Sudah seminggu ini para pekerja menebangi pohon-pohon di sekitar museum ini.
Hanya aku yang tersisa. Pohon randu, asam, kluwih, dan beringin tak tampak lagi,
sudah ditebang hingga tunggul-tunggulnya, dan akar-akarnya dicabut tanpa sisa.
Pohon-pohon itu tak melawan ketika gergaji mesin menyayat batang mereka. Kata
mereka kepadaku, semakin banyak orang tinggal di kota yang dulunya hutan ini
sehingga pohon-pohon harus dikorbankan. Agar manusia dapat membangun rumah,
mal, sirkuit, stadion, dan sebagainya.
Namun, aku belum bisa mengikhlaskan diri menjadi tumbal. Aku lebih dulu lahir
ketimbang siapa pun di kota ini. Lingkaran tahun di batangku lebih banyak
ketimbang bilangan usia manusia paling tua sekalipun. Kusaksikan langsung
jalannya sejarah! Begitu banyak yang kusaksikan hingga aku berani mendaku lebih
bijaksana dari siapa pun, bahkan para filsuf. Jika aku bisa menulis, tentu sudah
kutulis buku-buku tebal berisi hikmah dan pengetahuan.
Tubuhku belum setinggi pohon jagung ketika kota ini masih belantara lebat tanpa
manusia dan satu-satunya hukum adalah hukum rimba. Macan tutul pernah
memanjati batangku untuk menerkam musang yang bersembunyi di dahan paling
tinggi. Tekukur, pipit, kutilang, dan sebagainya membangun kota dalam kerimbunan
daun-daunku. Rumput lebih segar dan hijau di bawah naungan kanopiku yang
membentang luas dan memberi teduhan bagi siapa pun tanpa membeda-bedakan
ketika hari begitu terik.
Ketika kanopiku lebih tinggi dari siapa pun kecuali pohon-pohon kelapa di daerah ini,
kusaksikan manusia pertama yang membawa panah dan berburu kancil dan babi
hutan. Juga masih kuingat laki-laki pertama yang membuka lahan untuk berladang.
Laki-laki itu sering bernaung di bawah tajukku untuk beristirahat. Sering pula jatuh
tertidur hingga sore dan harus kubangunkan dengan tetesan air dari ujung daunku
agar ia tak terlambat pulang. Selalu ia mengucapkan terima kasih kepadaku sambil
tersenyum saat terjaga.
Aku tak tega jika laki-laki santun dan rajin itu kemalaman. Aku dan dia sama-sama
tak menyukai gelap, tetapi mungkin dengan alasan yang berbeda. Aku tak suka
gelap atau remang karena, tanpa panas dan cahaya, aku tak bisa mengolah bahan
makanan yang seharian kukumpulkan. Karena itulah pada malam hari kulipat daun-
daunku dan baru keesokan harinya, saat tanah mulai terang, sekitar pukul lima pagi,
kubuka lagi. Jika hujan turun atau hari mendung, daun-daun juga kulipat.
Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti itu, siapa pun akan mafhum jika
aku tumbuh menjadi raksasa: pada puncak usiaku sekarang ini, butuh tujuh orang
dewasa untuk membentuk lingkaran utuh mengelilingi batangku. Namun, aku tak
pernah takabur dengan kelebihan itu. Ketika kampung pertama dibangun di daerah
ini, kuizinkan siapa pun memotong dahan dan rantingku untuk kayu bakar. Bahkan
setelah kampung berubah menjadi kota ramai, tak pernah kutolak orang-orang yang
berteduh di bawah kanopiku.
Tak kuingat lagi sudah berapa pasangan yang pernah bersandar di batangku dan
berkasih-kasihan dipayungi daun-daunku. Aku menjadi saksi entah berapa ciuman
pertama, janji-janji manis, dan pertengkaran-pertengkaran asmara. Aku menikmati
cerita-cerita cinta itu karena aku pun merasakan keindahannya. Kutaburkan madu di
bunga-bungaku yang putih dengan bercak merah muda di bagian atasnya agar
serangga tertarik dan membantu menyebarkan benih-benihku ke seluruh penjuru
untuk melestarikan keturunanku.
Aku tak terkejut jika gagasan bodoh juga melahirkan tindakan bodoh. Setelah para
pekerja gagal menebangku pertama kali, pemilik lahan mengundang seorang dukun
untuk menundukkanku. Dukun itu bersila dekat pangkal batangku, menyalakan
dupa, dan berkomat-kamit. Kupatahkan dahanku yang agak besar, lalu kujatuhkan
menimpa kepalanya. Orang itu pingsan dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit.
Karena itulah mereka menunda usaha menebangku hingga hari ini.
Namun, usaha terakhir mereka pun sia-sia. Kulihat algojo yang baru saja gagal
menebangku berbicara di telepon. Beberapa menit kemudian pemilik lahan tiba dan
memarkir mobil agak jauh dari tempatku berdiri. Laki-laki buncit berkacamata itu
mendekati dan menanyakan kepadaku, apa yang kuminta agar aku bisa ditebang.
Lewat pembuluhku, kubisikkan bahwa aku ingin ia menyaksikan saat gergaji mesin
menggergaji batangku. Ia mengangguk-angguk, lalu memerintahkan algojo untuk
bekerja lagi.
Kuperiksa tempat pemilik lahan itu berdiri. Aku puas karena kakinya masih berada
dalam jangkauan bayang-bayang kanopiku. Ketika gergaji mulai berputar menyayat
batangku, kulemaskan pembuluh dan kambiumku. Bisa kurasakan saat aku
terhuyung-huyung sementara para pekerja menarik tali yang diikatkan di pangkal-
pangkal dahan. Sebelum tumbang, kupastikan gerumbul dahan paling keras yang
telah kusiapkan mengarah tepat di kepala pemilik lahan. ***