Anda di halaman 1dari 4

Tumbuh di keluarga yang harmonis mungkin menjadi impian bagi semua orang di dunia ini.

Keluarga yang
lengkap, dengan segala kebutuhan yang cukup. Mungkin itu yang aku rasakan beberapa bulan yang lalu,
namun tidak untuk saat ini.

Seandainya aku superher, aku akan pergi ke beberapa waktu lalu sebelum kejadian itu terjadi. Ah, aku masih
berharap ini semua adalah mimpi buruk yang panjang. Apakah menurutmu aku akan kuat menghadapi semua
ini

Setiap hari aku berkecamuk dengan seluruh isi kepalaku dan kehidupan yang harus dijalani. Aku merasa telah
berada di ujung jalan, yang dibawahnya terdapat kegelapan yang mengerikan. Jangan tanya keadaan kedua
orang tuaku. Jika aku berada di ujung jalan, mereka mungkin sudah berada di kegelapan tersebut. Mereka
sudah jatuh, sedalam-dalamnya. Ya, aku harus mengambil mereka kembali dari kegelapan tersebut.

Kegelapan telah menyelimuti keluarga kami sejak hari itu. Hari dimana kami mendapatkan kabar bahwa kak
Dikta, ku, telah meninggal akibat kecelakaan pesawat. Ia hendak pergi ke Italia untuk menerima hadiah dari
suatu lomba biola tingkat internasional yang telah dimenangkannya.

Aku masih ingat ucapan terakhirnya sebelum ia pergi menuju bandara. Di sana, dengan memakai kemeja yang
terlihat tampan , ia mengatakan, “Kalian tak perlu khawatir, aku hanya sebentar. Setelah itu, aku akan
memperlihatkan kepada ayah, ibu, dan Dania (aku) hadiah yang telah kumenangkan saat lomba biola waktu
itu.”
Aku tak pernah meminta apapun kepadaMu, Tuhan, benar ‘kan? Maka dari itu, tolong, kabulkanlah satu
permintaanku dan pesan dari suratku ini. Aku hanya ingin ka kakakku kembali kesini, ke rumah, ke tempat
dimana aku bisa berbincang dan menyayanginya.

Kami bisa bermain bersama seharian. Kami masing-masing berbicara mengenai hobi yang berbeda dan saling
bertukar pikiran. Dikta dengan biola kesayangannya, akan mencurahkan bagaimana perasaannya hari ini di
dalam sebuh alunan melodi. Sedangkan aku, dengan buku yang kosong akan aku penuhi dengan tulisan-tulisan
sastra seperti puisi yang kubuat sendiri ataupun milik penulis yang ku kagumi.

Sekarang, saat ini, aku telah kehilanganmu, kak Dikta. Bukan hanya aku, tetapi ayah dan ibu juga sangat
terpukul. Reaksi mereka saat mendengar kabar bahwa pesawat yang kamu tumpangi itu jatuh ke laut, bisa aku
bayangkan hingga saat ini.

Ah, tidak. Selamanya akan aku ingat. Apakah kak Dikta tahu? Ibu setiap hari membersihkan kamarmu dan
merapikan seluruhnya yang ada. Ibu selalu menunggumu akan pulang ke rumah dengan hadiah yang telah kau
raih. Bahkan, saat makan bersama, mereka selalu membiarkan satu kursi kosong.

Katanya, satu kursi ini untukmu. Hanya untukmu seorang, kak Dikta. Mereka terus menyangkal akan
kepergianmu. Mereka terus menghibur diri sendiri dengan mengatakan, “Dikta akan pulang dari Italia dan
membawa hadiah yang telah diraihnya.”

Aku juga terpukul. Aku terlarut. Namun, melihat kedua orang tuaku, aku tak bisa berlarut terus-menerus dalam
kesedihan ini. Aku harus bngkit di antara tumpukan paku ini. Aku sadar, bahwa kak Dikta sudah pergi. Ia tak
akan kembali. Menunggunya hanyalah sia-sia. Setelah berbulan-bulan membuang semua paku yang menancap
dalam tubuhku, aku mulai pulih dan bangkit. Tujuan utamaku sekarang adalah menyadarkan ayah dan ibu
bahwa kak Dikta sudah meninggal.

Hari Sabtu, adalah hari kak Dikta pergi ke Italia. Ah, maaf. Bukan Italia, tapi suatu tempat yang pastinya indah.
Maka dari itu, setiap hari Sabtu ibu akan memasak makanan kesukaan kak Dikta dan ayah menata meja.

Aku duduk diam melihat mereka yang terlihat bahagia diluar diri menunggu kak Dikta tiba di rumah dan
makan bersama dengan kami. Tentu aku tak tinggal diam. Setiap kali aku akan membahas kak Dikta, dan entah
mengapa sepertinya mereka tahu tujuan pembicaraanku, mereka akan berpura-pura tidak mendengarnya dan
mencari kesibukan sendiri.

Pada kenyataannya, mereka terus menunggu dan menunggu. Semakin lama aku merasa mereka telah
melupakan anak bungsunya ini yang butuh pelukan. Aku tidak kuat terus menerus memeluk mereka, dan aku
berdiam di sini dengan semua udara dingin yang menusuk. Aku tidak kuat. Ini sudah berganti tahun, tetapi
mereka masih menjalankan “ritual” itu setiap Sabtu.

Di suatu Sabtu sore, ketika mereka sedang memasak dan menata piring-piring, aku mulai membuka suaraku.
“Aku besok akan pergi ke pantai dimana pesawat kakak jatuh,” ucapku sambil melihat mereka yang seperti
sangat-sangat tengah sibuk.

“TIDAK, KAMU SAJA DANIA. TAKUTNYA DIKTA TIBA-TIBA DATANG SAAT DI SINI TIDAK ADA
ORANG DAN KEBINGUNGAN. JADI, IBU AKAN MENUNGGU DI SINI,”

“Ayah dan ibu ikutlah denganku. Kita bisa menabur bunga di sana,” lanjutku.

“Tidak, kamu saja Dania. Takutnya Dikta tiba-tiba datang saat di sini tidak ada orang dan kebingungan. Jadi,
ibu akan menunggu di sini,” jawab ibu sambil menyicipi hidangan yang ia buat.

“Ayah juga,” sahutnya tiba-tiba.

“Tidakkah kalian sadar? Kak Dikta sudah tiada!”. Emosiku memuncak, membuat semua mata tertuju padaku.
“Kak Dikta sudah pergi ke surga.” Tetesan air mata jatuh begitu saja ke pipiku. “Tolong, jangan terus begini.
Jangan terus berlarut dalam kesedihan ini. Kita harus membuka lembaran yang baru. Kehidupan yang baru.
Tanpa kak Dikta.”

Keesokan harinya, di jam 09.00, aku berada di tengah pasir dan mendengar deru ombak yang cukup besar. Kini
aku melihat luasnya lautan, yang telah memakan seluruh penumpang dan pilot, termasuk kakakku.

Sambil membawa bunga-bunga yang cantik, aku berjalan ke tengah pantai. Air mataku jatuh bersatu dengan air
laut di sana. Ketika sedang menebar bunga, seseorang telah menepuk pundakku. Aku melihat ibu dan ayah
yang berada di belakangku. Aku terkejut dan bahagia karena mereka ada di sini, yang artinya mereka telah
mengikhlaskan semuanya. Entah apa yang membuat mereka sadar, tetapi aku benar-benar bahagia.

Aku memeluk mereka sambil menangis. Setelah itu, mereka ikut bersama menabur bunga-bunga untuk
mengenang kak Dikta. Aku berharap, agar setelah ini kami semua bisa menjalankan kehidupan dengan baik
walaupun salah seorang diantara kita telah meninggalkan kehidupan.

Aku tersenyum melihat ke langit, melihat matahari yang menyinari. Aku yakin, disana pasti ada sebagian
darimu, kak. Karena kamu adalah kak Dikta, kakak matahari yang terus menyinari kita semua dari kejauhan.

Anda mungkin juga menyukai