. Keberatan utamanya terletak pada konsep-konsep inti yang
dikembangkan pendukung poststrukturalisme dan postmodern seperti: dekonstruksi,
difference, arkeologi, genealogi kekuasaan, metanarasi, dan sebagainya, yang dianggapnya
sebagai “metode” dan “pendekatan” yang cenderung relativistik atau bahkan nihilistik
terhadap diskusus dan hanya merupakan intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual)
(Al-Fayyadl, 2009).

E. Prospek/Pengembangan
Teori postmodern merupakan teori yang boleh dikatakan paling fenomenal saat ini.
Teori ini lahir dan selanjutnya memengaruhi banyak disiplin ilmu. Kehadiran teori
ini telah mengusik “kemapanan” teori-teori yang berkembang selama ini, khususnya
teori-teori yang mendewakan kebenaran pada grand theory atau dalam istilah Lyotard,
metanarrative. Dalam sosiologi, teori postmodern menjadi ancaman serius bagi teori-teori
besar yang selama ini telah menjadi tradisi pemikiran, seperti teori-teori Durkheim,
Marx, Weber, Simmel, dan lain-lain. Sosiologi konvensional berhubungan dengan tradisi
pencerahan dan modernitas, sedangkan teori postmodern menolak ide-ide pencerahan
dan modernitas itu sendiri. Oleh karena itu, dalam sosiologi muncul berbagai persoalan
dan ketegangan.
Menurut Ryan (2006: 43), paling tidak ada dua persoalan berkaitan dengan
evaluasi kritis sosiologi klasik. Teori sering gagal membedakan antara postmodernitas
sebagai a state of society (sebagai contoh, seperti diilustrasikan antara lain dengan:
fleksibilitas dalam pekerjaan, dominasi industri jasa, pertumbuhan teknologi informasi,
meningkatnya konsumerisme, dan penurunan secara umum ekonomi post-Fordisme)
dan postmodernisme sebagai a type of theory (yang menggunakan analisis tekstual, ironi,
bentuk esai, dan aporisme). Teori postmodern di Eropa masih berpengaruh dalam
analisis sosiologis tentang budaya dan identitas, dan juga dalam ekspansi metodologi
baru yang mempertanyakan tradisi positivisme dan behaviorisme. Metode survei
dan analisis kuantitatif mulai ditinggalkan. Di sisi lain, tumbuh minat pada metode
kualitatif, etnografi, riset biografis, oral history, dan analisis wacana. Meningkat pula
penggunaan komunikasi elektronik sebagai suatu metode penemuan riset. Dalam

322
teori sosial, kemunculan teori-teori baru seperti konstruksionisme, postmodernisme,
poststrukturalisme, dan queer theory segera digantikan oleh teori globalisasi dan kesadaran,
di mana teori-teori baru itu menaruh perhatian pada aspek-aspek negatif globalisasi
seperti perang versi baru, terorisme, perbudakan, dan kriminal. Dampak globalisasi,
perdebatan baru akan muncul dalam sosiologi sekitar pertanyaan kosmopolitanisme
dan sosiologi global.
Teori postmodern menyerang teori sosiologi terutama mengenai dasar sains, fondasi,
kecenderungan totalitas, esensi, dan kepicikannya. Dengan kelemahan-kelemahan
itu postmodernisme dipahami oleh pengikut-pengikutnya sebagai alternatif sosiologi
modern (Ritzer, 2009: 32). Sekalipun mendapat kritikan, ada semangat pembaruan
bagi kemungkinan bersinarnya kembali grand narrative dalam teori sosiologi umum.
Dalam karyanya yang terkenal The Return of Grand Theory, Jürgen Habermas dengan
penuh semangat mengusung kembali konsepsi-konsepsi dasar masa pencerahan dan
menyatakan pentingnya upaya untuk menyempurnakan “proyek modernisme yang tidak
terselesaikan”. Semangat ini, meskipun demikian, tidak menular ke sejumlah ahli lain,
bahkan di antara ahli yang keberatan dengan klaim-klaim postmodernisme itu sendiri.
Sebagai contoh, Frederick Crews (1986) yang mengeluh bahwa teorisasi dalam ilmu
sosial secara virtual lari dari dirinya sendiri dan menjadi theoreticism. Menurut Crew
teori dalam sosiologi telah menggali liang kuburnya sendiri, memisahkan dari tujuan
aslinya dan terlepas dari bukti dan temuan empirik (Cuff, et al., 2006: 268).
Habermas menggunakan pendekatan berbasis komunikasi untuk menjelaskan
berbagai isu. Dalam The Philosophical Discourse of Modernity (1985 [diterjemahkan pada
1987]) dan The New Conservatism (1985 [1989]), dia mempertahankan prinsip-prinsip
pencerahan terhadap postmodernisme dan konservatisme. Dalam Moral Consciousness
dan Communicative Action (1983 [1990]) dan Justification and Application (1991
[1993]), dia menggunakan teori pragmatis universal untuk domain etika. Diskursus
etika memperlakukan klaim normatif seperti klaim-klaim kebenaran: manusia
menyadari memiliki suatu makna kognitif. Diskursus etika mengasumsikan bahwa basis
norma-norma memerlukan suatu dialog, seperti penilaian moral tidak dapat disimpulkan
dengan mudah oleh individu yang terisolasi (sebagaimana pendekatan formal), juga
tidak secara sederhana merefleksikan kode-kode sosial (sebagaimana dalam perspektif
komunitarian). Dalam Between Facts and Norms (1992 [1996]), Habermas mengambil
posisi bahwa isu legal dan politik tidak harus berada di tangan ahli. Isu ini harus menjadi
subjek diskusi terbuka, yang melibatkan peserta sebanyak mungkin. Dalam usulannya
mengenai “demokrasi diskursif”, norma-norma menjadi valid apabila diterima oleh
individu yang secara potensial dipengaruhi oleh norma-norma tersebut dan apabila
penerimaan tersebut mengikuti prosedur rasionalitas komunikatif (Baert, 2006: 259).

323
Teori postmodern memengaruhi sekaligus meningkatkan ketegangan dalam
teori feminisme. Beberapa sosiolog dan feminis berpendapat bahwa akhir abad 20
ditandai dengan suatu transformasi lanjut berupa masyarakat postmodern dan juga
tumbuhnya teori-teori postmodern sebagai konsekuensi logis dari perkembangan
tersebut. Karakteristik masyarakat postmodern ditandai antara lain munculnya berbagai
perubahan sosial dan budaya yang terjadi di akhir abad 20, seperti perubahan teknologi,
konstelasi politik, globalisasi, pembentukan masyarakat pengetahuan, dan munculnya
berbagai gerakan sosial. Postmodern menolak ide-ide pencerahan, bahwa sebenarnya
tidak ada metanarasi, tidak ada sejarah dan kemajuan tunggal, melainkan terdapat
berbagai macam jejak sejarah dan kebenaran melebihi kebenaran yang fundasional dan
universal. Beberapa perbedaan dan kesamaan otoritas dan orientasi adalah mungkin.
Postmodernisme kemudian mempertanyakan fundasionalisme dan absolutisme
modernisme yang kemudian menjadi perdebatan antara pendekatan positivistik dengan
humanistik dalam ilmu sosial. Di sinilah kemudian muncul ketegangan karena beberapa
teori feminisme lahir dari tradisi pemikiran grand theory (metanarasi) yang ditolak oleh
teori postmodern itu sendiri.
Beberapa feminis percaya bahwa ide-ide feminis tentang diri, pengetahuan,
kebenaran, dan bahasa sangat bertentangan dengan ide-ide pencerahan (enlightment),
baik dalam konsep-konsep maupun kategori teoretisnya. Selain itu, menurut Abbot et
al. (2005: 43–44) juga terdapat persoalan berupa “aliansi yang tidak mudah” antara
feminisme dengan postmodernisme. Di satu sisi, karena menentang modernisme dan
juga pemikiran pencerahan (kritik metanaratif: klaim kebenaran dan konsepsi humanis
tentang diri), feminisme terlihat menjadi sekutu postmodernis. Namun, di lain pihak,
karena komitmennya terhadap emansipasi dan kemajuan manusia, feminisme dapat
juga dilihat sebagai sesuatu yang secara fundamental termasuk gerakan modernis.
Akar sejarah feminisme terletak pada humanisme liberal, suatu gerakan yang menjadi
objek utama kritik postmodern. Meskipun feminisme Marxis menunjukkan beberapa
penolakan terhadap feminisme liberal, hal itu tetap saja secara fundamental memiliki
akar modernis. Sebagaimana dikatakan Heckman (1990), dari segi tradisinya, feminisme
mewarisi secara langsung pemikiran kaum modernis.
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Marshall (dalam Brooks, 2009:
20). Marshall menyatakan bahwa feminisme merupakan kritik sekaligus pertahanan
modernitas sehingga memiliki andil yang besar dalam perdebatan modernitas-
postmodernitas yang berada di jantung kemungkinan tentang subjek di dalam teori sosial.
Kegagalan teori-teori modernitas bagi feminisme adalah ketidakmampuannya dalam
memahami “perbedaan” secara memadai. Jadi, di satu sisi, sebagai politik emansipasi,
dan di sisi lain, sebagai tubuh teori kritis dan politis, feminisme terus menggunakan
“retorika egalitarian sebagai dasar dari sebagian besar tuntutan politiknya”.

324
Ketegangan yang nampak menonjol antara feminisme dengan postmodernisme
dan poststrukturalisme adalah standpoint dalam teori feminis. Teoretikus standpoint awal
seperti Dorothy Smith dan Sandra Harding berpendapat bahwa perempuan, sebagai
kelompok termarginalisasi, memiliki perspektif unik dari pandangannya tentang dunia.
Selama dua dekade, demikian menurut Mamo (2005: 358), teori standpoint dikritik,
dan saat ini direformulasi oleh sejumlah teoretikus yang berada dalam kerangka tradisi
feminisme materialisme dan juga mereka yang dipengaruhi postmodernisme. Kritik-kritik
tersebut antara lain berpendapat bahwa teori standpoint mengasumsikan pengetahuan
nyata, mengonstruksikan suatu pandangan esensialis tentang identitas dan politik
identitas, multiplisitas yang samar-samar, membedakan pengkonstruksian pengalaman
universal perempuan, serta teori standpoint tidak dapat mengonstruksikan sesuatu secara
“cair”. Meskipun demikian, beberapa teoretikus standpoint menaruh perhatian pada
perbedaan-perbedaan yang disebabkan pengetahuan khusus bukan pengetahuan umum,
kebenaran yang disituasikan, perspektival, diskursif, dan subjek sebagai sesuatu yang
dikonstruksikan bukan transenden. Patricia Hill Collins, Chela Sandoval, dan Donna
Haraway berusaha mengatasi beberapa kritik tegas ini dengan konsep masing-masing,
yakni “matrik dominasi”, “pengetahuan disituasikan” dan “kesadaran oposisional”. Dalam
karya Hartsock yang terbaru, The Feminist Standpoint Revisited and Other Essays (1998),
ia meninjau kembali teori standpoint untuk selanjutnya mereformulasi berdasarkan
kritik-kritik teori postmodern lain. Dengan memperhitungkan subjek-subjek ganda,
Hartsock kembali menekankan idenya tentang standpoint sebagai sebuah kelompok dasar,
posisi kolektif, dan bukan sesuatu yang individual. Selain itu, ia menggunakan teori-teori
postmodern dan menyatakan kecurigaannya terhadap penolakan postmodernisme
terhadap kesatuan subjek pada saat yang sama dengan kemunculan pengetahuan lain
seperti postkolonialisme.
Nampaknya, kritik dari teori postmodern terhadap teori feminisme mendorong
revolusi di tubuh teori feminisme, baik dari dimensi ontologi, epistemologi, maupun
aksiologinya. Bagi Haraway (Rogers, 2001: 291), persoalan feminis postmodernisme atau
postmodernis feminisme berada di seputar “politik dan epistemologi”, yakni antara lain
berupa bagaimana memosisikan dan mensituasikan pengetahuan secara parsial (bukan
secara universal) dan juga kondisi-kondisi apa yang digunakan sebagai klaim-klaim
pengetahuan rasional. Teori Feminisme berkaitan dengan “politik dan ilmu pengetahuan
interpretasi, penerjemahan, asumsi, dan—secara khusus—pemahaman” Haraway yang
mengadopsi ironi, baik tentang strategi retorik maupun metode politis.
Karya-karya teoretikus postmodern menstimulasi pertanyaan-pertanyaan baru
tentang perubahan sosial dan asal-usul feminisme dan sosiologi itu sendiri. Selain itu,
teori postmodern mendorong pendekatan yang lebih refleksif dalam teori feminisme.
Berkaitan dengan postmodernisme, teoretikus feminis berpendapat sebagai berikut.

325
1. Menolak anggapan kaum modernis tentang penindasan dan pengecualian perempuan
dalam teori sosial.
2. Mengatasi beberapa isu yang diperdebatkan dalam teori feminis kontemporer, seperti
asal-usul perbedaan seksual.
3. Memberi kontribusi perdebatan postmodernisme dalam ilmu sosial dan humaniora
secara lebih umum dengan mengintegrasikan suatu kesadaran seksual ke dalam
perkembangan teori (suatu hal yang kurang diperhitungkan postmodern).
Teori lain dalam sosiologi yang mendapat pengaruh teori postmodern adalah
teori interaksionisme simbolik. Walaupun teori ini tidak mendasarkan diri—bahkan
menentang “grand theory”––kemunculan teori postmodern menjadikan teori ini juga
melakukan pembenahan. Sebagaimana dikatakan Sandstrom, et al. (2001: 227), teori
interaksionisme postmodern memperluas perspektifnya dalam berbagai cara yang
menarik. Pertama, mereka memperkenalkan konsep-konsep yang masih samar-samar
yang memerlukan pengkajian ulang, seperti multivokalitas, hiperealitas, sistem diskursus,
matinya sosial, dan kejenuhan diri. Kedua, interaksionisme postmodern menegaskan
bagaimana tulisan adalah sesuatu yang intrinsik bagi metode. Tulisan bukan suatu
analisis yang dilakukan setelah pengumpulan data, melainkan merupakan pembentuk
data dan representasi tekstual. Dalam hal ini, interaksionis postmodern mengingatkan
pentingnya menyadari metafora, tropes, dan audien. Ketiga, interaksionisme postmodern
menawarkan analisis tajam tentang perubahan asal-usul kedirian dalam masyarakat
kapitalisme. Gergen, misalnya, berpendapat bahwa identitas terfragmentasi dan
tidak koheren pada masyarakat postmodern. Di bawah kondisi postmodern, konsep
tentang diri menjadi tidak pasti dan “diri yang sangat jenuh” menjadi “bukan diri apa
pun”. Orang menghadapi tantangan yang mengerikan dalam “mengonstruksikan dan
mempertahankan integrasi diri” karena struktur sosial yang menjadi pijakannya tidak
stabil dan bersifat sementara.
Teori postmodern, selain itu, juga menjadi energi baru bagi tumbuh dan
berkembangnya cultural studies yang mulai dikancah sejak dekade 1980-an berkat
jasa Stuart Hall dan para koleganya yang tergabung dalam Birmingham School.
Pendapat-pendapat dari Fredric Jameson, Lyotard, Foucault, Baudrillard, dan lain-lain,
khususnya yang berkaitan dengan budaya, telah menginspirasi teoretikus cultural
studies dalam mengembangkan teorinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
teori postmodern mempunyai kaitan erat dengan cultural Studies. Pendapat Jameson
mengenai postmodernisme sebagai tahap akhir perkembangan kapitalisme misalnya,
kemudian memicu reaksi yang beragam di kalangan teoretikus cultural studies dalam
melihat budaya. Oleh karena pendapat tersebut cukup kontroversial, kebanyakan
mereka cenderung bersikap netral. Dalam hal ini, teoretikus cultural studies setuju

326
dengan pendapat tokoh postmodern bahwa postmodernisme ditandai, antara lain,
dengan semakin menonjolnya peran media massa dalam kehidupan sehari-hari sebagai
perwujudan rasionalitas pencerahan. Teoretikus lain, Lyotard, menggembar-gemborkan
“matinya metanarasi” atau akhir dari setiap pretensi universalisme. Sementara itu, Michel
Foucault melontarkan konsepnya tentang kekuasaan/pengetahuan ke dalam terma
“diskursus”, memperluas konsep sebelumnya tentang keterkaitan antara materialitas
dengan bahasa. Ia menawarkan konsep kekuasaan yang lebih “menyebar” dibandingkan
dengan ide Marxis tentang kekuasaan yang memusat seperti dalam dominasi borjuis
terhadap massa. Kesemuanya menginspirasi para teoretikus cultural studies. Meskipun
demikian, menurut Cragin and Simonds (2006: 195), para ahli cultural studies tidak
setuju pada implikasi postmodernisme berdasarkan interpretasi-interpretasi budaya.
Interpretasi teori postmodernis tentang implikasi budaya dinilai cenderung pesimistis.
Selanjutnya menurut Cragin dan Simonds (2006: 195), hubungan antara cultural
studies dengan teori postmodern menghasilkan perdebatan antara beberapa teoretikus
feminis dengan teoretikus cultural studies. Hal ini disebabkan teori feminisme menentang
postmodernis yang mengasumsikan penolakan pengalaman hidup dan pengaruh struktur
sosial yang lebih luas terhadap kehidupan perempuan. Walaupun demikian, studi-studi
feminisme dan cultural studies memiliki banyak kesamaan dan masing-masing saling
melengkapi. Keduanya menaruh perhatian pada isu-isu negosiasi kekuasaan, agensi, dan
sistem kontrol sosial. Keduanya juga sama-sama berakar pada pemikiran baru Marx,
di mana dari studi-studinya diarahkan bagi terjadinya perubahan sosial. Politisasi ini
membuat cultural studies lebih menarik daripada feminisme.
Selain sosiologi, bidang ilmu lain yang mendapat goncangan akibat munculnya teori
postmodern adalah antropologi. Sebagaimana sosiologi, antropologi juga memiliki tradisi
pemikiran dan teori yang sangat dipengaruhi oleh grand theory. Antropologi nampaknya
sangat terpengaruh oleh pernyataan Lyotard yang tidak percaya pada metanarasi sehingga
hal ini melahirkan apa yang kemudian disebut antropologi postmodernisme. Menurut
Barnard (2004: 169), antropologi postmodernisme meliputi penolakan baik terhadap
kebenaran teori besar (grand theory) maupun juga kepada keseluruhan realitas etnografik.
Dengan kata lain, bagi antropolog postmodernis, tidak ada kebenaran atau pernyataan
yang sempurna mengenai budaya. Dalam hal ini juga termasuk kesangsian ilmuwan
membuat suatu prediksi. Antropologi postmodernis menggunakan clues dari cultural
studies kritis, karya-karya “orientalis” dan kritik terhadap penciptaan the other, serta
konsekuensi definisi the self sebagai kekuatan pendorong kemajuan dalam disiplin ini.
Etnografi seperti halnya ilmu sosial lain juga dipengaruhi oleh postmodernisme,
baik dalam bentuk catatan lapang maupun terbitan etnografi yang terbuka bagi kritik
postmodern tentang representasi ilmu sosial. Kritik seperti ini dimulai dari sosiologi,
melalui karya Joseph Gusfield tentang retorika yang merupakan tulisan sosiologis literer.

327
Salah satu hasil kritik postmodern adalah dekonstruksi etnografi realis atau tradisional,
yang pada gilirannya mengakibatkan perubahan orientasi bidang etnografi ke dalam
kajian teks atau diri. Hal ini merupakan gerakan menjauh dari studi lapang tradisional
yang selama ini menjadi trade mark etnografi. Etnografi postmodern pada dekade
1990-an lebih banyak duduk di kursi dan jauh dari jalanan, mengkaji isu-isu baru seperti
“kedirian” (self), hubungan kekuasaan dan hierarki––gender, ras, kelas, dan bangsa––dan
secara khusus fokus perhatian diarahkan pada diskursus tekstual dan polyvocality tanpa
menghilangkan fungsi kritis riset etnografis (Warren, 2000: 855).
ooo0ooo

328
DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Pamela; Wallace, Claire; Tyler, Melissa. 1990. An Introduction to Sociology:


Feminist Perspectives. Oxon: Routledge.
Abidin, Zaenal. 2006. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abrahamson, Mark. 2007. “Functional, Conflict and Neofunctional Theories.” Dalam
Patty M. Bryant (ed.). 21 Century of Sociological Reference Handbook. California,
London, New Delhi: SAGE Publications.
Agger, Ben. 2008. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Terjemahan:
Nur Hadi, Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
__________. 2008. “Strukturalisme Lévi-Strauss: Positivistis dan Fungsionalistis?:
Beberapa Catatan Kritis.” Dalam Christopher R. Badcock . Lévi-Strauss:
Strukturalisme dan Teori Sosiologi. Terjemahan. Robby Habiba Abror. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2009. Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Antonio, Robert J. 1990. “The Decline of the Grand Narrative of Emancipatory
Modernity: Crisis or Renewal in Neo-Marxian Theory?” Dalam George Ritzer
(ed.). Frontiers of Social Theory: The New Synthesis. New York: Columbia University
Press.
Armitage, John. 2005. “Gilles Deleuze.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Armstrong, David A. 1995. “Naturalism, Materialism, and First Philosophy.” Paul K.
Moser and J.D. Trout (eds.). Contemporary Materialism: A Reader. New York:
Routledge.
329
Avison, David E. 1997. “The Search for the ‘Discipline’ of Information Systems.” Dalam
George McKenzie, Jackie Powell and Robin Usher (eds.). Understanding Social
Research: Perspectives on Methodology and Practice. First published. London &
Washington, D.C: The Falmer Press.
Badcock, Christopher R. 2008. Lévi-Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi. 2008.
Terjemahan. Robby Habiba Abror. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baert, Patrick. 1998. Social Theory in The Twentieth Century. Cambridge, Oxford: Polity
Press in Association with Blackwell Publisher Ltd.
_________. 2006a. “Moral.” Dalam Bryan S. Turner (ed). The Cambridge Dictionary
of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
_________. 2006b. “Phenomenology.” Dalam Bryan S. Turner. (ed.). The Cambridge
Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Bailey, Kenneth D. 2005. “General System Theory.” Dalam George Ritzer (ed).
Encyclopedia of Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage
Publications.
Bardzell, Jeffrey (tt). “Structuralism for Human-Centered Informatics.” Dalam www.
informatics.indiana.edu. Diakses pada 2 November 2009.
Barnard, Alan. 2004. History and Theory in Anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Bartollas, Clemens. 2007. “Juvenile Delinquency.” Dalam Patty M Bryant (ed.). 21
Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Beilharz, Peter. 2005. “Karl Marx.” Dalam Peter Beilharz (ed.) Teori-teori Sosial: Observasi
Kritis terhadap Para Filsuf Terkemuka. Terjemahan: Sigit Jatmiko. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Berger, Peter dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Terjemahan: Hartono.
Jakarta: LP3ES.
Bernardi, Fabrizio; Juan J. González; dan Miguel Requena. 2007. “The Sociology of
Social Structure.” Dalam Patty M. Bryant. 21 Century of Sociological Reference
Handbook. California, London, New Delhi: Sage Publications.
Best, Joel. 2005. “Deviance.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social Science.
Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.

330
Bharadwaj, Lakshmi Kant. 2007. “The Sociology of Culture.” Dalam Patty M. Bryant
(ed.). 21 Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New
Delhi: Sage Publications.
Bienenstock, Elisa Jayne. 2005. “Peter M. Blau.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Binawan, AI Andang L. 2007. “Habitus (?) Nyampah: Sebuah Refleksi.” Majalah BASIS.
No. 05-06. Tahun ke-56. Yogyakarta: Yayasan BP Basis.
Bloch, Maurice. 1996. “Structuralism.” Dalam Alan Barnard and Jonathan Spencer
(eds.). The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. Second
edition. New York, London: Routledge.
Blumer, H. 2004. George Herbert Mead & Human Conduct. Walnut Creek: AltaMira
Press.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian.
Terjemahan: A.Khozin Afandi. Surabaya: Usaha Nasional.
Borgatta, Edgar F. and Rhonda J.V. Montgomerry. 2000. Encyclopedia of Sociology.
Second Edition. New York: Macmillan Reference USA.
Borgerson, Janet. 2007. “Judith Butler.” Dalam John Scott. Fifty Key Sociologists: The
Contemporary Theorists. First published. Oxon: Routledge.
Bouchier, David.1983. The Feminist Chakange. MacMillan.
Branson, Jan dan Don Miller. 2008. “Pierre Bourdieu.” Dalam Peter Beilharz (ed).
Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filsuf Terkemuka. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Brooks, Ann. 2009. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Terjemahan: S. Kunto Adi Wibowo. Cetakan III. Yogyakarta:
Jalasutra.
Bryant, Patty M. 2007. 21 Century of Sociological Reference Handbook. California,
London, New Delhi : Sage Publication.
Burchell, Brendan J. “2006. Coser, Lewis C.” Dalam Bryan S. Turner (ed.). The
Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Butler, Judith. 1994. Gender Trouble. London: Routledge.
Cabin, Philippe. 2008. “Perkembangan Sosiologi Interaksionis.” Dalam Philippe Cabin
dan Jean François Dortier (ed.). Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Edisi
Ketiga. Terjemahan Ninik Rochani Sjams. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

331
Callinicos, Alex. 2004. Making History: Agency, Structure, Social Change in Theory.
Leiden, Boston : BRILL.
_________. 2008. Menolak Postmodernisme. Yogyakarta: Resist Book.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Terjemahan:
F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Carrabine, Eamonn. 2007a. “Michael Foucault.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys
Sociologist: The Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
________. 2007b. “Roland Barthes.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist: The
Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Chafetz, Janet Saltzman. 2006a. “The Varieties of Gender Theory in Sociology.” Dalam
Janet Saltzman Chafetz (ed.). Handbook of the Sociology of Gender. Houston:
Springer.
________. 2006b. Handbook of the Sociology of Gender. Houston: Springer.
Cohen, Anthony P. 1992. “Self-conscious Anthropology.” Dalam Judith Okely and
Helen Callaway (eds.). Anthropology and Autobiography. Oxon: Routledge.
Coleman, James S., 1990. Foundation of Social Theory. Cambridge: Belknap Press of
Harvard University Press.
________. 2009. Dasar-Dasar Teori Sosial. Terjemahan. Bandung: Nusa Media.
Collins, Randall. 1990. “Conflict Theory and the Advance of macro-Historical
Sociology.” Dalam Ritzer, George (ed). Frontiers of Social Theory: The New Synthesis.
New York, Oxford: Columbia University Press.
Cook, Karen S. 2005. “Richard Emerson.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Cook, Karen S. dan Rice, Eric. 2005. “Social Exchange Theory.” Dalam George Ritzer
(ed.). Encyclopedia of Social Theory. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi:
Sage Publications.
Cook, Karen S.; Jodi O’Brien; dan Peter Kollock. 1990. “Exchange Theory: a Blueprint
for Structure and Process.” Dalam George Ritzer (ed). Frontiers of Social Theory:
The New Synthesis. New York, Oxford: Columbia University Press.
Cragin, Becca and Wendy Simonds. 2006. “The Study of Gender in Culture: Feminist
Studies/Cultural Studies.” Dalam Janet Saltzman Chafetz (ed.). Handbook of the
Sociology of Gender. Houston: Springer.

332
Craib, Ian and Andrew Wernick. 2005. “Jean-Paul Sartre.” Dalam George Ritzer
(ed.). Encyclopedia of Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parson sampai Habermas. Terjemahan
Paul S. Baut dan T. Effendi. Cetakan Pertama. Jakarta: Rajawali Pers.
Crick, Malcom 2005. “Claude Lévi-Strauss.” Dalam Peter Beilharz (editor). Teori-teori
Sosial: Observasi Kritis Terhadap para Filsuf Terkemuka. Terjemahan Sigit Jatmiko.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Crossley, Nick. 2007. “Alain Touraine.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist:
The Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Cubbitt, Sean. 2006. “Georg Wilhelm Friedrich Hegel.” Dalam Bryan S. Turner (ed.).
The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Cuff, E.C., W.W. Sharrock, and D.W. Francis. 2006. Perspective in Sociology. Fifth
Edition. London and New York: Routledge.
DeLamater, John dan Michelle Hasday. 2007. “The Sociology of Sexuality.” Dalam Patty
M. Bryant. 21 Century of Sociological Reference Handbook. California, London,
New Delhi: Sage Publications.
Delaney, Tim. 2005. “Cosmopolitan Sociology.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia
of Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Denhardt, Janet V. and Robert B. Denhardt. 2007. The New Public Service : Serving not
Steering. ME Sharpe: New York & London.
Denzin, Norman K. 2005. “Postmodernism.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Dobbin, Frank. 2007. “Economic Sociology.” Dalam Patty M. Bryant. 21 Century
of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Domhoff, G. William. 2005. “C Wright Mills.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia
of Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Donovan, Josephine. 2000. Feminist Theory: The Intelectual Tradition. New York: The
International Continum Publishing Inc.
Elliot, Anthony. 2006. “Posthumanism.” Dalam Bryan S. Turner (ed). The Cambridge
Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.

333
Fagan, Abigail A. and Belknap. Joanne. 2002. “Feminist Theory.” Dalam Encyclopedia
of Crime and Punishment. Thousand Oak, London, New Delhi: SAGE
Publications.
Farganis, James (ed.). 2000. Reading in Social Theory: The Classic Tradition to Post
Modernism. United Stated of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan: Misbah
Zulfa Elisabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ferguson, Harvie. 2001. “Phenomenology and Social Theory.” Dalam George Ritzer
and Barry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. London, Thousand Oaks, New
Delhi: SAGE Publications.
Fields, Jessica, Martha Copp, and Sherryl Kleinman. 2006. “Symbolic Interactionism,
Inequality, and Emotions.” Dalam Jan E. Stets and Jonathan H. Turner. Handbook
of Sociology of Emotions. Houston: Springer.
Filmer, P. Jenks, C. Searle, C. & Walsh, D. 1998. “Developments in Social
Theory.” Dalam C. Searle (ed.). Researching Society and Culture. London: Sage
Publications.
Fine, Gary Alan. 1990. “Symbolic Interactionism in the Post-Blumerian Age.” Dalam
George Ritzer (ed.). Frontiers of Social Theory. New York: Columbia University
Press.
Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the
Twentieth Century). Jakarta: Gramedia.
Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan.
Yudi Santoso. Yogyakarta: Bentang.
Fournier, Marcel. 2005. “Claude Lévi-Strauss.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Genosko, Gary. 2005. “Jean Baudrillard.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Giddens, Anthony. 2008. “Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Produksi Budaya.”
Dalam Anthony Giddens dan Jonathan Turner (eds.) Social Theory Today.
Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2009. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi
dalam Analisis Sosial. Terjemahan: Dariyanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

334
Giles, Steve. 1993. “Afterword: Avant-garde, Modernisme, Modernity: A Theoritical
Overview.” Dalam Steve Giles (ed.). Theorizing Modernism: Essays in Critical
Theory. London, New York: Routledge.
Glazer (tt), Mark. 1996. “Structuralism.” Dalam www.classshares.student.usp.ac. 2
November 2009.
Goe, W. Richard and Noonan, Sean. 2007. “The Sociology of Community.” Dalam
Patty M. Bryant (ed.). 21 Century of Sociological Reference Handbook. California,
London, New Delhi: Sage Publications.
Goodwin, Jeff dan Jasper, James M. 2006. “Emotions and Social Movement.” Dalam
Jan E. Stets dan Jonathan H. Turner (eds.). Handbook of Sociology of Emotion.
Texas: Springer.
Guba. E. G. 1990. The Paradigm Dialog. London. New Delhi: Sage Publication.
Hafferty, Frederic W. and Castellani, Brian. 2007. “Medical Sociology.” Dalam Patty
M. Bryant. 21 Century of Sociological Handbook. California, London, New Delhi:
Sage Publication.
Halfpenny, Peter. 2001. “Positivism in the Twentieth Century.” Dalam. George Ritzer
and Barry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. First Published. London,
California, New Delhi: Sage Publications.
Hamilton, Malcolm. 2001. The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative
Perspectives. Second edition. London and New York: Routledge.
Hanneman, Samuel. 1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger. Jakarta: Pusat Antar
Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial. Universitas Indonesia.
Haralambos, Michael, Martin Holborn, and Robin Heald. 2000. Sociology: Themes and
Perspectives. Fifth edition. London: HarperCollins.
Harlan, Judith. 1998. Feminism: A Reference Handbook. Santa Barbara, California,
Denver, Colorado, Oxford: ABC-CLIO.
Harrison, Paul Raymond. 2005. “Michael Foucault.” Dalam Peter Beilharz (ed.).
Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Terjemahan:
Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryatmoko. 2002. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan.” Dalam majalah BASIS
No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Pebruari. Yogyakarta: Yayasan BP Basis.
_________. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teori Gerakan
Sosial Menurut Piere Bourdieu.” Majalah BASIS No 11-12, Tahun ke-52.
Yogyakarta: Yayasan BP Basis.

335
Heckarthorn, Douglas D. 2001. “Sociological Rational Choice.” Dalam George Ritzer
dan Barry Smart. Handbook of Social Theory. First Published. London. California.
New Delhi: Sage Publications.
Helle, Horst Jürgen. 2005. “Simmel, George.” In George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Hicks, Stepen R.C. 2004. Explaining Postmodernism: Skepticism and Socialism from
Rousseau to Foucault. Arizona and Wisconsin: Scholargy Publishing.
Holmwood, John. 2006. “Peter M Blau.” Dalam Bryan S. Turner. Cambridge Dictionary
of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Holstein, James A. dan Gubrium, Jaber F. “Fenomenologi, Etnometodologi dan Praktik
Interpretif.” Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of
Qualitative Research. Terjemahan: Dariyanto, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hooker, Zachary and James M. Murphy. 2005. “Deconstruction.” Dalam George Ritzer
(ed.). Encyclopedia of Social Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Iannaccone, Larry. 2000. “Religion and Social Institution: Economy.” Dalam Helen Rose
Ebaugh (ed. ). Handbook of Religion and Social Institution. New York: Springer.
Jaggar, A. 1983. Feminist Politics and Human Nature. Sussex: Harvester Press.
Jamison, Andrew. 2006. “Public Policy.” Dalam Turner, Bryan S. (ed.). 2006. The
Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press
Joas, Hans. 2001. “The Emergence of the New: Mead’s Theory and Its Contemporary
Potential.” Dalam George Ritzer and Barry Smart. Handbook Of Social Theory.
First published. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
_________. 2008. “Interaksionisme Simbolik.” Dalam Anthony Giddens dan Jonathan
Turner (ed.). Social Theory Today: Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan
Teori Sosial. Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Johnson, Doyle Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-Level
Approach. Texas Tech University: Springer.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga
Postmodernisme. Terjemahan Ahmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kellner, Douglas. 1990. “The Postmodern Turn: Positions, Problem, and Prospect.”
Dalam George Ritzer (ed.). Frontiers of Social Theory: The New Synthesis. New
York & Oxford: Columbia University Press.

336
________. 2001. “Cultural Studies and Social Theory.” Dalam George Ritzer and Barry
Smart (eds.). Handbook of Social Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi:
SAGE Publications.
________. 2005. “Frederic Jameson.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol 2. California, London, New Delhi: Sage Publications.
King, Anthony. 2009. “Overcoming Structure and Agency: Talcott Parsons, Ludwig
Wittgenstein and the Theory of Social Action.” Journal of Classical Sociology 2009:
9. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Kinloch, Graham C. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi.
Terjemahan: Dadang Kahmad. Bandung: Pustaka Setia.
Kleiner, Marcus S. 2005. “German Idealism.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Kurzweil, Edith. 2004. Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucault.
Terjemahan: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitian.
Bandung: Widya Padjadjaran.
LaFountain, Marc J. 2003. “Violence: Phenomenology.” Dalam Encyclopedia of Murder
and Violent Crime. Thousand Oak, London, New Delhi: SAGE Publications.
Laksono, P.M. 2009. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan:
Alih Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.
Lane, Michael. 1990. “Introduction: The Structuralist Method.” Dalam Michael Lane
(ed.). Introduction to Structuralism. New York: Basic Book. Inc. Publisher.
Lawler, Edward J. and Shane R. Thye. 2006. “Social Exchange Theory of Emotions.”
Dalam Jan. E. Stets and Jonathan H. Turner (eds.). Handbook of Sociologi Emotion.
New York: Springer.
Leach, Edmund. 1973. Fontana Modern Masters: Lévi-Strauss. Dalam Frank Kermode
(ed.). Glasgow: William Collins Sons & Co.
Lemert, Richard. 2005. “Michel Foucault.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Lemich, John A. 2005. “Chronology of Social Theory.” Dalam George Ritzer (ed).
Encyclopedia of Social Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage
Publications.
Li, Rebecca S. K. 2005. “Randall Collins.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.

337
Lindenbergt, Siegward. 2005. “James Coleman.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
Of Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Loyal, Steven. 2003. The Sociology of Giddens. First Published. London: Pluto Press.
________. 2007. “Anthony Giddens.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist:
The Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Lynch, Michael. 2006. “Social Constructionism.” Dalam Sahotra Sarkar and Jessica
Pfeifer (eds.). The Philosophy of Science; An encyclopedia. London and New York:
Routledge.
Macy, Michael dan Arnout Van DeRijt. 2006. “Exchange Theory.” Dalam Bryan S.
Turner (ed.). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Maines, David R. 2005. “Herbert Blumer.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Volume II. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE
Publications.
Mamo, Laura. 2005a. “Essentialism.” Dalam Ritzer, George (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
________. 2005b. “Nancy Harstock.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Maryanski, A.R. 2005. “Evolutionary Theory.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia
of Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Merrin, William. 2007. “Jean Baudrillard.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist:
The Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Millbank, John. 2006. Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason. Second Edition.
Oxford Victoria:Blackwell Publishing.
Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London and New York: Routledge.
Mizruchi, Mark S. 2005. “Network Theory.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Theory. Vol II. California, London, New Delhi: Sage Publications.
Molm, Linda. 2001. “Theories of Social Exchange and Exchange Networks.” Dalam
George Ritzer and Barry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. First Published.
London. California, New Delhi: Sage Publications.
_______. 2003. “Theoretical Comparations of Forms of Exchange.” dalam Sociological
Theory. Vol. 21. No. 1.
_______. 2005a. “George Homans.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social
Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
338
_______. 2005b. “Rational Choice Theory”. Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
Of Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. First Published. London and
New York: Routledge.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Munch, Richard. 2008. “Teori Parsonian Dewasa Ini: Sebuah Pencarian Sintesis Baru.”
Dalam Anthony Giddens dan Jonathan Turner (eds.). Social Theory Today.
Terjemahan: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial,
Ekonomi, Politik, Hukum, dan HAM. Buku Pertama. Magelang: Indonesiatera.
Murphy, James M. 2005. “Post Structurslism.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Nash, Kate. 2001. “Contemporary Feminist Theory.” Dalam Ritzer, George and Smart,
Barry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. California, London, New Delhi:
Sage Publications.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Nielsen, Donald A. 2005a. “Social Facts.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Nielsen, Donald. 2005b. “Religion in French Social Theory.” Dalam George Ritzer
(ed.). Encyclopedia of Social Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Nollman, Gerd dan Strasser, Hermann. 2007. “European Sociology.” Dalam Patty M.
Bryant. 21 Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New
Delhi: Sage Publications.
Nollman, Gerd. 2005. “Niklas Luhmann.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Norris, Christopher. 2009. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terjemahan
Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
O’Brien, Jodi. 2006. The Production of Reality: Essays and Reading on Social Interaction.
London, New Delhi: Pine Forge Press.
O’Donell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

339
Orleans, Myron. 2000. “Phenomenology.” Dalam Borgatta, Edgar F. and Rhonda
J.V. Montgomerry. (eds). Encyclopedia of Sociology. Second Edition. New York:
Macmillan Reference USA.
Pakulski, Jan. 2007. “Frederic Jameson.” Dalam Bryan S. Turner (ed.). The Cambridge
Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press.
Payne, Geoff and Payne, Judy. 2004. Key Concept in Social Research. London, Thousand
Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
Perri. 2007. “Mary Douglas.” Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist: The
Contemporary Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Perry, James L. and Annie Hondeghem. 2008. Motivation in Public Management The
Call of Public Service. New York: Oxford University Press.
Pescosolido, Bernice A. 2007. “The Sociology of Social Networks.” Dalam Patty M.
Bryant. 21 Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New
Delhi: Sage Publications.
Peterson, Gretchen. 2005. “Linda Molm.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Philips, John William. 2005. “Derrida, Jacques.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Poloma, Margaret. 1984. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan: Tim Yasogama. Jakarta:
Rajawali Pers.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.
Priyono, B. Herry. 2008. “Berburu Manusia Ekonomi.” Dalam Majalah BASIS. No.
01-02. Januiari-Februari. Tahun Ke-57. Yogyakarta.
Rawls, John. 2006. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo.
Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan:
Alimandan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ritzer, George and Barry Smart. 2001. “Introduction: Theorists, Theories and
Theorizing.” Dalam George Ritzer and Barry Smart (eds.). Handbook of Social
Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
Ritzer, George. 1983. Sociological Theory. First Edition. New York: Alfred A. Knopf.
________. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan.
Jakarta: Rajawali Pers.
340
________. 2009. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan: Muhammad Taufik. Yogyakarta:
Juxtapose bekerja sama dengan Kreasi Wacana.
Riyanto, Armada. T.th. “Berfilsafat dalam Martin Heidegger Being and Time.” Makalah
tidak dipublikasikan.
Rogers, Mary F. 2001. “Contemporary Feminist Theory.” Dalam George Ritzer and
Barry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. London, Thousand Oaks, New
Delhi: SAGE Publications.
_________. 2005a. “Ecofeminism.” Dalam Ritzer, George (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
_________. 2005b. “Bartky, Sandra Lee.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Rossi, Ino. 2005. “Lévi-Strauss, Claude.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol 1 . California, London, New Delhi: Sage Publications —
Rubin, Julius H. 2005. “Alain Touraine.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Ryan, Michael. 2005a. “Structural Functionalism.” Dalam George Ritzer (ed).
Encyclopedia of Social Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage
Publications.
_________. 2005b. “Authority.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social
Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
_________. 2005c. “Stratification.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social
Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
_________. 2005d. “Micro-Macro Integration.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia
of Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications
Sairin, Sjafri; Pujo Semedi; Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sandstrom, Kent L, Daniel D. Martin, and Gary Alan Fine. 2001. “Symbolic
Interactionism at the End of the Century.” Dalam George Ritzer and Barry Smart
(eds.). Handbook of Social Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE
Publications.
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial:
Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti.

341
Sarkar, Sahotra dan Pfiefer, Jessica (eds.). 2006. The Philosophy of Science: An Encyclopedia.
New York, Oxon Taylor & Francis Group, LLC.
Sarup, Madan. 2008. Poststrukturalisme dan Postmodernisme. Terjemahan: Meddhy
Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jalasutra.
Schubert, Hans-Joachim. 2005. “Charles Horton Cooley.” Dalam George Ritzer (ed.).
Encyclopedia of Social Theory. Volume II. London, Thousand Oaks, New Delhi:
SAGE Publications.
Schutz, Alfred. 1967. The Phenomenology of the Social World. Northwestern University
Press.
Scott, John. 2007. Fifty Key Sociologists: The Contemporary Theorists. First published.
Oxon: Routledge.
Scott, W. Richard. 2005. “Institutional Theory.” Dalam George Ritzer (ed.), Encyclopedia
of Social Science. Vol II. California, London, New Delhi: Sage Publications
Sel, Jane. 2007. “The Sociology of Group Dynamics.” Dalam Patty M. Bryant. 21
Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi: Sage
Publications.
Sharrock, Wes. 2007. “Harold Garfinkel.” Dalam John Scott. Fifty Key Sociologists: The
Contemporary Theorists. First published. Oxon: Routledge.
Sica, Alan. 2005. “Modernity.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of Social Theory.
Vol 1. California, London, New Delhi: Sage Publications.
Smelser, Neil J. 1997. Problematics of Sociology. Berkeley, Los Angeles, London:
University of California Press.
Srubar, Ritzar Ilja. 2005. “Phenomenology.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of
Social Theory. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Staggenborg, Suzanne. 2005. “Social Movement Theory.” Dalam George Ritzer (ed).
Encyclopedia of Social Science. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage
Publications.
Stahl, William A, dkk. 2002. Webs of Reality Social Perspective on Science and Religion.
New Brunswick, New Jersey and London: Rutger University Press.
Stepnisky, Jeffrey. 2005. “Madness.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol 2 . California, London, New Delhi: Sage Publications.
Stern, Robert. 2002. Hegel and the Phenomenology of Spirit. First published. London:
Routledge.

342
Sumarwan . 2005. “Membongkar yang Lama Menenun yang Baru.” Majalah BASIS.
No. 11-12 Tahun ke-54. Yogyakarta: Yayasan BP Basis.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
Susilo, Rakhmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi Para Peletak Sosiologi
Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sydie, Rosalind A. 2007. “The Sociology of Gender.” Dalam Bryant, Patty M. 21
Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi: Sage
Publication.
Sztompka, Piotr. 2005. “Merton, Robert”. Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of
Social Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Takahashi, Nobuyuki. 2005. “Generalizhed Exchange.” Dalam George Ritzer (ed.).
Encyclopedia of Social Science. Vol II. California, London, New Delhi: Sage
Publications
Terranova, Tiziana. 2007. Dalam John Scott (ed.). Fifty Keys Sociologist: The Contemporary
Theorist. First Published. Oxon: Routledge.
Thomas, Jonathan P. dan Worrall, Timothy. 2002. “Gift-giving, Quasi-credit and
Reciprocity.” Dalam Rationality and Society. No. 14. California, London, New
Delhi: Sage Publications.
Thye, Shane. 2005. “Edward Lawler.” Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia of Social
Theory. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Titchen, Angie and Hobson, Dawn. 2005. “Phenomenology.” Dalam Bridget Somekh
And Cathy Lewin. Research Methods In The Social Sciences. London, California
and New Delhi: Sage Publication.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling komprehensif Arus
Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra.
Tuchman, Gaye. 2000. “Feminist Theory.” Dalam Borgatta, Edgar F. and Rhonda
J.V. Montgomerry (eds.). Encyclopedia of Sociology. Second Edition. New York:
Macmillan Reference USA.
Turner, Bryan S. (ed). 2006a. The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge:
Cambridge University Press.
________. 2006b. “Merleau-Ponty, Maurice (1908–1961)”. Dalam Bryan S. Turner.
(ed.). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University
Press.

343
________. 2007. ”British Sociology.” Dalam Bryant, Patty M. (ed.). 21 Century
of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi: Sage
Publication.
Turner, Jonathan H. 1986. The Structure of Sociological Theory. Illinois: The Dorsey
Press.
_________. 2001. “The Origins of Positivism: The Contributions of Auguste Comte
and Herbert Spencer.” Dalam George Ritzer and Barry Smart (eds.). Handbook
of Social Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
__________. 2005. “Conflict theory.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social
Science. Vol I. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
_________. 2007. “Sociological Theory in the 21st Century.” Dalam Patty M. Bryant.
21 Century of Sociological Reference Handbook. California, London, New Delhi:
Sage Publications.
Walters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London-California-New Delhi:
Sage Publications.
Warner, R. Stephen. 2005. “Religion.” Dalam George Ritzer (ed). Encyclopedia of Social
Science. Vol. II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.
Warren, Carol A.B. “Ethnography as a Methods.” Dalam John D. Brewer (ed.).
Ethnography. Buckingham, Philadelpia: Open University Press.
Waters, Malcolm. 1994. Modern Sociological Theory. London, Thousand Oaks, New
Delhi: Sage Publications.
Wells. R.S. 1990. “De Saussure’s System of Linguistic.” Dalam Michael Lane (ed.).
Introduction to Structuralism. New York: Basic Book. Inc. Publisher.
Wibowo, Agung. 2009. “Carut Marut Postmodernisme.” http://webcache. Googleusercontent.
com. (diunduh 14 April 2009).
Wintle, Justin. (ed.) 2006. New Makers of Modern Culture. New York: Routledge.
Wood, J.T. 1992. Spinning the Symbolic Web: Human Communication as Symbolic
Interaction. Norwood,NJ: Ablex Publishing.
Zafirovski, Milan. 2004. “Sociologics of The Economy: The Social Logic, Composition
and Structuration of Economic Behavior”. Dalam Social Science Information. No.
43. California, London, New Delhi: Sage Publications.
__________. 2007. “Convergent Origins, Divergent Destinations: Sociology’s
Contributions and Connections to Economics in a Historical and Interdisciplinary

344
Framework”. Dalam Social Science Information. No. 46. California, London, New
Delhi: Sage Publications.
Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Sosiologi
Kontemporer. Terjemahan: Anshori dan Juanda. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Zijderveld, Anton C. 2005. “Neo-Kantianism”. Dalam George Ritzer (ed.). Encyclopedia
of Social Theory. Vol II. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications.

345
INDEKS

A analisis fenomenologis 143


aborsi 103 analisis kekuasaan 177
absence 285 analisis wacana 256, 322
account 89 Anaximender 104
accountability 224 Anaximenes 105
a civilizing mission 307 a negotiated order 91
action theory 13, 31, 93 animistik 13
actors without agency 260 anomi 18, 19, 30, 52
addiction 217 antagonisme 37, 51, 52, 176
adjustive 31 antimetode 322
administrasi publik 223, 225, 226 anti-realis 302
affirmative action 103 antiteori 322
affluent society 249 antropologi postmodernisme 327
agency 80 apeiron 105
agents 211 a priori 143, 144
aktor rasional 90, 205, 206, 209, 221 arche 104, 118
aktor sosial 19, 25, 129, 136, 145, 180, 193, 194 arena konflik 45
akumulasi historis 281 artefak material 155
alethia 307 asosiasi perdagangan 214
alienasi 40, 54, 247, 255 a state of body 262
aliran Chicago 35, 68, 69, 73, 77, 86, 94 a state of mind 262
aliran Frankfurt 60, 129, 201 a state of society 322
aliran Iowa 69, 86 aturan gender 110
alliance theory 276 aturan sosial 32, 82, 265
altercasting 89 a type of theory 322
altruisme 165, 169, 183, 185, 186, 212 aufhebung 306

347
Auschwitz, 42 clearinghouse 103
Authenticity and reflectivity 258 coersive and constrain 96
authentic language 254, 255 Coleman, James 332
common interest 109
B
common sense 139, 142, 145, 147
baby boom 103 common stock of knowledge 136
bahasa isyarat 76 common symbols and meanings 79
bahasa verbal 76 communicative action 91, 254
Bailey 17, 330 conciousness 140
barang publik 206, 209, 313 conduct 80
base structure 282 constraining 286
Behaviorisme psikologi 86 consummation 79
behaviorisme sosial 68, 182 cooked 259
bergaining 167 cost benefit analysis 74
Berger, Peter 330 covert 79
beyond positivism 233 Craib, Ian 333
bias gender 119 critical feminist theory 256
biomesin 316 critical mass 195
Birmingham School 326 critical race feminism 256
black feminism 101, 123 critical race theory 256
body-subject 155, 156 critical realism 251
Bouchier 121, 331 critical theory 251
bounded 202 cultural dope 284
bracketing 142, 152 cultural studies 56, 115, 127, 233, 240, 320,
brackets 142 326, 327
bread winner 103 culture 118, 121, 277, 289
bricolage 275
D
Bryant, Patty M. 331, 343, 344
budaya kelas 58, 59 data sekunder 261
budaya konsumerisme 246 Day Care Services Act 103
budaya pop 256, 315 deduktif 19, 134, 201, 215, 266
bunuh diri 12, 17, 18, 30, 106 deep structure 19, 260, 265, 271, 274, 277,
286, 288, 289, 290
C definisi realitas 148
Campbell, Tom 332 deinstitusionalisasi 29, 153
Cartesian Meditation 144 delinguistified 159
chimerical 321 Demokritos 105
class counciousness 238 dependent variable 255

348
deprivasi 24, 25, 173, 174 E
descent 299 efek emosional 192
desentralisasi ekonomi 73 ego transendental 143
deskrepansi 31 eidos 276
deskriptif fenomenologi 135 einstellung 144
deskriptif psikologi 135 eklektik 235, 315
destruktif 39, 160 ekofeminisme 101, 114, 115
determinasi biologis 118 ekonomi institusional 77
determinisme ekonomi 118, 231, 241, 247 ekonomi mikro 74, 164, 165, 170, 172,
deviant 259, 265 202, 213, 217
diferensiasi seks 107 ekonomi neo-klasik 201, 206, 208, 220, 229
differance 159, 285 eksistensial 105, 118, 132, 137, 140
dimensi sosial dan kultural 143 eksterior 81
dinamika internal 46 eksternalisasi 88, 154
dinamika kesadaran 185 eksternalitas negatif 206, 209
direct approach 139 elabore 275
disagregasi teori utilitas 228 embeddedness 210
disenchantment 253 emergence 180, 299
disfungsi neurologi 217 emergent 181, 219
disfungsional 19, 29, 30, 51 empirico experimental 285
disinterested scientist 258 empirisme 67, 132, 134
diskriminasi 103, 108, 112, 195 enabling 34, 287
diskriminasi berbasis seks. 103 encounter 57
diskuntinuitas 320 energi emosional 57, 58, 59
diskursus publik 153, 221 enrichment 255
disorganisasi sosial 30, 79 Entstehungszusammenhang 252
disorientasi kedirian 94 epistemologi modern 307
display 80 equilibrium 14
distribusi keuntungan pertukaran 186 erosi budaya 301
distribusi otoritas 49 esensialisme 102, 105, 124
divergensi kepentingan 47 ethnomethodology 74
documentary method of interpretation 151 etnomeodologi 150, 157
dominance 126 everyday life 141
dominasi legal rasional 240 evolusi biologis 16
double hermeneutic 157 exchange 74, 120, 169, 177
dualisme struktur 286 exchange network 177
dunia fenomenal 85, 284 existential phenomenology 139
dyadic, 186 experience 140

349
experimental studies 89 filsafat pragmatisme 79, 84
exploitation de lhome par lhome 258 filsafat radikal 144
external validity 258 first look 132
extra-systemic change 31 frame analysis 90
Frankfurt School 200, 233, 236, 240
F
free rider 206, 207, 225
face-to-face interactions 78 Freudo-Marxism 317
fakta sosial 12, 17, 18, 95, 96, 138, 182, Fungsi reproduksi 126
238, 280
faktor eksternal 138 G
faktor struktural 124, 221 game theory 183
false consciousness 240 ganjaran ekstrinsik 180
Feminisme 99, 100, 101, 102, 107, 109, Geisteswissenschaft 131, 135
112, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 121, genealogi kekuasaan 294, 322
122, 125, 126, 296, 325 generative rules 288
feminisme eksistensialis 100 gerakan feminisme 99, 100, 102, 103, 104,
feminisme fenomenologi 118 113, 123
feminisme kontemporer 107, 126 gerakan sosial 43, 44, 66, 93, 99, 102, 107,
feminisme kultural 113 117, 184, 193, 195, 216, 221, 256, 287,
feminisme liberal 99, 112, 115, 119, 122, 318, 324
324 Gestalt 289
feminisme Marxis 100, 118, 125, 324 gestural behavior 83
feminisme multikultural 115 gesture 76
Feminisme postmodern 112, 115, 117 gift-giving 260
feminisme psikoanalisis 100 gifts 165
feminisme radikal 88, 100, 105, 109, 121, giving 183, 343
122 glass ceiling 104
feminisme sosialis 100, 122 golongan putih 211
fenomena sosial 15, 24, 34, 73, 93, 173, good form 295
193, 219, 220, 234, 237, 267, 290, 320 governmentality 156
fenomenologi 12, 31, 56, 74, 88, 92, 112, gradual 31, 33
129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136,
grand narrative 297, 323
137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144,
grand theory 13, 29, 318, 322, 326, 327
145, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153,
gratifikasi 24, 25, 221
155, 156, 157, 158, 159, 160, 220, 290,
305 grounded, 89
fetishism of comodity 53 grounded research 131
Fields 75, 334 group-generalized exchange 169
filsafat ekonomi 24 growing paints 157

350
H I

habitualisasi 154 ideal script 80


harmoni kultural 132 identitas budaya 48
Heckarthorn, 213, 218, 336 identitas individual 68, 302
hegemoni 73, 99, 108, 119, 240, 264, 283, identity salience 89
296 ideologically oriented inquiry 251
Herakleitos 105 idiosinkratik 149
hermenetik 137, 140 illness 309
heuristik 229 illusion trancendental 285
Hierarki gender 111 imajinasi sosiologis 238
hipokrisi 210 immanent critique 236, 247, 248
Historical realism 258 immoral 259
historical situatedness 248 impression management 95
Hobbesian 24, 25 impulse 79
homo economicus 199 incest 260
homo educationis 199 inclusive 202
homo homini lupus 199 incommensurability 302
homo ludens 199 indeksikal 149, 152
homo simbolicum 199 independent variable 255
hubungan domestik 190 in-depth interviews 89
hubungan interdisipliner 73 individualisme 24, 37, 38, 56, 119, 163,
hubungan kekuasaan 46, 49, 112, 178, 181, 201, 316
312, 328 individualistik 24, 163, 169, 175, 212
hubungan kontraktual 236 industri budaya 94
hubungan pertukaran 42, 136, 166, 167, industri kultur 246
168, 169, 177, 178, 179, 181, 182, 183, inherent 233
186, 188, 189, 191, 233 inhumane 297
hubungan problematik 131, 280 inkonsistensi logis 306
hubungan sosial 25, 27, 32, 151, 158, 175, inner circle 239
176, 177, 178, 179, 181, 211, 233, 255,
inner observation 135
265, 286, 311, 317, 318
inner perception 135
hubungan struktural 36
innovation 30
human agency 236, 247, 264
in order to 149
human essence 118
input budaya 84
human mental processes 276
institusi agama 49
human nature 118, 182, 196, 199, 200
institusi total 28, 309
human plasticity 79
instrumen ideologi 249
Humans being 61
intangible 228

351
integrasi 19, 22, 31, 37, 38, 41, 44, 49, 51, kapitalisme korporat 249
52, 57, 88, 159, 168, 179, 245, 254, Kapitalisme liberal 319
311, 326 kapitalisme monopoli 242, 247, 314, 315
integrasi masyarakat 41 kapitalisme multinasional 304, 315
Integration 341 keadaan rasional 168
intellectual gimmick 322 keadilan distributif 174
intellectual hooky 321 keamanan sosial 225
intensional 30, 40, 142, 153, 155, 201, 219 kebenaran transendental 284
intensionalitas 135, 144, 155 kebijakan negara 104, 119, 256
interaksi non simbolik 82 kebijakan sosial 256
interaksional 76, 80, 144, 300 kekerasan simbolik 117
interaksionisme simbolik 12, 31, 57, 67, 68, kekuasaan koersif 162, 187
69, 72, 73, 74, 76, 78, 81, 82, 83, 84, kekuasaan sosial 148
85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94,
kekuatan psikologis 74
96, 97, 129, 130, 137, 138, 165, 197,
kelas-isme 123
212, 253, 326
kelas menengah baru 47, 61
Interaksi simbolik 82
kelas sosial 46, 48, 59, 73, 75, 101, 114,
interaksi sosial 26, 28, 51, 68, 69, 74, 75,
120
76, 77, 79, 82, 84, 87, 89, 92, 94, 95,
130, 135, 166, 170, 172, 173, 177, 182 kelompok semu 48, 50
interdepedency 280 kemampuan improvisasi 86
interdependensi global 301 kepekaan gender 101
interdisipliner. 107, 233 kepentingan ekonomi 55
internalisasi 22, 25, 31, 87, 88, 140, 154, kepentingan publik 224, 226
227, 278 kepentingan sosial 212
internalisasi norma 25, 31, 87, 227 kerangka budaya 149
interpretive biography 160 kerangka preferensi 200, 201, 202
intervensionisme sosiologis 287 kesadaran kelas 45, 54, 55
Intervensionist 258 kesenjangan gender 109
in the active voice 284 kesenjangan sosial 44
kesesatan totalisasi 199
J kesetaraan perempuan 117
jaringan sosial 123, 178, 192, 226 ketimpangan relasi gender 189
Johnson, Doyle Paul 336 key words 311
jointness 191 King, Anthony 337
koeksistensi 306
K kognitif 24, 156, 192, 221, 297
kajian jender 256 kohesi sosial 17, 35, 42, 164, 173
kalkulasi cost-benefit 217 kolektivitas 24, 48, 264

352
komitmen normatif 110 landmark 180
komodifikasi citra 94 langue 259, 267, 289
komunikasi interpersonal 91, 254 large-scale survey research 89
komunikasi simbol 83, 85, 92 laten 29, 30, 48, 50, 119
komunitarianisme 296 Leviathan 24, 41
komunitas 27, 28, 35, 36, 44, 65, 68, 73, life histories 160
101, 115, 124, 168 lifeworld 132, 133, 134, 145, 153, 159, 254
komunitas perempuan 115 light on foreground 139
Konferensi Perempan Dunia 103 Lindenberg 193, 195, 205, 214, 228
konflik revolusioner 59 lingkungan eksternal 22, 143
konflik sosial 11, 15, 31, 36, 44, 48, 49, 51, lingkungan sosial 80, 114, 151, 200, 219
53, 241 linguistic turn 116, 158, 259, 289
konformitas normatif 173 lived body 156
konsensus sosial 18, 39, 44 logical tool 279
konsep budaya 276 logika probabilistik 140
konservatisme 37, 99, 119, 323 logosentrisme 284, 285, 301, 305, 307
konstitusi 102, 103, 153 looking backward 196
konstruksi realitas pikiran 131 looking foreward 196
konstruksi sosial 88, 93, 152, 153, 154, 155, loudness 275
257, 258 loyalitas 62
konstruksi sosio-kultural 102 Luckmann, Thomas 330
konteks sosial 77, 139, 141, 148, 154, 176,
217, 220, 227, 231, 238, 290, 315 M
kontradiksi internal 54, 80 macro-micro link 91
kontrol seksual 122 madness 309
kontrol sosial 38, 184, 256, 309, 311, 327 mainstream 7, 60, 64, 69, 94, 99, 101, 123,
konvensionalitas 302 129, 138, 150, 249, 250
korporasi transnasional 303 makna kognitif 323
krisis ilmu pengetahuan 73, 96 Malinowski 164, 168, 191
kualitas pikiran 63 manipulation 79
kuantifikasi matematis 95, 244 manusia intrinsik 153
Kula 168 market capitalism 315
kultur massa 246, 249 Markovsky 165, 187
Kulturwissenschaft 135 marriage markets 193
L
Marshall 24, 81, 324
Marxisme 53, 54, 101, 109, 120, 127, 130,
laboraturium alamiah 67 232, 234, 238, 245, 247, 248, 249, 251,
lack of reality 313 261, 282, 283, 291, 292, 298, 299, 316
lambda values 224 Maryanski 17, 34, 338

353
masks 89 N
masyarakat disipliner 310 nanoteknologi, 316
Masyarakat emansipatoris 239, 255 Nasikun 31, 339
masyarakat feodal 43 natural attitude 139
masyarakat kapitalis 40, 43, 47, 54, 55, 96, natural law 243
200, 239, 241, 244, 245, 248, 263, 298,
natural science 95, 245
300, 317, 326
nature 111, 118, 126, 277, 289
masyarakat kapitalisme akhir 300
Naturwissenschaft 132
masyarakat konsumen 311
negara kesejahteraan 11, 309
mature 200
negara sosial-demokratik 224, 225
meaningful 85, 140
negotiated 167, 191
meaningful intercubyectivity 140
neofungsionalisme 12, 34, 37, 197
meaningfull 261
neo-institusionalisme 27
means-end rationality 313
neo-Kantianisme 130, 131, 134, 135
media massa 95, 246, 249, 256, 282, 301,
neo-Marxian 65, 66, 314
304, 311, 327
networking theory 177
mekanisme institusional 47
nihilisme secara etik 305
merchandise 215
nilai tukar 53
merit system 225
noema 144
Merleau-Ponty, Maurice 343
noesis 144
metode ilmiah 14, 131, 148, 244
noetic 144
metode penurunan abstraksi 229
Nollman 32, 158, 220, 254, 339
metodologi individualistik 219, 220
non-excludability 207
metodologi interpretif 138
norma sosial 22, 23, 193, 209, 218
middle ring 29
mileu 80 O
Mille, 31
obituary 160
mind 75, 80, 105, 155, 156
Objectivity 258
mistery 157
observational fact 163
modal budaya 58
Oedipus 278, 279, 280, 295, 316, 317
modal sosial 211, 223
official 111, 112
mode of production 200
ontologi perbedaan 305
modernitas akhir 301
ontologi realis 96, 243
momot etik 140
open-ended questionnaires 89
multi-level analysis 248, 250, 258
oppression 302
multinational capital 315
oppressive 126
multivokalitas 326
oral form 160
mythemes 279
organisasi kerja 92

354
organisasi politik 45, 100 penanda 267, 274, 289
organisasi sosial 16, 47, 58, 67, 78, 82, 89, pendekatan behavioral 155
151, 154, 156, 184, 196 pendekatan idiografik 132
organisme biologis 16 penerimaan sosial 173, 212
orientasi humanistik 130 penghematan konseptual 199
orientasi pribadi 83 penindasan rasial 257
oriented to riching understanding 255 penjelasan kausal 38, 57, 134
oriented to succes 255 penjelasan sosiologis 32
origin 299 penjumlahan interaksi 135
originary presentive intuition 132 penolakan absolutisme 305
otonomi individu 74, 319 penyesuaian inkremental 166
otoritas 18, 25, 48, 49, 62, 63, 74, 110, penyimpangan sosial 30, 31, 52, 67
188, 189, 214, 226, 301, 324 peradaban kapitalis 40
outer circle 239 perangkap saintisme 131
overlapping 149 perbedaan psikologis 119
over-saving 200 perbedaan seksual 113, 326
oversocialized 87, 194 perbedaan superfisial 281
overt 79 perception 79
perennial 123, 131
P
perennial problem 131
pandangan atomis 202 performance theory 256
paradigma keterlekatan struktural 194 performativity 313
paranoid 317 Perilaku irasional 90
parens patriae 215 perilaku kolektif 44, 89, 90, 93, 204, 205,
par excellence 183 214
Parmenides 105 peristiwa sosial 146
parole 259, 267, 289 perjuangan kelas 40, 42, 46, 55
participant observation 89, 258 perpetual change 267
Participative 258 person 80, 171, 176
passionate participant 258 perspektif konflik 66
pastiche 314 perspektif resiprositas 136
patologis 39 pertarungan simbolik 92
payoff 175, 226 pertukaran ekonomi 165, 170, 175, 189,
pembagian kerja 17, 61, 126, 163, 180, 190, 304
191, 223, 314 pertukaran ganda 167
pembangunan berkelanjutan 101, 115 pertukaran langsung 167, 168
pembentuk realitas 139 pertukaran produktif 167
pembonceng gratis 206, 207, 209, 225 pertukaran simbolik 168, 295
penalaran induktif 137, 266

355
pertukaran sosial 12, 161, 162, 163, 164, prejudis aksidental 285
165, 166, 168, 170, 171, 175, 177, 178, presence 285
180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, principals 211
188, 189, 190, 191, 192, 196, 197, 212 prinsip struktural 260, 263, 291
pertukaran timbal balik 166 prioritas ontologisme 318
pertukaran umum 164, 167, 168, 169 privat capitalism 242
pertukaran yang terbatas 164 private property 120
perubahan sosial 11, 14, 18, 30, 31, 33, 36, probabilistik 18
37, 38, 41, 42, 43, 44, 46, 48, 49, 52,
produksi komoditas 236, 314
60, 61, 77, 79, 118, 119, 121, 127, 181,
produksi sinematik 300
232, 234, 235, 255, 283, 302, 312, 324,
325, 327 produk sosial 69, 77, 125
phenomenological sociology 139, 140 profane 259
philosophy of mind 135 proses birokratisasi 225
phonologisme 285 prostitusi trans-nasional 104
plausibility 288 proteksi sosial 225
pluralisasi dunia sosial 94 psikologi empirik 135
pluralisme agama 215, 216 psikologi genetik 135
point of departure 134, 256, 318 psikologisme 134
pola fonemik 275 psyche 135
politik seksual 123 public choice 223
Poloma 78, 79, 82, 154, 180, 182, 183, public discources 254
184, 340 public good 207
polyvocality 328 public sphere 153, 254, 255
positively 158 pure-generalized exchange 169
positivistik, 12, 38 purposive action framework 218
Posmodernisme ekonomi 303 Pythagoras 105
postcolonial theory 256 Q
post-Fordisme 322
postmodern 94, 101, 115, 116, 117, 124, Queer Theory 102
127, 137, 158, 160, 200, 255, 293, 294, R
295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302,
303, 304, 305, 308, 311, 312, 314, 316, radikalisasi politik massa 72, 300
318, 319, 320, 321, 322, 323, 324, 325, ranah atomik 288
326, 327 ranah privat 121
power-dependence 176, 177, 181 ranah publik 99, 101, 118, 121
praktik sosial 19, 140, 158 rantai interaksi 58
pranata sosial 154 rasionalisme 38, 134
preconcious 262 rasionalitas ilmiah 146

356
rasionalitas komunikatif 235, 295, 323 revolusioner 31, 46, 47, 54, 55, 236, 247,
rasionalitas substantif 201 250, 317
rasisme 103, 107, 108, 110, 115, 123, 160, reward 163, 171, 183, 184, 185, 196, 212
304 rigorous 134, 150, 267
rational action 140 riset empiris 57
rational understanding 140 ritualism 30
raw 259 role-making 89
realitas etnografik 327 role merging 89
realitas institusional 321 role-playing 89
realitas sosial 14, 28, 39, 45, 50, 58, 73, 93, role taking 80
96, 138, 148, 152, 153, 154, 155, 234, root images 82
244, 247, 248, 258, 290, 302, 315 ruang budaya-politik publik 254
realization 80 Ruang privat 254
reason 245, 310 Ryan 14, 28, 34, 37, 57, 59, 66, 264, 290,
rebellion 30 322, 341
reciprocal 167, 191
S
redistribusi 47, 204
reduksi fenomenologi 142, 143, 157 Sack, 65, 90
Reflective/Dialectical 258 sacred 259
refleksif 86, 162, 220, 303, 325 Sandstrom 82, 94, 326, 341
refleksivitas 69, 158, 286 sarana produksi 46
refleksivitas diri 69 satiasi 173, 195
Reformasi pelayanan publik 225 savage thought 280
regulasi nasional 303 scarcity of resources 199
reification 53 schizoanalysis 318
reinforcement 172, 196 schizoprenik 317
relasi gender 106, 110, 112, 115, 116, 117, second look 132
120, 217 seksisme 103, 107, 108, 115, 123
relasi pertukaran. 162, 187 self 26, 56, 75, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84,
relativisme 297 86, 88, 89, 94, 95, 111, 117, 140, 142,
Reliability 258 143, 153, 154, 157, 160, 183, 198, 201,
Renaissance 312 220, 225, 227, 262, 309, 318, 327, 328
rent-seeking 225 self and identity 89
representasi budaya 256 Self concept 87
representasi kekuasaan ekslusif 318 self esteem 80
representasi tekstual 326 self-evolving 262
reproduksi simbolik 254 self fulfilling outcome 78
resiprositas mutual 164 self-fulfilling prophecy 78
retreatism 30 self-givenness 143

357
self image 80, 88 sistem simbol 76, 81, 90, 158, 274
self indication. 75 sistem sosial 11, 16, 19, 24, 28, 29, 30, 31,
Self Interaction 86 32, 33, 35, 36, 37, 38, 45, 47, 49, 51,
self interest 111, 183 52, 53, 113, 119, 123, 168, 172, 193,
selfish act of generosity 165 205, 207, 234, 237, 254
self-regulation 309 sistem sosiokultural 61, 64, 281
self-sacrificial 227 sistem tanda 155, 274, 275, 288, 291, 294,
298
selves 84, 86, 89
site of incorporated history 262
semiologi 276, 285, 291, 298
social capital 223
sense of occasion 152
social ecology 256
sentimen interpersonal 176
social empowerment 250, 258
sentimen moral 42, 163, 198
socialized 84
Setting and situation 87
Social Statics 12, 16
sexual harassment 103
soft determinis 75
shelter 103
solace 295
sigma values 224
solidaritas organik 12, 17, 164
significant group 80
sosialisme 41, 99, 109, 119, 120, 237, 238,
significant others 68, 80, 81, 84, 94
247, 309
significant symbol 76, 80
Sosiologi behavioral 170
sikap kontemplatif 54
sosiologi empirik 180, 238
simbolik 58, 59, 67, 69, 74, 75, 76, 77, 81,
sosiologi humanisme 130
82, 85, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94,
95, 96, 97, 117, 124, 151, 168, 253, sosiologi imajinasi 63
254 sosiologi interpretif 29, 32, 157
Simmel 39, 40, 41, 42, 45, 51, 56, 64, 67, sosiologi makro 38, 44, 48, 88, 90, 194
68, 88, 89, 135, 236, 265, 288, 322, sosiologi mikro 38, 68, 74, 86, 88, 165,
336 179, 185, 193, 202
simptomatik 261 sosiologi positivistik 96, 244
single actor 210 Sosiologi positivistik 96, 244
sinyal bahaya 52 sosiologi substantif 139
sistem diskursus 326 sosiologi tradisional 202, 210
sistem kasta 123 spectacle of scaffold 310
sistem kategori 265 spekulasi murni 249
sistem kekerabatan dan perkawinan 260, spheres of inquiry 234
261 standar normatif 25
sistem kelas 49 state capitalism 242
sistem kewenangan 59 statika sosial 14
sistem patriarkhal 101 status quo 33, 41, 233, 238, 244, 264, 283,
sistem politik 100, 249, 282 297

358
stereotypes 78 sympathetic introspection 78
stimulus 46, 81, 85, 93, 97, 172, 173, 195 Sztompka, Piotr 343
strategic action 254
T
strategies 89
strategi investasi 203, 223 tacit knowledge 146
strategi pelarian 301 taken for granted 74, 110, 126, 132, 139,
strategi pemberian selektif 186 142, 147, 155, 240
strategi reduksionisme 172 take the role of the other 80
stratifikasi seks 66 tanda ekspresif 159
structural inequality 233 tanda indikatif 159
structured structure 262 tangible 228
structuring structure 262 tatanan alternatif 306, 307
struktural fungsional 11, 12, 13, 14, 17, 18, tatanan institusional 254
19, 22, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, tatanan produksi 294
35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 44, 45, 49, tatanan sosial 12, 17, 18, 24, 25, 44, 46, 77,
64, 65, 69, 73, 74, 81, 86, 93, 129, 138, 85, 87, 90, 151, 152, 231, 247, 262,
194, 266 311
strukturalisme Marxis 282 tekno kapitalisme 256
struktur jaringan statik 186 teknologi cyber 316
struktur kegiatan 309 teknologi informasi 94, 314, 322
struktur konfliktual 306 tempered radicals 257
struktur mitos 276, 286 teologi eksistensi kontemporer 157
struktur sosial 14, 17, 19, 25, 27, 29, 31, teori aksi 31, 33, 41, 93
34, 49, 52, 56, 57, 59, 61, 63, 65, 86, teori feminisme 99, 100, 101, 102, 105,
87, 88, 94, 95, 109, 138, 158, 165, 166, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113,
173, 177, 178, 180, 181, 182, 183, 184, 115, 117, 124, 125, 126, 127, 324, 325,
196, 206, 209, 219, 220, 227, 242, 244, 327
261, 288, 289, 290, 326, 327 teori framing 229
struktur universal 143, 289 teori globalisasi 323
Stryker 88, 89 teori konflik 33, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,
subject matter 170, 172 45, 46, 48, 51, 53, 63, 64, 65, 66, 129,
submission 302 130, 197
subordinasi perempuan 106, 109, 111, 113, teori konstruksionisme sosial 102
114, 118, 121 teori labelling 29
subyective meanings 140 teori linguistik 259
sui generis 17 teori pertukaran sosial 74, 161, 162, 163,
superimposisi 49 164, 165, 167, 170, 171, 176, 177, 178,
supra-critical 233 179, 180, 182, 183, 184, 185, 186, 187,
suspense 146 188, 189, 191, 192, 195, 197, 211, 219

359
teori pilihan rasional 74, 163, 165, 193, tindakan intensional 201
194, 195, 196, 197, 200, 201, 202, 204, tindakan kolektif 83, 89, 90, 193, 195, 197,
205, 206, 207, 209, 210, 211, 212, 213, 203, 204, 206, 213, 218, 221
214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, tindakan komunikatif 91, 153, 159, 254
222, 223, 224, 226, 227, 290 tindakan psikologis 134
teori postkolonial 307 tipifikasi 145, 147, 149, 154
Teori standpoint 111 tit-for-tat 186
teori strukturalisme 19, 158, 259, 260, 262, totemisme 264, 275, 280, 281
264, 268, 282, 283
trace 307
teori tindakan 13, 23, 25, 38, 48, 79, 89,
transaction cost economics 214
145, 158, 202, 253
transaksi pasar 163, 165, 169
tertanda 274
transendentalisme 113
Thales 104, 118
transformasi kultural 113, 118
The Civil Rights Act 103
transformasi wacana 117
the first wave 99
transposable 262
the founding fathers 95, 244
transversal poetic 256
the impulsive self 89
trivial 54, 305
the invisible hand 162, 197, 206
tropes 326
theistik 13
Turner, Jonathan H. 344
the looking-glass self 68
The National Black Feminist Organization U
103
uji hipotesis 57
The Office of Domestic Violence 103
undersocialized. 201
theory of communicative action 91
unintended effects 93
the others 306
unreason 310
the personal is political 117, 121
unselfish 199, 228
the primary group 78
unsocialized will 80
the second wave 99
unthought 310
the self concept 89
utilitarianisme 16, 24, 38, 163, 164, 168,
the stock of knowledge 34
179, 198
theta values 224
utilitas marginal 179, 184, 200
the theory of communicative action 256
utopia negatif 252
the theory of truth 298
the third wave 99 V
the unattainable 295 value free 238, 251
the voters 211 value mediated finding 248, 250, 258
thought 50, 310 verstehen 74, 140, 147
Tilly 65 Verwendungszusammenhang 252
tindakan ekonomi 24 vicious circle. 31
360
virtual 34, 258, 261, 286, 304, 323
voluntir 195

Willer 165, 187


Wissenschaftslehre 131
within the background 139
world systems theory 256

361
TENTANG PENULIS

Sindung Haryanto, lahir di Temanggung, Jawa Tengah 23 Juli 1964. Tahun 1987
lulus S-1 Sosiologi UGM dengan predikat cum laude. Sejak tahun 1988 mengabdikan
dirinya dengan menjadi dosen di Universitas Lampung. Tahun 1991 melanjutkan
studi S-2 Sosiologi UGM hingga tahun 1995. Selain mengajar, juga aktif di beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bandar Lampung sebagai koordinator riset
dan program.
Di antara karyanya yang pernah diterbitkan adalah: Tanah Lampung; Perjuangan
dan Pergerakan Petani, dan Sosiologi Ekonomi. Aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah.
Saat ini sedang menempuh pendidikan S-3 Program Ilmu-ilmu Sosial di Universitas
Airlangga, Surabaya.

363

Anda mungkin juga menyukai