Anda di halaman 1dari 6

“BERDAMAI DENGAN KABUT”

Gelap !!! Redup !!! Hidupku terasa akan berakhir hari ini !!!.

Brak !!!, Bug !!!. Piring putih itu hancur. Tak lagi bulat, tak lagi putih. Kini ia bersimbah darah,
dan terkapar di depan mataku. Hari ini ku saksikan awal peperangan, di sudut suci bola mata ini.
Tangisan dan teriakan merajut pekat di ruang gelap. Ku peluk erat lututku dan kurapatkan gigi,
menyaksikan bumi yang kini tiba-tiba hancur. Bukan lagi sekedar angin ribut yang kusaksikan.
Tapi ini lah badai yang meluluh lantakkan bumi, tempat ku mengukir kasih sayang.

“Mamah ! mamaaaahh! Huhuhuhuhu.” Adikku gemetar dan menangis sejadi-jadinya. Binar


kesedihan matanya memandang wajahku. Seakan memberi syarat bahwa ia ketakutan. Sontak ku
peluk dirinya. Daaaan… Settttt. Akhirnya serpihan piring itu menggoreskan luka pada pipi
mungil adikku. Darah pun mengucur dan menutup bulat indah pipinya. Ayah dan ibu masih
saling mengamuk, tanpa tetes perdamaian yang dapat menyatukan mereka kembali.

***

Aku Fatah, remaja berusia 14 tahun yang kini hidup bersama adik, nenek dan kakekku.
Merekalah yang pertama kali nampak di setiap pagi, kala aku menyambut hari.

Sampai hari ini aku tak lupa dengan kejadian masa itu. Ya! Waktu itu. 5 tahun yang lalu. Bahkan
luka di pipi adikku pun masih menampakkan diri. Semenjak kejadian itu, ayah dan ibu pergi.
Tanpa sedikit pun kata yang mereka ucapkan kepadaku dan adikku. Mereka kini tak bersama
lagi, dan tak sedikit pun sayang yang mereka tinggalkan untuk kami.

Kini aku harus tumbuh menjadi pria yang lebih kuat. Menjadi kakak dan ayah terbaik untuk
adikku. Dia Fatimah, gadis manis yang baru berumur 6 tahun. Arggh ! Sungguh sayang diri ini
padanya.

Semenjak ayah dan ibu pergi, aku terus melanjutkan sekolah. Beruntungnya hidup di desa,
sekolah bisa gratis, hanya untuk kebutuhan pribadi saja yang perlu ditanggung sendiri. Aku
disekolahkan oleh kakek, dengan penghasilannya sebagai seorang penjual gula aren sudah cukup
untuk membelikanku buku dan seragam sekolah.

Hari-hari dilalui dengan berjualan manisan kedondong yang dibuat nenek. Tak ada istilah uang
jajan dalam kamus sekolahku. Uang dari nenek kutabungkan untuk sekolah Fatimah. Hingga kini
aku telah lulus SD, dan Fatimah sebentar lagi masuk SD. Aku berniat untuk tidak lanjut ke SMP.
Tapi kakek dan nenek terus memaksa untuk tetap melanjutkan sekolah. Terpaksa ku turuti kata
mereka. Sekarang aku duduk di kelas 2 SMP

***

“Assalamu’alaikum, Fatimah ! Nek ! Kek ! Aku pulang.”. Reeeet, suara pintu terbuka… dan
Bughhh…

“Kakkaaaakkkk !” Fatimah seperti biasa langsung memelukku.

“Kak, kakak, Fatimah besok mulai sekolah juga loh Kak. Tunggu sini ! Fatimah mau nunjukkin
sesuatu,” Fatimah pergi ke kamar, aku kakek dan nenek hanya memandang dengan senyum.

“Jeng jeng jeng… Fatimah cantik siap bangkat s’kolah. Fatimah mau jadi murid pintar, biar bisa
jadi hakim. Kalo Fatimah udah besaaar ! mau jadi Najwa Shihab. Terus masuk TV.” Gelagat
anak ini memang menggemaskan. Rok hitam dan kaos putih menempel manis di tubuhnya. Kini
dia berdiri dengan kedua tangan menyatu terkepal di depan dada bak seorang Jurnalis.

“Adek kakak emang yang paling pinter.” Kucubit gemas hidung mancung adikku.

“Fatah, Fatimah, nanti malem nonton wayang yuk bareng nenek!”

“Mauuu mau mau, Fatimah mau liat sarung sarung ituu loh Nek, yang mukanya suka pake
monyet topeng kayak di sawah kakek.”

…. Semua tertawa melihat celotehan Fatimah….

“Lutung kasarung, Fatimah. Yang mukanya suka pake topeng kayak monyet.”

***

Tanda malam nampak semu. Malam yang terasa seperti siang. Bintang dan bulan berlakon
layaknya mentari. Malam yang terang perpadu dengan alunan gamelan menetas dari atas
panggung. Lautan manusia menyebar, membuat bundaran padat sekitar panggung. Inilah
panggung megah di atas bukit, dengan semilir angin malamnya yang tak lagi terasa. Hanya sesak
dan panas di tengah suhu tubuh dan keringat manusia yang menghiasi malam ini. Pelakon hebat
akan muncul di panggung. Lutung Kasarung, ia tampil di tengah gradasi cahaya remang
panggung.
Malam ini aku, nenek dan Fatimah tengah asyik menonton pertunjukkan wayang. Nampaknya
alunan gendang dan bonang membuat Fatimah terlelap di punggungku. Akhirnya kuputuskan
untuk membawanya pulang.

“Nek, aku pulang duluan ya. Fatimah sepertinya udah cape sekali.”

“Iya Fatih kamu segera pulang saja. Gak baik juga udara malamnya buat kalian.”

“Siap Nek. Eh, tapi nenek ga bareng aja?”

“Nggak, nanti nenek juga dijemput kok. Kamu hati-hati yaa. Jaga Fatimah.”

“Lah dijemput sama siapa Nek?”

“Adaaaaa, kamu tenang aja. Gih cepetan pulang.”

“Tapi Nek,”

“Udah Fatiiiih, cepetan. Entar keburu malem loh. Kasian Fatimah.”

Malam ini, nenek aneh banget !!! Akhirnya aku pulang bersama Fatimah

***

Aku dan Fatimah pulang ke rumah. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB.

“Wah udah larut ternyata.”

...

Selang 2 jam kemudian.

TOK ! TOK ! TOK !

“Assalamu’alaikum. Fatah, Kakek. Ada orang di rumah?… PERMISIIII…”

Lelapku seketika terbang. Kenapa orang-orang berisik sekali?. Ku lirik jam dinding yang tepat
sejajar kedua jarumnya menunjuk pukul 00.00. Ku buka pintu. Dalam remang aku lihat
seseorang menggendong seorang wanita. Mereka berempat berdiri mematung dengan wajah
paniknya. Ku gosok ulang mataku, hingga nampak jelas bahwa itu nenek. Sontak aku terkejut.

“Astaghfirullah ! Nenek kenapa? Ayo lekas bawa masuk saja.”


Keempat orang itu bergegas membawa nenek masuk ke dalam. Kakek pun bangun dari lelap
tidurnya dan spontan mendekati nenek yang dibaringkan di sofa.

“Nenek kenapa Pak? Kenapa wajahnya luka-luka seperti ini?”

“Iya Dek Fatih, Kakek. Tadi setelah pertunjukkan wayang selesai. Ada keributan. Semua orang
saling mendorong satu sama lain dan berlomba untuk segera turun dari bukit. Beberapa orang
terjatuh ke jurang termasuk nenek. Saat kami melakukan evakuasi ke bawah, kami menemukan
nenek dengan kondisi menelungkup di atas batu. Sepertinya dada nenek terbentur batu itu. Dan
saat kami temukan nenek sudah tidak bernafas lagi. Kami turut berduka cita yaa Kek, Dek.”

Aku tampar pipiku berkali-kali, berharap ini hanya mimpi. Namun semua hanya kesia-siaan.
Hari ini aku benar-benar ditinggal pergi…

***

Inilah awal kedua aku jatuh, hingga kemudian semua meninggalkan aku dan Fatimah. Kakek
meninggal setelah sakit karena kepergian nenek. Kini aku dan Fatimah sebatang kara.

Semua hal buruk memang terjadi padaku, namun kutekadkan untuk tetap berdiri kokoh.
Kulanjutkan kembali mimpi-mimpi ini. Aku ingin Fatimah bisa sukses. Menjadi seorang sarjana.

Dan ternyata semua tak semudah yang aku pikirkan.

Setiap hari aku sekolah. Pulang sekolah aku lanjutkan pekerjaan kakek sebagai penyadap gula
aren. Kakek masih memiliki satu pohon yang cukup untuk diambil niranya. Ku panjat kedua
pohon untuk kuolah menjadi gula merah. Satu hari bisa mendapat satu batok cetakan, kalo dijual
bisa sampai Rp 5000. Ini cukup untuk membeli ½ liter beras untuk aku makan bersama Fatimah.
Terkadang, sepulang sekolah aku juga pergi meladang membantu tetangga. Pernah juga aku
bolos sekolah satu pekan untuk ikut menambang emas ke gunung. Fatimah kutitipkan ke
tetangga samping rumah.

Menambang emas ternyata pekerjaan berat. Aku harus masuk ke lobang 40 meter dari
permukaan tanah, dengan pencahayaan seadanya dari sebuah senter. Rasanya pengap sekali, air
tanah pun gemericik di setiap dinding lobang. Setiap pahatan batu membutuhkan tenaga ekstra
agar ia mampu terlepas dari tanah. Argghh. Aku capek! Tapi harus kusingkirkan rasa lelah ini
demi Fatimah.
***

Dua surat peringatan dari sekolah kini tergeletak di meja. Hingga satu kali lagi surat ini sampai
di rumahku maka aku akan dikeluarkan dari sekolah. Padahal, sebentar lagi aku lulus.

Pagi-Siang aku sekolah. Siang-Sore aku kerja. Kadang dapat bantuan tetangga untuk hanya
sekedar makan. Sore-malam kuhabiskan waku untuk mengajar Fatimah dan belajar materi
sekolah. Terpaksa tahun ini Fatimah harus menunda sekolahnya.

“Kaaak ! Kaaak Fataaaah. KAAAKKK !!! KAKAK, Fatimah Lapar.”

Fatimah membangunkanku di tengah sunyi malam.

Rumah nenek ini tak begitu luas, hingga suara tangisan Fatimah pun menggelombang di seisi
rumah. Fatimah menangis sambil menekan perutnya.

Ku pergi ke dapur untuk mengambil makanan, tapi tak ada satu pun yang dapat dimakan.
Akhirnya aku hanya berikan air hangat hanya sekedar untuk menenangkan.

“Fatimah minum ini dulu yaa sayang, besok Kakak beliin ikan untuk Fatimah.”

***

Malam telah berlalu kusaksikan mentari terbit melukiskan kehangatan. Hidupku akan terus
berlanjut. Tak akan kubiarkan ujian mengikis mimpi-mimpi ini. Usia bukan persoalan besar
untuk tidak bersikap dewasa. Dunia ini memang kejam, perlu bersaing. Kuat walau tanpa ayah
ibu. Besar dan tumbuh dengan lukisan hidup yang tak indah. Tuhan punya rencana. Mengapa
aku diciptakan. Aku harus berdiri. Tak pantas seorang Fatah untuk berhenti berjuang.

Sabarlah Fatimahku sayang! Kita buktikan, bahwa pengorbanan ini akan meretas rasa lapar.
Perjuangan ini tak akan berarti kesia-siaan. Bahkan kabut hitampun akan ternetralkan kembali.
Kabut hidup yang bersulam kesejukan. Maka berdamailah dengan kabut, maka kita akan melihat
luasnya dunia.
Nama Lengkap : Nadia Stepani

ID Instagram : @nadiast

Nomor WhatApp : 085795666583

e-mail : nadiastepani0990@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai